Anda di halaman 1dari 125

LAPORAN TUTORIAL KARDIOVASKULAR

MODUL 1
“`NYERI DADA”

Tutor :dr.Fatimah

KELOMPOK VIII

1. Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)


2. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
3. Mega Rahmawati Maulana (K1A1 17 013)
4. Ririn Apriani Pertiwi (K1A1 19 025)
5. Chesy (K1A1 19 037)
6. Kukuh Endro Rinekso (K1A1 19 048)
7. Nur Faizah (K1A1 19 058)
8. Wa Ode Viviansira (K1A1 19 068)
9. Andi Wilda Meutia Saydiman (K1A1 19 080)
10.Kartika Eka Putri (K1A1 19 091)
11.Nur Rizky Amalia Annisa (K1A1 19 103)
12.Wahyuni Ahda (K1A1 19 115)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
LAPORAN TUTORIAL 2020
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : NYERI DADA
Nama Anggota Kelompok :

1. Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)


2. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
3. Mega Rahmawati Maulana (K1A1 17 013)
4. Ririn Apriani Pertiwi (K1A1 19 025)
5. Chesy (K1A1 19 037)
6. Kukuh Endro Rinekso (K1A1 19 048)
7. Nur Faizah (K1A1 19 058)
8. Wa Ode Viviansira (K1A1 19 068)
9. Andi Wilda Meutia Saydiman (K1A1 19 080)
10.Kartika Eka Putri (K1A1 19 091)
11.Nur Rizky Amalia Annisa (K1A1 19 103)
12.Wahyuni Ahda (K1A1 19 115)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari,16 Desember 2020


Dosen Pembimbing

dr.Fatimah
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing
Tutorial Modul 1 Lemah Separuh Badan. Taklupa pula kami sampaikan rasa terimakasih kami
kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam
menyelesaikan laporan hasil tutorial Hemispharese.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari
bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan
laporan yang kami susun ini.

Kendari, 16 Desember 2020

Kelompok VIII
MODUL 1

NYERI DADA

A.SKENARIO

Seorang pengemudi bus 60 tahun dibawah keruang gawat darurat dengan


keluhan nyeri yang meleati dinding dada yang berat dan menyebar ke lengan. Sebelumnya
dia merasa sehat, walaupun dia merokok 10 batang tiap hari.Pada pemeriksaan nampak dia
terlihat pucat, dengan kulit dingin dan berkeringat. Nadinya lemah, dengan sekali-kali
ekstrasistol (denyut ventrikuler ektopik). Tekanan darah arterial 90/75 mmHg. Bunyi
jantung normal. Pada EKG diperoleh gelombang Q besar dan elevasi segmen ST. Dia
dimasukkan ke RS dengan diagnosa kerja infark miokard karena trombosis arteri koroner.
Analisa plasma memperlihatkan peningkatan enzim jantung (laktat dehidroginase. Kretinin
fosfokinase, aspartartat aminotransferase).Dia telah diberikan oksigen dan morfin. Infus
streptokinase telah disiapkan untuk melisiskan trombus koroner dan dia juga telah memulai
reguler aspirin dosis rendah.

B.KATA SULIT :

1.Ekstrasistol adalah adanya fase istirahat saat pengisian ventrikel.


2.Infark Miokard adalah matinya jaringan akibat kekurangan suplai Oksigen.
3.Trombosis arteri koroner adalah plaq atherosclerosis yang terlepas akan meninggalkan lesi
yang nantinya akan ditutupi trombus.

C.KATA KUNCI
1. Laki-laki umur 60 tahun
2.Nyeri dada yang berat dan menyebar ke lengan
3.Kebiasaan merokok 10 batang tiap hari
4.Pemeriksaan fisik yang didapatkan :
-Pucat
-Kulit dingin dan berkeringat
-Nadinya lemah, dengan sekali – kali ekstrasistol
-Tekanan darah arterial 90/75 mmHg
-Bunyi jantung normal
5.Pemeriksaan EKG diperoleh gelombang Q besar dan elevasi segmen ST
6.Pemeriksaan laboratorium analisa plasma peningkatan enzim jantung (laktat
dehidroginase. Kretinin fosfokinase, aspartartat aminotransferase)
7.Diagnosa kerja infark miokard karena thrombosis arteri coroner
8.Terapi yang telah diberikan oksigen, morfin, dan infus streptokinase untuk melisiskan
thrombus.
9.Telah diberikan regular aspirin dosis rendah

D.PERTANYAAN
1.Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi jantung dan arteri coroner?
2.Bagaimana patomekanisme nyeri dada dan mekanisme penjalarannya dan jelaskan
perbedaan nyeri dada kardiovaskuler dan bukan kardiovaskuler!
3.Bagaimana patogenesis aterosklerosis dan thrombosis arteri koroner?
4.Jelaskan patomekanisme dari pucat, kulit dingin, dan berkeringat!
5.Mengapa pemberian aspirin dimulai dari dosis rendah ?
6.Apa saja keadaan yang menyebabkan syok kardiogenik dan bagaimana penanganan awal
yang dapat dilakukan pada syok kardiogenik?
7.Bagaimana anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang terkait skenario?
8.Jelaskan DD dan DS terkait skenario!
9.Bagaimana penatalaksanaan,Komplikasi dan prognosis, serta pencegahan dari diagnosis
sementara?

E.PEMBAHASAN
1.Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi jantung dan arteri coroner
a.Anatomi kardiovaskular
Jantung terletak dalam ruang mediastinum inferius rongga dada. Dibungkus oleh
perikardium yang terdiri dari dua lapisan yaitu pericardium visceralis dan pericardium
parietalis. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh cairan pelumas untuk menghindari gesekan.

Jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah berupa otot
disebut miokardium, dan lapisan endotel yaitu endokardium.
Ruang jantung dibagi atas 4 bagian yaitu atrium kanan dan ventrikel kanan serta atrium kiri
dan ventrikel kiri. Masing-masing ruang dibatasi oleh septum dan katup.
Jantung terletak pada :
I. Tepi kiri atas terdapat pada ICS II pada lateral sternum.
II. Tepi kiri bawah terdapat pada ICS V di media linea midclavicula sinistra
III.Tepi kanan atas terdapat pada ICS III pada tepi lateral sternum.
IV.Tepi kanan bawah terdapat pada ICS VI pada tepi lateral sternum.

Innervasi jantung
Innervasi cor dibagi menjadi innervasi intrinsik, yaitu sistem konduksi jantung berupa nodus
sinoatrialis, nodus atrioventrikularis dan fasciculus atrioventrikularis dan innervasi extrinsik
yang dibentuk oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut-serabut simpatis berasal dari dua sumber, yaitu secara langsung berasal dari
ganglion paravertebrale thoracal 1-5, disebut rami mediastinales, dan secara tidak langsung dari
ganglion cervicale. Ganglion cervicale adalah ganglion paravertebrale yang merupakan bagian
dari truncus symphaticu, terdiri dari ganglion cervicale superius, ganglion cervicale medium, dan
ganglion cervicale inferius (= ganglion cervicothoracicum.).
Serabut-serabut saraf parasimpatis berasal dari nervus vagus, sebagai berikut :
I. Ramus cardiacus superius yang dipercabangkan tepat setelah N.Vagus mempercabangkan
nervus laryngeus superoir ;
II. Ramus cardiacus inferius yang dipercabangkan sewaktu N.Vagus mempercabangkan
nervus recurrens

III.Ramus cardiacothoracalis yang dipercabangkan di sebelah caudal nervus recurrens di


dalam cavitas thoracis.

Serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis tersebut diatas membentuk plexus cardiacus,
terdiri dari :

I. Plexus cardiacus superficialis, yang terletak pada pangkal aorta di bagian konkaf dari
arcus aorta, agak ke kanan dari ligamentum arteriosum Botalli. Menerima serabut-serabut
saraf parasimpatis dari ramus cardiacus inferius sinister, dan menerima serabut saraf
simpatis dari nervus cardiacus superius sinister. Dari plexus ini dipercabangkan cabang-
cabang yang menuju ke plexus cardiacus profundus sinister dan plexus cardiacus
profundus dexter, plexus coronarius dexter dan plexus pulmonalis anterior sinister.
II. Plexus cardiacus profundus, yang terletak pada pangkal aorta di sebelah dorsal, yaitu
berada di sebelah ventral bifurcatio trachea, di sebelah cranial bifurcatio arteria
pulmonalis, di sebelah postero-medial arcus aorta. Plexus ini terdiri dari plexus cardiacus
profundus dexter dan plexus cardiacus profundus sinister.
Plexus cardiacus profundus dexter menerima serabut-serabut saraf simpatis melalui nervus
cardiacus dexter, nervus cardiacus medius dexter, nervus cardiacus inferius dexter dan
ramimediastinales 1-5 dextra. Menerima serabut saraf parasimpatis melalui ramus cardiacus
superius dexter yang berjalan mengikuti arteri carotis communis dexter, arteria anonyma, dan
tiba di sebelah dorsal arcus aorta; selain itu menerima juga ramus cardiacus inferius dexter dan
ramus cardiacothoracalis dexter. Dari plexus cardiacus profundus dexter dipercabangkan cabang-
cabang yang menuju ke plexus coronarius sinister dan plexus coronarius dexter, plexus
pulmonalis anterior dexter, dan cabang-cabang yang menuju ke atrium dextrum.
Plexus cardiacus profundus sinister menerima serabut-serabut saraf simpatis melalui nervus
cardiacus medius sinister, nervus cardiacus inferius sinister, rami mediatinales sinister 1-5, dan
menerima serabut parasimpatis melalui ramus cardiacus superius sinister. Dari plexus ini
dipercabangkan cabang-cabang yang menuju ke plexus coronarius sinister, plexus pulmonalis
anterior sinister, serta cabang-cabang yang menuju dinding atrium sinistrum.
Plexus coronarius dexter berada di dalam sulcus coronarius dan mengikuti arteria coronaria
dextra, mempersarafi arteria coronaria dextra, atrium dextrum dan ventriculus dexter.
Plexus coronarius sinister berada di dalam sulcus longitudinalis anterior dan mengikuti
arteria coronaria sinistra, mempersarafi arteria coronaria sinistra, atrium dextrum dan ventriculus
sinister.
Catatan
I. Nervus cardiacus superius hanya mengandung serabut efferent saja;
II. Saraf parasimpatis berfungsi menghambat denyut jantung (cardiac inhibitory) dan
kontraksi arteria coronaria; serabut efferent preganglionic berganti neuron pada ganglion
cardiacus Wrisbergi dan pada cor sendiri (ganglion intrinsik). Serabut afferent dari cor,
dari aorta ascendens dan dari pembuluh vena besar berperan dalam reflex yang menekan
denyut jantung (badan sel dari serabut ini tedapat pada ganglion inferius dari nervus
vagus)
III. Saraf simpatis befungsi mempercepat denyut jantung (cardiac accelerator) dan
dilatasi arteria coronaria. Badan sel dari saraf ini berada pada ganglion cervicalis dan
ganglion paravertebrale thoracalis 1-5. Selain itu serabut-serabut afferent membawa juga
stimulus sakit dari jantung dan aorta, dimana badan sel dari serabut-serabut ini berada
pada ganglin spinale.

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah otot jantung berasal dari 2 pembuluh koroner utama yang keluar dari sinus
valsava aorta. Pembuluh koroner pertama adalah ateri koroner 10 kiri atau Left Main Coronary
Artery (LMCA) yang berjalan di belakang arteri pulmonal sepanjang 1-2 cm untuk kemudian
bercabang menjadi Left Circumflex Artery (LCX) yang berjalan pada sulkus artrio-ventrikuler
mengelilingi permukaan posterior jantung dan arteri desenden anterior kiri atau Left Anterior
Descendent Artery (LAD) yang berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks. Pembuluh
darah ini juga bercabang-cabang mendarahi daerah diantara kedua sulkus tersebut. Pembuluh
koroner kedua, disebut sebagai arteri koroner kanan, mendarahi nodus sino-atrial dan nodus
atrio-entrikuler melalui kedua percabangannya yaitu, arteri atrium anterior kanan dan arteri
koroner desenden posterior. Fungsi pembuluh vena jantung diperankan oleh vena koroner yang
selaluberjalan berdampingan dengan arteri koroner, yang kemudian akan bermuara ke dalam
atrium kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat pula vena thebesii, yaitu vena-vena
kecil yang langsung bermuara ke dalam arterium kanan.

Jantung mempunyai empat ruangan.Dua ruangan penerima di bagian superior adalah


atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior adalah ventrikel. Atrium kanan
membentuk batas kanan dari jantung dan menerima darah dari vena kava superior di bagian
posterior atas, vena kava inferior, dan sinus koroner di bagian lebih bawah. Atrium kanan ini
memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat
berbeda, dinding posteriornya halus, sedangkan dinding anteriornya kasar karena adanya
bubungan otot yang disebut pectinate muscles.Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yang
dinamakan septum interatrial.Darah mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati
suatu katup yang dinamakan katup trikuspid atau katup atrioventrikular (AV) kanan.

Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan ketebalan sekitar 4 – 5 mm


(0,16 – 0,2 in.) dan bagian dalamnya dijumpai bubungan - bubungan yang dibentuk oleh
peninggian serat otot jantung yang disebut trabeculae carneae. Ventrikel kanan dan ventrikel
kiri dipisahkan oleh septum interventrikular.Darah mengalir dari ventrikel kanan melewati katup
pulmonal ke arteri besar yang dinamakan trunkus pulmonal.Darah dari trunkus pulmonal
kemudian dibawa ke paru – paru. Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan
atrium kanan dan membentuk hampir keseluruhan pangkal dari jantung. Darah dari atrium kiri
mengalir ke ventrikel kiri melewati katup bikuspid (mitral) atau katup AV kiri. Ventrikel kiri
merupakan bagian tertebal dari jantung, ketebalan sekitar 10 – 15 mm (0,4 – 0,6 in.) dan
membentuk apeks dari jantung. Sama dengan ventrikel kanan, ventrikel kiri mempunyai
trabeculae carneae dan chordae tendineae yang menempel pada muskulus papilaris. Darah dari
ventrikel kiri ini akan melewati katup aorta ke ascending aorta. Sebagian darah akan
mengalir ke arteri koroner dan membawa darah ke dinding jantung.

Sumber : Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23, EGC,
Jakarta
a. Histologi jantung
Secara histologi jantung dibagi menjadi tiga lapisan yaitu endocardium, miocardium, dan
epicardium.

Endokardium : terdapat perbedaan ketebalan antar atrium dan ventrikel. Pada atrium
endocardiumnya tebal sedang di ventrikel tipis. Lapisannya terdiri dari endotel, subendotel,
elastikomuskuler, dan subendokardial.
Miocardium : merupakan bagian paling tebal dari dinding jantung yang terdiri dari lapisan
otot jantung. Atrium tipis ventrikel tebal. Ventrikel kanan < ventrikel kiri. Terdapat diskus
interkalaris : Fascia adheren dan Gap junction.
Epicardium : merupakan lapisan luar jantung yang terdiri dari jaringan ikat fibroelastis dan
mesotel. Epicardium terdiri dari pericardium, kavum pericard, pericardium viseralis dan
pericardium parietalis.

Sumber : Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

b. Fisiologi kardiovaskular
Setiap siklus jantung terdiri dari peristia listrik dan mekanik yang saling terkait. Gelombang
rangsangan listrik dimulai dari nodus SA melalui sistem konduksi menuju miokard untuk
merangsang kontraksi otot. Rangsangan ini disebut depolarisasi dan pemulihan kembali disebut
repolarisasi.
Kontraksi otot miokardium menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan
sistemik. Volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit disebut curah jantung. Curah
jantung rata-rata adalah 5L/menit.

Sumber : Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

ARTERI CORONARIA

Cabang-cabang penting dari ArteriCoronaria Kanan {A, coronaria dextra}

 R. coni arterios
 R. nodi sinuatrialis {dua pertiga darikeseluruhan kasus): ke nodus SA
 R. Marginalis dexter
 R. posterolateralis dexter
 R. nodi atrioventricularis: ke nodus AV(jika "dominan-kanan")
 R. interventricularis posterior (jika"dominan-kanan") bersama denganRr.
interventricularis septales,menyuplai berkas HlS.

Cabang-cabang penting dari ArteriCoronaria kiri{A,coranaria sinistra}

 R. interventricularis anterior:
 R. coni arterios
 R. lateralis (istilah klinis: R. diagonalis)
 Rr. interventriculares septales
 R. circumflexus:
 R. nodi sinuatrialis {sepertiga darisemua kasus): ke nodus SA
 R. marginalis sinister
 R. posterior ventriculi sinistri

Dominansi arteri coronaria

 Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;dilihat dari kaudal.

a. Tipe perfusi seimbang atau ko-dominan: Arteri coronaria sinistra menyuplai dua
pertiga bagian anterior septum melalui Rr. interventriculares septales dari R.
interventricularis anterier (R. descedens anterior sinistra, left anterior descending (LAD),
cabang yang sama yang berasal dari R. interventricularis posterior A.coronaria dextra
menyuplai sepertiga posterior septum.
 Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;
dilihat dari kaudal.

b. Tipe perfusi dominan-kiri: A. coronaria sinistra menyuplai seluruh septum dan nodus
AV

 Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;
dilihat dari kaudal.

c. Tipe perfusi dominan-kanan: Dua pertiga septum dan area besar di bagian posterior
ventrikel kiri disuplai oleh A. coronaria dextra.

Tipe perfusi mempunyai efek terhadap derajat keparahan infark miokard yang disebabkan oklusi
salah satu arteri coronaria.

a. Oklusi terisolasi pada R. interventricularis anterior (R. Descedens anterior sinistra, left
anterior descending (LAD)) menyebabkan infark miokard anterior.
b. Oklusi distal pada R. interventricularis anterior menyebabkan infark miokard di apeks
jantung, sering disebut sebagai infark apikal.

c. Jika hanya R. lateralis yang tersumbat, maka infark miokard terbatas pada dinding lateral
ventrikel.

d. Oklusi pada interventricularis posterior menyebabkan infark miokard posterior. (posterior


myocard infarction, PMI) di Facies diaphragmatica.
Sumber : Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23, EGC,
Jakarta

Histologi arteri
a. Arteri besar
Arteri besar mencakup aorta beserat cabang-cabang besanya. Warnanya kekuningan
karena banyak elastis di bagian medianya.

1. Tunka intima
 Lebih tebal daripada tunika intima di arteri sedang
 Endotel berbentuk poligonal
 Jaringan subendotel terdiri atas serabut kolagen dan otot polos yang
berjalan longitudinal
2. Tunika media
Tersusun dari lembaran-lembaran jaringan elastis yang tersusun konsntris,
diantaranya terdapat otot polos fibrosit dan serabut kolagen
3. Tunika adventitia
Merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan pengikat longgar. Terdapat
vasa vasorum yang bisa sampai pada tunika media.

b. Arteri sedang (muskular)


Arteri muskular dapat mengedalikan banyaknya darah yang menuju organ dengan
mengkontraksi atau merelaksasi sel-sel otot polos tunika media.
1. Tunika intima
Memiliki subendotel lebih tebal daripada arteri besar. Lamina elastika
interna (komponen terluar intima, tampak jelas)
2. Tunika media
Terdiri atas lapisan-lapisan sel otot polos sampai 40 lapisan. Lamina
elastika eksterna, yaitu komponen terakhir dari tunika media, hanya
terdapat pada arteri muskular yang lebih besar.
3. Tunika adventitia
Terdiri atas jaringan ikat, kapiler limfe, vasa vasorum dan saraf, dan
struktur ini dapat masuk smpai tunika media bagian luar

c. Arteri kecil
Umumnya berdiameter kurang dari 0,5 mm dan memiliki lumen yang relatif sempit.
Tidak terdapat tunika intima, tunika elastika interna maupun eksterna. Dan tunika
media umumnya terdiri atas satu dua lapis sel otot polos yang melingkar. Sedangkan
tunika adventitianya sangat tipis.
Sumber : Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Mekanisme aliran darah jantung:


 Sirkulasi Paru-Paru
Mulai dariventrikelkananarteri pulmonalis  arteriolekapiler venule 
vena pulmonalis  atrium kiri
 SirkulasiSistemik
Mulai dari ventrikel kiri Aorta arteri besararteriole kapiler venule 
vena besar vena cava superior & inferior  atrium kanan
1) Siklus jantung

Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan
diastole (relaksasi dan pengisian jantung).Atrium dan ventrikel mengalami siklus
sistol dan diastole yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
keseluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.

Selama diastole ventrikel dini,atrium juga masih berada dalam keadaan


diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium,
tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut
melemas. Karena perbedaan tekanan ini,katup AV terbuka, dan darah mengalir
langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastole ventrikel. Akhirnya,
volume ventrikel perlahan–lahan meningkat bahkan sebelum atrium berkontraksi.
Pada akhir diastole ventrikel,nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan
membentuk potensial aksi.Impuls menyebar keseluruh atrium dan menimbulkan
kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan
system penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel
dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang
terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup.

Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah


menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat. Sampai tekanan tersebut cukup
untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal). Dengan demikian, terdapat
periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta.
Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel
selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik.
Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan
melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera
terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi
relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan
tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke ventrikel
sehingga terjadi penutupan katup semilunar. Tidak ada lagi darah yang keluar dari
ventrikel selama siklus ini,namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel
masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi
tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.

2) Curah jantung dan kontrolnya

Curah jantung (cardiacoutput) adalah volume darah yang dipompa oleh


tiap–tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh
jantung).Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui sirkulasi
sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam keadaan
normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut, dapat
terjadi variasi minor. Dua factor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut
jantung (denyut permenit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per
denyut).Kecepatan denyut jantung rata– rata adalah70 kali permenit, yang
ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata–rata adalah70
ml perdenyut,sehingga curah jantung rata– rata adalah 4.900 ml/menit atau
mendekati 5 liter/menit.

Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada


nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena
memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai
ambang,terbentuk potensial aksi yang menyebar keseluruh jantung dan
menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali permenit,
sehingga kecepatan denyut rata–rata adalah70 kali permenit. Jantung di persarafi
oleh kedua divisi system saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta
kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi
atrium, terutama nodus SA dan nodus atrio ventrikel (AV). Pengaruh system saraf
parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung,
sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus
tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di
bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat,waktu antara
kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah.

Sebaliknya, system saraf simpatis,yamg mengontrol kerja jantung pada


situasi–situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung
melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus
SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat
dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AVmengurangi perlambatan nodus AV
dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu,stimulasi simpatis
mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.

Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup.


Terdapat dua jenis control yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontro
lintrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan control
ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua
factor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi otot
jantung. Hubungan langsung antara volume diastolic akhir dan volume sekuncup
membentuk control intrinsic atas volume sekuncup, yang mengacu pada
kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar
pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolic akhir dan jantung semakin
teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal
sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat,
sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume diastolic
akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hokum Frank-Starling pada
jantung.

Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam


keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya, peningkatan
aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup. Tingkat pengisian
diastolic disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan ke
jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan darah diarteri yang harus
diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai afterload karena merupakan beban
kerja yang ditimpakan ke jantung setelah kontraksi di mulai. Selain control intrinsik,
volume sekuncup juga menjadi subjek bagi control ekstrinsik oleh faktor–factor yang
berasal dari luar jantung, di antaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan
epinefrin.

Sumber:Basri,Iqbal.2015.Buku Ajar Anatomi Biomedik 1.Sulawesi Selatan,Makassar


: Fakultas Kedokteran Hasanuddin.
2.Bagaimana patomekanisme nyeri dada pada scenario dan jelaskan perbedaan nyeri
dada kardiovaskular dan non kardiovaskular

Infark miokard akut terjadi aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. IMA terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, dan jika kondisi
lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi
ruptur yang menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
bahwa plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain
itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factorpada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade
koagulasi dapat dilihat pada gambar di bawah. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.

Nyeri dada menyebar ke lengan

Semua jalur nyeri dari jantung belum di tentukan secara tepat. Fakta-fakta
berikut ini secara umum diterima. Nyeri iskemik yang muncul pada otot jantung
melewati serabut nyeri pada pleksus saraf pada tunika adventisia arteri koroner.
Impuls nyeri dibawa oleh saraf simpatis ke ganglia simpatis segmen thoracal I-IV.
Dari sini, mereka masuk ke segmen yang sesuai dari innervasinya (T. I-IV). Serabut-
serabut saraf ini, mentransmisikan nyeri viseral dari jantung, bergabung dengan
impuls nyeri somatik dari area kulit yang juga di innervasi oleh segmen T. I-IV, yaitu
bagian tengah dan atas dada bagian depan dan bagian tengah lengan menjalar ke
lengan bagian bawah. Hubungan kedua saraf sensorik ini menjelaskan bagaimana
sensasi yang timbul dalam jantung dirasakan oleh pasien di lengan dan dada.

Sumber: Hendriarto, Satoto, H., 2014. Jurnal Coronary Heart Disease Pathophysiology.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Almazini, Prima, dkk. 2015. Penyebab Nyeri Dada Pada Dewasa. Jurnal kardiologi
Indonesia.vol.36.no 4

Nyeri dada merupakan gejala paling umum tanpa bergantung pada lokasi infark. Infark
anterior sering menimbulkan sesak nafas karena gangguan ventrikel kiri. Nervus vagus
mempunyai peran menimbulkan mual dan muntah pada pasien infark inferior. Infark lateral sering
menimbulkan nyeri lengan kiri. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interscapula, perut dan dapat pula ke lengan kanan. Kombinasi nyeri dada
substernal>30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.

Bagaimana perbedaan nyeri dada kardiovaskuler dan bukan kardiovaskuler

Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak dijumpai pada ruang perawatan
akut.Penyebab utama dari nyeri dada akut meliputi: kardiak, gastroesofageal, muskuloskeletal,
pulmonal, dan psikologis. Penyebab kardiak iskemik meliputi penyakit jantung koroner, stenosis
aorta, spasme arteri koroner, dan kardiomiopati hipertrofi.Penyebab kardiak non iskemik
meliputi perikarditis, diseksi aorta, aneurisma aorta, dan prolaps katup mitral.

Perbedaan nyeri dada kardiovaskuler dan bukan kardiovaskuler

Nyeri Iskemik Miokard (nyeri jantung)


Ada dua jenis nyeri dada iskemik: angina dan infark miokard;
Angina tipikal adalah nyeri dada yang berat atau rasa sakit tidak enak di daerah retrosternal,
yang bias menjalar ke leher dan sering disertai rasa berat pada lengan kiri. Beberapa pasien
memiliki gejala tidak khas seperti nyeri di tempat yang tidak umum (misalnya di dada kanan,
gelang dan bahu). Gambaran diagnostic utama adalah adanya hubungan antara nyeri dan
aktivitas. Pada angina murni, dimanapun lokasinya, nyeri biasanya muncul saat aktivitas, dan
berkurang dengan istrirahat < 5 menit. Angina dibagi menjadi stabil, Kresendo (cresendo)
dan tidak stabil. Pada angina stabil, gejalahanya dirasakan saat aktivitas dan segera
berkurang dengan istirahat. Pada angina kresendo, beratnya aktivitas penyebab nyeri
menurun dengan cepat dalam waktu beberapa minggu, walaupun saat istirahat tidak muncul
gejala. Pada angina tidak stabil, gejala muncul tiba-tiba, baik saat aktivitas ringan maupun
saat istirahat. Angina biasanya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, walaupun bias
juga disebabkan oleh stenosis aorta dan jarang hipertensi pulmonal berat. Pada penderita
penyakit jantung koroner, terjadinya angina kresendo atau tidak stabil berarti ada
peningkatan obstruksi koroner, yang biasanya disebabkan oleh pembentukan trombus. Hal itu
berhubungan dengan peningkatan infark miokard yang sangat tinggi.
Nyeri infark miokard (Miocardial Infarction) biasanya muncul berangsur-angsur dalam
beberapa menit. Walaupun mirip dengan angina, nyeri sering terasa sangat berat, bias
berlangsung 20 menit atau lebih serta tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri sering
disertai berkeringat, mual dan muntah dan secara umum gejala ini makin menunjukan bahwa
nyeri yang dirasakan mungkin disebabkan oleh infark miokard, bukan angina.

Diseksi Aorta
Nyeri pada diseksi aorta biasanya tanpa didahui oleh gejala awal dan onsetnya mendadak
(langsung), tidak seperti nyeri MI yang berangsur-angsur dalam hitungan menit, sangat berat
dan dirasakan seperti dirobek-robek. Lokasi nyeri menunjukan tempat diseksi aorta. Maka
pada bentuk klasik diseksi aorta asendens dimulai di dada anterior, terjadi sangat cepat
(kurang dari bebera pamenit), bergerak kearah leher, kemudian ke punggung. Diseksi yang
berasal dari arkus aorta mula-mula dirasakan di leher, dan pada diseksi aorta desendens nyeri
dirasakan di daerah interskapula atau bahu.

Nyeri Pleuritik
Nyeri pleuritik adalah nyeri yang tajam, menjepit, dieksaserbasi oleh respirasi, khususnya
inspirasi dalam. Bila berat, pasien harus bernafas pendek untuk mengurangi nyeri. Ada dua
penyebab;
Nyeri Pleural; merupakan pleuritis yang dirasakan di salah satu sisi dada, tidak
dipengaruhi oleh posisi tubuh. Bisa terdengar pleural rub. Diagnosis ditegakan dengan
menemukan gejala dan tanda lain yang berhubungan. Pleuritis terjadi pada pneumonia
(demam, batuk, takipnea dan pernapasan bronkial), emboli paru (sasak napas, takikardia,
sianosis tanpa pernapasan bronkial) dan pneumotoraks (tidak terdengar suara napas).
Nyeri Perikardial; seperti pleuritis, nyeri pericardial diperberat oleh inspirasi dalam,
namun lokasinya di dada bagian tengah, dipengaruhi oleh posisi tubuh, biasanya lebih berat
bila berbaring, dan berkurang bila duduk. Bisa terdengar pericardial rub pada auskultasi,
yang bias berhubungan dengan posisi, agak terlokalisir atau intermiten. Perikarditis terjadi
pada infeksi virus, pasca infark dan pada penyakit autoimun.

Nyeri Dada muskuloskeletal


Sangat sering dijumpai. Bisa disertai adanya riwayat cidera fisik atau latihan berat,
walaupun cukup jarang. Nyeri dipicu oleh pergerakan lengan/dada, berlangsung berjam-jam.
Walaupun nyeri bias diperberat dengan aktivitas, istirahat tidak segera mengurangi nyeri.
Pada pemeriksaan fisik bias dijumpai nyeri lokal. Diagnosis ini harus dipertimbangkan
segera setelah diagnosis yang lebih serius disingkirkan, karena nyeri dinding dada bias
menyertai penyakit koroner.

Nyeri Gastroesofagus
1. Refluks esofagus, menyebabkan rasa terbakar di retrosternal, berjalan di epigastrium
keatas. Bisa disertai dengan sering bersendawa, odinofagia, atau jika terjadi striktur
disfagia. Refluks khususnya terjadi pada orang dewasa dengan obesitas yang
merokok, sama seperti penyakit koroner.
2. Spasme esofagus, sering diawali dengan refluks esofagus, sulit dibedakan dengan
nyeri jantung, karena menyebabkan perasaan sesak/berat di retrosternal yang bias
menjadi parah. Namun nyeri ini biasanya berkurang dengan pemberian antasida.
Kunci diagnosis nyeri gastrointestinal adalah adanya hubungan dengan makanan,
dan tidak ada hubungan antara onset nyeri dengan aktivitas.

Penyakit Kandung empedu


Kolik empedu klasik dirasakan di epigastrium dan kolesistitis di kuadran kanan
atas abdomen. Namun, penyakit empedu bias juga dirasakan didada dan
disalahartikan sabagai angina. Serangan nyeri tipikal intermiten, tidak berhubungan
dengan aktivitas, dan bias menjadi berat. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
wanita daripada pria. Diagnosis ditegakandengan USG.

Nyeri dada yang terjadi pada scenario timbul apabila terjadi aterosklerosis pada
pembuluh darah, semakin banyak akan menyebabkan rupture pada plak akibatnya terbentuk
trombus. Apabila thrombus ini berkumpul semakin banyak, maka dapat menyebabka
nobstruksi pada arteri koroner. Apabila terjadi obstruksi, maka darah kekurangan suplai
oksigen yang akan menyebabkan iskemik. Iskemik inilah yang akan menimbulkan rasa nyeri
pada daerah dada.
karakteristik cardiac Non cardiac
lokasi Retrosternal, difus Dibawah mamma kiri,
setempat
Penyebaran Lengan kiri, rahang, punggung Lengan kanan
Deskripsi nyeri Nyeri terus-menerus, tajam, Tajam, seperti tertusuk-tusuk,
tertekan, seperti diperas, seperti di sayat
seperti di pijit
Intensitas Ringan sampai berat menyiksa

Lamanya Bermenit-menit, berjam-jam Beberapa detik, berjam-jam,


berhari- hari
Faktorpencetus Aktivitas fisik, emosi, Pernapasan, sikap tubuh,
makanan, suhu dingin pergerakan
Peredah Istirahat, nitrogliserin Tergantung jenis kelainan
Sumber : Jurnal kedokteran yarsi 20 (1) “Mencari penyebab nyeri dada kardiak dan non kardiak”

3.Bagaimana patogenesis aterosklerosis dan thrombosis arteri koroner


a. Patomekanisme atherosclerosis
Teori-teori lama menekankan bahwa terdapat dua hipotesis yang dapat
menerangkan terjadinya aterosklerosis yaitu yang pertama proliferasi sel di dalam intima
dan kedua organisasi serta pembentukan trombi yang berulang-ulang.Namun saat ini
konsep patogenesis dari aterosklerosis yang dianut adalah menggabungkan kedua
hipotesis lama tersebut yang dikenal dengan istilah hipotesis respons terhadap cedera
(Response to injury hypothesis).
Hipotesis respons terhadap cedera menunjukkan bahwa aterosklerosis adalah
suatu respons radang kronik dinding arteri yang dicetuskan oleh cedera endotel yang
kemudian menjadi lesi yang progresif karena interaksi antara lipoprotein termodifikasi,
makrofag, limfosit T dan kandungan seluler normal dinding arteri.Sejumlah pengamatan
pada manusia dan hewan coba mendukung teori hipotesis respons terhadap cedera. Pada
awalnya diusulkan bahwa denudasi endotel adalah langkah pertama pada proses
aterosklerosis, dan hipotesis ini lebih menekankan istilah disfungsi endotel daripada
denudasi endotel. Dalam proses aterosklerosis penyebab-penyebab disfungsi endotel
mencakup peningkatan kadar LDL termodifikasi, radikal bebas yang disebabkan oleh
merokok sigaret, hipertensi, diabetes melitus, faktor genetik, peningkatan konsentrasi
plasma homosistein, infeksi mikroorganisme seperti virus herpes atau chlamydia
pneumoniae, dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dengan kata lain penyebab dari
disfungsi endotel telah tercakup semua pada faktor-faktor resiko aterosklerosis. Hal-hal
utama pada hipotesis respons terhadap cedera dapat dijelaskan berikut ini :
 Perubahan paling awal yang mendahului lesi aterosklerosis berada pada
sel endotel. Umumnya cedera endotel kronik mengakibatkan disfungsi
endotel yang tidak memberikan gejala. Cedera endotel akan menurunkan
produksi nitrik oksida (NO), meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
dan adhesi lekosit, serta berpotensi trombotik. Cedera endotel
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan menjurus pada respons
kompensatorik yang mengubah homeostasis normal sel endotel dan
meningkatkan adhesi leukosit atau trombosit terhadap endotel.
 Akumulasi lipoprotein pada dinding pembuluh darah terutama LDL
dengan kandungan kolesterol tinggi, diikuti oleh modifikasi lipoprotein
pada lesi melalui proses oksidasi. Pada awal proses aterogenesis ekspresi
sel endotel melalui ICAM-I (intercellular adhesion molekul-I) berikatan
dengan macam-macam leukosit. Vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-I) mengikat monosit dan limfosit T. Setelah monosit melekat
pada sel endotel, monosit akan beremigrasi melewati taut antar sel endotel
masuk ke dalam tunika intima dan mengalami trasformasi menjadi
makrofag setelah dirangsang oleh kemokin. Makrofag mencerna
lipoprotein LDL yang teroksidasi membentuk selsel busa. Makrofag
memproduksi interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) yang
meningkatkan adhesi lekosit. Makrofag juga menggerakkan beberapa
kemokin termasuk monocyte chemotactic protein-1 (MCP-I) yang
merekrut lebih banyak lekosit ke dalam bercak ateroma. Oksigen toksik
yang dihasilkan oleh makrofag menyebabkan oksidasi LDL. Partikel LDL
yang tertangkap pada dinding pembuluh darah akan mengalami oksidasi
progresif dan masuk ke dalam makrofag melalui reseptor scavenger pada
permukaan sel membentuk peroksidase lemak dan memudahkan
penimbunan ester kolesterol kemudian membentuk sel busa. Selanjutnya
terjadi pembentukan fatty streak yang terdiri dari monosit lipid laden dan
makrofag yang mencerna LDL yang teroksidasi bersama-sama dengan
limfosit T.
 Cedera endotel juga menginduksi sel endotel yang bersifat prokoagulan
dan membentuk substansi vasoaktif seperti sitokin dan faktor-faktor
pertumbuhan. Proses radang merangsang migrasi dan proliferasi sel otot
polos pembuluh darah membentuk bercak ateroma. Bilamana proses
radang tidak efektif untuk melawan agen penyerang maka respon radang
akan berlangsung terus sehingga akan di-rekrut lebih banyak sel-sel
makrofag, limfosit, dan trombosit, yang beremigrasi dari pembuluh darah
masuk kedalam lesi aterosklerosis. Adhesi trombosit dan pelepasan faktor-
faktor activated platelets, makrofag, atau sel-sel pembuluh darah,
menyebabkan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media masuk ke dalam
tunika intima. Proliferasi sel-sel otot pada tunika intima dan matriks
ekstrasel mengakibatkan akumulasi kolagen dan proteoglikan, mengubah
fatty streak menjadi suatu ateroma fibrofatty yang matang dan menyokong
pertumbuhan lesi aterosklerotik yang progresif.

Fatty streaks yang progresif berkembang menjadi lesi sedang dan lanjut,
kemudian akan membentuk fibrous cap yang berbatasan dengan lumen pembuluh darah.
Fibrous cap menutupi campuran dari lekosit, lemak dan debris seluler yang membentuk
suatu pusat nekrotik. Pusat nekrotik terbentuk sebagai akibat pening-katan aktifitas
platelet derived growth factor (PDGF), transforming growth fac-tor–ß (TGF- ß), IL-1,
TNF-α, osteopontin dan penurunan degradasi jaringan ikat.

Selanjutnya proses aterogenesis dijelaskan secara terperinci meliputi beberapa


aspek dari peranan cedera endotel, radang, lemak, sel-sel otot polos, dan faktor lain
seperti oligoklonal dan infeksi.

Gambar Perubahan-perubahan dinding arteri pada ‘hipotesis respons terhadap


cedera’.1.normal, 2.cedera endotel dengan adhesi monosit dan trombosit, 3.migrasi
monosit dari lumen pembuluh darah dan otot polos tunika media ke tunika intima,
4.proliferasi sel otot polos dalam tunika intima 5.terbentuknya bercak ateroma (Kumar,
Abbas, Fausto, Mitcheel. Robbins Basic Pathology. 2007.)
Gambar.Gambar skematik rangkaian interaksi seluler dari hipotesis respons terhadap
cedera pada aterosklerosis. Hiperlipidemia dan faktor-faktor risiko lain menyebabkan
cedera endotel, adhesi trombosit dan monosit, pelepasan faktor-faktor pertumbuhan
PDGF serta memacu migrasi dan proliferasi sel otot polos. Sel-sel busa pada bercak
ateroma berasal dari sel-sel makrofag dan otot polos – dari makrofag melalui reseptor
very LDL dan modifikasi LDL dikenal oleh scavenger receptors (LDL teroksidasi) dan
otot polos.Lemak ekstrasel berasal dari lumen pembuluh darah terutama pada
hiperkolesterolemia dan degenerasi sel-sel busa.

Sumber : Lintong. Perkembangan Konsep Patogenesis Aterosklerosis. Jurnal Biomedik,


Volume 1, Nomor 1, Maret 2009, hlm. 12-22. Diakses di:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/806/624

b. Patomekanisme Trombosis arteri coroner

Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) didalam


pembuluh darah. Bekuan darah pada keadaan normal terbentuk untuk mencegah
perdarahan. Trombus adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang terbentuk
walaupun tidak ada kebocoran. Trombus merupakan massa seluler yang menjadi satu
oleh jaringan fibrin. Trombus terbagi 3 macam yaitu; merah (trombus koagulasi), putih
(trombus aglutinasi) dan trombus campuran. Trombus merah dimana sel trombosit dan
lekosit tersebar rata dalam suatu massa yang terdiri dari eritrosit dan fibrin, biasanya
terdapat dalam vena. Trombus putih terdiri atas fibrin dan lapisan trombosit, lekosit
dengan sedikit eritrosit, biasanya terdapat dalam arteri. Bentuk yang paling banyak
adalah bentuk campuran. Trombus vena adalah deposit intravaskuler yang tersusun atas
fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan lekosit. (Rizal,
2012)

Berdasarkan teori triad of Virchow`s, terdapat 3 hal yang berperan dalam


patofisiologi trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah,
dan perubahan daya beku darah. Trombosis terjadi bila terdapat gangguan
keseimbangan antara faktor resiko trombosis dan inhibitor thrombosis. (Makin, 2002)

Sel endotel pembuluh darah yang utuh yang bersifat nontrombogenik, sehingga
mencegah trombosit menempel pada permukaannya. Sifat non trombogenik ini akan
hilang bila endotel mengalami kerusakan/terkelupas karena berkurangnya produksi
senyawa antitrombotik dan meningkatnya produksi senyawa protrombotik. Berbagai
senyawa protrombotik yang dilepaskan ini akan mengaktifkan sistem pembekuan darah
dan menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolisis sehingga meningkatkan
kecenderungan untuk terjadi trombosis. Bila kerusakan endotel terjadi sekali dan dalam
waktu singkat, maka lapisan endotel normal akan terbentuk kembali, proliferasi sel otot
polos berkurang dan intima menjadi tipis kembali. Bila kerusakan endotel terjadi
berulang-ulang dan berlangsung lama, maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan
jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan
terbentuk bercak aterosklerosis. Bila bercak aterosklerotik ini robek maka jaringan
yang bersifat trombogenik akan terpapar dan terjadi pembentukan trombus.

Aliran darah yang melambat bahkan stagnasi menyebabkan gangguan


pembersih faktor koagulasi aktif, mencegah bercampurnya faktor koagulasi aktif
dengan penghambatnya, mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang
tidak aktif. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya akumulasi faktor-faktor
pembekuan yang aktif dan dapat merusak dinding pembuluh darah. Stagnasi aliran
darah ini dapat diakibatkan oleh imobilisasi, obstruksi vena dan meningkatnya
viskositas darah.Menurut beberapa peneliti, darah penderita trombosis lebih cepat
membeku dibandingka n orang normal dan pada penderita - penderita tersebut dijumpai
peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, F.V, VII, VIII dan
X. Menurut Schafer penyebab lain yang dapat menimbulkan kecenderungan trombosis
yaitu defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia,
defisiensi F.XII dan kelainan struktur plasminogen. (Karmila, 2010).

Sumber : Makin, A, and Silverman SH, 2002, Peripheral Vascular Disease and Virchow’s
Triad for Thrombogenesis, Q J Med ; 95: 199-210.

Rizal, Anugrah Danang Ifnu, 2012, Pengaruh Pemberian Heparin Intravena


Sebagai Profilaksis Deep Vein Thrombosis Terhadap Kadar Fibrinogen, Karya
Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

4. Jelaskan patomekanisme dari pucat, kulit dingin, dan berkeringat


- Pucat dan kulit dingin.

Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin,
dan vasokontriksi.

Pada sistem kardiovaskuler biasanya ditemukan juga dengan keadaan lesu, cepat lelah, palpitasi
(detak jantung yang semakin cepat), takikardi (kecepatan denyut jantung ),sesak nafas waktu
kerja, angina pectoris (kejang pada jantung), dan gagal jantung. Jaringan memerlukan oksigen
lebih banyak dari pada yang dapat disediakan oleh darah. Pada jaringan yang mengalami
hipoksia. CO2 dan juga asam laktat akan tertimbun. Asidosis setempat ini akan menyebabkan
dilatasi atriol. Akibatnya tahanan arteri akan turun. Aliran darah pada jaringan akan bertambah,
tetapi pada waktu yang bersamaan tekanan darah pada arteri akan turun juga. Jika initerjadi,
maka reflek dari inuskortikus akan segera bekerja dan medulla dari kelenjar adrenal akan
dirangsang untuk mensekresi kotekolamin. Hal ini menyebabkan denyut jantung akan lebih kuat
dan lebih cepat. Penderita ini akan merasa berdebar-debar (palpitasi).
Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi dimana terjadi hipoksia jaringan sebagai akibat dari
menurunnya curah jantung dan ketidak adekuatan perfusi jaringan akibat dari kerusakan fungsi
ventrikel.Gangguan perfusi jaringan dapat mengakibatkan keadaan pucat dan dingin akibat
kekurangan suplay darah.

Keadaan hipoperfusi ini memperburuk penghantaran oksigen dan zat-zat gizi, dan pembuangan
sisa-sisa metabolic pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan menggeser metabolisme dan
jalur oksidatif kejalur anaerobic, yang mengakibatkan pembentukan asam laktat.

- Berkeringat

Akibat stimulasi simpatis mengakibatkan kelenjar keringat. Syok kardiogenik di tandai oleh
gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari
ketidakseimbangan yang terus menerus antara kebutuhan suplai oksigen miokardium. Pembuluh
coroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan aliran darah secara memadai sebagai
respons terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respons
kompensatorik seperti perangsang simpatik.

Sumber : Journal eprints.umm.ac.id. diakses pada tanggal 11 Desember 2020.

5.Mengapa pemberian aspirin dimulai dari dosis rendah

Aspirin, obat antiplatelet yang dikenal dengan sebutan “pengencer darah”, sering
digunakan untuk pencegahan serangan jantung dan stroke. Hal ini akan bermanfaat jika
diberikan pada individu dengan risiko tinggi atau riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah.
Namun, penggunaan aspirin untuk pencegahan serangan jantung pada individu sehat tanpa faktor
risiko jantung dan pembuluh darah tidak dianjurkan, seperti disebutkan pada
berbagai guidelines internasional.

Pada guideline ACC/AHA yang dikeluarkan tahun 2019 untuk Primary Prevention of
Cardiovascular Disease disebutkan bahwa aspirin dosis-rendah (75-100 mg oral harian) dapat
dipertimbangkan sebagai pencegahan primer penyakit kardiovaskuler aterosklerotik
(atherosclerotic cardiovascular disease/ASCVD) pada dewasa berusia 40-70 tahun dengan
risiko ASCVD tinggi namun tanpa peningkatan risiko perdarahan.
Pada awal tahun 2019, New England Journal of Medicine menerbitkan tiga studi
ASPREE mengenai penggunaan aspirin dosis-rendah, dengan insight: pemberian rejimen aspirin
dosis-rendah harian tidak memberikan manfaat kesehatan yang signifikan untuk orang dewasa
sehat, sebaliknya dapat menyebabkan bahaya yang serius. Berikut intisari singkat ketiga studi
tersebut:
▪ Studi pertama merupakan studi acak, tersamar-ganda, terkontrol-plasebo, yang
mengikutsertakan hampir 20.000 orang di Australia dan Amerika Serikat dengan usia median 74
tahun. Semua partisipan terhitung sehat pada saat pendaftaran studi (tanpa riwayat penyakit
jantung, demensia, atau disabilitas fisik persisten). Setengah dari partisipan studi mendapat
aspirin 100 miligram dalam sehari, setengah lainnya menerima plasebo. Endpoint studi ini adalah
gabungan kematian, demensia, atau disabilitas fisik persisten. Setelah hampir 5 tahun, para
peneliti tidak mengamati adanya perbedaan “disability-free survival”di antara kedua kelompok.
Di sisi lain, dijumpai tingkat perdarahan yang lebih tinggi pada kelompok yang menerima aspirin
dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo.
▪ Studi kedua merupakan studi bersamaan studi pertama dengan endpoint perdarahan mayor dan
penyakit kardiovaskuler (didefiniskan sebagai penyakit jantung koroner fatal, infark miokard
non-fatal, stroke fatal atau non-fatal, atau kejadian rawat inap untuk gagal jantung). Hasil studi
ini menunjukkan risiko perdarahan mayor secara signifikan lebih tinggi pada kelompok aspirin
dibandingkan plasebo; kejadian perdarahan mayor utamanya melibatkan perdarahan saluran
cerna dan intrakranial. Selain itu, tidak dijumpai penurunan risiko penyakit jantung yang
signifikan pada kelompok plasebo.
▪ Studi ketiga yang masih merupakan rangkaian dari studi pertama dan kedua menganalisis
perbandingan mortalitas di antara kedua kelompok. Pada hasil studi ini dijumpai mortalitas
semua-penyebab yang lebih tinggi di antara orang dewasa sehat yang mendapat aspirin harian
dibandingkan yang mendapat plasebo dan dikaitkan terutama dengan kematian terkait-kanker.

Penggunaan aspirin dosis-rendah untuk pencegahan serangan jantung dan stroke pada
pasien dengan riwayat serangan jantung atau stroke menunjukkan manfaat konsumsi aspirin
harian melebihi risikonya. The US Preventive Services Task Force merekomendasikan inisiasi
penggunaan aspirin dosis-rendah untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan kanker
kolorektal pada dewasa berusia 50-59 tahun pada individu dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular ≥10%. Sementara penggunaan dosis-rendah harian pada individu sehat tidak
bermanfaat bahkan dapat meningkatkan risiko perdarahan internal dan kematian dini.
Sumber : Arnett DK, Blumenthal RS, Albert MA, Michos ED, Buroker AB, Miedema MD, et al.
2019 ACC/AHA Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease. J Am
Coll Cardiol. 2019 Mar 17.
McNeil JJ, Woods RL, Nelson MR, Reid CM, Kirpach B, Wolfe R, et al.Effect of
Aspirin on Disability-free Survival in the Healthy Elderly. N Engl J Med. 2018.

6.Apa saja keadaan yang menyebabkan syok kardiogenik dan bagaimana penanganan awal
yang dapat dilakukan pada syok kardiogenik

Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung
koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi
etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu, banyak
pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya pemberian
penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada
anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital
dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.

Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan
Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara lain
: (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling
sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah
hipoksemia global, penyakit katup obat-obat yang menekan miokard (penyekat beta, penghambat
gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan
metabolic (asidosis metabolic,hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati
end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas jantung, obat-obatan
yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin). (2)disfungsi diastolik. Hal ini dapat
terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu dapat pula terjadi pada
tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain :
iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang
berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung (3) Peningkatan afterload yang
terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik,
koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat
terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang
disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi otot-otot papilaris,
ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada
keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.

Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain: (1)
peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh darah paru
(hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik,
tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2)
Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara
bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain.
Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau non-
infark miokard seperti berikut ini :
Infark miokard akut
Kegagalan pompa jantung
Infark luas, > 40% ventrikel kiri

Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark sebelumnya
Infark yang meluas
Reinfark
Komplikasi mekanik
Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda tendinea
Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum intraventrikular
Ruptur dinding ventrikel kiri
Tamponade perikard
Infark ventrikel kanan
Kondisi lain
Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
Miokarditis
Syok septik dengan depresi miokard berat
Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
Stenosis mitral
Myxoma atrium kiri
Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
Insufisiensi katup aorta akut
Kontusio miokardial
Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan2

Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak mudah.
Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi penting dalam menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan utama pasien yang masuk adalah nyeri dada,
maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat
dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit
akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan suatu indikasi
untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.

 Tata laksana awal yang dapat diberikan :

Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)

Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi
SwanGanz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan.Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan
hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau
PaO2 <60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi sampai
SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain
itu monitoring tekanan darah juga harus dilakukan.Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok
kardiogenik misalnya dengan riwayat penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian
terapi pengganti cairan harus dipantau dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri
(SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah jantung. Pemberian challenge volume intravaskular
yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum
tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan
fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak dalam keadaan distres pernafasan.Pada beberapa
kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan misalnya pada syok
kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian yang tinggi diperlukan
untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel kanan dapat disangkakan
jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih pada pemeriksaan auskultasi serta
syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak
dijumpai peningkatan tekanan vena jugularis/sentral. Pasien yang datang dengan overload cairan
dan edema paru kardiogenik tanpa adanya hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin,
suplemen oksigen serta vasodilator.

Sumber : Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur
Ginting.Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Fakultas Kedokteran
USU, RSUP H. Adam Malik.Diakses pada tanggal 15 desember 2020.

7.Bagaimana anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang terkait skenario


a. Anamnesis
Menanyakan identitas pasien, keluhan utama, dan melakukan anamnesis terpimpin.
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis dengan
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner
atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat IMA sebelumnya serta faktor-
faktor resiko seperti hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat penyakit
jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi IMA, seperti
aktivitas fisik yang berat, stres emosi, penyakit medis, atau bedah. Walaupun IMA bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada nyeri dada, yang ditentukan adalah Site (lokasi), Onset, Character (tajam,
diremas, ditekan), Radiation (menjalar ke leher, lengan dan rahang?), Association (terkait
dengan rasa mual, pusing, atau palpitasi), Timing (apakah bervariasi waktunya dalam
satu hari?), Exacerbating and relieving factor (faktor pencetus dan pereda: apakah mereda
atau memburuk pada dengan bernafas atau perubahan postur?), Severity (keparahan):
apakah mempengaruhi aktivitas harian atau tidur?. Kita bisa menyingkatnya menjadi
SOCRATES.
Angina dideskripsikan sebagai nyeri yang menjalar ke lengan atau bahu kiri, leher
atau rahang. Nyeri akibat perikarditis bersifat tajam dan hebat, yang diperparah dengan
bernafas dan membaik saat mencondongkan badan ke depan. Berikut adalah perbedaan
nyeri dada pada perikarditis serta infark miokard.

Tabel 1: Perbedaan Nyeri Perikarditis dan Infark Miokard

Karakter Perikarditis Infark Miokard

Tajam, terletak retro-sternal (di


Deskripsi Nyeri diremas-remas, seperti tertekan,
bawah sternum) atau left
nyeri dan nyeri berat.
precordial

Nyeri menyebar ke trapezius atau Nyeri menjalar ke rahang, atau lengan


Radiasi
tidak ada penjalaran kiri atau mungkin tidak menjalar

Usaha
(pengerahan Tidak mengubah nyeri Bisa meningkatkan rasa nyeri
tenaga)

Posisi Nyeri diperburuk pada posisi Tidak terpengaruh posisi


supinasi atau pada saat inspirasi

Tiba-tiba atau perburukan nyeri kronik


Nyeri tiba-tiba, dalam beberapa
yang bisa hilang timbul atau dalam
Onset/durasi jam sampai hari sebelum datang ke
beberapa jam sebelum pasien datang ke
IGD
IGD

b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Umum

1) Pemeriksaan tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu


2) Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis

Pemeriksaan Dada

- Inspeksi
1) Voussure Cardiaque
Merupakan penonjolan setempat yang lebar di daerah precordium, diantara sternum
dan apeks cordis. Kadang-kadang mempelihatkan pulsasi jantung. Adanya voussure
cardiaque menunjukan adanya :
a. Kelainan jantung organis
b. Kelainan jantung yang berlngsung sudah lama
c. Hipertrofi atau dilatasi perifer
2) Ictus
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, seringkali tampak dengan mudah pulsasi
yang disebut ictus cordis pada sela iga V, linea medioclavicularis kiri. Pulsasi ini
letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2cm, dengan
punctum maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu
sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya
pembesaran ventrikel kiri. Pada pericarditis adhesive, ictus keluar terjadi pada waktu
diastolis, dan pada waktu sistolis terjadi retraksi ke dalam. Keadaan ini disebut ictus
kordis negatif.
- Palpasi
Hal-hal yang ditemukan pada inspeksi harus dipalpasi untuk lebih memperjelas
mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat angkat, frekuensi, kualitas dari
pulsasi yang teraba. Pada mitral insufisiensi teraba pulsasi bersifat menggelombang
disebut ”vantricular heaving”. Disamping adanya pulsasi perhatikan adanya getaran
”thrill” yang terasa pada telapak tangan, akibat kelainan katup-katup jantung. Getaran
ini sesuai dengan bising jantung yang kuat pada waktu auskultasi. Tentukan pada fase
apa getaran itu terasa, demikian pula lokasinya.

- Perkusi
Kegunaan perkusi adalah menentukan batas-batas jantung. Pada penderita emfisema
paru terdapat kesukaran perkusi batas-batas jantung.

1) Batas jantung kanan, ada 3 cara menentukan batas jantung kanan yaitu menentukan
batas paru-hati, batas jantung kanan relative, dan batas jantung kanan absolut.
2) Batas jantung kiri, yaitu dengan menentukan batas relative jantung kiri dan batas
absolut jantung kiri.
3) Batas jantung atas, yaitu menentukan garis sternal kiri lalu melakukan perkusi kea
rah kaudal, sampai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Normalnya adalah
pada sela iga II kiri.

- Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi jantung meliputi pemeriksaan :
a. Bunyi jantung
Untuk mendengar bunyi jantung diperhatikan :
1) Lokalisasi dan asal bunyi jantung
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut :
- Ictus cordis untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
- Sela iga II kiri untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup
pulmonal.
- Sela iga III kanan untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari aorta
- Sela iga IV dan V di tepi kanan dan kiri sternum atau ujung sternum untuk
mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal.
2) Menentukan bunyi jantung I dan II

Pada orang sehat dapat didengar 2 macam bunyi jantung :

- Bunyi jantung I, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup mitral dan


trikuspidal. Bunyi ini adalah tanda mulainya fase sistole ventrikel.
- Bunyi jantung II, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup aorta dan pulmonal
dan tanda dimulainya fase diastole ventrikel.
3) Intensitas bunyi dan kualitasnya
- Ada tidaknya unyi jantung III dan bunyi jantung IV
- Irama dan frekuensi bunyi jantung
- Bunyi jantung lain yang menyertai bunyi jantung.
4) Intesitas dan Kualitas Bunyi
Intensitas bunyi jantung sangat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
sebagaiberikut :
- Tebalnya dinding dada
- Adanya cairan dalam rongga pericard
Bunyi jantung I pada umumnya lebih keras dari bunyi jantung II di daerah
apeks jantung

5) Irama dan frekuensi bunyi jantung


Irama dan frekuensi bunyi jantung dibandingkan dengan frekuensi
nadi.Normal irama jantung adalah teratur dan bila tidak teratur disebut
arrhythmia cordis.Frekuensi bunyi jantung harus ditentukan dalam semenit,
kemudian dibandingkan dengan frekuensi nadi. Bila frekuensi nadi dan bunyi
jantung masing-masing lebih dari 100 kali per menit disebut tachycardi dan bila
frekuensi kurang dari 60 kali per menit disebut bradycardia.

b. Bising Jantung (cardiac murmur)


Disebabkan :
1. Aliran darah bertambah cepat
2. Penyempitan di daerah katup atau pembuluh darah
3. Getaran dalam aliran darah oleh pembuluh yang tidak rata
4. Aliran darah dari ruangan yang sempit ke ruangan yang besar
5. Aliran darah dari ruangan yang besar ke ruangan yang sempit
Hal-hal yang harus diperhatikan bila terdengar bising ;
1) Lokalisasi Bising
Tiap-tiap bising mempunyai lokalisasi tertentu, dimana bising itu terdengar
paling keras (punctum maximum). Dengan menetukan punctum maximum dan
penyebaran bising, maka dapat diduga asal bising itu :
- Punctum maximum di apeks cordis, berasal dari katup mitral
- Punctum maximum di sela iga 2 kiri, berasal dari katup pulmonal
- Punctum maximum di sela iga 2 kanan, berasal dari katup aorta
- Punctum maximum pada batas sternum kiri, berasal dari ASD atau VSD.
2) Penjalaran Bising
Bising jantung masih terdengar di daerah yang berdekatan dengan lokasi
dimana bising itu terdengar maksimal, ke suatu arah tertentu, misalnya :

- Bising dari stenosa aorta menjalar ke daerah carotis

- Bising insufiensi aorta menjalar ke daerah batas sternum kiri.

- Bising dari insufisiensi mitral menjalar ke aksilia, punggung dan ke


seluruhprecordium.

- Bising dari stenosis mitral tidak menjalar atau hanya terbatas kesekitarnya.

3) Intensitas Bising

Levine membagi intensitas bising jantung dalam 6 tingkatan :

- Tingkat I : bising yang sangat lemah, hanya terdengar dengan konsentrasi.


- Tingkat II : bising lemah, namun dapat terdengar segera waktu auskultasi.
- Tingkat III : sedang, intensitasnya antara tingkat II dan tingkat IV.
- Tingkat IV : bising sangat keras, sehingga terdengar meskipun stetoskp belum
menempel di dinding dada.
4) Jenis dari Bising
Jenis bising tergantung pada dase bising timbul, bising sistole terdengar dalam
fase sistole (antara bunyi jantung 1 dan bunyijantung 2)

Dikenal 2 macam bising sistole

- Bising sistole tipe ejection, timbul akibat aliran darah yang dipompakan melalui
bagian yang menyempit dan mengisi sebagian fase sistole. Didapatkan pada
stenosis aorta, punctum maximum di daerah aorta.

- Bising sistole tipe pansistole, timbul sebagai akibat aliran balik yang melalui
bagian jantung yang masih terbuka dan mengisi seluruh fase systole. Misalnya
pada insufisiensi mitral.

Bising Diastole, terdengar dalam fase diastole (antara bunyi jantung 2 dan bunyi
jantung 1), dikenal antara lain

- Mid-diastole, terdengar pada pertengahan fase diastole misalnya pada stenosis


mitral.

- Early diastole, terdengar segara setelah bunyi jantung ke 2. misalnya pada


insufisiensi sorta.

- Pre-sistole, yang terdengar pada akhir fase diastole, tepat sebelum bunyi
jantung 1, misalnya pada stenosis mitral. Bising sistole dan diastole, terdengar
secara kontinyu baik waktu sistole maupun diastole. Misalnya pada PDA

5) Apakah Bising Fisiologis atau Patologis

Beberapa sifat bising fungsional :

- Jenis bising selalu sistole

- Intensitas bising lemah, tingkat I-II dan pendek,

- Pada umumnya terdengar paling keras pada daerah pulmonal, terutama pada
posisi telungkup dan ekspirasi penuh.

- Dipengaruhi oleh perubahan posisi.


Dengan demikian bising diastole, selalu merupakan bising patalogis, sedang
bising sistole, dapat merupakan merupakan bising patalogis atau hanya
fungsionil.Bising fungsional dijumpai pada beberapa keadaan seperti demam,
anemia, kehamilan, kecemasan, hipertiroid, beri-beri, atherosclerosis

6) Kualitas dari Bising

Apakah bising yang terdengar itu bertambahkeras (crescendo) atau bertambah


lemah (descrescendo). Apakah bersifat meniup (blowing) atau menggenderang
(rumbling).

- Gerakan Pericard
Gesekan pericard merupakan gesekan yang timbul akibat gesekan antara
pericard visceral dan parietal yang keduanya menebal atau permukaannya
kasar akibat proses peradangan (pericarditis fibrinosa). Gesekan ini
terdengar pada waktu sistole dan diastole dari jantung, namun kadang-
kadang hanya terdengar waktu sistole saja. Gesekan pericard kadang-kadang
hanya terdengar pada satu saat saja (beberapa jam) dan kemudian
menghllang. Gesekan pericard sering terdengar pada sela iga 4-5 kiri, di tepi
daerah sternum.

c. Pemeriksaan penunjang
1) EKG
EKG adalah salah satu jenis pemeriksaan kesehatan jantung yang mampu
merekam aktivitas "listrik" jantung, karena dengan gambaran yang dihasilkan dari
listrik jantung dapat mendeteksi kemungkinan adanya gangguan jantung.Sumbatan
koroner pada jantung yang mengalami "iskemik" menyebabkan gangguan aktivitas
"listrik" jantung yang terdeteksi melalui "elektrokardiogram". EKG juga dapat
merekam berbagai kelainan aktivitas listrik jantung lainnya. Beberapa jenis penyakit
yang bisa dideteksi dengan EKG ini diantaranya yaitu penyakit jantung koroner, infark
miokard akut, hipertensi. Gambaran EKG kadang-kadang menunjukkan bahwa pasien pernah
mendapat infark miokard di masa lampau. pembesaran ventrikel kiri pada pasien
hipertensi dan angina, menunjukkan perubahan segmen ST dan gelo mbang T
yang t idak khas. Pada wakt u serangan angina, EKG akan menunjukkan adanya
depresi segmen ST dan gelombang T dapatmenjadi negatif.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai IMA. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark
miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau non STEMI.
Pada sebagian besar pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa gelombang Q disebut
infark non Q.

Gambaran EKG Normal


EKG menunjukkan STEMI anterior ekstensif
2) Foto rontgen thorax
Pemer iksaan foto roent gen t horaks merupakan pemer iksaan yang rut in
dilakukan unt uk menilai adanya kelainan jant ung dan paru -paru. Foto
ront gen dada seringkali menunjukkan bent uk jant ung yang nor mal, t et api
pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung yang membesar dan kadang-kadang
tampak adanyaklasifikasi arkus aorta.
3) Ekhokardiografi
Ini adalah sebuah pemeriksaan yang menggunakan prinsip gelombang suara ultra
(ultra sound) untuk melihat anatomi jantung saat bergerak (berdenyut), sehingga dapat
diketahui adanya gangguan dalam gerakan otot jantung, kebocoran sekat jantung,
penyempitan / kebocoran katub jantung, ukuran ruang jantung, maupun adanya cairan
serta tumor pada rongga jantung. Pemeriksaan ekhokardiografi ini juga bisa digunakan
untuk mengevaluasi hasil operasi jantung maupun hasil terapi medis.
a) Ekhokardiografi Dopller.
Merupakan pemeriksaan Ekhokardiografi dengan menggunakan teknik Doppler.
Ekhokardiografi Doppler ini digunakan untuk menilai aliran darah dalam jantung
maupun pembuluh darah sehingga dapat mendeteksi adanya penyakit jantung, seperti
: stenosis (penyempitan) katup, regurgitasi (kebocoran) katup, dan kelainan jantung
bawaan.
b) Dobutamine Stress Echocardiography (DSE)
Adalah pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan infus Dobutamine pada
pasien-pasien yang dicurigai memiliki penyakit jantung koroner namun tidak dapat
dengan alat Treadmill. Selain untuk mendeteksi ada tidaknya penyempitan pembuluh
koroner, pemeriksaan DSE juga dapat digunakan untuk mengetahui viabilitas otot
jantung dengan memantau gangguan gerakan otot jantung.
5) Uji Latih Jantung Beban (Treadmill).
Pemeriksaan kesehatan jantung ini menggunakan alat yang untuk merekam
perubahan EKG, tekanan darah dan frekuensi denyut jantung serta mengetahui
kapasitas fungsi jantung pada waktu beraktivitas. Pemeriksaan ini penting dan
seringkali digunakan untuk memeriksa orang-orang yang mengalami : keluhan
(angina pektoris) nyeri dada (EKG tidak khas) laki-laki >40 tahun atau wanita setelah
monopouse yang disertai faktor resiko penyakit jantung koroner (PJK) seperti
merokok, kegemukan, kurang aktivitas, kencing manis (DM), pasca angina pektoris
tak stabil, pasca serangan jantung, dan sebagainya. Pemeriksaan ini sering juga
digunakan untuk deteksi dini penyakit jantung koroner disamping untuk menilai
kesegaran jasmani
4) Cardio Pulmonary Exercise Test
Merupakan suatu tes terhadap fungsi jantung dan paru (kardiorespirasi) dengan
menggunakan peralatan khusus. Prosedur yang dilaksanakan hampir sama dengan
Treadmill tes, bedanya disini pernafasan pasien saat menghirup maupun mengeluarkan
nafas dilakukan hanya boleh melalui alat khusus yang dipasangkan pada mulut saja.
5) Holter dan Blood Pressure Monitoring
Pemantauan terhadap aktivitas listrik jantung selama 24 jam terus menerus dengan
menggunakan peralatan Holter, sehingga gangguan irama yang timbul sewaktu-waktu
dapat terekam didalam alat ini. Selain memantau aktivitas listrik jantung, sarana Holter
juga dilengkapi dengan pencatatan tekanan darah.
6) Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik IMA, yaitu
kreatinin fosfokinase (CPK/CK), SGOT, laktat dehidrogenase (LDH), alfa hidroksi
butirat dehidrogenase (α-HBDH), troponin T, dan isoenzim CPK MP atau CKMB. CK
meningkat dalam 4-8 jam, kemudian kembali normal setelah 48-72 jam. Tetapi enzim
ini tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti penyakit muskular,
hipotiroid, dan stroke. CKMB lebih spesifik, terutama bila rasio CKMB : CK > 2,5%
namun nilai kedua-duanya harus meningkat dan penilaian dilakukan serial dalam 24
jam pertama. CKMB mencapai puncak 20 jam setelah infark. Yang lebih sensitif adalah
penilaian rasio CKMB2 : CKMB1 yang mencapai puncak 4-6 jam setelah kejadian.
CKMB2 adalah enzim CKMB dari miokard, yang kemudian diproses oleh enzim
karboksipeptidase menghasilkan isomernya CKMB1. Dicurigai bila rasionya > 1,5
SGOT meningkat dalam 12 jam pertama, sedangkan LDH dalam 24 jam pertama.

Biomarker Jantung pada Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST


a. Profil lipid puasa
Profil lipid darah adalah suatu gambaran kadar lipid di dalam darah yang diperoleh
melalui apusan darah dengan syarat pasien harus puasa 12-14 jam untuk
menghindari efek pasca absorbs trigliserida. Beberapa gambaran yang diperiksa
dalam pemeriksaan ini adalah kolestrol total, trigliserida, High Density Lipoprotein
(HDL), dan Low Density Lipoprotein (LDL).Gambaran profil lipid merupakan
suatu indikator yang baik untuk memprediksi apakah seseorang memiliki resiko
yang besar untuk terkena penyakit jantung coroner.
b. Glukosapuasa
Glukosa puasa merupakan salah satu pemeriksaan gula darah. Kadar gula darah
merupakan peningkatan glukosa dalam darah yang konsentrasinya atau peningkatan
glukosa serum diatur secara ketat di dalam tubuh. Glukosa dialirkan melalui darah
merupakan sumber utama energi. Pemeriksaan glukosa puasa dilakukan pasien
setelah berpuasa selama 8-10 jam.
c. Complete Blood Count dan Hb
Complete Blood Count (CBC) atau hitung darah lengkap merupakan tes hematologi
yang terdiri dari hemoglobin, eritrosit, leukosit, hematokrit, trombosit, Mean
corpuscular volume (MCV), Mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan Mean
corpuscular hemoglobin consentration (MCHC).Nilai kadar leukosit dapat dijadikan
parameter/prediksi untuk penyakit Acute Coronary Syndrome karena peningkatan
kadar leukosit adalah akibat leukosit merupakan salah satu komponen inflamasi.
Sedangkan Hemoglobin adalah indikator yang digunakan secara luas untuk
menetapkan prevalensi anemia. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen
pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100
ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
d. Biomarker
 Troponin Jantung
Cardiac Troponin T (cTnT) Troponin T ditemukan pada otot skeletal dan jantung
selama pertumbuhan janin. Troponin T juga didapatkan selama jejas otot, pada
penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini
dapat mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung. Cardiac
Troponin I (cTnI) Troponin I hanya petanda terhadap jejas miokard, tidak
ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah trauma atau
regenerasi otot skeletal. Troponin I sangat spesifik terhadap jaringan miokard,
tidak terdeteksi dalam darah orang sehat dan menunjukkan peningkatan yang
tinggi di atas batas atas pada pasien dengan IMA. Troponin I lebih banyak
didapatkan pada otot jantung daripada CKMB dan sangat akurat dalam
mendeteksi kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada kondisi-kondisi seperti
myokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan jantung. Adanya cTnI
dalam serum menunjukkan telah terjadi kerusakan miokard. Troponin juga dapat
menghitung ukuran infark tetapi puncaknya harus diukur pada hari ke-3. Setelah
cedera miosit, troponin dilepaskan dalam 2-4 jam dan bertahan hingga 7
hari. Nilai normalnya adalah- Troponin I <0,3 ng / ml dan Troponin T <0,2 ng /
ml.Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat di deteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

 Creatine Kinase (CK)


Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.CK terdapat dalam semua jaringan
dan memiliki 3 isoenzim yaitu CK-MM, CK-MB (Creatinin Kinase Myocardial
Band), dan CK-BB. Distribusi Creatine Kinase (CK) dalam miokardium adalah
sekitar 80 % Muskular Muskular (MM) dan 20 % Myocardial Band (MB),
sedangkan di otot rangka isoenzim Creatine Kinase (CK) hampir seluruhnya
adalah Muskular Muskular (MM) dengan hanya sedikit Myocardial Band (MB)
(kurang dari 1 %). Dalam keadaan normal aktivitas CK-MB di perempuan sama
dengan laki-laki yaitu kurang dari 24 U/L. Penggunaan Creatine Kinase –
Myocardial Band (CK-MB) untuk mendiagnosis Penyakit Jantung Koroner
(PJK) merupakan tindakan yang banyak dilakukan dan biasanya memberikan
informasi diagnostik yang tepat. Tetapi kadang-kadang timbul hasil positif palsu
dengan peningkatan CK-MB tidak berasal dari cedera miokardium. Seperti pada
pelari marathon, pasien dengan distrofi otot atau orang dengan gagal ginjal, ini
disebabkan karena CK-MB merupakan isoenzym yang sangat sensitif. Pada
keadaan – keadaan tersebut kerja jantung meningkat sehingga CK- MB juga
meningkat walaupun hanya sedikit. CK-MB terlepas dalam sirkulasi setelah
IMA; paling cepat terdeteksi 3-4 jam setelah onset gejala dan tetap meningkat
kira-kira 65 jam pasca infark. CK-MB meningkat setelah 3 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-12 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB

 Lactate Dehidrogenase (LDH)


Laktat dehidrogenase mengkatalisis konversi piruvat menjadi laktat, didapatkan
pada semua sel yang bermetabolisme, dan jika sel rusak maka ditemukan
peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH serum total tidak spesifik terhadap
suatu jaringan. Yang spesifik terhadap jaringan tertentu adalah isoenzimnya yang
dikenal sebagai LDH1 sampai LDH5. LDH1 dan LDH2 ditemukan pada jantung,
ginjal, otak dan sel darah merah. Isoenzim LDH3 ditemukan pada tiroid, kelenjar
adrenal, kelenjar getah bening, pankreas, limpa, timus dan leukosit. Isoenzim
LDH4 dan LDH5 ditemukan pada hati dan otot skeletal. Serum biasanya
mengandung sejumlah kecil LDH1 dan sedikit lebih banyak LDH2. Setelah
IMA, kadar LDH1 serum meningkat. Peningkatan terjadi 12 sampai 24 jam
setelah IMA dan mungkin persisten selama 12 hari. LDH1 dan LDH2 juga
meningkat pada anemia pernisiosa, kerusakan ginjal akut dan hemolisis.Lactic
dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
 Myoglobin
Mioglobin adalah protein heme berukuran kecil (berat molekul 17,8 kDa) yang
membawa oksigen yang terdapat pada sel-sel otot skeletal dan jantung.
Mioglobin merupakan petanda paling dini untuk diagnosis IMA. Peningkatan
yang lebih awal karena ukuran molekulnya yang kecil dan cepat menuju sirkulasi
tanpa melalui saluran limfe setelah jejas otot.3,12 Mioglobin terdapat dalam
serum 1-3 jam setelah jejas, mencapai puncaknya 4-12 jam dan kembali normal
dalam 24- 36 jam karena klirens ginjal yang cepat.
 Aspartate aminotransferase (AST) atau serum glutamic oxaloacetic transaminase
(SGOT).
Enzim SGOT tidak spesifik jantung tetapi meningkat kadarnya pada
infark miokard. Kadar SGOT meningkat dalam darah enam hingga dua belas jam
setelah infark miokard, mencapai puncak dalam 18 hingga 24 jam dan kembali
ke kadar normal dalam satu minggu. Walaupun kurang spesifik dibandingkan
pemeriksaan biomarker jantung lainnya, SGOT bisa membantu pemeriksaan
dalam menilai progresivitas terjadinya infark.
 Glikogen fosforilase isoenzim BB (GPBB)
GPBB adalah salah satu dari tiga isoform glikogen fosforilase . Isoform
enzim ini ada di jantung (jantung) dan jaringan otak. Karena adanya sawar
darah-otak, GP-BB dapat dianggap spesifik untuk otot jantung. GP-BB
merupakan salah satu “penanda jantung baru” yang dianggap dapat memperbaiki
diagnosis dini pada sindrom koroner akut. Selama proses iskemia, GP-BB diubah
menjadi bentuk larut dan dilepaskan ke dalam darah. Peningkatan kadar darah
yang cepat dapat dilihat pada infark miokard dan angina tidak stabil. GP-BB
meningkat 1-3 jam setelah proses iskemia.

Elevasi segmen-ST pada pemeriksaan elektrokardiografi(EKG)merupakansalahsatu


kriteria infark miokard akut (IMA). Adanya elevasi segmen-ST pada kasus infarkmiokard akut
biasanya menunjukkan oklusi total pembuluhdarahkoroneryangmembutuhkan tindakan
reperfusi segera. Fibrinolitik merupakan salah satu upaya reperfusi yang dapat dilakukan segera
di Instalasi Gawat Darurat. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua pasien yang datang dengan
elevasi segmen-ST pada pemeriksaan EKG memiliki sumbatan trombus total pembuluh
koroner. Dengan demikian, diperlukan kemampuan untuk membedakan IMA dari kondisi-
kondisi tersebut.

Elevasi Segmen-ST Normal


Elevasi segmen-ST 1-3 mm di satu atau lebih sadapan prekordial,terutama sadapanV2 pada laki-
laki sehat tanpa gejala dan tanda klinis IMA merupakan gambaran elevasi segmen-ST normal.
Studi lain menyatakan bahwa lebih dari90% laki-laki 17-24tahun memiliki elevasi segmen-ST
setinggi 1 mm di satu atau lebih sadapan V1 – V4, prevalensi ini berkurang seiring
bertambahnya usia(30%pada laki-laki usia lebih dari 75 tahun). Sejumlah 20% EKG normal
dari perempuan menunjukkan elevasi segmen-ST 1 mm dengan prevalensi tetap tidak
tergantung usia. Pada pola ini,segmen- ST berbentuk konkaf, sedangkan pada IMA biasanya
berbentuk konveks (60% kasus). Selain itu makin dalam gelombang S, akan diikuti elevasi
segmen-ST yang makintinggi.

repolarisasi Dini Jinak (Benign Early Repolarization)

Benign Early Repolarization (BER) adalah varian EKG nomal, dengan karakteristik elevasi titik J.
Gelombang J (Gelombang Osborn), adalah sebuah defleksi yang mengikuti kompleks QRS,
yang ketika secara parsial berada dalam gelombang R, akan tampak sebagai elevasi titik J atau
elevasi segmen- ST. BER biasanya terdapat pada seseorang yang aktif, usia di bawah 40 tahun
dan memiliki karakteristik gelombang J yang prominen (berbentuk notched atau slurred) dan
elevasi segmen-ST konkaf < 3 mm pada sadapan V3 – V6, terutama V4. Selain itu BER
memiliki gelombang T tinggi, tidak inversi. Apabila repolarisasi dini melibatkan sadapan
ekstremitas, elevasi segmen-ST akan lebih tinggi di sadapan II dibanding sadapan III, dan
terdapat depresi segmen-ST resiprokal di sadapan aVR dan bukan aVL.Hal ini harus dibedakan
dari infark inferior, yaitu elevasi segmen-ST lebih tinggi di sadapan III dibanding sadapan II,
dan terdapat depresi segmen-ST resiprokal di sadapanaVL.

Hipertrofi Ventrikel Kiri


Pada hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/ LVH) terjadi abnormalitas repolarisasi
segmen-ST yang dapat sulit dibedakan dengan gambaran infark. Salah satu kriteria elevasi
segmen-ST pada EKG berdasarkan ACC/AHA juga mengharuskan eksklusi LVH sebagai
penyebab elevasi segmen-ST.Pada LVH, gelombang S yang dalam dapat terlihat di lead V1 –
V3, dengan elevasi segmen-ST yang diskordan dengan kompleks QRS. Elevasi segmen-ST
pada LVH biasanya berbentuk konkaf.

Sumber : Mahamada, Ardho., Yerizal Karan, Rismawati. Hubungan Kadar Glutamic


Oksaloasetat Transaminase Dengan Lama Perawatan Pasien Infark Miokard Akut di
RSUP. Dr. M. Djamil Periode Januari-Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
Vol. 6(3).
Samsu, Nur., Djanggan Sargowo. 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan
I pada Diagnosis Infark Miokard Akut. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 57(10).
Ujiani, Sri. 2014. Gambaran Kadar Low Density Lipoprotein (LDL) Cholesterol Dan
Creatine Kinase-Myocardial Band (CK-MB) Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner
(PJK). Jurnal Analis Kesehatan. Vol 3(1).

8.Jelaskan DD dan DS terkait skenario

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST (STEMI)


A.Definisi

Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen otot jantung. Penyebab IMA yang paling banyak adalah trombosit
sehubungan dengan plak ateromatosa yang pecah dan ruptur. STEMI adalah sindrom klinis yang
didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa
elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.

B.Faktor Resiko

Faktor penyebab infark miokard yaitu oklusi akibat plaque aterosklerosis koroner. Faktor-faktor
resiko aterosklerosis koroner antara lain :

 Tidak dapat Diubah : usia (laki-laki ≥ 45 tahun, perempuan ≥ 55 tahun atau menopause
prematur tanpa terapi penggantian estrogen dan riwayat CAD pada keluarga.
 Dapat Diubah : hiperlipidemia, HDL-C rendah, hipertensi, merokok sigaret, diabetes
mellitus, obesitas terutama abdominal, ketidakaktifan fisik, dan hiperhomosisteinemia.

C.Patofisiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST umunnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur,
atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan bahwa plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri
dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan
ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factorpada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.

d.Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesisi nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau minimal ≥ 1,5
mm pada wanita, minimal pada 2 sandapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada lain
atau sadapan ekstremitas.

Pemeriksan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis,


namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaaan
enzim, mengingat dalam tatalaksana STEMI, prinsip utama penatalaksanaan adalah lebih cepat
dilakukan revaskularisasi lebih banyak otot jantung yang diselamatkan ( time is muscle)

1.Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis dengan cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang
berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko
seperti hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat penyakit jantung koroner pada
keluarga.

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik yang berat, stres emosi, atau penyakit medis, atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.

Nyeri Dada

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.

Nyeri dada tipikal (Angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Seorang dokterharus
mampu mengenal nyeri dada Angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan pertanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.

Sifat nyeri dada Angina sebagai berikut:


 Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat seperti ditusuk,
rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat
 Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
 Gejala yang menyertai titik 2 mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan
lemas.

2.Pemeriksaan Fisis

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S3 dan S4 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38º C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.

3.Elektrokardiogram

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD.Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI,EKG serial dengan interval 5 -10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada
pasien dengan STEMI inferior sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infrark
pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi
gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI.Pada
sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark
non Q.

4.Laboratorium

Pertanda (biomarker) kerusakan jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Kreatinin kinase (CK) MBdan cardiac spesifik
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial.cTn harus digunakan sebagai pertanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.

Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung atau infark miokard.

 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10- 24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I.Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 -24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung lainnya yaitu:

 Mioglobin :dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncaknya dalam 4 sampai
8 jam.
 Kreatinin kinase (CK): meningkat setelah 3 sampai 8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10 sampai 36 jam dan kembali normal dalam 3 sampai 4 hari.
 Lactic dehidrogenase (LDH): meningkat setelah 24 sampai 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3 sampai 6 hari dan kembali normal dalam 8 sampai 14 hari.

E.Penatalaksanaan

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obatpenunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).

 Tatalaksana awal

Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pumpfailure).

Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit padaSTEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak,yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertamaonset gejala. Dan lebih
dariseparuhnya terjadi pada jampertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

o Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencaripertolongan medis


o Segera memanggil tim medis emergensi yang dapatmelakukan tindakan resusitasi
o Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyaifasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawatyang terlatih.
o Melakukan terapi reperfusi

Keterlambatan terbanyak yang terjadi padapenanganan pasien biasanya bukan selama


transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onsetnyeri dada sampai keputusan
pasien untuk memintapertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan caraedukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesionalkesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.

Pemberian fibrinolitikpra hospital hanya bisadikerjakan jika ada paramedis di ambulans


yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando
medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.

Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapireperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruanganyang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

 Tatalaksana Umum
1. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengansaturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

2. Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.

3. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.

4. Aspirin

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

5. Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mgsetiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syaratfrekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >
100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

6. Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,meminimalkan derajat disfungsi


dan dilatasi ventrikel danmengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau medical contact to
needle) time untuk memulai terapi fibronolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to baloon
(medical contact to baloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

 Seleksi Strategi Reperfusi

Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi. Untuk pasien
STEMI yang dikirim ke RS yang tersedia fasilitas PCI, PCI primer harus dikerjakan dalam 90
menit. Untuk pasien yang datang keRS tanpa fasilitas PCI, harus dinilai secara cepat :
1. Waktu mulai onset gejala

2. Risiko komplikasi terkait STEMI

3. Risiko perdarahan dengan fibrinolisis

4. Adanya syok atau gagal jantung berat

5. Waktu yang dibutuhkan untuk transfer ke RS yang mempunyai fasilitas PCI

Waktu Onset Gejala

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung
dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka
kematian.

Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang
banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan
tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.

The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact to balloon atau
door to balloon time dalam waktu 90 menit.

Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti
pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

Risiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan dengan
terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat
terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.

Waktu yang Dibutuhkan untuk Transportke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yangdapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren
non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard non fatal berulang.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului


fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokark akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat,
atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa
Rumah Sakit.

Reperfusi Farmakologis

Fibrinolisis

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time< 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen
activator (TPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (TPA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik
fibrin seperti streptokinase.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri yang terlibat (culprit) digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
gradingsystem:

o Grade 0 menunjukkan oklusi total (completeocclusion)pada arteri yang terkena


infark.
o Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
o Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
o Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang.

Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai 50%
jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10
tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan
mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi
dalam 1-3 jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat dilihat pada tabel 3, terapi
masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih
tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang yang baru. Jika
dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap
masalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.

Tissue plasminogen activator (tPA) dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA
dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran
koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.

Obat Fibrinolitik

1. Streptokinase (SK)

Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah, manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 trial.

2. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)

Global Use of Strategies to Open Coronary Arteries-1 (GUSTO-1) trial menunjukkan


penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK.
Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih
tinggi

3. Reteplase (Retavase)

INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang

4. Tenekteplase (TNKase)

Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi tehadap


plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA.

Indikasi Terapi Fibrinolitik (ACCF-AHA 2013)


Klas I

1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI
dengan onset gejala iskemik <12 jam jika diantisipasi intervensi koroner perkutan primer
tidak dapat dikerjakan dalam 120 menit setelah kontak medis pertama.

Klas II a

1. Jika tidak terdapat kontra indikasi dan jika intervensi koroner perkutan tidak tersedia,
2. Terapi fibrinolitik dipertimbangkan pada pasien STEMI jika terdapat bukti klinis
dan/atau EKG iskemia yang sedang berlangsung dalam sampai 24 jam onset gejala dan
area miokard luas yang berisiko atau hemodinamik tidak stabil.

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST > 50%
dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous coronary intervention (PCI)

Tatalaksana di Rumah Sakit

ICCU

Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.

Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infarkmiokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori
total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya
serat, kalium, magnesium dan rendah natrium.

Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri
sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur,
diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200 mg/hari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.

Terapi Farmakologis

 Antitrombotik
1. Terapi Antiplatelet

Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.

2. Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.

o 162-325 mgload sebelum prosedur


o 81-325mg dosis pemeliharaan per hari
o 81 mg per hari adalah dosis pemeliharaan yang dianjurkan (dosis pemeliharaan
aspirin yang direkomendasikan bersama ticagrelor adalah 81 mg)
3. Klopidogrel

Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami
PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak
menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.

4. Prasugrel

Prasugrel, suatu tienopiridin alternatif, menghambat agregasi trombosit lebih besaR


dibandingkan dengan klopidogrel. Pada peneletian TRITON-TIMI 38 yang membandingkan
prasugrel dengan klopidogrel pada pasien sindrom kooroner akut yang direncanakan strategi
invasuf dini, pasien STEMI yang mendapat prasugrel mempunyai mortalitas 30 hari lebih rendah
pada outcome primer dan perbedaan tersebut menetap sampai 15 bulan. Laju trombosis stent
pada hari ke 30 lebih rendah bermakna dengan prasugrel. Manfaat prasugrel relatif terhadap
klopidogrel pada pasien STEMI harus lebih besar daripada meningkatnya risiko perdarahan.
Prasugrel tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat strok atau serangan iskemik
sementara dan tidak menunjukkan manfaat pada pasien > 75 tahun atau pasien dengan berat
badan > 60 kg.

5. Ticagrelor

Ticagrelor merupakan antagonis reseptor P2Y reversibel, yang tidak memerlukan konversi
metabolik menjadi obat aktif. Penelitian PLATO (Platelet inhibition and Patient Outcomes)
membandingkan ticagrelor (dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari) dengan
klopidogrel (dosis loading 300 sampai 600 mg, dilanjutkan 75 mg per hari), untuk pencegahan
kejadian kardiovaskular pada 18624 pasien SKA di mana 35% adalah STEMI. Terdapat
penurunan bermakna kejadian trombosis stent dan kematian total pada kelompok yang mendapat
ticagrelor yang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) primer walaupun terdapat lebih
banyak strok dan kejadian perdarahan intrakranial pada kelompok ticagrelor. Analisis subgrup
pada penelitian PLATO menunjukkan interaksi yang bermakna antara efek terapi dan regio
geografis, dengan efek ticagrelor lebih kecil di Amerika Utara dibandingkan dengan area lain.
Walaupun interaksi tersebut dapat terjadi secara kebetulan, pengaruh dosis aspirin yang lebih
tinggi, yang digunakan lebih sering di Amerika Serikat tidak dapat disingkirkan. Jika akan
digunakan ticagrelor jangka panjang sebagai komponen terapi dua antiplatelet, dosis aspirin tidak
boleh melebihi 100 mg.

6. GP IIb/IIIa Inhibitor

Penggunaan obat GP Ib/IIIa pada waktu PCI dapat dipertimbangkan secara individual
untuk trombus yang besar atau loadinganatagonis reseptor P2Y,, yang tidak adekuat. Pada pasien
yang mendapat bivalirudin sebagai antikoagulan primer, penggunaan inhibitor GP IIb/IIIa
tambahan secara rutin tidak direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan sebagai penunjang
atau terapi bailout pada kasus tertentu.

 Terapi Antikoagulan
1. UnfractionatedHeparin
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus
60 U/kg (maksimum

4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

2. Low-Molecular-WeightHeparin (LMWH)

Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low- molecular-weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural
pada ekokardiografi dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.

3. Fondaparinux

Pada penelitian OASIS-6, fondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung,
lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan
reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani
PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih
tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter,
sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter .

Pada pasca STEMI dengan onset<12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien
STEMI dengan onset> 12 jam aspirin, klopidogrel dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin
atau fondaparinux) harus diberikan sesegera mungkin.

4. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun,blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma)

5. Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEML Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam
tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers ventrikel kiri (ARB) mungkin bermanfaat
pada pasien dengan fungsi menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor
ACE.

f.Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular
dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil
ini berasal dari ekspansi infarkal; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan
hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non
infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi
dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain.
Pada pasien dengan fraksi ejeksi<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.

2. Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

3. Syok Kardiogenik

Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.

Tatalaksana Syok Kardiogenik

o Terapi O2
o Jika tekanan darah sistolik < 70mmig dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin
o Jika tekanan darah sistolik 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin
dosis 5-15 g/kgBB/menit
o Jika tekanan darah 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/ menit
o Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada
pasien 75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam
IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok,
kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
o Terapi tromboliti diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak
ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis
o Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis bila
sarana tersedia
4. Infark ventikel Kanan

Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-kurangnya


nekrosis ventrikel kanan derajat ringan, Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada
ventrikel kanan Infark ventrikel kanan secara klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
Elevasi segmen ST pada sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R sering dijumpai
dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk
mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan
dengan reduksi Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri pulmonalis.

5. Aritmia Pasca STEMI

Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.

g.Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:


Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana: 53 gallop, kongesti paru dan
syok

Kardiogenik.

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary


capillary wedge pressure (PCWP)

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.

Sumber : Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardivaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana Sindrom


Koroner Akut edisi 3. 2015.
ANGINA PECTORIS

a.Defenisi

Angina Pektoris adalah suatu sindroma klinis dimana klien mendapat serangan sakit dada
di daerah sternum atau dibawah sternum (substernal) atau pada dada sebelah kiri yang khas yaitu
seperti ditekan atau serasa berat didada yang sering kali menjalar ke lengan kiri, kadang-kadang
menjalar ke punggung rahang, leher atau ke lengan kanan. Sakit pada dada tersebut biasanya
timbul pada waktu pasien melakukan aktivitas. Coronary Artery Disease adalah penyakit
kerusakan pada bagian arteri koroner angina pektoris serta infark miokard, disebut ACS ( Acute
Coronary Syndrome ) atau sindrom koroner akut. Pengertian Angina secara klinis adalah
keadaan iskemia miokard yang disebabkan oleh kurangnya suplai oksigen ke sel-sel otot jantung
( miokard ) karena adanya penyumbatan atau penyempitan arteri koroner, peningkatan beban
kerja jantung, dan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen.

Terjadinya iskemia akibat dari penyakit jantung koroner, penyakit jantung koroner adalah
kelaianan metabolisme lipid, koagulasi darah, serta keadaan biofisika dan biokimia dinding arteri
kondisi patologis yang terjadi ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan
jaringan fibrosa pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan
fungsi arteri serta penurunan aliran darah ke jantung. Perubahan struktur dan fungsi dari penyakit
jantung koroner akan menyebabkan angina pektoris. Sakit dada angina pektoris disebabkan
karena timbulnya iskemia 9 miokard, karena suplai darah dan oksigen ke miokard berkurang.
Pada pasien angina pektoris dapat pula timbul keluhan lain seperti sesak nafas, perasaan sakit
pada daerah dada disertai dengan keringat dingin serta dapat terjadi jika otot jantung yang
kekurangan oksigen ditentukan oleh beratnya kerja jantung seperti kecepetan dan kekuatan
denyut jantung. Aktifitas fisik dan emosi akan menyebabkan jantung lebih bekerja berat dan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan jantung akan oksigen. Jika arteri mengalami
penyumbatan maka aliran darah ke otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung akan oksigen,
sehingga akan terjadi iskemia dan menyebabkan nyeri.
b. Etilogi

Penyebab paling umum Angina pektoris adalah Aterosklerosis atau penyakit arteri
koroner yang digolongkan sebagai akumilasi sel-sel otot halus, lemak dan jaringan konektif
disekitar lapisan intima arteri. Suatu plak fibrous adalah lesi khas dari aterosklerosis, lesi ini
dapat bervariasi ukurannya dalam dinding pembuluh darah, yang dapat meningkatkan obstruksi
aliran darah persial maupun komplit. Komplikasi lebih lanjut dari lesi tersebut terdiri atas plak
fibrous dengan deposit kalsium, disertai dengan pembentukan thrombus. Obstruksi pada lumen
akan mengurangi atau menghentikan aliran darah kepada jaringan disekitarnya.

Penyebab lainnya yaitu karena spasme arteri koroner, penyempitan dari lumen pembuluh
darah terjadi bila serat otot halus dalam dinding pembuluh darah berkontraksi (vasokontraksi).
(Udjianti, 2010) Meskipun dipengaruhi oleh banyak faktor, kelaianan degeneratife ini akan
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan O2 miokardium dengan masukan (suplay)
nya, sehingga bisa menyebabkan iskemia dan anoksia yang ditimbulkan oleh kelaianan vaskuler
dan 10 kekurangan O2 dalam darah.

c. Faktor yang mempengaruhi

Terdapat dua fator risiko terhadap Angina Pektoris yaitu faktor yang bisa diubah dan faktor yang
tidak bisa diubah. yaitu:

Adapun faktor risiko yang tidak bisa diubah :


a. Umur atau usia
Telah dibutikan adanya hubungan anatra umur dan kematian akibat penyakit
Coronary artery desease. Sebagaian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur
35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga didapatkan hubungan
antara umur dengan kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya
umur, kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih rendah
dari pada laki-laki dengan umur yang sama, setelah perempuan mengalami
menopause kadar kolesterol perempuan akan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
b. Gender atau jenis kelamin
Lebih banyak menyerang pria dibandingkan wanita, namun penyebab pasti belum
diketahui, sebelum umur 60 tahun didapatkan 2-3 kali lebih besar dari pada
perempuan. Perempuan yang masih mengalami menstruasi lebih terlindungi dari 11
pada laki-laki karena pengaruh hormone esterogen dari wanita.
c. Riwayat keluarga atau faktor gemetik
Faktor genetik sangat berpengaruh terutama pada laki-laki, faktor ini dapat ditangani
dengan gaya hidup yang sehat dan menghindari gaya hidup yang tidak sehat seperti :
kolesterol tinggi, kebiasaan merokok, hipertensi, obesitas dan diabetes.

Selain itu faktor yang dapat dirubah/dikendalikan :


a. Hipertensi atau tekanan darah tinggi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
secara abnormal, hipertensi yang mengendap akan menyebabkan arterosklerosis
koroner karena hipertensi dapat menimbulkan trauma langsung di dinding
pembuluh darah arteri koronaria. Apabila tekanan tinggi yang terusmenerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat
b. Penyakit diabetes mellitus
Diketahui 2-3 kali lebih banyak pada orang dengan diabetes, tanpa memandang
kadar lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi pada diabetes
mellitus serta metabolisme lipid yang tidak normal juga dalam pertumbuhan
atheroma. Berpegang teguh pada regimen medis yang dianjurkan untuk mengatur
glukosa dapat mengurangi faktor risiko dan itu menjadi tanggung jawab setiap
individu untuk realisasinya.
c. Merokok
Merokok dapat memperparah dengan cara yaitu kandungan karbon monoksida
(CO) lebih mudah terikat oleh hemoglobin sehingga oksigen yang disuplai ke
jantung sangat berkurang dan membuat jantung bekerja lebih berat untuk
menghasilkan energi yang sama besarnya. Asam nikotinat dalam tembakau
memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan kontriksi arteri sehingga
aliran darah dan oksigenasi jaringan terganggu.
Merokok juga meningkatkan adhesi trombosit sehingga kemungkinan terjadi
peningkatan pembentukan thrombus. Seseorang yang merokok umumnya
mengalami penurunan kadar HDL ( High Density Lipoprotein ) dan peningkatan
kandungan LDL ( Low Density Lipoprotein ) sehingga resiko terjadi penebalan
dinding pembuluh darah meningkat keadaan ini pun bukan hanya dialami oleh
perokok itu sendiri namun perokok pasif juga dapat menalaminya.
d. Kolesterol
Beberapa parameter yang dipakai untuk mengetahui adanya resiko CAD dan
hubungannya dengan kadar kolesterol darah meliputi kolesterol total, low-density
lipoprotein (LDL) kolesterol, high-density lipoprotein (HDL) kolesterol, rasio
kolesterol total, dan kadar trigliserida. Pada kolesterol total >200 mg/dL berarti
risiko terjadinya PJK meningkat. LDL kolesterol bersifat buruk karena bila kadar
LDL meninggi (>160 mg/dL) menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah.
HDL kolesterol bersifat baik, namun makin rendah kadar HDL (<45 mg/dl)
kolesterol maka makin besar kemungkinan PJK. Kadar HDL bisa dinaikan
dengan mengurangi berat badan, berhenti merokok dan menambah exercise
karena membantu proses metabolisme dan menurunkan kadar LDL.
e. Kegemukan/obesitas
Obesitas muncul bersamaan dengan penderita hipertensi, diabetes melitus dan
hipertrigliseridemia yang meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol
dengan berat badan mulai melebihi 20% dari berat badan ideal.
f. Stress
Faktor stress psikologik dan penyakit jantung sangat erat hubungannya dengan
PJK terutama akan menyebabkan angina pektoris. Secara teoritis, stress yang
terus menerus/berlangsung lama akan meninggikan kadar katekolamin dan
tekanan darah, sehingga akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri
koroner.
g. Kurangnya aktifitas fisik
Orang yang kurang bergerak (olahraga) cenderung gemuk sehingga berpotensi
menderita diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan naiknya kolesterol. Data
menunjukkan bahwa pada orang yang kurang gerak, pembuluh darah kolateral
dari arteri koronaria juga kurang sehingga aliran darah ke jantung berkurang.
Latihan fisik dapat meningkatkan kadar HDL sehingga resiko CAD dapat
dikurangi karena latihan fisik bermanfaat untuk memperbaiki fungsi paru dan
pemberian oksigen ke miokard, menurunkan berat badan lemak tubuh yang
berlebihan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kesegaran jasmani.

d. Patofisiologi angina pektoris

Mekanisme angina pektoris disebabkan oleh kurangnya suplay oksigen ke


sel-sel miokardium yang terjadi karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen pada
arteri koroner. Ateriosklerosis adalah penyakit arteri koroner yang sering ditemukan. Jika
beban kerja suatu jaringan meningkat, maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat.
Jika kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka arteri koroner berdilatasi dan
mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Apabila terjadinya
penyempitan arteri koroner akibat dari ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai
respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka akan terjadi iskemik
(kekurangan suplai darah) miokardium.

ANGINA PECTORIS STABIL

a.Definisi
Angina Pektoris Stabil (APS) terdiri atas seluruh situasi dalam spektrum penyakit
arteri koroner selain kejadian sindrom koroner akut. Diagnosis dan stratifikasi risiko pada
pasien dengan penyakit arteri koroner stabil penting untuk pencegahan sindrom koroner
akut.

b.Klasifikasi
Keluhan utama APS adalah nyeri dada stabil, karakteristik nyeri dada pada APS
dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan nyeri dada non-angina. Angina tipikal
didefinisikan sebagai nyeri dada yang memenuhi ketiga karakteristik berikut:
a) Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi tertentu
b) Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional
c) Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat
Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada non-anginal hanya
memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Angina atipikal dapat memiliki
karakteristik dan lokasi yang sama dengan angina tipikal, juga responsif terhadap nitrat,
namun tidak memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali dimulai saat istirahat dari intensitas
rendah, meningkat secara gradual, menetap maksimal hingga 15 menit, kemudian
berkurang intensitasnya. Gambaran karakteristik ini harus mengingatkan klinisi pada
kemungkinan vasospasme koroner. Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada
dengan lokasi dan kualitas angina, yang dicetuskan oleh aktivitas dan tidak berpengaruh
terhadap nitrat. Gejala ini seringkali timbul pada pasien dengan angina mikrovaskular.
Nyeri dada non-angina memiliki karakteristik kualitas yang rendah, meliputi sebagian kecil
hemithorax kanan atau kiri, bertahan selama beberapa jam atau bahkan hari. Nyeri
nonangina ini biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-kardiak harus dievaluasi
pada kasus-kasus ini.
Klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society digunakan untuk menilai derajat
severitas angina stabil (Tabel 2). Penting untuk diingat bahwa sistem nilai ini secara
eksplisit memperlihatkan bahwa nyeri pada saat istirahat (rest pain) dapat muncul pada
semua kelas sebagai manifestasi vasospasme koroner. Kriteria kelas ini menunjukkan
keterbatasan aktivitas maksimum harian pasien.
Tabel 2 Klasifikasi Derajat Angina pada APS berdasarkan Canadian Cardiovascular
Society

KELAS I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan atau naik
tangga. Angina muncul dengan mengejan atau aktivitas cepat dan lama
saat bekerja atau olahraga.
KELAS II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat berjalan cepat atau
naik tangga, berjalan atau naik tangga setelah makan atau pada cuaca
dingin, angina pada stress emosional, atau hanya beberapa jam setelah
bangun tidur. Berjalan lebih dari dua blok atau menanjak lebih dari satu
tangga pada kecepatan dan kondisi normal.
KELAS III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina muncul saat
berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai pada kondisi dan kecepatan
normal.
KELAS 1V Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa rasa tidak
nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.

c.Diagnosis

Diagnosis dan stratifikasi risiko pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil
penting untuk pencegahan sindrom koroner akut. Anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dilanjutkan dengan langkah diagnostik selanjutnya dengan mengumpulkan data obyektif
dari pemeriksaan dasar jantung diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis.

a) Anamnesis
Anamnesis yang teliti masih merupakan landasan dalam diagnosis nyeri dada.
Karakteristik nyeri dada akibat iskemia miokard (angina pektoris) dibagi menjadi 4
kategori berdasarkan lokasi, karakteristik nyeri, durasi, dan keterkaitannya dengan
aktivitas dan faktor yang memperparah dan faktor yang melegakan nyeri. Rasa tidak
nyaman yang disebabkan oleh iskemia miokard umumnya berada pada dada, di dekat
sternum, namun juga dapat dirasakan di lain tempat dekat epigastrium hingga ke
rahang bawah maupun gigi bawah, di antara belikat atau di lengan hingga
pergelangan tangan dan jari-jari. Rasa tidak nyaman sering dideskripsikan sebagai
seperti ditekan, sesak, maupun terasa berat, terkadang terasa seperti dicekik, diikat
kuat, atau rasa terbakar. Perlu ditanyakan kepada pasien secara langsung adanya rasa
tidak nyaman tersebut, karena beberapa pasien tidak merasakan rasa tertekan maupun
nyeri seperti yang dideskripsikan sebelumnya. Sesak nafas dapat diikuti dengan
angina dan rasa tidak nyaman pada dada juga dapat diikuti gejala-gejala lain yang
lebih tidak spesifik seperti fatigue, rasa mau pingsan, mual, terbakar, gelisah,
maupun rasa seperti mau mati. Sesak nafas dapat merupakan gejala adanya APS dan
terkadang sulit dibedakan dari sesak nafas yang berasal dari penyakit
bronkopulmonal.
Durasi rasa tidak nyaman tersebut cepat, tidak lebih dari 10 menit dalam
sebagian besar kasus, namun nyeri dada yang sangat singkat dalam hitungan detik
juga kemungkinan bukan disebabkan angina. Karakteristik pentingnya adalah
keterkaitannya dengan aktivitas, aktivitas khusus, atau stres emosional. Gejala
umumnya diperberat dengan peningkatan intensitas aktivitas seperti jalan menanjak
atau saat udara dingin, dan cepat hilang dalam hitungan menit jika faktor-faktor ini
dihentikan atau dihilangkan. Eksaserbasi gejala setelah makanan berat atau setelah
bangun tidur di pagi hari merupakan fitur klasik angina. Angina berkurang dengan
latihan lebih lanjut (walk-through angina) atau pada upaya pengerahan tenaga kedua
(warm-up angina). Nitrat bukal atau sublingual dapat dengan cepat meredakan gejala
angina. Ambang angina dan gejalanya dapat bervariasi dari hari ke hari, bahkan pada
hari yang sama.

b) Pemeriksaan fisik
Pada pasien yang dicurigai angina pektoris stabil penting untuk dicari adanya
tanda-tanda anemia, hipertensi, penyakit jantung valvular, kardiomiopati hipertrofik
obstruktif, atau aritmia. Pemeriksaan indeks massa tubuh (IMT) dan bukti adanya
penyakit vaskular nonkoroner yang seringkali asimptomatik juga perlu dilakukan.
Tanda-tanda komorbid lainnya seperti penyakit tiroid, penyakit ginjal, atau diabetes
juga perlu dicermati. Bagaimanapun juga, tidak ada tanda pemeriksaan fisik yang
khas dari angina pektoris. Selama dan segera setelah episode iskemia miokard, bunyi
jantung ketiga atau keempat dapat didengar dan insufisiensi mitral dapat menjadi
jelas saat iskemia. Namun demikian, tandatanda ini tidak spesifik.

c) Pemeriksaan Dasar
Langkah diagnosis selanjutnya adalah mengumpulkan data objektif dari
pemeriksaan dasar jantung berupa: elektrokardiografi (EKG) istirahat, pemeriksaan
laboratorium darah untuk faktor risiko penyakit aterosklerosis kardiovaskular seperti
hemoglobin terglikasi (HbA1c), profil lipid serta ekokardiografi istirahat. Pada
pasien dengan hasil ekokardiografi menampilkan fraksi ejeksi kurang dari 50%
dengan angina tipikal, pasien layak untuk dianjurkan angiografi invasif dengan
kemungkinan revaskularisasi.
Pemeriksaan awal (lini pertama) pasien dengan kecurigaan PJK Stabil
mencakup pemeriksaan laboratorium, EKG, EKG ambulatory (holter) jika ada
kecurigaan gejala berhubungan dengan aritmia paroksismal, ekokardiografi, dan pada
pasien tertentu rontgen thorax (Cardiac X-Ray / CXR). Pemeriksaan diagnostik dasar
tersebut dapat dilakukan pada rawat jalan. Ultrasonografi arteri karotis untuk
mendeteksi penebalan lapisan intima dan media dapat meningkatkan pre-test
probability (PTP) untuk penyakit jantung koroner.2 Langkah ini diikuti oleh
pemeriksaan non invasif untuk menegakkan diagnosis PJK atau aterosklerosis non-
obstruktif pada pasien dengan probabilitas menengah (intermediate). Pasien dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) yang menurun kurang dari 50% dan angina tipikal
memiliki risiko tinggi kejadian komplikasi kardiovaskular dan sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan angiografi koroner invasif tanpa melalui tahapan
pemeriksaan non invasif terlebih dahulu. Pasien dengan fraksi ejeksi 50% atau lebih,
selanjutnya perlu dinilai masuk dalam dalam tiga tingkatan kemungkinan sebelum
test lebih lanjut, atau disebut dengan istilah pre-test probabilities (PTP).

d) Pre-Test Probability
PTP merupakan model prediktif yang dapat digunakan untuk memperkirakan
adanya PJK obstruktif berdasarkan data klinis berupa usia, jenis kelamin, dan gejala.
Kemungkinan adanya PJK dikalkulasi melalui prevalensi PJK pada populasi dan juga
manifestasi klinis pada pasien.

A. Tatalaksana Non-farmakologis dan Farmakologis

Rehabilitasi Kardiovaskular
Tujuan tatalaksana APS adalah untuk mengurangi gejala, dan memperbaiki
prognosis. Tatalaksana PJK meliputi modifikasi pola hidup, kontrol faktor risiko PJK, dan
terapi farmakologis berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, dan edukasi pasien.
Rehabilitasi jantung direkomendasikan untuk pasien PJK. Rehabilitasi jantung umumnya
diberikan pada pasien setelah infark miokard atau setelah intervensi koroner, namun harus
dipertimbangkan juga untuk dilakukan pada seluruh pasien dengan PJK, termasuk pasien
dengan angina kronis. Rehabilitasi jantung berbasis latihan efektif menurunkan mortalitas
total dan angka hospitalisasi dari pasien PJK. Bukti-bukti juga menunjukkan efek
menguntungkan dari rehabilitasi jantung untuk meningkatkan kualitas hidup.
1. Rokok
Rokok merupakan prediktor independen yang kuat atas terjadinya PJK. Rokok, dalam hal
ini termasuk merokok secara pasif dan aktif. Berhenti merokok dapat menurunkan
mortalitas sebesar 36% setelah terjadinya infark miokard.
2. Diet
Konsumsi diet yang sehat akan mengurangi risiko PJK. Konsumsi N-3 Polyunsaturated
Fatty Acid (PUFA) yang berasal dari minyak ikan, berpotensi memiliki efek yang
menguntungkan untuk menanggulangi faktor resiko PJK, khususnya untuk menurunkan
trigliserida, namun tidak semua uji klinis randomisasi membuktikan bahwa suplementasi
PUFA dapat menurunkan kejadian kardiovaskular. Sehingga, direkomendasikan untuk
meningkatkan konsumsi PUFA melalui konsumsi ikan dibandingkan dengan melalui
suplemen makanan.
3. Aktivitas fisik
Latihan aerobik perlu diberikan pada pasien dengan PJK sebagai program rehabilitasi
jantung. Pasien dengan riwayat IMA, BPAK, IKP, APS, gagal jantung kronis yang stabil,
harus melaksanakan latihan aerobik intensitas sedang-berat ≥3 kali seminggu dan 30
menit setiap sesi. Pada pasien PJK yang signifikan dan bukan kandidat untuk dilakukan
revaskularisasi, latihan fisik menjadi alternatif untuk memperbaiki gejala dan
meningkatkan prognosis.
4. Managemen Massa Tubuh
Berat badan berlebih dan obesitas berhubungan dengan peningkatan resiko kematian pada
PJK. Penurunan massa tubuh direkomendasikan pada pasien yang berlebih (overweight)
dan obesitas, untuk mendapatkan beberapa efek yang menguntungkan seperti penurunan
tekanan darah, perbaikan dislipidemia, dan metabolisme glukosa. Adanya gejala sleep
apnea harus ditelusuri, khususnya pada pasien obesitas. Sleep apnea berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular.
5. Tatalaksana lipid
Dislipidemia harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman dislipidemia, melalui intervensi
pola hidup dan farmakologis. Pasien PJK memiliki resiko yang sangat tinggi untuk
kejadian kardiovaskuler dan pengobatan statin harus dipertimbangkan. Target kadar LDL
adalah 50% jika konsentrasi target tidak tercapai. Pada sebagian besar pasien, hal ini
dapat dicapai dengan monoterapi statin. Intervensi lain (fibrat, resin, asam nikotinat,
ezetimibe) dapat menurunkan LDL namun tidak memiliki manfaat dalam luaran klinis
pasien, walaupun peningkatan TG dan HDL yang rendah berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, bukti uji klinis tidak cukup kuat untuk
membuatnya menjadi target terapi. Untuk pasien yang menjalani IKP untuk APS,
atorvastatin dosis tinggi dapat menurunkan frekuensi infark miokard peri-prosedural pada
pasien yang baru menerima statin, maupun pasien yang telah lama mengkonsumsi statin.
Sehingga, pemberian statin intensitas tinggi sebelum dilakukan IKP perlu
dipertimbangkan.
6. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan faktor resiko mayor untuk PJK, gagal jantung,
stroke, dan gagal ginjal. Terdapat bukti yang kuat untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik < 140 mmHg dan diatolik , 90 mmHg pada pasien APS dengan hipertensi.
7. Diabetes dan komorbid lain
Diabetes merupakan faktor risiko kuat untuk terjadinya komplikasi kardiovaskuler,
meningkatkan risiko perburukan PJK, dan harus ditatalaksana secara teliti, dengan target
HbAic <7% secara umum dan <6.5 %-6-9% untuk tiap individu. Kontrol gula darah
harus berdasarkan pertimbangan tiap individu, tergantung pada karakteristik pasien,
termasuk usia, adanya komplikasi, dan durasi terjadinya diabetes. Untuk faktor komorbid
lain, tatalaksana faktor risiko juga direkomendasikan, termasuk tatalaksana massa tubuh
sehat, latihan fisik, dan terapi statin. Target tekanan darah pada populasi diabetes dengan
PJK adalah <140/85 mmHg. Pemberian ACEI diperlukan karena bersifat renal protektif.
Pasien dengan gagal ginjal kronis membutuhkan perhatian khusus untuk pengendalian
faktor resiko. Statin pada umumnya dapat ditoleransi pada penderita gagal ginjal kronis
stadium 1-2 sedangkan pada stadium 3-5.statin dengan eksresi ginjal minimal perlu
dipilih (atorvastatin,fluvastatin,pitavastatin,resuvastin).
8. Faktor psikososial
Depresi, kecemasan, dan stres, umum terjadi pada pasien dengan PJK. Pasien harus
dinilai secara psikososial dan diberikan penanganan yang tepat. Rujukan untuk
psikoterapi, pemberian obat-obatan dan penanganan kolaboratif diperlukan untuk gejala
yang signifikan dari depresi maupun ansietas. Pendekatan ini dapat menurunkan gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
9. External Counterpulsation (ECP)
Terapi ECP merupakan sebuah teknik non invasif dengan tujuan mengurangi gejala
angina, yang dinilai objektif dari keadaan iskemik miokard, dan peningkatan pada fungsi
ventrikel kiri (sistolik dan diastolik).

Tatalaksana Farmakologis

Tujuan pemberian tatalaksana farmakologis pada pasien APS adalah untuk


memperbaiki gejala dan utuk mencegah kejadian kardiovaskular. Untuk melegakan gejala
angina, nitrogliserin kerja cepat dapat memberikan kelegaan sementara dari gejala angina.
Obatobatan anti-iskemia dan modifikasi pola hidup memberikan peran untuk
meminimalisir eradikasi gejala dalam jangka waktu panjang (pencegahan jangka panjang).
Tujuan farmakoterapi dan modifikasi pola hidup bertujuan untuk: (i) menurunkan progresi
plak; (ii) menstabilkan plak dengan menurunkan inflamasi dan (iii) mencegah trombosis,
ruptur plak, maupun erosi.
1. Nitrogliserin
Berfungsi untuk relaksasi dan dilatasi dari arteri koroner dan membantu menurunkan
tekanan preload jantung. Obat ini diberikan ketika keluhan nyeri dada muncul,dapat juga
digunakan sebelum melakukan aktifitas yang mungkin bisa menimbulkan gejala nyeri
dada. Kontra indikasi : pasien hipotensi. Contoh isosorbid dinitrat/isosorbid mononitrat
2. Antiplatelet
Pilihan yang dapat diberikan :
 Lini pertama obat antiplatelet adalah aspirin. Dosis aspirin 1 x 80-160
mg/hari,diberikan seumur hidup.
 Pasien yang tidak toleran terhadap aspirin dapat diganti dengan terapi lini kedua
yaitu clopidogrel. Dosis : 1 x 75 mg/ hari, diberikan seumur hidup.
3. Statin
Dapat menstabilkan plak aterosklerosis di arteri koroner. Contoh golongan statin yang
dapat diberikan : simvastatin 1 x 20-40 mg, atau atorvastatin 1x 20-40 mg atau
rosuvastatin 1x 10-20 mg.
4. ACE inhibitor
Obat ini hanya diberikan bila angina pectoris stabil disertai dengan penyakit penyerta
seperti hipertensi,diabetes,penyakit ginjal kronis atau pada pasien dengan komplikasi
seperti gagal jantung pasca infark miokard.
5. Beta Blocker
Bekerja dengan menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas. Sehingga kebutuhan
oksigen pada miokard juga berkurang. Obat ini tidak secara spesifik menurunkan
penyakit jantug koroner atau angka kematian akibat infark miokard, namun terbukti dapat
mrningkatkan prognosis pada pasien pasca infark mioakrd dan pasien gagal jantung.
Kontraindikasi obat ini adalah pada pasien bradikardi, blok AV, atau memiliki riwayat
asma berat. Contoh beta blocjer yang biasa digunakan: bisoprolol 1x 5-10 mg atau
carvedilol 2x 25 mg atau metaprolol 2x 50 mg.
6. Antagonis kalsium merupakan lini kedua dari beta blicker. Obat ini dapat diberikan pada
pasien yang kontraindikasi dengan beta blocker atau pada pasien yang mengonsumsi beta
blocker tapi belum memberikan hasil terapi yang maksimal.

Sumber : Panduan Evaluasi dan Tatalaksana Angina Pectoris Stabil,Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular.2019.

Yanthi,Ni Made Juita Kama Perastika. 2020. Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien
Angina Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Ruang Oleg RSD Mangusada.
Poltekkes Denpasar Jurusan Keperawatan.

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL DAN INFARK MIOKARD NON ST


ELEVASI

Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST
elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai
dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika
marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi
menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi
NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut
dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih
rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang
dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah
perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi
beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.

Presentasi klinik.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian besar
pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society.
Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo): menjadi
makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard

Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada
wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru
atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa
keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin,
umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK, terutama
infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA. Keluhan yang sama
pada seorang pria berumur lanjut (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang
menengah suatu SKA. Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada
seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan presentasi
dari SKA.

Pemeriksaan fisik.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan
mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.

Elektrokardiogram.
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa
didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu
diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan
perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi segmen ST
yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA
tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks
atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu
dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST
yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm.
Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q
≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan
tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga diagnosis yang seharusnya
dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika pemeriksaan EKG awal
menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan
diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang
tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST
dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat
dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi
saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis
UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa
pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif,
dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan
diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stress test
negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan .

Marker jantung.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam.
Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria
lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal,
ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif
pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut.
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4
jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar
troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 2).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan
oleh laboratorium setempat.

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan.


CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12
jam, dan menetap sampai 2 hari.

Pemeriksaan Noninvasif.
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel
kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau
akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal
saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang
gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat
normal dan marka jantung yang negatif.

Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai


penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika
pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.

Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner).


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK,
sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko
tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau
peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien
dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang
memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner
disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas
antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan
filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.

Tabel Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi

KEMUNGKIN KEMUNGK KEMUN


AN INAN GKIN
BESAR SEDAN AN
Salah satu dari: G KECI
Salah satu L
dari: Salah
satu
dari:
Anam Nyeri dada atau Nyeri di Nyeri
ne lengan kiri dada dada
sis yang atau di tidak
berulang lengan khas
Mempunyai kiri angin
riwayat Pria, usia a
PJK, >70
termasuk infark tahun,
miokard diabetes
mellitus
Pemer Regurgitasi Penyakit Nyeri
iks mitral, vaskular dada
aa hipotensi, ekstra timbu
n diaphoresis, kardiak l
fis edema paru, setiap
ik atau ronkhi dilaku
kan
palpa
si
Palpasi
EKG Depresi Gelombang Gelomba
segmen ST Q yang ng T
≥1 mm atau menetap mend
inversi atar
gelombang Depresi atau
T yang baru segmen invers
(atau ST 0,5-1 i <1
dianggap mm atau mm
baru) di inversi di
beberapa gelomba sadap
sadapan ng T >1 an
prekordial mm denga
n
gelom
bang
R
yang
domi
nan

Marka Kadar troponin Normal Normal


jantun I/T atau
g CKMB
meningkat

STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa
stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction
dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can
Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with
Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi
risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik.
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.

Tabel Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI

Parameter
Usia > 65 tahun 1
Lebih dari 3 faktor risiko* 1
Angiogram koroner sebelumnya 1
menunjukkan stenosis >50%
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat 1
dalam 24 jam terakhir
Deviasi ST > 1 mm saat tiba 1
Peningkatan marka jantung (CK, 1
Troponin)
*Faktor risiko: hipertensi, DM, merokok, riwayat dalam keluarga, dislipidemia
Tabel Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI

Skor Risiko Risiko


TIM Kejadian
I Kedua
0-2 Rendah <8,3 %
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi ≤41%

Tabel Skor GRACE

Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba 43
di RS
Peningkatan marka 15
jantung
Deviasi segmen ST 30

Tabel Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip


Kela Temuan Klinis Mortalit
s as
K
il
li
p
I Tidak terdapat gagal jantung 6%
(tidak terdapat
ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung
ditandai dengan S3 dan 17%
ronkhi basah pada setengah
lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai
oleh ronkhi basah 38%
di seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik
ditandai oleh tekanan darah
sistolik <90 mmHg dan
tanda hipoperfusi jaringan 81%

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala upaya
perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang
dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum
dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin,
laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya,
adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak
diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens
kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan
yang lebih tinggi.
Tabel Skor risiko perdarahan CRUSADE

Prediktor Skor
Hematokrit awal, %
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Pria 0
Wanita 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5

Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE

Skor Tingkat Risiko


CRUS risiko perdarah
ADE an
1-20 Sangat 3,1%
rendah
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat 19,5%
tinggi

TERAPI
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif dan
waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya
angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi.
Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi
menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko
tinggi (high risk) primer
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan
gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas III-A)

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan dianggap
memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
o Nyeri dada tidak berulang
o Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
o Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga 9)
o Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)
o Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI juga
dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif.
Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum
dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk menentukan adanya iskemi yang dapat
ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi
elektif.

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:

Anti Iskemia

Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat
oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

Tabel Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate Sublingual 2,5–15 mg (onset 5
(ISDN) menit)

Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Intravena 1,25-5 mg/jam


Isosorbid 5 Oral 2x20 mg/hari
mononitrate Oral (slow release) 120-240
mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5

(trinitrin, TNT, glyceryl mg

trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit


Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek
vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang
seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan
untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan
angina.

Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

Penghambat kanal Dosis


kalsium
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS 30-90 mg/hari
(long acting)
Amlodipine 5-10 mg/hari

Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading
150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang,
tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual
antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
4. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan
90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)

5. Clopidogreldirekomendasikanuntukpasienyangtidakbisamenggunakan ticagrelor. Dosis


loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari. Pemberian dosis loading
clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP)
direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak
bisa

Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

Antiplate Dosis
let
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan
75-100 mg
Ticagrel Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90
or mg/hari
Clopidog Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75
rel mg/hari

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan.
Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet
Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

Tabel Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

Antikoagul Dosis
an
Fondaparin 2,5 mg subkutan
uks
Enoksapari 1mg/kg, dua kali sehari
n
Heparin Bolus i.v. 60
tidak U/g, dosis
terfraksi maksimal 4000
U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal
1000 U/jam target aPTT 11/2-2x
kontrol

Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Tabel Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

Inhibitor dosis
ACE
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2
dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2
dosis

Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai
sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL
mungkin untuk dicapai.
Sumber : Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.

9.Bagaimana penatalaksanaan, Komplikasi dan prognosis, serta pencegahan dari


diagnosis sementara

a.Penatalaksanaan

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obatpenunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).
 Tatalaksana awal

Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pumpfailure).

Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit padaSTEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak,yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertamaonset gejala. Dan lebih
dariseparuhnya terjadi pada jampertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

o Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencaripertolongan medis


o Segera memanggil tim medis emergensi yang dapatmelakukan tindakan resusitasi
o Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyaifasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawatyang terlatih.
o Melakukan terapi reperfusi

Keterlambatan terbanyak yang terjadi padapenanganan pasien biasanya bukan selama


transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onsetnyeri dada sampai keputusan
pasien untuk memintapertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan caraedukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesionalkesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.

Pemberian fibrinolitikpra hospital hanya bisadikerjakan jika ada paramedis di ambulans


yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando
medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.

Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapireperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruanganyang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
 Tatalaksana Umum
7. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengansaturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

8. Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.

9. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.

10. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

11. Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mgsetiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syaratfrekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >
100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

12. Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,meminimalkan derajat disfungsi


dan dilatasi ventrikel danmengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau medical contact to
needle) time untuk memulai terapi fibronolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to baloon
(medical contact to baloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

 Seleksi Strategi Reperfusi

Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi. Untuk pasien
STEMI yang dikirim ke RS yang tersedia fasilitas PCI, PCI primer harus dikerjakan dalam 90
menit. Untuk pasien yang datang keRS tanpa fasilitas PCI, harus dinilai secara cepat :

1. Waktu mulai onset gejala

2. Risiko komplikasi terkait STEMI

3. Risiko perdarahan dengan fibrinolisis


4. Adanya syok atau gagal jantung berat

5. Waktu yang dibutuhkan untuk transfer ke RS yang mempunyai fasilitas PCI

Waktu Onset Gejala

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung
dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka
kematian.

Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang
banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan
tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.

The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact to balloon atau
door to balloon time dalam waktu 90 menit.

Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti
pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

Risiko Perdarahan

Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan dengan
terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat
terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Waktu yang Dibutuhkan untuk Transportke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yangdapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren
non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard non fatal berulang.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului


fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokark akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat,
atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa
Rumah Sakit.

Reperfusi Farmakologis

Fibrinolisis

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time< 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen
activator (TPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (TPA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik
fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri yang terlibat (culprit) digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
gradingsystem:

o Grade 0 menunjukkan oklusi total (completeocclusion)pada arteri yang terkena


infark.
o Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
o Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
o Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang.

Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai 50%
jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10
tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan
mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi
dalam 1-3 jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat dilihat pada tabel 3, terapi
masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih
tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang yang baru. Jika
dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap
masalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.
Tissue plasminogen activator (tPA) dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA
dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran
koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.

Obat Fibrinolitik

5. Streptokinase (SK)

Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah, manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 trial.

6. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)

Global Use of Strategies to Open Coronary Arteries-1 (GUSTO-1) trial menunjukkan


penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK.
Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih
tinggi

7. Reteplase (Retavase)

INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang

8. Tenekteplase (TNKase)

Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi tehadap


plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA.
Indikasi Terapi Fibrinolitik (ACCF-AHA 2013)

Klas I

2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI
dengan onset gejala iskemik <12 jam jika diantisipasi intervensi koroner perkutan primer
tidak dapat dikerjakan dalam 120 menit setelah kontak medis pertama.

Klas II a

3. Jika tidak terdapat kontra indikasi dan jika intervensi koroner perkutan tidak tersedia,
4. Terapi fibrinolitik dipertimbangkan pada pasien STEMI jika terdapat bukti klinis
dan/atau EKG iskemia yang sedang berlangsung dalam sampai 24 jam onset gejala dan
area miokard luas yang berisiko atau hemodinamik tidak stabil.

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST > 50%
dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous coronary intervention (PCI)

Tatalaksana di Rumah Sakit

ICCU

Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.

Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infarkmiokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori
total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya
serat, kalium, magnesium dan rendah natrium.

Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri
sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur,
diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200 mg/hari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.

Terapi Farmakologis

 Antitrombotik
7. Terapi Antiplatelet

Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.

8. Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.

o 162-325 mgload sebelum prosedur


o 81-325mg dosis pemeliharaan per hari
o 81 mg per hari adalah dosis pemeliharaan yang dianjurkan (dosis pemeliharaan
aspirin yang direkomendasikan bersama ticagrelor adalah 81 mg)
9. Klopidogrel

Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami
PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak
menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.

10. Prasugrel

Prasugrel, suatu tienopiridin alternatif, menghambat agregasi trombosit lebih besaR


dibandingkan dengan klopidogrel. Pada peneletian TRITON-TIMI 38 yang membandingkan
prasugrel dengan klopidogrel pada pasien sindrom kooroner akut yang direncanakan strategi
invasuf dini, pasien STEMI yang mendapat prasugrel mempunyai mortalitas 30 hari lebih rendah
pada outcome primer dan perbedaan tersebut menetap sampai 15 bulan. Laju trombosis stent
pada hari ke 30 lebih rendah bermakna dengan prasugrel. Manfaat prasugrel relatif terhadap
klopidogrel pada pasien STEMI harus lebih besar daripada meningkatnya risiko perdarahan.
Prasugrel tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat strok atau serangan iskemik
sementara dan tidak menunjukkan manfaat pada pasien > 75 tahun atau pasien dengan berat
badan > 60 kg.

11. Ticagrelor

Ticagrelor merupakan antagonis reseptor P2Y reversibel, yang tidak memerlukan konversi
metabolik menjadi obat aktif. Penelitian PLATO (Platelet inhibition and Patient Outcomes)
membandingkan ticagrelor (dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari) dengan
klopidogrel (dosis loading 300 sampai 600 mg, dilanjutkan 75 mg per hari), untuk pencegahan
kejadian kardiovaskular pada 18624 pasien SKA di mana 35% adalah STEMI. Terdapat
penurunan bermakna kejadian trombosis stent dan kematian total pada kelompok yang mendapat
ticagrelor yang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) primer walaupun terdapat lebih
banyak strok dan kejadian perdarahan intrakranial pada kelompok ticagrelor. Analisis subgrup
pada penelitian PLATO menunjukkan interaksi yang bermakna antara efek terapi dan regio
geografis, dengan efek ticagrelor lebih kecil di Amerika Utara dibandingkan dengan area lain.
Walaupun interaksi tersebut dapat terjadi secara kebetulan, pengaruh dosis aspirin yang lebih
tinggi, yang digunakan lebih sering di Amerika Serikat tidak dapat disingkirkan. Jika akan
digunakan ticagrelor jangka panjang sebagai komponen terapi dua antiplatelet, dosis aspirin tidak
boleh melebihi 100 mg.

12. GP IIb/IIIa Inhibitor

Penggunaan obat GP Ib/IIIa pada waktu PCI dapat dipertimbangkan secara individual
untuk trombus yang besar atau loadinganatagonis reseptor P2Y,, yang tidak adekuat. Pada pasien
yang mendapat bivalirudin sebagai antikoagulan primer, penggunaan inhibitor GP IIb/IIIa
tambahan secara rutin tidak direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan sebagai penunjang
atau terapi bailout pada kasus tertentu.

 Terapi Antikoagulan
6. UnfractionatedHeparin
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus
60 U/kg (maksimum

4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

7. Low-Molecular-WeightHeparin (LMWH)

Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low- molecular-weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural
pada ekokardiografi dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.

8. Fondaparinux

Pada penelitian OASIS-6, fondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung,
lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan
reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani
PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih
tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter,
sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter .

Pada pasca STEMI dengan onset<12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien
STEMI dengan onset> 12 jam aspirin, klopidogrel dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin
atau fondaparinux) harus diberikan sesegera mungkin.

9. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun,blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma)

10. Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEML Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam
tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers ventrikel kiri (ARB) mungkin bermanfaat
pada pasien dengan fungsi menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor
ACE.

b.KOMPLIKASI
1.Disfungsi Ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infarkal; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial
normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan
segmen non infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE
dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal
jantung, inhibitor ACE harus diberikan.

2.Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

3.Syok Kardiogenik

Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.

Tatalaksana Syok Kardiogenik

o Terapi O2
o Jika tekanan darah sistolik < 70mmig dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin
o Jika tekanan darah sistolik 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin
dosis 5-15 g/kgBB/menit
o Jika tekanan darah 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/ menit
o Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada
pasien 75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam
IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok,
kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
o Terapi tromboliti diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak
ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis
o Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis bila
sarana tersedia
6. Infark ventikel Kanan

Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-kurangnya


nekrosis ventrikel kanan derajat ringan, Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada
ventrikel kanan Infark ventrikel kanan secara klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
Elevasi segmen ST pada sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R sering dijumpai
dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk
mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan
dengan reduksi Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri pulmonalis.

7. Aritmia Pasca STEMI

Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.

c. Pencegahan
Mengontrol faktor risiko yang dapat di modifikasi seperti, merokok, stress mental,
alkohol, obesitas, hipertensi, dislipidemia.

d.Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana: 53 gallop, kongesti paru dan
syok

Kardiogenik.

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary


capillary wedge pressure (PCWP)

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.
Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardivaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana Sindrom
Koroner Akut edisi 3. 2015.

Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, Prima, dkk. 2015. Penyebab Nyeri Dada Pada Dewasa. Jurnal kardiologi
Indonesia.vol.36.no 4

Arnett DK, Blumenthal RS, Albert MA, Michos ED, Buroker AB, Miedema MD, et al. 2019
ACC/AHA Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease. J Am Coll
Cardiol. 2019 Mar 17.

Basri,Iqbal.2015.Buku Ajar Anatomi Biomedik 1.Sulawesi Selatan,Makassar : Fakultas


Kedokteran Hasanuddin.

Hendriarto, Satoto, H., 2014. Jurnal Coronary Heart Disease Pathophysiology. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Journal eprints.umm.ac.id. diakses pada tanggal 11 Desember 2020.

Jurnal kedokteran yarsi 20 (1) “Mencari penyebab nyeri dada kardiak dan non kardiak”

Lintong. Perkembangan Konsep Patogenesis Aterosklerosis. Jurnal Biomedik, Volume 1,


Nomor 1, Maret 2009, hlm. 12-22. Diakses di:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/806/624

Mahamada, Ardho., Yerizal Karan, Rismawati. Hubungan Kadar Glutamic Oksaloasetat


Transaminase Dengan Lama Perawatan Pasien Infark Miokard Akut di RSUP. Dr. M. Djamil
Periode Januari-Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 6(3).

Makin, A, and Silverman SH, 2002, Peripheral Vascular Disease and Virchow’s Triad for
Thrombogenesis, Q J Med ; 95: 199-210.

McNeil JJ, Woods RL, Nelson MR, Reid CM, Kirpach B, Wolfe R, et al.Effect of Aspirin on
Disability-free Survival in the Healthy Elderly. N Engl J Med. 2018

Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Panduan Evaluasi dan Tatalaksana Angina Pectoris Stabil,Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular.2019.

Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23, EGC, Jakarta

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardivaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana Sindrom Koroner


Akut edisi 3. 2015.

Rizal, Anugrah Danang Ifnu, 2012, Pengaruh Pemberian Heparin Intravena Sebagai
Profilaksis Deep Vein Thrombosis Terhadap Kadar Fibrinogen, Karya Tulis Ilmiah, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Samsu, Nur., Djanggan Sargowo. 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada
Diagnosis Infark Miokard Akut. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 57(10).

Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur
Ginting.Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Fakultas Kedokteran USU, RSUP
H. Adam Malik.Diakses pada tanggal 15 desember 2020.
Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
2014.

Ujiani, Sri. 2014. Gambaran Kadar Low Density Lipoprotein (LDL) Cholesterol Dan Creatine
Kinase-Myocardial Band (CK-MB) Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK). Jurnal Analis
Kesehatan. Vol 3(1).

Yanthi,Ni Made Juita Kama Perastika. 2020. Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien Angina
Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Ruang Oleg RSD Mangusada. Poltekkes Denpasar
Jurusan Keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai