MODUL 1
“`NYERI DADA”
Tutor :dr.Fatimah
KELOMPOK VIII
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
LAPORAN TUTORIAL 2020
UNIVERSITAS HALU OLEO
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : NYERI DADA
Nama Anggota Kelompok :
dr.Fatimah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing
Tutorial Modul 1 Lemah Separuh Badan. Taklupa pula kami sampaikan rasa terimakasih kami
kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam
menyelesaikan laporan hasil tutorial Hemispharese.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari
bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan
laporan yang kami susun ini.
Kelompok VIII
MODUL 1
NYERI DADA
A.SKENARIO
B.KATA SULIT :
C.KATA KUNCI
1. Laki-laki umur 60 tahun
2.Nyeri dada yang berat dan menyebar ke lengan
3.Kebiasaan merokok 10 batang tiap hari
4.Pemeriksaan fisik yang didapatkan :
-Pucat
-Kulit dingin dan berkeringat
-Nadinya lemah, dengan sekali – kali ekstrasistol
-Tekanan darah arterial 90/75 mmHg
-Bunyi jantung normal
5.Pemeriksaan EKG diperoleh gelombang Q besar dan elevasi segmen ST
6.Pemeriksaan laboratorium analisa plasma peningkatan enzim jantung (laktat
dehidroginase. Kretinin fosfokinase, aspartartat aminotransferase)
7.Diagnosa kerja infark miokard karena thrombosis arteri coroner
8.Terapi yang telah diberikan oksigen, morfin, dan infus streptokinase untuk melisiskan
thrombus.
9.Telah diberikan regular aspirin dosis rendah
D.PERTANYAAN
1.Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi jantung dan arteri coroner?
2.Bagaimana patomekanisme nyeri dada dan mekanisme penjalarannya dan jelaskan
perbedaan nyeri dada kardiovaskuler dan bukan kardiovaskuler!
3.Bagaimana patogenesis aterosklerosis dan thrombosis arteri koroner?
4.Jelaskan patomekanisme dari pucat, kulit dingin, dan berkeringat!
5.Mengapa pemberian aspirin dimulai dari dosis rendah ?
6.Apa saja keadaan yang menyebabkan syok kardiogenik dan bagaimana penanganan awal
yang dapat dilakukan pada syok kardiogenik?
7.Bagaimana anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang terkait skenario?
8.Jelaskan DD dan DS terkait skenario!
9.Bagaimana penatalaksanaan,Komplikasi dan prognosis, serta pencegahan dari diagnosis
sementara?
E.PEMBAHASAN
1.Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi jantung dan arteri coroner
a.Anatomi kardiovaskular
Jantung terletak dalam ruang mediastinum inferius rongga dada. Dibungkus oleh
perikardium yang terdiri dari dua lapisan yaitu pericardium visceralis dan pericardium
parietalis. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh cairan pelumas untuk menghindari gesekan.
Jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah berupa otot
disebut miokardium, dan lapisan endotel yaitu endokardium.
Ruang jantung dibagi atas 4 bagian yaitu atrium kanan dan ventrikel kanan serta atrium kiri
dan ventrikel kiri. Masing-masing ruang dibatasi oleh septum dan katup.
Jantung terletak pada :
I. Tepi kiri atas terdapat pada ICS II pada lateral sternum.
II. Tepi kiri bawah terdapat pada ICS V di media linea midclavicula sinistra
III.Tepi kanan atas terdapat pada ICS III pada tepi lateral sternum.
IV.Tepi kanan bawah terdapat pada ICS VI pada tepi lateral sternum.
Innervasi jantung
Innervasi cor dibagi menjadi innervasi intrinsik, yaitu sistem konduksi jantung berupa nodus
sinoatrialis, nodus atrioventrikularis dan fasciculus atrioventrikularis dan innervasi extrinsik
yang dibentuk oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut-serabut simpatis berasal dari dua sumber, yaitu secara langsung berasal dari
ganglion paravertebrale thoracal 1-5, disebut rami mediastinales, dan secara tidak langsung dari
ganglion cervicale. Ganglion cervicale adalah ganglion paravertebrale yang merupakan bagian
dari truncus symphaticu, terdiri dari ganglion cervicale superius, ganglion cervicale medium, dan
ganglion cervicale inferius (= ganglion cervicothoracicum.).
Serabut-serabut saraf parasimpatis berasal dari nervus vagus, sebagai berikut :
I. Ramus cardiacus superius yang dipercabangkan tepat setelah N.Vagus mempercabangkan
nervus laryngeus superoir ;
II. Ramus cardiacus inferius yang dipercabangkan sewaktu N.Vagus mempercabangkan
nervus recurrens
Serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis tersebut diatas membentuk plexus cardiacus,
terdiri dari :
I. Plexus cardiacus superficialis, yang terletak pada pangkal aorta di bagian konkaf dari
arcus aorta, agak ke kanan dari ligamentum arteriosum Botalli. Menerima serabut-serabut
saraf parasimpatis dari ramus cardiacus inferius sinister, dan menerima serabut saraf
simpatis dari nervus cardiacus superius sinister. Dari plexus ini dipercabangkan cabang-
cabang yang menuju ke plexus cardiacus profundus sinister dan plexus cardiacus
profundus dexter, plexus coronarius dexter dan plexus pulmonalis anterior sinister.
II. Plexus cardiacus profundus, yang terletak pada pangkal aorta di sebelah dorsal, yaitu
berada di sebelah ventral bifurcatio trachea, di sebelah cranial bifurcatio arteria
pulmonalis, di sebelah postero-medial arcus aorta. Plexus ini terdiri dari plexus cardiacus
profundus dexter dan plexus cardiacus profundus sinister.
Plexus cardiacus profundus dexter menerima serabut-serabut saraf simpatis melalui nervus
cardiacus dexter, nervus cardiacus medius dexter, nervus cardiacus inferius dexter dan
ramimediastinales 1-5 dextra. Menerima serabut saraf parasimpatis melalui ramus cardiacus
superius dexter yang berjalan mengikuti arteri carotis communis dexter, arteria anonyma, dan
tiba di sebelah dorsal arcus aorta; selain itu menerima juga ramus cardiacus inferius dexter dan
ramus cardiacothoracalis dexter. Dari plexus cardiacus profundus dexter dipercabangkan cabang-
cabang yang menuju ke plexus coronarius sinister dan plexus coronarius dexter, plexus
pulmonalis anterior dexter, dan cabang-cabang yang menuju ke atrium dextrum.
Plexus cardiacus profundus sinister menerima serabut-serabut saraf simpatis melalui nervus
cardiacus medius sinister, nervus cardiacus inferius sinister, rami mediatinales sinister 1-5, dan
menerima serabut parasimpatis melalui ramus cardiacus superius sinister. Dari plexus ini
dipercabangkan cabang-cabang yang menuju ke plexus coronarius sinister, plexus pulmonalis
anterior sinister, serta cabang-cabang yang menuju dinding atrium sinistrum.
Plexus coronarius dexter berada di dalam sulcus coronarius dan mengikuti arteria coronaria
dextra, mempersarafi arteria coronaria dextra, atrium dextrum dan ventriculus dexter.
Plexus coronarius sinister berada di dalam sulcus longitudinalis anterior dan mengikuti
arteria coronaria sinistra, mempersarafi arteria coronaria sinistra, atrium dextrum dan ventriculus
sinister.
Catatan
I. Nervus cardiacus superius hanya mengandung serabut efferent saja;
II. Saraf parasimpatis berfungsi menghambat denyut jantung (cardiac inhibitory) dan
kontraksi arteria coronaria; serabut efferent preganglionic berganti neuron pada ganglion
cardiacus Wrisbergi dan pada cor sendiri (ganglion intrinsik). Serabut afferent dari cor,
dari aorta ascendens dan dari pembuluh vena besar berperan dalam reflex yang menekan
denyut jantung (badan sel dari serabut ini tedapat pada ganglion inferius dari nervus
vagus)
III. Saraf simpatis befungsi mempercepat denyut jantung (cardiac accelerator) dan
dilatasi arteria coronaria. Badan sel dari saraf ini berada pada ganglion cervicalis dan
ganglion paravertebrale thoracalis 1-5. Selain itu serabut-serabut afferent membawa juga
stimulus sakit dari jantung dan aorta, dimana badan sel dari serabut-serabut ini berada
pada ganglin spinale.
Pembuluh darah otot jantung berasal dari 2 pembuluh koroner utama yang keluar dari sinus
valsava aorta. Pembuluh koroner pertama adalah ateri koroner 10 kiri atau Left Main Coronary
Artery (LMCA) yang berjalan di belakang arteri pulmonal sepanjang 1-2 cm untuk kemudian
bercabang menjadi Left Circumflex Artery (LCX) yang berjalan pada sulkus artrio-ventrikuler
mengelilingi permukaan posterior jantung dan arteri desenden anterior kiri atau Left Anterior
Descendent Artery (LAD) yang berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks. Pembuluh
darah ini juga bercabang-cabang mendarahi daerah diantara kedua sulkus tersebut. Pembuluh
koroner kedua, disebut sebagai arteri koroner kanan, mendarahi nodus sino-atrial dan nodus
atrio-entrikuler melalui kedua percabangannya yaitu, arteri atrium anterior kanan dan arteri
koroner desenden posterior. Fungsi pembuluh vena jantung diperankan oleh vena koroner yang
selaluberjalan berdampingan dengan arteri koroner, yang kemudian akan bermuara ke dalam
atrium kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat pula vena thebesii, yaitu vena-vena
kecil yang langsung bermuara ke dalam arterium kanan.
Sumber : Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23, EGC,
Jakarta
a. Histologi jantung
Secara histologi jantung dibagi menjadi tiga lapisan yaitu endocardium, miocardium, dan
epicardium.
Endokardium : terdapat perbedaan ketebalan antar atrium dan ventrikel. Pada atrium
endocardiumnya tebal sedang di ventrikel tipis. Lapisannya terdiri dari endotel, subendotel,
elastikomuskuler, dan subendokardial.
Miocardium : merupakan bagian paling tebal dari dinding jantung yang terdiri dari lapisan
otot jantung. Atrium tipis ventrikel tebal. Ventrikel kanan < ventrikel kiri. Terdapat diskus
interkalaris : Fascia adheren dan Gap junction.
Epicardium : merupakan lapisan luar jantung yang terdiri dari jaringan ikat fibroelastis dan
mesotel. Epicardium terdiri dari pericardium, kavum pericard, pericardium viseralis dan
pericardium parietalis.
Sumber : Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
b. Fisiologi kardiovaskular
Setiap siklus jantung terdiri dari peristia listrik dan mekanik yang saling terkait. Gelombang
rangsangan listrik dimulai dari nodus SA melalui sistem konduksi menuju miokard untuk
merangsang kontraksi otot. Rangsangan ini disebut depolarisasi dan pemulihan kembali disebut
repolarisasi.
Kontraksi otot miokardium menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan
sistemik. Volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit disebut curah jantung. Curah
jantung rata-rata adalah 5L/menit.
Sumber : Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
ARTERI CORONARIA
R. coni arterios
R. nodi sinuatrialis {dua pertiga darikeseluruhan kasus): ke nodus SA
R. Marginalis dexter
R. posterolateralis dexter
R. nodi atrioventricularis: ke nodus AV(jika "dominan-kanan")
R. interventricularis posterior (jika"dominan-kanan") bersama denganRr.
interventricularis septales,menyuplai berkas HlS.
R. interventricularis anterior:
R. coni arterios
R. lateralis (istilah klinis: R. diagonalis)
Rr. interventriculares septales
R. circumflexus:
R. nodi sinuatrialis {sepertiga darisemua kasus): ke nodus SA
R. marginalis sinister
R. posterior ventriculi sinistri
Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;dilihat dari kaudal.
a. Tipe perfusi seimbang atau ko-dominan: Arteri coronaria sinistra menyuplai dua
pertiga bagian anterior septum melalui Rr. interventriculares septales dari R.
interventricularis anterier (R. descedens anterior sinistra, left anterior descending (LAD),
cabang yang sama yang berasal dari R. interventricularis posterior A.coronaria dextra
menyuplai sepertiga posterior septum.
Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;
dilihat dari kaudal.
b. Tipe perfusi dominan-kiri: A. coronaria sinistra menyuplai seluruh septum dan nodus
AV
Area yang disuplai oleh A. coronaria dextra(merah terang) dan sinistra (merah gelap)
dalam sayatan melintang;
dilihat dari kaudal.
c. Tipe perfusi dominan-kanan: Dua pertiga septum dan area besar di bagian posterior
ventrikel kiri disuplai oleh A. coronaria dextra.
Tipe perfusi mempunyai efek terhadap derajat keparahan infark miokard yang disebabkan oklusi
salah satu arteri coronaria.
a. Oklusi terisolasi pada R. interventricularis anterior (R. Descedens anterior sinistra, left
anterior descending (LAD)) menyebabkan infark miokard anterior.
b. Oklusi distal pada R. interventricularis anterior menyebabkan infark miokard di apeks
jantung, sering disebut sebagai infark apikal.
c. Jika hanya R. lateralis yang tersumbat, maka infark miokard terbatas pada dinding lateral
ventrikel.
Histologi arteri
a. Arteri besar
Arteri besar mencakup aorta beserat cabang-cabang besanya. Warnanya kekuningan
karena banyak elastis di bagian medianya.
1. Tunka intima
Lebih tebal daripada tunika intima di arteri sedang
Endotel berbentuk poligonal
Jaringan subendotel terdiri atas serabut kolagen dan otot polos yang
berjalan longitudinal
2. Tunika media
Tersusun dari lembaran-lembaran jaringan elastis yang tersusun konsntris,
diantaranya terdapat otot polos fibrosit dan serabut kolagen
3. Tunika adventitia
Merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan pengikat longgar. Terdapat
vasa vasorum yang bisa sampai pada tunika media.
c. Arteri kecil
Umumnya berdiameter kurang dari 0,5 mm dan memiliki lumen yang relatif sempit.
Tidak terdapat tunika intima, tunika elastika interna maupun eksterna. Dan tunika
media umumnya terdiri atas satu dua lapis sel otot polos yang melingkar. Sedangkan
tunika adventitianya sangat tipis.
Sumber : Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan
diastole (relaksasi dan pengisian jantung).Atrium dan ventrikel mengalami siklus
sistol dan diastole yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
keseluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.
Infark miokard akut terjadi aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. IMA terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, dan jika kondisi
lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi
ruptur yang menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
bahwa plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain
itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factorpada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade
koagulasi dapat dilihat pada gambar di bawah. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.
Semua jalur nyeri dari jantung belum di tentukan secara tepat. Fakta-fakta
berikut ini secara umum diterima. Nyeri iskemik yang muncul pada otot jantung
melewati serabut nyeri pada pleksus saraf pada tunika adventisia arteri koroner.
Impuls nyeri dibawa oleh saraf simpatis ke ganglia simpatis segmen thoracal I-IV.
Dari sini, mereka masuk ke segmen yang sesuai dari innervasinya (T. I-IV). Serabut-
serabut saraf ini, mentransmisikan nyeri viseral dari jantung, bergabung dengan
impuls nyeri somatik dari area kulit yang juga di innervasi oleh segmen T. I-IV, yaitu
bagian tengah dan atas dada bagian depan dan bagian tengah lengan menjalar ke
lengan bagian bawah. Hubungan kedua saraf sensorik ini menjelaskan bagaimana
sensasi yang timbul dalam jantung dirasakan oleh pasien di lengan dan dada.
Sumber: Hendriarto, Satoto, H., 2014. Jurnal Coronary Heart Disease Pathophysiology.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Almazini, Prima, dkk. 2015. Penyebab Nyeri Dada Pada Dewasa. Jurnal kardiologi
Indonesia.vol.36.no 4
Nyeri dada merupakan gejala paling umum tanpa bergantung pada lokasi infark. Infark
anterior sering menimbulkan sesak nafas karena gangguan ventrikel kiri. Nervus vagus
mempunyai peran menimbulkan mual dan muntah pada pasien infark inferior. Infark lateral sering
menimbulkan nyeri lengan kiri. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interscapula, perut dan dapat pula ke lengan kanan. Kombinasi nyeri dada
substernal>30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak dijumpai pada ruang perawatan
akut.Penyebab utama dari nyeri dada akut meliputi: kardiak, gastroesofageal, muskuloskeletal,
pulmonal, dan psikologis. Penyebab kardiak iskemik meliputi penyakit jantung koroner, stenosis
aorta, spasme arteri koroner, dan kardiomiopati hipertrofi.Penyebab kardiak non iskemik
meliputi perikarditis, diseksi aorta, aneurisma aorta, dan prolaps katup mitral.
Diseksi Aorta
Nyeri pada diseksi aorta biasanya tanpa didahui oleh gejala awal dan onsetnya mendadak
(langsung), tidak seperti nyeri MI yang berangsur-angsur dalam hitungan menit, sangat berat
dan dirasakan seperti dirobek-robek. Lokasi nyeri menunjukan tempat diseksi aorta. Maka
pada bentuk klasik diseksi aorta asendens dimulai di dada anterior, terjadi sangat cepat
(kurang dari bebera pamenit), bergerak kearah leher, kemudian ke punggung. Diseksi yang
berasal dari arkus aorta mula-mula dirasakan di leher, dan pada diseksi aorta desendens nyeri
dirasakan di daerah interskapula atau bahu.
Nyeri Pleuritik
Nyeri pleuritik adalah nyeri yang tajam, menjepit, dieksaserbasi oleh respirasi, khususnya
inspirasi dalam. Bila berat, pasien harus bernafas pendek untuk mengurangi nyeri. Ada dua
penyebab;
Nyeri Pleural; merupakan pleuritis yang dirasakan di salah satu sisi dada, tidak
dipengaruhi oleh posisi tubuh. Bisa terdengar pleural rub. Diagnosis ditegakan dengan
menemukan gejala dan tanda lain yang berhubungan. Pleuritis terjadi pada pneumonia
(demam, batuk, takipnea dan pernapasan bronkial), emboli paru (sasak napas, takikardia,
sianosis tanpa pernapasan bronkial) dan pneumotoraks (tidak terdengar suara napas).
Nyeri Perikardial; seperti pleuritis, nyeri pericardial diperberat oleh inspirasi dalam,
namun lokasinya di dada bagian tengah, dipengaruhi oleh posisi tubuh, biasanya lebih berat
bila berbaring, dan berkurang bila duduk. Bisa terdengar pericardial rub pada auskultasi,
yang bias berhubungan dengan posisi, agak terlokalisir atau intermiten. Perikarditis terjadi
pada infeksi virus, pasca infark dan pada penyakit autoimun.
Nyeri Gastroesofagus
1. Refluks esofagus, menyebabkan rasa terbakar di retrosternal, berjalan di epigastrium
keatas. Bisa disertai dengan sering bersendawa, odinofagia, atau jika terjadi striktur
disfagia. Refluks khususnya terjadi pada orang dewasa dengan obesitas yang
merokok, sama seperti penyakit koroner.
2. Spasme esofagus, sering diawali dengan refluks esofagus, sulit dibedakan dengan
nyeri jantung, karena menyebabkan perasaan sesak/berat di retrosternal yang bias
menjadi parah. Namun nyeri ini biasanya berkurang dengan pemberian antasida.
Kunci diagnosis nyeri gastrointestinal adalah adanya hubungan dengan makanan,
dan tidak ada hubungan antara onset nyeri dengan aktivitas.
Nyeri dada yang terjadi pada scenario timbul apabila terjadi aterosklerosis pada
pembuluh darah, semakin banyak akan menyebabkan rupture pada plak akibatnya terbentuk
trombus. Apabila thrombus ini berkumpul semakin banyak, maka dapat menyebabka
nobstruksi pada arteri koroner. Apabila terjadi obstruksi, maka darah kekurangan suplai
oksigen yang akan menyebabkan iskemik. Iskemik inilah yang akan menimbulkan rasa nyeri
pada daerah dada.
karakteristik cardiac Non cardiac
lokasi Retrosternal, difus Dibawah mamma kiri,
setempat
Penyebaran Lengan kiri, rahang, punggung Lengan kanan
Deskripsi nyeri Nyeri terus-menerus, tajam, Tajam, seperti tertusuk-tusuk,
tertekan, seperti diperas, seperti di sayat
seperti di pijit
Intensitas Ringan sampai berat menyiksa
Fatty streaks yang progresif berkembang menjadi lesi sedang dan lanjut,
kemudian akan membentuk fibrous cap yang berbatasan dengan lumen pembuluh darah.
Fibrous cap menutupi campuran dari lekosit, lemak dan debris seluler yang membentuk
suatu pusat nekrotik. Pusat nekrotik terbentuk sebagai akibat pening-katan aktifitas
platelet derived growth factor (PDGF), transforming growth fac-tor–ß (TGF- ß), IL-1,
TNF-α, osteopontin dan penurunan degradasi jaringan ikat.
Sel endotel pembuluh darah yang utuh yang bersifat nontrombogenik, sehingga
mencegah trombosit menempel pada permukaannya. Sifat non trombogenik ini akan
hilang bila endotel mengalami kerusakan/terkelupas karena berkurangnya produksi
senyawa antitrombotik dan meningkatnya produksi senyawa protrombotik. Berbagai
senyawa protrombotik yang dilepaskan ini akan mengaktifkan sistem pembekuan darah
dan menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolisis sehingga meningkatkan
kecenderungan untuk terjadi trombosis. Bila kerusakan endotel terjadi sekali dan dalam
waktu singkat, maka lapisan endotel normal akan terbentuk kembali, proliferasi sel otot
polos berkurang dan intima menjadi tipis kembali. Bila kerusakan endotel terjadi
berulang-ulang dan berlangsung lama, maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan
jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan
terbentuk bercak aterosklerosis. Bila bercak aterosklerotik ini robek maka jaringan
yang bersifat trombogenik akan terpapar dan terjadi pembentukan trombus.
Sumber : Makin, A, and Silverman SH, 2002, Peripheral Vascular Disease and Virchow’s
Triad for Thrombogenesis, Q J Med ; 95: 199-210.
Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin,
dan vasokontriksi.
Pada sistem kardiovaskuler biasanya ditemukan juga dengan keadaan lesu, cepat lelah, palpitasi
(detak jantung yang semakin cepat), takikardi (kecepatan denyut jantung ),sesak nafas waktu
kerja, angina pectoris (kejang pada jantung), dan gagal jantung. Jaringan memerlukan oksigen
lebih banyak dari pada yang dapat disediakan oleh darah. Pada jaringan yang mengalami
hipoksia. CO2 dan juga asam laktat akan tertimbun. Asidosis setempat ini akan menyebabkan
dilatasi atriol. Akibatnya tahanan arteri akan turun. Aliran darah pada jaringan akan bertambah,
tetapi pada waktu yang bersamaan tekanan darah pada arteri akan turun juga. Jika initerjadi,
maka reflek dari inuskortikus akan segera bekerja dan medulla dari kelenjar adrenal akan
dirangsang untuk mensekresi kotekolamin. Hal ini menyebabkan denyut jantung akan lebih kuat
dan lebih cepat. Penderita ini akan merasa berdebar-debar (palpitasi).
Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi dimana terjadi hipoksia jaringan sebagai akibat dari
menurunnya curah jantung dan ketidak adekuatan perfusi jaringan akibat dari kerusakan fungsi
ventrikel.Gangguan perfusi jaringan dapat mengakibatkan keadaan pucat dan dingin akibat
kekurangan suplay darah.
Keadaan hipoperfusi ini memperburuk penghantaran oksigen dan zat-zat gizi, dan pembuangan
sisa-sisa metabolic pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan menggeser metabolisme dan
jalur oksidatif kejalur anaerobic, yang mengakibatkan pembentukan asam laktat.
- Berkeringat
Akibat stimulasi simpatis mengakibatkan kelenjar keringat. Syok kardiogenik di tandai oleh
gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari
ketidakseimbangan yang terus menerus antara kebutuhan suplai oksigen miokardium. Pembuluh
coroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan aliran darah secara memadai sebagai
respons terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respons
kompensatorik seperti perangsang simpatik.
Aspirin, obat antiplatelet yang dikenal dengan sebutan “pengencer darah”, sering
digunakan untuk pencegahan serangan jantung dan stroke. Hal ini akan bermanfaat jika
diberikan pada individu dengan risiko tinggi atau riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah.
Namun, penggunaan aspirin untuk pencegahan serangan jantung pada individu sehat tanpa faktor
risiko jantung dan pembuluh darah tidak dianjurkan, seperti disebutkan pada
berbagai guidelines internasional.
Pada guideline ACC/AHA yang dikeluarkan tahun 2019 untuk Primary Prevention of
Cardiovascular Disease disebutkan bahwa aspirin dosis-rendah (75-100 mg oral harian) dapat
dipertimbangkan sebagai pencegahan primer penyakit kardiovaskuler aterosklerotik
(atherosclerotic cardiovascular disease/ASCVD) pada dewasa berusia 40-70 tahun dengan
risiko ASCVD tinggi namun tanpa peningkatan risiko perdarahan.
Pada awal tahun 2019, New England Journal of Medicine menerbitkan tiga studi
ASPREE mengenai penggunaan aspirin dosis-rendah, dengan insight: pemberian rejimen aspirin
dosis-rendah harian tidak memberikan manfaat kesehatan yang signifikan untuk orang dewasa
sehat, sebaliknya dapat menyebabkan bahaya yang serius. Berikut intisari singkat ketiga studi
tersebut:
▪ Studi pertama merupakan studi acak, tersamar-ganda, terkontrol-plasebo, yang
mengikutsertakan hampir 20.000 orang di Australia dan Amerika Serikat dengan usia median 74
tahun. Semua partisipan terhitung sehat pada saat pendaftaran studi (tanpa riwayat penyakit
jantung, demensia, atau disabilitas fisik persisten). Setengah dari partisipan studi mendapat
aspirin 100 miligram dalam sehari, setengah lainnya menerima plasebo. Endpoint studi ini adalah
gabungan kematian, demensia, atau disabilitas fisik persisten. Setelah hampir 5 tahun, para
peneliti tidak mengamati adanya perbedaan “disability-free survival”di antara kedua kelompok.
Di sisi lain, dijumpai tingkat perdarahan yang lebih tinggi pada kelompok yang menerima aspirin
dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo.
▪ Studi kedua merupakan studi bersamaan studi pertama dengan endpoint perdarahan mayor dan
penyakit kardiovaskuler (didefiniskan sebagai penyakit jantung koroner fatal, infark miokard
non-fatal, stroke fatal atau non-fatal, atau kejadian rawat inap untuk gagal jantung). Hasil studi
ini menunjukkan risiko perdarahan mayor secara signifikan lebih tinggi pada kelompok aspirin
dibandingkan plasebo; kejadian perdarahan mayor utamanya melibatkan perdarahan saluran
cerna dan intrakranial. Selain itu, tidak dijumpai penurunan risiko penyakit jantung yang
signifikan pada kelompok plasebo.
▪ Studi ketiga yang masih merupakan rangkaian dari studi pertama dan kedua menganalisis
perbandingan mortalitas di antara kedua kelompok. Pada hasil studi ini dijumpai mortalitas
semua-penyebab yang lebih tinggi di antara orang dewasa sehat yang mendapat aspirin harian
dibandingkan yang mendapat plasebo dan dikaitkan terutama dengan kematian terkait-kanker.
Penggunaan aspirin dosis-rendah untuk pencegahan serangan jantung dan stroke pada
pasien dengan riwayat serangan jantung atau stroke menunjukkan manfaat konsumsi aspirin
harian melebihi risikonya. The US Preventive Services Task Force merekomendasikan inisiasi
penggunaan aspirin dosis-rendah untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan kanker
kolorektal pada dewasa berusia 50-59 tahun pada individu dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular ≥10%. Sementara penggunaan dosis-rendah harian pada individu sehat tidak
bermanfaat bahkan dapat meningkatkan risiko perdarahan internal dan kematian dini.
Sumber : Arnett DK, Blumenthal RS, Albert MA, Michos ED, Buroker AB, Miedema MD, et al.
2019 ACC/AHA Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease. J Am
Coll Cardiol. 2019 Mar 17.
McNeil JJ, Woods RL, Nelson MR, Reid CM, Kirpach B, Wolfe R, et al.Effect of
Aspirin on Disability-free Survival in the Healthy Elderly. N Engl J Med. 2018.
6.Apa saja keadaan yang menyebabkan syok kardiogenik dan bagaimana penanganan awal
yang dapat dilakukan pada syok kardiogenik
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung
koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi
etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu, banyak
pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya pemberian
penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada
anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital
dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan
Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara lain
: (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling
sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah
hipoksemia global, penyakit katup obat-obat yang menekan miokard (penyekat beta, penghambat
gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan
metabolic (asidosis metabolic,hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati
end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas jantung, obat-obatan
yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin). (2)disfungsi diastolik. Hal ini dapat
terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu dapat pula terjadi pada
tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain :
iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang
berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung (3) Peningkatan afterload yang
terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik,
koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat
terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang
disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi otot-otot papilaris,
ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada
keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain: (1)
peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh darah paru
(hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik,
tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2)
Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara
bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain.
Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau non-
infark miokard seperti berikut ini :
Infark miokard akut
Kegagalan pompa jantung
Infark luas, > 40% ventrikel kiri
Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark sebelumnya
Infark yang meluas
Reinfark
Komplikasi mekanik
Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda tendinea
Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum intraventrikular
Ruptur dinding ventrikel kiri
Tamponade perikard
Infark ventrikel kanan
Kondisi lain
Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
Miokarditis
Syok septik dengan depresi miokard berat
Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
Stenosis mitral
Myxoma atrium kiri
Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
Insufisiensi katup aorta akut
Kontusio miokardial
Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan2
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak mudah.
Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi penting dalam menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan utama pasien yang masuk adalah nyeri dada,
maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat
dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit
akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan suatu indikasi
untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi
SwanGanz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan.Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan
hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau
PaO2 <60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi sampai
SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain
itu monitoring tekanan darah juga harus dilakukan.Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok
kardiogenik misalnya dengan riwayat penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian
terapi pengganti cairan harus dipantau dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri
(SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah jantung. Pemberian challenge volume intravaskular
yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum
tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan
fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak dalam keadaan distres pernafasan.Pada beberapa
kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan misalnya pada syok
kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian yang tinggi diperlukan
untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel kanan dapat disangkakan
jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih pada pemeriksaan auskultasi serta
syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak
dijumpai peningkatan tekanan vena jugularis/sentral. Pasien yang datang dengan overload cairan
dan edema paru kardiogenik tanpa adanya hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin,
suplemen oksigen serta vasodilator.
Sumber : Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur
Ginting.Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Fakultas Kedokteran
USU, RSUP H. Adam Malik.Diakses pada tanggal 15 desember 2020.
Usaha
(pengerahan Tidak mengubah nyeri Bisa meningkatkan rasa nyeri
tenaga)
b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan Dada
- Inspeksi
1) Voussure Cardiaque
Merupakan penonjolan setempat yang lebar di daerah precordium, diantara sternum
dan apeks cordis. Kadang-kadang mempelihatkan pulsasi jantung. Adanya voussure
cardiaque menunjukan adanya :
a. Kelainan jantung organis
b. Kelainan jantung yang berlngsung sudah lama
c. Hipertrofi atau dilatasi perifer
2) Ictus
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, seringkali tampak dengan mudah pulsasi
yang disebut ictus cordis pada sela iga V, linea medioclavicularis kiri. Pulsasi ini
letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2cm, dengan
punctum maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu
sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya
pembesaran ventrikel kiri. Pada pericarditis adhesive, ictus keluar terjadi pada waktu
diastolis, dan pada waktu sistolis terjadi retraksi ke dalam. Keadaan ini disebut ictus
kordis negatif.
- Palpasi
Hal-hal yang ditemukan pada inspeksi harus dipalpasi untuk lebih memperjelas
mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat angkat, frekuensi, kualitas dari
pulsasi yang teraba. Pada mitral insufisiensi teraba pulsasi bersifat menggelombang
disebut ”vantricular heaving”. Disamping adanya pulsasi perhatikan adanya getaran
”thrill” yang terasa pada telapak tangan, akibat kelainan katup-katup jantung. Getaran
ini sesuai dengan bising jantung yang kuat pada waktu auskultasi. Tentukan pada fase
apa getaran itu terasa, demikian pula lokasinya.
- Perkusi
Kegunaan perkusi adalah menentukan batas-batas jantung. Pada penderita emfisema
paru terdapat kesukaran perkusi batas-batas jantung.
1) Batas jantung kanan, ada 3 cara menentukan batas jantung kanan yaitu menentukan
batas paru-hati, batas jantung kanan relative, dan batas jantung kanan absolut.
2) Batas jantung kiri, yaitu dengan menentukan batas relative jantung kiri dan batas
absolut jantung kiri.
3) Batas jantung atas, yaitu menentukan garis sternal kiri lalu melakukan perkusi kea
rah kaudal, sampai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Normalnya adalah
pada sela iga II kiri.
- Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi jantung meliputi pemeriksaan :
a. Bunyi jantung
Untuk mendengar bunyi jantung diperhatikan :
1) Lokalisasi dan asal bunyi jantung
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut :
- Ictus cordis untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
- Sela iga II kiri untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup
pulmonal.
- Sela iga III kanan untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari aorta
- Sela iga IV dan V di tepi kanan dan kiri sternum atau ujung sternum untuk
mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal.
2) Menentukan bunyi jantung I dan II
- Bising dari stenosis mitral tidak menjalar atau hanya terbatas kesekitarnya.
3) Intensitas Bising
- Bising sistole tipe ejection, timbul akibat aliran darah yang dipompakan melalui
bagian yang menyempit dan mengisi sebagian fase sistole. Didapatkan pada
stenosis aorta, punctum maximum di daerah aorta.
- Bising sistole tipe pansistole, timbul sebagai akibat aliran balik yang melalui
bagian jantung yang masih terbuka dan mengisi seluruh fase systole. Misalnya
pada insufisiensi mitral.
Bising Diastole, terdengar dalam fase diastole (antara bunyi jantung 2 dan bunyi
jantung 1), dikenal antara lain
- Pre-sistole, yang terdengar pada akhir fase diastole, tepat sebelum bunyi
jantung 1, misalnya pada stenosis mitral. Bising sistole dan diastole, terdengar
secara kontinyu baik waktu sistole maupun diastole. Misalnya pada PDA
- Pada umumnya terdengar paling keras pada daerah pulmonal, terutama pada
posisi telungkup dan ekspirasi penuh.
- Gerakan Pericard
Gesekan pericard merupakan gesekan yang timbul akibat gesekan antara
pericard visceral dan parietal yang keduanya menebal atau permukaannya
kasar akibat proses peradangan (pericarditis fibrinosa). Gesekan ini
terdengar pada waktu sistole dan diastole dari jantung, namun kadang-
kadang hanya terdengar waktu sistole saja. Gesekan pericard kadang-kadang
hanya terdengar pada satu saat saja (beberapa jam) dan kemudian
menghllang. Gesekan pericard sering terdengar pada sela iga 4-5 kiri, di tepi
daerah sternum.
c. Pemeriksaan penunjang
1) EKG
EKG adalah salah satu jenis pemeriksaan kesehatan jantung yang mampu
merekam aktivitas "listrik" jantung, karena dengan gambaran yang dihasilkan dari
listrik jantung dapat mendeteksi kemungkinan adanya gangguan jantung.Sumbatan
koroner pada jantung yang mengalami "iskemik" menyebabkan gangguan aktivitas
"listrik" jantung yang terdeteksi melalui "elektrokardiogram". EKG juga dapat
merekam berbagai kelainan aktivitas listrik jantung lainnya. Beberapa jenis penyakit
yang bisa dideteksi dengan EKG ini diantaranya yaitu penyakit jantung koroner, infark
miokard akut, hipertensi. Gambaran EKG kadang-kadang menunjukkan bahwa pasien pernah
mendapat infark miokard di masa lampau. pembesaran ventrikel kiri pada pasien
hipertensi dan angina, menunjukkan perubahan segmen ST dan gelo mbang T
yang t idak khas. Pada wakt u serangan angina, EKG akan menunjukkan adanya
depresi segmen ST dan gelombang T dapatmenjadi negatif.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai IMA. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark
miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau non STEMI.
Pada sebagian besar pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa gelombang Q disebut
infark non Q.
Benign Early Repolarization (BER) adalah varian EKG nomal, dengan karakteristik elevasi titik J.
Gelombang J (Gelombang Osborn), adalah sebuah defleksi yang mengikuti kompleks QRS,
yang ketika secara parsial berada dalam gelombang R, akan tampak sebagai elevasi titik J atau
elevasi segmen- ST. BER biasanya terdapat pada seseorang yang aktif, usia di bawah 40 tahun
dan memiliki karakteristik gelombang J yang prominen (berbentuk notched atau slurred) dan
elevasi segmen-ST konkaf < 3 mm pada sadapan V3 – V6, terutama V4. Selain itu BER
memiliki gelombang T tinggi, tidak inversi. Apabila repolarisasi dini melibatkan sadapan
ekstremitas, elevasi segmen-ST akan lebih tinggi di sadapan II dibanding sadapan III, dan
terdapat depresi segmen-ST resiprokal di sadapan aVR dan bukan aVL.Hal ini harus dibedakan
dari infark inferior, yaitu elevasi segmen-ST lebih tinggi di sadapan III dibanding sadapan II,
dan terdapat depresi segmen-ST resiprokal di sadapanaVL.
Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen otot jantung. Penyebab IMA yang paling banyak adalah trombosit
sehubungan dengan plak ateromatosa yang pecah dan ruptur. STEMI adalah sindrom klinis yang
didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa
elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.
B.Faktor Resiko
Faktor penyebab infark miokard yaitu oklusi akibat plaque aterosklerosis koroner. Faktor-faktor
resiko aterosklerosis koroner antara lain :
Tidak dapat Diubah : usia (laki-laki ≥ 45 tahun, perempuan ≥ 55 tahun atau menopause
prematur tanpa terapi penggantian estrogen dan riwayat CAD pada keluarga.
Dapat Diubah : hiperlipidemia, HDL-C rendah, hipertensi, merokok sigaret, diabetes
mellitus, obesitas terutama abdominal, ketidakaktifan fisik, dan hiperhomosisteinemia.
C.Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST umunnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur,
atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan bahwa plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri
dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan
ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factorpada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
d.Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesisi nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau minimal ≥ 1,5
mm pada wanita, minimal pada 2 sandapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada lain
atau sadapan ekstremitas.
1.Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis dengan cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang
berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko
seperti hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat penyakit jantung koroner pada
keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik yang berat, stres emosi, atau penyakit medis, atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.
Nyeri Dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (Angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Seorang dokterharus
mampu mengenal nyeri dada Angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan pertanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
2.Pemeriksaan Fisis
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S3 dan S4 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38º C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.
3.Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD.Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI,EKG serial dengan interval 5 -10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada
pasien dengan STEMI inferior sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infrark
pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi
gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI.Pada
sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark
non Q.
4.Laboratorium
Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung atau infark miokard.
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10- 24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I.Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 -24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobin :dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncaknya dalam 4 sampai
8 jam.
Kreatinin kinase (CK): meningkat setelah 3 sampai 8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10 sampai 36 jam dan kembali normal dalam 3 sampai 4 hari.
Lactic dehidrogenase (LDH): meningkat setelah 24 sampai 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3 sampai 6 hari dan kembali normal dalam 8 sampai 14 hari.
E.Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obatpenunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).
Tatalaksana awal
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pumpfailure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit padaSTEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak,yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertamaonset gejala. Dan lebih
dariseparuhnya terjadi pada jampertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapireperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruanganyang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengansaturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mgsetiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syaratfrekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >
100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6. Terapi Reperfusi
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau medical contact to
needle) time untuk memulai terapi fibronolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to baloon
(medical contact to baloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi. Untuk pasien
STEMI yang dikirim ke RS yang tersedia fasilitas PCI, PCI primer harus dikerjakan dalam 90
menit. Untuk pasien yang datang keRS tanpa fasilitas PCI, harus dinilai secara cepat :
1. Waktu mulai onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung
dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka
kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang
banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan
tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact to balloon atau
door to balloon time dalam waktu 90 menit.
Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti
pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
Risiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan dengan
terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat
terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yangdapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren
non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard non fatal berulang.
Reperfusi Farmakologis
Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time< 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen
activator (TPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (TPA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik
fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri yang terlibat (culprit) digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
gradingsystem:
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai 50%
jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10
tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan
mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi
dalam 1-3 jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat dilihat pada tabel 3, terapi
masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih
tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang yang baru. Jika
dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap
masalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.
Tissue plasminogen activator (tPA) dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA
dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran
koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
Obat Fibrinolitik
1. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah, manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 trial.
3. Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang
4. Tenekteplase (TNKase)
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI
dengan onset gejala iskemik <12 jam jika diantisipasi intervensi koroner perkutan primer
tidak dapat dikerjakan dalam 120 menit setelah kontak medis pertama.
Klas II a
1. Jika tidak terdapat kontra indikasi dan jika intervensi koroner perkutan tidak tersedia,
2. Terapi fibrinolitik dipertimbangkan pada pasien STEMI jika terdapat bukti klinis
dan/atau EKG iskemia yang sedang berlangsung dalam sampai 24 jam onset gejala dan
area miokard luas yang berisiko atau hemodinamik tidak stabil.
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST > 50%
dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous coronary intervention (PCI)
ICCU
Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infarkmiokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori
total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya
serat, kalium, magnesium dan rendah natrium.
Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri
sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur,
diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200 mg/hari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.
Terapi Farmakologis
Antitrombotik
1. Terapi Antiplatelet
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
2. Aspirin
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami
PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak
menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.
4. Prasugrel
5. Ticagrelor
Ticagrelor merupakan antagonis reseptor P2Y reversibel, yang tidak memerlukan konversi
metabolik menjadi obat aktif. Penelitian PLATO (Platelet inhibition and Patient Outcomes)
membandingkan ticagrelor (dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari) dengan
klopidogrel (dosis loading 300 sampai 600 mg, dilanjutkan 75 mg per hari), untuk pencegahan
kejadian kardiovaskular pada 18624 pasien SKA di mana 35% adalah STEMI. Terdapat
penurunan bermakna kejadian trombosis stent dan kematian total pada kelompok yang mendapat
ticagrelor yang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) primer walaupun terdapat lebih
banyak strok dan kejadian perdarahan intrakranial pada kelompok ticagrelor. Analisis subgrup
pada penelitian PLATO menunjukkan interaksi yang bermakna antara efek terapi dan regio
geografis, dengan efek ticagrelor lebih kecil di Amerika Utara dibandingkan dengan area lain.
Walaupun interaksi tersebut dapat terjadi secara kebetulan, pengaruh dosis aspirin yang lebih
tinggi, yang digunakan lebih sering di Amerika Serikat tidak dapat disingkirkan. Jika akan
digunakan ticagrelor jangka panjang sebagai komponen terapi dua antiplatelet, dosis aspirin tidak
boleh melebihi 100 mg.
6. GP IIb/IIIa Inhibitor
Penggunaan obat GP Ib/IIIa pada waktu PCI dapat dipertimbangkan secara individual
untuk trombus yang besar atau loadinganatagonis reseptor P2Y,, yang tidak adekuat. Pada pasien
yang mendapat bivalirudin sebagai antikoagulan primer, penggunaan inhibitor GP IIb/IIIa
tambahan secara rutin tidak direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan sebagai penunjang
atau terapi bailout pada kasus tertentu.
Terapi Antikoagulan
1. UnfractionatedHeparin
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus
60 U/kg (maksimum
4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
2. Low-Molecular-WeightHeparin (LMWH)
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low- molecular-weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural
pada ekokardiografi dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.
3. Fondaparinux
Pada penelitian OASIS-6, fondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung,
lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan
reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani
PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih
tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter,
sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter .
Pada pasca STEMI dengan onset<12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien
STEMI dengan onset> 12 jam aspirin, klopidogrel dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin
atau fondaparinux) harus diberikan sesegera mungkin.
4. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun,blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma)
5. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEML Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam
tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers ventrikel kiri (ARB) mungkin bermanfaat
pada pasien dengan fungsi menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor
ACE.
f.Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular
dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil
ini berasal dari ekspansi infarkal; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan
hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non
infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi
dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain.
Pada pasien dengan fraksi ejeksi<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
3. Syok Kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.
o Terapi O2
o Jika tekanan darah sistolik < 70mmig dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin
o Jika tekanan darah sistolik 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin
dosis 5-15 g/kgBB/menit
o Jika tekanan darah 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/ menit
o Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada
pasien 75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam
IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok,
kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
o Terapi tromboliti diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak
ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis
o Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis bila
sarana tersedia
4. Infark ventikel Kanan
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.
g.Prognosis
Kardiogenik.
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.
Sumber : Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
a.Defenisi
Angina Pektoris adalah suatu sindroma klinis dimana klien mendapat serangan sakit dada
di daerah sternum atau dibawah sternum (substernal) atau pada dada sebelah kiri yang khas yaitu
seperti ditekan atau serasa berat didada yang sering kali menjalar ke lengan kiri, kadang-kadang
menjalar ke punggung rahang, leher atau ke lengan kanan. Sakit pada dada tersebut biasanya
timbul pada waktu pasien melakukan aktivitas. Coronary Artery Disease adalah penyakit
kerusakan pada bagian arteri koroner angina pektoris serta infark miokard, disebut ACS ( Acute
Coronary Syndrome ) atau sindrom koroner akut. Pengertian Angina secara klinis adalah
keadaan iskemia miokard yang disebabkan oleh kurangnya suplai oksigen ke sel-sel otot jantung
( miokard ) karena adanya penyumbatan atau penyempitan arteri koroner, peningkatan beban
kerja jantung, dan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen.
Terjadinya iskemia akibat dari penyakit jantung koroner, penyakit jantung koroner adalah
kelaianan metabolisme lipid, koagulasi darah, serta keadaan biofisika dan biokimia dinding arteri
kondisi patologis yang terjadi ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan
jaringan fibrosa pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan
fungsi arteri serta penurunan aliran darah ke jantung. Perubahan struktur dan fungsi dari penyakit
jantung koroner akan menyebabkan angina pektoris. Sakit dada angina pektoris disebabkan
karena timbulnya iskemia 9 miokard, karena suplai darah dan oksigen ke miokard berkurang.
Pada pasien angina pektoris dapat pula timbul keluhan lain seperti sesak nafas, perasaan sakit
pada daerah dada disertai dengan keringat dingin serta dapat terjadi jika otot jantung yang
kekurangan oksigen ditentukan oleh beratnya kerja jantung seperti kecepetan dan kekuatan
denyut jantung. Aktifitas fisik dan emosi akan menyebabkan jantung lebih bekerja berat dan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan jantung akan oksigen. Jika arteri mengalami
penyumbatan maka aliran darah ke otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung akan oksigen,
sehingga akan terjadi iskemia dan menyebabkan nyeri.
b. Etilogi
Penyebab paling umum Angina pektoris adalah Aterosklerosis atau penyakit arteri
koroner yang digolongkan sebagai akumilasi sel-sel otot halus, lemak dan jaringan konektif
disekitar lapisan intima arteri. Suatu plak fibrous adalah lesi khas dari aterosklerosis, lesi ini
dapat bervariasi ukurannya dalam dinding pembuluh darah, yang dapat meningkatkan obstruksi
aliran darah persial maupun komplit. Komplikasi lebih lanjut dari lesi tersebut terdiri atas plak
fibrous dengan deposit kalsium, disertai dengan pembentukan thrombus. Obstruksi pada lumen
akan mengurangi atau menghentikan aliran darah kepada jaringan disekitarnya.
Penyebab lainnya yaitu karena spasme arteri koroner, penyempitan dari lumen pembuluh
darah terjadi bila serat otot halus dalam dinding pembuluh darah berkontraksi (vasokontraksi).
(Udjianti, 2010) Meskipun dipengaruhi oleh banyak faktor, kelaianan degeneratife ini akan
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan O2 miokardium dengan masukan (suplay)
nya, sehingga bisa menyebabkan iskemia dan anoksia yang ditimbulkan oleh kelaianan vaskuler
dan 10 kekurangan O2 dalam darah.
Terdapat dua fator risiko terhadap Angina Pektoris yaitu faktor yang bisa diubah dan faktor yang
tidak bisa diubah. yaitu:
a.Definisi
Angina Pektoris Stabil (APS) terdiri atas seluruh situasi dalam spektrum penyakit
arteri koroner selain kejadian sindrom koroner akut. Diagnosis dan stratifikasi risiko pada
pasien dengan penyakit arteri koroner stabil penting untuk pencegahan sindrom koroner
akut.
b.Klasifikasi
Keluhan utama APS adalah nyeri dada stabil, karakteristik nyeri dada pada APS
dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan nyeri dada non-angina. Angina tipikal
didefinisikan sebagai nyeri dada yang memenuhi ketiga karakteristik berikut:
a) Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi tertentu
b) Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional
c) Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat
Angina atipikal memiliki dua dari tiga karakter di atas, nyeri dada non-anginal hanya
memiliki satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya. Angina atipikal dapat memiliki
karakteristik dan lokasi yang sama dengan angina tipikal, juga responsif terhadap nitrat,
namun tidak memiliki faktor pencetus. Nyeri seringkali dimulai saat istirahat dari intensitas
rendah, meningkat secara gradual, menetap maksimal hingga 15 menit, kemudian
berkurang intensitasnya. Gambaran karakteristik ini harus mengingatkan klinisi pada
kemungkinan vasospasme koroner. Gejala angina atipikal lainnya adalah nyeri dada
dengan lokasi dan kualitas angina, yang dicetuskan oleh aktivitas dan tidak berpengaruh
terhadap nitrat. Gejala ini seringkali timbul pada pasien dengan angina mikrovaskular.
Nyeri dada non-angina memiliki karakteristik kualitas yang rendah, meliputi sebagian kecil
hemithorax kanan atau kiri, bertahan selama beberapa jam atau bahkan hari. Nyeri
nonangina ini biasanya tidak hilang dengan nitrat. Penyebab non-kardiak harus dievaluasi
pada kasus-kasus ini.
Klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society digunakan untuk menilai derajat
severitas angina stabil (Tabel 2). Penting untuk diingat bahwa sistem nilai ini secara
eksplisit memperlihatkan bahwa nyeri pada saat istirahat (rest pain) dapat muncul pada
semua kelas sebagai manifestasi vasospasme koroner. Kriteria kelas ini menunjukkan
keterbatasan aktivitas maksimum harian pasien.
Tabel 2 Klasifikasi Derajat Angina pada APS berdasarkan Canadian Cardiovascular
Society
KELAS I Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan atau naik
tangga. Angina muncul dengan mengejan atau aktivitas cepat dan lama
saat bekerja atau olahraga.
KELAS II Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat berjalan cepat atau
naik tangga, berjalan atau naik tangga setelah makan atau pada cuaca
dingin, angina pada stress emosional, atau hanya beberapa jam setelah
bangun tidur. Berjalan lebih dari dua blok atau menanjak lebih dari satu
tangga pada kecepatan dan kondisi normal.
KELAS III Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina muncul saat
berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai pada kondisi dan kecepatan
normal.
KELAS 1V Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa rasa tidak
nyaman, angina dapat timbul saat istirahat.
c.Diagnosis
Diagnosis dan stratifikasi risiko pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil
penting untuk pencegahan sindrom koroner akut. Anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dilanjutkan dengan langkah diagnostik selanjutnya dengan mengumpulkan data obyektif
dari pemeriksaan dasar jantung diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
a) Anamnesis
Anamnesis yang teliti masih merupakan landasan dalam diagnosis nyeri dada.
Karakteristik nyeri dada akibat iskemia miokard (angina pektoris) dibagi menjadi 4
kategori berdasarkan lokasi, karakteristik nyeri, durasi, dan keterkaitannya dengan
aktivitas dan faktor yang memperparah dan faktor yang melegakan nyeri. Rasa tidak
nyaman yang disebabkan oleh iskemia miokard umumnya berada pada dada, di dekat
sternum, namun juga dapat dirasakan di lain tempat dekat epigastrium hingga ke
rahang bawah maupun gigi bawah, di antara belikat atau di lengan hingga
pergelangan tangan dan jari-jari. Rasa tidak nyaman sering dideskripsikan sebagai
seperti ditekan, sesak, maupun terasa berat, terkadang terasa seperti dicekik, diikat
kuat, atau rasa terbakar. Perlu ditanyakan kepada pasien secara langsung adanya rasa
tidak nyaman tersebut, karena beberapa pasien tidak merasakan rasa tertekan maupun
nyeri seperti yang dideskripsikan sebelumnya. Sesak nafas dapat diikuti dengan
angina dan rasa tidak nyaman pada dada juga dapat diikuti gejala-gejala lain yang
lebih tidak spesifik seperti fatigue, rasa mau pingsan, mual, terbakar, gelisah,
maupun rasa seperti mau mati. Sesak nafas dapat merupakan gejala adanya APS dan
terkadang sulit dibedakan dari sesak nafas yang berasal dari penyakit
bronkopulmonal.
Durasi rasa tidak nyaman tersebut cepat, tidak lebih dari 10 menit dalam
sebagian besar kasus, namun nyeri dada yang sangat singkat dalam hitungan detik
juga kemungkinan bukan disebabkan angina. Karakteristik pentingnya adalah
keterkaitannya dengan aktivitas, aktivitas khusus, atau stres emosional. Gejala
umumnya diperberat dengan peningkatan intensitas aktivitas seperti jalan menanjak
atau saat udara dingin, dan cepat hilang dalam hitungan menit jika faktor-faktor ini
dihentikan atau dihilangkan. Eksaserbasi gejala setelah makanan berat atau setelah
bangun tidur di pagi hari merupakan fitur klasik angina. Angina berkurang dengan
latihan lebih lanjut (walk-through angina) atau pada upaya pengerahan tenaga kedua
(warm-up angina). Nitrat bukal atau sublingual dapat dengan cepat meredakan gejala
angina. Ambang angina dan gejalanya dapat bervariasi dari hari ke hari, bahkan pada
hari yang sama.
b) Pemeriksaan fisik
Pada pasien yang dicurigai angina pektoris stabil penting untuk dicari adanya
tanda-tanda anemia, hipertensi, penyakit jantung valvular, kardiomiopati hipertrofik
obstruktif, atau aritmia. Pemeriksaan indeks massa tubuh (IMT) dan bukti adanya
penyakit vaskular nonkoroner yang seringkali asimptomatik juga perlu dilakukan.
Tanda-tanda komorbid lainnya seperti penyakit tiroid, penyakit ginjal, atau diabetes
juga perlu dicermati. Bagaimanapun juga, tidak ada tanda pemeriksaan fisik yang
khas dari angina pektoris. Selama dan segera setelah episode iskemia miokard, bunyi
jantung ketiga atau keempat dapat didengar dan insufisiensi mitral dapat menjadi
jelas saat iskemia. Namun demikian, tandatanda ini tidak spesifik.
c) Pemeriksaan Dasar
Langkah diagnosis selanjutnya adalah mengumpulkan data objektif dari
pemeriksaan dasar jantung berupa: elektrokardiografi (EKG) istirahat, pemeriksaan
laboratorium darah untuk faktor risiko penyakit aterosklerosis kardiovaskular seperti
hemoglobin terglikasi (HbA1c), profil lipid serta ekokardiografi istirahat. Pada
pasien dengan hasil ekokardiografi menampilkan fraksi ejeksi kurang dari 50%
dengan angina tipikal, pasien layak untuk dianjurkan angiografi invasif dengan
kemungkinan revaskularisasi.
Pemeriksaan awal (lini pertama) pasien dengan kecurigaan PJK Stabil
mencakup pemeriksaan laboratorium, EKG, EKG ambulatory (holter) jika ada
kecurigaan gejala berhubungan dengan aritmia paroksismal, ekokardiografi, dan pada
pasien tertentu rontgen thorax (Cardiac X-Ray / CXR). Pemeriksaan diagnostik dasar
tersebut dapat dilakukan pada rawat jalan. Ultrasonografi arteri karotis untuk
mendeteksi penebalan lapisan intima dan media dapat meningkatkan pre-test
probability (PTP) untuk penyakit jantung koroner.2 Langkah ini diikuti oleh
pemeriksaan non invasif untuk menegakkan diagnosis PJK atau aterosklerosis non-
obstruktif pada pasien dengan probabilitas menengah (intermediate). Pasien dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) yang menurun kurang dari 50% dan angina tipikal
memiliki risiko tinggi kejadian komplikasi kardiovaskular dan sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan angiografi koroner invasif tanpa melalui tahapan
pemeriksaan non invasif terlebih dahulu. Pasien dengan fraksi ejeksi 50% atau lebih,
selanjutnya perlu dinilai masuk dalam dalam tiga tingkatan kemungkinan sebelum
test lebih lanjut, atau disebut dengan istilah pre-test probabilities (PTP).
d) Pre-Test Probability
PTP merupakan model prediktif yang dapat digunakan untuk memperkirakan
adanya PJK obstruktif berdasarkan data klinis berupa usia, jenis kelamin, dan gejala.
Kemungkinan adanya PJK dikalkulasi melalui prevalensi PJK pada populasi dan juga
manifestasi klinis pada pasien.
Rehabilitasi Kardiovaskular
Tujuan tatalaksana APS adalah untuk mengurangi gejala, dan memperbaiki
prognosis. Tatalaksana PJK meliputi modifikasi pola hidup, kontrol faktor risiko PJK, dan
terapi farmakologis berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, dan edukasi pasien.
Rehabilitasi jantung direkomendasikan untuk pasien PJK. Rehabilitasi jantung umumnya
diberikan pada pasien setelah infark miokard atau setelah intervensi koroner, namun harus
dipertimbangkan juga untuk dilakukan pada seluruh pasien dengan PJK, termasuk pasien
dengan angina kronis. Rehabilitasi jantung berbasis latihan efektif menurunkan mortalitas
total dan angka hospitalisasi dari pasien PJK. Bukti-bukti juga menunjukkan efek
menguntungkan dari rehabilitasi jantung untuk meningkatkan kualitas hidup.
1. Rokok
Rokok merupakan prediktor independen yang kuat atas terjadinya PJK. Rokok, dalam hal
ini termasuk merokok secara pasif dan aktif. Berhenti merokok dapat menurunkan
mortalitas sebesar 36% setelah terjadinya infark miokard.
2. Diet
Konsumsi diet yang sehat akan mengurangi risiko PJK. Konsumsi N-3 Polyunsaturated
Fatty Acid (PUFA) yang berasal dari minyak ikan, berpotensi memiliki efek yang
menguntungkan untuk menanggulangi faktor resiko PJK, khususnya untuk menurunkan
trigliserida, namun tidak semua uji klinis randomisasi membuktikan bahwa suplementasi
PUFA dapat menurunkan kejadian kardiovaskular. Sehingga, direkomendasikan untuk
meningkatkan konsumsi PUFA melalui konsumsi ikan dibandingkan dengan melalui
suplemen makanan.
3. Aktivitas fisik
Latihan aerobik perlu diberikan pada pasien dengan PJK sebagai program rehabilitasi
jantung. Pasien dengan riwayat IMA, BPAK, IKP, APS, gagal jantung kronis yang stabil,
harus melaksanakan latihan aerobik intensitas sedang-berat ≥3 kali seminggu dan 30
menit setiap sesi. Pada pasien PJK yang signifikan dan bukan kandidat untuk dilakukan
revaskularisasi, latihan fisik menjadi alternatif untuk memperbaiki gejala dan
meningkatkan prognosis.
4. Managemen Massa Tubuh
Berat badan berlebih dan obesitas berhubungan dengan peningkatan resiko kematian pada
PJK. Penurunan massa tubuh direkomendasikan pada pasien yang berlebih (overweight)
dan obesitas, untuk mendapatkan beberapa efek yang menguntungkan seperti penurunan
tekanan darah, perbaikan dislipidemia, dan metabolisme glukosa. Adanya gejala sleep
apnea harus ditelusuri, khususnya pada pasien obesitas. Sleep apnea berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular.
5. Tatalaksana lipid
Dislipidemia harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman dislipidemia, melalui intervensi
pola hidup dan farmakologis. Pasien PJK memiliki resiko yang sangat tinggi untuk
kejadian kardiovaskuler dan pengobatan statin harus dipertimbangkan. Target kadar LDL
adalah 50% jika konsentrasi target tidak tercapai. Pada sebagian besar pasien, hal ini
dapat dicapai dengan monoterapi statin. Intervensi lain (fibrat, resin, asam nikotinat,
ezetimibe) dapat menurunkan LDL namun tidak memiliki manfaat dalam luaran klinis
pasien, walaupun peningkatan TG dan HDL yang rendah berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, bukti uji klinis tidak cukup kuat untuk
membuatnya menjadi target terapi. Untuk pasien yang menjalani IKP untuk APS,
atorvastatin dosis tinggi dapat menurunkan frekuensi infark miokard peri-prosedural pada
pasien yang baru menerima statin, maupun pasien yang telah lama mengkonsumsi statin.
Sehingga, pemberian statin intensitas tinggi sebelum dilakukan IKP perlu
dipertimbangkan.
6. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan faktor resiko mayor untuk PJK, gagal jantung,
stroke, dan gagal ginjal. Terdapat bukti yang kuat untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik < 140 mmHg dan diatolik , 90 mmHg pada pasien APS dengan hipertensi.
7. Diabetes dan komorbid lain
Diabetes merupakan faktor risiko kuat untuk terjadinya komplikasi kardiovaskuler,
meningkatkan risiko perburukan PJK, dan harus ditatalaksana secara teliti, dengan target
HbAic <7% secara umum dan <6.5 %-6-9% untuk tiap individu. Kontrol gula darah
harus berdasarkan pertimbangan tiap individu, tergantung pada karakteristik pasien,
termasuk usia, adanya komplikasi, dan durasi terjadinya diabetes. Untuk faktor komorbid
lain, tatalaksana faktor risiko juga direkomendasikan, termasuk tatalaksana massa tubuh
sehat, latihan fisik, dan terapi statin. Target tekanan darah pada populasi diabetes dengan
PJK adalah <140/85 mmHg. Pemberian ACEI diperlukan karena bersifat renal protektif.
Pasien dengan gagal ginjal kronis membutuhkan perhatian khusus untuk pengendalian
faktor resiko. Statin pada umumnya dapat ditoleransi pada penderita gagal ginjal kronis
stadium 1-2 sedangkan pada stadium 3-5.statin dengan eksresi ginjal minimal perlu
dipilih (atorvastatin,fluvastatin,pitavastatin,resuvastin).
8. Faktor psikososial
Depresi, kecemasan, dan stres, umum terjadi pada pasien dengan PJK. Pasien harus
dinilai secara psikososial dan diberikan penanganan yang tepat. Rujukan untuk
psikoterapi, pemberian obat-obatan dan penanganan kolaboratif diperlukan untuk gejala
yang signifikan dari depresi maupun ansietas. Pendekatan ini dapat menurunkan gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
9. External Counterpulsation (ECP)
Terapi ECP merupakan sebuah teknik non invasif dengan tujuan mengurangi gejala
angina, yang dinilai objektif dari keadaan iskemik miokard, dan peningkatan pada fungsi
ventrikel kiri (sistolik dan diastolik).
Tatalaksana Farmakologis
Yanthi,Ni Made Juita Kama Perastika. 2020. Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien
Angina Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Ruang Oleg RSD Mangusada.
Poltekkes Denpasar Jurusan Keperawatan.
Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST
elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai
dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika
marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi
menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi
NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut
dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih
rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang
dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah
perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi
beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.
Presentasi klinik.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian besar
pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society.
Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo): menjadi
makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada
wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru
atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa
keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin,
umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK, terutama
infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA. Keluhan yang sama
pada seorang pria berumur lanjut (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang
menengah suatu SKA. Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada
seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan presentasi
dari SKA.
Pemeriksaan fisik.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan
mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.
Elektrokardiogram.
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa
didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu
diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan
perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi segmen ST
yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA
tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks
atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu
dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST
yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm.
Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q
≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan
tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga diagnosis yang seharusnya
dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika pemeriksaan EKG awal
menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan
diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang
tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST
dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat
dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi
saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis
UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa
pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif,
dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan
diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stress test
negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan .
Marker jantung.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam.
Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria
lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal,
ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif
pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut.
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4
jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar
troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 2).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan
oleh laboratorium setempat.
Pemeriksaan Noninvasif.
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel
kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau
akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal
saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang
gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat
normal dan marka jantung yang negatif.
STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa
stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction
dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can
Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with
Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi
risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik.
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
Parameter
Usia > 65 tahun 1
Lebih dari 3 faktor risiko* 1
Angiogram koroner sebelumnya 1
menunjukkan stenosis >50%
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat 1
dalam 24 jam terakhir
Deviasi ST > 1 mm saat tiba 1
Peningkatan marka jantung (CK, 1
Troponin)
*Faktor risiko: hipertensi, DM, merokok, riwayat dalam keluarga, dislipidemia
Tabel Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI
Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba 43
di RS
Peningkatan marka 15
jantung
Deviasi segmen ST 30
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala upaya
perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang
dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum
dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin,
laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya,
adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak
diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens
kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan
yang lebih tinggi.
Tabel Skor risiko perdarahan CRUSADE
Prediktor Skor
Hematokrit awal, %
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Pria 0
Wanita 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5
TERAPI
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif dan
waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya
angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi.
Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi
menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko
tinggi (high risk) primer
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan
gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas III-A)
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan dianggap
memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
o Nyeri dada tidak berulang
o Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
o Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga 9)
o Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)
o Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI juga
dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif.
Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum
dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk menentukan adanya iskemi yang dapat
ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi
elektif.
Anti Iskemia
Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat
oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate Sublingual 2,5–15 mg (onset 5
(ISDN) menit)
Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading
150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang,
tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual
antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
4. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan
90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)
Antiplate Dosis
let
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan
75-100 mg
Ticagrel Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90
or mg/hari
Clopidog Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75
rel mg/hari
Antikoagul Dosis
an
Fondaparin 2,5 mg subkutan
uks
Enoksapari 1mg/kg, dua kali sehari
n
Heparin Bolus i.v. 60
tidak U/g, dosis
terfraksi maksimal 4000
U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal
1000 U/jam target aPTT 11/2-2x
kontrol
Inhibitor dosis
ACE
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2
dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2
dosis
Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai
sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL
mungkin untuk dicapai.
Sumber : Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
a.Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obatpenunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).
Tatalaksana awal
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pumpfailure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit padaSTEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak,yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertamaonset gejala. Dan lebih
dariseparuhnya terjadi pada jampertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapireperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruanganyang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
7. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengansaturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
8. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
9. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.
10. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mgsetiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syaratfrekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >
100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau medical contact to
needle) time untuk memulai terapi fibronolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to baloon
(medical contact to baloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi. Untuk pasien
STEMI yang dikirim ke RS yang tersedia fasilitas PCI, PCI primer harus dikerjakan dalam 90
menit. Untuk pasien yang datang keRS tanpa fasilitas PCI, harus dinilai secara cepat :
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung
dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka
kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang
banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan
tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact to balloon atau
door to balloon time dalam waktu 90 menit.
Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti
pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
Risiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko perdarahan dengan
terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat
terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Waktu yang Dibutuhkan untuk Transportke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yangdapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren
non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard non fatal berulang.
Reperfusi Farmakologis
Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time< 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen
activator (TPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (TPA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik
fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri yang terlibat (culprit) digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
gradingsystem:
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai 50%
jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10
tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan
mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi
dalam 1-3 jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat dilihat pada tabel 3, terapi
masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih
tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang yang baru. Jika
dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan
strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap
masalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.
Tissue plasminogen activator (tPA) dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA
dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran
koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
Obat Fibrinolitik
5. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah, manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 trial.
7. Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang
8. Tenekteplase (TNKase)
Klas I
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI
dengan onset gejala iskemik <12 jam jika diantisipasi intervensi koroner perkutan primer
tidak dapat dikerjakan dalam 120 menit setelah kontak medis pertama.
Klas II a
3. Jika tidak terdapat kontra indikasi dan jika intervensi koroner perkutan tidak tersedia,
4. Terapi fibrinolitik dipertimbangkan pada pasien STEMI jika terdapat bukti klinis
dan/atau EKG iskemia yang sedang berlangsung dalam sampai 24 jam onset gejala dan
area miokard luas yang berisiko atau hemodinamik tidak stabil.
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST > 50%
dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga jika pasien pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous coronary intervention (PCI)
ICCU
Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infarkmiokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori
total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya
serat, kalium, magnesium dan rendah natrium.
Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri
sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur,
diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200 mg/hari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.
Terapi Farmakologis
Antitrombotik
7. Terapi Antiplatelet
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
8. Aspirin
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami
PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak
menjalani PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.
10. Prasugrel
11. Ticagrelor
Ticagrelor merupakan antagonis reseptor P2Y reversibel, yang tidak memerlukan konversi
metabolik menjadi obat aktif. Penelitian PLATO (Platelet inhibition and Patient Outcomes)
membandingkan ticagrelor (dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari) dengan
klopidogrel (dosis loading 300 sampai 600 mg, dilanjutkan 75 mg per hari), untuk pencegahan
kejadian kardiovaskular pada 18624 pasien SKA di mana 35% adalah STEMI. Terdapat
penurunan bermakna kejadian trombosis stent dan kematian total pada kelompok yang mendapat
ticagrelor yang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) primer walaupun terdapat lebih
banyak strok dan kejadian perdarahan intrakranial pada kelompok ticagrelor. Analisis subgrup
pada penelitian PLATO menunjukkan interaksi yang bermakna antara efek terapi dan regio
geografis, dengan efek ticagrelor lebih kecil di Amerika Utara dibandingkan dengan area lain.
Walaupun interaksi tersebut dapat terjadi secara kebetulan, pengaruh dosis aspirin yang lebih
tinggi, yang digunakan lebih sering di Amerika Serikat tidak dapat disingkirkan. Jika akan
digunakan ticagrelor jangka panjang sebagai komponen terapi dua antiplatelet, dosis aspirin tidak
boleh melebihi 100 mg.
Penggunaan obat GP Ib/IIIa pada waktu PCI dapat dipertimbangkan secara individual
untuk trombus yang besar atau loadinganatagonis reseptor P2Y,, yang tidak adekuat. Pada pasien
yang mendapat bivalirudin sebagai antikoagulan primer, penggunaan inhibitor GP IIb/IIIa
tambahan secara rutin tidak direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan sebagai penunjang
atau terapi bailout pada kasus tertentu.
Terapi Antikoagulan
6. UnfractionatedHeparin
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus
60 U/kg (maksimum
4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
7. Low-Molecular-WeightHeparin (LMWH)
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low- molecular-weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural
pada ekokardiografi dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.
8. Fondaparinux
Pada penelitian OASIS-6, fondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa tak langsung,
lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam mencegah kematian dan
reinforce pada 5436 pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani
PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih
tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya trombosis kateter,
sehingga perlu diberikan tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter .
Pada pasca STEMI dengan onset<12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien
STEMI dengan onset> 12 jam aspirin, klopidogrel dan obat anti trombin (heparin, enoksapirin
atau fondaparinux) harus diberikan sesegera mungkin.
9. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun,blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma)
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi
ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEML Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam
tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI
menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers ventrikel kiri (ARB) mungkin bermanfaat
pada pasien dengan fungsi menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor
ACE.
b.KOMPLIKASI
1.Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventrikular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infarkal; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial
normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan
segmen non infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE
dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal
jantung, inhibitor ACE harus diberikan.
2.Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
3.Syok Kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.
o Terapi O2
o Jika tekanan darah sistolik < 70mmig dan terdapat tanda syok diberikan norepinefrin
o Jika tekanan darah sistolik 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin
dosis 5-15 g/kgBB/menit
o Jika tekanan darah 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok diberikan dobutamin
dosis 2-20 ug/kgBB/ menit
o Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG, direkomendasikan pada
pasien 75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam
IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok,
kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
o Terapi tromboliti diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tak
ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis
o Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dengan terapi farmakologis bila
sarana tersedia
6. Infark ventikel Kanan
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.
c. Pencegahan
Mengontrol faktor risiko yang dapat di modifikasi seperti, merokok, stress mental,
alkohol, obesitas, hipertensi, dislipidemia.
d.Prognosis
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana: 53 gallop, kongesti paru dan
syok
Kardiogenik.
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.
Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardivaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana Sindrom
Koroner Akut edisi 3. 2015.
Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
DAFTAR PUSTAKA
Almazini, Prima, dkk. 2015. Penyebab Nyeri Dada Pada Dewasa. Jurnal kardiologi
Indonesia.vol.36.no 4
Arnett DK, Blumenthal RS, Albert MA, Michos ED, Buroker AB, Miedema MD, et al. 2019
ACC/AHA Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease. J Am Coll
Cardiol. 2019 Mar 17.
Hendriarto, Satoto, H., 2014. Jurnal Coronary Heart Disease Pathophysiology. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Jurnal kedokteran yarsi 20 (1) “Mencari penyebab nyeri dada kardiak dan non kardiak”
Makin, A, and Silverman SH, 2002, Peripheral Vascular Disease and Virchow’s Triad for
Thrombogenesis, Q J Med ; 95: 199-210.
McNeil JJ, Woods RL, Nelson MR, Reid CM, Kirpach B, Wolfe R, et al.Effect of Aspirin on
Disability-free Survival in the Healthy Elderly. N Engl J Med. 2018
Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Panduan Evaluasi dan Tatalaksana Angina Pectoris Stabil,Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular.2019.
Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi 23, EGC, Jakarta
Rizal, Anugrah Danang Ifnu, 2012, Pengaruh Pemberian Heparin Intravena Sebagai
Profilaksis Deep Vein Thrombosis Terhadap Kadar Fibrinogen, Karya Tulis Ilmiah, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Samsu, Nur., Djanggan Sargowo. 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada
Diagnosis Infark Miokard Akut. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 57(10).
Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur
Ginting.Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Fakultas Kedokteran USU, RSUP
H. Adam Malik.Diakses pada tanggal 15 desember 2020.
Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
2014.
Ujiani, Sri. 2014. Gambaran Kadar Low Density Lipoprotein (LDL) Cholesterol Dan Creatine
Kinase-Myocardial Band (CK-MB) Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK). Jurnal Analis
Kesehatan. Vol 3(1).
Yanthi,Ni Made Juita Kama Perastika. 2020. Gambaran Asuhan Keperawatan Pasien Angina
Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Ruang Oleg RSD Mangusada. Poltekkes Denpasar
Jurusan Keperawatan.