Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori semantik.

1. Semantik

Secara umum elemen bahasa terbagi menjadi dua macam, yaitu

bentuk/wujud dan makna. Bentuk bahasa dimulai dari tataran terendah sampai

tertinggi yang berupa bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat,

paragraf, dan wacana. Secara keilmuan, bunyi merupakan satuan bahasa terkecil

yang dipelajari dalam ilmu fonologi. Sementara itu, wacana merupakan satuan

bahasa terbesar yang manifestasinya berupa karangan utuh seperti novel, buku,

paragraf, kalimat, atau kata yang mengandung amanat yang utuh (Kridalaksana,

1993: 321). Bentuk-bentuk kebahasan seperti yang dikemukakan di atas, memiliki

konsep yang bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (Wijana,

2011: 2). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa makna tidak

memiliki bentuk/wujud yang langsung bisa dilihat.

Makna tidak memiliki wujud, tidak seperti morfem, kata, frasa, klausa,

kalimat, paragraf dan wacana. Oleh sebab itu, makna merupakan bentuk nonfisik

tuturan. Salah satu sifat hubungan bentuk kebahasaan dan makna adalah

konvensional, artinya bahwa makna terwujud atas dasar konvensi atau

kesepakatan bersama. Bentuk kebahasaan memiliki hubungan erat dengan konsep

makna serta referennya. Jika makna lebih bersifat umum dan tidak tertentu,

referen bersifat tertentu. Misalnya, jika seseorang mengatakan meja dan kursi,

10
maka kata meja dan kursi ini tidak merujuk pada meja atau kursi tertentu, tetapi

semua yang dapat disebut meja atau kursi (Wijana, 2011: 4). Jika dipetakan antara

bentuk, makna dan referen menjadi bentuk bahasa berhubungan langsung dengan

konsep makna. Selanjutnya, makna berhubungan langsung dengan dengan referen.

Konsep makna dengan referen juga dijelaskan sebagai “Relationship between

word and objectsis called the relationship of reference, for example: the name

Ruth Kempson refers to the individual who wrote this book.” (Kempson, 1977:

13). Maksudnya, hubungan antara kata dan objek sering disebut dengan hubungan

referensi, sebagai contohnya referen dari Ruth Kempson adalah seseorang yang

menulis buku. Salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari konsep makna

adalah semantik. Di dalam bidang semantik, terdapat jenis-jenis makna yang

diulas, diantaranya makna konotasi, makna denotasi dan makna idiomatis. Ketiga

makna tersebut akan dijabarkan di bawah ini.

a. Makna Konotasi

Salah satu makna yang dibahas dalam ilmu semantik adalah makna

konotasi. Makna konotasi adalah “Makna yang muncul dari makna kognitif,

dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain.”

(Djajasudarma, 2013: 12). Kemunculan makna konotasi ini dapat diartikan

sebagai akibat adanya asosiasi perasaan terhadap apa yang diucapkan atau

didengarkan. Misalnya, terdapat dua contoh kalimat, yakni 1) Perempuan itu ibu

saya; 2) Ah, dasar perempuan. Pada kalimat pertama, kata perempuan merupakan

perwujudan dari makna kognitif (denotasi). Namun, pada kalimat kedua, kata

perempuan memiliki tambahan makna, antara lain: suka bersolek, suka pamer,

11
emosional, dan egois. Penambahan makna yang terjadi pada kalimat kedua dapat

memunculkan makna konotasi. Begitu juga pada kalimat (1) “Sejak tahun lalu,

laki-laki itu sudah dibebastugaskan dari pekerjaanya.” Pada kalimat tersebut

terdapat kata dibebas tugaskan yang memiliki makna konotasi lebih halus

daripada kata dipecat. Makna konotasi dapat ditumbuhkan berdasarkan

masyarakat yang menciptakannya dan dapat bersifat insidental.

Kemunculan makna konotasi bisa berasal dari pengetahuan denotasinya,

pengalaman, kepercayaan dan konteks. Oleh karena itu, makna konotasi selalu

berjalan beriringan dengan makna denotasi (kognitif), walaupun keduanya

merupakan makna yang berbeda. Konotasi adalah efek semantik yang muncul dari

pengetahuan ensiklopedis tentang denotasinya dan juga dari ekspresi yang

biasanya digunakan (Allan, 2001: 147).

Berbicara mengenai makna konotasi, tidak hanya berhenti pada perbedaan

dengan makna yang lainnya. Adanya makna konotasi di dalam bentuk-bentuk

kebahasaan memunculkan efek tertentu. Efek dari adanya makna konotasi disebut

eufemisme dan disfemisme. Hal tersebut sejalan dengan pendapat “Efek dari

konotasi dapat berupa eufemisme atau lawannya yang disebut disfemisme.”

(Allan, 2001: 148). Eufemisme termasuk ke dalam ungkapan yang cenderung

halus, yang didalamnya ditandai dengan kata-kata yang berkonotasi positif.

Sementara itu, disfemisme termasuk ke dalam ungkapan yang cenderung kasar,

yang didalamnya juga ditandai dengan kata-kata yang berkonotasi negatif.

Berdasarkan hal tersebut makna konotasi tidak bisa dilepaskan dari jenis

ungkapan eufemisme maupun disfemisme, keduanya saling berkaitan satu sama

12
lain. Untuk memperjelas pengertian di atas, berikut contoh kalimat yang

mengandung makna konotasi, “sejak kecil, dia sudah menjadi tulang punggung

keluarganya.” Secara denotasi, kata tulang punggung adalah tulang belakang

manusia. Namun pada konteks kalimat di atas kata tulang punggung adalah satu-

satunya orang yang menjadi kekuatan dalam sebuah keluarga atau satu-satunya

orang yang mecari nafkah di keluarga. Ketika mendengar kata tulang punggung

yang memiliki arti pokok kekuatan, akan menimbulkan nilai rasa bagi setiap yang

mendengar kata itu. Berbeda ketika kalimatnya menjadi “tulang punggungnya

sakit sejak mengangkat barang-barang berat.” Pada kalimat tersebut kata tulang

punggung memiliki arti yang sebenarnya, sehingga ketika mendengar kalimat itu

tidak menimbulkan nilai rasa bagi yang mendengarnya.

b. Makna Denotasi

Berbicara mengenai makna konotasi seperti ulasan di atas, tentu tidak

terlepas dari makna denotasi yang menjadi lawannya. Jika makna konotasi

merupakan makna yang tidak sebenarnya, makna denotasi mempunyai pengertian

sebagai makna yang sebenarnya. Makna denotasi merupakan “makna kata atau

kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar

bahasa yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya obyektif.” (Kridalaksana,

2008: 46). Berdasarkan definisi tersebut, makna denotasi merupakan makna lugas

dan tidak mengandung arti lain. Selain itu juga bisa diartikan sebagai makna yang

sesuai dengan kamus.

Berikut contoh kalimat yang mengandung makna denotasi, “Sepulang

sekolah, adik selalu cuci tangan”, cuci tangan pada kalimat tersebut memiliki

13
makna denotasi yaitu membersihkan tangan. Berbeda dengan contoh berikut ini:

“orang tuanya sudah cuci tangan terhadap masalah yang dihadapi anaknya”, cuci

tangan pada kalimat tersebut tidak mengandung makna denotasi melainkan makna

konotasi, yaitu sudah tidak peduli dengan masalah yang dihadapi anaknya.

Berdasarkan contoh tersebut juga dapat disimpulkan bahwa makna denotasi

merupakan makna yang tidak menimbulkan nilai rasa bagi pendengarnya dan

tidak menimbulkan makna lain.

Contoh lain dari makna denotasi seperti kata tangan kanan pada kalimat

“Tangan kanan Roni harus diamputasi karena kecelakaan yang terjadi dua minggu

lalu.” Frasa tangan kanan memiliki makna denotasi yaitu tangan sebelah kanan,

bukan orang kepercayaan seperti pada kalimat “Dia adalah tangan kanan dari

bosnya karena sifatnya yang sangat bertanggung jawab”. Berdasarkan contoh

tersebut makna denotasi dapat muncul dalam bentuk frasa.

c. Makna Idiomatis

Selain makna konotasi dan denotasi, terdapat juga makna idiomatis yang

juga menjadi salah satu kajian dalam ilmu semantik. Idiom merupakan

“konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota

mempunyai makna yang ada hanya karena bersama; konstruksi yang maknanya

tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.” (Kridalaksana, 2008:

90). Dari pengertian tersebut, berikut ini ada beberapa contoh idiom yang sering

ditemui dalam penggunaan bahasa, misalnya: kambing hitam, rapor merah, dan

anak buah. Makna anak buah pada contoh tersebut secara keseluruhan tidak sama

dengan anak dan buah. Dari kedua unsur itu anak dan buah jika dipadukan

14
menjadi idiom yang memiliki satu kesatuan makna leksikal, yaitu orang yang

berada dibawah pimpinan. Oleh sebab itu, Matthews (1997: 169) menjelaskan

bahwa idiom adalah “a set expression in which two or more words are

syntactically related but with a meaning like that of a single lexical unit.”

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa idiom merupakan

ungkapan yang terdiri dari dua kata atau lebih yang memiliki keterkaitan secara

sintaksis sehingga menyatakan satu kesatuan makna leksikal.

Makna idiomatis juga dapat dirumuskan sebagai berikut: A+B = C

(Baryadi, 2013: 46). Artinya, jika terdapat kata A kemudian disandingkan dengan

kata B akan menimbulkan makna C (makna baru). Misalnya, “pekerjaannya

mendapat rapor merah dari atasanya”, kata rapor merah bukan berarti buku rapor

yang berwarna merah, melainkan kinerjanya dalam bekerja jelek/tidak bagus.

2. X-Femisme

Kemunculan X-Femisme tidak terlepas dari makna konotasi, denotasi dan

idiomatis yang dibahas pada bidang ilmu semantik. X-Femisme merupakan istilah

yang digunakan untuk menyebut eufemisme, ortofemisme dan disfemisme. Secara

singkat, yang dimaksud eufemisme merupakan kata atau frasa yang halus,

sedangkan ortofemisme merupakan kata atau frasa langsung dan netral (tidak

cenderung eufemisme maupun disfemisme). Sementara itu, disfemisme

merupakan kata atau frasa yang lebih kasar. Ketiganya memiliki bentuk, makna

dan fungsi yang berbeda-beda. Berikut bagan yang menunjukkan perbedaan X-

Femisme (eufemisme, ortofemisme dan disfemisme) menurut Allan & Buridge,

2006.

15
Bagan 1. Perbedaan X-Femisme

Language Expression

Preferred Dispreferred

MORE FORMAL MORE COLLOQUIAL

MORE DIRECT MORE FIGURATIVE

ortofemisme eufemisme disfemisme

(Allan & Buridge, 2006: 34)

Berdasarkan bagan di atas, ungkapan ortofemisme adalah ungkapan

langsung (tidak berkonotasi) dan formal atau resmi. Berdasarkan penerimaan di

pengguna bahasa atau masyarakat, ungkapan ortofemisme termasuk ke dalam

ungkapan yang disenangi. Sementara itu, ungkapan eufemisme merupakan

ungkapan halus dan berkonotasi positif. Ungkapan eufemisme termasuk ke dalam

ungkapan yang disenangi oleh pengguna bahasa. Walaupun begitu, ungkapan

ortofemisme dan eufemisme memiliki perbedaan, yaitu secara sifatnya ungkapan

ortofemisme dipandang lebih formal dan langsung, sedangkan ungkapan

eufemisme dipandang sebagai ungkapan sehari-hari (bahasa komunikasi) dan

didalamnya mengandung konotasi (makna yang tidak sebenarnya).

Ungkapan yang mengandung disfemisme tergolong ke dalam ungkapan

yang tidak disenangi. Apabila bentuk ini digunakan, ada kemungkinan menyakiti

perasaan pendengar. Selain itu, ungkapan disfemisme dapat juga merusak suasana

komunikasi karena dianggap sebagai ungkapan yang tidak santun. Berangkat dari

16
bagan di atas, dapat diketahui bahwa “Euphemism and dysphemism are two

cognitive processes of conceptualisation, with countervalent effects (having the

same base and resources but different aims and purposes), of a certain forbidden

reality.” (Gomez, 2012: 43). Menurut pendapat di atas, dapat diketahui bahwa

eufemisme dan disfemisme merupakan dua proses dari konsep kognitif yang

memiliki efek countervalent (berlawanan), eufemisme digunakan untuk

mengahaluskan dari realitas yang terlarang, sedangkan disfemisme digunakan

untuk memberikan efek kasar.

Jika eufemisme dan disfemisme merupakan ungkapan yang berlawanan,

ortofemisme menjadi ungkapan yang netral dan langsung. Jadi, perbedaan yang

jelas dapat digambarkan bahwa eufemisme merupakan ungkapan yang

ramah/enak didengar, sedangkan disfemisme merupakan ungkapan yang kasar.

Sementara itu, ortofemisme merupakan ungkapan yang sebenarnya, terus terang,

dan normal (tidak cenderung kepada eufemisme maupun disfemisme). Hal

tersebut sejalan dengan pendapat “euphemism, which they refer to as ‘sweet-

talking’; the mechanism of dysphemism, or, in other words, ‘speaking

offensively’; and orthophemism, which derives from Greek ortho- meaning

‘proper, straight, normal’. (Allan and Burridge, 2006: 29-34)

Berbagai jenis X-Femisme (eufemisme, ortofemisme dan disfemisme)

juga digunakan untuk mengelola bahasa yang tabu. Sebagai contoh, dalam

menyebut bahasa tabu, orang-orang dapat menggunakan bentuk eufemisme. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat “The different kinds of X-phemism –

orthophemism,euphemism and dysphemism – are a means of managing the

17
language for taboo topics.” (Allan, 2012: 6). Artinya, eufemisme dapat digunakan

untuk memperhalus bahasa yang dianggap tabu oleh masyarakat pengguna

bahasa, sehingga tidak menimbulkan kata-kata yang dianggap kasar (disfemisme)

atau menentang kepercayaan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut.

a. Eufemisme

Eufemisme merupakan ungkapan yang baik, halus, dan menyenangkan.

Dalam berkomunikasi eufemisme sering digunakan dalam berbagai bahasa

domain sosial seperti hukum, politik, agama, dan bidang pendidikan (Malo &

Mohammed, 2014: 3). Secara morfologis, kata eufemisme berasal dibentuk dari

“(The word euphemism is derived from Greek). The prefix eu- means good, well.

The stem ‘pheme’ means speak, the suffix –ism means action or result. The word

means ‘speaking well of…’, ‘good speech’ , and ‘words of good omen’.”

(Almufawez, 2018: 201). Berdasarkan proses morfologisnya, eufemisme dapat

diartikan sebagai perkataan yang baik.

Kemunculan konotasi menimbulkan efek eufemisme dalam sebuah bahasa.

Eufemisme merupakan bentuk kebahasaan yang memiliki nilai kesantunan dan

tidak menyakiti orang lain. Salah satu ahli menjelaskan bahwa“Eufemisme

diungkapkan sebagai bentuk kata atau frasa yang dapat digunakan seseorang

sebagai alternatif untuk mengungkapkan suatu ekspresi yang dimungkinkan dapat

menimbulkan ketidaksesuaian bagi pendengar.” (Allan, 2001: 148). Dengan kata

lain, eufemisme dapat digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk menjaga

perasaan orang lain dan membuat ungkapan yang tidak menyenangkan menjadi

18
layak didengar dengan cara yang baik. Cara yang baik dapat dilakukan dengan

cara pemilihan kata yang disukai atau ungkapan yang tidak ditabukan.

Eufemisme merupakan sebuah kata atau ungkapan yang halus dan tidak

kasar, yang digunakan untuk mengganti ungkapan yang tabu, terlalu keras atau

tidak pantas. Selain itu juga dapat digunakan dalam percakapan untuk

menghindari atau mengganti kata langsung yang tidak menyenangkan. Hal itu

sejalan dengan pendapat Duda (dalam Alvestad, 2014: 162) mengenai konsep

eufemisme yang didefinisikan sebagai “a word or an expression which is delicate

and inoffensive and is used to replace or cover a term that seems to be either

taboo, too harsh or simply inappropriate for a given conversational exchange and

is the substitution of a more pleasant or less direct word for an unpleasant or

distasteful one.”

Penggunaan bentuk-bentuk eufemisme oleh pembicara dilakukan secara

tidak sadar dan sadar. Ketika berbicara, mereka tidak merencanakan apakah akan

menggunakan bentuk eufemisme atau bentuk lainnya dalam berbicara. Ungkapan-

ungkapan yang terucap khususnya ungkapan atau kata yang mengandung

eufemisme adalah bentuk kesadaran dan ketidaksadaran dari pengguna bahasa.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan “Euphemisms arise from

conscious or unconscious self-censoring.” (Allan, 2006: 33).

Dilihat dari sudut pandang politik, eufemisme didapat memberikan cara

yang aman dalam menyampaikan argumennya kepada lawan khususnya mengenai

topik yang memalukan sehingga ungkapan eufemisme dapat digunakan untuk

menghindari pelanggaran sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat yang

19
mengatakan “(Euphemism is) the process whereby a distasteful concept is

stripped of its most inappropriate or offensive overtones, providing thus a safe

way to deal with certain embarrassing topics without being politically incorrect

or breaking a social convention.” (Fernandez, 2014: 6). Dalam penelitian ini

debat pilkada DKI 2017 termasuk ke dalam jenis retorika yang bersinggungan

langsung dengan politik.

1) Bentuk Eufemisme

Eufemisme sering disebut sebagai ungkapan yang disukai karena

dianggap sebagai ungkapan yang tidak menyakiti mitra tutur. Bentuk

eufemisme itu sendiri dapat berupa satuan gramatikal. Seperti ungkapan

berikut “A euphemism is a word or phrase used as an alternative to a

dispreferred expression.” (Allan, 2001: 148). Berdasarkan pendapat

tersebut, dapat diketahui bahwa satuan gramatikal yang dapat

digunakan dalam menentukkan bentuk eufemisme adalah satuan kata

dan frasa. Sementara itu, bentuk eufemisme juga dapat muncul dalam

satuan gramatikal yang lebih besar (Kurniawati, 2011: 51), misalnya

dalam bentuk kalimat, sebagai contoh: “er ist in die ewigen Jagdgründe

eingegangen” merupakan kalimat dan berarti “ia telah memasuki

medan perburuan yang abadi.” Kalimat tersebut merupakan

penghalusan untuk menyatakan “er ist gestorben,” yang artinya ia telah

meninggal (Kurniawati, 2001: 51-52). Berikut akan diuraikan

mengenai bentuk kata dan dan frasa yang mengandung eufemisme.

20
a) Kata

Kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri.

Dalam penelitian ini, salah satu bentuk eufemisme adalah kata.

Misalnya pada ungkapan “Sesi demi sesi dilalui, suasana kian

hangat.”(Debat III/53.20-53.24). Kata ‘hangat’ pada ungkapan di atas,

termasuk ke dalam kategori eufemisme karena dirasa lebih halus untuk

menyebut suasana yang semakin genting dan tegang dalam acara debat.

Selain itu, kata hangat juga termasuk ke dalam kategori kata umum

yang sering digunakan oleh orang-orang untuk menyebut kondisi yang

kurang nyaman

Kata dibagi menjadi dua jenis, yaitu kata umum dan istilah. Kata

umum merupakan jenis kata yang memiliki cakupan makna yang lebih

luas. Misalnnya, kata pemimpin termasuk ke dalam kelompok kata

umum dibandingkan kata panglima. Keduanya merupakan orang-orang

yang memiliki posisi tinggi. Namun, kata panglima merupakan kata

khusus dalam dunia kemiliteran, sedangkan kata pemimpin bisa

digunakan dimana saja, misalnya dalam dunia perkantoran, perusahaan,

dan sebagainya.

b) Frasa

Selain kata, terdapat bentuk frasa yang mengandung eufemisme.

Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak

predikatif. Misalnya pada ungkapan “Saya terus ke kantor anak-anak

buah saya.” (Debat I/putaran 2, 01.17.17-01.17.42). Pada kalimat

21
tersebut terdapat frasa anak-anak buah, yang termasuk ke dalam

ungkapan eufemisme karena digunakan untuk mengganti pekerja

kasar/bawahan yang dirasa lebih kasar jika didengarkan.

Pada penelitian ini, bentuk frasa dibagi menjadi dua jenis, yaitu

frasa idiomatis dan non idiomatis. Frasa idiomatis merupakan frasa

yang maknanya tidak dapat ‘diramalkan’ dari makna leksikal unsur-

unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut (Chaer,

1990: 76). Sementara itu, frasa non idiomatis adalah frasa yang

didalamnya tidak memiliki makna idiomatis.

2) Fungsi Eufemisme

Penggunaan eufemisme dalam kehidupan sehari-hari maupun

dalam retorika-retorika bahasa tidak terlepas dari fungsinya. Secara

umum, fungsi eufemisme adalah untuk melindungi atau menjaga

pembicara/penulis, pendengar/pembaca, atau semua hal dari

kemungkinan penghinaan (Linfoot & Ham, 2005: 228). Selain fungsi

secara umum, eufemisme juga memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai

penghalus ucapan, (2) alat untuk merahasiakan sesuatu, (3) sebagai alat

untuk berdiplomasi, (4) sebagai alat pendidikan, (5) sebagai alat untuk

menolak bahaya (Wijana dan Rohmadi, 2011: 86).

a) Eufemisme sebagai Alat untuk Menghaluskan Ucapan

Salah satu fungsi eufemisme yang paling umum adalah untuk

menghaluskan ucapan. Kata yang dianggap tidak santun, tidak

menyenangkan, berkonotasi negatif diganti dengan ungkapan-ungkapan

22
yang tidak langsung. Hal tersebut digunakan untuk menghindari konflik

diantara satu dengan yang lainnya.

b) Eufemisme sebagai Alat untuk Merahasiakan Sesuatu

Fungsi ini sering digunakan di dalam bidang kedokteran. Bentuk-

bentuk eufemisme dapat membantu pekerja medis untuk

menyampaikan penyakt-penyakit yang diderita pasiennya. Hal itu

bertujuan guna menjaga keadaan pasien agar kondisinya tetap stabil.

Selain itu, paramedis menggunakan bentuk eufemisme untuk menjaga

kerahasiaan penyakit pasien.

c) Eufemisme sebagai Alat untuk Berdiplomasi

Fungsi lain dari eufemisme adalah eufemisme dapat digunakan

sebagai alat untuk berdiplomasi. Hal ini menjadi penting karena para

pemimpin atau pemerintah sering melakukan diplomasi dengan negara

lain maupun dengan rakyatnya sendiri. Supaya diterima dengan baik

oleh masyarakat, pemerintah/pejabat negeri menggunakan ungkapan

eufemisme. Misalnya untuk menyebut kenaikan harga, dapat diganti

penyesuaian harga (Wijana dan Rohmadi, 2011: 86). Hal tersebut

digunakan untuk meminimalisir atau menghindari penolakan atau

protes dari masyarakat.

d) Eufemisme sebagai Alat Pendidikan

Pendidikan memang menjadi salah satu hal yang penting bagi

siapapun termasuk untuk anak-anak. Salah satu fungsi eufemisme juga

dapat digunakan sebagai alat untuk mendidik anak-anak. Misalnya,

23
untuk mengajarkan nama-nama binatang dapat digunakan bentuk

onomatopenya. Sebagai contoh, untuk memanggil anjing, dapat diganti

dengan guk-guk, kambing dapat diganti dengaan embek, dan

sebagainya.

e) Eufemisme sebagai Alat Penolak Bahaya

Eufemisme dapat digunakan alat untuk menolak bahaya. Di

Indonesia, masih terdapat daerah-daerah yang masih mempercayai jika

masih ada beberapa kata yang ditabukan dan tidak boleh seenaknya

diucapkan. Misalnya saja, masyarakat Bali meyakini bahwa kata tikus

(binatang) harus diganti dengan Jero Ketut agar tidak diganggu dengan

hewan ini (Wijana dan Rohmadi, 2011: 90).

3) Referensi Eufemisme

Bentuk kebahasaan yang mengandung eufemisme memiliki

hubungan yang arbriter dengan maknanya atau dengan referensinya.

Beberapa referensi eufemisme antara lain: 1) benda dan binatang; 2)

bagian tubuh; 3) profesi; 4) penyakit; 5) aktivitas; 6) peristiwa; 7) sifat

atau keadaan (Wijana dan Rohmadi, 2011: 79). Ketujuh referensi

tersebut akan dibahas satu persatu beserta contohnya.

a) Benda dan Binatang

Benda yang dimaksud merupakan sesuatu yang dikeluarkan oleh

aktivitas organ tubuh manusia dan benda-benda yang dihasilkan dari

kegiatan yang tidak legal. Di dalam bahasa Indonesia, terdapat bentuk-

bentuk eufemisme untuk menyebut benda-benda yang dikeluarkan dari

24
aktivitas organ tubuh. Misalnya: air kencing, kata tersebut dianggap

tidak masuk dalam kategori bentuk eufemisme. Oleh karena itu,

biasanya orang-orang menyebut kata tersebut dengan sebutan urin, air

seni ataupun air kecil (Wijana dan Rohmadi, 2011: 80). Selain contoh

diatas, terdapat juga bentuk-bentuk eufemistis mengenai tempat yang

digunakan untuk membuang aktivitas organ manusia.

Di Indonesia, orang-orang sering menyebut wc sebagai tempat

pembuangan. Kata wc tidak termasuk ke dalam bentuk eufemistis, hal

itu dibuktikan dengan adanya sinonim katanya yaitu kamar kecil atau

kamar belakang. Bentuk eufemisme juga digunakan untuk mengganti

hasil dari aktivitas illegal, sebagai contoh uang sogok dan uang suap.

Kedua kata tersebut memiliki bentuk eufemisme yaitu uang bensin,

uang semir, ataupun uang rokok.

b) Bagian Tubuh

Bentuk-bentuk eufemisme juga ditemukan untuk menyebut bagian-

bagian tubuh manusia. Hal itu dikarenakan, masih ada beberapa orang

yang menganggap menyebut bagian tubuh manusia maupun aktivitas

seksual adalah tabu. Oleh karena itu, ungkapan eufemisme masih sering

ditemui untuk mengganti aktivitas seksual/mengganti ungkapan tabu

sampai sekarang. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang

mengatakan bahwa “The once euphemistic term is inevitably linked to

the sexual taboo.” (Fernandez, 2008: 100).

25
Sebagai contoh, di Indonesia, penyebutan organ reproduksi

manusia seperti zakar dan vagina mulanya diganti kata dompet yang

dianggap sebagai kategori eufemisme (Wijana dan Rohmadi, 2011:

81). Hal tersebut sama dengan konsep dengan negara barat.

Penyebutan cunt (alat kelamin perempuan) bukanlah termasuk ke

dalam kategori eufemisme, sehingga munculah kata bits sebagai

bentuk eufemisme (Allan dan Burridge, 2006: 32).

c) Profesi

Indonesia merupakan salah satu negara yang menyediakan banyak

lapangan pekerjaan untuk warganya. Dari pekerjaan yang tidak

bergengsi sampai pekerjaan yang diburu oleh masyarakatnya.

Misalnya pekerja buruh hingga pekerjaan seperti, anggota dewan,

dokter, ilmuan, dan sebagainya. Jika dilihat dari sisi pendapatannya,

semua pekerjaan yang ditekuni masyarakat Indonesia sering mendapat

julukan kalangan bawah atau kalangan atas. Terdapat bentuk-bentuk

eufemisme untuk menyebut pekerjaan, terutama di kalangan bawah.

Misalnya kata babu dapat diganti dengan asisten rumah tangga atau

pramusiwa, karena dianggap lebih eufemistis (Wijana dan Rohmadi,

2011: 82). Selain contoh tersebut, masih banyak contoh lain, seperti

pemulung yang diganti dengan sebutan laskar mandiri, gelandangan

yang diganti dengan sebutan tunawisma. Bahkan untuk orang yang

tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran, terdapat bentuk

eufemismenya yakni tunakarya. Penyebutan-penyebutan tersebut

26
tidak lepas dari fungsi eufemisme yang salah satunya adalah untuk

menghargai orang lain.

d) Penyakit

Bentuk eufemisme juga juga bisa digunakan dalam menyebut

nama penyakit yang diderita seseorang. Banyak penyakit yang

dianggap menjijikkan dan jika diucapkan akan membuat orang lain

menjauh atau membuat pasiennya menjadi bersedih. Pada konteks ini,

paramedislah yang sering menggunakannya. Misalnya penyakit ayan

dapat diganti dengan istilah epilepsi, kanker dapat diganti dengan

akronim C4, kudis dapat diganti dengan istilah scabies (Wijana dan

Rohmadi, 2011: 83). Selain itu, terdapat contoh penelitian di rumah

sakit Yordania yang paramedisnya menggunakan bentuk-bentuk

eufemisme dalam penyebutan penyakit yang diderita oleh pasiennya.

Misalnnya survei menunjukkan sekitar 43% responden penyedia

layanan kesehatan (paramedis) menggunakan bahasa tidak langsung

atau bahasa yang dapat diterima jika pasien mereka memiliki penyakit

serius, seperti penyakit katup jantung atau arteri koroner (Rababah,

2014: 234).

Penggunaan eufemisme dalam dunia kedoteran bertujuan untuk

menimbulkan kesan santun dan merahasiakan penyakit-penyakit itu

kepada para pasien atau kepada orang-orang yang tidak berhak

mendengarnya (Wijana dan Rohmadi, 2011: 83). Fungsi lain

penggunaan bentuk eufemisme dalam dunia kedokteran adalah

27
sebagai berikut: (a) untuk menyembunyikan kebenaran, karena

penjelasannya akan berdampak buruk pada pengguna; (b) bersikap

sopan untuk meminimalkan efek kata-kata kasar dan keras pada

pendengarnya; (c) menyiapkan perasaan pasien secara bertahap untuk

menerima kenyataan yang sulit; (d) untuk menghindari penggunaan

kata-kata tabu; (e) untuk tidak menyinggung perasaan orang lain atau

untuk menghindari menyakiti perasaan seseorang; (f) untuk

menyembunyikan kebenaran sementara, strategi ini digunakan dalam

wacana medis, terutama pada penyakit fatal dan serius sampai fakta

diagnosis keluar (Rababah, 2014: 236-237).

e) Aktivitas

Tidak hanya aktivitas organ tubuh manusia seperti yang telah

dijelaskan di atas yang membutuhkan bentuk-bentuk eufemisme.

Namun, aktivitas lain yang berkaitan dengan aktivitas seksual manusia

juga membutuhkan bentuk eufemisme. Sebagai contoh kata

bersetubuh dapat diganti dengan bergaul. Selain hal-hal yang berbau

seksualitas, bentuk eufemisme juga terdapat dalam aktivitas kriminal

(Wijana dan Rohmadi, 2011: 84). Sebagai contoh aktivitas korupsi

dapat diganti dengan istilah penyalahgunaan atau penyelewengan

dana.

f) Peristiwa

Pada kehidupan di bumi, setiap manusia selalu mengalami

peristiwa baik maupun buruk. Ada kalanya ketika mengalami

28
peristiwa buruk harus berhati-hati dalam mengungkapkannya, bisa

jadi seseorang harus mengungkapkannya dengan bentuk eufemisme.

Sebagai contoh di Indonesia terdapat beberapa kata menyebut orang

yang sudah tidak bernyawa, yaitu mati, tewas, meninggal, gugur, dan

mangkat. Dalam situasi seperti ini, sebutan mati atau tewas lebih baik

diganti. Penggantian itu dapat menggunakan kata meninggal untuk

orang biasa, gugur untuk orang yang dianggap telah berjasa bagi

NKRI, dan mangkat untuk para raja-raja (Wijana dan Rohmadi 2011:

84). Dalam menyebut mayat juga harus dieufemiskan menjadi jenazah

maupun jasad. Di dalam bahasa Inggris juga terdapat beberapa kata-

kata yang digunakan untuk menyebut orang yang telah meninggal.

Misalnya “My father died, someone may say my father passed”

(Allan, 2001: 148). Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa

eufemisme merupakan berbicara tentang sesuatu yang tidak

menyenangkan dengan cara yang bagus atau sopan.

g) Keadaan

Keadaan yang dimaksud pada konteks ini adalah kekuarangan

yang melekat dalam diri seseorang. Sebagai contoh: Jika terdapat

kalimat 1) anak anda agak dungu; 2) anak anda agak bodoh; 3) anak

anda agak tolol dapat diganti dengan kalimat 1) anak anda agak

kurang; 2) anak anda agak kurang; 3) anak anda bodoh. Penggantian

kalimat-kalimat tersebut merupakan bentuk eufemisme. Selain

keadaan seperti itu, terdapat juga keadaan perekonomian seseorang

29
yang miskin atau melarat dapat diganti dengan ungkapan kurang

mampu.

Bentuk-bentuk eufemisme sebenarnya dipengaruhi oleh

lingkungan dimana bahasa itu diucapkan. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat yang mengatakan bahwa “Eufemia berhubungan erat

dengan nilai rasa, yang ditetapkan oleh lingkungan bahasa yang

bersangkutan.” (Slametmuljana, 1964: 55). Tambahan keterangan

yang baik itu ditetapkan oleh oleh masyarakat bahasa yang

bersangkutan. Jadi, eufemisme dapat dimaknai sebagai ungkapan

yang baik.

b. Ortofemisme

Selain bentuk eufemisme dan disfemisme, terdapat juga bentuk

ortofemisme. Ungkapan ortofemisme memiliki kesamaan dengan bentuk

ungkapan eufemisme. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan, ortofemisme

dianggap sebagai ungkapan yang lebih formal dan langsung. Sementara itu,

eufemisme merupakan ungkapan yang lebih santai (bahasa percakapan sehari-

hari) dan mengandung kiasan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat “An

orthopemism is typically more formal and more direct (or literal) than the

corresponding euphemism. A euphemism is typically more colloquial and

figurative (or indirect) than the corresponding orthophemism.” (Allan & Buridge,

2006: 33). Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa ortofemisme

merupakan bentuk ungkapan yang formal dan langsung. Berbeda dengan

eufemisme yang mengandung konotasi, ortofemisme lebih langsung. Walaupun

30
keduanya disukai oleh pengguna bahasa. Selain itu, ungkapan ortofemisme dapat

digunakan sebagai alternatif dari penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak

disukai (disfemisme). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ortofemisme merupakan

ungkapan yang netral, yang tidak cenderung kepada ungkapan eufemisme maupun

ungkapan disfemisme. Ungkapan ortofemisme juga jauh lebih disenangi daripada

ungkapan disfemisme. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan

bahwa “According to Allan (2006), an ortophemism is a term that is neutral, with

neither positive connotation (euphemism) nor negative ones (dysphemism).”

(Hammad & Salman, 2013: 194).

Untuk dapat memahami konsep ortofemisme, berikut terdapat contoh kata

yang termasuk ke dalam bentuk ortofemisme. Di dalam bahasa Inggris terdapat

kata menstruate, kata tersebut digolongkan sebagai bentuk ortofemisme,

sedangkan kata have a period merupakan bentuk eufemisme dari menstruate

(Allan&Buridge, 2006: 32). Jika dibandingkan di Indonesia, kata menstruasi

termasuk ke dalam bentuk disfemisme, sedangkan kata haid merupakan bentuk

ortofemisme dan datang bulan merupakan bentuk eufemisme. Selain contoh

tersebut, masih ada banyak contoh lainnya. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia

kamar kecil merupakan bentuk eufemisme, sedangkan toilet sebagai bentuk

ortofemisme dan jamban/kakus merupakan bentuk disfemisme. Sama seperti

bentuk ungkapan eufemisme dan disfemisme, bentuk ungkapan ortofemisme juga

banyak ditemui di kehidupan sehari-hari.

31
1) Bentuk Ortofemisme

Sama halnya dengan eufemisme, ortofemisme juga memiliki bentuk

berupa kata atau frasa. Misalnya pada ungkapan “Kita lanjut kepada

komunitas yang ke tiga adalah komunitas rumah susun dan toilet untuk

semua keluarga.” (Debat I/putaran 2, 55.09-55.22). Pada kalimat tersebut

terdapat kata ‘toilet’ termasuk ke dalam bentuk ortofemisme. Hal tersebut

dikarekanan kata ‘toilet’ merupakan bentuk ungkapan netral, langsung dan

memiliki makna yang sebenarnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa “Orthopemism and euphemism are

words or phrases used as alternative to a dispreferred expression.” (Allan

& Burridge, 2006: 32). Ungkapan ortofemisme juga dapat digunakan

sebagai alternatif pengganti ekspresi yang tidak disukai atau diinginkan.

2) Fungsi Ortofemisme

Ada beberapa fungsi digunakannya bentuk ortofemisme di dalam

komunikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rababah (2014:

236), fungsi penggunaan bentuk ortofemisme dalam bidang kedokteran,

untuk: 1) To be formal and official with the health care users . Penggunaan

bentuk ortofemisme membuat percakapan antara tenaga medis dengan

pengguna kesehatan menjadi lebih formal dan resmi; 2) Expressing the

seriousness and importance of the situation. Penggunaan bentuk

ortofemisme menunjukkan keseriusan dan pentingnya kondisi dari tenaga

medis kepada pengguna kesehatan; 3) Telling the truth in a direct way.

32
Bentuk ortofemisme juga digunakan untuk memberitahukan kebenaran

kepada pengguna kesehatan secara langsung atau tidak basa basi.

c. Disfemisme

Berbicara mengenai eufemisme selalu berkaitan dengan lawannya yaitu

disfemisme. Jika di atas telah disebutkan bahwa eufemisme merupakan kata atau

ungkapan yang baik, maka disfemisme adalah lawannya. Disfemsime memiliki

pengertian sebagai “A dysphemism is a word or phrase with connotations that are

offensive either about the denotatum or to the audience, or both.” (Allan, 2001:

148). Disfemisme dianggap sebagai bentuk kata atau ungkapan dengan konotasi

yang tidak sopan atau kasar untuk pendengar. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat “Penggunaan bentuk-bentuk yang tidak sopan atau ditabukan disebut

disfemisme.” (Wijana dan Rohmadi, 2011: 90). Kata-kata tabu merupakan kata-

kata yang terlarang untuk diucapkan, sehingga jika diucapkan akan berdampak

negatif bagi pendengar.

Selain itu, ungkapan yang mengandung disfemisme dapat digolongkan ke

dalam kategori tidak sopan. Ungkapan atau kata disfemisme kemungkinan dapat

berupa cacian, hinaan, kata-kata kasar yang dapat digunakan untuk

menggambarkan atau berbicara/menulis tentang sesuatu atau seseorang yang

dibenci oleh pembicara/ penulis, sehingga dapat melukai pendengarnya. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat “Dysphemisms are used to describe or talk/write

about something or someone a speaker/writer despises or intentionally

disparages.” (Ezeife, 2016: 56).

33
Ungkapan atau kata yang disebut sebagai disfemisme tidak terlepas dari

keyakinan masyarakat. Walaupun begitu, tidak semata-mata hanya berhubungan

dengan keyakinan masyarakat. Lebih luas dari itu, pemakaian ungkapan atau kata-

kata disfemisme dalam kehidupan sehari-hari juga sering bermunculan. Sebagai

contoh: Penjahat itu setelah diputus perkaranya segera dijebloskan ke penjara;

Setelah ia berkuasa, segera menyepak orang-orang yang tak disukainya

(Slametmunjana, 1964:61). Berdasarkan contoh tersebut, terdapat kata-kata

seperti dijebloskan dan menyepak yang dianggap sebagai bentuk ungkapan

disfemisme karena terdengar kurang sopan atau kasar.

Kadang-kadang disfemisme dikenal sebagai ungkapan negatif untuk

mendeskripsikan sesuatu atau seseorang. Seorang pengguna bahasa, jika

menggunakan ungkapan disfemisme secara langsung maupun tidak langsung akan

memiliki kecenderungan menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Hal tersebut

sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa disfemisme dapat diartikan

sebagai “the use of a negative or disparaging expression to describe something or

someone”, McArthur (dalam Duda, 2010: 10). Untuk lebih jelasnya tentang

konsep disfemisme, terdapat contoh seperti “If someone at a formal dinner party

were to publicly announce I'm off for a piss, rather than saying Excuse me for a

moment, the effect would be dysphemistic.” (Hammad & Salman, 2013: 194). Di

dalam budaya timur tengah, ketika seseorang berada di dalam pesta makan

malam, kemudian ingin pergi ke toilet dan berkata saya akan pergi kencing,

daripada menggunakan kata maaf, permisi sebentar, akan menimbulkan efek

disfemisme.

34
1) Bentuk Disfemisme

Selain eufemisme terdapat juga disfemisme. Disfemisme

merupakan “ (A dysphemism) is a word or phrase with connotations that

are offensive either about denotatum or to the audience, or both.” (Allan,

2001: 148). Berdasarkan pendapat tersebut, bentuk disfemisme dapat

berupa kata dan frasa yang tidak sopan atau menghina orang lain. Selain

kata dan frasa, bentuk disfemisme juga ditemukan dalam bentuk kalimat.

Sebagai contoh: “Der Bundespräsident ist kein Unterschriftenautomat.”

yang artinya presiden bukanlah mesin tanda tangan (Kurniawati, 2001:

53). Kalimat tersebut mengandung disfemisme karena seorang presiden

diibaratkan sebagai mesin tanda tangan.

2) Fungsi Disfemisme

Sama halnya dengan eufemisme, disfemisme juga memiliki fungsi

tersendiri. Disfemisme dapat digunakan untuk membicarakan tentang

lawan, menunjukkan ketidaksepakatan seseorang, membicarakan tentang

sesuatu yang dipandang sebagai sesuatu yang rendah, dan menghina

seseorang, Allan & Burridge (dalam Kurniawati, 2001: 53). Lebih luas

dijelaskan oleh Zöllner (dalam Kurniawati, 2001: 53) beberapa alasan

penggunaan disfemisme sebagai berikut: (a) untuk merendahkan atau

mengungkapkan penghinaan; (b) untuk menunjukkan rasa tidak suka,

juga ketidaksetujuan terhadap seseorang atau sesuatu; (c) untuk

memperkuat atau mempertajam penghinaan; (d) untuk memberikan

penggambaran yang negatif tentang lawan politik, baik pandangan, sikap,

35
maupun prestasinya. (e) untuk mengungkapkan kemarahan dan

kejengkelan; (f) untuk mengumpat atau menunjukkan kekuasaan.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang berjudul “Penggunaan X-

Femisme dalam Debat Pilkada DKI 2017 antara lain:

1. Artikel yang berjudul “The Translatability and Use of X-Phemism

Expressions (X-Phemization): Euphimisms, Dysphemisms and

Orthophemisms in the Medical Discourse”, jurnal yang ditulis oleh

Hussein Abdo Rababah yang telah dipublikasikan ke CSCanada Jurnal,

Vol. 9, No. 3, 2014, pp. 229-240 (DOI: 10.3968/6042). Tujuan dari

penelitian artikel adalah (1) untuk mengidentifikasi alasan psikolinguistik,

motif, gaya dan frekuensi penggunaan X-phemisms, yang meliputi

ungkapan tidak langsung atau doublespeak atau euphemisms, dysphemisms

dan ortophemisms dalam wacana medis; (2) untuk

menginvestigasi/menyelidiki translatabilitas penggunaan istilah-istilah (X-

phemisms) dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan sebaliknya. Dari hasil

penelitian dapat dikethaui bahwa sekitar 43% responden penyedia layanan

kesehatan menggunakan bahasa tidak langsung atau bahasa yang dapat

diterima jika pasien mereka memiliki penyakit serius, seperti penyakit

katup jantung atau arteri koroner. Hal ini berarti bahwa mereka telah

menggunakan eufemisme dalam situasi ini. Sekitar 40,9% dari mereka,

menggunakan bahasa formal dalam percakapan mereka (dokter) dengan

pengguna perawatan kesehatan (pasien). Hal ini berarti bahwa mereka

36
menggunakan ortofemisme. Hanya sekitar 13,6% dari mereka (dokter)

menggunakan bahasa langsung atau ekspresi disfemisme. Terdapat dua

persamaan dari penelitian ini dengan penelitian dalam jurnal, yakni (1)

keduannya meneliti wujud atau bentuk-bentuk X-Femisme, (2) Keduanya

meneliti fungsi dari penggunaan X-Femisme. Sementara itu, kedua

penelitian tersebut juga memiliki perbedaan, diantaranya: (1) Objek kajian

dari kedua penelitian tersebut berbeda, penelitian ini mengkaji penggunaan

X-Femisme dalam Debat. Sementara itu, penelitian jurnal mengkaji

penggunaan X-Femisme dalam wacana kedokteran, (2) Dalam kajian ini

tidak meneliti mengenai motif penggunaan X-Femisme, namun dalam

penelitian jurnal mengkaji mengenai motif penggunaan X-Femisme, (3)

Dalam kajian ini tidak meneliti penggunaan X-Femisme dalam bahasa

asing, namun dalam penelitian jurnal mengkaji X-Femisme dalam bahasa

asing yang digunakan dalam bidang kedokteran.

2. Artikel yang berjudul “Eufemisme dan Disfemisme Dalam Spiegel

Online”, jurnal ini ditulis oleh Heti Kurniawati dari Fakultas Sastra

Universitas Negri Malang, dipublikasikan di LITERA, Volume 10, No.1,

Tahun 2011. Kajian yang diangkat dalam jurnal ini mengenai (1) bentuk-

bentuk gramatikal eufemisme dan disfemisme yang terdapat dalam surat

kabar Spiegel Online; (2) Alasan mengapa eufemisme dan dsifemisme

digunakan dalam surat kabar Spiegel Online. Dalam penelitian ini,

ungkapan eufemisme ditemukan dalam bentuk kata, frasa dan kalimat,

jumlah keseluruhan data adalah 91 data. Sementara itu, ungkapan

37
disfemisme ditemukan dalam bentuk kata, frasa dan kalimat, jumlah

keseluruhan data adalah 179 data. Temuan lain pada jurnal ini adalah latar

belakang penggunaan eufemisme, diantaranya: (1) menghindari

penggunaan kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau ketakutan;

(2) tidak menyinggung, menghina, atau merendahkan seseorang; (3)

mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang menyakitkan atau

tragediSementara itu, latar belakang penggunaan disfemisme dalam

Spiegel Online untuk: (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh,

asusila; (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap

seseorang atau sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang

atau sesuatu; (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan. Terdapat

beberapa kesamaan diantara kajian dalam jurnal dan kajian dalam

penelitian ini, salah satunya adalah keduanya sama-sama mengkaji bentuk-

bentuk eufemisme dan disfemisme. Sementara itu, terdapat juga perbedaan

diantara keduanya, misalnya pada kajian ini tidak meneliti mengenai

alasan digunakannya bentuk-bentuk eufemisme dan disfemisme. Selain

itu, penelitian pada jurnal juga tidak memasukkan bentuk ortofemisme

sebagai objek kajiannya, sedangkan pada penelitian ini bentuk

ortofemisme menjadi salah satu objek kajian.

3. Artikel yang berjudul “X-Phemisms and Creativity”, jurnal ini ditulis oleh

Keith Allan dan dipublikaskan di Lexis Journal in English Lexicology:

Universite Jean Moulin, pada bulan Juli tahun 2012. Jurnal ini berisikan

tentang teori-teori X-Femisme dan perbedaan-perbedaan dari eufemisme,

38
ortofemisme dan disfemisme. Pada jurnal ini juga disampaikan mengenai

bentuk-bentuk X-Femisme yang sering muncul di berbagai register bahasa.

Jurnal ini memberikan kontribusi tentang teori-teori X-Femisme untuk

penelitian ini. Misalnya definisi, bentuk dan contoh-contoh eufemisme,

ortofemisme dan disfemisme. Teori-teori yang terdapat pada jurnal ini

menjadi referensi yang melengkapi penelitian ini.

4. Jurnal yang berjudul “The Use of Euphemism and Dysphemism in Bahdeni

Dialect, Vol 17, No.1”, jurnal ini ditulis oleh Sanan Shero Malo dan

Fakhir Omar Muhammed yang dipublikasikan di Jurnal of University of

Duhok pada bulan Juni tahun 2014. Jurnal ini mengkaji tentang eufemisme

dan disfemisme dalam bahasa percakapan. Kadang-kadang ekspresi

eufemisme dan disfemisme digunakan secara berbeda dalam percakapan

sehari-hari, hal itu tergantung pada siapa atau apa yang akan dibicarakan.

Dalam penelitian ini ditemukan (1) Secara umum, penggunaan eufemisme

dan disfemisme pada BD terjadi di hampir di seluruh kehidupan, namun

yang paling sering ketika mengungkapkan bahasa tabu dan ekspresi

seksual. (2) Frekuensi penggunaan eufemisme dan disfemisme juga

bervariasi, tetapi yang paling banyak ditemukan pada pembicaraan hal

tabu, prostitusi, topik, dan penyebutan gelar kehormatan. (3) penggunaan

eufemisme dan disfemisme dalam BD tergantung pada tingkat pekerjaan,

latar belakang pendidikan, dan status sosial. Di dalam jurnal ini juga

dipaparkan beberapa teori tentang eufemisme dan disfemisme. Beberapa

39
teori yang dipaparkan dalam jurnal ini menjadi referensi yang melengkapi

penelitian ini.

5. Jurnal yang berjudul “Communicative Functions of Euphemisms in

Persian”, jurnal ini ditulis oleh Mohsen Baktiar, dan dipublikasikan di

The Journal of International Social Research pada tahun 2012. Jurnal ini

membahas tentang fungsi komunikatif dari eufemisme khusunya pada

percakapan di Persian. Salah satu konsep eufemisme dalam jurnal ini

adalah digunakan untuk membicarakan topik sensitif. Data pada jurnal ini

diambil dari berita/Koran dan percakapan sehari-hari di Persian. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa fungsi eufemisme dibagi menjadi tiga

kategori berdasarkan fungsi komunikatif. Ketiga kategori itu meliputi: (1)

penggunaan eufemisme dimotivasi oleh topik-topik tabu yang akan

dibicarakan dan terutama untuk menghindari penghinaan; (2) eufemisme

digunakan sebagai kata-kata yang meneyenangkan dan relevan dengan

topik tertentu, tidak untuk merespon hal-hal tabu;(3) dalam bahasa Persia,

kadang-kadang eufemisme digunakan oleh orang-orang yang berkuasa

untuk menipu orang awam dan memaksakan ideologi tertentu pada

mereka, hal itu bertujuan untuk mengendalikan pikiran mereka. Jurnal ini

juga memberikan kontribusi untuk penelitian ini, terutama dalam memberi

gambaran mengenai fungsi eufemisme. Walaupun hasil berbeda dengan

penelitian, jurnal ini memperluas pemikiran peneliti dalam mengeksplorasi

fungsi eufemisme dalam debat.

40
C. Kerangka Pikir

Penggunaan X-Femisme dalam


Debat Pilkada DKI 2017

Ilmu
Semantik

Makna Konotasi Makna

Denotasi

X-Femisme
( Eufemisme, Ortofemisme, Disfemisme)

Bentuk Makna Fungsi


X-Femisme X-Femisme X-Femisme

41

Anda mungkin juga menyukai