Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUTORIAL KARDIOVASKULAR

MODUL 3
“`PENYAKIT JANTUNG BAWAAN”

Tutor :dr.Fatimah
KELOMPOK VIII

1. Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)


2. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
3. Mega Rahmawati Maulana (K1A1 17 013)
4. Ririn Apriani Pertiwi (K1A1 19 025)
5. Chesy (K1A1 19 037)
6. Kukuh Endro Rinekso (K1A1 19 048)
7. Nur Faizah (K1A1 19 058)
8. Wa Ode Viviansira (K1A1 19 068)
9. Andi Wilda Meutia Saydiman (K1A1 19 080)
10. Kartika Eka Putri (K1A1 19 091)
11. Nur Rizky Amalia Annisa (K1A1 19 103)
12. Wahyuni Ahda (K1A1 19 115)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
LAPORAN TUTORIAL 2021
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Nama Anggota Kelompok :
1. Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)
2.Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
3.Mega Rahmawati Maulana (K1A1 17 013)
4.Ririn Apriani Pertiwi (K1A1 19 025)
5.Chesy (K1A1 19 037)
6.Kukuh Endro Rinekso (K1A1 19 048)
7.Nur Faizah (K1A1 19 058)
8.Wa Ode Viviansira (K1A1 19 068)
9.Andi Wilda Meutia Saydiman (K1A1 19 080)
10.Kartika Eka Putri (K1A1 19 091)
11.Nur Rizky Amalia Annisa (K1A1 19 103)
12.Wahyuni Ahda (K1A1 19 115)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari, 4 Januari 2021


Dosen Pembimbing

dr.Fatimah
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan

hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing

Tutorial Modul 3 Penyakit Jantung Bawaan. Taklupa pula kami sampaikan rasa terimakasih

kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam

menyelesaikan laporan hasil tutorial Demam Rematik.

Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari

bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami

mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan

laporan yang kami susun ini.

Kendari, 4 Januari 2021

Kelompok VIII
MODUL 3
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

A. SKENARIO

Seorang anak perempuan, usia 10 tahun datang dengan keluhan nyeri dan bengkak
pada lutut kiri, demam, jantung terasa berdebar – debar. Hal ini dialami sejak 3 hari yang
lalu. Pada pemeriksaan fisis ditemukan: Sianosis (-), Nadi: 140 x/m, reguler. Tekanan
darah 120/60 mmHg. Suhu: 380C. DVS normal. Pemeriksaan toraks: Aktivitas ventrikel
kiri meningkat. Thrill teraba di apex. Batas – batas jantung membesar BJ: 1 & 2 murni,
intensitas normal. Terdengar bising sistol – diastol derajat 2 – 3/6, p.m. di apex A.
Femoralis teraba bounding. Tidak terdapat jari tabu. Terdapat tanda – tanda radang pada
lutut kiri (+)

B. KATA SULIT
1. Sianosis
perubahan warna menjadi kebiruan karena meningkatnya hemoglobin
terdeoksigenasi dalam darah yang masuk kedalam jaringan.
2. Thrill
sensasi getaran yang dirasakan oleh pemeriksa pada palpasi tubuh seperti diatas
jantung selama murmur jantung yang besar dan kasar.
3. Bounding
kontur nadi (pulse) abnormal yang hiperdinamik disebabkan oleh
peningkatan tekanan nadi sebagai hasil regurgitasi aorta atau anemia. Terpalpasi
paling baik pada seperti arteri femoralis dan arteri radialis.

C. KATA / KALIMAT KUNCI

1. Anak Perempuan 10 Tahun

2. Keluhan Nyeri

3. Bengkak Pada Lutut Kiri

4. Demam
5. Jantung Terasa Berdebar – Debar.

6. Keluhan Dialami Sejak 3 Hari Yang Lalu

7. Pemeriksaan Fisik, Didapatkan :

 Sianosis (-)

 Nadi: 140 x/m

 Tekanan darah 120/60 mmHg

 Suhu: 380C

 DVS normal.

 A. Femoralis teraba bounding

 Tidak terdapat jari tabu

 Terdapat tanda – tanda radang pada lutut kiri (+)

 Batas-batas jantung membesar

 BJ: 1 & 2 murni,

 intensitas normal.

 Terdengar bising sistol – diastol derajat 2 – 3/6, p.m.

 Thrill teraba di apex.

D. PERTANYAAN

1. Jelaskan perbedaan sianosis sentral dan sianosis Perifer?


2. Mengapa teraba bounding di A.femoralis pasien?
3. Mengapa teraba Thrill pada Apex?
4. Sebutkan interpretasi dari batas batas jantung membesar!
5. Apa interpretasi dari bising sistol-diastol 2-3?
6. Bagaimana interpretasi radang pada lutut kiri?
7. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai dengan skenario!
8. Jelaskan DD DS terkait dengan skenario!
9. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit sesuai dengan skenario?
10. Jelaskan apa saja komplikasi dan prognosis dari penyakit sesuai dengan skenario?

E. PEMBAHASAN
1. Perbedaan Sianosis Sentral Dan Sianosis Perifer

Sianosis sentral adalah biru atau keabu-abuan pada kulit, bibir, lidah,
sublingual, mukosa mulut, mukosa pipi, gusi bayi yang biasa nya merupakan tanda
bahwa saturasi oksigen darah arteri menurun karena adanya masalah, seperti:
 Asma atau pneumonia
 Saluran napas tersumbat
 Gangguan fungsi hati
 Kejang yang berlangsung lama

Sianosis perifer yaitu kulit bayi berwarna biru namun membran mukosa mulut
berwarna pink,biasanya kulit bayi akan terasa dingin. Hal ini karena saturasi oksigen
darah arteri normal namun ekstraksi oksigen dijaringan perifer meningkat. Sianosis
perifer biasanya akibat peredaran darah memburuk yang disebabkan oleh:

 Fenomena Raynaud, dimana suplai darah pada kaki dan tangan berkurang
 Masalah arteri yang mempengaruhi suplai darah ke kaki
 Bekuan darah yang menghentikan suplai darah dari anggota tubuh.1

2. Teraba Bounding Di A.Femoralis Pasien


Bounding yaitu kontur nadi (pulse) abnormal yang hiper dinamik disebabkan
oleh peningkatan tekanan nadi sebagai hasil regurgitasi aorta atau anemia. Terpalpasi
baik pada arteri femoralis dan arteri radialis.2

3. Teraba Thrill Pada Apex


Thrill merupakan getaran bising, ialah getaran pada dinding dada yang terjadi
akibat bising jantung yang keras atau sensasi getaran yang dirasakan oleh pemeriksa
pada palpasi tubuh seperti diatas jantung selama murmur jantung yang besar dan
kasar.Bila teraba diapeks kemungkinan dapat diakibatkan karena adanya kelainan
pada katup katup jantung seperti pada stenosis aorta, Patent Ductus Arteriosus,
Ventricular Septal Defect, dan kadang stenosis mitral.3

4. Interpretasi Dari Batas - Batas Jantung Yang Membesar

Penilaian batas jantung


Perkusi berguna untuk menetapkan batas jantung, terutama pada pembesaran
jantung. Perkusi batas kiri redam jantung (LBCD - left border of cardiac dullness)
dilakukan dari lateral ke medial dimulai dari sela iga 5, 4 dan 3. LBCD terdapat
kurang lebih 1-2 cm di sebelah medial linea midklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke
medial pada sela iga 4 dan 3. Batas kanan redam jantung (RBCD - right border of
cardiac dullness) dilakukan dengan perkusi bagian lateral kanan dari sternum. Pada
keadaan normal RBCD akan berada di medial batas dalam sternum. Kepekakan
RBCD diluar batas kanan sternum mencerminkan adanya bagian jantung yang
membesar atau bergeser ke kanan. Penentuan adanya pembesaran jantung harus
ditentukan dari RBCD maupun LBCD. Kepekakan di daerah dibawah
sternum(retrosternal dullness) biasanya mempunyai lebar kurang lebih 6 cm pada
orang dewasa. Jika lebih lebar, harus dipikirkan kemungkinan adanya massa
retrosternal. Pada wanita, kesulitan akan terjadi dengan mammae yang besar, dalam
hal ini perkusi dilakukan setelah menyingkirkan kelenjar mammae dari area perkusi
dengan bantuan tangan pasien.4
Batas jantung normal pada orang dewasa

 Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra


 Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
 Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
 Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra.5
5. Interpretasi Dari Bising Sistol-Diastol 2-3

Bising Jantung (cardiac murmur) Disebabkan :


- aliran darah bertambah cepat
- penyempitan di daerah katup atau pembuluh darah
- getaran dalam aliran darah oleh pembuluh yang tidak rata
- aliran darah dari ruangan yang sempit ke ruangan yang besar
- aliran darah dari ruangan yang besar ke ruangan yang sempit.
Jenis bising tergantung pada dase bising timbul : Bising Sistole, terdengar
dalam fase sistole (antara bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2
Dikenal 2 macam bising sistole :
 Bising sistole tipe ejection, timbul akibat aliran darah yang dipompakan melalui
bagian yang menyempit dan mengisi sebagian fase sistole. Didapatkanpada
stenosis aorta, punctum maximum di daerah aorta.
 Bising sistole tipe pansistole, timbul sebagai akibat aliran balik yang melalui
bagian jantung yang masih terbuka dan mengisi seluruh fase systole. Misalnya
pada insufisiensi mitral.

Bising Diastole, terdengar dalam fase diastole (antara bunyi jantung 2 dan
bunyi jantung 1, dikenal antara lain :
 Mid-diastole, terdengar pada pertengahan fase diastole misalnya pada stenosis
mitral.
 Early diastole, terdengar segara setelah bunyi jantung ke 2. misalnya pada
insufisiensi sorta.
 Pre-sistole, yang terdengar pada akhir fase diastole, tepat sebelum bunyi jantung
1, misalnya pada stenosis mitral. Bising sistole dan diastole, terdengar secara
kontinyu baik waktu sistole maupun diastole. Misalnya pada PDA.6

Derajat Intensitas murmur (bising jantung) umumnya dibagi menjadi 6


derajat,yaitu:
a. Derajat 1 = bising yang sangat lemah (terdengar dengan manuver khusus dan
dengan perhatian khusus)

b. Derajat 2 = bising lemah tetapi mudah didengar

c. Derajat 3 = bising agak keras tetapi tidak disertai getaran (thrill)

d. Derajat 4 = bising cukup keras dan disertai dengan getaran,tetapi untuk


mendengarkan stetoskop harus tetap menempel di dada

e. Derajat 5 = bising sangat keras teraba getaran,masih didengar meskipun stetoskop


dilepaskan dari dada
f. Derajat 6 = bising paling keras teraba getaran ,tetap terdengar walaupun stetoskop
seluruhnya dilepaskan dari dinding dada.7

6. Interpretasi Radang Pada Lutut Kiri


Artristis merupakan gambaran awal dari demam reumatik. Artritis dialami 35-
36% pasien, biasanya muncul sebagai gejala pertama dalam 21 hari setelah terinfeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A (GAS) pada faring. Infeksi streptokokus ini
terutama terjadi pada anak dan dewasa muda. Sendi-sendi besar yang sering diserang
adalah sendi lutut, siku, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan.
Pada umumnya radang dan nyeri bersifat asimetris dan bermigrasi, pertama
kali menyerang sendi lutut. Artritis dapat sembuh sendiri tanpa terapi dalam 4 minggu
dan tidak mengakibatkan deformitas sendi.8

7 7. Langkah-Langkah Diagnosis Sesuai Dengan Skenario


a. Diagnosis

Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever


menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
b. Anamnesis

Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit


tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-
anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak
spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan,
epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga
mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
Secara runtut, anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan hal-hal
sebagai berikut :
1. Tanyakan keluhan utama (sesak nafas, sakit sendi, gerakan gerakan tertentu,
nodul di bawah kulit, kemerahan di telapak tangan atau kaki)     
2. Sesak nafas sejak kapan?     
3. Apakah ada keluhan sakit sendi yang berpindah-pindah?     
4. Apakah ada gerakan-gerakan tertentu seperti penari bali?     
5. Apakah berat badan sulit naik?     
6. Apakah anak cepat lelah?     
7. Bagaimana posisi anak jika tidur? Apakah perlu bantal banyak?     
8. Apakah anak sering menderita infeksi saluran napas akut?15     

c. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama


kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali.
Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan
minor.

Tabel Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak

- demam tinggi (>390 C)


Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum
- peningkatan penanda peradangan yaitu
Nodul subkutan
erythrocyte sedimentation rate (ESR) atau C
Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah :

 Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari


terakhir)

 Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta


hemolyticus grup A hasilnya positif
 Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup
A.
 Kriteria Mayor Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah
poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada
stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di
dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan
fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai
dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan
katup jantung dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul
Gangguan Manifestasi
Regurgitasi Mitral - Aktivitas ventrikel kiri
meningkat
- Bising pansistolik di apeks,
menyebar ke aksila bahkan ke
punggung
- Murmur mid-diastolik
(carrey
coombs
murmur) di apeks
Regurgitasi aorta - Aktivitas ventrikel kiri
meningkat

- Bising diastolik di ICS II


kanan/kiri, menyebar ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar
(sistolik tinggi, sedangkan
diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
Stenosis mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah
apeks, dengan S1 mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer. Friction rub
pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup, suara jantung
melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan tamponade
perikardium yang mengancam.
Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis
migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan
namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam
satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga minggu.

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali lebih
sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.
Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
12
kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.

Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
selalu menyertai karditis rematik yang berat.

 Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-
3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-
tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia
biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada pemeriksaan
darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada
rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.

d. Pemeriksaan Jasmani

1. Terangkan akan dilakukan pemeriksaan jasmani     


2. Tentukan keadaan sakit: ringan/sedang/berat     
3. Lakukan pengukuran tanda vital:Kesadaran, tekanan darah,laju nadi, laju
pernafasan, dan suhu tubuh
4. Periksa sclera: ikterik?     
5. Periksa konjungtiva palpebrae: anemis?     
6. Periksa tonsil dan farings     
7. Periksa leher: limfadenopati bila ada sebutkan ukuran, konsis-tensi, mudah
digerakkan dari dasarnya tidak, dan rasa sakit     
8. Periksa jantung: Bunyi jantung I dan II?
9. Periksa bising jantung:Fase? Gradasinya? Pungtum maksimum? Penjalaran?
Perubahan posisi ?Pengaruh pernapasan ?
10. Periksa paru: ada ronki?     
11. Periksa abdomen: distensi? sakit daerah abdomen yang difus?     
12. Periksa hati: ada hepatomegali?     
13. Periksa lien: ada splenomegali?     
14. Periksa dada dan abdomen?     
15. Ekstremitas/daerah terbuka lain: Artritis? sianosis? Jari tabuh? capillary refill?
15
     
e. Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk


mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada


pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah
merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever
terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure
atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan
dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
- Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A


secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis


rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat
pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO
naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-
DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8.
Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit
anak usia sekolah.
- Kultur tenggorok

Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya


streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic
fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan


kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel Pada pasien rheumatic fever dengan karditis
ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada
rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-
lateral.9

Kategori diagnosis Kriteria


- Dua mayor
 Rheumatic Fever
serangan pertama - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
- Dua mayor
 Rheumatic Fever
serangan ulang tanpa - Atau satu mayor dan dua minor

RHD - Ditambah bukti infeksi SBHGA


sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever
- ditambah dengan bukti infeksi
serangan ulang dengan
SBHGA sebelumnya
RHD
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya

 Karditis reumatik atau bukti infeksi SBHGA

insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya
 RHD
untuk

mendiagnosis sebagai RHD


8. DD dan DS Sesuai Scenario
A. DEMAM REMATIK AKUT

a. Pendahuluan
Demam reumatik akut adalah konsekuensi autoimun dari infeksi
streptokokus grup A. Demam reumatik akut menyebabkan respon inflamasi umum
dan penyakit yang mengenai jantung, sendi, otak dan kulit secara selektif. Penyakit
ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab terpenting penyakit
jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia.
Puncak insiden demam reumatik akut terdapat pada kelompok usia 5-15
tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk
di atas 50 tahun. Demam rematik dan penyakit jantung rematik menyebabkan
meningkatnya ketidakhadiran di sekolah dan putus sekolah, dan kehilangan upah.
Sekitar 30 juta orang saat ini diperkirakan terkena penyakit jantung rematik secara
global, dan pada 2015 penyakit jantung rematik diperkirakan bertanggung jawab
305.000 kematian dan 11,5 juta tahun kehidupan yang disesuaikan dengan
disabilitas hilang. Dari kematian ini 60% terjadi sebelum waktunya (yaitu, sebelum
usia 70 tahun), meskipun angka- angka ini sangat tidak pasti karena data yang tidak
lengkap di banyak negara.
Prevalensi demam reumatik akut di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung reumatik anak berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
demam reumatik akut di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka tersebut, mengingat
penyakit jantung reumatik anak merupakan akibat dari demam reumatik akut.
b. Definisi
Demam rematik adalah penyakit inflamasi akibat reaktivitas-silang antibody
seteah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A .
c. Etiologi

Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat


interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam
reumatik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulangan. Untuk
menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan
infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan
glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di
saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi
Streptococcus di kulit.Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan
demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A, atau keduanya.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens
oleh beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan
hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik
akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang
tidak diobati.
3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika.

d. Patogenesis

Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan


terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons auto
immune terhadap infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan.
Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh
kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif.
Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran
antigen histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody
yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor
resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. 8
Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini
dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grup A mempunyai potensi
rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar,
koloni mukoid yang kaya dengan M-protein. M-protein adalah salah satu
determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan
molecul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin.
Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel
endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur.
e. Patologi

DR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat,


terutama mengenai jantung, sendi dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis
seluruh lapisan jantung akan dikenai. Perikarditis paling sering terjadi dan
perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikard biasanya
menyembuh setelah beberapa saat tanpa sekuele yang bermakna, dan jarang
terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan
pembesaran semua ruang jantung. Pada miokardium mula-mula didapati
fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit, dan degenerasi fibrinoid dan
diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang merupakan patognomonik
DR.
Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit,
sel plasma, sel mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa
sel mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membran
inti yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada
spesimen biopsi endomiokard penderita DR. Keterlibatan endokard
menyebabkan valvulitis rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous,
berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada permukaan atrium pada tempat koaptasi
katup dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati, bisa didapati
peradangan dan edema dari daun katup. Penebalan dan fibrotik pada dinding
posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi
mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis
memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katup dan fusi korda
tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup. Katup mitral
paling sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan pulmonal
biasanya jarang dikenai.
f. Manifestasi Klinis

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat


dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa
sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil
dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil
yang menyertai tanda- tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan8.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas
pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi
10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung
reumatik.
Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini
berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan
berbulan-bulan kemudian.
Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai


manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik
tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan
manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik
tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa
katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan
katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan.
Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik
sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

 Manifestasi Klinis Mayor

1. Karditis

Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak
anak. Karditis adalah satu satunya komplikasi. Demam reumatik yang bisa
menimbulkan efek jangka panjang. Kelainannya berupa pankarditis, yaitu
mengenai perikardium, epikardium, miokardium dan endokardium. Pada Demam
reumatik sering terjadi pankarditis yang ditandai dengan perikarditis, myokarditis
dan endokarditis.

Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub. Pada efusi perikard bisa
didengar adanya muffled sound, dan pulsus paradoks ( penurunan tekanan sistolik
yang besar di saat inspirasi). Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel
mononuklear, vaskulitis dan perubahan degeneratif pada interstisial conective
tissue. Bentuk endokarditis tersering adalah insufisiensi katub mitral.

Katub yang sering terkena adalah katub mitral (65-70%) dan katub aorta
(25%). Katub trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir selalu
berhubungan lesi pada katub mitral dan aorta. Sedangkan katub pulmonal sangat
jarang terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat menyebabkan
gagal jantung dan kematian (pada 1% penderita). Perlengketan pada jaringan
penunjang katub akan menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan
insufisiensi yang muncul dalam 2-10 tahun setelah episode demam reumatik akut.
Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub, bilah katub dan chorda
atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut
- Bising jantung yang sering pada demam rematik:

- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke
axilla. Tidak dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.
- Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif dan
menyertai mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral
stenosis

- yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui katub mitral saat
pengisian ventrikel.
- Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan
terbaik didengar pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk
miring kedepan.
2. Artritis

Artritis ARF paling sering menyerang sendi-sendi besar, terutama lutut,


pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Banyak sendi yang sering terlibat,
dengan timbulnya artritis pada sendi yang berbeda baik dipisahkan dalam waktu
atau tumpang tindih, sehingga memunculkan deskripsi "polyratritis" migrasi
"atau" aditif ". Setiap sendi terpengaruh selama beberapa hari hingga satu minggu,
dengan seluruh episode sembuh tanpa pengobatan dalam waktu satu bulan. Nyeri
sendi bisa sangat parah, terutama pada anak-anak yang lebih tua dan remaja, dan
sering tidak sesuai dengan tanda-tanda klinis peradangan
Atralgia yang merupakan suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan
seorang dokter mendiagnosa sebagai Demam reumatik terutama jika terdapat
kriteria minor yang lain, seperti febris dan bukti adanya infeksi streptokukkus
seperti ASTO. Penelitian di RS Hasan sadikin bandung menunjukkan terdapat 24
kasus dari 113 kasus dengan atralgia dan febris, yang setelah ditelaah ulang, tidak
memenuhi kriteria Jones, hasil ekokardiografi juga tidak menunjukkan adanya
tanda-tanda karditis.

3. Chorea Sydenham

Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi


streptokokus, progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan
neurologis berupa gerakan involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada
muka, leher, tangan dan kaki. Disertai dengan gangguan kontraksi tetanik dimana
penderita tidak bisa menggenggam tangan pemeriksa secara kuat terus menerus
(milk sign).
Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa ciri-ciri ARF lainnya dan
tanpa bukti infeksi streptokokus, karena chorea dapat terjadi berbulan-bulan
setelah infeksi streptokokus. Jika chorea memiliki presentasi yang terisolasi,
penting untuk mengecualikan penyebab lain dari chorea, seperti systemic lupus
erythematosus, penyakit Wilson, dan reaksi. Dalam semua kasus yang dicurigai
chorea reumatik, pemeriksaan jantung dan ekokardiogram harus dilakukan, karena
chorea sangat terkait dengan carditis.

4. Eritema Marginatum

Muncul dalam 10% serangan pertama Demam reumatik biasanya pada anak
anak, jarang pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan
biasanya pada batang tubuh, lesi berupa cincin yang meluas secara sentrifugal
sementara bagian tengah cincin akan kembali normal.
5. Nodulus Subkutan

Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik,


dan biasanya tidak disadari penderita karena tidak nyeri. Biasanya berkaitan
dengan karditis berat, lokasinya di permukaan tulang dan tendon, serta
menghilang setelah 1-2 minggu.
 Manifestasi Minor

Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada
karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah
remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal
atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia
adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan
sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu
lagi menggerakkan tungkainya.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase
akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik
untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada
elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal
jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam
reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain
muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar
umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga
dilakukan operasi.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat
gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin
dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali
pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan
pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis.

g. Diagnosis

Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu kriteria
mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan
dapat diperkirakan secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan
auskultasi, namun seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar
adanya murmur padahal sudah terdapat keterlibatan katup pada pasien tersebut.
Keterlibatan katup seperti ini dinamakan karditis/ valvulitis subklinis.Saat ini,
diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones.namun dalam praktek sehari-
hari tidak mudah untuk menerapkankan hal tersebut. 8 Untuk Diagnosa diperlukan :
2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan bukti infeksi oleh
sterptokokus grup A. Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti infeksi
sebelumnya tidak diperlukan.

Tabel 1. Kriteria Jones Demam Rematik Akut

Kriteria Mayor Kriteria Minor

1. Karditis 1. Demam

2. Polyarthritis 2. Polyatralgia

3. Chorea 3. Laboratorium:
Peningkatan acute phase
4. Erythema marginatum
reaction (LED atau
5. Subcutaneous nodul
Leukosit)
4. PR interval memanjang
Kriteria Jones telah mengalami beberapa revisi untuk meningkatkan nilai
spesifitas nya.Untuk negara negara resiko tinggi demam rematik.World Health
Organization (WHO) telah membuat kriteria yang lebih menitikberatkan pada
sensitifitas dibandingkan spesifitas.
Tabel 2. Klasifikasi Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung
Reumatik WHO 2002-2003

KLASIFIKASI
GRU
P
A Demam rematik serangan pertama: 2 kriteria major atau 1 kriteria major
dan 2 minor + Streptokokus B hemolitikus grup A bukti infeksi
sebelumnya.

B Demam reumatik serangan rekuren tanpa penyakit jantung reumatik: 2


major atau major dan 2 minor + bukti Streptokokus B hemolitikus grup A
sebelumnya.

C Demam reumatik serangan rekuren dengan penyakit jantung reumatik: 2


minor + bukti Streptokokus B hemolitikus grup A sebelumnya
D Chorea Syndenham tidak perlu criteria major lainnya atau bukti
Streptokokus B hemolitikus grup A

E Penyakit jantung reumatik (stenosis mitral murni atau kombinasi dengan


insufisiensi dan atau gangguan aorta) tidak perlu criteria lain.

a. Pemeriksaan Laboratorium
 Kultur tenggorokan merupakan gold standard untuk konfirmasi infeksi
strptokokus grup A.

 Pemeriksaan antigen cepat tidak sesenstif kultur tenggorokan, sehingga


apabila hasilnya negatif tetap perlu dilakukan kultur tenggorokan.
Dengan spersifitasnya yang tinggi apabila hasil pemeriksaan antigennya
positif merupakan konfirmasi infeksi streptokokus grup A. Pemeriksaan
titer antibodi menggunakan antistreptolisin O (ASO), antistreptococcal
DNAse B (ADB) dan antistreptococcal hyaluronidase (AH). i) ASO
untuk mendeteksi antibodi streptokokus terhadap streptokokus lysin O,
peningkatan titer 2 kali lipat menunjukkan bukti infeksi terdahulu. ii)
Pemeriksaan antibodi ini harus berhati hati pada daerah dengan infeksi
streptokokus yang tinggi, karena kadar titer yang tinggi secara umum
pada populasi tersebut.
 Reaktan fase akut : C reactive protein (CRP) dan lanju endap darah
akan meningkat pada DRAakut, merupakan kriteria minor dari jones.
 Kultur darah berguna untuk menyingkirkan infektif endokarditis,
bakteremia dan infeksi gonokokus.

b. Foto toraks

Pada pasien karditis dan gagal jantung foto thorak akan timbul kardiomegali

c. Elektrokardiografi

Kelainan yang terpenting adalah PR interval memanjang ( kriteria minor


jones) tetapi bukan bukti adanya karditis. Kelainan lain yang bisa muncul : Blok
derajat 2 dan 3 Pada penderita penyakit jantung rematik kronis bisa ditemukan
pembesaran atrium kiri akibat dari mitral stenosis.
d. Ekokardiografi

Penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung tentang peranan


ekokardiografi dalam mendiagnosis DRA menunjukkan menunjukkan sensitifitas
dan spesifisitas ekokardiografi ditemukan 89,4% dan 38,7% .Sehingga
ekokardiografi dapat disarankan untuk dimasukkan dalam algoritma DRA.
ekokardiografi dapat disarankan dimasukkan dalam algoritma diagnosa DRA
dengan menambahkan pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan kriteria
mayor karditis.

h. Pengobatan

Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi:

 Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan


endokarditis pada pasien dengan kelainan katup.
 Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap.
Ekokardiografi untuk evaluasi jantung.
 Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi
pasien dengan alergi penisilin. Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari
dilanjutkan dengan pencegahan sekunder. Cara pencegahan sekunder yang
diajukan oleh The American Heart Association dan WHO, yaitu mencegah
infeksi streptokokus.
a. Pencegahan primer

Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta hemolyticus group A selama 10


hari atau benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta unit IM
b. Pencegahan sekunder

Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60 pound), 1,2


juta U untuk berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari
Pilihan lain: Penisilin V p.o.125–250mg 2 kali sehari Sulfadiazin 1 g p.o. sekali
sehari Eritromisin --250 mg p.o. 2 kali sehari Diberikan pada demam reumatik
akut, termasuk korea tanpa penyakit jantung reumatik.
Tabel 3 . Lama pencegahan Demam Reumatik

Kategori pasien Durasi


Demam rematik tanpa karditis Sedikitnya sampai 5 tahun setelah
serangan terakhir atau hingga usia 18
tahun

Demam rematik dengan karditis tanpa Sedikitnya sampai 10 tahun setelah


bukti adanya penyakitjantung serangan terakhir atau hingga usia 25
residual/kelainan katup tahun, dipilih jangka waktu yang
terlama
Demam reumatik akut dengan karditis Sedikitnya 10 tahun sejak episode
dan penyakit jantung residual (kelainan terakhir atau sedikitnya hingga
katup persisten) usia 40 tahun, dan kadang- kadang
seumur hidup

Setelah operasi Seumur hidup

 Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.


 Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:

Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari


sampai 2 minggu, kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4-6 dosis selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis.
Bila ada perbaikan, dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu
berikutnya. Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan
prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan selama 2-6 minggu.

i. Prognosis

Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat


keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat,
komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%)
namun masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain
menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi
kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan
demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi
penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin
yaitu hanya sebesar 9-39%.10

B. VENTRIKULAR SEPTAL DEFECT


a. Definisi
Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel adalah defek
yang terjadi pada septum ventricularis, dinding yang memisahkan ventriculus dextra
dengan sinistra. Defek ini muncul secara kongenital akibat septum interventriculare
tidak menutup dengan sempurna selama perkembangan embrio. Defek ini
menyebabkan aliran darah dari ventriculus sinistra akan masuk ke dalam
ventriculus dextra. Darah yang kaya akan oksigen akan dipompa ke paru- paru yang
menyebabkan jantung bekerja lebih berat.

b. Klasifikasi Defek Septum Ventriculare

Meskipun klasifikasi dari VSD ditemukan sangat banyak, yang dipakai


adalah klasifikasi dari Jacobs et al., 2000. Klasifikasi ini berdasarkan lokasi VSD di
septum interventricularis pada permukaan ventriculus dextra
1. Tipe 1: disebut juga subarterial, supracristal, conal septal defect dan
infundibular. Tipe ini banyak ditemukan pada orang Asia berkisari 5-7%
berkaitan dengan valvula aorta
2. Tipe 2: disebut juga perimembranosus, paramembranosus, conoventricularis,
defek septal membranosus, dan sub aortic. Paling sering ditemukan berkisar
70%
3. Tipe 3: disebut juga tipe inlet dan tipe AV canal. Ditemukan berkisar 5%,
umumnya berkaitan dengan kejadian defek septum atrioventricularis
4. Tipe 4: dikenal juga dengan nama tipe muskular. Lokasi defek terletak di pars
muscularis. Ditemukan berkisar 20% dan dibagi lagi berdasarkan lokasinya
menjadi anterior, apical, posterior dan mid
5. Tipe gerbode: dikenal dengan nama adanya shunting dari venticulus dextra
menuju ke atrium dextra karena tidak adanya septum atrioventricularis
Gambar : Klasifikasi Defek Septum Ventrikel

c. Patofisiologi
Perubahan fisiologis yang terjadi akibat adanya defek di septum
ventriculare adalah tergantung ukuran defek dan tahanan vaskular paru. Aliran
darah ke paru-paru akan meningkat setelah kelahiran sebagai respon menurunnya
tahanan vskular paru akibat mengembangnya paru-paru dan terpaparnya alveoli
oleh oksigen. Jika defeknya berukuran besar, aliran darah ke paru-paru akan
meningkat dibandingkan aliran darah sistemik diikuti regresi sel otot polos arteri
intrapulmonalis. Perubahan ini berhubungan dengan munculnya gejala setelah
kelahiran bayi aterm berumur 4-6 minggu atau awal dua minggu pertama pada
kelahiran bayi premature.

Darah di ventriculus dextra didorong ke arteria pulmonalis, resistensi


relatif antara dua sirkulasi bersifat dinamis dan berubah dengan waktu:

1. Periode neonatus:

a. Tahanan vaskular paru tinggi

b. Tahanan ventriculus sinistra sama dengan ventriculus dextra

c. Minimal atau tidak ada shunt

2. Bayi (3-4 minggu):

a. Tahanan vaskular paru menurun

b. Tahanan ventriculus sinistra lebih besar dibandingkan tahan


ventriculus dextra
c. Adanya shunt dari kiri ke kanan

Jika defek berukuran kecil, akan terjadi perubahan hemodinamik yang


terbatas, yang juga membatasi terjadinya shunting dari kiri ke kanan. Defek
yang besar akan menyebabkan terjadinya shunting dari kiri ke kanan. Tekanan
pada arteri pumonalis akan meningkat yang menyebabkan terjadinya hipertensi
pulmonal. Meningkatnya tekanan dan volume darah pada arteri pulmonalis akan
menyebabkan kerusakan pada sel endotel dan perubahan permanen pada tahanan
vaskular paru. Jika tahanan vaskular paru melebihi tahan vaskular sistemik maka
akan terjadi perubahan aliran darah dari ventriculus sinistra menuju dextra
melalui defek tersebut.
d. Gejala Klinis

Manifestasi gejala klinis VSD tergantung pada ukuran defek dan


hubungan antara tahanan vascular paru dan sistemik. Gejala klinis biasanya
muncul saat bayi berumur 4-8 minggu, seiring dengan menurunnya tahanan
vaskular paru akibat adanya remodelling arteriol paru.

1. VSD kecil
Biasanya pasien tidak ada keluhan. Bayi biasanya dibawa ke cardiologist
karena ditemukan adanya murmur selama pemeriksaan rutin. Keluhan berupa
gangguan makan dan pertumbuhan tidak ditemukan.
2. VSD sedang
Bayi terlihat berkeringat akibat rangsangan saraf simpatis, terlihat saa
diberi makanan. Terlihat lelah selama makan oleh karena aktifitas makan
memerlukan cardiac output yang tinggi. Adanya tachypnea saat istirahat
ataupun saat makan. Gangguan pertumbuhan bisa juga dijumpai karena
meningkatnya kebutuhan kalori dan kurangnya kemampuan bayi untuk makan
secara adekuat. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan juga bisa
ditemukan
3. VSD besar
Ditemukan gejalan yang sama dengan VSD sedang, tetapi lebih berat.
Pertumbuhan terhambat dan seringnya mengalami infeksi saluran nafas
4. Sindrom Eisenmenger
Saat beraktivitas pasien mengeluh sesak nafas, sianosis, nyeri dada,
sinkop, dan hemoptysis.
e. Diagnosis

Diagnosis VSD ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaa penunjang berupa pemeriksaan radiologi thorax dan
electrokardiogram. Namun ekokardiografi sekarang berperan sangat penting
dalam membantu menegakkan diagnosis. Apa yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik tergantung dari ukuran defek dan perubahan pada tahan
vaskular paru. Pada VSD dengan defek yang besar precordium hiperaktif karena
overloadnya volume dan tekanan pada.
Suara jantung dua terdengar keras akibat penutupan katup aorta dan
pulmonal. Murmur holosistolik yang keras terdengar pada VSD besar. Pada area
mitral ditemukan suara bergemuruh saat diastolik akibat stenosis mitral yang
fungsional. Saat tahanan vaskular paru meiningkat suara jantung kedua
terdengar tunggal dan keras, dan tidak mungkin murmur terdengar. Saat tekanan
ventriculus sinistra lebih besar dibandingkan dextra, suara murmur tergantung
dari besarnya defek. Murmur biasanya terdengar keras dan bergemuruh (thrill)
Pemeriksaan X-Ray sangat membantu mengestimasi aliran darah ke paru-
paru. Jika ditemukan adanya tanda-tanda meningkatnya vaskular paru maka
terjadi left to right shunt. Begitu juga dengan adanya hiperinflasi paru
menunjukkan adanya udara yang terperangkap di saluran nafas bawah juga
menunjukkan adanya left to right shunt yang memerlukan tindakan operasi
segera. Pada pemeriksaan ekokardiogram ditemukan adanya hipertropi pada
ventriculus dextra ataupun sinistra, namun biasanya hipertropi biventricular.
Pemeriksaan ekokoardiografi inilah yang menjadi dasar dalam melakukan
tindakan terapi terhadap pasien-pasien VSD.

f. Penanganan

Jika defek berukuran kecil dan shunting yang terjadi tidak menimbulkan
gangguan hemodinamik disertai gejala apa pun, maka tidak perlu diberikan
terapi khusus. Saat defek tersebut sudah menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan bayi, kesulitan pada waktu makan, berkeringat, tachipnea maka
pemberian diuretik menjadi pilihan pertama dengan terus mengawasi terjadinya
hipokalemia. atau untuk mencegah terjadinya hipokalemia bisa diberikan
diuretik hemat kalium.
Pemberian ACE inhibitor berguna untuk menurunkan afterload jantung
yang berguna menurunkan left to right shunt (Momma, 2006). Digoxin juga
dapat diberikan pada defek yang besar karena memiliki efek inotropik (Kimbal
et al., 1991). Obat seperti milrinon secara intravenus memiliki khasiat
inotropik dan menurunkan afterload jantung. Jika terapi medikamentosa tidak
memberikan banyak perubahan dapat dipertimbangkan terapi dengan teknik
pembedahan.11

C. DEFEK SEPTUM ATRIUM


a. Defenisi
Defek Septum Atrium (DSA) adalah lubang pada sekat antara kedua atrium.
DSA adalah kelainan jantung bawaan yang sering ditemukan. Apabila terdapat DSA
darah mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan melalui lubang. Pirau ini
meningkatkan volume darah dalam atrium kanan yang berarti lebih banyak darah
mengalir ke paru-paru. Apabila dibiarkan tanpa pengobatan DSA dapat menyebabkan
masalah pada masa dewasa. Masalah tersebut termasuk hipertensi pulmonal,gagal
jantung kongestif,aritmia atrial dan risiko stroke meningkat. DSA 2x lebih banyak
pada wanita dibanding pria. Kebanyakan DSA secara sporadis sebagai hasil mutasi
genetik spontan,namun bentuk herediter telah dilaporkan. Defek ekstrakardiak yang
menyertai didapatkan pada 25% bayi, sekitar sepertiganya dengan sindrom herediter
( sindrom Down,sindrom Alagille,sindrom Holt-Oram,sindrom Ellis Van
Creveld,sindrom Noonan).
b. Patofisiologi DSA
DSA kecil menyebabkan pirau kecil dan tidak menyebabkan gangguan
hemodinamik. Defek yang lebih besar menyebabkan pirau besar,menyebabkan
overload di atrium kanan,ventrikel kanan,dan a.pulmonalis. Puncak pirau kiri ke
kanan tergantung ukuran DSA, komplains relative kedua ventrikel, dan resistensi
vaskular paru dan sistemik. Apabila dibiarkan tanpa pengobatan, terjadi hipertensi
pulmonal, gagal jantung kanan, komplains ventrikel kanan menurun dan potensial
terjadi pirau kanan ke kiri. Namun sindrom Eishenmenger berkaitan dengan DSA
jarang pada populasi dewasa (5%).
c. Gejala DSA

Pada kebanyakan anak-anak DSA tanpa gejala. Biasanya asimptomatis pada


umur dekade pertama dan kedua. Defek yang sangat besar dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif dengan gejala sesak napas,mudah lelah, dan pertumbuhan
terganggu. Kadang pasien dewasa menunjukkan gejala emboli paradoksikal,
berdebar karena aritmia supraventrikular,atau infeksi saluran pernapasan berulang.
DSA paling sering terdiagnosis ketika dokter mendengar murmur pada waktu
pemeriksaan fisik rutin. Murmur berasal dari katup pulmonal karena jantung
memompa darah lebih banyak melewati katup pulmonal(stenosis relatif). Bunyi
jantung II split menetap.
d. Diagnosis DSA

Umumnya kecurigaan adanya DSA ketika terdengar murmur pada saat


pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung konsisten dengan overload jantung kanan. Impuls ventrikel
kanan atau a.pulmonal dapat dirasakan dengan palpasi. Bunyi jantung I normal.
Bunyi jantung II terpisah menetap. Terdapat murmur / bising sistolik akibat
meningkatnya aliran melalui katup pulmonal. Pirau melalui DSA tidak
menyebabkan bising. Pada DSA primum dengan cleft mitral bising regurgitasi mitral
dapat terdengar di apeks jantung. Dengan adanya hipertensi pulmonal menyebabkan
penyempitan bunyi jantung II yang terpisah dan peningkatan komponen pulmonal.
Intensitas bising sistolik menurun dan bising diastolic regurgitasi pulmonal dapat
terdengar. Timbulnya pirau kanan ke kiri (sindrom Eishenmenger) menyebabkan
sianosis dan jari tabuh.
 Tes diagnostik
 Elektrokardiogram. Pada DSA sekundum EKG menunjukkan deviasi sumbu
QRS ke kanan dan RBB inkomplit. DSA primum menunjukkan deviasi sumbu
QRS ke kiri dan perlambatan konduksi nodus . DSA sinus venosus
menunjukkan adanya ectopic atrial pacemaker. Dengan adanya hipertensi
pulmonal hipertrofi ventrikel kanan menjadi lebih nyata. Aritmia atrial seperti
fibrilasi atrium, dan takikardia`supraventrikel timbul pada pasien usia decade 30
– 40 an.
 Foto Thoraks. Vaskularisasi paru prominen, pembesaran atrium dan ventrikel
kanan, dan dilatasi a pulmonal adalah gambaran khas pada DSA dengan pirau
hemodinamik bermakna.

 Pencitraan. Gambaran ekokardiografi termasuk pembesaran ruang jantung


kanan dan overload ventrikel kanan. Ekokardiografi transthorasik adalah
pemeriksaan pilihan untuk DSA primum dan sekundum. Identifikasi DSA sinus
venosus biasanya memerlukan ekokardiografi transesofageal (TEE). Evaluasi
lokasi,ukuran,dan arah pirau dapat dilakukan dengan dopler berwarna dan
kontras. Perkiraan tekanan a pulmonalis dan kelainan lain dapat pula
didapatkan. TEE penting dalam pemilihan pasien calon penutupan dengan
amplatzer.
 Kateterisasi jantung. Evaluasi invasive diperlukan apabila hasil pemeriksaaan
nonivasif tidak mencukupi. Dapat ditentukan besarnya pirau /Qp:Qs,
pengukuran tekanan a pulmonalis. Angiografi koroner dianjurkan pada pasien
suspek penyakit a.koroner dan pasien umur > 40 tahun.
e. Tatalaksana
Pada sebagian anak-anak DSA dapat menutup dengan sendirinya. Pada defek
kecil 80% menutup pada umur sebelum 18 bulan. DSA yang tetap ada sampai umur 3
tahun biasanya tidak dapat menutup dengan sendirinya.
 Operasi jantung terbuka
DSA umumnya ditutup dengan cara operasi jantung terbuka. Ahli bedah menutup
secara langsung lubang DSA dengan menjahit lubang..
 Amplatzer Septal Occluder
Banyak DSA dapat ditutup dengan amplatzer septal occluder (ASO) saat
kateterisasi jantung,.tergantung ukuran dan letaknya. Alat ini telah disetujui olh
FDA tahun 2001,dimasukkan melalui kateter. Keuntungan penutupan DSA dengan
amplatzer antara lain jantung tidak diberhentikan/tidak menggunakan mesin
jantung paru,tidak ada trauma psikis berkaitan dengan operasi jantung
terbuka,tidak ada scar operasi.
Algoritma DSA

f. Hasil penutupan DSA

Penutupan DSA secara bedah 99% bebas komplikasi. Angka keberhasilan


penutupan DSA dengan amplatzer juga sangat tinggi walaupun baru beberapa tahun
digunakan. Ukuran jantung kembali normal 4-6 bulan setelah penutupan DSA. Tidak
ada masalah dengan aktivitas, tidak ada pembatasan aktivitas setelah penutupan
DSA. Kontrol teratur setelah penutupan DSA.
g. Prognosis

Penutupan spontan DSA sekundum 40% pada umur sebelum 4 tahun. Pada
beberapa pasien defek mengecil. DSA ukuran < 3 mm dan terdiagnosis sebelum
umur 3 bulan menutup 100% pada umur 1,5 tahun.DSA 3-8 mm 80% menutup
spontan sebelum umur 1,5 tahun. DSA > 8 mm jarang dapat menutup spontan. DSA
besar yang dibiarkan tanpa terapi mengaalami gagal jantung dan hipertensi pulmonal
pada umur 20-30 tahun. Aritmia atrial dan emboli paradoksikal dapat terjadi pada
masa dewasa.

h. Pencegahan

Pencegahan endokarditis tidak diperlukan tanpa adanya prolaps katup mitral


(MVP) atau adanya defek lain yang menyertai. Pada DSA primum diberikan
antibiotika profilaksis. Tidak diperlukan pembatasan aktivitas fisik.12

Gejala dan Rheumatic VSD ASD


Tanda pada Fever
Kasus
Nyeri&bengkak  - -
lutut kiri
Febris  - -
Palpitasi  - -
Takikardi  - -

Asianosis   

Peningkatan   -
akt.ventrikel
kiri
Thrill teraba di   -
apex
Batas jantung   
membesar
Bising systole  - -
diastole p.m di
apex
Bounding a.  - -
femoralis
DVS normal  - -

9. Penatalaksanaan Dari Penyakit Sesuai Dengan Skenario

Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi:

 Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan


endokarditis pada pasien dengan kelainan katup.
 Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap.
Ekokardiografi untuk evaluasi jantung.
 Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien
dengan alergi penisilin. Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan
dengan pencegahan sekunder. Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh The
American Heart Association dan WHO, yaitu mencegah infeksi streptokokus.
b. Pencegahan primer

Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta hemolyticus group A selama 10


hari atau benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta unit IM
c. Pencegahan sekunder

Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60 pound), 1,2


juta U untuk berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari
Pilihan lain: Penisilin V p.o.125–250mg 2 kali sehari Sulfadiazin 1 g p.o. sekali
sehari Eritromisin --250 mg p.o. 2 kali sehari Diberikan pada demam reumatik
akut, termasuk korea tanpa penyakit jantung reumatik.

Tabel 3 . Lama pencegahan Demam Reumatik

Kategori pasien Durasi


Demam rematik tanpa karditis Sedikitnya sampai 5 tahun setelah
serangan terakhir atau hingga usia 18
tahun
Demam rematik dengan karditis tanpa Sedikitnya sampai 10 tahun setelah
bukti adanya penyakitjantung serangan terakhir atau hingga usia 25
residual/kelainan katup tahun, dipilih jangka waktu yang
terlama
Demam reumatik akut dengan karditis Sedikitnya 10 tahun sejak episode
dan penyakit jantung residual (kelainan terakhir atau sedikitnya hingga
katup persisten) usia 40 tahun, dan kadang- kadang
seumur hidup

Setelah operasi Seumur hidup

 Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.

 Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:

Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari


sampai 2 minggu, kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4-6 dosis selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis.
Bila ada perbaikan, dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu
berikutnya. Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan
prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan selama 2-6 minggu.10
10. Komplikasi Dan Prognosis Dari Penyakit Sesuai Dengan Skenario

A. Komplikasi

Penyakit jantung rematik adalah komplikasi terberat dari DRA dan merupakan
Penyebab terbesar dari mitral stenosis dan insufisiensi di dunia. Beberapa variabel
yang Mempengaruhi beratnya kerusakan katub antara lain jumlah serangan DRA
sebelumnya, lama antara onset dengan pemberian terapi, dan jenis kelamin (penyakit
ini lebih berat pada wanita dibandingkan pria). Insufisensi katub akibat DRA akan
sembuh pada 60-80% penderita yang menggunakanprofilaksisantibiotik.13
Berikut ini beberapa komplikasi demam rematik yang bisa dialami
pengidapnya:

Penyakit jantung rematik, kerusakan permanen pada jantung yang disebabkan


oleh demam rematik. Biasanya terjadi 10 hingga 20 tahun setelah penyaki taslinya.
Masalah paling umum terjadi pada katup antara duaruang jantung kiri (katup mitral),
tetapi katup lainnya juga dapat terpengaruh. 
Penyakit jantung rematik ini bisa menyebabkan:

Stenosis katup, penyempitan katup ini mengurangi aliran darah. Regurgitasi


katup, Kebocoran pada katup ini bisa menyebabkan darah mengalir kearah yang salah.
Kerusakan otot jantung. Komplikasi akibat peradangan demam rematik bisa
melemahkan otot jantung, sehingga memengaruhi kemampuannya untuk
memompa.Tak Cuma itu saja, kerusakan pada katup mitral, katupj antung lain atau
jaringan jantung lainnya dapat menyebabkan masalah dengan jantung di
kemudianhari. Misalnya:

 Fibrilasi atrium, serambi (atrium) jantung berdenyut dengan tidak beraturan dan
cepat.

 Gagaljantung, ketidakmampuan jantung untu kmemompa cukup darah keseluru


hanggota tubuh. 

 Aritmia, iramajantung yang abnormal.

 Sydenham chorea, ditandai dengan terjadinya gerakan-gerakan secara spontan


pada beberapa bagian tubuh.14

B. Prognosis

Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat


keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat,
komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun
masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain menurunkan
mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan
berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan demam
reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi penyakit
valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya
sebesar 9-39%.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Premana, Pande Made Indra. 2018. Penyakit Jantung Rematik. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
2. Oswari, H., Djer, M. M., Salamia, N., Soebadi, A., & Puspitasari, H. A. Menuju
diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak
3. Atlas of Adult Physic Diagnostic
4. Sumber:Kamus Dorland dan jurnal infeksi gigi sebagai penyebab bakteremia
pada endokarditis infektif ,vol.6 nomor 2
5. Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan TinggiUniversitas Sebelas
MaretFakultas Kedokteran : Buku Manual Keterampilan KlinikTopikPemeriksaan
Jantung Dan Paru Dasar ,2019
6. Pendidikan Dokter 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret [Internet]. Field Lab & Skills Lab . Surakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret; c2010 ‒ 2012
7. Ahmad H.Asdie. 1981. Berkala ilmu kedokteran Innocent murmur Volume 13
no.2
8. Ryan R, Simon S, Idrus A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Kardiovaskuler.
Dalam: Siti S, dkk, editor. Panduan Sistematis untuk Diagnosis Fisis: Anamnesis
dan Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta: Interrna Publishing, 2013. Hal 112-
113
9. Dewi, Felicia. Diagnosis Demam Rematik pada Anak: Update." Cermin Dunia
Kedokteran 46.11 (2020): 687-690.

10. Fitriany, J.,&Annisa,I.2019.Demam Reumatik Akut.  AVERROUS, 5(2), 11-25.


11. Wardana, I Nyoman Gede.2017. Ventricular Septal Defect. Denpasar :
Universitas Udayana.
12. Modul Defek Septum Atrium. Universitas Airlangga
13. Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD,
Editor. 2007, Saunders Elsevier: Philadelphia
14. Mayo Clinic (Diakses pada 2019). Rheumatic fever National Health Service UK
(Diakses pada 2019). Health A-Z. Rheumatic Fever.
15. FK Unair. 2017. Penuntun Belajar Ilmu Kesehatan Anak

Anda mungkin juga menyukai