Isi
Kata Sambutan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAGIAN I PENDAHULUAN
BAB 1 GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK 1
Alasan Mempelajari Keuangan Publik 2
Pentingnya Sektor publik 3
Karakteristik Kebijakan publik 5
Ruang Lingkup Keuangan Publik 6
Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik 7
Daftar Pustaka
Biografi Penyusun
Kata Pengantar
Penulis
GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK
Gambar 1.1. Hubungan antara arus sektor swasta dan sektor pemerintah
Dari gambar 1.1 terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat
antara arus sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor
pemerintah. Sektor publik (anggaran pemerintah) memberikan kontribusi
pada pasar faktor produksi dan pasar produk sehingga merupakan bagian
integral dari sistem pembentukan harga. Itulah sebabnya dalam merancang
suatu kebijakan fiskal, perlu diperhatikan bagaimana sektor swasta akan
bereaksi. Arus barang pribadi dan barang publik tidak dibiayai oleh
penjualan tetapi melalui perpajakan atau melalui pinjaman. Barang dan jasa
yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi oleh pemerintah atau
diproduksi oleh swasta
untuk dijual kepada pemerintah. Peranan sektor publik dalam
perhitungan GNP (Gross National Product) atau pendapatan nasional adalah
bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP melalui pembelian
barang dan jasa.
Trade Off
Kebijakan publik dapat dievaluasi dengan pertanyaan apakah pilihan
kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan lainnya. Apakah manfaat agregat
dapat melampaui beban agregat? Secara umum, ekonom menekankan
efisiensi dan keadilan sebagai kriteria melakukan evaluasi atas kebijakan
publik. Akan tetapi, mungkin ada konflik yang substansial antara beberapa
kriteria tersebut. Contoh, kebijakan upah minimum mungkin mendorong
keadilan, tetapi hal ini mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics
telah dipertimbangkan sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi
kebijakan berdasar keadilan sosial.
RANGKUMAN
§ Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari
aktivitas finansial pemerintah dan bagaimana proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, karena setiap keputusan akan
mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga dan
swasta.
§ Fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan
belanja pemerintah, dan juga menganalisis implikasi dari kegiatan
pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, ditribusi pendapatan,
dan stabilitas ekonomi.
§ Sektor publik telah mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu.
Jumlah yang sangat besar nilainya ini merupakan alasan yang kuat untuk
menumbuhkan rasa ingin tahu masalah keuangan publik.
§ Kebijakan publik akan merupakan suatu hal yang sangat penting
terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional,
melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
§ Dalam sistem perekonomian kapitalis sekalipun, peran pemerintah
tetap diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena
mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan.
§ Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik.
Kriteria pertama, komposisi output pengeluaran publik haruslah
sesuai dengan keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi
hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat
melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian karakteristik
kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi dan
melengkapi peranan mekanisme pasar.
§ Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam
melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik yang diantaranya adalah
Equity & Fairness (Keadilan dan kewajaran), Economic Efficiency
(Efisiensi Ekonomi), Paternalism (Sistem Paternal), Freedom of choice
(Kebebasan Individu), Stabilization (Stabilisasi), Trade Off .
LATIHAN
1. Jelaskan pengertian dari keuangan publik dan apa saja fokus
dari keuangan publik tersebut?
2. Jelaskan secara singkat mengapa sistem perpajakan haruslah
diarahkan pada kepuasan dari sudut pandang para individu?
3. Jelaskan apa yang menjadi alasan tentang perlunya aktivitas publik
yang dilakukan oleh pemerintah menurut John Stuart Mill?
4. Dalam perkembangan perekonomian, peranan pemerintah semakin
diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena
mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan.
Sebutkan kelemahan-kelemahan yang ada pada mekanisme pasar
tersebut?
5. Dalam menilai pentingnya sektor publik, ada sejumlah
kriteria/karakteristik kebijakan publik. Uraikan karakteristik tersebut?
6. Jelaskan alasan perlunya peran pemerintah dalam perekonomian
dalam konteks keuangan publik?
7. Apa saja ruang lingkup keuangan publik ?
8. Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan anggaran pemerintah dapat dipakai beberapa pendekatan analisis .
Uraikan dan jelaskan pendekatan-pendekatan analisis tersebut?
9. Sebutkan dan jelaskan kriteria-kriteria yang digunakan untuk
melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik?
10. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah Fiscal Structure ?
BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS
BARANG PUBLIK
Barang publik merupakan nonrival in consumption yang artinya adalah
bahwa kuantitas dari barang publik dapat dinikmati oleh lebih dari satu
konsumen tanpa mengurangi jumlah yang dinikmati oleh konsumen yang
lainnnya (Heyman, 2002). Sifat pokok dari barang publik ini adalah barang
ini tidak dapat dimiliki. Sekali sudah tersedia, maka barang ini akan
tersedia merata bagi semua orang. Akibatnya konsumsi barang publik oleh
satu orang tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Oleh
karena itu tidak perlu bagi seseorang untuk memilikinya agar dapat
memanfaatkannya. Terdapat dua karakteristik kunci dalam
mengklasifikasikan suatu barang menjadi barang publik yakni bersifat
nonrivalry (tidak ada persaingan dalam konsumsinya) dan nonexcludability
(tidak dapat dikecualikan).
12 Keuangan Publik: Teori dan Bab 2: Barang Publik & 12
Aplikasi Eksternalitas
1
Biaya atau manfaat yang muncul yang diakibatkan karena adanya transaksi pasar
dimana biaya ataupun manfaat tersebut tidak tercermin dalam harga barang.
akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang sama.
Penambahan orang dalam ruangan, sampai batas tertentu,
tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi atas udara
sejuk tersebut. Tidak mungkin orang akan mengkonsumsi
tingkat temperatur yang berbeda satu sama lain. Sejumlah
roti mempunyai karakteristik sebagai barang pribadi
sedangkan tingkat suhu seperti uraian diatas mempunyai
karakteristik sebagai barang publik bagi orang-orang yang
menghuni ruangan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa terdapat beberapa alasan
terjadinya perbedaan antara barang publik dengan barang pribadi,
diantaranya adalah sebagai berikut:
EKSTERNALITAS
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara
suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme
pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas
tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan
antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul
berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain
yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan
eksternalitas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek
samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak
yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external
effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects
(Mishan, 1990). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi
bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif
(negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik
dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara
bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya
seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus
pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar
yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya
polusi udara, air dan suara. Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai
eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang
muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya
harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau
kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan
melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak
eksternal yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah di
sekitar daerah tersebut.
Dalam contoh di atas, efek tersebut dalam perubahan harga tanah dimana
kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke
keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-
harga barang dengan marginal rate of substitution (MRS). Jadi, suatu
fakta
bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah
berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam
harga- harga sehingga tidak terjadi ketidakefisienan dalam perekonomian.
Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan
seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan
orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi
dalam alokasi faktor produksi.
Jenis-jenis Eksternalitas
Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar
dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan
tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen
mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun
terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi
ekonomi berikut ini:
1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects
of producers on other producers).
2. Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen
(effects of producers on consumers)
3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain
(effects of consumers on consumers)
4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects
of consumers on producers)
Faktor-faktor Penyebab
Eksternalitas
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak
mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul
karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang
efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik,
ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan
dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya
(property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak
ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak
bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari
alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu
persatu berikut ini.
Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan di dalam
suatu tukar menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu
mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada
pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti pada kasus monopoli
(penjual tunggal). Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek
monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi
negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam
jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang
lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya
berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih
kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek
monopoli ini merugikan masyarakat (worse off ).
Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh
kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah
(government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan
kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups)
yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan
pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik,
melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent
seeking) bisa dalam berbagai bentuk:
§ Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups)
melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan
diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
§ Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah
sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk
barang- barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi
dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
§ Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat
atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-
pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin
untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau
ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya.
Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya
menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong
efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa
mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang
mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan
atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar
(misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang
dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar
kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan
denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga
akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak
dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah
serius dari waktu ke waktu.
RANGKUMAN
§ Dengan mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability, suatu
barang dapat dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu barang
publik, barang
pribadi, barang publik lokal (yang sering disebut dengan
congestible goods) dan barang dengan eksternalitas.
§ Pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak
akan menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik
selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga akan dapat
menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain.
§ Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi
dan barang publik. Perbedaannya adalah bahwa pertukaran barang
pribadi dalam mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas,
sedangkan pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat
eksternal juga akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain.
§ Perbedaan barang publik dengan barang pribadi juga dapat terjadi
karena kegagalan suatu mekanisme pasar.
§ Cara penyediaan barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan
cara penyediaan barang pribadi. Pada tahap ini, proses politik
akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan dengan pemungutan
suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di mekanisme
pasar.
LATIHAN
1. Dalam mengklasifikasikan barang publik dan barang pribadi, dapat
menggunakan gambar dengan Excludability dan Rivalry. Dengan
mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability tersebut suatu barang
dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori. Uraikan dan jelaskan
karakteristik masing-masing jenis terutama sifat-sifat dasar yang
dipertimbangkan dalam pembahasan aspek keuangan publik ?
2. Mengapa barang publik tidak disediakan secara ekslusif oleh
pihak swasta?
3. Barang publik adalah barang-barang yang mempunyai dua sifat
pokok yaitu Non rival dan Non exclucion. Jelaskan pengertian dari non
rival dan nonexclucion tersebut ?
4. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan
karakteristik antara barang pribadi dan barang publik ?
5. Terangkan perbedaan penyediaan barang pribadi dengan
penyediaan barang publik karena kegagalan mekanisme pasar ?
6. Terangkan bagaimana suatu aktivitas ekonomi dalam pasar barang
pribadi dikatakan efisien ?
7. Apakah yang dimaksud dengan ungkapan “Free Rider” dan
jelaskan problemnya ?
8. Jelaskan pengertian Eksternalitas ? Jelaskan tujuan-tujuan yang
dapat dicapai dari Eksternalitas ?
9. Terangkan mengenai kurva permintaan barang publik ?
10. Apakah permasalahan dan kesulitan pemerintah dalam hal
penyediaan barang publik?
PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK
pengguna jasa publik tersebut. Oleh karena itu, pemerintah akan selalu
terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik.
Pertanyaan mendasar tentang mengapa pemerintah harus terlibat dalam
kegiatan penentuan harga barang merupakan pertanyaan yang cukup sulit
untuk dijawab. Dengan keterlibatannya dalam penentuan harga barang publik,
pemerintah ingin meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya
maupun keadilan dalam distribusi pendapatan, walaupun hal ini tidak berarti
bahwa setiap tindakan pemerintah pasti akan berhasil mengatasi problem
tersebut. Pada umumnya, dalam menentukan seberapa banyak suatu barang
harus dibeli oleh individu-individu, suatu perusahaan hanya akan
mempertimbangkan manfaat yang diperoleh secara pribadi, sehingga
kesempatan bahwa barang tersebut tersedia di pasar akan sangat kecil. Oleh
karena itu, dalam kasus ini pemerintah akan melibatkan diri untuk
menjamin bahwa manfaat eksternal harus juga dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan jumlah barang yang akan dikonsumsi oleh individu.
Dengan analogi yang sama, pemerintah juga akan terlibat dalam penyediaan
barang pribadi untuk memproteksi masyarakat dari penipuan (misalnya
kebenaran iklan), kepastian tersedianya jasa (misal jasa rumah sakit dan
pos), maupun keseragaman kualitas jasa (misal pendidikan). Semua
keterlibatan pemerintah ini tentunya ditujukan untuk mencapai penentuan
harga yang efisien.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kebijakan harga oleh
pemerintah akan mencakup tindakan-tindakan yang diperlukan agar pasar
bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki arus informasi atau
mengurangi unsur-unsur monopoli dan batasan-batasan dalam masuknya
perusahaan- perusahaan baru dalam pasar. Pada prinsipnya, akan selalu ada
tujuan-tujuan baik ekonomi maupun non ekonomi yang dapat diikuti
oleh pemerintah dengan cara melalui campur tangan, dalam usahanya untuk
meminimalkan biaya ekonomi guna mencapai sasaran-sasaran yang
diinginkan.
1
Produk-produk pertanian merupakan barang primer, seperti bahan makanan atau
bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi.
kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong peningkatan produksi, atau
(2) kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga yang ditujukan
untuk mengurangi peningkatan produksi.
Fungsi Penawaran
Fungsi penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang
ditawarkan dan berbagai tingkat harga dari barang tersebut. Hukum
penawaran menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan akan meningkat
apabila harga barang tersebut semakin tinggi (hal-hal lain tetap atau ceteris
paribus). Secara matematis, fungsi penawaran dapat dinyatakan dengan:
Q a = f ( P a, S, F, X, T )
Dimana:
Qa = jumlah barang A yang ditawarkan
Pa = harga barang A
S = jumlah input yang tersedia
F = keadaan alam
X = pajak atau subsidi atau keduanya
T = tingkat teknologi.
RANGKUMAN
§ Secara umum, pemerintah suatu negara tidak menjual jasanya
kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah menyediakannya kepada
masyarakat tanpa harus membayar. Namun demikian, bukan berarti
bahwa penyediaan jasa publik ini tanpa menimbulkan biaya.
§ Pemerintah terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik ini
karena terjadinya kegagalan mekanisme pasar. Harapan pemerintah,
dengan keterlibatan dalam penentuan harga barang publik, adalah ingin
meningkatkan baik efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam
distribusi pendapatan.
§ Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk
memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam
perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai yang
merupakan kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang
dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk
menghasilkan barang tersebut oleh produsen.
§ Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan
khusus, misalnya mendorong produksi atau memelihara kestabilan.
§ Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis
penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan (1) kebijakan
harga positif, artinya kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong
peningkatan produksi, atau (2) kebijakan harga negatif yang berarti
kebijakan harga yang ditujukan untuk mengurangi peningkatan produksi.
§ Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai
pendorong peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini akan dipakai
sebagai alat untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Tetapi
banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan
keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan
dan produk pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga
negatif. Kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong
perkembangan sektor industri dan jasa.
§ Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk melindungi
produsen dan konsumen adalah dengan menentukan harga dasar yang
ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar tidak
turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, dan harga maksimum yang
ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita
karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah
kebijakan penyangga (buffer stock policy).
LATIHAN
1. Terangkan tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan harga?
2. Mengapa pemerintah ikut terlibat dalam kegiatan penentuan harga barang?
3. Uraikan mengenai keputusan penentuan harga tersebut oleh pemerintah.
Jelaskan?
4. Terangkan bagaimana mekanisme pasar barang pribadi yang bersifat
persaingan sempurna dalam menentukan tingkat keseimbangan?
5. Jelaskan maksud dari kajian-kajian yang harus dilakukan
untuk memperoleh kebijakan yag tepat sasaran sebagai perusahaan
penghasil public utilitier?
6. Sebutkan dan jelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk
melakukan analisis penyediaan produk pertanian!
7. Apa yang dimaksud dengan fungsi penawaran? Apa bunyi
hukum penawaran tersebut?
8. Jelaskan yang dimaksud dengan “ceteris paribus”?
9. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penawaran?
10. Sebutkan tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga!
Jelaskan hasil studi mengenai tanggapan produksi tersebut di negara
berkembang!
11. Dalam kebijakan harga negatif, terdapat suatu konflik antara
program bantuan harga dan program subsidi input. Jelaskan konflik
tersebut!
12. Terangkan langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah
dalam melindungi kepentingan konsumen dan produsen!
FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH
DALAM PEREKONOMIAN
1
Karena sifat dari institusi publik, laba yang diperoleh institusi sering tidak mencapai
tingkat pembayaran kembali. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan bahwa kesempatan
kerja akan disediakan dalam kuantitas yang tepat.
berperan sebagai last resort, dalam mendanai, mengatur dan
menyediakan barang atau jasa secara gratis.
Kegagalan Pasar
1. Terdapat beberapa barang publik yang bersifat non rival dan non
excludable, seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan,
yang membuat tidak mungkin membebankan biaya penyediaannya
kepada para pengguna. Hal ini menyebabkan kegagalan pasar.
Untuk itu, negara dapat mencoba turut campur mengatasi
permasalahan ini.
2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik yang mungkin
menghasilkan suatu akibat eksternal (positif atau negatif) kepada
masyarakat yang tidak tercermin dalam harga barang. Tanpa intervensi
pemerintah, pasar akan memproduksi barang publik tersebut
secara tidak proposional, tergantung pada apakah eksternalitas ini baik
atau buruk.
3. Tidak bisa bergeraknya sumber daya yang produktif, terutama
tenaga kerja, dapat membantu mencegah pencapaian alokasi
sumber daya yang efisien.
4. Informasi yang tidak simetris dan tidak sempurna yang mungkin
mengarah pada penilaian yang salah atas barang dan jasa publik, dan
dengan demikian akan menyebabkan penawaran dan permintaan yang
tidak tepat.
5. Kegagalan pasar juga berhubungan dengan permasalahan dari
seleksi yang tidak menguntungkan dan bahaya moral ketika pembeli
atau penjual bertindak secara eksklusif atas dasar mencari keuntungan
bagi dirinya sendiri.
Aspek Keadilan
1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara
lebih serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah.
2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa
peningkatan keadilan memberikan kontribusi positif pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan yang lebih
cepat, dan berkurangnya kemiskinan.
3. Ketidakadilan sering menghasilkan situasi yang tidak aman,
meningkatnya kejahatan dan eksternalitas negatif yang akan
mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan sosial, secara nasional dan
global.
4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan,
pemberdayaan dan proteksi perlu difasilitasi oleh pemerintah.
5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya
negara yang harus atau dapat memberikan kontribusi dalam rangka
menekan kemiskinan. Tugas ini berhubungan dengan penyediaan
kesempatan, pemberdayaan dan proteksi. Ketiganya merupakan
dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara eksklusif
oleh sektor swasta.
Dengan demikian, sektor swasta dapat berperan secara aktif dalam
menciptakan kesempatan ekonomi (seperti penciptaan lapangan kerja, kredit,
dan sebagainya), mempromosikan tambahan manfaat kepada anggota
masyarakat (erat hubungannya dengan produsen dan pekerja swasta), dan
memberikan kontribusi untuk mengurangi ketidakadilan melalui aktivitas
yang sebetulnya merupakan tanggung jawab pemerintah (seperti rumah sakit
umum dan sekolah yang dananya dari swasta).
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa peran pemerintah yang berkenaan
dengan keterlibatannya dalam perekonomian adalah sebagai peran penyedia
(provider role) dan peran kemitraan (partnership role). Sebagai peran
penyedia (Provider Role), pemerintah harus menyediakan barang publik
untuk menjamin stabilitas ekonomi makro, keadilan, lingkungan yang bersih,
penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi, dan stabilitas nasional. Namun
demikian, tidak semua fungsi mensyaratkan kehadiran pemerintah sebagai
penyedia barang atau jasa publik dimana masih terdapat beberapa
diantaranya
2
yang difasilitasi oleh peraturan dan penciptaan ruang gerak yang tepat .
2
Monopoli yang alami dalam sektor tertentu seperti energi, tambang dan lain-lain,
saat sekarang menjadi pertanyaan publik berkaitan dengan tersedianya teknologi
masa kini.
Sedangkan sebagai peran kemitraan (Partnership Role), pemerintah dapat
menjadi mitra swasta dalam penyediaan peraturan, pembangunan
infrastruktur dasar dan perlindungan dari risiko dan kerugian (misalnya
asuransi). Diakui secara luas bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta
tidak akan dapat berfungsi secara tepat tanpa berfungsinya peran
kemitraan kedua sektor tersebut secara bersamaan. Pada masa sekarang,
pemerintah lebih banyak dibutuhkan dalam perannya sebagai regulator dari
mekanisme pasar dan sebagai fasilitator dari lingkungan kelembagaan dan
pengaturan yang kondusif atas pembangunan sektor swasta.
3
Dalam contoh ini, para ekonom berpendapat bahwa kebijakan publik
berakibat perekonomian tidak dalam kondisi pareto optimal.
FUNGSI ALOKASI
Latar Belakang Adanya Fungsi Alokasi
Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda
sifatnya dengan barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem
4
mekanisme pasar . Seringkali mekanisme pasar berfungsi, namun
kadangkala tidak efisien. Beberapa alasan yang mendasari kemungkinan
tersebut adalah karena:
1. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar dimana hubungan yang
seharusnya terjadi antara produsen dan konsumen dalam suatu mekanisme
pasar tidak berjalan, sehingga pemerintahlah yang harus bersedia
memproduksi barang publik tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah harus
mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan;
2. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar yang lain dimana
proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Dalam
kondisi ini, pemerintah harus menjamin bahwa proses politik dalam
pengambilan keputusan penyediaan barang dan jasa publik akan dapat
terjadi secara efisien.
Perbedaan yang mendasar antara barang pribadi dan barang publik adalah,
barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli baik oleh swasta
maupun oleh perusahaan pemerintah, sedangkan barang publik, dengan cara
yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual kepada
pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah,
seperti misalnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Permasalahan yang mungkin timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa
banyak barang publik yang harus disediakan oleh pemerintah, termasuk
diantaranya adalah jenis dan kualitas barang yang perlu disediakan oleh
pemerintah.
Untuk barang-barang pribadi (private goods), sistem pasar akan terjadi
melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individual dan
sukarela. Kondisi ini menggambarkan adanya hubungan antara permintaan
dan penawaran atas barang tersebut. Sistem pasar menjadi tidak berlaku jika
diterapkan pada barang-barang publik (social goods). Contohnya adalah jika
seseorang membutuhkan pakaian. Kebutuhan yang dirasakan oleh seseorang
akan pakaian tentunya akan sangat berbeda dengan kebutuhan pakaian yang
dirasakan oleh orang yang berbeda. Apabila seseorang membeli satu set
pakaian, maka pakaian yang sama tidak akan tersedia untuk orang lain.
Dalam
4
Sistem mekanisme pasar merupakan suatu transaksi antara konsumen dan produsen
secara individu.
kasus ini akan terjadi suatu kondisi bahwa konsumsi terhadap barang tersebut
bersifat bersaing. Akan berbeda halnya jika kebutuhan seseorang tersebut
terhadap, misalnya, penggunaan atas jalan umum. Kebutuhan atas barang ini
akan dirasakan secara bersama-sama dan begitu pula terhadap manfaat yang
dihasilkan dengan tersedianya jalan umum tersebut tentunya akan dapat
dinikmati oleh banyak orang (tidak untuk satu konsumen). Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa apabila seseorang mengambil manfaat dari adanya jalan
umum tersebut, manfaat yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang.
Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa mekanisme pasar akan sangat
cocok untuk menggambarkan penyediaan barang-barang pribadi. Mekanisme
pasar akan terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen,
kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh
konsumen. Konsumen akan berusaha mendapatkan barang yang mereka
inginkan dengan harga yang serendah-rendahnya, sedangkan produsen
akan menjual barang dengan harga yang setingi-tingginya. Mekanisme
pasar tersebut akan membawa konsumen dan produsen ke suatu titik harga
tertentu. Untuk barang seperti pakaian, aplikasi dari prinsip hubungan
permintaan dan penawaran seperti ini menjadi suatu pemecahan yang
efisien. Akan banyak keuntungan yang didapat – terutama oleh produsen –
apabila membatasi konsumen yang ikut dalam sistem pasar dengan
mensyaratkan mereka untuk mau membayar.
Berbeda halnya dengan barang publik, mekanisme pasar tidak
akan berfungsi secara sempurna. Konsumen biasanya tidak bersedia
untuk membayar pemanfaatan atas barang publik, karena manfaat yang
akan dirasakan oleh setiap orang akan sama saja, baik jika dia membayar
ataupun tidak. Apalagi jika semakin banyak orang yang menggunakan barang
tersebut, manfaat yang dirasakan masing-masing individu akan semakin
tidak berarti apa-apa. Akibatnya tidak akan ada pembayaran yang
dilakukan secara sukarela. Dalam kondisi seperti ini tentunya diperlukan
campur tangan dari pemerintah.
Barang Publik
Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau
jasa apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai dari lampu jalan
sampai dengan keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik
menjabarkan istilah barang publik sebagai barang-barang yang mempunyai
sifat tidak bersaing (non rivalry) dan tanpa pengecualian (non excludability).
Kedua sifat tersebutlah yang kemudian akan mengakibatkan kegagalan pasar
dalam memproduksi secara efisien.
Harga
S = MC
E
P1
Dt
Gambar 4.3.
Gambar 4.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik.
Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai
sifat tidak bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi
oleh A sama jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat
yang diterima A lebih besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga
kota Jakarta dapat menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga
halnya dengan B, meskipun A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh
karena itu, dalam hal ini perbedaan terjadi bukan pada kuantitas yang
dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi lebih kepada perbedaan dari
manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga yang dibayarkan oleh
masing-masing konsumen.
Berdasarkan karakteristik dari barang publik tersebut, dalam kurva 4.4
tampak bahwa terdapat suatu titik yang menunjukkan maksimum harga yang
bersedia dibayar oleh individu A (PA). Alasan atas kondisi ini, karena
pada titik tersebut A memperoleh manfaat yang maksimum. Di atas
harga PA, individu A tidak lagi bersedia untuk membayar atas barang publik
tersebut, karena A tidak lagi memperoleh tambahan manfaat atas barang
tersebut. Sementara individu B masih bersedia membayar sampai ke tingkat
harga PB atas barang publik yang sama, dikarenakan manfaat marjinal atas
barang tersebut masih terus diterima oleh B.
Harga
S = MC
P1
E
PB Dt
PA
Gambar 4.4.
Masih dalam gambar 4.4, tampak bahwa kurva permintaan pasar (Dt)
berbelok pada tingkat kuantitas barang publik yang memberikan tingkat
manfaat maksimum pada A – sehingga A tidak bersedia membayar
harga tambahan lagi. Di atas harga tersebut (PA) tambahan barang publik
dibayar oleh individu B. Sebagai contoh, dalam penyediaan jalan raya,
individu A hanya bersedia membayar dengan harga cukup, karena
mungkin hanya itu kebutuhannya. Sementara di lain pihak, individu B
bersedia membayar lebih banyak lagi untuk penyediaan jalan raya, sebagai
kompensasi atas kebutuhannya terhadap jalan tersebut. Maka total harga yang
bersedia dibayar oleh pasar, adalah total harga yang bersedia dibayar oleh
seluruh individu dalam pasar (P1=PA+PB).
Harga
MC
P1
D3
Gambar 4.6.
5
Dalam keadaan bersaing, produsen akan menyamakan biaya marjinal dengan harga
atau pendapatan rata-rata.
61 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam 61
Perekonomian
6
Ini adalah kelebihan dari the invisible hands sebagaimana yang dikemukakan pertama
kali oleh Adam Smith.
bagi B sama FE-FG = FH, sehingga menempatkan B pada titik H pada
gambar bagian bawah.
Selanjutnya kita akan melihat pada tingkat kesejahteraan terbaik untuk
A dan B. Untuk A misalnya dinyatakan oleh kurva indiferen ia2 pada
gambar bagian tengah, menunjukkan bahwa jika A berada pada titik G maka
B akan berada pada titik H pada gambar di bagian bawah. Kemudian jika A
bergerak sepanjang ia2 ke titik P, T, dan V, berdasarkan alasan yang sama
akan menempatkan B pada titik L, Z dan K. Jika A bergerak sepanjang ia2
dari tititk W ke kiri, maka B akan berpindah ke kiri sepanjang ULK. Bagi A,
semua titik sepanjang ia2 akan sama baiknya, kesejahteraan A akan
menjadi maksimal apabila A mendapatkan suatu titik yang akan dapat
membuat B menjadi lebih baik. Hal ini akan terjadi pada titik L, dimana
ULK bersinggungan dengan kurva indeferen ib4 dari B pada gambar bagian
bawah. Inilah kurva tertinggi yang dapat dicapai oleh B. Jika A berada pada
kurva indiferen ia1 pemecahan terbaik adalah dengan membiarkan A dan B
pada titik P dan L, dimana output total barang publik (yang paling efisien)
sejumlah ON, sedangkan total output barang pribadi sebanyak NM akan
dibagi antara A dan B sehingga A menerima sebanyak NP dan B
menerima sebanyak NL.
Total X
D
0 N F U C Jumlah S
Jumlah X
untuk A
V
P ia3
G
W
ia2
ia1
0 N F U Jumlah S
Jumlah X
untuk B
Z
K L
ib4
ib1 H
ib3
ib2
0
Gambar 4.7
Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat
mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan
menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan
dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan
cara ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan
dengan berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah
efisien menurut pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara
tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi
marjinal di dalam produksi.
FUNGSI DISTRIBUSI
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa terdapat dua
masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah
penggunaan sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber
daya tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih
pada efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya di antara
berbagai kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu
tingkat hasil (utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah ada distribusi yang adil atau merata?
Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan merata itu yang dimaksud di
atas? Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan
mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat
berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif.
Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada
teori mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor
produksi dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah,
tenaga kerja dan modal. Teori ini memainkan peranan yang sangat penting
dalam analisis ekonomi, namun demikian penekanan teori peranan produksi
lebih pada pengalokasian yang efisien. Agar alokasi sumber daya menjadi
efisien maka jumlah faktor produksi yang digunakan harus sedemikian rupa
sehingga nilainya sama dengan nilai biaya marjinal. Walaupun demikian,
teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukanlah merupakan teori fungsi
distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan
efisien apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa
memperhatikan masalah
distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar. Sedangkan,
penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana
pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluarga-
keluarga. Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap
individu maupun keluarga akan dibahas lebih mendalam dalam bagian ini.
Konsep Keadilan
Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan
publik. Apakah ada suatu cara untuk mendefinisikan keadilan? Pertanyaan ini
telah memicu munculnya beberapa pemikiran terbaik dari para ekonom dalan
kurun waktu dua abad terakhir ini. Idealnya, sistem perpajakan dan belanja
publik harus dapat menjamin terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari
setiap warga negara, bukan dalam ukuran rupiahnya namun lebih pada
utilitasnya. Sehingga apabila ada dua kelompok ekstrim dalam masyarakat,
si miskin dan si kaya, akan terasa sangat logis jika standar adil dalam
pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin bahwa kontribusi si
miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya.
Selanjutnya, masih dalam konteks ideal, fungsi pendistribusian oleh
pemerintah dapat mencakup proses penarikan dana (melalui pajak) dari si
kaya dan mentransfernya kepada si miskin baik itu dalam bentuk uang
ataupun jasa. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pendistribusian
yang dilakukan pemerintah tidak menguntungkan bagi si miskin, melainkan
tetap lebih memihak kepada si kaya.
7
Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata –
berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Prinsip Kompensasi
Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan
jatuh pada prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi
pareto yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang
menjadi lebih baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya
(lebih buruk). Jadi dalam konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan
yang mau tidak mau akan terdapat pihak yang menang dan kalah.
Ketidakmampuan dalam membandingkan utilitas dari setiap orang,
menyebabkan suatu keputusan atau perubahan kebijakan sangat sulit untuk
dibuat tanpa mengakibatkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan dan pihak-
pihak yang dirugikan. Menyadari hal ini, para ekonom mencari beberapa
kriteria untuk pengambilan keputusan dimana kondisi pareto optimal tidak
mungkin dapat dicapai. Kriteria ini akan memandu pengambil keputusan
untuk memilih keputusan terbaik kedua setelah pareto optimal. Salah satu
kriteria
yang paling sering digunakan adalah prinsip
8
kompensasi .
Prinsip kompensasi sebagian dapat terlihat dalam hal kebijakan
perdagangan. Penurunan secara bertahap terhadap hambatan perdagangan
internasional akan memberikan keuntungan bagi para konsumen dan
eksportir di atas beban para tenaga kerja dan produsen importir dalam
industri yang bersaing. Namun kebijakan ini tetap diinginkan karena secara
total, kesejahteraan publik akan lebih meningkat. Seandainya hambatan
perdagangan tetap dipertahankan sehingga tetap ada dinding yang membatasi
suatu negara dalam bertransaksi dengan negara lain, maka tetap saja akan ada
pihak-pihak yang diuntungkan sebagai pemenang dan pihak-pihak yang
dirugikan sebagai yang kalah.
8
Prinsip kompensasi menawarkan suatu pedoman dasar untuk memilih dari
beberapa alternatif kebijakan dengan ketentuan bahwa seseorang akan menjadi lebih baik
atau lebih sejahtera.
9
ketidakadilan yang besar, terutama dalam distribusi pendapatan modal . Para
ekonom sepakat bahwa dibutuhkan penyesuaian untuk menentukan batas
minimum pendapatan untuk kelompok berpenghasilan rendah. Kebijakan
penyesuaian tersebut akan menimbulkan inefisiensi dengan menimbulkan
tambahan biaya.
Dalam ekonomi pasar, distribusi pendapatan ditentukan oleh penjualan
faktor produksi tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan tenaga kerja
berkaitan dengan distribusi kemampuan sekaligus keinginan tenaga kerja
yang bersangkutan untuk memperoleh pendapatan. Distribusi pendapatan
tenaga kerja dan modal terkait dengan investasi pendidikan, yang
merupakan pengaruh dari tingkat upah yang dapat dicapai oleh seseorang.
Selain bergantung pada turunan dari faktor-faktor produksi tersebut,
distribusi pendapatan juga bergantung pada faktor harga. Dalam persaingan
sempurna, tingkat harga akan sama dengan nilai dari faktor produk marjinal,
oleh karenanya harga-harga tersebut akan bergantung langsung pada sejumlah
variabel seperti faktor penawaran, teknologi, dan preferensi pelanggan.
Namun dalam banyak kasus, tingkat pengembalian lebih ditentukan oleh
pasar persaingan tidak sempurna dimana faktor-faktor institusi seperti
struktur gaji, hubungan keluarga, status sosial, ras dan lain-lain masih
memainkan peran yang sangat penting. Oleh sebab itu, tingkat pendapatan
dari berbagai macam pekerjaan mungkin berbeda sejalan dengan
pertimbangan status dibandingkan dengan produk marjinal. Begitu pula
dengan kesempatan seseorang untuk memperoleh pekerjaan akan lebih
bergantung pada hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan kemampuan
produktifitasnya, dan akhirnya pola pernikahan juga menjadi faktor terpenting
dalam pendistribusian pendapatan.
Distribusi pendapatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas,
menunjukkan tingkat ketidakadilan yang sangat mencolok. Hal ini dapat
dilihat dengan membandingkan persentase dari pendapatan yang
diperoleh tenaga kerja dengan persentase rumah tangga (pemilik modal) yang
menghasilkan. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa terjadi
kecenderungan meningkatnya ketidakadilan dalam pendistribusian
pendapatan (Musgrave, 1991).
9
Distribusi pendapatan modal mencakup distribusi kesejahteraan, sebagaimana
telah ditentukan oleh warisan, pola perkawinan, pola hidup dan simpanan semasa
hidup.
sebagai hasil dari suatu kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, meskipun tidak secara langsung, akan mempunyai dampak
distribusional. Misalnya, kebijakan mengenai anti trust atau anti monopoli
sebenarnya dirancang untuk mengefisienkan pasar, namun secara tidak
langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga kerja pada
industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan riil
dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut
terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah –
seperti pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik
kepada masyarakat – akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai
kelompok masyarakat dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi. Oleh
karena itu, perancangan kebijakan publik seharusnya juga mempertimbangkan
masalah distribusi. Namun sayangnya, sampai saat ini para ekonom belum
dapat menetapkan standar distribusi mana yang sebenarnya menjadi patokan,
yaitu apa yang seharusnya menjadi kriteria bagi distribusi yang adil dan
wajar. Tetapi, karena masalah distribusi sangat erat kaitannya dengan
permasalahan kebijakan ekonomi, semestinya para ekonom yang
berurusan dengan kebijakan umum pemerintah tidak boleh melepaskan
pemikiran mereka dari masalah keadilan dalam distribusi pendapatan.
Dalam mempertimbangkan instrumen kebijakan, perlu pula diperhitungkan
bobot atau biaya efisiensi. Biaya efisiensi merupakan biaya yang timbul
sebagai akibat pilihan terhadap perilaku konsumen atau produsen. Pemecahan
optimal menghendaki suatu kombinasi yang kompleks antara pajak dan
subsidi. Konsekuensi pilihan instrumen fiskal akan menunjukkan bahwa
di satu sisi setiap perubahan harus diselesaikan dengan biaya efisiensi yang
minimum. Sedangkan di sisi lain, timbul suatu kebutuhan untuk
menyeimbangkan konflik antara tujuan pemerataan dan tujuan efisiensi.
Adapun alternatif peralatan fiskal yang dapat diterapkan dalam fungsi
distribusi adalah: (1) skema pajak progresif, yaitu pengenaan pajak
dimana rasio pajak terhadap penghasilan naik dengan naiknya pendapatan; (2)
pajak penghasilan (biasanya progresif) digunakan untuk membiayai
pelayanan umum; dan (3) kombinasi antara pajak atas barang mewah dengan
subsidi terhadap barang tidak mewah.
Redistribusi
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai fungsi distribusi yang
menekankan pada pertanyaan dasar mengenai apa yang dimaksud dengan
distribusi yang adil dan merata. Pertanyaan berikutnya sekarang adalah perlu
tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi
masalah
distribusi yang kurang adil dan merata. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan
redistribusi yang ditetapkan melalui proses anggaran. Kebijakan redistribusi
mempelajari sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana mengubah
keadaan distribusi yang telah ditentukan oleh pasar dan lembaga publik yang
ada saat ini. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat dievaluasi berdasarkan
respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan pada proses
tersebut
. Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari pendapatan
nasional
yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan biaya yang
tentunya harus dipikul.
Sebagian orang akan menolak adanya kebijakan redistribusi, jika hal
tersebut merupakan kebijakan wajib dari pemerintah. Namun, hal sebaliknya
sering kali terjadi jika redistribusi didanai melalui kontribusi sukarela, seperti
penggalangan dana di mesjid, gereja, organisasi nirlaba dan sumbangan sosial
individu. Hal ini dapat meredistribusi posisi pendapatan atau kekayaan yang
telah ditentukan oleh kekuatan pasar. Jika kegiatan sukarelawan ini cukup
untuk membuat perubahan yang dapat diterima, terjadi penurunan atas tingkat
kemiskinan dan ketidakadilan dalam masyarakat, maka campur tangan
pemerintah tidak lagi dibutuhkan. Tetapi apakah mungkin cukup
menggantungkan keputusan redistribusi ini kepada individu atau kelompok
sosial saja, apakah ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi akan optimal
bagi masyarakat. Rasanya hampir mustahil, karena akan sangat mudah bagi
setiap orang untuk menghindar dari membayar suatu sumbangan sukarela
(menjadi free rider), terlebih dalam kelompok masyarakat yang besar.
Di dalam masyarakat yang kecil pun, orang tetap bisa menghindar dari
menyumbang secara sukarela, meskipun hal tersebut akan lebih mudah
terdeteksi.
10
atau apakah harus lebih terpusat pada keadilan atas kesempatan atau
11
keadilan atas hasil . Perbedaan filosofi dari dua pendekatan keadilan
redistribusi ini tercermin dalam pribahasa ”Berikan seseorang ikan, maka dia
dapat makan untuk satu hari; ajari seseorang memancing, maka dia dapat
makan seumur hidupnya”. Secara umum, keadilan atas hasil sebagai suatu
strategi anti kemiskinan telah semakin menurun popularitasnya di banyak
negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan
penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih
untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas
kepada mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar
pajak lebih memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti,
pakaian, dan makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak
pendana akan memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima,
sehingga membatasi fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah,
cara yang termudah adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung
seperti pelayanan kesehatan dan program pendidikan.
Isu penting lainnya dalam masalah redistribusi yang efisien
adalah penetapan bagian yang harus diredistribusikan. Redistribusi yang telah
dibahas sejauh ini mencakup masalah biaya dan manfaat dimana keduanya
harus dipertimbangkan. Pertama-tama, kebijakan untuk melakukan
redistribusi dapat mengakibatkan bagian yang tersedia untuk didistribusikan
justru menjadi lebih kecil. Hal ini diakibatkan oleh bekerjanya pengaruh
perbedaan yang berlaku pada baik pihak pembayar pajak maupun pihak
penerima pajak.
Hal ini dapat diperlihatkan dalam hubungan antara penawaran tenaga kerja
dengan tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi dimana masalah
serupa juga akan timbul. Ketika redistribusi ditetapkan sehingga akan
menurunkan tingkat pendapatan, maka pada tingkat tertentu sebagian
besar masyarakat akan mengurangi usaha mereka dalam mencari pendapatan
atau dengan kata lain mereka akan memperbanyak waktu santai mereka,
sehingga tingkat produktivitas masyarakat menurun. Hubungan antara
pendapatan, waktu senggang dan pajak dapat dilihat pada gambar 4.8.
10
Keadilan atas kesempatan dapat berupa penyediaan pendidikan (terutama dalam bentuk
pembebasan uang sekolah dan wajib belajar), pelayanan kesehatan atau jasa lainnya yang
dapat membantu masyarakat untuk berkembang atau paling tidak tetap berproduksi.
Keadilan ini lebih bersifat filosofi dalam hubungannya dengan sistem pasar.
11
Dalam keadilan atas hasil, penekanannya lebih pada penurunan kesenjangan pendapatan
dan penghapusan kemiskinan dengan cepat daripada menekankan pada berinvestasi pada
orang miskin.
Pendapatan, Waktu Senggang dan Pajak
Pendapatan
A1
A2
Y1
Y2
A3
Y3
Waktu Luang
0 B
X2 X1 X3
Gambar 4.8
Gambar 4.8. menunjukkan bahwa pada tingkat dimana seseorang tidak
dikenakan pajak (garis A1B), dia akan memilih tingkat pendapatan OY1 dan
jumlah waktu luang OX1. Kemudian, ketika pajak mulai dikenakan
(garis A2B), pendapatan orang tersebut menurun menjadi OY2, begitu pula
jumlah waktu luang yang dimilikinya menurun (OX2) – karena yang
bersangkutan harus bekerja lebih giat guna menutupi turunnya
pendapatan yang diperolehnya. Namun dapat terlihat bahwa penurunan
tingkat pendapatan jauh lebih besar daripada penurunan jumlah waktu luang,
atau dengan kata lain tingkat produktifitas meningkat. Namun, kejadian
seperti ini tidak akan terus berlanjut, jika pajak terus ditingkatkan. Sebagai
contoh, masih pada gambar
4.8, jika pajak terus ditingkatkan (garis A3B), maka tingkat pendapatan akan
semakin menurun menjadi OY3, pada titik ini, ternyata orang tersebut justru
menambah waktu luangnya (OX3) - mungkin sebagai bentuk penolakannya
terhadap pajak. Maka pada tingkat pajak A3B, yang terjadi adalah
penurunan
tingkat produktifitas masyarakat. Oleh karena itu, penetapan tarif pajak
perlu memperhatikan fenomena ini.
FUNGSI STABILISASI
Di era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai
pengatur (regulator) semakin dirasakan kebutuhannya. Dalam hubungannya
dengan persaingan yang terjadi pada ekonomi pasar, fungsi pengatur tersebut
dapat berupa beberapa kebijakan baik sebagai pemicu maupun sebagai
penghambat persaingan. Tanpa adanya kebijakan tersebut, perekonomian
cenderung akan mengalami fluktuasi, peningkatan jumlah pengangguran dan
juga akan terjadi inflasi. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam
fungsi stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti
mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi,
tingkat stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang
sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima. Dalam
fungsinya menjalankan stabilisasi ini, pemerintah mempunyai dua instrumen
penting yakni instrumen moneter dan instrumen fiskal.
Kebijakan Moneter
Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat
diandalkan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di
antara barang pribadi. Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar
tidak dapat dengan sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara
tepat. Sistem perbankan, jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur,
sehingga tidak hanya akan menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak
sesuai, tetapi juga menimbulkan reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang
akan cenderung menimbulkan fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan bank
sentral sebagai pengawas jumlah uang beredar perlu menyesuaikan jumlah
uang beredar dengan kebutuhan ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka
pendek maupun pertumbuhan jangka panjang. Komponen kebijakan
moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai cadangan wajib bank,
tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka.
Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar
akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga dan karena
itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan moneter akan
berakibat sebaliknya.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi secara langsung tingkat permintaan
barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam upaya
pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib
pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga
diharapkan akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula.
Sejalan dengan itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas
merupakan jenis kebijakan yang bersifat ekspansi, karena juga akan
meningkatkan total permintaan agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan
menaikkan tingkat permintaan sektor pemerintah dan kemudian akan diikuti
oleh sektor swasta. Di sisi lain, kebijakan defisit anggaran pemerintah akan
memainkan peranan yang tidak kalah penting, tergantung pada
bagaimana defisit tersebut dibiayai. Pembiayaan defisit akan lebih besar
jika defisit tersebut ditutupi dengan pinjaman. Di lain pihak, jika peredaran
uang diperketat, maka pinjaman tambahan akan mempertinggi suku bunga
sehingga cenderung menghambat transaksi pasar.
Stabilisasi Anggaran
Kegiatan-kegiatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi alokasi,
distribusi, dan stabilisasi akan tercermin dalam kebijakan anggaran.
Kebijakan anggaran, secara simultan, mempunyai beberapa tujuan berkaitan
dengan pemenuhan ketiga fungsi tersebut. Suatu kebijakan publik tertentu
mungkin tidak dapat memenuhi tiga tujuan sekaligus, sehingga dimungkinkan
akan ada banyak pengecualian. Namun demikian, suatu kebijakan selalu
berupaya meminimumkan konflik antar masing-masing tujuan. Ketiga tujuan
tersebut adalah: (1) tujuan alokasi, yakni dengan meningkatan pelayanan
pemerintah yang diikuti dengan kenaikan pajak; (2) tujuan distribusi, yakni
dengan mendistribusikan pendapatan ke kelompok rendah dari kelompok
tinggi (atau sebaliknya ke kelompok tinggi dari kelompok rendah) yang
diikuti dengan pengenaan pajak progresif (atau sebaliknya regresif); dan (3)
tujuan stabilisasi, yakni dengan membuat kebijakan yang lebih ekspasioner
yang diikuti dengan menaikkan pengeluaran publik atau dengan menurunkan
pajak.
Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi tingkat
permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya
menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau,
anggaran akan sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro,
pada gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi
perilaku tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi
tingkat distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan
tabungan
(yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda,
tetapi dalam prakteknya hal ini sering saling tumpang tindih sehingga
mempersulit penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benar-
benar adil dalam rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut.
Sebagai ilustrasi, misalnya masyarakat menginginkan penurunan tingkat
penganguran. Hal ini bisa diwujudkan dengan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dimana salah satu faktor pendukungnya adalah peningkatan
total permintaan agregat. Jika pemerintah berinisiatif dengan meningkatkan
pengeluaran publik, defisit anggaran dapat ditutupi dengan peningkatan
penerimaan dari sektor pajak. Kenaikan pajak pada gilirannya nanti akan
dipertanyakan oleh masyarakat tentang cara pendistribusian bebannya. Dalam
proses pemungutan suara akan ada pihak-pihak yang mendukung dan
menolak terhadap perubahan atas model yang dipilih pemerintah, terutama
berkaitan dengan perubahan kebijakan perpajakan.
Idealnya, isu stabilisasi dan distribusi tersebut seharusnya dipisahkan.
Masyarakat seharusnya bersedia membayar apa yang dianggap sebagai
distribusi yang adil. Kemudian, dalam masalah pembiayaan kegiatan
pemerintah, wajib pajak selayaknya melihat manfaat yang dapat diambil dari
kegiatan tersebut, tanpa harus dihubungkan dengan kontribusinya, karena dua
masalah ini sulit diselesaikan secara simultan.
Akhirnya, kita dapat mengambil simpulan bahwa penentuan anggaran lebih
condong sebagai proses politik ketimbang proses pasar. Proses politik
didasarkan pada peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang suatu negara. Dalam suatu negara demokrasi, warga negara
mempunyai kesempatan untuk memberikan suaranya dalam memutuskan
suatu masalah yang berisi alternatif pencapaian tujuan yang saling
bertentangan. Hasil dari proses tersebut tergantung dari hasil pemungutan
suara atau dari tingkah laku para politisi yang bermain di dalam
pemerintahan tersebut. Proses politik tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain selain faktor ekonomi, seperti ideologi. Namun demikian, dari
sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan barang dan
jasa yang berguna bagi seluruh warga negaranya.
RANGKUMAN
§ Beberapa fungsi pemerintah dalam perekonomian:
1. Fungsi Alokasi
Fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya
untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan
bagaimana komposisi barang publik ditetapkan.
2. Fungsi Distribusi
penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk
menjamin pemerataan dan keadilan.
3. Fungsi Stabilisasi
Penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk
mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan
laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat
kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran.
§ Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik, yang berbeda
sifatnya dengan barang pribadi, tidak dapat disediakan melalui sistem
pasar melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individu
§ Kondisi stabil tidak dapat dicapai secara otomatis. Tanpa
kebijakan stabilisasi pemerintah, perekonomian cenderung mengalami
fluktuasi, pengangguran dan inflasi.
§ Komponen kebijakan moneter mencakup antara lain
pembentukan cadangan wajib, tingkat diskonto, kebijakan pasar
terbuka dan pengendalian kredit selektif.
§ Mekanisme pasar terjadi apabila ada suatu permintaan dari
konsumen, kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling
diinginkan oleh konsumen.
§ Mekanisme pasar akan membawa konsumen dan produsen ke suatu
titik harga tertentu.
§ Dalam suatu sistem ekonomi pasar yang bersaing sempurna,
kriteria efisien digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya.
Dalam pasar yang efisien, tidak ada distorsi yang akan
mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh
penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli. Harga atas suatu
komoditi sudah disepakati oleh atau harus identik untuk semua pembeli
dan penjual.
§ Alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi dalam
sistem ekonomi pasar:
1. Pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat
beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan.
2. Pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk
mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta,
terutama dalam hal biaya produk dan kualitas produk yang
dihasilkannya.
3. Terletak pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas
barang-barang publik
§ Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual
dan tersedia di pasar, sedangkan barang publik adalah barang-barang
yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar.
§ Penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade
off dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar.
Artinya, setiap penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari
sumber- sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk
memproduksi barang pribadi.
§ Barang publik terbagi dua:
1. Barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry)
2. Barang publik yang mempunyai sifat tanpa pengecualian (non
excludability)
§ Pada dasarnya, barang publik disediakan untuk semua orang
yang mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam
prakteknya, ada barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh
masyarakat di dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik
yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala
lokal).
§ Dua masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal, yaitu:
1. Masalah penggunaan sumber daya yang efisien
2. Masalah pendistribusian sumber daya tersebut dengan adil
§ Teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan
faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi dan
pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja
dan modal.
§ Beberapa konsep dalam mengukur keadilan:
1. Konsep Keadilan Horizontal
2. Konsep Keadilan Vertikal
3. Prinsip Kompensasi
§ Dasar pengukuran konsep keadilan vertikal dapat berupa
pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk
membayar
§ Beberapa kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah:
1. Bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang
dapat dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi
(misalnya pendapatan) seseorang.
2. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan
seseorang jika dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang
tersebut dalam membayar pajak.
§ Salah satu kriteria yang paling sering digunakan dalam prinsip
kompensasi adalah prinsip kompensasi yang menawarkan suatu pedoman
kasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan
prinsip bahwa seseorang akan menjadi lebih baik atau sejahtera.
§ Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi
dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti
mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat
stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima.
§ Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan
mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian
kredit dan kebijakan pasar terbuka.
§ Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang
beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga
dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan
moneter akan berakibat sebaliknya.
LATIHAN
1. Dengan adanya beberapa kelemahan pada mekanisme pasar maka
peran pemerintah sangat diperlukan dalam perekonomian yang memiliki
fungsi- fungsi tertentu. Sebutkan dan jelaskan fungsi pemerintah
tersebut! Di antara fungsi pemerintah tersebut, fungsi manakah yang sulit
untuk diperankan dan merupakan permasalahan utama?
2. Sebutkan dua argumen perlunya intervensi pemerintah!
Mengapa intervensi pemerintah tersebut diperlukan dalam konteks
kegagalan pasar? Dari intervensi pemerintah tersebut terdapat beberapa
peran pemerintah. Uraikan secara singkat!
3. Jelaskan akibat-akibat kegagalan mekanisme pasar!
4. Faktor apakah yang menentukan fungsi distribusi?
5. Jelaskan mengenai perlunya kebijakan stabilisasi pemerintah dalam
perekonomian?
6. Apa saja yang termasuk dalam instrumen kebijakan stabilisasi?
7. Jelaskan penyebab adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi
pasar bebas?
8. Masalah-masalah apakah yang timbul dalam fungsi alokasi?
9. Terangkan dua masalah yang ada pada kaedah pemerataan! Apakah
yang dibahas dalam aspek pemerataan tersebut?
10. Terangkan alasan perlunya aturan pemerintah guna menjadi efisien
dalam sistem ekonomi pasar?
11. Jelaskan disertai dengan contoh perbedaaan antara barang pribadi
dengan barang publik!
12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “Dalam suatu sistem ekonomi
pasar, kriteria efisien dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi
sumber daya dimana semua pasar dalam kondisi persaingan sempurna”.
13. Terangkan bahwa biaya marginal dari setiap tambahan penggunaan
atas barang publik sama dengan atau paling tidak mendekati nol!
14. Mengapa barang publik dapat mengakibatkan kegagalan pasar
dalam produksi secara efisien?
15. Jelaskan arti dari istilah:
a. Congestible Goods
b. Pareto Efficiency
16. Uraikan salah satu contoh kelemahan dalam menerapkan konsep
keadilan vertikal pada fungsi alokasi yang anda ketahui!
17. Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada
teori mengenai peranan faktor produksi. Sebutkan teori-teori yang
dimaksud!
18. Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan
kebijakan publik. Sebutkan tiga konsep untuk mengajukan keadilan!
19. Apakah inti dari kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi?
KONSEP ANGGARAN
dalam negeri dapat lebih tinggi dari pengeluaran rutin sehingga tercipta
tabungan pemerintah yang dapat digunakan sebagai bagian belanja
pembangunan. Agar tidak terjadi tambahan inflasi akibat adanya hutang,
seluruh nilai hutang dipergunakan untuk kegiatan pembelian barang-barang
impor. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1999. Setelah itu
diberlakukan balance budget yang mengakui adanya budget surplus dan
budget deficit (dibahas pada subbab berikut).
Di dalam konsep anggaran perlu dibedakan antara penerimaan versus
pendapatan, dan pengeluaran versus belanja. Yang pertama, penerimaan
publik tidak selalu berupa pendapatan publik. Karena ada beberapa aktivitas
yang mengakibatkan aliran dana masuk yang tidak menambah kekayaan neto
negara, seperti penerimaan kembali anggaran pengeluaran yang tidak
terpakai. Sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan
kekayaan neto negara, contoh penerimaan pajak. Berikutnya, pengeluaran
publik tidak selalu identik dengan belanja publik. Pengeluaran publik seperti
pembayaran pokok hutang akan diikuti dengan pengurangan liabilitas publik
sehingga tidak mengurangi kekayaan neto negara. Belanja publik pasti
mengurangi kekayaan neto negara, misalnya pembayaran bunga hutang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anggaran adalah suatu rencana
keuangan yang merupakan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan di
masa yang akan datang. Setiap anggaran belanja menguraikan berbagai fakta
yang khusus (spesifik) tentang apa-apa yang direncanakan untuk dilakukan
oleh unit organisasi yang menyusun anggaran belanja tersebut pada periode
waktu yang akan datang. Dalam anggaran, dipaparkan adanya rencana
pengeluaran yang didasarkan pada ekspektasi pendapatan. Rencana
pengeluaran sebaiknya mengindikasikan juga urutan skala prioritas serta
ekspektasi kualitas dan kuantitas layanan.
Balance Budget
Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya melalui
prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap tahun,
on- budget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan
dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal
sebagai off- budget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang
diperuntukkan bagi program pensiun dan tunjangan hari tua.
Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul
budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebih tinggi
dari rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-
budget mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus.
Apabila
anggaran disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan
off- budget, maka anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.
JENIS-JENIS ANGGARAN
Jenis-jenis anggaran meliputi:
a. Anggaran Belanja Line-Item (Line-Item Budgeting)
Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau
obyek-obyek, disebut anggaran obyek pengeluaran atau anggaran belanja
line- item.
Anggaran memuat perkiraan dari pengeluaran uang. Pengeluaran tersebut
harus jelas maksud dan tujuannya. Apabila dikatakan untuk membeli
barang, hal ini adalah sesuatu hal yang masih sangat umum, disebabkan
setiap instansi atau departemen mempunyai kebutuhan barang yang berbeda.
Oleh karena itu, harus disebutkan secara khusus atau spesifik, obyek-obyek
atau item-item apa yang akan dibeli dengan uang yang dianggarkan itu.
Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu
dibuat pengelompokan ataupun penggolongan. Penggolongan barang tersebut
misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan,
tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari
pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau line-
items. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut.
Jenis Pengeluaran Jumlah
• Pengeluaran Rutin
I. Belanja Pegawai Rp XXX Rp
XXX Rp
II. Belanja Barang
XXX Rp
III. Subsidi Daerah Otonom
XXX
IV. Pembayaran Bunga & cicilan Hutang
• Pengeluaran Pembangunan
I. Pembiayaan Rupiah Rp XXX Rp
1. Bunga Kredit Program XXX Rp
2. Bunga Obl. Restrukturisasi Perbankan XXX Rp
II. Pembiayaan Proyek XXX
d. Zero-based Budgeting
Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian
kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan
atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh
program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan
tidak mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah diselenggarakan tahun
sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang
tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu
oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit
dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.
Output
Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output),
akan tetapi yang dimaksud di sini adalah setiap penyelesaian kerja yang nyata
dari seorang karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini
dapat juga berupa sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada
pembangkit listrik yang menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi
kepentingan masyarakat.
Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi
adalah konsep output yang universal. Konsep output yang universal
beranggapan bahwa setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan
pemerintah dapat dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hasil adalah barang-barang dan
jasa-jasa yang dihasilkan untuk disalurkan keluar pemerintah.
SIKLUS ANGGARAN
Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam
anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di
Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan
anggaran negara merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak
pihak, termasuk lembaga legislatif. Peran lembaga legislatif dalam
proses penyusunan anggaran menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih
demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Proses perjalanan suatu anggaran yang dimulai dari penyusunan
hingga pertanggungjawaban disebut dengan siklus anggaran. Secara umum
siklus anggaran terbagi atas empat tahap yaitu:
1. Penyusunan anggaran (budget formulation).
2. Pengesahan anggaran (budget enactment).
3. Pelaksanaan dan pengawasan anggaran (budget execution).
4. Pemeriksaan dan pertanggungjawaban anggaran (budget auditing
and assessment).
Penyusunan Anggaran
Sebelum dibahas oleh lembaga legislatif, pemerintah berkewajiban
menyusun dan mengajukan rancangan anggaran. Rancangan ini memuat
asumsi umum yang mendasari penyusunan anggaran seperti perkiraan
penerimaan, pengeluaran, transfer, defisit/surplus, dan pembiayaan defisit,
dan kebijaksanaan pemerintah. Selain itu juga dimuat perkiraan terperinci
pengeluaran dan penerimaan departemen/lembaga, dan proyek, data aktual
dan proyeksi perekonomian, dan informasi terkait lainnya.
Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa bulan,
tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani. Pada umumnya
proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang khusus menangani
anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya di bawah naungan Departemen
Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan mengorganisasikan
usulan
anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansi-instansi terkait,
serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan tersedianya
dana.
Pada kebanyakan negara, anggaran disusun untuk masa satu tahun.
Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya sering dijadikan
landasan penyusunan anggaran tahun berikutnya. Namun hal ini tidak
mencerminkan bahwa seluruh kegiatan harus dibiayai secara bertahap.
Pemerintah dapat saja melakukan perubahan drastis terhadap beberapa
pengeluaran jika dipandang perlu dipilih sebagai reaksi atas perubahan
indikator-indikator perekonomian. Beberapa indikator ekonomi yang
biasa diikutkan dalam pembahasan anggaran antara lain: ekspektasi
pertumbuhan ekonomi, inflasi dan karakteristik makro ekonomi lainnya
seperti harga minyak mentah dunia.
Ada tiga cara dalam menyusun anggaran yaitu:
1. Bottom – Up (dari bawah ke atas)
Pada cara ini, penyusunan anggaran dimulai dari unit organisasi
yang paling bawah kemudian diteruskan secara berjenjang ke unit
organisasi yang lebih tinggi. Dalam mengajukan usulan, unit
organisasi yang paling bawah harus memperhitungkan besar
kecilnya kegiatan yang akan dilakukan.
2. Top – Down (dari atas ke bawah)
Cara ini merupakan kebalikan dari cara bottom – up. Pada cara ini,
unit organisasi yang paling tinggi menetapkan batas tertinggi
(plafond) anggaran yang dapat dibelanjakan oleh unit
organisasi yang lebih rendah. Unit organisasi yang telah
ditetapkan batas anggarannya tidak boleh melakukan
pengeluaran melebihi dari batas tersebut.
3. Campuran
Cara ini merupakan gabungan dari 2 cara di
atas.
Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran
oleh eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat
mengundang pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih
untuk mendengarkan opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini
biasa terjadi dikarenakan adanya kemungkinan anggota legislatif
yang ditunjuk dalam komisi pembahasan anggaran tidak menguasai kerangka
kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut berperan dalam proses
pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi dibutuhkannya legalisasi
usulan anggaran oleh dewan legislatif.
Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan
pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan
anggota dewan
menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan
anggaran tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan
anggaran diundangkan atau diamandemen.
LATIHAN
1. Apakah perbedaan antara penerimaan pendapatan dan
versus pengeluaran versus belanja?
2. Jelaskan pengertian anggaran!
3. Jelaskan hal-hal yang diuraikan dalam suatu
4. anggaran!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis anggaran!
5. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari “line items”!
6. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari anggaran berprogram!
7. Sebutkan salah satu cara untuk mengatasi kelemahan
anggaran berprogram!
8. Uraikan hal-hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran
belanja berbasis kinerja!
9. Apakah konsep PPBS (Planning Programing and Budgeting System) itu?
10. Sebutkan beberapa kelebihan penentuan tujuan!
11. Sebutkan siklus anggaran!
12. Sebutkan beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan
dalam pembahasan anggaran!
13. Uraikan tiga cara dalam menyusun anggaran!
14. Sebutkan dan jelaskan pengawasan anggaran secara kelembagaan!
15. Menurut subyeknya, caranya, dan waktunya, pengawasan dapat
dibagi menjadi beberapa hal. Sebutkan dan jelaskan!
16. Jelaskan mengenai masalah umum anggaran!
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
UNSUR-UNSUR PEMBANGUNAN
Dalam rangka pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, persyaratan
yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negara-negara
berpendapatan rendah sama halnya seperti persyaratan yang
diperlukan untuk
100 Keuangan Publik: Teori dan Bab 6: Pembiayaan Pembangunan 100
Aplikasi
Pembentukan Modal
Pembangunan
Sebagaimana telah diulas pada bagian terdahulu mengenai perkembangan
sektor publik di negara-negara maju, sektor publik cenderung tumbuh sejalan
dengan pertumbuhan pendapatan. Gambaran semacam itu yang terdapat baik
pada negara berpendapatan tinggi maupun rendah.
Persyaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat
pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan
penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas
sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan
produktivitas. Bisa saja pengeluaran itu berupa investasi di sektor publik dan
swasta. Pada tahap-tahap awal pembangunan, khususnya dalam bentuk
infrastruktur, investasi pemerintah sangatlah penting. Infrastruktur ini
akan menjadi kerangka persiapan bagi investasi pada tahap berikutnya,
entah itu oleh pemerintah (di negara-negara sosialis) atau oleh swasta (dalam
perekonomian pasar bebas). Lebih jauh lagi, pembentukan modal
pembangunan meliputi investasi pada sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan pelatihan (training) seperti halnya investasi dalam
bentuk fisik. Terdapat berbagai cara penggunaan sumber daya untuk
meningkatkan produktivitas, dan perpaduan berbagai cara tersebut harus
ditentukan dalam proses perencanaan pengeluaran dan sumber daya. Lebih
jauh lagi, prioritas akan selalu berubah, demikian juga dengan bauran
investasi yang optimum. Untuk sementara waktu kita akan mengabaikan
masalah perencanaan investasi dan memusatkan perhatian pada dari mana kita
akan memperoleh sumber daya tambahan untuk investasi tersebut. Jika
sumber daya yang terbengkalai tidak bisa dimanfaatkan atau jika sumber daya
tambahan tidak dapat diperoleh dari luar negeri, maka konsumsi periode
berjalan harus dikurangi agar sumber daya bagi investasi tersedia.
Sampai pada tingkat tertentu, mobilisasi sumber daya yang
terbengkalai masih mungkin diupayakan. Misalnya, banyak negara
berpendapatan rendah
mempunyai sedemikian banyak tenaga kerja yang terbengkalai dan lapangan
kerja bagi mereka bisa tersedia hanya dengan usaha pembangunan yang
sangat sederhana tetapi menyerap banyak tenaga kerja seperti pembangunan
drainase, irigasi, jalan, dan bendungan. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah hanya perlu berperan sebagai pengorganisasi bagi pemanfaatan
sumber daya. Tetapi di lain pihak, sumber modal pembangunan semacam ini
mempunyai keterbatasan tersendiri dan penyediaan lapangan kerja bagi para
pengangguran mungkin akan memerlukan investasi pendukung tertentu.
Kemungkinan lain adalah dengan mengusahakan sumber daya investasi
dari luar negeri dalam bentuk pinjaman dan bantuan pemerintah atau sebagai
investasi swasta. Akan tetapi, semua itu tentunya tidak akan mencukupi, dan
walau bagaimanapun juga bantuan tersebut tidak akan diperoleh tanpa adanya
usaha pendukung dari negara penerima bantuan. Para investor swasta dari
luar negeri, sebagaimana halnya dengan investor domestik, memerlukan
infrastruktur yang tersedia secara memadai dan bantuan pemerintah
negara lain baru akan diberikan jika telah ada rencana pembangunan yang
dirumuskan dengan baik. Hal ini akan mencakup ketentuan mengenai
peningkatan investasi domestik yang sebagian besar dibiayai dengan pajak.
Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah
bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan
sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan
secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi,
pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian
(returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran
lebih kecil dari hasil produk marjinal. Tetapi pada perekonomian yang
didesentralisasi, pembentukan modal dari hasil internal pasti akan berasal
dari tabungan pemerintah atau swasta. Dalam kadar tertentu, jika keadaan
cukup mendukung, kenaikan tingkat tabungan secara sukarela bisa terjadi
lebih besar dari sektor swasta.
Di sinilah diperlukan suatu usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas
moneter sehingga kebiasaan menabung tidak diredupkan oleh inflasi yang tak
berkesudahan. Di samping itu, pemerintah juga bisa berperan dalam
penyediaan dan pembentukan lembaga keuangan yang cocok guna menarik
tabungan rumah tangga dan menggunakannya secara produktif. Usaha
terakhir ini sangat penting bagi para penabung kecil karena bagi mereka
umumnya tidak tersedia sarana penabungan perorangan selain daripada
meminjamkannya dengan risiko tinggi atau dengan menukarnya dengan
barang berharga seperti logam mulia. Dalam kondisi ini, perpajakan
akan sangat berperan untuk memberikan insentif bagi tabungan atau
disinsentif bagi konsumsi barang-barang mewah. Tabungan perusahaan juga
dapat dirangsang
melalui sistem penarikan pajak laba usaha yang mendorong ditahannya dan
diinvestasikannya kembali laba usaha. Tabungan swasta secara sukarela,
meskipun bermanfaat dan penting, tidak mungkin akan cukup, khususnya
pada tahap awal pembangunan.
Pengembangan Struktur
Perpajakan
Masalah perencanaan dan pengelolaan perpajakan akan berbeda-beda sesuai
dengan struktur perekonomian suatu negara dan sikap masyarakat terhadap
perpajakan. Perbedaan juga akan timbul sebagai akibat tahap-tahap
pembangunan ekonomi, dan sejumlah ciri struktur perpajakan yang lazim
ditemukan dalam kaitannya dengan pendapatan per kapita dapat diamati.
Pajak akan berperan besar terhadap perdagangan luar negeri (terutama bea)
dan pajak atas produksi dan penjualan domestik untuk negara-negara
berpendapatan rendah. Dengan naiknya pendapatan per kapita, peranan pajak
penghasilan pun makin meningkat relatif terhadap bea, demikian juga
terhadap pajak penjualan dan produksi domestik. Peranan pajak upah
juga makin penting dengan naiknya pendapatan per kapita.
Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang
sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin seringkali
jauh berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan
dengan itu, pajak penghasilan usaha seringkali lebih mirip dengan pajak
penjualan daripada pajak laba sebagaimana ditemukan di negara-negara maju
dan sebagainya.
Pajak Penghasilan
Perorangan
Pajak penghasilan perorangan tidak mungkin dan tidak dapat diharapkan
untuk menduduki posisi sentral dalam struktur perpajakan pada negara
sedang berkembang dan begitu juga umumnya di negara-negara maju.
Meskipun demikian, pajak penghasilan harus ditata dengan baik sejak dini
dan ditingkatkan selama berlangsungnya pembangunan. Pajak ini bersifat
elastis terhadap pertumbuhan GNP, karena itu bisa menjadi sumber
penerimaan yang cukup besar untuk pembiayaan pembangunan. Kontribusi
pajak penghasilan perorangan di negara-negara Amerika Latin lazimnya
berkisar 20 persen dan karena itu merupakan bagian yang besar dari
penerimaan pemerintah, perusahaan asing, dan kelompok perusahaan
domestik besar yang jumlahnya sangat kecil. Karyawan perusahaan kecil dan
sebagian besar masyarakat yang mengelola usaha sendiri, khususnya di
sektor pertanian, pada umumnya masih di luar jangkauan pajak penghasilan.
Di satu sisi hal ini akan mencerminkan
tingkat pembebasan pajak yang ditetapkan relatif tinggi jika dikaitkan dengan
pendapatan rata-rata, tetapi hal itu juga merupakan akibat dari upaya
pengelolaan yang tidak aktif.
Pemungutan pajak penghasilan atas modal bahkan lebih sukar lagi. Prinsip
penghitungan pajak sendiri (self assessment) seperti diterapkan di Indonesia
tidak berjalan lancar. Penghitungan pajak oleh para petugas sering kali
didasarkan pada negoisasi dan bukan ditetapkan secara objektif, dan
pembayaran akhir sangat banyak yang terlambat. Penggunaan sistem
pemungutan pajak oleh orang lain (witholding) bisa mempercepat
pemungutan pajak dan hal itu sangat baik, tetapi penerapannya sangat
terbatas pada jenis upah dan gaji tertentu saja sehingga lebih mudah
dilaksanakan. Keterlambatan pembayaran pajak atas pendapatan modal
merupakan keuntungan besar, khususnya jika hukumannya tidak sebanding
dengan suku bunga dan nilai hutang pajak yang semakin menurun akibat
inflasi.
Meskipun tidak tersedia estimasi yang andal, namun bisa dikatakan bahwa
pendapatan kena pajak akan benar-benar dicapai bila peraturan
perpajakan dijalankan secara ketat. Tidak ada satu obat mujarab untuk
mengatasi kesulitan ini kecuali dengan menerapkan wajib pungut pajak,
penjatahan jumlah wajib pajak bagi setiap petugas (khususnya wajib pajak
berpendapatan tinggi), komputerisasi dan penanganan terpusat atas surat
pemberitahuan pajak, diharuskannya perusahaan dan bank menyampaikan
informasi tentang pembayaran bunga dan pembayaran dividen, pengurangan
keterlambatan penafsiran, dan hukuman yang lebih tinggi bagi pembayaran
yang tertunda. Namun, semua itu tidak akan mencukupi kecuali jika badan
pengadilan mendukung penuh penegakan peraturan perpajakan. Inilah
prasyarat utama yang kerapkali sukar untuk dipenuhi oleh negara-negara
berkembang dalam konteks budaya dan politik.
Lebih jauh lagi, pengelolaan pajak penghasilan diperparah oleh
masalah inflasi. Tidak jarang negara-negara berkembang menghadapi inflasi
puluhan bahkan ratusan persen per tahun. Hal itu, misalnya telah dialami
Cili dan Brasil selama bertahun-tahun. Guna menghadapinya, badan
perpajakan bisa menaikkan tingkat pembebasan dan kelompok tarif secara
otomatis setiap tahunnya sejalan dengan naiknya harga-harga, sehingga
hubungan antara tarif marjinal dan pendapatan riil dipertahankan konstan.
Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap perpajakan dinetralisir, tetapi peredaran
inflasi secara melekat melalui pajak penghasilan progresif akan melemah.
Masalah keuntungan modal, terutama dalam kaitannya dengan tanah dan
bangunan, sangat penting bagi negara-negara berkembang dimana urbanisasi
yang pesat akan menaikkan nilai tanah. Sebagaimana dialami Amerika
Serikat
pada akhir abad sembilan belas. Sesuai dengan pengamatan Henry
George, juga terjadi di Indonesia terutama di Jakarta dan sekitarnya. Karena
itu, pajak atas keuntungan modal bagi real estate, yaitu bangunan dan tanah,
dikelola sebagai suatu jenis pajak tersendiri.
Pajak Penghasilan
Perusahaan
Masalah yang pelik akan timbul dalam pengenaan pajak penghasilan
perusahaan, entah itu berupa pajak laba perseroan atau pajak persekutuan dan
perusahaan perseorangan yang dikenakan menurut pajak penghasilan
perorangan. Bila akuntansi perusahaan belum begitu maju sehingga belum
bisa mengukur laba dengan cukup akurat, metode lain harus digunakan.
Banyak negara menggunakan taksiran dan bukan pendekatan langsung guna
menentukan laba. Caranya adalah dengan menaksir marjin laba atas
penjualan dimana terdapat marjin yang beragam untuk berbagai industri.
Metode ini, yang digunakan secara luas di negara-negara Asia, akan
mengubah bentuk pajak laba menjadi semacam pajak penjualan. Hal ini
terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi dari penjualan dan marjin
tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual.
Dalam keadaan lain, laba taksiran didasarkan pada patokan tertentu seperti
luasnya lantai atau ruang kerja dan lokasi pada wilayah perkotaan. Ini juga
merupakan praktek yang bisa ditemukan pada tradisi perpajakan Eropa,
khususnya sehubungan dengan pendapatan profesional. Dalam hal pertanian,
luasnya lahan atau jumlah ternak bisa digunakan sebagai dasar taksiran.
Serentak dengan itu, pembayar pajak yang setia perlu diberi
penghargaan, sementara yang bandel diberi hukuman. Proses perbaikannya
harus bertahap dan tidak bisa bergerak lebih cepat dari perbaikan metode
akuntansi. Para pembaharu pajak sering menyepelekan perbaikan teknik
penaksiran pajak terhadap perbaikan teknis dalam pemajakan perseroan,
padahal hal terakhir ini tidak begitu penting bagi negara yang sedang
berkembang.
Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali berbeda.
Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih
berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negara-
negara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa
diterapkan; dan praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat
mungkin tidak dapat diterapkan di negara sedang berkembang dengan
mengingat tradisi dan tingkat pembangunannya saat ini.
Pajak Tanah
Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah, apakah pajak tersebut
harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan
potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh.
Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa
saling dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya
yang dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan
potensial. Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah seringkali tidak
dimanfatkan secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan
sesuai dengan adat istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak
tersedia dan nilai jualnya saat ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian,
ketiga dasar tersebut akan memberikan nilai yang sangat berbeda. Pajak
penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke sektor pertanian sehingga
pendapatan dari tanah seringkali merupakan gabungan dari pajak penghasilan
dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya penyewaan atas tanah
tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah.
INSENTIF PERPAJAKAN
Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak konsumsi progresif. Disamping
itu, pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan
dengan penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena
adanya kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif
dengan insentif untuk inventasi, maka tidak mengherankan bahwa telah
diupayakan berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi
sampai dimana pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama
lain.
Kebijakan perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat
pertumbuhan ekonomi tidak akan memperparah pemerataan. Keringanan
pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan
pertumbuhan, bukan hanya menyebabkan hilangnya penerimaan
pemerintah tetapi juga
memperbesar ketimpangan apabila keringanan itu diberikan
kepada masyarakat berpendapatan tinggi.
Dengan alasan-alasan ini, insentif pajak bagi investasi pada umumnya
merupakan pemborosan dan tidak adil sehingga banyak pengamat terdorong
untuk menolak semua bentuk insentif. Namun, penolakan total tidak bisa
diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak akan tetap ada
dan tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif dirancang seefisien
mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi pertumbuhan mungkin
layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik.
Insentif Domestik
Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara
insentif domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing.
Insentif domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya atau
dibatasi pada industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang
untuk menggalakkan ekspor dan memperkuat neraca pembayaran.
Insentif Umum
Insentif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau
penyusutan yang dipercepat seperti lazim digunakan di negara-negara maju.
Selain itu, di beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax
holiday) untuk jangka waktu tertentu, misalnya selama lima atau tujuh tahun
dimana selama jangka waktu itu pajak atas laba dibebaskan. Metode ini
merupakan insentif bagi investasi yang memberikan laba yang tinggi
pada tahap awal dan hal ini bertentangan dengan kebutuhan akan investasi
yang stabil dan bersifat jangka panjang. Bagi perusahaan lama yang
mengadakan investasi lama dan baru, masalah ini bisa diatasi dengan
pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi. Lebih jauh lagi, tidaklah
bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka panjang untuk
mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi
semacam itu tidak akan diperlukan di masa mendatang.
Apapun masalahnya, insentif investasi umum tidak bisa efektif guna
menaikkan tingkat investasi menyeluruh kecuali jika peningkatan
tabungan juga mendapat perhatian. Ini bisa tercapai dengan mendorong
perusahaan untuk menahan laba atau dengan memberikan kredit pajak bagi
tabungan atas pendapatan perorangan. Tentu saja masalahnya adalah
bagaimana mencapai suatu jumlah tabungan tertentu tanpa mengurangi
tabungan di sektor lain.
110 Keuangan Publik: Teori dan Bab 6: Pembiayaan Pembangunan 110
Aplikasi
Insentif Regional
Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional.
Seperti telah kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa
mempengaruhi keputusan lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja
atau modal dan umumnya diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral.
Namun, keadaan negara-negara berkembang bisa menuntut lain. Tenaga
kerja mungkin tidak bisa berpindah secara luwes, mungkin juga tenaga kerja
ingin dipertahankan di suatu daerah tertentu karena terlalu banyaknya
perpindahan penduduk ke kota atau alasan non ekonomis yang
menghendaki pemerataan tingkat pembangunan daerah. Karena itu, insentif
khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah tersebut. Masalahnya
adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan mensubsidi
investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah bersangkutan.
Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, apakah
peningkatan produksi atau nilai tambah di daerah tersebut, atau apakah
peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan
terakhir ini, subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika
terdapat banyak penganggur atau penganggur tak kentara di sektor
pertanian yang dapat ditarik ke sektor industri apabila biaya upah berkurang.
Insentif Ekspor
Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu
pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar
efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan
di luar negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi,
tetapi dengan nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang
menambah hasil perdagangan luar negeri bagi suatu negara.
Pengeksporan
kembali atas barang yang diimpor atau barang dalam transito
tidak memberikan nilai tambah domestik.
KEBIJAKAN PENGELUARAN
Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang
disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan dan data pembanding
lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan
banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan
sosial kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk
pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara
ini. Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem
jaminan sosial yang lebih baik.
Peranan strategis dari investasi pemerintah dalam pembangunan ekonomi
sebagian dilandasi oleh belum berkembangnya pasar modal swasta dan
sebagian karena kurangnya bakat entrepreneurial (kewiraswastaan)
masyarakat. Hal ini juga dilandasi oleh kenyataan bahwa tipe investasi yang
diperlukan pada tahap-tahap awal pembangunan sering kali memerlukan
jumlah besar, seperti untuk pembangunan sistem transportasi atau pembukaan
suatu daerah yang terbelakang. Lebih jauh lagi, investasi semacam ini
menghasilkan manfaat eksternal sehingga penyediaannya lebih baik dilakukan
oleh pemerintah.
Karena itu, tidak mengherankan jika pengembangan investasi pemerintah
memainkan fungsi utama dalam perancangan rencana pembangunan di negara
sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengunaan analsis biaya-manfaat
sangat penting. Negara–negara berkembang bisa dihantui oleh
pemborosan sumber daya, namun evaluasi proyek yang efisien merupakan
suatu tugas yang sukar. Di satu pihak, analisis biaya–manfaaat akan lebih
mudah diterapkan di negara berkembang dari pada negara maju karena
investasi pemerintah lazimnya dimaksudkan untuk penyediaan barang–barang
antara yang nilainya bisa diukur dengan melihat pengaruhnya terhadap harga–
harga barang yang disediakan oleh swasta. Jadi manfaat dari proyek
transportasi atau irigasi dapat dinilai berdasarkan penurunan biaya produk
yang ditimbulkannya di pasar. Suatu ukuran yang tidak bisa diperoleh jika
pengeluaran publik digunakan untuk menghasilkan barang jadi untuk
konsumsi. Tetapi di pihak lain, pelaksanaan evaluasinya di negara sedang
berkembang lebih sulit.
Di satu sisi, manfaat langsung yang tersedia disertai dengan manfaat tidak
langsung atau manfaat eksternal yang lebih sukar untuk diperkirakan. Di sisi
lain, jumlah biaya lebih sulit untuk ditentukan. Karena harga pasar mungkin
tidak mencerminkan biaya sosial yang benar–benar terjadi, untuk itu
harus
digunakan harga bayangan (shadow price). Jika modal dinilai terlalu rendah
sementara tenaga kerja dinilai terlalu tinggi, penggunaan harga pasar akan
menimbulkan distorsi yang mengarah kepada teknologi yang sangat padat
modal sebagaimana telah kita simak sebelumnya. Kesulitan–kesulitan itu
akan makin rumit dalam konteks pembangunan yang dinamis dimana harga-
harga relatif yang berlaku pada saat proyek dimulai mungkin akan sangat
berbeda dari harga–harga yang berlaku setelah proyek berfungsi. Sekali lagi,
kemungkinan ini menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan
evaluasi atas setiap proyek dalam konteks rencana pembangunan yang
menyeluruh.
Faktor lain yang juga penting adalah penentuan tarif/tingkat diskonto.
Karena pasar modal swasta yang belum berkembang sepenuhnya,
penggunaan tarif sosial kiranya tidak bisa dielakkan. Dengan
memperhitungkan adanya manfaat eksternal, tarif sosial tersebut harus
ditetapkan lebih rendah daripada tarif yang berlaku sehingga menunjukkan
tingkat diskonto yang lebih tinggi bagi penyediaan modal dan lebih
mendukung pengadaan proyek–proyek jangka panjang. Jika kita melihat
dari sisi yang berlawanan, akan kita jumpai bahwa biaya konsumsi sangat
tinggi pada tingkat pendapatan yang rendah. Namun di masa mendatang,
setelah keuntungan dari penundaan konsumsi itu diperoleh, utilitas
marjinal dari konsumsi itu akan lebih kecil karena pendapatan sudah
lebih tinggi. Kenyataan ini cenderung diabaikan dalam pengambilan
keputusan tabungan perorangan tetapi pemerintah harus
memperhitungkannya. Sebagaimana halnya dalam penentuan tingkat diskonto
lainnya, taksiran yang lebih kasar mungkin akan digunakan. Dalam konteks
pembangunan, pemerintah mungkin lebih praktis untuk menentukan tingkat
konsumsi minimum yang secara politis dapat diterima untuk lima atau
sepuluh tahun mendatang dan kemudian menghitung tingkat diskonto dari
konsumsi minimum tersebut.
Investasi dalam sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus
dalam konteks pembangunan. Program pendidikan penting bukan hanya
dalam kaitannya dengan kebijakan pertumbuhan tetapi juga dengan
pendistribusian hasil-hasil pembangunan di antara lapisan masyarakat dan
berbagai sektor perekonomian. Sejumlah studi telah memperlihatkan betapa
besarnya manfaat investasi di bidang pendidikan bagi negara–negara
berkembang. Yang perlu dipertimbangkan, investasi bagi pendidikan
dirancang guna menghasilkan pekerja terampil sesuai dengan kebutuhan
negara bersangkutan.
Bantuan Pembangunan
Dari penjelasan terdahulu, terlihat jelas bahwa kebijakan
redistribusi tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi harus
ditelaah dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada
redistribusi yang bersifat nasional, akan lebih mengena lagi pada tingkat
internasional dimana skala penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui
distribusi sangat besar. Tak ada manfaatnya jika kontribusi negara-negara
maju terlalu dipaksakan sehingga kemampuan ekonominya untuk
mempertahankan kesinambungan bantuan menjadi terganggu.
Perbaikan besar atas kemelaratan masyarakat hanya dapat dicapai dengan
meningkatkan produktivitas pekerja-pekerja di negara miskin. Salah satu
upaya penting untuk ini adalah dengan menata kembali aliran modal
dari negara kaya ke negara miskin. Dengan penerapan itu, output dunia akan
meningkat karena modal akan dimanfaatkan secara efisien di negara dimana
keuntungan modal pekerja sangat rendah. Para pemasok modal dari
negara kaya tetap mendapat keuntungan karena memperoleh hasil
pengembalian yang lebih besar dari investasinya di negara-negara miskin.
Akan tetapi, akan terjadi redistribusi pendapatan dari pekerja negara kaya
(yang akan beroperasi dengan modal yang cukup besar) kepada pekerja di
negara miskin yang produktivitasnya akan meningkat bersamaan dengan
naiknya keuntungan modal pekerja. Dengan demikian, perbaikan distribusi
pendapatan dunia dapat dicapai meskipun dengan memperbesar ketimpangan
(kendatipun hanya dalam taraf yang lebih kecil) di negara maju. Juga
dipermasalahkan masuknya tenaga manajemen asing yang menyertai
masuknya modal asing, di samping menambah keahlian juga menghambat
pengembangan kewiraswastaan domestik dan menciptakan ketergantungan
politis.
Kontribusi penting kedua bagi pembangunan ekonomi adalah
membuka pasar negara-negara maju lebih lebar bagi ekspor negara-negara
berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memberikan preferensi dan
penghapusan pembatasan perdagangan. Dalam hal ini, pekerja di negara
maju juga dirugikan karena mereka kurang leluasa untuk berpindah jika
dibandingkan dengan faktor modal. Tetapi di pihak lain, sebagai konsumen
mereka akan diuntungkan karena harga barang-barang impor menjadi
turun. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan semacam ini tidak menjamin bahwa negara-negara
berkembang akan mampu secara independen untuk mempertahankan
pertumbuhan yang telah mereka capai. Karena itu, sindrome orang kaya baru
akan tetap menggejala dan hal ini merupakan hambatan baik di tingkat
nasional maupun di tingkat internasional.
RANGKUMAN
§ Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup dengan cara penyediaan
modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi
sumber daya manusia) serta proses teknologi yang diperlukan tetapi juga
diperlukan sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan
sebab-akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah.
§ Perkembangan sektor publik di negara-negara maju cenderung
tumbuh sejalan dengan pertumbuhan pendapatan.
§ Besarnya sektor publik di negara-negara maju tidak hanya
berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita tetapi kenaikan
pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase sektor
publik dalam GNP.
§ Kelayakan pengenaan pajak tergantung pada kesadaran masyarakat
untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan
peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan
jujur.
§ Keringanan pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri
dalam meningkatkan pertumbuhan bukan hanya menyebabkan hilangnya
penerimaan pemerintah tetapi juga memperbesar ketimpangan apabila
keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi.
§ Insentif pajak bagi investasi pada umunya merupakan pemborosan
dan tidak adil sehingga banyak pengamat sampai terdorong untuk
menolak semua bentuk insentif.
§ Cara untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang
akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai
kesepakatan pajak bersama.
LATIHAN
1. Sebutkan inflasi dari segi sebab!
2. Uraikan inflasi yang timbul karena meningkatnya permintaan!
3. Sebutkan alat-alat ukur inflasi!
4. Sebutkan empat tingkatan inflasi menurut sifatnya!
5. Nilai riil dari biaya pekerja meningkat dan pada akhirnya
terjadilah pengangguran.
a. Apakah pengertian dari pengangguran?
b. Uraikan dampak-dampak penganguran!
6. Apakah efek dari crowding out terhadap investasi?
7. Apakah maksud dari pembiayaan dengan pajak atau pinjaman
mempunyai efek ekonomi yang seimbang?
8. Bersifat apakah kenaikan pengeluaran dan kenaikan pajak?
9. Jelaskan mengenai Inflasi yang diakibatkan biaya secara tiba-tiba?
10. Apakah akibat dari tindakan ekspasioner yang tidak diantisipasi
secara sempurna?
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
FUNGSI PAJAK
Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan dengan
beberapa aktivitas (Hyman, 2002). Penerimaan yang diperoleh melalui pajak
biasanya digunakan untuk membeli input yang dibutuhkan dalam
memproduksi ataupun menyediakan barang dan jasa pemerintah atau untuk
redistribusi kekuatan daya beli masyarakat. Realokasi pajak yang bersumber
dari private ke pemerintah digunakan dalam dua tahapan. Yang pertama
adalah kemampuan individual untuk menguasai sumber daya berkurang,
karena pajak akan mengurangi pendapatan untuk pengeluaran pada pasar
barang dan jasa. Yang kedua adalah penerimaan pemerintah kemudian akan
digunakan untuk menawarkan sumber daya yang dibutuhkan dalam
penyediaan barang dan jasa pemerintah dan untuk menyediakan income
support payments bagi penerima transfer dari pemerintah seperti social
security pensiun.
Misalnya:
Jika seorang keluarga mempunyai pendapatan per tahunnya
30.000.000,- dan membayar 6.000.000,- dalam pajak sehingga harus
mengurangi konsumsi ataupun simpanan dalam satu tahun.
6.000.000,- seharusnya dapat digunakan untuk membeli perlengkapan
rumah tangga atau untuk membantu pembiayaan investasi pribadi.
Barang dan jasa private yang semestinya dapat dibeli dengan
6.000.000,- adalah merupakan Opportunity costs dari penyediaan
barang dan jasa pemerintah untuk keluarga tersebut.
Berdasarkan definisi pajak yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
tampaknya memberikan kesan bahwa pajak dipungut pemerintah semata-mata
sebagai sumber dana bagi pelaksanaan tugas-tugasnya. Tetapi pada
kenyatannya, pemungutan pajak mempunyai fungsi yang lebih luas,
yakni selain untuk mengisi kas negara, pajak juga dapat dipakai sebagai alat
untuk mengukur kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
PRINSIP-PRINSIP PAJAK
Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai
penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik
tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk
mengoptimalkan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan
harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith
yang terkenal mengenai prinsip-prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat
hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)
Prinsip keadilan menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan
dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang
dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih
kecil dari golongan masyarakat yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pajak
diharapkan dapat menjadi alat distribusi pendapatan secara lebih fair dan akan
mengurangi kesenjangan pendapatan. Pembahasan selanjutnya akan
memaparkan bahwa apapun kebijakan yang diambil, prinsip keadilan yang
memuaskan semua pihak tidak akan pernah tercapai.
Gambar 7.1
Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga (1). Pendapatan rumah
tangga adalah pendapatan golongan masyarakat yang diperoleh dari
penghasilan upah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasa
modal. Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang
menghasilkan produk dikategorikan sebagai perusahaan. Pendapatan rumah
tangga ini kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi
konsumsi rumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari
masyarakat dan sisanya menjadi tabungan rumah tangga (3). Jumlah
pendapatan rumah tangga yang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasar
barang konsumsi, sedangkan seluruh tabungan masyarakat
diasumsikan
mengalir menjadi bagian dari investasi (5) yang pada akhirnya mengalir
ke pasar barang modal.
Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah
penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan
jumlah investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar
barang modal (6). Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut
penerimaan kotor perusahaan (7).
Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan digunakan
sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan akan
disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan
perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah
keuntungan perusahaan (12).
Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal
(14) yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, dividen, dan sewa.
Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan
perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi
pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan
bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi
seluruhnya.
TARIF PAJAK
Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya keadilan
dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan sebagai adil
dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam pelaksanaannya. Salah
satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu
dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Jika dilihat dari
sudut pandang dasar penentuan tarif pajak, secara umum akan terbagi
atas tiga bentuk yaitu:
1. Tarif Pajak Proposional (Proportional/ flat tax rate)
2. Tarif Pajak Progresif (Progressive tax rate)
3. Tarif Pajak regresif (Regressive tax rate)
Proportional/ flat tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam
persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu.
Dengan kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang
wajib pajak, jumlah pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi,
jika pendapatan yang diterima oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka
secara
otomatis jumlah pajak yang terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel
di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak proporsional diterapkan.
Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah
pendapatan yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan
tarif yang lebih besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar
seorang wajib pajak naik sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi
naik melebihi 100%. Tabel di bawah ini akan menggambarkan
bagaimana pajak progesif diterapkan.
Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan
jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif
yang dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat
kenaikan
130 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan 130
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan di mana besarnya jumlah yang terhutang
disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan
yang dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi.
Untuk menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas
pendapatan (personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan
perseorangan harus digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika
konsumsi juga akan dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan
dalam bentuk pajak pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax).
Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau
objek yang dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak
yang melakukan transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan
aktivitas- aktivitas tertentu atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib
membayar pajaknya. Pajak in Rem dapat dikenakan atas rumah tangga atau
badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli yang dikenakan terhadap
perusahaan akan dapat
diperlakukan juga terhadap semua rumah tangga yang melakukan
transaksi. Hal yang sama juga berlaku ketika mengenakan pajak terhadap
harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai kekayaan dari perseorangan atau
perusahaan.
Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib
pajak, hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala. Pajak tidak
langsung ini boleh dibebankan/dilimpahkan kepada pihak lain, dan dapat
beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Pergeseran beban
pajak dapat ke depan (forward shifting) maupun ke belakang (backward
shifting). Forward shifting merupakan pergeseran beban pajak searah dengan
arus barang yaitu dari produsen ke konsumen. Pergeseran itu sifatnya
menaikkan harga barang karena pembeli harus membayar harga barang
ditambah dengan pajak, misalnya adalah Penjualan Kena Pajak (BKP) dari
pabrikan kepada pembeli, dimana pembeli harus membayar harga barang
ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Backward shifting
merupakan pergeseran beban pajak yang berlawanan dengan arus barang
dimana pembeli menggeser beban pajak kepada penjual. Penggeseran beban
pajak itu sifatnya menurunkan harga barang atau jumlah penerimaan
yang diperoleh penjual. Misalnya, pabrikan (produsen) dapat menekan harga
dari supplier sebesar pajak pertambahan nilai yang harus dibayar. Pada
dasarnya yang menjadi tujuan dari pajak tidak langsung adalah
pihak ketiga (konsumen), sedangkan produsen hanya sebagai wajib
pungut. Pengenaan wajib pajak tidak langsung dilakukan dengan cara fiskus
berhadapan dengan wajib pungut dan bukan dengan wajib pajak. Hal
ini bertujuan agar pelaksanaan pemungutan menjadi lebih efisien dan
efektif karena dengan satu wajib pungut akan bisa menjaring banyak
wajib pajak. Ciri pajak tidak langsung dapat dilihat dari dua segi.
Pertama, secara administratif dipungut
secara insidentil, pada waktu-waktu tertentu berdasarkan adanya tatbestand
(peristiwa, keadaan, dan perbuatan) tanpa didahului dengan surat ketetapan
pajak. Kedua, secara ekonomis, beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak
lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPn.BM). Terdapat beberapa kebaikan dan kekurangan
dari pajak tidak langsung, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar
negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak
langsung. Hal ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang
baik dan teliti untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-
negara maju,
peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak
langsung lebih banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara
tersebut.
Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannya kebijakan
perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkan pembayaran
transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pembayaran
transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggap sebagai arus pajak
dengan arah yang berlawanan. Misalnya adalah tunjangan sosial dan subsidi
pajak terhadap beberapa jenis usaha tertentu. Pada beberapa negara,
tunjangan sosial dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip keadilan
perpajakan. Sebagai contoh, program pensiun kepada semua pegawai akan
menguntungkan golongan pendapatan yang rendah karena mereka
memperoleh manfaat dari program ini melebihi jumlah kontribusi yang
dibayarkan melalui pajak penghasilan yang progresif. Hal tersebut disubsidi
silang oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas.
RANGKUMAN
§ Secara garis besar, sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi dua sumber yakni dari dalam negeri dan luar
negeri
§ Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan
dengan beberapa aktivitas
§ Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-prinsip
pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)
§ Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum
dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak
atas pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-
pos penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus
perekonomian. Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif
pajak atas seluruh pengeluaran.
§ Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya
keadilan dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan
sebagai adil dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam
pelaksanaannya. Salah
satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu
dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak.
§ Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif
dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan
individu.
Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat
seiring dengan peningkatan pendapatan individu.
Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak.
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang
terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak.
Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan.
Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan
terhadap perusahaan ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala.
Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain
Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib
pajak hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala
LATIHAN
PRINSIP MANFAAT
Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil dimana setiap
wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai
kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit
principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan
oleh setiap
138 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 8: Keadilan dan Dampak 138
Perpajakan
wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah.
Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari struktur
pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang
perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran
maupun penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat
dilaksanakan, manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran
publik harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung
mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik
tetapi tidak terlalu mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan
redistributif. Agar sistem perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, harus
diasumsikan bahwa ketika sistem tersebut mulai diberlakukan sudah
terdapat distribusi yang tepat dalam perekonomian.
Praktek penerapan kebijakan fiskal berdasarkan prinsip manfaat lebih
banyak ditetapkan pada penyediaan jasa-jasa publik berdasarkan prinsip
manfaat yang khusus. Misalnya pembebanan bea (bea cukai dan bea masuk)
serta pajak pengganti pembebanan seperti pajak BBM dan pajak kendaraan
dalam rangka pembiayaan jalan raya. Dalam halnya pengenaan pajak melalui
pembebanan langsung terhadap pengguna, konsumsinya bersaing secara
bebas. Manfaat hanya dapat diperoleh apabila pemakai dapat membayar,
misalnya biaya penggunaan sarana transportasi dan penyediaan fasilitas
bandar udara. Dengan penetapan harga, penyediaan jasa-jasa publik oleh
pemerintah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti yang
dilakukan oleh swasta. Keuntungan penyediaan jasa publik model ini adalah
dapat meringankan beban keuangan pemerintah. Mekanisme pasar dapat
diterapkan untuk mendapatkan posisi tawar menawar yang efisien.
1
Berkeadilan horizontal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang
sama harus membayar dengan jumlah yang sama. Berkeadilan vertikal adalah bahwa
orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar pajak dengan
jumlah yang lebih besar pula.
140 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 8: Keadilan dan Dampak 140
Perpajakan
2
Kondisi ini diasumsikan nilai bunga sama dengan inflasi.
3
Sebagai ilustrasi, pajak terhadap seorang petani harus lebih rendah dari hasil pertanian
yang dimilikinya.
dimana orang-orang yang tinggal pada daerah tertentu akan dikenakan
pajak yang lebih tinggi.
Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi penerimaan dan
pengeluaran. Beberapa penulis berpendapat bahwa pajak akan dikatakan adil
jika kenaikan pajak akan dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan
dan transportasi umum yang murah, dan pajak dikatakan tidak adil jika
sumber pendapatan tertentu dikenakan pajak tinggi sementara sumber
tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional.
Struktur pajak yang progresif cenderung akan lebih mudah dicapai
pada struktur perekonomian yang mapan. Dalam konsep ini, masyarakat
golongan ekonomi rendah akan dikenakan pajak yang ringan dan bahkan
dapat dibebaskan dari kewajiban pajak seluruhnya. Beberapa hambatan
yang mungkin terjadi dalam menentukan suatu kebijakan perpajakan
adalah keadaan ekonomi dan politik suatu negara, terbatasnya volume
pendapatan masyarakat yang dapat dikenakan pajak, ketakutan akan efek
negatif pajak terhadap produksi dan investasi nasional, serta pengaruh
kekuatan orang-orang kaya terhadap kebijakan politik nasional. Tidak jarang
para pelaku ekonomi yang kuat menyuarakan keluhan-keluhannya terhadap
kebijakan pajak baru yang dapat menggangu kegiatan bisnisnya.
Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh cakupan faktor-
faktor siapa yang membayar, apa jenis pendapatannya serta bagaimana tarif
pajaknya. Di samping itu, hal ini tentunya juga akan dipengaruhi oleh metode
assesment dan akurasi penghitungan pajak terhutang. Ketidakakuratan dalam
penghitungan pajak terhutang akan mengakibatkan ketidakadilan karena akan
menimbulkan adanya pajak yang lebih bayar atau kurang bayar. Sulitnya
menerapkan metode assesment yang baik juga muncul dalam hal menentukan
subjek pajak yang dikecualikan. Kebijakan perpajakan dianggap adil jika
faktor-faktor seperti lanjut usia, dibawah umur, kemiskinan, dan cacat
dikecualikan dari subjek kena pajak. Di samping itu, tentunya keadilan
pajak
4
juga harus memperhitungkan besarnya jumlah tanggungan dalam keluarga .
4
Pada negara-negara yang relatif maju dalam perekonomian cenderung dapat
mempercayai dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas pengecualian pajak.
Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak individu dan
pajak badan. Sebagai pajak individu, pajak penghasilan akan dikenakan
kepada setiap orang yang memiliki penghasilan tanpa melihat umur atau
jumlah yang diterimanya. Sebagai pajak badan, pajak akan dikenakan
atas keuntungan badan usaha yang diterima oleh para pemegang saham
sesuai dengan proporsi nilai saham yang dimilikinya.
Pendapatan masyarakat dapat diukur berdasarkan sumber perolehannya
ataupun penggunaannya. Berdasarkan sumber perolehannya,
pendapatan adalah seluruh penerimaan selama periode pajak yang berupa
keuntungan jasa, tunjangan dari pemerintah atau swasta, dan kenaikan
nilai kekayaan. Sedangkan berdasarkan penggunaannya pendapatan
masyarakat dapat berupa pembelian barang dan jasa, beban pajak,
sumbangan, dan tabungan. Pendapatan masyarakat tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
I = C + ΔNW
Dimana:
I = Pendapatan tahunan (annual income)
C = Konsumsi tahunan (annual consumption)
ΔNW = Perubahan kekayaan bersih setahun (annual change in net worth)
5
Biaya pelatihan juga masih dalam perdebatan apakah dapat dikategorikan
sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena pajak.
6
Pendapatan jenis ini sering terjadi pada usaha-usaha kecil yang memproduksi barang
atau jasa. Pada kenyataannya akan terjadi seorang wajib pajak memperoleh suatu
produk atau menerima jasa yang dihasilkan sendiri sehingga tanpa harus mengeluarkan
sejumlah uang. Kegiatan ini tentunya akan menambah kekayaan bersih wajib pajak, akan
tapi, hal hal yang seperti ini biasanya luput dari pengenaan pajak.
7
Hal-hal seperti jumlah anggota keluarga, biaya kesehatan, biaya pendidikan yang bervariasi
tentunya akan sangat mempengaruhi pola pengeluaran rumah tangga. Supaya lebih adil,
seharusnya hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga juga ikut diperhitungkan.
mendorong keengganan dan penyelewengan wajib pajak. Kedua adalah
kebijakan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk setiap tambahan
pendapatan. Wajib pajak cenderung mempermainkan tempo pengakuan suatu
pendapatan untuk menghindari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.
8
Kekayan yang dimaksud disini adalah berupa kekayaan atas benda-benda seperti
rumah. Mobil dan kekayaan lainnya.
digunakan efficiency-loss ratio yakni Excess Burden dibagi Tax Revenue
yang dapat diformulasikan dengan persamaan sebagai berikut:
efficiency-loss ratio = W/ R
dimana:
W = Excess Burden
R = Tax Revenue
DAMPAK PAJAK
Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan
Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri
dari pendapatan nasional (Y), jumlah konsumsi (C) dan tabungan (S).
Hubungan dari ketiga unsur tersebut adalah pendapatan nasional sama
dengan jumlah konsumsi ditambah jumlah tabungan (Y = C + S). Apabila
seluruh tabungan (S) digunakan sebagai investasi (S = I), maka tidak akan
pernah terjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah
jumlah tabungan (S) lebih besar dari jumlah investasi (I) atau dengan kata
lain, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan
terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran.
Yang sering terjadi justru jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah
investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan
harga (inflasi).
Gambar 8.1 : Hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional,
dengan tingkat Konsumsi dan tingkat Investasi
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara tingkat pendapatan nasional
(Y), dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat investasi (I). Pada tingkat
pendapatan nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan
seimbang, tidak ada inflasi ataupun deflasi. Pada tingkat pendapatan
0Y1 (S<I) terdapat inflationary gap. Harga-harga cenderung terus naik
sampai tidak ada lagi perbedaan antara tabungan dan investasi. Pada
kondisi ini, instrumen pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat
inflasi, menggeser kurva C+I ke bawah dengan menerapkan pajak atas
konsumsi. Sebaliknya pada tingkat pendapatan 0Y2 (S>I) terdapat
deflationary gap dimana harga- harga cenderung terus turun sampai tidak ada
lagi perbedaan antara tabungan dan investasi. Pada kondisi ini, instrumen
pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat deflasi, menggeser kurva
C+I ke atas dengan menerapkan pajak atas tabungan.
Tarif Tunggal........................
"Dana Moneter Internasional (IMF) mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan tarif tunggal
pajak penghasilan (PPh) badan. Sebab, hal itu dianggap akan menyerderhanakan cara
perhitungan pajak dan memberikan kepastian bagi pengusaha dibanding dengan tarif PPh berlapis
yang selama ini diberlakukan. IMF yakin, pemberlakukan tarif tunggal PPh ini akan mendongkrak
sumber pendapatan baru negara."
"Penerapan tarif tunggal PPh itu telah banyak diberlakukan negara-negara di dunia. Hasilnya cukup
mengembirakan. Namun, Indonesia tidak boleh meniru begitu saja dan perlu ada penyesuaian,"
ujar Kepala Perwakilan IMF untuk Indonesia akhir pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengusulkan, pemberlakukan tarif
tunggal PPh sebesar 30% untuk badan (perusahaan) besar dan nantinya diturunkan secara
bertahap menjadi 25%. Masalah ini sudah diakomodasi dalam draf RUU Pajak, yang diharapkan
masuk ke DPR Juni 2005. Kini RUU Pajak itu sudah diserahkan kepada Presiden.
Kepala Perwakilan IMF mengatakan, rencana pemberlakukan tarif tunggal PPh itu cukup baik
asalkan diikuti implementasi di lapangan oleh aparat pajak dan wajib pajak (WP). Sebab, selama ini
banyak WP di Indonesia, khususnya badan, mengeluh rumitnya perhitungan pajak, sehingga
tingkat kepatuhan dan ketaatan membayar pajak menjadi rendah dibanding dengan potensi WP
yang ada.
Dia menilai, jika tarif tunggal pajak itu dapat diturunkan ke 25% pada tahun pertama, kemungkinan
besar jumlah WP badan yang membayar pajak akan meningkat. Sebab, bagi sebagian besar WP
perusahaan besar, tarif 30% itu masih terlalu besar. "Tapi sebagai tahap awal, hal itu sudah cukup
bagus sehingga perusahaan dapat mengetahui persis berapa pajak yang harus dibayarkan setiap
tahun," katanya.
Selanjutnya dia mengatakan, selain penyederhanaan tarif tunggal PPh, Ditjen Pajak harus
menyederhanakan cara pengisian dan pelaporan pajak lewat self-assessment (menghitung sendiri
pajak). Karena tidak ada gunanya tarif disempurnakan, tapi cara perhitungan dan pengisian masih
berbelit-belit, sehingga WP enggan melaporkan harta dan kekayaannya......................................
RANGKUMAN
§ Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi.
Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang
adil dari sisi yang lain.
§ Menurut prinsip manfaat (benefit principle), suatu sistem pajak
dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak
sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah.
§ Prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle)
menginginkan sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik.
Pendekatan kemampuan membayar ini lebih baik dalam hal mengatasi
masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan penyediaan jasa-jasa publik.
§ Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan
pajak untuk memenuhi belanja publik yang mana harus didasarkan pada
proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat.
§ Keadilan vertikal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan pajak
untuk memenuhi belanja publik harus didasarkan pada proporsi kekayaan
dan pendapatan masyarakat.
§ Keadilan horizontal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan
pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya
membayar.
§ Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat di
atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Excess burden disebabkan
adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar pembeli dibanding
jumlah yang diterima oleh penjual.
§ Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku ekonomi mana
yang sesungguhnya menanggung beban pajak.
§ Pada kondisi inflasi, kebijakan pajak dapat digunakan untuk
mengurangi konsumsi dengan jalan menghambat investasi dan memberi
insentif pada tabungan. Pada kondisi deflasi, kebijakan pajak dapat
digunakan untuk mendorong konsumsi dengan jalan memberi insentif
investasi dan memajaki tabungan.
§ Pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-faktor
produksi dengan mengubah pola produksi sehingga menghasilkan
barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya akibat tarif pajak
yang lebih kecil atau beralih produksi.
§ Bagi sebagian orang, pajak dapat menimbulkan disinsentif untuk bekerja.
Tetapi reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak
ditentukan oleh elastisitas penawaran usaha. Elastisitas penawaran
yang tinggi,
dimana dengan turunnya pendapatan, justru akan mendorong
kemauan kerja yang lebih besar.
LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan pajak kekayaan bersifat regresif?
2. Mengapa inflasi tidak dapat mempengaruhi pengenaan pajak penjualan?
3. Faktor apa saja yang memungkinkan seseorang mendapat hak
atas pengecualian pajak?
4. Apa yang dimaksud dengan Excess Burden? Apa sebab muncul
dan bagaimana akibat yang dapat ditimbulkannya?
5. Definisikan Tax Incidence! Dan jelaskan konsep Statutory Incidence dan
Economic Incidence yang terdapat dalam Tax Incidence!
6. Terangkan bagaimana insentif pajak dapat mempengaruhi
komposisi produksi suatu perusahaan!
7. Jelaskan dengan singkat dampak perpajakan terhadap
distribusi pendapatan!
8. Jelaskan dalam kondisi yang bagaimana penurunan pajak
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional!
9. Bagaimana kebijakan pajak yang berdampak positif dalam jangka
pendek dapat pula berdampak positif dalam jangka panjang? Jelaskan
dengan contoh!
10. Jelaskanlan bagaimana suatu investasi mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara!
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK PRIBADI
ATURAN UTAMA
Dalam penentuan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh
seorang wajib pajak pada satu tahun pajak, penghasilan wajib pajak dari
semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran
penghasilannya, disebut sebagai penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini
kemudian dikurangi dengan pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan yang akan dikenakan
pajak disebut penghasilan neto. Penghasilan neto ini, setelah dikurangi
sejumlah tertentu yang tidak dikenakan pajak menjadi dasar pengenaan
pajak yang akan dikalikan dengan tarif pajak untuk mendapatkan pajak
yang menjadi beban bagi wajib pajak.
Penghasilan Bruto
Dengan beberapa pengecualian seperti yang tertera pada UU Pajak
Penghasilan, penghasilan dari semua sumber digabungkan untuk menentukan
penghasilan bruto. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut,
penghasilan ini akan meliputi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek profesi, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
3. Penghasilan dari modal, berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan
harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan
sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan
lain sebagainya.
Tidak semua penghasilan dari berbagai sumber harus dilaporkan sebagai
penghasilan. Beberapa penghasilan tertentu bukan merupakan penghasilan
menurut UU Pajak Penghasilan, seperti warisan atau hibah, kenikmatan
dalam bentuk natura dengan persyaratan tertentu, dan ganti kerugian asuransi.
Dari angka penghasilan ini, wajib pajak dapat mengurangkan biaya-biaya
atau pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto.
Penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dimasukkan dalam penghasilan
neto setelah dikurangkan biaya-biaya. Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dilaporkan dalam penghasilan setelah dikurangkan dengan
beberapa biaya dan penghasilan yang dikecualikan. Walaupun penghasilan
neto dimaksudkan untuk menjadi satu alat ukur yang komprehensif atas posisi
penghasilan wajib pajak, alat ukur ini ternyata tidak sekomprehensif
mungkin. Beberapa penghasilan non kas diabaikan (seperti imputed rent dan
capital gain yang belum direalisasikan) dan beberapa penghasilan kas tertentu
dikecualikan (seperti pembayaran asuransi dan pensiun).
Prosedur Pembayaran
Sistem penetapan pajak penghasilan di Indonesia dikenal dengan
sebutan self assessment, yaitu suatu sistem yang memberikan
kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan besarnya
pajak penghasilan yang terhutang sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan pajak yang berlaku. Wewenang otoritas pemungut pajak (dalam hal
ini Direktorat Jenderal Pajak) adalah memastikan bahwa wajib pajak telah
menghitung, melaporkan, dan membayarkan beban pajaknya sesuai dengan
peraturan dan perundang- undangan pajak yang berlaku tersebut. Oleh karena
itu, ada dua hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak
penghasilan: penyerahan SPT dan audit. Satu aspek prosedural yang juga
penting adalah sistem pemungutan (pemotongan) yang didasarkan pada
dua alasan utama yaitu prinsip kemudahan mengenakan pajak pada
saat perolehan penghasilan (ability to pay) dan peningkatan ketaatan dari
wajib pajak dengan mengharuskan pihak lain sebagai sumber penghasilan
(pembayar) untuk bertindak atas nama negara memungut pajak tersebut.
Audit
Seperti dikemukakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
memiliki wewenang untuk memeriksa kebenaran perhitungan SPT Tahunan
dari wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak yang
berlaku, termasuk ketaatan pembayarannya. Untuk itu DJP melakukan
pemeriksaan atas SPT-SPT yang dilaporkan. Dalam memeriksa aritmatika
perhitungan pajaknya, walaupun dibantu oleh fasilitas komputer dan
tenaga audit yang dimilikinya, DJP tidak dapat mengaudit semua SPT
yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut akan sangat
besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan untuk
membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang
melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi
penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa)
dapat diaudit. Pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu
akan diperiksa, misalnya dokter atau pengusaha retail. Walaupun begitu,
cakupan auditnya terbatas.
Pemotongan Pajak
(Withholding)
Sebagian besar pajak dipungut dengan cara dipotong oleh pihak yang
melakukan pembayaran dengan alasan kemudahan untuk melakukan
pungutan. Dengan sistem ini, pembayaran pajak lebih berkaitan dengan
tingkat penghasilan tahun berjalan daripada tingkat penghasilan tahun
lalu. Ketika wajib pajak memperoleh penghasilan, saat itu pula ia harus
menyerahkan sebagian penghasilannya untuk beban pajaknya. Di
Indonesia, pajak-pajak yang dipungut oleh pihak-pihak yang melakukan
pembayaran ini disebut sebagai kredit pajak bagi wajib pajak. Sementara itu,
dari sisi ilmu keuangan negara, kredit pajak merupakan pengurangan pajak
yang diberikan atas aktivitas tertentu yang dilakukan oleh wajib
pajak, seperti melakukan investasi, pengasuhan anak, perawatan orang tua,
dan lain-lain.
Dengan sistem pemotongan pajak ini, pembayaran pajak menjadi
sangat responsif terhadap perubahan dalam tingkat penghasilan pribadi yang
merupakan hal penting bagi efektivitas kebijakan stabilisasi. Penerimaan
pajak negara berfluktuasi sesuai dengan perubahan penghasilan
masyarakat yang merupakan bagian utama dari pendapatan nasional. Sistem
pemotongan pajak juga memastikan ketaatan sepenuhnya karena pernyataan
penghasilan tidak diberikan sepenuhnya hanya kepada wajib pajak.
Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya
tersendiri. Jika tarif pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk
mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan
pajak akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak
ini yang secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada pemerintah.
Pemerintah, dalam hal ini DJP, harus mengembalikan kelebihan pemotongan
ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut.
1
Menurut para ahli ekonomi, penghasilan dan modal merupakan kategori yang mutually
exclusive. Irving Fisher menyatakan bahwa kekayaan menunjukkan dua aspek bila
dikaitkan dengan waktu, yaitu stok kekayaan dan aliran kekayaan. Orang dapat mengukur
kekayaan pada suatu waktu tertentu atau sepanjang waktu tertentu, tetapi tidak dapat pada
kedua waktu tersebut. Kekayaan yang diukur pada suatu waktu tertentu merupakan konsep
ekonomi dari modal, suatu pengukuran atas stok. Kekayaan dalam ukuran jangka waktu
merupakan konsep
ekonomi dari penghasilan, suatu pengukuran atas aliran. Pada dasarnya, kedua ukuran
tersebut ekivalen karena nilai ekonomis dari modal sama dengan nilai tunai dari nilai
ekonomis dari aliran penghasilan di masa depan yang diharapkan. Ekivalensi ini bersumber
dari fakta yang sangat penting bahwa modal tidak dapat dipisahkan dari penghasilan karena
modal dan penghasilan saling terkait secara resiprokal.
penentuan penghasilan kena pajak terkait dengan inkonsistensi
penentuan penghasilan dalam praktek akuntansi.
Sebagaimana dalam pembukuan dimana penghasilan diukur dalam jumlah
laba bersih, penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis
(accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto yaitu
penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan penghasilan. Peraturan perpajakan mendefinisikan penghasilan
yang akan dikenakan pajak sebagai penghasilan neto karena biaya-biaya yang
terjadi dalam memperoleh penghasilan pada umumnya dikurangkan dari
penghasilan dengan beberapa pembatasan biaya-biaya tertentu tidak boleh
dikurangkan. Untuk wajib pajak pribadi, peraturan perundang-undangan juga
membolehkan wajib pajak mengurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan
pekerjaan, seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Akan tetapi,
ada konsistensi dalam perlakuan biaya modal. Biaya bunga boleh
dikurangkan tetapi dividen tidak boleh dikurangkan, sama seperti dalam
praktek akuntansi. Walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu, pada
umumnya penghasilan yang dapat dikenakan pajak telah dinyatakan dalam
satuan penghasilan neto.
Agar konsisten dengan konsep tambahan kemampuan ekonomis, maka
setiap pengurangan kemampuan ekonomis juga harus dipandang sebagai
penghasilan negatif. Oleh karena itu, kerugian harus dapat diperlakukan
sebagai pengurangan sepenuhnya. Karena tambahan kemampuan ekonomis
dirancang untuk mengukur konsumsi dan kenaikan dalam kekayaan bersih,
kerugian operasi harus dikurangkan dalam menentukan penghasilan neto dari
kegiatan usaha. Kerugian mengurangi kekayaan bersih sebagaimana
keuntungan meningkatkannya. Oleh karenanya, pemerintah harus
konsisten memperlakukan keduanya. Walaupun peraturan perundang-
undangan tidak memberikan fasilitas pengembalian pajak, para wajib pajak
dapat memperlakukannya untuk mengurangi kewajiban pajak beberapa tahun
yang akan datang.
Sumber dana pembiayaan perbankan memang dapat dipakai untuk membiayai kegiatan ekonomi
berjangka panjang, namun kemampuan perbankan untuk membiayai sektor riil yang berjangka panjang
juga terbatas sehingga kehadiran reksa dana akan menjadi pendukung perbankan untuk bersama-sama
membantu pembangunan ekonomi nasional. Walaupun saat ini tidak ada pajak final untuk pendapatan
yang diperoleh dari reksa dana, investor tetap berkewajiban untuk membayar pajak atas penghasilan
yang diterima dari reksa dana maupun pendapatan lainnya dalam bentuk pajak penghasilan biasa yang
harus dilaporkan setiap tahun.
Bagi pengelola reksadana, tentu saja, usulan pajak final reksadana menyesakkan dada. Pengenaan
pajak akan membuat reksadana kehilangan salah satu nilai jualnya. Dalam setiap prospektus
reksadana, memang, salah satu yang paling dijual sang manajer adalah fasilitas bebas pajak dari
penghasilan yang mereka peroleh. Nah, kalau dipajaki dengan sendirinya nasabah menjadi tidak tertarik
lagi untuk membeli reksadana. Asal tahu saja, dari sekitar Rp 5,6 triliun dana yang diputar dalam
reksadana, 60% di antaranya diinvestasikan dalam obligasi. "Kalau tetap diterapkan, tentu reksadana
akan menuntut tingkat bunga obligasi lebih tinggi lagi untuk mengompensasi pajak itu," ujar Manajer
Portofolio PNM Investment Management.
Yang aneh, menurut pengurus APRDI, sebenarnya yang diusulkan APRDI bukan pengenaan pajak final
atas kupon bunga obligasi. "Kami mengusulkan pajak final bagi capital gain," ujarnya. Maksudnya, yang
dikenai pajak final bukan kupon obligasinya, tapi keuntungan yang diperoleh dari jual beli obligasi.
Selama ini, capital gain dari obligasi bagi perusahaan reksadana dikenai PPh seperti umumnya, yakni
bertingkat (progresif). Nah, menurutnya, APRDI mengusulkan agar pengenaan pajak dilakukan secara
final saja, seperti PPh capital gain di bursa saham. "Jadi, dihitung dari nilai transaksi," katanya.
Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak atas reksa dana haruslah ditanggapi dengan kepala
dingin. Pertama- tama, masalah pajak adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah yang harus
dihormati oleh semua pihak. Pengenaan pajak untuk reksa dana merupakan tindakan yang sah-sah saja
menurut hukum karena hal tersebut adalah bagian dari kewenangan pemerintah. Masalahnya, reksa
dana sudah diberikan dispensasi pajak sehingga pemerintah tentunya memiliki pertimbangan-
pertimbangan tersendiri. Apabila tujuan tersebut dalam rangka menggerakkan pertumbuhan reksa dana
di Indonesia, maka upaya tersebut sangat tepat mengingat reksa dana merupakan instrumen investasi
jangka panjang yang masih baru sehingga diperlukan insentif tertentu untuk menarik investor.
Disamping itu, BES memang mengusulkan agar reksadana juga dikenai Pajak Penghasilan (PPh) 15%
atas kupon bunga obligasi. Selama ini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46/1996, pajak final
sebesar 15% atas kupon bunga obligasi hanya diberlakukan bagi transaksi yang melalui perusahaan
sekuritas. Adapun transaksi obligasi yang dilakukan bank, dana pensiun, dan reksa dana bebas dari
pajak itu.
Akibat perbedaan perlakuan seperti itu, selama ini, sering terjadi praktek washing alias jual beli obligasi
secara fiktif demi menghindari pajak final tersebut. Caranya begini. Agar tidak terkena potongan pajak
final atas pencairan kupon, perusahaan sekuritas atau individu akan menjual obligasinya kepada
perusahaan reksa dana. Dengan begitu, pihak reksa danalah yang akan mencairkan kupon tersebut.
Sesuai dengan aturan, dia tidak akan terkena pajak atas kupon yang dicairkan. Tentu saja perusahaan
sekuritas atau individual bisa mematok harga premium. Jadi, biarpun tidak menerima pembayaran
kupon, mereka menikmati rente secara tidak langsung. (Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat
dalam http://www.kompas.com)
Berdasarkan pemaparan diatas, diskusikan pengaruh kebijakan pajak final tersebut!
2
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice,
Edisi ke-5, New York: McGraw-Hill, hal. 338.
Jika definisi tambahan kemampuan ekonomis diikuti secara konsisten, laba
modal harus dimasukkan dalam penghasilan kena pajak dan digabungkan
dengan penghasilan dari sumber-sumber lainnya, tanpa mempedulikan apakah
sudah direalisasikan atau belum. Konsistensi juga harus berlaku bila
terjadi rugi modal (capital loss) yang harus diperlakukan sebagai
pengurangan atas penghasilan atau penghasilan negatif.
Pengenaan pajak atas laba modal harus juga disesuaikan dengan
inflasi. Laba modal yang dikenakan pajak, yang bukan disebabkan oleh
inflasi. Dengan laba modal, nominal harus dikurangi dengan kenaikan harga
dari aset karena inflasi untuk mendapatkan laba modal yang dimasukkan
dalam penghasilan kena pajak. Bila pengenaan pajak atas laba modal tidak
memperhitungkan inflasi maka akan memunculkan problema keadilan dan
efisiensi pajak.
Permasalahan Penerapan
Walaupun secara prinsip tidak ada lagi persoalan terhadap pengenaan pajak
atas laba modal, akan tetapi pengenaan pajaknya menghadapi kendala
operasional yang cukup berat. Dalam hal laba modal yang sudah
direalisasikan, pengenaan pajaknya sepenuhnya dapat dilaksanakan tanpa
kesulitan-kesulitan teknis yang muncul. Situasinya jauh lebih sulit untuk laba
yang belum direalisasikan. Pengenaan pajak secara tahunan atas laba modal
yang belum direalisasikan mengharuskan adanya penilaian aset
secara tahunan, suatu praktek yang sangat tidak praktis.
Beberapa aset yang memiliki pasar yang likuid, seperti sekuritas,
dapat dinilai dan dikenakan pajak secara periodik, misalnya setiap lima
tahun. Akan tetapi, untuk aset lainnya, seperti barang seni, bangunan
pabrik, dan tanah, sulit untuk dinilai. Oleh karena itu, muncul usulan untuk
mengenakan pajak pada saat kematian atau pemindahan aset ini dengan
menganggap seolah-olah telah terealisasi pada saat itu (realisasi konstruktif).
Penilaian atas aset hanya dilakukan pada saat realisasi konstruktif ini sehingga
lebih praktis. Dengan memberikan aturan perataan penghasilan dan
membolehkan penyebaran pembayaran pajak pada beberapa periode, dapat
dihindari likuidasi paksa untuk tujuan pengenaan pajak yang menimbulkan
ketidakadilan.
Walaupun realisasi konstruktif dapat memindahkan laba yang belum
direalisasikan ke dalam basis pajak, cara ini masih memberikan beberapa
keuntungan bagi laba modal. Para pemilik aset dapat menunda kewajiban
pajaknya sampai bertahun-tahun, bahkan sampai meninggal. Penundaan pajak
ini sama dengan memperoleh pinjaman bebas bunga, yang nilainya
sangat
substansial terutama bagi para wajib pajak muda yang mampu menunda
untuk periode waktu yang sangat panjang.
Iuran Pensiun
Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran pensiun yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari
penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh
perusahaan. Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh
para pegawai selama masa pensiun.
Asuransi Jiwa
Pembayaran premi kepada perusahaan asuransi jiwa dan pembayaran
asuransi dari perusahaan asuransi jiwa mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Pembayaran premi asuransi jiwa tidak boleh digunakan untuk
mengurangi penghasilan yang akan dikenakan pajak. Sementara itu,
pembayaran asuransinya tidak dikenakan pajak penghasilan. Perlakuan premi
asuransi telah sesuai dengan konsep tambahan kemampuan tetapi perlakuan
atas pembayaran asuransinya tidak sesuai. Asuransi jiwa tertentu memiliki
komponen tabungan (investasi) yang karena perlakuan ini bunga yang
diperoleh atas tabungan ini terhindar dari pengenaan pajak. Untuk asuransi
jiwa yang tidak memiliki komponen investasi, perlakuannya sudah tepat yaitu
pembayarannya dikecualikan dari pengenaan pajak tanpa memperbolehkan
pengurangan atas premi yang dibayarkan.
Aspek Keadilan
Sebagian alasan perlakuan pengurangan ini karena alasan keadilan
yang terkandung dalam prinsip kemampuan untuk membayar dari wajib
pajak. Wajib pajak dengan penghasilan yang sama tidak berarti memiliki
kemampuan yang sama untuk membayar jika para wajib pajak berada pada
posisi yang berbeda-beda karena statusnya, ukuran rumah tangganya
(tanggungannya) ataupun hal-hal lainnya. Beberapa wajib pajak tertentu harus
membayar pengeluaran untuk pengobatan yang sangat besar karena kondisi
dirinya atau keluarganya tentu mempunyai kemampuan untuk membayar
yang lebih rendah daripada para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi
beban yang sama.
Dalam situasi-situasi di atas, terutama untuk wajib pajak
berpenghasilan rendah, perlu dirancang suatu sistem yang mampu
menyeimbangkan kemampuan para wajib pajak tersebut. Misalnya, terhadap
wajib pajak yang selalu mengeluarkan biaya pengobatan yang besar diberikan
pengurangan atas penghasilannya sejumlah tertentu sehingga kewajiban
pajaknya lebih rendah karena kemampuannya lebih rendah daripada wajib
pajak lainnya yang berpenghasilan sama tanpa pengeluaran biaya
pengobatan. Jika dirancang
dengan baik, pengurangan ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga
mampu mendorong terciptanya basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan
yang sama juga dapat diberlakukan bagi para wajib pajak yang cacat karena
mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih banyak bila dibandingkan
dengan wajib pajak yang normal.
Pengurangan Pajak
Pemerintah perlu memberi penghargaan bagi pengusaha yang punya tanggung jawab sosial tinggi dan
bersedia bekerja sama membantu memecahkan masalah sosial di Indonesia. Penghargaan itu
misalnya, berupa pengurangan pajak.
Menurut Dirjen Pemberdayaan Sosial Depsos, usulan ini didasarkan pemikiran bahwa banyak masalah
sosial di tanah air yang harus diselesaikan. Pemerintah jelas tidak mampu menyelesaikan persoalan
tersebut sendirian karena dana yang ada sangat terbatas. “Kerja sama dengan masyarakat dan
perusahaan akan membuat beban pekerjaan itu menjadi lebih ringan sehingga banyak masalah sosial
bisa diselesaikan,” tuturnya dalam acara sosialisasi program Direktorat Peningkatan Peran
Kelembagaan Sosial Masyarakat dan Kemitraan Depsos.
Menurutnya, minat para pengusaha untuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah sosial
sebenarnya cukup tinggi. Akan tetapi, mereka tak tahu harus menghubungi siapa dan lewat jalur mana
untuk bisa membantu. Untuk itu, Depsos bersama pengusaha akan membuat sekretariat tetap untuk
memfasilitasi dunia usaha yang berniat membantu pemerintah. Langkah awal yang segera dilakukan
adalah membuat identifikasi masalah sosial yang kelak bisa diberikan kepada perusahaan.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Depkeu mengatakan, KMK tentang fasilitas penurunan pajak itu bisa
diberlakukan dalam kondisi darurat dan tidak terduga. Tentu saja, fasilitas ini akan membebani
anggaran pemerintah sehingga perlu dicari sumber pembiayaan lebih besar.
Akan tetapi, praktek program pengurangan beban pajak bagi wajib pajak yang menyumbang dinilai
rawan korupsi. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef)
mengatakan, kebijakan itu sangat rawan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para pengusaha
dalam bentuk laporan yang tidak sesuai dengan nilai sumbangan yang diberikan.
"Karena bisa saja seorang pengusaha menyumbangkan dana Rp 1 miliar, lalu dia laporkan sebesar Rp
5 miliar. Apalagi, seorang pengusaha bisa menyumbang di beberapa tempat yang berlainan," ujarnya.
(Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat dalam http://www.kompas.com)
Berdasarkan paparan diatas, diskusikan perlu tidaknya pengurangan pajak diberikan!
Aspek Insentif
Peraturan perpajakan seringkali dirancang dan ditetapkan dengan tujuan-
tujuan lain selain tujuan fiskal, seperti mendorong berbagai kegiatan
yang bermanfaat bagi masyarakat. Biaya untuk melakukan aktivitas tersebut
diperlakukan sebagai pengurangan atas penghasilan dan dapat dipandang
sebagai suatu cara untuk menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk
hal-hal yang “mulia” seperti sumbangan sosial atau zakat. Pengurangan atas
penghasilan juga dapat mendorong konsumsi atas hal-hal yang menimbulkan
manfaat-manfaat eksternalitas, seperti investment tax credit untuk
mendukung
iklim investasi. Dalam hal ini, pengurangan dapat dipandang sebagai hibah
yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak sehingga biaya
pelaksanaan aktivitas-aktivitas tertentu yang bermanfaat menjadi berkurang.
Hal ini akan mendorong wajib pajak untuk membelanjakan lebih banyak
uangnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini.
Hanya saja, peraturan perpajakan seperti ini sebaiknya dikaji secara
mendalam sehingga hanya untuk aktivitas-aktivitas yang layak didukung dan
hanya jika pengurangan pajak adalah cara terbaik untuk melakukannya, yaitu
keuntungan yang didapatkan dapat jauh melebihi kerugiannya pada aspek
keadilan pajak. Tidak ada larangan bagi suatu peraturan perpajakan
untuk mempunyai tujuan-tujuan selain tujuan fiskal. Pertanyaannya adalah
apakah aktivitas yang perlu didukung itu membutuhkan subsidi. Jika subsidi
dibutuhkan, apakah subsidi ini harus diberikan dalam bentuk
pengurangan pajak. Walaupun demikian, berbagai aturan khusus ini sebagai
suatu preferensi pajak ternyata menambah kerumitan perhitungan pajak
sehingga secara administratif membebani tidak saja bagi wajib pajak dalam
melaporkan pajak penghasilannya, tetapi juga dari aparat perpajakan yang
harus melakukan audit atas laporan pajak penghasilan tersebut.
PREFERENSI PAJAK
Preferensi pajak merupakan pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan dari basis pajak yang komprehensif. Seharusnya,
penghasilan kena pajak setelah pengecualian dan pengurangan sama dengan
tambahan kemampuan ekonomis. Akan tetapi, preferensi pajak inilah yang
menyebabkan penghasilan kena pajak berbeda dengan penghasilan
komprehensif. Perbedaan- perbedaan substansial yang timbul karena
preferensi pajak inilah yang seringkali menyebabkan penghasilan kena
pajak jumlahnya di bawah dari yang ditentukan oleh konsep tambahan
kemampuan atau penghasilan komprehensif.
Preferensi pajak dapat dipandang sebagai subsidi pada aktivitas ekonomi
tertentu. Dengan adanya preferensi pajak ini, tingkah laku wajib pajak
berubah untuk membuat beban pajaknya menjadi lebih rendah dengan
memanfaatkan aturan-aturan tertentu yang juga disebut sebagai
lubang-lubang dalam peraturan perpajakan.
Preferensi pajak menyebabkan pengurangan atas basis pajak, sering disebut
sebagai kehilangan potensi pajak. Dalam konteks keuangan negara dan
ekonomi, kehilangan potensi pajak atau penyusutan penerimaan pajak
ini
disebut pengeluaran pajak (tax expenditure). Istilah penyusutan penerimaan
pajak digunakan karena kegagalan otoritas pajak mendapatkan
penerimaan pajak disebabkan lubang-lubang dalam basis penghasilan kena
pajak. Pada dasarnya, pengeluaran pajak ini adalah sama dengan memperoleh
penerimaan pajak sepenuhnya (tanpa ada aturan preferensi pajak) kemudian
melakukan pengeluaran (subsidi) dengan jumlah yang sama kepada wajib
pajak sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan
yang membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan
mengenakan pajak penuh atas bunga pinjaman kepada pemilik rumah dan
kemudian secara bersamaan melakukan pengeluaran subsidi kepada mereka.
Keberadaan preferensi pajak tidak menjadi masalah keadilan pajak apabila
basis pajak yang berkurang karena pengecualian dan pajak final dalam
jumlah yang proporsional terhadap basis pajak sepenuhnya (tanpa preferensi
pajak) bagi seluruh wajib pajak. Hal ini sama dengan memberikan
pengurangan tarif pajak maksimal yang sama bagi seluruh wajib pajak. Dalam
hal ini, preferensi pajak dapat dinetralisasi dengan pengenaan tarif pajak yang
lebih progresif. Pada kenyataannya, insiden preferensi sangat bervariasi, baik
bagi wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkat penghasilan maupun wajib
pajak tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan
adanya ketidakadilan secara vertikal dan horizontal.
Ketidakadilan pajak secara vertikal dapat timbul karena preferensi
pajak memberikan manfaat-manfaat yang hanya dinikmati oleh kelompok
wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat,
kehilangan potensi pajak dari aturan pajak terhadap laba modal cenderung
lebih dinikmati oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi karena merekalah
yang memiliki lebih banyak aset daripada wajib pajak berpenghasilan rendah.
Untuk di Indonesia, penelitian tentang hal ini ada, bagaimana aturan pajak
menciptakan preferensi pajak bagi golongan-golongan wajib pajak dengan
penghasilan tertentu.
Ketidakadilan pajak secara horisontal terjadi karena wajib pajak
dengan penghasilan sama tidak mendapat manfaat yang sama karena
perbedaan aturan. Misalnya, wajib pajak yang menerima penghasilan
dalam bentuk natura membayar lebih sedikit daripada pegawai yang
menerima seluruh penghasilannya dalam bentuk kas.
Permasalahan Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak
Berpenghasilan Tinggi
Wajib pajak berpenghasilan tinggi dapat menggunakan preferensi pajak
untuk melakukan penghindaran pajak, terutama yang berkaitan
dengan berbagai jenis penghasilan modal. Cara penghindaran pajak yang
paling utama adalah adanya tax shelter yang timbul dari kerugian usaha.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kerugian merupakan
penghasilan negatif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan
kena pajak. Bunga adalah satu-satunya biaya modal yang dapat dikurangkan
sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kedua aturan ini
memang konsisten dengan konsep tentang laba bersih sebagai basis
pajak, konsep yang sangat dipengaruhi oleh praktek akuntansi. Keduanya
dapat dikombinasikan sedemikian rupa untuk mengurangi beban pajak dengan
membentuk suatu tax shelter, yaitu menciptakan kerugian dengan
memunculkan biaya bunga yang besar.
Contohnya, suatu perusahaan perseorangan atau firma dibentuk untuk
investasi di dunia real estate. Dengan investasi modal yang kecil, firma
tersebut dapat meminjam dalam jumlah yang banyak dengan jaminan
harta real estatenya. Pembayaran bunga akan mengakibatkan kerugian yang
besar pada periode-periode awal beroperasinya firma tersebut sebelum
memperoleh penghasilan yang cukup besar. Dengan melakukan investasi
pada firma tersebut, investor dapat menghapuskan kerugian yang besar
tersebut pada penghasilan mereka sehingga mengurangi pajak yang
dibayarkan pada periode awal tersebut. Para investor dengan penghasilan
yang sangat besar pada periode ini dan penghasilan kecil pada periode
berikutnya akan memperoleh manfaat yang besar dengan skema pengurangan
pajak seperti ini.
Penghasilan/Laba Modal
Masalah inflasi juga mempengaruhi besarnya kewajiban pajak atas laba
modal. Laba modal yang sudah terealisasi, sebagian dikenakan pajak final
dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang sama terhadap
laba modal seharusnya hanya akan mengenakan pajak atas laba dalam nilai
riil (kenaikan harga dalam nilai riil), bukannya laba dalam nilai nominal
(kenaikan harga dalam nilai nominal). Oleh karena itu, diperlukan
penyesuaian terhadap inflasi dengan mengurangkan kenaikan harga aset dari
inflasi dari laba modal nominal.
Permasalahan pengaruh inflasi yang sama juga dialami oleh kreditor yang
menderita kerugian penurunan nilai riil hutang yang mereka berikan kepada
debitor. Tentu saja, penurunan nilai hutang ini menjadi keuntungan bagi
debitor. Bila peraturan perpajakan konsisten menggunakan basis
tambahan kemampuan ekonomis yang diukur dalam satuan nilai riil maka
aturan perpajakan harus membolehkan kreditor mengakui kerugian dan juga
mengharuskan debitor mengakui keuntungan. Salah satu solusi yang pernah
diusulkan adalah mengurangi penghasilan bunga kena pajak sesuai dengan
tingkat inflasi.
Depresiasi adalah pos berikutnya yang dipengaruhi inflasi. Ketika harga-
harga naik, pengembalian dari biaya perolehan aktiva berkurang dalam
nilai riil dan penyesuaian inflasi juga diperlukan dalam hal ini.
Solusi atas
190 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 190
Pribadi
Aturan Dasar
Dalam hal penetapan unit kena pajak, Musgrave dan Musgrave (1989)
memberikan tiga aturan berikut agar pilihan unit kena pajak
4
tersebut memenuhi asas keadilan pajak, yaitu :
§ Unit-unit dengan penghasilan yang sama dan jumlah anggota yang
sama harus membayar pajak yang sama jumlahnya. Aturan ini tidak perlu
penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara sederhana mewakili
persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama juga. Ada hal
yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan kemampuan
untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah
penghasilan diperoleh oleh satu anggota atau lebih.
§ Di antara unit-unit yang berpenghasilan sama, unit yang
jumlah anggotanya lebih kecil harus membayar pajak lebih banyak dan
unit yang jumlah anggotanya lebih besar harus membayar pajak lebih
sedikit. Aturan ini menunjukkan proposisi bahwa seorang bujangan
dengan penghasilan Rp 30 juta memiliki posisi (kemampuan) lebih baik
daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga Rp 30 juta.
Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya penerangan di
ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu orang
atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya
kursi untuk santai)
4
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 386.
lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan yang adil
apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut
lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri
dengan tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah
yang layak) tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif
terhadap seorang bujangan.
§ Dengan pengenaan pajak progresif, jumlah pajak (yang dinyatakan
dalam persentase terhadap penghasilan) untuk unit-unit dengan jumlah
anggota yang sama harus naik seiring dengan kenaikan penghasilan unit.
Aturan ini mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini
tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang
dari pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun
kedua-duanya.
Penggabungan Penghasilan
Ada dua cara untuk mencapai tujuan seperti yang tercantum pada aturan
dasar di atas. Pertama, menetapkan PTKP tertentu sesuai dengan jumlah
tanggungan dan jumlah penerima penghasilan. Kedua, menggunakan struktur
tarif pajak yang berbeda untuk berbagai jenis SPT yang didasarkan
pada jumlah tanggungan, status dan jumlah penerima penghasilan. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, aturan perpajakan membolehkan tambahan
PTKP sesuai dengan ukuran keluarga, walaupun dibatasi hanya sampai tiga
tanggungan. Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian
dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang
dikenakan pajak. Penggabungan penghasilan ini tidak mengurangi jumlah
PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan, baik ketika penghasilan
masih dilaporkan sendiri maupun penghasilan digabungkan.
RANGKUMAN
§ Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan dalam nama dan bentuk apapun. Penghasilan bruto yang
telah dihitung kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) untuk mendapatkan jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP).
§ Penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis
(accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto, yaitu
penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan penghasilan. Dalam membedakan antara penghasilan
dari pekerjaan (upah dan gaji) dan penghasilan dari modal, ditekankan
bahwa penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban pajak yang
lebih ringan. Penghasilan harus didefinisikan dalam satuan riil. Sesuai
dengan definisi penghasilan, tidak menjadi perbedaan apakah penghasilan
tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan
aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset (capital gain)
yang belum terealisasi.
§ Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan
bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk imputed income (misalnya
pemilikan aset jangka panjang) dan natura dalam bentuk santai harus
dimasukkan ke dalam basis pajak.
§ Perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan
ekonomis bagi penerima sehingga harus dimasukkan ke dalam
basis pajak penghasilan bagi penerimanya.
§ Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak,
pada beberapa transaksi tertentu berlaku tarif pajak final.
§ Capital gain sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi
sehingga wajib pajak harus membayar lebih banyak dalam sistem tarif
pajak yang progresif, bila dibandingkan jika capital gain tersebut
diterima sebagai pendapatan tetap, kesulitan ini dapat dihilangkan
dengan menggunakan aturan perataan yang tepat.
§ Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua
lainnya seharusnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, dan
ketika uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian
hari, hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan.
§ Secara keadilan, wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang
berat, seperti tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan
memiliki kemampuan untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan
para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat
tersebut. Pengurangan khusus dapat dipandang sebagai suatu cara untuk
menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang mulia
seperti sumbangan sosial.
§ Tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya
keluarga, sehingga beban pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran
besarnya keluarga. Prinsip progresivitas tidak saja menyatakan seberapa
tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan
besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada
wajib pajak miskin.
§ Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau
kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenakan pajak.
§ Pada prinsipnya, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak
didapatkan) dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam
dasar pengenaan pajak.
LATIHAN
1. Jelaskan prinsip dasar pengenaan pajak penghasilan dan bagaimana
menentukan penghasilan kena pajak!
2. Jelaskan perbedaan prinsip Capital Income dan Labor Income!
3. Bagaimana penerapan pajak penghasilan terhadap:
a. Warisan
b. Penghasilan tidak teratur
c. Imputed Income
4. Apa yang dimaksud dengan pajak final dan apa tujuan diberlakukannya?
5. Mengapa perlakuan terhadap pajak final dianggap melanggar
prinsip keadilan pajak?
6. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas :
a. Laba yang telah terealisasi
b. Laba yang belum terealisasi
c. Tabungan hari tua
d. Iuran Pensiun
e. Asuransi Jiwa
7. Jelaskan bagaimana aspek keadilan yang diberlakukan untuk
pengurangan jumlah pajak penghasilan yang dikenakan terhadap wajib
pajak!
8. Bagaimana bentuk ketidakadilan pajak yang terjadi akibat
adanya preferensi pajak ?
9. Wajib pajak yang mempunyai penghasilan tinggi cenderung
menginvestasikan uang mereka dibandingkan dengan menabungnya. Apa
pengaruhnya terhadap pengenaan pajak penghasilan wajib pajak tersebut?
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK BADAN
Pandangan Integrasi
Pandangan integrasi ini adalah pandangan yang paling diterima oleh
para ahli ekonomi. Para penganut posisi integrasi memandang bahwa pajak
pada akhirnya menjadi beban dari orang-orang pribadi. Oleh karena itu,
pengenaan pajak pada perseroan harus dipandang sebagai satu cara
memasukkan semua penghasilan yang bersumber dari perseroan ke dalam
basis pajak penghasilan pribadi. Ada beberapa argumentasi untuk mendukung
pandangan ini. Pertama, pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi.
Kedua, konsep keadilan, dalam hal ini keadilan pajak hanya dapat diterapkan
kepada pribadi. Ketiga, penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam
konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila
mengenakan pajak pada laba perseroan, maka laba perseroan tersebut ketika
didistribusikan dipajaki dua kali, pertama pada tingkatan perseroan dalam
bentuk pajak penghasilan badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi
sebagai dividen dalam perhitungan pajak penghasilan pribadi.
Misalkan, seorang wajib pajak A adalah serorang wajib pajak dengan
penghasilan besar sehingga membayar pajak penghasilan pribadi pada tarif
pajak 25%. Bagiannya pada laba suatu perseroan yang sahamnya ia miliki
adalah Rp10.000.000, yang dikenakan pajak dengan tarif efektif sebesar 30%
(atau sebesar Rp3.000.000). Sisanya, sebesar Rp7.000.000 didistribusikan
sebagai dividen kepada A, yang kemudian akan membayar pajak atasnya
sebesar Rp1.750.000. Apabila kedua pajak ini digabungkan, jumlahnya
menjadi Rp4.750.000. Bila tidak ada pajak penghasilan badan, pajak
penghasilan yang dibayarkan pada penghasilan yang didistribusikan (dividen)
sejumlah Rp10.000.000 hanya akan sebesar Rp2.500.000. Dengan demikian,
ada “kelebihan pajak” sebesar Rp1.250.000. Berikutnya, seorang wajib
pajak
200 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 200
Aplikasi Badan
Pandangan Absolut
Pandangan absolut memiliki pandangan yang berlawanan dengan
pandangan integrasi. Walaupun perseroan bukan merupakan individu yang
memiliki hak suara dalam pemilihan, sebagaimana paham tidak ada pajak
tanpa perwakilan, perseroan adalah kekuatan ekonomi dalam suatu negara
Perseroan yang dimiliki publik secara luas – merupakan wajib pajak
besar yang menjadi sumber terbesar penerimaan pajak negara – bukan
hanya instrumen untuk penghasilan pribadi. Perseroan adalah entitas legal
yang memiliki keberadaan sendiri. Perseroan adalah pelaku ekonomi yang
memiliki kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial
melalui pengelolaan para profesional manajemen yang tidak secara
langsung dikendalikan oleh pemegang saham secara individu. Oleh
karena itu, sebagai entitas yang terpisah, perseroan juga mempunyai
kapasitas membayar pajak tersendiri, telah dikenakan pajak yang terpisah
dan absolut. Apakah laba setelah pajak
yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam
konteks ini.
Secara rasional, pandangan absolut atau yang disebut juga pandangan
klasik ini mempunyai dukungan yang sangat kuat untuk alasan bahwa
perseroan adalah keberadaan yang memiliki kekuatan ekonomi dan sosial.
Perseroan memang bertindak sebagai unit-unit pengambilan keputusan,
yang terpisah dan seringkali tidak begitu jelas kaitannya dengan keinginan
para pemegang saham, sehingga membutuhkan kebijakan pengaturan
(termasuk pengaturan pengenaan pajak) tersendiri pada tingkatan korporasi
daripada tingkatan pemegang saham. Selain itu, alat-alat pajak dapat berguna
pada situasi-situasi tertentu untuk tujuan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Alasan pengenaan pajak pada perseroan karena lembaga ini memiliki
kemampuan membayar pajak sendiri dan oleh karenanya harus
dikenakan pajak terpisah. Maka kemampuan untuk membayar ini
sulit untuk diaplikasikan pada perseroan. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa kemampuan ini adalah kemampuan untuk membayar pajak tanpa
mengalami kebangkrutan atau mengganggu operasinya. Konsep kapasitas
membayar yang digunakan dalam pendapat ini lebih berkaitan dengan efek
ekonomi dari pajak bukannya kemampuan untuk membayar yang digunakan
dalam konteks keadilan pajak. Pada akhirnya, seluruh pajak harus dibebankan
pada orang. Laba perseroan merupakan bagian penghasilan para pemegang
saham untuk alasan tambahan kemampuan ekonomis, harus dipajaki sebagai
bagian dari penghasilan mereka. Tidak ada alasan mengapa para pemegang
saham harus membayar pajak tambahan atau diberikan perlakuan khusus.
Pandangan absolutisme mendasarkan pada asumsi bahwa beban pajak
dikenakan atas laba dan tidak digeserkan kepada pihak lain yaitu para
pelanggan atau pekerja. Bila terjadi penggeseran beban pajak, maka
tujuan dari para penganut absolutisme untuk membebankan pajak
tambahan pada penghasilan yang bersumber dari korporasi tidak akan
tercapai. Pajak penghasilan atas perseroan telah menjadi pajak penjualan atau
pajak atas upah yang inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu
struktur pajak yang adil. Pajak ini dikatakan inferior karena tarif implisit dari
pajak penjualan atau upah tidak memiliki korelasi yang jelas dengan rasio
[marjin] laba atas penjualan atau rasio laba atas upah dari perseroan.
Para ekonomi juga telah membuktikan dengan berbagai riset bahwa praktek
pengenaan pajak menurut pandangan absolut telah menimbulkan distorsi
dalam perekonomian. Perseroan cenderung tidak membagikan laba untuk
menghindari pengenaan pajak berganda, yang apabila dibagikan
kepada
investor mungkin dapat mereka gunakan untuk investasi-investasi yang
lebih menguntungkan.
Pertimbangan Manfaat
Pemerintah dapat mengenakan pajak kepada siapapun dan apapun yang
memperoleh manfaat dengan adanya pemerintahan. Perseroan dapat diminta
untuk membayar pajak karena menerima manfaat dari berbagai layanan
pemerintah. Layanan-layanan tersebut misalnya memberi manfaat kepada
perseroan dengan cara mengurangi biaya, memperluas pasar, membantu
transaksi-transaksi keuangan, dan lain-lain.
Akan tetapi sebagian dari layanan ini, tidak hanya dinikmati oleh
perseroan, tetapi juga oleh berbagai bentuk organisasi lainnya. Dengan
demikian, cara yang lebih rasional adalah menerapkan pajak umum atas
kegiatan bisnis bukannya menerapkannya dengan menggunakan pajak
penghasilan badan saja. Walaupun ada beberapa biaya pemerintah yang
dikeluarkan dalam kaitannya dengan keberadaan perseroan secara khusus,
biaya-biaya ini hanyalah faktor yang minor dan sulit untuk dijadikan
alasan untuk mendukung pengenaan suatu pajak penghasilan. Perseroan
yang memiliki hak melakukan berbagai kegiatan berdasarkan kewajiban
terbatas. Hak ini tentu saja sangat berharga bagi korporasi. Akan tetapi,
lembaga yang memiliki kewajiban terbatas ini tidak membebani
masyarakat oleh karenanya tidak layak dikenakan pajak atas manfaat yang
didapat dari haknya. Tujuan dari pajak atas manfaat adalah
mengalokasikan biaya pemberian layanan publik kepada yang menerima
manfaat, bukannya untuk membebani manfaat yang tidak menimbulkan biaya.
Walaupun pajak dapat dikenakan kepada perseroan atas dasar manfaat. Ada
dua hal yang harus diputuskan. Pertama berkaitan dengan tingkatan
pemerintahan mana yang harus mengenakan pajak. Pemerintah daerah
menyediakan sebagian besar layanan publik yang memberikan manfaat
kepada bisnis. Dengan demikian, pemerintah daerah lebih berhak untuk
mengenakan pajak. Kedua, apa basis yang tepat digunakan untuk
mengenakan pajak tersebut. Besarnya pajak akan bervariasi sesuai dengan
nilai layanan yang
diberikan, bukannya sesuai dengan jumlah laba yang dihasilkan. Oleh karena
itu, nilai properti akan lebih tepat menunjukkan nilai layanan pemadam
kebakaran; jumlah pegawai dan menunjukkan input untuk pengeluaran
sekolah umum; transportasi akan menunjukkan layanan jalan raya, dan
sebagainya. Jika ukuran umum yang digunakan, total biaya yang dikeluarkan
pada daerah operasi lebih tepat digunakan sebagai ukuran keseluruhan,
dengan nilai tambah (termasuk laba dan biaya-biaya faktor lainnya) sebagai
kemungkinan kedua.
INTEGRASI PAJAK
Apabila pandangan bahwa pajak penghasilan perseroan diintegrasikan ke
dalam pajak penghasilan pribadi adalah yang lebih diinginkan, muncul
pertanyaan bagaimana cara mengintegrasikan penghasilan perseroan ke dalam
penghasilan pribadi. Penyesuaian-penyesuaian apa saja yang harus
diberlakukan dalam struktur pajak agar terjadi integrasi pajak perseroan dan
pajak pribadi.
Integrasi Lengkap
Integrasi lengkap adalah pendekatan pengenaan pajak penghasilan dengan
mengintegrasikan seluruh bagian pendapatan dari perseroan, baik
yang
dibagikan (diterima sebagai dividen) maupun yang tidak dibagikan
(dalam bentuk akumulasi laba ditahan pada perseroan), ke dalam penghasilan
pribadi dari sumber-sumber lain yang selama ini telah dilaporkan dalam SPT.
Apabila pendekatan integrasi lengkap yang dipilih, pendekatan ini harus
memberikan perlakukan yang sama atas bagian laba dari perseroan yang tidak
dibagikan dengan bagian laba perseroan yang dibagikan (dividen). Ada dua
metode pengenaan pajak yang menggunakan integrasi lengkap. Metode
pertama disebut metode firma (partnership) yang memperhitungkan
bagian laba seorang wajib pajak (investor) dari laba perseroan ke dalam
penghasilan pribadinya dan dikenakan pada pajak penghasilan pribadi wajib
pajak tersebut. Metode kedua adalah metode laba modal yang mengenakan
pajak atas laba modal sepenuhnya (baik yang direalisasikan maupun yang
belum direalisasikan).
Metode Firma
Metode ini memperhitungkan bagian laba dari perseroan yang menjadi hak
pemegang saham ke dalam penghasilan pribadi pemegang saham, baik yang
dibagikan sebagai dividen maupun tidak dibagikan sebagai dividen. Untuk
mendapatkan informasi mengenai besarnya penghasilan dari laba yang tidak
dibagikan sebagai dividen, perseroan akan memberitahukan kepada para
pemegang saham berapa bagian laba yang tidak dibagikan yang menjadi
bagian mereka untuk ditambahkan ke dalam kekayaan mereka.
Pemegang saham kemudian akan memasukkan jumlah ini ke dalam
perhitungan laba kena pajak dalam SPT.
Perusahaan Anda merugi sampai 100 milyar rupiah. Saat diperiksa, metode depresiasi perusahaan
Anda di-adjust, sehingga laporan keuangan yang baru menjadi laba 20 milyar. Ingat baik-baik bahwa ini
sangat mungkin. Bayangkan keadaan tak terduga ini, Anda tidak berhak atas kompensasi kerugian,
Anda harus membayar pajak tambahan, Anda dikenai sanksi perpajakan, Anda harus membayarnya
segera. Tidak salah, jika Benjamin Franklin mengatakan "in this world, nothing is certain except
death and taxes." Pajak bukan hanya masalah yang membebani perusahaan, dalam banyak kasus
bahkan bisa menjadi hidup dan matinya perusahaan.
Biasanya, masalah perpajakan akan muncul di saat-saat yang tidak tepat. Wrong time, wrong place.
Dalam prakteknya, Anda bahkan mungkin akan berhadapan dengan wrong people. Coba kita perhatikan
kapan munculnya masalah perpajakan yang sering membuat pusing kepala. Saat menerima Surat
Tagihan Pajak (STP), saat menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Pajak (SPHP), saat
menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP), atau bahkan saat orang pajak datang atau menghubungi Anda.
"Orang pajak tidak pernah salah, sampai peraturan pajak mengatakan yang sebaliknya." Dalam tataran
dunia pajak para pakar perpajakan cenderung menyetujui dogma itu. Padahal dalam konteks hukum, di
mana pajak juga merupakan produk hukum, yang biasa berlaku adalah asas praduga tidak bersalah.
Dalam perpajakan, konsep itu tidak berlaku. Itu sebabnya, Anda diistilahkan dengan sebutan Wajib
Pajak……………….
Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk dipakai hanya dua metode
yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun (declining balance
method). Bangunan harus disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus
dimana jumlah yang sama sebesar C/n harus dihapuskan setiap tahun,
dengan C sama dengan nilai perolehan aset dan n adalah umur aset. Jadi,
untuk suatu aset yang bernilai Rp100.000.000 dengan masa umur selama 10
tahun, setiap tahun sejumlah Rp10.000.000 boleh dikurangkan. Peralatan
dan kendaraan disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun,
dengan persentase sebesar dua kali tarif garis lurus dikurangkan pada tahun
dan persentase yang sama kemudian diterapkan pada jumlah yang belum
disusutkan setiap tahunnya. Dengan demikian, sebesar Rp20.000.000 akan
dikurangkan pada tahun pertama, Rp16.000.000 akan dikurangkan pada tahun
kedua, dan seterusnya. Ada satu metode lagi yang tidak diperbolehkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan saat ini, yaitu metode jumlah
angka tahun (sum-of-years-digits method); dimana bagian yang dikurangkan
pada setiap tahun sama dengan rasio dari sisa tahun terhadap jumlah angka
tahun selama masa manfaat aset. Jadi, untuk suatu aset dengan harga
perolehan Rp100.000.000 dan masa manfaat selama 10 tahun, jumlah angka
tahunnya sama dengan 10 + 9 + 8 + 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 55. Beban
penyusutan tahun pertama adalah 10/55 dari Rp100.000.000 = Rp18.111.111;
beban untuk tahun kedua adalah 9/55 dari Rp100.000.000 = Rp16.363.636;
dan seterusnya.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, perseroan yang
menggunakan metode penyusutan dengan saldo menurun mendapatkan
keuntungan penghematan pajak lebih besar daripada menggunakan
metode garis lurus karena nilai tunai dari penyusutannya lebih kecil pada
metode garis
lurus sehingga nilai tunai dari beban pajaknya lebih besar. Semakin panjang
waktu penyusutan semakin besar perbedaan penghematan pajaknya. Simpulan
yang sama juga berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka
tahun dengan metode garis lurus. Bila kita membandingkan antara
metode saldo menurun dengan metode jumlah angka tahun, metode saldo
menurun lebih menguntungkan pada aset-aset berumur pendek dan
metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan pada aset-aset yang
berumur panjang.
J u m la h A n g k a
M asa M anfaat G ar is L ur us S al do M e nur un Tahun
( I) ( II ) ( II I ) (IV)
DISKONTO 6 PERSEN
5 8 6. 7 50 87.811 87.515
10 7 5. 7 87 78.716 79.997
20 5 9. 0 55 64.661 67.680
50 3 2. 4 60 40.935 44.756
DISKONTO 10 PERSEN
5 7 9. 5 34 81.100 80.614
10 6 4. 4 69 68.528 70.099
20 4 4. 6 63 51.539 54.697
50 2 0. 8 06 28.829 31.439
Diadaptasi dari: Harold Bierman, Jr. and Seymour Smidt,
The Capital Decision, 2d ed., New York: Macmillan, 1968
Dengan demikian, metode penyusutan dipercepat menghasilkan
penghematan pajak yang besar. Hasilnya demikian karena nilai tunai
dari penghematan pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak
tersebut semakin cepat terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan
cara memperpendek periode penyusutan atau membolehkan menyusutkan
jumlah yang besar pada awal-awal masa guna aset) akan mengurangi
tarif efektif pajak dengan menunda tanggal jatuh tempo dari kewajiban pajak.
Dari sudut pandang investor, percepatan ini ekivalen dengan pinjaman tanpa
bunga, dengan nilai tunai dari penghematan bunganya sama dengan nilai
tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan.
Netralitas Metode Penyusutan Ekonomis
Dari pemaparan di atas, dapat dibuktikan bahwa penyusutan yang
dipercepat lebih menguntungkan investor, terutama untuk investasi-investasi
pada aset yang berumur panjang. Dengan demikian, tarif penyusutan
tidak netral terhadap semua investasi.
Bila hanya melihat investasi tunggal, untuk menetralisasi pengaruh
tarif penyustan ini, pemerintah dapat memberlakukan aturan tarif pajak yang
dikombinasikan dengan tarif penyusutan yang menghasilkan perlakuan yang
netral atas semua investasi. Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan
penyusutan yang lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama
dengan suatu tarif pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih
cepat. Jika semua investasi sama, maka kombinasi apapun antara tarif pajak
dan tarif penyusutan tidak menjadi persoalan. Pada kenyataannya, berbagai
investasi berbeda dalam jangka waktu dan tingkat keuntungan sehingga
hasilnya akan berbeda untuk berbagai kebijakan yang dipilih. Pada untuk
keadilan, pajak harus netral dengan tidak boleh mendistorsi pola investasi.
Pola penyusutan seperti apakah yang diperlukan untuk memastikan definisi
penghasilan yang adil dan netral?
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Musgrave dan Musgrave (1989) aset
yang dapat disusutkan dipandang sebagai menghasilkan dua arus penghasilan.
Pertama adalah arus penghasilan positif berupa laba, yang timbul dari
penggunaan aset. Yang lainnya adalah arus penghasilan negatif, yang
ditimbulkan dari semakin memburuknya kondisi aset dan penurunan nilai
karena keusangan. Bila kedua arus ini dijumlahkan, aset tersebut
menghasilkan arus laba bersih positif yang nilai tunainya adalah nilai aset
tersebut. Supaya perlakuan pajak netral, aset dengan nilai tunai arus
laba bersih yang sama harus mendapat beban pajak yang sama yang
didefinisikan sebagai nilai tunai pajak. Hal tersebut dapat dicapai
bila penyusutan dibebankan ketika nilai aset mengalami penurunan. Dengan
demikian, yang dikenakan pajak adalah arus penghasilan bersih yang
diterima setiap tahun.
Ingat, nilai aset sama dengan nilai tunai dari arus penghasilan bersih selama
masa manfaatnya. Nilai berjalan dari aset pada setiap waktu sama dengan
nilai kapitalisasi dari arus penghasilan di masa depan yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, penurunan dalam nilai berjalan sama dengan nilai
kapitalisasi dari penurunan arus penghasilan, yaitu biaya modal atau
penyusutan ekonomis yang harus dibebankan bersama-sama dengan biaya
lain dalam menghitung laba bersih.
Bila penyusutan pajak sama dengan penyusutan ekonomis, pengenaan pajak
akan mengurangi nilai dari arus penghasilan bersih sebesar persentase tarif
pajak yang berlaku. Tarif efektifnya akan sama dengan tarif nominal atau
tarif yang berlaku karena pengenaan pajak akan mengurangi nilai aset
dikalikan dengan tarif pajak. Tarif ini independen terhadap umur aset dan
karenanya tidak akan mendistorsi pilihan investasi di antara mereka. Jika
penyusutan dapat dipercepat, investasi yang lebih lama akan mendapat
keuntungan terbanyak dan juga mendapat manfaat dari tarif pajak efektif
yang lebih rendah. Oleh karenanya, pilihan-pilihan investasi akan terdistorsi
dan lebih banyak modal akan mengalir pada investasi-investasi yang lebih
lama. Hal sebaliknya akan terjadi bila tarif penyusutan pajak lebih rendah
daripada tarif ekonomis.
Dengan demikian, ada alasan kuat untuk menggunakan penyusutan
ekonomis. Akan tetapi, walaupun prinsipnya jelas, penerapannya tidak
mudah. Aset-aset tidak aus secara seragam dan juga menjadi usang sebelum
sempat digunakan sepenuhnya. Tingkat keusangan akan berbeda dan tidak
dapat diprediksi dengan mudah. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah
memakai masa manfaat seperti yang biasa dipakai dalam praktek bisnis
dengan asumsi bahwa masa manfaat yang dipercepat merupakan masa
manfaat yang “sebenarnya” dan jejak waktu dari arus penghasilannya.
Pembebanan Sekaligus
Biaya gaji dan bahan mentah dikurangkan ketika pembayaran
dilakukan atau ketika terjadi. Biaya-biaya ini langsung dibebankan. Pada
pengeluaran modal pembebanan ini disebar ke dalam beberapa periode. Akan
tetapi, ada kemungkinan pengeluaran modal tersebut dibebankan secara
ekstrim sekaligus pada satu periode ketika pembayaran pengeluaran modal.
Seorang investor yang melakukan investasi tunggal, ia mungkin tidak akan
dapat memanfaatkan penyusutan sekaligus ini karena ia harus memperoleh
pendapatan (laba) yang cukup untuk ditandingkan dengan beban penyusutan
ini. Bila suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat
dikurangkan dengan penyusutan sekaligus ini, investor tidak perlu membayar
pajak dan pemerintah tidak memperoleh pendapatan pajak.
Misalnya, A menginvestasikan uang Rp100 juta pada aset X dan
segera membebankannya sebagai penyusutan sebesar Rp100 juta. Karena A
belum mendapatkan penghasilan dari X, A menderita kerugian sebesar Rp100
juta. A kemudian membebankan kerugian ini pada laba dari aset Y (yang
jumlahnya
lebih besar daripada Rp100 juta), sehingga mengurangi kewajiban pajak dari
penghasilan aset Y. Dengan tarif pajak 30%, penghematan pajaknya
akan sebesar Rp30 juta. A kemudian menambahkan sejumlah ini ke dalam
investasi pada X, membebankan tambahan Rp30 juta sebagai penyusutan,
mendapatkan penghematan pajak sebesar Rp9 juta, dan seterusnya. Bila
kegiatan serial ini diulangi terus-menerus, A akan berinvestasi pada X sebesar
Rp100 juta + 0,30
2
x Rp100 juta + 0,30 x Rp100 juta . . . . = Rp142,857 juta. Jika penghasilan
A
atas investasi pada X dengan cara ini dikenakan tarif pajak 30% akan sama
posisinya dengan berinvestasi pada X sebesar Rp100 juta dan tanpa pajak.
Penyusutan segera dengan reinvestasi secara terus menerus dari penghematan
pajak yang didapat menghilangkan beban pajak.
Dalam praktek, hal ini tidak pernah bisa sampai sejauh pemaparan di atas.
Aturan pajak biasanya hanya membolehkan sebagian (misalnya sepertiga)
dari biaya investasi yang dapat diperoleh kembali dengan penyusutan
segera. Dalam hal ini, hanya sepertiga dari pajak yang akan dihapuskan.
Pendekatan ini sering disebut sebagai cadangan awal (initial allowance) yang
merupakan cara yang netral dalam memberikan insentif investasi. Suatu
sistem yang membolehkan sebagian dari pajak dibiayakan dan menyusutkan
sisanya sesuai dengan penyusutan secara ekonomis akan netral antara
investasi jangka pendek dan jangka panjang.
Penyesuaian terhadap
Inflasi
Dengan harga-harga yang selalu meningkat, perolehan kembali
investasi (penyusutan) berdasarkan harga perolehannya tidak akan
memberikan penghematan pajak yang cukup untuk mempertahankan
modal perusahaan dalam nilai riilnya. Pada akibatnya, penghasilan kena
pajak terlalu besar, menimbulkan kenaikan tarif efektif pajak yang
tersembunyi, bila diukur dalam nilai riil. Hal ini sangat relevan terutama
dalam periode inflasi tinggi.
Untuk menghilangkan permasalahan ini sekaligus mengatasi permasalahan
inflasi dengan benar, dua solusi: (1) basis penyusutan dapat diindeks
untuk naik sesuai dengan biaya penggantian; (2) seluruh penyusutan dapat
dilakukan pada tahun pertama sehingga menghilangkan pengaruh inflasi.
Sebagai subdisiplin ilmu dalam rangka ilmu ekonomi perusahaan, cost accounting terus berkembang.
Kalau dikatakan perkembangan ilmu pengetahuan mempengaruhi praktek bisnis, memang demikian
halnya dengan perkembangan ilmu dalam bidang cost accounting.
Sudah sejak lama, pimpinan perusahaan mempermasalahkan yang dinamakan laba. Laba adalah
jumlah uang yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi pokoknya. Maka, kalau ada pedagang paku
membeli 10 kg paku dengan harga Rp1.000 per kg, harga pokoknya Rp10.000. Ketika seluruh 10 kg
pakunya dijual dengan harga Rp1.500 per kg, sehingga memperoleh hasil penjualan Rp15.000, labanya
Rp5.000. Mengapa? Kalau Rp5.000 itu dipakai untuk membayar pajak dan dikonsumsi, sisanya adalah
Rp10.000, yang sama dengan modal pokoknya. Modal pokoknya utuh.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sudah sejak sangat lama orang mempertanyakan apa
betul labanya Rp5.000. Bagaimana kalau ketika si pedagang ingin memperbarui stoknya yang 10 kg itu,
harga per kilogramnya melonjak menjadi Rp1.200? Bukankah labanya Rp3.000? Mengapa? Karena
kalau laba dianggap Rp5.000 dan setelah dikenakan pajak dikonsumsi, sisa uang yang Rp10.000 kalau
dibelikan paku lagi sebagai barang dagangannya, kuantitas barang menyusut menjadi 10.000:1.200 =
8,33 kg. Supaya pokok dalam bentuk barang tidak menyusut, yang dinamakan pokok adalah 10 kg paku
dengan harga baru atau Rp12.000. Maka labanya hanya Rp3.000, karena kalau ini dipakai untuk
membayar pajak dan dikonsumsi volume perdagangannya tetap, yaitu 10 kg paku.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa laba akan sama saja, seandainya harga paku tidak naik dari
Rp1.000 menjadi Rp1.200 per kg. Dalam ekonomi yang harganya naik terus atau inflasi, tafsiran tentang
berapa besar laba yang diperoleh perusahaan menjadi lain, apakah yang dinamakan pokok itu jumlah
uang, ataukah yang dinamakan pokok jumlah barang dagangan. Dalam contoh di atas, inflasinya dari
Rp1.000 ke Rp1.200 atau 20 persen. Bagaimana kenyataan bahwa di tahun 1998 inflasi Indonesia 80
persen?
Mari sekarang kita lihat bagaimana jadinya dengan pedagang paku kalau yang diperdagangkan 1 juta
kg paku. Modal awal adalah 1 juta kali Rp1.000 = Rp1.000.000.000. Hasil penjualannya 1 juta kali
Rp1.500 = Rp1.500.000.000. Laba menurut fiskus Rp500.000.000. Jadi kena tarif 30 persen atau
Rp150.000.000. Laba bersih yang dapat dihabiskan untuk konsumsi adalah Rp350.000.000. Modal uang
masih utuh, yaitu Rp1.000.000.000. Sesuai inflasi, harga paku meningkat dengan 80 persen menjadi
Rp1.800. Modal uang yang utuh kalau dibelikan barang dagangan paku menjadi 1.000.000.000 : 1.800
= 555.555,56 kg. Jadi tinggal sebagian.
Dari sini jelas, pedagang paku sangat menderita penciutan kuantitas barang dagangannya sampai
hampir separuh, tetapi harus membayar pajak yang didasarkan atas keutuhan modal uang sebagai
harga pokok. Kita bayangkan berapa barang yang dapat dibeli dari laba bersih yang relatif sama jumlah
nominalnya, sedangkan harga barang konsumsi yang dibutuhkan tentunya juga meningkat sesuai
dengan inflasi atau sekitar 80 persen.
Tadi dikatakan bahwa seandainya tidak ada inflasi, apakah modal yang dipertahankan harus utuh itu
modal uang atau modal kuantitas barang dagangan, hasilnya sama saja. Tetapi kalau inflasinya hebat,
jelas bahwa mempertahankan keutuhan modal uang akan memperkecil volume perdagangannya secara
drastis. Pedagang tetap harus membayar pajak atas dasar keutuhan modal uang. Artinya, falsafah
fiskus menganut asas keutuhan modal uang, walaupun modal kuantitas barang menciut drastis.
Pedagang sudah menderita karena volume bisnisnya yang menyusut. Daya beli labanya dipangkas
drastis pula, karena barang-barang konsumsi kebutuhannya juga meningkat drastis.
Ketika di zaman orde lama inflasi berkecamuk hebat, modal pokok usaha tidak dinyatakan dengan uang,
tetapi dalam jumlah kilogram emas. Pengusaha mulai dengan modal yang sama dengan jumlah
kilogram emas tertentu. Hasil penjualan seolah-olah dipakai untuk membeli jumlah kilogram emas yang
sama. Kalau ada sisanya barulah dikonsumsi.
Benarkah pengusaha yang mendasarkan harga pokoknya atas jumlah kilogram emas? Benar kalau
tujuannya berusaha adalah mempertahankan jumlah kilogram emas tanpa peduli kuantitas barang
dagangannya menggelembung atau menciut. Kuantitas barang dagangan ini dengan sendirinya takkan
menggelembung atau menciut, kalau kadar inflasi barang dagangannya sama dengan kadar inflasi dari
emas. Kalau tidak sama, maka barang dagangannya bisa menggelembung atau menciut.
Aliran lain lagi, yaitu yang bertolak dari pikiran, bahwa tujuan pengusaha adalah mempertahankan paket
barang dan jasa untuk mempertahankan tingkat hidupnya. Bila ini tujuannya, maka laba harus dikoreksi
dengan angka inflasi yang ditentukan oleh paket barang dan jasa yang menjadi pola konsumsi hidup
yang dianggap wajar.
Yang mana pun yang dipilih, apakah kuantitas barang dagangan, jumlah kilogram emas, atau daya beli,
semuanya bertentangan frontal dengan falsafah yang melulu hanya menginginkan mempertahankan
keutuhan modal uang. Kalau inflasi menghebat terus, dan pedagang disuruh sejalan pikirannya dengan
pemerintah mengenakan pajak, yaitu modal pokok uangnya saja yang dipertahankan, dalam waktu
singkat, barang dagangan akan menjadi nihil. (Diadaptasi dari: Kwik Kian Gie, Kompas, 5 April 1999)
Menurut saudara, cara penghitungan laba kena pajak mana yang paling tepat diterapkan di
Indonesia? Diskusikan!
RANGKUMAN
§ Pengenaan pajak perusahaan dapat dilakukan sebagai
instrumen pengendali tingkah laku perusahaan. (1) Pengendalian terhadap
monopoli; (2) Membatasi ukuran atau besarnya perusahaan; (3)
Pembatasan laba; (4) Pemupukan modal atau pertumbuhan ekonomi; dan
(5) Insentif atau disinsentif investasi.
§ Dalam metode partnership, pemegang saham diperlakukan seolah-
olah adalah partner dalam suatu bisnis.
§ Metode integrasi tidak memerlukan penentuan laba kena pajak
untuk perusahaan. Pajak dikenakan atas semua capital gain, termasuk
yang belum direalisasikan.
§ Permasalahan yang mungkin timbul untuk pajak badan adalah: (1)
Hutang versus Modal Saham; (2) Natura; dan (3) Penyusutan. Bunga
diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah.
Bunga boleh dikurangkan dari penghasilan perusahaan kena pajak.
Pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan pribadi.
Pemilik dana cenderung untuk meminjamkan daripada melakukan
investasi saham. Integrasi penuh akan mengembalikan netralitas
perlakuan pajak.
§ Natura adalah penghasilan yang tidak berbentuk kas. Dengan
membayar dalam bentuk natura, perusahaan membantu pengawainya
mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka.
§ Dalam hal pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan
mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran terjadi. Tetapi
dalam hal investasi modal, pengurangan itu dilakukan selama beberapa
periode.
§ Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang lebih lambat
akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarif pajak
yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Pajak tidak
boleh mendistorsi pola investasi.
§ Seorang pemilik modal yang membeli aset dengan harga tertentu
dapat mengkreditkan dengan beban pajak yang harus dibayar sebesar
biaya perolehan.
§ Sebagian besar ekonom memandang beban pajak penghasilan
badan seharusnya jatuh kepada pemodal, sesuai dengan model ekonomi
kompetitif. Akan tetapi jika berada dalam situasi monopolistik,
perusahaan akan berusaha memindahkan beban pajaknya dengan harga
yang lebih tinggi.
LATIHAN
1. Sebutkan hambatan – hambatan dalam menerapkan prinsip keadilan,
pajak penghasilan WP badan!
2. Jelaskan perbedaan pandangan integrasi dan pandangan absolute
dalam pengenaan pajak atas suatu perusahaan!
3. Apa yang dimaksud dengan penerapan pajak atas pertimbangan manfaat?
4. Bagaimana bentuk pajak perusahaan yang tepat jika ada keinginan
untuk membatasi besarnya perusahaan? Jelaskan!
5. Jelaskan pengenaan pajak yang diterapkan, jika perusahaan ingin
meningkatkan pengeluaran konsumsi dan mendukung berfungsinya pasar
modal!
6. Jelaskan integrasi pajak secara penuh dengan metode :
a. Partnership
b. Capital Gain
7. Mana yang lebih menguntungkan, dari sisi permasalahan
perpajakan, memberikan pinjaman hutang atau menginvestasikan
uangnya untuk modal saham? Apa Alasannya?
8. Mengapa secara teori dianggap lebih menguntungkan
menggunakan metode penyusutan declining balance method?
9. Dilihat dari sisi kewajiban pajaknya, bedakan pengaruh investasi
tunggal dan investasi berkelanjutan!
10. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah inflasi dengan baik?
Jelaskan dan berikan contoh!
11. Mengapa tarif pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib
pajak pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perusahaan?
12. Bagaimana peran pemerintah dalam rangka membantu Usaha Kecil
dan Menengah untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak
penghasilan badan?
PAJAK KONSUMSI
sisi sumber suatu rumah tangga maka pajak penjualan didasarkan pada sisi
penggunaan suatu rumah tangga. Dalam pajak umum atas barang-barang
konsumsi, semua penggunaan dikenakan kecuali untuk menabung. Pajak
penjualan adalah pajak penghasilan bila definisi penghasilan mengacu pada
definisi yield income dari Irving Fisher.
Pajak penjualan merupakan pajak in rem yang berbeda dari
pajak penghasilan yang merupakan pajak pribadi. Oleh karenanya, dalam
pajak penjualan tidak ada situasi-situasi pribadi konsumen sebagaimana
halnya dalam pajak penghasilan individu, seperti aturan-aturan
pengecualian, pengurangan, dan tarif progresif. Oleh karena itu, pajak
penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan
horizontal.
Cukai
Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi
barang-barang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi,
seperti pajak penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu
seperti tembakau, gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak
atas pemerintah pusat.
Tahap Pengenaan
Keputusan mengenai tahap pengenaan didasarkan pada pilihan tahapan
terbaik untuk pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak
satu kali atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak
merupakan hal yang substantif dalam menentukan jenis pajak yang
akan diberlakukan,
pemilihan tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif
dalam rangka efisiensi pengenaan pajak atas basis yang dipilih.
Jenis PNB
Bila semua barang dan jasa final yang diproduksi dan dijual dalam suatu
periode, yaitu PNB, menjadi subyek pajak penjualan umum, pajak
tersebut akan dikenakan baik pada barang konsumsi maupun barang modal.
Pajak ini akan dibayarkan oleh penjual ketika produk dijual kepada pembeli
terakhir, baik oleh konsumen rumah tangga, oleh suatu perusahaan untuk
menambah persediaan barangnya, atau oleh suatu perusahaan untuk
pembelian barang- barang modal. Dengan PNB Indonesia sebesar Rp1.170
trilyun, pajak dengan tarif 5% yang mencakup semua barang tersebut akan
menghasilkan Rp58,5 trilyun pendapatan pajak bagi negara. Jumlah yang
sama dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan nilai tambah, yaitu
mengenakan pajak kepada setiap penjual dengan tarif 5 persen dari nilai
tambah, yang dihitung dari penerimaan kotor dikurangi dengan biaya
pembelian barang setengah jadi dari produsen sebelumnya dalam lini
produksi. Basis pajak pada setiap tahapan akan sama dengan penyusutan,
pajak, bunga, laba dan biaya-biaya. Pajak ini akan merupakan bentuk yang
paling komprehensif dari pajak pertambahan nilai dan disebut sebagai
pajak pertambahan nilai jenis PNB. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, pajak ini ekivalen dengan pajak penjualan yang diterapkan pada
barang konsumsi dan barang modal.
Jenis Penghasilan
Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya, juga
dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan pada produk neto.
Seperti kita ketahui NNP sama dengan PNB dikurangi cadangan untuk
konsumsi modal atau penyusutan. Pajak atas NNP dapat dikenakan
dalam bentuk beberapa tahapan dengan mengenakan pajak pada nilai bersih
yang ditambahkan oleh setiap perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan
sebagai penerimaan kotor dikurangi pembelian atas barang setengah jadi dan
penyusutan. Hasil yang sama dapat diperoleh dengan menerapkan pajak
penghasilan umum karena basis suatu pajak produk neto sama dengan
pajak
penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis penghasilan berbeda dari jenis
konsumsi. PPN jenis penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan
penyusutan sedangkan PPN jenis konsumsi membolehkan perusahaan
mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian barang-barang modal.
Pajak ini tidak dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari
barang pada saat penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini
mengharuskan pencatatan biaya-biaya penyusutan yang dibebankan oleh
semua produsen sepanjang lini produksi. Jadi, hanya pendekatan nilai tambah
yang secara praktis digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan pada
produk neto.
Jenis Konsumsi
Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan sebagai
pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian produk-
produk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga
pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-peralatan. Dengan
membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya,
yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini
akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi,
dengan perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja.
Pendapatan
01. Penjualan barang konsumsi - 70 151 221
02. Penjualan produk setengah jadi 120 145 - 265
03. Penjualan barang modal - 100 - 100
Biaya
05. Upah, bunga, laba, dsb. 100 80 90 270
06. Pembelian produk setengah jadi - 120 45 165
07. Penyusutan 20 15 16 51
Biaya Modal
09. Pembelian barang-barang modal - - 100 100
Basis-basis pajak
10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 120 195 6 321
11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 100 180 90 370
12. Basis GNP 120 95 106 321
Sumber: Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Public Finance in Theory and
Practice. 5th Edition. McGraw-Hill. New York: 1989. hal. 402
Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung
untuk setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan
dikurangi dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-
barang modal (baris 06 dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan
pada baris 11, dihitung untuk setiap perusahaan dengan cara penjualan
dikurangi dengan biaya barang-barang setengah jadi dan penyusutan (baris
06 dan 07). Basis PNB, seperti yang ditunjukkan pada baris 12, akan sama
dengan penjualan total (baris 04) dikurangi pembelian barang-barang
setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada setiap perusahaan ini
menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti yang ditunjukkan
pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan nilai dari
konsumsi, pendapatan nasional, dan PNB yang ditentukan dalam perhitungan
pendapatan nasional.
Metode Penagihan
Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita
akan menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan
dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan
barang modal.
Bila perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya.
Pertama, dikenal dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang
meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut.
Kedua, metode faktur, yaitu metode yang mengharuskan perusahaan
menghitung pajak brutonya dengan mengalikan tarif pajak terhadap total
penjualan dan mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah yang sama dengan
pajak yang telah dibayarkan oleh para pemasok yang barang-barang setengah
jadi dan barang- barang modalnya dibeli oleh perusahaan. Dengan
membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung pada penyajian bukti
setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode faktur memiliki
elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari bukti setor
tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah.
Simpulan
Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki
basis yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama.
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara kedua
pajak ini mengenai yang lebih baik. Satu perbedaan pandangan politis.
Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini “tampak”
berbeda sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan
eceran yang menyembunyikan beban pajak dari konsumen karena pajak
sering tidak disajikan terpisah dari harga konsumen. Jika pajak bruto
pengecer disajikan terpisah dari harga konsumen, konsumen akan menyadari
adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan politis, ada
beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting.
Jumlah pembayar pajak dalam pajak penjualan eceran lebih sedikit daripada
dalam pajak pertambahan nilai, sehingga memudahkan administrasi
karena para pengecer dapat diakses secara efektif. Di negara maju yang usaha
ritelnya sudah mapan, hal ini mudah dilakukan, tetapi di negara berkembang
di mana usaha ritel umumnya usaha kecil, pajak penjualan eceran tidak akan
efektif. Dalam pajak pertambahan nilai, pengecualian barang-barang modal
dapat dilakukan dengan lebih efektif daripada dalam pajak penjualan eceran
karena sulitnya menelusuri penggunaan barang-barang yang dibeli dari para
pengecer. Selain itu, dengan menggunakan metode faktur, pajak pertambahan
nilai memiliki elemen ketaatan yang tidak dimiliki dalam pajak penjualan
eceran.
Cukai
Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak
penjualan, kita menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan
kelompok penghasilan didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan
pola pengeluaran konsumsi atas produk yang dikenakan pajak. Beban dari
pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan
beban dari pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Cukai
cenderung regresif karena dikenakan atas barang-barang konsumsi massal,
seperti minuman beralkohol dan rokok. Konsumen dengan penghasilan
berbeda dikenakan tarif cukai yang sama. Cukai juga diskriminatif terhadap
konsumen dengan penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang
berbeda, mereka ini dikenai beban cukai yang berbeda. Konsumen yang
memiliki preferensi lebih pada produk-produk kena cukai membayar cukai
lebih banyak. Oleh karena itu, cukai memiliki peringkat yang rendah
dalam hal keadilan horizontal dan vertikal. Karena hanya dikenakan pada
barang-barang tertentu, cukai akan menimbulkan biaya efisiensi yang lebih
besar daripada pajak yang lebih umum.
Cukai tetap dikenakan karena berbagai alasan. Cukai umumnya dikenakan
kepada barang-barang konsumsi massal yang dipandang “kurang baik untuk
dikonsumsi”, seperti rokok dan minuman beralkohol. Cukai juga dikenakan
untuk memenuhi rasa keadilan karena barang-barang konsumsi tertentu hanya
dinikmati oleh konsumen-konsumen berpenghasilan tinggi. Cukai juga
dikenakan dalam rangka meminimalkan dead weight loss, tetapi hal ini belum
menjadi kebijakan yang telah diterapkan.
1
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Hal 405-406.
dengan mengecualikan capital gain tetapi memasukkan imputed rent dari
rumah-rumah yang dihuni pemiliknya juga warisan dan hadiah yang diterima.
Walaupun konsumsi rumah akan dimasukkan dengan cara memasukkan
komponen imputed rent, pembelian barang-barang konsumsi jangka panjang
(seperti mobil), akan diperlakukan sebagai konsumsi tahun berjalan, dengan
membolehkan penggunaan tarif rata-rata untuk menghindari ketidakadilan.
Pendekatan ini lebih sederhana daripada yang dipakai dalam pajak
penghasilan. Dilema dalam memperlakukan capital gain yang belum
direalisasikan tidak ada. Jika aset dijual, hasil yang diterima akan masuk ke
dalam basis pajak kecuali dikurangi dengan pembelian aset-aset lain
atau kenaikan dalam saldo-saldo aset. Tidak ada kebutuhan untuk
menentukan laba perseroan. Dividen akan muncul sebagai penerimaan, dan
capital gain yang belum direalisasikan, yang diperoleh dengan menahan laba,
bukan hal yang relevan sampai realisasi terjadi dan hasilnya disalurkan ke
dalam konsumsi. Permasalahan sulit dari akuntansi penyusutan juga akan
hilang. Penyesuaian terhadap inflasi hanya diperlukan untuk indeks tarif-tarif
pajak.
Dibalik kelebihan-kelebihan tersebut, pajak pengeluaran akan
memunculkan kesulitan-kesulitan baru. Sulit untuk memberlakukan metode
pemotongan dan pemungutan pajak dalam pajak pengeluaran untuk urusan
kemudahan administrasi pajak. Karena pemotongan pajak hanya dapat
dilakukan terhadap penghasilan penghasilan, maka harus ada suatu rasio yang
ditetapkan sebelumnya dari penghasilan terhadap konsumsi dan penghasilan
dikurangkan sebesar rasio ini untuk pemotongan pajak konsumsi. Selain itu,
pemotongan pajak dalam sistem tarif yang progresif mempersulit penerapan
karena tarif pajak yang tepat bergantung pada apakah penerimaan tersebut
akan dibelanjakan atau diinvestasikan kembali, suatu situasi yang
menyulitkan dalam dalam kasus penghasilan modal.
Permasalahan lainnya adalah pentingnya mencatat secara lengkap
saldo- saldo kas pada awal tahun. Bila tidak dilakukan, akan terjadi
penghindaran pajak konsumsi dengan menggunakan uang dari saldo-saldo kas
tersebut untuk konsumsi. Untuk memastikan peminjaman
dipertanggungjawabkan, pemberi pinjaman diharuskan untuk melaporkan
informasi mengenai pinjaman- pinjaman yang diberikan. Dengan demikian,
pengecekan silang akan lebih banyak dilakukan. Hal yang sama juga
diperlakukan untuk penjualan- penjualan aset. Untuk tujuan ini, wajib pajak
diharuskan untuk melaporkan neraca atau daftar harta mereka dalam SPT.
Evaluasi
Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan
kualitas perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip
kemampuan untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat
pada pajak penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi
merupakan cara yang lebih baik, akan tetapi ada hal yang harus
dijawab terlebih dahulu. Pertama, basis mana yang lebih baik (penghasilan
atau konsumsi). Kedua, bagaimana memperlakukan warisan/hibah. Apabla
sistem pajak berupaya mendukung kegiatan menabung, pendekatan pajak
pengeluaran lebih tepat daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotong-
potong dalam sistem pajak penghasilan.
Menggantikan pajak penghasilan dengan pajak pengeluaran akan
menyederhanakan beberapa hal penting, terutama yang berkaitan dengan
permasalahan inflasi. Akan tetapi, penggantian ini juga akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan baru seperti masalah pemotongan pajak. Pajak
pengeluaran juga tidak akan menghilangkan perlakuan-perlakuan khusus dan
loophole yang selama ini ada pada pajak penghasilan.
RANGKUMAN
§ Pajak konsumsi dikenakan dikarenakan adanya transaksi produk.
Pajak konsumsi dihitung dalam ukuran unit produk atau jumlah
penerimaan kotor. Pajak penjualan dapat dipandang ekuivalen dengan
pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga. Pajak
konsumsi didasarkan pada sisi penggunaan (pengeluaran). Porsi
penghasilan yang ditabung tidak dikenakan pajak. Pajak konsumsi tidak
memperhitungkan kondisi pribadi konsumen.
§ PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas konsumsi
barang- barang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri. Untuk konsumsi
barang- barang tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di
dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. PPnBM
hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor.
Yang termasuk barang bebas PPN antara lain: (1) barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya; (2) barang- barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak; (3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya; dan (4) uang, emas
batangan, dan surat-surat berharga. Adapun jasa bebas PPN antara
lain: (1) jasa pelayanan kesehatan, (2) jasa pelayanan sosial, (3) jasa
pengiriman surat dengan perangko, (4) jasa keuangan, (5) jasa keagamaan,
(6) jasa pendidikan dan lain-lain.
§ Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap
konsumsi barang-barang tertentu, seperti tembakau, gula, bensin dan
minuman keras. Pajak konsumsi daerah adalah jenis pajak konsumsi
yang diberlakukan pada tingkatan daerah dengan besarnya tarif pajak
bergantung pada peraturan masing-masing daerah, seperti Pajak Bahan
Bakar, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, dan lain-lain.
§ Pada pajak penjualan selektif, beban dari pajak atas barang-
barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan beban dari
pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Pajak ini memiliki
peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal; dan
menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak
penjualan umum. Kebijakan ini diambil untuk mengatur peredaran dan
konsumsi barang- barang yang dipandang kurang baik, seperti
rokok dan minuman beralkohol; atau dalam rangka meminimalkan
dead weight loss. Sedangkan pada pajak penjualan umum berbentuk
pajak penjualan eceran dengan tarif tetap atas pengeluaran konsumen.
Pajak ini proporsional
berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan
dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas
penghasilan menurun. Penghindaran atas pajak penjualan dapat dilakukan
dengan melalui warisan.
§ Pajak konsumsi dapat dikenakan atas penjualan barang berdasarkan
unit produk yang terjual, atau berdasarkan atas nilai produknya. Sebagian
besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan
berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai
tembakau dan cukai minuman keras. Sedangkan PPN dan PPnBM
merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad
valorem. Bentuk ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit dalam
rangka meminimalkan perubahan pilihan konsumen. Ini berarti bentuk ad
valorem dapat lebih meminimalkan dead weight loss suatu
kebijakan pajak (Musgrave and Musgrave, 1989).
§ Menurut metode total transaksi, pajak dikenakan berdasarkan
perputaran (turnover tax). Suatu produk dikenakan pajak berkali-kali
sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Hasil pajak
yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarif pajak yang
rendah. Penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif
sebesar 1% saja akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar
sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Metode turn over menimbulkan
diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui
banyak tahapan (piramida) produksi dan distribusi.
§ Perhitungan pajak menggunakan basis GNP akan mengenakan
pajak penjualan atas barang-barang konsumsi dan barang-barang produksi
(modal). Basis ini akan sama dengan yang dipakai dalam pajak atas
penghasilan kotor; atau perhitungan laba sebelum dikurangi biaya
penyusutan. Kelemahan dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar
prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari
semua sumber dikenakan pajak sepenuhnya dalam jumlah netonya.
Kelemahan dalam hal efisiensi, pajak akan memberikan perlakuan
diskriminatif dengan mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak
dikonsumsikan); dimana dalam pajak penghasilan tidak dikecualikan.
§ Tujuannya adalah mengenakan pajak pada total penghasilan bersih
atau Net National Product (NNP), yang sama dengan GNP dikurangi
cadangan untuk pembelian barang modal atau penyusutan. Pajak
dikenakan dalam beberapa tahapan pada nilai bersih yang ditambahkan
oleh setiap perusahaan. Nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan
kotor dikurangi harga pokok produksi dan penyusutan. Pajak
pertambahan nilai jenis
penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan
untuk jenis penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis konsumsi
membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian
barang-barang modal. Hanya pendekatan nilai tambah setiap
tahapan yang layak digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan
pada produk neto.
§ Pajak penjualan umum bertujuan mengenakan pajak yang
mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran
konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan komprehensif sebesar
10% menghasilkan revenue sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah
dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu
dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi
perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah),
konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dll. Total pengecualiannya
dapat mencapai 50% dari potensi penerimaan komprehensif.
§ Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran
terasa lebih baik karena memungkinkan pengenaan tarif ad valorem
yang seragam. Sedangkan pengenaan pajak ad valorem pada tingkatan
produksi, menghasilkan revenue yang tidak sama dengan pengenaan tarif
ad valorem pada tingkatan penjualan eceran. Hal ini dikarenakan rasio
harga eceran terhadap harga produksi tidak selalu seragam untuk berbagai
produk. Tarif yang berbeda untuk setiap produk sulit diaplikasikan dan
tidak efisien.
§ Jika pajak bersifat selektif, tahapan pengenaan tarif ad valorem akan
lebih mudah dilakukan pada proses produksinya. Proses identifikasi
pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, cenderung
akan lebih menguntungkan kemudahan administrasi pemungutan pajaknya
dibanding pada tingkatan eceran. Walaupun dalam situasi lain (misalnya
bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah),
identifikasi menggunakan kriteria bahan baku produk tidak
memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan
bentuk akhir dari produk pada tahapan penjualan eceran.
§ Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan
produksi lebih menguntungkan. Di negara berkembang, perkembangan
badan-badan usaha manufaktur cenderung lebih besar, lebih permanen,
dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha
eceran. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih
baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi
karena jumlah kegiatan penagihan yang lebih sedikit; walaupun hal ini
dapat menghasilkan revenue yang berbeda jika diterapkan pada tahap
penjualan eceran.
§ Pajak konsumsi dapat dikumpulkan dalam satu kali pengenaan, pada
titik penjualan final, atau dikumpulkan secara bertahap dengan
menggunakan prosedur nilai tambah. Walaupun ada perbedaan, basis nilai
tambah dari pajak konsumsi bertahap sama dengan basis penjualan akhir
secara eceran; hanya cara penagihannya yang berbeda. Dengan cara
kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-potongan dimana pajak
dikenakan pada tahapan- tahapan sepanjang proses produksi. Pemilihan
satu di antara keduanya lebih didasarkan pada pertimbangan lebih
mudahnya proses administrasi.
§ Pertama, dikenal dengan nama metode account, yaitu metode
yang meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung.
Menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah
penjualan dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang antara
dan barang modal. Kedua, metode faktur (invoice), yaitu metode yang
mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan
mengalikan tarif pajak terhadap total penjualan. Perusahaan kemudian
mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah pajak yang telah dipungut dan
disetorkan oleh para pemasok barang-barang antara dan barang-barang
modalnya.
§ Problema pajak konsumsi antara lain:
(1) Basis Konsumsi Kena Pajak; dimana analogi dengan pajak
penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu tahun
pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang
diperbolehkan, dan menerapkan tarif pajak progresif kepada jumlah
sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak.
(2) Warisan dan Hibah, sehingga seorang pembayar pajak dapat
menghindari pajak apabila ia memutuskan sebagian penghasilannya
digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima warisan/hibah tidak
membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak dikenakan pajak.
LATIHAN
1) Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi di Indonesia!
2) Bagaimana tahapan pengenaan pajak konsumsi dapat diterapkan?
3) Apa yang dimaksud dengan pajak penjualan atas nilai akhir sama
dengan jumlah pajak konsumsi atas pertambahan nilai?
4) Jelaskan metode-metode yang digunakan dalam penagihan
pajak konsumsi!
5) Dilihat dari sisi permasalahan politik, bagaimana dukungan
pajak pertambahan nilai dibandingkan dengan pajak penjualan?
6) Beberapa ahli berpendapat bahwa pajak penjualan selektif seperti
cukai bersifat regresif. Mengapa pemerintah tetap memberlakukan
cukai? Lengkapi jawaban Anda dengan contoh-contoh yang memadai
7) Jelaskan bagaimana efek penerapan pajak penjualan jika
dipandang menurut keadilan vertikal dan keadilan horizontal?
8) Bagaimana efisiensi penentuan basis konsumsi kena pajak
jika dianalogikan dengan penghasilan kena pajak?
9) Apa perbedaan pajak penjualan yang dikenakan atas turn over
dengan pajak atas ad valorem?
10) Didalam konsep pajak pengeluaran atas konsumsi, bagaimana perlakuan
atas warisan/hibah?
PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN WARISAN
teori Locke yang menyatakan bahwa negara adalah pelindung bumi dan
bangunan, yang dinyatakan pada akhir abad ke-17. Salah satu dari fungsi
dasar suatu negara, sebagaimana pendapat para ahli teori hukum alam, adalah
pelindung properti. Oleh karena itu, pemilik properti membayar kepada
negara untuk biaya-biaya negara tersebut.
Bila teori tersebut yang menjadi acuan, basis pajaknya adalah seluruh
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau dapat menggunakan basis pajak
kekayaan bersih, yaitu kekayaan wajib pajak dikurangi dengan kewajibannya.
Demikian juga, berdasarkan konsep ini, pendapatan dari pajak harus dibatasi
hanya sebesar biaya yang diperlukan untuk melaksanakan layanan
perlindungan, seperti biaya penegakan hukum, administrasi perundang-
undangan dan administrasi pengadilan. Walaupun berapa besarnya biaya
tersebut masih dapat diperdebatkan, yang pasti tidak semua biaya dari fungsi
negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Penggunaan pajak kekayaan
untuk mendanai fungsi lain, misalnya pendidikan atau kesehatan, tidak
memiliki dasar yang rasional.
Pada tingkat pemerintah daerah, penerapan alasan manfaat dapat menjadi
lebih spesifik lagi, pemilik properti diharuskan membayar untuk layanan-
layanan khusus yang meningkatkan nilai dari properti, seperti pembangunan
trotoar yang meningkatkan nilai gedung di belakang trotoar tersebut dan juga
perlindungan khusus oleh polisi pada daerah-daerah tertentu. Dalam kasus-
kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap properti
dapat diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau
lokasinya. Dalam kasus-kasus lain, manfaat yang dinikmati harus
diperkirakan secara relatif terhadap nilai dari properti. Dengan demikian,
suatu pajak khusus dapat dikenakan untuk mendanai suatu layanan tertentu.
Cara pengenaan seperti ini sangat tepat dikenakan pada pajak-pajak pemda
untuk mendanai layanan- layanan khusus tadi.
1
Ibid. hal. 419-420.
suatu aset yang menghasilkan Rp10 juta per tahun memiliki nilai
sebesar Rp100 juta. Sekarang asumsikan suatu daerah tempat aset
tersebut mengenakan pajak properti sebesar Rp5 juta untuk setiap Rp100 juta
nilai aset. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak ini sama dengan
pajak penghasilan sebesar 50 persen. Penghasilan bersih berkurang
menjadi Rp5 juta, yang bila dikapitalisasikan pada tingkat 10 persen akan
menurunkan nilai aset menjadi sebesar Rp50 juta. Jika pemilik aset yang
semula ingin menjual aset tersebut, ia harus menanggung kerugian pajak
tersebut karena pembeli akan meminta suatu tingkat pengembalian sebesar
10 persen, sama dengan tingkat pengembalian investasi-investasi lain yang
tersedia. Beban pajak jatuh pada pemilik aset mula-mula, yaitu pemilik
aset sebelum pengenaan pajak tersebut. Pemilik berikutnya yang membeli
aset tersebut akan melakukannya hanya pada harga yang lebih rendah
sehingga tidak dibebani oleh pajak tersebut. Kerugiannya telah
dikapitalisasikan dan tetap berada pada pemilik aslinya. Dalam jangka
panjang, bagian pajak yang mengurangi nilai dari tanah tidak berubah. Tanah
tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah pada daerah-daerah
berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang besarnya sama
dengan kapitalisasi bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada umumnya, kepemilikan tanah
lebih banyak pada wajib pajak berpenghasilan tinggi, maka beban pajaknya
bersifat progresif.
Situasinya berbeda apabila yang dikenakan pajak adalah modal, seperti
yang diinvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan) yang tidak
akan melekat selamanya. Dalam jangka panjang, modal ini akan pindah dari
daerah yang berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah. Pengeluaran
pemeliharaan atas aset-aset tua akan berkurang sehingga aset-aset
tersebut akan pensiun dan investasi baru pada daerah berpajak tinggi akan
menurun. Terjadi penurunan persediaan modal pada daerah berpajak tinggi
dan kenaikan persediaan modal pada daerah berpajak rendah. Tingkat
pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak tinggi akan naik
sedangkan tingkat pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak
rendah akan turun. Pergerakan ini akan terus berlangsung sampai tingkat
pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan
tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain. Seperti situasi pada pajak
perseroan, suatu pajak yang dikenakan pada modal dalam satu sektor
ekonomi akan dibagi bebannya oleh semua pemilik modal.
Seberapa besar perpindahan modal dari daerah yang berpajak tinggi
bergantung pada mobilitas keluar dari tenaga kerja. Jika tenaga kerja dapat
berpindah dengan segera, tenaga kerja tersebut harus dibayar sebesar apa
yang ia terima di tempat lain dan perpindahan modal akan semakin
besar. Jika
tenaga kerja tidak dapat berpindah, pajak akan dinyatakan dalam bentuk
pengurangan upah. Karena tenaga kerja yang tidak terampil cenderung kurang
mudah bergerak daripada tenaga kerja terampil, situasi seperti ini akan
memunculkan pengaruh regresif. Bila tenaga kerja pada daerah berpajak
tinggi cenderung merugi, tenaga kerja pada daerah berpajak rendah cenderung
beruntung. Demikian juga, pemilik tanah dan pemilik modal
lainnya. Pengaruh ini adalah yang paling penting bila dipandang dari
perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak berpengaruh
terhadap distribusi beban pajak.
Perbedaan Manfaat
Sebagaimana kenaikan dalam tarif pajak properti akan mengurangi nilai
dari properti dan mendorong perpindahan modal ke luar, demikian pula
penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai dari properti
dan menarik modal masuk. Sekolah, sarana rekreasi, jalan raya atau
layanan-layanan lokal
yang lebih baik akan membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang
lebih menarik untuk ditinggali dan menjadi lokasi bisnis. Perbaikan ini akan
meningkatkan permintaan akan rumah dan bangunan, mendorong pada
peningkatan nilai properti. Efek yang terjadi adalah kebalikan dari kenaikan
tarif pajak properti seperti yang diterangkan sebelumnya. Dengan demikian,
manfaat-manfaat dari pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi
harus lebih besar daripada beban pajaknya supaya nilai properti tidak turun.
Kombinasi pajak dan pengeluaran pemerintah daerah akan menyebabkan
nilai perumahan menjadi turun, tidak berpengaruh atau naik, bergantung
pada berapa besar pungutan pajak diperoleh dan berapa besar manfaat
yang diperoleh oleh properti.
Jika semua pajak properti dikenakan sesuai dengan prinsip manfaat, kedua
pengaruh tadi akan saling menghilangkan dengan nilai properti tidak
bergantung pada tarif pajak. Kenyataannya tidak demikian. Pajak
properti, seperti PBB, digunakan sebagai sumber pendapatan umum dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak
selalu sejalan dengan kontribusi pajak. Walaupun demikian, penyelidikan
empiris menunjukkan bahwa nilai properti berkaitan dengan pengeluaran
pemerintah yang memberikan manfaat kepada properti dan juga perbedaan
pajak, sehingga menyatakan secara jelas pentingnya mempertimbangkan
kedua aspek tersebut.
Pola-Pola Alternatif
Bagian pajak yang dikenakan atas tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan
tanah
tidak dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak.
Distribusi pembebanannya cenderung progresif.
Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai
sama dengan pajak penghasilan perseroan. Dalam kasus ini, kita dapat
mengasumsikan suatu pasar yang tidak sempurna dan mempostulasikan
bahwa sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan
kepada konsumen. Bagian dari distribusi beban pajak ini kemudian akan
menjadi regresif.
Yang tersisa adalah pajak atas rumah tinggal. Sebagaimana masyarakat
melihatnya, pajak ini dipandang sebagai pajak atas jasa-jasa konsumsi
perumahan. Karena pengeluaran perumahan akan menjadi bagian
yang semakin kecil sejalan dengan kenaikan skala penghasilan, pajaknya akan
bersifat regresif. Bagaimana pandangan pajak ini, yang merupakan pajak atas
pengeluaran perumahan, dapat direkonsiliasikan dengan interpretasi yang
lebih awal, yaitu pajak atas penghasilan modal? Perumahan dapat dipandang
sebagai pos investasi dan juga (dalam kasus perumahan yang ditinggali
pemiliknya) sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Karena itu,
pemilik yang menempati akan bersedia menerima sewa imputed yang
lebih rendah pada perumahan daripada pada investasi lainnya. Sebagian dari
beban pajak akan terserap dalam sewa-kepemilikan ini dan didistribusikan
sejalan dengan konsumsi dan bukannya dibagikan kepada semua penghasilan
modal.
Penjelasan di atas tidak berlaku untuk properti yang disewakan,
dimana pemiliknya hanya mempertimbangkan pilihan investasi. Jika pasarnya
kompetitif, modal yang diinvestasikan pada rumah sewaan akan meminta
tingkat penghasilan yang sama dengan modal-modal lain. Dengan demikian,
distribusi bebannya sejalan dengan penghasilan modal. Akan tetapi hasilnya
akan berbeda bila pasar sewa tidak sempurna sebagaimana yang sering terjadi.
Pajak dapat mengarah pada peningkatan batas atas sewa atau pelonggaran
dari penentuan harga monopoli yang dibatasi sebelumnya. Tingkat pajak
properti efektif cenderung akan tinggi pada lingkungan berpenghasilan
rendah dan sebagian disebabkan oleh pengenaan pajak pada tarif yang
lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan berpenghasilan rendah.
Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh penyewa.
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, basis total untuk suatu pajak
atas harta berwujud dan kekayaan bersih akan sama, yaitu sebesar Rp150.000.
Jika kita menagih sebesar Rp15.000 dari suatu pajak sebesar 10 persen atas
semua harta berwujud, A akan membayar sebesar Rp10.000 dan B akan
membayar sebesar Rp5.000. Jika kita mengumpulkan jumlah yang sama
dengan menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar
Rp9.000 dan B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini
menyarankan bahwa A akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih
sedangkan B akan lebih menyukai pajak properti. Akan tetapi, pasar akan
menyesuaikan sedemikian rupa sehingga ketika pajak atas properti
dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat bunga
yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan
bersih mereka dari investasi pada properti akan menurun. Pemberi pinjaman
harus puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian
beban pajak dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban pajak
akan sama dengan yang terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih,
yaitu sejalan dengan distribusi kekayaan. Jika suatu tarif proposional
dikenakan, pilihan di antara keduanya tidak ada permasalahan.
Sebaliknya, keduanya berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarif
progresif. Sesuai dengan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa
distribusi beban dari suatu tarif progresif pada properti (di mana basis A dua
kali basis B) akan berbeda dengan yang dikenakan pada basis kekayaan
bersih (di mana basis A hanya lebih besar 50 persen daripada basis B).
Karena pajak pribadi mengharuskan adanya pengenaan pajak berdasarkan
prinsip kemampuan untuk membayar, pajak atas kekayaan bersih adalah
bentuk yang paling baik dari pajak atas kekayaan.
A B A+B
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KHUSUS
Capital gain
Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai
berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya
sebesar harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan
untuk tujuan pengenaan pajak atas penghasilan modal pada saat penjualan
aset tersebut oleh ahli waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian
saja yang diperhitungkan, membuat peningkatan harga sebelum kematian
tidak dipajaki.
Bisnis Keluarga
Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak
ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga.
Salah satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat
membuat
ahli waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang
tidak menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini
sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan
yang liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun
demikian, pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak
harus melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara
keseluruhan atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar.
Konsekuensi yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan
terhadap kendali keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan
pajak apabila kekayaan yang diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.
RANGKUMAN
§ Pajak atas bumi dan bangunan adalah jenis praktek pajak kekayaan
yang paling sering muncul. Alasan kemampuan dimana pada masa lalu,
kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak)
merupakan kriteria yang paling mudah untuk menentukan kemampuan
untuk membayar. Dengan konsep kesetaraan, pajak kekayaan tidak
diperlukan apabila pajak penghasilan didefinisikan secara komprehensif
mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Dalam hal
konsep pajak atas konsumsi, pajak kekayaan dapat dibenarkan karena
alasan mengurangi penumpukkan kekayaan.
§ Alasan pengenaan pajak kekayaan atas dasar manfaat adalah
bahwa layanan-layanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan
bangunan. Oleh karenanya pemilik kekayaan dapat diharuskan membayar
kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Tidak semua biaya dari
fungsi negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Dalam kasus-
kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap kekayaan dapat
diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau
lokasinya. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai pendidikan,
misalnya, tidak memiliki dasar yang rasional.
§ Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi
kekayaan berbeda dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam
distribusi konsumsi, dan karenanya masyarakat perlu menanganinya
secara terpisah. Basisnya lebih tepat didefinisikan sebagai kekayaan kotor
daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan
cakupan kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya.
§ Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari kekayaan
telah diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Alasan
efisiensi karena tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu excess
burden. Karena pengembalian atas tanah berada dalam posisi
penawaran yang tidak elastis. Alasan keadilan karena kenaikan nilai
tanah dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil.
Selain itu, pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong
penggunaan tanah yang lebih intensif.
§ Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal terjadi,
tidak ada perbedaan karena harga pasar dari kekayaan sama dengan nilai
kapitalisasi dari penghasilan aktual. Dalam kenyataannya, nilai
kapitalisasi penghasilan aktual dan nilai pasar tidak selalu menghasilkan
angka yang sama. Jika kekayaan kurang didayagunakan, pengenaan pajak
berdasarkan basis penghasilan aktual akan menyajikan nilainya yang
terlalu rendah. Perbedaan lainnya ada dalam risiko yang ditanggung. Jika
terdapat perbedaan hasil, basis pengenaan pajak yang paling baik
adalah pendekatan nilai pasar; karena memperhitungkan adanya perbedaan
tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut.
§ Pajak tanah telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang
paling kecil kemungkinannya menghambat insentif investasi real estate.
Dalam prakteknya, pengenaan pajak tanah dapat berakibat sebaliknya.
Terutama pada kota-kota besar dan negara-negara maju, pengenaan pajak
atas pematangan tanah telah menghambat investasi perumahan, terutama
investasi untuk rumah-rumah murah.
§ Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara
untuk menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia
tua dan keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan
circuit breaker. Circuit breaker berupa kredit pajak dapat berakibat pajak
negatif.
§ Dengan asumsi pasar modal dan prosedur penilaian yang sempurna,
suatu pajak yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera
diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang
diperoleh dari aset tersebut. Dalam jangka pendek beban dari pajak atas
penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai dari
kekayaan. Dalam jangka
panjang, untuk barang tetap: pemilik tanah pertama akan menderita
kerugian permanen yang besarnya sama dengan kapitalisasi beban pajak.
Untuk barang bergerak: modal ini akan pindah dari daerah yang berpajak
tinggi ke daerah yang berpajak rendah; akan terus berlangsung sampai
tingkat pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak
tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain
§ Dalam menyikapi pajak nasional dan pajak lokal, kebijakan suatu
pemda hanya memperhatikan bagian yang penduduknya: keuntungan dari
penggeseran beban pajak kepada pihak luar melalui pemajakan atas
modal yang dimiliki oleh bukan penduduk lokal, dan bahaya kerugian
pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Semakin besar
perpindahan modal berarti semakin kecil pendapatan yang diperoleh.
Semakin besar kenaikan sewa berarti penurunan penghasilan oleh
penduduk daerah yang berpajak tinggi.
§ Penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai
kekayaan dan menarik modal masuk. Perbaikan layanan publik ini
pada akhirnya akan meningkatkan permintaan rumah dan bangunan,
mendorong peningkatan nilai kekayaan, dan karenanya menimbulkan efek
kebalikan dari kenaikan tarif pajak kekayaan. Pajak kekayaan dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya
tidak selalu sejalan dengan kontribusi wajib pajak.
§ Keberatan utama atas pajak kekayaan datang dari individu yang
memiliki banyak rumah sebagai investasinya. Walaupun investor pada
jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi dalam kerangka pajak
kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah dibanding
kombinasi pajak kekayaan, pajak penghasilan perorangan, dan pajak
penghasilan perseroan yang diderita investor saham.
§ Kebijakan distribusi beban pajak properti pada dasarnya berbentuk:
pajak atas tanah dan pajak atas bangunan. Lebih lanjut, pajak atas
bangunan dibedakan menjadi bangunan komersial dan bangunan
perumahan. Pajak atas tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis.
Distribusi pajak atas tanah progresif. Pajak yang dikenakan pada
bangunan komersial dapat dipandang sebagai sama dengan pajak
penghasilan badan. Dalam pasar yang tidak sempurna, sebagian dari
pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada konsumen.
Distribusi pajak bangunan komersial regresif. Rumah tidak hanya dapat
dipandang sebagai pos investasi, tetapi juga dipandang sebagai barang
konsumsi yang tahan lama (ketika rumah ditempati pemiliknya). Pajak
atas bangunan perumahan dapat dikenakan
sebagai pajak konsumsi atas jasa-jasa perumahan. Karena pengeluaran
konsumsi rumah tinggal akan semakin kecil sejalan dengan kenaikan
skala penghasilan rumah, pajaknya bersifat regresif. Tarif pajak kekayaan
yang tinggi di kota-kota metropolitan, sebagian dibayar oleh masyarakat
berpenghasilan rendah.
§ Praktek pajak kekayaan di seluruh dunia, yang diterapkan hampir
seragam sebagai pajak in rem, atas tanah dan bangunan sering tidak
mengarah pada pajak perseorangan dan tidak atas basis kekayaan bersih.
Pajak atas kekayaan bersih umumnya dikenakan sebagai pajak pusat.
Definisi dari aset kena pajak biasanya mencakup aset berwujud dan aset
tak berwujud dan dalam banyak kasus semua kewajiban atau hutang
berkaitan kepemilikan aset dapat dikurangkan.
§ Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan
untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang
pribadi; bukan perseroan. Sedangkan kekayaan bersih perusahaan harus
diperhitungkan kepada pemiliknya (sebagai orang pribadi). Semua
aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak
berpenghasilan diperhitungkan. Demikian juga, semua kewajiban hutang
dikurangkan.
§ Menghitung kekayaan bersih menghadapi permasalahan dalam
hal penilaian aset (asset valuation) dan menentukan hutang-hutang yang
dapat dikurangkan. Penilaian aset menggunakan estimasi, harga pasar, dan
harga pokok dengan penyusutan. Prinsip self enforcement dapat
digunakan dimana pembelian aset dapat dikeluarkan dari basis pajak
konsumsi, tetapi harus menambah jumlah basis kekayaan bersih kena
pajak.
§ Pengenaan tarif pajak kekayaan proposional (flat) tidak menghasilkan
nilai yang berbeda untuk basis kekayaan bruto dan neto. Hal ini dengan
asumsi tidak ada hutang publik dan pasar yang kompetitif akan
menyesuaikan perbedaan nilai yang didapat dari kedua metode.
Sebaliknya, hasil distribusi akan berbeda apabila pajak diterapkan dengan
tarif progresif.
§ Hutang Publik (klaim kepada pemerintah) dapat menambah
kekayaan seseorang tanpa mengurangi kekayaan orang lain. Walaupun
pasar akan tetap menyesuaikan, tetapi pola distribusi beban pajak
kekayaan tidak sama antara metode kekayaan bruto dengan metode
kekayaan bersih.
§ Bea atas modal dikenakan sekali untuk selamanya. Metode ini
telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasi-situasi mendesak
seperti reformasi moneter untuk menghentikan hyper inflasi setelah
perang. Sifat pungutan yang sekali untuk selamanya tidak mengganggu
perekonomian
secara keseluruhan. Tetapi jenis pajak ini tidak termasuk bagian
dari struktur pajak normal.
§ Pajak warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang dikenakan
satu kali saja, yaitu pada saat pemindahan dengan mewariskan atau
menghibahkan. Pajak warisan dapat diterapkan pada tingkatan
nasional maupun lokal. Pajak warisan mendapat perhatian luas karena
filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan
distribusi kekayaan.
§ Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas
jumlah yang diterima oleh ahli waris. Jika tarif pajak yang dipakai tidak
proporsional (flat), perbedaan basis pengenaan dapat menimbulkan
perbedaan jumlah pajak.
§ Pajak warisan bermanfaat untuk: membatasi hak seseorang
untuk membagikan hartanya pada saat meninggal, membatasi hak
seseorang untuk memindahkan kekayaannya ke generasi-generasi
berikutnya, membatasi hak seseorang untuk mendapatkan kekayaan dari
warisan, misalnya karena tanpa usahanya sendiri, mencapai distribusi
kekayaan yang lebih adil serta menghindari konsentrasi kekayaan,
melengkapi pajak penghasilan, dan menjadi alternatif dari pajak atas
penghasilan modal selama masa hidupnya. Pilihan antara pendekatan (1)
pajak atas warisan atau (2) pajak kepada ahli waris bergantung pada
tujuan-tujuan yang akan dicapai. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya
tidak harus saling menghilangkan (mutually exclusice).
§ Permasalahan khusus dalam pajak warisan antara lain: (1) Capital
gain dimana pajak warisan dinilai berdasarkan harga pasarnya pada saat
pemiliknya meninggal, bukannya harga perolehan aslinya. (2) Status
pernikahan dimana warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang
masih hidup bebas dari pajak. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak
dan anggota keluarga lainnya. (3) Lembaga sosial dimana
sumbangan sosial dikecualikan dalam pajak warisan. (4) Bisnis keluarga
dimana para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak ini
mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga.
LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi!
2. Sebutkan dan jelaskan metode-metode yang digunakan dalam
penagihan pajak!
3. Jelaskan dan berikan contoh, tahapan pengenaan pajak yang tepat
pada saat :
a. Produk sedang diproduksi (dibagi pertahapan
produksi). b. Produk selesai diproduksi.
c. Produk siap dipasarkan secara eceran.
4. Dilihat dari sisi permasalahan politik, apa perbedaan Pajak Pertambahan
Nilai dengan pajak penjualan?
5. Cukai hanya dikenakan pada barang-barang tertentu dan
membutuhkan biaya ekstra, tetapi mengapa pemerintah tetap
memberlakukan cukai? Apa alasannya?
6. Jelaskan bagaimana keadilan vertikal dan keadilan horizontal suatu
pajak penjualan umum?
7. Bagaimana cara menentukan konsumsi tahunan wajib pajak?
8. Apa yang dimaksud dengan pajak warisan?
9. Jelaskan manfaat pajak warisan!
10. Mengapa pajak kekayaan dapat dipandang sebagai pelengkap atas
pajak penghasilan?
11. Bagaimana efek pengenaan pajak dalam pajak atas warisan
yang dipergunakan sebagai kontribusi bagi lembaga sosial?
12. Bagaimana pengenaan pajak apabila kekayaan yang diwariskan
dalam bentuk bisnis keluarga?
PAJAK INTERNASIONAL
Efisiensi
Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari
kegiatan perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya
yang paling efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya
akan lebih rendah apabila dia menanamkan modal di Vietnam
daripada di Indonesia, maka Mr C akan menanamkan lebih banyak
modalnya di Vietnam. Dengan demikian, permasalahannya adalah bagaimana
mengelola pengenaan pajak atas pendapatan dan investasi internasional
sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal secara global. Kondisi ini
akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi ditentukan oleh
keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang merupakan
persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi dimodifikasi oleh
perbedaan biaya pajak.
Pajak Penghasilan
Internasional
Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak
berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber
pendapatan. Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa
penduduk akan dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa
memperhatikan darimana sumber penghasilan yang diperolehnya baik
pendapatan yang diperolehnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi
yang bukan merupakan penduduk tidak akan ditarik pajak terhadap
pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut. Yang berkaitan erat dengan
asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi subjek pajak. Artinya,
seseorang subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk dalam negeri
(resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini
tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu,
setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda
dari negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya.
Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan bahwa
seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan
pajak, tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut,
baik itu warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu
negara tidak akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya
di luar negeri dan warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan
pendapatan penduduk yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber
penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan
itu sendiri dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-
undang pajak dari suatu negara. Pada umumnya, untuk menentukan letak
sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan dibagi menjadi dua, yaitu:
§ Penghasilan dari usaha (active
income).
§ Penghasilan dari modal (passive income), misalnya dividen, bunga,
royalty dan penghasilan dari harta.
Pajak Komoditi
Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak sumber pendapatan
pada pajak penghasilan internasional, terdapat dua prinsip pajak komoditi
yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai)
yakni prinsip pajak tujuan dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak
tujuan, barang atau jasa yang dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik
barang atau jasa tersebut dibuat di dalam negeri ataupun barang import. Jadi
barang-barang impor akan dikenakan pajak sedangkan barang-barang ekspor
dibebaskan dari pajak. Menurut prinsip pajak sumber, segala barang
maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir pada suatu negara
akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun asal produksi.
Pajak Konsumsi
Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak
akan mempengaruhi lokasi produksi kecuali jika terdapat diskriminasi antara
barang produksi dalam negeri dan barang impor, sebagai contoh pajak dalam
bentuk bea masuk dan cukai. Misalkan negara A mengenakan pajak
terhadap konsumsi secara umum atas semua produk yang diproduksi di dalam
negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan
karena harga relatif antara produk dalam negeri dan produk impor tidak
berubah. Pajak konsumsi umum bisa mempengaruhi tingkat perdagangan
tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi yang baru) masih
akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.
Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak
hanya terhadap produk impor saja (melakukan diskriminasi). Yaitu jika
terhadap impor dikenakan bea masuk. Pajak ini akan menyebabkan perbedaan
harga relatif antara produk domestik dan impor, sehingga produk dalam
negeri akan mensubstitusi impor. Dengan menurunnya impor, nilai mata uang
A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor dari A juga akan menurun
sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat perdagangan yang lebih
rendah dan dengan kondisi komposisi produksi yang kurang efisien
diantara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan melemahkan
perdagangan yang efisien, dewasa ini telah banyak cara diupayakan untuk
mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis.
Pajak Produksi
Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin
taxes), kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi
meskipun tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri.
Pertama-tama anggaplah bahwa negara B mengenakan pajak penjualan umum
(misalnya PPN) sebesar 10 persen terhadap barang lokal dan barang impor.
Akibatnya, harga barang di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut.
Karena merasa bahwa harga produk lokal, misalnya X, dalam negeri telah
naik jika dibandingkan dengan harga produk impor X, konsumen negara B
akan memperbesar impor X. Konsumen negara A akan merasakan hal
sebaliknya.
Eksportir negara B akan menambahkan pajak tersebut ke harga produknya,
misalnya Y, sehingga harga barang impor Y bagi konsumen negara A
menjadi lebih mahal sehingga impor Y akan dikurangi. Jika kurs valuta asing
bersifat fleksibel, kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan
permintaan atas mata uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A
terhadap B. Ini akan menghambat keinginan konsumen B untuk menambah
impor X dan keinginan konsumen A untuk mengurangi impor Y. Pada
akhirnya, perbandingan harga antara ekspor dan impor tidak akan berubah
dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh.
Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya
pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali
lagi konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan
mensubstitusinya dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya
impor A atas barang Y (asumsi ekspor A atas barang X ke B tetap), nilai mata
uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen A menjadi naik
dan karena itu impor Y dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai
pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan
distribusi lokasi produksi. Negara A kemudian memproduksi lebih banyak
barang Y dan mengurangi produksi barang X. Sebaliknya, penurunan ekspor
dan konsumsi produk Y di negara B lambat laun akan membuat
negara tersebut memproduksi lebih banyak barang X daripada sebelumnya
dan menjadi tidak efisien. Karena itu, pengenaan pajak ekspor di negara B
menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul
akibat dikenakannya bea masuk atas barang impor di negara A.
Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya negara B memberikan
penghapusan pajak atas barang yang diekspornya. Tindakan B akan
membatalkan efek kenaikan harga barang impor di negara A sehingga
tidak perlu mensubstitusinya dengan memproduksi di dalam negeri. Dengan
dihapusnya pajak atas barang ekspor oleh negara B, maka pajak atas
barang impor di negara A dapat diubah dari pajak produksi (origin taxes)
menjadi pajak konsumsi (destination taxes). Artinya hal itu sejajar dengan
pajak penjualan umum atas seluruh produk di negara B yang seperti
telah kita lihat sebelumnya. Pajak penjualan umum tidak mendistorsikan
lokasi produksi sejauh dikenakan secara umum terhadap produk impor
dan produk dalam negeri.
Efek distorsi efisiensi perekonomian internasional juga akan terjadi
jika negara B memajaki produk lokal X tetapi tidak terhadap produk impor
X. Konsumen B dalam hal ini akan melakukan substitusi dengan produk
impor X dan penyesuaian selanjutnya akan terjadi. Pada akhirnya, tingkat
perdagangan riil akan naik tetapi lokasi produksi akan mengalami distorsi.
Makin banyak X
diproduksi di A atau makin banyak Y diproduksi di B daripada sebelumnya.
Distorsi dalam hal ini bisa dihindarkan jika B juga mengenakan bea
masuk atas X untuk mengkompensasi pajak produk lokal X.
TAX TREATY
Tax Treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan suatu
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
mengantisipasi pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Perjanjian ini akan digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan
aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul
yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai dengan transaksi
yang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih
sama, sebagai bagian dari konvensi internasional dimana setiap negara yang
terlibat dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing-masing
berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada
dasarnya terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty merupakan suatu kontrak yang
mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan.
Oleh karena itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak
tertentu. Pasal-pasal ataupun ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax
treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu
bagian yang mengungkapkan (1) cakupan tax treaty, bagian yang
mengatur (2) minimalisasi pajak berganda, bagian tentang (3)
pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup (4) ketentuan
lainnya.
Residence
Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi
penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu
tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas
suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap
orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara –
seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-
sebab lain
yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di
negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah subjek pajak dalam negeri
suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan lokal yang berlaku di negara tersebut. Perundangan nasional
dari banyak negara umumnya mengenakan pajak berdasarkan hubungannya
dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto Surachmat, 2001). Artinya,
pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan tempat tinggal, tetapi
juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut. Dalam klausul ini
juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat langsung
dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang
pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara
berdasarkan asas world wide income. Hal ini bisa terjadi karena setiap
negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan
versinya masing-masing.
Menyadari efek-efek negatif tersebut, pasal residence selanjutnya mengatur
langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan
ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule. Tie breaker rule dibedakan
menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan
untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari
penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and
social interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial), habitual abode
(tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta
mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan). Langkah-langkah
tersebut secara berurutan bersifat prioritas, artinya apabila dengan
menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa
dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi.
Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada
satu ketentuan yaitu tempat di mana manajemennya efektif berada.
Permanent
Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Pada jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara
sendiri. Di negara lain pun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di
negara lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di
negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima.
Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-
batasan ataupun aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan, yang
sekaligus merupakan investasi di negara tersebut, tetap berjalan dengan baik.
Cerminan dari batas atau aturan
tersebut adalah ketentuan tentang permanent establishment atau Bentuk
Usaha Tetap (BUT). Contoh-contoh dari BUT dapat dikategorikan menjadi
empat macam yaitu:
§ BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling
mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik
seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain.
§ BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya
aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan
di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai
macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnya). Lamanya time
test yang digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax
treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua
negara.
§ BUT Asuransi. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan
dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung
risiko di negara lain.
§ BUT Keagenan. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara
lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus
barang-barang dagang di negara lain.
Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap
tidak muncul seperti dalam hal tempat yang hanya berfungsi untuk memajang
barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk pembelian
barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.
Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty.
Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh
kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty
dengan cara
mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
Business Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment
yang mengatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk
suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan
dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner
mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu
negara. Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya
dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Namun apabila penduduk suatu
negara mendapatkan penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya,
maka negara treaty partner tersebut berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan usaha yang
dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui BUT,
maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili
(Rachmanto Surachmat, 2001)
Bisnis Transportasi
Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan
perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional.
Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan
dari beberapa
negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya
maka perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan
menanggung beban pajak yang terlalu besar. Dalam menghadapi
permasalahan ini pada umumnya diatur dua alternatif pengenaan pajak.
Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara tempat di
mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan alternatif
pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian kapal
laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus.
Dividends
Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari
suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas
penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen
baik yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar
negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan
mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam
klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak
mengenakan pajak atas dividen tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan
tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen
tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio
(saham dengan kepentingan semata mata investasi) dan untuk dividen
dari penyertaan langsung ( saham dengan kepentingan kontrol)
Interest
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang
diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang
bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat penghasilan bunga
berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga
tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen, artikel bunga pun mengatur
tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen
berasal.
Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang
diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan
bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti di samping
mengatur bahwa negara tempat di mana royalti berasal dapat
mengenakan pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati.
Capital Gains
Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan
pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur
bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak
untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini
adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam
bukunya, Rachmanto Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan
pajak atas keuntungan karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk
berusaha harus diberikan kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak
mengenakan pajak atas business profit (negara tempat perusahaan
berdomisili), tanpa membedakan apakah keuntungan itu diberlakukan
sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan penghindaran pajak
berganda tidak memerlukan aturan khusus yang membedakan capital gain
dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang undang pajak
domestik masing-masing negara.
Director’s Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang
diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara
lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini
dinyatakan bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam
kapasitasnya yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di
negara domisili perusahaanya tanpa memandang jangka waktu
keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan prinsip
pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur
dalam klausul dependent dan independent personal services yang
menggunakan syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek
pemajakan. Menurut Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk
menyederhanakan pengenaan pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana
kegiatan pekerjaan dilakukan – dalam kedudukannya sebagai anggota dewan
direksi – adalah sulit. Fungsi sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara
dimana ia berdomisili, karena itu yang diberikan hak pemajakan adalah
negara di mana pihak yang membayarkan gaji berkedudukan. Namun
demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi murni sebagai seorang
direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak lagi mengikuti
ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya disesuaikan
dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur tersebut. Jika
direktur tersebut melakukan tugas-tugas manajerial misalnya, aspek
pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun
apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, aspek
pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent
personal services.
Government Services
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang
diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan
atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada
negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang
diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai
negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu
negara dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka
penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.
Transaksi Internal
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di
kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di
mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar.
Harga yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak
wajar itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara
yang lainnya. Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari
pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang
bersangkutan
diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian penyesuaian
sehubungan dengan pergeseran laba tersebut.
Exchange of Information
Klausul ini mengatur tentang perjanjian pertukaran informasi antar otoritas
pajak di kedua negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya
pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu
senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau
penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi
berdasarkan permintaan.
KETENTUAN LAIN-LAIN
Adapun ketentuan-ketentuan lainnya yang biasa muncul dalam tax treaty
meliputi: (1) perlakuan tanpa diskriminasi, (2) prosedur penyelesaian
perselisihan, dan (3) pajak atas utusan diplomatik.
Non Discrimination
Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan
yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan
warga negara. Secara khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam
bukunya menyatakan bahwa klausul ini adalah aturan dalam hukum
internasional yang memberikan perlindungan dari diskriminasi. Suatu
negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan
perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya. Perlakuan
perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi
yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh
menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh
warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan
kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang
terikat perjanjian.
KOORDINASI PENGELUARAN
Di antara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah,
terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama
dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di
perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha
bersama dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar
bersama. Semua ini menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang
harus dipikul. Jika jumlah anggota kelompok atau pesertanya kecil,
pembagian beban biaya bisa dirundingkan dengan membandingkan manfaat
yang akan diperoleh setiap pihak. Khusus mengenai pertahanan, kerja sama
akan lebih menguntungkan negara sekutu yang kecil karena peningkatan
pertahanan yang kecil sekalipun oleh negara sekutu yang besar akan
merupakan tambahan perlindungan yang sangat berarti bagi sekutu kecil
tersebut. Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip
dengan masalah penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan
(assesment rate) yang proposional digunakan, setiap negara mungkin akan
diharuskan untuk membayar dalam persentase GNP atau persentase
pendapatan nasional yang sama. Jika perhitungan progresif
digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif tersebut hanya
dikaitkan dengan pendapatan per kapita dari penduduk di berbagai
negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar).
Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan
kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban
biaya ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-
kali. Prosedurnya adalah: biaya total dibagi diantara negara anggota sesuai
perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak
proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per
kapita. Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah
ketentuan seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi
minimum, dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu
negara, dengan bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh
Amerika Serikat.
Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi
dana moneter internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang
diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan
sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang
kira- kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua
kontribusi ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau
penyimpanan bagi negara tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk
NATO, yang melibatkan jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu
dasar perumusan yang ditetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada
negosiasi. Amerika Serikat merupakan penanggung terbesar atas biaya
NATO. Suatu nilai kontribusi yang mungkin melebihi bagian yang
seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu ditentukan berdasarkan
persentase GNP.
KOORDINASI STABILISASI
Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan dunia, maka nasib
suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu
negara tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan
yang dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang
kebijaksanaan stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara-negara
dengan perekonomian yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga
berlaku bagi negara dengan perdagangan luar negeri yang terkecil seperti
Amerika Serikat. Koordinasi khususnya diperlukan karena saling
ketergantungan tidak hanya menyangkut perdagangan tetapi juga aliran atau
perpindahan modal.
Perdagangan
Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap,
menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di negara A akan
menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan
perekonomian atau malaise tersebut ke negara B yang menghadapi
penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan ekspansionir,
pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya.
Timbulnya impor akan memperkecil faktor pengganda (multiplier) dan
karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, hal itu juga turut memulihkan
keadaan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu, kebijakan
suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga diperlukan
koordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara. Pengaruh
kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan diperlemah
jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Dengan naiknya impor A, nilai
mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi
sehingga membatasi atau memperkecil defisit perdagangan negara A dan
ekspor negara B. Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung
mengurangi saling ketergantungan.
Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang tetap,
kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca
perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan
kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke negara B ini tidak akan begitu
saja terjadi karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs
yang fleksibel akan mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi
gambaran ini telalu disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung
dalam sekejap dan perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor
pengganggu pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang
memerlukan kerja sama lebih lanjut.
Aliran Modal
Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan
bisa dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi,
bauran kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan
dengan aliran modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian
yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang
longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga
yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga
sebaliknya.
Peranan aliran modal menjadi penting jika kita
mempertimbangkan pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Banyak hal tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor
yang ditimbulkan tersebut. Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil,
akan terjadi peningkatan modal di negara bersangkutan yang akan tercermin
pada kenaikan produktivitas tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa
mendatang akan dikirimkan ke luar negeri, sehingga keuntungan bagi
negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan
produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.
RANGKUMAN
§ Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan
lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan
keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor
barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih
efisien. Asumsi dalam teori tersebut adalah: (1) Faktor produksi seperti
tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah, sedangkan
barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah; (2) yang
dipertukarkan adalah barang komoditi, bukannya barang yang
terdiferensiasi; dan (3) daya saing suatu negara sudah
ditentukan, tergantung sumber daya yang dipunyai. Faktor lain seperti
ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan.
Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan
komparatif.
§ Perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang
dapat mengkoordinasikan masalah-masalah penghasilan perorangan dan
perseroan lintas negara. Beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam
koordinasi pajak internasional: (1) keadilan antar perorangan; (2) keadilan
antar negara; dan (3) efisiensi
§ Berbagai struktur sistem pajak negara mempunyai dampak yang
sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara
internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak
internasional yang lazim dipergunakan yakni (1) pajak penghasilan
internasional dan (2) pajak komoditi. Dua prinsip dalam pajak
penghasilan internasional adalah (a) prinsip pajak berdasarkan asas
domisili dan (b) prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Dua
prinsip pajak komoditi yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk
pajak pertambahan nilai) yakni (1) prinsip pajak tujuan dan (2) prinsip
pajak sumber.
§ Perhitungan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor
cabang akan dianggap sebagai satu unit. Laba perusahaan anak akan
dikenakan pajak laba perseroan negara asing sehingga porsi pajak untuk
negara asal akan ditangguhkan sampai laba dikirimkan sebagai dividen.
Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan masalah jika tarif pajak
luar negeri lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan di dalam
negeri. Kondisi sebaliknya mendorong perusahaan anak
menginvestasikan kembali labanya di negara domisili. Transaksi antara
perusahaan induk dan perusahaan anak dapat menyebabkan pergeseran
laba.
§ Pajak bersama-sama kurs valas yang fleksibel mempengaruhi harga
pokok produk. Harga pokok produk yang bervariasi pada gilirannya akan
mempengaruhi pemilihan lokasi produksi. Pajak juga mempengaruhi
preferensi masyarakat akan barang substitusi. Pajak konsumsi atau pajak
tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi lokasi produksi
kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang lokal dan barang impor.
Pajak konsumsi spesifik akan melemahkan perdagangan internasional
yang efisien. Pengenaan pajak ekspor di suatu negara menimbulkan
efek distorsi yang mirip dengan bea masuk atas barang impor. Pengenaan
pajak atas produk lokal tetapi tidak terhadap produk impor akan
mereposisi lokasi produksi.
§ Tax treaty merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara
yang dibuat dalam rangka (1) mengantisipasi pemajakan ganda dan (2)
berbagai usaha penghindaran pajak. Sebagai suatu perjanjian, treaty
adalah suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain
dalam hal perlakuan perpajakan. Personal scope mengatur tentang
kepada siapa saja ketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang
bersangkutan bisa diterapkan. Tax covered mengatur tentang jenis-jenis
pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty. Tie
breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya
status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu.
§ Bentuk BUT: (1) BUT fasilitas fisik timbul karena adanya fasilitas
fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain; (2)
BUT aktivitas ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas
waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut
bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan
jasa jasa lainnya). Lamanya time test disesuaikan dengan kesepakatan
dari kedua negara; (3) BUT asuransi ditandai dengan keadaan dimana
suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di
negara lain; dan (4) BUT keagenan timbul jika terdapat agen di negara
lain yang
memiliki wewenang menentukan kontrak atau mengurus barang-
barang dagang di negara lain.
§ Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan
penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan
dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai
meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen
ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan
maka tax treaty pun dapat diberlakukan. Tax treaty dapat berakhir setelah
periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu
negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan
pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
§ Cakupan minimalisasi pajak berganda: (1) penghasilan barang-barang
tak bergerak, (2) laba usaha, (3) laba perusahaan transportasi, (4) dividen,
(5) pendapatan bunga, (6) royalti, (7) capital gains, (8) penghasilan jasa
bebas, (9) penghasilan jasa terbatas, (10) director’s fee, (11) penghasilan
artis dan olahragawan, (12) pendapatan pensiun, dan (13) gaji pegawai
negeri sipil di luar negeri.
§ Transaksi internal terjadi apabila terdapat transaksi antara pihak-pihak
di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, dimana akan ada
kecenderungan harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga
yang wajar. Pertukaran informasi antar negara dapat menjadi salah satu
senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau
penggelapan pajak. Perlakuan perpajakan yang non discrimination
mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang
bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban
pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari
negara tersebut. Mutual agreement procedure sebagai sarana untuk
memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan
interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Dalam
kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota
suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak
di negara di mana mereka berasal. Mengingat sifat perjanjiannya yang
bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang
berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara
suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat
spesifik hanya mengikat negara- negara yang terlibat dalam perjanjian
tersebut.
§ Di antara sejumlah negara terdapat kepentingan bersama yang
mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini
menyebabkan
perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Kontribusi
sesuai dengan GNP, drawing rights, dan negosiasi. Nasib suatu negara
ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Kerja sama
internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi.
Koordinasi khususnya diperlukan menyangkut perdagangan dan
perpindahan modal.
§ Menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di suatu negara, akan
menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan
kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara lain yang
menghadapi penurunan ekspor. Kurs valuta asing yang fleksibel
cenderung mengurangi saling ketergantungan antar negara. Aliran modal
dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai
negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan
moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga
mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.
Keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa
kenaikan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor
domestik lainnya.
LATIHAN
1) Apa yang dimaksud dengan doktrin keunggulan komparatif ?
2) Mengapa dikatakan perusahaan multinasional tumbuh dengan
menyalahi doktrin keunggulan komparatif?
3) Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan
koordinasi pajak internasional!
4) Jika seorang warga negara asing melakukan investasi di
Indonesia, bagaimana pengenaan pajak yang dapat diberlakukan
terhadapnya menurut asas keadilan antar perorangan?
5) Jelaskan bagaimana terjadinya pergeseran beban pajak antar
negara dalam hal pajak produk untuk eksport dan import!
6) Jelaskan prinsip pajak berdasarkan :
a) Asas Domisili
b) Asas Sumber Pendapatan
7) Jelaskan prinsip-prinsip pajak yang mendasari pengenaan
pajak komoditi!
8) Jelaskan secara singkat aspek efisiensi koordinasi pajak produk!
9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan :
a) Destination Taxes
b) Origin Taxes
10) Jelaskan pengaruh pengenaan pajak produksi umum suatu negara dalam
ekspor, impor, dan kurs valuta asing negara tersebut!
11) Jelaskan mengapa dikatakan kurs valuta asing yang fleksibel
cenderung mengurangi saling ketergantungan dan gejolak perdagangan
di antara dua negara yang bekerja sama!
12) Apa yang anda ketahui tentang Tax Treaty dan cakupannya?
13) Jelaskan konsep Tie Breaker Rule untuk orang pribadi dan pihak ketiga!
14) Diskusikan mengapa dikatakan Tax Treaty mengalahkan UU PPh?
KEBIJAKAN DAN STRUKTUR
BELANJA PUBLIK
1
Keterangan mengenai barang publik dapat dibaca di bab-bab awal
306 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 306
Aplikasi Publik
Dalam prakteknya, tidak ada rumus yang pasti mengenai bentuk maupun
ukuran besarnya sektor publik. Namun demikian, ada beberapa prinsip umum
yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor umum ini oleh negara,
misalnya kegagalan pasar dimana pasar tidak dapat mengalokasikan sumber
daya secara efisien dan aspek distribusi ke seluruh pelosok negara. Secara
umum dapat dikatakan bahwa perencanaan dan penerapan prioritas
pengeluaran publik serta perpaduan yang serasi antara sektor publik dan
swasta, memerlukan penjajakan yang terinci dan sangat tergantung dari
keadaan masing-masing negara.
Dalam setiap sektor, cara terbaik dengan menganalisa kebutuhan-
kebutuhan yang saling bersaing dalam masing-masing program. Tujuan
negara, potensi trade-off, dan indikator ekonomi dan sosial seperti berapa
kilometer jalan yang harus dibangun, akses ke air bersih dan sanitasi, angka
masuk sekolah, angka kematian bayi dan angka harapan hidup dapat
digunakan untuk menentukan prioritas kebutuhan-kebutuhan di berbagai
sektor.
Di bawah ini akan dibahas hal-hal yang menjadi dasar kebijakan belanja
publik serta hal-hal yang berpengaruh terhadap struktur belanja publik.
Inggris
Briggs (1961) dalam literaturnya yang terkenal mengenai belanja
publik berkaitan dengan kesejahteraan, mengidentifikasikan tiga hal
pokok dalam belanja publik yang berkaitan dengan kesejahteraan, yaitu:
§ Jaminan standar minimum, termasuk penghasilan
minimum
§ Perlindungan sosial bila
diperlukan
§ Penyediaan jasa pelayanan umum sebaik-
baiknya
Uraian Briggs ini kemudian menjadi “pakem” atau model kesejahteraan
dimana elemen kuncinya adalah perlindungan sosial, diikuti dengan
penyediaan pelayanan kesejahteraan sesuai hak warga negara. Dalam
prakteknya, kesejahteraan sosial di Inggris sangat jauh dari nilai ideal
ini. Tingkat cakupan (coverage) layanan memang tinggi, dalam arti
pelayanan ini menjangkau sekuruh masyarakat (sebagai contoh, National
Health Service berlaku bagi seluruh warga negara Inggris tanpa pandang
bulu) namun mutu pelayanan masih belum maksimal. Sedangkan
perlindungan sosial yang diselenggarakan bagi rakyat Inggris juga masih
bersifat tambal sulam.
Perancis
Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip solidaritas,
yang berarti bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab
bersama dan risiko ditanggung bersama. Sistem ini berusaha mencapai full-
coverage. Pada awalnya, hal ini dilakukan dengan memperluas jaminan sosial
yang mencakup kesehatan dan jaminan sosial lain yang bersifat ekstensif atau
mencakup semua penduduk termasuk mereka yang tadinya terpinggirkan.
Mulai tahun 1988, diperkenalkan sistem terbaru dimana jaminan
atas kebutuhan dasar ditambah dengan hal-hal lain sesuai dengan kebutuhan
masing-masing orang.
Sistem semacam ini selain kompleks juga mahal untuk dilaksanakan,
sehingga akan menimbulkan masalah pada anggaran pengeluaran publik
negara tersebut. Hal yang menjadi keprihatinan pemerintah setempat
bukanlah pengangguran, melainkan usia lanjut, karena adanya keistimewaan
yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu. Selain itu pengeluaran
untuk kesehatan masyarakat juga menjadi bermasalah dalam era
swastanisasi dan
liberalisasi dimana jasa sangat tergantung pada pasar. Karena
liberalisasi kesehatan ini menjadikan jasa pelayanan kesehatan menjadi
mahal.
Amerika Serikat
Amerika Serikat seringkali digolongkan sebagai negara yang menganut
paham liberal dalam hal penyediaan kesejahteraan bagi rakyatnya, yang
tercermin dalam konsep individualisme, laissez-faire (mengikuti arah pasar),
paham residualisme, dan pandangan miring mengenai kemiskinan. Hal-
hal tersebut di atas seringkali mewarnai debat mengenai konsep kesejahteraan
di AS.
Walaupun demikian, sistem kesejahteraan di AS tidak seragam.
Federalisme mengakibatkan banyak keputusan penting, termasuk yang
menyangkut kesejahteraan sosial, diatur di tingkat negara bagian. Sebagai
contoh, di Minnesota dan Hawaii kesehatan masyarakat dibiayai oleh negara.
Sebagai perbandingan dengan negara-negara berkembang, pemerintah pusat
memiliki peran yang terbatas dalam penyediaan kesejahteraan sosial.
Dalam prakteknya, AS memiliki sistem pluralistik, bukan sekedar liberal.
Terdapat perbedaan yang signifikan dari model residual, misalnya sekolah
negeri, jaminan sosial, maupun Veteran’s Administration menjamin
kesejahteraan lebih dari empat puluh juta jiwa. Selain aktivitas di level
pemerintah federal dan negara bagian, penyedia jaminan kesejahteraan juga
mencakup sektor swasta. Hasilnya, sistem yang ada juga kompleks dan mahal.
Negara-negara Berkembang
Masalah utama yang dihadapi oleh negara berkembang adalah kemiskinan.
Menurut World Bank, setengah dari populasi dunia hidup dengan pendapatan
kurang dari dua dollar per hari. Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan
saja berakar dari kekurangan sumber daya, tapi lebih disebabkan oleh
kurangnya entitlement:. Kelaparan terjadi bukan karena kurang pangan,
melainkan karena orang miskin tidak boleh makan makanan yang ada. Untuk
itulah perlu adanya pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi
akan memproduksi barang materil, meningkatkan persatuan dan
ketergantungan antar bangsa, yang paling penting dapat meningkatkan
entitlement. Namun pada saat yang sama, pembangunan ekonomi juga
menimbulkan korban. Pembangunan juga menjadikan orang miskin lebih
rentan, karena akar kehidupan tradisionalnya dirombak, dan selanjutnya dapat
mengakibatkan polarisasi sosial. Structural adjustment yang dipersyaratkan
oleh lembaga keuangan internasional yang bertujuan untuk mendorong
negara berkembang memasuki pasar bebas,
ternyata banyak dituding sebagai penyebab makin rentan dan tidak
terlindunginya masyarakat miskin.
Pada tahun 1980an, badan keuangan internasional yaitu IMF dan
World Bank meluncurkan suatu program yang disebut Structural
Adjustment Program (SAP) untuk membantu negara-negara berkembang
mengatasi kemiskinannya dan memasuki perekonomian pasar bebas. Program
ini terdiri atas paket pinjaman dan saran-saran tentang langkah-langkah
restrukturisasi yang harus diambil pemerintah dalam kebijakan perekonomian
negara. Salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh paket bantuan
tersebut adalah negara yang bersangkutan harus melakukan ’efisiensi’
dengan cara mengurangi anggaran pengeluaran untuk sektor-sektor yang
tidak menguntungkan (dalam hal ini adalah sektor-sektor sosial) seperti
kesehatan, pendidikan dan sektor sosial lain. Secara bertahap,
penyelenggaraan sektor- sektor tersebut dan dialihkan ke sektor swasta. Peran
negara sebagai penyelenggara dikurangi sedapat mungkin dan beralih
fasilitator bagi sektor swasta yang terlibat. Hal ini tentu saja mengakibatkan
pengeluaran negara dalam sektor publik menjadi berkurang.
Ketika paket pinjaman bersyarat ini diambil dan dilaksanakan oleh negara-
negara berkembang yang membutuhkan bantuan, memang terjadi sedikit
peningkatan pertumbuhan. Namun, dampak sosial yang semula tidak
diantisipasi ternyata sangat parah. Peningkatan pertumbuhan yang dihasilkan
oleh paket ini ternyata hanya dicapai oleh segelintir orang sedangkan
sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan akibat
dihapuskannya sebagian anggaran kesejahteraan dari anggaran pemerintah.
Pengelolaan sektor tersebut oleh pihak swasta yang bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan, mengakibatkan meningkatnya harga jual barang
dan jasa publik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa jasa tersebut hanya
dapat dinikmati oleh pihak yang mampu. Sedangkan kaum marjinal makin
terpinggirkan. Trickle down effect yang semula diyakini akan terjadi
ternyata tidak menjadi kenyataan (Sen,
1999). Hal ini kemudian diusahakan untuk diperbaiki dengan pola pinjaman
bersyarat yang baru yaitu Poverty Reduction Strategy Paper, yang menurut
banyak pihak hanya nama baru dari wajah lama.
310 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 310
Aplikasi Publik
www.globalissues.org
§ Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan
porsi belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga
berubah. Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan
kepentingan penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat
eskternal besar sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan
berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil,
permintaan jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik
meningkat dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan
untuk kereta api. Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang
mengakibatkan meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga
mempercepat barang menjadi usang sehingga biaya penggantian akan
meningkat. Perubahan teknologi di masa datang yang menyebabkan
membengkaknya anggaran pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar
yang merupakan faktor penting dalam porsi pengeluaran negara, kecuali
terbukti teknologi angkasa luar menjadi barang pribadi.
§ Perubahan Populasi
Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan
kesehatan karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan
juga akan mendorong peningkatan permintaan perumahan dan penyediaan
jaminan hari tua. Peningkatan populasi yang disertai mobilitas populasi juga
mendorong pertumbuhan kota baru yang menyebabkan kebutuhan
peningkatan pelayanan umum, pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
anggaran.
§ Biaya Relatif
Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan di atas, tak kalah
penting adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran
publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi
yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam
pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi
bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan
barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional
menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi.
Meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi
belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah
barang publik dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang
elastis, kecuali bila permintaan barang publik bersifat inelastis, bisa
diestimasikan bahwa porsi belanja publik akan meningkat.
§ Urbanisasi
Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah.
Sebagai contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan
meningkatnya
kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong
meningkatnya kebutuhan barang-barang yang perlu disediakan oleh
pemerintah.
Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya $150,000 yang akan dibebankan dari general fund,
sehingga A, B, dan C harus membiayai masing-masing senilai $50,000. Manfaat yang akan diperoleh A
dan B masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah $180,000.
Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, dikatakan bahwa proyek tersebut layak dibangun,
meskipun C mengalami kerugian. Pada kasus ini, prinsip pareto optimum dilanggar.
Aspek Keadilan
Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan
mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam
menentukan kebijakan proyek.
Petimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah bobot distribusi
dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang pertama,
dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan dimana kedua proyek
mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana
terbatas untuk satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan.
Proyek I,
dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat
berpenghasilan tinggi dan proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman
serupa untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan
timbul dalam menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut.
Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan,
masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih
tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka
mampu membayar lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak.
Tetapi, pertimbangan sosial dapat menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah
yang dibelanjakan oleh masyarakat miskin dapat dinilai lebih tinggi
sehingga proyek II akan dipandang lebih layak.
Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang
didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi
sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial
yang tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi
swasta dan proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan
kecocokan dengan konsep efisiensi yang lebih luas.
Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang
berbeda. Dimisalkan akan dibangun sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang
upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya rendah. Misalkan juga biaya
modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah.
Tanpa mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai manfaat bersih lebih tinggi.
Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan
manfaat kepada mereka yang berpenghasilan rendah.
Dapat disimpulkan, jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan
bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan
sebagai alat pengoreksi aspek distribusi.
Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung
pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot
ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau
bobot dapat diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan
asumsi bahwa dalam menerapkan tarif pajak, pemerintah bermaksud
mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
prinsip pengorbanan yang sama.
Bagaimana caranya agar belanja publik dapat memenuhi ketiga kriteria ini dengan sumber daya yang
terbatas?
Jawaban yang sering diberikan bagi pertanyaan ini adalah “targeting”, yaitu dengan mengarahkan
belanja publik untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan: yang miskin,
yang tertinggal, yang terbelakang dan yang rentan terhadap risiko. Mereka inilah yang menjadi target
group dari kebijakan belanja publik tertentu. Dalam prakteknya, pendekatan targeting dapat
dikategorikan menjadi dua hal. Pertama adalah broad targeting atau pentargetan secara luas. Dalam hal
ini, kaum marjinal tidak menjadi target secara individual, namun mereka dijangkau melalui pentargetan
jasa atau komoditi yang paling banyak mereka konsumsi. Contoh yang paling sering digunakan adalah
dengan mentargetkan jasa sosial dasar, seperti pendidikan dasar dan kesehatan masyarakat, serta
infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi. Yang juga sering dilakukan adalah dengan
mentargetkan aktivitas pembangunan pedesaan.
Pendekatan kedua, yaitu targeting secara sempit, dilakukan dengan menargetkan individu atau keluarga
yang masuk kategori miskin. Misalnya dengan melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial yang
diadakan setelah Indonesia mengalami krisis moneter, pemberian susu dan makanan tambahan bagi
balita miskin, program kredit mikro yang ditujukan bagi wanita pedesaan, proyek padat karya serta
pembangunan daerah tertinggal.
Masing-masing pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan selalu ada pihak yang
sebenarnya tidak termasuk target namun mendapatkan manfaat, ataupun yang sebenarnya harus
dibantu namun tidak mendapat bantuan. Tidak ada aturan yang baku tentang mana yang lebih baik
antara kedua pendekatan ini. Biasanya yang efektif adalah kombinasi keduanya. Kebijakan yang tepat
akan sangat tergantung pada peta kemiskinan, tujuan kebijakan, serta keadaan spesifik dari negara
yang bersangkutan seperti tingkat kemampuan administratif, pembangunan infrastruktur, ekonomi
politis, serta hambatan-hambatan lain dalam instrumen kebijakan.
HDI rank 1990 1999-2001 1990 2001 1990 2002 1990 2002
High human
development
1 Norwegia 7.1 6.8 6.4 6.8 2.9 2.1 .. ..
2 Swedia 7.4 7.6 7.6 7.4 2.6 1.9 .. ..
3 Australia 5.1 4.6 5.3 6.2 2.1 1.9 .. ..
4 Kanada 6.5 5.2 6.8 6.8 2 1.2 .. ..
5 Belanda 6 5 5.7 5.7 2.5 1.6 .. ..
8 Amerika Serikat 5.2 5.6 4.7 6.2 5.3 3.4 .. ..
9 Japan .. 3.6 4.6 6.2 0.9 1 .. ..
12 Inggris 4.9 4.6 5.1 6.3 4 2.4 .. ..
Medium human
320 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 320
Aplikasi Publik
development
Low human
development
142 Pakistan 2.6 1.8 1.1 1 5.8 4.7 4.8 4.8
145 Lesotho 6.1 10 2.6 4.3 4.5 2.7 3.8 9.4
148 Kenya 6.7 6.2 2.4 1.7 2.9 1.7 9.2 3.7
171 Mozambique 3.9 2.4 3.6 4 10.1 2.4 3.2 2.1
173 Burundi 3.4 3.6 1.1 2.1 3.4 7.6 3.7 3.2
RANGKUMAN
§ Sebagai penyelenggara negara, salah satu fungsi pemerintah
adalah menjadi penyedia barang jasa pada sektor tertentu dan fasilitator
jika penyelenggaraan barang jasa diadakan oleh swasta. Khusus dalam
penyediaan barang publik, pemerintah dapat berperan sebagai
penyedia dan regulator jika barang publik diadakan oleh swasta.
§ Prinsip umum yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor
umum oleh negara yaitu market failure (kegagalan pasar dimana pasar
tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien) dan aspek
distribusi ke seluruh pelosok negara.
§ Kebijakan pengeluaran publik dipengaruhi oleh konsep welfare state
yaitu bagaimana suatu negara memandang dirinya dalam hubungannya
dengan rakyatnya mengenai kesejahteraan.
§ Esping-Andersen mengkategorikan tiga jenis pokok dari welfare
regime: (a) corporatist regimes, (b) social democratic regimes, (c) liberal
regimes
§ Konsep welfare state di Inggris sebagaimana dikemukakan oleh
Briggs menekankan pada perlindungan sosial dan penyediaan pelayanan
kesejahteraan . Tiga hal pokok dalam belanja publik yang
berkaitan
dengan kesejahteraan yaitu: (a) jaminan standar minimum termasuk
penghasilan minimum, (b) perlindungan sosial bila diperlukan, (c)
pelayanan jasa pelayanan umum sebaik-baiknya.
§ Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip
solidaritas, bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab
bersama dan risiko ditanggung bersama.
§ Amerika Serikat menganut paham liberal dalam hal
penyediaan kesejahteraan yang tercermin dalam konsep individualisme,
laissez-faire (mengikuti arah pasar), paham residualisme, dan pandangan
miring mengenai kemiskinan. Namun, tiap negara bagian mengatur
sistem kesejahteraannya masing-masing sehingga Amerika memiliki
sistem pluralistik.
§ Negara-negara berkembang mempunyai masalah utama yaitu kemiskinan.
Amartya Sen berpendapat bahwa kemisikinan bukan saja terjadi
karena
kekurangan sumber daya tetapi juga kurangnya entitlement, karena itulah
diperlukan pembangunan ekonomi. Structural Adjustment Program (SAP)
yang dibuat oleh badan keuangan internasional yaitu IMF dan World
Bank untuk membantu negara-negara berkembang menyebabkan
pengeluaran negara dalam sektor publik berkurang dan dialihkan ke
sektor swasta, sehingga harga jual barang dan jasa semakin meningkat.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir orang dan
sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan.
§ Faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dibedakan atas
(a) faktor belanja barang dan jasa dan (b) faktor belanja dari transfer
porsi pendapatan.
§ Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa antara lain:
(a) pertumbuhan pendapatan per kapita, (b) perubahan teknologi,
(c) perubahan populasi, (d) biaya relatif, (e) urbanisasi
§ Belanja transfer merupakan distribusi pendapatan (transfer
pendapatan sebagai suatu persentase dari pendapatan nasional), yang
dipengaruhi oleh dua arah, yaitu: (a) Distribusi pendapatan yang
dilakukan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan karena peningkatan
pendapatan per kapita. Jika dilakukan penyesuaian atau perbaikan atas
ketimpangan tersebut, maka perubahan tidak signifikan dan distribusi
pendapatan tetap stabil. (b) Distribusi pendapatan yang dilakukan untuk
menyesuaikan pendapatan keluarga. Jika pendapatan rata-rata meningkat,
tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan.
Kecuali tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan,
jika pendapatan rata-rata
meningkat maka kebutuhan untuk pendistribusian kembali
pendapatan akan menurun.
§ Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien
jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak
merugikan orang lain. Pada kenyataannya prinsip ini sangat susah dicapai,
sehingga cara yang paling tepat adalah dengan mendistribusikan beban
pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian
bersih.
§ Aspek keadilan dalam belanja publik untuk menentukan kebijakan
proyek dipengaruhi oleh pertimbangan sebagai berikut: (a) Distribusi
pendapatan, seberapa besar manfaat yang dapat diberikan bagi mereka
yang berpenghasilan rendah. Jika distribusi pendapatan optimal,
penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen akan
dipandang layak dari segi sosial. Tetapi jika distribusi pendapatan
tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-
manfaat dapat digunakan. (b) Fungsi obyektif, sebagai alat untuk
menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan
sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di
masa lalu.
§ Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan
risiko ketidakpastian manfaat di masa yang akan datang akan mengurangi
nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran
investasi pemerintah. Analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai
alternatif untuk mengatasi risiko perubahan ekonomi ini.
§ Government Finance Statistics Manual menguraikan klasifikasi belanja
menurut fungsi pemerintah sebagai berikut: (a) belanja jasa publik umum,
(b) belanja pertahanan, (c) belanja pertahanan, (d) belanja perlindungan
umum, (e) belanja urusan ekonomi, (f) belanja perlindungan
lingkungan, (g) belanja perumahan dan public utilities, (h) belanja
kesehatan, (i) belanja rekreasi, budaya, dan agama, (j) belanja
pendidikan, (k) belanja perlindungan sosial.
§ Inti dari distribusi pengeluaran publik, yaitu: (a)
mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum
miskin/marginal, (b) membantu mereka yang terpinggirkan/tertinggal
dalam proses pertumbuhan ekonomi, (c) membantu mengatasi masalah
kerentanan (vulnerability).
§ Cara memenuhi kebutuhan publik dengan anggaran yang terbatas
adalah dengan melakukan “targetting” yaitu mengarahkan belanja publik
untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan,
terdapat dua pendekatan: (a) broad targetting atau pentargetan secara luas,
pentargetan jasa atau komoditi yang paling banyak dikonsumsi,
(b)
targetting secara sempit, menargetkan individu atau keluarga yang
masuk kategori miskin.
§ Informasi mengenai dampak distribusi yang dapat membantu
untuk memilih prioritas belanja publik dapat diperoleh dengan melakukan
dua metode pengukuran, yaitu: (a) benefit incidence studies, terfokus pada
manfaat rata-rata dari belanja publik dimana kesimpulan kebijakan
atas reformasi belanja publik didasari oleh dampak atas margin
perubahan tersebut, (b) behavioural approaches (pendekatan perilaku),
menggunakan ekonometri maupun metode eksperimental.
LATIHAN
1. Sebutkan faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dari :
a. faktor belanja dan jasa,
b. faktor pengeluaran dari transfer posisi pendapatan.
2. Jelaskan mengapa pertumbuhan pendapatan per kapita bisa
membuat belanja publik mengalami peningkatan dan dapat juga
mengalami penurunan!
3. Mengapa meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, tetapi
bukan berarti belanja publik dalam pendapatan nasional meningkat?
4. Mengapa perubahan biaya jasa publik berpengaruh terhadap
belanja publik?
5. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan, dan sebutkan apa
saja yang mempengaruhinya!
6. Apa yang dimaksud dengan prinsip Pareto Optimum?
7. Bagaimana membuat efisiensi proyek tetap ada walaupun ada pihak
yang dirugikan?
8. Apa yang dimakud dengan kondisi distribusi optimal?
9. Apa manfaat fungsi objektif dan apa yang dimaksud bobot?
10. Sebutkan klasifikasi belanja publik menurut fungsi pemerintah!
11. Bagaimana cara mengestimasi manfaat dari hasil yang berisiko?
12. Mengapa analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif
saat dimulainya proyek?
13. Sebutkan yang termasuk dalam belanja urusan ekonomi!
14. Sebutkan yang termasuk dalam kategori belanja pertahanan!
15. Bagaimana jika distribusi pendapatan tidak optimal?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK
SEKTOR-SEKTOR UMUM
Dalam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta
masalah- masalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis
belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan dan
perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.
PERTAHANAN NASIONAL
Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional
merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun
akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade
tersebut,
belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam
pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi
belanja personel, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa,
penelitian dan pengembangan.
Dividen Perdamaian
Sama dengan yang dilakukan oleh banyak negara lainnya, Amerika Serikat menandai akhir perang dingin dengan
pengurangan besar-besaran atas belanja militernya pada tahun 90an. Pada saat yang sama, negara ini juga
mengurangi belanja pemerintah, yang menyebabkan banyak orang merasa bahwa dividen perdamaian tidak
terlaksana. Namun demikian, analisa yang cukup terpercaya mengungkapkan bahwa pengurangan belanja
militer AS mengakibatkan menurunnya defisit pemerintah dan tingkat bunga pada tahun 90an.
Pengurangan defisit ini merupakan pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi AS tahun 90an, yang membuat
era ini merupakan masa terpanjang bagi pertumbuhan ekonomi AS. Pertumbuhan ini telah memberikan dampak
positif terhadap perekonomian global, membuat AS menjadi lokomotif ekonomi dunia, dimana hal ini sangat
menguntungkan (baik secara nyata maupun secara potensial) negara-negara miskin. Dampak menguntungkan dari
pengurangan belanja pertahanan AS ini sebetulnya akan dapat lebih dinikmati oleh negara-negara miskin
kalau saja Bretton Woods Institution (World Bank dan IMF) tidak memaksakan kebijakannya, juga bila tidak ada
konflik lokal di tingkat regional negara-negara miskin tersebut.
Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh IDS, belanja militer AS untuk perang di Irak dan di Afganistan telah
membuat anggaran belanja AS defisit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prospek perekonomian AS dan
seluruh dunia tampaknya tidak begitu baik, mengingat bahwa peningkatan belanja militer di satu negara di
dunia akan mempunyai dampak terhadap kesejahteraan dan penghidupan bangsa lain (yang bukan saja
bersumber dari serangan yang dilancarkan oleh negara yang belanja militernya meningkat tersebut terhadap
bangsa lain).
Namun demikian, masalah pokok tidak hanya terdapat pada terlalu banyaknya uang yang dibelanjakan untuk
peralatan dan personel militer. Apabila tujuan utama dari belanja publik adalah untuk meningkatkan keamanan dan
pembangunan manusia, uang tersebut seringkali dibelanjakan ke tempat yang salah. Selama beberapa puluh
tahun terakhir ini, sifat ketidakamanan (insecurity) telah berubah. Insecurity tidak lagi terutama bersumber dari
negara
tetangga karena masalah pertikaian perbatasan dengan negara tetangga sebagai musuh yang jelas.
Ancaman utama saat ini lebih banyak merupakan ancaman terhadap human insecurity, yang terdapat dalam bentuk
kejahatan perkotaan, HIV/AIDS, pengungsian, dan kekerasan berbasis gender, malaria, TBC, bencana alam
dan lain-lain yang bersumber dari berbagai hal namun memiliki dampak yang sama: membuat hidup banyak orang
terancam dan menjadi makin rentan.
Dengan berubahnya konteks permasalahan, maka respon yang diberikan tentunya juga harus berubah. Perlucutan
senjata dan pembangunan masa kini memerlukan pendekatan baru, yang berkaitan dengan ancaman baru
(dan terus berubah) terhadap keamanan, terhadap faktor-faktor baru, juga untuk menyikapi kenyataan masa kini
dimana hanya ada satu negara adikuasa. Karena itulah, saat ini pemerintah baik negara maju maupun negara
berkembang perlu mengalokasikan sumber dayanya untuk mengatasi tantangan yang paling mengancam
kesejahteraan warganya. Pendekatan ini dikenal dengan nama human security approach.
Human security approach inilah yang mendasari banyak lembaga non pemerintah internasional seperti Oxfam
International mengadakan kampanye untuk mengingatkan pemerintah negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Inggris untuk tidak menjual peralatan militer kepada negara-negara berkembang, dengan alasan bahwa akan
jauh lebih bermanfaat bagi negara-negara ini apabila dana tersebut dialokasikan ke sektor kesejahteraan. Namun
demikian, banyak pihak juga mengecam tindakan beberapa negara donor yang mempersyaratkan negara
berkembang untuk melakukan pengurangan senjata dan pengurangan belanja militer dan pertahanan, tanpa
memperhatikan dan mengatasi akar masalah dari tingginya belanja militer: lemahnya pemerintahan, dominasi
militer dalam pengambilan keputusan dan tidak adanya pertanggungjawaban publik.
Hal yang mutlak untuk dilaksanakan adalah menganalisa dengan menjabarkan berbagai pilihan yang tersedia
untuk mengalokasikan sumber daya. Setiap negara perlu memilih mana yang akan dijadikan prioritas,
setelah menimbang-nimbang berbagai kombinasi pilihan yang paling tepat untuk mengatasi human insecurity. Di
pihak lain, negara produsen peralatan militer perlu juga menimbang-nimbang antara pentingnya memperoleh
pendapatan dari penjualan senjata dibandingkan dengan komitmen mereka untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan.
Analisa semacam ini tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Namun pengalaman negara seperti Costa Rica
dapat dijadikan contoh, dimana negara tersebut merasakan manfaat yang besar dari menghapuskan belanja militer
dan mengalokasikannya secara langsung kepada sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lain yang berkaitan
langsung dengan pembangunan manusia.
JALAN RAYA
Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga
hal yaitu:
§ Kerjasama yang rapi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
antar pemerintah daerah lainnya.
§ Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.
§ Perkiraan pajak yang besar.
PENDIDIKAN
Anggaran pendidikan di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh
pemerintah lokal dan negara bagian meskipun pengendalian sistem
pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang
disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi
terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga
ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar
karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus
disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai
pendidikan juga meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.
FASILITAS REKREASI
Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi
pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti
keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat
barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang
bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi
adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik.
Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai.
Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarif
yang
akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan
biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan
membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari
penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat
dijadikan dasar pengukuran manfaat.
Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik
iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain
adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan
menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi
keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai
waktu para pemakai fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap
alternatif penggunaan dana.
Selain berbagai manfaat di atas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam
bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagai contoh, proyek sumber
daya air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga
dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah
sebuah bendungan dapat dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga
listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi.
Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas
rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi
merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas
fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang
dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap
sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu,
misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun
tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.
LATIHAN
1. Jelaskan tujuan analisis sektor dan mengapa diperlukan ?
2. Sebutkan metode apa saja yang dapat digunakan dalam analisis sektor ?
3. Mengapa suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai
kebijakan subjektif?
4. Jelaskan dampak terhadap pertumbuhan produktivitas atas belanja
pertahanan nasional!
5. Sebutkan keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik !
6. Jelaskan masalah-masalah yang ada dalam kebijakan pendidikan !
7. Mengapa fasilitas rekreasi memberikan manfaat ganda ?
8. Apa yang dimaksud dengan cara pengukuran analogi fasilitas swasta ?
9. Mengapa persoalan pendidikan bukan hanya persoalan fiskal tetapi
juga persoalan politik.
10. Apa dasar pengukuran manfaat failitas rekreasi dengan cara pertama ?
11. Mengapa analisis sektor diperlukan ?
12. Mengapa belanja pertahanan diperlukan bagi suatu negara ?
13. Bagaimana dampak belanja pertahanan nasional terhadap industri ?
14. Jelaskan sistem/mekanisme kerjasama antar unit pemerintah
dalam pengeluaran biaya untuk pengadaan fasilitas jalan raya !
15. Bagaimana bentuk pembiayaan di dalam pengadaan barang dan jasa
milik umum khususnya jalan tol ?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK
DALAM TUNJANGAN SOSIAL
Medicaid
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria
AFDC (Aid to Families with Dependent Children) yang sering disebut
sebagai program kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah
orang yang mempunyai pendapatan terbatas menurut kriteria SSA
(Supplementary Security Income), serta semua orang yang berumur diatas 65
tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk Medicare yaitu asuransi kesehatan
yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu negara. Program ini biasanya
dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan berpedoman pada standar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal.
Kupon Makanan
Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon
makanan jika mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program
ini diberikan melalui pemerintah lokal.
Perumahan Murah
Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi
perumahan diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani
berpenghasilan rendah.
Tunjangan Kesejahteraan
Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan
bantuan kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk
lain – yang kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai
anak di bawah 18 tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat
berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain.
Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan.
Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena
persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga
pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar
kehidupan minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak
mendorong orang untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan
menurun jika pendapatan meningkat – sering disebut tarif pajak
marjinal. Titik permasalahan telah berubah dari memberikan keringanan
dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam keluarga yang berorang tua
tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan alternatif mulai
dipertimbangkan.
Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah
adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan
mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan
menjamin tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial
pemerintah. Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini
dapat mengurangi jumlah bantuan yang dapat diberikan kepada golongan
yang paling membutuhkan.
Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan
diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak
berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif
akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak
positif yang terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan
progresif yang telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan
prinsip pajak negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.
Asuransi Sosial
Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika
Serikat meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors
Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).
Asuransi Kesehatan
Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas
Medicare pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan
dasar terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan
kesehatan rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut
apakah asuransi hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus
diperluas kepada seluruh penduduk, dan kalau diperluas bagaimana
bentuknya. Perdebatan muncul karena menyangkut pembiayaan yang sangat
besar, pengaruhnya terhadap jasa medis yang diberikan, kebebasan memilih
dokter, dan peranan asuransi swasta.
Asuransi Pengangguran
Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan
dari negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi
dari pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola
oleh Federal Unemployment Trust Fund.
Pendanaan
Sampai tahun 1994, semua tunjangan yang diterima oleh PNS dibayar
seluruhnya dari APBN, yang dibiayai dari pajak dan pendapatan negara yang
lain. Sejak 1994, skema ini didanai dari kontribusi PNS sebesar 10% dari gaji
pokok. Jumlah ini terdiri atas: 4.7% sebagai pensiun bulanan, 3.25% uang
pensiun, dan 2% untuk jaminan kesehatan. Namun jumlah ini tentu saja
masih jauh dari cukup. Menurut Asher (1998:8), kontribusi dari para pegawai
ini hanya mencapai 22% dari manfaat pensiun, sedangkan sisanya didanai
oleh Pemerintah.
1
Replacement Rates
Bagi PNS yang memiliki masa kerja 20 tahun atau lebih pada saat pensiun,
uang pensiun bulanan dihitung sebagai berikut: 1,875% dari gaji
pokok
1
Replacement rate didefinisikan sebagai proporsi dari upah tertentu (biasanya gaji
final seorang pegawai) yang dibayar sebagai uang pensiun setelah mengakhiri masa
kerja.
350 Keuangan Publik: Teori dan Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan 350
Aplikasi Sosial
dikalikan dengan masa kerja. Setelah ditambahkan dengan uang lump sump
yang diterima pada akhir masa kerja, maka replacement rate adalah antara 75-
100% untuk masa kerja 20-35 tahun. Walaupun demikian, PNS yang berhenti
bekerja sebelum 20 tahun masa kerja tidak mendapatkan pensiun dalam
bentuk apa pun.
Coverage
Secara otomatis, PNS akan didaftarkan dalam skema tadi, sehingga
cakupan keanggotaan di kalangan PNS tentu saja 100%. Menurut INSSA
(1995, seperti dikutip oleh Tambunan dan Purwoko 2002), keanggotaan
Taspen meningkat dari 3,74 juta pada tahun 1989 menjadi 4,12 juta pada
tahun 1993. Sedangkan pada tahun 1993 sebanyak 1,48 juta pensiunan
menerima uang pensiun bulanan. Angka terkini didapat dari Asian
Development Bank 2001, dimana keanggotaan Taspen mencapai 5,7 juta
orang, dimana 3,7 juta orang diantaranya merupakan kontributor (pembayar
premi). Hal ini berarti cakupan mencapai 4% dari tenaga kerja. ASABRI
memiliki anggota sebanyak 600.000 orang, yaitu 0,6% dari total tenaga kerja.
Keanggotaan ASKES secara kasar mencakup 16 juta jiwa, yang terdiri atas
PNS serta keluarga yang menjadi tanggungannya.
Perspektif Mancanegara
Di banyak negara, penyelenggaraan jaminan hari tua, tunjangan cacat dan
tunjangan kematian untuk pegawai negeri sudah ada sebelum adanya program
jaminan sosial untuk pegawai swasta. Keistimewaan juga kadang diberikan
kepada kelompok pekerja tertentu di bidang pelayanan masyarakat, seperti
tentara, polisi, guru, dan karyawan BUMN. Dari sejarahnya, tunjangan ini
diberikan sebagai bentuk terima kasih atas pengabdian mereka. Pekerjaan
seumur hidup tampaknya sudah merupakan pola dalam karir pegawai negeri,
dan prospek untuk memperoleh pensiun yang memadai pada saat yang
bersangkutan mencapai usia pensiun merupakan hal lain yang dipandang
sebagai daya tarik untuk bergabung menjadi pegawai negeri. Walaupun
program pensiun semacam ini didirikan oleh negara sebagai employer untuk
para pegawainya (sehingga dalam hal ini hubungan kerja yang ada
adalah sama dengan di perusahaan swasta), perbedaan terbesar adalah bahwa
tunjangan-tunjangan ini dibayar dengan menggunakan pendapatan negara.
Sehingga, dapat dilihat bahwa hal ini meningkatkan konsumsi negara, yang
pada akhirnya berdampak pada keuangan negara.
Di negara-negara industri, kebanyakan tunjangan pensiun untuk PNS terus
menjadi satu program terpisah, bahkan setelah adanya broad based
national
social insurance system. Sejak perang dunia kedua, sistem ini banyak sekali
mendapat kritikan, terutama di negara-negara di mana proporsi PNS dalam
ketenagakerjaan tinggi. Dengan dikembangkannya broad based national
social insurance system yang berdasarkan prinsip-prinsip universal dan
keadilan, makin terasa bahwa sistem terpisah ini kurang adil, karena system
ini secara nyata mengistimewakan PNS. Di negara-negara miskin (terutama
di Afrika), sistem ini merupakan peninggalan jaman kolonial, dan sampai
hari ini, PNS merupakan satu-satunya kelompok yang mendapatkan uang
pensiun bulanan.
Dalam berbagai hal, tekanan finansial yang dihadapi oleh program pensiun
pegawai negeri kurang-lebih sama di seluruh dunia. Kebanyakan negara
mengalami periode di mana perekrutan PNS yang sangat besar (terutama di
tahun 70 dan 80-an), yang kemudian diikuti dengan masa stabilisasi dan
penciutan jumlah PNS. Fenomena ini sangat nyata, dalam arti rasio
pensiunan yang semakin meningkat pada sepuluh tahun terakhir. Hal ini
diperparah dengan pengenalan sistem pensiun dini untuk mengurangi beban
anggaran belanja pegawai, yang pada akhirnya menambah jumlah pensiunan
di berbagai negara.
Mengingat pembiayaan pensiun PNS dibayarkan atau ditunjang oleh
penerimaan negara, banyak yang mengatasi masalah keuangan negara dengan
cara yang kurang tepat, yang tidak membawa hasil dalam
mengembalikan keseimbangan fiskal. Karena itu, World Bank (2004)
menganjurkan negara- negara berkembang tersebut untuk mengambil
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengurangi kewajiban pembayaran pensiun melalui perubahan
parameter (contohnya dengan mengurangi item-item yang dalam
tunjangan atau mengurangi jumlahnya).
2. Secara berkala berpindah ke sistem cost-sharing dengan
PNS.
3. Membuat sistem pensiun yang lebih luwes dan dapat diterapkan
dalam jangka panjang.
4. Menyeimbangkan komponen yang dikompensasi untuk menarik,
mempertahankan dan memotivasi PNS.
Pendanaan
Asuransi kecelakaan kerja dan kesehatan didanai dari kontribusi yang
dibayar oleh pegawai. Sedangkan jaminan hari tua didanai dari 5.7% dari
gaji pokok bulanan (3.7% dibayar oleh pihak pemberi kerja dan 2% oleh
pekerja). Asuransi kecelakaan kerja dan manfaat pensiun merupakan hal yang
wajib, sedangkan asuransi kesehatan (yang dibayarkan oleh pemberi kerja
sejumlah
3% untuk single dan 6% untuk pegawai yang berumah tangga) dapat
dihindari
bila perusahaan memiliki paket lain yang layak. Namun demikian, sistem ini
tidak selamanya ditaati oleh pihak pemberi kerja, sehingga masih
banyak pihak pemberi kerja yang tidak membayar asuransi kesehatan
sama sekali (Asher 2000a).
Replacement Rates
Replacement rate untuk jaminan hari tua bagi pegawai swasta jumlahnya
sangat rendah. Menurut Asher (1998), bahkan dengan menggunakan asumsi
optimistik mengenai tingkat penegembalian investasi dan setelah kontribusi
(yaitu masa kerja) selama 35 tahun, skema ini hanya memiliki
replacement rate sekitar 10%. Menurut Gough (2001b), saldo rata-rata
dalam provident fund pada akhir masa kerja adalah Rp.510.000, sekitar dua
bulan upah minimum. Angka dari ILO Report (2003:99) sedikit lebih
optimistis. Mengingat rata-rata jumlah lump sum yang dibayarkan pada akhir
masa kerja seseorang adalah sebesar Rp.2.100.000,- maka hal ini kira-kira
setara dengan delapan setengah bulan upah minimum.
Ada beberapa alasan mengapa replacement rate di sektor swasta ini sangat
rendah. Pertama, sebagian besar pekerja di sektor swasta (walaupun berada di
sektor formal) berpenghasilan sangat rendah sehingga kontribusi
yang diberikan (yang berdasarkan persentase) juga sangat rendah. Menurut
suatu laporan yang tidak dipublikasikan (Gough 2001b), 57% anggota
membayar kontribusi pada tingkat upah minimum. Tentu saja, kontibusi yang
dibayar menurut tingkat upah minimum ataupun dibayarkan secara terputus-
putus (biasanya terjadi di kalangan pekerja musiman dan para perempuan
pekerja) secara otomatis menghasilkan jumlah pembayaran manfaat yang
kecil pula. Selain itu, banyak pekerja di sektor formal digaji dengan upah
minimum (yang merupakan dasar pembayaran asuransi), namun menerima
penghasilan lain- lain dalam bentuk tunjangan dan bonus. Kedua,
anggota asuransi diperkenankan untuk menarik/mengambil dananya setelah
lima tahun bergabung dalam skema asuransi, apabila yang bersangkutan
berhenti bekerja. Hal ini berarti bahwa setelah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1998, banyak penarikan dana yang terjadi bukan karena
pensiun melainkan karena PHK. Ketiga, replacement rate rendah disebabkan
oleh kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi. Sebagian besar
aset diinvestasikan pada deposito berjangka (41%), obligasi (11%), surat
berharga pemerintah (30%), property (10%) dan saham (8%). Investment
pada aset luar negeri tidak diperkenankan oleh peraturan, sehingga
penyebaran risiko sangat terbatas. Lebih jauh lagi, sebagian besar
investasi bersifat jangka pendek, padahal kewajiban membayar pensiun
adalah jangka panjang.
Coverage
Menurut peraturan, perusahaan-perusahaan swasta yang mempekerjakan 10
karyawan atau lebih, atau memiliki payroll sebesar satu juta rupiah atau
lebih, wajib bergabung dengan Jamsostek dan mendaftarkan karyawannya.
Pada kenyataannya, tingkat kepatuhan perusahaan sangat rendah, dan sektor
formal berkembang lebih cepat daripada tingkat coverage PT Jamsostek.
Menurut Tambunan dan Purwoko (2002:45), hanya 57% karywan dari sektor
formal swasta yang benar-benar tercover oleh asuransi PT Jamsostek. Hanya
25% anggota yang benar-benar mematuhi peraturan (Asher 2000b);
sedangkan banyak perusahaan lain yang diduga tidak melaporkan jumlah
yang sesungguhnya untuk mengurangi jumlah kontribusi yang harus mereka
bayar.
Coverage dari PT Jamsostek sangat rendah, karena Jamsostek hanya
terbatas pada pekerja di sektor formal. Sehingga, pekerja di sektor non formal
dan wiraswasta tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, pada sektor formal
pun banyak pemberi kerja yang menolak untuk mengcover pekerja
kontrak dan
pekerja musiman. Padahal, jumlah mereka sangat banyak Satu hal lagi,
karena buruknya reputasi PT Jamsostek, banyak pihak pemberi kerja yang
tidak mendaftarkan diri (pendaftaran anggota dilakukan melalui pihak
pemberi kerja, bukan secara langsung dari karyawan/pekerja).
Kebijakan subsidi pangan terarah (targeted food subsidy) sebagai kebijakan income transfer
untuk keluarga miskin, menjadi penting sebagai program nasional. Program ini dirancang untuk
tidak menghambat perkembangan pangan lokal serta tidak mendorong perubahan pola
konsumsi yang terlalu cenderung ke beras atau gandum.
Tujuan Raskin adalah membantu keluarga miskin/rawan pangan dalam rangka memenuhi
kebutuhan pangan pokoknya sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga
melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat Raskin pada tingkat harga
bersubsidi dengan jumlah yang telah ditentukan dan dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan pemerintah.
Masyarakat yang termasuk kelompok rawan pangan ini juga merupakan masyarakat miskin yang
daya belinya rendah dan sebagian besar pengeluarannya adalah dibelanjakan untuk konsumsi
pangan pokok. untuk membantu keluarga miskin/rawan pangan tersebut, maka langkah
penanggulangan yang ditempuh adalah melanjutkan Program Beras Untuk Masyarakat Miskin
(Raskin) yang memiliki ciri spesifik antara lain:
a. Tidak disalurkan melalui pasar umum, tetapi penjualan langsung kepada keluarga penerima
manfaat (bersubsidi).
b. Jumlah beras yang disalurkan tidak tergantung pada permintaan pasar, tetapi berdasarkan
jumlah keluarga penerima manfaat.
c. Tidak ditujukan dalam upaya stabilisasi harga pasar, tetapi untuk membantu pemenuhan
kebutuhan beras keluarga yang menjadi sasaran penerima manfaat Raskin.
Penerima manfaat adalah keluarga miskin rawan pangan yang memenuhi satu atau lebih
kriteria:
a. keluarga tidak mampu makan dua kali sehari,
b. keluarga tidak mampu mengkonsumsi pangan sumber protein minimal seminggu sekali,
c. sudah ada anaknya yang putus sekolah,
d. pekerja/buruh kasar,
e. bila anggota keluarga sakit tidak.mampu lagi ke fasilitas kesehatan serta dengan kriteria
lainnya yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan Pemerintah Daerah setempat.
Titik distribusi adalah tempat penyerahan/pendistribusian beras di tingkat kelurahan/desa yang
terdekat dengan keluarga sasaran penerima manfaat, yang ditentukan atas dasar
kesepakatan/musyawarah antar instansi pelaksana Raskin yang terkait, sesuai tingkatan wilayah
operasionalnya. Untuk daerah-daerah yang tidak memungkinkan titik distribusi di tingkat
kelurahan/desa seperti daerah terpencil dan sulit transportasinya, maka penetapan titik distribusi
dilakukan atas kesepakatan dengan pihak Pemda.
Middle Income
§ Filipina 38 12 6 2.3
§ Turki 58 26 14 4.0
§ Korea Selatan 90 50 25 6.6
§ Paraguay 18 24 13 2.8
High Income
§ Jerman 75 76 63 8.0
§ Jepang 100 64 56 6.5
§ Perancis 100 95 71 8.0
§ Belanda 100 94 73 7.9
RANGKUMAN
§ Tunjangan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah di
Amerika Serikat terdiri atas komponen-komponen utama program sebagai
berikut: (a) Medicaid, (b) Jaminan Penghasilan Tambahan, (c) Kupon
Makanan, (d) Perumahan Murah, dan (e) Tunjangan Kesejahteraan.
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria
AFDC (Aid to Families with Dependent Children) atau yang disebut
program kesejahteraan.
§ Program kesejahteraan AFDC menerapkan tarif pajak marjinal,
dimana tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat, sehingga
tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat. Selain itu,
persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala
keluarga pria dan jumlah tunjangan yang diberikan dianggap tidak
memadai.
§ Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan
rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan
pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah.
§ Alternatif tunjangan lain dengan bentuk pajak penghasilan negatif,
jika pendapatan kotor meningkat maka pajak negatif akan menurun
sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif
terutang.
§ Asuransi sosial di Amerika Serikat memiliki komponen-komponen
utama yang terdiri atas sistem asuransi OASI (Old Age and Survivors
Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).
§ Beberapa jenis asuransi sosial yaitu: (1) Asuransi pensiun dan cacat,
(2) Asuransi kesehatan, dan (3) Asuransi pengangguran.
§ Karena dianggap memberikan dampak negatif, tunjangan sosial
terkini tidak lagi memberikan tunjangan dalam bentuk tunai tetapi
beralih ke bentuk non tunai. Aturan tersebut menciptakan program
kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (TANF).
§ TANF mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) bantuan tunai hanya
temporer (tidak setiap saat), berbeda dengan AFDC yang memberikan
bantuan manfaat tunai secara mutlak bagi orang yang mempunyai
pendapatan di bawah batasan tertentu, (2) individu tidak diijinkan
menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun, (3) orang
dewasa normal (tidak cacat) yang menerima bantuan tunai selama dua
tahun diharuskan mengambil bagian dalam kegiatan yang dapat
menghidupi dirinya, (4) setiap negara bagian memperoleh grant untuk
melaksanakan program kesejahteraan dari pemerintah federal yang
jumlahnya tetap. Struktur pemberian bantuan dikendalikan
pelaksanaannya oleh pemerintah federal.
§ Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara
yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak.
§ Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional, sebagai berikut: (a)
prinsip kegotong-royongan, (b) prinsip nirlaba, (c) prinsip keterbukaan,
kehati- hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas, (d) prinsip
portabilitas, (e) prinsip kepesertaan bersifat wajib, (f) prinsip dana amanat,
(g) prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional berupa
dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan
peserta jaminan sosial, dan (h) Sistem Jaminan Sosial Nasional
meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan
jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib kerja yang
diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
§ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai UU No.40/2004 adalah:
(a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK), (b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), (c) Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan
(d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES).
§ Menurut UU Jaminan Sosial Nasional (UU No 40/2004) terdapat lima
jenis program jaminan sosial: (a) jaminan kesehatan, (b) jaminan
kecelakaan kerja, (c) jaminan hari tua, (d) jaminan pensiun, dan (e)
jaminan kematian.
§ Program jaminan sosial disediakan bagi angkatan kerja yang aktif
bekerja di sektor formal, bersifat contributory, dimana pihak penerima
manfaat memberikan kontribusi dalam bentuk pembayaran premi yang
dipotong dari gaji mereka.
§ Jaminan sosial untuk pegawai negeri didanai oleh APBN,
dengan replacement rates antara 75-100% untuk masa kerja 20-35 tahun,
dan mencakup seluruh keanggotaan di kalangan PNS.
§ Dalam mengatasi pembiayaan pensiun yang semakin besar, World
Bank menganjurkan negara-negara berkembang untuk mengambil
langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengurangi kewajiban pembayaran
pensiun melalui perubahan parameter, (2) secara berkala berpindah ke
sistem cost- sharing dengan PNS, (3) membuat sistem pensiun yang lebih
luwes dan dapat diterapkan dalam jangka panjang, (4) menyeimbangkan
komponen yang dikompensasi untuk menarik, mempertahankan, dan
memotivasi PNS.
§ Asuransi sosial untuk pegawai swasta mencakup asuransi kecelakaan
kerja, asuransi kematian, asuransi jaminan hari tua dan asuransi kesehatan
yang didanai oleh pegawai dan pemberi kerja (khusus untuk jaminan hari
tua).
§ Replacement rates di sektor swasta sangat rendah, hal ini disebabkan:
(a) sebagian besar pekerja swasta berpenghasilan sangat rendah, sehingga
kontribusi yang diberikan juga sangat rendah, (b) banyak penarikan dana
asuransi yang terjadi bukan karena pensiun, melainkan PHK, (c)
kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi, sebagian investasi
berjangka pendek sedangkan kewajiban membayar pensiun berjangka
panjang.
§ Jaminan sosial di Indonesia yang dapat diidentifikasikan sampai saat
ini adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM).
§ Jaring Pengaman Sosial (JPS) dikelompokkan menjadi empat
program besar, yaitu: (a) food security, meningkatkan penyediaan dan
penyaluran bahan kebutuhan pokok serta bantuan pangan bagi masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan, (b) social protection (perlindungan
sosial), meningkatkan penyediaan fasililtas pelayanan kesehatan dasar dan
bantuan obat-obatan, pendidikan, bantuan pendidikan, (c) employment
creation, meningkatkan penciptaan kesempatan kerja langsung dan
kesempatan berusaha untuk menumbuhkan daya beli masyarakat miskin,
(d) menggerakan kembali ekonomi rakyat dengan mendorong
pembangunan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil.
§ Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM)
mendapat dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM), dibayarkan langsung ke PT.
ASKES tanpa melalui Departemen Kesehatan untuk efisiensi,
akuntabilitas, dan transparansi.
LATIHAN
1. Mengapa program tunjangan kesejahteraan di Amerika banyak
menuai protes dari masyarakat?
2. Apa yang dimaksud dengan:
a. tarif pajak marjinal,
b. pajak penghasilan negatif.
3. Jelaskan masalah yang terjadi dalam asuransi sosial untuk kesehatan!
4. Apa dampak sistem tunjangan dalam bentuk tunai!
5. Sebutkan hal-hal yang diatur dalam Temporary Aid for Needy Families
(TANF)!
6. Dalam bentuk apa saja tunjangan kepada masyarakat
berpenghasilan rendah?
7. Jelaskan cara yang paling efektif dalam menunjang keluarga
berpenghasilan rendah !
8. Sebutkan komponen-komponen utama dari asuransi sosial di Amerika
dan jelaskan siapa saja yang berhak mendapat asuransi sosial tersebut!
360 Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan
Sosial
9. Apa yang dilakukan dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund?
10. Apa saja yang dapat oleh pemerintah daerah dalam menggunakan grant
yang diberikan pemerintah pusat ?
KEUANGAN PEMERINTAH
PUSAT DAN DAERAH
Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan fiskal
antar pemerintahan yang berlaku saat ini (lihat Tabel 17.1). Pertama,
federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal
finance).
Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat
II (kabupaten/kota) merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Atau, di
beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state)
bukan merupakan pelaku otonom. Perancis dan Inggris mencerminkan pola
ini untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara
1
Indonesia , Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina
dan Vietnam adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a).
Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian
tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah
2
bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi atau maksimalnya
3 4
berpola delegasi , dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory .
Implikasi
1
Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
2
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
3
Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang
berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah
Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-
undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam
penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak
pemberi wewenang (sovereign-authority).
4
Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan
mengubah baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah
dan pengaturan hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi
permasalahan-
dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk
transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Dati I dan Dati II)
dalam rangka untuk menggalakkan otonomi regional dan untuk memperbaiki
infrastruktur lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh pemerintah daerah sesuai
dengan pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat.
Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal
finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negara-
negara yang memiliki keanekaragaman dalam aspek geografis dan etnis
(Bird,
1994b serta Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-
batas
resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara
umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang.
Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut
model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika
Serikat dan Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi
adalah hubungan fiskal antara pemerintah federal (pusat) dengan pemerintah
negara bagian/propinsi (state) dan hubungan fiskal antara pemerintah negara
5
bagian/propinsi (state) dengan pemerintah lokal (kabupaten/kota).
Dimana masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi)
yang jelas
terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.
Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki
kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983).
Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan
model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian.
Menurut Bank Dunia (1995b) negara-negara seperti Pakistan, Argentina, dan
Afrika Selatan adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya
sejauh ini masih sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal.
Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan
federal juga berlaku. Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah,
Indonesia
secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini
terbukti,
permasalahan informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal
dan agent (Pemerintah Daerah).
5
Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties
(wilayah kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau
townships (Kota). Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama
pemerintahan regional dari pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan
(authority) independensi yang signifikan.
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 25/1999, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman
secara mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat
desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi.
Efisiensi
Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah pusat hanya
dapat menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara
konsisten. Oleh karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat
keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal, yaitu:
(1) Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)
Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah
memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya
dibandingkan pemerintah pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik
yang dibuat oleh pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap
keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat
oleh pemerintah pusat.
(2) Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local
Governments)
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan
inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini
dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai
"The Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi
pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar
oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan
pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di
lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling
tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak
yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada
kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan
barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di
wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal
melalui DPRD-nya (Hyman, 2002). Hipotesis tersebut memberikan
petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi
(maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat
lokal.
Keadilan (Equity)
Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan
redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi
klasik, redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan.
Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua
dimensi: keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-
locality equity). Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas
pemerintah daerah (subnational governments) dalam memenuhi pelayanan
publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya
ketidakadilan horisontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda
secara signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2)
karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan
pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini, maka perlu
dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang
lebih besar kepada daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan
(equalization grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi
ketidakadilan horisontal tersebut.
Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah
miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan
dalam kebijakan redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus
terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-locality equity).
Dalam merancang kebijakan redistribusi, pemerintah daerah memerlukan
dukungan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak
dapat mengambil kebijakan redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah
tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah untuk menggunakan kebijakan
redistribusi. Jika pemerintah daerah mengeluarkan program redistribusi
pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi
penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong
penduduk berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan
program redistribusi pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan
subsidi bagi penduduk miskin.
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting
bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau
efisiensi mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus
demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya
harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari
pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh
masyarakat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan
tidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang lain.
Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi,
dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing
tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya
manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi,
perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan
masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.
Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung
pelaksanaan desentralisasi, maka pemerintah daerah harus didukung sumber-
sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue,
pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal akan berjalan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1)
adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan
dan enforcement, dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan
kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
RANGKUMAN
§ Menurut Bird dan Vaillancourt, terdapat dua pola hubungan fiskal
antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship) yaitu
federalisme fiskal (fiscal federalism) dan keuangan federal (federal
finance).
§ Konsep federalisme fiskal menganggap Pemerintah Daerah Tingkat
II merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Di negara federal,
pemerintah negara bagian bukan merupakan pelaku otonom.
§ Federalisme fiskal merupakan model konsentrasi kekuasaan di pusat
yang semakin tinggi, sehingga kerangka yang sesuai untuk desentralisasi
adalah
bersifat “top down’, berpola dekonsentrasi atau delegasi, dan
kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory.
§ Model keuangan federal biasanya diterapkan di negara-negara
yang memiliki keragaman dalam aspek geografis dan etnis. Batas-batas
resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara
umum ditetapkan dengan undang-undang. Di mana pemerintah negara
bagian ataupun pemerintah lokal memiliki kewenangan (otonomi) yang
jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan
konstitusi federal.
§ Indonesia secara tidak langsung menerapkan model keuangan federal,
hal ini terjadi sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini
dapat terbukti, yaitu Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk
menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri.
§ Dimensi ekonomi dari suatu kebijakan keuangan publik adalah
stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi. Aspek-aspek
inilah yang dapat digunakan untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal.
§ Berdasarkan aspek efisiensi, desentralisasi fiskal memiliki
keuntungan efisiensi potensial, yaitu: (1) efisiensi alokasi sumber daya
(efficient allocation of resources), (2) persaingan antar pemerintah daerah
(competition among local government).
§ Efisiensi alokasi sumber daya, berarti bahwa pemerintah daerah
memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya
dibandingkan pemerintah pusat, sehingga keputusan mengenai
pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah daerah lebih responsif
terhadap keinginan konstituennya.
§ Persaingan antar pemerintah daerah, yaitu persaingan antar daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong
pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Seperti yang
dikemukakan “Tiebout Model” bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan
barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat
merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah
daerah. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam
penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
§ Menurut penelitian empiris, desentralisasi inheren dengan
destabilisasi, dimana sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan
potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro
ekonomi dibandingkan
sistem fiskal yang tersentralisasi. Negara federal yang terdesentralisasi
secara tinggi memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan
tingkat inflasi yang rendah.
§ Khusus bagi negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah
hal yang otomatis terwujud dengan diterapkannya desentralisasi. Jika
tanggung jawab pengeluaran lebih besar daripada sumber yang
tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Sebaliknya, jika
penerimaan lebih banyak daripada pengeluaran yang
didesentralisasikan, maka mobilisasi dana daerah dapat menurun dan
ketidakseimbangan makro ekonomi kembali muncul.
§ Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan
dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
Redistribusi berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan. Redistribusi memiliki dua dimensi, yaitu keadilan horisontal
dan keadilan lokal.
§ Keadilan horisontal merujuk pada tingkat kapasitas pemerintah
daerah dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama
penyebab munculnya ketidakadilan horisontal: (a) basis pajak (tax bases)
sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan yang lain, (b)
karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan
pelayanan. Untuk mengatasinya, perlu dirancang kebijakan untuk
memberikan sumber daya yang lebih besar ke daerah yang miskin.
Bantuan pemerataan (equalizational grant) adalah alat yang digunakan
untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut.
§ Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah
untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika dilakukan secara agresif,
maka akan menciptakan suatu insentif bagi penduduk berpendapatan
rendah untuk datang dan mendorong penduduk berpendapatan tinggi
untuk pindah ke mana saja.
§ Prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi terlepas
dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro menurut Bird dan
Vaillancourt adalah: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus
demokratis dan transparan, (2) biaya-biaya dari pengambilan keputusan
tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat sehingga tidak ada
ekspor pajak dan tambahan transfer level pemerintahan yang lain.
§ Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi menurut Sidik (2002)
tergantung pada: desain, proses, implementasi, dukungan politis baik
pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat
pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan,
370 Keuangan Publik: Teori dan Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan 370
Aplikasi Daerah
LATIHAN
1. Sebutkan 2 model hubungan fiskal antar pemerintah yang berlaku saat
ini, jelaskan !
2. Apa yang dimaksud dengan Agency Theory ?
3. Mengapa Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat derajat
desentralisasi fiskalnya lebih tinggi ?
4. Mengapa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya ?
5. Jelaskan yang dimaksud dengan Tiebout Model ?
6. Mengapa khusus untuk negara-negara berkembang, stabilitas
makroekonomi tidak otomatis terwujud dengan diterapkan desentralisasi
fiskal ?
7. Sebutkan faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya
ketidakadilan horisontal !
8. Sebutkan syarat-syarat keberhasilan desentralisasi fiskal menurut Bird dan
Vaillancourt !
9. Apa yang dimaksud dengan dekonsentrasi ?
10. Jelaskan keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal !
11. Jelaskan hubungan antara desentralisaasi fiskal dengan pengelolaan
makro ekonomi !
12. Apa yang dimaksud dengan redistribusi ?
13. Jelaskan yang dimaksud dengan :
a. keadilan horisontal,
b. keadilan vertikal.
14. Apa akibatnya jika pemerintah daerah mengeluarkan program
redistribusi pendapatan secara agresif ?
15. Bagaimana caranya untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ?
16. Menurut sidik (2002) pedoman apa saja yang harus dijalani
agar pelaksanaan desentralisasi fiskal berjalan dengan baik ?
17. Sebutkan tiga dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan
keuangan publik!
18. Jelaskan fakta di Pemerintah Daerah mengenai argumentasi
ekonomi tentang efisiensi !
TRANSFER PUSAT KE DAERAH:
TEORI DAN PRAKTIK
transfers)
TUJUAN TRANSFER
Pada dasarnya, transfer pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi
hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan
dari transfer ini bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical
equalization), pemerataan horisontal (horizontal equalization), mengatasi
persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities),
mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan
ide-ide baru (experimenting with new ideas), stabilisasi, dan kewajiban untuk
menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah.
MC
P1
PB DT
PA
DA DB
QB QT Q
Gambar 18.1
Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam
penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas
yang dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya
bertentangan dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan
lainya.
Misalnya, pemerintah pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan di
sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan
harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun
ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan
daerah. Pemerintah daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor
kesehatan lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat
setempat.
Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan
secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat memberikan transfer atau
insentif kepada daerah. Transfer pemerintah pusat kepada daerah semacam ini
akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai
dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.
Stabilisasi
Transfer dana dapat ditingkatkann oleh pemerintah ketika aktivitas
perekonomian sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke
daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk
dana-dana pembangunan (capital grants) adalah merupakan instrumen yang
cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat
diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak
berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi.
JENIS-JENIS TRANSFER
Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian
transfer oleh pemerintah pusat kepada daerah dapat disertai dengan syarat-
syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada
dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
besar, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose
grant, block grant dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant,
categorial grant, spesific purpose grant).
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat (unconditional
grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai
berikut:
1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari penerimaan dalam negeri yang
ditetapkan dalam APBN.
2. DAU untuk daerah propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh
persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari total DAU nasional.
3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, persentase
Dana Alokasi Umum untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan perubahan
tersebut.
4. DAU untuk suatu daerah propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh
daerah propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi daerah propinsi yang bersangkutan.
5. Porsi daerah propinsi merupakan proporsi bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
semua daerah propinsi di seluruh Indonesia.
6. DAU untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk
seluruh daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
7. Porsi daerah kabupaten/kota merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap
jumlah bobot semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
8. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan:
kebutuhan wilayah otonomi daerah;
potensi ekonomi daerah.
9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan (diskresi)
penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi
prioritas daerahnya.Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan
suatu formula tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin
meratanya kemampuan fiskal (fiscal capacity) daerah dalam menjalankan
pelayanan publik minimum, amat tergantung kepada kondisi atau keadaan di
masing- masing negara.
Penjelasan efek dari unconditional grant terhadap pembiayaan daerah,
dapat dilihat pada Gambar 18.2. Asumsikan terdapat dua jenis barang
publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan
transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis
horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other
public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis
1
AB adalah garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang
memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam
kasus ini adalah
barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva
2
indiferensi (indifference curve) .
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A
adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah
E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi
pada anggaran yang tersedia.Karena tidak ada batasan pada cara
pembelanjaan fasilitas publik manapun, maka yang bertambah akibat adanya
transfer adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya
pergeseran (shifting) budget line yang sejajar dari AB menjadi FG. Sehingga,
jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu menjadi OK
(untuk assested public goods) dan menjadi OH (untuk other public goods).
Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar,
sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi
i2i2 dan titik keseimbangan
.
baru menjadi E1
Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa penerima lebih memilih
unconditional grants dibandingkan bentuk transfer lainnya. Ini
mengingat, dengan unconditional grants memungkinkan tercapainya
kesejahteraan yang
1
Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi
dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar.
2
Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai
kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi
seorang konsumen.
lebih baik bagi daerah yang muncul dari kemungkinan untuk memilih yang
lebih besar. Namun, bagi pemberi, hal ini bisa juga menjadi suatu kerugian
karena tidak ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan maksud
pemberian grants tersebut.
Other
Public i2
F Goods
i1
A
E1
H
i2
E
C
i1 G
O D K B Assested Public Goods
Gambar 18-2
i1
S
E1
N
i2
E
C
Q
M
i1
O D B P Assested Public Goods
Gambar 18.3
i1
S
E1
N
i2
E
C
Q
T M
O D B P i1 Assested Public Goods
Gambar 18.4
Other
Public i2
Goods
i1
A
F E1
H
i2
E
C
i1 G
O D K B
Gambar 18.5
RANGKUMAN
§ Konsep desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Daerah juga dituntut untuk
membiayai sendiri biaya pembangunannya padahal pendapatan daerah
tidak bisa membiayai seluruh pengeluarannya, oleh karena itu,
transfer dana dari pusat (intergovernmental transfer) merupakan
sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah. Transfer
pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue
sharing) dan bantuan (grants).
§ Tujuan transfer dari pusat ke daerah, antara lain: (a) pemerataan
vertikal, (b) pemerataan horisontal, (c) mengatasi persoalan efek
pelayanan publik, (d) mengarahkan prioritas, (e) melakukan eksperimen
dengan ide-ide baru,
(f) stabilisasi, dan (g) menjaga tercapainya standar pelayanan minimum
di setiap daerah.
§ Pemerataan vertikal (vertical equalization), bertujuan untuk
mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level
pemerintahan, antara pemerintah pusat dan daerah yang disebabkan
perbedaan atas penguasaan sumber-sumber penerimaan (pajak). Kebijakan
yang dilakukan dengan melakukan GRS (general revenue sharing) yaitu
bagi hasil penerimaan umum.
§ Pemerataan horisontal (horisontal equalization), bertujuan untuk
menutup celah fiskal yang dimiliki oleh daerah. Celah fiskal ini
terjadi karena adanya perbedaan antara kapasitas fiskal, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dan kebutuhan fiskal, yaitu
besarnya kebutuhan belanja/pengeluaran suatu daerah. Transfer dari pusat
ke daerah akan digunakan untuk menutup celah fiskal tersebut.
§ Mengatasi persoalan efek pelayanan publik (Correcting
Spatial Externalities), maksudnya pemerintah pusat memberikan (transfer)
subsidi kepada pemerintah daerah untuk penyediaan barang publik yang
memiliki efek ‘menyebar’ ke wilayah-wilayah lainnya. Hal ini
dilakukan karena dengan adanya externalities (penyebaran), permintaan
meningkat, dan sulit bagi daerah untuk mengadakannya karena biayanya
terlalu mahal. Subsidi dibutuhkan sebesar selisih akibat peningkatan
permintaan sehingga biayanya berada dalam jangkauan daerah.
§ Mengarahkan prioritas (redirecting proprities), bertujuan agar
keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara
paralel walaupun memiliki perbedaan prioritas. Perbedaan ini diatasi
dengan memberi transfer/insentif ke daerah sehingga membantu
mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai harapan.
§ Melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (Experimenting with
New Ideas), berarti membutuhkan tempat uji coba. Bantuan (grants) ke
daerah diperlukan sebagai kompensasi atas daerah yang menjadi ajang uji
coba suatu program baru dari pusat karena daerah tidak mau menanggung
kerugian dan risiko sendiri.
§ Stabilisasi, yaitu menstabilkan kondisi perekonomian yang lesu
dengan memberikan transfer maupun mengurangi transfer ketika
perekonomian sedang booming. Instrumennya berupa transfer untuk
dana-dana pembangunan (capital grants).
§ Memenuhi standar pelayanan minimum, bertujuan memberikan subsidi
ke daerah dengan sumber daya sedikit agar dapat mencapai standar
pelayanan umum.
§ Kriteria desain transfer pusat ke daerah, antara lain: (1) otonomi,
(2) penerimaan yang memadai (revenue adequacy), (3) keadilan (equity),
(4) transparan dan stabil, (5) sederhana (simplicity), dan (6) insentif.
§ Jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar:
(1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant,
block grant), dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial
grant, spesific purpose grant).
§ Transfer tanpa syarat, bertujuan utnuk mengurangi ketimpangan
fiskal yang bersifat horisontal dan menjamin adanya pemerataan
kemampuan fiskal antar daerah. Ciri utamanya, daerah memiliki
keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkannya sesuai dengan
pertimbangan dan aturan yang menjadi prioritas. Unconditional grants
lebih disukai karena memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang lebih
baik bagi daerah, tapi bagi pemberi bisa menjadi kerugian karena tidak
ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan tujuan pemberian
grants.
§ Transfer dengan syarat, digunakan untuk keperluan yang dianggap
penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh
pemerintah daerah seperti proyek yang memiliki eksternalitas positif dan
proyek yang bersifat uji coba. Transfer ini dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu: transfer pengimbang (matching grants) dan transfer
bukan pengimbang (non-matching grants).
§ Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat ke
daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu
jenis urusan tertentu, dikarenakan dana daerah yang tidak cukup. Transfer
pengimbang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Transfer pengimbang
tidak terbatas (open ended matching grants), yang memang ditujukan
untuk menutup seluruh kekurangan dana dari proyek. Efek negatif dari
transfer ini dapat menyebabkan ketidakmerataan daerah, karena sifatnya
yang tidak terbatas. Sehingga daerah kaya membuat proyek kaya menjadi
lebih kaya. (2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching
grants), terdapat batasan jumlah dana maksimal yang dapat
digunakan. Transfer ini disukai oleh pemberi bantuan, walaupun dana
yang diberikan sesuai dengan besar proyek, jika biaya proyek melebihi
jumlah tertentu, pemberi bantuan akan mencukupkan bantuannya.
§ Transfer bukan pengimbang (non-matching grants), diberikan oleh
pusat kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis
urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah telah
mengalokasikan dananya. Hal ini dilakukan untuk mendorong daerah
agar
tetap bersemangat melaksanakan fungsi tersebut karena
menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain.
LATIHAN
1. Apa saja tujuan dari transfer pusat ke daerah ?
2. Mengapa bisa timbul ketimpangan vertikal (vertical imbalance) ?
3. Sebutkan tujuan dari vertical equalization transfer dan
horizontal equalization transfer !
4. Jelaskan mengapa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh
yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalization transfer di
Indonesia !
5. Jelaskan kriteria desain transfer ke daerah dari sudut pandang :
a. keadilan,
b. transparan dan stabil,
c. insentif.
6. Jelaskan adanya transfer tanpa syarat dan tujuannya !
7. Apa yang dimaksud dengan transfer pengimbang tidak terbatas
dan transfer pengimbang terbatas !
8. Jelaskan yang dimaksud dengan transfer bukan pengimbang !
9. Jelaskan yang dimaksud dengan desentralisasi ?
10. Apa implikasi dari aspek pembiayaan yang juga ikut terdesentralisasi ?
11. Sebutkan dua macam transfer pusat ke daerah !
12. Mengapa diberlakukan praktek vertical equalization di Indonesia,
jelaskan dengan contohnya !
13. Apa yang dimaksud dengan horizontal equalization transfer dan
mengapa hal itu diperlukan ?
14. Apa yang dimaksud dengan :
a. faktor penyeimbang,
b. faktor lump sum.
15. Jelaskan faktor formula Dana Alokasi Umum (DAU) dan
sebutkan variabel-variabelnya !
16. Apa yang dimaksud efek menyebar yang dimiliki pelayanan publik
di suatu wilayah ?
17. Suatu kondisi yang seperti apa di dalam kurva jika daerah setempat
dapat mengadakan fasilitas publik yang dimaksud ?
18. Bagaimana cara pemerintah pusat melakukan redirecting priorities
terhadap pemerintah daerah !
19. Apa yang dimaksud dengan experimenting with new ideas yang
dilakukan pemerintah pusat pada pemerintah daerah ?
20. Jelaskan yang dimaksud dengan Pustulat Musgrave yang berkaitan
dengan standar pelayanan minimum di daerah !
21. Sebutkan kriteria umum desain transfer pusat ke daerah !
22. Apakah ciri utama dari transfer tanpa syarat di daerah ?
23. Apa yang dimaksud dengan :
a. garis anggaran
b. kurva indeferensi
24. Mengapa penerima lebih memilih unconditional grants
dibandingkan dengan bentuk transfer lainnya dan mengapa pemberi dapat
merasa dirugikan ?
PERPAJAKAN DAERAH
Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah
yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak
selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung
pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan
tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model
Leviathan.
Model Leviathan
Tarif Pajak
Daerah
Kurva Laffer
*
t
Gambar 19.1
1
Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia,
LPEM Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar
daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti
memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi
krisis ekonomi.
Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari
segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini
mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih
mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap pusat untuk
memperoleh tambahan bantuan.
Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini
mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya
2
pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang
rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target”
dalam
pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong
memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi
sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target
yang ditetapkan.
Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini
mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran
daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10%
hingga 50%. Sebagian besar daerah propinsi hanya dapat membiayai
3
kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10% . Variasi dalam penerimaan ini
diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada
daerah penghasil
sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi
pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar
daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai
600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat
rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat
besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya
yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan
biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
2
Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase
perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan
perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan
perpajakan apabila PDB berubah 1%.
3
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran
2001.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari
‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan
kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-
pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu), seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi
kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu
jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39%
dari total penerimaan pajak (pajak
4
pusat dan pajak daerah). Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-
sumber
penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia dari sisi revenue
assignment masih terlalu ”sentralistis”.
RANGKUMAN
§ Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari perpajakan
dengan cara: (1) melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing)
yang dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat, yaitu PPh, PBB, dan
BPHTB menurut UU No.25/1999. (2) Pemerintah daerah dapat memungut
tambahan pajak (opsen, surchage) di atas suatu pajak yang dipungut dan
dikumpulkan oleh pemerintah pusat. (3) Pungutan-pungutan yang
dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah daerah sendiri yang diatur
dalam UU No.34 Tahun 2000.
§ Kriteria perpajakan daerah antara lain: (1) kecukupan dan elastisitas,
(2) pemerataan/ keadilan, (3) kemampuan administratif, dan (4) dapat
diterima secara politik.
§ Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendapatan tersebut
harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan
seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Elastisitas
adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar
dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran pemerintah
daerah dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis.
§ Pemerataan/keadilan, bahwa beban pengeluaran pemerintah
haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan
kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan
memiliki tiga dimensi: (a) pemerataan vertikal, dalam hubungan
pembebanan pajak atas
4
Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.
tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Pajak yang baik adalah pajak yang
bersifat progresif dan pajak yang tidak baik bersifat regresif,
(b) pemerataan horisontal, dalam konteks hubungan pajak berdasarkan
sumber pendapatan, (c) keadilan geografis, pembebanan pajak harus adil
antar penduduk di berbagai daerah.
§ Kemampuan administratif berarti administrasi pemungutan pajak
harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib
pajak.
§ Adanya kesepakatan politik, untuk memunculkan kemauan politik
yang diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif,
memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut
diterapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi
terhadap para pelanggar. Dengan kemauan politik, timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
§ Selain empat kriteria, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria
non- distorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau
pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap
perekonomian.
§ Ciri-ciri tertentu suatu pajak daerah, antara lain: (a) secara ekonomis
dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih
besar dibandingkan ongkos pemungutannya, (b) relatif stabil, artinya
penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, (c) tax base-nya
harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan
kemampuan untuk membayar (ability to pay).
§ Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi.
§ Fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) fungsi budgeter,
pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, (2) fungsi
regulator, pajak sebagai alat pengatur untuk mencapai tujuan, misalnya
pajak minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
§ Kriteria dan pertimbangan dalam pemberian kewenangan
perpajakan kepada tingkat pemerintahan pusat/propinsi dan
kabupaten/kota menurut Tersa Ter-Minassian, yaitu: (1) pajak yang
ditujukan untuk stabilisasi ekonomi dan distribusi pendapatan menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat, (2) pajak yang terlalu “mobile”
dipertahankan di pemerintah yang lebih tinggi, basis pajak yang
diserahkan kepada daerah tidak terlalu “mobile” sehingga mempermudah
daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan
dari kemampuan masyarakat, (3) basis pajak yang distribusinya sangat
timpang antar daerah dipertahankan di pemerintah pusat, (4) pajak
daerah bersifat “visible” jelas bagi pembayar
pajak, yaitu objek, subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan
mudah dihitung, (5) pajak daerah tidak dapat dibebankan kepada
penduduk daerah lain, (6) pajak daerah dapat menjadi sumber penerimaan
yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar,
(7) pajak daerah harusnya relatif mudah diadministrasikan, (8) pajak dan
retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan pada semua tingkat
pemerintahan.
§ Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari
pajak daerah perlu memperhatikan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.
Model Leviathan yang menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif
dan dasar pengenaan pajak dengan penerimaan total maksimum,
menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus
dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan
pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur
pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan
kuantitas barang terhadap penggunaan pajak sedemikian rupa, maka akan
dicapai total penerimaan maksimum.
§ Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya yaitu PP No. 65
Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001
tentang
Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang
dipungut oleh propinsi dan kabupaten/kota.
§ Pajak propinsi terdiri atas empat jenis, yaitu: (a) Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (b) Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (c) Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
§ Pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti tidak dapat memungut
pajak lain selain yang telah ditetapkan dan hanya dapat menambah jenis
retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk pajak
propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur
dalam PP No.65
Tahun 2001.
§ Pajak daerah kabupaten/kota terdiri atas tujuh jenis pajak, yaitu: (1)
pajak hotel, (2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5)
pajak penerangan jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C,
dan (7) pajak parkir.
§ Pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, yaitu diberi peluang
untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang
ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan
menetapkan sendiri
jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria sebagai
berikut: (a) bersifat pajak dan bukan retribusi, (b) objek pajak terletak di
wilayah daerah kabupaten/kota dan mempunyai mobilitas yang cukup
rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah yang bersangkutan,
(c) objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, (d) objek pajak bukan merupakan objek pajak
propinsi dan atau pajak pusat, (e) potensinya memadai, (f) tidak
memberikan dampak ekonomi yang negatif, (g) memperhatikan aspek
keadilan dan kemampuan masyarakat, (h) menjaga kelestarian lingkungan.
§ Ketentuan mengenai bagi hasil pajak propinsi dan peruntukannya,
sebagai berikut: (a) hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air diserahkan pada kabupaten/kota paling sedikit
30%, (b) hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%, (c) hasil
penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%.
§ Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota diperuntukkan paling sedikit
10% bagi desa di wilayah kabupaten/kota. Gubernur berwenang untuk
merealokasikan hasil penerimaan pajak jika penerimaan terkonsentrasi
pada sejumlah kecil daerah saja.
§ Menurut UU No.34/2000 , tarif pajak propinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan paling tinggi sebesar: (a) Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen), (b) Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh
persen), (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima
persen), (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan 20% (dua puluh persen), (e) Pajak Hotel 10% (sepuluh
persen), (f) Pajak Restoran 10% (sepuluh persen), (g) Pajak Hiburan 35%
(tiga puluh lima persen). (h) Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen),
(i) Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen), (j) Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen), (k) Pajak Parkir 20%
(dua puluh persen).
§ Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah
satu komponen PAD. Namun, pelaksanaannya belum memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara
keseluruhan.
§ Permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian
dan peningkatan PAD, disebabkan oleh: (a) relatif rendahnya basis
pajak dan
retribusi daerah, (b) perannya yang tergolong kecil dalam total
penerimaan daerah, (c) kemampuan administrasi pemungutan di daerah
yang masih rendah, (d) kemampuan perencanaan dan pengawasan
keuangan yang lemah.
§ Peran PAD yang tidak signifikan, tidak lepas dari ‘’ tax
assignment system” di Indonesia yang masih memberikan kewenangan
penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak
potensial. Ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber penerimaan
pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia masih “sentralistis”.
LATIHAN
1. Sebutkan dua cara pemerintah daerah memperoleh pendapatan
dari perpajakan di Indonesia !
2. Berdasarkan prinsip keadilan dari perpajakan daerah, jelaskan
yang dimaksud dengan :
a. pemerataan secara vertical
b. pemerataan secara
horizontal c. keadilan geografis
3. Sebutkan empat kriteria perpajakan daerah
!
4. Apa yang dimaksud dengan kriteria non distorsi
terhadap perekonomian, dan apa tujuan dikeluarkannya UU no. 34
tahun 2000 !
5. Berdasarkan model Leviathan, mengapa total penerimaan
pajak maksimum bukan pada saat tarif tertinggi?
6. Mengapa terdapat banyak permasalahan yang terjadi di
daerah berkaitan dengan penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ?
7. Jelaskan yang dimaksud dengan opsen
?
8. Jelaskan dua dimensi dari elastisitas sehubungan dengan pajak
?
9. Sebutkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki suatu pajak daerah
khususnya di negara yang sedang berkembang ?
10. Jelaskan fungsi pajak sebagai
:
a. Fungsi Budgetair
b. Fungsi Regulator
11. Mengapa basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya
tidak terlalu mobile ?
12. Jelaskan dengan singkat pertimbangan yang diperlukan
dalam pemebrian kewenangan perpajakan kepada tingkat
pemerintahan ?
13. Apa yang dimaksud dengan pajak daerah seharusnya visible ?
14. Apa yang dimaksud dengan pajak propinsi bersifat limitatif
dan mengapa pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif ?
15. Sebutkan yang termasuk jenis pajak propinsi !
16. Sebutkan jenis-jenis pajak daerah kabupaten/kota !
17. Bagaimana ketentuan pembagian dari hasil pajak propinsi ?
18. Mengapa peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum
signifikan dalam anggaran daerah ?
HUTANG PUBLIK
RANGKUMAN
§ Pinjaman pemerintah adalah penutupan defisit anggaran
pemerintah dengan melalui pinjaman baik dari dalam maupun luar
negeri (Mankiw,
2001). Hutang negara dibedakan menjadi dua, yaitu (1) reproductive
debt,
hutang yang dijamin seluruhnya dengan kekayaan negara yang berhutang
atas dasar nilai yang sama besarnya, dan (2) dead weight debt, hutang
yang tanpa disertai dengan jaminan kekayaan.
§ Dapat dibedakan juga pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar
negeri (internal debt dan external debt). Pinjaman dalam negeri, bersifat
paksa maupun sukarela sementara pinjaman luar negeri bersifat sukarela.
§ Hutang publik yang dilaksanakan pemerintah Indonesia berupa
Surat
Utang Negara (SUN) dan hutang/pinjaman luar
negeri.
§ SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalm mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan
masa berlakunya. Diatur berdasarkan Undang-Undang No.24/2002.
§ SUN diterbitkan dalam bentuk “warkat” dan “tanpa warkat”
(scripless)
yang diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar
sekunder.
§ SUN terdiri atas: (1) Surat Perbendaharaan Negara yang berjangka
waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto, dan (2) Obligasi Negara berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
§ Tujuan penerbitan SUN: (a) membiayai defisit APBN, (b)
menutup kekurangan kas jangka pendek, dan (c) mengelola portofolio
utang negara.
§ Kewenangan penerbitan SUN berada di tangan pemerintah,
diwakili Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Bank Indonesia
dan disetujui oleh DPR, disertai catatan atas nilai bersih maksimal SUN
dalam
1 tahun anggaran dan pada saat pengesahan APBN.
§ Pengelolaan SUN dilakukan oleh Menteri Keuangan yang meliputi:
(1) penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan SUN, (2) perencanaan
dan penetapan struktur portofolio utang negara, (3) penerbitan dan
penjualan SUN di pasar perdana melalui lelang atau tanpa lelang
(issuance), (4) pembelian kembali (buyback), (5) penukaran (debt
switching/exchange offer), (6) pelunasan SUN (redemption) dan aktivitas
lain dalam pengembangan pasar SUN.
§ Kegiatan penatausahaan SUN yang mencakup pencatatan
kepemilikan, kliring dan setlement, serta agen pembayar bunga dan pokok
SUN dilakukan oleh Bank Indonesia (Central Registry).
§ Penawaran SUN dilakukan melalui lelang. Menteri Keuangan
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang (Auction Agent)
surat perbendaharaan negara dan obligasi negara di pasar perdana. Peserta
lelang antara lain bank, perusahaan pialang pasar uang dan perusahaan
efek. Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang,
kriteria peserta lelang, dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
§ Menteri Keuangan juga menunjuk BI atau pihak lain sebagai agen
untuk membeli dan menjual SUN di pasar sekunder. Pengaturan dan
pengawasan kegiatan perdagangan SUN dilakukan oleh BAPEPAM.
Pertanggungjawaban atas SUN dan dana yang dikelola disampaikan
bersamaan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN demi
akuntabilitas dan transparansi.
§ Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk
devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, dalam bentuk barang dan atau
jasa yang diperoleh dari pemeberi pijaman luar negeri (lender) yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu (loan agreement).
Pinjaman luar negeri terdiri dari: (a) Soft Loan dan (b) Export Credit.
§ Tahap-tahap pelaksanaan kerjasama Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri (PHLN), yaitu: (a)pertemuan awal membicarakan/membahas
kerjasama antar lembaga/instansi pada acara kunjungan resmi/tidak resmi,
hasil pertemuan dirangkum dalam catatan ertemuan yang belum mengikat
dan tidak perlu persetujuan sekretaris kabinet, (b) kegiatan “keinginan
antar pihak” yang menghasilkan komitmen untuk bekerjasama dalam
bidang tertentu di masa mendatang. Hasil kesepakatan disebut naskah
keinginan bersama, kesepakatan pendahuluan, nota kesepakatan atau
Letter of Intent (LoI), ditandatangani pejabat terkait namun belum
mendapat persetujuan sekretaris kabinet, (c) adanya “persetujuan antar
pihak” merupakan suatu kesepakatan yuridis antar lembaga/instansi,
namun tidak mengikat. Hasilnya disebut kesepakatan bersama, MoU,
atau naskah persetujuan sebagai payung bersama atau petunjuk teknis
pelaksanaan dari suatu persetujuan yang sudah ada, (d) perjanjian
pelaksanaan kerja sama (implementing agreement), merupakan perjanjian
yuridis antar lembaga/instansi yang mengatur kerjasama (teknis), sudah
mengikat lembaga-lembaga secara keseluruhan dalam batas-batas yang
telah disepakati. Diajukan dalam bentuk proposal perjanjian pelaksanaan
kerjasama pinjaman luar negeri ke sekretaris kabinet untuk mendapatkan
persetujuan. Implementing agreement bertujuan untuk menjabarkan
rencana pelaksanaan kerjasama (teknis) secara rinci, mencakup lebih dari
satu macam perjanjian pelaksanaan.
§ Tujuan proses penyusunan perjanjian kerjasama dan
pengusulan program/proyek PHLN adalah agar program/proyek pinjaman
luar negeri mendapat persetujuan dari sekretaris kabinet dan dicantumkan
ke dalam Blue Book oleh Bappenas. Terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu (a)
penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN dan (b)
pengusulan program/proyek PHLN.
§ Dalam penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN,
draft perjanjian disusun berdasarkan MoU oleh unit pengusul,
disampaikan ke biro perencanaan. Kemudian bersama biro hukum
merumuskan naskah perjanjian pelaksanaan kerja sama sehingga menjadi
naskah awal, setelah dibahas dan mendapat persetujuan sekretaris kabinet,
naskah awal menjadi naskah akhir yang disetujui dan ditandatangani
bersama menjadi naskah kerja sama.
§ Dalam proses pengusulan program/proyek PHLN, usulan
program/proyek PHLN dilampiri salinan naskah kerja sama yang diajukan
oleh departemen/lembaga pengusul kepada Menteri Negara PPN/Ketua
Bappenas untuk dicantumkan ke dalam blue book. Disusun dalam
dua
daftar yang terpisah, yaitu usulan bantuan proyek (project assistent)
dan usulan bantuan teknis (technical assistance).
§ Dalam pembuatan loan agreement, blue book dikirimkan oleh Bappenas
ke Departemen Keuangan, instansi pengusul dan negara/lembaga donor.
Kemudian dilakukan evaluasi ulang sehingga dihasilkan appraisal result
yang akan direview lagi, Hasil review yang akan dijadikan dasar untuk
melaksanakan persiapan perundingan (negotiation) untuk membuat loan
agreement, penyusunan, dan penandatanganan loan agreement.
§ Dua hal penting yang memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan
luar negeri ke negara-negara debitor yaitu: (a) memotivasi politik
(political motivation) dan (b) memotivasi ekonomi (economic motivation)
§ Motivasi ekonomi dalam memberikan bantuan, memiliki empat
argumen penting: (1) foreign exchange constraints, (2) growth and
savings, (3) technical assistance, (4) absorptive capacity.
§ Foreign exchange constraints, didasari oleh two gap model,
dimana negara-negara pemberi bantuan khususnya negara berkembang,
mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik
(domestic saving) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat
investasi yang dibutuhkan dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, kekurangan yang dialami negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan
nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor
barang modal dan intermediate.
§ Growth and savings, bahwa bantuan luar negeri akan digunakan
untuk memfasilitasi dan mengakselerasi tingkat pertumbuhan yang tinggi,
sehingga terjadi pertambahan tabungan domestik yang akan
berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang dinikmati negara-
negara maju.
§ Technical assistance, pendamping dari bantuan keuangan yang
bentuknya transfer sumber daya manusia tingkat tinggi untuk menjamin
aliran dana digunakan secara efisien dalam memicu pertumbuhan
ekonomi.
§ Absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana itu akan digunakan.
§ Teori Harrod-Domar berbicara tentang penggunaan bantuan luar
negeri dalam pembiayaan pembangunan terdiri dari empat pemikiran
mendasar: (1) modal asing (dana eksternal) dimanfaatkan untuk memacu
kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi, (2) untuk menjaga dan
mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan
perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan, (3)
modal asing berperan penting dalam memobilisasi sumber dana
dan
transformasi struktural, (4) kebutuhan modal asing akan menurun
segera setelah perubahan struktural terjadi.
§ Dampak-dampak dari pinjaman komersial selain sumber pembiayaan
dan memperkuat cadangan devisa nasional, yaitu: (a) terjadinya ekspansi
moneter yang akan mempengaruhi kestabilan ekonomi makro dan neraca
pembayaran, (b) gejolak nilai tukar mata uang dunia yang dapat dengan
seketika melonjakkan beban pembayaran kembali pinjaman, (c) makin
tingginya country risk dari Indonesia, berkurangnya kepercayaan
pihak luar karena jumlah pinjaman luar negeri yang semakin besar dengan
meningkatnya DRS dan persentase dari defisit transaksi berjalan terhadap
GDP.
LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan reproductive debt dan dead weight debt!
2. Apa yang dimaksud dengan Surat Utang Negara (SUN)?
3. Sebutkan tujuan diterbitkannya SUN!
4. Apa saja tugas Menteri Keuangan dalam pengelolaan Surat Utang Negara
(SUN)?
5. Jelaskan proses pelaksanaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)!
6. Apa perbedaan antara soft loan dan export credit?
7. Bagaimana proses penyusunan naskah perjanjian kerja sama PHLN
dilakukan?
8. Jelaskan bagaimana proses pembuatan loan agreement!
9. Jelaskan beberapa argumen penting yang menjadi dasar negara-
negara donor untuk mengalirkan bantuan ke negara debitor secara
motivasi ekonomi!
10. Bagaimana pendapatmu tentang penggunaan hutang luar negeri
terkait dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia, apakah sesuai dengan sasaran?
11. Sebutkan beberapa dampak dari membesarnya pinjaman komersial!
PINJAMAN DAERAH
PENDAHULUAN
Pinjaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai
pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai
pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak
yang dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan
dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar.
Pinjaman dalam negeri dapat berasal dari; pemerintah pusat, lembaga
keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber
lainnya seperti pinjaman dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari
masyarakat penghimpunan dana dapat melalui penerbitan obligasi daerah.
Walaupun kemungkinan nilai pinjaman yang mampu dikumpulkan cukup
besar karena banyaknya sumber yang bisa digunakan, namun perlu
diperhatikan adanya batas meminjam yang
432 Keuangan Publik: Teori dan Bab 21: Pinjaman Daerah 432
Aplikasi
PERSYARATAN-PERSYARATAN PINJAMAN
1
Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman
dari luar negeri ke Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman
tersebut diteruskan ke Pemerintah Daerah.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman
adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat
bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan.
Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan
pinjaman. Jangka waktu pinjaman pemerintah daerah bisa saja berkisar
antara
24 jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment,
maka
pemerintah daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang
setidaknya sama dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan
adalah jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak
dan retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut.
Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung
pada sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman
yang bersumber dari pemerintah pusat atau lembaga keuanga internasional
sering mencari turnover dana yang dipinjamkan secepat mungkin, misalnya
pinjaman untuk masa 10 tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan
kemampuan finansial pemerintah daerah.
Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode
pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti
membayar beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya
setiap kali pembayaran hingga masa pembayaran selesai. Komponen
dalam setiap kali pembayaran tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga
pinjaman.
Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund,
dimana angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang
dibayarkan adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi,
pengalaman menunjukkan bahwa bila cara sinking fund telah diterapkan dan
untuk memenuhi kewajibannya disanggupi dengan baik, namun dalam
prakteknya metode ini sering lebih merupakan usaha penyelematan terhadap
utang kepada pihak luar (external debt).
Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan
pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu
pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu,
pinjaman dari lembaga-lembaga internasional oleh suatu pemerintah biasanya
memberlakukan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar.
Namun, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga
memberlakukan fee, berupa management fee dan commitment fee yang
besarnya sangat tergantung dari negosiasi antara kedua belah pihak. Di
Indonesia, misalnya, management fee dan commitment fee sekitar 0,25% dari
pinjaman yang belum ditarik.
Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi
pinjaman biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan
pembayaran kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh
pemerintah daerah, tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan
dari pemerintah pusat atau dijamin dengan aset tertentu.
Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan
dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam
konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah baru
dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.
Legal Foundation
UU No. 5/1974 UU No. 25/1999
PP 107/2000
Institutional Setting
Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval)
Menteri Dalam Negeri, berkenaan Menteri Keuangan
dengan persetujuan batas maksimum DPRD
pinjaman dan persetujuan pemberian.
Menteri Keuangan, sebagai pengawas
RPD dan
440 Keuangan Publik: Teori dan Bab 21: Pinjaman Daerah 440
Aplikasi
persetujuannya
Batasan Pinjaman (Persyaratan) Batasan Pinjaman (Persyaratan)
1982: Debt Service Coverage Jumlah kumulatif pokok pinjaman
Ratio (DSCR) < 15% yang wajib dibayar tidak melebihi
Kepmendagri Nomor 96 Tahun 75% dari jumlah penerimaan umum
1994: APBD tahun sebelumnya.
§ Minimum DSCR = 1 DSCR minimal 2,5 berdasarkan
proyeksi penerimaan dan pengeluaran
§ Average DSCR > 1,5 selama jangka waktu pinjaman.
Jumlah maksimum pinjaman jangka
pendek adalah 1/6 jumlah belanja APBD
tahun anggaran berjalan.
Sumber-Sumber Pinjaman
Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Sumber Dalam Negeri:
Pusat § Pemerintah Pusat
Pinjaman Pemerintah Pusat § Perbankan
melalui RDI
§ Lembaga keuangan non-bank
INPRES untuk Pembangunan § Sumber-sumber lain
Pasar
Sumber Luar Negeri
IPEDA
§ Bilateral
Sumber-sumber Lain (BPD dan
sektor swasta) § Multilateral
Pemerintah Pusat melalui RPD
Sumber: Alm & Mulyani, 2000
Persyaratan Keterangan
Jangka Panjang (Long Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah
Term) yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh
puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya; dan
Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran
Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman,
Debt Service Coverage Ratio
(DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah).
Jangka Pendek (Short Jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah
Term) 1/6 (satu per enam) dari jumlah belanja APBD
tahun anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000
Larangan Penjaminan
Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan
terhadap pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan
Daerah.
Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan
umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman
Daerah.
Sumber: Pasal 10 PP 107/2000
RANGKUMAN
§ Pinjaman daerah dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1)
menutup kebutuhan dana jangka pendek, (2) membiayai kekurangan dana
anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang, (3) membeli
pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah, (4) membiayai
investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi
daerah, dan (5) membiayai pembangunan modal jangka panjang
(prasarana atau penyediaan pelayanan umum).
§ Prinsip pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman adalah
bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristiknya.
Pinjaman jangka panjang tidak boleh untuk membiayai kegiatan/investasi
jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan)
antara pembayaran yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan
pengahasilan.
§ Sumber-sumber pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah, yaitu: (1) pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih
atas, (2) pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, (3)
pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing, (4)
obligasi jangka panjang (bond), (5) pinjaman jangka pendek yang
diberikan oleh bank- bank komersial, (6) pinjaman hipotek atas aset
tetap, (7) pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, (8) dana
untuk sewa peralatan (leasing), (9) dana kontraktor untuk pembangunan
proyek-proyek.
§ Persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah :
(a) jangka waktu pinjaman, (b) cara pembayaran kembali, (c) tingkat
bunga, (d) keamanan pinjaman dan (e) persetujuan dan penyidikan.
§ Kebutuhan pinjaman daerah muncul karena alasan sebagai berikut:
(1) peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan
pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, (2) tingkat
urbanisasi yang lebih tinggi, (3) kewenangan daerah untuk menentukan
prioritas investasi daerah, (4) keterbatasan keuangan pemerintah pusat,
dan (5) keterbatasan pemerintah daerah dalam memobilisasi sumber-
sumber penerimaan daerah.
§ Pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada
prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations).
Proyek- proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi
dan sosial didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Pinjaman daerah
dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan
efisiensi penggunaannya, karena pemerintah daerah harus
memperhitungkan opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan
memprioritaskan proyek sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan
ekonomi.
§ Digunakan dua ukuran untuk memperkirakan kapasitas
meminjam pemerintah daerah agar terhindar dari resiko, yaitu: (1) DSR
(Debt Service Ratio), merupakan ambang batas kemampuan pelunasan
daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. (2) DCR
(Debt Coverage Ratio), merupakan angka perbandingan antara perkiraan
kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan netto) dengan total
rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya.
§ Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1999, daerah dapat
melakukan pinjaman yang bersumber dari: (a) dalam negeri, secara
langsung bila disetujui oleh DPRD, (b) luar negeri, melalui pemerintah
pusat.
§ Pinjaman daerah menurut PP No. 107 Tahun 2000, yaitu semua
transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah
uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Termasuk kredit jangka pendek
yang lazim dalam perdagangan.
§ Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya, maka:
(a) pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran
kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang, (b) pinjaman jangka
panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang
dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali serta
bermanfaat bagi pelayanan masyarakat.
§ Dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah banyak perubahan yang terjadi terkait dengan hubungan
antara pusat dan daerah. Salah satunya, diperkenankannya daerah
melakukan pinjaman sendiri secara langsung, artinya pemerintah pusat
tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Namun, pada kenyataannya
lembaga lender multilateral (ADB, World Bank, dll) mensyaratkan
perjanjian pinjaman dilakukan oleh pemerintah pusat.
LATIHAN
1. Sebutkan persyaratan yang harus dipenuhi didalam ketentuan pinjaman !
2. Jelaskan cara pembayaran kembali dengan :
a. metode anuitas,
b. metode singking fund.
3. Jelaskan mengenai Debt Service Fund (DSR) dan Debt Coverage Ratio
(DCR)!
4. Apa perbedaan manfaaat dari pinjaman jangka pendek dan
pinjaman jangka panjang ?
5. Apa yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara sebelum
dan sesudah keluarnya UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 28 tahun 1999 ?
6. Darimana saja pinjaman dalam negeri dapat diperoleh (PP 107/2000 pasal
2 ayat 2) ?
7. Jelaskan tujuan pemerintah daerah melakukan pinjaman menurut Davey
(1983) ?
8. Apa manfaat dari cara pinjam sewa (leasing) ?
9. Bagaimana cara menghindari mismatch (ketidaktepatan) antara
pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan
penghasilan ?
10. Sebutkan sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah !
11. Apa yang dimaksud dengan mekanisme pinjaman two step loan
dan subsidiary loan agreement ?
12. Mengapa persyaratan persetujuan diperlukan dalam persyaratan
pinjaman daerah?
13. Jelaskan yang dimaksud dengan prinsip keadilan antar
generasi (intergenerational equity considerations) dari pendapat yang
mendukung pinjaman daerah !
14. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari pemerintah pusat ?
15. Apa definisi dari pinjaman daerah menurut PP no 107 tahun 2000 ?
16. Jelaskan batasan pinjaman (persyaratan) dari pinjaman daerah
setelah kebijakan desentralisasi !
17. Jelaskan mengenai larangan penjaminan dalam pinjaman daerah ?
18. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari luar negeri ?
Daftar Pustaka