BAB II
KONSEP
2.1 DEFINISI
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/ bahan berbahaya. Selain narkoba,
istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang
umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan,
narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk
membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun
kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang
semestinya.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang
No. 22 tahun 1997).
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Bahan adiktif lainnya adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang
penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan. Minuman beralkohol adalah
minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian ataupun
secara sintetis yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi destilasi atau
fermentasi tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat
dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol.
Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap pemakainya, narkoba dikelompokkan
menjadi golongan halusinogen, depresan, stimulan, dan adiktif.
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA dalam jumlah berlebihan, secara
berkala atau terus-menerus, berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan
jasmani, mental dan kehidupan sosial (Joewana, 2004). Penyalahgunaan zat adalah
penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah.
Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai
penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologic terhadap obat.
Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala
putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
Ganja menimbulkan ketergantungan psikis yang diikuti oleh kecanduan fisik dalam
waktu lama, terutama bagi mereka yang telah rutin menggunakannya. Bentuk daun kering,
cairan yang lengket, minyak ‘damar ganja’. Menurunkan keterampilan motorik,
peningkatan denyut jantung, rasa cemas, banyak bicara, perubahan persepsi tentang ruang
dan waktu, halusinasi, rasa ketakutan dan agresif, rasa senang berlebihan, selera makan
meningkat. Pengaruh jangka panjang peradangan paru-paru, aliran darah ke jantung
berkurang, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, mengurangi kesuburan, daya pikir
berkurang, perhatian ke sekitar berkurang.
Morfin merupakan analgesik yang kuat, tidak berbau, berupa kristal putih yang
warnanya menjadi kecoklatan. Mengurangi rasa nyeri, kantuk atau turunnya kesadaran.
Menyebabkan sembelit, gangguan menstruasi dan impotensi. Pemakaian dengan jarum
suntik menyebabkan HIV/AIDS, Hepatitis B & C. Pemakaian dikurangi atau dihentikan :
hidung berair, keluar air mata otot kejang, mual, muntah dan mencret.
Psikotropika memiliki bentuk berupa tablet dan kapsul warna warni. Cara penggunaan
ditelan secara langsung. Mendorong tubuh melakukan aktivitas melampaui batas
maksimum. Meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, rasa senang yang berlebihan,
hilangnya rasa percaya diri. Setelahnya akan terjadi perasaan lelah, cemas dan depresi
yang dapat berlangsung beberapa hari. Gerakan tak terkontrol, mual dan muntah, sakit
kepala, hilang selera makan dan rasa haus yang berlebihan. Kematian terjadi karena tidak
seimbangnya cairan tubuh, baik karena dehidrasi ataupun terlalu banyak cairan,
menimbulkan kerusakan otak yang permanen.
Methamphetamine dikenal shabu atau ubas. Bentuknya berupa serbuk kristal dan
cairan. Mudah larut dalam alkohol dan air. Cara penggunaannya dihisap dengan bantuan
alat (bong). Menimbulkan perasaan melayang sementara yang berangsur-angsur
membangkitkan kegelisahan luar biasa. Aktivitas tubuh dipercepat berlebihan.
Penggunaan shabu yang lama akan merusak tubuh, bahkan kematian karena over dosis.
Pada mata, anda akan melihat sesuatu yang tidak ingin anda lihat, karena sangat
mengerikan. Pada otak, menyebabkan depresi, kepanikan, kecemasan yang berlebihan dan
dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen. Pada kulit, pembuluh darah akan
mengalami panas berlebihan dan pecah. Pada hati, bahan-bahan kimia yang terkandung
dalam shabu bisa melemahkan aktivitas sel-sel hati yang mengakibatkan terjadinya
gangguan fungsi hati.
Obat penenang dikenal obat tidur, pil koplo, BK, Nipam, Valium, Lexotan, dll.
Bentuknya berupa tablet. Digunakan dengan cara ditelan secara langsung. Memiliki efek
bicara jadi pelo, jalan sempoyongan, persepsi terganggu memperlambat kerja otak,
pernapasan dan jantung. Dalam dosis tinggi akan membuat pengguna tidur. Penggunaan
campuran dengan alkohol akan menghasilkan kematian. Gejala putus zat bersifat lama dan
serius, sakit kepala, cemas, tidak bisa tidur, halusinasi, mual, muntah dan kejang.
Alkohol memiliki efek memperlambat kerja sistem syaraf pusat, memperlambat refleks
motorik, menekan pernafasan, denyut jantung dan mengganggu penalaran dan penilaian.
Menimbulkan perilaku kekerasan, meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas. Gejala
putus zat mulai dari hilangnya nafsu makan, sensitif, tidak dapat tidur, kejang otot,
halusinasi dan bahkan kematian.
Zat yang mudah menguap/solvent dikenal Lem Aica Aibon, Thinner, Bensin, Spiritus.
Efeknya begitu dihisap masuk ke darah dan segera ke otak. Memperlambat kerja otak dan
sistem syaraf pusat. Menimbulkan perasaan senang, pusing, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan dan pelo. Problem kesehatan terutama merusak otak, ginjal, paru-
paru, sumsum tulang dan jantung. Kematian timbul akibat otak kekurangan oksigen,
berhentinya pernafasan dan gangguan pada jantung.
Zat yang menimbulkan halusinasi dikenal jamur, kotoran kerbau, sapi, kecubung. Efek
yang ditimbulkan bekerja pada sistem syaraf pusat untuk mengacaukan kesadaran dan
emosi pengguna. Perubahan pada proses berfikir, hilangnya kontrol, hilang orientasi dan
depresi.
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala yang sering tampak pada para pengguna
NAPZA, dilihat dari :
1. Ciri-ciri Umum
4. Perubahan Psikologis
a. Mudah tersinggung
b. Sering terjadi perubahan mood yang mendadak
c. Malas melakukan aktivitas sehari-hari
d. Sulit berkonsentrasi
e. Tidak memiliki tanggung jawab
f. Emosi tidak terkendali
g. Tidak peduli dengan nilai dan norma yang ada
h. Merasa dikucilkan atau menarik diri dari lingkungan
i. Cenderung melakukan tindak pidana kekerasan
2.4 TERAPI
Upaya pemulihan yang sesungguhnya adalah dengan merubah gaya hidup dan sikap
pada seorang pecandu secara mendasar, yaitu pola pikir dan perilaku adiktif yang
menyebabkannya kecanduan narkoba (martono 2006).
1. Pengobatan
Terapi pengobatanyang dilakukan untuk pasien NAPZA misal dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat
dengan dua cara:
a. Detoksifikasi tanpa substitusi
Klien hanya dibiatkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
Klien yang ketergantungan tidak diberikan obat untuk menghilangkan gejala
putus obat tersebut.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat
misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-
hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam.
Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap
sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan
obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa
nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan
akibat putus zat tersebut.
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional
seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental,
sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke
masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai
latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila
klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali
sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang
semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain
sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing
dan mengasuhnya.
Meskipun sudah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku
maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali
atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan
depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering
disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu,
terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat
psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan)
dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang
penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok.
Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi
keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga
brokenhome. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan jka
konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-
aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam
satu tempat. Dipimpin oleh seorang mantan pemakai yang dinyatakan
memenuhi syarat sebagai konselor, setelah mengikuti pendidikan dan
pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien
dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan
narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps.
Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka
bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang
lain.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi
tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan
pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian
(spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko
seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.
2.5.4 INTERVENSI
Tujuan Intervensi
a. Pasien dapat SP 1
mengidentifikasi penyebab
perilaku kekerasan
a. Mengidentifikasi tanda dan gejala, penyebab
b. Pasien dapat
dan akibat perilaku kekerasan
mengidentifikasi tanda-tanda
b. Menjelaskan cara mengontrol perilaku
perilaku kekerasan
kekerasan dengan cara fisik 1: tarik nafas dalam dan
c. Pasien dapat
fisik 2: pukul kasur/ bantal
menyebutkan jenis perilaku
c. Malatih klien cara mengontrol perilaku
kekerasan yang pernah
kekerasan dengan cara fisik 1: tarik nafas dalam dan
dilakukannya
fisik 2: pukul kasur/bantal
d. Pasien dapat
d. Melatih memasukkan kegiatan tarik nafas
menyebutkan akibat dari
dalam dan pukul kasur/ bantal ke dalam jadwal
perilaku kekerasan yang
kegiatan harian
dilakukannya
e. Pasien dapat
SP 2
menyebutkan cara mencegah
atau mengendalikan perilaku a. Menjelaskan cara mengontrol perilaku
kekerasannya kekerasan dengan cara minum obat secara teratur
Pasien dapat menggunakan prinsip 6 benar
mencegah atau b. Mendiskusikan manfaat minum obat dan
mengendalikan perilaku kerugian tidak minum obat
kekerasannya secara fisik, c. Melatih cara minum obat secara teratur
spiritual, dan social dengan menggunakan prinsip 6 benar
terapi psikofarmaka d. Melatih memasukkan kegiatan minum obat
secara teratur ke dalam jadual kegiatan harian
SP 3
SP 4
a. Menjelaskan cara mengontrol perilaku
kekerasan cara spiritual
b. Melatih cara spiritual
c. Melatih klien memasukkan kegiatan
spiritual ke dalam jadual kegiatan harian
B. Keluarga
Tujuan Intervensi
Keluarga dapat merawat pasien SP1
di rumah
a. Mengidentifikasi masalah keluarga dalam
merawat klien resiko perilaku kekerasan
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala,
proses terjadinya dan akibat perilaku kekerasan
c. Mendiskusikan masalah dan akibat yang
mungkin terjadi pada klien resiko perilaku
kekerasan
d. Menjelaskan cara merawat klien resiko
perilaku kekerasan: latihan tarik nafas dalam dan
pukul kasur/bantal
e. Latih keluarga latihan tarik nafas dalam dan
pukul kasur bantal
Menganjurkan keluarga memotivasi,
membimbing dan memberi pujian klien klien
latihan tarik nafas dalam dan pukul kasur/bantal
SP 2
SP 3
SP 4
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E., et all. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri Edisi 3. Jakarta:
EGC
Keliat, Budi A., dkk. 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate
Course). Jakarta: EGC
Martono lydia harlina, dkk. 2006. Pemulihan pecandu narkoba berbasis masyarakat. Jakarta:
Balai Pustaka.
Saddock, Benjamin J. dan Virginia A. Saddock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
Jakarta: EGC.
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan
%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf (diakses
pada 22 september 2014 pukul 22.11 WIB)
journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1243/1148