Anda di halaman 1dari 448

Daftar

Isi
Kata Sambutan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Kata Pengantar
Daftar Isi

BAGIAN I PENDAHULUAN
BAB 1 GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK 1
Alasan Mempelajari Keuangan Publik 2
Pentingnya Sektor publik 3
Karakteristik Kebijakan publik 5
Ruang Lingkup Keuangan Publik 6
Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik 7

BAB 2 BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS 11


Barang Publik 11
Perbedaan antara Barang Publik dan Barang Pribadi 13
Free Rider Problem 17
Eksternalitas 18

BAB 3 PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK 31


Tujuan Kebijakan Harga 31
Penentuan Harga Barang Publik 32
Implementasi Penentuan Harga 34

BAGIAN II KONSEP DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN


BAB 4 FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM
PEREKONOMIAN 43
Fungsi dan Aktivitas Pemerintah 43
Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi 45
Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian 47
Fungsi Alokasi. 48
Fungsi Distribusi 64
Fungsi Stabilisasi 74

BAB 5 KONSEP ANGGARAN 83


Jenis-jenis Anggaran 85
Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System) 89
Siklus Anggaran 91

BAB 6 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN 99


Unsur-Unsur Pembangunan 99
Kebijakan Struktur Perpajakan 102
Insentif Perpajakan 109
Kebijakan Pengeluaran 113
Bantuan Internasional dan Redistribusi 115

BAGIAN III PERPAJAKAN


BAB 7 DASAR-DASAR PERPAJAKAN 121
Fungsi Pajak 124
Prinsip-Prinsip Pajak 125
Siklus Arus Pajak 127
Tarif Pajak 128
Istilah-istilah Dalam Perpajakan 130
BAB 8 KEADILAN DAN DAMPAK PERPAJAKAN 137
Prinsip Manfaat 137
Prinsip Kemampuan Membayar 138
Kriteria Umum Keadilan Perpajakan 140
Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan 142
Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan 144
Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan 145
Dampak Pajak 148
Kriteria Tarif Pajak 153
Kriteria Struktur Pajak yang Baik 156

BAB 9 PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI 161


Aturan Utama 162
Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan 166
Praktek Definisi Penghasilan: Pengecualian 173
Praktik Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan Neto 180
Preferensi Pajak 183
Problema Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Tinggi 185
Problema Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah 185
Pola Progresivitas Tarif Pajak 187
Penyesuaian Terhadap Inflasi 190
Pilihan Unit Kena Pajak 191
BAB 10 PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN 197
Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan 197
Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak? 198
Siapa yang Menanggung Beban Pajak? 205
Integrasi Pajak 207
Aspek-Aspek Khusus Definisi Basis Pajak 212
Investment Tax Credit 222
BAB 11 PAJAK ATAS KONSUMSI 227
Jenis Pajak Atas Konsumsi di Indonesia 228
Bahasan-Bahasan Dalam Pajak Atas Konsumsi 229
Pajak Pertambahan Nilai 233
Distribusi Beban Pajak 238
Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi 240
BAB 12 PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN WARISAN 249
Alasan-Alasan Pengenaan Pajak Atas Kekayaan 249
Pajak atas Tanah 251
Struktur dan Basis Pajak Atas Kekayaan di Indonesia 252
Distribusi Beban Pajak Properti 255
Pajak Atas Kekayaan Bersih 261
Bea Atas Modal 265
Alasan-Alasan Pengenaan Pajak atas Warisan 265
Tujuan dan Jenis Pajak atas Warisan 265
Permasalahan-Permasalahan Khusus 267
BAB 13 PAJAK INTERNASIONAL 275
Prinsip Pajak Internasional 279
Koordinasi Pajak penghasilan 280
Koordinasi Pajak Produk 282
Tax Treaty 285
Cakupan Tax Treaty 286
Minimalisasi Pajak Berganda 289
Pencegahan Penghindaran Pajak 294
Ketentuan Lain Lain 295
Tax Treaty Mengalahkan UU PPh 296
Koordinasi Pengeluaran 297
Koordinasi Stabilisasi 298

BAGIAN IV BELANJA PUBLIK


BAB 14 KEBIJAKAN DAN STRUKTUR BELANJA PUBLIK 305
Konsep Welfare State 306
Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan 310
Klasifikasi Belanja Publik 316
BAB 15 KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM 325
Perlunya Analisis Sektor 325
Pertahanan Nasional 327
Jalan Raya 330
Pendidikan 331
Fasilitas Rekreasi 333
Global Public Goods 334
Privatisasi Barang Publik 334
BAB 16 KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL 341
Program Jaminan Sosial di Amerika Serikat 342
Sistem Jaminan Sosial di Indonesia 345

BAGIAN V DESENTRALISASI FISKAL


BAB 17 KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH 361
Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal 364
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal 367
BAB 18 TRANSFER PUSAT KE DAERAH: TEORI DAN PRAKTIK 373
Tujuan Transfer 375
Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah 380
Jenis-Jenis Transfer 381
BAB 19 PERPAJAKAN DAERAH 395
Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah 396
Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah 398
Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 402
Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan Peruntukkannya (Pasal 2A) 404
Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota 405
Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pembiayaan Daerah 405

BAGIAN VI HUTANG PUBLIK


BAB 20 HUTANG PUBLIK 413
Surat Utang Negara 414
Pengelolaan Surat Utang Negara 415
Hutang Luar Negeri 416
Proses Pelaksanaan Kerjasama Pinjaman dan Hibah Luar Negeri 417
Proses Penyusunan Perjanjian Kerjasama dan Pengusulan
Program/Proyek PHLN 418
Proses Pembuatan Loan Agreement 419
Hutang Luar Negeri dalam Pembangunan Ekonomi 419
BAB 21 PINJAMAN DAERAH 431
Pendahuluan 431
Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman 432
Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman 434
Persyaratan-Persyaratan Pinjaman 435
Penggunaan Pinjaman dalam Pembiayaan 436
Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia 437

Daftar Pustaka
Biografi Penyusun
Kata Pengantar

Seiring dengan tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik,


sektor publik cukup mendapat sorotan dari masyarakat luas terutama terkait
dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan publik ini merupakan
suatu hal yang sangat penting terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan
perekonomian nasional, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang
dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, bahasan
keuangan publik menjadi suatu hal yang perlu dipelajari seiring dengan pertumbuhan
sektor publik dari waktu ke waktu dalam jumlah yang besar.
Keuangan publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas
finansial pemerintah dan bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan mempunyai pengaruh terhadap
ekonomi, keuangan rumah tangga, dan swasta. Oleh karena itu, masyarakat sebagai para
pemilih wakil rakyat yang membuat keputusan, perlu memonitor aktivitas para wakilnya
apakah telah membuat kebijakan yang memihak pada rakyat. Keuangan publik,
mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah, juga menganalisis implikasi dari
kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan
stabilitas ekonomi.
Buku Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi ini mencoba memberikan wawasan
mengenai berbagai macam sisi dari keuangan publik dan diharapkan bisa menjawab
berbagai pertanyaan mengenai aktivitas publik yang dilakukan pemerintah serta alasan-
alasan yang mendasari pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Selain berisi
konsep, buku ini juga mencoba menyajikan contoh-contoh aplikasi dan kebijakan yang
terkait dengan keuangan publik.
Kami menyadari adanya keterbatasan sehingga buku ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, tanggapan, saran, serta kritik
yang membangun dari pembaca akan menjadi nilai tambah yang sangat berarti bagi
perbaikan kualitas di masa yang akan datang.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah
membantu dalam merealisasikan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi buah karya
yang bermanfaat bagi yang membaca dan menjadi salah satu referensi keilmuan dalam
bidang keuangan publik.

Jakarta, April 2006

Penulis
GAMBARAN UMUM KEUANGAN PUBLIK

Keuangan publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari


aktivitas finansial pemerintah. Yang termasuk pemerintah di sini adalah
seluruh unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas
publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan
publik menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh
pemerintah untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga
menganalisis pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami
mengapa jasa tertentu harus disediakan oleh negara dan mengapa pemerintah
menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Hal hal yang termasuk
dalam keuangan publik diantaranya adalah uraian-uraian yang
menjelaskan mengapa pertahanan nasional harus dikelola oleh negara
sedangkan makanan diserahkan kepada swasta dan mengapa suatu negara
menggunakan komposisi berbagai jenis pajak dan bukan hanya pada pajak
tunggal.
2 Keuangan Publik: Teori dan Bab I: Gambaran Umum Keuangan 2
Aplikasi Publik

Keuangan publik mempelajari bagaimana proses pengambilan


keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, karena setiap keputusan akan
mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga dan swasta.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengembangkan model-model
ekonomi yang dapat membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya yang
efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun
ekonomi atas suatu keputusan publik. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja
pemerintah, juga menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja
pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.

ALASAN MEMPELAJARI KEUANGAN PUBLIK


Keuangan publik erat kaitannya dalam proses pengambilan keputusan
berdasarkan asas demokrasi. Apabila para pemilih wakil rakyat
memonitor aktivitas para wakilnya, maka para wakil rakyat ini tentunya
akan bekerja lebih keras dan berusaha meyakinkan para pemilihnya
bahwa kontribusi mereka atas pembayaran-pembayaran pajak akan
menyebabkan pencapaian kondisi yang lebih baik.
Pertumbuhan sektor publik dari waktu ke waktu dalam jumlah yang sangat
besar merupakan alasan yang kuat dalam menumbuhkan rasa ingin tahu
permasalahan yang terdapat dalam keuangan publik. Dalam
perkembangan selanjutnya, pertanyaan akan timbul berkaitan dengan
mengapa pemerintah memerlukan anggaran sebanyak itu, digunakan untuk
apa uang-uang itu, dan apakah uang tersebut digunakan dengan bijaksana? Di
samping itu, akan muncul pula pertanyaan yang berkaitan dengan apakah
hasil penerimaan pajak (terutama pajak penghasilan) dari rumah tangga
seperti yang tercantum dalam anggaran negara memang relevan dengan
aktivitas-aktivitas sektor publik ini dan apakah pengeluaran-pengeluaran
untuk masing-masing jenis tersebut dilakukan dengan bijaksana?
Dalam kondisi normal, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan
rumah tangga maka akan semakin besar proporsi pajak yang harus
dibayarkan. Seiring dengan itu, tentunya kepentingan dan perhatian publik
akan semakin meningkat. Bagi individu yang merasa tidak puas dengan beban
pajak yang menjadi tanggungan mereka, maka mereka akan memberikan
pengawasan yang lebih pada aktivitas pemerintah. Namun apabila pembayar
pajak merasa terpuaskan, mereka akan dengan sukarela menyerahkan
sebagian pendapatan mereka. Dalam situasi ini, pembayar pajak akan
memberikan otoritas lebih kepada pemerintah untuk mengelola dan
mengendalikan sejumlah sumber
daya keuangannya. Dengan asumsi ini, sistem perpajakan sebaiknya
diarahkan pada kepuasan para individu pembayar pajak.

PENTINGNYA SEKTOR PUBLIK


Sektor publik dan sektor swasta merupakan kesatuan integral dalam sistem
perekonomian. Namun demikian, pemerintah bertanggung jawab dalam
melakukan tiga kegiatan publik utama, yang diantaranya adalah penyediaan
pertahanan nasional, keadilan sosial, dan pekerjaan umum. Kebijakan publik
akan merupakan suatu hal yang sangat penting terutama dalam hal
mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional, melalui kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. John Stuart Mill (1921), menyampaikan
beberapa alasan mengenai perlunya aktivitas publik yang dilakukan oleh
pemerintah, diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam hal pertahanan nasional, campur tangan pemerintah,
walaupun harus membatasi kebebasan individu, tetap dibutuhkan dalam
memelihara perdamaian dan melindungi masyarakat terhadap serangan
yang datang dari luar maupun dari dalam.
2. Pemerintah haruslah bersifat inferior dalam melakukan kegiatan
industri dan perdagangan karena usaha seperti itu dapat dijalankan
oleh sektor swasta.
3. Individu akan lebih percaya diri apabila mengerjakan sesuatu untuk
kepentingannya sendiri sehingga pemerintah hanya bergerak dalam area
yang menyangkut kepentingan publik atau umum.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh John Stuart Mill tersebut kemudian
diterjemahkan dalam sistem perekonomian kapitalis. Sistem ini,
menghendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak
membenarkan pengaturan ekonomi oleh pemerintah, kecuali dalam hal-hal
yang tidak dapat diatur sendiri oleh para individu.
Dalam perkembangannya, tidak ada lagi paham ekstrim seperti itu sehingga
negara kapitalis pun memandang perlu adanya peranan pemerintah dalam
perekonomian. Peran pemerintah tetap diperlukan dalam melakukan kegiatan-
kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis
mempunyai beberapa kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan
mekanisme pasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya barang publik (akan didefinisikan dan dibahas dalam
bab mendatang) yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar
sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
2. Adanya perbedaan antara biaya pribadi dan biaya sosial, manfaat
pribadi dan manfaat sosial sehingga pemerintah secara nyata
diperlukan dalam pengelolaan biaya dan manfaat sosial karena swasta
tidak ada keinginan untuk mengelolanya.
3. Adanya resiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta.
4. Adanya sifat monopoli dalam bidang usaha tertentu yang
menyebabkan pemerintah harus campur tangan agar monopoli tidak
merugikan para pelaku ekonomi.
5. Adanya inflasi atau deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara
otomatis oleh mekanisme pasar.
6. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku
ekonomi pasar.
Pada kenyataannya, dalam perekonomian, fungsi sektor publik berbeda
dengan fungsi rumah tangga dan perusahaan. Peran tersebut dapat
dilihat dalam siklus seperti dibawah ini.

Gambar 1.1. Hubungan antara arus sektor swasta dan sektor pemerintah

Dari gambar 1.1 terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat
antara arus sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor
pemerintah. Sektor publik (anggaran pemerintah) memberikan kontribusi
pada pasar faktor produksi dan pasar produk sehingga merupakan bagian
integral dari sistem pembentukan harga. Itulah sebabnya dalam merancang
suatu kebijakan fiskal, perlu diperhatikan bagaimana sektor swasta akan
bereaksi. Arus barang pribadi dan barang publik tidak dibiayai oleh
penjualan tetapi melalui perpajakan atau melalui pinjaman. Barang dan jasa
yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi oleh pemerintah atau
diproduksi oleh swasta
untuk dijual kepada pemerintah. Peranan sektor publik dalam
perhitungan GNP (Gross National Product) atau pendapatan nasional adalah
bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP melalui pembelian
barang dan jasa.

KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PUBLIK


Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik. Kriteria
pertama, komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan
keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan keputusan yang
terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan
pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat melaksanakan semua fungsi
ekonomi. Dengan demikian, karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat
mengarahkan, mengoreksi dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Secara
lebih terperinci karakteristik – karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Untuk mencapai efisiensi pasar. Suatu kondisi dimana produksi barang
sama dengan keinginan pasar. Kondisi ini mensyaratkan adanya informasi
yang lengkap mengenai pasar, baik bagi produsen maupun bagi
konsumen dan peraturan pemerintah yang diperlukan untuk menjamin
persyaratan kelengkapan informasi tersebut.
2. Peraturan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengoreksi
penyimpangan yang terjadi apabila terdapat kondisi persaingan yang tidak
efisien.
3. Pertukaran barang dan jasa tertentu. Dalam mekanisme pasar perlu
ada proteksi dari pemerintah untuk melindungi pelaku pasar.
4. Timbulnya masalah eksternalitas (akan dibahas lebih lanjut pada bab
mendatang) yang perlu dipecahkan oleh pemerintah, melalui
anggaran, subsidi dan pajak.
5. Perlunya peran sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk
distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam mekanisme pasar.
6. Untuk menjamin kesempatan kerja, stabilitas harga dan
tingkat pertumbuhan ekonomi.

RUANG LINGKUP KEUANGAN PUBLIK


Bahasan keuangan publik dimulai dari keadaan dan alasan perlunya peran
pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menyangkut kondisi-kondisi adanya
eksternalitas yang perlu dikendalikan pemerintah, adanya barang publik
yang
perlu dialokasikan oleh pemerintah, adanya mekanisme pasar yang perlu
diintervensi pola distribusinya oleh pemerintah karena berbagai alasan,
perlunya pencapaian kondisi stabil dalam ekonomi dimana peran pemerintah
sangat dominan, dan sebagainya. Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa
ruang lingkup keuangan publik mencakup hal hal sebagaimana
dikemukakan di bawah ini:
§ Keuangan publik mencoba memberikan gambaran tentang pilihan
publik yang menyangkut aspek institusi publik, keseimbangan publik
yang dicapai melalui proses pemilihan umum. Hasil pemilihan umum ini
akan menghasilkan keputusan yang diantaranya menyangkut penyediaan
barang dan jasa publik, dan juga alokasi dan distribusi sumber daya.
§ Keuangan publik akan mencakup masalah-masalah bagaimana
pemerintah memperoleh pendapatannya. Sumber pendapatan pemerintah
dapat mencakup pajak dan non pajak, dan dalam keuangan publik,
sumber- sumber tersebut akan dihubungkan dengan aspek keadilan dan
distribusi pendapatan.
§ Keuangan publik membahas aspek belanja publik yang
merupakan aktivitas utama pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa
publik untuk kesejahteraan masyarakat, (misalnya: belanja pemerintah
yang meliputi pendidikan, kesehatan dan pertahanan), dimana bahasan
tersebut akan dihubungkan dengan aspek efisiensi penyediaan jasa
tersebut. Salah satu titik penting pada sisi belanja tersebut adalah adanya
efek pengganda (multiplier) yang diperankan oleh pemerintah.
§ Aspek pembiayaan merupakan area pembahasan keuangan publik
berikutnya. Secara khusus, pemerintah perlu memberikan stimulus pada
perekonomian melalui kebijakan belanjanya yang mengalami
pertumbuhan dari waktu ke waktu, dimana belanja tersebut dapat
didanai oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pemerintah.
Untuk menutup kekurangannya, pemerintah dapat melakukan usaha-usaha
memperoleh sumber pendanaan lainnya, misalnya melalui hutang.
Bahasan yang meliputi kegiatan memperoleh pendapatan, kegiatan
yang mencakup belanja publik dan kegiatan pembiayaan sering disebut
sebagai struktur fiskal (fiscal structure).
§ Yang terakhir, bahasan keuangan publik biasanya juga
menyangkut kegiatan analisis hubungan antara kebijakan pemerintah
dengan perekonomian yang dikelola oleh rumah tangga dan swasta.

KRITERIA EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK


Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam melakukan
evaluasi dan analisis kebijakan publik yang diantaranya adalah sebagaimana
di bawah ini.

Keadilan dan kewajaran (Equity & Fairness)


Suatu kebijakan publik dapat diuji dengan berbagai pertanyaan. Pengujian
terutama dikaitkan dengan kewajaran dalam persepsi sosial dan fair tidaknya
suatu kebijakan publik terhadap isu hak kepemilikan. Sebagai contoh, apakah
wajar mempertimbangkan untuk menutup suatu perusahaan yang
menyebabkan polusi udara dimana dalam pertimbangan lainnya, perusahaan
tersebut juga menyediakan banyak kesempatan kerja pada saat tingginya
tingkat pengangguran? Apakah wajar mempertimbangkan untuk menutup
bisnis penebangan hutan dalam rangka menyelamatkan habitat burung hantu?
Atau, apakah wajar mengenakan pajak yang digunakan untuk kebijakan
pendidikan pada semua penduduk termasuk pada keluarga tanpa anak?

Efisiensi Ekonomi (Economic Efficiency)


Kebijakan publik dapat dianalisis dari sudut Pareto Efficiency yaitu melalui
realokasi sumber daya atau melalui perubahan alokasi – sehingga mencapai
kondisi dimana seseorang atau beberapa orang mengalami kepuasan lebih
baik tanpa menyebabkan pihak lain terbebani.

Sistem Paternal (Paternalism)


Kebijakan publik dapat dievaluasi dari asumsi bahwa pemerintah adalah
pihak yang paling mengetahui permasalahan penduduk suatu negara dan
pemerintah bebas menentukan kebijakan apa saja. Sebagai contoh, orang
tidak akan menabung dalam jumlah yang cukup untuk pensiun sehingga
pemerintah harus mengalokasikan penerimaan pajak agar penduduk usia
lanjut dapat memperoleh manfaat.

Kebebasan Individu (Freedom of choice)


Salah satu indikator keberhasilan kebijakan publik adalah apakah kebijakan
pemerintah dapat mendorong kebebasan individu dalam bertransaksi
ekonomi. Dalam asas demokrasi, kebebasan individu dalam perekonomian
memungkinkan pertukaran sukarela atau mempromosikan proses
pengambilan keputusan sukarela yang didasarkan atas pertimbangan
dagang yang bebas biaya transfer antar pihak yang bertransaksi.
Stabilisasi (Stabilization)
Kebijakan publik dapat dianalisis dengan menilai apakah kebijakan yang
diambil pemerintah mampu meningkatkan pengeluaran agregat? Atau apakah
ekonomi sektor swasta - yang dapat memberi pekerjaan pada setiap orang -
perlu diintervensi pemerintah?

Trade Off
Kebijakan publik dapat dievaluasi dengan pertanyaan apakah pilihan
kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan lainnya. Apakah manfaat agregat
dapat melampaui beban agregat? Secara umum, ekonom menekankan
efisiensi dan keadilan sebagai kriteria melakukan evaluasi atas kebijakan
publik. Akan tetapi, mungkin ada konflik yang substansial antara beberapa
kriteria tersebut. Contoh, kebijakan upah minimum mungkin mendorong
keadilan, tetapi hal ini mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics
telah dipertimbangkan sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi
kebijakan berdasar keadilan sosial.

RANGKUMAN
§ Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari
aktivitas finansial pemerintah dan bagaimana proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, karena setiap keputusan akan
mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah tangga dan
swasta.
§ Fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan
belanja pemerintah, dan juga menganalisis implikasi dari kegiatan
pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, ditribusi pendapatan,
dan stabilitas ekonomi.
§ Sektor publik telah mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu.
Jumlah yang sangat besar nilainya ini merupakan alasan yang kuat untuk
menumbuhkan rasa ingin tahu masalah keuangan publik.
§ Kebijakan publik akan merupakan suatu hal yang sangat penting
terutama dalam hal mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional,
melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
§ Dalam sistem perekonomian kapitalis sekalipun, peran pemerintah
tetap diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena
mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan.
§ Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik.
Kriteria pertama, komposisi output pengeluaran publik haruslah
sesuai dengan keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi
hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat
melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian karakteristik
kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi dan
melengkapi peranan mekanisme pasar.
§ Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam
melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik yang diantaranya adalah
Equity & Fairness (Keadilan dan kewajaran), Economic Efficiency
(Efisiensi Ekonomi), Paternalism (Sistem Paternal), Freedom of choice
(Kebebasan Individu), Stabilization (Stabilisasi), Trade Off .

LATIHAN
1. Jelaskan pengertian dari keuangan publik dan apa saja fokus
dari keuangan publik tersebut?
2. Jelaskan secara singkat mengapa sistem perpajakan haruslah
diarahkan pada kepuasan dari sudut pandang para individu?
3. Jelaskan apa yang menjadi alasan tentang perlunya aktivitas publik
yang dilakukan oleh pemerintah menurut John Stuart Mill?
4. Dalam perkembangan perekonomian, peranan pemerintah semakin
diperlukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi karena
mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan.
Sebutkan kelemahan-kelemahan yang ada pada mekanisme pasar
tersebut?
5. Dalam menilai pentingnya sektor publik, ada sejumlah
kriteria/karakteristik kebijakan publik. Uraikan karakteristik tersebut?
6. Jelaskan alasan perlunya peran pemerintah dalam perekonomian
dalam konteks keuangan publik?
7. Apa saja ruang lingkup keuangan publik ?
8. Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan anggaran pemerintah dapat dipakai beberapa pendekatan analisis .
Uraikan dan jelaskan pendekatan-pendekatan analisis tersebut?
9. Sebutkan dan jelaskan kriteria-kriteria yang digunakan untuk
melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik?
10. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah Fiscal Structure ?
BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS

BARANG PUBLIK
Barang publik merupakan nonrival in consumption yang artinya adalah
bahwa kuantitas dari barang publik dapat dinikmati oleh lebih dari satu
konsumen tanpa mengurangi jumlah yang dinikmati oleh konsumen yang
lainnnya (Heyman, 2002). Sifat pokok dari barang publik ini adalah barang
ini tidak dapat dimiliki. Sekali sudah tersedia, maka barang ini akan
tersedia merata bagi semua orang. Akibatnya konsumsi barang publik oleh
satu orang tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Oleh
karena itu tidak perlu bagi seseorang untuk memilikinya agar dapat
memanfaatkannya. Terdapat dua karakteristik kunci dalam
mengklasifikasikan suatu barang menjadi barang publik yakni bersifat
nonrivalry (tidak ada persaingan dalam konsumsinya) dan nonexcludability
(tidak dapat dikecualikan).
12 Keuangan Publik: Teori dan Bab 2: Barang Publik & 12
Aplikasi Eksternalitas

Nonrivalry di sini adalah bahwa barang tersebut akan dapat dikonsumsi


oleh sejumlah orang secara bersama-sama, tanpa mengurangi jumlah yang
dapat dikonsumsi oleh konsumen yang lainnya. Dengan kata lain,
dapat dikemukakan bahwa satu orang akan dapat meningkatkan kepuasannya
atas barang publik tersebut tanpa mengurangi kepuasan orang lain yang juga
akan menikmati barang yang sama. Contoh yang paling nyata di sini
adalah matahari, yang merupakan barang publik. Bandingkan dengan
sepasang sepatu yang merupakan barang privat. Dilihat dari sudut pandang
tertentu, barang publik tidak dikonsumsi dalam artian dipakai habis,
melainkan barang barang tersebut dapat dinikmati.
Dimensi kedua dari barang publik adalah Nonexcludability. Terminologi ini
menggambarkan bahwa tidak ada cara yang mungkin untuk mengecualikan
siapapun agar dapat memanfaatkan barang publik, seperti misalnya
pertahanan nasional. Pertahanan nasional merupakan contoh klasik dari
barang publik dimana manfaatnya akan diperoleh oleh masyarakat dalam
bentuk perlindungan dari serbuan luar negeri yang berlaku secara tidak
terbagi untuk seluruh masyarakat, dan tidak ada yang dikecualikan dari
manfaat manfaat ini. Manfaatnya akan berlaku sama bagi semua orang,
meskipun mereka dapat mempunyai preferensi yang berbeda-beda.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa suatu barang publik akan
mempunyai sifat-sifat berikut:
1. Konsumsi atas barang publik oleh seseorang tidak
mempengaruhi penawaran barang publik tersebut untuk dikonsumsi oleh
orang lain, atau suatu barang publik dapat dikonsumsi oleh
beberapa orang secara bersama-sama. Sifat barang publik seperti ini
disebut nonrival consumption. Contoh barang publik dengan sifat ini
adalah jalan raya dan pertahanan nasional dimana konsumsi terhadap
barang tersebut oleh seseorang tidak mengurangi kesempatan bagi orang
lain untuk ikut mengkonsumsinya.
2. Walaupun penyedia barang menginginkan, setiap anggota
masyarakat tidak akan dapat dibatasi ataupun dilarang untuk
mengkonsumsi barang publik. Sifat barang publik seperti ini disebut
nonexclusion. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika seseorang
akan mengkonsumsi barang publik, apakah seseorang itu mau membayar
atau tidak (free rider) dalam mengkonsumsi barang tersebut, orang
tersebut akan tetap dapat memperoleh barang tersebut.
3. Walaupun setiap orang mengkonsumsi jumlah yang sama atas
barang publik, tidak ada persyaratan bahwa konsumsi ini dinilai atau
dihargai oleh semua orang. Kontribusi seseorang atas penggunaan
barang publik dapat
berbeda-beda. Seseorang atau sekelompok orang dapat saja
terpaksa membayar lebih mahal akibat rendahnya kontribusi sebagian
lainnya.
4. Sifat lain dari barang publik adalah bahwa barang publik tidak
disediakan secara eksklusif oleh pihak swasta. Penyediaan barang publik
yang dilakukan oleh pemerintah tidak berarti bahwa produksinya
harus dilakukan oleh sektor publik, tapi mungkin disediakan oleh swasta
kemudian pemerintah melakukan pembelian atas barang tersebut.
Karakteristik barang publik seperti di atas tidaklah absolut, akan tetapi
tergantung pada kondisi pasar dan teknologi. Misalnya saja, suatu komoditas
dapat saja memenuhi satu kriteria dari barang publik, tapi mungkin
tidak memenuhi kriteria yang lain. Beberapa barang tertentu yang secara
konvensional tidak dipandang sebagai komoditas pribadi dapat saja
mempunyai karakteristik sebagai barang publik.

Perbedaan Antara Barang Publik Dan Barang Pribadi


Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan barang
publik. Perbedaannya adalah bahwa pertukaran barang pribadi dalam
1
mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas , sedangkan
pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga
akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain. Contoh
barang publik yang menghasilkan manfaat eksternal adalah pertahanan
nasional dan contoh barang publik yang menghasilkan beban eksternal adalah
penyediaan mesin atau peralatan yang menyebabkan adanya polusi udara.
Perbedaan lain
adalah bahwa biaya marjinal untuk distribusi barang publik kepada
konsumen adalah nol. Hal ini merupakan efek dari sifat non rival
consumption.
Contoh:
Misalkan ada sekelompok orang yang berada di satu
ruangan tertentu. Setiap hari, penghuni ruang ini dapat
mengkonsumsi sejumlah roti dan udara sejuk dari alat
pendingin ruangan. Jumlah roti yang tersedia akan
dikonsumsi dengan porsi yang sama oleh orang-orang yang
berada di ruangan itu, dan bila seseorang akan
mengkonsumsi lebih dari porsinya, dipastikan akan
mengurangi porsi orang lain. Di lain pihak, tidak mungkin
membagi temperatur yang telah diberi pendingin udara
kepada orang-orang dalam ruangan tersebut. Semua orang

1
Biaya atau manfaat yang muncul yang diakibatkan karena adanya transaksi pasar
dimana biaya ataupun manfaat tersebut tidak tercermin dalam harga barang.
akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang sama.
Penambahan orang dalam ruangan, sampai batas tertentu,
tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi atas udara
sejuk tersebut. Tidak mungkin orang akan mengkonsumsi
tingkat temperatur yang berbeda satu sama lain. Sejumlah
roti mempunyai karakteristik sebagai barang pribadi
sedangkan tingkat suhu seperti uraian diatas mempunyai
karakteristik sebagai barang publik bagi orang-orang yang
menghuni ruangan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa terdapat beberapa alasan
terjadinya perbedaan antara barang publik dengan barang pribadi,
diantaranya adalah sebagai berikut:

Karena Kegagalan Mekanisme Pasar


Kebutuhan barang pribadi akan dirasakan secara perorangan, sedangkan
kebutuhan barang publik akan dirasakan secara bersama-sama oleh para
individu dalam masyarakat. Manfaat yang dihasilkan oleh barang publik tidak
terbatas pada konsumen tertentu saja yang membeli barang itu, akan
tetapi juga bagi konsumen lainnya.
Contoh barang pribadi adalah roti. Konsumsi orang satu dengan
orang lainnya berada dalam hubungan yang saling bersaingan (rival),
karena apabila roti tadi dikonsumsi oleh seseorang, maka barang
tersebut tidak tersedia bagi orang lain. Sedangkan contoh barang
publik adalah alat untuk mengurangi pencemaran udara. Jika alat
tersebut berfungsi dan terjadi peningkatan kualitas udara, manfaat
yang dihasilkan akan tersedia bagi semua orang yang bernafas.
Konsumsi atas alat anti pencemaran udara tadi oleh beberapa individu
adalah tidak saling bersaing (non rival), karena keikutsertaan orang
lain untuk memanfaatkan alat tidak mengurangi manfaat bagi yang
lainnya. Kedua sifat barang tadi akan menimbulkan permasalahan
bagaimana konsumen berperilaku dan bagaimana kedua jenis barang
tadi harus disediakan.

Mekanisme pasar akan secara tepat dapat menggambarkan penyediaan


barang pribadi. Mekanisme ini didasarkan pada pertukaran dan
pertukaran hanya terjadi jika terdapat hak eksklusif bagi pihak yang
membelinya. Suatu pasar menyediakan sistem dimana produsen akan
memproduksi barang jika konsumen membutuhkan barang itu. Hanya pihak
yang bersedia membayar
barang itulah yang dapat memperoleh manfaat atas barang. Dalam kondisi
ini, pasar menjadi efisien, karena transaksi pemanfaatan barang dianalogikan
sebagai suatu tender terbuka dan setiap orang boleh mengikuti tender
sehingga tidak ada yang dirugikan.
Lain halnya dengan penyediaan barang publik dimana tidak terjadi
mekanisme pasar yang efisien. Satu orang tidak akan dapat secara ekslusif
memanfaatkan barang publik, karena apabila orang tersebut mengkonsumsi,
pada saat yang sama orang atau pihak lain dapat mengkonsumsi barang publik
tersebut secara bersama-sama. Konsumen juga tidak bersedia untuk
melakukan pembayaran atas barang publik tadi, dengan pertimbangan bahwa
orang lain juga menikmati barang yang sama. Manfaat yang dirasakan
oleh satu pihak akan sama dengan manfaat yang dirasakan pihak lain,
sehingga pembayaran hanya oleh satu konsumen tidak signifikan. Hubungan
antara produsen dan konsumen menjadi tidak ada dan dengan demikian maka
tugas pemerintahlah yang harus bersedia memproduksi barang publik
tersebut. Pemerintah juga harus mengambil tindakan apabila mekanisme
pasar tersebut tidak berjalan.

Ditinjau dari Proses Penyediaan Barang


Publik
Permasalahan yang mungkin timbul kemudian adalah bahwa bagaimana
pemerintah harus menentukan berapa banyak barang publik yang perlu
diadakan. Kesulitan akan terjadi dalam menentukan jenis dan kualitas barang
publik, berapa konsumen yang harus membayar dan bagaimana manfaat ini
akan dapat dinilai oleh konsumen.
Dari sudut pandang konsumen, mereka tidak dapat menyatakan kepada
pemerintah berapa nilai pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah.
Persediaan barang publik tidak banyak dipengaruhi oleh kontribusi individu.
Konsumen tidak mempunyai hak suara secara perorangan untuk menyatakan
bagaimana nilai pelayanan yang nyata bagi mereka, kecuali ada jaminan
konsumen lain juga akan melakukan hal yang sama. Konsumen akan dapat
memilih sebagai free rider (dibahas lebih lanjut pada sub bab berikut) atas
apa yang disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian, cara penyediaan
barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan cara penyediaan barang
pribadi.
Pada tahap ini, proses politik akan menggantikan mekanisme pasar.
Pemilihan dengan pemungutan suara akan menggantikan transaksi jual beli
yang terjadi di mekanisme pasar. Mereka merasa berkepentingan untuk
memilih apa yang akan memberi manfaat bagi mereka. Hasil
pemungutan suara akan menggantikan pilihan melalui mekanisme pasar.
Tingkat efisiensi
proses pemilihan dan kebersamaan pilihan masyarakat akan
menentukan tingkatan pencapaian pemecahan yang efisien.

Ditinjau dari Permintaan Barang Publik


Kurva permintaan barang publik harus diinterpretasikan secara berbeda
dengan kurva permintaan barang pribadi. Untuk barang publik (murni),
seluruh konsumen harus mengkonsumsi sejumlah kuantitas yang sama atas
barang. Para pembeli barang publik tidak akan dapat menyesuaikan tingkat
konsumsinya sehingga misalnya seorang individu mengkonsumsi satu
unit, sementara individu lain dapat mengkonsumsi dua unit. Para konsumen
tidak dapat menyesuaikan jumlah yang dibeli, misalnya sampai harga barang
publik sama dengan manfaat marjinalnya atau sampai dengan transaksi
pengadaan barang publik tersebut terjadi (kondisi equilibrium). Sayangnya,
barang publik tidak dapat dihargai seperti itu, karena sifatnya yang non
exclusion.
Bila digambarkan dalam grafik, sumbu vertikal bukanlah harga pasar, tetapi
jumlah maksimum seseorang bersedia membayar per unit barang publik.
Sebagai fungsi dari jumlah barang yang secara nyata tersedia adalah sumbu
horizontalnya.
Contoh:
Ada tiga orang hidup bersama dalam sebuah komunitas
yang kecil dan mempunyai keinginan yang sama untuk
mengadakan satuan pengamanan (satpam). Harga sewa
satpam merupakan jumlah maksimal yang individu bersedia
membayar dan kuantitas proteksi keamanan dapat diukur
dari jumlah satpam yang disewa untuk tujuan itu, dan
merupakan cerminan dari barang publik yang dapat
dikonsumsi oleh ketiga orang tersebut.

Ditinjau dari Tingkat Output yang Efisien


Efisiensi dalam pasar barang pribadi mensyaratkan bahwa seluruh aktivitas
ekonomi dilaksanakan sampai pada titik di mana manfaat sosial marjinal
(marginal social benefit) sama dengan biaya sosial marjinal (marginal social
cost). Kuantitas yang efisien per periode waktu berhubungan dengan titik di
mana output meningkat sedemikian rupa sehingga jumlah manfaat marjinal
konsumen sama dengan biaya sosial marjinal atas barang. Prinsip ini
dapat juga berlaku untuk penerapan teori barang publik.
Manfaat sosial marjinal adalah jumlah manfaat marjinal yang dinikmati
oleh seluruh konsumen tersebut. Dimisalkan ada seseorang berkeinginan
memproduksi atau membeli suatu barang (publik) untuk kepentingan
pribadinya. Penyediaan barang publik oleh orang itu tidak hanya akan
memberi manfaat kepada si penyedia tetapi juga kepada orang-orang di
sekitarnya. Dengan demikian, total manfaat sosial marjinalnya akan melebihi
manfaat yang diterima oleh orang yang menyediakan barang publik tadi.
Gabungan seluruh manfaat yang dinikmati oleh orang-orang di
sekitarnya memberikan manfaat sosial marjinal atas tambahan unit yang
disediakan.

FREE RIDER PROBLEM


Sebuah sistem yang meminta kontribusi masyarakat secara sukarela untuk
penyediaan dan pembiayaan barang publik akan dapat berjalan apabila
komunitas publiknya hanya terdiri dari beberapa individu. Dalam kelompok
kecil dimana masing-masing orang kenal satu sama lain, apabila mereka
mempunyai gagasan terhadap penyediaan suatu barang akan lebih mudah
mencapai kompromi. Hal ini dikarenakan setiap anggota kelompok akan
dapat dengan mudah mengidentifikasi manfaat barang tersebut. Sebagai
contoh, jika sekelompok orang yang menghuni sebuah apartemen mewah dan
yang mempunyai kepentingan yang sama dalam memperbaiki jalan
atau mengadakan proteksi keamanan, mereka akan secara mudah untuk
mencapai kompromi dalam rangka menyediakan barang publik tersebut
dengan cara mendanai secara bersama-sama. Selain proses pencapaian
kesepakatan menjadi tidak rumit, faktor pendukung lainnya adalah
adanya keterikatan moral antar mereka.
Hal ini akan sulit terjadi jika jumlah orang yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan bertambah dan informasi tentang selera dan
kemampuan ekonomi kurang. Dalam kelompok dengan skala yang lebih luas,
sepertinya akan sulit untuk menggambarkan preferensi kelompok tersebut,
karena sebagian besar anggota dalam kelompok besar tersebut dimungkinkan
akan tidak secara akurat memperoleh informasi tentang manfaat nyata atas
pengadaan barang publik. Hal ini mengakibatkan beberapa orang secara
sukarela memberikan kontribusi untuk penyediaan barang publik tersebut,
namun di lain pihak, akan terdapat segelintir orang yang enggan memberikan
kontribusinya secara sukarela. Pada dasarnya mereka mengetahui bahwa
barang publik yang akan dibeli atau diadakan tidak mungkin hanya
dapat dinikmati oleh orang-orang yang membayar saja. Apabila kondisi yang
seperti ini terjadi, akan ada orang-orang yang mengambil manfaat barang
publik tanpa memberikan kontribusi apa pun terhadap biaya penyediaan
barang tersebut.
Orang ini disebut free rider. Problem akan muncul jika jumlah free
rider bertambah banyak sehingga pada akhirnya penyediaan barang
publik, misalnya perbaikan jalan akses ke apartemen, tidak jadi
dilakukan. Semua anggota kelompok tersebut, pada akhirnya, tidak dapat
menikmati kenyamanan menggunakan jalan tadi.

EKSTERNALITAS
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara
suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme
pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas
tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan
antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul
berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain
yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan
eksternalitas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek
samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak
yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external
effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects
(Mishan, 1990). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi
bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif
(negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik
dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara
bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya
seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus
pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar
yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya
polusi udara, air dan suara. Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai
eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang
muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya
harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau
kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan
melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak
eksternal yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah di
sekitar daerah tersebut.
Dalam contoh di atas, efek tersebut dalam perubahan harga tanah dimana
kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke
keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-
harga barang dengan marginal rate of substitution (MRS). Jadi, suatu
fakta
bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah
berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam
harga- harga sehingga tidak terjadi ketidakefisienan dalam perekonomian.
Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan
seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan
orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi
dalam alokasi faktor produksi.

Jenis-jenis Eksternalitas
Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar
dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan
tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen
mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun
terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi
ekonomi berikut ini:
1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects
of producers on other producers).
2. Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen
(effects of producers on consumers)
3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain
(effects of consumers on consumers)
4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects
of consumers on producers)

Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen


Lain
Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap
produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau
penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Dampak atau efek yang
termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air
yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh produsen hilir (downstream
producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang
diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika
produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak
kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu
proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu
produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau
semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan
produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini,
kegiatan
produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi
lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu
kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.

Dampak Produsen Terhadap


Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap
konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah
tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat populer dari
kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini
meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity)
karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi
udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman
konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi
(perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara
atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan
sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh,
kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan
berkurang dengan adanya polusi udara.

Dampak Konsumen terhadap Konsumen


Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas
seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu
fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa
dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi
juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari
kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai
bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga,
kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang
terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.

Dampak Konsumen terhadap


Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen
mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok
produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah
rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga
mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan
(nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep
ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda:
§ Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu
suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu
(private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh
seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
§ Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah
suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public
goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang,
dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi
seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi
yang lainnya.
Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan
masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas
yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara
merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan
instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam
aktivitas dan analisa ekonomi.

Faktor-faktor Penyebab
Eksternalitas
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak
mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul
karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang
efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik,
ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan
dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya
(property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak
ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak
bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari
alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu
persatu berikut ini.

Keberadaan Barang Publik


Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh
individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan
barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public
good)
didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan
kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya
menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini
(common consumption, public goods, common property resource). Ada dua
ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan
konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan
tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Kedua
adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran
tidak hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya.
Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar,
pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan
sejenisnya.
Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan
harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi
barang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa
dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu
sendiri. Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri
dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-ciri di atas, barang
publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik
dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk
melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk
menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini,
mendorong sebagian masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika
si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A
tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan
bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B
berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut
menikmatinya karena tidak seorang pun yang bisa menghalanginya untuk
mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak
ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti akhirnya
cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk
memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang
publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup
besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena
masyarakat cendrung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang
seharusnya (undervalued).

Sumber Daya Bersama


Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau akses terbuka
terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan
keberadaan
barang publik di atas. Sumber-sumber daya milik bersama, sama
halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber
daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-
cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama
memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan
mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu
mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh
klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya
bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang
terkenal dengan istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons).

Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan di dalam
suatu tukar menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu
mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada
pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti pada kasus monopoli
(penjual tunggal). Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek
monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi
negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam
jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang
lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya
berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih
kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek
monopoli ini merugikan masyarakat (worse off ).

Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh
kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah
(government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan
kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups)
yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan
pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik,
melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent
seeking) bisa dalam berbagai bentuk:
§ Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups)
melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan
diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
§ Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah
sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk
barang- barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi
dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
§ Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat
atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-
pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin
untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau
ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya.
Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya
menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong
efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa
mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang
mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan
atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar
(misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang
dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar
kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan
denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga
akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak
dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah
serius dari waktu ke waktu.

Solusi Pemerintah dan Swasta terhadap Eksternalitas


Kita telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat
mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak
efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-
cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya
pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan
juga pihak- pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun
perusahaan/ organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kita sebut saja
pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau
“swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah
maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan
penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi
sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada
bagian pembahasan berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-
upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi atau swasta (private
solution) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
Regulasi
Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau
mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh,
untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya
sosialnya jauh lebih besar daripada keuntungan pihak-pihak yang
melakukan- nya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan
kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini
pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol
untuk melenyapkan eksternalitas tadi.
Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu. Tuntutan para
pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi,
sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi merupakan efek
samping tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang
sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi.
Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan
bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin
dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi total,
melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak
terlalu merusak lingkungan namun juga tidak menghalangi kegiatan
produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus menghitung
segala untung ruginya secara cermat.
Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup
(EPA/Environ- mental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi
wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi
berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.
Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-
macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang
diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan
pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di
pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang
baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi
dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat
diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau
membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit didapatkan.

Pajak Pigovian dan Subsidi


Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas pemerin-
tah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan
pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta
dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung di atas
pemerintah
dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak
terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif,
dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan
eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak
dan suatu ekstenalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian
(Pigovian tax), mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan
menganjur- kannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).
Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi
sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu
lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-
pabrik baja dan pabrik kertas yang masing-masing membuang
limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu
banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni:
§ Regulasi: EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi
limbah- nya hingga 300 ton per tahun.
§ Pajak Pigovian: EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000
untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.
Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak
Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak
mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah
yang lebih baik? Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin
penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan
polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung
tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat
pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun
EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi,
polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih
tidak beroperasi. Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak,
adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan
semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal
penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini
dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-
beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih
mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding
pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama
rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan
pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu
lebih murah dan lebih mudah dilakukan daripada membayar pajak, sedangkan
pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih
membayar pajak saja.
Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak
berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan
berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak
Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada
perusahaan atau pa- brik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau
yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi
(misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal).
Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat
mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini. Para
ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan
cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak
akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi
untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja
polusinya sudah berada di bawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per
tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar
polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan
memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan
teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong
menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan,
akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.
Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita
mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif
dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum
sosial- nya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa
penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus
konsumen), yang nilainya lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh
pemerintah dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena
pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas.
Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan
kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi
insentif di tengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak
lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati
titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada
pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.

RANGKUMAN
§ Dengan mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability, suatu
barang dapat dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu barang
publik, barang
pribadi, barang publik lokal (yang sering disebut dengan
congestible goods) dan barang dengan eksternalitas.
§ Pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak
akan menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik
selain dapat menghasilkan manfaat eksternal juga akan dapat
menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain.
§ Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi
dan barang publik. Perbedaannya adalah bahwa pertukaran barang
pribadi dalam mekanisme pasar tidak akan menghasilkan eksternalitas,
sedangkan pertukaran barang publik selain dapat menghasilkan manfaat
eksternal juga akan dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain.
§ Perbedaan barang publik dengan barang pribadi juga dapat terjadi
karena kegagalan suatu mekanisme pasar.
§ Cara penyediaan barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan
cara penyediaan barang pribadi. Pada tahap ini, proses politik
akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan dengan pemungutan
suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di mekanisme
pasar.

LATIHAN
1. Dalam mengklasifikasikan barang publik dan barang pribadi, dapat
menggunakan gambar dengan Excludability dan Rivalry. Dengan
mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability tersebut suatu barang
dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori. Uraikan dan jelaskan
karakteristik masing-masing jenis terutama sifat-sifat dasar yang
dipertimbangkan dalam pembahasan aspek keuangan publik ?
2. Mengapa barang publik tidak disediakan secara ekslusif oleh
pihak swasta?
3. Barang publik adalah barang-barang yang mempunyai dua sifat
pokok yaitu Non rival dan Non exclucion. Jelaskan pengertian dari non
rival dan nonexclucion tersebut ?
4. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan
karakteristik antara barang pribadi dan barang publik ?
5. Terangkan perbedaan penyediaan barang pribadi dengan
penyediaan barang publik karena kegagalan mekanisme pasar ?
6. Terangkan bagaimana suatu aktivitas ekonomi dalam pasar barang
pribadi dikatakan efisien ?
7. Apakah yang dimaksud dengan ungkapan “Free Rider” dan
jelaskan problemnya ?
8. Jelaskan pengertian Eksternalitas ? Jelaskan tujuan-tujuan yang
dapat dicapai dari Eksternalitas ?
9. Terangkan mengenai kurva permintaan barang publik ?
10. Apakah permasalahan dan kesulitan pemerintah dalam hal
penyediaan barang publik?
PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK

TUJUAN KEBIJAKAN HARGA


Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa pemerintah suatu negara tidak akan
menjual jasanya kepada masyarakat walaupun pemerintah mempunyai
kewajiban untuk menyediakan jasa publik kepada masyarakat dengan tanpa
dipungut bayaran. Contoh yang paling nyata adalah dalam hal pengadaan jasa
pertahanan nasional dimana masyarakat akan mendapatkannya secara gratis
apabila mereka ingin memanfaatkannya. Jasa ini disediakan dengan
pelayanan yang sama kepada seluruh pengguna di wilayah pemerintahan
tersebut. Dengan demikian tentunya seluruh masayarakat akan dapat
memanfaatkan jasa ini. Namun demikian, bukan berarti bahwa dalam rangka
penyediaan jasa publik ini dapat dilakukan dengan tanpa menimbulkan biaya.
Dalam banyak kasus, sebuah proses politik diperlukan untuk menentukan
berapa jumlah barang publik yang harus disediakan serta bagaimana
implikasinya terhadap distribusi biaya yang akan menjadi tanggung
jawab para individu calon
32 Keuangan Publik: Teori dan Bab 3: Penentuan Harga Barang 32
Aplikasi Publik

pengguna jasa publik tersebut. Oleh karena itu, pemerintah akan selalu
terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik.
Pertanyaan mendasar tentang mengapa pemerintah harus terlibat dalam
kegiatan penentuan harga barang merupakan pertanyaan yang cukup sulit
untuk dijawab. Dengan keterlibatannya dalam penentuan harga barang publik,
pemerintah ingin meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya
maupun keadilan dalam distribusi pendapatan, walaupun hal ini tidak berarti
bahwa setiap tindakan pemerintah pasti akan berhasil mengatasi problem
tersebut. Pada umumnya, dalam menentukan seberapa banyak suatu barang
harus dibeli oleh individu-individu, suatu perusahaan hanya akan
mempertimbangkan manfaat yang diperoleh secara pribadi, sehingga
kesempatan bahwa barang tersebut tersedia di pasar akan sangat kecil. Oleh
karena itu, dalam kasus ini pemerintah akan melibatkan diri untuk
menjamin bahwa manfaat eksternal harus juga dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan jumlah barang yang akan dikonsumsi oleh individu.
Dengan analogi yang sama, pemerintah juga akan terlibat dalam penyediaan
barang pribadi untuk memproteksi masyarakat dari penipuan (misalnya
kebenaran iklan), kepastian tersedianya jasa (misal jasa rumah sakit dan
pos), maupun keseragaman kualitas jasa (misal pendidikan). Semua
keterlibatan pemerintah ini tentunya ditujukan untuk mencapai penentuan
harga yang efisien.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kebijakan harga oleh
pemerintah akan mencakup tindakan-tindakan yang diperlukan agar pasar
bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki arus informasi atau
mengurangi unsur-unsur monopoli dan batasan-batasan dalam masuknya
perusahaan- perusahaan baru dalam pasar. Pada prinsipnya, akan selalu ada
tujuan-tujuan baik ekonomi maupun non ekonomi yang dapat diikuti
oleh pemerintah dengan cara melalui campur tangan, dalam usahanya untuk
meminimalkan biaya ekonomi guna mencapai sasaran-sasaran yang
diinginkan.

PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK


Dalam menentukan harga barang publik tentunya akan tergantung pada
masing-masing tujuannya. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai banyak
pilihan yang berkaitan dengan keputusan penyediaan barang atau
jasanya, yang diantaranya adalah:
1. dapat dijual dengan harga pasar;
2. dijual dengan tingkat harga tertentu yang berbeda dengan
harga pasar;
3. diberikan secara gratis kepada para konsumennya.
Masing-masing keputusan tersebut tentunya akan mempunyai konsekuensi
yang berbeda beda. Sebagai contoh, meskipun keputusan memberikan secara
gratis kepada masyarakat akan memaksimalkan penggunaan barang atau jasa
oleh masyarakat, tentunya cara ini akan menimbulkan biaya yang sangat
tinggi dimana biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah. Contoh
tersebut menggambarkan kondisi yang tidak efisien dalam penyediaan barang
dan jasa oleh pemerintah.
Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk memperbaiki
alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam perekonomian,
tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai, yang menggambarkan
jumlah rupiah kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang
dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk
menghasilkan barang tersebut oleh produsen.
Dalam mekanisme pasar yang bersaing sempurna, untuk menentukan
tingkat keseimbangan pasar barang pribadi, berlaku hukum bahwa harga sama
dengan biaya marginal (marginal cost) bagi konsumen dan sama dengan
pendapatan marjinal (marginal revenue) bagi produsen, atau p = MC = MR,
dimana p adalah price atau harga, MC adalah marginal cost atau biaya
marjinal dan MR adalah marginal revenue atau pendapatan marjinal.
Sehingga, apabila konsumen akan memaksimalkan kepuasannya, pada tingkat
equilibrium, konsumen akan membeli barang-barang sampai tercapai kondisi
equilibrium tersebut.
Pertanyaan yang akan muncul adalah apakah hukum ekonomi tersebut juga
berlaku untuk barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah? Pada
dasarnya, tugas pemerintah adalah menyediakan barang untuk
kepentingan orang banyak dengan harga murah. Dengan demikian,
pemerintah akan ditekan oleh kekuatan politik untuk tidak mengambil
keuntungan dari barang atau jasa yang dihasilkannya. Itulah sebabnya,
pemerintah seringkali menetapkan harga di bawah tingkat yang sebenarnya
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen barang tersebut.
Konsekuensinya adalah, keputusan pemerintah ini menimbulkan
ketidakefisienan atau terjadi pemborosan apabila dipandang dari ilmu
ekonomi, karena konsumen akan menilai barang atau jasa yang
disediakan oleh pemerintah tersebut terlalu murah dan juga mudah
diperoleh. Contoh yang dapat digunakan adalah penyediaan public utilities
oleh pemerintah, seperti air minum dan listrik. Pemerintah tidak
diharapkan untuk memperoleh keuntungan dari penyediaan barang yang
dibutuhkan oleh masyarakat banyak itu, sehingga pemerintah tidak dapat
menetapkan harga tertinggi. Pemerintah hanya boleh mengenakan harga
yang dapat menutup biaya total perusahaan-perusahaan pemerintah
penyedia barang public utilities, supaya tetap dapat berjalan tanpa
mengalami kerugian.
Situasi penyediaan public utilities tersebut di atas tidak harus berlaku untuk
seluruh barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah. Perusahaan yang
mengelola public utilities dan harus menjual produksinya tanpa memperoleh
keuntungan sama sekali akan menghadapi permasalahan dalam ekspansi atau
melakukan perluasan usaha. Dalam hal ini, pemerintah akan
mengarahkan perusahaan pada kondisi bahwa, selain menghasilkan
barang dan jasa sebanyak mungkin untuk mencukupi kebutuhan rakyat
banyak, perusahaan juga diijinkan untuk memperoleh keuntungan dalam
jumlah tertentu. Pemerintah akan menetapkan jumlah keuntungan maksimum,
kemudian konsumen akan membayar jumlah di atas nilai yang ditetapkan
sebelumnya pada saat zero profit. Dalam kondisi ini, konsumen tidak terlalu
dibebankan pada tingkat harga yang terlalu tinggi, tetapi produsen masih
dapat melakukan perluasan usaha untuk menambah investasinya.
Penentuan harga dengan metode terakhir adalah yang sebaiknya
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik
oleh pemerintah. Kajian-kajian harus dilakukan untuk memperoleh kebijakan
yang tepat sasaran, artinya pemerintah di satu pihak melalui perusahaan-
perusahaan penghasil public utilities tetap diwajibkan menyediakan
barang dan jasa publik, sedangkan di lain pihak, pemerintah berkewajiban
membatasi keuntungan yang harus diperoleh oleh perusahaan-perusahaan
tersebut, mengingat tugas pemerintah adalah sebagai penyedia barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

IMPLEMENTASI PENENTUAN HARGA


Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan khusus, misalnya
mendorong produksi atau memelihara kestabilan. Sebagai contoh, kebijakan
publik dapat digunakan untuk mengatur tata niaga dan harga atas
produk
1
pertanian . Produk pertanian di banyak negara mempunyai posisi strategis
dan
erat kaitannya dengan produk non pertanian, seperti alat-alat pertanian, pupuk
kimia dan obat pembasmi hama. Sektor pertanian juga mempunyai kaitan
yang erat dengan kebutuhan jasa angkutan, pendidikan dan kesehatan. Dua
pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis penyediaan
produk pertanian adalah dengan menggunakan (1) kebijakan harga positif,
artinya

1
Produk-produk pertanian merupakan barang primer, seperti bahan makanan atau
bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi.
kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong peningkatan produksi, atau
(2) kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga yang ditujukan
untuk mengurangi peningkatan produksi.

Fungsi Penawaran
Fungsi penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang
ditawarkan dan berbagai tingkat harga dari barang tersebut. Hukum
penawaran menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan akan meningkat
apabila harga barang tersebut semakin tinggi (hal-hal lain tetap atau ceteris
paribus). Secara matematis, fungsi penawaran dapat dinyatakan dengan:
Q a = f ( P a, S, F, X, T )

Dimana:
Qa = jumlah barang A yang ditawarkan
Pa = harga barang A
S = jumlah input yang tersedia
F = keadaan alam
X = pajak atau subsidi atau keduanya
T = tingkat teknologi.

Dalam menggambarkan hukum penawaran, maka yang dinyatakan tetap


(ceteris paribus) adalah S, F, X dan T. Sehingga, kurva penawaran merupakan
garis miring dari bawah ke atas, yang berarti apabila barang yang ditawarkan
harganya naik, maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat, dan
sebaliknya. Tentang jumlah barang yang ditawarkan akan tergantung
dari tingkat elastisitas penawaran.
Dengan mengubah harga, pemerintah akan mempengaruhi jumlah produksi
yang dihasilkan. Berkaitan dengan contoh produk pertanian di atas, apabila
jumlah produk pertanian tersedia di gudang, peningkatan harga segera
mendorong peningkatan penawaran produk tersebut. Namun, apabila
peningkatan penawaran membutuhkan tenggang waktu, penyesuaian produksi
akan mengikuti pola Cobweb theorem (sarang laba-laba) seperti digambarkan
grafik sebagai berikut:
Gambar 3.1

D merupakan kurva permintaan dan S kurva penawaran. Apabila pada


periode tertentu harga pasar setinggi P a1, petani akan terdorong
menanam atas dasar harga tersebut dan akan menghasilkan Q a1 pada
akhir periode tanam. Karena terjadi peningkatan produksi di periode 2, maka
harga pasar akan turun menjadi P a2. Pada tingkat harga tersebut, produsen
akan terdorong untuk mengurangi produksinya dan harga akan meningkat
menjadi P a3. Dengan tingkat harga itu, petani akan terdorong memproduksi
sebesar Q a3 di akhir periode tanam berikutnya. Tetapi, harga akan terkoreksi
menjadi P a4, karena fungsi permintaan tetap. Akan terjadi pergerakan
sepanjang waktu ke arah titik perpotongan antara kurva D dan kurva S.
Hubungan tersebut mengakibatkan tingkat harga akan cenderung mencapai
equlibrium pada perpotongan kurva penawaran dan kurva permintaan.

Kebijakan Harga Positif


Analisis di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sumber
kapital bagi pembangunan. Syaratnya adalah apabila produsen cukup
responsif terhadap insentif harga. Dengan memberikan jaminan harga yang
tinggi, para petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi pangan.
Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai pendorong
peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini akan dipakai sebagai alat
untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Secara garis besar,
terdapat tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga yang dapat
dianalisis sebagai berikut: (1) perubahan komposisi produksi pertanian karena
perubahan harga relatif masing-masing komoditi pertanian secara individu;
(2) peningkatan produksi pertanian secara total karena adanya perbaikan
harga relatif komoditi pertanian
dalam perbandingannya dengan harga komoditi sektor non pertanian; dan (3)
peningkatan produksi pertanian yang dapat dipasarkan sebagai respon
terhadap kenaikan harga komoditi pertanian (marketable surplus).
Hasil studi mengenai tanggapan produksi di negara berkembang
menunjukkan bahwa tanggapan pertama dapat bersifat sangat elastis
untuk jenis komoditi tertentu. Artinya produksi pertanian meningkat sejalan
dengan adanya insentif harga. Akan tetapi tanggapan kedua dan ketiga justru
sangat inelastis atau bahkan negatif dengan adanya kenaikan harga, tingkat
produksi menurun setelah diberlakukannya insentif harga. Pengecualian dapat
terjadi, apabila komoditi tanaman tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder, akan tetapi juga ditujukan untuk
ketersediaan pasar. Respon yang diharapkan pada kondisi tersebut, baik untuk
produksi pertanian secara keseluruhan maupun untuk marketable surplus,
akan menunjukkan positif.
Hal ini dapat dijelaskan, misalnya setiap tanaman ditujukan untuk tujuan
komersial, elastisitas penawaran komoditi yang dipasarkan akan sama dengan
elastisitas produksi/output, artinya persentase peningkatan produksi sama
dengan persentase peningkatan pemasaran. Namun apabila faktor produksi,
seperti tanah, tenaga kerja dan kapital, harus diserap dari produksi komoditi
lain, maka produksi pertanian secara total dapat menurun. Berdasarkan hasil
studi, peningkatan produksi merupakan bentuk perubahan luas areal tanam,
bukan dalam hal peningkatan produktivitas, karena produktivitas
berkaitan erat dengan kondisi musim maupun faktor lain. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa tanaman yang merupakan kebutuhan sekunder
masyarakat cenderung memiliki elastisitas penawaran yang rendah,
sedangkan tanaman komersial memiliki elastisitas penawaran yang tinggi.

Kebijakan Harga Negatif


Kebijakan harga positif diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi
pertanian. Namun demikian, karena hasil pertanian merupakan kebutuhan
primer masyarakat (seperti makanan), kebijakan ini akan membuat biaya
produksi sektor industri dan jasa lain juga tinggi, sehingga akan menghambat
perkembangan produksi sektor industri dan jasa. Sektor ini menghendaki
adanya harga pangan yang murah, untuk dapat menekan tingkat upah.
Banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan keresahan
masyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan dan produk
pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga negatif. Kebijakan ini
juga diharapkan mampu mendorong perkembangan sektor industri dan
jasa.
Tetapi, untuk mencegah agar produksi pertanian tidak merosot, maka
pemerintah dapat mengenalkan program subsidi input yang dibarengi dengan
penyuluhan peningkatan produksi pertanian secara insentif. Dengan
demikian, di satu pihak, para petani tidak terlalu dirugikan dengan
rendahnya harga produksi pangan dan di lain pihak, pertumbuhan sektor
industri dan jasa tidak terhambat.
Dari uraian di atas, jelas terdapat suatu konflik antara program
bantuan harga dan program subsidi input. Di satu pihak, program bantuan
harga membuat harga pangan dan produk pertanian mahal dan hasilnya
dinikmati para petani, tetapi akan menghambat perkembangan ekonomi
secara keseluruhan. Di lain pihak, program subsidi input lewat harga faktor
produksi pertanian yang murah akan mendorong produksi pertanian
sehingga harga pangan akan murah dan dapat mendorong perkembangan
ekonomi lebih lanjut. Cara subsidi yang terakhir ini menyebabkan pemerintah
harus menyisihkan sebagian anggarannya untuk membiayai subsidi.
Meskipun dengan menyisihkan anggaran ini akan mengakibatkan investasi di
bidang lain, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya, menjadi
berkurang, kebijakan ini juga diarahkan agar swasta dapat berkembang
dengan sendirinya sebagai akibat adanya dukungan harga pangan yang
murah. Cara ini, secara politis, juga merupakan alternatif yang akan
menjamin ketenangan masyarakat.

Kebijakan Penyangga (Buffer Stock


Policy)
Dalam merumuskan kebijakan harga barang dan jasa publik pada
umumnya, dan produk pertanian pada khususnya, pemerintah menghadapi
dilema kepentingan. Di satu pihak, para konsumen akan mengharapkan harga
pangan
– khususnya – murah, dan di lain pihak, para produsen selalu
menginginkan
agar hasil produksinya dapat terjual dengan harga yang layak. Di sinilah
kewajiban pemerintah untuk melindungi kedua kepentingan tersebut agar
konsumen dan produsen tidak menderita.
Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menentukan
harga patokan berupa harga dasar (floor) dan harga maksimum (ceiling).
Harga dasar ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar
tidak turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, sedangkan harga
maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai
menderita karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal
dengan istilah kebijakan penyangga (buffer stock policy).
Kebijakan penyangga dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
Gambar 3.2
Pada awalnya, keadaan keseimbangan tercapai pada harga P ao dan Q ao.
Kemudian, bila penawaran bertambah, misal pada saat panen, kurva
penawaran bergeser ke kanan, misalnya bergeser dari S o menjadi S 1, dan
harga cenderung menjadi turun. Harga dapat saja bergerak lebih rendah dari
P a2. Untuk mencegah supaya harga turun tidak terlalu drastis, dalam situasi
ini pemerintah turut membeli hasil panen, sehingga kurva permintaan pasar
bergeser kekanan menjadi D1 sampai memotong kurva penawaran S 1 tepat
pada harga dasar P a2. Keadaan sebaliknya dapat pula terjadi, bila ada
paceklik. Untuk melindungi konsumen, maka pemerintah dapat mencegah
naiknya harga komoditi dengan turut menjual produk pertanian ke pasar.
Berhasil atau tidaknya kebijakan penentuan harga ini tergantung pada
tersedianya dana untuk operasi (sering disebut operasi pasar). Apabila dana
operasi terbatas, sedangkan harga cenderung merosot terus (dalam
keadaan over supply), maka pemerintah dapat saja tidak mampu melindungi
produsen, atau sebaliknya. Dengan demikian, kebijakan penentuan harga
perlu dukungan kebijakan lain, seperti kebijakan moneter.

RANGKUMAN
§ Secara umum, pemerintah suatu negara tidak menjual jasanya
kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah menyediakannya kepada
masyarakat tanpa harus membayar. Namun demikian, bukan berarti
bahwa penyediaan jasa publik ini tanpa menimbulkan biaya.
§ Pemerintah terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik ini
karena terjadinya kegagalan mekanisme pasar. Harapan pemerintah,
dengan keterlibatan dalam penentuan harga barang publik, adalah ingin
meningkatkan baik efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam
distribusi pendapatan.
§ Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk
memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam
perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai yang
merupakan kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang
dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk
menghasilkan barang tersebut oleh produsen.
§ Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan
khusus, misalnya mendorong produksi atau memelihara kestabilan.
§ Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis
penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan (1) kebijakan
harga positif, artinya kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong
peningkatan produksi, atau (2) kebijakan harga negatif yang berarti
kebijakan harga yang ditujukan untuk mengurangi peningkatan produksi.
§ Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai
pendorong peningkatan produksi pertanian. Kebijakan ini akan dipakai
sebagai alat untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Tetapi
banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan
keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan
dan produk pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga
negatif. Kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong
perkembangan sektor industri dan jasa.
§ Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk melindungi
produsen dan konsumen adalah dengan menentukan harga dasar yang
ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar tidak
turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, dan harga maksimum yang
ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita
karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah
kebijakan penyangga (buffer stock policy).
LATIHAN
1. Terangkan tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan harga?
2. Mengapa pemerintah ikut terlibat dalam kegiatan penentuan harga barang?
3. Uraikan mengenai keputusan penentuan harga tersebut oleh pemerintah.
Jelaskan?
4. Terangkan bagaimana mekanisme pasar barang pribadi yang bersifat
persaingan sempurna dalam menentukan tingkat keseimbangan?
5. Jelaskan maksud dari kajian-kajian yang harus dilakukan
untuk memperoleh kebijakan yag tepat sasaran sebagai perusahaan
penghasil public utilitier?
6. Sebutkan dan jelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk
melakukan analisis penyediaan produk pertanian!
7. Apa yang dimaksud dengan fungsi penawaran? Apa bunyi
hukum penawaran tersebut?
8. Jelaskan yang dimaksud dengan “ceteris paribus”?
9. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penawaran?
10. Sebutkan tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga!
Jelaskan hasil studi mengenai tanggapan produksi tersebut di negara
berkembang!
11. Dalam kebijakan harga negatif, terdapat suatu konflik antara
program bantuan harga dan program subsidi input. Jelaskan konflik
tersebut!
12. Terangkan langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah
dalam melindungi kepentingan konsumen dan produsen!
FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH
DALAM PEREKONOMIAN

FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH


Pemerintah sangat diperlukan dalam perekonomian suatu negara, terutama
untuk melaksanakan fungsinya dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi, sehingga dapat meningkatkan standar kehidupan penduduk pada
tingkat yang layak. Dengan melihat berbagai kelemahan mekanisme pasar
sebagaimana telah dibahas sebelumnya, fungsi pemerintah dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
1. Fungsi Alokasi
Fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi penyediaan
barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan
sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana
komposisi barang publik ditetapkan.
2. Fungsi Distribusi
44 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam 44
Perekonomian

Fungsi distribusi dalam kebijakan publik adalah penyesuaian atas


distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin
pemerataan dan keadilan.
3. Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi dalam kebijakan publik adalah penggunaan
kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat
kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan
ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada
perdagangan dan neraca pembayaran.
Suatu kebijakan publik, misalnya pengenaan pajak dan pengeluaran publik,
dapat secara simultan diarahkan kepada ketiga tujuan tersebut di atas.
Permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana merancang
kebijakan anggaran sehingga dengan tujuan yang berbeda-beda tersebut akan
dapat dicapai secara lebih terpadu. Dalam The Wealth of Nations, Adam
Smith mencatat empat fungsi ‘pengoreksi’ yang dapat dijalankan oleh
pemerintah yakni:
§ Tugas memproteksi suatu kelompok masyarakat dari pelanggaran
dan invasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya.
§ Tugas memproteksi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan
dan dominasi yang dilakukan oleh anggota lain dalam masyarakat.
§ Tugas membentuk dan memelihara institusi publik agar memberi
1
manfaat yang tinggi serta kesempatan kerja kepada masyarakat .
§ Tugas mempertemukan biaya yang diperlukan untuk
mendukung peraturan- peraturan.
Pedoman aktivitas pemerintah yang dipromosikan oleh Milton
Friedman adalah bahwa keterlibatan pemerintah harus dapat membuat dan
memaksakan aturan-aturan umum yang mengatur perilaku para
individu. Apabila pemerintah memutuskan untuk campur tangan dalam
aktivitas individu, keterlibatan tersebut harus mempunyai tingkat yang
minimal, misalnya hanya sebatas penyertaan modal saja, baik secara
langsung atau tidak langsung. Milton Friedman juga menyarankan
pemerintah supaya membeli sumber daya yang digunakannya dalam pasar,
bukan mengendalikan/ mengatur sumber daya tersebut. Pada saat
pemerintah memproduksi barang atau jasa, pemerintah harus
membebankan secara pro rata kepada pengguna, dan bukan bertransaksi
dengan pengguna. Aktivitas pemerintah, seharusnya, hanya

1
Karena sifat dari institusi publik, laba yang diperoleh institusi sering tidak mencapai
tingkat pembayaran kembali. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan bahwa kesempatan
kerja akan disediakan dalam kuantitas yang tepat.
berperan sebagai last resort, dalam mendanai, mengatur dan
menyediakan barang atau jasa secara gratis.

Alasan Keterlibatan Pemerintah Dalam Ekonomi


Dalam situasi tertentu, mekanisme pasar akan mengarah pada alokasi
sumber daya yang efisien yang timbul pada saat tidak seorangpun akab dapat
dipuaskan secara lebih baik dengan tanpa menyebabkan orang lain menderita
kerugian (sering disebut efisiensi Pareto). Namun demikian, suatu
masyarakat dapat saja memilih alokasi yang tidak efisien atas dasar
kesetaraan atau kriteria lainnya. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya
suatu intervensi pemerintah dalam operasi pasar bebas. Terdapat dua
argumen mengenai bagaimana perlunya intervensi pemerintah yaitu (1)
kegagalan pasar dan (2) penekanan pada aspek keadilan.

Kegagalan Pasar
1. Terdapat beberapa barang publik yang bersifat non rival dan non
excludable, seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan,
yang membuat tidak mungkin membebankan biaya penyediaannya
kepada para pengguna. Hal ini menyebabkan kegagalan pasar.
Untuk itu, negara dapat mencoba turut campur mengatasi
permasalahan ini.
2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik yang mungkin
menghasilkan suatu akibat eksternal (positif atau negatif) kepada
masyarakat yang tidak tercermin dalam harga barang. Tanpa intervensi
pemerintah, pasar akan memproduksi barang publik tersebut
secara tidak proposional, tergantung pada apakah eksternalitas ini baik
atau buruk.
3. Tidak bisa bergeraknya sumber daya yang produktif, terutama
tenaga kerja, dapat membantu mencegah pencapaian alokasi
sumber daya yang efisien.
4. Informasi yang tidak simetris dan tidak sempurna yang mungkin
mengarah pada penilaian yang salah atas barang dan jasa publik, dan
dengan demikian akan menyebabkan penawaran dan permintaan yang
tidak tepat.
5. Kegagalan pasar juga berhubungan dengan permasalahan dari
seleksi yang tidak menguntungkan dan bahaya moral ketika pembeli
atau penjual bertindak secara eksklusif atas dasar mencari keuntungan
bagi dirinya sendiri.
Aspek Keadilan
1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara
lebih serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah.
2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa
peningkatan keadilan memberikan kontribusi positif pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan yang lebih
cepat, dan berkurangnya kemiskinan.
3. Ketidakadilan sering menghasilkan situasi yang tidak aman,
meningkatnya kejahatan dan eksternalitas negatif yang akan
mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan sosial, secara nasional dan
global.
4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan,
pemberdayaan dan proteksi perlu difasilitasi oleh pemerintah.
5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya
negara yang harus atau dapat memberikan kontribusi dalam rangka
menekan kemiskinan. Tugas ini berhubungan dengan penyediaan
kesempatan, pemberdayaan dan proteksi. Ketiganya merupakan
dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara eksklusif
oleh sektor swasta.
Dengan demikian, sektor swasta dapat berperan secara aktif dalam
menciptakan kesempatan ekonomi (seperti penciptaan lapangan kerja, kredit,
dan sebagainya), mempromosikan tambahan manfaat kepada anggota
masyarakat (erat hubungannya dengan produsen dan pekerja swasta), dan
memberikan kontribusi untuk mengurangi ketidakadilan melalui aktivitas
yang sebetulnya merupakan tanggung jawab pemerintah (seperti rumah sakit
umum dan sekolah yang dananya dari swasta).
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa peran pemerintah yang berkenaan
dengan keterlibatannya dalam perekonomian adalah sebagai peran penyedia
(provider role) dan peran kemitraan (partnership role). Sebagai peran
penyedia (Provider Role), pemerintah harus menyediakan barang publik
untuk menjamin stabilitas ekonomi makro, keadilan, lingkungan yang bersih,
penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi, dan stabilitas nasional. Namun
demikian, tidak semua fungsi mensyaratkan kehadiran pemerintah sebagai
penyedia barang atau jasa publik dimana masih terdapat beberapa
diantaranya
2
yang difasilitasi oleh peraturan dan penciptaan ruang gerak yang tepat .

2
Monopoli yang alami dalam sektor tertentu seperti energi, tambang dan lain-lain,
saat sekarang menjadi pertanyaan publik berkaitan dengan tersedianya teknologi
masa kini.
Sedangkan sebagai peran kemitraan (Partnership Role), pemerintah dapat
menjadi mitra swasta dalam penyediaan peraturan, pembangunan
infrastruktur dasar dan perlindungan dari risiko dan kerugian (misalnya
asuransi). Diakui secara luas bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta
tidak akan dapat berfungsi secara tepat tanpa berfungsinya peran
kemitraan kedua sektor tersebut secara bersamaan. Pada masa sekarang,
pemerintah lebih banyak dibutuhkan dalam perannya sebagai regulator dari
mekanisme pasar dan sebagai fasilitator dari lingkungan kelembagaan dan
pengaturan yang kondusif atas pembangunan sektor swasta.

AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM


PEREKONOMIAN
Tingkat konsumsi/produksi barang dan jasa oleh masyarakat dapat dirubah
3
oleh kebijakan publik. Sebagai contoh , suatu kebijakan publik
tentang pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah akan memberi
manfaat yang lebih tinggi kepada masyarakat dibandingkan dengan
apabila pengelolaan
tersebut dilakukan oleh sektor swasta. Sayangnya manfaat yang tinggi
tersebut harus dibayar secara lebih mahal. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa pengelolaan sumber daya alam cenderung mengarah pada kondisi
yang spesifik. Kekhususan ini akan berakibat pada sejumlah
produktivitas/efisiensi yang hilang/berkurang jika terjadi perubahan dari
kondisi yang relatif baik kepada kondisi yang baik.
Kebijakan publik dapat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan nyata,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pertanyaannya
adalah siapa yang memperoleh manfaat dan siapa yang menanggung beban
dari suatu kebijakan distribusi tertentu? Siapa yang menanggung beban atas
akibat diterapkannya kebijakan pajak penghasilan badan? Apakah kepada
pengusaha, pekerja atau konsumen? Dan siapa juga yang menerima tanggung
jawab akibat adanya pajak penjualan? Konsumen atau pekerja? Inilah
yang dimaksud dengan true incidence dari kebijakan. Sebagai contoh,
kebijakan dalam upah minimum akan menyebabkan penerimaan upah lebih
tinggi kepada pekerja, tetapi kesempatan kerja total mungkin turun sebagai
akibat dari timbulnya kebijakan ini. Beberapa kebijakan secara aktual
akan menggeser distribusi pendapatan antara generasi sekarang dan generasi
mendatang. Isu inilah yang disebut dengan internerational transfer.
Dimungkinkan adanya opportunity cost dalam hubungannya dengan efisiensi
dalam merubah distribusi pendapatan, yakni memindahkan alokasi hak
kekayaan.

3
Dalam contoh ini, para ekonom berpendapat bahwa kebijakan publik
berakibat perekonomian tidak dalam kondisi pareto optimal.
FUNGSI ALOKASI
Latar Belakang Adanya Fungsi Alokasi
Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda
sifatnya dengan barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem
4
mekanisme pasar . Seringkali mekanisme pasar berfungsi, namun
kadangkala tidak efisien. Beberapa alasan yang mendasari kemungkinan
tersebut adalah karena:
1. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar dimana hubungan yang
seharusnya terjadi antara produsen dan konsumen dalam suatu mekanisme
pasar tidak berjalan, sehingga pemerintahlah yang harus bersedia
memproduksi barang publik tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah harus
mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan;
2. Sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pasar yang lain dimana
proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Dalam
kondisi ini, pemerintah harus menjamin bahwa proses politik dalam
pengambilan keputusan penyediaan barang dan jasa publik akan dapat
terjadi secara efisien.
Perbedaan yang mendasar antara barang pribadi dan barang publik adalah,
barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli baik oleh swasta
maupun oleh perusahaan pemerintah, sedangkan barang publik, dengan cara
yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual kepada
pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah,
seperti misalnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Permasalahan yang mungkin timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa
banyak barang publik yang harus disediakan oleh pemerintah, termasuk
diantaranya adalah jenis dan kualitas barang yang perlu disediakan oleh
pemerintah.
Untuk barang-barang pribadi (private goods), sistem pasar akan terjadi
melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individual dan
sukarela. Kondisi ini menggambarkan adanya hubungan antara permintaan
dan penawaran atas barang tersebut. Sistem pasar menjadi tidak berlaku jika
diterapkan pada barang-barang publik (social goods). Contohnya adalah jika
seseorang membutuhkan pakaian. Kebutuhan yang dirasakan oleh seseorang
akan pakaian tentunya akan sangat berbeda dengan kebutuhan pakaian yang
dirasakan oleh orang yang berbeda. Apabila seseorang membeli satu set
pakaian, maka pakaian yang sama tidak akan tersedia untuk orang lain.
Dalam
4
Sistem mekanisme pasar merupakan suatu transaksi antara konsumen dan produsen
secara individu.
kasus ini akan terjadi suatu kondisi bahwa konsumsi terhadap barang tersebut
bersifat bersaing. Akan berbeda halnya jika kebutuhan seseorang tersebut
terhadap, misalnya, penggunaan atas jalan umum. Kebutuhan atas barang ini
akan dirasakan secara bersama-sama dan begitu pula terhadap manfaat yang
dihasilkan dengan tersedianya jalan umum tersebut tentunya akan dapat
dinikmati oleh banyak orang (tidak untuk satu konsumen). Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa apabila seseorang mengambil manfaat dari adanya jalan
umum tersebut, manfaat yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang.
Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa mekanisme pasar akan sangat
cocok untuk menggambarkan penyediaan barang-barang pribadi. Mekanisme
pasar akan terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen,
kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh
konsumen. Konsumen akan berusaha mendapatkan barang yang mereka
inginkan dengan harga yang serendah-rendahnya, sedangkan produsen
akan menjual barang dengan harga yang setingi-tingginya. Mekanisme
pasar tersebut akan membawa konsumen dan produsen ke suatu titik harga
tertentu. Untuk barang seperti pakaian, aplikasi dari prinsip hubungan
permintaan dan penawaran seperti ini menjadi suatu pemecahan yang
efisien. Akan banyak keuntungan yang didapat – terutama oleh produsen –
apabila membatasi konsumen yang ikut dalam sistem pasar dengan
mensyaratkan mereka untuk mau membayar.
Berbeda halnya dengan barang publik, mekanisme pasar tidak
akan berfungsi secara sempurna. Konsumen biasanya tidak bersedia
untuk membayar pemanfaatan atas barang publik, karena manfaat yang
akan dirasakan oleh setiap orang akan sama saja, baik jika dia membayar
ataupun tidak. Apalagi jika semakin banyak orang yang menggunakan barang
tersebut, manfaat yang dirasakan masing-masing individu akan semakin
tidak berarti apa-apa. Akibatnya tidak akan ada pembayaran yang
dilakukan secara sukarela. Dalam kondisi seperti ini tentunya diperlukan
campur tangan dari pemerintah.

Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar


Dalam suatu sistem ekonomi pasar yang bersaing sempurna, kriteria efisien
akan dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Di sini
diasumsikan bahwa terdapat adanya hak kepemilikan eksklusif terhadap
semua sumber daya produktif yang tersedia di pasar dan tidak ada individu
yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atas komoditi atau
produk yang diperjualbelikan. Harga atas suatu komoditi sudah disepakati
atau harus identik untuk semua pembeli dan penjual. Hal ini berarti tidak
ada distorsi
pasar yang akan mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang
diterima oleh penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli.
Bila semua kondisi tersebut telah terpenuhi, sistem ekonomi pasar
akan dapat menjamin penggunaan sumber daya secara efisien dalam
penyediaan barang pribadi. Tentu saja, pandangan ini merupakan gambaran
paling ekstrim dari sistem pasar. Dalam kenyataannya banyak kesulitan
yang terjadi, sehingga pasar dapat menjadi ajang persaingan yang tidak
sempurna. Distorsi yang disebabkan oleh iklan, misalnya, akan
mengakibatkan konsumen kekurangan informasi atau dapat tersesatkan, dan
hal ini berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh kosumen dan produsen
tidaklah sama.
Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang tidak dapat
dipecahkan oleh mekanisme pasar, sehubungan dengan pemenuhan
kriteria efisien. Di sinilah kemudian terjadi alasan perlunya aturan
pemerintah guna menjamin efisiensi dalam sistem ekonomi pasar. Alasan
pertama adalah bahwa pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar
dapat beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan. Alasan
kedua, pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk mencapai tingkat
efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam hal biaya produk
dan kualitas produk yang dihasilkannya. Alasan ketiga terletak pada
hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik,
misalnya terhadap sejumlah barang tertentu yang menjadi preferensi
konsumen, namun pasar gagal dalam memproduksinya. Efisiensi produksi
pemerintah di sini akan menjadi fokus pembahasan selanjutnya.

Barang Publik
Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau
jasa apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai dari lampu jalan
sampai dengan keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik
menjabarkan istilah barang publik sebagai barang-barang yang mempunyai
sifat tidak bersaing (non rivalry) dan tanpa pengecualian (non excludability).
Kedua sifat tersebutlah yang kemudian akan mengakibatkan kegagalan pasar
dalam memproduksi secara efisien.

Sifat Tidak Bersaing (Non Rivalry)


Sifat tidak bersaing berarti bahwa barang tersebut dapat dikonsumsi
sebanyak-banyaknya oleh seseorang tanpa akan mengurangi jumlah barang
yang tersedia untuk dikonsumsi oleh orang lain. Namun perlu dipahami,
bahwa sifat tidak bersaing bukan berarti bahwa manfaat yang diterima
oleh
51 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam 51
Perekonomian

setiap konsumen adalah sama. Misalnya konsumsi atas lampu jalan,


seseorang dapat terlindungi dari gelapnya malam, tanpa mengurangi
kebutuhan orang lain atas lampu yang sama. Namun, orang yang tinggal
di sekitar wilayah lampu tersebut akan lebih merasakan manfaatnya,
dibandingkan dengan orang yang tinggal lebih jauh dari wilayah lampu
tersebut. Dari berbagai macam barang publik, terdapat barang-barang publik
yang mempunyai sifat tidak bersaing dengan kadar yang tinggi dan rendah.
Barang publik seperti lampu jalan dan keamanan, sifat tidak bersaingnya
tinggi. Sebaliknya, untuk barang publik seperti, jalan lokal, pelayanan
kesehatan dan pendidikan, terdapat sifat tidak bersaing yang rendah dalam
konsumsinya. Semakin banyak orang dalam suatu wilayah, akan ada
kemungkinan sifat bersaing dalam penggunaan barang publik tersebut.
Rendah Tinggi

Jalan Pendidik Pelayanan Udara Keamanan Lampu


Lokal an Kesehata bersih Jalan
n
Gambar 4.1

Sifat Tanpa Pengecualian (Non Excludability)


Dimensi kedua dari barang publik adalah sifat tanpa pengecualian. Istilah
ini digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan dalam mencegah
seseorang yang tidak memberikan kontribusi (tidak membayar) untuk
ikut mengkonsumsi barang publik. Misalkan, A tidak memberi kontribusi
dengan membayar pajak, akan sulit bagi pemerintah untuk mencegah orang
tersebut agar tidak menggunakan jalan umum, karena apabila pemerintah
mencegah dengan cara tidak membangun jalan di sekitar rumahnya, maka hal
tersebut akan dapat merugikan orang-orang di sekitarnya yang membayar
pajak.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sifat tanpa pengecualian ini
dihilangkan, jika biaya untuk mendapatkan kontribusi konsumen tidak lebih
besar dari manfaatnya. Misalnya tempat rekreasi, pemerintah mungkin saja
menarik bayaran dari para pengunjung, selama biaya yang dikeluarkan untuk
membayar staf penjaga tempat rekreasi tersebut tidak lebih besar dari
pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, sama halnya dengan sifat tidak
bersaing, terdapat garis spektrum yang menggambarkan tinggi rendahnya sifat
tanpa pengecualian
Rendah Tinggi
Tempat Tempat Perpustakaan Udara Pendidikan Jalan Lokal
Parkir Rekreasi Bersih
Gambar 4.2

Barang Publik Versus Barang Pribadi


Gambar 4.3. dan 4.4 di bawah ini menguraikan tentang perbedaan antara
barang publik dan barang pribadi dalam suatu masyarakat yang diasumsikan
hanya terdiri dari dua kelompok individu, yaitu A dan B. Gambar 4.3
mewakili barang pribadi yang mempunyai sifat bersaing dan
pengecualian yang sangat tinggi. Kurva permintaan pasar (Dt) diperoleh
dengan menambahkan secara horizontal kurva permintaan A (Da) dan kurva
permintaan B (Db). Kurva permintaan pasar Dt berhimpitan dengan kurva
permintaan Db, selama tingkat harga masih cukup tinggi, selanjutnya pada
saat tingkat harga sudah cukup rendah, A dapat masuk ke dalam pasar
sehingga kurva permintaan pasar Dt berbelok. Semua titik-titik dalam kurva
permintaan pasar Dt merupakan gabungan dari titik-titik harga dan kuantitas
yang diminta dalam kurva permintaan A dan B.
Kurva penawaran pasar SS memperlihatkan biaya marginal (MC) yang
dapat dibebankan kepada A dan B secara bersama-sama untuk berbagai
output dari barang pribadi. Perpotongan antara kurva SS dan Dt menentukan
titik ekuilibrium harga P1 dan titik ekuilibrium kuantitas Qt. Dengan catatan
bahwa Qt merupakan penjumlahan dari Qa (barang yang dibeli oleh A)
dan Qb (barang yang dibeli oleh B).

Kurva Permintaan, Penawaran dan Equilibrium Pasar Atas Barang Pribadi

Harga

S = MC

E
P1

Dt
Gambar 4.3.
Gambar 4.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik.
Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai
sifat tidak bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi
oleh A sama jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat
yang diterima A lebih besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga
kota Jakarta dapat menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga
halnya dengan B, meskipun A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh
karena itu, dalam hal ini perbedaan terjadi bukan pada kuantitas yang
dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi lebih kepada perbedaan dari
manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga yang dibayarkan oleh
masing-masing konsumen.
Berdasarkan karakteristik dari barang publik tersebut, dalam kurva 4.4
tampak bahwa terdapat suatu titik yang menunjukkan maksimum harga yang
bersedia dibayar oleh individu A (PA). Alasan atas kondisi ini, karena
pada titik tersebut A memperoleh manfaat yang maksimum. Di atas
harga PA, individu A tidak lagi bersedia untuk membayar atas barang publik
tersebut, karena A tidak lagi memperoleh tambahan manfaat atas barang
tersebut. Sementara individu B masih bersedia membayar sampai ke tingkat
harga PB atas barang publik yang sama, dikarenakan manfaat marjinal atas
barang tersebut masih terus diterima oleh B.

Kurva Permintaan, Penawaran dan Equilibrium Pasar Atas Barang


publik

Harga
S = MC

P1
E

PB Dt
PA
Gambar 4.4.
Masih dalam gambar 4.4, tampak bahwa kurva permintaan pasar (Dt)
berbelok pada tingkat kuantitas barang publik yang memberikan tingkat
manfaat maksimum pada A – sehingga A tidak bersedia membayar
harga tambahan lagi. Di atas harga tersebut (PA) tambahan barang publik
dibayar oleh individu B. Sebagai contoh, dalam penyediaan jalan raya,
individu A hanya bersedia membayar dengan harga cukup, karena
mungkin hanya itu kebutuhannya. Sementara di lain pihak, individu B
bersedia membayar lebih banyak lagi untuk penyediaan jalan raya, sebagai
kompensasi atas kebutuhannya terhadap jalan tersebut. Maka total harga yang
bersedia dibayar oleh pasar, adalah total harga yang bersedia dibayar oleh
seluruh individu dalam pasar (P1=PA+PB).

Penyediaan Barang Publik


Ketika pemerintah melakukan fungsi penyediaan barang publik, trade
off dari penyediaan barang publik oleh pemerintah dengan penyediaan
barang pribadi melalui mekanisme pasar dapat digambarkan dengan kurva
kemungkinan produksi. Gambar 4.5 menunjukkan alternatif kombinasi antara
barang publik dan barang pribadi, dengan asumsi seluruh sumber daya
yang ada digunakan.
Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual dan
tersedia di pasar, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Sedangkan barang
publik adalah barang-barang yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar,
seperti: jalan umum, pendidikan, keamanan nasional dan lain-lain.
Kurva Kemungkinan Produksi
Gambar 4.5

Titik A dalam gambar menunjukkan bahwa MX1 unit adalah jumlah


barang pribadi yang dikorbankan oleh masyarakat sehingga pemerintah dapat
menyediakan barang publik sejumlah OG1. Pengorbanan masyarakat
merupakan harga sumber daya yang seharusnya digunakan untuk
memproduksi barang pribadi digunakan oleh pemerintah untuk dapat
menyediakan barang publik. Sumber daya yang dikorbankan tersebut adalah
harga yang harus dibayar oleh masyarakat atau pajak yang diminta oleh
pemerintah agar barang publik dapat tersedia.
Peningkatan jumlah barang publik yang tersedia di pasar dalam satu tahun
dari OG1 ke OG2 (titik B) akan meminta penurunan dari jumlah
barang pribadi di pasar dari OX1 ke OX2, atau dengan kata lain
meminta pengorbanan lebih besar dari MX1 ke MX2, jika diumpamakan
peningkatan jumlah barang publik per tahun merupakan respon
pemerintah atas peningkatan permintaan masyarakat terhadap keamanan
nasional. Jika untuk memenuhi kebutuhan keamanan nasional tersebut
pemerintah harus meningkatkan pajak penghasilan, maka kualitas keamanan
yang disediakan pemerintah akan meningkat dan masyarakat akan merasa
lebih aman. Namun di sisi lain, pengorbanan dari pihak masyarakat terjadi
dengan menurunnya kemampuan konsumsi atas barang-barang pribadi.

Penyediaan Barang melalui Anggaran


Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam
rangka penyediaan barang publik diperlukan adanya campur tangan
pemerintah. Permasalahan yang timbul kemudian adalah tentang jenis dan
kualitas barang seperti apa yang harus disediakan oleh pemerintah.
Masalah lain yang juga
timbul adalah ketika pemerintah perlu menetapkan jumlah uang yang harus
ditarik dari masyarakat untuk menyediakan barang publik tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan proses politik untuk mengungkapkan preferensi
masyarakat kepada pemerintah tentang barang publik apa yang
perlu disediakan dan melengkapinya dengan sumber-sumber pembiayaan
yang dibutuhkan untuk membayar barang-barang publik tersebut.
Pengungkapan preferensi masyarakat kepada pemerintah dapat
dilakukan melalui proses pemungutan suara. Proses tersebut harus diawali
dengan memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat tentang
pentingnya memberikan suara mereka, karena adanya mekanisme mengikuti
keputusan suara terbanyak dalam proses yang demokratis. Namun dalam
prakteknya, banyak anggota masyarakat merasa bahwa biaya yang mereka
keluarkan untuk menyatakan tuntutan mereka seringkali lebih besar dari
manfaatnya. Hal ini diakibatkan tidak cukupnya informasi yang disampaikan
oleh masyarakat kepada pemerintah.
Dasar pemikiran tentang komunikasi efektif antara pemerintah dan
masyarakat mengikuti logika kepentingan setiap individu dalam masyarakat.
Secara normatif, masyarakat dalam sistem yang demokratis akan terhindar
dari apatisme anggotanya dalam proses pengambilan keputusan politik.
Setiap orang akan dengan senang hati ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan politik – mulai dari sekedar memberikan suara, berkampanye,
menyumbang bahkan sampai keluar dari pekerjaannya – jika mereka merasa
bahwa ada akibat langsung dari kebijakan politik pemerintah kepada mereka.
Sementara itu, apabila suatu usulan kebijakan tidak berpengaruh langsung
- atau kecil pengaruhnya - masyarakat akan merasa enggan untuk ikut
serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut, karena biaya yang
mereka keluarkan akan lebih besar dari manfaat yang akan mereka terima.
Agar dapat berfungsi sebagai mekanisme yang efisien dalam
mengungkapkan preferensi, maka proses pemungutan suara harus mengaitkan
keputusan perpajakan (sebagai alat pendanaan) dengan keputusan
anggaran pengeluaran atau belanja publik. Para pemberi suara
kemudian akan dihadapkan pada suatu pilihan di antara beberapa usulan
pengeluaran publik berkaitan dengan sumbangan pajak mereka. Pilihan para
pemilih akan tergantung pada pengetahuan mereka sendiri serta kesadaran
mereka bahwa orang lain juga menyumbang sesuai dengan rencana
perpajakan yang dianut.

Keterbatasan Jangkauan Manfaat atas Barang


Publik
Pada dasarnya, barang publik disediakan bagi semua orang yang
mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam prakteknya,
ada
barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di
dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik yang hanya dapat
dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala lokal). Melihat
sifatnya tersebut, barang publik berskala nasional lebih tepat disediakan oleh
pemerintah pusat, sementara barang publik berskala lokal lebih
tepat disediakan oleh pemerintah lokal atau pemerintah daerah.
Barang publik berskala lokal dalam garis kontinum, seperti yang
terlihat pada gambar 5.1. dan 5.2., mempunyai sifat tidak bersaing yang
rendah. Selain itu dalam skala lokal akan lebih dimungkinkan untuk
mengatasi permasalahan free rider. Sebagai contoh, dalam suatu kelompok
yang kecil, kontribusi seseorang baik itu berupa waktu, uang, maupun
pemberian suara akan dapat menciptakan perubahan atas suatu keputusan.
Berpartisipasi atau tidak berpartisipasi akan menjadi sangat terlihat, sehingga
akan lebih memperkecil timbulnya masalah free rider. Tentunya akan lebih
mudah bagi pemerintah lokal untuk menarik kontribusi dari para pengguna
barang publik yang disediakan (seperti tiket masuk tempat rekreasi, karcis
parkir, tol, atau retribusi pasar) dengan tarif ataupun biaya yang rendah.
Dari sisi pengguna, mereka tidak akan merasa keberatan membayar untuk
dapat menggunakan barang publik tersebut, karena akan lebih jelas manfaat
yang dapat mereka peroleh bila dibandingkan dengan biaya yang mereka
keluarkan. Sebaliknya, bagi yang sedikit memberikan berkontribusi atau
bahkan tidak sama sekali, maka akan sedikit atau bahkan tidak ada sama
sekali manfaat yang akan mereka dapatkan.
Dari sini dapat terlihat bahwa biaya marginal dari setiap tambahan
penggunaan atas barang publik ini sama dengan atau paling tidak mendekati
nol. Artinya para pengguna seharusnya akan lebih termotivasi untuk
menggunakan barang-barang ini sampai pada titik dimana manfaat marjinal
yang mereka peroleh sama dengan atau mendekati nol. Mereka akan terus
menambah konsumsi mereka atas barang publik ini sampai manfaat yang
mereka dapatkan maksimal, selama tidak ada tambahan biaya yang harus
mereka keluarkan. Sebagai contoh, seorang pengguna jalan tol dalam
kota akan masuk dari pintu terdekat dengan tempat dia berangkat dan keluar
dari pintu terjauh, tapi paling dekat dengan tempat tujuannya, dari manapun
dia masuk dan dimanapun dia keluar biaya yang harus dikeluarkan adalah
sama. Berbeda dengan pengguna jalan tol luar kota, dia akan berpikir dari
pintu tol mana dia harus masuk dan di pintu tol mana dia harus keluar,
dengan mempertimbangkan kondisi kemacetan (biaya oportunitas) di luar
jalan tol. Hal ini disebabkan, untuk setiap tambahan pintu tol yang dia
lewati, harus ada tambahan biaya yang dikeluarkan.
Barang publik berskala lokal adalah barang-barang yang diproduksi oleh
pemerintah lokal, yang dalam garis spektrum mempunyai sifat tidak bersaing
yang rendah. Dari berbagai macam barang publik jenis ini, ada yang disebut
dengan istilah congestible goods, yaitu barang publik yang mempunyai sifat
tidak bersaing yang rendah hanya pada waktu penggunaannya padat atau
penggunanya mencapai jumlah tertentu. Sementara itu, pada waktu yang lain
ketika jumlah pengguna barang ini hanya sedikit, maka sifat tidak
bersaingnya akan menjadi tinggi. Sehingga, jika pemerintah lokal harus
menarik kontribusi atas pengguna barang publik ini, maka biaya
marjinalnya bisa akan lebih mahal dari manfaat marjinalnya. Apabila
dimungkinkan, pemerintah lokal tidak perlu menarik kontribusi dari
pengguna barang publik ini.
Gambar 4.6. memperlihatkan bahwa tambahan permintaan atas congestible
goods pada musim sepi jumlahnya sedikit (pergeseran dari titik O ke
D1 sampai ke D2), begitu juga biaya marginalnya yang tetap. Sebegitu
rendah permintaannya sehingga pemerintah lokal merasa tidak perlu ada
penarikan retribusi atas pengguna barang publik tersebut. Di lokasi
perkantoran misalnya, dimana pada hari-hari libur hampir tidak ada mobil
yang datang berkunjung, pemerintah dapat menghilangkan biaya parkir,
jadi perlu juga tidak ada penjaga gerbang sehingga dapat mengurangi atau
bahkan menghapus biaya marjinal.
Strategi lain dalam memperlakukan congestible goods adalah dengan
menggunakan dua macam tarif, yaitu tarif tinggi pada musim padat dan tarif
rendah pada musim sepi. Misalnya pada tempat-tempat rekreasi, pada musim
liburan dimana pengunjungnya sangat padat, dapat dikenakan tarif tinggi,
sedangkan untuk hari kerja atau sekolah, para pengunjung dapat menikmati
tempat rekreasi dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini diharapkan
dapat menarik minat pengunjung untuk mau masuk ke tempat rekreasi
tersebut, sehingga biaya menempatkan penjaga gerbang akan tertutup dari
pembayaran tiket masuk.

Kurva Permintaan Congestible Goods

Harga

MC

P1
D3
Gambar 4.6.

Efisiensi Penyediaan Barang Publik oleh Pemerintah


Dalam hal efisiensi penyediaan barang publik oleh pemerintah,
seorang ekonom Italia mengusulkan konsep efisiensi yang dikenal dengan
istilah Efisiensi Pareto (Pareto Efficiency). Efisiensi Pareto didefinisikan
sebagai suatu pengaturan ekonomi tertentu adalah efisien jika di sana
tidak dapat dilakukan pengaturan kembali yang akan menyebabkan
seseorang menjadi lebih baik tanpa merugikan posisi orang lain. Pada
kondisi efisiensi pareto, tidaklah mungkin untuk mengubah metode produksi,
kombinasi barang yang diproduksi, atau besarnya sektor pemerintah dalam
usaha untuk membantu seseorang atau kelompok tanpa merugikan orang
atau kelompok lain. Jika perubahan itu masih dimungkinkan maka
kondisi tersebut belumlah efisien dan peningkatan efisiensi masih
diperlukan.
Kaidah efisiensi akan mengarah pada terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu
agar tercapai pemecahan alokasi yang efisien. Secara sederhana, kita akan
mempertimbangkan suatu perekonomian dengan hanya ada dua
konsumen, yaitu A dan B serta dua macam barang yaitu X dan Y. Kondisi-
kondisi berikut harus terpenuhi untuk mencapai efisiensi pareto:
1. Efisiensi menghendaki bahwa dengan menggunakan teknologi
terbaik, jumlah tertentu barang X harus diproduksi sedemikian rupa
sehingga memungkinkan diproduksinya Y sebanyak-banyaknya pada
saat yang sama dan demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, jika
suatu teknologi memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan 8
unit barang Y, sedangkan teknologi lain memungkinkan
diproduksinya 10 unit barang X dan hanya 5 unit barang Y, maka jelas
bahwa teknologi pertama yang akan terpilih.
2. Tingkat substitusi marjinal dalam mengkonsumsi barang X dan Y
harus sama baik bagi konsumen A maupun B. Artinya tingkat dimana
A dan B berkeinginan untuk menukarkan unit barang X dengan
barang Y haruslah sama. Jika A ingin memberikan satu unit barang
X untuk dua barang Y, sedangkan B mau menukarkan tiga unit barang
Y untuk satu unit barang X, maka hal ini akan menguntungkan
keduanya bila melakukan pertukaran, dimana A akan dapat
meningkatkan konsumsinya terhadap barang Y sedangkan B dapat
meningkatkan konsumsinya terhadap barang X, sampai tercapai
tingkat substitusi marjinal yang sama.
3. Tingkat substitusi marjinal barang X untuk barang Y dalam
konsumsi haruslah sama dengan tingkat transformasi marjinal di
dalam produksi. Tingkat transformasi marjinal dapat didefinisikan
sebagai suatu tambahan unit barang X yang dapat diproduksi bila
produksi barang Y dikurangi satu unit. Jadi jika tingkat substitusi
marjinal di dalam konsumsi adalah 3X dan 2Y, sedangkan tingkat
transformasi marjinal di dalam produksi adalah 3X untuk 1Y, maka
akan lebih diinginkan untuk meningkatkan output barang X dan
mengurangi barang Y sampai kedua tingkat tersebut menjadi sama.

Alokasi yang Efisien Melalui Mekanisme Pasar


Sekarang kita pertimbangkan suatu kondisi dimana cukup baik tidak hanya
untuk produksi barang publik tetapi juga untuk produksi barang pribadi. Bagi
barang pribadi yang tersedia melalui mekanisme pasar (dimana produsen akan
memproduksi barang-barang yang paling diinginkan oleh konsumen atau
preferensi konsumen teridentifikasi dengan jelas), produsen akan
memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan metode biaya sekecil
mungkin (memenuhi kondisi 1). Selanjutnya, konsumen akan
mengalokasikan anggaran belanjanya di antara barang-barang tersebut
sedemikian rupa sehingga menyamakan tingkat substitusi marjinal mereka
dengan rasio harga barang (memenuhi kondisi 2). Harga per unit yang sama
dibayar oleh semua konsumen, tetapi jumlah kuantitas konsumsinya
berbeda, tergantung pada selera dan pendapatan mereka. Penjual dalam
upayanya untuk memaksimalkan
5
manfaat akan menyamakan biaya marjinal dengan penerimaan marjinal
(memenuhi kondisi 3). Dari sini, kita dapat melihat bahwa mekanisme
pasar dapat menjamin terlaksananya penggunaan sumber daya yang efisien.
Pemecahan efisiensi akan sangat dimudahkan dengan menggunakan
pendekatan mekanisme pasar, karena di sini konsumen didorong
untuk

5
Dalam keadaan bersaing, produsen akan menyamakan biaya marjinal dengan harga
atau pendapatan rata-rata.
61 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam 61
Perekonomian

menyatakan preferensi mereka, sehingga produsen termotivasi untuk


6
memproduksi apa yang diinginkan oleh konsumen. Namun kembali kepada
masalah bahwa tidak semua barang bisa disediakan melalui mekanisme pasar,
oleh karenanya harus disediakan oleh pemerintah. Pemecahan
masalah efisiensi kembali perlu untuk ditemukan, sebagaimana pertama kali
pernah dikembangkan oleh Samuelson, yang akan ditunjukkan melalui
beberapa penjelasan di bawah ini.

Alokasi yang Efisien Atas Barang


Publik
Sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 4.3 dimana kondisi seluruh
sumber daya yang ada dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi,
penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade off
dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar. Artinya, setiap
penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari sumber-
sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi barang
pribadi.
Selanjutnya, jika kita perhatikan pada gambar 4.7 dibawah ini, kita akan
melihat bahwa kurva kemungkinan produksi pada sumbu XY paling
atas, sekali lagi mencatat kombinasi barang pribadi dan barang publik yang
dapat diproduksi dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia.
Sumbu XY pada gambar bagian tengah memperlihatkan jumlah barang
pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu A, dan sumbu XY pada
gambar bagian bawah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik
yang dikonsumsi oleh individu B. Karena sifat barang publik yang tidak
bersaing dan tanpa pengecualian, maka dapat diasumsikan bahwa jumlah
barang yang dikonsumsi dari setiap individu adalah sama, sehingga kedua
individu tersebut (A dan B) akan berada pada titik yang sama pada sumbu
horizontal, tetapi mereka dapat mengkonsumsi barang pribadi dengan
jumlah yang berbeda, sehingga keduanya akan berada pada titik yang
berbeda pada sumbu vertikal.
Akan tetapi, titik-titik ini akan berhubungan dengan kondisi bahwa jumlah
barang X yang dikonsumsi oleh A dan B harus sama dengan output
total barang X. Sebagai ilustrasi, jika A berada pada titik G pada gambar di
bagian tengah, artinya A mengkonsumsi barang publik sebanyak 0F dan
barang pribadi sebanyak FG. Dari gambar bagian atas, diketahui bahwa
kombinasi output yang paling efisien meliputi barang publik sebanyak 0F dan
barang pribadi sebanyak FE. Karena FG dikonsumsi oleh A maka jumlah
yang tersisa

6
Ini adalah kelebihan dari the invisible hands sebagaimana yang dikemukakan pertama
kali oleh Adam Smith.
bagi B sama FE-FG = FH, sehingga menempatkan B pada titik H pada
gambar bagian bawah.
Selanjutnya kita akan melihat pada tingkat kesejahteraan terbaik untuk
A dan B. Untuk A misalnya dinyatakan oleh kurva indiferen ia2 pada
gambar bagian tengah, menunjukkan bahwa jika A berada pada titik G maka
B akan berada pada titik H pada gambar di bagian bawah. Kemudian jika A
bergerak sepanjang ia2 ke titik P, T, dan V, berdasarkan alasan yang sama
akan menempatkan B pada titik L, Z dan K. Jika A bergerak sepanjang ia2
dari tititk W ke kiri, maka B akan berpindah ke kiri sepanjang ULK. Bagi A,
semua titik sepanjang ia2 akan sama baiknya, kesejahteraan A akan
menjadi maksimal apabila A mendapatkan suatu titik yang akan dapat
membuat B menjadi lebih baik. Hal ini akan terjadi pada titik L, dimana
ULK bersinggungan dengan kurva indeferen ib4 dari B pada gambar bagian
bawah. Inilah kurva tertinggi yang dapat dicapai oleh B. Jika A berada pada
kurva indiferen ia1 pemecahan terbaik adalah dengan membiarkan A dan B
pada titik P dan L, dimana output total barang publik (yang paling efisien)
sejumlah ON, sedangkan total output barang pribadi sebanyak NM akan
dibagi antara A dan B sehingga A menerima sebanyak NP dan B
menerima sebanyak NL.
Total X
D

0 N F U C Jumlah S

Jumlah X
untuk A
V

P ia3
G
W
ia2

ia1
0 N F U Jumlah S

Jumlah X
untuk B

Z
K L

ib4
ib1 H
ib3
ib2

0
Gambar 4.7
Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat
mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan
menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan
dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan
cara ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan
dengan berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah
efisien menurut pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara
tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi
marjinal di dalam produksi.

FUNGSI DISTRIBUSI
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa terdapat dua
masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah
penggunaan sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber
daya tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih
pada efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya di antara
berbagai kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu
tingkat hasil (utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah ada distribusi yang adil atau merata?
Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan merata itu yang dimaksud di
atas? Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan
mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat
berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif.
Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada
teori mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor
produksi dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah,
tenaga kerja dan modal. Teori ini memainkan peranan yang sangat penting
dalam analisis ekonomi, namun demikian penekanan teori peranan produksi
lebih pada pengalokasian yang efisien. Agar alokasi sumber daya menjadi
efisien maka jumlah faktor produksi yang digunakan harus sedemikian rupa
sehingga nilainya sama dengan nilai biaya marjinal. Walaupun demikian,
teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukanlah merupakan teori fungsi
distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan
efisien apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa
memperhatikan masalah
distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar. Sedangkan,
penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana
pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluarga-
keluarga. Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap
individu maupun keluarga akan dibahas lebih mendalam dalam bagian ini.

Konsep Keadilan
Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan
publik. Apakah ada suatu cara untuk mendefinisikan keadilan? Pertanyaan ini
telah memicu munculnya beberapa pemikiran terbaik dari para ekonom dalan
kurun waktu dua abad terakhir ini. Idealnya, sistem perpajakan dan belanja
publik harus dapat menjamin terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari
setiap warga negara, bukan dalam ukuran rupiahnya namun lebih pada
utilitasnya. Sehingga apabila ada dua kelompok ekstrim dalam masyarakat,
si miskin dan si kaya, akan terasa sangat logis jika standar adil dalam
pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin bahwa kontribusi si
miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya.
Selanjutnya, masih dalam konteks ideal, fungsi pendistribusian oleh
pemerintah dapat mencakup proses penarikan dana (melalui pajak) dari si
kaya dan mentransfernya kepada si miskin baik itu dalam bentuk uang
ataupun jasa. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pendistribusian
yang dilakukan pemerintah tidak menguntungkan bagi si miskin, melainkan
tetap lebih memihak kepada si kaya.

Konsep Keadilan Horizontal


Salah satu jawaban atas dilema dalam mendefinisikan dan mengukur
keadilan adalah konsep keadilan horizontal. Dalam konsep ini, diasumsikan
bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang sama untuk menikmati
pendapatan, atau paling tidak, kapasitasnya berada dalam suatu interval
tertentu. Oleh karena itu, dari setiap orang akan ditarik pajak dengan jumlah
yang sama. Sedangkan pemerintah akan menyediakan sejumlah barang publik
yang sama pula.
Permasalahannya adalah bahwa dalam suatu perekonomian, tidak hanya
sekedar persoalan pendapatan. Pendapatan sendiri harus mencakup masalah
seluruh pendapatan seumur hidup seseorang, bukan hanya pendapatan dalam
satu tahun. Selain itu, hal lain yang mungkin perlu dimasukkan ke
dalam pertimbangan adalah masalah kekayaan, jumlah anggota keluarga,
umur, atau kondisi-kondisi khusus lainnya seperti ketidakmampuan (cacat),
dan kondisi
kesehatan seseorang. Jadi, secara umum, pengukuran menggunakan konsep
keadilan horizontal sulit ditemukan. Contoh konkrit dari konsep ini
dapat ditemukan pada tiket masuk suatu tempat rekreasi yang tidak
membedakan orang per orang. Jadi, setiap orang dianggap sama, tidak perduli
kaya atau miskin, tua atau muda, cacat atau normal dan sebagainya.

Konsep Keadilan Vertikal


Konsep kedua dalam mengukur keadilan adalah konsep keadilan vertikal.
Dalam konsep ini, keadilan berarti memperlakukan setiap orang secara
berbeda disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Dasar pengukuran
dapat berupa pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau
kemampuannya untuk membayar. Oleh karena itu, melalui konsep ini,
jumlah pajak yang ditarik dari setiap orang tidaklah sama, namun disesuaikan
dengan kondisi mereka. Tarif pajak progresif – yang akan dibahas lebih
lanjut di bagian mendatang – merupakan salah satu contoh konkrit dari
konsep keadilan vertikal. Konsep keadilan vertikal juga tercermin dalam
metode pengujian rata-rata yang digunakan bagi banyak program
pemerintah, seperti pembebasan atau pengurangan biaya sekolah, dan
subsidi perumahan dan
7
kesehatan bagi rakyat miskin .
Salah satu kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah
bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang dapat
dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi (misalnya
pendapatan) seseorang. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah
pendapatan seseorang jika harus dikaitkan dengan perbedaan kemampuan
orang tersebut dalam membayar pajak. Apakah seseorang yang mempunyai
pendapatan dua kali pendapatan orang yang lain berarti bahwa orang tersebut
mempunyai kemampuan membayar dua kali juga atau tidak. Selanjutnya,
dimana harus menetapkan batas suatu jumlah pendapatan sehingga dapat
dikatakan bahwa jumlah tersebut mempunyai kemampuan membayar pajak
lebih rendah atau lebih tinggi. Apakah seseorang yang mempunyai
jumlah pendapatan Rp
50.000.000,00 lebih rendah kemampuan membayar pajaknya
dibandingkan
dengan seseorang yang mempunyai pendapatan Rp 50.000.001,-, sehingga
pajak penghasilan menetapkan tarif yang berbeda.

7
Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata –
berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Prinsip Kompensasi
Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan
jatuh pada prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi
pareto yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang
menjadi lebih baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya
(lebih buruk). Jadi dalam konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan
yang mau tidak mau akan terdapat pihak yang menang dan kalah.
Ketidakmampuan dalam membandingkan utilitas dari setiap orang,
menyebabkan suatu keputusan atau perubahan kebijakan sangat sulit untuk
dibuat tanpa mengakibatkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan dan pihak-
pihak yang dirugikan. Menyadari hal ini, para ekonom mencari beberapa
kriteria untuk pengambilan keputusan dimana kondisi pareto optimal tidak
mungkin dapat dicapai. Kriteria ini akan memandu pengambil keputusan
untuk memilih keputusan terbaik kedua setelah pareto optimal. Salah satu
kriteria
yang paling sering digunakan adalah prinsip
8
kompensasi .
Prinsip kompensasi sebagian dapat terlihat dalam hal kebijakan
perdagangan. Penurunan secara bertahap terhadap hambatan perdagangan
internasional akan memberikan keuntungan bagi para konsumen dan
eksportir di atas beban para tenaga kerja dan produsen importir dalam
industri yang bersaing. Namun kebijakan ini tetap diinginkan karena secara
total, kesejahteraan publik akan lebih meningkat. Seandainya hambatan
perdagangan tetap dipertahankan sehingga tetap ada dinding yang membatasi
suatu negara dalam bertransaksi dengan negara lain, maka tetap saja akan ada
pihak-pihak yang diuntungkan sebagai pemenang dan pihak-pihak yang
dirugikan sebagai yang kalah.

Faktor-Faktor yang Menentukan


Distribusi
Tanpa adanya intervensi kebijakan, distribusi pendapatan dan
kekayaan akan tergantung pada ketersediaan sumber daya alam dan
kepemilikan atas kekayaan. Permasalahannya terletak pada aspek pemerataan
dan keadilan. Apabila hukum ekonomi pasar diberlakukan, penggunaan
sumber daya yang efisien akan ditentukan oleh nilai penetapan harga faktor
produksi yang kompetitif, sehinggga mengakibatkan distribusi pendapatan
keluarga juga ditentukan oleh proses pasar. Hal ini sering dipandang
sebagai suatu tingkat

8
Prinsip kompensasi menawarkan suatu pedoman dasar untuk memilih dari
beberapa alternatif kebijakan dengan ketentuan bahwa seseorang akan menjadi lebih baik
atau lebih sejahtera.
9
ketidakadilan yang besar, terutama dalam distribusi pendapatan modal . Para
ekonom sepakat bahwa dibutuhkan penyesuaian untuk menentukan batas
minimum pendapatan untuk kelompok berpenghasilan rendah. Kebijakan
penyesuaian tersebut akan menimbulkan inefisiensi dengan menimbulkan
tambahan biaya.
Dalam ekonomi pasar, distribusi pendapatan ditentukan oleh penjualan
faktor produksi tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan tenaga kerja
berkaitan dengan distribusi kemampuan sekaligus keinginan tenaga kerja
yang bersangkutan untuk memperoleh pendapatan. Distribusi pendapatan
tenaga kerja dan modal terkait dengan investasi pendidikan, yang
merupakan pengaruh dari tingkat upah yang dapat dicapai oleh seseorang.
Selain bergantung pada turunan dari faktor-faktor produksi tersebut,
distribusi pendapatan juga bergantung pada faktor harga. Dalam persaingan
sempurna, tingkat harga akan sama dengan nilai dari faktor produk marjinal,
oleh karenanya harga-harga tersebut akan bergantung langsung pada sejumlah
variabel seperti faktor penawaran, teknologi, dan preferensi pelanggan.
Namun dalam banyak kasus, tingkat pengembalian lebih ditentukan oleh
pasar persaingan tidak sempurna dimana faktor-faktor institusi seperti
struktur gaji, hubungan keluarga, status sosial, ras dan lain-lain masih
memainkan peran yang sangat penting. Oleh sebab itu, tingkat pendapatan
dari berbagai macam pekerjaan mungkin berbeda sejalan dengan
pertimbangan status dibandingkan dengan produk marjinal. Begitu pula
dengan kesempatan seseorang untuk memperoleh pekerjaan akan lebih
bergantung pada hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan kemampuan
produktifitasnya, dan akhirnya pola pernikahan juga menjadi faktor terpenting
dalam pendistribusian pendapatan.
Distribusi pendapatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas,
menunjukkan tingkat ketidakadilan yang sangat mencolok. Hal ini dapat
dilihat dengan membandingkan persentase dari pendapatan yang
diperoleh tenaga kerja dengan persentase rumah tangga (pemilik modal) yang
menghasilkan. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa terjadi
kecenderungan meningkatnya ketidakadilan dalam pendistribusian
pendapatan (Musgrave, 1991).

Distribusi sebagai Suatu


Kebijakan
Jika sebelumnya pembahasan distribusi lebih terfokus sebagai hasil
dari perekonomian pasar, kali ini pembahasan akan difokuskan pada
distribusi

9
Distribusi pendapatan modal mencakup distribusi kesejahteraan, sebagaimana
telah ditentukan oleh warisan, pola perkawinan, pola hidup dan simpanan semasa
hidup.
sebagai hasil dari suatu kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, meskipun tidak secara langsung, akan mempunyai dampak
distribusional. Misalnya, kebijakan mengenai anti trust atau anti monopoli
sebenarnya dirancang untuk mengefisienkan pasar, namun secara tidak
langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga kerja pada
industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan riil
dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut
terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah –
seperti pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik
kepada masyarakat – akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai
kelompok masyarakat dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi. Oleh
karena itu, perancangan kebijakan publik seharusnya juga mempertimbangkan
masalah distribusi. Namun sayangnya, sampai saat ini para ekonom belum
dapat menetapkan standar distribusi mana yang sebenarnya menjadi patokan,
yaitu apa yang seharusnya menjadi kriteria bagi distribusi yang adil dan
wajar. Tetapi, karena masalah distribusi sangat erat kaitannya dengan
permasalahan kebijakan ekonomi, semestinya para ekonom yang
berurusan dengan kebijakan umum pemerintah tidak boleh melepaskan
pemikiran mereka dari masalah keadilan dalam distribusi pendapatan.
Dalam mempertimbangkan instrumen kebijakan, perlu pula diperhitungkan
bobot atau biaya efisiensi. Biaya efisiensi merupakan biaya yang timbul
sebagai akibat pilihan terhadap perilaku konsumen atau produsen. Pemecahan
optimal menghendaki suatu kombinasi yang kompleks antara pajak dan
subsidi. Konsekuensi pilihan instrumen fiskal akan menunjukkan bahwa
di satu sisi setiap perubahan harus diselesaikan dengan biaya efisiensi yang
minimum. Sedangkan di sisi lain, timbul suatu kebutuhan untuk
menyeimbangkan konflik antara tujuan pemerataan dan tujuan efisiensi.
Adapun alternatif peralatan fiskal yang dapat diterapkan dalam fungsi
distribusi adalah: (1) skema pajak progresif, yaitu pengenaan pajak
dimana rasio pajak terhadap penghasilan naik dengan naiknya pendapatan; (2)
pajak penghasilan (biasanya progresif) digunakan untuk membiayai
pelayanan umum; dan (3) kombinasi antara pajak atas barang mewah dengan
subsidi terhadap barang tidak mewah.

Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan


Merata
Seandainya asumsi-asumsi yang mendasari berbagai konsep keadilan dapat
digali, dan kemudian konsekuensinya dapat diamati sehingga dapat
dipilih satu konsep tertentu untuk diterapkan, maka masalah distribusi akan
menjadi
lebih sederhana. Namun karena belum ada alasan atau nilai-nilai yang terpilih
sebagai dasar dalam menetapkan struktur masyarakat yang baik, maka
masalah ini tetap belum terpecahkan. Jika diperhatikan, berbagai
pendekatan dalam setiap konsep keadilan tidak perlu diterapkan secara
murni, tetapi dengan perpaduan satu sama lain. Misalnya jika, prinsip
keadilan yang dianut menginginkan tidak adanya satu anggota masyarakat
pun yang miskin, maka kebijakan penarikan pajak berdasarkan pada prinsip
keadilan horizontal baru akan diterapkan jika memang kondisi tersebut sudah
tercapai.
Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan modern berlaku prinsip bahwa suatu
kondisi ekonomi disebut efisien jika, dan hanya jika, peningkatan
kesejahteraan seseorang tidak akan merugikan orang lain (Pareto Optimum).
Kriteria ini tidak sama artinya dengan suatu tindakan pendistribusian kembali
atas sumber daya yang ada kepada konsumen, tetapi kriteria ini
digunakan untuk menilai tingkat efisiensi pasar. Sedangkan kebijakan
distribusi yang optimal dapat diartikan sebagai distribusi yang adil dan
distribusi yang merata. Distribusi yang adil mempunyai pengertian yang
sangat dalam yang menyangkut pertimbangan sosial dan pertimbangan nilai.
Dengan menyimpulkan berbagai faktor, pernyataan yang telah diterima secara
luas, orang harus dikenakan pajak sesuai dengan kemampuan mereka
membayar.
Fokus perhatian distribusi yang merata terletak pada aspek posisi
pendapatan relatif, yakni pemerataan secara keseluruhan. Secara lebih detail,
aspek pemerataan membahas pencegahan kemiskinan dan penentuan batas
minimum pendapatan kelompok berpenghasilan rendah. Kaidah pemerataan
mempunyai dua masalah. Pertama, hampir tidak mungkin
membandingkan tingkat utilitas masing-masing individu atas pendapatannya.
Kedua, besarnya pendapatan yang tersedia untuk dikenakan pajak, tidak dapat
dipisahkan hanya dengan cara mendistribusikan pendapatan tersebut.
Simpulan umum berkaitan dengan pemerataan adalah bahwa kebijakan
distribusi harus memperhitungkan cakupan tambahan biaya secara inefisiensi.

Redistribusi
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai fungsi distribusi yang
menekankan pada pertanyaan dasar mengenai apa yang dimaksud dengan
distribusi yang adil dan merata. Pertanyaan berikutnya sekarang adalah perlu
tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi
masalah
distribusi yang kurang adil dan merata. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan
redistribusi yang ditetapkan melalui proses anggaran. Kebijakan redistribusi
mempelajari sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana mengubah
keadaan distribusi yang telah ditentukan oleh pasar dan lembaga publik yang
ada saat ini. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat dievaluasi berdasarkan
respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan pada proses
tersebut
. Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari pendapatan
nasional
yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan biaya yang
tentunya harus dipikul.
Sebagian orang akan menolak adanya kebijakan redistribusi, jika hal
tersebut merupakan kebijakan wajib dari pemerintah. Namun, hal sebaliknya
sering kali terjadi jika redistribusi didanai melalui kontribusi sukarela, seperti
penggalangan dana di mesjid, gereja, organisasi nirlaba dan sumbangan sosial
individu. Hal ini dapat meredistribusi posisi pendapatan atau kekayaan yang
telah ditentukan oleh kekuatan pasar. Jika kegiatan sukarelawan ini cukup
untuk membuat perubahan yang dapat diterima, terjadi penurunan atas tingkat
kemiskinan dan ketidakadilan dalam masyarakat, maka campur tangan
pemerintah tidak lagi dibutuhkan. Tetapi apakah mungkin cukup
menggantungkan keputusan redistribusi ini kepada individu atau kelompok
sosial saja, apakah ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi akan optimal
bagi masyarakat. Rasanya hampir mustahil, karena akan sangat mudah bagi
setiap orang untuk menghindar dari membayar suatu sumbangan sukarela
(menjadi free rider), terlebih dalam kelompok masyarakat yang besar.
Di dalam masyarakat yang kecil pun, orang tetap bisa menghindar dari
menyumbang secara sukarela, meskipun hal tersebut akan lebih mudah
terdeteksi.

Beberapa Hal yang Terkait dengan


Redistribusi
Pembayar pajak – dalam kasus kebijakan redistribusi oleh pemerintah
– mungkin mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda dengan para
penerima pajak. Secara umum, para pembayar pajak akan lebih tertarik untuk
mendapatkan keadilan atas kesempatan dan memastikan apakah dana yang
telah mereka keluarkan, dibelanjakan oleh pemerintah dengan seharusnya.
Sementara itu di pihak penerima pajak – katakanlah rakyat miskin – lebih
tertarik untuk memperhatikan keadilan atas hasil dan memiliki fleksibilitas
dalam menggunakan sumber-sumber dana yang mereka dapatkan. Kedua
kelompok ini akan memberikan suaranya, dan melakukan lobi politik untuk
mempengaruhi pemerintah dengan berbagai cara. Pertanyaan berikutnya bagi
pemerintah adalah apakah perhatian mereka terkait dengan konsep
redistribusi,
71 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 4: Fungsi dan Aktivitas Pemerintah dalam 71
Perekonomian

10
atau apakah harus lebih terpusat pada keadilan atas kesempatan atau
11
keadilan atas hasil . Perbedaan filosofi dari dua pendekatan keadilan
redistribusi ini tercermin dalam pribahasa ”Berikan seseorang ikan, maka dia
dapat makan untuk satu hari; ajari seseorang memancing, maka dia dapat
makan seumur hidupnya”. Secara umum, keadilan atas hasil sebagai suatu
strategi anti kemiskinan telah semakin menurun popularitasnya di banyak
negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan
penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih
untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas
kepada mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar
pajak lebih memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti,
pakaian, dan makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak
pendana akan memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima,
sehingga membatasi fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah,
cara yang termudah adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung
seperti pelayanan kesehatan dan program pendidikan.
Isu penting lainnya dalam masalah redistribusi yang efisien
adalah penetapan bagian yang harus diredistribusikan. Redistribusi yang telah
dibahas sejauh ini mencakup masalah biaya dan manfaat dimana keduanya
harus dipertimbangkan. Pertama-tama, kebijakan untuk melakukan
redistribusi dapat mengakibatkan bagian yang tersedia untuk didistribusikan
justru menjadi lebih kecil. Hal ini diakibatkan oleh bekerjanya pengaruh
perbedaan yang berlaku pada baik pihak pembayar pajak maupun pihak
penerima pajak.
Hal ini dapat diperlihatkan dalam hubungan antara penawaran tenaga kerja
dengan tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi dimana masalah
serupa juga akan timbul. Ketika redistribusi ditetapkan sehingga akan
menurunkan tingkat pendapatan, maka pada tingkat tertentu sebagian
besar masyarakat akan mengurangi usaha mereka dalam mencari pendapatan
atau dengan kata lain mereka akan memperbanyak waktu santai mereka,
sehingga tingkat produktivitas masyarakat menurun. Hubungan antara
pendapatan, waktu senggang dan pajak dapat dilihat pada gambar 4.8.

10
Keadilan atas kesempatan dapat berupa penyediaan pendidikan (terutama dalam bentuk
pembebasan uang sekolah dan wajib belajar), pelayanan kesehatan atau jasa lainnya yang
dapat membantu masyarakat untuk berkembang atau paling tidak tetap berproduksi.
Keadilan ini lebih bersifat filosofi dalam hubungannya dengan sistem pasar.
11
Dalam keadilan atas hasil, penekanannya lebih pada penurunan kesenjangan pendapatan
dan penghapusan kemiskinan dengan cepat daripada menekankan pada berinvestasi pada
orang miskin.
Pendapatan, Waktu Senggang dan Pajak

Pendapatan

A1

A2
Y1

Y2
A3

Y3

Waktu Luang
0 B
X2 X1 X3
Gambar 4.8
Gambar 4.8. menunjukkan bahwa pada tingkat dimana seseorang tidak
dikenakan pajak (garis A1B), dia akan memilih tingkat pendapatan OY1 dan
jumlah waktu luang OX1. Kemudian, ketika pajak mulai dikenakan
(garis A2B), pendapatan orang tersebut menurun menjadi OY2, begitu pula
jumlah waktu luang yang dimilikinya menurun (OX2) – karena yang
bersangkutan harus bekerja lebih giat guna menutupi turunnya
pendapatan yang diperolehnya. Namun dapat terlihat bahwa penurunan
tingkat pendapatan jauh lebih besar daripada penurunan jumlah waktu luang,
atau dengan kata lain tingkat produktifitas meningkat. Namun, kejadian
seperti ini tidak akan terus berlanjut, jika pajak terus ditingkatkan. Sebagai
contoh, masih pada gambar
4.8, jika pajak terus ditingkatkan (garis A3B), maka tingkat pendapatan akan
semakin menurun menjadi OY3, pada titik ini, ternyata orang tersebut justru
menambah waktu luangnya (OX3) - mungkin sebagai bentuk penolakannya
terhadap pajak. Maka pada tingkat pajak A3B, yang terjadi adalah
penurunan
tingkat produktifitas masyarakat. Oleh karena itu, penetapan tarif pajak
perlu memperhatikan fenomena ini.

FUNGSI STABILISASI
Di era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai
pengatur (regulator) semakin dirasakan kebutuhannya. Dalam hubungannya
dengan persaingan yang terjadi pada ekonomi pasar, fungsi pengatur tersebut
dapat berupa beberapa kebijakan baik sebagai pemicu maupun sebagai
penghambat persaingan. Tanpa adanya kebijakan tersebut, perekonomian
cenderung akan mengalami fluktuasi, peningkatan jumlah pengangguran dan
juga akan terjadi inflasi. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam
fungsi stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti
mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi,
tingkat stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang
sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima. Dalam
fungsinya menjalankan stabilisasi ini, pemerintah mempunyai dua instrumen
penting yakni instrumen moneter dan instrumen fiskal.

Kebijakan Moneter
Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat
diandalkan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di
antara barang pribadi. Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar
tidak dapat dengan sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara
tepat. Sistem perbankan, jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur,
sehingga tidak hanya akan menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak
sesuai, tetapi juga menimbulkan reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang
akan cenderung menimbulkan fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan bank
sentral sebagai pengawas jumlah uang beredar perlu menyesuaikan jumlah
uang beredar dengan kebutuhan ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka
pendek maupun pertumbuhan jangka panjang. Komponen kebijakan
moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai cadangan wajib bank,
tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka.
Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar
akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga dan karena
itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan moneter akan
berakibat sebaliknya.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi secara langsung tingkat permintaan
barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam upaya
pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib
pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga
diharapkan akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula.
Sejalan dengan itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas
merupakan jenis kebijakan yang bersifat ekspansi, karena juga akan
meningkatkan total permintaan agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan
menaikkan tingkat permintaan sektor pemerintah dan kemudian akan diikuti
oleh sektor swasta. Di sisi lain, kebijakan defisit anggaran pemerintah akan
memainkan peranan yang tidak kalah penting, tergantung pada
bagaimana defisit tersebut dibiayai. Pembiayaan defisit akan lebih besar
jika defisit tersebut ditutupi dengan pinjaman. Di lain pihak, jika peredaran
uang diperketat, maka pinjaman tambahan akan mempertinggi suku bunga
sehingga cenderung menghambat transaksi pasar.

Stabilisasi Anggaran
Kegiatan-kegiatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi alokasi,
distribusi, dan stabilisasi akan tercermin dalam kebijakan anggaran.
Kebijakan anggaran, secara simultan, mempunyai beberapa tujuan berkaitan
dengan pemenuhan ketiga fungsi tersebut. Suatu kebijakan publik tertentu
mungkin tidak dapat memenuhi tiga tujuan sekaligus, sehingga dimungkinkan
akan ada banyak pengecualian. Namun demikian, suatu kebijakan selalu
berupaya meminimumkan konflik antar masing-masing tujuan. Ketiga tujuan
tersebut adalah: (1) tujuan alokasi, yakni dengan meningkatan pelayanan
pemerintah yang diikuti dengan kenaikan pajak; (2) tujuan distribusi, yakni
dengan mendistribusikan pendapatan ke kelompok rendah dari kelompok
tinggi (atau sebaliknya ke kelompok tinggi dari kelompok rendah) yang
diikuti dengan pengenaan pajak progresif (atau sebaliknya regresif); dan (3)
tujuan stabilisasi, yakni dengan membuat kebijakan yang lebih ekspasioner
yang diikuti dengan menaikkan pengeluaran publik atau dengan menurunkan
pajak.
Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi tingkat
permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya
menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau,
anggaran akan sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro,
pada gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi
perilaku tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi
tingkat distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan
tabungan
(yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda,
tetapi dalam prakteknya hal ini sering saling tumpang tindih sehingga
mempersulit penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benar-
benar adil dalam rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut.
Sebagai ilustrasi, misalnya masyarakat menginginkan penurunan tingkat
penganguran. Hal ini bisa diwujudkan dengan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dimana salah satu faktor pendukungnya adalah peningkatan
total permintaan agregat. Jika pemerintah berinisiatif dengan meningkatkan
pengeluaran publik, defisit anggaran dapat ditutupi dengan peningkatan
penerimaan dari sektor pajak. Kenaikan pajak pada gilirannya nanti akan
dipertanyakan oleh masyarakat tentang cara pendistribusian bebannya. Dalam
proses pemungutan suara akan ada pihak-pihak yang mendukung dan
menolak terhadap perubahan atas model yang dipilih pemerintah, terutama
berkaitan dengan perubahan kebijakan perpajakan.
Idealnya, isu stabilisasi dan distribusi tersebut seharusnya dipisahkan.
Masyarakat seharusnya bersedia membayar apa yang dianggap sebagai
distribusi yang adil. Kemudian, dalam masalah pembiayaan kegiatan
pemerintah, wajib pajak selayaknya melihat manfaat yang dapat diambil dari
kegiatan tersebut, tanpa harus dihubungkan dengan kontribusinya, karena dua
masalah ini sulit diselesaikan secara simultan.
Akhirnya, kita dapat mengambil simpulan bahwa penentuan anggaran lebih
condong sebagai proses politik ketimbang proses pasar. Proses politik
didasarkan pada peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang suatu negara. Dalam suatu negara demokrasi, warga negara
mempunyai kesempatan untuk memberikan suaranya dalam memutuskan
suatu masalah yang berisi alternatif pencapaian tujuan yang saling
bertentangan. Hasil dari proses tersebut tergantung dari hasil pemungutan
suara atau dari tingkah laku para politisi yang bermain di dalam
pemerintahan tersebut. Proses politik tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain selain faktor ekonomi, seperti ideologi. Namun demikian, dari
sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan barang dan
jasa yang berguna bagi seluruh warga negaranya.

RANGKUMAN
§ Beberapa fungsi pemerintah dalam perekonomian:
1. Fungsi Alokasi
Fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya
untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan
bagaimana komposisi barang publik ditetapkan.
2. Fungsi Distribusi
penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk
menjamin pemerataan dan keadilan.
3. Fungsi Stabilisasi
Penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk
mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan
laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat
kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran.
§ Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik, yang berbeda
sifatnya dengan barang pribadi, tidak dapat disediakan melalui sistem
pasar melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individu
§ Kondisi stabil tidak dapat dicapai secara otomatis. Tanpa
kebijakan stabilisasi pemerintah, perekonomian cenderung mengalami
fluktuasi, pengangguran dan inflasi.
§ Komponen kebijakan moneter mencakup antara lain
pembentukan cadangan wajib, tingkat diskonto, kebijakan pasar
terbuka dan pengendalian kredit selektif.
§ Mekanisme pasar terjadi apabila ada suatu permintaan dari
konsumen, kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling
diinginkan oleh konsumen.
§ Mekanisme pasar akan membawa konsumen dan produsen ke suatu
titik harga tertentu.
§ Dalam suatu sistem ekonomi pasar yang bersaing sempurna,
kriteria efisien digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya.
Dalam pasar yang efisien, tidak ada distorsi yang akan
mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh
penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli. Harga atas suatu
komoditi sudah disepakati oleh atau harus identik untuk semua pembeli
dan penjual.
§ Alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi dalam
sistem ekonomi pasar:
1. Pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat
beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan.
2. Pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk
mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta,
terutama dalam hal biaya produk dan kualitas produk yang
dihasilkannya.
3. Terletak pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas
barang-barang publik
§ Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual
dan tersedia di pasar, sedangkan barang publik adalah barang-barang
yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar.
§ Penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade
off dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar.
Artinya, setiap penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari
sumber- sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk
memproduksi barang pribadi.
§ Barang publik terbagi dua:
1. Barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry)
2. Barang publik yang mempunyai sifat tanpa pengecualian (non
excludability)
§ Pada dasarnya, barang publik disediakan untuk semua orang
yang mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam
prakteknya, ada barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh
masyarakat di dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik
yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala
lokal).
§ Dua masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal, yaitu:
1. Masalah penggunaan sumber daya yang efisien
2. Masalah pendistribusian sumber daya tersebut dengan adil
§ Teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan
faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi dan
pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja
dan modal.
§ Beberapa konsep dalam mengukur keadilan:
1. Konsep Keadilan Horizontal
2. Konsep Keadilan Vertikal
3. Prinsip Kompensasi
§ Dasar pengukuran konsep keadilan vertikal dapat berupa
pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk
membayar
§ Beberapa kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah:
1. Bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang
dapat dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi
(misalnya pendapatan) seseorang.
2. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan
seseorang jika dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang
tersebut dalam membayar pajak.
§ Salah satu kriteria yang paling sering digunakan dalam prinsip
kompensasi adalah prinsip kompensasi yang menawarkan suatu pedoman
kasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan
prinsip bahwa seseorang akan menjadi lebih baik atau sejahtera.
§ Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi
dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti
mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat
stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima.
§ Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan
mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian
kredit dan kebijakan pasar terbuka.
§ Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang
beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga
dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan
moneter akan berakibat sebaliknya.

LATIHAN
1. Dengan adanya beberapa kelemahan pada mekanisme pasar maka
peran pemerintah sangat diperlukan dalam perekonomian yang memiliki
fungsi- fungsi tertentu. Sebutkan dan jelaskan fungsi pemerintah
tersebut! Di antara fungsi pemerintah tersebut, fungsi manakah yang sulit
untuk diperankan dan merupakan permasalahan utama?
2. Sebutkan dua argumen perlunya intervensi pemerintah!
Mengapa intervensi pemerintah tersebut diperlukan dalam konteks
kegagalan pasar? Dari intervensi pemerintah tersebut terdapat beberapa
peran pemerintah. Uraikan secara singkat!
3. Jelaskan akibat-akibat kegagalan mekanisme pasar!
4. Faktor apakah yang menentukan fungsi distribusi?
5. Jelaskan mengenai perlunya kebijakan stabilisasi pemerintah dalam
perekonomian?
6. Apa saja yang termasuk dalam instrumen kebijakan stabilisasi?
7. Jelaskan penyebab adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi
pasar bebas?
8. Masalah-masalah apakah yang timbul dalam fungsi alokasi?
9. Terangkan dua masalah yang ada pada kaedah pemerataan! Apakah
yang dibahas dalam aspek pemerataan tersebut?
10. Terangkan alasan perlunya aturan pemerintah guna menjadi efisien
dalam sistem ekonomi pasar?
11. Jelaskan disertai dengan contoh perbedaaan antara barang pribadi
dengan barang publik!
12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “Dalam suatu sistem ekonomi
pasar, kriteria efisien dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi
sumber daya dimana semua pasar dalam kondisi persaingan sempurna”.
13. Terangkan bahwa biaya marginal dari setiap tambahan penggunaan
atas barang publik sama dengan atau paling tidak mendekati nol!
14. Mengapa barang publik dapat mengakibatkan kegagalan pasar
dalam produksi secara efisien?
15. Jelaskan arti dari istilah:
a. Congestible Goods
b. Pareto Efficiency
16. Uraikan salah satu contoh kelemahan dalam menerapkan konsep
keadilan vertikal pada fungsi alokasi yang anda ketahui!
17. Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada
teori mengenai peranan faktor produksi. Sebutkan teori-teori yang
dimaksud!
18. Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan
kebijakan publik. Sebutkan tiga konsep untuk mengajukan keadilan!
19. Apakah inti dari kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi?
KONSEP ANGGARAN

Kebijakan fiskal suatu negara secara keseluruhan terangkum dalam laporan


anggaran tahunannya yang di Indonesia dikenal sebagai Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pada masa orde baru, anggaran di
Indonesia menganut sistem anggaran berimbang. Pada sistem ini pinjaman
luar negeri dimasukkan sebagai unsur penerimaan negara. Sistem ini
kemudian dikenal sebagai APBN berimbang dan dinamis. Tujuan utama
dari diterapkannya sistem ini pada awal orde baru menurut Seda (2004)
dimaksudkan mengurangi hyper-inflation yang mencapai 650% akibat adanya
kegiatan pencetakan uang terus menerus untuk menutupi defisit anggaran.
Dalam beberapa periode lanjut Seda (2004), sistem tersebut cukup efektif
mengendalikan inflasi. Seluruh pengeluaran rutin dalam sistem ini
diusahakan untuk ditutup dari penerimaan dalam negeri. Sedangkan pinjaman
luar negeri digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Selanjutnya secara
terus menerus diusahakan agar penerimaan
84 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 5: Konsep Anggaran 84

dalam negeri dapat lebih tinggi dari pengeluaran rutin sehingga tercipta
tabungan pemerintah yang dapat digunakan sebagai bagian belanja
pembangunan. Agar tidak terjadi tambahan inflasi akibat adanya hutang,
seluruh nilai hutang dipergunakan untuk kegiatan pembelian barang-barang
impor. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1999. Setelah itu
diberlakukan balance budget yang mengakui adanya budget surplus dan
budget deficit (dibahas pada subbab berikut).
Di dalam konsep anggaran perlu dibedakan antara penerimaan versus
pendapatan, dan pengeluaran versus belanja. Yang pertama, penerimaan
publik tidak selalu berupa pendapatan publik. Karena ada beberapa aktivitas
yang mengakibatkan aliran dana masuk yang tidak menambah kekayaan neto
negara, seperti penerimaan kembali anggaran pengeluaran yang tidak
terpakai. Sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan
kekayaan neto negara, contoh penerimaan pajak. Berikutnya, pengeluaran
publik tidak selalu identik dengan belanja publik. Pengeluaran publik seperti
pembayaran pokok hutang akan diikuti dengan pengurangan liabilitas publik
sehingga tidak mengurangi kekayaan neto negara. Belanja publik pasti
mengurangi kekayaan neto negara, misalnya pembayaran bunga hutang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anggaran adalah suatu rencana
keuangan yang merupakan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan di
masa yang akan datang. Setiap anggaran belanja menguraikan berbagai fakta
yang khusus (spesifik) tentang apa-apa yang direncanakan untuk dilakukan
oleh unit organisasi yang menyusun anggaran belanja tersebut pada periode
waktu yang akan datang. Dalam anggaran, dipaparkan adanya rencana
pengeluaran yang didasarkan pada ekspektasi pendapatan. Rencana
pengeluaran sebaiknya mengindikasikan juga urutan skala prioritas serta
ekspektasi kualitas dan kuantitas layanan.

Balance Budget
Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya melalui
prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap tahun,
on- budget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan
dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal
sebagai off- budget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang
diperuntukkan bagi program pensiun dan tunjangan hari tua.
Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul
budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebih tinggi
dari rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-
budget mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus.
Apabila
anggaran disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan
off- budget, maka anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.

JENIS-JENIS ANGGARAN
Jenis-jenis anggaran meliputi:
a. Anggaran Belanja Line-Item (Line-Item Budgeting)
Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau
obyek-obyek, disebut anggaran obyek pengeluaran atau anggaran belanja
line- item.
Anggaran memuat perkiraan dari pengeluaran uang. Pengeluaran tersebut
harus jelas maksud dan tujuannya. Apabila dikatakan untuk membeli
barang, hal ini adalah sesuatu hal yang masih sangat umum, disebabkan
setiap instansi atau departemen mempunyai kebutuhan barang yang berbeda.
Oleh karena itu, harus disebutkan secara khusus atau spesifik, obyek-obyek
atau item-item apa yang akan dibeli dengan uang yang dianggarkan itu.
Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu
dibuat pengelompokan ataupun penggolongan. Penggolongan barang tersebut
misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan,
tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari
pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau line-
items. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut.
Jenis Pengeluaran Jumlah

• Pengeluaran Rutin
I. Belanja Pegawai Rp XXX Rp
XXX Rp
II. Belanja Barang
XXX Rp
III. Subsidi Daerah Otonom
XXX
IV. Pembayaran Bunga & cicilan Hutang

• Pengeluaran Pembangunan
I. Pembiayaan Rupiah Rp XXX Rp
1. Bunga Kredit Program XXX Rp
2. Bunga Obl. Restrukturisasi Perbankan XXX Rp
II. Pembiayaan Proyek XXX

Kelebihan sistem anggaran line-item adalah mudah mengawasi


penggunaanya, karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau
obyek- obyek di mana uang itu dibelanjakan. Setiap barang atau kelompok
barang dibuat daftarnya disertai angka nilai rupiah, sehingga dari catatan
tersebut dapat dilihat secara tepat, apakah anggaran belanja itu dipatuhi
dengan baik
atau tidak. Dengan demikian orang yang bertanggung jawab dalam
membelanjakan uang itu mudah diperiksa melalui keharusan mengikuti
pengeluaran sebagaimana yang telah direncanakan.
Sedangkan kelemahan sistem anggaran line-items adalah sulit
menyederhanakan berbagai jenis barang untuk dikelompokkan. Di
samping itu, terdapat perbedaan pengelompokan barang-barang antara unit
atau organisasi yang satu dengan unit atau organisasi barang yang diperlukan
setiap organisasi tersebut dan tidak didasarkan atas perencanaan yang
menyeluruh dan berkesinambungan, karena perkiraan kebutuhan untuk masa
mendatang tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang lebih luas.

b. Anggaran Belanja Berprogram (A Program


Budgeting)
Suatu anggaran yang berorientasi kepada maksud dan tujuan untuk apa
uang dibelanjakan, disebut anggaran berprogram (a program budget).
Anggaran berprogram mengelompokan pengeluarannya ke dalam program-
program. Penggunaan kata fungsi, kegiatan, atau misi, kadang-kadang
diperlukan sebagai pengganti program-program. Dengan kata lain, suatu
anggaran belanja yang disusun sesuai dengan tujuan, fungsi-fungsi dan
kegiatan-kegiatan pengeluarannya disebut anggaran berprogram (a
program budget). Contoh dari anggaran berprogram yang digunakan dalam
menyusun APBN Indonesia Tahun 2005 adalah sebagai berikut.
Kode Nama Fungsi, Sub Fungsi, dan Program Jumlah
01 PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN XXX
01.01 LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, KEUANGAN DAN XXX
FISKAL, DAN LUAR NEGERI
01.01 01 PENYELENGGARAAN PIMPINAN KENEGARAAN DAN XXX
PEMERINTAHAN
01.01 02 PENYELENGGARAAN PIMPINAN DEPARTEMEN/ XXX
LEMBAGA
01.01 03 PEMBINAAN PRODUK LEGISLATIF XXX

Kelebihan sistem anggaran berprogram adalah:


1. Memungkinkan kita membuat daftar prioritas dalam
memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan.
2. Lebih informatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan
tujuan pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya.
Dengan anggaran berprogram, kita dapat mengetahui tujuan serta maksud
membelanjakan uang tersebut. Kemudian, kita juga dapat menetapkan tingkat
prioritas untuk membedakan bahwa program yang satu lebih penting dari
program yang lain. Oleh karena itu, akan terdapat program yang
mendapat dana jauh lebih sedikit dari yang lain sekalipun ia dianggap fungsi
yang lebih penting. Dengan demikian, kita tidak cukup menggunakan
suatu anggaran yang hanya menyebutkan daftar barang-barang yang akan
dibelanjakan, sebab suatu program terdiri atas unsur-unsur program, yang
merupakan bagian program yang lebih luas.
Sedangkan kelemahan anggaran berprogram adalah lebih sulit
dilakukan pengawasan, dibandingkan dengan anggaran line-item (line-item
budget). Hal ini disebabkan karena dalam anggaran berprogram, anggaran
belanja sistem hanya mencantumkan X rupiah untuk belanja yang satu dan Y
rupiah untuk belanja yang lain. Misalnya X rupiah untuk kepentingan
ketertiban umum, yang tidak jelas obyek-obyeknya, sebab arti ketertiban
umum itu dapat pula untuk pembangunan prasarana fisik (kantor) yang
mewah bagi kepentingan ketertiban umum yang menyimpan dari tujuan yang
diharapkan.
Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram
dalam segi pengawasan dan tingkat keluwesan (flexibility) adalah dengan cara
mengkombinasikan sifat anggaran berprogram dengan sifat anggaran
berdasarkan anggaran line-item. Dengan demikian anggaran berprogram yang
mempunyai perincian line-item dikaitkan dengan tujuan daripada
program. Sekalipun demikian, disebut anggaran berprogram karena tidak
hanya sekedar mendaftar barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibelanjakan
tetapi penyusunan dana itu disesuaikan dengan program-programnya.

c. Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budgeting)


Anggaran belanja berbasis kinerja (performance budget) dibangun atas
anggaran berprogram. Anggaran belanja berbasis kinerja ini hanya
menambahkan keterangan berapa banyak jenis pelayanan yang akan
disediakan untuk melaksanakan suatu tujuan.
Ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja
berbasis kinerja, yaitu, pertama, harus tersedia ukuran hasil kerja (output)
yang realistis, artinya berapa banyak suatu hasil yang dapat dibuat dengan
biaya itu. Jelasnya unit ukuran yang digunakan harus menguraikan
secara nyata (konkrit) apa yang akan dikerjakan. Kedua, langkah selanjutnya
adalah menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar.
Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja adalah anggaran pelaksanaan
yang mencakup kombinasi antara anggaran belanja line-item (line-item
budget), anggaran berprogram (program budget), obyek-obyek pengeluaran
(seperti persediaan dan bahan), dan data-data hasil kerja. Contoh anggaran
belanja berbasis kinerja adalah sebagai berikut.
Program: Peningkatan prasarana jalan
Kegiatan I: Pembebasan tanah
Ukuran hasil: Jumlah
- Panjang lahan yang dibebaskan: 10 kilometer
- Biaya pembebasan per kilometer: Rp50.000.000
Jumlah Sub Total Rp 500.000.000
Kegiatan II: Pembangunan jalan
Ukuran hasil:
- Panjang jalan yang dibuat: 10 kilometer
- Biaya per kilometer: Rp10.000.000
Jumlah Sub Total Rp 100.000.000
Total Biaya peningkatan prasarana jalan Rp 600.000.000

d. Zero-based Budgeting
Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian
kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan
atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh
program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan
tidak mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah diselenggarakan tahun
sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang
tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu
oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit
dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.

KONSEP PPBS (Planning Programming and Budgeting System)


PPBS dimaksudkan sebagai usaha memperbaiki sistem penyusunan
anggaran belanja pemerintah yang telah diuraikan di atas.
Dalam
membicarakan teori PPBS, dapat dijelaskan melalui konsep-konsep sebagai
berikut:
Tujuan
Sebagaimana telah diuraikan bahwa suatu anggaran belanja yang berencana
(planning budget) disusun dengan penentuan tujuan-tujuan. Konsep tujuan
sangat penting dalam sistem ini, karena orang ingin mengetahui
mengapa suatu kegiatan dilaksanakan, yang merupakan landasan untuk
penilaian kegiatan. Di samping itu dalam sistem anggaran belanja,
ditunjukkan hubungan antara cita-cita atau tujuan pemerintah dengan
kegiatan pemerintah, yang dikelompokkan menurut tujuannya.
Adapun kelebihan penentuan tujuan, adalah:
1) Berguna untuk mengukur efisiensi dan produktivitas dalam
pengertian manajemen.
2) Berguna dalam menilai keputusan-keputusan alokasi sumber.
3) Berguna bagi tujuan akhir dari kegiatan-kegiatan suatu pemerintahan.

Output
Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output),
akan tetapi yang dimaksud di sini adalah setiap penyelesaian kerja yang nyata
dari seorang karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini
dapat juga berupa sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada
pembangkit listrik yang menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi
kepentingan masyarakat.
Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi
adalah konsep output yang universal. Konsep output yang universal
beranggapan bahwa setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan
pemerintah dapat dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hasil adalah barang-barang dan
jasa-jasa yang dihasilkan untuk disalurkan keluar pemerintah.

Pengukuran Biaya dan Manfaat Kegiatan Pemerintah


Konsep biaya sebagaimana digunakan dalam PPBS adalah bersifat
komprehensif (lengkap). Landasan berpikirnya bahwa dalam menghitung
biaya produksi suatu produk (manfaat), kita harus melihat secara menyeluruh
biaya-biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan secara nyata.
Pendekatan sistem anggaran ini adalah mengaitkan satu sama lain segala
sesuatu yang berhubungan dengan produksi, yaitu semua manfaat dan semua
biaya yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu, PPBS menghendaki agar
dalam pengambilan keputusan yang rasional memasukkan biaya
kesempatan
(opportunity cost) sebagai bagian dari biaya-biaya yang relevan terhadap
output. Yang dimaksud dengan biaya kesempatan adalah hilangnya
kesempatan untuk membelanjakan uang atau waktu atau sumber-sumber lain
untuk suatu alternatif tujuan. Misalnya kegiatan menghadiri rapat akan
menghilangkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan lain yang
memperoleh hasil.
Analisis menghitung hubungan antara besarnya input (biaya) dan besarnya
output (hasil-hasil yang dicapai) disebut input output analysis. Ukuran
efektivitas biaya menunjukkan jumlah hasil-hasil yang dapat dicapai dengan
mengeluarkan sejumlah rupiah tertentu. Akan tetapi efektivitas biaya (cost
effectiveness) harus dipertimbangkan pula terhadap hasil-hasil dari sudut
manfaat biaya (cost-benefits). Untuk itu, di samping mengukur biaya-biaya
maupun manfaat menurut nilai sekarang, dibuat juga suatu perbandingan
manfaat dan biaya dimana manfaat-manfaat yang dinyatakan dalam nilai uang
dibagi dengan biaya-biaya. Jika perbandingan itu lebih besar dari satu (>1)
maka simpulannya adalah bahwa proyek tersebut layak, karena manfaatnya
melebihi biayanya.

Misalnya : manfaat = Rp50 juta = 2 = 2 (>1)


Biaya Rp25 juta 1

Sebaliknya seandainya rasio itu adalah kurang dari satu (<1),


maka simpulannya adalah bahwa proyek itu tidak layak, karena
biayanya lebih besar dari pada manfaatnya.

Misalnya : manfaat = Rp25 juta = 1 = 0,5 (<1)


Biaya Rp50 juta 2

Analisis yang Terbuka dan Jelas


Analisis yang terbuka dan jelas merupakan asumsi yang merupakan unsur-
unsur kunci dan merupakan prasyarat pokok bagi keberhasilan PPBS. PPBS
menitikberatkan pada pertimbangan rasional yang didasarkan atas data dan
informasi. Hal ini berarti bahwa semua asumsi yang dipergunakan sebagai
dasar pertimbangan harus dibuat dan didukung oleh data atau informasi yang
tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mekanisme
analisis data dan informasi harus jelas, sehingga asumsi itu bersifat rasional
dan objektif. Objektivitas yang selengkap-lengkapnya barang kali tidak
mungkin diperoleh, akan tetapi kecenderungan untuk menutupi atau
menyembunyikan data kunci harus dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan
karena hasil analisis itu
mungkin diuji oleh analis-analis lain dan mungkin diulangi lagi
dengan menggunakan susunan asumsi yang berbeda.

SIKLUS ANGGARAN
Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam
anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di
Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan
anggaran negara merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak
pihak, termasuk lembaga legislatif. Peran lembaga legislatif dalam
proses penyusunan anggaran menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih
demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Proses perjalanan suatu anggaran yang dimulai dari penyusunan
hingga pertanggungjawaban disebut dengan siklus anggaran. Secara umum
siklus anggaran terbagi atas empat tahap yaitu:
1. Penyusunan anggaran (budget formulation).
2. Pengesahan anggaran (budget enactment).
3. Pelaksanaan dan pengawasan anggaran (budget execution).
4. Pemeriksaan dan pertanggungjawaban anggaran (budget auditing
and assessment).

Penyusunan Anggaran
Sebelum dibahas oleh lembaga legislatif, pemerintah berkewajiban
menyusun dan mengajukan rancangan anggaran. Rancangan ini memuat
asumsi umum yang mendasari penyusunan anggaran seperti perkiraan
penerimaan, pengeluaran, transfer, defisit/surplus, dan pembiayaan defisit,
dan kebijaksanaan pemerintah. Selain itu juga dimuat perkiraan terperinci
pengeluaran dan penerimaan departemen/lembaga, dan proyek, data aktual
dan proyeksi perekonomian, dan informasi terkait lainnya.
Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa bulan,
tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani. Pada umumnya
proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang khusus menangani
anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya di bawah naungan Departemen
Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan mengorganisasikan
usulan
anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansi-instansi terkait,
serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan tersedianya
dana.
Pada kebanyakan negara, anggaran disusun untuk masa satu tahun.
Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya sering dijadikan
landasan penyusunan anggaran tahun berikutnya. Namun hal ini tidak
mencerminkan bahwa seluruh kegiatan harus dibiayai secara bertahap.
Pemerintah dapat saja melakukan perubahan drastis terhadap beberapa
pengeluaran jika dipandang perlu dipilih sebagai reaksi atas perubahan
indikator-indikator perekonomian. Beberapa indikator ekonomi yang
biasa diikutkan dalam pembahasan anggaran antara lain: ekspektasi
pertumbuhan ekonomi, inflasi dan karakteristik makro ekonomi lainnya
seperti harga minyak mentah dunia.
Ada tiga cara dalam menyusun anggaran yaitu:
1. Bottom – Up (dari bawah ke atas)
Pada cara ini, penyusunan anggaran dimulai dari unit organisasi
yang paling bawah kemudian diteruskan secara berjenjang ke unit
organisasi yang lebih tinggi. Dalam mengajukan usulan, unit
organisasi yang paling bawah harus memperhitungkan besar
kecilnya kegiatan yang akan dilakukan.
2. Top – Down (dari atas ke bawah)
Cara ini merupakan kebalikan dari cara bottom – up. Pada cara ini,
unit organisasi yang paling tinggi menetapkan batas tertinggi
(plafond) anggaran yang dapat dibelanjakan oleh unit
organisasi yang lebih rendah. Unit organisasi yang telah
ditetapkan batas anggarannya tidak boleh melakukan
pengeluaran melebihi dari batas tersebut.
3. Campuran
Cara ini merupakan gabungan dari 2 cara di
atas.
Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran
oleh eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat
mengundang pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih
untuk mendengarkan opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini
biasa terjadi dikarenakan adanya kemungkinan anggota legislatif
yang ditunjuk dalam komisi pembahasan anggaran tidak menguasai kerangka
kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut berperan dalam proses
pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi dibutuhkannya legalisasi
usulan anggaran oleh dewan legislatif.
Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan
pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan
anggota dewan
menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan
anggaran tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan
anggaran diundangkan atau diamandemen.

Pelaksanaan dan Pengawasan


Anggaran
Proses berikutnya adalah pelaksanaan anggaran yang telah disetujui dewan.
Instansi dan departemen terkait, melakukan belanja publik terbatas maksimal
sebesar tertera pada anggaran. Sedangkan untuk penerimaan publik
diharapkan dapat melebihi atau minimal sama dengan anggaran yang
telah disetujui. Untuk mengefektifkan pelaksaaan anggaran, dibutuhkan
kegiatan pengawasan.
Prosedur pengawasan eksekusi anggaran dapat berbeda di tiap negara.
Menteri Keuangan secara terpusat dapat menerapkan kontrol ketat terhadap
prosedur aliran dana keluar, memonitor efektifitas alokasi anggaran ke
departemen-departemen lainnya, dan memberi persetujuan terhadap
pengeluaran-pengeluaran yang besar. Atau departemen-departemen dibuat
lebih independen dalam realisasi belanja publik. Sedangkan tugas
Departemen Keuangan hanya memonitor melalui laporan yang disampaikan
oleh departemen-departemen.
Pada prakteknya, anggaran sering tidak dijalankan sama persis dengan
jumlah yang disetujui. Beberapa deviasi menyebabkan beberapa pos
pengeluaran tidak terealisasi sebagaimana tertera dalam anggaran. Tetapi
pertanyaan harus diajukan oleh tim pengawas manakala terjadi
perbedaan yang signifikan tetapi tanpa dasar alasan yang dapat diterima.
Kemungkinan dari adanya perbedaan yang signifikan adalah adanya
penyelewengan kekuasaan oleh lembaga eksekutif. Bisa juga disebabkan oleh
tidak efisiennya mekanisme dan kekakuan pelaksanaan teknis realisasi
anggaran di lapangan.
Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Pengawasan intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh unit
inspeksi yang betugas melakukan pengawasan di lingkungan departemen
yang bersangkutan.
2. Pengawasan ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur
pengawasan dari luar departemen.
Menurut subyeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi:
1. Pengawasan melekat (waskat), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
pimpinan terhadap bawahannya.
2. Pengawasan fungsional (wasnal) yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh institusi.
3. Pengawasan legislatif (wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh dewan legislatif. Di Indonesia, BPK merupakan lembaga tinggi
negara yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
4. Pengawasan masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat yang disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada
pemerintah.
Menurut caranya, pengawasan dapat dibagi menjadi:
1. Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan on the spot
melalui inspeksi, sidak, maupun pemeriksaan.
2. Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan
berdasarkan laporan dari pejabat yang bersangkutan, aparat
pengawasan fungsional, aparat pengawasan legislatif, atau dari
masyarakat.
Menurut waktunya, pengawasan dapat dibagi menjadi:
1. Pengawasan sebelum kegiatan dimulai, yang disebut sebagai
pengawasan preventif
2. Pengawasan selama kegiatan dilaksanakan, yang disebut
sebagai pengawasan represif.
3. Pengawasan setelah kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai
post audit.
Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Siklus terakhir dari anggaran adalah pemeriksaan dan pertanggungjawaban
atas efektifitas anggaran khususnya penggunaan pendapatan publik. Jika
dimungkinkan, pihak eksekutif harus dapat melaporkan pelaksanaan
kebijakan fiskalnya secara lengkap. Agar proses pemeriksaan atas
pertanggungjawaban dapat dengan mudah dilakukan. Laporan ini harus
diaudit secara reguler oleh badan independen semacam Auditor General (di
Indonesia disebut BPK) yang memiliki kapasitas untuk melakukan
pemeriksaan yang akurat dan tepat waktu.
Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif tidak dimaksudkan untuk
menekan pihak eksekutif atau sekedar mencari-cari kesalahan pejabat publik.
Tapi lebih ditekankan pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan
publik pada porsi yang paling menguntungkan ekonomi negara. Manajemen
anggaran modern lebih menekankan pada perlunya sosialisasi dan distribusi
informasi mengenai anggaran publik agar lebih dapat ditingkatkan
efektifitas dan efisiensi prosesnya.

Masalah Umum Anggaran


Setiap siklus anggaran memiliki problem tersendiri. Problem pada fase
penyusunan dan pembahasan lebih banyak akibat adanya campur tangan
politik. Sedangkan pada pelaksanaan dan pemeriksaan lebih mengarah pada
isu-isu manajemen dan akuntansi. Untuk mencapai hasil yang
diharapkan, kombinasi konflik antara manajemen dan politik perlu
diakomodasi secara memadai.
Pada umumnya negara berkembang, problem anggaran yang dihadapi
meliputi penentuan asumsi-asumsi ekonomi dan indikator fiskal. Negara-
negara tersebut seperti halnya Indonesia, menghadapi kerentanan tehadap
fluktuasi perdagangan dunia, menentukan jumlah ideal penyerapan
pendapatan publik melalui pajak, koordinasi pembangunan terencana
dalam jangka panjang serta berkesinambungan. Beberapa permasalahan
mungkin diakibatkan oleh faktor-faktor di luar kontrol, akan tetapi banyak
juga ketidakefisienan yang disebabkan oleh praktek penyusunan anggaran
yang tidak fair. Sebagian anggaran mengalami kebocoran atau penggunaan
yang tidak selaras dengan pembangunan perekonomian berkesinambungan.
Hal tersebut dapat juga disebabkan oleh lembaga-lembaga legislatif dan
pemeriksa yang tidak independen atau tidak mempunyai kapasitas
sebagaimana mestinya.
RANGKUMAN
§ Perbedaan antara penerimaan versus pendapatan, dan pengeluaran
versus belanja:
1. Penerimaan publik tidak selalu berupa pendapatan publik,
karena penerimaan tidak menyebabkan kenaikan kekayaan neto
negara, sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan
kekayaan neto negara.
2. Pengeluaran publik tidak selalu identik dengan belanja
publik, karena pengeluaran publik tidak mengurangi kekayaan neto
negara, sedangkan belanja publik pasti mengurangi kekayaan neto
negara.
§ Jenis-jenis anggaran:
1. Anggaran belanja line-item (line-item budgeting).
2. Anggaran belanja berprogram (a program budgeting).
3. Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting).
4. Zero based budgeting.
§ Kelebihan sistem anggaran line-item adalah mengawasi
penggunaannya, karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau
obyek-obyek di mana uang itu dibelanjakan, sedangkan kelemahannya
adalah sulit menyederhanakan berbagai jenis barang untuk
dikelompokkan.
§ Kelebihan sistem anggaran berprogram:
1. Memungkinkan kita untuk memuat daftar prioritas
dalam memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan.
2. Lebih normatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan
tujuan pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya.
§ Dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja
berbasis kinerja, yaitu:
a. Harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang realistis
b. Menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar.
§ Siklus anggaran terbagi atas empat tahap, yaitu:
1. Penyusunan Anggaran (Budget Formulation)
2. Pengesehan Anggaran (Budget Enactment)
3. Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran (Budget Execution)
4. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran (Budget
Auditing and Assessment)
§ Tiga cara dalam menyusun anggaran, yaitu:
1. Bottom- Up (dari bawah ke atas)
2. Top-Down (dari atas ke bawah)
3. Campuran
§ Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi 2 bagian, yaitu:
1. Pengawasan Intern
2. Pengawasan Ekstern
§ Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif lebih ditekankan
pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan publik pada porsi yang
paling menguntungkan ekonomi negara.

LATIHAN
1. Apakah perbedaan antara penerimaan pendapatan dan
versus pengeluaran versus belanja?
2. Jelaskan pengertian anggaran!
3. Jelaskan hal-hal yang diuraikan dalam suatu
4. anggaran!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis anggaran!
5. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari “line items”!
6. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari anggaran berprogram!
7. Sebutkan salah satu cara untuk mengatasi kelemahan
anggaran berprogram!
8. Uraikan hal-hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran
belanja berbasis kinerja!
9. Apakah konsep PPBS (Planning Programing and Budgeting System) itu?
10. Sebutkan beberapa kelebihan penentuan tujuan!
11. Sebutkan siklus anggaran!
12. Sebutkan beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan
dalam pembahasan anggaran!
13. Uraikan tiga cara dalam menyusun anggaran!
14. Sebutkan dan jelaskan pengawasan anggaran secara kelembagaan!
15. Menurut subyeknya, caranya, dan waktunya, pengawasan dapat
dibagi menjadi beberapa hal. Sebutkan dan jelaskan!
16. Jelaskan mengenai masalah umum anggaran!
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Keuangan publik memainkan peranan penting dalam perekonomian negara.


Sejumlah kesulitan yang mengganggu kemajuan ekonomi suatu negara harus
dipecahkan oleh sektor publik. Namun masalah kelembagaan dan sosial yang
dihadapi oleh suatu negara dapat memperpelik dan membatasi tugas
kewenangan dalam menetapkan kebijakan anggaran dan stabilisasi.
Karena itulah masalah-masalah pembiayaan pembangunan perlu dibicarakan
secara khusus dan terpisah.

UNSUR-UNSUR PEMBANGUNAN
Dalam rangka pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, persyaratan
yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negara-negara
berpendapatan rendah sama halnya seperti persyaratan yang
diperlukan untuk
100 Keuangan Publik: Teori dan Bab 6: Pembiayaan Pembangunan 100
Aplikasi

mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara yang relatif sudah maju.


Namun di luar itu, masih banyak persyaratan lain yang diperlukan.
Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup hanya dengan cara penyediaan
modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya
manusia) serta proses teknologi yang diperlukan, tetapi juga diperlukan
sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab dan
akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah. Dalam
hal ini, sektor publik memegang peranan penting terhadap semua unsur
pembangunan ini.

Pembentukan Modal
Pembangunan
Sebagaimana telah diulas pada bagian terdahulu mengenai perkembangan
sektor publik di negara-negara maju, sektor publik cenderung tumbuh sejalan
dengan pertumbuhan pendapatan. Gambaran semacam itu yang terdapat baik
pada negara berpendapatan tinggi maupun rendah.
Persyaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat
pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan
penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas
sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan
produktivitas. Bisa saja pengeluaran itu berupa investasi di sektor publik dan
swasta. Pada tahap-tahap awal pembangunan, khususnya dalam bentuk
infrastruktur, investasi pemerintah sangatlah penting. Infrastruktur ini
akan menjadi kerangka persiapan bagi investasi pada tahap berikutnya,
entah itu oleh pemerintah (di negara-negara sosialis) atau oleh swasta (dalam
perekonomian pasar bebas). Lebih jauh lagi, pembentukan modal
pembangunan meliputi investasi pada sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan pelatihan (training) seperti halnya investasi dalam
bentuk fisik. Terdapat berbagai cara penggunaan sumber daya untuk
meningkatkan produktivitas, dan perpaduan berbagai cara tersebut harus
ditentukan dalam proses perencanaan pengeluaran dan sumber daya. Lebih
jauh lagi, prioritas akan selalu berubah, demikian juga dengan bauran
investasi yang optimum. Untuk sementara waktu kita akan mengabaikan
masalah perencanaan investasi dan memusatkan perhatian pada dari mana kita
akan memperoleh sumber daya tambahan untuk investasi tersebut. Jika
sumber daya yang terbengkalai tidak bisa dimanfaatkan atau jika sumber daya
tambahan tidak dapat diperoleh dari luar negeri, maka konsumsi periode
berjalan harus dikurangi agar sumber daya bagi investasi tersedia.
Sampai pada tingkat tertentu, mobilisasi sumber daya yang
terbengkalai masih mungkin diupayakan. Misalnya, banyak negara
berpendapatan rendah
mempunyai sedemikian banyak tenaga kerja yang terbengkalai dan lapangan
kerja bagi mereka bisa tersedia hanya dengan usaha pembangunan yang
sangat sederhana tetapi menyerap banyak tenaga kerja seperti pembangunan
drainase, irigasi, jalan, dan bendungan. Dalam kondisi seperti ini,
pemerintah hanya perlu berperan sebagai pengorganisasi bagi pemanfaatan
sumber daya. Tetapi di lain pihak, sumber modal pembangunan semacam ini
mempunyai keterbatasan tersendiri dan penyediaan lapangan kerja bagi para
pengangguran mungkin akan memerlukan investasi pendukung tertentu.
Kemungkinan lain adalah dengan mengusahakan sumber daya investasi
dari luar negeri dalam bentuk pinjaman dan bantuan pemerintah atau sebagai
investasi swasta. Akan tetapi, semua itu tentunya tidak akan mencukupi, dan
walau bagaimanapun juga bantuan tersebut tidak akan diperoleh tanpa adanya
usaha pendukung dari negara penerima bantuan. Para investor swasta dari
luar negeri, sebagaimana halnya dengan investor domestik, memerlukan
infrastruktur yang tersedia secara memadai dan bantuan pemerintah
negara lain baru akan diberikan jika telah ada rencana pembangunan yang
dirumuskan dengan baik. Hal ini akan mencakup ketentuan mengenai
peningkatan investasi domestik yang sebagian besar dibiayai dengan pajak.
Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah
bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan
sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan
secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi,
pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian
(returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran
lebih kecil dari hasil produk marjinal. Tetapi pada perekonomian yang
didesentralisasi, pembentukan modal dari hasil internal pasti akan berasal
dari tabungan pemerintah atau swasta. Dalam kadar tertentu, jika keadaan
cukup mendukung, kenaikan tingkat tabungan secara sukarela bisa terjadi
lebih besar dari sektor swasta.
Di sinilah diperlukan suatu usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas
moneter sehingga kebiasaan menabung tidak diredupkan oleh inflasi yang tak
berkesudahan. Di samping itu, pemerintah juga bisa berperan dalam
penyediaan dan pembentukan lembaga keuangan yang cocok guna menarik
tabungan rumah tangga dan menggunakannya secara produktif. Usaha
terakhir ini sangat penting bagi para penabung kecil karena bagi mereka
umumnya tidak tersedia sarana penabungan perorangan selain daripada
meminjamkannya dengan risiko tinggi atau dengan menukarnya dengan
barang berharga seperti logam mulia. Dalam kondisi ini, perpajakan
akan sangat berperan untuk memberikan insentif bagi tabungan atau
disinsentif bagi konsumsi barang-barang mewah. Tabungan perusahaan juga
dapat dirangsang
melalui sistem penarikan pajak laba usaha yang mendorong ditahannya dan
diinvestasikannya kembali laba usaha. Tabungan swasta secara sukarela,
meskipun bermanfaat dan penting, tidak mungkin akan cukup, khususnya
pada tahap awal pembangunan.

KEBIJAKAN STRUKTUR PERPAJAKAN


Kapasitas Kena Pajak dan Upaya
Perpajakan
Walaupun merupakan suatu hal yang esensial untuk mengetahui berapa
tingkat penerimaan pajak yang diperlukan guna menjamin tingkat
pertumbuhan tertentu, namun kelayakan tingkat pengenaan pajak itu sendiri
merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam menentukan
target pertumbuhan. Dalam hal ini, kebijakan perpajakan harus
dipertimbangkan secara bersama-sama dengan aspek-aspek lain dari
kebijakan pembangunan, tetapi hal itu tidak bisa dianggap sebagai variabel
dependen di dalam sistem tersebut yang berubah secara otomatis sesuai
dengan pengenaan pajak yang diperlukan.
Jika demikian, bagaimana kita dapat menilai kemampuan membayar pajak
dari suatu negara dan bagaimana kelancaran pembayaran pajak dapat diukur?
Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa besarnya sektor publik di
negara-negara maju tidak hanya berkembang sejalan dengan pendapatan per
kapita, tetapi kenaikan pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan
persentase sektor publik dalam GNP. Pada kenyataannya persentase sektor
publik jauh lebih kecil pada negara-negara berpendapatan rendah
sebagai suatu kelompok, tetapi tidak terlihat adanya suatu hubungan yang
mencolok di dalam kelompok tersebut. Pola yang sama juga akan kita jumpai
sehubungan dengan rasio penerimaan pajak terhadap GNP. Rasio
penerimaan pajak terhadap GNP di negara terbelakang cenderung sangat
rendah, yaitu berkisar dari 8 sampai 18 persen. Di negara-negara Amerika
Latin rasio umumnya adalah sekitar 14 persen, dan di beberapa negara
sampai 8 persen. Rasio pada negara-negara di Asia dan Afrika dengan
pendapatan per kapita yang serupa cenderung lebih tinggi. Sementara rasio
semacam itu di negara-negara maju adalah 40 persen atau lebih.
Mengapa upaya perpajakan (tax effort) di negara-negara berkembang
sedemikian rendah, dan benarkah rasio yang rendah itu pada kenyataannya
menandakan upaya perpajakan yang rendah? Jawabannya tergantung pada
bagaimana kita mengartikan upaya perpajakan itu. Lembaga pemberi
pinjaman internasional mungkin saja mensyaratkan agar bantuan yang
diberikan dibarengi dengan upaya perpajakan yang sepadan dengan negara
penerima bantuan. Dengan demikian lembaga itu mungkin akan menuntut
agar pada
negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi terdapat rasio penerimaan
pajak yang tinggi guna menunjukkan keselarasannya dengan upaya
perpajakan.
Negara berpendapatan rendah menghadapi keterbatasan dalam mentransfer
sumber daya untuk digunakan pemerintah. Pada tingkat pendapatan per kapita
yang sangat rendah, semua pendapatan pribadi diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, seperti pangan, sandang, dan papan. Sekiranya dana
pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyediakan kebutuhan hidup yang
sama-sama mendasar (misalnya program kesehatan) maka penggunaan dana
tersebut akan menimbulkan beban berat yang tidak sepatutnya. Tetapi asumsi
ini tidak berlaku jika distribusi pendapatan sangat timpang yang mana akan
mengakibatkan besarnya konsumsi barang-barang mewah. Keadaan ini sangat
perlu diperhatikan sebagai sumber penerimaan yang potensial.
Terlepas dari tingkat dan distribusi pendapatan, adanya penanganan pajak
akan selalu berkaitan dengan struktur perekonomian suatu negara.
Dengan demikian, pengelolaan pajak penghasilan akan jauh lebih sulit jika
semua lapangan kerja terdapat pada perusahaan-perusahaan kecil.
Penarikan pajak laba tidaklah layak sebelum praktek akuntansi mencapai
standar minimal, dan hal ini sulit tercapai jika perusahaan-perusahaan yang
ada berukuran kecil dan tidak stabil. Pajak produk tidak bisa dikenakan
pada tingkat pengecer jika perusahaan pengecer kecil dan tidak permanen.
Pengenaan pajak tanah yang efektif sukar dilaksanakan jika hasil
pangannya dikonsumsi sendiri, sektor pertanian belum terukur dengan nilai
mata uang, dan survai pertanahan belum memadai untuk menghasilkan
penilaian yang semestinya. Di pihak lain, pengenaan pajak sangat sederhana
pada perekonomiam yang sangat terbuka di mana impor dan ekspor
berlangsung melalui pelabuhan-pelabuhan utama dan terbuka bagi petugas
fiskus.
Akhirnya, kelayakan pengenaan pajak tergantung juga pada kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan
peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan jujur.
Pemberian jasa pungut pajak (tax farming), yaitu sistem dimana kepada para
pemungut pajak diberikan persentase tertentu sebagai insentif, hanya bisa
diandalkan untuk sementara waktu saja, demikian juga halnya dengan
penetapan kuota pajak bagi para petugas pajak. Meskipun demikian, dengan
cara-cara semacam ini pun tidak akan tercipta struktur perpajakan yang
mapan dan adil.
Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, maka penilaian yang realistis
atas upaya perpajakan (tax effort) harus memperhitungkan penanganan pajak
(tax handles) yang tersedia untuk itu. Dengan demikian, ukuran
komparatif
atas upaya perpajakan dapat diperoleh dengan membandingkan rasio
aktual dari penerimaam terhadap GNP pada suatu negara tertentu dengan
rasio yang seharusnya diperoleh, dengan melihat respon pada umumnya
terhadap penanganan yang tersedia.

Pengembangan Struktur
Perpajakan
Masalah perencanaan dan pengelolaan perpajakan akan berbeda-beda sesuai
dengan struktur perekonomian suatu negara dan sikap masyarakat terhadap
perpajakan. Perbedaan juga akan timbul sebagai akibat tahap-tahap
pembangunan ekonomi, dan sejumlah ciri struktur perpajakan yang lazim
ditemukan dalam kaitannya dengan pendapatan per kapita dapat diamati.
Pajak akan berperan besar terhadap perdagangan luar negeri (terutama bea)
dan pajak atas produksi dan penjualan domestik untuk negara-negara
berpendapatan rendah. Dengan naiknya pendapatan per kapita, peranan pajak
penghasilan pun makin meningkat relatif terhadap bea, demikian juga
terhadap pajak penjualan dan produksi domestik. Peranan pajak upah
juga makin penting dengan naiknya pendapatan per kapita.
Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang
sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin seringkali
jauh berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan
dengan itu, pajak penghasilan usaha seringkali lebih mirip dengan pajak
penjualan daripada pajak laba sebagaimana ditemukan di negara-negara maju
dan sebagainya.

Pajak Penghasilan
Perorangan
Pajak penghasilan perorangan tidak mungkin dan tidak dapat diharapkan
untuk menduduki posisi sentral dalam struktur perpajakan pada negara
sedang berkembang dan begitu juga umumnya di negara-negara maju.
Meskipun demikian, pajak penghasilan harus ditata dengan baik sejak dini
dan ditingkatkan selama berlangsungnya pembangunan. Pajak ini bersifat
elastis terhadap pertumbuhan GNP, karena itu bisa menjadi sumber
penerimaan yang cukup besar untuk pembiayaan pembangunan. Kontribusi
pajak penghasilan perorangan di negara-negara Amerika Latin lazimnya
berkisar 20 persen dan karena itu merupakan bagian yang besar dari
penerimaan pemerintah, perusahaan asing, dan kelompok perusahaan
domestik besar yang jumlahnya sangat kecil. Karyawan perusahaan kecil dan
sebagian besar masyarakat yang mengelola usaha sendiri, khususnya di
sektor pertanian, pada umumnya masih di luar jangkauan pajak penghasilan.
Di satu sisi hal ini akan mencerminkan
tingkat pembebasan pajak yang ditetapkan relatif tinggi jika dikaitkan dengan
pendapatan rata-rata, tetapi hal itu juga merupakan akibat dari upaya
pengelolaan yang tidak aktif.
Pemungutan pajak penghasilan atas modal bahkan lebih sukar lagi. Prinsip
penghitungan pajak sendiri (self assessment) seperti diterapkan di Indonesia
tidak berjalan lancar. Penghitungan pajak oleh para petugas sering kali
didasarkan pada negoisasi dan bukan ditetapkan secara objektif, dan
pembayaran akhir sangat banyak yang terlambat. Penggunaan sistem
pemungutan pajak oleh orang lain (witholding) bisa mempercepat
pemungutan pajak dan hal itu sangat baik, tetapi penerapannya sangat
terbatas pada jenis upah dan gaji tertentu saja sehingga lebih mudah
dilaksanakan. Keterlambatan pembayaran pajak atas pendapatan modal
merupakan keuntungan besar, khususnya jika hukumannya tidak sebanding
dengan suku bunga dan nilai hutang pajak yang semakin menurun akibat
inflasi.
Meskipun tidak tersedia estimasi yang andal, namun bisa dikatakan bahwa
pendapatan kena pajak akan benar-benar dicapai bila peraturan
perpajakan dijalankan secara ketat. Tidak ada satu obat mujarab untuk
mengatasi kesulitan ini kecuali dengan menerapkan wajib pungut pajak,
penjatahan jumlah wajib pajak bagi setiap petugas (khususnya wajib pajak
berpendapatan tinggi), komputerisasi dan penanganan terpusat atas surat
pemberitahuan pajak, diharuskannya perusahaan dan bank menyampaikan
informasi tentang pembayaran bunga dan pembayaran dividen, pengurangan
keterlambatan penafsiran, dan hukuman yang lebih tinggi bagi pembayaran
yang tertunda. Namun, semua itu tidak akan mencukupi kecuali jika badan
pengadilan mendukung penuh penegakan peraturan perpajakan. Inilah
prasyarat utama yang kerapkali sukar untuk dipenuhi oleh negara-negara
berkembang dalam konteks budaya dan politik.
Lebih jauh lagi, pengelolaan pajak penghasilan diperparah oleh
masalah inflasi. Tidak jarang negara-negara berkembang menghadapi inflasi
puluhan bahkan ratusan persen per tahun. Hal itu, misalnya telah dialami
Cili dan Brasil selama bertahun-tahun. Guna menghadapinya, badan
perpajakan bisa menaikkan tingkat pembebasan dan kelompok tarif secara
otomatis setiap tahunnya sejalan dengan naiknya harga-harga, sehingga
hubungan antara tarif marjinal dan pendapatan riil dipertahankan konstan.
Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap perpajakan dinetralisir, tetapi peredaran
inflasi secara melekat melalui pajak penghasilan progresif akan melemah.
Masalah keuntungan modal, terutama dalam kaitannya dengan tanah dan
bangunan, sangat penting bagi negara-negara berkembang dimana urbanisasi
yang pesat akan menaikkan nilai tanah. Sebagaimana dialami Amerika
Serikat
pada akhir abad sembilan belas. Sesuai dengan pengamatan Henry
George, juga terjadi di Indonesia terutama di Jakarta dan sekitarnya. Karena
itu, pajak atas keuntungan modal bagi real estate, yaitu bangunan dan tanah,
dikelola sebagai suatu jenis pajak tersendiri.

Pajak Penghasilan
Perusahaan
Masalah yang pelik akan timbul dalam pengenaan pajak penghasilan
perusahaan, entah itu berupa pajak laba perseroan atau pajak persekutuan dan
perusahaan perseorangan yang dikenakan menurut pajak penghasilan
perorangan. Bila akuntansi perusahaan belum begitu maju sehingga belum
bisa mengukur laba dengan cukup akurat, metode lain harus digunakan.
Banyak negara menggunakan taksiran dan bukan pendekatan langsung guna
menentukan laba. Caranya adalah dengan menaksir marjin laba atas
penjualan dimana terdapat marjin yang beragam untuk berbagai industri.
Metode ini, yang digunakan secara luas di negara-negara Asia, akan
mengubah bentuk pajak laba menjadi semacam pajak penjualan. Hal ini
terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi dari penjualan dan marjin
tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual.
Dalam keadaan lain, laba taksiran didasarkan pada patokan tertentu seperti
luasnya lantai atau ruang kerja dan lokasi pada wilayah perkotaan. Ini juga
merupakan praktek yang bisa ditemukan pada tradisi perpajakan Eropa,
khususnya sehubungan dengan pendapatan profesional. Dalam hal pertanian,
luasnya lahan atau jumlah ternak bisa digunakan sebagai dasar taksiran.
Serentak dengan itu, pembayar pajak yang setia perlu diberi
penghargaan, sementara yang bandel diberi hukuman. Proses perbaikannya
harus bertahap dan tidak bisa bergerak lebih cepat dari perbaikan metode
akuntansi. Para pembaharu pajak sering menyepelekan perbaikan teknik
penaksiran pajak terhadap perbaikan teknis dalam pemajakan perseroan,
padahal hal terakhir ini tidak begitu penting bagi negara yang sedang
berkembang.
Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali berbeda.
Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih
berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negara-
negara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa
diterapkan; dan praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat
mungkin tidak dapat diterapkan di negara sedang berkembang dengan
mengingat tradisi dan tingkat pembangunannya saat ini.
Pajak Tanah
Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah, apakah pajak tersebut
harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan
potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh.
Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa
saling dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya
yang dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan
potensial. Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah seringkali tidak
dimanfatkan secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan
sesuai dengan adat istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak
tersedia dan nilai jualnya saat ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian,
ketiga dasar tersebut akan memberikan nilai yang sangat berbeda. Pajak
penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke sektor pertanian sehingga
pendapatan dari tanah seringkali merupakan gabungan dari pajak penghasilan
dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya penyewaan atas tanah
tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah.

Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan


Di samping penerimaan dari tanah, penarikan pajak atas real estate dan
pertokoan juga menjadi dasar pengenaan pajak yang penting, khususnya
selama berlangsungnya urbanisasi. Ada baiknya jika hal tersebut di atas
dikenakan pajak progresif atas tempat hunian, yang menggabungkan pajak
atas sejumlah rumah dalam satu dasar pengenaan pajak guna melengkapi
sistem penarikan pajak komoditas atas konsumsi barang-barang mewah di
samping terhadap perumahan. Di luar semua ini, pajak kekayaan atas harta
benda bersih jarang ditemukan dalam struktur perpajakan di negara sedang
berkembang. Meskipun pajak semacam ini pada akhirnya akan lebih kecil
daripada pajak bumi dan bangunan, karena banyaknya harta tak berwujud
yang tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak, namun jenis pajak ini
penting guna melengkapi pajak penghasilan.

Pajak dan Bea atas Komoditas


Pengenaan pajak komoditas harus ditentukan berdasarkan kelayakan
administratif sehingga tergantung pada struktur perekonomian negara
tertentu. Dengan pajak yang dikenakan secara berjenjang seperti halnya pajak
pertambahan nilai, penerimaan pemerintah yang hilang tidak akan besar
meskipun tingkat pengecer tidak terjangkau. Jadi bukan merupakan
kehilangan total seperti pada pajak penjualan eceran. Penggunaan metode
faktur mungkin
akan membuat para wajib pajak lebih taat. Di pihak lain, pengenaan pajak
produk dengan tarif yang berbeda-beda cenderung lebih sukar jika diterapkan
dengan pendekatan nilai tambah. Jika suatu produk dengan nilai kena pajak
yang sangat besar dihasilkan pada perusahaan yang relatif besar, maka
pengenaan cukai atas produsen akan merupakan pendekatan yang paling
sederhana dan gamblang. Kombinasi dari berbagai metode bisa diterapkan,
tergantung mana yang paling jitu dalam keadaan tertentu.
Cukai domestik juga perlu untuk dikoordinasikan dengan bea impor.
Karena ingin membebani konsumsi barang mewah dengan lebih berat,
seringkali mengenakan bea impor yang lebih tinggi atas barang mewah. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah keterkaitannya dengan pengenaan bea
cukai atas produk domestik.
Dengan demikian, bea masuk sering menjadi pelindung bagi produk barang
mewah pengganti di dalam negeri. Jika hal ini terjadi akan merupakan
kebijakan yang buruk. Jika pemerintah ingin menggunakan bea masuk sebagai
proteksi atas industri itu, harus dipilih sesuai dengan potensi pembangunan
sehingga pengembangan itu bukan merupakan efek samping dari pengenaan
pajak barang mewah. Pendekatan terbaik dengan menggunakan tarif yang
cukup seragam dan memasukkan unsur bea impor barang mewah di dalam
sistem pengenaan cukai domestik.
Aspek kebijakan bea masuk lainnya yang perlu ditinjau secara kritis adalah
praktek pembebasan cukai atas barang modal yang digunakan di dalam
negeri. Dalam situasi dimana, biaya modal cenderung dinilai terlalu rendah,
praktek ini akan memperburuk distorsi harga.

INSENTIF PERPAJAKAN
Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak konsumsi progresif. Disamping
itu, pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan
dengan penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena
adanya kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif
dengan insentif untuk inventasi, maka tidak mengherankan bahwa telah
diupayakan berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi
sampai dimana pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama
lain.
Kebijakan perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat
pertumbuhan ekonomi tidak akan memperparah pemerataan. Keringanan
pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan
pertumbuhan, bukan hanya menyebabkan hilangnya penerimaan
pemerintah tetapi juga
memperbesar ketimpangan apabila keringanan itu diberikan
kepada masyarakat berpendapatan tinggi.
Dengan alasan-alasan ini, insentif pajak bagi investasi pada umumnya
merupakan pemborosan dan tidak adil sehingga banyak pengamat terdorong
untuk menolak semua bentuk insentif. Namun, penolakan total tidak bisa
diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak akan tetap ada
dan tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif dirancang seefisien
mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi pertumbuhan mungkin
layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik.

Insentif Domestik
Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara
insentif domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing.
Insentif domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya atau
dibatasi pada industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang
untuk menggalakkan ekspor dan memperkuat neraca pembayaran.

Insentif Umum
Insentif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau
penyusutan yang dipercepat seperti lazim digunakan di negara-negara maju.
Selain itu, di beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax
holiday) untuk jangka waktu tertentu, misalnya selama lima atau tujuh tahun
dimana selama jangka waktu itu pajak atas laba dibebaskan. Metode ini
merupakan insentif bagi investasi yang memberikan laba yang tinggi
pada tahap awal dan hal ini bertentangan dengan kebutuhan akan investasi
yang stabil dan bersifat jangka panjang. Bagi perusahaan lama yang
mengadakan investasi lama dan baru, masalah ini bisa diatasi dengan
pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi. Lebih jauh lagi, tidaklah
bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka panjang untuk
mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi
semacam itu tidak akan diperlukan di masa mendatang.
Apapun masalahnya, insentif investasi umum tidak bisa efektif guna
menaikkan tingkat investasi menyeluruh kecuali jika peningkatan
tabungan juga mendapat perhatian. Ini bisa tercapai dengan mendorong
perusahaan untuk menahan laba atau dengan memberikan kredit pajak bagi
tabungan atas pendapatan perorangan. Tentu saja masalahnya adalah
bagaimana mencapai suatu jumlah tabungan tertentu tanpa mengurangi
tabungan di sektor lain.
110 Keuangan Publik: Teori dan Bab 6: Pembiayaan Pembangunan 110
Aplikasi

Daftar Skala Prioritas


Meskipun efektivitas investasi umum diragukan, namun insentif yang
dibatasi pada sektor atau industri tertentu kiranya bisa lebih efektif dalam
mengalokasikan modal data ekspor industri tersebut. Masalah utama di sini
adalah bagaimana memilih industri yang akan diberi perlakuan istimewa
tersebut. Dapat diduga bahwa industri yang akan dipilih adalah industri yang
memainkan peranan strategis dalam pembangunan dan yang tidak akan
berkembang jika tidak mendapat bantuan khusus.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan mengandung dampak
eksternal (external economies) yang tidak diperhatikan dalam
pengambilan keputusan investasi swasta dan pasar modal yang tidak
sempurna bisa mengacaukan investasi meskipun tanpa eksternalitas. Karena
itu, investasi semacam itu perlu dikoreksi. Tetapi pengalaman menunjukkan
bahwa hal itu sangat sukar untuk dilaksanakan.
Seiring daftar skala prioritas sedemikian luas sehingga hampir tidak
ada yang patut dipilih. Sedangkan di pihak lain, pemilihan industri tertentu
selalu dibarengi dengan tekanan politik dari kelompok tertentu dan
dalam kesempatan lain lagi kita akan melihat bahwa insentif diberikan untuk
mempertahankan pasar bagi perusahaan negara, seperti pabrik baja, yang
seharusnya tidak mendapat prioritas utama. Meskipun pada prinsipnya
insentif yang selektif itu baik, penerapannya secara efisien sukar untuk
dilaksanakan.

Insentif Regional
Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional.
Seperti telah kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa
mempengaruhi keputusan lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja
atau modal dan umumnya diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral.
Namun, keadaan negara-negara berkembang bisa menuntut lain. Tenaga
kerja mungkin tidak bisa berpindah secara luwes, mungkin juga tenaga kerja
ingin dipertahankan di suatu daerah tertentu karena terlalu banyaknya
perpindahan penduduk ke kota atau alasan non ekonomis yang
menghendaki pemerataan tingkat pembangunan daerah. Karena itu, insentif
khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah tersebut. Masalahnya
adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan mensubsidi
investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah bersangkutan.
Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, apakah
peningkatan produksi atau nilai tambah di daerah tersebut, atau apakah
peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan
terakhir ini, subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika
terdapat banyak penganggur atau penganggur tak kentara di sektor
pertanian yang dapat ditarik ke sektor industri apabila biaya upah berkurang.

Insentif bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja


Penggunaan bentuk investasi yang insentif modal didorong oleh
distorsi harga yang menyebabkan biaya buruh terlalu tinggi dan biaya modal
menjadi rendah. Biaya buruh yang tinggi umumnya disebabkan oleh
peraturan upah minimum dan berbagai tuntutan serikat pekerja; biaya
modal yang rendah disebabkan oleh kurs valuta yang menguntungkan,
pembebasan bea masuk, dan pengenaan pajak atas laba yang tidak efektif.
Guna mengembalikannya ke keseimbangan semula, subsidi upah bisa
diberikan secara langsung atau tidak melalui kredit atas daftar upah yang
pada prinsipnya mirip dengan kredit investasi.
Pajak atas laba bisa lebih ringan dengan syarat peralatan yang digunakan
harus padat tenaga kerja. Cara-cara semacam itu mungkin akan tepat dalam
kaitannya dengan insentif regional dimana tujuannya adalah untuk menaikkan
tingkat pendapatan di daerah terbelakang. Hal itu juga tepat untuk
menanggulangi pengangguran akibat berjubelnya perpindahan penduduk
ke kota. Cara lain untuk mendorong investasi yang padat kerja adalah dengan
memberikan insentif pajak bagi pekerjaan gilir kerja (shift) malam.

Insentif bagi Modal Asing


Dari sudut pandang nasional, peranan insentif pajak bagi modal asing
berbeda dari insentif pajak bagi modal domestik. Insentif bagi modal
domestik hanyalah melibatkan transfer dari pemerintah ke investor, tetapi
keringanan pajak yang diberikan kepada investor asing akan
mengurangi jatah keseluruhan negara atas laba yang dihasilkan modal asing
tersebut. Karena itu, kerugian ini harus dikompensasi oleh keuntungan yang
diperoleh akibat pelipatgandaan modal tersebut agar insentif pajak tersebut
bisa diterima. Perancangan insentif mungkin akan bisa mengarahkan
investasi tersebut pada sektor yang menguntungkan negara bersangkutan.
Keuntungan tersebut berupa kenaikan penghasilan faktor-faktor produksi
domestik akibat adanya modal asing. Tidak ada manfaatnya bagi suatu negara
untuk menerima modal asing lengkap dengan sumber dayanya dan hanya
meminjam lokasi pada negara tersebut. Karena itu, insentif pajak harus
dikaitkan dengan nilai tambah domestik sebagai akibat adanya modal asing.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah insentif tersebut harus dirancang
sedemikian rupa sehingga mendorong
dilakukannya reinvestasi dan operasi permanen serta menghambat
investasi yang hanya ingin mengeruk keuntungan sesaat.
Apapun masalahnya, suatu negara membutuhkan kerja sama dari negara
asal investor asing agar insentif yang efektif bisa diberikan. Jika negara
sumber modal tersebut menarik pajak penghasilan yang diperoleh dari
luar negeri dengan tarifnya sendiri sambil tetap memberikan kredit pajak
luar negeri, maka pajak yang lebih rendah di negara tersebut hanya akan
menjadi transfer ke negara lain tanpa adanya manfaat bagi investor yang
mengirimkan labanya ke negara asalnya. Dalam hal ini, penundaan pajak
akan menjadi sangat penting. Hal itu tidak hanya berfungsi sebagai penarik
modal ke suatu negara yang menawarkan insentif pajak tetapi juga
mendorong terlaksananya reinvestasi di negara tersebut. Karena itu, cukup
beralasan untuk mempertahankan penundaan atas investasi di suatu negara
yang sedang berkembang dan meniadakannya untuk investasi di negara maju.
Cara lain untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang
akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai
kesepakatan pajak bersama (tax-sparing arrangement). Dengan
pendekatan ini, negara asal modal akan memberikan kredit atas laba
yang direpatriasi sebesar pajak yang dikenakan di negara tujuan meskipun
tidak ada pajak yang dibayar menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan
tetapi, pendekatan ini tidak menggairahkan reinvestasi karena tekanan
politik akan menuntut agar insentif tersebut diberlakukan secara umum bagi
investasi domestik, penarikan pajak atas laba secara umum bagi investasi
domestik harus dipertimbangkan.
Persoalan terakhir yang timbul dalam kaitannya dengan persaingan di
antara negara sedang berkembang untuk memperebutkan modal asing
adalah jika suatu negara mengalahkan yang lain dengan menawarkan insentif
yang lebih besar, negara sedang berkembang sebagai suatu kelompok
akan dirugikan. Untuk mengatasi hal semacam itu diperlukan semacam
kerja sama antar negara sedang berkembang. Salah satu peran utama
pasar bersama antar negara sedang berkembang adalah untuk
menghindarkan hal semacam itu.

Insentif Ekspor
Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu
pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar
efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan
di luar negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi,
tetapi dengan nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang
menambah hasil perdagangan luar negeri bagi suatu negara.
Pengeksporan
kembali atas barang yang diimpor atau barang dalam transito
tidak memberikan nilai tambah domestik.

KEBIJAKAN PENGELUARAN
Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang
disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan dan data pembanding
lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan
banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan
sosial kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk
pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara
ini. Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem
jaminan sosial yang lebih baik.
Peranan strategis dari investasi pemerintah dalam pembangunan ekonomi
sebagian dilandasi oleh belum berkembangnya pasar modal swasta dan
sebagian karena kurangnya bakat entrepreneurial (kewiraswastaan)
masyarakat. Hal ini juga dilandasi oleh kenyataan bahwa tipe investasi yang
diperlukan pada tahap-tahap awal pembangunan sering kali memerlukan
jumlah besar, seperti untuk pembangunan sistem transportasi atau pembukaan
suatu daerah yang terbelakang. Lebih jauh lagi, investasi semacam ini
menghasilkan manfaat eksternal sehingga penyediaannya lebih baik dilakukan
oleh pemerintah.
Karena itu, tidak mengherankan jika pengembangan investasi pemerintah
memainkan fungsi utama dalam perancangan rencana pembangunan di negara
sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengunaan analsis biaya-manfaat
sangat penting. Negara–negara berkembang bisa dihantui oleh
pemborosan sumber daya, namun evaluasi proyek yang efisien merupakan
suatu tugas yang sukar. Di satu pihak, analisis biaya–manfaaat akan lebih
mudah diterapkan di negara berkembang dari pada negara maju karena
investasi pemerintah lazimnya dimaksudkan untuk penyediaan barang–barang
antara yang nilainya bisa diukur dengan melihat pengaruhnya terhadap harga–
harga barang yang disediakan oleh swasta. Jadi manfaat dari proyek
transportasi atau irigasi dapat dinilai berdasarkan penurunan biaya produk
yang ditimbulkannya di pasar. Suatu ukuran yang tidak bisa diperoleh jika
pengeluaran publik digunakan untuk menghasilkan barang jadi untuk
konsumsi. Tetapi di pihak lain, pelaksanaan evaluasinya di negara sedang
berkembang lebih sulit.
Di satu sisi, manfaat langsung yang tersedia disertai dengan manfaat tidak
langsung atau manfaat eksternal yang lebih sukar untuk diperkirakan. Di sisi
lain, jumlah biaya lebih sulit untuk ditentukan. Karena harga pasar mungkin
tidak mencerminkan biaya sosial yang benar–benar terjadi, untuk itu
harus
digunakan harga bayangan (shadow price). Jika modal dinilai terlalu rendah
sementara tenaga kerja dinilai terlalu tinggi, penggunaan harga pasar akan
menimbulkan distorsi yang mengarah kepada teknologi yang sangat padat
modal sebagaimana telah kita simak sebelumnya. Kesulitan–kesulitan itu
akan makin rumit dalam konteks pembangunan yang dinamis dimana harga-
harga relatif yang berlaku pada saat proyek dimulai mungkin akan sangat
berbeda dari harga–harga yang berlaku setelah proyek berfungsi. Sekali lagi,
kemungkinan ini menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan
evaluasi atas setiap proyek dalam konteks rencana pembangunan yang
menyeluruh.
Faktor lain yang juga penting adalah penentuan tarif/tingkat diskonto.
Karena pasar modal swasta yang belum berkembang sepenuhnya,
penggunaan tarif sosial kiranya tidak bisa dielakkan. Dengan
memperhitungkan adanya manfaat eksternal, tarif sosial tersebut harus
ditetapkan lebih rendah daripada tarif yang berlaku sehingga menunjukkan
tingkat diskonto yang lebih tinggi bagi penyediaan modal dan lebih
mendukung pengadaan proyek–proyek jangka panjang. Jika kita melihat
dari sisi yang berlawanan, akan kita jumpai bahwa biaya konsumsi sangat
tinggi pada tingkat pendapatan yang rendah. Namun di masa mendatang,
setelah keuntungan dari penundaan konsumsi itu diperoleh, utilitas
marjinal dari konsumsi itu akan lebih kecil karena pendapatan sudah
lebih tinggi. Kenyataan ini cenderung diabaikan dalam pengambilan
keputusan tabungan perorangan tetapi pemerintah harus
memperhitungkannya. Sebagaimana halnya dalam penentuan tingkat diskonto
lainnya, taksiran yang lebih kasar mungkin akan digunakan. Dalam konteks
pembangunan, pemerintah mungkin lebih praktis untuk menentukan tingkat
konsumsi minimum yang secara politis dapat diterima untuk lima atau
sepuluh tahun mendatang dan kemudian menghitung tingkat diskonto dari
konsumsi minimum tersebut.
Investasi dalam sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus
dalam konteks pembangunan. Program pendidikan penting bukan hanya
dalam kaitannya dengan kebijakan pertumbuhan tetapi juga dengan
pendistribusian hasil-hasil pembangunan di antara lapisan masyarakat dan
berbagai sektor perekonomian. Sejumlah studi telah memperlihatkan betapa
besarnya manfaat investasi di bidang pendidikan bagi negara–negara
berkembang. Yang perlu dipertimbangkan, investasi bagi pendidikan
dirancang guna menghasilkan pekerja terampil sesuai dengan kebutuhan
negara bersangkutan.

BANTUAN INTERNASIONAL DAN REDISTRIBUSI


Pertimbangan kemanusiaan atau politis yang menyangkut distribusi
pendapatan di suatu negara tidak bisa dibatasi hanya pada lingkup negara itu
saja. Kelihatannya aspek–aspek dari distribusi internasional akan menjadi
unsur yang semakin penting dalam politik dunia masa mendatang.
Meskipun hal itu penting, masalah distribusi di tingkat internasional lebih
sukar untuk ditangani daripada lingkup suatu negara.Di tingkat internasional,
kesenjangan lebih besar dan masalah organisasi lebih pelik karena tidak ada
pemerintah pusat yang harus menanganinya dan upaya mengatasi
ketimpangan tersebut harus melalui transfer antar negara. Upaya itu bisa
dilaksanakan dalam bentuk bantuan internasional yang dirancang untuk
menaikkan tingkat pertumbuhan negara-negara berkembang. Pendekatan ini
telah dilaksanakan secara cukup besar-besaran dalam beberapa dekade
terakhir. Mungkin pada suatu saat, hal itu dilaksanakan berupa redistribusi
dari tingkat pendapatan dunia pada saat itu sehingga mirip dengan pajak
penghasilan negatif yang diterapkan pada redistribusi domestik. Meskipun
pendekatan ini tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat, mungkin saja suatu
saat nanti hal itu akan menjadi suatu pemikiran pokok.

Masalah Besarnya Transfer


Dalam menangani distribusi pada taraf internasional, persoalan yang
mungkin terjadi adalah perbedaan pendapatan rata-rata di negara-negara atau
juga ketimpangan distribusi di antara masyarakat seluruh dunia tanpa
memandang batas negara. Dalam kadar tertentu kedua masalah itu
bertumpang tindih karena kebanyakan masyarakat miskin pada kenyataannya
merupakan penduduk dari negara berpendapatan rendah. Tetapi jika keduanya
tidak tumpang tindih, masalah mendasar adalah redistribusi di antara anggota
masyarakat. Tidak ada gunanya jika redistribusi ke negara berpenghasilan
rendah pada akhirnya hanya akan menambah kekayaan segelintir masyarakat
kaya di negara tersebut. Jadi, masalahnya mirip dengan masalah antara negara
bagian di suatu negara berserikat.
Ketimpangan distribusi pendapatan di antara masyarakat dunia merupakan
masalah yang sangat pelik. Ketimpangan di dalam negeri diperparah dengan
ketimpangan pendapatan rata-rata di antara berbagai negara. Jika seseorang di
suatu negara memperoleh pendapatan sebesar rata-rata di antara berbagai
negara tersebut, maka bisa diperkirakan bahwa 40 persen termiskin dari
penduduk dunia menerima 3 persen dari pendapatan seluruh dunia,
sementara
20 persen terkaya menerima 60 persen. Jika ketimpangan di dalam
negara- negara masih diperhitungkan lagi, maka rasio tersebut berubah
menjadi 2 dan
70 persen. Tingkat ketimpangan ini jauh lebih besar daripada ketimpangan di
suatu negara, khususnya di negara maju. Dalam kondisi ini, mustahil kiranya
untuk meratakan ketimpangan ini. Lebih jauh lagi, masuk akal bahwa
pendapatan per kapita di negara maju akan naik lebih cepat ketimbang
di negara miskin sehingga situasi tersebut akan semakin parah seperti
halnya distribusi pendapatan domestik.

Bantuan Pembangunan
Dari penjelasan terdahulu, terlihat jelas bahwa kebijakan
redistribusi tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi harus
ditelaah dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada
redistribusi yang bersifat nasional, akan lebih mengena lagi pada tingkat
internasional dimana skala penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui
distribusi sangat besar. Tak ada manfaatnya jika kontribusi negara-negara
maju terlalu dipaksakan sehingga kemampuan ekonominya untuk
mempertahankan kesinambungan bantuan menjadi terganggu.
Perbaikan besar atas kemelaratan masyarakat hanya dapat dicapai dengan
meningkatkan produktivitas pekerja-pekerja di negara miskin. Salah satu
upaya penting untuk ini adalah dengan menata kembali aliran modal
dari negara kaya ke negara miskin. Dengan penerapan itu, output dunia akan
meningkat karena modal akan dimanfaatkan secara efisien di negara dimana
keuntungan modal pekerja sangat rendah. Para pemasok modal dari
negara kaya tetap mendapat keuntungan karena memperoleh hasil
pengembalian yang lebih besar dari investasinya di negara-negara miskin.
Akan tetapi, akan terjadi redistribusi pendapatan dari pekerja negara kaya
(yang akan beroperasi dengan modal yang cukup besar) kepada pekerja di
negara miskin yang produktivitasnya akan meningkat bersamaan dengan
naiknya keuntungan modal pekerja. Dengan demikian, perbaikan distribusi
pendapatan dunia dapat dicapai meskipun dengan memperbesar ketimpangan
(kendatipun hanya dalam taraf yang lebih kecil) di negara maju. Juga
dipermasalahkan masuknya tenaga manajemen asing yang menyertai
masuknya modal asing, di samping menambah keahlian juga menghambat
pengembangan kewiraswastaan domestik dan menciptakan ketergantungan
politis.
Kontribusi penting kedua bagi pembangunan ekonomi adalah
membuka pasar negara-negara maju lebih lebar bagi ekspor negara-negara
berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memberikan preferensi dan
penghapusan pembatasan perdagangan. Dalam hal ini, pekerja di negara
maju juga dirugikan karena mereka kurang leluasa untuk berpindah jika
dibandingkan dengan faktor modal. Tetapi di pihak lain, sebagai konsumen
mereka akan diuntungkan karena harga barang-barang impor menjadi
turun. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan semacam ini tidak menjamin bahwa negara-negara
berkembang akan mampu secara independen untuk mempertahankan
pertumbuhan yang telah mereka capai. Karena itu, sindrome orang kaya baru
akan tetap menggejala dan hal ini merupakan hambatan baik di tingkat
nasional maupun di tingkat internasional.

RANGKUMAN
§ Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup dengan cara penyediaan
modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi
sumber daya manusia) serta proses teknologi yang diperlukan tetapi juga
diperlukan sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan
sebab-akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah.
§ Perkembangan sektor publik di negara-negara maju cenderung
tumbuh sejalan dengan pertumbuhan pendapatan.
§ Besarnya sektor publik di negara-negara maju tidak hanya
berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita tetapi kenaikan
pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase sektor
publik dalam GNP.
§ Kelayakan pengenaan pajak tergantung pada kesadaran masyarakat
untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan
peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan
jujur.
§ Keringanan pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri
dalam meningkatkan pertumbuhan bukan hanya menyebabkan hilangnya
penerimaan pemerintah tetapi juga memperbesar ketimpangan apabila
keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi.
§ Insentif pajak bagi investasi pada umunya merupakan pemborosan
dan tidak adil sehingga banyak pengamat sampai terdorong untuk
menolak semua bentuk insentif.
§ Cara untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang
akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai
kesepakatan pajak bersama.
LATIHAN
1. Sebutkan inflasi dari segi sebab!
2. Uraikan inflasi yang timbul karena meningkatnya permintaan!
3. Sebutkan alat-alat ukur inflasi!
4. Sebutkan empat tingkatan inflasi menurut sifatnya!
5. Nilai riil dari biaya pekerja meningkat dan pada akhirnya
terjadilah pengangguran.
a. Apakah pengertian dari pengangguran?
b. Uraikan dampak-dampak penganguran!
6. Apakah efek dari crowding out terhadap investasi?
7. Apakah maksud dari pembiayaan dengan pajak atau pinjaman
mempunyai efek ekonomi yang seimbang?
8. Bersifat apakah kenaikan pengeluaran dan kenaikan pajak?
9. Jelaskan mengenai Inflasi yang diakibatkan biaya secara tiba-tiba?
10. Apakah akibat dari tindakan ekspasioner yang tidak diantisipasi
secara sempurna?
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

Dalam menjalankan tugas-tugas negara, tentunya pemerintah akan


memerlukan sumber-sumber penerimaan. Dalam pencarian sumber
penerimaan tersebut, terdapat beberapa cara. Secara garis besar, sumber
penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi dua sumber yakni dari
dalam negeri dan luar negeri.
Kedua sumber tersebut digambarkan oleh John F. Due sebagai berikut:
§ Penjualan Barang dan Jasa Milik Negara
Barang dan jasa milik negara seperti tanah, barang hasil sitaan yang
menjadi hak negara, dan barang produk perusahaan milik negara
(misalnya pos, telegraf, telepon, listrik, minyak dan gas bumi) dapat
dijual untuk
122 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan 122

dipergunakan sebagai pemasukan kas negara. Barang dan jasa


tersebut dapat diusahakan oleh negara secara terus menerus sehingga
kelangsungan sumber penerimaan dari sektor itu dapat dijaga.
§ Pinjaman
Pinjaman merupakan suatu penerimaan yang mengandung konsekuensi
untuk mengembalikan dalam jangka waktu tertentu ditambah jasa
pinjaman berupa bunga. Pinjaman tersebut dapat berasal dari dalam
negeri, misalnya berupa obligasi atau dari luar negeri berupa pinjaman
dari pemerintah negara lain baik secara individu maupun kelompok
seperti World Bank, Asian Development Bank, International Monetary
Fund dan sebagainya.
§ Pencetakan Uang
Uang sebagai alat pembayaran yang sah, di samping mempunyai fungsi
yang lain, dicetak oleh negara untuk memenuhi kebutuhan akan dana.
Walaupun sumber dana tersebut mudah diadakan, tetapi mengandung
resiko, yakni akan mendorong laju inflasi jika jumlahnya tidak terkontrol.
Oleh karena itu, apabila negara ingin menggunakan dana harus bersifat
produktif.
§ Bantuan dari Negara Lain
Berbeda dengan pinjaman yang mengharuskan negara penerima
mengembalikan dana pinjaman, pemberian bantuan tersebut tidak
perlu ada pengembalian (kecuali hibah yang mengandung syarat
pengembalian lunak). Biasanya, pemberi bantuan tersebut dilakukan
karena adanya musibah di luar kontrol manusia. Pemberian bantuan jenis
ini biasanya menyalurkannya melalui badan resmi seperti WHO,
UNESCO, FAO, COLOMBO PLAN atau bisa juga dari negara tertentu.
Bantuan ini biasanya bersifat kemanusiaan, walaupun tidak menutup
kemungkinan akan ada latar belakang politik.
§ Perpajakan
Pada hakekatnya merupakan sumber dana yang berasal dari masyarakat
yang diharapkan akan menjadi tulang punggung penerimaan negara.
Penerimaan negara dari sektor ini dapat berupa pajak, retribusi, iuran dan
sumbangan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pajak
merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan. Oleh karena itu,
pajak merupakan cara yang paling efektif untuk membagi beban
pemerintah kepada rakyat. Hasil pemungutan pajak oleh pemerintah akan
disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk sarana dan prasarana
di bidang keamanan, pendidikan dan sosial. Ketiga bidang tersebut
memang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Sumber dana itu setelah memperhitungkan
berbagai aspek, harus mendapatkan persetujuan rakyat dari wakilnya di
lembaga perwakilan rakyat.
Namun demikian, tidak mudah untuk memberikan batasan secara pasti
terhadap macam-macam sumber penerimaan negara tersebut. Berdasarkan
cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh sember dana, secara umum
dapat digolongkan menjadi:
§ Pajak
Pajak merupakan iuran dari rakyat (masyarakat) kepada negara
(pemerintah) tanpa imbalan jasa langsung dan sifatnya dapat dipaksakan.
Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn dan PPnBM),
Pajak Kendaraan Bermotor dan sebagainya.
§ Retribusi/Iuran
Merupakan pembayaran dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam iuran,
terlihat adanya imbal jasa secara langsung setelah pembayaran dilakukan.
Contohnya adalah retribusi sampah, retribusi air minum, iuran televisi
dan sebagainya.
§ Sumbangan
Berasal dari sumbangan masyarakat atas jasa-jasa yang diberikan
oleh pemerintah kapada pemakai jasa. Contohnya adalah pembayaran
perizinan (lisensi) dan pungutan pada jalan-jalan tertentu.
§ Keuntungan dari Perusahaan Negara
Merupakan penerimaan pemerintah yang berasal dari penjualan barang
dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara.
Contohnya adalah Pertamina, Perumtel dan sebagainya.
§ Denda dan Sitaan
Merupakan penerimaan yang berupa denda dari kegiatan pelanggaran
peraturan/ undang undang serta hasil sitaan yang menjadi hak negara.
§ Pencetakan Uang
Karena kekuasaan yang dimiliki negara, serta sifat dan fungsi yang
melekat pada tugasnya, pemerintah mempunyai kewenangan untuk
mencetak uang (kertas/logam), atau memohon pada bank sentral
untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah (walau tanpa jaminan).
namun pencetakan uang itu akan membawa resiko inflasi, oleh karena itu
pencetakan uang perlu dilakukan dengan hati hati.
§ Pinjaman
Pinjaman diperoleh dengan konsekuensi pengembalian dalam jangka
waktu tertentu ditambah dengan beban tetap berupa bunga. Pinjaman itu
dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri misalnya melalui
Consultative Group on Indonesia (CGI)
§ Hasil Undian Negara
Pemerintah memperoleh dana dari kelebihan penerimaan hasil penjualan
kupon berhadiah setelah dikurangi dengan biaya-biaya
penyelenggaraannya, misalnya: Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB). Namun demikian, seringkali usaha memperoleh sumber dana
dengan cara tersebut membawa pengaruh-pengaruh yang kurang baik.
§ Hadiah
Sumber dari jenis tersebut biasanya bersifat volunteer dan tanpa balas jasa
baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya adalah hadiah dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah satu
negara kepada negara lain.

FUNGSI PAJAK
Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan dengan
beberapa aktivitas (Hyman, 2002). Penerimaan yang diperoleh melalui pajak
biasanya digunakan untuk membeli input yang dibutuhkan dalam
memproduksi ataupun menyediakan barang dan jasa pemerintah atau untuk
redistribusi kekuatan daya beli masyarakat. Realokasi pajak yang bersumber
dari private ke pemerintah digunakan dalam dua tahapan. Yang pertama
adalah kemampuan individual untuk menguasai sumber daya berkurang,
karena pajak akan mengurangi pendapatan untuk pengeluaran pada pasar
barang dan jasa. Yang kedua adalah penerimaan pemerintah kemudian akan
digunakan untuk menawarkan sumber daya yang dibutuhkan dalam
penyediaan barang dan jasa pemerintah dan untuk menyediakan income
support payments bagi penerima transfer dari pemerintah seperti social
security pensiun.

Misalnya:
Jika seorang keluarga mempunyai pendapatan per tahunnya
30.000.000,- dan membayar 6.000.000,- dalam pajak sehingga harus
mengurangi konsumsi ataupun simpanan dalam satu tahun.
6.000.000,- seharusnya dapat digunakan untuk membeli perlengkapan
rumah tangga atau untuk membantu pembiayaan investasi pribadi.
Barang dan jasa private yang semestinya dapat dibeli dengan
6.000.000,- adalah merupakan Opportunity costs dari penyediaan
barang dan jasa pemerintah untuk keluarga tersebut.
Berdasarkan definisi pajak yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
tampaknya memberikan kesan bahwa pajak dipungut pemerintah semata-mata
sebagai sumber dana bagi pelaksanaan tugas-tugasnya. Tetapi pada
kenyatannya, pemungutan pajak mempunyai fungsi yang lebih luas,
yakni selain untuk mengisi kas negara, pajak juga dapat dipakai sebagai alat
untuk mengukur kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Fungsi Anggaran (Budgetair)


Disini, fungsi pajak diletakkan pada tujuan memperoleh dana, yakni pajak
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara sehubungan
dengan tugas-tugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kemakmuran.

Fungsi Mengatur (Regulator)


Sedangkan pada fungsi regulator, kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dengan
cara mengatur pola produksi dan konsumsi barang-barang ekonomi. Dengan
sistem perpajakan, pemerintah dapat mendorong investasi yang menghasilkan
barang- barang produksi tertentu atau sebaliknya. Mekanisme perpajakan juga
dapat diterapkan untuk mendorong atau mengurangi jumlah pendapatan yang
dikonsumsikan.

PRINSIP-PRINSIP PAJAK
Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai
penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik
tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk
mengoptimalkan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan
harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith
yang terkenal mengenai prinsip-prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat
hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)
Prinsip keadilan menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan
dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang
dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih
kecil dari golongan masyarakat yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pajak
diharapkan dapat menjadi alat distribusi pendapatan secara lebih fair dan akan
mengurangi kesenjangan pendapatan. Pembahasan selanjutnya akan
memaparkan bahwa apapun kebijakan yang diambil, prinsip keadilan yang
memuaskan semua pihak tidak akan pernah tercapai.

Prinsip kepastian dimaksudkan agar pada pelaksanaan pemungutan pajak


tidak terjadi distorsi berupa kesalahan yang disengaja (penyelewengan) atau
yang tidak disengaja sebagai akibat dari kekurangpahaman. Kebijakan
perpajakan harus dibuat sesederhana mungkin dan diformulasikan
menggunakan kata-kata yang meminimalkan adanya penafsiran ganda. Hal
ini juga perlu ditunjang dengan adanya kecukupan proses sosialisasi dengan
memasukkan unsur-unsur kemajemukan masyarakat.

Prinsip kenyamanan, menggarisbawahi pentingnya menciptakan


kondisi yang menyenangkan bagi wajib pajak agar dengan sukarela
memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan kata lain, sebisa mungkin
dihindarkan adanya unsur-unsur menekan atau kekerasan. Kenyamanan wajib
pajak dapat diberikan dengan bentuk pelayanan prima. Prosedur pembayaran
pajak harus dibuat semudah mungkin. Kepada mereka yang patuh harus
diberikan penghargaan yang setimpal.

Prinsip ekonomi menegaskan pentingnya perbandingan antara biaya dan


hasil yang efisien. Upaya-upaya penarikan pajak harus disertai dengan
kegiatan yang meminimalkan biaya pemungutan atau biaya-biaya lain yang
dapat mengurangi penerimaan bersih negara. Biaya pemungutan tidak dapat
dijadikan target utama penerimaan negara dari pajak. Wajib pajak
sedapat mungkin tidak dikenakan biaya-biaya lain di luar kewajiban pajak
murni. Sehingga, tujuan penggunaan pajak untuk pembiayaan pengeluaran
publik lebih mudah tercapai.

SIKLUS ARUS PAJAK


Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum
dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi.
Pajak atas
pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-pos
penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus perekonomian.
Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atas seluruh
pengeluaran. Untuk itu perlu diidentifikasi pos-pos penerimaan dan
pengeluaran dalam siklus perekonomian. Siklus penerimaan dan pengeluaran
dalam perekonomian pada umumnya adalah seperti gambar berikut:

Gambar 7.1

Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga (1). Pendapatan rumah
tangga adalah pendapatan golongan masyarakat yang diperoleh dari
penghasilan upah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasa
modal. Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang
menghasilkan produk dikategorikan sebagai perusahaan. Pendapatan rumah
tangga ini kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi
konsumsi rumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari
masyarakat dan sisanya menjadi tabungan rumah tangga (3). Jumlah
pendapatan rumah tangga yang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasar
barang konsumsi, sedangkan seluruh tabungan masyarakat
diasumsikan
mengalir menjadi bagian dari investasi (5) yang pada akhirnya mengalir
ke pasar barang modal.
Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah
penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan
jumlah investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar
barang modal (6). Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut
penerimaan kotor perusahaan (7).
Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan digunakan
sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan akan
disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan
perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah
keuntungan perusahaan (12).
Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal
(14) yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, dividen, dan sewa.
Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan
perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi
pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan
bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi
seluruhnya.

TARIF PAJAK
Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya keadilan
dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan sebagai adil
dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam pelaksanaannya. Salah
satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu
dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Jika dilihat dari
sudut pandang dasar penentuan tarif pajak, secara umum akan terbagi
atas tiga bentuk yaitu:
1. Tarif Pajak Proposional (Proportional/ flat tax rate)
2. Tarif Pajak Progresif (Progressive tax rate)
3. Tarif Pajak regresif (Regressive tax rate)

Proportional/ flat tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam
persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu.
Dengan kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang
wajib pajak, jumlah pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi,
jika pendapatan yang diterima oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka
secara
otomatis jumlah pajak yang terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel
di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak proporsional diterapkan.

Tabel 7.1: Pajak Proporsional


Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 200 10.0
3.000 300 10.0

Dalam praktek, pajak yang menggunakan tarif proporsional adalah Pajak


Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, Pajak Penghasilan (PPh) pasal
26 sebesar 20% dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)sebesar 0,5%

Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah
pendapatan yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan
tarif yang lebih besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar
seorang wajib pajak naik sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi
naik melebihi 100%. Tabel di bawah ini akan menggambarkan
bagaimana pajak progesif diterapkan.

Tabel 7.2: Pajak Progresif


Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 300 15.0
3.000 600 20.0

Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan
jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif
yang dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat
kenaikan
130 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 7: Dasar-dasar Perpajakan 130

pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari


100%. Tabel di bawah ini menggambarkan bagaimana tarif pajak regresif
diterapkan.
Tabel 7.3: Pajak Regresif
Pendapatan Pajak
Nominal %
1.000 100 10.0
2.000 180 9.0
3.000 240 8.0

ISTILAH-ISTILAH DALAM PERPAJAKAN


Pembahasan lebih lanjut mengenai perpajakan perlu dimulai dengan
mengenal lebih jauh tentang definisi istilah yang sering muncul dalam dunia
perpajakan. Beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian khusus
diantaranya adalah:
§ Pajak Perseorangan dan Pajak in Rem
§ Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung
§ Pembayaran Transfer

Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan di mana besarnya jumlah yang terhutang
disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan
yang dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi.
Untuk menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas
pendapatan (personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan
perseorangan harus digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika
konsumsi juga akan dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan
dalam bentuk pajak pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax).

Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau
objek yang dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak
yang melakukan transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan
aktivitas- aktivitas tertentu atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib
membayar pajaknya. Pajak in Rem dapat dikenakan atas rumah tangga atau
badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli yang dikenakan terhadap
perusahaan akan dapat
diperlakukan juga terhadap semua rumah tangga yang melakukan
transaksi. Hal yang sama juga berlaku ketika mengenakan pajak terhadap
harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai kekayaan dari perseorangan atau
perusahaan.

Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan


terhadap perusahaan ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala.
Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Ciri pajak
langsung dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, secara administratif,
pajak tersebut dikenakan secara periodik pada waktu waktu tertentu sesuai
dengan masa pajak berdasarkan surat ketetapan atau kohir (tindasan surat
ketetapan). Pada sistem self assessment tidak selalu menggunakan surat
ketetapan. Kedua, secara ekonomis beban pajak harus ditanggung sendiri
oleh wajib pajak yang bersangkutan. Contoh dari pajak langsung adalah
Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB).

Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib
pajak, hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala. Pajak tidak
langsung ini boleh dibebankan/dilimpahkan kepada pihak lain, dan dapat
beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Pergeseran beban
pajak dapat ke depan (forward shifting) maupun ke belakang (backward
shifting). Forward shifting merupakan pergeseran beban pajak searah dengan
arus barang yaitu dari produsen ke konsumen. Pergeseran itu sifatnya
menaikkan harga barang karena pembeli harus membayar harga barang
ditambah dengan pajak, misalnya adalah Penjualan Kena Pajak (BKP) dari
pabrikan kepada pembeli, dimana pembeli harus membayar harga barang
ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Backward shifting
merupakan pergeseran beban pajak yang berlawanan dengan arus barang
dimana pembeli menggeser beban pajak kepada penjual. Penggeseran beban
pajak itu sifatnya menurunkan harga barang atau jumlah penerimaan
yang diperoleh penjual. Misalnya, pabrikan (produsen) dapat menekan harga
dari supplier sebesar pajak pertambahan nilai yang harus dibayar. Pada
dasarnya yang menjadi tujuan dari pajak tidak langsung adalah
pihak ketiga (konsumen), sedangkan produsen hanya sebagai wajib
pungut. Pengenaan wajib pajak tidak langsung dilakukan dengan cara fiskus
berhadapan dengan wajib pungut dan bukan dengan wajib pajak. Hal
ini bertujuan agar pelaksanaan pemungutan menjadi lebih efisien dan
efektif karena dengan satu wajib pungut akan bisa menjaring banyak
wajib pajak. Ciri pajak tidak langsung dapat dilihat dari dua segi.
Pertama, secara administratif dipungut
secara insidentil, pada waktu-waktu tertentu berdasarkan adanya tatbestand
(peristiwa, keadaan, dan perbuatan) tanpa didahului dengan surat ketetapan
pajak. Kedua, secara ekonomis, beban pajak dapat dilimpahkan kepada pihak
lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPn.BM). Terdapat beberapa kebaikan dan kekurangan
dari pajak tidak langsung, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

Kebaikan Pajak Tidak Langsung:


§ Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan sebagai
sarana penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang
diperoleh melalui pajak tidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi.
§ Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat
tanpa memandang besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Tanpa
pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu,
diwajibkan melunasi pajak yang tertanggung.
§ Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanya penerapan pajak
tidak langsung relatif lebih murah dibanding pajak langsung. Dikarenakan
kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidak diperlukan banyak
perangkat yang bertujuan untuk mensosialisasikan aturan tersebut.
§ Teknik pemungutannya yang sederhana tidak memerlukan
kegiatan administrasi yang kompleks. Kesederhanaan aturan juga
memungkinkan dilakukannya penelusuran dan pengecekan jika terjadi
kesalahan dengan cepat tanpa perlu menggunakan formula audit yang
kompleks.
§ Fungsi regulator yang dimiliki pemerintah dalam hal
kebijakan perpajakan, dapat dengan mudah diterapkan. Dengan mudah
dipahami, pemerintah lebih mudah memperkirakan dampak dari setiap
kebijakan perpajakan yang dikeluarkan.

Kekurangan Pajak Tidak Langsung:


§ Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat
yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat berpenghasilan rendah.
Hal ini dikarenakan kedua golongan tersebut dibebani tarif pajak yang
sama untuk setiap transaksi atau kejadian tertentu.
§ Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran beban pajak
kepada golongan wajib pajak lainnya, penanggung akhir dari beban pajak
tidak langsung belum tentu sesuai dengan target awal. Hal ini tergantung
dari tingkat elastisitas kurva permintaan dan penawaran untuk barang-
barang terkena pajak tidak langsung. Sebagai contoh, apabila kurva
permintaan
suatu barang adalah elastis sempurna maka seluruh beban pajak tidak
langsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengan kata lain,
dalam kondisi seperti itu beban pajak tidak langsung tidak dapat dialihkan
kepada konsumen.

Dominasi Pajak Tak Langsung


Masih dominannya jenis pajak tak langsung dibandingkan dengan pajak langsung di lima
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak sekarang ini, mencerminkan masih tidak adanya
rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya wajib pajak. Hal ini terjadi karena masyarakat tetap
dijadikan obyek pajak oleh pemerintah untuk memperbesar target penerimaan pajak dalam
negeri.
"Sebetulnya ini tidak adil. Di saat krisis, beban yang ditanggung rakyat terus-menerus
diperbesar hanya untuk meningkatkan target penerimaan negara. Padahal, krisis yang terjadi
ini bukan karena kesalahan rakyat," ujar anggota Komisi IX DPR, di sela-sela rapat kerja
Komisi IX DPR dengan Menteri Keuangan berkaitan dengan pembahasan lima RUU Pajak di
Panitia Khusus (Pansus) Pajak.
Perbandingan antara pajak tak langsung dengan pajak langsung sekarang ini, antara 30:60.
"Dominannya pajak tak langsung ini setahu saya hanya terjadi di Indonesia, dimana rakyat
dibebankan kewajiban pajak tak langsung yang lebih besar daripada pajak langsungnya," ujar
anggota DPR.
Direktur Jenderal Pajak yang dimintai pendapatnya mengakui keadaan itu. Namun,
perbandingannya tidak sebesar itu. "Hanya beda sedikit,". Dirjen Pajak membantah kalau
dominasi pajak tak langsung ini hanya terjadi di Indonesia.
Pajak tak langsung merupakan pajak yang bisa dialihkan ke pihak lain. Misalnya, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang, Bea Masuk, Bea Balik Nama, dan
sebagainya. Sasaran pajak tak langsung ini sebenarnya konsumen, sedangkan pengusaha
kena pajak hanya bertindak sebagai pemungut pajak.
Namun adakalanya, pihak pengusaha tidak mau bertindak sebagai pemungut pajak, tetapi
karena diwajibkan, pengusaha menggantikan pajak tadi dengan menekan ongkos produksi
sehingga sama dengan jumlah pajak yang dipungut. Hal ini berarti, pengusaha menekan
keuntungan yang diperolehnya. Pengusaha seperti ini termasuk langka, karena lebih banyak
pajak dikenakan pada konsumen.
Sebaliknya, pajak langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri dan langsung oleh
wajib pajak. Misalnya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak
ini langsung terkait dengan penghasilan wajib pajak atau Nilai Jual Obyek Pajak.
(Diadaptasi dari: www.kompas.com, 7 Juli 2000)
Mengapa Pajak Tidak Langsung dianggap kurang memenuhi prinsip keadilan, terutama bagi
Wajib Pajak? Diskusikan!

Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar
negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak
langsung. Hal ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang
baik dan teliti untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-
negara maju,
peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak
langsung lebih banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara
tersebut.
Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannya kebijakan
perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkan pembayaran
transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pembayaran
transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggap sebagai arus pajak
dengan arah yang berlawanan. Misalnya adalah tunjangan sosial dan subsidi
pajak terhadap beberapa jenis usaha tertentu. Pada beberapa negara,
tunjangan sosial dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip keadilan
perpajakan. Sebagai contoh, program pensiun kepada semua pegawai akan
menguntungkan golongan pendapatan yang rendah karena mereka
memperoleh manfaat dari program ini melebihi jumlah kontribusi yang
dibayarkan melalui pajak penghasilan yang progresif. Hal tersebut disubsidi
silang oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas.

RANGKUMAN
§ Secara garis besar, sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi dua sumber yakni dari dalam negeri dan luar
negeri
§ Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan yang dikaitkan
dengan beberapa aktivitas
§ Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-prinsip
pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)
§ Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum
dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak
atas pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-
pos penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus
perekonomian. Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif
pajak atas seluruh pengeluaran.
§ Pada dasarnya, tujuan dari hukum pajak adalah membuat adanya
keadilan dalam hal pemungutan pajak. Keadilan di sini dapat diartikan
sebagai adil dalam prinsip (undang undang) maupun adil dalam
pelaksanaannya. Salah
satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penerapan tarif pajak, yaitu
dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak.
§ Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif
dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan
individu.
Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat
seiring dengan peningkatan pendapatan individu.
Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak.
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang
terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak.
Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan.
Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan
terhadap perusahaan ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala.
Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain
Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang harus dipikul oleh wajib
pajak hanya saja pajak tersebut tidak dipungut secara berkala

LATIHAN

1. Sebutkan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pajak!


2. Sebutkan dan jelaskan mengenai prinsip dasar pengenaan pajak!
3. Jelaskan bagaimana hubungan sistem perpajakan yang berlaku di
suatu negara dengan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut!
4. Apa tujuan pemerintah mendirikan perusahaan-perusahaan negara?
5. Apakah perbedaan antara pajak dengan retribusi?
6. Mengapa dalam negara-negara berkembang, penerimaan
cenderung lebih banyak didapat dari sektor pajak tidak langsung?
7. Apa yang disebut dengan pajak positif dan pajak negatif?
8. Jelaskan mengenai Pajak in Rem dan Pembayaran Transfer!
9. Sebutkan kelebihan dan kekurangan dari Pajak Tidak Langsung!
KEADILAN DAN DAMPAK PERPAJAKAN

Pada kenyataannya, sulit sekali didapat suatu formula kebijakan


perpajakan yang memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu
kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan
dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain.
Untuk itu perlu dibandingkan prinsip-prinsip yang menerangkan bagaimana
konsep keadilan dapat dibakukan. Lebih lanjut pembahasan keadilan
perpajakan dikaitkan dengan beberapa jenis pajak.

PRINSIP MANFAAT
Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil dimana setiap
wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai
kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit
principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan
oleh setiap
138 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 8: Keadilan dan Dampak 138
Perpajakan

wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah.
Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari struktur
pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang
perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran
maupun penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat
dilaksanakan, manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran
publik harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung
mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik
tetapi tidak terlalu mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan
redistributif. Agar sistem perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, harus
diasumsikan bahwa ketika sistem tersebut mulai diberlakukan sudah
terdapat distribusi yang tepat dalam perekonomian.
Praktek penerapan kebijakan fiskal berdasarkan prinsip manfaat lebih
banyak ditetapkan pada penyediaan jasa-jasa publik berdasarkan prinsip
manfaat yang khusus. Misalnya pembebanan bea (bea cukai dan bea masuk)
serta pajak pengganti pembebanan seperti pajak BBM dan pajak kendaraan
dalam rangka pembiayaan jalan raya. Dalam halnya pengenaan pajak melalui
pembebanan langsung terhadap pengguna, konsumsinya bersaing secara
bebas. Manfaat hanya dapat diperoleh apabila pemakai dapat membayar,
misalnya biaya penggunaan sarana transportasi dan penyediaan fasilitas
bandar udara. Dengan penetapan harga, penyediaan jasa-jasa publik oleh
pemerintah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti yang
dilakukan oleh swasta. Keuntungan penyediaan jasa publik model ini adalah
dapat meringankan beban keuangan pemerintah. Mekanisme pasar dapat
diterapkan untuk mendapatkan posisi tawar menawar yang efisien.

PRINSIP KEMAMPUAN MEMBAYAR


Yang kedua adalah prinsip kemampuan membayar (ability to pay
principle). Menurut prinsip ini, sistem pajak dipisahkan dari sisi
pengeluaran publik. Perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan
tertentu dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan
kemampuannya. Pendekatan ini menyebabkan sisi pengeluaran publik
menjadi tidak jelas. Agar prinsip kemampuan membayar dapat diterapkan,
harus diketahui terlebih dahulu bagaimana cara mengukur kemampuan
tersebut. Pendekatan kemampuan membayar ini lebih baik dalam hal
mengatasi masalah redistribusi akan tetapi mengabaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Ukuran kemampuan
membayar mencerminkan kesejahteraan secara menyeluruh yang dapat
diperoleh seseorang, termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola
konsumsi, dan kekayaan. Kemampuan membayar seseorang
tentunya akan meningkat jika pendapatan meningkat. Prinsip ini
1
dianggap lebih berkeadilan secara horizontal dan vertikal .
Hobbes berpendapat bahwa kewajiban membayar pajak harus dikaitkan
dengan pendapatan yang dibelanjakan bukan yang ditabung. Dalam arti,
pemborosan harus dikenakan pajak, sedangkan kebajikan harus diberi
penghargaan. Pendapat lain mengatakan bahwa tabungan adalah
konsumsi yang ditunda. Dan apabila tabungan masyarakat memperoleh
bunga, jumlah pajak yang dibayar ikut meningkat apabila seluruh tabungan
tersebut dikonsumsikan.
Adapun perbandingan dari metode pengenaan pajak terhadap
pendapatan dan konsumsi dari prinsip kemampuan membayar tercermin dari
tabel berikut.
Tabel 8.1: Perbandingan Pajak Penghasilan dan Pajak Konsumsi
Pajak Penghasilan Pajak Konsumsi
Periode I
Gaji 100 100 100 100
Pajak 10 10 10 0
Konsumsi 90 0 90 0
Tabungan 0 90 0 100
Periode II
Bunga 0 9 0 10
Pajak 0 0,9 0 11
Konsumsi 0 98,1 0 99
Tabungan 0 0 0 0
Total Pajak 10 10,9 10 11
Nilai Sekarang (PV) 10 10,82 10 10
Pajak = 10%; Inflasi/Bunga = 10%
Pengenaan pajak yang didasarkan atas diterimanya pendapatan (termasuk
pendapatan dari bunga tabungan) akan menyebabkan total pajak yang dibayar
oleh wajib pajak menjadi lebih besar dan akan berbanding lurus dengan
besarnya jumlah pendapatan yang ditabung. Ilustrasi pada pajak
penghasilan

1
Berkeadilan horizontal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang
sama harus membayar dengan jumlah yang sama. Berkeadilan vertikal adalah bahwa
orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar pajak dengan
jumlah yang lebih besar pula.
140 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 8: Keadilan dan Dampak 140
Perpajakan

menggambarkan bahwa apabila seluruh pendapatan setelah dikurangi pajak


dikonsumsi habis, maka tidak akan ada tambahan pendapatan pada periode II
(berikutnya) dari tabungan gaji periode I. Sedangkan tambahan pajak akan
dikenakan terhadap bagian gaji yang ditabung yang mendapat bunga.
Keadaan ini menyebabkan orang cenderung untuk mengurangi tabungan.
Ilustrasi pajak atas konsumsi tersebut di atas terlihat lebih adil. Hal
ini disebabkan karena pajak akan tetap dipungut tanpa melihat kapan
pendapatan akan dikonsumsi sehingga jumlah pajak yang harus dibayar oleh
wajib pajak mempunyai nilai sekarang yang sama. Atau dengan kata lain,
ditabung atau dikonsumsi, jumlah total pajak yang dibayar memiliki nilai
sekarang yang
2
sama
Apabila pajak atas konsumsi yang dipilih, dimungkinkan adanya
bagian pendapatan yang tidak pernah kena pajak. Bagian pendapatan itu
adalah pendapatan yang ditabung dan tidak pernah dikonsumsi, yang pada
akhirnya akan menjadi kekayaan individu. Apabila kekayaan individu dapat
diwariskan kepada individu lain tanpa dikenakan pajak, pendapatan
tersebut selamanya bisa tidak dikonsumsi dan tidak kena pajak. Sebaliknya
kekayaan individu bisa menambah pendapatan pemiliknya sebagai
pendapatan barang-barang modal. Atas dasar ini, kekayaan individu dan
warisan bisa dikenakan pajak.

KRITERIA UMUM KEADILAN PERPAJAKAN


Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan pajak
untuk memenuhi belanja publik yang harus didasarkan pada proporsi
kekayaan dan pendapatan masyarakat. Pada umumnya, negara menganut
prinsip ini dalam rangka memenuhi tuntutan keadilan dalam hukum
walaupun pada pelaksanaannya masih banyak menimbulkan perbedaan-
perbedaan. Secara konsep, keadilan perpajakan mengimplikasikan proses
redistribusi kekayaan masyarakat dimana orang kaya membayar lebih banyak
dari orang yang lebih miskin (dimensi vertikal). Dalam prakteknya, tidak
dipungkiri jika orang kaya juga ikut menikmati sebagian keuntungan dari
adanya belanja negara. Di samping melihat keadilan pajak dari sudut
pandang dimensi vertikal, perlu juga diperhatikan keadilan pajak dari
sudut pandang dimensi horizontal dimana pengenaan pajak terhadap
seseorang harus lebih rendah dari
3
kemampuannya membayar dan prinsip keadilan pajak secara geografis

2
Kondisi ini diasumsikan nilai bunga sama dengan inflasi.
3
Sebagai ilustrasi, pajak terhadap seorang petani harus lebih rendah dari hasil pertanian
yang dimilikinya.
dimana orang-orang yang tinggal pada daerah tertentu akan dikenakan
pajak yang lebih tinggi.
Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi penerimaan dan
pengeluaran. Beberapa penulis berpendapat bahwa pajak akan dikatakan adil
jika kenaikan pajak akan dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan
dan transportasi umum yang murah, dan pajak dikatakan tidak adil jika
sumber pendapatan tertentu dikenakan pajak tinggi sementara sumber
tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional.
Struktur pajak yang progresif cenderung akan lebih mudah dicapai
pada struktur perekonomian yang mapan. Dalam konsep ini, masyarakat
golongan ekonomi rendah akan dikenakan pajak yang ringan dan bahkan
dapat dibebaskan dari kewajiban pajak seluruhnya. Beberapa hambatan
yang mungkin terjadi dalam menentukan suatu kebijakan perpajakan
adalah keadaan ekonomi dan politik suatu negara, terbatasnya volume
pendapatan masyarakat yang dapat dikenakan pajak, ketakutan akan efek
negatif pajak terhadap produksi dan investasi nasional, serta pengaruh
kekuatan orang-orang kaya terhadap kebijakan politik nasional. Tidak jarang
para pelaku ekonomi yang kuat menyuarakan keluhan-keluhannya terhadap
kebijakan pajak baru yang dapat menggangu kegiatan bisnisnya.
Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh cakupan faktor-
faktor siapa yang membayar, apa jenis pendapatannya serta bagaimana tarif
pajaknya. Di samping itu, hal ini tentunya juga akan dipengaruhi oleh metode
assesment dan akurasi penghitungan pajak terhutang. Ketidakakuratan dalam
penghitungan pajak terhutang akan mengakibatkan ketidakadilan karena akan
menimbulkan adanya pajak yang lebih bayar atau kurang bayar. Sulitnya
menerapkan metode assesment yang baik juga muncul dalam hal menentukan
subjek pajak yang dikecualikan. Kebijakan perpajakan dianggap adil jika
faktor-faktor seperti lanjut usia, dibawah umur, kemiskinan, dan cacat
dikecualikan dari subjek kena pajak. Di samping itu, tentunya keadilan
pajak
4
juga harus memperhitungkan besarnya jumlah tanggungan dalam keluarga .

PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan biasanya dihitung atas jumlah penghasilan selama satu
tahun. Penghasilan tersebut merupakan daya beli individu atas barang dan
jasa selama satu tahun yang dapat dikonsumsikan atau disimpan untuk
keperluan di masa mendatang.

4
Pada negara-negara yang relatif maju dalam perekonomian cenderung dapat
mempercayai dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas pengecualian pajak.
Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak individu dan
pajak badan. Sebagai pajak individu, pajak penghasilan akan dikenakan
kepada setiap orang yang memiliki penghasilan tanpa melihat umur atau
jumlah yang diterimanya. Sebagai pajak badan, pajak akan dikenakan
atas keuntungan badan usaha yang diterima oleh para pemegang saham
sesuai dengan proporsi nilai saham yang dimilikinya.
Pendapatan masyarakat dapat diukur berdasarkan sumber perolehannya
ataupun penggunaannya. Berdasarkan sumber perolehannya,
pendapatan adalah seluruh penerimaan selama periode pajak yang berupa
keuntungan jasa, tunjangan dari pemerintah atau swasta, dan kenaikan
nilai kekayaan. Sedangkan berdasarkan penggunaannya pendapatan
masyarakat dapat berupa pembelian barang dan jasa, beban pajak,
sumbangan, dan tabungan. Pendapatan masyarakat tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
I = C + ΔNW
Dimana:
I = Pendapatan tahunan (annual income)
C = Konsumsi tahunan (annual consumption)
ΔNW = Perubahan kekayaan bersih setahun (annual change in net worth)

Metode untuk mengukur pendapatan baik berdasarkan sumber


perolehannya ataupun penggunaannya harus ditentukan sebelum pajak
penghasilan dijalankan. Kebanyakan sistem akuntansi menggunakan sisi
sumber sebagai alat ukurnya. Beberapa ahli menyarankan untuk memasukkan
unsur tambahan yakni peningkatan kekayaan sebagai bagian dari pendapatan
kena pajak. Dengan demikian, tentunya perlu dilakukan penghitungan berapa
pendapatan yang sesungguhnya setelah dimasukkan unsur inflasi sebagai
penyeimbang. Pengukuran akan relatif menjadi lebih mudah jika kekayaan
yang dimiliki berupa saham dan obligasi.
Jika dilihat dari sisi pengeluaran, akan terdapat item-item pengeluaran yang
erat kaitannya dengan kegiatan memperoleh pendapatan seperti
pembelian peralatan kerja, pakaian kerja, iuran serikat pekerja, biaya
penitipan anak, dan transportasi dari/menuju tempat kerja. Pengeluaran-
pengeluaran tersebut tentunya diperlukan dalam rangka mendapatkan
penghasilan dan tidak
menambah kekayaan wajib pajak sehingga layak untuk dikeluarkan dari
5
jumlah pendapatan kena pajak .
Pada beberapa kasus, wajib pajak dimungkinkan untuk menerima
pendapatan selain uang tunai. Dengan demikian, kesulitan akan muncul pada
saat menghitung berapa nilai tambah kekayaan yang timbul sebagai akibat
6
dari adanya transaksi non moneter ini (income in kind) . Contoh lain adalah
fringe
benefit, dimana seorang wajib pajak misalnya menerima pinjaman kendaraan
yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau tunjangan makan yang
diberikan tidak dalam bentuk uang. Semua itu dapat dikategorikan sebagai
pendapatan yang tidak tercermin dalam gaji yang tertera (nonpecuniary
returns).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa konsep keadilan dalam perpajakan
masih dapat diperdebatkan. Akan tetapi, perbedaan pendapat dalam hal
kebijakan yang berkeadilan lebih kompleks lagi pada pajak penghasilan. Baik
prinsip keadilan secara horizontal maupun secara vertikal, perumusan
rancangan kebijakan fiskal lebih memerlukan perhatian khusus.
Secara horizontal, dikatakan bahwa pengenaan pajak harus sesuai dengan
kesetaraan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Yang menjadi
pertanyaan, apakah kesetaraan kemampuan ekonomi bisa dijewantahkan
sebagai kesamaan tingkat pendapatan, atau kesetaraan ini hanya diukur dari
jumlah pendapatan yang diterima saja dengan sama sekali mengabaikan
potensi perbedaan
7
pengeluaran dari masing-masing rumah tangga . Sedangkan secara
vertikal,
masih terdapat beberapa pendapat yang kurang setuju jika keadilan
secara vertikal dilambangkan dengan tarif pajak progresif. Adapun alasan
yang mendasari ketidaksetujuan mereka dapat dilihat dari dua kebijakan yang
biasa berkaitan dengan pajak progresif. Pertama adalah kebijakan pendapatan
tidak kena pajak. Kompensasi dari adanya kebijakan ini adalah
rumitnya pelaksanaan peraturan dalam praktek. Pada akhirnya, kerumitan
cenderung

5
Biaya pelatihan juga masih dalam perdebatan apakah dapat dikategorikan
sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena pajak.
6
Pendapatan jenis ini sering terjadi pada usaha-usaha kecil yang memproduksi barang
atau jasa. Pada kenyataannya akan terjadi seorang wajib pajak memperoleh suatu
produk atau menerima jasa yang dihasilkan sendiri sehingga tanpa harus mengeluarkan
sejumlah uang. Kegiatan ini tentunya akan menambah kekayaan bersih wajib pajak, akan
tapi, hal hal yang seperti ini biasanya luput dari pengenaan pajak.
7
Hal-hal seperti jumlah anggota keluarga, biaya kesehatan, biaya pendidikan yang bervariasi
tentunya akan sangat mempengaruhi pola pengeluaran rumah tangga. Supaya lebih adil,
seharusnya hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga juga ikut diperhitungkan.
mendorong keengganan dan penyelewengan wajib pajak. Kedua adalah
kebijakan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk setiap tambahan
pendapatan. Wajib pajak cenderung mempermainkan tempo pengakuan suatu
pendapatan untuk menghindari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.

PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK PENJUALAN


Dalam pajak penjualan, prinsip umum yang ingin dicapai adalah
bahwa jumlah pendapatan masyarakat yang ditabung seharusnya tidak
perlu dikenakan pajak. Hal ini dipercaya akan dapat mendorong masyarakat
untuk lebih meningkatkan tabungannya di samping kegiatan administrasi
perpajakannya yang cenderung akan menjadi lebih mudah.
Basis yang menyeluruh terhadap kajian pajak penjualan dapat
diturunkan dari basis pajak penghasilan. Jika dalam pajak penghasilan
seluruh konsumsi dan tambahan kekayaan wajib pajak akan dikenakan pajak,
pada pajak penjualan tambahan kekayaan tersebut (yang biasanya dari
tabungan) dikeluarkan dari basis pajak. Sebagaimana telah dijelaskan oleh
ilustrasi pada awal bab, terdapat semacam penundaan pajak penghasilan
sampai terjadi konsumsi atas bagian dari penghasilan tersebut. Untuk
menghindari akumulasi pendapatan yang tidak kena pajak sebagai akibat
wajib pajak meninggal dunia, warisan akan dikenai pajak seketika pada saat
setelah wajib pajak diumumkan meninggal dunia.
Pajak penjualan sama sekali tidak dipengaruhi inflasi. Hal ini disebabkan
karena hanya porsi penghasilan yang dibelanjakanlah yang akan dikenai
pajak. Bebeda dengan apa yang diterapkan pada pajak penghasilan,
capital gain harus memperhitungkan tingkat inflasi sebelum menentukan
jumlah kena pajak. Pada pajak penjualan, selisih lebih kekayaan wajib pajak
secara moneter sebagai akibat dari adanya inflasi tidak akan membuat
kemampuan membayarnya meningkat karena wajib pajak tersebut harus
membelanjakan penghasilannya dengan harga yang telah terinflasi.
Perbedaan yang menarik antara pajak penjualan dengan pajak penghasilan
adalah pada dana yang tersedia berupa ‘pinjaman’. Dalam pajak penjualan,
pinjaman yang dikonsumsikan akan tetap dikenai pajak. Sedangkan pada
pajak penghasilan, pinjaman tidak dikenakan pajak. Justru bunga yang
timbul sebagai akibat dari adanya pinjaman tersebut akan dapat mengurangi
dasar penghasilan yang dikenai pajak.
Pengenaan pajak penjualan akan lebih dirasakan dampaknya oleh golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan, golongan
masyarakat ini cenderung untuk mengkonsumsi seluruh pendapatan
yang
dimilikinya. Sedangkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi
memiliki kesempatan untuk menabung sebagian pendapatannya. Makin besar
pendapatan golongan masyarakat, makin tinggi pula persentase pendapatan
yang ditabung.
Untuk menghindari hal tersebut, beberapa langkah, dapat ditempuh
oleh pemerintah seperti (Ulbrich, 2003):
1. Memperbanyak item aktivitas penjualan kena pajak yang hanya
mungkin dilakukan oleh golongan masyarakat
berpenghasilan tinggi.
2. Mengurangi atau mengeliminasi pengenaan pajak yang
lebih banyak dikonsumsi oleh golongan masyarakat
berpenghasilan rendah.
3. Mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk beberapa jenis
produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi.
4. Mengembalikan jumlah pajak penjualan yang dibayar kepada
masyarakat dengan standar penghasilan tertentu.

PRINSIP KEADILAN DAN PAJAK KEKAYAAN


Kekayaan adalah akumulasi dari tabungan dan investasi suatu negara.
Seorang wajib pajak dapat memiliki kekayaan melalui kegiatan menabung,
memperoleh hibah atau mewarisi kekayaan keluarganya. Seorang wajib pajak
yang tidak mampu menabung, tidak memperoleh hibah/hadiah atau warisan
tidak akan pernah disebut kaya.
Banyak pendapat yang setuju jika pajak kekayaan diterapkan. Hal ini
dikarenakan banyak wajib pajak yang berpenghasilan rendah namun pada
kenyataannya mereka memiliki sejumlah kekayaan dan mereka
memungut sewa atas pemanfaatan kekayaan tersebut oleh orang lain. Jika hal
ini terjadi, akan menjadi sangat sulit untuk mengukur berapa jumlah
tambahan pendapatan dari kegiatan sewa tersebut.
Mengadministrasikan pajak kekayaan cenderung lebih sulit, terutama
dalam hal kekayaan yang jarang diperjualbelikan. Estimasi nilainya sering
meleset dari nilai yang sesungguhnya. Dalam hal kekayaan yang dimiliki
dengan cara hutang, nilai bersih kekayaan harus dikurangi dulu dengan
jumlah total hutang supaya tidak terjadi penghitungan ganda. Pengukuran
nilai kekayaan akan semakin menjadi lebih sulit jika kekayaan tersebut
berupa kekayaan yang tak berwujud (intangible asset). Secara umum pada
pajak kekayaan, seorang penilai independen akan ditunjuk untuk
mengestimasikan nilai kekayaan
tersebut. Jika hasilnya dirasa memadai, pengenaan tarif akan didasarkan atas
estimasi nilai yang dihasilkan. Cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur
nilai sebuah kekayaan adalah dengan menghitung nilai sekarang (present
value) dari potensi pendapatan sewa selama masa manfaat kekayaan tersebut.
Tentu saja hal ini harus memperhitungkan tren kenaikan harga sewa sehingga
dapat mencerminkan nilai pasar sesungguhnya.
8
Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa target pengenaan pajak kekayaan
adalah pemiliknya. Aplikasi pengenaan pajak terhadap kekayaan tersebut
akan menjadi lebih mudah diterapkan jika pemilik dan pengguna kekayaan
tersebut adalah orang yang sama. Problem distribusi pajak yang muncul akan
menjadi lebih kompleks diprediksi keadilannya apabila kekayaan tersebut
disewakan kepada pihak ketiga. Dalam dunia usaha, penanggung akhir dari
adanya pengenaan pajak kekayaan makin sulit ditentukan karena melibatkan
pemilik usaha, para pegawai, konsumen, dan pemilik kekayaan.
Pajak kekayaan cenderung bersifat regresif, yang artinya bahwa pajak
kekayaan lebih menguntungkan golongan masyarakat yang berpenghasilan
tinggi karena nilai uang yang dikeluarkannya sebagai pajak akan jauh lebih
rendah dibandingkan dengan nilai uang untuk pajak kekayaan yang
dikeluarkan oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Efficiency Effect
Sistem perpajakan yang baik adalah sistem perpajakan yang memberikan
pengaruh terbaik terhadap perekonomian negara. Sistem tersebut tidak boleh
terlalu membebani perekonomian. Jika tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan tingkat produksi, kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh
dengan mengenakan pajak tidak langsung. Sebaliknya jika tujuan yang ingin
dicapai adalah pemerataan penghasilan, pajak langsung yang progresif lebih
tepat untuk diterapkan.
Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat di atas
jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Hal ini mengakibatkan adanya
keuntungan yang hilang sebagai akibat dari terdistorsinya keseimbangan
harga pada kurva permintaan dan penawaran. Excess burden disebabkan
adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar oleh pembeli
dibandingkan dengan jumlah yang diterima oleh penjual. Dengan kata lain,
penurunan pendapatan penjual tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas
yang tersedia untuk dibeli. Berkaitan dengan penerimaan negara, terkadang
total excess burden tidak sama dengan total penerimaan negara. Untuk
mengukurnya

8
Kekayan yang dimaksud disini adalah berupa kekayaan atas benda-benda seperti
rumah. Mobil dan kekayaan lainnya.
digunakan efficiency-loss ratio yakni Excess Burden dibagi Tax Revenue
yang dapat diformulasikan dengan persamaan sebagai berikut:

efficiency-loss ratio = W/ R
dimana:
W = Excess Burden
R = Tax Revenue

Estimasi efficiency-loss ratio penting dilakukan untuk meminimalkan total


excess burden pada sistem perpajakan nasional. Dengan mengurangi
pengenaan pajak yang menimbulkan excess burden lebih besar dalam jumlah
nominal yang sama, tarif pajak dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah
total penerimaan negara.
Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku-pelaku ekonomi mana
yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Hal ini dimungkinkan karena
pelaku ekonomi yang secara hukum berkewajiban membayar pajak kepada
pemerintah belum tentu menggunakan dana pribadi atau dengan kata
lain dapat membebankan pajaknya kepada pelaku ekonomi yang lain.
Berkenaan dengan dimungkinkannya memindahkan beban pajak kepada
pelaku ekonomi lain secara keseluruhan atau sebagian (tax shifting) maka
pembahasan tax incidence dapat dibagi dalam dua konsep yakni statutory
incidence dan economic incidence. Statutory Incidence merujuk pada pelaku-
pelaku ekonomi yang secara hukum terlibat dalam pendistribusian
pembebanan pajak. Sedangkan Economic Incidence lebih mengarah pada
pengaruh pendistribusian pembebanan pajak pada tingkat ekulibrium harga
atau tingkat perekonomian secara umum.
Economic Incidence lebih sulit dianalisa dibanding Statutory Incidence.
Untuk menentukan manakala beban pajak dipindahkan, perlu diformulakan
sebuah teori ekonomi tentang perubahan harga yang dipengaruhi pajak.
Analisa tersebut kadang juga memerlukan pembahasan parameter yang
tersembunyi, misalnya elastisitas harga produk tertentu. Kajian-kajian
yang dilakukan mengenai tax incidence tergantung dari tersedianya sumber
daya dan antisipasi pemindahan beban.
Ketika mengidentifikasi distribusi beban pajak, perlu dispesifikasikan
alternatif atas kebijakan pajak tersebut. Misalnya, ketika menganalisa
penanggung beban pajak perseroan, maka akan timbul pertanyaan tentang
kebijakan pajak apa yang yang dapat dibandingkan dengan pajak perseroan
tersebut. Absolute Tax Incidence menggambarkan suatu kebijakan
distribusi
beban pajak yang tidak memiliki pembanding. Sebaliknya Differential
Tax Incidence menyoroti keadaan pendistribusian beban pajak yang memiliki
beberapa alternatif lain yang berfungsi sama dengan kebijakan
pajak dimaksud.

DAMPAK PAJAK
Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan
Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri
dari pendapatan nasional (Y), jumlah konsumsi (C) dan tabungan (S).
Hubungan dari ketiga unsur tersebut adalah pendapatan nasional sama
dengan jumlah konsumsi ditambah jumlah tabungan (Y = C + S). Apabila
seluruh tabungan (S) digunakan sebagai investasi (S = I), maka tidak akan
pernah terjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah
jumlah tabungan (S) lebih besar dari jumlah investasi (I) atau dengan kata
lain, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan
terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran.
Yang sering terjadi justru jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah
investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan
harga (inflasi).
Gambar 8.1 : Hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional,
dengan tingkat Konsumsi dan tingkat Investasi
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara tingkat pendapatan nasional
(Y), dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat investasi (I). Pada tingkat
pendapatan nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan
seimbang, tidak ada inflasi ataupun deflasi. Pada tingkat pendapatan
0Y1 (S<I) terdapat inflationary gap. Harga-harga cenderung terus naik
sampai tidak ada lagi perbedaan antara tabungan dan investasi. Pada
kondisi ini, instrumen pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat
inflasi, menggeser kurva C+I ke bawah dengan menerapkan pajak atas
konsumsi. Sebaliknya pada tingkat pendapatan 0Y2 (S>I) terdapat
deflationary gap dimana harga- harga cenderung terus turun sampai tidak ada
lagi perbedaan antara tabungan dan investasi. Pada kondisi ini, instrumen
pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat deflasi, menggeser kurva
C+I ke atas dengan menerapkan pajak atas tabungan.

Terhadap Komposisi Produksi


Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk
melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan
dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah
tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil
oleh para pelaku ekonomi.
Dengan kata lain, pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-
faktor produksi. Pergeseran yang dimaksud adalah mengubah pola produksi
sehingga menghasilkan barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya
akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Sebagai
contoh, perusahaan dapat saja mengurangi produksi barang-barang yang
merupakan objek pajak dan meningkatkan produksi barang-barang lain yang
masih belum merupakan kategori barang kena pajak. Perusahaan lain dapat
saja berpindah lokasi industri dari suatu tempat yang mengenakan pajak
yang tinggi ke tempat yang memberikan insentif pajak.
Seberapa jauh pengaruh pajak terhadap penggunaan faktor-faktor produksi
dipengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang-barang yang
dihasilkan. Barang-barang yang tingkat permintaannya inelastis sempurna
tidak akan terpengaruh dengan adanya pengenaan pajak. Konsumen akan
membayar seluruh beban pajak yang ditambahkan pada harga barang.
Sebaliknya, jika elastisitas permintaan barang adalah sempurna,
perusahaan tidak dapat
150 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 8: Keadilan dan Dampak 150
Perpajakan

mengalihkan beban pajaknya pada harga barang. Sehingga disarankan untuk


barang-barang yang memiliki elastisitas tinggi, dikenakan pajak yang ringan.

Terhadap Usaha Kerja


Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah
pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara
teoritis, pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja
atau tidak bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan
pajak penghasilan. Jika pilihan kedua yang dilakukan maka akan dapat
dikatakan bahwa pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan
usaha kerja. Dengan demikian, pajak akan dapat menyebabkan orang
menjadi kurang giat bekerja. Orang lebih memilih untuk mempunyai lebih
banyak waktu santai. Pada kenyataannya, pengaruh pajak terhadap kemauan
kerja individu memiliki sifat yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang,
pajak tidak menimbulkan disinsentif untuk bekerja. Tidak setiap kenaikan
pajak akan memberi dampak negatif pada tabungan masyarakat ataupun
investasi.
Reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukan
oleh elastisitas penawaran usaha. Bagi golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, biasanya permintaannya terhadap penghasilan adalah
tinggi. Sehingga elastisitas penawaran usahanya adalah tinggi, turunnya
pendapatan justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar.
Sedangkan bagi mereka yang kurang peduli dengan gaya hidup mewah,
permintaannya terhadap penghasilan rendah sehingga elastisitas penawaran
usaha dalam hubungannya dengan penghasilan adalah rendah juga.

PERBEDAAN PAJAK ................................


Polandia, Slowakia, Ceko, dan Hongaria, anggota baru Uni Eropa-sebuah pasar tunggal diuntungkan
oleh berbagai kombinasi. Hal itu antara lain upah buruh yang relatif murah, pajak yang relatif
rendah, dan meningkatnya kepercayaan investor. Kombinasi itu membuat ekonomi negara-negara
tersebut tumbuh lebih cepat. Bahkan pertumbuhannya dua kali lebih tinggi dari tetangga mereka yang
kaya di UE sepanjang 2004 lalu.
Data terbaru dari Eurostat-kantor statistik Uni Eropa (UE)-memperlihatkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi 4,4 persen pada sembilan bulan pertama 2004 untuk empat negara itu, yang bergabung
dengan UE pada Mei 2004. Slowakia mengungguli kawasan dengan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen
diikuti Polandia 4,8 persen, Hongaria 3,7 persen, dan Ceko 3,6 persen. Hongaria dan Ceko lebih
tergantung pada ekspor ke UE seperti Jerman. Rata-rata pertumbuhan untuk empat negara itu dua kali
lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi di UE. Sementara itu, anggota lama UE, seperti Jerman
dan Perancis, mencatatkan pertumbuhan ekonomi masing-masing 1,3 persen dan 1,9 persen pada
periode yang sama.
Ekspor meningkat pesat seiring dengan hilangnya birokrasi di kepabeanan dan turisme melonjak karena
maspakai penerbangan murah (budget airlines) mulai menjangkau negara yang sebelumnya tidak
terjamah. Investasi asing berdatangan seiring dengan keyakinan mereka akan keadaan yang jauh lebih
baik di negara-negara itu.
Sebuah studi yang dilakukan oleh kantor akuntan publik, Ernst & Young, memperlihatkan bahwa arus
investasi asing di Eropa naik 27 persen selama enam bulan pertama 2004. Ada sebanyak 1.432 proyek
baru pada tahun 2004 dibandingkan dengan hanya 1.126 proyek baru pada paruh pertama tahun 2003
lalu. Investor UE juga mengutamakan anggota baru UE itu sebagai sasaran investasi. Hongaria
memenangkan proyek lebih banyak ketimbang Jerman. Republik Ceko dan Polandia jauh lebih baik
dalam pemasukan investasi baru ketimbang Spanyol. Slowakia menenggelamkan Austria sebagai
tujuan investasi baru.
Iklim perpajakan yang merangsang di Eropa Tengah telah membuat Zona Euro merasa gugup,
khususnya Jerman dan Perancis-dua perekonomian terbesar di Uni Eropa. Zona Euro adalah julukan
bagi sebelas negara di Uni Eropa yang menggunakan mata uang euro. Keputusan-keputusan oleh
sejumlah perusahaan untuk merelokasi dan melakukan outsourcing produksi ke Eropa Tengah telah
melahirkan perdebatan panas di Uni Eropa. Outsourcing adalah tindakan melakukan produksi ke pihak
lain karena bisa dilakukan dengan lebih murah…………………….

Terhadap Distribusi Pendapatan


Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan
pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi
pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran
internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin
tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok
kaya inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk
investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya
kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan
nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah
tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi
yang diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih
tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit
didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara
sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut
berpengaruh pada tingkat inflasi nasional.
Berdasarkan kenyataan tersebut, kebijakan perpajakan di Indonesia lebih
banyak diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat.
Hal ini dilakukan dengan menerapkan tarif pajak progresif dan minimum
pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Kelemahan dari tarif pajak
progresif
adalah menekan pada kelompok-kelompok kaya pemilik modal
sehingga mereka malas bekerja, menabung, dan melakukan investasi.

PERBEDAAN PAJAK (Lanjutan................................)


Perdebatan itu muncul karena relokasi produksi ke Eropa Tengah itu telah membuat terjadinya
kehilangan pekerjaan Eropa Barat dan juga di Asia serta Afrika. Alasan utama relokasi adalah upah
buruh murah di Eropa Tengah. Soal upah buruh, rata-rata gaji di Jerman adalah enam kali lebih tinggi
dari rata-rata gaji di Eropa Tengah. Alasan kedua adalah sistem perpajakan yang lebih
menguntungkan perusahaan. Pajak perusahaan di Jerman dan Perancis masing-masing 38,3 persen
dan 34,3 persen. Tingkat perpajakan yang tinggi itu memberikan dampak buruk pada investor
potensial dan mendorong keluar investor yang ada sekalipun dari Jerman dan Perancis.
Dengan tingkat pajak yang 16 persen, Hongaria merupakan negara dengan tingkat perpajakan
terendah di antara empat negara Eropa Tengah, yang diikuti Polandia 19 persen. Slowakia
mengenakan pajak flat (sama rata) sebesar 19 persen-untuk korporasi, pendapatan perorangan, dan
pajak pertambahan nilai. Sistem perpajakan di Slowakia itu benar-benar menjadi alat yang sangat
efektif untuk merangsang masuk investor asing, yang sekaligus membuat Slowakia menjadi hub bagi
manufaktur otomotif. Sementara itu, tingkat pajak di Republik Ceko adalah 28 persen, tetapi masih
lebih rendah dari Jerman dan Perancis.
Dalam dua tahun terakhir, PSA Peugeot Citroen (Perancis) dan Kia Motors Corporation (Korea
Selatan) telah mulai membangun pabrik-pabrik di Slowakia untuk memproduksi 500.000 mobil per
tahun yang akan terlaksana pada 2006. Ford Motor Co (perusahaan otomotif AS) dan Getrag Group
(Jerman), Desember 2004 lalu mengumumkan rencana untuk membangun pabrik transmisi (mesin)
senilai 399 juta dollar AS di Slowakia timur.
Aliran masuk investasi asing ke Eropa Tengah didorong oleh keanggotaan di UE dan sumber daya
manusia yang lebih berkualitas, dan faktor itu akan terus berperan sebagai pendukung utama arus
masuk FDI (Foreign Direct Investment) dalam jangka menengah. Masa depan juga cukup prospektif
bagi negara-negara tersebut, karena investor asing masih terus berminat melakukan ekspansi ke
wilayah itu pada 2005.
Paris dan Berlin telah secara terang-terangan mengkritik sistem perpajakan di Eropa Tengah. Hal itu
menimbulkan tekanan pada anggota-anggota baru UE untuk meningkatkan perpajakan mereka, atau
terancam kehilangan subsidi dari UE. Namun Eropa Tengah tampaknya tidak terintimidasi oleh
tekanan dari rekan mereka di UE dan bahkan merencanakan melakukan penurunan perpajakan.
(Diadaptasi dari: www.kompas.com 21 Februari 2005)
Setujukah Saudara dengan kebijakan yang diterapkan negara-negara Eropa Tengah? Diskusikan!

KRITERIA TARIF PAJAK


Pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila lebih banyak masyarakat yang
bekerja, menabung sebagian pendapatannya serta menginvestasikan nilai
tabungannya. Hal-hal tersebut menurut Daniel J Mitchell (2003) adalah
perilaku-perilaku yang dapat meningkatkan kekayaan nasional.
Masyarakat tidak begitu saja bekerja secara produktif dengan diterapkannya
anggaran pendapatan dan belanja berimbang. Mereka juga tidak
begitu saja
meningkatkan tabungan dan investasi apabila dikenakan tarif pajak
rendah atau subsidi perpajakan lainnya. Untuk meningkatkan pendapatan
nasional sesuai dengan karakteristik masyarakat di suatu negara, para
pengambil keputusan bidang pajak harus mengkonsentrasikan pada hal-hal
yang berakibat positif terhadap prilaku bekerja, menabung, dan berinvestasi.
Mitchell (2003) memaparkan sembilan petunjuk kebijakan perpajakan
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
§ Penurunan tarif pajak tidak perlu diterapkan seragam untuk seluruh
wajib pajak. Beberapa opsi tarif pajak yang dipungut akan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi karena tarif pajak yang rendah dapat
membuat masyarakat yang produktif menjadi semakin giat bekerja.
Sedangkan bagi sebagian masyarakat lainnya yang cenderung kurang
peduli dengan pungutan pajak, penurunan tarif pajak tidak akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
§ Fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pada penurunan tarif.
Beberapa kebijakan insentif pajak atau subsidi dapat berakibat hanya
mengurangi jumlah penerimaan negara tanpa menghasilkan peningkatan
kegiatan ekonomi secara signifikan. Beberapa negara telah
membuktikan bahwa deregulasi perpajakan yang kecil pengaruhnya
terhadap turunnya penerimaan negara justru dapat meningkatkan
gairah investasi dunia usaha.

Tarif Tunggal........................
"Dana Moneter Internasional (IMF) mendukung rencana pemerintah untuk menerapkan tarif tunggal
pajak penghasilan (PPh) badan. Sebab, hal itu dianggap akan menyerderhanakan cara
perhitungan pajak dan memberikan kepastian bagi pengusaha dibanding dengan tarif PPh berlapis
yang selama ini diberlakukan. IMF yakin, pemberlakukan tarif tunggal PPh ini akan mendongkrak
sumber pendapatan baru negara."
"Penerapan tarif tunggal PPh itu telah banyak diberlakukan negara-negara di dunia. Hasilnya cukup
mengembirakan. Namun, Indonesia tidak boleh meniru begitu saja dan perlu ada penyesuaian,"
ujar Kepala Perwakilan IMF untuk Indonesia akhir pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengusulkan, pemberlakukan tarif
tunggal PPh sebesar 30% untuk badan (perusahaan) besar dan nantinya diturunkan secara
bertahap menjadi 25%. Masalah ini sudah diakomodasi dalam draf RUU Pajak, yang diharapkan
masuk ke DPR Juni 2005. Kini RUU Pajak itu sudah diserahkan kepada Presiden.
Kepala Perwakilan IMF mengatakan, rencana pemberlakukan tarif tunggal PPh itu cukup baik
asalkan diikuti implementasi di lapangan oleh aparat pajak dan wajib pajak (WP). Sebab, selama ini
banyak WP di Indonesia, khususnya badan, mengeluh rumitnya perhitungan pajak, sehingga
tingkat kepatuhan dan ketaatan membayar pajak menjadi rendah dibanding dengan potensi WP
yang ada.
Dia menilai, jika tarif tunggal pajak itu dapat diturunkan ke 25% pada tahun pertama, kemungkinan
besar jumlah WP badan yang membayar pajak akan meningkat. Sebab, bagi sebagian besar WP
perusahaan besar, tarif 30% itu masih terlalu besar. "Tapi sebagai tahap awal, hal itu sudah cukup
bagus sehingga perusahaan dapat mengetahui persis berapa pajak yang harus dibayarkan setiap
tahun," katanya.
Selanjutnya dia mengatakan, selain penyederhanaan tarif tunggal PPh, Ditjen Pajak harus
menyederhanakan cara pengisian dan pelaporan pajak lewat self-assessment (menghitung sendiri
pajak). Karena tidak ada gunanya tarif disempurnakan, tapi cara perhitungan dan pengisian masih
berbelit-belit, sehingga WP enggan melaporkan harta dan kekayaannya......................................

§ Kebijakan yang baik menghasilkan penerimaan negara lebih banyak.


Jika keadaan perilaku masyarakat wajib pajak adalah produktif, penurunan
tarif pajak justru meningkatkan jumlah penerimaan negara. Agar
pelaksanaan kegiatan pemerintah tidak terganggu, harus diperhitungkan
cara-cara yang dapat mengkompensasikan turunnya penerimaan negara
akibat pengenaan tarif yang lebih rendah.
§ Jumlah potensi tambahan konsumsi masyarakat akibat adanya
penurunan tarif pajak kurang signifikan terhadap peningkatan kegiatan
ekonomi dibandingkan dengan turunnya jumlah total penerimaan negara.
Untuk itu perlu diupayakan suatu kebijakan pelengkap yang dapat meng-
offset selisih penurunan penerimaan negara tersebut. Pada akhirnya
penurunan tarif pajak tidak merubah total pengeluaran, pendapatan
nasional, dan pertumbuhan ekonomi.

Tarif Tunggal (lanjutan........................)


Ia mengaku, jika Ditjen Pajak mampu meningkatkan rasio pajak terhadap PDB rata-rata 2% setiap
tahun, itu akan membantu sumber pendapatan negara. Sehingga, defisit APBN setiap tahun secara
berangsur-angsur dapat dikurangi. Mengenai tarif tunggal PPh sebesar 10% bagi pengusaha kecil dan
menengah (UKM), dia mengatakan, hal itu sangat mendorong pertumbuhan UKM sebagai salah satu
lokomotif pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi kendala, tegasnya, penentuan kriteria sebagai UKM
harus jelas dan transparan.
Namun Dewan Penasehat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai, usulan Ditjen Pajak tentang
pemberlakuan tarif tunggal pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 30% akan memberatkan
pengusaha. Selama ini cukup banyak pengusaha yang membayar PPh dengan tarif 15% dan 20%."
"Sedangkan, bagi pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang akan dikenai tarif tunggal PPh sebesar
10%, itu sangat meringankan. Tapi bagaimana dengan perusahaan yang biasa membayar 15% dan
20%, di luar UKM," katanya
Pernyataan itu menanggapi usulan Ditjen Pajak yang telah dituangkan dalam draf RUU Pajak yang
baru. Selama ini, pengusaha membayar PPh 15% bila perusahaannya memperoleh laba bersih di
bawah Rp 50 juta, dan 20% untuk Rp 50 juta dan 30% di atas Rp 50 juta. Lewat RUU itu, Ditjen Pajak
mengusulkan agar diberlakukan tarif tunggal untuk PPh badan. Yakni 10% untuk UKM dan 30% untuk
non-UKM.
Selain mengusulkan tarif tunggal, Ditjen Pajak juga memberikan fasilitas perpajakan bagi sektor usaha
tertentu. Hal itu dilakukan guna menarik minat investor melakukan bisnis di Indonesia. Di antara fasilitas
perpajakan itu, yakni penghapusan kadaluarsa dipercepat dari 10 tahun menjadi lima tahun.
Di samping itu, Ditjen Pajak juga memperpanjang kompensasi kerugian dari lima tahun menjadi paling
lama 10 tahun. Sementara itu, pengusaha yang mendapat kredit investasi sebesar 30% dibebaskan dari
pembayaran pajak selama enam tahun. Tarif PPh atas dividen turun dari 20% menjadi 10%.
(Diadaptasi dari berbagai artikel yang diterbitkan Investor Daily Ind.)
Diskusikan efek-efek yang mungkin timbul di Indonesia seandainya tarif pajak tunggal
diterapkan!

§ Pertumbuhan ekonomi tidak diakibatkan oleh peningkatan konsumsi.


Justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi sebagai faktor yang mendorong
jumlah total konsumsi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah daya beli
masyarakat. Untuk itu, sebaiknya kebijakan publik tidak mengedepankan
motif yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jalan
mendorong konsumsi.
§ Kebijakan pajak yang berdampak positif pada jangka pendek
biasanya berdampak positif pula pada jangka panjang. Sebagai
contoh, insentif pajak investasi dalam jangka pendek akan menarik
minat pemodal masuk ke dalam negeri. Secara jangka panjang, faktor
produksi tersebut akan juga mendorong pertumbuhan ekonomi agregat
menjadi lebih baik.
§ Efisiensi belanja negara penting dilakukan. Meskipun beberapa pos-
pos belanja negara membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
seperti penyediaan keamanan dan penegakan hukum, studi membuktikan
bahwa banyak pengeluaran publik yang justru berefek negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Efisiensi belanja negara dapat dilakukan dengan
merampingkan struktur pemerintahan.
§ Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi yang produktif.
Dana investasi terutama diambil dari tabungan masyarakat. Investasi dan
tabungan, keduanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Sedangkan tarif
pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi suku bunga. Untuk itu
perlu dikembangkan kebijakan pajak yang mendorong iklim investasi dan
menabung.
§ Defisit belanja negara dapat berpengaruh pada turunnya tingkat
suku bunga. Tetapi pengaruhnya kurang signifikan dibanding pengaruh
faktor- faktor lain seperti pasar modal. Riset akademis yang dihasilkan
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara anggaran surplus,
berimbang, atau defisit dengan tingkat suku bunga.
Inti dari sembilan petunjuk di atas adalah segala upaya kebijakan
pajak seharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional dengan
memberikan insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupun di
beberapa negara penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan
negara dan pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara
yang dapat diambil pemerintah.

KRITERIA STRUKTUR PAJAK YANG BAIK


Kebijakan perpajakan akan memberi dampak yang signifikan jika disusun
secara komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh dampak yang dapat
ditimbulkan pada level ekonomi makro. Seperti dikutip dari Musgrave
(1989), kriteria yang bisa menentukan baik tidaknya sebuah kebijakan
perpajakan dapat dilihat sebagai berikut:
§ Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat.
§ Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus dikenakan
pajak sesuai dengan kemampuannya.
§ Penanggung akhir beban pajak harus menjadi pokok perhatian.
§ Peraturan perpajakan harus mendukung kebijakan perekonomian
dan mendorong pasar yang efisien.
§ Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskal
untuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
§ Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan
mudah dipahami oleh wajib pajak.
§ Biaya administrasi dan biaya-biaya pembayaran pajak lainnya harus
dibuat serendah mungkin.
Penerimaan pajak harus dirumuskan secara tepat, merefleksikan
kemampuan membayar dari seluruh wajib pajak yang ada sehingga
tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Jika jumlah yang ditetapkan terlalu
besar, dikhawatirkan investor tidak akan mau menanamkan modalnya di
dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan multiplier efek yang diharapkan
bisa mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak tercapai, pada akhirnya,
jumlah target penerimaan pajak tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya jika
jumlah yang ditetapkan terlalu kecil, dikhawatirkan jumlahnya tidak
akan dapat membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah yang bermanfaat dalam
menciptakan value yang dapat merangsang perputaran gerak roda ekonomi.
Keadilan perpajakan pada intinya adalah bahwa beban pajak harus
terdistribusi sedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan
pajak
bisa diimbangi dengan mengurangi kesenjangan pendapatan golongan
masyarakat yang kaya dengan golongan masyarakat miskin. Kecilnya
kesenjangan ini akan bisa mendorong stabilisasi yang kondusif bagi
perbaikan ekonomi nasional.
Adanya kemungkinan peralihan beban pajak kepada penanggung akhir,
perlu dilakukan pengkajian mendalam dengan melakukan simulasi secara
menyeluruh untuk dapat memperoleh gambaran dampak pembebanan
penanggung akhir terhadap stabilisasi ekonomi. Untuk itu, perlu dibuat
aturan- aturan teknis yang sederhana sehingga akan dapat menghindarkan
terjadinya salah sasaran. Jika pajak diterapkan atas produk-produk tertentu,
hal ini perlu dikaji serius mengenai elastisitas permintaan dan
penawarannya dalam ekonomi pasar.
Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga agar
kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan
perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik ekuilibrium kurva permintaan dan
penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi dengan
memasukkan unsur-unsur spesifik para pelaku ekonomi setempat.
Kebijakan perpajakan harus tetap mengindahkan konsep stabilitas
ekonomi. Harus dapat ditentukan pada awal perumusan kebijakan bahwa
implementasinya pada akhirnya akan meminimalkan gejolak ekonomi,
misalnya dengan adanya kegiatan sosialisasi yang memadai. Ekonomi yang
sering bergejolak biasanya tidak menguntungkan iklim investasi. Dengan kata
lain, investor-investor terutama para pemodal asing sangat mengharapkan
adanya kepastian iklim berusaha.
Segala kebijakan harus mengacu pada kesederhanaan. Rumusan-rumusan
yang dipakai harus menghindari kesalahpahaman massal yang menyebabkan
kekacauan pada proses administrasi. Simulasi terhadap bakal munculnya
kekeliruan yang tidak diharapkan harus disiapkan secara matang.
Simulasi tersebut bisa menggunakan beberapa skenario yang berbeda dan
mengamati hasilnya. Segala biaya yang tidak berkaitan langsung dengan
beban pajak sesungguhnya harus diminimalkan. Hal ini untuk memberikan
kepastian berusaha bagi para pemilik modal dalam rangka menghitung
proyeksi keuntungan investasi. Dengan demikian, risiko biaya tinggi yang
tidak terduga akibat penyelewengan peraturan oleh oknum pelaku ekonomi
bisa dieliminasi.

RANGKUMAN
§ Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi.
Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang
adil dari sisi yang lain.
§ Menurut prinsip manfaat (benefit principle), suatu sistem pajak
dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak
sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah.
§ Prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle)
menginginkan sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik.
Pendekatan kemampuan membayar ini lebih baik dalam hal mengatasi
masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan penyediaan jasa-jasa publik.
§ Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan
pajak untuk memenuhi belanja publik yang mana harus didasarkan pada
proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat.
§ Keadilan vertikal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan pajak
untuk memenuhi belanja publik harus didasarkan pada proporsi kekayaan
dan pendapatan masyarakat.
§ Keadilan horizontal adalah prinsip keadilan dimana pengenaan
pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya
membayar.
§ Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat di
atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Excess burden disebabkan
adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar pembeli dibanding
jumlah yang diterima oleh penjual.
§ Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku ekonomi mana
yang sesungguhnya menanggung beban pajak.
§ Pada kondisi inflasi, kebijakan pajak dapat digunakan untuk
mengurangi konsumsi dengan jalan menghambat investasi dan memberi
insentif pada tabungan. Pada kondisi deflasi, kebijakan pajak dapat
digunakan untuk mendorong konsumsi dengan jalan memberi insentif
investasi dan memajaki tabungan.
§ Pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-faktor
produksi dengan mengubah pola produksi sehingga menghasilkan
barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya akibat tarif pajak
yang lebih kecil atau beralih produksi.
§ Bagi sebagian orang, pajak dapat menimbulkan disinsentif untuk bekerja.
Tetapi reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak
ditentukan oleh elastisitas penawaran usaha. Elastisitas penawaran
yang tinggi,
dimana dengan turunnya pendapatan, justru akan mendorong
kemauan kerja yang lebih besar.

LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan pajak kekayaan bersifat regresif?
2. Mengapa inflasi tidak dapat mempengaruhi pengenaan pajak penjualan?
3. Faktor apa saja yang memungkinkan seseorang mendapat hak
atas pengecualian pajak?
4. Apa yang dimaksud dengan Excess Burden? Apa sebab muncul
dan bagaimana akibat yang dapat ditimbulkannya?
5. Definisikan Tax Incidence! Dan jelaskan konsep Statutory Incidence dan
Economic Incidence yang terdapat dalam Tax Incidence!
6. Terangkan bagaimana insentif pajak dapat mempengaruhi
komposisi produksi suatu perusahaan!
7. Jelaskan dengan singkat dampak perpajakan terhadap
distribusi pendapatan!
8. Jelaskan dalam kondisi yang bagaimana penurunan pajak
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional!
9. Bagaimana kebijakan pajak yang berdampak positif dalam jangka
pendek dapat pula berdampak positif dalam jangka panjang? Jelaskan
dengan contoh!
10. Jelaskanlan bagaimana suatu investasi mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara!
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK PRIBADI

Pajak penghasilan pertama kali diberlakukan di Indonesia sebagai


suatu sistem perpajakan integral yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda. Pertama kali diberlakukan dikenal dengan nama Pajak
Pendapatan
1932 atau Inkomsten Belasting 1932. Pada tahun 1944, peraturan pajak
ini
diubah dengan Ordonansi Perpajakan tahun 1944 yang digunakan oleh
Pemerintah Kolonial Jepang untuk melakukan pungutan-pungutan
terhadap hasil pertanian sebagai pajak.
Selama masa revolusi, tidak ada pungutan pajak yang berarti dapat
dikumpulkan. Yang ada hanyalah kantor iuran negara yang menerima
pembayaran pajak dari beberapa pedagang. Setelah kedaulatan diserahkan
kepada Pemerintah Indonesia, peraturan perpajakan Belanda dipergunakan
kembali dengan melakukan penataan dan perluasan seperlunya.
Sehingga
162 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 162
Pribadi

sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak yang berlaku di


Indonesia yang dapat dikelompokkan sebagai pajak penghasilan adalah Pajak
Pendapatan (PPd), Pajak Perseroan (PPs) serta Pajak atas Bunga, Dividen dan
Royalti (PBDR).
Setelah reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak berdasarkan
peraturan perpajakan Belanda ini disatukan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun
1983 yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini mengalami
perubahan dan perbaikan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1991, 1994 dan
2000.
Saat ini sedang berlangsung perubahan dan perbaikan yang keempat berkaitan
dengan program reformasi perpajakan Indonesia.

ATURAN UTAMA
Dalam penentuan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh
seorang wajib pajak pada satu tahun pajak, penghasilan wajib pajak dari
semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran
penghasilannya, disebut sebagai penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini
kemudian dikurangi dengan pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan yang akan dikenakan
pajak disebut penghasilan neto. Penghasilan neto ini, setelah dikurangi
sejumlah tertentu yang tidak dikenakan pajak menjadi dasar pengenaan
pajak yang akan dikalikan dengan tarif pajak untuk mendapatkan pajak
yang menjadi beban bagi wajib pajak.

Penentuan Penghasilan Kena Pajak


Konsep utama dalam perhitungan penghasilan kena pajak adalah
penghasilan bruto dan penghasilan kena pajak. Undang-Undang Nomor
7
Tahun 1983 dan perubahannya (UU Pajak Penghasilan)
mendefinisikan penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap
tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia, dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dalam nama dan
bentuk apapun.

Penghasilan Bruto
Dengan beberapa pengecualian seperti yang tertera pada UU Pajak
Penghasilan, penghasilan dari semua sumber digabungkan untuk menentukan
penghasilan bruto. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut,
penghasilan ini akan meliputi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek profesi, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
3. Penghasilan dari modal, berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan
harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan
sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan
lain sebagainya.
Tidak semua penghasilan dari berbagai sumber harus dilaporkan sebagai
penghasilan. Beberapa penghasilan tertentu bukan merupakan penghasilan
menurut UU Pajak Penghasilan, seperti warisan atau hibah, kenikmatan
dalam bentuk natura dengan persyaratan tertentu, dan ganti kerugian asuransi.
Dari angka penghasilan ini, wajib pajak dapat mengurangkan biaya-biaya
atau pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto.
Penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dimasukkan dalam penghasilan
neto setelah dikurangkan biaya-biaya. Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dilaporkan dalam penghasilan setelah dikurangkan dengan
beberapa biaya dan penghasilan yang dikecualikan. Walaupun penghasilan
neto dimaksudkan untuk menjadi satu alat ukur yang komprehensif atas posisi
penghasilan wajib pajak, alat ukur ini ternyata tidak sekomprehensif
mungkin. Beberapa penghasilan non kas diabaikan (seperti imputed rent dan
capital gain yang belum direalisasikan) dan beberapa penghasilan kas tertentu
dikecualikan (seperti pembayaran asuransi dan pensiun).

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Untuk wajib pajak pribadi, penghasilan neto yang telah dihitung kemudian
dikurangkan dengan PTKP. PTKP yang berlaku saat ini adalah wajib
pajak dan pasangannya (masing-masing Rp2.880.000, kecuali bila
pasangannya tidak berpenghasilan maka PTKP-nya Rp1.440.000) ditambah
tiga orang tanggungan (masing-masing Rp1.440.000). Variabel utama
penentu PTKP adalah jumlah anggota keluarga sampai dengan maksimal 5
orang, yaitu suami/istri, pasangannya, dan tiga tanggungan.
Penerapan Tarif Pajak
Pajak dihitung dengan menerapkan angka tarif pada skedul tarif pajak
dengan angka penghasilan neto setelah dikurangi PTKP. Skedul tarif ini
ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan dalam bentuk tarif
marjinal yang berlaku untuk tingkatan penghasilan yang naik secara
berurutan. Sejak tahun 1983 sampai dengan 1994, tarif pajak yang ditetapkan
antara 15% sampai dengan 35%, sejak tahun 1995 tarif pajak diturunkan
antara 10% sampai dengan 30%. Oleh karena penghasilan sampai PTKP
tidak dikenakan pajak, dapat dianggap bahwa penghasilan sampai sebesar
PTKP ini dikenakan tarif pajak nol persen.

Prosedur Pembayaran
Sistem penetapan pajak penghasilan di Indonesia dikenal dengan
sebutan self assessment, yaitu suatu sistem yang memberikan
kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan besarnya
pajak penghasilan yang terhutang sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan pajak yang berlaku. Wewenang otoritas pemungut pajak (dalam hal
ini Direktorat Jenderal Pajak) adalah memastikan bahwa wajib pajak telah
menghitung, melaporkan, dan membayarkan beban pajaknya sesuai dengan
peraturan dan perundang- undangan pajak yang berlaku tersebut. Oleh karena
itu, ada dua hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak
penghasilan: penyerahan SPT dan audit. Satu aspek prosedural yang juga
penting adalah sistem pemungutan (pemotongan) yang didasarkan pada
dua alasan utama yaitu prinsip kemudahan mengenakan pajak pada
saat perolehan penghasilan (ability to pay) dan peningkatan ketaatan dari
wajib pajak dengan mengharuskan pihak lain sebagai sumber penghasilan
(pembayar) untuk bertindak atas nama negara memungut pajak tersebut.

Kewajiban Menyerahkan SPT


Kewajiban menyerahkan SPT Tahunan pajak penghasilan diberlakukan
kepada semua wajib pajak yang telah memiliki NPWP. Oleh karena itu,
hanya wajib pajak yang tidak wajib memiliki NPWP, tidak diwajibkan untuk
menyerahkan SPT Tahunan. Wajib pajak tersebut adalah mereka yang
mempunyai penghasilan neto lebih kecil dari PTKP atau yang memperoleh
penghasilan hanya dari satu pemberi kerja. Batas waktu penyerahan SPT
Tahunan adalah tiga bulan setelah tahun pajak berakhir, pada saat wajib pajak
harus menyerahkan pembayaran terakhir untuk pajak-pajak yang terutang
pada tahun pajak yang telah berakhir atau menagih pengembalian pajak.
Bersamaan
dengan penyerahan SPT, wajib pajak menyerahkan estimasi pajak
penghasilan yang harus dibayar tahun berikutnya, dan setoran pajak
penghasilan masa tahun berikutnya itu didasarkan pada informasi estimasi
ini.

Audit
Seperti dikemukakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
memiliki wewenang untuk memeriksa kebenaran perhitungan SPT Tahunan
dari wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak yang
berlaku, termasuk ketaatan pembayarannya. Untuk itu DJP melakukan
pemeriksaan atas SPT-SPT yang dilaporkan. Dalam memeriksa aritmatika
perhitungan pajaknya, walaupun dibantu oleh fasilitas komputer dan
tenaga audit yang dimilikinya, DJP tidak dapat mengaudit semua SPT
yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut akan sangat
besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan untuk
membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang
melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi
penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa)
dapat diaudit. Pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu
akan diperiksa, misalnya dokter atau pengusaha retail. Walaupun begitu,
cakupan auditnya terbatas.

Pemotongan Pajak
(Withholding)
Sebagian besar pajak dipungut dengan cara dipotong oleh pihak yang
melakukan pembayaran dengan alasan kemudahan untuk melakukan
pungutan. Dengan sistem ini, pembayaran pajak lebih berkaitan dengan
tingkat penghasilan tahun berjalan daripada tingkat penghasilan tahun
lalu. Ketika wajib pajak memperoleh penghasilan, saat itu pula ia harus
menyerahkan sebagian penghasilannya untuk beban pajaknya. Di
Indonesia, pajak-pajak yang dipungut oleh pihak-pihak yang melakukan
pembayaran ini disebut sebagai kredit pajak bagi wajib pajak. Sementara itu,
dari sisi ilmu keuangan negara, kredit pajak merupakan pengurangan pajak
yang diberikan atas aktivitas tertentu yang dilakukan oleh wajib
pajak, seperti melakukan investasi, pengasuhan anak, perawatan orang tua,
dan lain-lain.
Dengan sistem pemotongan pajak ini, pembayaran pajak menjadi
sangat responsif terhadap perubahan dalam tingkat penghasilan pribadi yang
merupakan hal penting bagi efektivitas kebijakan stabilisasi. Penerimaan
pajak negara berfluktuasi sesuai dengan perubahan penghasilan
masyarakat yang merupakan bagian utama dari pendapatan nasional. Sistem
pemotongan pajak juga memastikan ketaatan sepenuhnya karena pernyataan
penghasilan tidak diberikan sepenuhnya hanya kepada wajib pajak.
Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya
tersendiri. Jika tarif pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk
mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan
pajak akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak
ini yang secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada pemerintah.
Pemerintah, dalam hal ini DJP, harus mengembalikan kelebihan pemotongan
ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut.

PRINSIP-PRINSIP DEFINISI PENGHASILAN


Konsep penghasilan dasar yang menjadi penentuan kewajiban pajak
penghasilan dalam prakteknya adalah penghasilan neto. Seberapa baikkah
penghasilan neto digunakan sebagai suatu ukuran kapasitas pajak?
UU Pajak Penghasilan di Indonesia mendefinisikan penghasilan sebagai
tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari sumber
mana pun yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaannya.
Definisi ini sama dengan definisi penghasilan (income) oleh ahli ekonomi
Robert M. Haig dan Henry C. Simons, yaitu accretion income. Dalam
buku ini, istilah accretion income disinonimkan dengan tambahan
kemampuan ekonomis atau kenaikan total kekayaan seseorang.
Konsep accretion income ini berakar dari praktek pembukuan masa
merkantilisme di Eropa yang telah menjadi bagian dari prinsip akuntansi
sampai sekarang. Konvensi ini berkembang dalam praktek pembukuan
di mana suatu pos “modal” dibuat tetap selama periode akuntansi. Dengan
membuat saldo awal modal perusahaan menjadi tetap, setiap akumulasi
(apresiasi) modal diperlakukan sebagai “penghasilan” dan penurunan nilai
(depresiasi) modal diperlakukan sebagai “penghasilan negatif.” Walaupun
demikian, praktek akuntansi dewasa ini memperlakukan kenaikan dan
penurunan modal tersebut dengan cara berbeda. Apresiasi pada modal hanya
dicatat ketika direalisasikan sedangkan depresiasi pada modal
diperkirakan dan dicatat pada setiap periode akuntansi. Dari sisi manajemen
bisnis, praktek ini memiliki dua keuntungan, yaitu memudahkan pengusaha
untuk membandingkan berbagai aktivitas bisnis dengan suatu standar yang
tetap dan menunjukkan sejarah akumulasi modal perusahaan yang dapat
menunjukkan prospek kemampuan memperoleh penghasilan di masa depan.
Sebelum adanya pajak penghasilan, para ahli ekonomi menggunakan istilah
yield income untuk merujuk pada pengertian penghasilan dalam ilmu
ekonomi, yang sampai saat ini menjadi definisi penghasilan yang paling
diterima dalam ilmu ini. Yield income adalah jasa-jasa yang dihasilkan oleh
modal, merupakan subset dari accretion income. Menurut Irving Fisher dalam
buku klasiknya The
Nature of Capital and Income (1908), yield income terdiri dari uang yang
diperoleh tetapi tidak disimpan dan pengurangan sumber daya
untuk digunakan. Terminologi yield income ini mirip dengan (walau
1
tidak sama persis) konsep penggunaan uang yang diperoleh untuk konsumsi.
Dengan demikian, dalam konsep basis pajak ada dua kandidat utama
sebagai basis pajak untuk pajak penghasilan pribadi, yaitu tambahan
kemampuan ekonomis dan konsumsi. Bila kita memilih tambahan
kemampuan ekonomis sebagai basis pajak, tambahan kemampuan ekonomis
sebagai indeks kapasitas pajak seseorang, harus didefinisikan sebagai
kenaikan total atas kekayaan seseorang. Semua tambahan kemampuan
ekonomis (accretion) harus dimasukkan, baik teratur ataupun fluktuatif,
diharapkan ataupun tidak diharapkan, baik terealisasi ataupun tidak terealisasi.
Kita tidak perlu mempertimbangkan bagaimana tambahan kemampuan
ekonomis tersebut digunakan, apakah akan diinvestasikan atau dikonsumsi.
Selain itu, penghasilan dari semua sumber harus diperlakukan secara
seragam dengan cara digabungkan sebagai penghasilan global yang kemudian
akan dikenakan tarif pajak. Tanpa penggabungan ini, penerapan tarif yang
progresif tidak dapat menghasilkan efek yang diharapkan yaitu mengadaptasi
pajak pada kemampuan membayar wajib pajak. Pandangan pajak penghasilan
ini banyak diterima oleh berbagai kalangan dewasa ini. Sekarang,
konsep tambahan kemampuan ekonomis ini akan dianalisis secara mendalam
apa implikasinya dalam praktek dan bagaimana konsep ini diterapkan secara
memuaskan dalam perhitungan penghasilan neto.

Penghasilan Bruto versus Penghasilan Neto


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konsep penghasilan yang
mendapat banyak penerimaan dalam praktek pajak penghasilan di dunia
adalah konsep tambahan kemampuan ekonomis. Konsep ini berakar dari
praktek akuntansi selama berabad-abad oleh karenanya banyak
inkonsistensi yang terjadi pada

1
Menurut para ahli ekonomi, penghasilan dan modal merupakan kategori yang mutually
exclusive. Irving Fisher menyatakan bahwa kekayaan menunjukkan dua aspek bila
dikaitkan dengan waktu, yaitu stok kekayaan dan aliran kekayaan. Orang dapat mengukur
kekayaan pada suatu waktu tertentu atau sepanjang waktu tertentu, tetapi tidak dapat pada
kedua waktu tersebut. Kekayaan yang diukur pada suatu waktu tertentu merupakan konsep
ekonomi dari modal, suatu pengukuran atas stok. Kekayaan dalam ukuran jangka waktu
merupakan konsep
ekonomi dari penghasilan, suatu pengukuran atas aliran. Pada dasarnya, kedua ukuran
tersebut ekivalen karena nilai ekonomis dari modal sama dengan nilai tunai dari nilai
ekonomis dari aliran penghasilan di masa depan yang diharapkan. Ekivalensi ini bersumber
dari fakta yang sangat penting bahwa modal tidak dapat dipisahkan dari penghasilan karena
modal dan penghasilan saling terkait secara resiprokal.
penentuan penghasilan kena pajak terkait dengan inkonsistensi
penentuan penghasilan dalam praktek akuntansi.
Sebagaimana dalam pembukuan dimana penghasilan diukur dalam jumlah
laba bersih, penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis
(accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto yaitu
penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan penghasilan. Peraturan perpajakan mendefinisikan penghasilan
yang akan dikenakan pajak sebagai penghasilan neto karena biaya-biaya yang
terjadi dalam memperoleh penghasilan pada umumnya dikurangkan dari
penghasilan dengan beberapa pembatasan biaya-biaya tertentu tidak boleh
dikurangkan. Untuk wajib pajak pribadi, peraturan perundang-undangan juga
membolehkan wajib pajak mengurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan
pekerjaan, seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Akan tetapi,
ada konsistensi dalam perlakuan biaya modal. Biaya bunga boleh
dikurangkan tetapi dividen tidak boleh dikurangkan, sama seperti dalam
praktek akuntansi. Walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu, pada
umumnya penghasilan yang dapat dikenakan pajak telah dinyatakan dalam
satuan penghasilan neto.
Agar konsisten dengan konsep tambahan kemampuan ekonomis, maka
setiap pengurangan kemampuan ekonomis juga harus dipandang sebagai
penghasilan negatif. Oleh karena itu, kerugian harus dapat diperlakukan
sebagai pengurangan sepenuhnya. Karena tambahan kemampuan ekonomis
dirancang untuk mengukur konsumsi dan kenaikan dalam kekayaan bersih,
kerugian operasi harus dikurangkan dalam menentukan penghasilan neto dari
kegiatan usaha. Kerugian mengurangi kekayaan bersih sebagaimana
keuntungan meningkatkannya. Oleh karenanya, pemerintah harus
konsisten memperlakukan keduanya. Walaupun peraturan perundang-
undangan tidak memberikan fasilitas pengembalian pajak, para wajib pajak
dapat memperlakukannya untuk mengurangi kewajiban pajak beberapa tahun
yang akan datang.

Penghasilan atas Modal (Capital Income) versus Penghasilan


sehubungan dengan Pekerjaan (Labor Income)
Konsep tambahan kemampuan ekonomis tidak mempedulikan asal dari
penghasilan. Akan tetapi, dalam praktek-praktek perpajakan ada perbedaan
perlakuan pajak antara penghasilan dari pekerjaan (upah dan gaji) dan
penghasilan dari modal. Penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban
pajak yang lebih ringan. Pada beberapa negara maju, ada kredit pajak
bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan tetapi wajib
pajak
yang hanya memperoleh penghasilan atas modal tidak memperoleh
kredit pajak ini. Hal ini dinilai sebagai ketidakkonsistenan penerapan konsep
penghasilan ini.

Penghasilan Riil versus Penghasilan


Nominal
Dengan adanya inflasi, kenaikan kemampuan ekonomis pada akhir tahun
yang diukur dalam satuan uang tidak seluruhnya merupakan tambahan
kemampuan ekonomis dalam satuan riil. Secara nominal, kemampuan
ekonomis harus diukur dengan satuan riil pada awal dan akhir tahun sehingga
inflasi harus diperhitungkan. Dengan demikian, kenaikan dalam penghasilan
uang yang sepadan dengan kenaikan harga-harga bukan merupakan kenaikan
dalam penghasilan riil. Dalam situasi ini, kewajiban pajak dalam satuan riil
sama dengan nol.

Penghasilan yang Terakumulasi versus Penghasilan yang


Terealisasi
Bila konsep tambahan kemampuan ekonomis diterapkan secara konsisten,
setiap tambahan kemampuan tersebut baik sudah diterima dalam bentuk uang
ataupun belum harus diakui sebagai penghasilan. Tidak boleh ada perbedaan
apakah penghasilan tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan
hasil penjualan aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset
yang tidak dijual. Direalisasikan atau tidak adalah pilihan portofolio bagi
investor dan tidak boleh mempengaruhi penghasilan yang diukur untuk
keperluan perpajakan.
Hal inilah yang menjadi bagian dari topik kontroversial untuk pengenaan
pajak capital gains. Praktek-praktek yang tidak konsisten ini berakar dari
praktek akuntansi yang menjadi acuan otoritas perpajakan,
memberlakukan pengaturan pajak seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya.

Penghasilan dalam Bentuk Natura atau Imputed


Income
Karena sulitnya menghitung berapa besarnya penghasilan, penghasilan
dalam bentuk natura atau imputed income tidak dikenakan pajak penghasilan.
Wajib pajak dapat menggunakan aset yang dimilikinya dengan dua cara, yaitu
membuat aset tersebut memberikan penghasilan kas atau mengkonsumsi aset
tersebut jangka panjang. Cara kedua ini memunculkan apa yang disebut
penghasilan dalam bentuk natura atau imputed income. Contohnya rumah
yang dimiliki wajib pajak dapat disewakan kepada pihak lain dengan
mendapatkan
170 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 170
Pribadi

penghasilan sewa yang dikenakan pajak. Apabila rumah tersebut didiami


wajib pajak sebagai pemiliknya, wajib pajak tersebut sama saja dengan
memperoleh penghasilan sewa (dari dirinya sendiri) atau disebut juga
“imputed rent” yang jumlahnya sama dengan penghasilan yang ia dapatkan
apabila ia menyewakan rumahnya. Karena kenaikan kemampuan (accretion)
didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan bersih dan konsumsi, nilai dari
konsumsi yang imputed tersebut harus dimasukkan ke dalam basis pajak.
Pengabaian ini menyebabkan ketidakadilan perlakuan pajak bagi pemilik
rumah dan penyewa. Beberapa negara Eropa mengenakan pajak atas
imputed rent ini kepada pemilik rumah yang mendiami rumahnya sendiri
dengan data dari pajak atas kekayaan yang selalu menunjukkan nilai dari
rumah tersebut.
Selain imputed rent, ada beberapa penghasilan yang diterima dalam bentuk
natura yang tidak diperhitungkan sebagai penghasilan dalam peraturan pajak,
seperti mengkonsumsi tanaman dari kebun sendiri, fasilitas kendaraan kantor
atau fasilitas perumahan dan akomodasi di daerah terpencil. Apabila
penghasilan tersebut dapat diuangkan (diterima dalam bentuk uang), seperti
dalam fasilitas kendaraan kantor yang dapat diganti dengan tunjangan biaya
transportasi, penghasilan tersebut dikenakan pajak. Dengan demikian,
penghasilan daLam bentuk natura dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai
sarana untuk menghindari pajak.
Penerapan imputed income pada dasarnya dapat dilakukan seluas mungkin
akan tetapi untuk alasan-alasan praktis hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Contohnya, secara konseptual, jasa rumah tangga yang dilakukan ibu
atau bapak rumah tangga sendiri (seperti memasak, mencuci, memelihara
anak, membersihkan halaman, memperbaiki rumah) merupakan imputed
income bagi rumah tangga. Alasan kepraktisan yang paling utama adalah
memasukkan penghasilan ini ke dalam penghasilan neto memunculkan
permasalahan serius dalam hal pengukuran dan hal-hal lain yang harus
diperhitungkan ketika memberlakukan pajak penghasilan atas dasar rumah
tangga.
Permasalahan yang lebih rumit lagi adalah pilihan antara bekerja atau
bersantai (tidak bekerja). Jika seseorang memutuskan untuk santai (tidak
bekerja), secara logika ekonomi ia memperoleh penghasilan sebesar apabila
ia bekerja. Bila ia bekerja, ia memperoleh penghasilan dalam bentuk uang.
Bila ia bersantai, ia memperoleh penghasilan tersebut dan sekaligus
mengkonsumsikannya dengan bersantai. Logika tambahan kemampuan
ekonomis (accretion) menyatakan bahwa penghasilan yang diterima
dalam bentuk natura, dalam bentuk ‘santai’ harus dimasukkan ke dalam basis
pajak. Akan tetapi, implementasi dari aturan ini tidak akan mungkin dapat
dilakukan.
Penghasilan versus Transfer
Dari sudut pandang ahli ekonomi, pendapatan nasional adalah jumlah dari
pendapatan faktor selama satu periode, yang juga menyatakan nilai dari
output yang diproduksi oleh faktor-faktor tersebut. Hal ini sesuai dengan
konsep penghasilan menurut Irving Fisher. Transfer yang diterima dari
pemerintah atau sumber-sumber swasta (seperti donasi dan hibah) bukan
merupakan komponen penghasilan dalam istilah pendapatan nasional.
Perlakuan pajak atas transfer seharusnya tidak mengikuti aturan dalam
perhitungan pendapatan nasional. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, pajak penghasilan menganut definisi accretion income yang
dikemukakan oleh Haig-Simons. Oleh karenanya, penghasilan kena pajak
seseorang tidak harus sama dengan bagiannya dalam pendapatan nasional dan
juga total penghasilan kena pajak dalaM suatu negara harus sama dengan
total pendapatan nasional.
Transfer oleh pemerintah, seperti subsidi sekolah dan subsidi
kesehatan, tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini sebenarnya menyalahi
konsep tambahan kemampuan ekonomis karena semua transfer tersebut
menambah kemampuan penerimanya akan sumber daya, dan karenanya harus
menjadi bagian dari penghasilannya.

Sumbangan, Bantuan, Warisan dan Hibah


Transfer pribadi, seperti sumbangan, bantuan, warisan dan hibah, juga
tidak dikenakan pajak penghasilan. Transfer seperti ini tidak dikurangkan
dari penghasilan oleh pemberi dan juga tidak dilaporkan sebagai penghasilan
oleh penerima. Dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion),
perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan
ekonomis bagi penerima, seperti juga tambahan kemampuan ekonomis
dari sumber- sumber lain, dengan demikian harus dimasukkan ke dalam basis
pajak penghasilan bagi penerimanya.
Jika hal ini dilakukan, apakah transfer seperti ini harus dikurangkan
dari basis penghasilan pajak pemberi? Apabila mengacu pada konsep
tambahan kemampuan ekonomis sepenuhnya, transfer ini merupakan bentuk
penggunaan penghasilan, jadi bukan merupakan biaya. Konsep tambahan
kemampuan ekonomis mengenakan pajak pada sumbernya, bukannya
penggunaan. Juga, tidak ada keharusan bahwa basis pajak agregat sama
dengan penghasilan total yang didefinisikan dalam pendapatan nasional.

Penghasilan Teratur versus Penghasilan Tidak Teratur


Beberapa pendapat menyatakan bahwa penghasilan tertentu yang tidak
teratur dan tidak diharapkan sebaiknya tidak dimasukkan dalam penghasilan
yang dikenakan pajak dengan berbagai alasan yang tidak begitu kuat. Pada
kenyataannya, penghasilan yang tidak teratur dan penghasilan yang
teratur sama pengaruhnya bagi kemampuan wajib pajak.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membedakannya. Akan tetapi,
karena pengenaan pajak menggunakan tarif pajak yang progresif perlakuan
pajak cenderung diskriminatif terhadap penghasilan yang tidak teratur
ini. Penghasilan yang teratur cenderung dikenakan tarif pajak yang lebih
rendah daripada penghasilan yang tidak teratur. Permasalahan ini dapat
dikurangi dengan menerapkan aturan meratakan penghasilan yang tidak
teratur tersebut.

PRAKTEK DEFINISI PENGHASILAN: PENGECUALIAN


Peraturan perundang-undangan perpajakan banyak menunjukkan
penyimpangan dari prinsip tambahan kemampuan ekonomis.
Penyimpangan ini disebut juga sebagai preferensi pajak yang menyebabkan
perbedaan antara jumlah penghasilan kena pajak dengan ukuran
penghasilan yang komprehensif. Preferensi pajak dapat dibagi dalam tiga
kategori yaitu, pengecualian, pengurangan sebagai biaya dan kredit pajak.
Bagian ini akan membahas kategori pertama, yaitu pengecualian (exclusion).

Penghasilan-penghasilan yang Dikenakan Pajak Final


Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak pada
beberapa transaksi tertentu berlaku tarif pajak final. Pada transaksi-
transaksi ini, pajak langsung dibayarkan dengan sistem pemotongan dan
tidak dapat dikreditkan dalam perhitungan pajak penghasilan akhir. Beberapa
penghasilan yang dikenakan pajak final adalah:
1. Penghasilan yang diperoleh dari hak atas tanah dan bangunan.
2. Penghasilan jasa konstruksi dan jasa konsultan, sebelum tahun
2000.
3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
4. Penghasilan dari hadiah undian
Perlakuan atas pajak final ini sebenarnya melanggar prinsip keadilan pajak.
Pada transaksi tertentu seperti transaksi penjualan saham di bursa efek,
walaupun belum ada penghasilan karena transaksi tersebut belum
tentu
memberikan untung, wajib pajak sudah diharuskan membayar pajak.
Demikian pula pada transaksi-transaksi yang menguntungkan, tarif pajaknya
proporsional seberapa pun besarnya penghasilan (keuntungan) yang didapat.
Keadilan horizontal dilanggar karena perlakuan ini menghasilkan perbedaan
dalam kewajiban pajak pada tingkatan penghasilan tertentu. Keadilan vertikal
dipengaruhi karena prinsip progresivitas tidak berlaku pada penerapan pajak
final.
Pajak Final
Usulan mengambil pajak dari reksadana obligasi mencuat dan menimbulkan pro-kontra. Setelah
menjadi polemik, akhirnya dalam UU Perpajakan yang baru muncul pasal yang mengatur soal itu. Di
tengah-tengah minimnya sumber dana pembiayaan jangka panjang saat ini, peran reksa dana dirasakan
sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Sumber dana pembiayaan perbankan memang dapat dipakai untuk membiayai kegiatan ekonomi
berjangka panjang, namun kemampuan perbankan untuk membiayai sektor riil yang berjangka panjang
juga terbatas sehingga kehadiran reksa dana akan menjadi pendukung perbankan untuk bersama-sama
membantu pembangunan ekonomi nasional. Walaupun saat ini tidak ada pajak final untuk pendapatan
yang diperoleh dari reksa dana, investor tetap berkewajiban untuk membayar pajak atas penghasilan
yang diterima dari reksa dana maupun pendapatan lainnya dalam bentuk pajak penghasilan biasa yang
harus dilaporkan setiap tahun.
Bagi pengelola reksadana, tentu saja, usulan pajak final reksadana menyesakkan dada. Pengenaan
pajak akan membuat reksadana kehilangan salah satu nilai jualnya. Dalam setiap prospektus
reksadana, memang, salah satu yang paling dijual sang manajer adalah fasilitas bebas pajak dari
penghasilan yang mereka peroleh. Nah, kalau dipajaki dengan sendirinya nasabah menjadi tidak tertarik
lagi untuk membeli reksadana. Asal tahu saja, dari sekitar Rp 5,6 triliun dana yang diputar dalam
reksadana, 60% di antaranya diinvestasikan dalam obligasi. "Kalau tetap diterapkan, tentu reksadana
akan menuntut tingkat bunga obligasi lebih tinggi lagi untuk mengompensasi pajak itu," ujar Manajer
Portofolio PNM Investment Management.
Yang aneh, menurut pengurus APRDI, sebenarnya yang diusulkan APRDI bukan pengenaan pajak final
atas kupon bunga obligasi. "Kami mengusulkan pajak final bagi capital gain," ujarnya. Maksudnya, yang
dikenai pajak final bukan kupon obligasinya, tapi keuntungan yang diperoleh dari jual beli obligasi.
Selama ini, capital gain dari obligasi bagi perusahaan reksadana dikenai PPh seperti umumnya, yakni
bertingkat (progresif). Nah, menurutnya, APRDI mengusulkan agar pengenaan pajak dilakukan secara
final saja, seperti PPh capital gain di bursa saham. "Jadi, dihitung dari nilai transaksi," katanya.
Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak atas reksa dana haruslah ditanggapi dengan kepala
dingin. Pertama- tama, masalah pajak adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah yang harus
dihormati oleh semua pihak. Pengenaan pajak untuk reksa dana merupakan tindakan yang sah-sah saja
menurut hukum karena hal tersebut adalah bagian dari kewenangan pemerintah. Masalahnya, reksa
dana sudah diberikan dispensasi pajak sehingga pemerintah tentunya memiliki pertimbangan-
pertimbangan tersendiri. Apabila tujuan tersebut dalam rangka menggerakkan pertumbuhan reksa dana
di Indonesia, maka upaya tersebut sangat tepat mengingat reksa dana merupakan instrumen investasi
jangka panjang yang masih baru sehingga diperlukan insentif tertentu untuk menarik investor.
Disamping itu, BES memang mengusulkan agar reksadana juga dikenai Pajak Penghasilan (PPh) 15%
atas kupon bunga obligasi. Selama ini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46/1996, pajak final
sebesar 15% atas kupon bunga obligasi hanya diberlakukan bagi transaksi yang melalui perusahaan
sekuritas. Adapun transaksi obligasi yang dilakukan bank, dana pensiun, dan reksa dana bebas dari
pajak itu.
Akibat perbedaan perlakuan seperti itu, selama ini, sering terjadi praktek washing alias jual beli obligasi
secara fiktif demi menghindari pajak final tersebut. Caranya begini. Agar tidak terkena potongan pajak
final atas pencairan kupon, perusahaan sekuritas atau individu akan menjual obligasinya kepada
perusahaan reksa dana. Dengan begitu, pihak reksa danalah yang akan mencairkan kupon tersebut.
Sesuai dengan aturan, dia tidak akan terkena pajak atas kupon yang dicairkan. Tentu saja perusahaan
sekuritas atau individual bisa mematok harga premium. Jadi, biarpun tidak menerima pembayaran
kupon, mereka menikmati rente secara tidak langsung. (Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat
dalam http://www.kompas.com)
Berdasarkan pemaparan diatas, diskusikan pengaruh kebijakan pajak final tersebut!

Laba Modal (Capital gain)


Pengenaan pajak atas laba modal adalah salah satu topik yang paling
kontroversial dalam ilmu perpajakan. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa
pengenaan pajak atas laba modal ini merupakan salah satu bentuk kesalahan
penerapan konsep penghasilan dalam peraturan perpajakan. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, para ekonom sepakat bahwa konsep penghasilan
menurut Irving Fisher, yaitu yield income, adalah konsep yang benar secara
keilmuan. Laba modal bukanlah penghasilan karena bukan dihasilkan
dari layanan yang dihasilkan oleh modal. Pada negara-negara yang peraturan
perpajakannya mengacu pada konsep penghasilan ini, laba modal tidak
dikenakan pajak, seperti di Inggris dan beberapa negara anggota the
Commonwealth.
Pada negara-negara lainnya yang menganut konsep accretion income pada
peraturan perpajakannya, laba modal dikenakan pajak. Berkenaan dengan
perlakuan pajak terhadap laba modal ini, debat juga terjadi pada negara-
negara ini yang berkisar pada (1) apakah laba yang direalisasikan harus
diperlakukan sebagai penghasilan biasa, dan (2) apakah laba yang tidak
direalisasikan harus juga dipajaki.

Perlakuan atas Laba Modal yang Direalisasikan


Peraturan perpajakan memberikan perbedaan perlakuan pada laba
modal yang direalisasikan, yaitu laba modal dari penjualan saham di bursa
efek dan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pajak untuk transaksi-
transaksi ini bersifat final dan dikenakan atas nilai transaksi, bukan atas
labanya. Perlakuan ini jelas-jelas melanggar prinsip keadilan pajak, baik
keadilan horizontal maupun keadilan vertikal. Prinsip progresivitas pajak
dilanggar. Transaksi tetap dikenakan pajak, baik ketika untung maupun ketika
rugi.
Berdasarkan prinsip keadilan, tidak ada alasan untuk membedakan
perlakuan pajak terhadap laba yang direalisasikan terhadap penghasilan dari
usaha. Tidak ada bedanya penghasilan yang diperoleh dari usaha atau dari
laba modal. Memang laba modal sifatnya tidak teratur dan cenderung
berfluktuasi sehingga harus membayar lebih banyak dalam sistem tarif
pajak yang progresif, dibandingkan jika laba modal tersebut diterima
sebagai dalam bentuk pendapatan tetap. Akan tetapi, ketidakadilan ini dapat
dihilangkan dengan menggunakan aturan yang tepat untuk meratakan
penghasilan yang fluktuatif.

Perlakuan terhadap Laba yang Belum Direalisasikan


Berdasarkan prinsip kemampuan membayar, penghasilan neto dinyatakan
dalam bentuk penghasilan kas dan hanya memasukkan penghasilan kas saja,
laba yang belum terealisasikan dalam bentuk kas tidak dikenakan pajak.
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan definisi tambahan kemampuan
ekonomis. Berdasarkan definisi ini, penghasilan sebagai suatu indeks dari
kapasitas wajib pajak harus diukur sebagai tambahan kekayaan. Semua
tambahan kemampuan ekonomis harus dimasukkan, baik yang sudah
terealisasi (berubah menjadi kas) maupun belum. Misalnya, Tuan Amir
memiliki kekayaan dalam bentuk portofolio saham PT Telkom yang nilainya
naik Rp100.000.000. Dengan kenaikan nilai portofolio ini, kekayaannya telah
bertambah sejumlah tersebut. Kekayaan ini dapat ia ubah dari portofolio
saham menjadi kas bila ia memutuskannya. Bila pada kenyataannya ia tetap
memiliki dalam bentuk portofolio saham, itu menunjukkan preferensinya
untuk tetap terus memegangnya dalam bentuk portofolio saham bila
dibandingkan dengan bentuk alternatif lainnya, misalnya menjualnya untuk
dikonsumsi atau diinvestasikan dalam bentuk aset lainnya. Laba dari
sahamnya telah membuatnya memperoleh tambahan kemampuan ekonomis.
Apakah laba telah terealisasi tidak ada relevansinya dengan apakah ada
peningkatan kemampuan ekonomis. Bahwa realisasi dalam bentuk kas
memungkinkan, keputusan untuk merealisasikan dalam bentuk kas atau tidak
adalah keputusan manajemen portofolio. Penundaan pengenaan pajak
setelah realisasi memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada jenis
penghasilan yang belum direalisasikan. Perlakuan pengenaan pajak yang
mengecualikan laba modal yang belum direalisasikan ini mendorong
investor untuk tidak menjual aset- aset yang memiliki akumulasi laba, yang
disebut sebagai lock-in effect.
Akan tetapi berbagai argumentasi melingkupi perdebatan tentang perlakuan
pajak atas laba modal yang belum direalisasikan ini. Menurut Musgrave
dan
Musgrave (1989), beberapa bentuk perdebatan tersebut adalah
2
sebagai berikut:
§ “Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena
pemiliknya dihalangi untuk melakukan konsumsi.” Walaupun tidak ada
konsumsi, hal ini tidak relevan dengan definisi basis dari pajak
penghasilan. Prinsipnya adalah semua penghasilan harus dipajaki, tidak
peduli akan digunakan untuk apa. Walaupun berdasarkan pajak
konsumsi, pembedaan apakah sudah terealisasi dan belum terealisasi
bukan merupakan hal yang utama. (Berdasarkan suatu pajak konsumsi,
laba yang belum direalisasikan akan dikecualikan dan laba yang
direalisasikan akan dimasukkan hanya jika dikonsumsi. Laba yang
sudah direalisasikan tetapi tidak dikonsumsi perlakuannya sama dengan
laba yang belum direalisasikan.)
§ “Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena
ketiadaan realisasi membuat kita tidak mengetahui keberadaannya.” Pada
awal munculnya pembukuan oleh para saudagar Venesia, mereka tidak
membukukan pendapatan mereka sampai nakhoda kapal telah kembali ke
pelabuhan dan menyerahkan uang hasil dagangan. Prinsip akuntansi yang
hati-hati hanya mengakui pendapatan setelah ada realisasi. Akan tetapi,
situasi bisnis telah berubah dan analogi seperti ini tidak tepat lagi,
misalnya untuk pemegang saham PT Telkom yang dapat
menjual sahamnya sewaktu-waktu. Pengukuran atas laba yang belum
direalisasikan memang sulit, tetapi hal ini bukan halangan yang luar biasa.
§ “Pemajakan atas laba yang belum direalisasikan mengharuskan
wajib pajak membayar pajak walaupun ia tidak memiliki uang kas untuk
membayarnya.” Pandangan ini tepat, tetapi apakah hal itu jadi persoalan?
Sebagaimana halnya hutang-hutang lainnya yang jatuh tempo, adalah
beralasan bagi pemerintah untuk meminta wajib pajak
melikuidasi sebagian asetnya untuk membayar pajak bila diperlukan.
Untuk situasi- situasi di mana likuidasi parsial tidak memungkinkan
(misalnya bisnis keluarga), pemerintah dapat memberikan waktu yang
cukup untuk itu.
§ Untuk suatu penghasilan yang akan diterima, penghasilan tersebut
harus dapat dipisahkan dari aset yang menghasilkannya. Pandangan
ini, yang banyak mendapatkan dukungan-dukungan hukum pada tahap-
tahap awal diskusi pajak penghasilan, sulit digunakan untuk
meyakinkan para ahli ekonomi. Pemisahan adalah pilihan investasi
sedangkan penghasilan diperoleh karena nilai aset meningkat.

2
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice,
Edisi ke-5, New York: McGraw-Hill, hal. 338.
Jika definisi tambahan kemampuan ekonomis diikuti secara konsisten, laba
modal harus dimasukkan dalam penghasilan kena pajak dan digabungkan
dengan penghasilan dari sumber-sumber lainnya, tanpa mempedulikan apakah
sudah direalisasikan atau belum. Konsistensi juga harus berlaku bila
terjadi rugi modal (capital loss) yang harus diperlakukan sebagai
pengurangan atas penghasilan atau penghasilan negatif.
Pengenaan pajak atas laba modal harus juga disesuaikan dengan
inflasi. Laba modal yang dikenakan pajak, yang bukan disebabkan oleh
inflasi. Dengan laba modal, nominal harus dikurangi dengan kenaikan harga
dari aset karena inflasi untuk mendapatkan laba modal yang dimasukkan
dalam penghasilan kena pajak. Bila pengenaan pajak atas laba modal tidak
memperhitungkan inflasi maka akan memunculkan problema keadilan dan
efisiensi pajak.

Permasalahan Penerapan
Walaupun secara prinsip tidak ada lagi persoalan terhadap pengenaan pajak
atas laba modal, akan tetapi pengenaan pajaknya menghadapi kendala
operasional yang cukup berat. Dalam hal laba modal yang sudah
direalisasikan, pengenaan pajaknya sepenuhnya dapat dilaksanakan tanpa
kesulitan-kesulitan teknis yang muncul. Situasinya jauh lebih sulit untuk laba
yang belum direalisasikan. Pengenaan pajak secara tahunan atas laba modal
yang belum direalisasikan mengharuskan adanya penilaian aset
secara tahunan, suatu praktek yang sangat tidak praktis.
Beberapa aset yang memiliki pasar yang likuid, seperti sekuritas,
dapat dinilai dan dikenakan pajak secara periodik, misalnya setiap lima
tahun. Akan tetapi, untuk aset lainnya, seperti barang seni, bangunan
pabrik, dan tanah, sulit untuk dinilai. Oleh karena itu, muncul usulan untuk
mengenakan pajak pada saat kematian atau pemindahan aset ini dengan
menganggap seolah-olah telah terealisasi pada saat itu (realisasi konstruktif).
Penilaian atas aset hanya dilakukan pada saat realisasi konstruktif ini sehingga
lebih praktis. Dengan memberikan aturan perataan penghasilan dan
membolehkan penyebaran pembayaran pajak pada beberapa periode, dapat
dihindari likuidasi paksa untuk tujuan pengenaan pajak yang menimbulkan
ketidakadilan.
Walaupun realisasi konstruktif dapat memindahkan laba yang belum
direalisasikan ke dalam basis pajak, cara ini masih memberikan beberapa
keuntungan bagi laba modal. Para pemilik aset dapat menunda kewajiban
pajaknya sampai bertahun-tahun, bahkan sampai meninggal. Penundaan pajak
ini sama dengan memperoleh pinjaman bebas bunga, yang nilainya
sangat
substansial terutama bagi para wajib pajak muda yang mampu menunda
untuk periode waktu yang sangat panjang.

Tabungan Hari Tua dan Rencana Pensiun


Tabungan hari tua atau rencana pensiun adalah tabungan atau investasi
yang diakumulasi dengan cara memisahkan penghasilan tahun berjalan untuk
penggunaan di masa depan dengan menyetorkan sejumlah uang kepada
lembaga dana pensiun atau sejenisnya. Ada dua alternatif pengenaan
pajak atas iuran tabungan/pensium ini. Alternatif pertama, bila menggunakan
konsep accretion income, pembayaran kepada dana pensium atau lembaga
sejenis ini bukan merupakan biaya tetapi merupakan penggunaan penghasilan,
jadi harus tetap dikenakan pajak. Iuran pensiun dan bentuk pembayaran
tabungan hari tua lainnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan. Ketika
uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian hari,
hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan.
Alternatif kedua yang dipraktekkan saat ini adalah membolehkan
pembayaran-pembayaran ini sebagai pengurang atas penghasilan dan
mengenakan pajak sepenuhnya pada saat uang pensiun/tabungan dibayarkan
kembali.
Praktek yang berlaku saat ini memunculkan ketidakadilan terhadap
para penabung lainnya karena dua keuntungan bagi pembayar iuran
pensiun/tabungan. Pertama, penundaan pembayaran pajak oleh pembayar
iuran pensiun/tabungan sama dengan perolehan pinjaman bebas bunga.
Kedua, pembayar iuran pensiun/tabungan akan mendapat pengenaan tarif
pajak yang lebih rendah atas penghasilannya yang ditunda pengenaannya
karena penghasilan pembayar iuran pensiun di masa depan akan lebih kecil.

Tabungan Hari Tua


Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan membolehkan setoran
tabungan hari tua kepada PT Taspen tidak dimasukkan sebagai penghasilan
kena pajak. Sebagaimana disebutkan di muka, aturan ini sama saja
memberikan kepada pembayar tabungan hari tua suatu pinjaman bebas bunga
dan penerapan tarif pajak yang lebih rendah di kemudian hari ketika
tabungan ini diambil oleh penabung.
Setoran ini semakin mendapatkan argumentasi dukungan untuk
dimasukkan ke dalam basis pajak apabila dipandang sebagai skema
redistribusi, bukannya asuransi. Perlakuan yang tepat tentu saja dengan
memperlakukan setoran tabungan sebagaimana bentuk tambahan kemampuan
lainnya dan dikenakan pajak sebagaimana mestinya. Setoran ini tidak
dikenakan pajak apabila
penghasilan penerima berada di bawah PTKP, sebagaimana yang berlaku
pada penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Pajak penghasilan atas
gaji/upah juga tidak dikurangkan dan menjadi bagian dari penghasilan umum
dan diperlakukan sama seperti pajak-pajak lainnya.

Iuran Pensiun
Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran pensiun yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari
penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh
perusahaan. Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh
para pegawai selama masa pensiun.

Asuransi Jiwa
Pembayaran premi kepada perusahaan asuransi jiwa dan pembayaran
asuransi dari perusahaan asuransi jiwa mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Pembayaran premi asuransi jiwa tidak boleh digunakan untuk
mengurangi penghasilan yang akan dikenakan pajak. Sementara itu,
pembayaran asuransinya tidak dikenakan pajak penghasilan. Perlakuan premi
asuransi telah sesuai dengan konsep tambahan kemampuan tetapi perlakuan
atas pembayaran asuransinya tidak sesuai. Asuransi jiwa tertentu memiliki
komponen tabungan (investasi) yang karena perlakuan ini bunga yang
diperoleh atas tabungan ini terhindar dari pengenaan pajak. Untuk asuransi
jiwa yang tidak memiliki komponen investasi, perlakuannya sudah tepat yaitu
pembayarannya dikecualikan dari pengenaan pajak tanpa memperbolehkan
pengurangan atas premi yang dibayarkan.

Praktek Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan


Neto
Peraturan pajak penghasilan di Indonesia hanya membolehkan satu jenis
pengurangan terhadap penghasilan neto yang disebut pengurangan standar
atau Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan pajak penghasilan di
Amerika Serikat memberikan pilihan bagi wajib pajak, apakah akan
menggunakan pengurangan standar atau pengurangan khusus (itemized
deduction). Pada umumnya wajib pajak yang berpenghasilan tinggi akan
memilih pengurangan khusus karena akan memberikan jumlah pengurangan
yang lebih besar daripada pengurangan standar. Pengurangan khusus ini
merupakan kategori lainnya dari preferensi pajak yang umumnya
diberikan
180 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 180
Pribadi

dengan alasan bahwa aturan perpajakan harus adil terhadap unit-


unit pengenaan pajak dan aturan pajak memberikan insentif atas kegiatan-
kegiatan yang memberikan manfaat sosial.
Pengurangan standar sebenarnya adalah penghasilan yang tarif pajaknya
nol persen. Pengurangan standar pada mulanya diberlakukan untuk
memudahkan ketaatan dan administrasi. Di Amerika Serikat, pengurangan
standar ini ditujukan untuk menjadi substitusi dari pengurangan khusus
sehingga memudahkan penghitungan bagi wajib pajak yang
berpenghasilan rendah. Akan tetapi, angka pengurangan standar ini telah
dinaikkan jauh melebihi angka pengurangan khusus yang disubstitusikan.
Oleh karena itu, pengurangan standar fungsinya menjadi hibrida antara
pengganti pengurangan khusus dan memberikan tambahan pengurangan
yang tidak berkaitan dengan ukuran rumah tangga.

Alasan-Alasan Memberlakukan Pengurangan


Khusus
Prinsip pengenaan pajak atas penghasilan mengharuskan basis pajak yang
komprehensif, memasukkan semua tambahan kemampuan ekonomis. Oleh
karena itu, tidak diperlukan adanya pengurangan-pengurangan khusus.
Walaupun demikian, ada beberapa alasan yang patut diperhitungkan sehingga
pengurangan khusus layak diberikan.

Aspek Keadilan
Sebagian alasan perlakuan pengurangan ini karena alasan keadilan
yang terkandung dalam prinsip kemampuan untuk membayar dari wajib
pajak. Wajib pajak dengan penghasilan yang sama tidak berarti memiliki
kemampuan yang sama untuk membayar jika para wajib pajak berada pada
posisi yang berbeda-beda karena statusnya, ukuran rumah tangganya
(tanggungannya) ataupun hal-hal lainnya. Beberapa wajib pajak tertentu harus
membayar pengeluaran untuk pengobatan yang sangat besar karena kondisi
dirinya atau keluarganya tentu mempunyai kemampuan untuk membayar
yang lebih rendah daripada para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi
beban yang sama.
Dalam situasi-situasi di atas, terutama untuk wajib pajak
berpenghasilan rendah, perlu dirancang suatu sistem yang mampu
menyeimbangkan kemampuan para wajib pajak tersebut. Misalnya, terhadap
wajib pajak yang selalu mengeluarkan biaya pengobatan yang besar diberikan
pengurangan atas penghasilannya sejumlah tertentu sehingga kewajiban
pajaknya lebih rendah karena kemampuannya lebih rendah daripada wajib
pajak lainnya yang berpenghasilan sama tanpa pengeluaran biaya
pengobatan. Jika dirancang
dengan baik, pengurangan ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga
mampu mendorong terciptanya basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan
yang sama juga dapat diberlakukan bagi para wajib pajak yang cacat karena
mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih banyak bila dibandingkan
dengan wajib pajak yang normal.

Pengurangan Pajak
Pemerintah perlu memberi penghargaan bagi pengusaha yang punya tanggung jawab sosial tinggi dan
bersedia bekerja sama membantu memecahkan masalah sosial di Indonesia. Penghargaan itu
misalnya, berupa pengurangan pajak.
Menurut Dirjen Pemberdayaan Sosial Depsos, usulan ini didasarkan pemikiran bahwa banyak masalah
sosial di tanah air yang harus diselesaikan. Pemerintah jelas tidak mampu menyelesaikan persoalan
tersebut sendirian karena dana yang ada sangat terbatas. “Kerja sama dengan masyarakat dan
perusahaan akan membuat beban pekerjaan itu menjadi lebih ringan sehingga banyak masalah sosial
bisa diselesaikan,” tuturnya dalam acara sosialisasi program Direktorat Peningkatan Peran
Kelembagaan Sosial Masyarakat dan Kemitraan Depsos.
Menurutnya, minat para pengusaha untuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah sosial
sebenarnya cukup tinggi. Akan tetapi, mereka tak tahu harus menghubungi siapa dan lewat jalur mana
untuk bisa membantu. Untuk itu, Depsos bersama pengusaha akan membuat sekretariat tetap untuk
memfasilitasi dunia usaha yang berniat membantu pemerintah. Langkah awal yang segera dilakukan
adalah membuat identifikasi masalah sosial yang kelak bisa diberikan kepada perusahaan.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Depkeu mengatakan, KMK tentang fasilitas penurunan pajak itu bisa
diberlakukan dalam kondisi darurat dan tidak terduga. Tentu saja, fasilitas ini akan membebani
anggaran pemerintah sehingga perlu dicari sumber pembiayaan lebih besar.
Akan tetapi, praktek program pengurangan beban pajak bagi wajib pajak yang menyumbang dinilai
rawan korupsi. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef)
mengatakan, kebijakan itu sangat rawan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para pengusaha
dalam bentuk laporan yang tidak sesuai dengan nilai sumbangan yang diberikan.
"Karena bisa saja seorang pengusaha menyumbangkan dana Rp 1 miliar, lalu dia laporkan sebesar Rp
5 miliar. Apalagi, seorang pengusaha bisa menyumbang di beberapa tempat yang berlainan," ujarnya.
(Diadaptasi dari: berbagai sumber yang dimuat dalam http://www.kompas.com)
Berdasarkan paparan diatas, diskusikan perlu tidaknya pengurangan pajak diberikan!

Aspek Insentif
Peraturan perpajakan seringkali dirancang dan ditetapkan dengan tujuan-
tujuan lain selain tujuan fiskal, seperti mendorong berbagai kegiatan
yang bermanfaat bagi masyarakat. Biaya untuk melakukan aktivitas tersebut
diperlakukan sebagai pengurangan atas penghasilan dan dapat dipandang
sebagai suatu cara untuk menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk
hal-hal yang “mulia” seperti sumbangan sosial atau zakat. Pengurangan atas
penghasilan juga dapat mendorong konsumsi atas hal-hal yang menimbulkan
manfaat-manfaat eksternalitas, seperti investment tax credit untuk
mendukung
iklim investasi. Dalam hal ini, pengurangan dapat dipandang sebagai hibah
yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak sehingga biaya
pelaksanaan aktivitas-aktivitas tertentu yang bermanfaat menjadi berkurang.
Hal ini akan mendorong wajib pajak untuk membelanjakan lebih banyak
uangnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini.
Hanya saja, peraturan perpajakan seperti ini sebaiknya dikaji secara
mendalam sehingga hanya untuk aktivitas-aktivitas yang layak didukung dan
hanya jika pengurangan pajak adalah cara terbaik untuk melakukannya, yaitu
keuntungan yang didapatkan dapat jauh melebihi kerugiannya pada aspek
keadilan pajak. Tidak ada larangan bagi suatu peraturan perpajakan
untuk mempunyai tujuan-tujuan selain tujuan fiskal. Pertanyaannya adalah
apakah aktivitas yang perlu didukung itu membutuhkan subsidi. Jika subsidi
dibutuhkan, apakah subsidi ini harus diberikan dalam bentuk
pengurangan pajak. Walaupun demikian, berbagai aturan khusus ini sebagai
suatu preferensi pajak ternyata menambah kerumitan perhitungan pajak
sehingga secara administratif membebani tidak saja bagi wajib pajak dalam
melaporkan pajak penghasilannya, tetapi juga dari aparat perpajakan yang
harus melakukan audit atas laporan pajak penghasilan tersebut.

PREFERENSI PAJAK
Preferensi pajak merupakan pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan dari basis pajak yang komprehensif. Seharusnya,
penghasilan kena pajak setelah pengecualian dan pengurangan sama dengan
tambahan kemampuan ekonomis. Akan tetapi, preferensi pajak inilah yang
menyebabkan penghasilan kena pajak berbeda dengan penghasilan
komprehensif. Perbedaan- perbedaan substansial yang timbul karena
preferensi pajak inilah yang seringkali menyebabkan penghasilan kena
pajak jumlahnya di bawah dari yang ditentukan oleh konsep tambahan
kemampuan atau penghasilan komprehensif.
Preferensi pajak dapat dipandang sebagai subsidi pada aktivitas ekonomi
tertentu. Dengan adanya preferensi pajak ini, tingkah laku wajib pajak
berubah untuk membuat beban pajaknya menjadi lebih rendah dengan
memanfaatkan aturan-aturan tertentu yang juga disebut sebagai
lubang-lubang dalam peraturan perpajakan.
Preferensi pajak menyebabkan pengurangan atas basis pajak, sering disebut
sebagai kehilangan potensi pajak. Dalam konteks keuangan negara dan
ekonomi, kehilangan potensi pajak atau penyusutan penerimaan pajak
ini
disebut pengeluaran pajak (tax expenditure). Istilah penyusutan penerimaan
pajak digunakan karena kegagalan otoritas pajak mendapatkan
penerimaan pajak disebabkan lubang-lubang dalam basis penghasilan kena
pajak. Pada dasarnya, pengeluaran pajak ini adalah sama dengan memperoleh
penerimaan pajak sepenuhnya (tanpa ada aturan preferensi pajak) kemudian
melakukan pengeluaran (subsidi) dengan jumlah yang sama kepada wajib
pajak sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan
yang membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan
mengenakan pajak penuh atas bunga pinjaman kepada pemilik rumah dan
kemudian secara bersamaan melakukan pengeluaran subsidi kepada mereka.
Keberadaan preferensi pajak tidak menjadi masalah keadilan pajak apabila
basis pajak yang berkurang karena pengecualian dan pajak final dalam
jumlah yang proporsional terhadap basis pajak sepenuhnya (tanpa preferensi
pajak) bagi seluruh wajib pajak. Hal ini sama dengan memberikan
pengurangan tarif pajak maksimal yang sama bagi seluruh wajib pajak. Dalam
hal ini, preferensi pajak dapat dinetralisasi dengan pengenaan tarif pajak yang
lebih progresif. Pada kenyataannya, insiden preferensi sangat bervariasi, baik
bagi wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkat penghasilan maupun wajib
pajak tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan
adanya ketidakadilan secara vertikal dan horizontal.
Ketidakadilan pajak secara vertikal dapat timbul karena preferensi
pajak memberikan manfaat-manfaat yang hanya dinikmati oleh kelompok
wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat,
kehilangan potensi pajak dari aturan pajak terhadap laba modal cenderung
lebih dinikmati oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi karena merekalah
yang memiliki lebih banyak aset daripada wajib pajak berpenghasilan rendah.
Untuk di Indonesia, penelitian tentang hal ini ada, bagaimana aturan pajak
menciptakan preferensi pajak bagi golongan-golongan wajib pajak dengan
penghasilan tertentu.
Ketidakadilan pajak secara horisontal terjadi karena wajib pajak
dengan penghasilan sama tidak mendapat manfaat yang sama karena
perbedaan aturan. Misalnya, wajib pajak yang menerima penghasilan
dalam bentuk natura membayar lebih sedikit daripada pegawai yang
menerima seluruh penghasilannya dalam bentuk kas.
Permasalahan Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak
Berpenghasilan Tinggi
Wajib pajak berpenghasilan tinggi dapat menggunakan preferensi pajak
untuk melakukan penghindaran pajak, terutama yang berkaitan
dengan berbagai jenis penghasilan modal. Cara penghindaran pajak yang
paling utama adalah adanya tax shelter yang timbul dari kerugian usaha.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kerugian merupakan
penghasilan negatif sehingga dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan
kena pajak. Bunga adalah satu-satunya biaya modal yang dapat dikurangkan
sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kedua aturan ini
memang konsisten dengan konsep tentang laba bersih sebagai basis
pajak, konsep yang sangat dipengaruhi oleh praktek akuntansi. Keduanya
dapat dikombinasikan sedemikian rupa untuk mengurangi beban pajak dengan
membentuk suatu tax shelter, yaitu menciptakan kerugian dengan
memunculkan biaya bunga yang besar.
Contohnya, suatu perusahaan perseorangan atau firma dibentuk untuk
investasi di dunia real estate. Dengan investasi modal yang kecil, firma
tersebut dapat meminjam dalam jumlah yang banyak dengan jaminan
harta real estatenya. Pembayaran bunga akan mengakibatkan kerugian yang
besar pada periode-periode awal beroperasinya firma tersebut sebelum
memperoleh penghasilan yang cukup besar. Dengan melakukan investasi
pada firma tersebut, investor dapat menghapuskan kerugian yang besar
tersebut pada penghasilan mereka sehingga mengurangi pajak yang
dibayarkan pada periode awal tersebut. Para investor dengan penghasilan
yang sangat besar pada periode ini dan penghasilan kecil pada periode
berikutnya akan memperoleh manfaat yang besar dengan skema pengurangan
pajak seperti ini.

Permasalahan Keadilan Pajak Bagi Wajib Pajak


Berpenghasilan Rendah
Keadilan pajak menyiratkan bahwa wajib pajak berpenghasilan tinggi harus
membayar pajak dalam jumlah besar dan wajib pajak berpenghasilan rendah
hanya membayar pajak dalam jumlah kecil.

Berapa besarnya penghasilan minimal yang tidak dikenakan


pajak?
Pada umumnya, semua orang sependapat bahwa ada sejumlah tertentu
penghasilan yang tidak boleh dikenakan pajak atau dikenakan pajak
dengan
tarif nol persen. Penghasilan yang dikenakan pajak (yang dikenai tarif pajak
lebih dari nol persen) harus didefinisikan sebagai penghasilan kena
pajak dikurangi dengan PTKP (yang dikenai tarif pajak nol persen). Ukuran
untuk menentukan jumlah PTKP ini adalah tingkat penghasilan yang rendah
yang membuat wajib pajak diklasifikasikan sebagai “miskin.” Karena tingkat
kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya keluarga, besarnya
penghasilan tidak kena pajak pun harus menyesuaikan dengan
ukuran besarnya keluarga. Dengan demikian, pemerintah perlu selalu
menyesuaikan besarnya PTKP sehingga mencerminkan tingkat penghasilan
wajib pajak “miskin”, walaupun kategori “miskin” ini multi interpretasi.
Titik awal beban pajak bergantung pada berbagai faktor. Pertama, PTKP
bergantung pada jumlah tanggungan keluarga sampai dengan maksimal
tertentu. Dalam hal ini, ada PTKP sebesar Rp1.440.000 per wajib pajak,
pasangannya dan setiap tanggungan (maksimal tiga tanggungan). PTKP
memperhitungkan ukuran keluarga dengan asumsi implisit bahwa tambahan
tanggungan tidak menciptakan skala ekonomis. Berdasarkan faktor ini,
jumlah PTKP maksimal adalah Rp7.200.000. Di Indonesia, jumlah maksimal
tanggungan adalah tiga orang karena adanya tujuan tambahan untuk
mendukung program keluarga kecil. Hal ini menimbulkan permasalahan
ketidakadilan pajak karena aturan pajak telah terdistorsi untuk memenuhi
tujuan-tujuan non fiskal. Ketidakadilan didapatkan oleh wajib pajak karena
sesuatu dan lain hal, harus memiliki jumlah tanggungan lebih dari tiga orang.
Berikutnya, ada PTKP bagi anggota keluarga yang memiliki penghasilan
untuk wajib pajak yang bersangkutan dan pasangannya masing-masing
sebesar Rp1.440.000. Ditambah dengan faktor ini maka jumlah PTKP
maksimal adalah Rp10.800.000.
Batas bebas pajak tersebut tidak hanya penting dalam menentukan batas
bawah untuk kewajiban pajak, tetapi juga menentukan besarnya tarif pajak
efektif atau pola progresivitas pada skala penghasilan menengah ke bawah.
Dengan adanya PTKP ini, tarif pajak efektif (yang didefinisikan sebagai rasio
pajak terhadap penghasilan neto) pada tingkat penghasilan neto yang rendah
jumlahnya sangat kecil karena PTKP merupakan porsi terbesar dari
penghasilan neto. Ketika penghasilan neto naik, jumlah PTKP turun secara
relatif terhadap penghasilan neto sehingga tarif pajak efektif naik.
Seperti dikemukakan sebelumnya, PTKP adalah penghasilan yang
dikenakan tarif pajak sebesar nol persen dan merupakan bagian integral
dari struktur tarif pajak sehingga menentukan tingkat progresivitas tarif
pajak.

Kredit Pajak bagi Wajib Pajak berpenghasilan


Rendah
Pada negara maju, telah muncul pemikiran-pemikiran dan praktek-praktek
berkaitan dengan tarif pajak negatif. Struktur tarif pajak tidak lagi
selalu positif, tetapi bergerak dari tarif negatif pada penghasilan nol
(wajib pajak pada tingkatan penghasilan ini mendapatkan subsidi dari
pemerintah) bergerak ke angka nol (titik impas) dan menjadi tarif positif pada
angka di atas titik impas ini. Prinsip progresivitas tidak saja menyatakan
seberapa tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan
besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada wajib
pajak miskin. Praktek ini dapat dilakukan dengan memberikan kredit pajak
pada para wajib pajak berpenghasilan rendah.

Kredit Pajak untuk Biaya Mengasuh Anak


Sejalan dengan perkembangan tentang hak-hak wanita dan perlakuan yang
adil terhadap penghasilan keluarga, aturan hukum di negara maju
menyediakan kredit pajak bagi keluarga yang memiliki anak dan
pasangannya juga bekerja. Untuk keluarga seperti ini, mereka harus
menyediakan dana untuk menyewa pengasuh bagi anak-anak mereka.

POLA PROGRESIVITAS TARIF PAJAK


Pajak penghasilan merupakan suatu instrumen pajak yang progresif sesuai
dengan prinsip kemampuan membayar dan keadilan pajak secara vertikal.
Progresivitas ini memiliki arti tertentu dan diukur dengan cara tertentu.

Arti Progresivitas Tarif Pajak


Pada saat membahas penghasilan neto, tarif pajak yang
dikenakan meningkat seiring dengan peningkatan penghasilan neto. Pajak
dikatakan progresif apabila tarif pajak cenderung meningkat sejalan dengan
kenaikan tingkat penghasilan, proporsional apabila tarif pajak konstan
pada semua tingkat penghasilan, dan regresif bila tarif pajak turun
pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Progresivitas tidak hanya diukur
dengan peningkatan kewajiban pajak sejalan dengan peningkatan penghasilan.
Peningkatan kewajiban pajak harus lebih tinggi daripada peningkatan
penghasilan untuk dapat dianggap sebagai pajak progresif. Bila peningkatan
kewajiban pajak lebih rendah daripada peningkatan penghasilan,
pajak tersebut dianggap regresif. Selain itu, semakin progresif pajak
penghasilan, semakin cepat kenaikan rasio pajak terhadap PNB.
Mengukur Tingkat Progresivitas
Menurut Musgrave dan Musgrave (1989), ada beberapa ukuran
3
dapat dipakai untuk mengukur tingkat progresivitas tarif pajak, yaitu :
n Rasio perubahan tarif efektif terhadap perubahan penghasilan. Ukuran
ini disebut sebagai progresivitas tarif rata-rata (average-rate progression),
merupakan ukuran kemiringan kurva yang diperoleh dari
menggambar hasil bagi tarif pajak efektif terhadap penghasilan. Nilai dari
koefisien ini adalah nol untuk pajak proporsional dan positif untuk
pajak progresif. Kurva tarif efektif cenderung berkurang kemiringannya
dan progresivitas cenderung menurun seiring dengan
meningkatnya skala
T1 T0
Y1 Y0
penghasilan.Rumusnya:
Y1 Y0
n Rasio persentase perubahan kewajiban pajak terhadap
perubahan penghasilan. Ukuran ini disebut sebagai progresivitas
kewajiban pajak, mencatat elastisitas kewajiban pajak terhadap
penghasilan. Koefisien ini mengukur kemiringan kurva yang diperoleh
dari menggambar hasil bagi kewajiban pajak terhadap penghasilan pada
bagan log-ganda. Proporsionalitas ditunjukkan dengan nilai koefisien
sama dengan satu dan progresivitas ditunjukkan dengan nilai koefisien
di atas satu. Rumusnya:
T1 T0 Y0
.
T0 Y1 Y0
n Rasio persentase perubahan penghasilan setelah pajak terhadap
persentase perubahan penghasilan sebelum pajak. Ukuran ketiga atau
progresivitas penghasilan residu mencatat elastisitas dari penghasilan
setelah pajak Ukuran ini menunjukkan kemiringan kurva yang diperoleh
dengan menggambar penghasilan sebelum dan sesudah pajak pada bagan
log. Koefisiennya juga satu untuk pajak proporsional tetapi progresivitas
sekarang ditunjukkan dengan angka koefisien yang kurang dari satu.
Progresivitas pada semua indikator cenderung menurun seiring dengan
kenaikan skala penghasilan setelah tingkatan
penghasilan
(Y T1 ) (Y0 T0 ) Y0
tertentu.Rumusnya: 1 .
(Y0 T0 ) Y1 Y0
Sebelum membandingkan tingkat progresivitas suatu struktur pajak atau
tingkat progresivitas pada berbagai tingkatan penghasilan, perlu
ditetapkan terlebih dahulu ukuran progresivitas apa yang akan digunakan.
Hal ini sangat
3
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 359-360
penting supaya terhindar adanya pembandingan tingkat progresivitas
dengan menggunakan ukuran-ukuran progresivitas yang berbeda.
Debat mengenai tingkat progresivitas ini menjadi hal yang sangat penting
ketika tarif-tarif pajak berubah. Ketika tarif-tarif pajak dinaikkan atau
diturunkan, banyak pihak yang mengusulkan perubahan pada seluruh
tarif untuk menjaga kenetralan kenaikan dan penurunan. Padahal
kenetralan tersebut memiliki banyak interpretasi sejalan dengan adanya
berbagai ukuran progresivitas. Misalnya, pemerintah memutuskan untuk
menaikkan tarif pajak.
n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas tarif pajak
rata- rata ditetapkan konstan, semua hutang pajak harus dinaikkan dengan
persentase yang sama. Tarif-tarif pajak dinaikkan pada persentase yang
semakin besar pada tarif-tarif yang lebih tinggi.
n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas kewajiban
pajak ditetapkan konstan, semua tarif pajak dinaikkan sebesar
persentase kenaikan yang sama.
n Jika yang dimaksud dengan netralitas adalah progresivitas
penghasilan residu ditetapkan konstan, tarif-tarif pajak akan dinaikkan
pada persentase yang semakin kecil pada tarif-tarif yang lebih tinggi.
Dengan demikian, pihak-pihak tertentu akan menginterpretasikan netralitas
sesuai dengan kepentingannya. Ada implikasi politis dari hal-hal yang
sifatnya teoritis, seperti halnya ukuran tingkat progresivitas pajak.
Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang
berpenghasilan rendah tentu saja akan sangat berkeinginan untuk
menginterpretasikan netralitas dalam bentuk yang paling diinginkan yaitu
progresivitas tarif rata-rata, kemudian progresivitas kewajiban pajak dan yang
terakhir adalah progresivitas penghasilan residu. Pihak-pihak yang
memperjuangkan kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi akan
cenderung mengambil posisi yang berlawanan. Yang lebih menarik lagi
adalah urutan preferensi tersebut akan terbalik bila yang diperjuangkan adalah
pengurangan pajak.
PENYESUAIAN TERHADAP INFLASI
Pada bagian sebelumnya telah dibahas pengaruh inflasi terhadap
penghasilan nominal. Secara teoritis, tambahan kemampuan ekonomis harus
memperhitungkan tingkat inflasi sehingga hanya penghasilan dalam nilai riil
saja yang layak untuk dikenai pajak penghasilan. Permasalahan inflasi tidak
hanya berkaitan dengan angka nominal penghasilan, tetapi juga PTKP,
besaran pajak yang dikenakan tarif tertentu, dan laba modal.
PTKP dan Tingkat Penghasilan yang Dikenakan Tarif Pajak
Inflasi menyebabkan nilai riil dari PTKP menjadi turun. Nilai PTKP
sebesar Rp2.440.000 sepuluh tahun yang lalu nilai riilnya lebih besar dari
sekarang. Tingkat penghasilan riil yang mulai dikenakan pajak dengan tarif
tertentu juga semakin turun. Selain itu, ketika harga-harga naik, nilai riil dari
tingkat penghasilan yang dikenakan tarif pajak turun, sehingga tingkat tarif
pajak yang berlaku untuk tingkat penghasilan riil tertentu akan naik. Dengan
demikian, kewajiban pajak naik dalam nilai riil lebih cepat daripada kenaikan
harga.
Berkaitan dengan pengaruh inflasi, peraturan pajak di Indonesia hanya
menyesuaikan PTKP. Itupun tidak dilakukan setiap tahun, tetapi
beberapa tahun sekali. Dengan demikian, nilai riil dari PTKP cenderung
turun. Sementara itu, tingkat penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertentu
tidak pernah disesuaikan. Karena pajak di Indonesia tidak terlindung dari
pengaruh inflasi, wajib pajak di Indonesia mengalami kenaikan kewajiban
pajak dalam nilai riil.

Penghasilan/Laba Modal
Masalah inflasi juga mempengaruhi besarnya kewajiban pajak atas laba
modal. Laba modal yang sudah terealisasi, sebagian dikenakan pajak final
dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang sama terhadap
laba modal seharusnya hanya akan mengenakan pajak atas laba dalam nilai
riil (kenaikan harga dalam nilai riil), bukannya laba dalam nilai nominal
(kenaikan harga dalam nilai nominal). Oleh karena itu, diperlukan
penyesuaian terhadap inflasi dengan mengurangkan kenaikan harga aset dari
inflasi dari laba modal nominal.
Permasalahan pengaruh inflasi yang sama juga dialami oleh kreditor yang
menderita kerugian penurunan nilai riil hutang yang mereka berikan kepada
debitor. Tentu saja, penurunan nilai hutang ini menjadi keuntungan bagi
debitor. Bila peraturan perpajakan konsisten menggunakan basis
tambahan kemampuan ekonomis yang diukur dalam satuan nilai riil maka
aturan perpajakan harus membolehkan kreditor mengakui kerugian dan juga
mengharuskan debitor mengakui keuntungan. Salah satu solusi yang pernah
diusulkan adalah mengurangi penghasilan bunga kena pajak sesuai dengan
tingkat inflasi.
Depresiasi adalah pos berikutnya yang dipengaruhi inflasi. Ketika harga-
harga naik, pengembalian dari biaya perolehan aktiva berkurang dalam
nilai riil dan penyesuaian inflasi juga diperlukan dalam hal ini.
Solusi atas
190 Keuangan Publik: Teori dan Aplikasi Bab 9: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 190
Pribadi

permasalahan ini dalam perundang-undangan pajak hanyalah parsial


dalam bentuk penggunaan metode penyusutan dipercepat.

PILIHAN UNIT KENA PAJAK


Pemilihan unit kena pajak merupakan salah satu hal yang
kontroversial dalam pajak penghasilan yang belum ada solusi yang memadai
saat ini. Problema ini muncul karena adanya kecenderungan lebih dari
anggota keluarga memperoleh penghasilan sebagai akibat kecenderungan
sosio ekonomis meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja.

Pendekatan Unit Keluarga


Pendapat umum dari para ahli perpajakan adalah bahwa unit kena pajak
dan pengukuran kemampuan untuk membayar harus diarahkan kepada unit
keluarga. Alternatif lainnya adalah pemilihan individu sebagai unit kena
pajak dan pengukuran kemampuan untuk membayar.

Aturan Dasar
Dalam hal penetapan unit kena pajak, Musgrave dan Musgrave (1989)
memberikan tiga aturan berikut agar pilihan unit kena pajak
4
tersebut memenuhi asas keadilan pajak, yaitu :
§ Unit-unit dengan penghasilan yang sama dan jumlah anggota yang
sama harus membayar pajak yang sama jumlahnya. Aturan ini tidak perlu
penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara sederhana mewakili
persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama juga. Ada hal
yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan kemampuan
untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah
penghasilan diperoleh oleh satu anggota atau lebih.
§ Di antara unit-unit yang berpenghasilan sama, unit yang
jumlah anggotanya lebih kecil harus membayar pajak lebih banyak dan
unit yang jumlah anggotanya lebih besar harus membayar pajak lebih
sedikit. Aturan ini menunjukkan proposisi bahwa seorang bujangan
dengan penghasilan Rp 30 juta memiliki posisi (kemampuan) lebih baik
daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga Rp 30 juta.
Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya penerangan di
ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu orang
atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya
kursi untuk santai)
4
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 386.
lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan yang adil
apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut
lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri
dengan tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah
yang layak) tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif
terhadap seorang bujangan.
§ Dengan pengenaan pajak progresif, jumlah pajak (yang dinyatakan
dalam persentase terhadap penghasilan) untuk unit-unit dengan jumlah
anggota yang sama harus naik seiring dengan kenaikan penghasilan unit.
Aturan ini mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini
tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang
dari pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun
kedua-duanya.

Penggabungan Penghasilan
Ada dua cara untuk mencapai tujuan seperti yang tercantum pada aturan
dasar di atas. Pertama, menetapkan PTKP tertentu sesuai dengan jumlah
tanggungan dan jumlah penerima penghasilan. Kedua, menggunakan struktur
tarif pajak yang berbeda untuk berbagai jenis SPT yang didasarkan
pada jumlah tanggungan, status dan jumlah penerima penghasilan. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, aturan perpajakan membolehkan tambahan
PTKP sesuai dengan ukuran keluarga, walaupun dibatasi hanya sampai tiga
tanggungan. Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian
dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang
dikenakan pajak. Penggabungan penghasilan ini tidak mengurangi jumlah
PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan, baik ketika penghasilan
masih dilaporkan sendiri maupun penghasilan digabungkan.

Pendekatan Alternatif: Unit Peroleh Penghasilan


Pendekatan alternatif dalam memilih unit kena pajak adalah dengan
mengabaikan unit keluarga dan menggunakan individu sebagai unit yang
dikenakan pajak. Bila individu ditetapkan sebagai unit kena pajak, kewajiban
pajak gabungan pasangan suami istri bergantung pada bagaimana penghasilan
terdistribusi di antara mereka. Struktur tarif yang digunakan, baik
proporsional, progresif ataupun regresif, tidak menimbulkan perbedaan.
Pendekatan ini memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan bagi wajib
pajak yang berpenghasilan rendah.
Tanggungan dan Pasangan yang Tidak Bekerja
Jumlah tanggungan menjadi pertimbangan utama dalam mengukur
kemampuan untuk membayar dari suatu unit keluarga. Suatu keluarga besar
(dengan tanggungan yang lebih banyak) dengan penghasilan neto tertentu
mempunyai kemampuan untuk membayar yang lebih rendah daripada
keluarga kecil (dengan tanggungan yang lebih sedikit) dengan penghasilan
neto yang sama. Ada dua pertanyaan berkenaan dengan tanggungan ini.
Pertanyaan pertama, siapa yang menjadi tanggungan. Pertanyaan ini akan
menyangkut masalah bagaimana memperlakukan anak-anak yang tinggal
jauh dari orang tua dan yang memiliki penghasilan. Pertanyaan kedua
bagaimana pengurangan diberikan. Pertanyaan ini berkenaan dengan apakah
pengurangan tersebut diberikan dalam bentuk pengurang atas penghasilan
atau kredit pajak. Pendekatan kredit pajak lebih tepat digunakan bila
setiap tambahan tanggungan diukur dalam satuan pengeluaran standar
(misalnya pengeluaran rata-rata). Pendekatan pengurang atas penghasilan
lebih tepat digunakan jika biayanya diukur dalam berapa banyak pengeluaran
akan dilakukan. Karena wajib pajak dengan penghasilan yang tinggi
mengeluarkan biaya untuk tanggungan (anak) yang lebih besar, sudah
selayaknya diberikan keringanan pajak yang lebih besar pula.
Cara lain dari perlakuan pajak terhadap tanggungan adalah PTKP.
Peraturan pajak di Indonesia menggunakan cara ini dengan memberikan
pengurangan atas penghasilan neto sebesar Rp1.440.000 untuk setiap
tanggungan, tapi dengan jumlah maksimal tiga tanggungan.
Pertanyaan terakhir dalam pajak penghasilan adalah bagaimana pengaturan
tentang pasangan yang tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah untuk
mengurus rumah, menjaga anak-anak, atau menganggur. Misalnya, ada
sepasang suami istri A dan B dimana A memiliki penghasilan dan B tidak
memiliki penghasilan. Kemudian ada pasangan lain, C dan D, yang keduanya
memiliki penghasilan. Asumsikan bahwa A dan C penghasilannya sama dan
bahwa B memiliki potensi penghasilan yang sama dengan D. Dalam
peraturan perpajakan sekarang ini keluarga C dan D membayar pajak
lebih besar daripada keluarga A dan B. Padahal berdasarkan aturan opsi yang
sama (bekerja dan tidak bekerja) keduanya harus membayar pajak dalam
jumlah yang sama, seperti kesimpulan kita pada pembahasan tentang imputed
income di muka, yang harus dimasukkan sebagai tambahan kemampuan.
Secara prinsip, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan)
dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar
pengenaan
pajak. Selain itu, secara prinsip, prosedur yang sama juga harus
diberlakukan kepada bujangan yang tidak bekerja

RANGKUMAN
§ Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan dalam nama dan bentuk apapun. Penghasilan bruto yang
telah dihitung kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) untuk mendapatkan jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP).
§ Penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis
(accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto, yaitu
penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan penghasilan. Dalam membedakan antara penghasilan
dari pekerjaan (upah dan gaji) dan penghasilan dari modal, ditekankan
bahwa penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban pajak yang
lebih ringan. Penghasilan harus didefinisikan dalam satuan riil. Sesuai
dengan definisi penghasilan, tidak menjadi perbedaan apakah penghasilan
tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan
aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset (capital gain)
yang belum terealisasi.
§ Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan
bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk imputed income (misalnya
pemilikan aset jangka panjang) dan natura dalam bentuk santai harus
dimasukkan ke dalam basis pajak.
§ Perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan
ekonomis bagi penerima sehingga harus dimasukkan ke dalam
basis pajak penghasilan bagi penerimanya.
§ Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak,
pada beberapa transaksi tertentu berlaku tarif pajak final.
§ Capital gain sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi
sehingga wajib pajak harus membayar lebih banyak dalam sistem tarif
pajak yang progresif, bila dibandingkan jika capital gain tersebut
diterima sebagai pendapatan tetap, kesulitan ini dapat dihilangkan
dengan menggunakan aturan perataan yang tepat.
§ Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua
lainnya seharusnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, dan
ketika uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian
hari, hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan.
§ Secara keadilan, wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang
berat, seperti tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan
memiliki kemampuan untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan
para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat
tersebut. Pengurangan khusus dapat dipandang sebagai suatu cara untuk
menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang mulia
seperti sumbangan sosial.
§ Tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya
keluarga, sehingga beban pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran
besarnya keluarga. Prinsip progresivitas tidak saja menyatakan seberapa
tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan
besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada
wajib pajak miskin.
§ Sistem pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau
kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenakan pajak.
§ Pada prinsipnya, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak
didapatkan) dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam
dasar pengenaan pajak.
LATIHAN
1. Jelaskan prinsip dasar pengenaan pajak penghasilan dan bagaimana
menentukan penghasilan kena pajak!
2. Jelaskan perbedaan prinsip Capital Income dan Labor Income!
3. Bagaimana penerapan pajak penghasilan terhadap:
a. Warisan
b. Penghasilan tidak teratur
c. Imputed Income
4. Apa yang dimaksud dengan pajak final dan apa tujuan diberlakukannya?
5. Mengapa perlakuan terhadap pajak final dianggap melanggar
prinsip keadilan pajak?
6. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas :
a. Laba yang telah terealisasi
b. Laba yang belum terealisasi
c. Tabungan hari tua
d. Iuran Pensiun
e. Asuransi Jiwa
7. Jelaskan bagaimana aspek keadilan yang diberlakukan untuk
pengurangan jumlah pajak penghasilan yang dikenakan terhadap wajib
pajak!
8. Bagaimana bentuk ketidakadilan pajak yang terjadi akibat
adanya preferensi pajak ?
9. Wajib pajak yang mempunyai penghasilan tinggi cenderung
menginvestasikan uang mereka dibandingkan dengan menabungnya. Apa
pengaruhnya terhadap pengenaan pajak penghasilan wajib pajak tersebut?
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK BADAN

STRUKTUR PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK


BADAN
Prinsip dasar penentuan penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan
tidak jauh berbeda dengan penentuan penghasilan kena pajak untuk
wajib pajak pribadi yang mempunyai kegiatan usaha. Penghasilan bruto dari
perseroan dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
menjalankan usaha akan menghasilkan laba bersih (identik dengan
penghasilan neto) untuk dikenakan pajak. Pada dasarnya semua pengeluaran
dapat dibebankan sebagai biaya apabila mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan bruto yang menjadi objek pajak. Pengeluaran untuk
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
198 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 198
Aplikasi Badan

Demikian juga pengeluaran yang melebihi batas kewajaran karena


adanya hubungan istimewa tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Beberapa pengecualian permasalahan penghasilan yang muncul pada wajib
pajak pribadi juga muncul pada wajib pajak badan, ditambah dengan
masalah- masalah lain yang khusus ada pada pengenaan pajak penghasilan
kepada wajib pajak badan, menambah kerumitan dalam merancang pajak
penghasilan badan yang adil dan efisien. Permasalahan ini diantaranya
penentuan pengeluaran- pengeluaran apa yang dapat dibebankan sebagai
biaya dan kapan pembebanan tersebut dapat dilakukan. Setiap industri
memiliki kerumitan tersendiri sehingga sangat sulit untuk merancang suatu
perlakuan pajak yang seragam untuk berbagai industri yang berbeda tersebut.
Dengan adanya kerumitan hukum dari perseroan dan hubungan di antara
mereka, suatu pajak penghasilan badan yang adil bukanlah pajak yang
sederhana.

PERLUKAH PERSEROAN DIKENAKAN PAJAK?


Menteri Keuangan Amerika Serikat, Paul H. O’Neill, pernah
mengemukakan suatu pendapat: “For a long time we’ve maintained what
I think is clearly a fiction – the idea that somehow corporations and
business pay taxes. The clear economic truth is that businesses and
corporations don’t
1
pay taxes, they just collect them for the government ...” Hal ini sejalan
dengan
pandangan para ahli ekonomi bahwa perseroan hanyalah lembaga atau unit
yang mengumpulkan pajak untuk pemerintah, oranglah yang menanggung
beban pajak pada akhirnya. Beberapa fakta berikut merupakan hal-hal yang
disepakati oleh para ahli ekonomi:
n Warga negara yang menanggung beban pajak penghasilan
perseroan.
n Pajak penghasilan perseroan menurunkan standar hidup
masyarakat.
n Pajak penghasilan perseroan merupakan praktek perpajakan
berganda.
Dengan demikian, banyak ahli ekonomi yang berpandangan bahwa
perseroan sebaiknya tidak dikenakan pajak.
Musgrave dan Musgrave (1989) berpandangan pada dasarnya berpendapat
senada. Perseroan hanyalah alat ekonomi bagi para investor, manajemen dan
karyawan untuk memperoleh penghasilan. Jika konsumsi dijadikan basis
pajak penghasilan, pajak penghasilan tidak boleh dikenakan kepada badan.
Sumber penghasilan dari korporasi hanya dapat dipajaki apabila
didistribusikan dan dibelanjakan oleh penerimanya, baik investor,
manajemen ataupun karyawan.
199 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 199
1 Aplikasi Badan
Wawancara terhadap Paul O’Neill, U.S. Secretary of Treasury, Financial Times, 21
Mei
2001. Pernyataan ini adalah jawabannya atas pertanyaan: “Bidang-bidang apa saja yang
anda pandang membutuhkan perbaikan?
Bila penghasilan digunakan sebagai basis pajak, pengenaan pajak kepada
badan juga tetap dipertanyakan. Dalam hal ini, ada dua pendapat dalam
pengenaan pajak perseroan. Pertama, pengenaan pajak pada perseroan
sebaiknya diintegrasikan ke dalam pengenaan pajak penghasilan pribadi dari
penerima penghasilan yang bersumber dari perseroan. Kedua pajak
penghasilan perseroan sebagai pajak “absolut” terhadap
penghasilan bersumber dari korporasi. Pandangan kedua ini yang digunakan
oleh peraturan pajak penghasilan di Indonesia. Badan (dalam hal ini
perseroan) dikenakan pajak dan tidak dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan pribadi atas penghasilan dividen. Pandangan lain yang
berkembang di beberapa negara maju adalah mengintegrasikan penghasilan
korporasi ke dalam pajak penghasilan individu.

Pandangan Integrasi
Pandangan integrasi ini adalah pandangan yang paling diterima oleh
para ahli ekonomi. Para penganut posisi integrasi memandang bahwa pajak
pada akhirnya menjadi beban dari orang-orang pribadi. Oleh karena itu,
pengenaan pajak pada perseroan harus dipandang sebagai satu cara
memasukkan semua penghasilan yang bersumber dari perseroan ke dalam
basis pajak penghasilan pribadi. Ada beberapa argumentasi untuk mendukung
pandangan ini. Pertama, pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi.
Kedua, konsep keadilan, dalam hal ini keadilan pajak hanya dapat diterapkan
kepada pribadi. Ketiga, penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam
konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila
mengenakan pajak pada laba perseroan, maka laba perseroan tersebut ketika
didistribusikan dipajaki dua kali, pertama pada tingkatan perseroan dalam
bentuk pajak penghasilan badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi
sebagai dividen dalam perhitungan pajak penghasilan pribadi.
Misalkan, seorang wajib pajak A adalah serorang wajib pajak dengan
penghasilan besar sehingga membayar pajak penghasilan pribadi pada tarif
pajak 25%. Bagiannya pada laba suatu perseroan yang sahamnya ia miliki
adalah Rp10.000.000, yang dikenakan pajak dengan tarif efektif sebesar 30%
(atau sebesar Rp3.000.000). Sisanya, sebesar Rp7.000.000 didistribusikan
sebagai dividen kepada A, yang kemudian akan membayar pajak atasnya
sebesar Rp1.750.000. Apabila kedua pajak ini digabungkan, jumlahnya
menjadi Rp4.750.000. Bila tidak ada pajak penghasilan badan, pajak
penghasilan yang dibayarkan pada penghasilan yang didistribusikan (dividen)
sejumlah Rp10.000.000 hanya akan sebesar Rp2.500.000. Dengan demikian,
ada “kelebihan pajak” sebesar Rp1.250.000. Berikutnya, seorang wajib
pajak
200 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 200
Aplikasi Badan

B, yang berpenghasilan kecil sehingga membayar pajak penghasilan pribadi


pada tarif pajak 15%. Baginya, pajak gabungan sama dengan Rp3.000.000
ditambah Rp1.050.000, atau sebesar Rp4.050.000. Pajaknya berdasarkan
sistem integrasi hanya akan sebesar Rp1.500.000, sehingga ada
kelebihan pajak sebesar Rp2.550.000. Beban pajak B lebih besar daripada
beban pajak A. Dengan tidak mengintegrasikan penghasilan, sistem pajak
di Indonesia memberikan tambahan beban pajak dan beban pajak atas
penghasilan yang bersumber dari perseroan lebih besar bagi pemegang saham
kecil yang pajak penghasilan pribadinya sebenarnya lebih kecil.
Walaupun, sebagai wajib pajak yang berpenghasilan besar dan mempunyai
banyak investasi menyebabkan proporsi dividen terhadap total
penghasilan lebih besar pada wajib pajak A daripada pada wajib pajak B,
pajak tambahan sebagai persentase dari total penghasilan akan lebih besar
bagi A daripada bagi B, pajak tambahan ini tidak adil bila ditinjau dari sudut
pandang penganut integrasi, sebab semua penghasilan (termasuk yang
diperoleh dari sumber perseroan) harus dipajaki dengan tarif yang
sama. Dengan demikian, sebaiknya pajak perseroan digantikan dengan
pemungutan pajak pribadi atas sumber penghasilan dari perseroan.
Pada kenyataanya sebagian dari laba korporasi setelah pajak ditanamkan
kembali pada operasi perusahaan sebagai tambahan pada laba yang ditahan.
Laba yang tidak dibagikan ini tidak diperhitungkan sebagai penghasilan
pemegang saham sehingga tidak dikenakan pajak dua kali, praktek yang
sesuai dengan pengenaan pajak penghasilan dengan sistem integrasi.

Pandangan Absolut
Pandangan absolut memiliki pandangan yang berlawanan dengan
pandangan integrasi. Walaupun perseroan bukan merupakan individu yang
memiliki hak suara dalam pemilihan, sebagaimana paham tidak ada pajak
tanpa perwakilan, perseroan adalah kekuatan ekonomi dalam suatu negara
Perseroan yang dimiliki publik secara luas – merupakan wajib pajak
besar yang menjadi sumber terbesar penerimaan pajak negara – bukan
hanya instrumen untuk penghasilan pribadi. Perseroan adalah entitas legal
yang memiliki keberadaan sendiri. Perseroan adalah pelaku ekonomi yang
memiliki kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial
melalui pengelolaan para profesional manajemen yang tidak secara
langsung dikendalikan oleh pemegang saham secara individu. Oleh
karena itu, sebagai entitas yang terpisah, perseroan juga mempunyai
kapasitas membayar pajak tersendiri, telah dikenakan pajak yang terpisah
dan absolut. Apakah laba setelah pajak
yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam
konteks ini.
Secara rasional, pandangan absolut atau yang disebut juga pandangan
klasik ini mempunyai dukungan yang sangat kuat untuk alasan bahwa
perseroan adalah keberadaan yang memiliki kekuatan ekonomi dan sosial.
Perseroan memang bertindak sebagai unit-unit pengambilan keputusan,
yang terpisah dan seringkali tidak begitu jelas kaitannya dengan keinginan
para pemegang saham, sehingga membutuhkan kebijakan pengaturan
(termasuk pengaturan pengenaan pajak) tersendiri pada tingkatan korporasi
daripada tingkatan pemegang saham. Selain itu, alat-alat pajak dapat berguna
pada situasi-situasi tertentu untuk tujuan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Alasan pengenaan pajak pada perseroan karena lembaga ini memiliki
kemampuan membayar pajak sendiri dan oleh karenanya harus
dikenakan pajak terpisah. Maka kemampuan untuk membayar ini
sulit untuk diaplikasikan pada perseroan. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa kemampuan ini adalah kemampuan untuk membayar pajak tanpa
mengalami kebangkrutan atau mengganggu operasinya. Konsep kapasitas
membayar yang digunakan dalam pendapat ini lebih berkaitan dengan efek
ekonomi dari pajak bukannya kemampuan untuk membayar yang digunakan
dalam konteks keadilan pajak. Pada akhirnya, seluruh pajak harus dibebankan
pada orang. Laba perseroan merupakan bagian penghasilan para pemegang
saham untuk alasan tambahan kemampuan ekonomis, harus dipajaki sebagai
bagian dari penghasilan mereka. Tidak ada alasan mengapa para pemegang
saham harus membayar pajak tambahan atau diberikan perlakuan khusus.
Pandangan absolutisme mendasarkan pada asumsi bahwa beban pajak
dikenakan atas laba dan tidak digeserkan kepada pihak lain yaitu para
pelanggan atau pekerja. Bila terjadi penggeseran beban pajak, maka
tujuan dari para penganut absolutisme untuk membebankan pajak
tambahan pada penghasilan yang bersumber dari korporasi tidak akan
tercapai. Pajak penghasilan atas perseroan telah menjadi pajak penjualan atau
pajak atas upah yang inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu
struktur pajak yang adil. Pajak ini dikatakan inferior karena tarif implisit dari
pajak penjualan atau upah tidak memiliki korelasi yang jelas dengan rasio
[marjin] laba atas penjualan atau rasio laba atas upah dari perseroan.
Para ekonomi juga telah membuktikan dengan berbagai riset bahwa praktek
pengenaan pajak menurut pandangan absolut telah menimbulkan distorsi
dalam perekonomian. Perseroan cenderung tidak membagikan laba untuk
menghindari pengenaan pajak berganda, yang apabila dibagikan
kepada
investor mungkin dapat mereka gunakan untuk investasi-investasi yang
lebih menguntungkan.

Alasan-Alasan Lain Mengenakan Pajak kepada Perseroan


Walaupun pandangan absolut atau klasik tidak dapat memberikan
argumentasi yang kuat untuk mengenakan pajak atas perseroan berdasarkan
prinsip kemampuan untuk membayar, ada alasan-alasan lain yang dapat
mendukung keberadaan pajak tersebut sehingga pajak tersebut diberlakukan
seperti sekarang ini.

Pertimbangan Manfaat
Pemerintah dapat mengenakan pajak kepada siapapun dan apapun yang
memperoleh manfaat dengan adanya pemerintahan. Perseroan dapat diminta
untuk membayar pajak karena menerima manfaat dari berbagai layanan
pemerintah. Layanan-layanan tersebut misalnya memberi manfaat kepada
perseroan dengan cara mengurangi biaya, memperluas pasar, membantu
transaksi-transaksi keuangan, dan lain-lain.
Akan tetapi sebagian dari layanan ini, tidak hanya dinikmati oleh
perseroan, tetapi juga oleh berbagai bentuk organisasi lainnya. Dengan
demikian, cara yang lebih rasional adalah menerapkan pajak umum atas
kegiatan bisnis bukannya menerapkannya dengan menggunakan pajak
penghasilan badan saja. Walaupun ada beberapa biaya pemerintah yang
dikeluarkan dalam kaitannya dengan keberadaan perseroan secara khusus,
biaya-biaya ini hanyalah faktor yang minor dan sulit untuk dijadikan
alasan untuk mendukung pengenaan suatu pajak penghasilan. Perseroan
yang memiliki hak melakukan berbagai kegiatan berdasarkan kewajiban
terbatas. Hak ini tentu saja sangat berharga bagi korporasi. Akan tetapi,
lembaga yang memiliki kewajiban terbatas ini tidak membebani
masyarakat oleh karenanya tidak layak dikenakan pajak atas manfaat yang
didapat dari haknya. Tujuan dari pajak atas manfaat adalah
mengalokasikan biaya pemberian layanan publik kepada yang menerima
manfaat, bukannya untuk membebani manfaat yang tidak menimbulkan biaya.
Walaupun pajak dapat dikenakan kepada perseroan atas dasar manfaat. Ada
dua hal yang harus diputuskan. Pertama berkaitan dengan tingkatan
pemerintahan mana yang harus mengenakan pajak. Pemerintah daerah
menyediakan sebagian besar layanan publik yang memberikan manfaat
kepada bisnis. Dengan demikian, pemerintah daerah lebih berhak untuk
mengenakan pajak. Kedua, apa basis yang tepat digunakan untuk
mengenakan pajak tersebut. Besarnya pajak akan bervariasi sesuai dengan
nilai layanan yang
diberikan, bukannya sesuai dengan jumlah laba yang dihasilkan. Oleh karena
itu, nilai properti akan lebih tepat menunjukkan nilai layanan pemadam
kebakaran; jumlah pegawai dan menunjukkan input untuk pengeluaran
sekolah umum; transportasi akan menunjukkan layanan jalan raya, dan
sebagainya. Jika ukuran umum yang digunakan, total biaya yang dikeluarkan
pada daerah operasi lebih tepat digunakan sebagai ukuran keseluruhan,
dengan nilai tambah (termasuk laba dan biaya-biaya faktor lainnya) sebagai
kemungkinan kedua.

Tujuan-tujuan Peraturan Perundang-


Undangan
Berbagai alasan lain dikemukakan untuk mengenakan pajak
penghasilan kepada perseroan. Semua alasan ini didasarkan pada pandangan
bahwa pajak adalah instrumen pengendali berkaitan dengan tingkah laku
korporasi. Dengan demikian, bentuk pajak atas perseroan yang tepat
bergantung pada tujuan kebijakan tertentu yang akan dicapai. Musgrave dan
Musgrave (1989) menjelaskan alasan-alasan peraturan perundang-undangan
tersebut sebagai
2
berikut:
§ Pengendalian terhadap monopoli telah dilakukan dengan
menggunakan alat peraturan perundang-undangan, tetapi pendekatan
pajak dapat digunakan. Pengendalian ini tentu saja tidak akan
menggunakan pajak umum atas laba, yang tidak akan efektif untuk
mengoreksi tingkat laku monopolistik. Pengendalian ini memerlukan
suatu pajak yang lebih kompleks, yang berkaitan dengan tingkat
pembatasan monopolistik.
§ Jika ada keinginan untuk membatasi ukuran absolut atau
besarnya perusahaan (yang tidak sama dengan membatasi monopoli atau
pangsa pasar), suatu pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Pengendalian ini membutuhkan pajak bisnis yang progresif. Alasan
progresivitas tentu saja bukanlah kemampuan untuk membayar
seperti pada pajak penghasilan pribadi. Perusahaan-perusahaan
besar dapat dimiliki oleh investor-investor kecil dan perusahaan-
perusahaan kecil dapat dimiliki oleh investor-investor kaya. Progresivitas
akan digunakan untuk memberlakukan diskriminasi terhadap
perusahaan besar dan membatasi apa yang dianggap sebagai akibat-akibat
sosial yang tidak diinginkan dari perusahaan-perusahaan besar.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah pajak tersebut sebaiknya dikenakan
pada laba dan bukannya ukuran aset atau penjualan. Walaupun ukuran
yang besar tidak diinginkan,
2
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, op. cit., hal. 374-
375.
itu bukan alasan memberikan penalti kepada perusahaan besar
yang menguntungkan.
§ Suatu pajak atas kelebihan laba dapat dikenakan pada periode-
periode krisis (seperti perang) ketika diperlukan pengendalian langsung
atas upah dan harga. Pembatasan atas upah dalam kondisi seperti ini tidak
dapat diterapkan secara efektif tanpa juga membatasi laba, dan pajak atas
kelebihan laba merupakan alat-alat yang berguna dalam kaitannya dengan
situasi ini. Walaupun kelihatannya baik secara prinsip, pajak
atas kelebihan laba sulit diadministrasikan karena kelebihan laba tidak
mudah didefinisikan. Kelebihan laba tersebut harus diukur dengan
membandingkannya dengan periode dasar, tetapi akan muncul
ketidakadilan karena perbedaan posisi awal; atau, suatu tingkat
pengembalian standar, dalam hal ini disparitas risiko dapat terlewatkan,
sehingga memunculkan masalah yang sulit dalam hal menentukan
tarif berapa yang cocok untuk setiap industri. Suatu situasi lain yang
berbeda di mana pajak atas kelebihan laba secara selektif dapat
dikenakan karena krisis tertentu, seperti krisis harga minyak dan
pelepasan kendali atas harga minyak, yang memunculkan pengenaan
pajak atas laba tak terduga dari kenaikan harga minyak.
§ Sebagai stimulus bagi formasi modal dan pertumbuhan, saving
korporasi perlu didukung dan distribusi dividen perlu dibatasi. Tujuan ini
dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan dan
mengecualikan laba yang ditahan. Alternatif kebijakan lain, dalam rangka
mendukung berfungsinya pasar modal atau meningkatkan pengeluaran
konsumsi, distribusi dividen perlu didukung sedangkan menahan laba
perlu dihindari. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak
atas laba yang tidak dibagi dan mengecualikan laba yang dibayar sebagai
dividen.
§ Terakhir, pajak korporasi dapat digunakan untuk memberikan insentif
atau disinsentif investasi, yang berbeda dari saving korporasi. Alat-alat
seperti penyusutan dipercepat dan kredit pajak investasi dapat digunakan
untuk tujuan ini dan juga dapat diterapkan secara siklus atau pada saat-
saat tertentu.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa instrumen pajak
digunakan untuk mengendalikan tingkah laku perseroan dalam berbagai
situasi akan tetapi bentuk pajaknya bukanlah pajak atas laba.

SIAPA YANG MENANGGUNG BEBAN PAJAK?


Sebagian besar ahli ekonomi memandang beban pajak penghasilan badan
jatuh kepada pemilik modal, sesuai dengan model kompetitif. Hal ini
merupakan pandangan yang tepat bila semua pasar beroperasi untuk
memaksimalkan laba sehingga pemilik modal tidak dapat memindahkan
beban pajak tersebut kepada pihak lain tanpa biaya. Para pelaku bisnis
sering memiliki pandangan berbeda dan mereka memandang bahwa pajak
adalah biaya yang harus dipindahkan pembebanannya kepada pihak lain.
Hal ini dapat dilakukan bila perusahaan dalam situasi monopoli, jika
penjualan yang dimaksimalkan, atau bila aturan harga lainnya yang berubah.
Dalam situasi- situasi tersebut, perusahaan akan berusaha memindahkan
beban pajak dengan menaikkan harga. Demikian juga, bila pasar tenaga
kerja tidak sempurna, pajak yang tinggi dapat dipindahkan kepada tenaga
kerja dengan ditunjukkan pada keterbatasan daya tawar tenaga kerja pada
perundingan dengan manajemen.
Oleh karena itu, siapa yang menanggung beban pajak bergantung pada
struktur dan tingkah laku pasar yang ada. Beberapa industri yang
menggunakan administered pricing, yaitu penentuan harga bukan berdasarkan
mekanisme pasar. Pemindahan beban dengan cara penyesuaian administered
pricing (dibedakan dengan pemindahan beban karena perpindahan faktor dan
perubahan pasokan faktor dalam pasar yang kompetitif) dapat terjadi.
Hal yang sama juga berlaku pada pasar tenaga kerja yang terorganisir.
Ada banyak upaya telah dilakukan pada tahun-tahun terakhir untuk
memberikan bukti tentang ini. Apabila tarif pajak perseroan berbeda
antar industri, perolehan jawabannya akan cukup sederhana. Berbagai
pemahaman dapat diperoleh dari memeriksa perubahan-perubahan harga
yang terjadi dan membandingkan posisi-posisi relatif beberapa sektor
sebelum dan sesudah perubahan pajak. Hal ini tidak dapat dilaksanakan
dalam dunia nyata karena pajak diterapkan pada semua perseroan dengan tarif
efektif yang sama. Demikian juga, pembandingan antara tingkat
pengembalian dari investasi pada perseroan dan non-perseroan sulit
dilakukan karena ketidaktersediaan data pada usaha-usaha non-perseroan.
Kemungkinan yang tersisa adalah mempelajari pengalaman sektor perseroan
dan bagaimana berbagai komponen dalam sektor perseroan menanggapi
perubahan pajak, termasuk tingkat pengembalian dari pemegang saham
korporasi, bagian laba perseroan dalam nilai tambah pada sektor perseroan,
dan marjin laba perseroan. Pendekatan inipun tidak dapat menghasilkan
pemahaman yang cukup jelas karena perubahan tarif pajak tidak sering
terjadi.
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang berkaitan dengan perubahan tarif
pajak dalam rangka menguji adanya pemindahan beban pajak menunjukkan
hasil yang berbeda-beda yang konsisten dengan hipotesa pemindahan
maupun
hipotesa non-pemindahan. Hal ini terjadi karena banyaknya faktor-faktor non-
pajak yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga penelitian tidak
dapat menunjukkan siapa sebenarnya yang menanggung beban pajak.
Pendekatan lain untuk mengukur adanya pemindahan beban pajak adalah
dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, yang dirancang untuk
mengisolasi pengaruh pajak penghasilan perseroan. Berbagai studi telah
dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi masalah ini masih
kontroversial. Satu jenis penelitian menggunakan model bahwa tingkat
pengembalian korporasi adalah suatu fungsi dari berbagai variabel yang telah
ditentukan sebelumnya, seperti tingkat permintaan konsumen, utilisasi
kapasitas, pengeluaran pemerintah, dan tarif pajak korporasi. Dengan
memasukkan tarif pajak korporasi, para analis berharap
menggunakan koefisien regresi dari variabel ini untuk mengukur pengaruh
perubahan tarif pada tingkat pengembalian. Beberapa studi mengindikasikan
adanya pemindahan beban pajak yang cukup tinggi, sehingga mengarahkan
kepada hipotesa pemindahan beban pajak. Beberapa studi lainnya
mengindikasikan hasil yang sebaliknya. Analisis ekonometrik tidak mampu
secara bulat memisahkan pengaruh pajak dari beberapa perubahan yang
terjadi secara bersamaan dalam pengeluaran publik, kondisi ekonomi dan
faktor-faktor lain. Pada kenyataannya, tarif pajak itu sendiri merupakan
konsep yang kompleks. Dan juga, yang terpenting adalah tarif pajak efektif
bukannya tarif pajak nominal. Tarif pajak efektif ini bergantung pada aturan
penyusutan, kredit investasi, tingkat inflasi, dan berbagai faktor yang tidak
dapat dinilai dengan jelas. Teknik ekonometrik yang lebih baik
dikombinasikan dengan penggunaan data yang kurang agregatif mungkin
dapat memberikan hasil yang lebih baik.

INTEGRASI PAJAK
Apabila pandangan bahwa pajak penghasilan perseroan diintegrasikan ke
dalam pajak penghasilan pribadi adalah yang lebih diinginkan, muncul
pertanyaan bagaimana cara mengintegrasikan penghasilan perseroan ke dalam
penghasilan pribadi. Penyesuaian-penyesuaian apa saja yang harus
diberlakukan dalam struktur pajak agar terjadi integrasi pajak perseroan dan
pajak pribadi.

Integrasi Lengkap
Integrasi lengkap adalah pendekatan pengenaan pajak penghasilan dengan
mengintegrasikan seluruh bagian pendapatan dari perseroan, baik
yang
dibagikan (diterima sebagai dividen) maupun yang tidak dibagikan
(dalam bentuk akumulasi laba ditahan pada perseroan), ke dalam penghasilan
pribadi dari sumber-sumber lain yang selama ini telah dilaporkan dalam SPT.
Apabila pendekatan integrasi lengkap yang dipilih, pendekatan ini harus
memberikan perlakukan yang sama atas bagian laba dari perseroan yang tidak
dibagikan dengan bagian laba perseroan yang dibagikan (dividen). Ada dua
metode pengenaan pajak yang menggunakan integrasi lengkap. Metode
pertama disebut metode firma (partnership) yang memperhitungkan
bagian laba seorang wajib pajak (investor) dari laba perseroan ke dalam
penghasilan pribadinya dan dikenakan pada pajak penghasilan pribadi wajib
pajak tersebut. Metode kedua adalah metode laba modal yang mengenakan
pajak atas laba modal sepenuhnya (baik yang direalisasikan maupun yang
belum direalisasikan).

Metode Firma
Metode ini memperhitungkan bagian laba dari perseroan yang menjadi hak
pemegang saham ke dalam penghasilan pribadi pemegang saham, baik yang
dibagikan sebagai dividen maupun tidak dibagikan sebagai dividen. Untuk
mendapatkan informasi mengenai besarnya penghasilan dari laba yang tidak
dibagikan sebagai dividen, perseroan akan memberitahukan kepada para
pemegang saham berapa bagian laba yang tidak dibagikan yang menjadi
bagian mereka untuk ditambahkan ke dalam kekayaan mereka.
Pemegang saham kemudian akan memasukkan jumlah ini ke dalam
perhitungan laba kena pajak dalam SPT.

1000 Alasan untuk Pajak...................

Perusahaan Anda merugi sampai 100 milyar rupiah. Saat diperiksa, metode depresiasi perusahaan
Anda di-adjust, sehingga laporan keuangan yang baru menjadi laba 20 milyar. Ingat baik-baik bahwa ini
sangat mungkin. Bayangkan keadaan tak terduga ini, Anda tidak berhak atas kompensasi kerugian,
Anda harus membayar pajak tambahan, Anda dikenai sanksi perpajakan, Anda harus membayarnya
segera. Tidak salah, jika Benjamin Franklin mengatakan "in this world, nothing is certain except
death and taxes." Pajak bukan hanya masalah yang membebani perusahaan, dalam banyak kasus
bahkan bisa menjadi hidup dan matinya perusahaan.
Biasanya, masalah perpajakan akan muncul di saat-saat yang tidak tepat. Wrong time, wrong place.
Dalam prakteknya, Anda bahkan mungkin akan berhadapan dengan wrong people. Coba kita perhatikan
kapan munculnya masalah perpajakan yang sering membuat pusing kepala. Saat menerima Surat
Tagihan Pajak (STP), saat menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Pajak (SPHP), saat
menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP), atau bahkan saat orang pajak datang atau menghubungi Anda.
"Orang pajak tidak pernah salah, sampai peraturan pajak mengatakan yang sebaliknya." Dalam tataran
dunia pajak para pakar perpajakan cenderung menyetujui dogma itu. Padahal dalam konteks hukum, di
mana pajak juga merupakan produk hukum, yang biasa berlaku adalah asas praduga tidak bersalah.
Dalam perpajakan, konsep itu tidak berlaku. Itu sebabnya, Anda diistilahkan dengan sebutan Wajib
Pajak……………….

Praktek pemotongan pajak (withholding) juga dapat diterapkan dalam metode


firma ini dengan menunjuk perseroan sebagai pemungut pajak. Dengan
demikian, perseroan tidak saja melakukan pemotongan dan pemungutan pajak
terhadap gaji, upah dan dividen, tetapi juga terhadap bagian laba dari
perseroan yang tidak dibagikan. Misalnya, seorang pemegang saham
memperoleh pemberitahuan dari perseroan yang sahamnya dimilikinya
bahwa bagian labanya atas laba suatu perseroan adalah sebesar Rp10.000.000.
Perseroan akan memotong dan memungut pajak kepada pemegang saham
tersebut. Misalnya, tarif pemotongan pajaknya 15 persen, sehingga pemegang
saham mendapatkan sisanya sebesar Rp8.500.000. Berapapun besarnya
dividen yang diterimanya dari perseroan tersebut, pemegang saham akan
melaporkan jumlah penghasilan brutonya dari perseroan sebesar
Rp10.000.000 ke dalam penghasilan kena pajaknya. Bila atas penghasilan
tambahan ini tarif pajak marjinalnya adalah 30%, maka besarnya pajak
penghasilan atas penghasilan ini adalah sebesar Rp3.000.000. Dengan
demikian, ia harus menyetor kekurangan setoran pajak sebesar Rp1.500.000
setelah mengkreditkan Rp1.500.000 yang dipotong oleh perseroan sebagai
sumber penghasilan. Apabila pemegang saham tersebut hanya dikenakan
pajak marjinal sebesar 10% maka beban pajaknya hanya sebesar
Rp1.000.000. Karena ia telah dipotong sebesar Rp1.500.000, ia berhak
mendapatkan restitusi pajak sebesar Rp500.000. Dengan melaporkan
penghasilan laba pada jumlah kotornya ini, pemegang saham akan membayar
pajak sesuai dengan tarif pajak marjinalnya.

1000 Alasan untuk Pajak (Lanjutan....)


Satu hal yang pasti adalah fakta bahwa ruang gerak bagi perusahaan sebagai wajib pajak, telah dan
akan menjadi makin sempit jika hanya berorientasi pada upaya menghindari pajak. Lihatlah perangkat
aturan perpajakan yang diberlakukan sekarang dan di masa depan. Anda tidak bisa lagi menghindari
dari pajak. Sejarah dunia tax management menggeser konsep dasar dari "minimalisasi pajak" menjadi
"optimalisasi pajak".
Dalam sejarah internasional, pajak muncul dari kebutuhan akan perlunya sumber dana yang terjamin
untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan atau kenegaraan. Sumber itu, jelas tidak bisa diandalkan
dari bentuk-bentuk usaha yang diupayakan oleh pemerintah atau negara sendiri. Sehingga, sumber itu
harus berasal dari luar pemerintahan atau negara. Maka, rakyat (termasuk dunia usaha) lah yang pada
akhirnya menjadi tumpuan.
Di zaman feodalisme dan penjajahan, sekalipun pada prakteknya berbagai pungutan (yang waktu itu
disebut dengan upeti) ini lebih termanfaatkan untuk kepentingan pribadi raja atau keluarganya, pada
prakteknya ia tetap digunakan untuk membiayai roda pemerintahan atau bahkan kelanggengan dinasti
kerajaan. Maka, kita bisa memaklumi bagaimana istilah upeti sangat identik dengan kekejaman,
pemaksaaan, perampokan dan bahkan pembunuhan.
Pada era modern, kebutuhan itu tidak berubah, bahkan makin tumbuh menjadi besar dan bergeser
menjadi semacam kemutlakan khususnya pada tataran ideologi demokrasi. Hanya saja, sejalan dengan
makin majunya kebudayaan dan peradaban manusia, kebutuhan itu ditransformasi ke bentuk-bentuk
pemupukan yang lebih lunak. Tidak ada lagi penjajahan secara eksplisit (mungkin yang ada sekarang
adalah eksploitasi, yang sebenarnya bermakna sama). Tidak ada pembunuhan, tidak ada kekejaman
fisik atau penganiayaan. Akan tetapi, sifat memaksanya tetap terabadikan akibat karakteristik
pendanaan operasi pemerintah dan negara yang masih tidak mungkin dipenuhi oleh negara atau
pemerintah sendiri.
Di satu sisi, otoritas pemerintahan mencoba untuk tetap mengandalkan pembiayaan roda pemerintahan
dengan menggali sumber-sumber dari rakyat secara langsung. Hal ini dilakukan dengan
mentransformasi pajak dan pungutan lain dari pola-pola yang kejam dan tak berperikemanusiaan,
menjadi bentuk-bentuk pemupukan yang tetap memaksa akan tetapi dengan cara yang lebih manusiawi.
(Diadaptasi dari: Green version of 1000 Alasan untuk Total Tax Awareness. http://www.indodigest.com.
7 Juni 2005).
Diskusikan bagaimana konsep perpajakan dapat diterapkan secara lebih manusiawi!

Dengan cara ini, pemegang saham seolah-olah merupakan anggota


persekutuan suatu firma. Karena pajaknya telah dikenakan ketika laba
dihasilkan, laba modal (capital gain) yang berasal dari kenaikan nilai
kepemilikan akibat tidak membagikan laba harus dikecualikan dari
pengenaan pajak penghasilan. Caranya adalah basis harga pokok untuk
menentukan laba modal dari penjualan investasi harus ditambahkan dengan
jumlah yang sama dengan bagian dari pemegang saham tersebut atas
kenaikan laba yang tidak dibagi selama masa kepemilikan investasi tersebut.
Karena dirasa cukup adil, metode ini umumnya diusulkan sebagai prosedur
standar dalam perhitungan pajak penghasilan oleh para ahli pajak. Akan
tetapi, metode ini memiliki beberapa kesulitan dalam penerapanya.
Berdasarkan prinsip realisasi, wajib pajak hanya akan dikenakan pajak bila ia
memperoleh penghasilan. Pertama, metode ini membuat wajib pajak harus
membayar pajak padahal ia tidak menerima penghasilan tersebut dalam
bentuk yang dapat digunakan untuk membayar pajak. Oleh karena itu,
tidak adil bila memasukkan laba yang ditahan ke dalam penghasilan kena
pajak pribadi.
Keberatan ini sama dengan yang dikemukakan dalam pembahasan
pajak atas laba yang belum direalisasikan, tetapi tidak begitu meyakinkan.
Sebenarnya, bila digabungkan dengan pendekatan pemotongan pajak,
sebagian besar dari beban pajak telah dibayarkan ketika dipotong oleh
perseroan sehingga menimbulkan masalah likuiditas pada pemegang
saham. Sisanya baru akan menjadi beban apabila tarif pajak marjinal yang
dikenakan kepada pemegang saham melebihi tarif pemotongan, yang
dapat dibayar dengan
210 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 210
Aplikasi Badan

menjual sebagian saham yang dimilikinya. Kedua, pendekatan ini tidak


mungkin diterapkan secara praktis untuk perseroan non-publik yang
sahamnya tidak diperdagangkan, akan tetapi karena para pemegang saham
perseroan ini memiliki pengendalian yang besar terhadap perusahaan,
mereka dapat memaksa perseroan untuk meningkatkan pembayaran dividen
untuk mendapatkan kas yang dibutuhkan.
Pendekatan firma juga dipandang tidak praktis diterapkan pada perusahaan
publik yang besar dengan kepemilikan yang menyebar luas. Karena para
pemegang saham bertransaksi saham secara cepat di pasar modal,
timbul kesulitan untuk mengalokasikan bagian laba di antara mereka.
Pendekatan ini juga akan memunculkan kesulitan-kesulitan lain berkenaan
dengan kebijakan- kebijakan pemberian insentif perpajakan, seperti kredit
pajak atas investasi. Pemberian insentif tersebut dapat menjadi tidak efektif.
Manajemen tidak akan bereaksi terhadap pemberian insentif tersebut
karena insentif tersebut hanya akan dinikmati manfaatnya oleh pemegang
saham. Padahal manajemen pada umumnya adalah pembuat keputusan
investasi. Walaupun demikian, permasalahan-permasalahan dapat saja
diatasi dengan berbagai cara bila usaha pengintegrasian penghasilan
bersumber dari laba perseroan ke dalam penghasilan pribadi serius untuk
dilakukan.
Perlu diingat bahwa metode firma hanya mengintegrasikan penghasilan
dari laba perseroan. Metode ini tidak menghilangkan pengenaan pajak
penghasilan atas perseroan itu sendiri sebagai suatu badan hukum khusus.
Integrasi dengan metode partnership tidak menyederhanakan
administrasi pajak bahkan mungkin akan menambah kerumitan
administrasinya.

Metode Laba Modal


Cara lainnya untuk mencapai integrasi sepenuhnya dengan
mengenakan pajak penghasilan terhadap seluruh capital gain (termasuk yang
belum direalisasikan) yang dikombinasikan dengan penghapusan pajak
penghasilan atas laba perseroan. Bagian yang dibagikan kepada pemegang
saham akan muncul dalam penghasilan pemegang saham sebagai penghasilan
dividen, sedangkan bagian yang tidak dibagikan akan muncul sebagai
penghasilan laba modal. Karena pajak penghasilan tidak dikenakan atas
perseroan, tidak ada penentuan laba kena pajak untuk perseroan. Pengenaan
pajak terhadap penghasilan laba modal secara periodik dapat digabungkan
dengan pajak penjualan ketika terjadi pemindahan aset. Karena perseroan
tidak dikenakan pajak, maka insentif pajak harus dirancang pada tingkatan
pemegang saham atau sebagai subsidi langsung kepada perseroan.
Integrasi Parsial
Sampai sekarang, integrasi sepenuhnya belum dapat diterima sebagai suatu
pendekatan dalam penentuan penghasilan kena pajak. Akan tetapi, pada
beberapa negara maju, muncul praktek-praktek yang mencoba pendekatan
integrasi ini, paling tidak secara parsial. Misalnya, di AS sebelum tahun
1986, pendapatan dividen maksimal sebesar $200 dikecualikan dari
penghasilan kena pajak.
Akan tetapi, keringanan ini diberikan dalam bentuk pengecualian dan
bukannya kredit pajak. Akibatnya, manfaatnya dari insentif ini oleh penerima
dividen akan meningkat proporsional dengan tarif pajak marjinalnya,
sehingga wajib pajak yang berpenghasilan besar akan memperoleh
keuntungan yang lebih besar, mengurang progresivitas pajak penghasilan itu
sendiri.
Sejak tahun 1986, dividen sebesar maksimal $200 tidak dikecualikan
lagi dari penghasilan dan tarif pajak atas perseroan disamakan dengan tarif
pajak untuk pajak penghasilan pribadi. Cara ini dipandang mendekati
perlakuan yang terintegrasi untuk laba yang tidak dibagi, tetapi “pajak
berganda” tetap berlaku bagi dividen.
ASPEK-ASPEK KHUSUS DEFINISI BASIS PAJAK
Permasalahan-permasalahan pada keuangan perseroan, lebih rumit daripada
keuangan pada wajib pajak pribadi, sehingga permasalahan-permasalahan
desain pajaknya pada perseroan tentu saja lebih rumit daripada wajib pajak
pribadi. Berikut ini beberapa contoh atas permasalahan pajak tersebut.

Hutang versus Modal Saham


Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, karena ketiadaan definisi
penghasilan yang ilmiah dan konsisten, peraturan pajak penghasilan
“meminjam” praktek-praktek perhitungan penghasilan (laba) dari
akuntansi perusahaan. Karena akuntansi perusahaan menekankan pada
penentuan laba dari pemegang saham, bukannya sumber permodalan, terjadi
ketidakkonsistenan pengenaan pajak antara sumber modal dari hutang dan
dari saham. Bunga yang dibayar oleh perseroan atas dana yang
diperolehnya melalui utang dikurangkan dari penghasilan kena pajak ketika
memperhitungkan pajak penghasilan badan. Bunga diperlakukan sebagai
biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah. Di sisi lain,
dividen yang dibayarkan sebagai perseroan, dapat dipandang sebagai
pembayaran kepada pemegang saham atas penggunaan dananya, tidak
dikurangkan dari penghasilan kena pajak perseroan.
Dengan tidak adanya integrasi penghasilan perseroan ke dalam penghasilan
pribadi, praktek pajak ini memunculkan insentif bagi penyedia dana untuk
memberikan pinjaman daripada melakukan investasi saham/modal. Bila
meminjamkan, pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan
pribadi. Bila berinvestasi, dividen dikenai “pajak berganda”. Distorsi
yang sama muncul dari pihak manajemen. Mereka akan lebih memilih
pendanaan hutang, karena bunga yang dibayarkan dapat dikurangkan
dari laba kena pajak, sedangkan laba atas modal ekuitas tidak boleh
dikurangkan.
Pendekatan integrasi lengkap akan mengembalikan netralitas perlakuan
pajak terhadap sumber-sumber permodalan ini. Jika integrasi lengkap tidak
dijalankan, netralitas dicapai dengan cara (1) memperluas cakupan “pajak
berganda” dengan tidak membolehkan pengurangan biaya bunga pada pajak
penghasilan badan (2) mengurangi cakupan “pajak berganda” dengan
membolehkan pengurangan “bunga yang diperhitungkan” atas modal ekuitas
dalam pajak penghasilan badan.
Walaupun ada perlakuan buruk peraturan pajak terhadap sumber
permodalan saham, pada kenyataannya sebagian besar modal perseroan
berasal dari modal saham. Berdasarkan penelitian-penelitian di bidang
manajemen keuangan, penyebab utama fenomena ini adalah mudahnya
perseroan mendapatkan pendanaan dari sumber modal. Ketika
perusahaan pada periode-periode awal, penyedia modalnya adalah pemiliknya
yang tentu saja menginvestasikan dalam bentuk ekuitas. Ketika perusahaan
sudah maju dan berkembang, perusahaan ini akan mengandalkan pendanaan
dari laba perusahaan yang tidak dibagikan. Dengan demikian, sulit untuk
membuktikan bahwa perlakuan pajak tidak netral terhadap sumber pendanaan
dalam praktek sehari-hari.

Pembayaran dalam Bentuk Natura dan Biaya Entertainment


Pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment merupakan topik
yang banyak dibahas. Ketika biaya entertainment dapat dikurangkan dari
penghasilan, akibatnya beban untuk pengeluaran tersebut yang dirasakan oleh
perseroan akan berkurang sebanyak 30 persen karena tidak dikenakan pajak
(dengan asumsi pajak marjinal perseroan pada tarif tertinggi, yaitu 30
persen). Hal ini sama saja dengan pemberian subsidi kepada kegiatan-
kegiatan (dibiayai dengan biaya entertainment) yang sebenarnya tidak layak
untuk memperoleh subsidi publik. Demikian pula, dalam hal pembayaran
dalam bentuk natura terjadi subsidi publik pada wajib pajak yang menerima
pembayaran dalam bentuk natura tersebut. Dengan membayar dalam bentuk
natura daripada dalam bentuk kas, perseroan telah membantu
pengawainya
mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka. Misalnya, bila sebuah mobil
senilai Rp200.000.000 diberikan kepada manajer perusahaan sebagai ganti
kenaikan gaji selama beberapa tahun. Biaya dari perseroan dengan
memberikan mobil tersebut (biaya penyusutan) akan sama dengan biaya
karena kenaikan gaji untuk beberapa periode dengan jumlah total yang sama.
Akan tetapi, kenaikan gaji akan menambah pajak penghasilan bagi wajib
pajak pribadi, sedangkan tunjangan kendaraan tidak.
Cara penghindaran pajak seperti ini dapat dihilangkan baik dengan
cara memasukkan pembayaran dalam bentuk natura ke dalam pajak
penghasilan pribadi atau melarang pengurangan biaya-biaya entertainment
pada pajak penghasilan badan. Cara yang dilakukan sekarang ini adalah jalan
tengah dengan membatasi pengurangan atas pembayaran dalam bentuk natura
dan biaya entertainment.

Metode Penyusutan dan Jangka Waktu


Penyusutan
Permasalahan penyusutan timbul karena sulitnya mendefinisikan
penghasilan, terutama pada perseroan sebagai suatu badan usaha. Penyusutan
merupakan praktek akuntansi yang didasarkan pada pendekatan praktis untuk
mengukur laba secara periodik. Penyusutan timbul karena adanya periodisasi
atas perhitungan laba/rugi. Permasalahan penyusutan adalah salah satu
permasalahan yang paling sulit dan paling penting
Karena pajak perseroan adalah pajak atas penghasilan/laba bersih,
maka semua biaya untuk memperoleh dan memelihara penghasilan
harus dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Untuk
pengeluaran- pengeluaran tertentu, seperti pembayaran gaji dan upah atau
pembelian bahan mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran
terjadi. Dalam hal pengeluaran modal, pengurangan itu dilakukan selama
beberapa periode. Peraturan perpajakan umumnya mengatur berapa besar
setiap periode pengurangan (penyusutan) tersebut, sebagai kompensasi untuk
pengembalian biaya investasi.
Peraturan perpajakan juga menentukan kapan pengurangan (penyusutan)
dapat dilakukan, dan menentukan berapa besarnya setiap periode
investor dapat memperoleh kembali biaya investasi. Kapan investor dapat
memperoleh kembali pengurangan juga harus diatur karena pada saat
penyusutan diperbolehkan nilai tunai dari kewajiban pajaknya menjadi turun.
Pengurangan untuk biaya-biaya modal akan memberikan penghematan pajak
bagi investor. Semakin besar pada periode-periode awal penyusutan tersebut,
semakin besar
penghematan pajaknya. Oleh karena itu, nilai tunai dari pajak ditentukan oleh
besarnya tarif pajak dan kapan penyusutan dilakukan, yang meliputi jangka
waktu pembebanan penyusutan dan kecepatan penyusutannya.

Lama Masa Perolehan Kembali Biaya Investasi


Jangka waktu yang diperbolehkan untuk perolehan kembali biaya investasi
atau penyusutan umumnya ditetapkan dalam peraturan perpajakan sama
dengan “masa manfaat” dari aset bersangkutan. Peraturan perpajakan
umumnya juga menetapkan “panduan umur” untuk setiap jenis aktiva
tetap yang sejalan dengan “praktek bisnis yang sehat.” Ada beberapa insentif
perpajakan yang dapat diberikan dengan membolehkan penyusutan dalam
jangka waktu yang lebih cepat, seperti sistem penyusutan yang dipercepat.

Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk dipakai hanya dua metode
yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun (declining balance
method). Bangunan harus disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus
dimana jumlah yang sama sebesar C/n harus dihapuskan setiap tahun,
dengan C sama dengan nilai perolehan aset dan n adalah umur aset. Jadi,
untuk suatu aset yang bernilai Rp100.000.000 dengan masa umur selama 10
tahun, setiap tahun sejumlah Rp10.000.000 boleh dikurangkan. Peralatan
dan kendaraan disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun,
dengan persentase sebesar dua kali tarif garis lurus dikurangkan pada tahun
dan persentase yang sama kemudian diterapkan pada jumlah yang belum
disusutkan setiap tahunnya. Dengan demikian, sebesar Rp20.000.000 akan
dikurangkan pada tahun pertama, Rp16.000.000 akan dikurangkan pada tahun
kedua, dan seterusnya. Ada satu metode lagi yang tidak diperbolehkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan saat ini, yaitu metode jumlah
angka tahun (sum-of-years-digits method); dimana bagian yang dikurangkan
pada setiap tahun sama dengan rasio dari sisa tahun terhadap jumlah angka
tahun selama masa manfaat aset. Jadi, untuk suatu aset dengan harga
perolehan Rp100.000.000 dan masa manfaat selama 10 tahun, jumlah angka
tahunnya sama dengan 10 + 9 + 8 + 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 55. Beban
penyusutan tahun pertama adalah 10/55 dari Rp100.000.000 = Rp18.111.111;
beban untuk tahun kedua adalah 9/55 dari Rp100.000.000 = Rp16.363.636;
dan seterusnya.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, perseroan yang
menggunakan metode penyusutan dengan saldo menurun mendapatkan
keuntungan penghematan pajak lebih besar daripada menggunakan
metode garis lurus karena nilai tunai dari penyusutannya lebih kecil pada
metode garis
lurus sehingga nilai tunai dari beban pajaknya lebih besar. Semakin panjang
waktu penyusutan semakin besar perbedaan penghematan pajaknya. Simpulan
yang sama juga berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka
tahun dengan metode garis lurus. Bila kita membandingkan antara
metode saldo menurun dengan metode jumlah angka tahun, metode saldo
menurun lebih menguntungkan pada aset-aset berumur pendek dan
metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan pada aset-aset yang
berumur panjang.

Metode Penyusutan Ekonomis versus Metode Penyusutan


Dipercepat
Bila dikaitkan dengan pembebanan biaya investasi, tarif efektif dari pajak
bergantung pada tarif nominal (sekarang 30 persen untuk perseroan) dan
besarnya penyusutan yang diperbolehkan. Semakin cepat tingkat
penyusutannya, semakin rendah tarif efektif pajaknya. Bila investor akan
memutuskan untuk berinvestasi, investor akan membandingkan nilai tunai
dari arus laba bersihnya terhadap biaya perolehan dari aset. Nilai tunai ini
sama dengan nilai tunai dari arus laba sebelum pajak dikurangi dengan nilai
tunai dari pembayaran pajaknya. Nilai tunai dari pajak dapat dihitung dengan
mengurangkan nilai tunai dari pajak kotor (sebelum dikurangi dengan
penyusutan yang diperbolehkan) dengan nilai tunai dari penghematan
pajak dari penyusutan. Jika nilai tunai dari penghematan pajak ini menjadi
semakin besar seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas, pajaknya akan
semakin turun.
N il a i T u n a i P e n y u s u t a n
( d a l a m R u p i a h , H a r g a P e r o l e h an A s e t = R p 10 0 , 0 0 0)

J u m la h A n g k a
M asa M anfaat G ar is L ur us S al do M e nur un Tahun
( I) ( II ) ( II I ) (IV)
DISKONTO 6 PERSEN
5 8 6. 7 50 87.811 87.515
10 7 5. 7 87 78.716 79.997
20 5 9. 0 55 64.661 67.680
50 3 2. 4 60 40.935 44.756
DISKONTO 10 PERSEN
5 7 9. 5 34 81.100 80.614
10 6 4. 4 69 68.528 70.099
20 4 4. 6 63 51.539 54.697
50 2 0. 8 06 28.829 31.439
Diadaptasi dari: Harold Bierman, Jr. and Seymour Smidt,
The Capital Decision, 2d ed., New York: Macmillan, 1968
Dengan demikian, metode penyusutan dipercepat menghasilkan
penghematan pajak yang besar. Hasilnya demikian karena nilai tunai
dari penghematan pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak
tersebut semakin cepat terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan
cara memperpendek periode penyusutan atau membolehkan menyusutkan
jumlah yang besar pada awal-awal masa guna aset) akan mengurangi
tarif efektif pajak dengan menunda tanggal jatuh tempo dari kewajiban pajak.
Dari sudut pandang investor, percepatan ini ekivalen dengan pinjaman tanpa
bunga, dengan nilai tunai dari penghematan bunganya sama dengan nilai
tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan.
Netralitas Metode Penyusutan Ekonomis
Dari pemaparan di atas, dapat dibuktikan bahwa penyusutan yang
dipercepat lebih menguntungkan investor, terutama untuk investasi-investasi
pada aset yang berumur panjang. Dengan demikian, tarif penyusutan
tidak netral terhadap semua investasi.
Bila hanya melihat investasi tunggal, untuk menetralisasi pengaruh
tarif penyustan ini, pemerintah dapat memberlakukan aturan tarif pajak yang
dikombinasikan dengan tarif penyusutan yang menghasilkan perlakuan yang
netral atas semua investasi. Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan
penyusutan yang lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama
dengan suatu tarif pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih
cepat. Jika semua investasi sama, maka kombinasi apapun antara tarif pajak
dan tarif penyusutan tidak menjadi persoalan. Pada kenyataannya, berbagai
investasi berbeda dalam jangka waktu dan tingkat keuntungan sehingga
hasilnya akan berbeda untuk berbagai kebijakan yang dipilih. Pada untuk
keadilan, pajak harus netral dengan tidak boleh mendistorsi pola investasi.
Pola penyusutan seperti apakah yang diperlukan untuk memastikan definisi
penghasilan yang adil dan netral?
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Musgrave dan Musgrave (1989) aset
yang dapat disusutkan dipandang sebagai menghasilkan dua arus penghasilan.
Pertama adalah arus penghasilan positif berupa laba, yang timbul dari
penggunaan aset. Yang lainnya adalah arus penghasilan negatif, yang
ditimbulkan dari semakin memburuknya kondisi aset dan penurunan nilai
karena keusangan. Bila kedua arus ini dijumlahkan, aset tersebut
menghasilkan arus laba bersih positif yang nilai tunainya adalah nilai aset
tersebut. Supaya perlakuan pajak netral, aset dengan nilai tunai arus
laba bersih yang sama harus mendapat beban pajak yang sama yang
didefinisikan sebagai nilai tunai pajak. Hal tersebut dapat dicapai
bila penyusutan dibebankan ketika nilai aset mengalami penurunan. Dengan
demikian, yang dikenakan pajak adalah arus penghasilan bersih yang
diterima setiap tahun.
Ingat, nilai aset sama dengan nilai tunai dari arus penghasilan bersih selama
masa manfaatnya. Nilai berjalan dari aset pada setiap waktu sama dengan
nilai kapitalisasi dari arus penghasilan di masa depan yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, penurunan dalam nilai berjalan sama dengan nilai
kapitalisasi dari penurunan arus penghasilan, yaitu biaya modal atau
penyusutan ekonomis yang harus dibebankan bersama-sama dengan biaya
lain dalam menghitung laba bersih.
Bila penyusutan pajak sama dengan penyusutan ekonomis, pengenaan pajak
akan mengurangi nilai dari arus penghasilan bersih sebesar persentase tarif
pajak yang berlaku. Tarif efektifnya akan sama dengan tarif nominal atau
tarif yang berlaku karena pengenaan pajak akan mengurangi nilai aset
dikalikan dengan tarif pajak. Tarif ini independen terhadap umur aset dan
karenanya tidak akan mendistorsi pilihan investasi di antara mereka. Jika
penyusutan dapat dipercepat, investasi yang lebih lama akan mendapat
keuntungan terbanyak dan juga mendapat manfaat dari tarif pajak efektif
yang lebih rendah. Oleh karenanya, pilihan-pilihan investasi akan terdistorsi
dan lebih banyak modal akan mengalir pada investasi-investasi yang lebih
lama. Hal sebaliknya akan terjadi bila tarif penyusutan pajak lebih rendah
daripada tarif ekonomis.
Dengan demikian, ada alasan kuat untuk menggunakan penyusutan
ekonomis. Akan tetapi, walaupun prinsipnya jelas, penerapannya tidak
mudah. Aset-aset tidak aus secara seragam dan juga menjadi usang sebelum
sempat digunakan sepenuhnya. Tingkat keusangan akan berbeda dan tidak
dapat diprediksi dengan mudah. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah
memakai masa manfaat seperti yang biasa dipakai dalam praktek bisnis
dengan asumsi bahwa masa manfaat yang dipercepat merupakan masa
manfaat yang “sebenarnya” dan jejak waktu dari arus penghasilannya.

Tarif Pajak yang Efektif


Berdasarkan diskusi sebelumnya, tampaklah jelas bahwa tingkat tarif
nominal dan perubahannya tidak dapat menjadi indikator atas tingkat
tarif efektif. Tarif efektif ditentukan dengan cara menghitung (rb – ra) / rb, di
mana rb adalah tingkat pengembalian sebelum pajak dan ra adalan tingkat
pengembalian setelah pajak. Dengan demikian, tarif efektif sama dengan
persentase pengurangan dalam pengembalian modal karena pajak. Tarif
efektif bergantung pada tarif pajak yang berlaku dan tarif penyusutan.

Investasi Tunggal versus Investasi


Berkelanjutan
Untuk investasi tunggal yang dilakukan hanya sekali dan kemudian selesai,
penyusutan yang dipercepat tidak mengurangi jumlah total pajak yang akan
dibayarkan. Kewajiban pajaknya berkurang pada tahun-tahun awal dan
bertambah pada tahun-tahun akhir. Keuntungan yang didapatkan, ekivalen
dengan pinjaman bebas bunga, berasal dari penangguhan pajak pada
awal periode, ketika pemerintah kehilangan pendapatan pajak pada tahun-
tahun awal dan memperoleh kembali pendapatan pajak tersebut pada tahun-
tahun akhir. Untuk investasi yang berkelanjutan, penangguhan ini dapat
berlangsung selamanya. Misalnya, suatu aset diganti dengan pola
penggantian yang membuat dasar penyusutannya tidak berubah.
Keuntungan dari wajib pajak atas penundaan pajak (dan kerugian bagi
pemerintah) akan naik pada tahun- tahun awal dan kemudian akan rata
seterusnya. Setelah tahun-tahun awal ini, kerugian pendapatan pemerintah
akan berkurang tetapi pemerintah tidak pernah mendapatkan kembali
kerugian karena penangguhan pajak pada tahun- tahun awal tersebut selama
reinvestasi terus menerus berlangsung. Perolehan kembali baru terjadi setelah
reinvestasi berakhir. Apalagi bila dalam kenyataannya suatu perusahaan
terus-menerus meningkatkan aset-asetnya yang dapat disusutkan
sehingga basis penyusutannya setiap reinvestasi semakin besar. Jika
penyusutannya cukup cepat dan ekspansinya cukup tajam, perusahaan seperti
ini dapat menunda pembayaran pajak selamanya. Seluruh pembayaran pajak
tersebut dapat dihindari dan tanpa pernah terjadi pembayaran pajak
tertunda tersebut di masa depan.

Pembebanan Sekaligus
Biaya gaji dan bahan mentah dikurangkan ketika pembayaran
dilakukan atau ketika terjadi. Biaya-biaya ini langsung dibebankan. Pada
pengeluaran modal pembebanan ini disebar ke dalam beberapa periode. Akan
tetapi, ada kemungkinan pengeluaran modal tersebut dibebankan secara
ekstrim sekaligus pada satu periode ketika pembayaran pengeluaran modal.
Seorang investor yang melakukan investasi tunggal, ia mungkin tidak akan
dapat memanfaatkan penyusutan sekaligus ini karena ia harus memperoleh
pendapatan (laba) yang cukup untuk ditandingkan dengan beban penyusutan
ini. Bila suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat
dikurangkan dengan penyusutan sekaligus ini, investor tidak perlu membayar
pajak dan pemerintah tidak memperoleh pendapatan pajak.
Misalnya, A menginvestasikan uang Rp100 juta pada aset X dan
segera membebankannya sebagai penyusutan sebesar Rp100 juta. Karena A
belum mendapatkan penghasilan dari X, A menderita kerugian sebesar Rp100
juta. A kemudian membebankan kerugian ini pada laba dari aset Y (yang
jumlahnya
lebih besar daripada Rp100 juta), sehingga mengurangi kewajiban pajak dari
penghasilan aset Y. Dengan tarif pajak 30%, penghematan pajaknya
akan sebesar Rp30 juta. A kemudian menambahkan sejumlah ini ke dalam
investasi pada X, membebankan tambahan Rp30 juta sebagai penyusutan,
mendapatkan penghematan pajak sebesar Rp9 juta, dan seterusnya. Bila
kegiatan serial ini diulangi terus-menerus, A akan berinvestasi pada X sebesar
Rp100 juta + 0,30
2
x Rp100 juta + 0,30 x Rp100 juta . . . . = Rp142,857 juta. Jika penghasilan
A
atas investasi pada X dengan cara ini dikenakan tarif pajak 30% akan sama
posisinya dengan berinvestasi pada X sebesar Rp100 juta dan tanpa pajak.
Penyusutan segera dengan reinvestasi secara terus menerus dari penghematan
pajak yang didapat menghilangkan beban pajak.
Dalam praktek, hal ini tidak pernah bisa sampai sejauh pemaparan di atas.
Aturan pajak biasanya hanya membolehkan sebagian (misalnya sepertiga)
dari biaya investasi yang dapat diperoleh kembali dengan penyusutan
segera. Dalam hal ini, hanya sepertiga dari pajak yang akan dihapuskan.
Pendekatan ini sering disebut sebagai cadangan awal (initial allowance) yang
merupakan cara yang netral dalam memberikan insentif investasi. Suatu
sistem yang membolehkan sebagian dari pajak dibiayakan dan menyusutkan
sisanya sesuai dengan penyusutan secara ekonomis akan netral antara
investasi jangka pendek dan jangka panjang.

Penyesuaian terhadap
Inflasi
Dengan harga-harga yang selalu meningkat, perolehan kembali
investasi (penyusutan) berdasarkan harga perolehannya tidak akan
memberikan penghematan pajak yang cukup untuk mempertahankan
modal perusahaan dalam nilai riilnya. Pada akibatnya, penghasilan kena
pajak terlalu besar, menimbulkan kenaikan tarif efektif pajak yang
tersembunyi, bila diukur dalam nilai riil. Hal ini sangat relevan terutama
dalam periode inflasi tinggi.
Untuk menghilangkan permasalahan ini sekaligus mengatasi permasalahan
inflasi dengan benar, dua solusi: (1) basis penyusutan dapat diindeks
untuk naik sesuai dengan biaya penggantian; (2) seluruh penyusutan dapat
dilakukan pada tahun pertama sehingga menghilangkan pengaruh inflasi.

Laba dan Inflasi...........................


Penghitungan harga pokok berkaitan dengan penentuan laba kena pajak. Menentukan laba yang akan
dijadikan dasar untuk pengenaan pajak pendapatan badan, adalah dengan mengurangkan hasil
penjualan dengan harga pokok. Bagaimana harga pokok harus dihitung adalah urusan yang tidak
mudah. Sehingga sampai menjadi subdisiplin ilmu pengetahuan sendiri, yaitu yang dikenal dengan
nama kalkulasi harga pokok atau cost accounting.
220 Keuangan Publik: Teori dan Bab 10: Pajak Penghasilan Wajib Pajak 220
Aplikasi Badan

Sebagai subdisiplin ilmu dalam rangka ilmu ekonomi perusahaan, cost accounting terus berkembang.
Kalau dikatakan perkembangan ilmu pengetahuan mempengaruhi praktek bisnis, memang demikian
halnya dengan perkembangan ilmu dalam bidang cost accounting.
Sudah sejak lama, pimpinan perusahaan mempermasalahkan yang dinamakan laba. Laba adalah
jumlah uang yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi pokoknya. Maka, kalau ada pedagang paku
membeli 10 kg paku dengan harga Rp1.000 per kg, harga pokoknya Rp10.000. Ketika seluruh 10 kg
pakunya dijual dengan harga Rp1.500 per kg, sehingga memperoleh hasil penjualan Rp15.000, labanya
Rp5.000. Mengapa? Kalau Rp5.000 itu dipakai untuk membayar pajak dan dikonsumsi, sisanya adalah
Rp10.000, yang sama dengan modal pokoknya. Modal pokoknya utuh.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sudah sejak sangat lama orang mempertanyakan apa
betul labanya Rp5.000. Bagaimana kalau ketika si pedagang ingin memperbarui stoknya yang 10 kg itu,
harga per kilogramnya melonjak menjadi Rp1.200? Bukankah labanya Rp3.000? Mengapa? Karena
kalau laba dianggap Rp5.000 dan setelah dikenakan pajak dikonsumsi, sisa uang yang Rp10.000 kalau
dibelikan paku lagi sebagai barang dagangannya, kuantitas barang menyusut menjadi 10.000:1.200 =
8,33 kg. Supaya pokok dalam bentuk barang tidak menyusut, yang dinamakan pokok adalah 10 kg paku
dengan harga baru atau Rp12.000. Maka labanya hanya Rp3.000, karena kalau ini dipakai untuk
membayar pajak dan dikonsumsi volume perdagangannya tetap, yaitu 10 kg paku.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa laba akan sama saja, seandainya harga paku tidak naik dari
Rp1.000 menjadi Rp1.200 per kg. Dalam ekonomi yang harganya naik terus atau inflasi, tafsiran tentang
berapa besar laba yang diperoleh perusahaan menjadi lain, apakah yang dinamakan pokok itu jumlah
uang, ataukah yang dinamakan pokok jumlah barang dagangan. Dalam contoh di atas, inflasinya dari
Rp1.000 ke Rp1.200 atau 20 persen. Bagaimana kenyataan bahwa di tahun 1998 inflasi Indonesia 80
persen?
Mari sekarang kita lihat bagaimana jadinya dengan pedagang paku kalau yang diperdagangkan 1 juta
kg paku. Modal awal adalah 1 juta kali Rp1.000 = Rp1.000.000.000. Hasil penjualannya 1 juta kali
Rp1.500 = Rp1.500.000.000. Laba menurut fiskus Rp500.000.000. Jadi kena tarif 30 persen atau
Rp150.000.000. Laba bersih yang dapat dihabiskan untuk konsumsi adalah Rp350.000.000. Modal uang
masih utuh, yaitu Rp1.000.000.000. Sesuai inflasi, harga paku meningkat dengan 80 persen menjadi
Rp1.800. Modal uang yang utuh kalau dibelikan barang dagangan paku menjadi 1.000.000.000 : 1.800
= 555.555,56 kg. Jadi tinggal sebagian.
Dari sini jelas, pedagang paku sangat menderita penciutan kuantitas barang dagangannya sampai
hampir separuh, tetapi harus membayar pajak yang didasarkan atas keutuhan modal uang sebagai
harga pokok. Kita bayangkan berapa barang yang dapat dibeli dari laba bersih yang relatif sama jumlah
nominalnya, sedangkan harga barang konsumsi yang dibutuhkan tentunya juga meningkat sesuai
dengan inflasi atau sekitar 80 persen.
Tadi dikatakan bahwa seandainya tidak ada inflasi, apakah modal yang dipertahankan harus utuh itu
modal uang atau modal kuantitas barang dagangan, hasilnya sama saja. Tetapi kalau inflasinya hebat,
jelas bahwa mempertahankan keutuhan modal uang akan memperkecil volume perdagangannya secara
drastis. Pedagang tetap harus membayar pajak atas dasar keutuhan modal uang. Artinya, falsafah
fiskus menganut asas keutuhan modal uang, walaupun modal kuantitas barang menciut drastis.
Pedagang sudah menderita karena volume bisnisnya yang menyusut. Daya beli labanya dipangkas
drastis pula, karena barang-barang konsumsi kebutuhannya juga meningkat drastis.
Ketika di zaman orde lama inflasi berkecamuk hebat, modal pokok usaha tidak dinyatakan dengan uang,
tetapi dalam jumlah kilogram emas. Pengusaha mulai dengan modal yang sama dengan jumlah
kilogram emas tertentu. Hasil penjualan seolah-olah dipakai untuk membeli jumlah kilogram emas yang
sama. Kalau ada sisanya barulah dikonsumsi.
Benarkah pengusaha yang mendasarkan harga pokoknya atas jumlah kilogram emas? Benar kalau
tujuannya berusaha adalah mempertahankan jumlah kilogram emas tanpa peduli kuantitas barang
dagangannya menggelembung atau menciut. Kuantitas barang dagangan ini dengan sendirinya takkan
menggelembung atau menciut, kalau kadar inflasi barang dagangannya sama dengan kadar inflasi dari
emas. Kalau tidak sama, maka barang dagangannya bisa menggelembung atau menciut.
Aliran lain lagi, yaitu yang bertolak dari pikiran, bahwa tujuan pengusaha adalah mempertahankan paket
barang dan jasa untuk mempertahankan tingkat hidupnya. Bila ini tujuannya, maka laba harus dikoreksi
dengan angka inflasi yang ditentukan oleh paket barang dan jasa yang menjadi pola konsumsi hidup
yang dianggap wajar.
Yang mana pun yang dipilih, apakah kuantitas barang dagangan, jumlah kilogram emas, atau daya beli,
semuanya bertentangan frontal dengan falsafah yang melulu hanya menginginkan mempertahankan
keutuhan modal uang. Kalau inflasi menghebat terus, dan pedagang disuruh sejalan pikirannya dengan
pemerintah mengenakan pajak, yaitu modal pokok uangnya saja yang dipertahankan, dalam waktu
singkat, barang dagangan akan menjadi nihil. (Diadaptasi dari: Kwik Kian Gie, Kompas, 5 April 1999)
Menurut saudara, cara penghitungan laba kena pajak mana yang paling tepat diterapkan di
Indonesia? Diskusikan!

INVESTMENT TAX CREDIT


Di Amerika Serikat, pada dua dekade sebelum reformasi pajak tahun 1986,
kredit pajak investasi (investment tax credit) merupakan alat insentif
yang utama. Ketika pertama kali diperkenalkan tahun 1964, peraturan pajak
membolehkan perseroan untuk mengkreditkan sebagian (pada tahun 1985
sebesar 10%) dari biaya investasi yang dikualifikasikan. Bila seorang investor
yang membeli aset dengan harga Rp100 juta, maka ia memperolehnya pada
biaya perolehan bersih sebesar Rp90 juta. Investasi yang
dikualifikasikan untuk kredit pajak tersebut adalah semua aset yang dapat
disusutkan kecuali gedung.
Apakah penyusutan yang dipercepat dan kredit pajak atas investasi, sebagai
alat insentif pajak, dapat diperbandingkan? Keduanya dapat digunakan untuk
mengurangi pajak, tetapi mekanismenya berbeda. Kredit investasi tidak hanya
merupakan alat penunda pajak, tetapi juga alat yang memberi hak untuk
pengurangan pajak. Untuk suatu investasi tertentu dengan lama masa manfaat
tertentu, dapat dirancang suatu peraturan pajak untuk penyusutan yang
dipercepat dan kredit atas investasi yang menghasilkan nilai tunai yang sama
kepada investor. Akan tetapi, kedua pendekatan itu akan berbeda dalam
berbagai investasi. Penyusutan dipercepat lebih tepat untuk investasi jangka
panjang, sedangkan kredit pajak memberikan keuntungan bagi aset berumur
pendek. Aset yang berumur lebih pendek dapat diganti lebih sering sehingga
dapat dimungkinkan untuk mendapatkan kredit pajak lebih sering lagi.
Haruskah tarif pajak bagi UKM berbeda?
Alasan pengenaan tarif pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib pajak
pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perseroan. Perseroan pada
dasarnya tidak memiliki kemampuan untuk membayar seperti halnya yang
dimiliki individu dan beban pajak pada akhirnya ditanggung oleh individu,
seperti telah dikemukakan oleh Paul O’Neill di muka. Tidak ada hubungan
positif antara ukuran usaha perusahaan dan penghasilan pemiliknya.
Banyak perusahaan kecil dimiliki oleh individu-individu berpenghasilan
tinggi dan sebagian besar dividen yang dibayarkan oleh perseroan besar
diterima oleh individu-individu dengan penghasilan menengah.
Pengenaan tarif pajak progresif tentu akan didasarkan pada alasan-
alasan lain, seperti menahan ukuran bisnis sehingga tidak terlalu besar atau
mendukung usaha-usaha kecil. Jika tujuan menahan ukuran bisnis yang
ditetapkan, maka pajak yang progresif dapat diberlakukan tetapi
diterapkan pada ukuran usaha (ukuran aset), bukannya tingkat laba. Akan
tetapi tujuan ini pun dapat dipertanyakan, pada umumnya perusahaan-
perusahaan ukuran menengah dan besar lebih efisien daripada usaha kecil,
walaupun sedikit sekali bukti bahwa ukuran usaha yang besar diperlukan
untuk mencapai efisiensi.
Walaupun demikian, keringanan pajak untuk usaha-usaha kecil selalu
menjadi perbincangan politik yang penting. Posisi ini dapat dipandang benar
untuk mengurangi kemampuan perusahaan-perusahaan besar untuk beroperasi
pada pasar-pasar modal yang tidak sempurna dan mendapat manfaat dari
praktek-praktek monopolistik. Selain itu, ada pandangan bahwa ada
kebutuhan sosial untuk memelihara UKM walaupun tidak efisien.

Bantuan kepada UKM


Untuk menghilangkan penerapan pajak berganda bagi usaha kecil
berbentuk perseroan, ada aturan khusus pada peraturan-peraturan pajak negara
tertentu bahwa usaha-usaha kecil sampai dengan ukuran aset atau ukuran
penjualan tertentu boleh kenakan pajak sebagai suatu firma. Perseroan
kecil ini dipandang sebagai mekanisme pemungutan/pemotongan pajak saja,
suatu penerapan integrasi yang lengkap.
Pemerintah dapat pula memberikan bantuan kepada UKM dengan
mengenakan tarif terendah pajak yang lebih rendah. Tarif terendah yang lebih
rendah ini tidak banyak manfaatnya bagi usaha-usaha besar, walaupun tarif
terendah yang lebih rendah ini dapat digunakan oleh wajib pajak pribadi
untuk mengurangi pajaknya. Untuk menghindari pemanfaatan oleh wajib
pajak
pribadi, dibuat aturan pajak berbeda untuk wajib pajak pribadi. Permasalahan
lain yang dapat muncul adalah aturan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan
besar dengan memecahnya menjadi unit-unit kecil dengan melakukan spin
off. Permasalahan ini dapat diatasi dengan memberikan penalti kepada suatu
perusahaan induk yang memiliki banyak anak perusahaan.

RANGKUMAN
§ Pengenaan pajak perusahaan dapat dilakukan sebagai
instrumen pengendali tingkah laku perusahaan. (1) Pengendalian terhadap
monopoli; (2) Membatasi ukuran atau besarnya perusahaan; (3)
Pembatasan laba; (4) Pemupukan modal atau pertumbuhan ekonomi; dan
(5) Insentif atau disinsentif investasi.
§ Dalam metode partnership, pemegang saham diperlakukan seolah-
olah adalah partner dalam suatu bisnis.
§ Metode integrasi tidak memerlukan penentuan laba kena pajak
untuk perusahaan. Pajak dikenakan atas semua capital gain, termasuk
yang belum direalisasikan.
§ Permasalahan yang mungkin timbul untuk pajak badan adalah: (1)
Hutang versus Modal Saham; (2) Natura; dan (3) Penyusutan. Bunga
diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah.
Bunga boleh dikurangkan dari penghasilan perusahaan kena pajak.
Pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan pribadi.
Pemilik dana cenderung untuk meminjamkan daripada melakukan
investasi saham. Integrasi penuh akan mengembalikan netralitas
perlakuan pajak.
§ Natura adalah penghasilan yang tidak berbentuk kas. Dengan
membayar dalam bentuk natura, perusahaan membantu pengawainya
mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka.
§ Dalam hal pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan
mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran terjadi. Tetapi
dalam hal investasi modal, pengurangan itu dilakukan selama beberapa
periode.
§ Suatu tarif pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang lebih lambat
akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarif pajak
yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Pajak tidak
boleh mendistorsi pola investasi.
§ Seorang pemilik modal yang membeli aset dengan harga tertentu
dapat mengkreditkan dengan beban pajak yang harus dibayar sebesar
biaya perolehan.
§ Sebagian besar ekonom memandang beban pajak penghasilan
badan seharusnya jatuh kepada pemodal, sesuai dengan model ekonomi
kompetitif. Akan tetapi jika berada dalam situasi monopolistik,
perusahaan akan berusaha memindahkan beban pajaknya dengan harga
yang lebih tinggi.

LATIHAN
1. Sebutkan hambatan – hambatan dalam menerapkan prinsip keadilan,
pajak penghasilan WP badan!
2. Jelaskan perbedaan pandangan integrasi dan pandangan absolute
dalam pengenaan pajak atas suatu perusahaan!
3. Apa yang dimaksud dengan penerapan pajak atas pertimbangan manfaat?
4. Bagaimana bentuk pajak perusahaan yang tepat jika ada keinginan
untuk membatasi besarnya perusahaan? Jelaskan!
5. Jelaskan pengenaan pajak yang diterapkan, jika perusahaan ingin
meningkatkan pengeluaran konsumsi dan mendukung berfungsinya pasar
modal!
6. Jelaskan integrasi pajak secara penuh dengan metode :
a. Partnership
b. Capital Gain
7. Mana yang lebih menguntungkan, dari sisi permasalahan
perpajakan, memberikan pinjaman hutang atau menginvestasikan
uangnya untuk modal saham? Apa Alasannya?
8. Mengapa secara teori dianggap lebih menguntungkan
menggunakan metode penyusutan declining balance method?
9. Dilihat dari sisi kewajiban pajaknya, bedakan pengaruh investasi
tunggal dan investasi berkelanjutan!
10. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah inflasi dengan baik?
Jelaskan dan berikan contoh!
11. Mengapa tarif pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib
pajak pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perusahaan?
12. Bagaimana peran pemerintah dalam rangka membantu Usaha Kecil
dan Menengah untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak
penghasilan badan?
PAJAK KONSUMSI

Pajak penjualan pada dasarnya mirip dengan pajak penghasilan karena


pajak ini dikenakan arus yang diciptakan oleh produksi output tahun berjalan.
Bila pajak penghasilan dikenakan pada sisi penjual dari faktor-faktor produksi
(misalnya, atas penghasilan yang diterima oleh rumah tangga) maka
pajak penjualan dikenakan pada sisi penjual dari transaksi produksi (misalnya
atas penjualan yang dilakukan perusahaan), dengan angka penjualan diukur
dalam ukuran unit produk atau penerimaan kotor. Pajak penjualan atas barang
konsumsi dapat dipandang sebagai ekivalen dengan pajak yang dikenakan
atas pembelian-pembelian rumah tangga karena barang-barang konsumsi
adalah pembelian-pembelian rumah tangga. Bila pajak penghasilan
didasarkan pada
228 Keuangan Publik: Teori dan Bab 11: Pajak Konsumsi 228
Aplikasi

sisi sumber suatu rumah tangga maka pajak penjualan didasarkan pada sisi
penggunaan suatu rumah tangga. Dalam pajak umum atas barang-barang
konsumsi, semua penggunaan dikenakan kecuali untuk menabung. Pajak
penjualan adalah pajak penghasilan bila definisi penghasilan mengacu pada
definisi yield income dari Irving Fisher.
Pajak penjualan merupakan pajak in rem yang berbeda dari
pajak penghasilan yang merupakan pajak pribadi. Oleh karenanya, dalam
pajak penjualan tidak ada situasi-situasi pribadi konsumen sebagaimana
halnya dalam pajak penghasilan individu, seperti aturan-aturan
pengecualian, pengurangan, dan tarif progresif. Oleh karena itu, pajak
penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan
horizontal.

JENIS PAJAK ATAS KONSUMSI DI INDONESI


Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
Pajak atas konsumsi yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Pajak
Penjualan (PPn) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1951. Proses
penggantian Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan salah satu
rangkaian perombakan sistem perpajakan nasional sebagai Reformasi
Perpajakan tahun
1983 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985. Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984, yang
telah mengalami perubahan-perubahan yang terakhir diubah dengan
Undang- Undang Nomor 18 tahun 2000. PPN merupakan pajak konsumsi
yang dikenakan atas konsumsi barang-barang dan jasa-jasa tertentu di dalam
negeri (di dalam Daerah Pabean). Selain itu, untuk konsumsi barang-barang
tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di dalam negeri, selain
dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Khusus untuk PPnBM hanya
dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor.
Tidak semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak. Jenis barang yang
tidak dikenakan PPN adalah:
n Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya.
n Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak.
n Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung dan sejenisnya.
n Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN cukup banyak, seperti jasa pelayanan
kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa
keuangan, jasa keagamaan, jasa pendidikan dan lain-lain.

Cukai
Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi
barang-barang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi,
seperti pajak penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu
seperti tembakau, gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak
atas pemerintah pusat.

Pajak Konsumsi di Daerah


Jenis pajak konsumsi lainnya diberlakukan pada tingkatan daerah dengan
besarnya tarif pajak bergantung pada peraturan masing-masing daerah. Pajak-
pajak ini diantaranya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel,
Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Parkir.

BAHASAN-BAHASAN DALAM PAJAK ATAS KONSUMSI


Pajak penjualan, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdiri
dari beberapa jenis, termasuk definisi basis pajak, cakupan dan saat
pengenaannya.

Pajak per Unit versus Pajak atas Nilai (Ad valorem)


Pajak penjualan dapat dikenakan per unit produk dan dapat dikenakan atas
nilai produk (ad valorem). Sebagian besar cukai atau pajak penjualan atas
produk-produk tertentu dikenakan berdasarkan unit produk, misalnya
pajak atas BBM, cukai tembakau dan cukai minuman keras. PPN dan PPnBM
merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad
valorem. Di antara dua basis ini, bentuk ad valorem lebih berarti daripada
bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

Ruang Lingkup Cakupan Pajak Penjualan Umum


Karena perbedaan basis pengenaannya, pajak-pajak penjualan umum dapat
berbeda dalam cakupan pengenaannya. Pajak-pajak tersebut dapat mencakup
semua transaksi atau basisnya sama dengan PNB atau hanya konsumsi saja.
230 Keuangan Publik: Teori dan Bab 11: Pajak Konsumsi 230
Aplikasi

Basis Transaksi yang Inferior


Pajak berdasarkan perputaran (turnover tax) yang dikenakan pada jumlah
total seluruh transaksi adalah pajak yang paling tidak diinginkan untuk
diterapkan. Dalam pajak jenis ini, suatu produk dikenakan pajak berkali-kali
sepanjang tahapan produksi. Misalnya, penjualan biji besi dikenakan pajak
ketika biji besi tersebut berpindah dari tambang ke pabrik baja; penjualan
besi baja dikenakan pajak ketika besi baja berpindah dari pabrik baja ke
pabrik produksi lembaran baja; penjualan lembaran baja dikenakan pajak
ketika lembaran baja berpindah dari pabrik produksi lembaran baja ke pabrik
mobil, dan seterusnya sampai pajak terakhir dikenakan pada penjualan mobil
eceran. Akibatnya, basis pajaknya akan berjumlah beberapa kali lipat dari
PNB dan hasil pajak yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan
tarif pajak yang rendah. Dengan PNB Indonesia yang diperkirakan
sebesar Rp1180 trilyun misalnya, penerapan pajak berdasarkan perputaran
yang komprehensif sebesar 1% akan menghasilkan pendapatan pemerintah
sebesar Rp46 trilyun, atau sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Cara ini
sangat menarik perhatian pemerintah karena kemampuannya menghasilkan
pajak yang besar dengan penerapan tarif yang kecil. Pendekatan ini tidak
akan menimbulkan permasalahan bila setiap produk melalui jumlah transaksi
yang sama sehingga persentase total kewajiban pajak berdasarkan perputaran
terhadap nilai pada penjualan akhir akan sama. Dalam kenyataannya,
setiap produk melalui jumlah transaksi yang berbeda-beda. Dengan
demikian, pajak berdasarkan perputaran menimbulkan diskriminasi
pengenaan pajak terhadap produk- produk yang harus melalui banyak
tahapan produksi dan distribusi. Selain itu, untuk menghindari pajak,
perusahaan-perusahaan akan bergabung dengan para pemasok mereka,
sehingga mendorong timbulnya integrasi vertikal yang pada gilirannya akan
mengurangi kompetisi. Atas dasar inilah, pajak berdasarkan perputaran
dipandang sebagai bentuk pajak yang inferior. Bahkan beberapa negara Eropa
telah menggantikan bentuk pajak ini dengan pajak pertambahan nilai sebagai
bukti inferioritas pajak atas perputaran ini.

Basis Produk Nasional Bruto (PNB) versus Basis Penghasilan atau


Konsumsi
Karena basis transaksi menimbulkan pengenaan ganda dan harus dihindari
maka pilihan lainnya adalah basis PNB, pendapatan nasional atau konsumsi.
Pada umumnya, pajak penjualan yang dikenakan di berbagai negara
didasarkan pada basis konsumsi.
Pajak penjualan jenis PNB akan mengenakan pajak penjualan atas barang-
barang konsumsi dan barang-barang produksi. Dengan demikian, basis
ini akan sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan bruto, yaitu
penghasilan tanpa diperhitungkan biaya penyusutan. Karena sama dengan
pengenaan pajak atas penghasilan, pajak jenis ini memiliki kelemahan dalam
hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan
melanggar prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa
penghasilan dari semua sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya dan dalam
jumlah netonya, bukan dalam jumlah brutonya. Dalam hal efisiensi, pajak ini
akan memberikan perlakuan lebih diskriminatif terhadap tabungan yang
telah mendapat perlakuan diskriminatif dalam pajak penghasilan bila
dibandingkan dengan bentuk tabungan rencana pensiun.
Kelemahan ini tidak terjadi bila pajak hanya dikenakan pada basis
yang sama dengan pendapatan nasional atau PNB dikurangi dengan
pajak-pajak tidak langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan
memiliki basis yang sama dengan pajak penghasilan dan dapat diadakan
dengan memberlakukan pajak pertambahan nilai jenis penghasilan, yang akan
dijelaskan pada bagian berikutnya. Karena basis penghasilan telah
digunakan dalam pajak pribadi pada bagian sebelumnya dengan pengenaan
pajak penghasilan, satu-satunya basis yang tersisa sebagai kandidat basis
pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang paling banyak digunakan
dalam pajak penjualan.

Pajak Konsumsi Komprehensif versus Pajak Konsumsi


Tertentu
Pajak penjualan umum atau eceran bertujuan mengenakan pajak yang
mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran
konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan yang komprehensif
sebesar
10% akan menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp117 trilyun. Akan
tetapi
jumlah dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu
dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi
perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah),
konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dan lain-lain.

Tahap Pengenaan
Keputusan mengenai tahap pengenaan didasarkan pada pilihan tahapan
terbaik untuk pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak
satu kali atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak
merupakan hal yang substantif dalam menentukan jenis pajak yang
akan diberlakukan,
pemilihan tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif
dalam rangka efisiensi pengenaan pajak atas basis yang dipilih.

Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran


Bila menggunakan pajak yang dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak
biasanya antara saat selesai produksi atau saat dijual secara eceran kepada
konsumen.
Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih
baik karena memungkinkan pengenaan tarif ad valorem yang seragam.
Pengenaan pajak ad valorem dengan tarif yang sama pada tingkatan produksi
menghasilkan tarif ekivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada
tingkatan penjualan eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi
berbeda- beda untuk berbagai produk. Pengenaan tarif yang berbeda untuk
menghilangkan perbedaan rasio harga eceran terhadap harga produksi ini
akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif
pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran.
Jika pajak akan dikenakan secara selektif (PPnBM), tahapan mana akan
dikenakan pajak merupakan hal yang sulit untuk ditentukan. Jika produknya
dapat diidentifikasi pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau
televisi, akan lebih menguntungkan mengenakan pajak pada tahapan ini,
karena pengenaan pajak secara selektif pada tingkatan eceran akan
sangat sulit. Dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang digunakan untuk
pakaian mewah atau pakaian murah) dimana identifikasi produk tidak
memungkinkan, maka pengenaan sebaiknya dilakukan pada tahapan eceran.
Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan sifat dari produk
final pada tahapan penjualan eceran. Walaupun demikian, pandangan
umum lebih condong kepada pengenaan pada tahapan penjualan eceran
untuk diterapkan pada pajak penjualan umum dan tidak begitu sering
digunakan pada pajak-pajak penjualan selektif.
Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi
lebih menguntungkan karena cara ini akan mengurangi jumlah pembayar
pajak yang harus ditagih pajaknya sehingga mempermudah administrasi.
Pajak dikenakan pada produsen yang jumlahnya pasti lebih sedikit daripada
pengecer/penjual ataupun konsumen. Selain itu, badan-badan usaha produksi
cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih memiliki pembukuan yang
baik daripada badan-badan usaha eceran. Karakteristik-karakteristik mampu
memberikan perbaikan dalam kualitas perhitungan pajak di negara-negara
berkembang. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih
baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi
karena
jumlah titik penagihan pajak yang lebih sedikit, walaupun dampaknya
dapat berbeda bila pajak tersebut dikenakan pada tingkatan penjualan eceran.

Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai


Pertanyaan lebih lanjut pengumpulan pajaknya. Ada dua cara pengumpulan
pajak penjualan, yaitu pada saat pengenaan di titik penjualan final dan
dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan prosedur nilai
tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-
potongan (nilai tambah pada setiap tahapan) dimana pajak dikenakan pada
tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam
teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama
dengan basis penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda.
Pemilihan keduanya lebih didasarkan pada kemudahan administrasi.
Penggunaan pendekatan beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai
harus dibedakan dengan yang sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang
pajak atas perputaran. Yang dikenakan di sini adalah pajak atas
pertambahan nilainya sedangkan pada pajak atas perputaran dikenakan atas
seluruh jumlah perputarannya di setiap tahapan produksi.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Menurut sudut pandang ahli ekonomi, pajak pertambahan nilai yang
diselenggarakan dengan benar akan ekivalen dengan penerapan pajak dalam
satu tahapan pada titik penjualan. Oleh karena itu, pajak pertambahan nilai
bukan bentuk pajak yang baru seperti pajak pengeluaran, pajak ini hanyalah
pajak penjualan yang diadministrasikan dengan cara berbeda.

Nilai Akhir sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai


Mari kita lihat suatu produk, misalnya sepatu. Dengan menelusuri ke
berbagai tahapan produksi, kita akan mulai dengan peternak yang
menjual kulit hewan kepada penyamak, penyamak menjual kulit bahan sepatu
kepada produsen sepatu, produsen sepatu menjual sepatu kepada distributor
utama, distributor utama menjual sepatu kepada toko eceran, yang
akhirnya akan menjual sepatu tersebut kepada konsumen. Pada setiap
tahapan, nilai barang meningkat dan harga jual juga meningkat sejalan dengan
peningkatan nilai tersebut. Setiap kenaikan harga menunjukkan tambahan
nilai pada setiap tahapan, dengan nilai atau harga final dari produk
tersebut sama dengan jumlah kenaikan atau pertambahan nilai pada
seluruh tahapan. Suatu pajak
yang dikenakan pada pertambahan nilai akan identik basisnya dengan
suatu pajak yang dikenakan pada nilai final dari produk tersebut.

Jenis Pajak Pertambahan Nilai


Ada tiga jenis pajak pertambahan nilai sesuai dengan basis PNB, Produk
Nasional Neto (PNN), dan konsumsi, tetapi hanya jenis konsumsi yang dapat
diterapkan secara praktis.

Jenis PNB
Bila semua barang dan jasa final yang diproduksi dan dijual dalam suatu
periode, yaitu PNB, menjadi subyek pajak penjualan umum, pajak
tersebut akan dikenakan baik pada barang konsumsi maupun barang modal.
Pajak ini akan dibayarkan oleh penjual ketika produk dijual kepada pembeli
terakhir, baik oleh konsumen rumah tangga, oleh suatu perusahaan untuk
menambah persediaan barangnya, atau oleh suatu perusahaan untuk
pembelian barang- barang modal. Dengan PNB Indonesia sebesar Rp1.170
trilyun, pajak dengan tarif 5% yang mencakup semua barang tersebut akan
menghasilkan Rp58,5 trilyun pendapatan pajak bagi negara. Jumlah yang
sama dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan nilai tambah, yaitu
mengenakan pajak kepada setiap penjual dengan tarif 5 persen dari nilai
tambah, yang dihitung dari penerimaan kotor dikurangi dengan biaya
pembelian barang setengah jadi dari produsen sebelumnya dalam lini
produksi. Basis pajak pada setiap tahapan akan sama dengan penyusutan,
pajak, bunga, laba dan biaya-biaya. Pajak ini akan merupakan bentuk yang
paling komprehensif dari pajak pertambahan nilai dan disebut sebagai
pajak pertambahan nilai jenis PNB. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, pajak ini ekivalen dengan pajak penjualan yang diterapkan pada
barang konsumsi dan barang modal.

Jenis Penghasilan
Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya, juga
dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan pada produk neto.
Seperti kita ketahui NNP sama dengan PNB dikurangi cadangan untuk
konsumsi modal atau penyusutan. Pajak atas NNP dapat dikenakan
dalam bentuk beberapa tahapan dengan mengenakan pajak pada nilai bersih
yang ditambahkan oleh setiap perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan
sebagai penerimaan kotor dikurangi pembelian atas barang setengah jadi dan
penyusutan. Hasil yang sama dapat diperoleh dengan menerapkan pajak
penghasilan umum karena basis suatu pajak produk neto sama dengan
pajak
penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis penghasilan berbeda dari jenis
konsumsi. PPN jenis penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan
penyusutan sedangkan PPN jenis konsumsi membolehkan perusahaan
mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian barang-barang modal.
Pajak ini tidak dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari
barang pada saat penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini
mengharuskan pencatatan biaya-biaya penyusutan yang dibebankan oleh
semua produsen sepanjang lini produksi. Jadi, hanya pendekatan nilai tambah
yang secara praktis digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan pada
produk neto.

Jenis Konsumsi
Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan sebagai
pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian produk-
produk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga
pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-peralatan. Dengan
membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya,
yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini
akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi,
dengan perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja.

Ilustrasi Perhitungan PPN untuk Setiap


Jenis
Ilustrasi perhitungan dari berbagai jenis pajak pertambahan nilai
disajikan pada tabel berikut. Tabel ini menunjukkan perhitungan ketiga basis
dengan menggunakan metode yang disebut metode pengurangan.
Alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah metode penambahan. Untuk
basis penghasilan, perhitungan dengan metode penambahan adalah dengan
cara menambahkan semua pembayaran kepada berbagai faktor yang
dinyatakan pada baris 05. Basis PNB dihitung dengan cara menambahkan
pembayaran- pembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07).
Basis konsumsi ditentukan dengan menambahkan pembayaran-pembayaran
kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07) kemudian dikurangi
dengan pembelian barang modal (baris 09). Jadi metode penambahan
langsung menghasilkan angka pada pajak pertambahan nilai jenis
penghasilan tetapi agak membingungkan pada pajak pertambahan nilai jenis
konsumsi.
PERUSAHAAN
A B C Ekonomi

Pendapatan
01. Penjualan barang konsumsi - 70 151 221
02. Penjualan produk setengah jadi 120 145 - 265
03. Penjualan barang modal - 100 - 100

04. Jumlah total 120 315 151

Biaya
05. Upah, bunga, laba, dsb. 100 80 90 270
06. Pembelian produk setengah jadi - 120 45 165
07. Penyusutan 20 15 16 51

08. Jumlah total 120 215 151

Biaya Modal
09. Pembelian barang-barang modal - - 100 100

Basis-basis pajak
10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 120 195 6 321
11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 100 180 90 370
12. Basis GNP 120 95 106 321

Perhitungan Pendapatan Nasional


13. Konsumsi - - - 221
14. Plus Investasi - - - 100
15. GNP - - - 321
16. Minus Penyusutan - - - 51
17. NNP atau Pendapatan Nasional - - - 270

Sumber: Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Public Finance in Theory and
Practice. 5th Edition. McGraw-Hill. New York: 1989. hal. 402
Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung
untuk setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan
dikurangi dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-
barang modal (baris 06 dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan
pada baris 11, dihitung untuk setiap perusahaan dengan cara penjualan
dikurangi dengan biaya barang-barang setengah jadi dan penyusutan (baris
06 dan 07). Basis PNB, seperti yang ditunjukkan pada baris 12, akan sama
dengan penjualan total (baris 04) dikurangi pembelian barang-barang
setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada setiap perusahaan ini
menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti yang ditunjukkan
pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan nilai dari
konsumsi, pendapatan nasional, dan PNB yang ditentukan dalam perhitungan
pendapatan nasional.

Metode Penagihan
Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita
akan menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan
dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan
barang modal.
Bila perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya.
Pertama, dikenal dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang
meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut.
Kedua, metode faktur, yaitu metode yang mengharuskan perusahaan
menghitung pajak brutonya dengan mengalikan tarif pajak terhadap total
penjualan dan mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah yang sama dengan
pajak yang telah dibayarkan oleh para pemasok yang barang-barang setengah
jadi dan barang- barang modalnya dibeli oleh perusahaan. Dengan
membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung pada penyajian bukti
setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode faktur memiliki
elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari bukti setor
tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah.

Simpulan
Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki
basis yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama.
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara kedua
pajak ini mengenai yang lebih baik. Satu perbedaan pandangan politis.
Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini “tampak”
berbeda sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan
eceran yang menyembunyikan beban pajak dari konsumen karena pajak
sering tidak disajikan terpisah dari harga konsumen. Jika pajak bruto
pengecer disajikan terpisah dari harga konsumen, konsumen akan menyadari
adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan politis, ada
beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting.
Jumlah pembayar pajak dalam pajak penjualan eceran lebih sedikit daripada
dalam pajak pertambahan nilai, sehingga memudahkan administrasi
karena para pengecer dapat diakses secara efektif. Di negara maju yang usaha
ritelnya sudah mapan, hal ini mudah dilakukan, tetapi di negara berkembang
di mana usaha ritel umumnya usaha kecil, pajak penjualan eceran tidak akan
efektif. Dalam pajak pertambahan nilai, pengecualian barang-barang modal
dapat dilakukan dengan lebih efektif daripada dalam pajak penjualan eceran
karena sulitnya menelusuri penggunaan barang-barang yang dibeli dari para
pengecer. Selain itu, dengan menggunakan metode faktur, pajak pertambahan
nilai memiliki elemen ketaatan yang tidak dimiliki dalam pajak penjualan
eceran.

DISTRIBUSI BEBAN PAJAK


Pajak penghasilan memiliki peringkat yang tinggi dalam hal keadilan
karena dikenakan sebagai suatu pajak pribadi yang berusaha mencapai
kemampuan membayar dari wajib pajak. Hal yang sama tidak berlaku
untuk pajak penjualan dan cukai. Karena tidak dibebankan secara pribadi,
pajak-pajak ini tidak mengindahkan aturan kemampuan untuk membayar.

Cukai
Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak
penjualan, kita menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan
kelompok penghasilan didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan
pola pengeluaran konsumsi atas produk yang dikenakan pajak. Beban dari
pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan
beban dari pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Cukai
cenderung regresif karena dikenakan atas barang-barang konsumsi massal,
seperti minuman beralkohol dan rokok. Konsumen dengan penghasilan
berbeda dikenakan tarif cukai yang sama. Cukai juga diskriminatif terhadap
konsumen dengan penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang
berbeda, mereka ini dikenai beban cukai yang berbeda. Konsumen yang
memiliki preferensi lebih pada produk-produk kena cukai membayar cukai
lebih banyak. Oleh karena itu, cukai memiliki peringkat yang rendah
dalam hal keadilan horizontal dan vertikal. Karena hanya dikenakan pada
barang-barang tertentu, cukai akan menimbulkan biaya efisiensi yang lebih
besar daripada pajak yang lebih umum.
Cukai tetap dikenakan karena berbagai alasan. Cukai umumnya dikenakan
kepada barang-barang konsumsi massal yang dipandang “kurang baik untuk
dikonsumsi”, seperti rokok dan minuman beralkohol. Cukai juga dikenakan
untuk memenuhi rasa keadilan karena barang-barang konsumsi tertentu hanya
dinikmati oleh konsumen-konsumen berpenghasilan tinggi. Cukai juga
dikenakan dalam rangka meminimalkan dead weight loss, tetapi hal ini belum
menjadi kebijakan yang telah diterapkan.

Pajak Penjualan Umum


Pajak penjualan umum dalam bentuk pajak penjualan eceran atas barang-
barang konsumsi pada dasarnya sama dengan pajak umum bertarif tetap atas
pengeluaran konsumen.
Bila dilihat dari keadilan horizontal, suatu pajak penjualan umum
memenuhi keadilan pajak bila indeks keadilan dinyatakan dalam bentuk
konsumsi tetapi akan tidak memenuhi keadilan pajak bila indeksnya
dinyatakan dalam bentuk
penghasilan. Keluarga-keluarga dengan penghasilan yang sama mungkin saja
memiliki tingkat konsumsi (menabung) yang berbeda karena faktor usia atau
faktor-faktor lainnya. Keluarga-keluarga seperti itu akan membayar
jumlah pajak yang berbeda, sehingga melanggar keadilan horizontal
dalam bentuk penghasilan.
Bila dipandang dari keadilan vertikal, suatu pajak penjualan umum akan
proporsional berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif
berkenaan dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase
atas penghasilan menurun (menabung dalam persentase atas penghasilan
naik) sejalan dengan kenaikan penghasilan. Pola ini kurang regresif bila
dihitung dalam jangka waktu seumur hidup dan bukannya tahunan. Bila
dihitung dalam jangka waktu seumur hidup, penghindaran atas pajak
penjualan hanya dapat dilakukan dengan melalui warisan. Perlu dicatat pula
bahwa sifat regresif dari pajak penjualan telah dimodifikasi dengan
mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, seperti makanan.

PAJAK PENGELUARAN WAJIB PAJAK PRIBADI


Pajak konsumsi baik melalui cara selektif (cukai) maupun pajak penjualan
umum (PPN bila di Indonesia) tetap bersifat regresif karena pengeluaran
konsumsi dalam persentase penghasilan cenderung menurun sejalan dengan
peningkatan penghasilan.Oleh karena itu, pajak penghasilan dipandang
sebagai pajak yang progresif dan pajak penjualan dipandang sebagai pajak
regresif. Dengan demikian, pendukung pajak penghasilan cenderung berasal
dari pendukung progresivitas pajak, sedangkan pendukung pajak
penjualan cenderung berasal dari penentang progresivitas pajak.
Perbedaan progresivitas di antara kedua jenis pajak ini muncul karena
pajak penghasilan telah dikembangkan dalam kerangka pajak pribadi,
sedangkan pajak konsumsi telah ditetapkan sebagai kerangka dalam
pendekatan non pribadi atau in rem dari pajak penjualan. Penggunaan suatu
jenis pajak pribadi dari pajak pengeluaran akan menghilangkan perbedaan ini
dan membuat pengenaan pajak atas konsumsi menjadi bersifat pribadi dan
progresif. Pajak seperti ini pernah dicobakan di India dan Sri Lanka, tetapi
pengenaan pajak ini dalam situasi modern belum pernah ada. Pajak ini
merupakan ide yang baru dan menarik dan telah banyak mendapat
dukungan dari para akademisi di dunia perpajakan. Berikut ini pembahasan
teknis apabila pajak ini diterapkan.
240 Keuangan Publik: Teori dan Bab 11: Pajak Konsumsi 240
Aplikasi

Penentuan Konsumsi Kena Pajak


Apabila konsumsi digunakan sebagai indeks atas kemampuan untuk
membayar, definisi global yang diterapkan dalam basis pajak penghasilan
berlaku juga pada pajak konsumsi. Semua konsumsi harus dimasukkan
ke dalam basis pajak dan kewajiban pajak para wajib pajak tidak
dipengaruhi oleh pola tertentu dari pengeluaran konsumsi mereka. Dengan
menggunakan analogi pajak penghasilan, wajib pajak akan menentukan
konsumsinya pada suatu tahun pajak, kemudian akan mengurangkan
konsumsi tidak kena pajak yang diperbolehkan, dan menerapkan tarif pajak
progresif kepada jumlah sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak.
Ide ini tampaknya sederhana, akan tetapi penentuan konsumsi kena pajak
dalam praktek bukan hal yang mudah. Perhitungan konsumsi dengan
meminta individu menambahkan pengeluaran rupiah untuk konsumsi tidak
mungkin diterapkan. Pendekatan kedua dimulai dari penghasilan dan
mengurangkannya dengan jumlah tambahan tabungan. Untuk mendapatkan
angka konsumsi, jumlah tambahan tabungan harus didefinisikan sebagai
tabungan neto (tambahan tabungan dikurangi penarikan tabungan), atau
penambahan atas kekayaan bersih. Pendekatan inipun bukan hal yang mudah,
terutama untuk menentukan penambahan atas kekayaan bersih. Pendekatan
ketiga merupakan paling baik dan yang paling mungkin untuk menentukan
konsumsi tahunan
1
wajib pajak adalah dengan menggunakan cara berikut:
§ Saldo bank dan uang pada awal tahun
§ + penerimaan uang
§ + tambahan pinjaman bersih (pinjaman baru dikurangi
pembayaran pinjaman atau memberikan pinjaman)
§ – investasi bersih (biaya pembelian aset-aset dikurangi hasil dari aset-
aset yang dijual)
§ – saldo bank dan uang pada akhir tahun
§ = konsumsi untuk tahun berjalan.
Konsumsi dihitung dari perubahan dalam saldo bank dan uang dan arus
penerimaan dan pembayaran-pembayaran non konsumsi selama tahun
berjalan. SPT harus digunakan untuk membuat wajib pajak menyatakan
jumlah-jumlah tersebut secara rinci seperti pelaporan penghasilan dalam
pajak penghasilan.
Konsep penerimaan yang digunakan dalam skedul perhitungan di atas sama
dengan penghasilan yang didefinisikan dalam pajak penghasilan,
disesuaikan

1
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave. Hal 405-406.
dengan mengecualikan capital gain tetapi memasukkan imputed rent dari
rumah-rumah yang dihuni pemiliknya juga warisan dan hadiah yang diterima.
Walaupun konsumsi rumah akan dimasukkan dengan cara memasukkan
komponen imputed rent, pembelian barang-barang konsumsi jangka panjang
(seperti mobil), akan diperlakukan sebagai konsumsi tahun berjalan, dengan
membolehkan penggunaan tarif rata-rata untuk menghindari ketidakadilan.
Pendekatan ini lebih sederhana daripada yang dipakai dalam pajak
penghasilan. Dilema dalam memperlakukan capital gain yang belum
direalisasikan tidak ada. Jika aset dijual, hasil yang diterima akan masuk ke
dalam basis pajak kecuali dikurangi dengan pembelian aset-aset lain
atau kenaikan dalam saldo-saldo aset. Tidak ada kebutuhan untuk
menentukan laba perseroan. Dividen akan muncul sebagai penerimaan, dan
capital gain yang belum direalisasikan, yang diperoleh dengan menahan laba,
bukan hal yang relevan sampai realisasi terjadi dan hasilnya disalurkan ke
dalam konsumsi. Permasalahan sulit dari akuntansi penyusutan juga akan
hilang. Penyesuaian terhadap inflasi hanya diperlukan untuk indeks tarif-tarif
pajak.
Dibalik kelebihan-kelebihan tersebut, pajak pengeluaran akan
memunculkan kesulitan-kesulitan baru. Sulit untuk memberlakukan metode
pemotongan dan pemungutan pajak dalam pajak pengeluaran untuk urusan
kemudahan administrasi pajak. Karena pemotongan pajak hanya dapat
dilakukan terhadap penghasilan penghasilan, maka harus ada suatu rasio yang
ditetapkan sebelumnya dari penghasilan terhadap konsumsi dan penghasilan
dikurangkan sebesar rasio ini untuk pemotongan pajak konsumsi. Selain itu,
pemotongan pajak dalam sistem tarif yang progresif mempersulit penerapan
karena tarif pajak yang tepat bergantung pada apakah penerimaan tersebut
akan dibelanjakan atau diinvestasikan kembali, suatu situasi yang
menyulitkan dalam dalam kasus penghasilan modal.
Permasalahan lainnya adalah pentingnya mencatat secara lengkap
saldo- saldo kas pada awal tahun. Bila tidak dilakukan, akan terjadi
penghindaran pajak konsumsi dengan menggunakan uang dari saldo-saldo kas
tersebut untuk konsumsi. Untuk memastikan peminjaman
dipertanggungjawabkan, pemberi pinjaman diharuskan untuk melaporkan
informasi mengenai pinjaman- pinjaman yang diberikan. Dengan demikian,
pengecekan silang akan lebih banyak dilakukan. Hal yang sama juga
diperlakukan untuk penjualan- penjualan aset. Untuk tujuan ini, wajib pajak
diharuskan untuk melaporkan neraca atau daftar harta mereka dalam SPT.

Perlakuan atas Warisan dan Hibah


Dalam konsep pajak pengeluaran wajib pajak pribadi, ada suatu
permasalahan khusus timbul karena penghasilan tidak digunakan untuk
konsumsi tetapi akan diwariskan atau dihibahkan. Berdasarkan filosofi
tambahan kemampuan ekonomis, penerimaan suatu warisan/hibah akan
dimasukkan ke dalam basis pajak penerima warisan/hibah. Akan tetapi,
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konsep penghasilan yang
berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis memberikan perlakuan yang
diskriminatif terhadap konsumsi di masa depan. Pajak konsumsi, memberikan
perlakuan yang sama dengan menerapkannya pada nilai tunai konsumsi
sehingga beban pajak tidak dipengaruhi oleh faktor waktu. Walaupun
demikian, perlakuan terhadap warisan/hibah masih menimbulkan tanda tanya.
Seorang pembayar pajak dapat menghindari pajak apabila ia memutuskan
sebagian penghasilannya digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima
warisan/hibah tidak membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak
dikenakan pajak. Cara terbaik untuk mengatasi penghindaran pajak ini adalah
dengan memasukkan warisan/hibah sebagai basis pajak pengeluaran. Dengan
demikian, basis pajak yang adil bukan hanya konsumsi saja tetapi
semua penggunaan penghasilan, baik itu untuk konsumsi ataupun untuk
diwariskan.

Evaluasi
Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan
kualitas perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip
kemampuan untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat
pada pajak penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi
merupakan cara yang lebih baik, akan tetapi ada hal yang harus
dijawab terlebih dahulu. Pertama, basis mana yang lebih baik (penghasilan
atau konsumsi). Kedua, bagaimana memperlakukan warisan/hibah. Apabla
sistem pajak berupaya mendukung kegiatan menabung, pendekatan pajak
pengeluaran lebih tepat daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotong-
potong dalam sistem pajak penghasilan.
Menggantikan pajak penghasilan dengan pajak pengeluaran akan
menyederhanakan beberapa hal penting, terutama yang berkaitan dengan
permasalahan inflasi. Akan tetapi, penggantian ini juga akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan baru seperti masalah pemotongan pajak. Pajak
pengeluaran juga tidak akan menghilangkan perlakuan-perlakuan khusus dan
loophole yang selama ini ada pada pajak penghasilan.
RANGKUMAN
§ Pajak konsumsi dikenakan dikarenakan adanya transaksi produk.
Pajak konsumsi dihitung dalam ukuran unit produk atau jumlah
penerimaan kotor. Pajak penjualan dapat dipandang ekuivalen dengan
pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga. Pajak
konsumsi didasarkan pada sisi penggunaan (pengeluaran). Porsi
penghasilan yang ditabung tidak dikenakan pajak. Pajak konsumsi tidak
memperhitungkan kondisi pribadi konsumen.
§ PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas konsumsi
barang- barang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri. Untuk konsumsi
barang- barang tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di
dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. PPnBM
hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor.
Yang termasuk barang bebas PPN antara lain: (1) barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya; (2) barang- barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak; (3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya; dan (4) uang, emas
batangan, dan surat-surat berharga. Adapun jasa bebas PPN antara
lain: (1) jasa pelayanan kesehatan, (2) jasa pelayanan sosial, (3) jasa
pengiriman surat dengan perangko, (4) jasa keuangan, (5) jasa keagamaan,
(6) jasa pendidikan dan lain-lain.
§ Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap
konsumsi barang-barang tertentu, seperti tembakau, gula, bensin dan
minuman keras. Pajak konsumsi daerah adalah jenis pajak konsumsi
yang diberlakukan pada tingkatan daerah dengan besarnya tarif pajak
bergantung pada peraturan masing-masing daerah, seperti Pajak Bahan
Bakar, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, dan lain-lain.
§ Pada pajak penjualan selektif, beban dari pajak atas barang-
barang kebutuhan sehari-hari cenderung regresif, sedangkan beban dari
pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Pajak ini memiliki
peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal; dan
menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak
penjualan umum. Kebijakan ini diambil untuk mengatur peredaran dan
konsumsi barang- barang yang dipandang kurang baik, seperti
rokok dan minuman beralkohol; atau dalam rangka meminimalkan
dead weight loss. Sedangkan pada pajak penjualan umum berbentuk
pajak penjualan eceran dengan tarif tetap atas pengeluaran konsumen.
Pajak ini proporsional
berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan
dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas
penghasilan menurun. Penghindaran atas pajak penjualan dapat dilakukan
dengan melalui warisan.
§ Pajak konsumsi dapat dikenakan atas penjualan barang berdasarkan
unit produk yang terjual, atau berdasarkan atas nilai produknya. Sebagian
besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan
berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai
tembakau dan cukai minuman keras. Sedangkan PPN dan PPnBM
merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad
valorem. Bentuk ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit dalam
rangka meminimalkan perubahan pilihan konsumen. Ini berarti bentuk ad
valorem dapat lebih meminimalkan dead weight loss suatu
kebijakan pajak (Musgrave and Musgrave, 1989).
§ Menurut metode total transaksi, pajak dikenakan berdasarkan
perputaran (turnover tax). Suatu produk dikenakan pajak berkali-kali
sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Hasil pajak
yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarif pajak yang
rendah. Penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif
sebesar 1% saja akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar
sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Metode turn over menimbulkan
diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui
banyak tahapan (piramida) produksi dan distribusi.
§ Perhitungan pajak menggunakan basis GNP akan mengenakan
pajak penjualan atas barang-barang konsumsi dan barang-barang produksi
(modal). Basis ini akan sama dengan yang dipakai dalam pajak atas
penghasilan kotor; atau perhitungan laba sebelum dikurangi biaya
penyusutan. Kelemahan dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar
prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari
semua sumber dikenakan pajak sepenuhnya dalam jumlah netonya.
Kelemahan dalam hal efisiensi, pajak akan memberikan perlakuan
diskriminatif dengan mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak
dikonsumsikan); dimana dalam pajak penghasilan tidak dikecualikan.
§ Tujuannya adalah mengenakan pajak pada total penghasilan bersih
atau Net National Product (NNP), yang sama dengan GNP dikurangi
cadangan untuk pembelian barang modal atau penyusutan. Pajak
dikenakan dalam beberapa tahapan pada nilai bersih yang ditambahkan
oleh setiap perusahaan. Nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan
kotor dikurangi harga pokok produksi dan penyusutan. Pajak
pertambahan nilai jenis
penghasilan membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan
untuk jenis penghasilan. Pajak pertambahan nilai jenis konsumsi
membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian
barang-barang modal. Hanya pendekatan nilai tambah setiap
tahapan yang layak digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan
pada produk neto.
§ Pajak penjualan umum bertujuan mengenakan pajak yang
mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran
konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan komprehensif sebesar
10% menghasilkan revenue sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah
dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu
dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi
perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah),
konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dll. Total pengecualiannya
dapat mencapai 50% dari potensi penerimaan komprehensif.
§ Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran
terasa lebih baik karena memungkinkan pengenaan tarif ad valorem
yang seragam. Sedangkan pengenaan pajak ad valorem pada tingkatan
produksi, menghasilkan revenue yang tidak sama dengan pengenaan tarif
ad valorem pada tingkatan penjualan eceran. Hal ini dikarenakan rasio
harga eceran terhadap harga produksi tidak selalu seragam untuk berbagai
produk. Tarif yang berbeda untuk setiap produk sulit diaplikasikan dan
tidak efisien.
§ Jika pajak bersifat selektif, tahapan pengenaan tarif ad valorem akan
lebih mudah dilakukan pada proses produksinya. Proses identifikasi
pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, cenderung
akan lebih menguntungkan kemudahan administrasi pemungutan pajaknya
dibanding pada tingkatan eceran. Walaupun dalam situasi lain (misalnya
bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah),
identifikasi menggunakan kriteria bahan baku produk tidak
memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan
bentuk akhir dari produk pada tahapan penjualan eceran.
§ Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan
produksi lebih menguntungkan. Di negara berkembang, perkembangan
badan-badan usaha manufaktur cenderung lebih besar, lebih permanen,
dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha
eceran. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih
baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi
karena jumlah kegiatan penagihan yang lebih sedikit; walaupun hal ini
dapat menghasilkan revenue yang berbeda jika diterapkan pada tahap
penjualan eceran.
§ Pajak konsumsi dapat dikumpulkan dalam satu kali pengenaan, pada
titik penjualan final, atau dikumpulkan secara bertahap dengan
menggunakan prosedur nilai tambah. Walaupun ada perbedaan, basis nilai
tambah dari pajak konsumsi bertahap sama dengan basis penjualan akhir
secara eceran; hanya cara penagihannya yang berbeda. Dengan cara
kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-potongan dimana pajak
dikenakan pada tahapan- tahapan sepanjang proses produksi. Pemilihan
satu di antara keduanya lebih didasarkan pada pertimbangan lebih
mudahnya proses administrasi.
§ Pertama, dikenal dengan nama metode account, yaitu metode
yang meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung.
Menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah
penjualan dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang antara
dan barang modal. Kedua, metode faktur (invoice), yaitu metode yang
mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan
mengalikan tarif pajak terhadap total penjualan. Perusahaan kemudian
mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah pajak yang telah dipungut dan
disetorkan oleh para pemasok barang-barang antara dan barang-barang
modalnya.
§ Problema pajak konsumsi antara lain:
(1) Basis Konsumsi Kena Pajak; dimana analogi dengan pajak
penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu tahun
pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang
diperbolehkan, dan menerapkan tarif pajak progresif kepada jumlah
sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak.
(2) Warisan dan Hibah, sehingga seorang pembayar pajak dapat
menghindari pajak apabila ia memutuskan sebagian penghasilannya
digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima warisan/hibah tidak
membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak dikenakan pajak.

LATIHAN
1) Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi di Indonesia!
2) Bagaimana tahapan pengenaan pajak konsumsi dapat diterapkan?
3) Apa yang dimaksud dengan pajak penjualan atas nilai akhir sama
dengan jumlah pajak konsumsi atas pertambahan nilai?
4) Jelaskan metode-metode yang digunakan dalam penagihan
pajak konsumsi!
5) Dilihat dari sisi permasalahan politik, bagaimana dukungan
pajak pertambahan nilai dibandingkan dengan pajak penjualan?
6) Beberapa ahli berpendapat bahwa pajak penjualan selektif seperti
cukai bersifat regresif. Mengapa pemerintah tetap memberlakukan
cukai? Lengkapi jawaban Anda dengan contoh-contoh yang memadai
7) Jelaskan bagaimana efek penerapan pajak penjualan jika
dipandang menurut keadilan vertikal dan keadilan horizontal?
8) Bagaimana efisiensi penentuan basis konsumsi kena pajak
jika dianalogikan dengan penghasilan kena pajak?
9) Apa perbedaan pajak penjualan yang dikenakan atas turn over
dengan pajak atas ad valorem?
10) Didalam konsep pajak pengeluaran atas konsumsi, bagaimana perlakuan
atas warisan/hibah?
PAJAK ATAS KEKAYAAN DAN WARISAN

ALASAN-ALASAN PENGENAAN PAJAK ATAS


KEKAYAAN
Pajak dikenakan atas kekayaan dengan alasan bahwa kekayaan menerima
manfaat publik dan kemampuan untuk membayar. Akan tetapi, mengapa
kekayaan hanya dikenakan pada bumi dan bangunan belum ada
penjelasan yang masuk akal. Alasan manfaat mengarah pada pemberlakuan
pajak bumi dan bangunan jenis in-rem sedangkan pertimbangan kemampuan
untuk membayar mengarah pada pemberlakuan pajak kekayaan wajib pajak
pribadi.

Alasan Manfaat Pajak atas Kekayaan


Pajak dikenakan atas kekayaan karena layanan-layanan publik
meningkatkan nilai dari bumi dan bangunan dan oleh karenanya harus
dibayarkan oleh pemiliknya. Argumentasi dukungan ini dapat diturunkan
dari
250 Keuangan Publik: Teori dan Bab 12: Pajak atas Kekayaan dan 250
Aplikasi Warisan

teori Locke yang menyatakan bahwa negara adalah pelindung bumi dan
bangunan, yang dinyatakan pada akhir abad ke-17. Salah satu dari fungsi
dasar suatu negara, sebagaimana pendapat para ahli teori hukum alam, adalah
pelindung properti. Oleh karena itu, pemilik properti membayar kepada
negara untuk biaya-biaya negara tersebut.
Bila teori tersebut yang menjadi acuan, basis pajaknya adalah seluruh
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau dapat menggunakan basis pajak
kekayaan bersih, yaitu kekayaan wajib pajak dikurangi dengan kewajibannya.
Demikian juga, berdasarkan konsep ini, pendapatan dari pajak harus dibatasi
hanya sebesar biaya yang diperlukan untuk melaksanakan layanan
perlindungan, seperti biaya penegakan hukum, administrasi perundang-
undangan dan administrasi pengadilan. Walaupun berapa besarnya biaya
tersebut masih dapat diperdebatkan, yang pasti tidak semua biaya dari fungsi
negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Penggunaan pajak kekayaan
untuk mendanai fungsi lain, misalnya pendidikan atau kesehatan, tidak
memiliki dasar yang rasional.
Pada tingkat pemerintah daerah, penerapan alasan manfaat dapat menjadi
lebih spesifik lagi, pemilik properti diharuskan membayar untuk layanan-
layanan khusus yang meningkatkan nilai dari properti, seperti pembangunan
trotoar yang meningkatkan nilai gedung di belakang trotoar tersebut dan juga
perlindungan khusus oleh polisi pada daerah-daerah tertentu. Dalam kasus-
kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap properti
dapat diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau
lokasinya. Dalam kasus-kasus lain, manfaat yang dinikmati harus
diperkirakan secara relatif terhadap nilai dari properti. Dengan demikian,
suatu pajak khusus dapat dikenakan untuk mendanai suatu layanan tertentu.
Cara pengenaan seperti ini sangat tepat dikenakan pada pajak-pajak pemda
untuk mendanai layanan- layanan khusus tadi.

Alasan Kemampuan Membayar Pajak


Alasan kemampuan untuk membayar pajak sebagai argumentasi untuk
mengenakan pajak atas kekayaan harus dilihat dari konteks sejarahnya. Pada
masa lalu, kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan
ternak) merupakan indeks yang paling mudah untuk menentukan kemampuan
untuk membayar. Sebagian besar pajak yang dipungut oleh negara diterima
dalam bentuk barang. Akan tetapi, dalam kondisi modern di mana
penghasilan sebagian besar diterima dalam bentuk uang, kekayaan lebih sulit
diukur daripada penghasilan. Berdasarkan situasi ini, dapatkah pajak
kekayaan dibenarkan untuk alasan kemampuan untuk membayar?
Ada dua kesimpulan yang diambil. Bila penghasilan digunakan sebagai
indeks kesetaraan dan penghasilan didefinisikan sebagai secara komprehensif
mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis, tidak diperlukan lagi
pajak kekayaan sebagai pelengkap. Akan tetapi dalam prakteknya tidak
semua penghasilan dapat dicakup dalam pajak penghasilan sehingga
memunculkan kebutuhan akan pajak kekayaan sebagai pelengkap. Juga
berdasarkan konsep pajak atas konsumsi, pajak tambahan atas kekayaan dapat
dibenarkan karena alasan manfaat-manfaat yang dapat timbul dari
penumpukkan kekayaan. Walaupun demikian, jika kekayaan
dikenakan pajak karena alasan kemampuan untuk membayar, yang
diperlukan bukanlah pajak atas bumi dan bangunan tetapi pajak atas kekayaan
bersih wajib pajak pribadi.

Alasan Pengendalian Sosial


Alasan lain untuk pengenaan pajak kekayaan adalah pengendalian sosial
sebagai dampak dari distribusi kekayaan yang tidak merata.
Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan berbeda
dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi konsumsi,
dan karenanya masyarakat perlu menanganinya secara terpisah. Untuk tujuan
ini, suatu pajak progresif atas kekayaan dan bukannya atas penghasilan adalah
instrumen yang tepat. Sebagaimana berdasarkan pendekatan kemampuan
untuk membayar, beban pajaknya merupakan pajak pribadi dengan definisi
kekayaan secara global. Perbedaannya adalah basisnya lebih cocok
menggunakan kekayaan kotor daripada kekayaan bersih karena kekayaan
kotor lebih menunjukkan kemampuan kendali ekonomis yang diperoleh oleh
pemiliknya.

PAJAK ATAS TANAH


Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari properti telah
diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Untuk alasan efisiensi,
karena pengembalian atas tanah adalah dalam bentuk rente ekonomis (yaitu
suatu tingkat pengembalian dari suatu faktor produksi dalam penawaran yang
tidak elastis), tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu “excess burden.”
Pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong penggunaan tanah
yang lebih intensif. Untuk alasan keadilan, kenaikan tanah dapat dipandang
sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil sehingga pengenaan pajak atas
tanah akan mengembalikan keadilan.
Struktur Dan Basis Pajak Atas Kekayaan Di Indonesia (Pajak
Bumi Dan Bangunan)
Jenis pajak atas kekayaan yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas bumi
(tanah) dan bangunan. Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, peraturan
yang berkaitan dengan pajak atas tanah dan bangunan ini adalah
Undang- Undang Nomor 11 Prp 1959 untuk pajak atas tanah yang tunduk
pada hukum adat, Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi
Verponding 1928 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum Belanda
(Barat), dan Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 untuk pungutan-pungutan
lain daerah atas tanah dan bangunan.
Setelah reformasi pajak, dasar hukum yang mengatur pajak atas bumi dan
bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
tahun 1994.

Basis Pajak, Tarif Nominal, Rasio Penilaian dan Tarif Efektif


Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi mencakup
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, yang meliputi tanah
dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan, meliputi jalan lingkungan yang terletak dalam suatu
kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga,
galangan kapal, dermaga, taman mewah, dan fasilitas lain yang memberikan
manfaat. Beberapa objek pajak dikecualikan dari pengenaan pajak, yaitu:
n Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.
n Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala,
atau yang sejenisnya dengan itu.
n Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum dibebani suatu hak.
n Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
n Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Basis pajak untuk objek-objek pajak ini adalah harga pasar wajar atau
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar. Karena harga ini sulit didapat, yang sering dilakukan adalah
menggunakan harga objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau
nilai pengganti. Pada prakteknya, basis pajak ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk daerah yang mengalami
perkembangan pembangunan yang cepat, penetapannya dilakukan setiap
tahun.
Dari basis pajak ini tidak seluruhnya akan diterapkan PBB. Basis yang
akan diterapkan pajak serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%,
bergantung pada jenis objek pajaknya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan
Pemerintah No. 74 tahun 1998, hanya 40% dan 20% dari basis pajak saja
yang akan dikenakan. Pada umumnya, pengenaan tarif pajak hanya akan
dikenakan sebesar 20% dari basis pajak kecuali untuk objek-objek pajak
tertentu, yaitu:
n Objek pajak perumahan yang WP-nya perseorangan dengan basis
pajak sama dengan atau di atas Rp1 milyar, tidak berlaku untuk PNS,
ABRI, pensiunan janda/duda yang semata-mata dari gaji/uang pensiun.
n Objek pajak perkebunan yang luasnya sama dengan atau lebih dari 25
Ha yang dikuasai BUMN dan Badan Usaha Swasta.
n Objek pajak kehutanan, termasuk areal blok tebangan dalam
kegiatan pemegang HPH, hak pemungutan hasil hutan dan pemegang ijin
pemanfaatan kayu.
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5 persen yang
merupakan tarif tunggal. Dengan demikian, tarif efektif PBB yang berlaku
sekarang ini secara nasional adalah 1 persen dan 2 persen.

Nilai Pasar versus Penghasilan sebagai Basis Penilaian


Pertanyaan yang paling mendasar dalam pajak atas kekayaan adalah
bagaimana mengukur nilai kekayaan. Apakah kekayaan tersebut diukur
dengan nilai jualnya atau nilai sewanya dan apakah nilai yang
digunakan adalah nilai aktual atau nilai potensialnya? Negara-negara
tertentu, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, menggunakan harga jual
atau harga pasar sebagai nilai kekayaan, sedangkan negara-negara lain,
seperti Inggris, menggunakan penghasilan sewa aktual yang diperoleh dari
harta tersebut. Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal
terjadi, perbedaan ini akan hilang karena harga jual dari properti akan sama
dengan nilai tunai dari penghasilan sewa aktual di masa depan, yang juga
akan sama dengan potensi penghasilannya. Dalam kenyataannya, hal ini tidak
terjadi.
Jika properti kurang didayagunakan maka properti kurang menghasilkan,
pengenaan pajak berdasarkan basis penghasilan akan menghasilkan pajak
yang rendah, suatu faktor yang sangat penting bagi negara-negara
berkembang. Perbedaan lainnya antara pendekatan nilai pasar dan pendekatan
penghasilan muncul dari perbedaan dalam menilai risiko. Satu properti
dengan penghasilan tahunan sebesar Rp100 juta dapat memiliki nilai pasar
sebesar Rp500 juta, sedangkan properti lainnya dengan penghasilan yang
sama dapat memiliki nilai pasar dua kali lipat. Penghasilan dikapitalisasi
dengan tingkat bunga yang berbeda karena adanya premi risiko yang harus
dibebankan pada properti yang pertama. Properti yang pertama terletak pada
daerah-daerah bisnis yang perekonomiannya sedang melesu yang
menyebabkan properti-properti pada daerah ini memiliki tingkat hasil
yang tinggi atas penghasilan bila dibandingkan secara relatif terhadap
nilai pasarnya. Untuk situasi-situasi seperti ini, basis pengenaan pajak yang
paling baik adalah pendekatan nilai pasar karena memperhitungkan perbedaan
tingkat risiko atas properti-properti tersebut.
Walaupun penilaian dengan menggunakan nilai jual lebih disukai,
akan tetapi penjualan rumah-rumah sejenis tidak terjadi dalam frekuensi yang
cukup untuk memberikan basis evaluasi nilai jual. Penilaian dengan
perkiraan, berdasarkan jenis rumah dan lokasinya, terpaksa digunakan. Pada
negara- negara tertentu, telah dikembangkan prosedur yang canggih untuk
melakukan evaluasi atas nilai jual dengan menggunakan persamaan regresi
yang berisi sejumlah variabel, yang mengaitkan nilai rumah terhadap
berbagai karakteristik. Prosedur seperti ini memiliki keunggulan dalam hal
memungkinkan dilakukannya penyesuaian atas nilai tanah dan bangunan
lebih sering lagi, yang menjadi sangat penting pada periode-periode inflasi.

Tanah versus Bangunan sebagai Komponen Basis


Pajak properti dikenakan atas nilai pasar suatu real estate tanpa
membedakan apakah dikenakan pada komponen tanah atau komponen
penyempurnaan tanah (bangunan). Dalam sudut pandang ekonomi,
pembendaan ini penting sekali karena berkaitan dengan pembebanan pajak.
Seperti dikemukakan sebelumnya, pengenaan pajak atas tanah dapat
memenuhi unsur efisiensi pajak dan keadilan pajak. Karena penawaran atas
tanah jumlahnya tetap, pengenaan pajak atas rente tanah atau
mengenakan pajak atas nilai tanah (yang menunjukkan nilai kapitalisasi dari
rentenya) telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling
kecil kemungkinannya menghambat insentif untuk menginvestasikan pada
penyempurnaan tanah (bangunan). Selain itu, keuntungan yang timbul
dari
kenaikan nilai tanah karena pertumbuhan populasi dan pendapatan
dapat dipandang sebagai laba yang tidak diinginkan secara sosial.
Dalam prakteknya, pengenaan pajak terjadi sebaliknya. Pada kota-kota
besar negara maju, pengenaan pajak atas penyempurnaan tanah (bangunan)
telah menghambat investasi pada sektor perumahan, terutama investasi
untuk rumah-rumah murah.

Pengurangan Beban Pajak


Pajak properti atas rumah tinggal merupakan beban bagi penduduk yang
berusia lanjut. Sejumlah besar pemilik rumah yang berpenghasilan rendah
adalah orang-orang yang berusia lanjut. Beberapa aturan telah
dikembangkan di berbagai negara untuk menyediakan pengurangan beban
pajak kepada penduduk berusia lanjut dan keluarga miskin, yang disebut juga
dengan circuit breaker.

DISTRIBUSI BEBAN PAJAK PROPERTI (PBB)


Beban atas pajak properti merupakan hal yang kontroversial. Satu
pandangan menyatakan bahwa pajak properti merupakan pajak atas
penghasilan modal apabila dikenakan dalam pasar-pasar yang kompetitif.
Pandangan lain membedakan berdasarkan jenis pengenaan dan menempatkan
lebih banyak pembahasan pada konsekuensi-konsekuensi dari
ketidaksempurnaan pasar.

Pajak Properti sebagai Pajak atas Penghasilan Modal


Bila Pajak Properti Dikenakan secara Nasional
Misalnya suatu negara memberlakukan suatu pajak nasional atas
semua barang modal. Dalam negara tersebut, pajak seperti ini dapat juga
dipandang sebagai pajak atas penghasilan modal. Dengan asumsi pasar modal
yang sempurna dan penentuan nilai barang modal yang sempurna, suatu
pajak sebesar 5 persen yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera
diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang
diperoleh dari aset tersebut. Ingat, nilai suatu aset sama dengan nilai tunai
dari penghasilannya di masa depan. Misalkan aset tersebut memiliki nilai
Rp100 juta dan memperoleh penghasilan tahunan sebesar Rp10 juta, yang
sesuai dengan tingkat bunga pasar yang sebesar 10 persen. Hutang pajak
berdasarkan pajak 5 persen atas nilai aset akan sebesar Rp5 juta. Angka ini
sama dengan 50 persen dari penghasilan aset tersebut. Pajak sebesar 5
persen atas nilai aset
(pajak properti) adalah sama dengan pajak sebesar 50 persen atas penghasilan
properti (pajak penghasilan). Dengan menggunakan rumus umum, nilai dari
suatu aset pada pasar modal yang sempurna ditentukan dengan persamaan Y
= iV, sehingga V = Y/i, di mana V adalah nilai aset, Y adalah penghasilan
tahunan, dan i adalah tingkat bunga pasar. Jika hasil yang sama akan
diperoleh dari pajak properti pada tingkat pajak tp dan suatu pajak atas
penghasilan aset
tersebut pada tingkat pajak ty, maka tpY/i = ty atau tp =
1
ity. .
Dalam suatu pasar di mana barang modal menghasilkan tingkat
pengembalian sebesar 10 persen, beban pajak dari suatu pajak kekayaan atas
nilai aset modal yang dikenakan dengan tarif Rp5 juta per Rp100 juta nilai
aset akan sama dengan beban pajak dari suatu pajak atas penghasilan dari
barang modal dengan tarif 50 persen. Dengan demikian, terbukti bahwa
pajak kekayaan sama dengan pajak penghasilan atas modal. Dengan beban
yang dikenakan dari sisi sumber, pajak seperti itu akan mengurangi tingkat
pengembalian bersih dari barang modal dan menjadi beban penerima
penghasilan barang modal. Dengan pengecualian pada orang-orang yang
berpenghasilan kecil, persentase penghasilan dari barang modal ini sebagai
bagian dari total penghasilan akan meningkat besarnya sejalan dengan
peningkatan penghasilan, sehingga beban pajaknya progresif. Dalam jangka
panjang, penurunan dalam tingkat pengembalian bersih dari modal akan
menekan persediaan modal, sehingga mengurangi produktivitas tenaga kerja
di masa depan, sehingga beban pajak akan terdistribusi.

Bila PBB Dikenakan secara Lokal


Jika daerah dibebaskan untuk menentukan tarif atas pajak properti, seperti
yang berlaku di Amerika Serikat, maka kejadian pajak akan terjadi
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, modal yang
diinvestasikan pada daerah-daerah bertarif tinggi tidak dapat bergerak
dan pemiliknya harus menanggung beban pajak yang tinggi. Beban dari pajak
atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai properti,
baik untuk bangunan maupun tanah. Penerima beban pajak dalam jangka
pendek adalah pemilik dari properti lokal terkena beban pajak yang
lebih tinggi. Beban pajak diterima oleh pemilik properti pada saat pajak
tersebut dinaikkan. Mereka tidak dapat mengurangi beban pajak dengan
menjual aset yang yang terkena pajak karena nilai properti pun segera
terkoreksi.
Untuk mengilustrasikan fakta ini, kita mengasumsikan kembali bahwa
tingkat pengembalian atas modal sebelum pajak adalah 10 persen,
sehingga

1
Ibid. hal. 419-420.
suatu aset yang menghasilkan Rp10 juta per tahun memiliki nilai
sebesar Rp100 juta. Sekarang asumsikan suatu daerah tempat aset
tersebut mengenakan pajak properti sebesar Rp5 juta untuk setiap Rp100 juta
nilai aset. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak ini sama dengan
pajak penghasilan sebesar 50 persen. Penghasilan bersih berkurang
menjadi Rp5 juta, yang bila dikapitalisasikan pada tingkat 10 persen akan
menurunkan nilai aset menjadi sebesar Rp50 juta. Jika pemilik aset yang
semula ingin menjual aset tersebut, ia harus menanggung kerugian pajak
tersebut karena pembeli akan meminta suatu tingkat pengembalian sebesar
10 persen, sama dengan tingkat pengembalian investasi-investasi lain yang
tersedia. Beban pajak jatuh pada pemilik aset mula-mula, yaitu pemilik
aset sebelum pengenaan pajak tersebut. Pemilik berikutnya yang membeli
aset tersebut akan melakukannya hanya pada harga yang lebih rendah
sehingga tidak dibebani oleh pajak tersebut. Kerugiannya telah
dikapitalisasikan dan tetap berada pada pemilik aslinya. Dalam jangka
panjang, bagian pajak yang mengurangi nilai dari tanah tidak berubah. Tanah
tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah pada daerah-daerah
berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang besarnya sama
dengan kapitalisasi bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada umumnya, kepemilikan tanah
lebih banyak pada wajib pajak berpenghasilan tinggi, maka beban pajaknya
bersifat progresif.
Situasinya berbeda apabila yang dikenakan pajak adalah modal, seperti
yang diinvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan) yang tidak
akan melekat selamanya. Dalam jangka panjang, modal ini akan pindah dari
daerah yang berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah. Pengeluaran
pemeliharaan atas aset-aset tua akan berkurang sehingga aset-aset
tersebut akan pensiun dan investasi baru pada daerah berpajak tinggi akan
menurun. Terjadi penurunan persediaan modal pada daerah berpajak tinggi
dan kenaikan persediaan modal pada daerah berpajak rendah. Tingkat
pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak tinggi akan naik
sedangkan tingkat pengembalian kotor atas modal pada daerah berpajak
rendah akan turun. Pergerakan ini akan terus berlangsung sampai tingkat
pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan
tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain. Seperti situasi pada pajak
perseroan, suatu pajak yang dikenakan pada modal dalam satu sektor
ekonomi akan dibagi bebannya oleh semua pemilik modal.
Seberapa besar perpindahan modal dari daerah yang berpajak tinggi
bergantung pada mobilitas keluar dari tenaga kerja. Jika tenaga kerja dapat
berpindah dengan segera, tenaga kerja tersebut harus dibayar sebesar apa
yang ia terima di tempat lain dan perpindahan modal akan semakin
besar. Jika
tenaga kerja tidak dapat berpindah, pajak akan dinyatakan dalam bentuk
pengurangan upah. Karena tenaga kerja yang tidak terampil cenderung kurang
mudah bergerak daripada tenaga kerja terampil, situasi seperti ini akan
memunculkan pengaruh regresif. Bila tenaga kerja pada daerah berpajak
tinggi cenderung merugi, tenaga kerja pada daerah berpajak rendah cenderung
beruntung. Demikian juga, pemilik tanah dan pemilik modal
lainnya. Pengaruh ini adalah yang paling penting bila dipandang dari
perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak berpengaruh
terhadap distribusi beban pajak.

Beban Pajak: Penduduk Lokal versus Penduduk


Luar
Pajak nasional dan lokal yang akan menjadi perhatian suatu daerah lokal
hanya bagian yang akan terbeban bagi penduduknya dan bukan bagian yang
menjadi beban penduduk daerah lain.
Jadi misalkan suatu properti yang berada pada daerah A dimiliki oleh
penduduk daerah B. Akibatnya, beban jangka pendek akan berada pada
penduduk luar daerah tersebut sedangkan penduduk lokal menikmati free
ride. Akan tetapi, free ride tidak akan dinikmati dalam jangka panjang
karena modal akan berpindah ke luar. Dalam jangka panjang, penduduk lokal
merasakan bahwa sewa meningkat dan upah turun sedangkan penduduk luar
daerah mengalami keuntungan. Semakin besar perpindahan modal, semakin
kecil pendapatan yang diperoleh dan semakin besar juga kenaikan sewa dan
penurunan penghasilan yang dialami oleh penduduk yang berpajak
tinggi. Tidak hanya penduduk lokal tidak mampu mengekspor beban pajak
tersebut ketika ditagihkan, tetapi mereka juga mengalami kerugian terhadap
pihak luar daerah karena modal makin sedikit tersedia untuk mereka.
Dengan demikian kebijakan pajak pemda akan memunculkan pilihan sulit
antara (1) laba yang diperoleh dari pemindahan beban pajak kepada
penduduk luar daerah melalui pemajakan atas modal yang dimiliki oleh
“orang asing” dan (2) bahaya kerugian pada ekonomi lokal dari berpindahnya
modal “asing.” Hal ini juga terjadi pada tingkatan internasional dalam hal
perbedaan pajak antar negara.

Perbedaan Manfaat
Sebagaimana kenaikan dalam tarif pajak properti akan mengurangi nilai
dari properti dan mendorong perpindahan modal ke luar, demikian pula
penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai dari properti
dan menarik modal masuk. Sekolah, sarana rekreasi, jalan raya atau
layanan-layanan lokal
yang lebih baik akan membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang
lebih menarik untuk ditinggali dan menjadi lokasi bisnis. Perbaikan ini akan
meningkatkan permintaan akan rumah dan bangunan, mendorong pada
peningkatan nilai properti. Efek yang terjadi adalah kebalikan dari kenaikan
tarif pajak properti seperti yang diterangkan sebelumnya. Dengan demikian,
manfaat-manfaat dari pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi
harus lebih besar daripada beban pajaknya supaya nilai properti tidak turun.
Kombinasi pajak dan pengeluaran pemerintah daerah akan menyebabkan
nilai perumahan menjadi turun, tidak berpengaruh atau naik, bergantung
pada berapa besar pungutan pajak diperoleh dan berapa besar manfaat
yang diperoleh oleh properti.
Jika semua pajak properti dikenakan sesuai dengan prinsip manfaat, kedua
pengaruh tadi akan saling menghilangkan dengan nilai properti tidak
bergantung pada tarif pajak. Kenyataannya tidak demikian. Pajak
properti, seperti PBB, digunakan sebagai sumber pendapatan umum dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak
selalu sejalan dengan kontribusi pajak. Walaupun demikian, penyelidikan
empiris menunjukkan bahwa nilai properti berkaitan dengan pengeluaran
pemerintah yang memberikan manfaat kepada properti dan juga perbedaan
pajak, sehingga menyatakan secara jelas pentingnya mempertimbangkan
kedua aspek tersebut.

Keadilan Pengenaan PBB dan Pajak


Penghasilan
Karena keberatan utama atas pajak properti berasal dari pemilik rumah,
mari kita bandingkan posisi mereka sebagai investor dalam jasa perumahan
dengan posisi investor saham perusahaan, dengan mempertimbangkan
tidak hanya pajak properti, tetapi juga pajak penghasilan wajib pajak pribadi
dan pajak penghasilan perseroan. Walaupun investor pada jasa-jasa
perumahan akan membayar pajak lebih tinggi berdasarkan pajak properti,
keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah daripada kombinasi ketiga
pajak ini. Hasil ini menunjukkan adanya beban tambahan yang harus
ditanggung oleh pemegang saham karena pajak berganda dari pajak
penghasilan perseroan dan juga perlakuan yang lebih baik kepada
pemilik rumah berdasarkan pajak penghasilan wajib pajak pribadi.

Pola-Pola Alternatif
Bagian pajak yang dikenakan atas tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan
tanah
tidak dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak.
Distribusi pembebanannya cenderung progresif.
Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai
sama dengan pajak penghasilan perseroan. Dalam kasus ini, kita dapat
mengasumsikan suatu pasar yang tidak sempurna dan mempostulasikan
bahwa sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan
kepada konsumen. Bagian dari distribusi beban pajak ini kemudian akan
menjadi regresif.
Yang tersisa adalah pajak atas rumah tinggal. Sebagaimana masyarakat
melihatnya, pajak ini dipandang sebagai pajak atas jasa-jasa konsumsi
perumahan. Karena pengeluaran perumahan akan menjadi bagian
yang semakin kecil sejalan dengan kenaikan skala penghasilan, pajaknya akan
bersifat regresif. Bagaimana pandangan pajak ini, yang merupakan pajak atas
pengeluaran perumahan, dapat direkonsiliasikan dengan interpretasi yang
lebih awal, yaitu pajak atas penghasilan modal? Perumahan dapat dipandang
sebagai pos investasi dan juga (dalam kasus perumahan yang ditinggali
pemiliknya) sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Karena itu,
pemilik yang menempati akan bersedia menerima sewa imputed yang
lebih rendah pada perumahan daripada pada investasi lainnya. Sebagian dari
beban pajak akan terserap dalam sewa-kepemilikan ini dan didistribusikan
sejalan dengan konsumsi dan bukannya dibagikan kepada semua penghasilan
modal.
Penjelasan di atas tidak berlaku untuk properti yang disewakan,
dimana pemiliknya hanya mempertimbangkan pilihan investasi. Jika pasarnya
kompetitif, modal yang diinvestasikan pada rumah sewaan akan meminta
tingkat penghasilan yang sama dengan modal-modal lain. Dengan demikian,
distribusi bebannya sejalan dengan penghasilan modal. Akan tetapi hasilnya
akan berbeda bila pasar sewa tidak sempurna sebagaimana yang sering terjadi.
Pajak dapat mengarah pada peningkatan batas atas sewa atau pelonggaran
dari penentuan harga monopoli yang dibatasi sebelumnya. Tingkat pajak
properti efektif cenderung akan tinggi pada lingkungan berpenghasilan
rendah dan sebagian disebabkan oleh pengenaan pajak pada tarif yang
lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan berpenghasilan rendah.
Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh penyewa.

PAJAK ATAS KEKAYAAN BERSIH


Pengalaman berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas
Kekayaan Bersih
Pajak atas kekayaan bersih diberlakukan pada beberapa negara, seperti
Belanda, Jerman, negara-negara Skandinavia, Swiss, India dan beberapa
negara Amerika Latin. Di kebanyakan negara, pajak ini dikenakan hanya
kepada individu, walaupun pada beberapa negara (seperti Jerman dan India)
juga dikenakan kepada perseroan. Definisi dari aset kena pajak biasanya
mencakup aset berwujud dan aset tak berwujud. Kewajiban hutang juga dapat
dikurangkan untuk memperoleh angka kekayaan bersih. Akan tetapi, beberapa
negara tidak membolehkan kewajiban tidak berkaitan dengan perolehan aset
kena pajak. Orang pribadi diberikan pengecualian dan tarif pajak dapat
proporsional (umumnya 1 persen atau kurang) atau progresif ( berkisar
sampai
2,5 persen).
Pajak atas kekayaan bersih, kecuali di Swiss, merupakan pajak pusat.
Negara yang menggunakan pajak ini umumnya menerapkannya sebagai pajak
tambahan atas pajak properti sehingga pendapatan dari pajak atas kekayaan
bersih hanya merupakan bagian kecil (di bawah 5 persen) dari
total pendapatan pajak. Pajak ini merupakan salah satu komponen penting
dalam struktur pajak karena pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap
terhadap cakupan atas penghasilan modal yang tidak efektif dalam pengenaan
pajak penghasilan, suatu aspek yang sangat penting pada negara-negara
berkembang karena sulitnya mengenakan pajak atas penghasilan modal.
Untuk negara- negara lain, pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap
untuk pajak pengeluaran.

Struktur dan Basis Pajak


Basis Pajak
Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan untuk
membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang pribadi dan
perseroan. Dengan demikian beberapa aspek atau diskusi tentang basis pajak
pada pajak penghasilan juga berlaku pada pajak kekayaan bersih ini. Seperti,
sejalan dengan metode integrasi dari pajak laba perseroan, kekayaan
bersih dari perseroan harus diperhitungkan kepada pemiliknya. Basisnya juga
harus didefinisikan secara global sehingga dapat memberikan perlakuan yang
sama pada semua komponen kekayaan bersih. Selain itu, prinsip keseragaman
harus diterapkan baik kepada sisi aset maupun sisi kewajiban pada neraca.
Semua aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak
berpenghasilan semuanya dimasukkan. Demikian juga, semua kewajiban
hutang juga dikurangkan.
Mengukur Kekayaan Bersih
Administrasi pajak atas kekayaan bersih mengharuskan adanya identifikasi
atas aset kena pajak dan verifikasi atas hutang yang dapat dikurangkan dari
kekayaan. Oleh karena itu, SPT-nya harus melampirkan neraca tahunan yang
berisi daftar harta dan kewajiban pembayar pajak.
Berkenaan pelaporan tersebut ada beberapa permasalahan yang harus
diperhatikan pemerintah terhadap laporan yang diberikan:
n Pemerintah harus memastikan bahwa semua aset telah dinyatakan.
n Penilaian aset. Kesulitan-kesulitan yang melekat dalam penilaian
aset seperti yang telah didiskusikan dalam kaitannya dengan pajak atas
penghasilan modal juga terjadi dalam penerapan pajak kekayaan bersih
ini. Seringkali diperlukan estimasi dalam menentukan nilai-nilai aset,
terutama yang tidak diperjualbelikan. Dengan demikian, aset yang
menjadi subjek pajak properti (terutama bila pengenaannya disamakan)
dapat dinilai dengan cara itu, sedangkan aset lain, seperti sekuritas
yang diperdagangkan, dapat dinilai berdasarkan harga penawaran di
pasar. Untuk sisanya, perkiraan yang kasar (seperti biaya perolehan
dikurangi dengan penyusutan) harus digunakan.
n Penentuan hutang-hutang yang dapat dikurangkan.
Kesulitan dalam mengadministrasikan suatu pajak atas kekayaan bersih
yang baik sangat banyak sehingga lama-lama pajak ini terdegenerasi menjadi
pajak atas bumi dan bangunan saja. Akan tetapi, kesulitan ini tidaklah sangat
besar. Bila dikaitkan dengan administrasi pajak penghasilan, dan secara
khusus dengan administrasi pajak pengeluaran, dapat memunculkan
elemen self enforcement. Perolehan aset harus dinyatakan untuk
meminimalkan pajak pengeluaran, pernyataan ini akan menambah basis dari
pajak atas kekayaan bersih.

Peranan Harta Tak Berwujud (Intangibles)


Klaim kepada swasta
Asumsikan suatu keadaan di mana tidak ada hutang publik atau uang yang
dikeluarkan pemerintah. Semua instrumen hutang adalah antara orang
pribadi. Misalnya hanya ada dua orang, yaitu A dan B, yang posisi
kekayaannya adalah berikut:
A B A+B

Harta berwujud 100.000 50.000 150.000


Hutang 10.000 -
Piutang - 10.000
Kekayaan bersih 90.000 60.000 150.000

Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, basis total untuk suatu pajak
atas harta berwujud dan kekayaan bersih akan sama, yaitu sebesar Rp150.000.
Jika kita menagih sebesar Rp15.000 dari suatu pajak sebesar 10 persen atas
semua harta berwujud, A akan membayar sebesar Rp10.000 dan B akan
membayar sebesar Rp5.000. Jika kita mengumpulkan jumlah yang sama
dengan menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar
Rp9.000 dan B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini
menyarankan bahwa A akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih
sedangkan B akan lebih menyukai pajak properti. Akan tetapi, pasar akan
menyesuaikan sedemikian rupa sehingga ketika pajak atas properti
dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat bunga
yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan
bersih mereka dari investasi pada properti akan menurun. Pemberi pinjaman
harus puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian
beban pajak dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban pajak
akan sama dengan yang terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih,
yaitu sejalan dengan distribusi kekayaan. Jika suatu tarif proposional
dikenakan, pilihan di antara keduanya tidak ada permasalahan.
Sebaliknya, keduanya berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarif
progresif. Sesuai dengan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa
distribusi beban dari suatu tarif progresif pada properti (di mana basis A dua
kali basis B) akan berbeda dengan yang dikenakan pada basis kekayaan
bersih (di mana basis A hanya lebih besar 50 persen daripada basis B).
Karena pajak pribadi mengharuskan adanya pengenaan pajak berdasarkan
prinsip kemampuan untuk membayar, pajak atas kekayaan bersih adalah
bentuk yang paling baik dari pajak atas kekayaan.

Klaim terhadap Pemerintah


Perbedaan lebih lanjut dapat terjadi jika kita mengasumsikan adanya klaim
terhadap pemerintah, apakah klaim itu dalam bentuk hutang publik atau uang
yang didukung oleh kredit bank sentral. Klaim seperti ini akan
menambah
kekayaan dari seseorang tanpa mengurangi kekayaan dari orang lainnya.
Klaim-klaim seperti ini dapat menjadi tambahan pada basis kekayaan bersih
bagi seluruh kelompok secara keseluruhan. Misalnya tabel di atas
dimodifikasi sebagai berikut:

A B A+B

Kekayaan bersih dari tabel sebelumnya 90.000 60.000 150.000


Klaim terhadap pemerintah 70.000 20.000 90.000
Kekayaan bersih 160.000 80.000 240.000

Dalam kasus ini, penagihan sebesar Rp15.000 berdasarkan pajak atas


kekayaan bersih tarif tetap akan mengharuskan pengenaan tarif sebesar 6,2
persen, dan mendapatkan Rp9.888 dari A dan Rp5.112 dari B. Untuk
mendapatkan sejumlah pendapatan yang sama dengan pajak properti,
suatu tarif sebesar 10 persen, dengan pembayaran sebesar Rp10.000 dan
Rp5.000 masing-masing. Pasar sekali lagi akan mengkompensasikan
untuk pengurangan tingkat pengembalian bersih dari properti, tetapi beban A
akan tetap lebih tinggi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih daripada pajak
atas properti.

BEA ATAS MODAL


Satu bentuk pajak kekayaan lainnya adalah bea atas modal.
Dikenakan sekali dan selamanya, bea ini telah digunakan oleh beberapa
negara dalam situasi-situasi mendesak seperti reformasi moneter untuk
menghentikan inflasi setelah perang. Jika sifatnya benar-benar satu kali dan
selamanya, yang tidak diharapkan akan terjadi kembali, bea seperti itu
berbeda dari bentuk pajak kekayaan lainnya karena ketiadaan efek-efek
mengganggu terhadap ekonomi. Hal ini menambah daya tarik pajak jenis ini
sebagai instrumen pajak redistribusi, akan tetapi asumsi mendasar tentang
aplikasinya yang unik dan tanpa diharapkan terjadi kembali menyebabkan
pajak ini tidak termasuk bagian dari struktur pajak normal.

ALASAN-ALASAN PENGENAAN PAJAK ATAS WARISAN


Pajak atas warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang
dikenakan pada saat pemindahan dengan mewariskan atau menghibahkan,
jadi tidak
dikenakan setiap tahun. Pajak atas warisan dapat diterapkan pada tingkatan
nasional maupun pada tingkatan lokal. Walaupun basisnya telah
berkembang secara substansial di negara-negara maju, pajak atas warisan
tidak akan menjadi sumber pendapatan utama suatu negara. Akan tetapi,
pajak atas warisan mendapat perhatian luas karena filosofi sosial dan
sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan distribusi kekayaan.
Untuk alasan inilah pajak atas warisan secara potensial merupakan elemen
yang penting dalam struktur pajak.
Pajak atas warisan dapat dikenakan dalam berbagai bentuk. Pajak ini juga
dikenakan dengan berbagai alasan tertentu. Pajak dapat dikenakan pada
warisan secara keseluruhan atau atas jumlah yang diterima oleh ahli waris.
Sepintas, tidak ada perbedaan apakah pajak dikenakan atas warisan atau
kepada penerima warisan. Akan tetapi, apabila tarif pajak yang dipakai tidak
proporsional, perbedaan pengenaan ini dapat menimbulkan perbedaan jumlah
pajak.

TUJUAN DAN JENIS PAJAK ATAS WARISAN


Beberapa hal berikut yang memunculkan pengenaan pajak atas warisan
pada suatu masyarakat:
§ Masyarakat mungkin ingin membatasi hak seseorang untuk
membagikan hartanya pada saat meninggal. Orang pribadi dapat
menggunakan harta mereka ketika mereka masih hidup tetapi hak
kepemilikan mereka berakhir ketika meninggal. Dalam hal ini, suatu pajak
atas kekayaan dapat diberlakukan. Jika masyarakat ingin membolehkan
orang untuk mewariskan secara bebas sampai sejumlah tertentu, dapat
diberlakukan suatu pengecualian. Jika masyarakat ingin menyita warisan
yang melebihi suatu jumlah tertentu, sejumlah warisan di atas
sejumlah tertentu dikenakan pajak 100 persen.
§ Masyarakat dapat membuat batas sampai generasi tertentu suatu
warisan dapat dipindahkan sepanjang generasi. Dalam hal ini, tingkatan
tarif pajak atas warisan yang dapat diterapkan akan naik ketika kekayaan
diwariskan pada generasi berikutnya, suatu pendekatan yang pertama kali
disarankan oleh ahli ekonomi Italia, Eugino Rignano.
§ Masyarakat juga dapat membatasi hak seseorang untuk
mendapatkan kekayaan dari warisan yang merupakan perolehan
kekayaan tanpa usahanya sendiri. Dalam hal ini, pajak dapat dikenakan
kepada ahli waris. Jika diinginkan, dapat diatur perolehan harta tertentu
melalui warisan dapat
dibebaskan tetapi membedakan antara perolehan-perolehan besar
dan kecil. Tarif progresif dapat diterapkan juga untuk cara ini.
§ Masyarakat juga dapat menggunakan pajak untuk mencapai tujuan
yang lebih umum mencapai distribusi kekayaan yang lebih adil. Tradisi
pewarisan merupakan satu faktor utama yang menimbulkan
konsentrasi kekayaan. Pajak atas warisan dapat digunakan untuk
mengurangi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ini.
§ Pajak pada saat kematian dapat dipandang sebagai pelengkap atas
pajak penghasilan. Berdasarkan pendekatan tambahan kemampuan
ekonomis dari pajak penghasilan, penerimaan dari suatu warisan
menambah kemampuan ekonomis penerimanya sehingga selayaknya
dimasukkan sebagai penghasilan bagi ahli waris. Bila warisan
dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan, suatu pajak atas warisan
(yang tarifnya disesuaikan dengan penghasilan dari ahli waris) dapat
dipandang sebagai koreksi atas definisi penghasilan yang kurang baik
dalam pengenaan pajak penghasilan. Hal yang sama juga dapat
dinyatakan untuk peranan dari pajak atas warisan (yang dikaitkan
dengan konsumsi dari pewaris) sebagai koreksi untuk definisi basis yang
efektif dalam hal pajak pengeluaran yang tidak memasukkan warisan
dalam basisnya.
§ Pajak atas warisan dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap
pajak atas penghasilan modal selama masa hidup penerimanya.
Penggantian pajak penghasilan modal yang progresif menjadi pajak atas
warisan akan mengurangi pengaruh disinsentif pada menabung dan
investasi.
Oleh karena itu, pilihan antara pendekatan pajak atas warisan atau pajak
kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan
merancang pajak tersebut. Hanya jika tarif pajaknya proporsional tidak ada
perbedaan apakah dikenakan atas warisan atau dikenakan kepada ahli waris.
Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak harus mutually exclusice.
Dalam mencapai tujuan 1 dan 3 di atas, masyarakat dapat menerapkan pajak
atas warisan (yang mengurangi hak pewaris membagikan hartanya) dan pajak
kepada ahli waris yang dirancang untuk membatasi hak ahli waris untuk
menerima dan/atau mengkompensasikan ketidaktercakupan warisan ke dalam
penghasilan kena pajak. Pilihan di antara tujuan-tujuan ini dan pemilihan
pajak yang tepat bukanlah permasalahan yang sama dengan pertanyaan
bagaimana transaksi-transaksi pada saat kematian (penerimaan suatu warisan
atau memberikan warisan) harus diperlakukan dalam suatu pajak penghasilan
atau pengeluaran.

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KHUSUS
Capital gain
Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai
berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya
sebesar harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan
untuk tujuan pengenaan pajak atas penghasilan modal pada saat penjualan
aset tersebut oleh ahli waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian
saja yang diperhitungkan, membuat peningkatan harga sebelum kematian
tidak dipajaki.

Pengurangan karena Status Pernikahan


Permasalahan perlakuan terhadap unit keluarga yang muncul pada
pajak penghasilan, terjadi juga pada pajak warisan. Apabila salah satu
pasangan meninggal, warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang
masih hidup tanpa dikenakan pajak. Hal ini sesuai dengan pendekatan unit
keluarga dalam pajak penghasilan. Harta yang diwariskan kepada pasangan
yang masih hidup diperlakukan seolah-olah harta tersebut adalah harta
bersama, walaupun sebelum kematian kepemilikannya terpisah. Aturan yang
sama tidak berlaku untuk anak dan anggota keluarga lainnya. Walaupun
demikian, aturan sampai seberapa jauh hubungan kekeluargaan menyebabkan
pengecualian dari pengenaan pajak sangat bergantung pada peranan keluarga
dalam kaitannya dengan hak untuk memindahkan harta setelah meninggal.

Sumbangan kepada Lembaga Sosial


Sumbangan sosial juga penting dalam pajak atas warisan/hibah. Pada
umumnya tidak ada batasan pengurangan atas sumbangan sosial dalam
kerangka pajak atas warisan. Peranan dari sumbangan sosial dalam pajak
warisan, sebagaimana juga dalam pajak penghasilan, melibatkan faktor-faktor
budaya, sosial dan politik yang sudah di luar pembahasan kebijakan pajak.
Organisasi-organisasi yang didukung oleh sumbangan-sumbangan tidak kena
pajak telah mencapai tujuan-tujuan yang berguna bagi masyarakat yang tidak
dapat dicapai melalui anggaran negara, akan tetapi pembebasan pajak ini
mendorong timbulnya kendali privat yang tinggi dalam penggunaan dana
yang sebenarnya dana publik.

Bisnis Keluarga
Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak
ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga.
Salah satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat
membuat
ahli waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang
tidak menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini
sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan
yang liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun
demikian, pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak
harus melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara
keseluruhan atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar.
Konsekuensi yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan
terhadap kendali keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan
pajak apabila kekayaan yang diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.

RANGKUMAN
§ Pajak atas bumi dan bangunan adalah jenis praktek pajak kekayaan
yang paling sering muncul. Alasan kemampuan dimana pada masa lalu,
kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak)
merupakan kriteria yang paling mudah untuk menentukan kemampuan
untuk membayar. Dengan konsep kesetaraan, pajak kekayaan tidak
diperlukan apabila pajak penghasilan didefinisikan secara komprehensif
mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Dalam hal
konsep pajak atas konsumsi, pajak kekayaan dapat dibenarkan karena
alasan mengurangi penumpukkan kekayaan.
§ Alasan pengenaan pajak kekayaan atas dasar manfaat adalah
bahwa layanan-layanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan
bangunan. Oleh karenanya pemilik kekayaan dapat diharuskan membayar
kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Tidak semua biaya dari
fungsi negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Dalam kasus-
kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap kekayaan dapat
diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau
lokasinya. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai pendidikan,
misalnya, tidak memiliki dasar yang rasional.
§ Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi
kekayaan berbeda dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam
distribusi konsumsi, dan karenanya masyarakat perlu menanganinya
secara terpisah. Basisnya lebih tepat didefinisikan sebagai kekayaan kotor
daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan
cakupan kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya.
§ Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari kekayaan
telah diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Alasan
efisiensi karena tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu excess
burden. Karena pengembalian atas tanah berada dalam posisi
penawaran yang tidak elastis. Alasan keadilan karena kenaikan nilai
tanah dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil.
Selain itu, pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong
penggunaan tanah yang lebih intensif.
§ Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal terjadi,
tidak ada perbedaan karena harga pasar dari kekayaan sama dengan nilai
kapitalisasi dari penghasilan aktual. Dalam kenyataannya, nilai
kapitalisasi penghasilan aktual dan nilai pasar tidak selalu menghasilkan
angka yang sama. Jika kekayaan kurang didayagunakan, pengenaan pajak
berdasarkan basis penghasilan aktual akan menyajikan nilainya yang
terlalu rendah. Perbedaan lainnya ada dalam risiko yang ditanggung. Jika
terdapat perbedaan hasil, basis pengenaan pajak yang paling baik
adalah pendekatan nilai pasar; karena memperhitungkan adanya perbedaan
tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut.
§ Pajak tanah telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang
paling kecil kemungkinannya menghambat insentif investasi real estate.
Dalam prakteknya, pengenaan pajak tanah dapat berakibat sebaliknya.
Terutama pada kota-kota besar dan negara-negara maju, pengenaan pajak
atas pematangan tanah telah menghambat investasi perumahan, terutama
investasi untuk rumah-rumah murah.
§ Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara
untuk menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia
tua dan keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan
circuit breaker. Circuit breaker berupa kredit pajak dapat berakibat pajak
negatif.
§ Dengan asumsi pasar modal dan prosedur penilaian yang sempurna,
suatu pajak yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera
diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang
diperoleh dari aset tersebut. Dalam jangka pendek beban dari pajak atas
penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai dari
kekayaan. Dalam jangka
panjang, untuk barang tetap: pemilik tanah pertama akan menderita
kerugian permanen yang besarnya sama dengan kapitalisasi beban pajak.
Untuk barang bergerak: modal ini akan pindah dari daerah yang berpajak
tinggi ke daerah yang berpajak rendah; akan terus berlangsung sampai
tingkat pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak
tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain
§ Dalam menyikapi pajak nasional dan pajak lokal, kebijakan suatu
pemda hanya memperhatikan bagian yang penduduknya: keuntungan dari
penggeseran beban pajak kepada pihak luar melalui pemajakan atas
modal yang dimiliki oleh bukan penduduk lokal, dan bahaya kerugian
pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Semakin besar
perpindahan modal berarti semakin kecil pendapatan yang diperoleh.
Semakin besar kenaikan sewa berarti penurunan penghasilan oleh
penduduk daerah yang berpajak tinggi.
§ Penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai
kekayaan dan menarik modal masuk. Perbaikan layanan publik ini
pada akhirnya akan meningkatkan permintaan rumah dan bangunan,
mendorong peningkatan nilai kekayaan, dan karenanya menimbulkan efek
kebalikan dari kenaikan tarif pajak kekayaan. Pajak kekayaan dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya
tidak selalu sejalan dengan kontribusi wajib pajak.
§ Keberatan utama atas pajak kekayaan datang dari individu yang
memiliki banyak rumah sebagai investasinya. Walaupun investor pada
jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi dalam kerangka pajak
kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah dibanding
kombinasi pajak kekayaan, pajak penghasilan perorangan, dan pajak
penghasilan perseroan yang diderita investor saham.
§ Kebijakan distribusi beban pajak properti pada dasarnya berbentuk:
pajak atas tanah dan pajak atas bangunan. Lebih lanjut, pajak atas
bangunan dibedakan menjadi bangunan komersial dan bangunan
perumahan. Pajak atas tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah, karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis.
Distribusi pajak atas tanah progresif. Pajak yang dikenakan pada
bangunan komersial dapat dipandang sebagai sama dengan pajak
penghasilan badan. Dalam pasar yang tidak sempurna, sebagian dari
pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada konsumen.
Distribusi pajak bangunan komersial regresif. Rumah tidak hanya dapat
dipandang sebagai pos investasi, tetapi juga dipandang sebagai barang
konsumsi yang tahan lama (ketika rumah ditempati pemiliknya). Pajak
atas bangunan perumahan dapat dikenakan
sebagai pajak konsumsi atas jasa-jasa perumahan. Karena pengeluaran
konsumsi rumah tinggal akan semakin kecil sejalan dengan kenaikan
skala penghasilan rumah, pajaknya bersifat regresif. Tarif pajak kekayaan
yang tinggi di kota-kota metropolitan, sebagian dibayar oleh masyarakat
berpenghasilan rendah.
§ Praktek pajak kekayaan di seluruh dunia, yang diterapkan hampir
seragam sebagai pajak in rem, atas tanah dan bangunan sering tidak
mengarah pada pajak perseorangan dan tidak atas basis kekayaan bersih.
Pajak atas kekayaan bersih umumnya dikenakan sebagai pajak pusat.
Definisi dari aset kena pajak biasanya mencakup aset berwujud dan aset
tak berwujud dan dalam banyak kasus semua kewajiban atau hutang
berkaitan kepemilikan aset dapat dikurangkan.
§ Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan
untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang
pribadi; bukan perseroan. Sedangkan kekayaan bersih perusahaan harus
diperhitungkan kepada pemiliknya (sebagai orang pribadi). Semua
aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak
berpenghasilan diperhitungkan. Demikian juga, semua kewajiban hutang
dikurangkan.
§ Menghitung kekayaan bersih menghadapi permasalahan dalam
hal penilaian aset (asset valuation) dan menentukan hutang-hutang yang
dapat dikurangkan. Penilaian aset menggunakan estimasi, harga pasar, dan
harga pokok dengan penyusutan. Prinsip self enforcement dapat
digunakan dimana pembelian aset dapat dikeluarkan dari basis pajak
konsumsi, tetapi harus menambah jumlah basis kekayaan bersih kena
pajak.
§ Pengenaan tarif pajak kekayaan proposional (flat) tidak menghasilkan
nilai yang berbeda untuk basis kekayaan bruto dan neto. Hal ini dengan
asumsi tidak ada hutang publik dan pasar yang kompetitif akan
menyesuaikan perbedaan nilai yang didapat dari kedua metode.
Sebaliknya, hasil distribusi akan berbeda apabila pajak diterapkan dengan
tarif progresif.
§ Hutang Publik (klaim kepada pemerintah) dapat menambah
kekayaan seseorang tanpa mengurangi kekayaan orang lain. Walaupun
pasar akan tetap menyesuaikan, tetapi pola distribusi beban pajak
kekayaan tidak sama antara metode kekayaan bruto dengan metode
kekayaan bersih.
§ Bea atas modal dikenakan sekali untuk selamanya. Metode ini
telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasi-situasi mendesak
seperti reformasi moneter untuk menghentikan hyper inflasi setelah
perang. Sifat pungutan yang sekali untuk selamanya tidak mengganggu
perekonomian
secara keseluruhan. Tetapi jenis pajak ini tidak termasuk bagian
dari struktur pajak normal.
§ Pajak warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang dikenakan
satu kali saja, yaitu pada saat pemindahan dengan mewariskan atau
menghibahkan. Pajak warisan dapat diterapkan pada tingkatan
nasional maupun lokal. Pajak warisan mendapat perhatian luas karena
filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan
distribusi kekayaan.
§ Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas
jumlah yang diterima oleh ahli waris. Jika tarif pajak yang dipakai tidak
proporsional (flat), perbedaan basis pengenaan dapat menimbulkan
perbedaan jumlah pajak.
§ Pajak warisan bermanfaat untuk: membatasi hak seseorang
untuk membagikan hartanya pada saat meninggal, membatasi hak
seseorang untuk memindahkan kekayaannya ke generasi-generasi
berikutnya, membatasi hak seseorang untuk mendapatkan kekayaan dari
warisan, misalnya karena tanpa usahanya sendiri, mencapai distribusi
kekayaan yang lebih adil serta menghindari konsentrasi kekayaan,
melengkapi pajak penghasilan, dan menjadi alternatif dari pajak atas
penghasilan modal selama masa hidupnya. Pilihan antara pendekatan (1)
pajak atas warisan atau (2) pajak kepada ahli waris bergantung pada
tujuan-tujuan yang akan dicapai. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya
tidak harus saling menghilangkan (mutually exclusice).
§ Permasalahan khusus dalam pajak warisan antara lain: (1) Capital
gain dimana pajak warisan dinilai berdasarkan harga pasarnya pada saat
pemiliknya meninggal, bukannya harga perolehan aslinya. (2) Status
pernikahan dimana warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang
masih hidup bebas dari pajak. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak
dan anggota keluarga lainnya. (3) Lembaga sosial dimana
sumbangan sosial dikecualikan dalam pajak warisan. (4) Bisnis keluarga
dimana para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak ini
mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga.

LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pajak atas konsumsi!
2. Sebutkan dan jelaskan metode-metode yang digunakan dalam
penagihan pajak!
3. Jelaskan dan berikan contoh, tahapan pengenaan pajak yang tepat
pada saat :
a. Produk sedang diproduksi (dibagi pertahapan
produksi). b. Produk selesai diproduksi.
c. Produk siap dipasarkan secara eceran.
4. Dilihat dari sisi permasalahan politik, apa perbedaan Pajak Pertambahan
Nilai dengan pajak penjualan?
5. Cukai hanya dikenakan pada barang-barang tertentu dan
membutuhkan biaya ekstra, tetapi mengapa pemerintah tetap
memberlakukan cukai? Apa alasannya?
6. Jelaskan bagaimana keadilan vertikal dan keadilan horizontal suatu
pajak penjualan umum?
7. Bagaimana cara menentukan konsumsi tahunan wajib pajak?
8. Apa yang dimaksud dengan pajak warisan?
9. Jelaskan manfaat pajak warisan!
10. Mengapa pajak kekayaan dapat dipandang sebagai pelengkap atas
pajak penghasilan?
11. Bagaimana efek pengenaan pajak dalam pajak atas warisan
yang dipergunakan sebagai kontribusi bagi lembaga sosial?
12. Bagaimana pengenaan pajak apabila kekayaan yang diwariskan
dalam bentuk bisnis keluarga?
PAJAK INTERNASIONAL

Transaksi internasional bukan merupakan hal yang baru. Transaksi tersebut


sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh
perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau
David Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan
spesialisasi produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya,
mengekspor barang tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang
bisa memproduksi barang lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara
dengan tenaga kerja murah akan lebih baik memproduksi barang
bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu. Negara dengan kemampuan
teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang seperti komputer atau
perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan melakukan
pertukaran: negara yang satu mengekspor tekstil dan mengimpor
komputer, sedangkan yang lainnya
276 Keuangan Publik: Teori dan Bab 13: Pajak 276
Aplikasi Internasional

mengekspor komputer dan mengimpor tekstil. Dengan cara semacam itu


kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori tersebut kemudian
dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam teori tersebut
adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan
mesin tidak mudah berpindah (tidak mobile), sedangkan barang yang
dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut
mengasumsikan pertukaran barang komoditi, bukannya barang yang
terdiferensiasi. Daya saing suatu negara sudah ditentukan (given),
tergantung sumber daya yang dipunyai. Faktor lain seperti ketidakpastian,
skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam teori tersebut.
Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin
keunggulan komparatif. Jika ekonomi klasik mengasumsikan bahwa faktor
produksi tidak mudah berpindah, perusahaan multinasional dibangun dengan
asumsi bahwa faktor produksi sangat mobile. Perusahaan multinasional bisa
memproduksi barang di Indonesia (karena tenaga kerja murah),
kemudian memperoleh modal dari pasar keuangan eropa, produk
didesain di prancis, kemudian barang jadi dijual ke Amerika Serikat,
sedangkan pusat perusahaan tersebut di Jepang. Faktor produksi tidak dibatasi
oleh batas-batas negara, tetapi sudah melintas batas-batas negara.
Koordinasi dan alokasi sumber daya menjadi kunci pengelolaan
perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional berusaha
mengoptimalkan sumber daya yang ada di dunia ini tidak terbatas pada batas-
batas negara.
Gambaran mengenai perusahaan multinasional tersebut di atas
menunjukkan fakta bahwa semakin hari akan semakin meningkat saling
ketergantungan perekonomian dunia dan kondisi ini akan semakin
mempengaruhi aspek internasional dalam hal keuangan publik. Penyatuan
perekonomian Eropa ke dalam pasar bersama, makin meningkatnya peranan
perusahaan multinasional, pembiayaan badan kerjasama internasional
seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan NATO, dan ketimpangan distribusi
pendapatan internasional akan mengarah kepada perlunya koordinasi fiskal
internasional.
Setiap negara tentunya akan mengatur bagaimana negara tersebut akan
menarik pajak terhadap pendapatan warga negaranya yang diperolehnya dari
luar negeri dan pendapatan warga negara asing yang berasal dari dalam
negeri. Sejalan dengan kondisi tersebut suatu negara tentunya juga harus
mengatur bagaimana pajak produk dan pajak penjualan dari negara
bersangkutan akan diterapkan pada sistem ekspor impornya. Keputusan ini
tentunya akan diambil secara bersama-sama dengan negara lain dan perjanjian
pajak internasional merupakan suatu media yang dapat mengkoordinasikan
masalah-masalah tersebut. Dalam hal penerapan koordinasi pajak
internasional, terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan yang
diantaranya adalah:
§ Keadilan antar perorangan.
§ Keadilan antar negara.
§ Efisiensi.

Keadilan Antar Perorangan


Dalam prakteknya, jika seseorang menerima pendapatan yang berasal dari
berbagai negara, dia akan dikenakan pajak lebih dari satu kali.
Misalnya adalah Mr. A, seorang warga negara Amerika Serikat, yang
dalam masa tertentu bekerja di Indonesia, akan membayar pajak sesuai
dengan ketentuan Indonesia atas penghasilan yang diperolehnya di Indonesia.
Dalam kasus lain, Mr. A juga melakukan investasi di Indonesia dan
menerima dividen yang dikenakan pajak oleh Indonesia. Karena dia juga
menerima pendapatan sebagai warga negara Amerika Serikat, tentunya Mr.
A juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah Amerika Serikat.
Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah
keadilan horizontal (keadilan antar perorangan) yang mengharuskan bahwa
pajak total yang dibayarnya (baik di dalam maupun luar negeri) akan sama
dengan pajak yang di bayar oleh Mr. B, yang menerima pendapatan total
yang sama tetapi seluruhnya berasal dari Amerika Serikat? Atau sudah
cukupkah kiranya jika Amerika Serikat menganggap pajak yang di bayar
ke negara lain sebagai pengurangan pendapatan dan menyamakan beban
pajak sesuai dengan pengenaan pajak di Amerika Serikat saja? Dalam kasus
Mr. A, keadilan diinterpretasikan dalam artian internasional, sedangkan
dalam kasus Mr. B keadilan diinterpretasikan dalam artian nasional.

Keadilan Antar Negara


Masalah keadilan yang lebih pelik akan kita temui dalam menentukan
pembagian penerimaan pajak di antara ditjen pajak atau departemen
keuangan di berbagai negara. Meskipun dengan cara yang berbeda, masalah
ini akan timbul baik dalam hal pajak penghasilan maupun pajak produk.
Sehubungan dengan pajak penghasilan, secara umum disetujui bahwa
negara di mana pendapatan itu dihasilkan (juga disebut sebagai negara
sumber) berhak menarik pajak atas pendapatan tersebut, tetapi berapa
tarif yang akan dikenakan masih menjadi persoalan. Konsekuensi dari kondisi
tersebut di atas adalah bahwa pajak Indonesia yang dikenakan terhadap
penghasilan atas modal Amerika Serikat yang ditanamkan di Indonesia
tentunya akan mengurangi pengembalian (return) bagi Amerika Serikat.
Berbeda halnya dengan pajak tambahan yang mungkin dikenakan
oleh
Amerika Serikat, sehingga tidak akan merugikan bagi Amerika Serikat tetapi
hanya merupakan transfer dari warga negara Amerika Serikat ke Departemen
Keuangan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kerugian yang diderita Amerika
Serikat hanya akan tergantung pada tarif pajak atas modal Amerika Serikat
yang dikenakan di Indonesia. Salah satu pandangan mengenai keadilan antar
negara adalah bahwa negara sumber harus diperbolehkan menarik pajak atas
pendapatan yang diperoleh investor asing dengan tarif sebesar yang di
kenakan negara lain atas pendapatan warganya di negara tersebut. Kondisi
ini bisa disebut sebagai prinsip berbalasan.
Dalam hal pajak produk, masalah keadilan berkaitan dengan kemungkinan
untuk membebani warga asing melalui perubahan harga. Jika negara A
mengenakan pajak atas ekspor, tentunya biaya ekspor akan naik. Jika negara
tersebut mendominasi pasar ekspor, harga ekspor akan naik dan konsumen di
luar negeri akan membayar lebih mahal. Jadi, sebagian dari beban pajak akan
digeser ke luar negeri. Sejalan dengan itu, jika Impor dikenakan pajak,
pemasok luar negeri harus menjual produknya dengan harga yang lebih
rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian beban pajak akan digeser
ke luar negeri. Jika kita menerima kriteria bahwa suatu negara harus
membayar pajaknya sendiri, maka penggeseran beban semacam itu bisa
dianggap sebagai hambatan bagi keadilan antar negara.

Efisiensi
Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari
kegiatan perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya
yang paling efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya
akan lebih rendah apabila dia menanamkan modal di Vietnam
daripada di Indonesia, maka Mr C akan menanamkan lebih banyak
modalnya di Vietnam. Dengan demikian, permasalahannya adalah bagaimana
mengelola pengenaan pajak atas pendapatan dan investasi internasional
sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal secara global. Kondisi ini
akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi ditentukan oleh
keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang merupakan
persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi dimodifikasi oleh
perbedaan biaya pajak.

PRINSIP PAJAK INTERNASIONAL


Berbagai struktur sistem pajak negara mempunyai dampak yang sangat
penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara
internasional. Konsekuensinya, akan tercipta efisiensi alokasi sumber daya
di
seluruh dunia dalam integrasi perekonomi dunia. Walaupun kemungkinan
tidak ada satu negara pun yang secara ketat menerapkan prinsip-prinsip pajak
internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak
internasional yang lazim dipergunakan yakni pajak penghasilan internasional
dan pajak komoditi.

Pajak Penghasilan
Internasional
Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak
berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber
pendapatan. Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa
penduduk akan dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa
memperhatikan darimana sumber penghasilan yang diperolehnya baik
pendapatan yang diperolehnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi
yang bukan merupakan penduduk tidak akan ditarik pajak terhadap
pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut. Yang berkaitan erat dengan
asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi subjek pajak. Artinya,
seseorang subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk dalam negeri
(resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini
tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu,
setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda
dari negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya.
Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan bahwa
seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan
pajak, tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut,
baik itu warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu
negara tidak akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya
di luar negeri dan warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan
pendapatan penduduk yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber
penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan
itu sendiri dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-
undang pajak dari suatu negara. Pada umumnya, untuk menentukan letak
sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan dibagi menjadi dua, yaitu:
§ Penghasilan dari usaha (active
income).
§ Penghasilan dari modal (passive income), misalnya dividen, bunga,
royalty dan penghasilan dari harta.
Pajak Komoditi
Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak sumber pendapatan
pada pajak penghasilan internasional, terdapat dua prinsip pajak komoditi
yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai)
yakni prinsip pajak tujuan dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak
tujuan, barang atau jasa yang dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik
barang atau jasa tersebut dibuat di dalam negeri ataupun barang import. Jadi
barang-barang impor akan dikenakan pajak sedangkan barang-barang ekspor
dibebaskan dari pajak. Menurut prinsip pajak sumber, segala barang
maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir pada suatu negara
akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun asal produksi.

KOORDINASI PAJAK PENGHASILAN


Koordinasi Pajak Perorangan
Setiap negara berhak untuk menarik pajak atas pendapatan warganya
entah di mana pun pendapatan itu diperoleh. Secara umum prinsipnya adalah
memperbolehkan pengenaan pajak atas pendapatan di negara sumber
sedangkan negara asal warga bersangkutan akan memberikan kredit
pajak. Kondisi ini selaras dengan konsep keadilan antar negara yang
menyatakan bahwa negara sumber pendapatan tidak boleh melakukan
diskriminasi, tetapi bisa menerapkan tarifnya sendiri terhadap penghasilan
orang asing. Demikian juga dengan pemberian kredit pajak oleh negara
asal warga bersangkutan, meskipun menyebabkan menurunnya
penerimaan negara bersangkutan, kondisi ini selaras dengan pandangan
internasional mengenai keadilan antar perorangan.
Koordinasi pajak perorangan juga berlaku bagi investor perorangan yang
menerima dividen. Investor yang menerima pendapatan investasi dari
luar negeri akan membayar pajak penghasilan atas pendapatan tersebut.
Pemerintah di negara sumber pendapatan lazimnya akan mengenakan
withholding tax, misalnya sebesar 15 persen, yang selanjutnya akan
dikreditkan terhadap pajak yang akan dibayarkan di negara asal investor.
Berkaitan dengan pengertian tersebut berikut illustrasi yang mungkin terjadi
jika seseorang warga negara Amerika Serikat bekerja di Inggris.
Seorang warga negara Amerika Serikat, yang bekerja selama enam bulan di
Inggris dan kemudian kembali ke Amerika Serikat, akan membayar
pajak Inggris Raya atas pendapatan yang diperolehnya di Inggris. Guna
menentukan pajak yang akan di bayarnya di Amerika Serikat, pendapatan
di Inggris juga
akan diperhitungkan, tetapi pajak yang telah dibayar di Inggris
akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di Amerika Serikat, karena hal
itu merupakan pajak seharusnya akan dibayar seandainya pendapatan tersebut
diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah prosedurnya
seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang akan
dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris
tersebut.

Koordinasi Pajak Laba


Pada umumnya terdapat dua ketentuan dalam memperlakukan pendapatan
investasi asing. Pertama, perusahaan yang mengoperasikan kantor cabang di
luar negeri akan dikenakan pajak atas laba kantor cabang sesuai dengan
peraturan pajak perseroan negara bersangkutan. Untuk pengenan pajak di
negara asal, laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap
sebagai satu unit. Kedua, perusahaan anak yang didirikan di luar negeri
(foreign incomporated subsidiary), secara hukum merupakan satuan
perusahaan terpisah. Labanya akan dikenakan pajak laba perseroan negara
asing dan pajak untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba perusahaan
anak tersebut dikirimkan ke perusahan induk sebagai dividen.
Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan pada asumsi bahwa
perusahaan anak di luar negeri benar-benar merupakan satuan usaha
yang tepisah. Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan
mengenai pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada
kenyataannya merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir
tidak menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika tarif pajak
luar negeri lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan di dalam negeri.
Jika kondisi sebaliknya terjadi (biasanya pada negara–negara yang
sedang berkembang, dimana mungkin tarif pajak sangat rendah),
perusahaan anak akan condong menginvestasikan kembali labanya di
negara domisili (yang disebut sebagai surga pajak).
Jika dikaitkan dengan perusahaan multinasional, implementasi dari
aturan ini, akan menyebabkan perlunya ditentukan berapa besar laba yang
timbul pada setiap negara. Hal ini merupakan persoalan yang rumit. Sebagai
contoh, sebuah perusahaan Amerika Serikat mengoperasikan sebuah
perusahaan anak di Kanada. Sesuai dengan konsep keadilan antar negara,
Kanada berhak menarik pajak perusahaan anak tersebut. Tetapi dengan cara
apakah laba ini benar-benar bisa dipisahkan dari laba perusahaan
induknya di Amerika Serikat? Jika terjadi transaksi jual beli yang terjadi
antara perusahan induk dan perusahaan anak, maka laba bisa digeser dari satu
negara ke negara lain guna memanipulasi pajak agar diperoleh pajak
yang terendah. Kesulitan akan
berlipat ganda apabila serangkaian perusahaan anak beroperasi di
berbagai negara.
Untuk mengantisipasi kondisi ini, telah diupayakan berbagai aturan untuk
menghambat penggeseran laba, misalnya: persyaratan agar harga ditentukan
berdasarkan transaksi yang wajar dengan pihak ketiga atau transaksi tanpa
hubungan istimewa (arm’s-length-basis). Karena kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang
terkait, maka pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba
sebagai dasar pengenaan pajak (profit base) dari perusahaan
multinasional dapat dialokasikan di antara negara-negara tidak berdasarkan
lokasi dari perusahaan anak; tetapi lebih berdasarkan negara asal laba yang
diperoleh oleh group usaha tersebut secara keseluruhan. Negara asal tersebut
bisa ditentukan dengan menggunakan rumus yang memperhitungkan lokasi,
nilai tambah dan penjualan. Meskipun cukup menarik, namun pelaksanaan
pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional dan karena itu
masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.

KOORDINASI PAJAK PRODUK


Jika pajak penghasilan mempengaruhi aliran atau perpindahan modal,
maka pajak produk mengarahkan perhatian kita pada pengaruhnya terhadap
aliran produk. Hal ini akan semakin terasa jika kurs valuta asing bersifat
fleksibel. Perdagangan internasional yang berlangsung secara bebas
didasarkan pada argumen dasar bahwa semua negara yang berdagang akan
mendapat manfaat jika masing-masing berspesalisasi pada produk
dimana ia memiliki keunggulan komparatif. Anggaplah negara A
mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan produk X sementara
negara B mengimpor X dan mengekspor Y. Akan tetapi, karena biaya
produksi semakin meningkat untuk jumlah yang makin besar, negara A akan
tetap memproduksi sebagian dari Y dan negara B memproduksi sebagian dari
X yang dibutuhkannya. Baik A maupun B akan lebih makmur daripada jika
tidak ada perdagangan. Dengan mengekspor X dan mengimpor Y, negara A
akan memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi daripada jika ia
memproduksi semua Y yang dibutuhkannya, hal sebaliknya berlaku untuk B.
Pada gilirannya, pajak tidak hanya mempengaruhi produksi barang
substitusi tetapi juga lokasi produksi. Dalam menentukan apakah
berbagai pajak yang ada berpengaruh atau tidak terhadap lokasi produksi,
pertanyaannya apakah pajak bersangkutan mempengaruhi harga relatif antara
barang produksi dalam negeri dan barang impor. Jika pajak mempengaruhi
harga, konsumen akan mensubstitusikan kedua jenis barang itu satu sama
lain
dan lokasi produksi yang mengenakan pajak akan berbeda dari lokasi
produksi dengan pajak yang netral. Adapun jenis-jenis pajak yang dapat
mempengaruhi lokasi produksi dapat dikategorikan sebagai (1)
destination taxes dan (2) origin taxes.

Pajak Konsumsi
Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak
akan mempengaruhi lokasi produksi kecuali jika terdapat diskriminasi antara
barang produksi dalam negeri dan barang impor, sebagai contoh pajak dalam
bentuk bea masuk dan cukai. Misalkan negara A mengenakan pajak
terhadap konsumsi secara umum atas semua produk yang diproduksi di dalam
negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan
karena harga relatif antara produk dalam negeri dan produk impor tidak
berubah. Pajak konsumsi umum bisa mempengaruhi tingkat perdagangan
tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi yang baru) masih
akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.
Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak
hanya terhadap produk impor saja (melakukan diskriminasi). Yaitu jika
terhadap impor dikenakan bea masuk. Pajak ini akan menyebabkan perbedaan
harga relatif antara produk domestik dan impor, sehingga produk dalam
negeri akan mensubstitusi impor. Dengan menurunnya impor, nilai mata uang
A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor dari A juga akan menurun
sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat perdagangan yang lebih
rendah dan dengan kondisi komposisi produksi yang kurang efisien
diantara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan melemahkan
perdagangan yang efisien, dewasa ini telah banyak cara diupayakan untuk
mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis.

Pajak Produksi
Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin
taxes), kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi
meskipun tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri.
Pertama-tama anggaplah bahwa negara B mengenakan pajak penjualan umum
(misalnya PPN) sebesar 10 persen terhadap barang lokal dan barang impor.
Akibatnya, harga barang di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut.
Karena merasa bahwa harga produk lokal, misalnya X, dalam negeri telah
naik jika dibandingkan dengan harga produk impor X, konsumen negara B
akan memperbesar impor X. Konsumen negara A akan merasakan hal
sebaliknya.
Eksportir negara B akan menambahkan pajak tersebut ke harga produknya,
misalnya Y, sehingga harga barang impor Y bagi konsumen negara A
menjadi lebih mahal sehingga impor Y akan dikurangi. Jika kurs valuta asing
bersifat fleksibel, kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan
permintaan atas mata uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A
terhadap B. Ini akan menghambat keinginan konsumen B untuk menambah
impor X dan keinginan konsumen A untuk mengurangi impor Y. Pada
akhirnya, perbandingan harga antara ekspor dan impor tidak akan berubah
dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh.
Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya
pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali
lagi konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan
mensubstitusinya dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya
impor A atas barang Y (asumsi ekspor A atas barang X ke B tetap), nilai mata
uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen A menjadi naik
dan karena itu impor Y dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai
pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan
distribusi lokasi produksi. Negara A kemudian memproduksi lebih banyak
barang Y dan mengurangi produksi barang X. Sebaliknya, penurunan ekspor
dan konsumsi produk Y di negara B lambat laun akan membuat
negara tersebut memproduksi lebih banyak barang X daripada sebelumnya
dan menjadi tidak efisien. Karena itu, pengenaan pajak ekspor di negara B
menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul
akibat dikenakannya bea masuk atas barang impor di negara A.
Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya negara B memberikan
penghapusan pajak atas barang yang diekspornya. Tindakan B akan
membatalkan efek kenaikan harga barang impor di negara A sehingga
tidak perlu mensubstitusinya dengan memproduksi di dalam negeri. Dengan
dihapusnya pajak atas barang ekspor oleh negara B, maka pajak atas
barang impor di negara A dapat diubah dari pajak produksi (origin taxes)
menjadi pajak konsumsi (destination taxes). Artinya hal itu sejajar dengan
pajak penjualan umum atas seluruh produk di negara B yang seperti
telah kita lihat sebelumnya. Pajak penjualan umum tidak mendistorsikan
lokasi produksi sejauh dikenakan secara umum terhadap produk impor
dan produk dalam negeri.
Efek distorsi efisiensi perekonomian internasional juga akan terjadi
jika negara B memajaki produk lokal X tetapi tidak terhadap produk impor
X. Konsumen B dalam hal ini akan melakukan substitusi dengan produk
impor X dan penyesuaian selanjutnya akan terjadi. Pada akhirnya, tingkat
perdagangan riil akan naik tetapi lokasi produksi akan mengalami distorsi.
Makin banyak X
diproduksi di A atau makin banyak Y diproduksi di B daripada sebelumnya.
Distorsi dalam hal ini bisa dihindarkan jika B juga mengenakan bea
masuk atas X untuk mengkompensasi pajak produk lokal X.

TAX TREATY
Tax Treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan suatu
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
mengantisipasi pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Perjanjian ini akan digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan
aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul
yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai dengan transaksi
yang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih
sama, sebagai bagian dari konvensi internasional dimana setiap negara yang
terlibat dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing-masing
berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada
dasarnya terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty merupakan suatu kontrak yang
mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan.
Oleh karena itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak
tertentu. Pasal-pasal ataupun ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax
treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu
bagian yang mengungkapkan (1) cakupan tax treaty, bagian yang
mengatur (2) minimalisasi pajak berganda, bagian tentang (3)
pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup (4) ketentuan
lainnya.

CAKUPAN TAX TREATY


Cakupan perjanjian antar negara dalam hal penghindaran pajak berganda
biasanya meliputi: (1) cakupan personal atau personal scope, (2) jenis-jenis
pajak atau tax covered, (3) definisi penduduk atau residence, (4) permanent
establishment, (5) saat berlakunya atau entry into force, dan (6) saat
berakhirnya atau termination.
Personal Scope
Tax treaty adalah persetujuan yang ditandatangani oleh dua negara,
sehingga subyek pajak yang menjadi sasaran adalah mereka yang
menjadi penduduk dari kedua negara tersebut (Rachmanto Surachmat, 2001).
Dengan kata lain, ketentuan personal scope mengatur tentang kepada siapa
sajaketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang bersangkutan bisa
diterapkan. Dalam pasal dan ayat ini akan diatur ketentuan tentang siapa saja
yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya yang
berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu negara
yang terikat perjanjian, termasuk di dalamnya orang pribadi, badan atau
entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status
kependudukan ganda (double residence). Biasanya di sini definisi mengenai
penduduk maupun perihal kependudukan ganda tidak diartikan lebih
lanjut. Kedua hal tersebut akan diatur dalam klausul lain yaitu dalam
klausul tentang general definitions dan tentang residence. Oleh karena itu,
pengertian personal scope akan berkaitan dengan pengertian-pengertian
tentang kedua klausul tersebut.
Tax Covered
Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya
menggunakan ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur
di sini akan mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan
ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa
hal, ketentuan suatu tax treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas
sistem perundang-undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu
negara. Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak
langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung seperti
Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umum (general definitions),
diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi
persons (orang atau badan), national (negara atau kewarganegaraan),
international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan
lain lain.

Residence
Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi
penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu
tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas
suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap
orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara –
seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-
sebab lain
yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di
negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah subjek pajak dalam negeri
suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan lokal yang berlaku di negara tersebut. Perundangan nasional
dari banyak negara umumnya mengenakan pajak berdasarkan hubungannya
dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto Surachmat, 2001). Artinya,
pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan tempat tinggal, tetapi
juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut. Dalam klausul ini
juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat langsung
dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang
pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara
berdasarkan asas world wide income. Hal ini bisa terjadi karena setiap
negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan
versinya masing-masing.
Menyadari efek-efek negatif tersebut, pasal residence selanjutnya mengatur
langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan
ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule. Tie breaker rule dibedakan
menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan
untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari
penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and
social interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial), habitual abode
(tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta
mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan). Langkah-langkah
tersebut secara berurutan bersifat prioritas, artinya apabila dengan
menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa
dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi.
Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada
satu ketentuan yaitu tempat di mana manajemennya efektif berada.

Permanent
Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Pada jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara
sendiri. Di negara lain pun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di
negara lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di
negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima.
Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-
batasan ataupun aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan, yang
sekaligus merupakan investasi di negara tersebut, tetap berjalan dengan baik.
Cerminan dari batas atau aturan
tersebut adalah ketentuan tentang permanent establishment atau Bentuk
Usaha Tetap (BUT). Contoh-contoh dari BUT dapat dikategorikan menjadi
empat macam yaitu:
§ BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling
mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik
seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain.
§ BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya
aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan
di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai
macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnya). Lamanya time
test yang digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax
treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua
negara.
§ BUT Asuransi. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan
dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung
risiko di negara lain.
§ BUT Keagenan. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara
lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus
barang-barang dagang di negara lain.
Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap
tidak muncul seperti dalam hal tempat yang hanya berfungsi untuk memajang
barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk pembelian
barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.

Entry Into Force


Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty.
Saat berlakunya tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap
pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan
penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan
ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai
meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi.
Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan, tax treaty pun
dapat diberlakukan.

Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty.
Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh
kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty
dengan cara
mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.

MINIMALISASI PAJAK BERGANDA


Klausul yang berisi ketentuan untuk meminimalisasi pajak berganda
biasanya mencakup: (1) penghasilan barang-barang tak bergerak, (2) laba
usaha, (3) laba perusahaan transportasi, (4) dividen, (5) pendapatan bunga,
(6) royalti, (7) capital gains, (8) penghasilan jasa bebas, (9) penghasilan jasa
terbatas, (10) director’s fee, (11) penghasilan artis dan olahragawan, (12)
pendapatan pensiun, dan (13) gaji pegawai negeri sipil di luar negeri.

Income from Immovable Property


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal dari
harta tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari pertanian atau
sektor perhutanan. Di dalamnya diatur bahwa negara tempat harta tak
bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan
dari harta tersebut.

Business Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment
yang mengatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk
suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan
dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner
mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu
negara. Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya
dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Namun apabila penduduk suatu
negara mendapatkan penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya,
maka negara treaty partner tersebut berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan usaha yang
dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui BUT,
maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili
(Rachmanto Surachmat, 2001)

Bisnis Transportasi
Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan
perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional.
Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan
dari beberapa
negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya
maka perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan
menanggung beban pajak yang terlalu besar. Dalam menghadapi
permasalahan ini pada umumnya diatur dua alternatif pengenaan pajak.
Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara tempat di
mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan alternatif
pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian kapal
laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus.

Dividends
Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari
suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas
penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen
baik yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar
negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan
mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam
klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak
mengenakan pajak atas dividen tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan
tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen
tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio
(saham dengan kepentingan semata mata investasi) dan untuk dividen
dari penyertaan langsung ( saham dengan kepentingan kontrol)

Interest
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang
diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang
bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat penghasilan bunga
berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga
tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen, artikel bunga pun mengatur
tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen
berasal.

Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang
diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan
bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti di samping
mengatur bahwa negara tempat di mana royalti berasal dapat
mengenakan pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati.
Capital Gains
Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan
pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur
bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak
untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini
adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam
bukunya, Rachmanto Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan
pajak atas keuntungan karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk
berusaha harus diberikan kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak
mengenakan pajak atas business profit (negara tempat perusahaan
berdomisili), tanpa membedakan apakah keuntungan itu diberlakukan
sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan penghindaran pajak
berganda tidak memerlukan aturan khusus yang membedakan capital gain
dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang undang pajak
domestik masing-masing negara.

Independent Personal Services


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang
diterima orang pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai
imbalan dari jasa-jasa profesional yang diberikan di negara tersebut. Aturan
ini pada dasarnya sejalan dengan aturan permanent establishment dan
business profits namun secara khusus ditujukan untuk orang pribadi yang
memberikan jasa- jasa profesional (seperti dokter, pengacara) untuk dan atas
namanya sendiri di negara treaty partner. Negara treaty partner tempat jasa
tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak sepanjang orang pribadi
tersebut memiliki tempat tetap (fixed base) di sana atau berada di negara
treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati bersama..

Dependent Personal Services


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang
diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang
dilakukannya di negara lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari
pemberian jasa oleh independent personal yang dilakukan untuk dan atas
namanya sendiri, jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang dimaksud di
sini merupakan jasa yang dilakukan untuk dan atas nama pihak lain yang
memiliki hubungan kerja dengannya. Di sini diatur bahwa negara tempat
orang pribadi tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterimanya. Namun untuk mengenakan pajak tersebut, ada
beberapa syarat kumulatif yang terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu: (1)
Orang pribadi yang bersangkutan berada di
negara lain melebihi time test yang telah disepakati; (2) Penghasilan
yang diterima oleh orang pribadi tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja; dan
(3) Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada BUT.

Director’s Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang
diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara
lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini
dinyatakan bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam
kapasitasnya yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di
negara domisili perusahaanya tanpa memandang jangka waktu
keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan prinsip
pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur
dalam klausul dependent dan independent personal services yang
menggunakan syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek
pemajakan. Menurut Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk
menyederhanakan pengenaan pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana
kegiatan pekerjaan dilakukan – dalam kedudukannya sebagai anggota dewan
direksi – adalah sulit. Fungsi sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara
dimana ia berdomisili, karena itu yang diberikan hak pemajakan adalah
negara di mana pihak yang membayarkan gaji berkedudukan. Namun
demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi murni sebagai seorang
direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak lagi mengikuti
ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya disesuaikan
dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur tersebut. Jika
direktur tersebut melakukan tugas-tugas manajerial misalnya, aspek
pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun
apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, aspek
pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent
personal services.

Artists and Sportsmen


Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang
diterima oleh artis (entertainer) dan olahragawan (sportsmen) dari negara lain.
Prinsip pemajakan yang diatur dalam artikel ini adalah negara tempat
penghasilan tersebut bersumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh artis ataupun atlit. Prinsip ini juga berlaku meskipun
penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan kepada sang artis/atlit
(dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk dalam
pengertian entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis
radio atau musisi. Sedangkan termasuk
dalam olahragawan antara lain adalah pemain sepakbola, pemain golf,
pemain tenis, pemain catur atau pemain bridge.
Pensions
Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan
swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara
tempat di mana pekerjaan itu dilakukan. Namun sebagian besar tax
treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana
yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun

Government Services
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang
diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan
atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada
negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang
diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai
negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu
negara dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka
penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.

PENCEGAHAN PENGHINDARAN PAJAK


Penghindaran pajak menyebabkan salah satu negara mengalami
kerugian akibat tidak diterimanya pajak seperti yang seharusnya. Klausul
tentang pencegahan penghindaran pajak mencakup: (1) transaksi internal dan
kesepakatan (2) pertukaran informasi.

Transaksi Internal
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di
kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di
mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar.
Harga yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak
wajar itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara
yang lainnya. Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari
pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang
bersangkutan
diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian penyesuaian
sehubungan dengan pergeseran laba tersebut.
Exchange of Information
Klausul ini mengatur tentang perjanjian pertukaran informasi antar otoritas
pajak di kedua negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya
pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu
senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau
penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi
berdasarkan permintaan.

KETENTUAN LAIN-LAIN
Adapun ketentuan-ketentuan lainnya yang biasa muncul dalam tax treaty
meliputi: (1) perlakuan tanpa diskriminasi, (2) prosedur penyelesaian
perselisihan, dan (3) pajak atas utusan diplomatik.

Non Discrimination
Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan
yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan
warga negara. Secara khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam
bukunya menyatakan bahwa klausul ini adalah aturan dalam hukum
internasional yang memberikan perlindungan dari diskriminasi. Suatu
negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan
perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya. Perlakuan
perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi
yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh
menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh
warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan
kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang
terikat perjanjian.

Prosedur Penyelesaian Perselisihan


Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara
untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan
antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai perpajakan tertentu.
Klausul ini dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para
pembayar pajak untuk “protes” atas suatu perlakuan perpajakan yang tidak
disetujuinya.
Melalui ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakan pun memiliki sarana
untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan
interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun demikian
perlu diingat bahwa mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh
klausul yang terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat
menikmati ketentuan dalam mutual agreement procedure antara lain adalah
business profits, related persons dan royalty.

Member of Diplomatic Missions and Consular


Posts
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada
anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Menurut
Rachmato Surachmat (2001), maksud dari klausul ini adalah untuk menjamin
bahwa para diplomat, berdasarkan tax treaty, tidak memperoleh perlakuan
yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan
berdasarkan hukum internasional. Dalam kesepakatan internasional, setiap
penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat,
ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal.
Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama. Jadi, meskipun
anggota korps diplomatik atau konsulat mendapatkan penghasilan yang
bersumber dari negara di mana mereka bertugas, negara tersebut tidak
dapat mengenakan pajak atasnya.

TAX TREATY MENGALAHKAN UU PPh


Bisa disimpulkan bahwa tax treaty muncul karena dua sebab yang
mendasar. Pertama, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang
bisa menimbulkan distorsi ekonomi, yang berakibat buruk bagi investasi.
Kedua, tax treaty juga dimaksudkan untuk mencegah usaha-usaha
penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu
negara. Mengingat sifat perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax
treaty mengalahkan UU PPh yang berlaku di masing masing negara treaty
partner. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu
perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat
dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara umum setiap tax treaty
mengikuti prinsip- prinsip dasar dari model model tax treaty yang ada seperti
model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan pada
saat pembuatannya. Memahami prinsip prinsip dasar tersebut akan
memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada,
antara berbagai negara pada
umumnya dan antara Indonesia dengan negara negara lain pada khususnya.
Yang perlu diperhatikan adalah, dalam tax treaty pada umumnya sudah
disepakati bahwa setiap negara treaty partner berhak menentukan
prosedur dan tata cara untuk membuktikan bahwa suatu pihak benar-benar
berdomisili atau berkedudukan dan berstatus sebagai pembayar pajak di
negara treaty partner. Bukti dimaksud seringkali disebut Surat Keterangan
Domisili (SKD) atau Certificate of Residence Taxpayer (CRT) yang
diterbitkan oleh competent authority atau pejabat yang berwenang yang
ditunjuk oleh suatu negara treaty partner. Surat keterangan yang diterbitkan
oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau instansi sejenis di negara treaty
Partner juga bisa dipersamakan dengan SKD/CRT. Dengan memiliki
SKD/CRT, maka suatu pihak berhak untuk menerapkan suatu ketentuan tax
treaty dengan negara di mana yang bersangkutan berkedudukan atau
berdomisili. Jika tidak memiliki SKD/CRT, maka pengenaan pajaknya
kembali pada undang-undang yang berlaku di negara masing-masing.
Sebagai contoh, jika wajib pajak luar negeri yang berkedudukan di
Inggris, maka wajib pajak luar negeri tersebut hanya dapat menerapkan
ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki SKD/CRT dari
competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka
penghasilan wajib pajak luar negeri yang bersumber dari Indonesia langsung
dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.

KOORDINASI PENGELUARAN
Di antara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah,
terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama
dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di
perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha
bersama dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar
bersama. Semua ini menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang
harus dipikul. Jika jumlah anggota kelompok atau pesertanya kecil,
pembagian beban biaya bisa dirundingkan dengan membandingkan manfaat
yang akan diperoleh setiap pihak. Khusus mengenai pertahanan, kerja sama
akan lebih menguntungkan negara sekutu yang kecil karena peningkatan
pertahanan yang kecil sekalipun oleh negara sekutu yang besar akan
merupakan tambahan perlindungan yang sangat berarti bagi sekutu kecil
tersebut. Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip
dengan masalah penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan
(assesment rate) yang proposional digunakan, setiap negara mungkin akan
diharuskan untuk membayar dalam persentase GNP atau persentase
pendapatan nasional yang sama. Jika perhitungan progresif
digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif tersebut hanya
dikaitkan dengan pendapatan per kapita dari penduduk di berbagai
negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar).
Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan
kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban
biaya ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-
kali. Prosedurnya adalah: biaya total dibagi diantara negara anggota sesuai
perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak
proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per
kapita. Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah
ketentuan seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi
minimum, dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu
negara, dengan bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh
Amerika Serikat.
Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi
dana moneter internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang
diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan
sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang
kira- kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua
kontribusi ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau
penyimpanan bagi negara tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk
NATO, yang melibatkan jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu
dasar perumusan yang ditetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada
negosiasi. Amerika Serikat merupakan penanggung terbesar atas biaya
NATO. Suatu nilai kontribusi yang mungkin melebihi bagian yang
seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu ditentukan berdasarkan
persentase GNP.

KOORDINASI STABILISASI
Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan dunia, maka nasib
suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu
negara tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan
yang dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang
kebijaksanaan stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara-negara
dengan perekonomian yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga
berlaku bagi negara dengan perdagangan luar negeri yang terkecil seperti
Amerika Serikat. Koordinasi khususnya diperlukan karena saling
ketergantungan tidak hanya menyangkut perdagangan tetapi juga aliran atau
perpindahan modal.
Perdagangan
Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap,
menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di negara A akan
menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan
perekonomian atau malaise tersebut ke negara B yang menghadapi
penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan ekspansionir,
pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya.
Timbulnya impor akan memperkecil faktor pengganda (multiplier) dan
karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, hal itu juga turut memulihkan
keadaan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu, kebijakan
suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga diperlukan
koordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara. Pengaruh
kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan diperlemah
jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Dengan naiknya impor A, nilai
mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi
sehingga membatasi atau memperkecil defisit perdagangan negara A dan
ekspor negara B. Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung
mengurangi saling ketergantungan.
Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang tetap,
kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca
perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan
kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke negara B ini tidak akan begitu
saja terjadi karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs
yang fleksibel akan mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi
gambaran ini telalu disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung
dalam sekejap dan perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor
pengganggu pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang
memerlukan kerja sama lebih lanjut.

Aliran Modal
Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan
bisa dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi,
bauran kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan
dengan aliran modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian
yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang
longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga
yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga
sebaliknya.
Peranan aliran modal menjadi penting jika kita
mempertimbangkan pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Banyak hal tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor
yang ditimbulkan tersebut. Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil,
akan terjadi peningkatan modal di negara bersangkutan yang akan tercermin
pada kenaikan produktivitas tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa
mendatang akan dikirimkan ke luar negeri, sehingga keuntungan bagi
negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan
produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.

RANGKUMAN
§ Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan
lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan
keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor
barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih
efisien. Asumsi dalam teori tersebut adalah: (1) Faktor produksi seperti
tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah, sedangkan
barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah; (2) yang
dipertukarkan adalah barang komoditi, bukannya barang yang
terdiferensiasi; dan (3) daya saing suatu negara sudah
ditentukan, tergantung sumber daya yang dipunyai. Faktor lain seperti
ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan.
Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan
komparatif.
§ Perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang
dapat mengkoordinasikan masalah-masalah penghasilan perorangan dan
perseroan lintas negara. Beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam
koordinasi pajak internasional: (1) keadilan antar perorangan; (2) keadilan
antar negara; dan (3) efisiensi
§ Berbagai struktur sistem pajak negara mempunyai dampak yang
sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara
internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak
internasional yang lazim dipergunakan yakni (1) pajak penghasilan
internasional dan (2) pajak komoditi. Dua prinsip dalam pajak
penghasilan internasional adalah (a) prinsip pajak berdasarkan asas
domisili dan (b) prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Dua
prinsip pajak komoditi yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk
pajak pertambahan nilai) yakni (1) prinsip pajak tujuan dan (2) prinsip
pajak sumber.
§ Perhitungan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor
cabang akan dianggap sebagai satu unit. Laba perusahaan anak akan
dikenakan pajak laba perseroan negara asing sehingga porsi pajak untuk
negara asal akan ditangguhkan sampai laba dikirimkan sebagai dividen.
Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan masalah jika tarif pajak
luar negeri lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan di dalam
negeri. Kondisi sebaliknya mendorong perusahaan anak
menginvestasikan kembali labanya di negara domisili. Transaksi antara
perusahaan induk dan perusahaan anak dapat menyebabkan pergeseran
laba.
§ Pajak bersama-sama kurs valas yang fleksibel mempengaruhi harga
pokok produk. Harga pokok produk yang bervariasi pada gilirannya akan
mempengaruhi pemilihan lokasi produksi. Pajak juga mempengaruhi
preferensi masyarakat akan barang substitusi. Pajak konsumsi atau pajak
tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi lokasi produksi
kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang lokal dan barang impor.
Pajak konsumsi spesifik akan melemahkan perdagangan internasional
yang efisien. Pengenaan pajak ekspor di suatu negara menimbulkan
efek distorsi yang mirip dengan bea masuk atas barang impor. Pengenaan
pajak atas produk lokal tetapi tidak terhadap produk impor akan
mereposisi lokasi produksi.
§ Tax treaty merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara
yang dibuat dalam rangka (1) mengantisipasi pemajakan ganda dan (2)
berbagai usaha penghindaran pajak. Sebagai suatu perjanjian, treaty
adalah suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain
dalam hal perlakuan perpajakan. Personal scope mengatur tentang
kepada siapa saja ketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang
bersangkutan bisa diterapkan. Tax covered mengatur tentang jenis-jenis
pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty. Tie
breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya
status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu.
§ Bentuk BUT: (1) BUT fasilitas fisik timbul karena adanya fasilitas
fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain; (2)
BUT aktivitas ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas
waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut
bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan
jasa jasa lainnya). Lamanya time test disesuaikan dengan kesepakatan
dari kedua negara; (3) BUT asuransi ditandai dengan keadaan dimana
suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di
negara lain; dan (4) BUT keagenan timbul jika terdapat agen di negara
lain yang
memiliki wewenang menentukan kontrak atau mengurus barang-
barang dagang di negara lain.
§ Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan
penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan
dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai
meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen
ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan
maka tax treaty pun dapat diberlakukan. Tax treaty dapat berakhir setelah
periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu
negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan
pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
§ Cakupan minimalisasi pajak berganda: (1) penghasilan barang-barang
tak bergerak, (2) laba usaha, (3) laba perusahaan transportasi, (4) dividen,
(5) pendapatan bunga, (6) royalti, (7) capital gains, (8) penghasilan jasa
bebas, (9) penghasilan jasa terbatas, (10) director’s fee, (11) penghasilan
artis dan olahragawan, (12) pendapatan pensiun, dan (13) gaji pegawai
negeri sipil di luar negeri.
§ Transaksi internal terjadi apabila terdapat transaksi antara pihak-pihak
di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, dimana akan ada
kecenderungan harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga
yang wajar. Pertukaran informasi antar negara dapat menjadi salah satu
senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau
penggelapan pajak. Perlakuan perpajakan yang non discrimination
mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang
bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban
pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari
negara tersebut. Mutual agreement procedure sebagai sarana untuk
memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan
interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Dalam
kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota
suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak
di negara di mana mereka berasal. Mengingat sifat perjanjiannya yang
bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang
berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara
suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat
spesifik hanya mengikat negara- negara yang terlibat dalam perjanjian
tersebut.
§ Di antara sejumlah negara terdapat kepentingan bersama yang
mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini
menyebabkan
perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Kontribusi
sesuai dengan GNP, drawing rights, dan negosiasi. Nasib suatu negara
ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Kerja sama
internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi.
Koordinasi khususnya diperlukan menyangkut perdagangan dan
perpindahan modal.
§ Menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja di suatu negara, akan
menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan
kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara lain yang
menghadapi penurunan ekspor. Kurs valuta asing yang fleksibel
cenderung mengurangi saling ketergantungan antar negara. Aliran modal
dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai
negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan
moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga
mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.
Keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa
kenaikan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor
domestik lainnya.

LATIHAN
1) Apa yang dimaksud dengan doktrin keunggulan komparatif ?
2) Mengapa dikatakan perusahaan multinasional tumbuh dengan
menyalahi doktrin keunggulan komparatif?
3) Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan
koordinasi pajak internasional!
4) Jika seorang warga negara asing melakukan investasi di
Indonesia, bagaimana pengenaan pajak yang dapat diberlakukan
terhadapnya menurut asas keadilan antar perorangan?
5) Jelaskan bagaimana terjadinya pergeseran beban pajak antar
negara dalam hal pajak produk untuk eksport dan import!
6) Jelaskan prinsip pajak berdasarkan :
a) Asas Domisili
b) Asas Sumber Pendapatan
7) Jelaskan prinsip-prinsip pajak yang mendasari pengenaan
pajak komoditi!
8) Jelaskan secara singkat aspek efisiensi koordinasi pajak produk!
9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan :
a) Destination Taxes
b) Origin Taxes
10) Jelaskan pengaruh pengenaan pajak produksi umum suatu negara dalam
ekspor, impor, dan kurs valuta asing negara tersebut!
11) Jelaskan mengapa dikatakan kurs valuta asing yang fleksibel
cenderung mengurangi saling ketergantungan dan gejolak perdagangan
di antara dua negara yang bekerja sama!
12) Apa yang anda ketahui tentang Tax Treaty dan cakupannya?
13) Jelaskan konsep Tie Breaker Rule untuk orang pribadi dan pihak ketiga!
14) Diskusikan mengapa dikatakan Tax Treaty mengalahkan UU PPh?
KEBIJAKAN DAN STRUKTUR
BELANJA PUBLIK

Bab ini akan membahas struktur belanja publik dan permasalahan


kebijakan dalam penyusunan program belanja. Sebagai penyelenggara negara,
salah satu fungsi pemerintah adalah menjadi penyedia barang dan jasa pada
sektor tertentu dan menjadi fasilitator dalam hal penyelenggaraan barang
dan jasa lain yang diadakan oleh sektor swasta.
1
Khusus dalam penyediaan public goods atau barang publik , pemerintah
dapat berperan baik sebagai penyedia maupun sebagai regulator ketika
barang publik ini diadakan oleh swasta. Adapun barang publik yang dimaksud
di sini adalah jalan raya, pelabuhan (baik laut maupun udara), listrik,
telekomunikasi, pembuangan sampah, limbah dan lain sebagainya.

1
Keterangan mengenai barang publik dapat dibaca di bab-bab awal
306 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 306
Aplikasi Publik

Dalam prakteknya, tidak ada rumus yang pasti mengenai bentuk maupun
ukuran besarnya sektor publik. Namun demikian, ada beberapa prinsip umum
yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor umum ini oleh negara,
misalnya kegagalan pasar dimana pasar tidak dapat mengalokasikan sumber
daya secara efisien dan aspek distribusi ke seluruh pelosok negara. Secara
umum dapat dikatakan bahwa perencanaan dan penerapan prioritas
pengeluaran publik serta perpaduan yang serasi antara sektor publik dan
swasta, memerlukan penjajakan yang terinci dan sangat tergantung dari
keadaan masing-masing negara.
Dalam setiap sektor, cara terbaik dengan menganalisa kebutuhan-
kebutuhan yang saling bersaing dalam masing-masing program. Tujuan
negara, potensi trade-off, dan indikator ekonomi dan sosial seperti berapa
kilometer jalan yang harus dibangun, akses ke air bersih dan sanitasi, angka
masuk sekolah, angka kematian bayi dan angka harapan hidup dapat
digunakan untuk menentukan prioritas kebutuhan-kebutuhan di berbagai
sektor.
Di bawah ini akan dibahas hal-hal yang menjadi dasar kebijakan belanja
publik serta hal-hal yang berpengaruh terhadap struktur belanja publik.

KONSEP WELFARE STATE


Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah suatu negara hampir bisa
dipastikan mempunyai landasan filosofis yang dapat ditarik ke akar
ideologisnya. Kebijakan keuangan publik pun tidak terkecuali. Kebijakan
pengeluaran publik sangat dipengaruhi oleh bagaimana suatu negara
memandang dirinya dalam hubungannya dengan rakyatnya, terutama dalam
konsep kesejahteraan atau welfare.
Konsep welfare state ini dipahami secara berbeda oleh berbagai
negara, yang menghasilkan pola pengeluaran publik yang berbeda pula.
Esping-Andersen mengkategorikan tiga jenis pokok dari welfare regime,
yaitu:
§ Corporatist regimes, berorientasi kerja dan diatur berdasarkan
kontribusi individual.
§ Social democratic regimes, mengacu pada nilai-nilai dan prinsip-
prinsip universal.
§ Liberal regimes, cenderung bersifat residualis. Sistem
residual cenderung tidak melembagakan jaminan sosial. Namun
demikian, dalam hal terjadinya kemiskinan dan ketidakmampuan
membayar jasa kesehatan, maka negara pembayaran jasa kesehatan
ini ditanggung oleh negara melalui program jaring pangaman sosial.
Sebagai contoh, kita akan melihat bagaimana konsep ini diterapkan pada
berbagai negara.

Inggris
Briggs (1961) dalam literaturnya yang terkenal mengenai belanja
publik berkaitan dengan kesejahteraan, mengidentifikasikan tiga hal
pokok dalam belanja publik yang berkaitan dengan kesejahteraan, yaitu:
§ Jaminan standar minimum, termasuk penghasilan
minimum
§ Perlindungan sosial bila
diperlukan
§ Penyediaan jasa pelayanan umum sebaik-
baiknya
Uraian Briggs ini kemudian menjadi “pakem” atau model kesejahteraan
dimana elemen kuncinya adalah perlindungan sosial, diikuti dengan
penyediaan pelayanan kesejahteraan sesuai hak warga negara. Dalam
prakteknya, kesejahteraan sosial di Inggris sangat jauh dari nilai ideal
ini. Tingkat cakupan (coverage) layanan memang tinggi, dalam arti
pelayanan ini menjangkau sekuruh masyarakat (sebagai contoh, National
Health Service berlaku bagi seluruh warga negara Inggris tanpa pandang
bulu) namun mutu pelayanan masih belum maksimal. Sedangkan
perlindungan sosial yang diselenggarakan bagi rakyat Inggris juga masih
bersifat tambal sulam.

Perancis
Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip solidaritas,
yang berarti bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab
bersama dan risiko ditanggung bersama. Sistem ini berusaha mencapai full-
coverage. Pada awalnya, hal ini dilakukan dengan memperluas jaminan sosial
yang mencakup kesehatan dan jaminan sosial lain yang bersifat ekstensif atau
mencakup semua penduduk termasuk mereka yang tadinya terpinggirkan.
Mulai tahun 1988, diperkenalkan sistem terbaru dimana jaminan
atas kebutuhan dasar ditambah dengan hal-hal lain sesuai dengan kebutuhan
masing-masing orang.
Sistem semacam ini selain kompleks juga mahal untuk dilaksanakan,
sehingga akan menimbulkan masalah pada anggaran pengeluaran publik
negara tersebut. Hal yang menjadi keprihatinan pemerintah setempat
bukanlah pengangguran, melainkan usia lanjut, karena adanya keistimewaan
yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu. Selain itu pengeluaran
untuk kesehatan masyarakat juga menjadi bermasalah dalam era
swastanisasi dan
liberalisasi dimana jasa sangat tergantung pada pasar. Karena
liberalisasi kesehatan ini menjadikan jasa pelayanan kesehatan menjadi
mahal.

Amerika Serikat
Amerika Serikat seringkali digolongkan sebagai negara yang menganut
paham liberal dalam hal penyediaan kesejahteraan bagi rakyatnya, yang
tercermin dalam konsep individualisme, laissez-faire (mengikuti arah pasar),
paham residualisme, dan pandangan miring mengenai kemiskinan. Hal-
hal tersebut di atas seringkali mewarnai debat mengenai konsep kesejahteraan
di AS.
Walaupun demikian, sistem kesejahteraan di AS tidak seragam.
Federalisme mengakibatkan banyak keputusan penting, termasuk yang
menyangkut kesejahteraan sosial, diatur di tingkat negara bagian. Sebagai
contoh, di Minnesota dan Hawaii kesehatan masyarakat dibiayai oleh negara.
Sebagai perbandingan dengan negara-negara berkembang, pemerintah pusat
memiliki peran yang terbatas dalam penyediaan kesejahteraan sosial.
Dalam prakteknya, AS memiliki sistem pluralistik, bukan sekedar liberal.
Terdapat perbedaan yang signifikan dari model residual, misalnya sekolah
negeri, jaminan sosial, maupun Veteran’s Administration menjamin
kesejahteraan lebih dari empat puluh juta jiwa. Selain aktivitas di level
pemerintah federal dan negara bagian, penyedia jaminan kesejahteraan juga
mencakup sektor swasta. Hasilnya, sistem yang ada juga kompleks dan mahal.

Negara-negara Berkembang
Masalah utama yang dihadapi oleh negara berkembang adalah kemiskinan.
Menurut World Bank, setengah dari populasi dunia hidup dengan pendapatan
kurang dari dua dollar per hari. Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan
saja berakar dari kekurangan sumber daya, tapi lebih disebabkan oleh
kurangnya entitlement:. Kelaparan terjadi bukan karena kurang pangan,
melainkan karena orang miskin tidak boleh makan makanan yang ada. Untuk
itulah perlu adanya pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi
akan memproduksi barang materil, meningkatkan persatuan dan
ketergantungan antar bangsa, yang paling penting dapat meningkatkan
entitlement. Namun pada saat yang sama, pembangunan ekonomi juga
menimbulkan korban. Pembangunan juga menjadikan orang miskin lebih
rentan, karena akar kehidupan tradisionalnya dirombak, dan selanjutnya dapat
mengakibatkan polarisasi sosial. Structural adjustment yang dipersyaratkan
oleh lembaga keuangan internasional yang bertujuan untuk mendorong
negara berkembang memasuki pasar bebas,
ternyata banyak dituding sebagai penyebab makin rentan dan tidak
terlindunginya masyarakat miskin.
Pada tahun 1980an, badan keuangan internasional yaitu IMF dan
World Bank meluncurkan suatu program yang disebut Structural
Adjustment Program (SAP) untuk membantu negara-negara berkembang
mengatasi kemiskinannya dan memasuki perekonomian pasar bebas. Program
ini terdiri atas paket pinjaman dan saran-saran tentang langkah-langkah
restrukturisasi yang harus diambil pemerintah dalam kebijakan perekonomian
negara. Salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh paket bantuan
tersebut adalah negara yang bersangkutan harus melakukan ’efisiensi’
dengan cara mengurangi anggaran pengeluaran untuk sektor-sektor yang
tidak menguntungkan (dalam hal ini adalah sektor-sektor sosial) seperti
kesehatan, pendidikan dan sektor sosial lain. Secara bertahap,
penyelenggaraan sektor- sektor tersebut dan dialihkan ke sektor swasta. Peran
negara sebagai penyelenggara dikurangi sedapat mungkin dan beralih
fasilitator bagi sektor swasta yang terlibat. Hal ini tentu saja mengakibatkan
pengeluaran negara dalam sektor publik menjadi berkurang.
Ketika paket pinjaman bersyarat ini diambil dan dilaksanakan oleh negara-
negara berkembang yang membutuhkan bantuan, memang terjadi sedikit
peningkatan pertumbuhan. Namun, dampak sosial yang semula tidak
diantisipasi ternyata sangat parah. Peningkatan pertumbuhan yang dihasilkan
oleh paket ini ternyata hanya dicapai oleh segelintir orang sedangkan
sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan akibat
dihapuskannya sebagian anggaran kesejahteraan dari anggaran pemerintah.
Pengelolaan sektor tersebut oleh pihak swasta yang bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan, mengakibatkan meningkatnya harga jual barang
dan jasa publik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa jasa tersebut hanya
dapat dinikmati oleh pihak yang mampu. Sedangkan kaum marjinal makin
terpinggirkan. Trickle down effect yang semula diyakini akan terjadi
ternyata tidak menjadi kenyataan (Sen,
1999). Hal ini kemudian diusahakan untuk diperbaiki dengan pola pinjaman
bersyarat yang baru yaitu Poverty Reduction Strategy Paper, yang menurut
banyak pihak hanya nama baru dari wajah lama.
310 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 310
Aplikasi Publik

www.globalissues.org

Pertumbuhan belanja publik sangat erat kaitannya dengan tuntutan


kemajuan masyarakat dan dikehendakinya pertimbangan sosial yang
diperankan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Dari studi
empiris di Amerika Serikat telah dibuktikan bahwa belanja publik
menunjukkan angka yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Belanja publik juga cenderung mengalami kenaikan porsinya, apabila
dibandingkan dengan total pendapatan nasional. Kajian-kajian struktur
belanja publik perlu mempertimbangkan kondisi objektif ini.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERTUMBUHAN


Dalam memahami faktor penyebab pertumbuhan belanja publik, perlu
dibedakan faktor antara belanja barang jasa dan belanja transfer. Kedua faktor
ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Faktor belanja barang dan jasa


Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa di antaranya
adalah sebagai berikut:
§ Pertumbuhan Pendapatan per Kapita
Proporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubah
sesuai dengan kenaikan pendapatan per kapita, porsi barang publik selalu
menunjukkan peningkatan. Implikasinya adalah bahwa kebijakan anggaran
yang efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelian
pemerintah terhadap pendapatan nasional.
Biasanya, peningkatan per kapita seiring dengan perkembangan
perekonomian yang berubah dari negara agraris (yang diasumsikan
berpendapatan rendah) menjadi negara industri (yang diasumsikan
berpendapatan tinggi). Permintaan barang publik akan semakin meningkat
dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Ernst Engel seperti dikutip oleh
Musgrave mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin
tinggi pengeluaran untuk barang-barang tertentu. Selama pendapatan
rata-rata
meningkat, maka pola konsumsi bagi perekonomian diharapkan
akan meningkat pula.
Untuk barang publik, kecenderungan seperti di atas mempunyai dua
kemungkinan. Barang publik yang merupakan kebutuhan dasar (bukan
kemewahan) - seperti keamanan, pendidikan dasar dan sanitasi - mengalami
kecenderungan menurun. Sedangkan kebutuhan lainnya, seperti
pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan akan mengalami kecenderungan
yang semakin meningkat bila pendapatan meningkat. Ditambah, barang-
barang pelayanan umum yang merupakan barang mewah, seperti
penyelidikan angkasa luar dan pangkalan perahu, terdapat kecenderungan
yang meningkat.
Pengamatan bisa dilakukan juga pada belanja publik dalam penyediaan
barang modal. Pada tahap awal, pembangunan ekonomi menimbulkan
kebutuhan khusus terhadap barang modal, seperti jalan, pelabuhan dan
instalasi listrik. Barang modal tersebut mempunyai manfaat yang bersifat
eksternal dimana belanja modal diperlukan dalam jumlah yang besar yang
memerlukan pengembalian jangka panjang, sehingga tidak mudah dilakukan
oleh pihak swasta. Kebutuhan akan barang modal ini harus lebih besar pada
awal pembangunan ekonomi dan peran pemerintah akan semakin menurun
dalam pengadaan barang modal, apabila sektor swasta telah terbuka
kesempatannya menanamkan modal dalam pengembangan industri.
Pola pertumbuhan belanja publik untuk penyediaan barang modal
kelihatannya terbalik tetapi pengembangan industri akan menimbulkan akibat
sampingan, seperti polusi dan kemacetan kota yang pada gilirannya
akan menyebabkan peningkatan investasi pemerintah. Akhirnya, investasi
dalam sumber daya manusia dan biaya pendidikan akan mengalami
peningkatan selama pendapatan meningkat seiring dengan laju pembangunan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diestimasikan
secara tepat kecenderungan yang akan terjadi pada belanja publik untuk
barang konsumsi dan barang modal yang diakibatkan pertumbuhan
pendapatan per kapita. Kadang kecenderungannya meningkat dan kadang
menurun.

§ Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan
porsi belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga
berubah. Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan
kepentingan penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat
eskternal besar sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan
berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil,
permintaan jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik
meningkat dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan
untuk kereta api. Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang
mengakibatkan meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga
mempercepat barang menjadi usang sehingga biaya penggantian akan
meningkat. Perubahan teknologi di masa datang yang menyebabkan
membengkaknya anggaran pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar
yang merupakan faktor penting dalam porsi pengeluaran negara, kecuali
terbukti teknologi angkasa luar menjadi barang pribadi.

§ Perubahan Populasi
Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan
kesehatan karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan
juga akan mendorong peningkatan permintaan perumahan dan penyediaan
jaminan hari tua. Peningkatan populasi yang disertai mobilitas populasi juga
mendorong pertumbuhan kota baru yang menyebabkan kebutuhan
peningkatan pelayanan umum, pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
anggaran.

§ Biaya Relatif
Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan di atas, tak kalah
penting adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran
publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi
yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam
pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi
bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan
barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional
menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi.
Meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi
belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah
barang publik dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang
elastis, kecuali bila permintaan barang publik bersifat inelastis, bisa
diestimasikan bahwa porsi belanja publik akan meningkat.

§ Urbanisasi
Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah.
Sebagai contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan
meningkatnya
kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong
meningkatnya kebutuhan barang-barang yang perlu disediakan oleh
pemerintah.

Faktor Belanja Transfer


Sejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan
nasional di Amerika Serikat meningkat seiring dengan peningkatan
pertumbuhan transfer. Contohnya adalah peningkatan asuransi hari tua.
Program ini lebih merupakan alat untuk menyediakan jaminan hari tua
dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini ditujukan untuk
menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui transfer dari
anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang ditujukan
bagi penyediaan barang dan jasa untuk kelompok berpenghasilan rendah.
Tindakan pendistribusian kembali pendapatan tersebut dapat
dipengaruhi dari dua arah. Pertama, jika terdapat ketimpangan pendapatan
oleh karena peningkatan pendapatan per kapita, penyesuaian atau perbaikan
atas ketimpangan tersebut yang perlu dilakukan. Sehingga, perubahan hanya
terjadi pada tingkat yang tidak signifikan atau distribusi pendapatan tetap
stabil dan hanya sedikit mengarah pada pemerataan.
Kedua, jika tujuan pendistribusian kembali pendapatan adalah untuk
menyesuaikan pendapatan keluarga, peningkatan pendapatan rata-rata tidak
mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali,
jika tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, kebutuhan
untuk pendistibusian kembali pendapatan akan menurun jika pendapatan rata-
rata meningkat. Tingkat pendapatan minimum ditentukan dalam pengertian
rata- rata, sehingga ruang lingkup pendistribusian kembali – yaitu transfer
pendapatan sebagai suatu persentase dari pendapatan nasional – akan tetap
konstan.
Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan dapat timbul
sebagai akibat dari faktor-faktor demografi. Apabila terjadi penurunan
pertumbuhan populasi dalam bentuk meningkatnya penduduk yang lanjut
usia, diperlukan peningkatan penyediaan kebutuhan penduduk berusia
lanjut. Namun demikian, perubahan tersebut diikuti dengan pergeseran
rasio penduduk pensiun ke usia kerja sehingga memerlukan peningkatan
dalam rasio pengeluaran publik untuk penduduk usia lanjut terhadap
pendapatan nasional. Penjelasan ini perlu dihubungkan dengan perubahan
sosial dan politik, apakah ada tekanan politis untuk mendistribusikan
pendapatan kembali atau tidak.
Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja
Publik
Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika
memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang
lain. Secara teoritis, tingkat efisien semacam itu dapat dicapai. Akan tetapi
dalam kenyataannya, proyek semacam itu sangat sulit dicapai sehingga
diusulkan agar konsep efisiensi diperlunak.

Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya $150,000 yang akan dibebankan dari general fund,
sehingga A, B, dan C harus membiayai masing-masing senilai $50,000. Manfaat yang akan diperoleh A
dan B masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah $180,000.
Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, dikatakan bahwa proyek tersebut layak dibangun,
meskipun C mengalami kerugian. Pada kasus ini, prinsip pareto optimum dilanggar.

Namun demikian, dengan memperlunak konsep, efisiensi proyek tetap ada


apabila orang-orang yang diuntungkan (A dan B) dapat menutupi kerugian
pihak lain ( C ) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan
tidak ada proyek. Berdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih
senilai
$30,000 dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam
kenyataan,
pihak C tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti.
Perlu diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien
yaitu bahwa penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan dalam
bentuk transfer dari A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung
bagaimana mendefinisikan efisiensi tersebut.
Cara yang lebih tepat adalah mendistribusikan beban pajak sedemikian
rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih dan kondisi ini
menghasilkan proyek yang efisien menurut prinsip pareto optimum. Problem
utamanya adalah preferensi seseorang tidak mudah untuk diungkapkan dan
mungkin saja proyek tersebut tidak efisien.

Aspek Keadilan
Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan
mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam
menentukan kebijakan proyek.
Petimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah bobot distribusi
dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang pertama,
dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan dimana kedua proyek
mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana
terbatas untuk satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan.
Proyek I,
dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat
berpenghasilan tinggi dan proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman
serupa untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan
timbul dalam menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut.
Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan,
masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih
tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka
mampu membayar lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak.
Tetapi, pertimbangan sosial dapat menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah
yang dibelanjakan oleh masyarakat miskin dapat dinilai lebih tinggi
sehingga proyek II akan dipandang lebih layak.
Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang
didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi
sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial
yang tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi
swasta dan proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan
kecocokan dengan konsep efisiensi yang lebih luas.
Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang
berbeda. Dimisalkan akan dibangun sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang
upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya rendah. Misalkan juga biaya
modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah.
Tanpa mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai manfaat bersih lebih tinggi.
Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan
manfaat kepada mereka yang berpenghasilan rendah.
Dapat disimpulkan, jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan
bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan
sebagai alat pengoreksi aspek distribusi.
Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung
pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot
ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau
bobot dapat diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan
asumsi bahwa dalam menerapkan tarif pajak, pemerintah bermaksud
mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
prinsip pengorbanan yang sama.

Risiko Perubahan Perekonomian


Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko
ketidakpastian manfaat di masa akan datang akan mengurangi nilai sekarang
dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi
pemerintah. Hasil yang berisiko dapat diestimasikan dengan cara
pembobotan
berbagai hasil berdasarkan angka probabilitasnya dimana jumlah probabilitas
adalah sama dengan satu. Penjumlahan hasil tertimbang ini kemudian akan
digunakan dalam analisis nilai manfaat yang diharapkan.
Risiko perubahan perekonomian mempunyai implikasi perlunya
pendiskontoan atas manfaat maupun biaya, karena adanya dimensi
waktu. Evaluasi proyek jangka panjang perlu mempertimbangkan dinamika
perkembangan perekonomian yang berkaitan dengan harga relatif
dan pengaruh distorsi harga. Akibatnya, analisis manfaat biaya harus dibuat
dalam berbagai alternatif saat dimulainya proyek. Pengaruh penundaan satu
tahun akan menyebabkan perubahan nilai sekarang atas perhitungan neto
manfaat dan biaya.

KLASIFIKASI BELANJA PUBLIK


Klasifikasi belanja publik dapat dikategorikan berdasar berbagai macam
kriteria. Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan
belanja pemerintah adalah seperti diuraikan dalam Government Finance
Statistics Manual. Klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah adalah
sebagai berikut:

1. Belanja Jasa Publik Umum


Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini antara lain belanja
operasi untuk organisasi eksekutif dan legislatif, belanja untuk jasa-jasa
umum, belanja riset dasar, belanja transaksi hutang, dan belanja
administrasi transfer antar unit pemerintah.
2. Belanja Pertahanan
Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain belanja pertahanan
militer dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan
sebagainya.
3. Belanja Perlindungan Umum
Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, di
antara contohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran,
jasa pengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk
perlindungan publik.
4. Belanja Urusan Ekonomi
Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan
ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan
dan
pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi,
komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya.
5. Belanja Perlindungan Lingkungan
Belanja yang termasuk di sini diantaranya adalah belanja pengelolaan
limbah dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota.
6. Belanja Perumahan dan Public Utilities
Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan
dan pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan
jalan, dan pekerjaan-pekerjaan umum lainnya.
7. Belanja Kesehatan
Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan,
jasa kepada pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya.
8. Belanja Rekreasi, Budaya dan Agama
Di antara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa
olahraga dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa
urusan keagamaan dan komunitas, dan lain-lain.
9. Belanja Pendidikan
Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung
pendidikan lainnya.
10. Belanja Perlindungan Sosial
Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja
perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan
anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja
sosial lainnya.

Belanja Publik dan Prinsip Keadilan


Dalam praktek penyelenggaraan negara, terutama negara-negara berkembang yang memiliki
sumber daya terbatas, seringkali terjadi pertentangan kepentingan antara keinginan untuk
menghapuskan kemiskinan dengan kemampuan keuangan negara yang bersangkutan untuk
mendanai proyek-proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan tersebut. Sehingga, satu hal
penting yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki aspek distribusi. Dalam hal ini,
pengeluaran publik yang tepat tentu saja akan membantu, namun harus diingat bahwa anggaran
pengeluaran juga sangat terbatas. Sebagai akibatnya, pemerintah menghadapi adanya permintaan
yang saling bersaing dan juga perdebatan apakah pola pengeluaran publik yang diterapkan dapat
benar-benar memenuhi tujuan distribusi.
1. Secara umum, World Bank menggarisbawahi tiga pertanyaan penting yang harus dihadapi
oleh pemerintah, yaitu: Apakah inti dari tujuan distribusi dari pengeluaran publik?
2. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan publik dengan anggaran yang terbatas?
3. Bagaimana menilai dampak pengeluaran publik bagi masyarakat?
Inti dari tujuan distribusi dari pengeluaran publik
adalah:
§ Mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum
miskin/marginal. Peran pemerintah dalam penyediaan beberapa jenis
barang dan jasa tidak dapat dipungkiri, karena tanpa campur tangan
pemerintah ketersediaan barang dan jasa tersebut tidak dapat terpenuhi.
Dengan demikian, peran pemerintah merupakan kunci keberhasilan
pertumbuhan ekonomi secara utuh, yang juga menjangkau rakyat miskin.
§ Membantu mereka yang terpinggirkan/tertinggal dalam proses
pertumbuhan ekonomi. Mungkin akan makan waktu agak lama bagi
beberapa kelompok masyarakat untuk dapat berperan serta dalam
pembangunan; misalnya kelompok lanjut usia dan penderita cacat fisik,
yang bahkan memang tidak akan mungkin dapat berpartisipasi dalam
pembangunan. Kelompok inilah yang memerlukan perhatian khusus.
Selain itu, mungkin juga ada masalah kesenjangan pembangunan antara
daerah yang satu dengan lainnya.
§ Membantu mengatasi masalah kerentanan (vulnerability). Pendapatan
seseorang/keluarga dapat berfluktuasi sepanjang waktu, terutama pada
perekonomian pedesaan, dimana consumption smoothing juga tidak
sempurna. Sehingga, kaum miskin sangat rentan terhadap risiko yang
disebabkan oleh perubahan cuaca, perubahan harga maupun
hancurnya dukungan masyarakat setempat selama terjadinya krisis.

Bagaimana caranya agar belanja publik dapat memenuhi ketiga kriteria ini dengan sumber daya yang
terbatas?
Jawaban yang sering diberikan bagi pertanyaan ini adalah “targeting”, yaitu dengan mengarahkan
belanja publik untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan: yang miskin,
yang tertinggal, yang terbelakang dan yang rentan terhadap risiko. Mereka inilah yang menjadi target
group dari kebijakan belanja publik tertentu. Dalam prakteknya, pendekatan targeting dapat
dikategorikan menjadi dua hal. Pertama adalah broad targeting atau pentargetan secara luas. Dalam hal
ini, kaum marjinal tidak menjadi target secara individual, namun mereka dijangkau melalui pentargetan
jasa atau komoditi yang paling banyak mereka konsumsi. Contoh yang paling sering digunakan adalah
dengan mentargetkan jasa sosial dasar, seperti pendidikan dasar dan kesehatan masyarakat, serta
infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi. Yang juga sering dilakukan adalah dengan
mentargetkan aktivitas pembangunan pedesaan.
Pendekatan kedua, yaitu targeting secara sempit, dilakukan dengan menargetkan individu atau keluarga
yang masuk kategori miskin. Misalnya dengan melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial yang
diadakan setelah Indonesia mengalami krisis moneter, pemberian susu dan makanan tambahan bagi
balita miskin, program kredit mikro yang ditujukan bagi wanita pedesaan, proyek padat karya serta
pembangunan daerah tertinggal.
Masing-masing pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan selalu ada pihak yang
sebenarnya tidak termasuk target namun mendapatkan manfaat, ataupun yang sebenarnya harus
dibantu namun tidak mendapat bantuan. Tidak ada aturan yang baku tentang mana yang lebih baik
antara kedua pendekatan ini. Biasanya yang efektif adalah kombinasi keduanya. Kebijakan yang tepat
akan sangat tergantung pada peta kemiskinan, tujuan kebijakan, serta keadaan spesifik dari negara
yang bersangkutan seperti tingkat kemampuan administratif, pembangunan infrastruktur, ekonomi
politis, serta hambatan-hambatan lain dalam instrumen kebijakan.

Bagaimana kita bisa mengukur dampak dari kebijakan publik?


Informasi mengenai dampak distribusi, terutama bagaimana rakyat miskin bisa mendapatkan manfaat
pembangunan, dapat membantu untuk memilih prioritas belanja publik. Para ekonom serta para peneliti
lain secara berkala mengevaluasi dampak distribusi dari kebijakan belanja publik. Banyak
keputusan/kebijakan yang ada dibuat berdasarkan pengukuran kuantitatif dari dampak belanja publik
untuk standar hidup, terutama bagi masyarakat miskin. Sampai seberapakah pengukuran ini dapat
diandalkan? Metode-metode pengukuran yang ada dapat diklasifikasikan sebagai "benefit incidence
studies" (Demery 1997, van de Walle 1998a) dan "behavioural approaches" (Grossman 1994, dan van
de Walle 1998a untuk tinjauan ini). Hammer et al. (1995) menguraikan cara untuk menggunakan kedua
pendekatan ini agar saling melengkapi.
Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Misalnya, benefit incidence analysis terfokus
pada manfaat rata-rata dari belanja publik dimana kesimpulan kebijakan atas reformasi belanja publik
didasari oleh dampak atas margin perubahan tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku (behavioural
approaches) menggunakan ekonometri maupun metode eksperimental. Ekonometri sendiri, bila tidak
hati-hati digunakan bisa menimbulkan bias pada perkiraan dampak dari proyek pembangunan.

Tabel 13.1. Prioritas Belanja Publik Berbagai Negara


Belanja Pendidikan Belanja Kesehatan Belanja militer Total debt
(% dr GDP) (% dr GDP) (% dr GDP) service
(% dr GDP)

HDI rank 1990 1999-2001 1990 2001 1990 2002 1990 2002

High human
development
1 Norwegia 7.1 6.8 6.4 6.8 2.9 2.1 .. ..
2 Swedia 7.4 7.6 7.6 7.4 2.6 1.9 .. ..
3 Australia 5.1 4.6 5.3 6.2 2.1 1.9 .. ..
4 Kanada 6.5 5.2 6.8 6.8 2 1.2 .. ..
5 Belanda 6 5 5.7 5.7 2.5 1.6 .. ..
8 Amerika Serikat 5.2 5.6 4.7 6.2 5.3 3.4 .. ..
9 Japan .. 3.6 4.6 6.2 0.9 1 .. ..
12 Inggris 4.9 4.6 5.1 6.3 4 2.4 .. ..

Medium human
320 Keuangan Publik: Teori dan Bab 14: Kebijakan dan Struktur Belanja 320
Aplikasi Publik

development

59 Malaysia 5.2 7.9 1.5 2 2.6 2.4 9.8 8.5


76 Thailand 3.5 5 0.9 2.1 2.3 1.4 6.2 15.6
83 Filipina 2.9 3.2 1.5 1.5 1.4 1 8.1 11.8
90 Yordania 8.4 4.6 3.6 4.5 9.9 8.4 15.6 6.3
111 Indonesia 1 1.3 0.6 0.6 1.8 1.2 8.7 9.8
127 India 3.9 4.1 0.9 0.9 2.7 2.3 2.6 2.6

Low human
development
142 Pakistan 2.6 1.8 1.1 1 5.8 4.7 4.8 4.8
145 Lesotho 6.1 10 2.6 4.3 4.5 2.7 3.8 9.4
148 Kenya 6.7 6.2 2.4 1.7 2.9 1.7 9.2 3.7
171 Mozambique 3.9 2.4 3.6 4 10.1 2.4 3.2 2.1
173 Burundi 3.4 3.6 1.1 2.1 3.4 7.6 3.7 3.2

Sumber: Human Development Report, UNDP 2004.

RANGKUMAN
§ Sebagai penyelenggara negara, salah satu fungsi pemerintah
adalah menjadi penyedia barang jasa pada sektor tertentu dan fasilitator
jika penyelenggaraan barang jasa diadakan oleh swasta. Khusus dalam
penyediaan barang publik, pemerintah dapat berperan sebagai
penyedia dan regulator jika barang publik diadakan oleh swasta.
§ Prinsip umum yang dapat dijadikan alasan penyelenggaraan sektor
umum oleh negara yaitu market failure (kegagalan pasar dimana pasar
tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien) dan aspek
distribusi ke seluruh pelosok negara.
§ Kebijakan pengeluaran publik dipengaruhi oleh konsep welfare state
yaitu bagaimana suatu negara memandang dirinya dalam hubungannya
dengan rakyatnya mengenai kesejahteraan.
§ Esping-Andersen mengkategorikan tiga jenis pokok dari welfare
regime: (a) corporatist regimes, (b) social democratic regimes, (c) liberal
regimes
§ Konsep welfare state di Inggris sebagaimana dikemukakan oleh
Briggs menekankan pada perlindungan sosial dan penyediaan pelayanan
kesejahteraan . Tiga hal pokok dalam belanja publik yang
berkaitan
dengan kesejahteraan yaitu: (a) jaminan standar minimum termasuk
penghasilan minimum, (b) perlindungan sosial bila diperlukan, (c)
pelayanan jasa pelayanan umum sebaik-baiknya.
§ Sistem kesejahteraan di Perancis dirancang berdasarkan prinsip
solidaritas, bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab
bersama dan risiko ditanggung bersama.
§ Amerika Serikat menganut paham liberal dalam hal
penyediaan kesejahteraan yang tercermin dalam konsep individualisme,
laissez-faire (mengikuti arah pasar), paham residualisme, dan pandangan
miring mengenai kemiskinan. Namun, tiap negara bagian mengatur
sistem kesejahteraannya masing-masing sehingga Amerika memiliki
sistem pluralistik.
§ Negara-negara berkembang mempunyai masalah utama yaitu kemiskinan.
Amartya Sen berpendapat bahwa kemisikinan bukan saja terjadi
karena
kekurangan sumber daya tetapi juga kurangnya entitlement, karena itulah
diperlukan pembangunan ekonomi. Structural Adjustment Program (SAP)
yang dibuat oleh badan keuangan internasional yaitu IMF dan World
Bank untuk membantu negara-negara berkembang menyebabkan
pengeluaran negara dalam sektor publik berkurang dan dialihkan ke
sektor swasta, sehingga harga jual barang dan jasa semakin meningkat.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir orang dan
sejumlah besar lainnya justru terjerumus ke jurang kemiskinan.
§ Faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dibedakan atas
(a) faktor belanja barang dan jasa dan (b) faktor belanja dari transfer
porsi pendapatan.
§ Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa antara lain:
(a) pertumbuhan pendapatan per kapita, (b) perubahan teknologi,
(c) perubahan populasi, (d) biaya relatif, (e) urbanisasi
§ Belanja transfer merupakan distribusi pendapatan (transfer
pendapatan sebagai suatu persentase dari pendapatan nasional), yang
dipengaruhi oleh dua arah, yaitu: (a) Distribusi pendapatan yang
dilakukan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan karena peningkatan
pendapatan per kapita. Jika dilakukan penyesuaian atau perbaikan atas
ketimpangan tersebut, maka perubahan tidak signifikan dan distribusi
pendapatan tetap stabil. (b) Distribusi pendapatan yang dilakukan untuk
menyesuaikan pendapatan keluarga. Jika pendapatan rata-rata meningkat,
tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan.
Kecuali tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan,
jika pendapatan rata-rata
meningkat maka kebutuhan untuk pendistribusian kembali
pendapatan akan menurun.
§ Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien
jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak
merugikan orang lain. Pada kenyataannya prinsip ini sangat susah dicapai,
sehingga cara yang paling tepat adalah dengan mendistribusikan beban
pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian
bersih.
§ Aspek keadilan dalam belanja publik untuk menentukan kebijakan
proyek dipengaruhi oleh pertimbangan sebagai berikut: (a) Distribusi
pendapatan, seberapa besar manfaat yang dapat diberikan bagi mereka
yang berpenghasilan rendah. Jika distribusi pendapatan optimal,
penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen akan
dipandang layak dari segi sosial. Tetapi jika distribusi pendapatan
tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-
manfaat dapat digunakan. (b) Fungsi obyektif, sebagai alat untuk
menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan
sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di
masa lalu.
§ Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan
risiko ketidakpastian manfaat di masa yang akan datang akan mengurangi
nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran
investasi pemerintah. Analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai
alternatif untuk mengatasi risiko perubahan ekonomi ini.
§ Government Finance Statistics Manual menguraikan klasifikasi belanja
menurut fungsi pemerintah sebagai berikut: (a) belanja jasa publik umum,
(b) belanja pertahanan, (c) belanja pertahanan, (d) belanja perlindungan
umum, (e) belanja urusan ekonomi, (f) belanja perlindungan
lingkungan, (g) belanja perumahan dan public utilities, (h) belanja
kesehatan, (i) belanja rekreasi, budaya, dan agama, (j) belanja
pendidikan, (k) belanja perlindungan sosial.
§ Inti dari distribusi pengeluaran publik, yaitu: (a)
mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum
miskin/marginal, (b) membantu mereka yang terpinggirkan/tertinggal
dalam proses pertumbuhan ekonomi, (c) membantu mengatasi masalah
kerentanan (vulnerability).
§ Cara memenuhi kebutuhan publik dengan anggaran yang terbatas
adalah dengan melakukan “targetting” yaitu mengarahkan belanja publik
untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan,
terdapat dua pendekatan: (a) broad targetting atau pentargetan secara luas,
pentargetan jasa atau komoditi yang paling banyak dikonsumsi,
(b)
targetting secara sempit, menargetkan individu atau keluarga yang
masuk kategori miskin.
§ Informasi mengenai dampak distribusi yang dapat membantu
untuk memilih prioritas belanja publik dapat diperoleh dengan melakukan
dua metode pengukuran, yaitu: (a) benefit incidence studies, terfokus pada
manfaat rata-rata dari belanja publik dimana kesimpulan kebijakan
atas reformasi belanja publik didasari oleh dampak atas margin
perubahan tersebut, (b) behavioural approaches (pendekatan perilaku),
menggunakan ekonometri maupun metode eksperimental.

LATIHAN
1. Sebutkan faktor-faktor penyebab pertumbuhan belanja publik dari :
a. faktor belanja dan jasa,
b. faktor pengeluaran dari transfer posisi pendapatan.
2. Jelaskan mengapa pertumbuhan pendapatan per kapita bisa
membuat belanja publik mengalami peningkatan dan dapat juga
mengalami penurunan!
3. Mengapa meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, tetapi
bukan berarti belanja publik dalam pendapatan nasional meningkat?
4. Mengapa perubahan biaya jasa publik berpengaruh terhadap
belanja publik?
5. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan, dan sebutkan apa
saja yang mempengaruhinya!
6. Apa yang dimaksud dengan prinsip Pareto Optimum?
7. Bagaimana membuat efisiensi proyek tetap ada walaupun ada pihak
yang dirugikan?
8. Apa yang dimakud dengan kondisi distribusi optimal?
9. Apa manfaat fungsi objektif dan apa yang dimaksud bobot?
10. Sebutkan klasifikasi belanja publik menurut fungsi pemerintah!
11. Bagaimana cara mengestimasi manfaat dari hasil yang berisiko?
12. Mengapa analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif
saat dimulainya proyek?
13. Sebutkan yang termasuk dalam belanja urusan ekonomi!
14. Sebutkan yang termasuk dalam kategori belanja pertahanan!
15. Bagaimana jika distribusi pendapatan tidak optimal?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK
SEKTOR-SEKTOR UMUM

Dalam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta
masalah- masalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis
belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan dan
perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.

PERLUNYA ANALISIS SEKTOR


Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran publik kepada
sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada
klasifikasi Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di
berbagai negara. Sehingga, pendekatan pengelompokan sektor diasumsikan
mengacu pada laporan-laporan Bank Dunia, untuk lebih fokus pada
pembahasan materi.
326 Keuangan Publik: Teori dan Bab 15: Kebijakan Belanja Publik Sektor-sektor 326
Aplikasi Umum

Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan:


§ Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk
seluruh perekonomian.
§ Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan
sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan
ekonomi negara.
§ Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek-
proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan.
§ Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan publik.
Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan,
prioritas, dan hubungan antar sektor di antara proyek dan program yang
dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan
penerjemahan tujuan dan kebijakan sektor ke dalam kebutuhan sektor dan
subsektor secara individual dan juga ke dalam rincian yang lebih detail pada
proyek-proyek tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk
menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional,
program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek
individu.
Ada beberapa cara atau metode yang dapat digunakan dalam analisis sektor:
§ Melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis
pengaruh terhadap sektor, subsektor dan proyek, variabel-variabel
kebijakan umum seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan
tingkat bunga.
§ Analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja,
dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai masukan
bagi keputusan badan perencana mengenai program dan prioritas investasi
nasional.
§ Analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek
individu terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan
prioritas sektor, perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi
baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro.

PERTAHANAN NASIONAL
Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional
merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun
akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade
tersebut,
belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam
pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi
belanja personel, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa,
penelitian dan pengembangan.

Masalah Utama dalam Belanja


Pertahanan
Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya
dan proteksi yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh
penyediaan jasa pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas.
Belanja pertahanan selain menghadapi masalah yang kompleks dalam
perencanaan, juga melibatkan masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti
kesediaan untuk menerima risiko konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan
dapat dipandang sebagai kebijakan subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja
memandang kebijakan tersebut defensif, tapi orang lain dapat berpandangan
bahwa kebijakan tersebut ofensif. Keputusan politik memegang peranan
sangat penting dalam menentukan pola kebijakan pertahanan ini meskipun
menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan.
Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan darat,
laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu.
Yang paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan
keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang
lingkup nasional, regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan
militer tidak hanya meningkatkan akibat pengrusakan tetapi juga bisa
mencegah konflik yang menimbulkan pengrusakan.

Efektifitas Biaya Modernisasi Kekuatan


Strategis
Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan
perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin.
Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan,
apakah harus memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus
membangun kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai
dari land- based missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations
Strategic Defensive Initiative (sering disebut perang bintang) sampai sekarang
masih dipertentangkan oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat
tinggi. Dengan melihat anggaran pertahanan Amerika Serikat saat ini, sangat
sulit memperkirakan apakah akan ada pembatasan persenjataan strategis
dengan melakukan pemotongan anggaran, mengingat peran Amerika
dalam perang
melawan terorisme sangat besar bahkan menjadi sponsor bagi program
internasional ini.

Dampak Terhadap Industri


Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit
anggaran pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perkenomian negara
layak dilakukan pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya
pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan
produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari
permintaan swasta untuk barang konsumsi dan perumahan kepada pembelian
pemerintah untuk sektor pertahanan. Industri pertahanan mencakup sektor
manufaktur, seperti aerospace, pabrik pembuatan kapal laut, dan pabrik
persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini secara nyata juga
mendukung kesempatan kerja di sektor swasta.

Dampak Terhadap Pertumbuhan


Produktivitas
Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan
pertahanan nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan
pertumbuhan produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan
oleh sektor pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta - seperti komputer -
namun di lain pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan
menyebabkan industri swasta tersebut ke arah penurunan. Bukti empiris
menunjukkan bahwa negara dengan persentase belanja pertahanan terhadap
pendapatan nasionalnya kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata
mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan
negara dengan persentase belanja pertahanan yang lebih besar, seperti
Amerika Serikat. Pertumbuhan produktivitas jangka panjang akan tergantung
pada peningkatan jumlah orang berbakat ilmiah dan kontribusi anggaran
dalam peningkatan aktivitas ilmiah tersebut.

BELANJA PERTAHANAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN


Perang di Irak dan di Afganistan, konflik antara Israel dan Palestina serta adanya serangan teroris di seluruh
penjuru dunia (terutama setelah serangan menghebohkan pada tanggal 9 September 2001 yang terkenal dengan
insiden 9/11) telah menjadi berita utama di seluruh surat kabar dunia. Sementara itu, ketidakstabilan makin terasa
di dunia ini, Millenium Development Goals (yang dicanangkan untuk mengurangi kemiskinan di dunia menjadi
50% dari jumlah sekarang pada tahun 2015) dan program-program penghapusan kemiskinan terasa
terpinggirkan. Hanya sedikit yang menghubungkan bahwa sebetulnya peningkatan belanja pertahanan telah
menciutkan sumber daya yang seharusnya disediakan untuk pembangunan. Tahun 2004 telah ditandai dengan
meningkatnya belanja
pertahanan dan militer seluruh dunia dan kurangnya pengeluaran untuk mengatasi tantangan kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan manusia.
Setelah berakhirnya perang dingin, antara tahun 1988 sampai dengan 1998, belanja pertahanan dan militer seluruh
dunia mengalami penurunan drastis selama sepuluh tahun. Setelah 1998 sampai buku ini dibuat tahun 2005, total
belanja pertahanan dan militer telah mengalami kenaikan kembali, dengan trend yang terus meningkat.
Antara tahun 1998 dan 2002, belanja pertahanan seluruh dunia telah meningkat sebanyak US$ 800 milyar, dan
tahun 2003 diperkirakan total belanja pertahanan dan militer melebihi satu trilyun dolar AS.
Perang Irak yang diawali dengan serangan Inggris dan Amerika Serikat ke Irak telah menambahkan total belanja
pertahanan dan militer secara signifikan, dan pertambahan ini didominasi oleh kenaikan belanja pertahanan dan
militer Amerika Serikat, yang disinyalir mencapai tiga perempat dari total kenaikan belanja pertahanan dan militer
dunia antara tahun 1996 dan 2002. Lima belas negara yang belanja pertahanan dan militernya teratas di dunia
adalah negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis dan Jerman. Namun demikian, India
dan Cina yang termasuk negara berkembang telah meningkatkan belanja pertahanan dan militernya sebanyak 18%
dan
9%.
Apabila kita melihat perbandingan antara belanja pertahanan terhadap sumber daya nasional, banyak negara
berkembang yang membelanjakan lebih besar bagian dari sumber daya nasionalnya untuk belanja pertahanan
dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut di atas. Pada tahun 2003, Amerika Serikat membelanjakan 6%
dari GDPnya untuk belanja pertahanan dan militer. Namun demikian, pada tahun 2001 lima negara Timur Tengah
yaitu Israel, Kuwait, Yordania, Saudi Arabia membelanjakan lebih dari jumlah tersebut, yaitu antara 8% sampai
13% dari GDP mereka untuk militer. Burundi dan Ethiopia juga membelanjakan lebih dari AS, yaitu 8% dan
6.2% dari GDP mereka untuk militer.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara berkembang tersebut di atas baru saja keluar dari kemelut
dan peperangan. Namun demikian, belanja pertahanan dan militer dalam jumlah besar ini tetap merupakan satu hal
yang menjadi keprihatinan pemerhati negara berkembang. Belanja pertahanan dan militer merupakan masalah
pembangunan, baik dari sisi kemanusiaan maupun sisi ekonomis. Dari sisi kemanusiaan, belanja militer
mengganggu belanja pendidikan, kesehatan dan pembangunan sosial. Dari sisi ekonomis, antara lain perlu dicatat
bahwa pada negara-negara miskin, peningkatan belanja militer dalam persentase atas GDP berhubungan dengan
melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Dividen Perdamaian
Sama dengan yang dilakukan oleh banyak negara lainnya, Amerika Serikat menandai akhir perang dingin dengan
pengurangan besar-besaran atas belanja militernya pada tahun 90an. Pada saat yang sama, negara ini juga
mengurangi belanja pemerintah, yang menyebabkan banyak orang merasa bahwa dividen perdamaian tidak
terlaksana. Namun demikian, analisa yang cukup terpercaya mengungkapkan bahwa pengurangan belanja
militer AS mengakibatkan menurunnya defisit pemerintah dan tingkat bunga pada tahun 90an.
Pengurangan defisit ini merupakan pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi AS tahun 90an, yang membuat
era ini merupakan masa terpanjang bagi pertumbuhan ekonomi AS. Pertumbuhan ini telah memberikan dampak
positif terhadap perekonomian global, membuat AS menjadi lokomotif ekonomi dunia, dimana hal ini sangat
menguntungkan (baik secara nyata maupun secara potensial) negara-negara miskin. Dampak menguntungkan dari
pengurangan belanja pertahanan AS ini sebetulnya akan dapat lebih dinikmati oleh negara-negara miskin
kalau saja Bretton Woods Institution (World Bank dan IMF) tidak memaksakan kebijakannya, juga bila tidak ada
konflik lokal di tingkat regional negara-negara miskin tersebut.
Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh IDS, belanja militer AS untuk perang di Irak dan di Afganistan telah
membuat anggaran belanja AS defisit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prospek perekonomian AS dan
seluruh dunia tampaknya tidak begitu baik, mengingat bahwa peningkatan belanja militer di satu negara di
dunia akan mempunyai dampak terhadap kesejahteraan dan penghidupan bangsa lain (yang bukan saja
bersumber dari serangan yang dilancarkan oleh negara yang belanja militernya meningkat tersebut terhadap
bangsa lain).
Namun demikian, masalah pokok tidak hanya terdapat pada terlalu banyaknya uang yang dibelanjakan untuk
peralatan dan personel militer. Apabila tujuan utama dari belanja publik adalah untuk meningkatkan keamanan dan
pembangunan manusia, uang tersebut seringkali dibelanjakan ke tempat yang salah. Selama beberapa puluh
tahun terakhir ini, sifat ketidakamanan (insecurity) telah berubah. Insecurity tidak lagi terutama bersumber dari
negara
tetangga karena masalah pertikaian perbatasan dengan negara tetangga sebagai musuh yang jelas.
Ancaman utama saat ini lebih banyak merupakan ancaman terhadap human insecurity, yang terdapat dalam bentuk
kejahatan perkotaan, HIV/AIDS, pengungsian, dan kekerasan berbasis gender, malaria, TBC, bencana alam
dan lain-lain yang bersumber dari berbagai hal namun memiliki dampak yang sama: membuat hidup banyak orang
terancam dan menjadi makin rentan.
Dengan berubahnya konteks permasalahan, maka respon yang diberikan tentunya juga harus berubah. Perlucutan
senjata dan pembangunan masa kini memerlukan pendekatan baru, yang berkaitan dengan ancaman baru
(dan terus berubah) terhadap keamanan, terhadap faktor-faktor baru, juga untuk menyikapi kenyataan masa kini
dimana hanya ada satu negara adikuasa. Karena itulah, saat ini pemerintah baik negara maju maupun negara
berkembang perlu mengalokasikan sumber dayanya untuk mengatasi tantangan yang paling mengancam
kesejahteraan warganya. Pendekatan ini dikenal dengan nama human security approach.
Human security approach inilah yang mendasari banyak lembaga non pemerintah internasional seperti Oxfam
International mengadakan kampanye untuk mengingatkan pemerintah negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Inggris untuk tidak menjual peralatan militer kepada negara-negara berkembang, dengan alasan bahwa akan
jauh lebih bermanfaat bagi negara-negara ini apabila dana tersebut dialokasikan ke sektor kesejahteraan. Namun
demikian, banyak pihak juga mengecam tindakan beberapa negara donor yang mempersyaratkan negara
berkembang untuk melakukan pengurangan senjata dan pengurangan belanja militer dan pertahanan, tanpa
memperhatikan dan mengatasi akar masalah dari tingginya belanja militer: lemahnya pemerintahan, dominasi
militer dalam pengambilan keputusan dan tidak adanya pertanggungjawaban publik.
Hal yang mutlak untuk dilaksanakan adalah menganalisa dengan menjabarkan berbagai pilihan yang tersedia
untuk mengalokasikan sumber daya. Setiap negara perlu memilih mana yang akan dijadikan prioritas,
setelah menimbang-nimbang berbagai kombinasi pilihan yang paling tepat untuk mengatasi human insecurity. Di
pihak lain, negara produsen peralatan militer perlu juga menimbang-nimbang antara pentingnya memperoleh
pendapatan dari penjualan senjata dibandingkan dengan komitmen mereka untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan.
Analisa semacam ini tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Namun pengalaman negara seperti Costa Rica
dapat dijadikan contoh, dimana negara tersebut merasakan manfaat yang besar dari menghapuskan belanja militer
dan mengalokasikannya secara langsung kepada sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lain yang berkaitan
langsung dengan pembangunan manusia.

JALAN RAYA
Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga
hal yaitu:
§ Kerjasama yang rapi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
antar pemerintah daerah lainnya.
§ Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.
§ Perkiraan pajak yang besar.

Kerjasama Antar Unit Pemerintah


Pengeluaran untuk jalan raya di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan
pada tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian
yang lain dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir
seluruh penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah di
bawahnya dan sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan
pemerintah lokal bertanggung jawab terhadap jalan raya di daerahnya.
Pembagian kerja dan
pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik
federal, negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya.

Pembiayaan Melalui Pungutan Kepada


Pemakai
Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk
tingkat federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu
penghasilan
yang ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar
pemerintahan. Pada tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya
diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor, yang selanjutnya
dipakai untuk membangun jalan negara bagian dan sebagian lainnya
ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant. Sedangkan pada tingkat
pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund, yang salah satunya
berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal serta dari
pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarif tol tidak terlalu
siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.

PENDIDIKAN
Anggaran pendidikan di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh
pemerintah lokal dan negara bagian meskipun pengendalian sistem
pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang
disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi
terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga
ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar
karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus
disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai
pendidikan juga meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.

Masalah-Masalah Kebijakan Pendidikan


Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang
seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses
pengajaran berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan
apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga
pendidikan swasta juga.
Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup memadai
dalam merancang struktur fiskal masing-masing dan dalam
mengendalikan
pemerintah lokal yang secara langsung bertanggung jawab dalam penyediaan
pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di negara
bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap warga
negara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan.
Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa
pendidikan harus sebanding di seluruh negara bagian.
Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh pemerintah
melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang perlunya
monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien akan
dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga
pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa
pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh
pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa
pendidikan harus disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan
mengharapkan pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar
minimum.
Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat kualitas
pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah
swasta perlu didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang
sehat oleh pemerintah.
Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan tetapi merupakan persoalan politik.
Studi yang dilakukan oleh Institute of Development Studies di Inggris pada tahun 2004 menganalisa
belanja publik bagi sektor pendidikan di subSaharan Afrika dan Asia Selatan, dengan fokus utama pada
pendidikan dasar. Studi ini menemukan bahwa tingginya angka masuk sekolah berkaitan tidak hanya
pada belanja publik untuk pendidikan dasar melainkan juga dengan adanya unit cost yang jelas dan
sederhana. Karena itulah, agar pendidikan dasar dapat dicapai oleh semua anak usia sekolah, perlu
adanya komitmen pemerintah untuk mereformasi belanja publik dan sektor swasta, meningkatkan
efisiensi, serta memberikan prioritas yang tinggi terhadap pendidikan dasar.

FASILITAS REKREASI
Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi
pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti
keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat
barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang
bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi
adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik.
Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai.
Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarif
yang
akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan
biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan
membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari
penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat
dijadikan dasar pengukuran manfaat.
Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik
iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain
adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan
menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi
keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai
waktu para pemakai fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap
alternatif penggunaan dana.
Selain berbagai manfaat di atas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam
bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagai contoh, proyek sumber
daya air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga
dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah
sebuah bendungan dapat dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga
listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi.
Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas
rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi
merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas
fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang
dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap
sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu,
misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun
tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.

GLOBAL PUBLIC GOODS


Penjelasan mengenai public goods sudah Anda dapatkan pada bab
terdahulu. Saat ini, di era globalisasi ada istilah global public goods, yang
mengacu pada barang publik yang kegunaannya mendunia atau bisa
bermanfaat tidak saja bagi satu kelompok masyarakat tertentu melainkan bagi
seluruh dunia dan berbagai generasi. Misalnya lapisan ozon di cakrawala,
yang penting bagi seluruh dunia sepanjang masa. Barang publik bisa juga
dapat menjadi global melalui konsensus atau kesepakatan dunia- misalnya
pada saat berbagai negara menyepakati suatu strategi internasional untuk
menanggulangi penyakit menular, atau mengamankan hak cipta.
PRIVATISASI BARANG PUBLIK
Penyediaan barang publik oleh pemerintah saat ini banyak mendapat
tantangan, terutama dari kaum neo-liberalist. Alasan utama yang
dikemukakan adalah bahwa market failure juga bisa terjadi dalam hal barang
dan jasa publik diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal pemerintah tidak
capable sebagai penyelenggara barang dan jasa publik. Argumentasi ini
berakar dari ketidakpercayaan mereka terhadap kinerja pemerintah yang
dinilai lamban dan tidak efisien, belum lagi ditambah dengan masalah
korupsi yang ditudingkan pada aparat pemerintah. Oleh karena itu, menurut
mereka, barang dan jasa publik sebaiknya diserahkan pada sektor swasta, dan
biarkan mekanisme pasar yang menentukan, tugas pemerintah hanya
mengawasi. Karena itulah, privatisasi termasuk salah satu yang dianjurkan
oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF bagi
negara-negara berkembang.
Privatisasi (yaitu penjualan barang publik) kepada pihak swasta, merupakan
fenomena yang umum terjadi di dunia ini. Tidak ada jasa yang luput dari
privatisasi: perbankan, listrik, migas, kesehatan, air, pendidikan,
telekomunikasi, dan transportasi seringkali dialihkan ke sektor swasta oleh
pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun trend untuk melakukan
privatisasi di negara maju telah dimulai pada tahun 80-an, saat ini privatisasi
juga telah menjadi praktek umum di negara berkembang, dengan
menjual sumber daya alam. Misalnya, menurut data World Bank (2001), 40
persen dari pendapatan negara-negara maju yang didapat dari privatisasi pada
tahun 1999 diperoleh dari penjualan hak atas pertambangan migas, barang
tambang, pertanian dan kehutanan.
Alasan privatisasi bisa berbagai macam. Salah satunya adalah untuk
menyelamatkan perusahaan negara yang terus menerus merugi dan
menghabiskan keuangan negara. Alasan lain adalah harapan bahwa pihak
swasta akan dapat mengelola perusahaan-perusahaan tersebut dengan
lebih efisien, memberikan pelayanan yang lebih baik daripada negara dengan
suntikan dana segar, manajemen yang lebih profesional dan penggunaan
teknologi yang lebih canggih.
Namun demikian, keputusan untuk melakukan privatisasi seringkali
merupakan keputusan yang kontroversial, terutama bila pemerintah
menyerahkan pengelolaan air minum dan listrik kepada sektor swasta.
Kekhawatiran yang ada menyangkut kemungkinan bahwa perusahaan swasta
akan meningkatkan efisiensi perusahaan, tanpa menghiraukan misi sosial
dalam pelaksanaannya. Misalnya dengan meningkatkan harga air dan
tarif dasar listrik tanpa memandang kemampuan masyarakat.
Kekhawatiran lain yang lebih mendasar adalah apabila privatisasi
atau swastanisasi ini
menyangkut sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak,
dimana pengelolaan oleh sektor swasta tidak saja mengakibatkan harga yang
mahal namun juga mengakibatkan sebagian masyarakat yang tidak
mampu membayar tersingkirkan (excluded).
Privatisasi Air Minum
Salah satu contoh privatisasi barang publik yang sedang menjadi sorotan masyarakat akhir-akhir ini
adalah pengelolaan air, dengan disahkannya Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. Secara kronologis, undang-undang ini merupakan bagian dari syarat pencairan pinjaman ketiga
proyek WATSAL (Water Sector Adjustment Loan) didanai bank dunia. Bank dunia menyatakan harus
ada perubahan kebijakan (policy reform) dalam pengelolaan air di Indonesia ke depan sebagai syarat
dari pinjaman tersebut. Undang-Undang Sumber Daya Air ini merupakan persyaratan pencairan
pinjaman ketiga proyek WATSAL tersebut.
Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tersebut memberi ruang bagi peran swasta
dalam penyelenggaran air, sebagaimana disebutkan dalam pasal 9, 10, 26, 40, 41, 45, 80, dan pasal-
pasal pelaksana lain, yang berkaitan dengan pasal tersebut. Undang-undang ini juga memungkinkan
penguasaan sumber-sumber air oleh pemodal, dengan diberikannya Hak Guna Usaha kepada individu
dan badan usaha. Konsep hak guna, yang merupakan hasil dari pemikiran liberal (pasar) dari bank
dunia, memberlakukan air sebagai komoditas yang bernilai komersial.
World Bank menyatakan “ Manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air
sebagai “komoditas ekonomis” dan “ partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan
hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa
penyediaan” (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun
pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.Menurut World Bank, air yang diperoleh
masyarakat saat ini masih berada di bawah harga pasar dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB
dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi Full Cost
Recovery, dimana konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian
privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air.
Pengalaman masa lalu tentang privatisasi air, seperti di Cochabamba, Bolivia oleh Bechtel Corporation,
menunjukkan bahwa privatisasi dapat membuat kenaikan harga yang mempersulit akses rakyat miskin
untuk mendapatkan air bersih. Banyak perusahaan air swasta yang berkecimpung dalam bisnis air
minum juga merupakan produsen air minum dalam kemasan.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80
persen populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar
rakyat Indonesia atas air. Oleh karena itulah, banyak pihak beranggapan bahwa pasal-pasal dan ayat
dalam UU No. 7/2004 tersebut mengingkari penghargaan terhadap hak asasi manusia dan welfare
state. Padahal, UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut
menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut mengandung makna
tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap
individu warga negara. Pada tingkat internasional, Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di
tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah
akses kepada air dan sanitasi dengan harga yang terjangkau (FAO, 1995). Hak atas air yang setara
juga diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan
November 2002. Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang
sosial dan kultural, dan bukan komoditas ekonomi belaka.
Namun demikian, untuk dapat memenuhi kewajiban penyediaan air tersebut, diperlukan sumber dana
yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan perawatan sumber daya air.
Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan air
bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana
tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah. Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di
sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati,
dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang justru dapat membatasi dan mengurangi akses
masyarakat atas air bersih dan sanitasi.Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan
beberapa hal. Pertama, melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu
investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang
berlebihan kepada publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan
(gap) antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar.
Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat.
Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang
berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga,
mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk
menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif
guna menjamin check and balances.
Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi sumber daya air dapat diarahkan pada
upaya-upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
dan menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan
pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama. Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal
(polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya air
yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan penggunaan air
sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air.
Rumitnya pengelolaan penyediaan air ini bukan hanya milik Indonesia. Hal ini telah dialami oleh banyak
negara berkembang lain. Contoh di mana telah terjadi kekerasan akibat privatisasi air ini dialami oleh
wilayah Cochabamba di Bolivia.
RANGKUMAN
§ Pengeluaran publik dikelompokkan ke dalam sektor-sektor.
Tujuan analisis sektor, antara lain: (1) membantu pertimbangan strategis
dan kebijakan untuk seluruh perekonomian, (2) memungkinkan penilaian
strategis dan kebijakan pembangunan sektor yang mendorong kontribusi
sektor terhadap pembangunan ekonomi negara, (3) menentukan prioritas
investasi dalam rangka identifikasi proyek-proyek khusus lain dan
studi pra investasi tambahan yang diperlukan, (4) mengevaluasi kapasitas
lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan
publik.
§ Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang
pilihan, prioritas, dan hubungan antara sektor di antara proyek dan
program yang dilaksanakan pemerintah. Tujuan analisis sektor adalah
untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro
tingkat
nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro
dari proyek individu.
§ Metode yang dapat digunakan dalam analisis sektor: (1)
melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh
terhadap sektor, sub sektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan
umum, seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat
bunga, (2) analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan
kerja, dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai
masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan
prioritas investasi nasional. (3) analisis sektor membantu menjamin
bahwa proyek-proyek individu terpilih didasarkan pada perencanaan dasar
kebutuhan dan prioritas sektor, dan perubahan kebijakan dan
kelembagaan perlu berprestasi baik pada tingkat proyek atau tingkat
ekonomi mikro.
§ Masalah utama dalam belanja pertahanan antara lain, perencanaan
yang kompleks, masalah kebijakan luar negeri seperti kesediaan
menerima resiko konflik militer, masalah keseimbangan antara angkatan
darat, laut, udara dan marinir, masalah pemilihan sistem persenjataan, dan
masalah kekuatan militer yang meningkatkan akibat pengrusakan.
§ Dampak besarnya belanja pertahanan bagi industri yaitu
besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta
pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Sementara
dampak terhadap pertumbuhan produktivitas yang didapat dari bukti
empiris menunjukkan bahwa negara dengan persentase belanja pertahanan
yang kecil mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat
dibandingkan negara dengan persentase belanja pertahanan yang lebih
besar.
§ Sistem jalan raya sebagai barang publik memiliki tiga hal keunikan,
yaitu: (1) kerjasama yang rapi antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan antar pemerintah daerah lainnya, (2) jalan raya membutuhkan
pembiayaan yang sangat besar, (3) perkiraan pajak yang besar.
§ Pada tingkat federal di Amerika Serikat, pembangunan jalan raya
dibiayai dari penerimaan yang berasal dari pajak bahan bakar, yaitu
penghasilan yang ditransfer dalam bentuk grant antar pemerintahan.
Untuk negara bagian penerimaan diperoleh dari retribusi dan pajak
kendaraan bermotor lalu sebagian ditransfer dalam bentuk grant kepada
pemerintah lokal. Sementara untuk tingkat pemerintah lokal penerimaan
diperoleh dari general fund, diantaranya pajak atas kekayaan yang
dimiliki penduduk lokal.
§ Permasalahan dalam kebijakan pendidikan antara lain: (a) apa
yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurrikulum), (b) bagaimana
proses pengajaran berlangsung, (c) siapa yang berhak memperoleh
pendidikan, (d) apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada
lembaga pendidikan swasta serta (e) tingkat kualitas pendidikan. Perlu
adanya kebijakan yang menjamin persaingan yang dilakukan sekolah-
sekolah swasta.
§ Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda, bagi
pemakai, masyarakat sekitar, dan manfaat lain seperti keindahan
alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang akhir atau konsumsi sementara
jalan raya merupakan barang antara.
§ Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa
besar manfaat atas barang ini dapat dinikmati oleh publik.
§ Cara mengukur manfaat atas fasilitas rekreasi dapat dilakukan
dengan cara: (a) kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarif
yang akan dibebankan kepada pengguna lalu dibandingkan dengan biaya
proyek, (b) melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai
untuk penyediaan fasilitas rekreasi, kurva permintaan sebagai dasar
pengukuran manfaat, (c) analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari
para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat, (d) menghitung
biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi ke luar
rumah, (e) melakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai
dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana.
§ Global Public Goods adalah barang publik yang kegunaannya
mendunia atau bisa bermanfaat tidak saja bagi satu kelompok masyarakat
melainkan bagi seluruh alam. Contoh: lapisan ozon. Barang publik bisa
juga dapat menjadi global melalui konsensus atau kesepakatan dunia.
§ Kaum neo-liberalist menginginkan agar penyediaan barang publik
diserahkan kepada sektor swasta karena market failure juga bisa
terjadi pada barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah, kinerja pemerintah yang lambat dan tidak efisien dan
masalah korupsi di tingkat pemerintahan.
§ Privatisasi (penjualan barang publik) dilakukan dengan berbagai alasan:
(a) untuk menyelamatkan perusahaan negara yang terus menerus merugi
dan menghabiskan keuangan negara, (b) harapan bahwa pihak swasta
akan dapat mengelola perusahaan dengan lebih efisien, memberikan
pelayanan yang lebih baik dengan suntikan dana segar (c) manajemen
yang lebih profesional dan (d) penggunaan teknologi yang lebih canggih.
§ Keputusan untuk melakukan privatisasi merupakan keputusan
yang kontroversial karena menimbulkan beberapa kekhawatiran, antara
lain jika perusahaan swasta meningkatkan efisiensi tanpa menghiraukan
misi sosial dengan menaikkan harga tanpa memandang kemampuan
masyarakat dan mengakibatkan sebagian masyarakat yang tidak mampu
membayar tersingkirkan (excluded).

LATIHAN
1. Jelaskan tujuan analisis sektor dan mengapa diperlukan ?
2. Sebutkan metode apa saja yang dapat digunakan dalam analisis sektor ?
3. Mengapa suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai
kebijakan subjektif?
4. Jelaskan dampak terhadap pertumbuhan produktivitas atas belanja
pertahanan nasional!
5. Sebutkan keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik !
6. Jelaskan masalah-masalah yang ada dalam kebijakan pendidikan !
7. Mengapa fasilitas rekreasi memberikan manfaat ganda ?
8. Apa yang dimaksud dengan cara pengukuran analogi fasilitas swasta ?
9. Mengapa persoalan pendidikan bukan hanya persoalan fiskal tetapi
juga persoalan politik.
10. Apa dasar pengukuran manfaat failitas rekreasi dengan cara pertama ?
11. Mengapa analisis sektor diperlukan ?
12. Mengapa belanja pertahanan diperlukan bagi suatu negara ?
13. Bagaimana dampak belanja pertahanan nasional terhadap industri ?
14. Jelaskan sistem/mekanisme kerjasama antar unit pemerintah
dalam pengeluaran biaya untuk pengadaan fasilitas jalan raya !
15. Bagaimana bentuk pembiayaan di dalam pengadaan barang dan jasa
milik umum khususnya jalan tol ?
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK
DALAM TUNJANGAN SOSIAL

Terdapat berbagai macam bentuk tunjangan sosial yang dikelola


pemerintah. Sampai sejauh mana tingkat tunjangan diberikan tergantung pada
kemampuan finansial masing-masing negara dan juga aliran pemikiran
ekonomis negara tersebut. Berikut ini diuraikan kebijakan belanja publik
dalam bentuk tunjangan sosial di Amerika Serikat (negara maju yang
menganut sistem welfare state dalam arti bahwa negara hanya sebagai
pengatur dan bukan pemain), serta di Indonesia sebagai sebuah negara
berkembang yang masih mencari model yang cocok untuk
kebijakan sosialnya.

PROGRAM JAMINAN SOSIAL DI AMERIKA SERIKAT


342 Keuangan Publik: Teori dan Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan 342
Aplikasi Sosial

Tunjangan kepada Penghasilan Rendah


Di Amerika Serikat, terdapat sejumlah program tunjangan yang ditujukan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Komponen-komponen utama
program tersebut antara lain sebagai berikut:

Medicaid
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria
AFDC (Aid to Families with Dependent Children) yang sering disebut
sebagai program kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah
orang yang mempunyai pendapatan terbatas menurut kriteria SSA
(Supplementary Security Income), serta semua orang yang berumur diatas 65
tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk Medicare yaitu asuransi kesehatan
yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu negara. Program ini biasanya
dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan berpedoman pada standar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal.

Jaminan Penghasilan Tambahan


Tunjangan ini diberikan dalam bentuk pembayaran tunai kepada
orang- orang yang penghasilannya atau aset seseorang kurang dari jumlah
minimum yang ditetapkan. Program ini dikelola oleh pemerintah federal.

Kupon Makanan
Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon
makanan jika mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program
ini diberikan melalui pemerintah lokal.

Perumahan Murah
Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi
perumahan diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani
berpenghasilan rendah.

Tunjangan Kesejahteraan
Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan
bantuan kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk
lain – yang kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai
anak di bawah 18 tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat
berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain.
Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan.
Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena
persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga
pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar
kehidupan minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak
mendorong orang untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan
menurun jika pendapatan meningkat – sering disebut tarif pajak
marjinal. Titik permasalahan telah berubah dari memberikan keringanan
dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam keluarga yang berorang tua
tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan alternatif mulai
dipertimbangkan.
Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah
adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan
mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan
menjamin tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial
pemerintah. Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini
dapat mengurangi jumlah bantuan yang dapat diberikan kepada golongan
yang paling membutuhkan.
Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan
diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak
berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif
akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak
positif yang terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan
progresif yang telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan
prinsip pajak negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.

Asuransi Sosial
Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika
Serikat meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors
Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).

Asuransi Pensiun dan Cacat


Peraturan OASI menetapkan bahwa program ini mencakup semua pekerja
berusia dibawah 65 tahun dan bekerja di bidang komersial serta industri -
kecuali jalan kereta api dan karyawan pemerintahan yang mempunyai skema
lain - berhak mendapatkan asuransi pensiun dan cacat yang preminya
bersumber dari penerimaan pajak penghasilan upah dan gaji (payroll tax).
Prinsipnya adalah menggabungkan kontribusi pemberi kerja dan karyawan.

Asuransi Kesehatan
Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas
Medicare pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan
dasar terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan
kesehatan rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut
apakah asuransi hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus
diperluas kepada seluruh penduduk, dan kalau diperluas bagaimana
bentuknya. Perdebatan muncul karena menyangkut pembiayaan yang sangat
besar, pengaruhnya terhadap jasa medis yang diberikan, kebebasan memilih
dokter, dan peranan asuransi swasta.

Asuransi Pengangguran
Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan
dari negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi
dari pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola
oleh Federal Unemployment Trust Fund.

Sistem Tunjangan Sosial


Terkini
Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek keadilan, sistem tunjangan
sosial juga mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai
dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi
golongan penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan
penghasilan tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam
bentuk non tunai. Salah satu perubahan yang substansial dari sistem
kesejahteraan di Amerika Serikat berubah sejak diundangkannya Undang
Undang Rekonsiliasi Kesempatan Kerja dan Tanggungjawab Personal
tahun
1996. Aturan tersebut menciptakan program kesejahteraan yang disebut
Temporary Aid for Needy Families (disingkat TANF) yang pada intinya
mengatur hal-hal dibawah ini.
§ Menurut aturan AFDC, setiap orang yang mempunyai pendapatan
di bawah batasan tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu
diberikan
bantuan manfaat tunai secara mutlak tanpa pandang bulu.
TANF mengubah aturan bantuan tunai tersebut kecuali dalam hal bahwa
bantuan secara tunai tersedia hanya temporer – tidak setiap saat -
berdasarkan ada tidaknya program tunjangan tunai tersebut.
§ Secara umum, TANF mengatur bahwa individu tidak diijinkan
menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun.
§ Setiap orang dewasa yang normal (tidak cacat) yang telah
menerima pembayaran bantuan tunai selama dua tahun diharuskan
mengambil bagian dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk
membuat individu tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri.
§ Setiap negara bagian diberikan grant dari pemerintah federal
untuk mendanai program kesejahteraan dimana jumlahnya adalah
tetap, kemudian negara bagian tersebut melaksanakan program
kesejahteraannya sepanjang tepat sasaran dalam batasan grant tersebut.
Dengan demikian, struktur pemberian bantuan kesejahteraan negara
bagian dikendalikan oleh pemerintah federal. Suatu negara bagian
dapat menggunakan grant tersebut untuk membayar bantuan secara
tunai, melaksanakan program pelatihan kerja, melaksanakan program
pembatasan kehamilan, atau program lainnya yang sejenis.

SISTEM JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA


Menurut UUD 1945, jaminan sosial merupakan hak setiap warga negara
dan oleh karena itu negara wajib menyediakannya. Sistem Jaminan Sosial
Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau
pensiun.
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa
program jaminan sosial. Undang-Undang yang secara khusus mengatur
jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-Undang Nomor
3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang
mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian.
Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program
Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 dan program Asuransi
Kesehatan
(ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima Pensiun/Perintis
Kemerdekaan/ Veteran dan anggota keluarganya.
Untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/POLRI
beserta keluarganya, telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 67 tahun 1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971.
Berbagai program tersebut di atas baru mencakup sebagian kecil
masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang
memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial
tersebut belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai
kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak
peserta.
Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan
berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa
penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta
memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut:
§ Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam
mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang
kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat;
peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta
yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini,
jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
§ Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan
untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil
pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan peserta.
§ Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan
pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan
hasil pengembangannya.
§ Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
§ Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan
agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun
kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta
kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai
dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat
menjadi peserta secara sukarela, sehingga dapat mencakup petani,
nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya
Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
§ Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta
merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola
sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.
§ Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam
Undang- Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham
yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
§ Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi
seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan
sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam undang-
undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan
penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan
sosial.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai UU No.40/2004 adalah:


a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK)
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN)
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI)
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)
Menurut Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional yang berlaku
sekarang
(UU No 40/2004), terdapat lima jenis program jaminan sosial di Indonesia,
yaitu:
a. jaminan kecelakaan kerja (JKK);
b. jaminan kematian (JK);
c. jaminan hari tua (JHT); dan
d. jaminan kesehatan pekerja (JKP).
Jenis program jaminan sosial meliputi:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun; dan
d. jaminan kematian.
Undang-undang di atas mengatur bahwa premi untuk program JKK, JK,
dan JKP dibayar seluruhnya oleh perusahaan, sementara premi program JHT
dibayar bersama oleh perusahaan dan pekerja. Program JKK, JK dan JHT
diinvestasikan dalam sebuah dana tabungan wajib (provident fund) yang
dikelola oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT (Persero)
Jamsostek, sementara program JKP dapat dikontrakkan ke perusahaan
asuransi kesehatan swasta apabila perusahaan dapat menunjukkan bahwa
manfaat asuransi kesehatan swasta akan sama atau melebihi manfaat
program JKP yang dikelola oleh PT (ILO, 93, Arifianto 2004).
Program jaminan sosial yang disebutkan di atas tersedia bagi angkatan
kerja yang aktif bekerja di sektor formal, dan jaminan tersebut bersifat
contributory, dimana pihak penerima manfaat memberikan kontribusi dalam
bentuk pembayaran premi yang dipotong dari gaji mereka. Sedangkan untuk
anggota masyarakat yang tidak tergabung dalam sektor formal, jaminan sosial
yang ada saat ini masih sangat terbatas.
Jaminan Sosial Untuk Pegawai Negeri
Walaupun masih dianggap jauh dari memadai, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Indonesia memiliki jaminan kesehatan dan pensiun sampai akhir
hidupnya, dan bahkan janda/duda yang ditinggalkannya masih dapat
menikmati hasil kerja pasangannya dengan mendapatkan pensiun janda/duda.
Sistem dana pensiun bagi PNS telah ada sejak tahun 1963. Pada awalnya,
sistem pensiun ini adalah dengan memberikan sejumlah uang secara lump-
sum ketika seorang PNS memasuki masa pensiun atau apabila yang
bersangkutan meninggal sebelum pensiun. Pada tahun 1969, barulah suatu
sistem pensiun diadakan. Sejak 1971, anggota ABRI dan PNS di lingkungan
Hankam juga menerima pensiun serupa dengan yang diterima para PNS. Saat
ini, manfaat yang diperoleh meliputi asuransi kesehatan, sejumlah uang pada
saat pensiun, serta uang pensiun bulanan yang tetap terus dibayarkan
dengan persentase yang lebih kecil kepada pasangannya apabila PNS yang
bersangkutan meninggal dunia.
Dana pensiun tersebut dikelola oleh sebuah PT dimana pemerintah
merupakan pemegang saham tunggal. Untuk PNS, pensiun dikelola oleh PT
Taspen, sedangkan untuk anggota ABRI dan kepolisian, pensiun dikelola
oleh ASABRI. Untuk asuransi kesehatan, PNS dan anggota ABRI, dikelola
oleh PT ASKES.

Pendanaan
Sampai tahun 1994, semua tunjangan yang diterima oleh PNS dibayar
seluruhnya dari APBN, yang dibiayai dari pajak dan pendapatan negara yang
lain. Sejak 1994, skema ini didanai dari kontribusi PNS sebesar 10% dari gaji
pokok. Jumlah ini terdiri atas: 4.7% sebagai pensiun bulanan, 3.25% uang
pensiun, dan 2% untuk jaminan kesehatan. Namun jumlah ini tentu saja
masih jauh dari cukup. Menurut Asher (1998:8), kontribusi dari para pegawai
ini hanya mencapai 22% dari manfaat pensiun, sedangkan sisanya didanai
oleh Pemerintah.

1
Replacement Rates
Bagi PNS yang memiliki masa kerja 20 tahun atau lebih pada saat pensiun,
uang pensiun bulanan dihitung sebagai berikut: 1,875% dari gaji
pokok

1
Replacement rate didefinisikan sebagai proporsi dari upah tertentu (biasanya gaji
final seorang pegawai) yang dibayar sebagai uang pensiun setelah mengakhiri masa
kerja.
350 Keuangan Publik: Teori dan Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan 350
Aplikasi Sosial

dikalikan dengan masa kerja. Setelah ditambahkan dengan uang lump sump
yang diterima pada akhir masa kerja, maka replacement rate adalah antara 75-
100% untuk masa kerja 20-35 tahun. Walaupun demikian, PNS yang berhenti
bekerja sebelum 20 tahun masa kerja tidak mendapatkan pensiun dalam
bentuk apa pun.

Coverage
Secara otomatis, PNS akan didaftarkan dalam skema tadi, sehingga
cakupan keanggotaan di kalangan PNS tentu saja 100%. Menurut INSSA
(1995, seperti dikutip oleh Tambunan dan Purwoko 2002), keanggotaan
Taspen meningkat dari 3,74 juta pada tahun 1989 menjadi 4,12 juta pada
tahun 1993. Sedangkan pada tahun 1993 sebanyak 1,48 juta pensiunan
menerima uang pensiun bulanan. Angka terkini didapat dari Asian
Development Bank 2001, dimana keanggotaan Taspen mencapai 5,7 juta
orang, dimana 3,7 juta orang diantaranya merupakan kontributor (pembayar
premi). Hal ini berarti cakupan mencapai 4% dari tenaga kerja. ASABRI
memiliki anggota sebanyak 600.000 orang, yaitu 0,6% dari total tenaga kerja.
Keanggotaan ASKES secara kasar mencakup 16 juta jiwa, yang terdiri atas
PNS serta keluarga yang menjadi tanggungannya.

Perspektif Mancanegara
Di banyak negara, penyelenggaraan jaminan hari tua, tunjangan cacat dan
tunjangan kematian untuk pegawai negeri sudah ada sebelum adanya program
jaminan sosial untuk pegawai swasta. Keistimewaan juga kadang diberikan
kepada kelompok pekerja tertentu di bidang pelayanan masyarakat, seperti
tentara, polisi, guru, dan karyawan BUMN. Dari sejarahnya, tunjangan ini
diberikan sebagai bentuk terima kasih atas pengabdian mereka. Pekerjaan
seumur hidup tampaknya sudah merupakan pola dalam karir pegawai negeri,
dan prospek untuk memperoleh pensiun yang memadai pada saat yang
bersangkutan mencapai usia pensiun merupakan hal lain yang dipandang
sebagai daya tarik untuk bergabung menjadi pegawai negeri. Walaupun
program pensiun semacam ini didirikan oleh negara sebagai employer untuk
para pegawainya (sehingga dalam hal ini hubungan kerja yang ada
adalah sama dengan di perusahaan swasta), perbedaan terbesar adalah bahwa
tunjangan-tunjangan ini dibayar dengan menggunakan pendapatan negara.
Sehingga, dapat dilihat bahwa hal ini meningkatkan konsumsi negara, yang
pada akhirnya berdampak pada keuangan negara.
Di negara-negara industri, kebanyakan tunjangan pensiun untuk PNS terus
menjadi satu program terpisah, bahkan setelah adanya broad based
national
social insurance system. Sejak perang dunia kedua, sistem ini banyak sekali
mendapat kritikan, terutama di negara-negara di mana proporsi PNS dalam
ketenagakerjaan tinggi. Dengan dikembangkannya broad based national
social insurance system yang berdasarkan prinsip-prinsip universal dan
keadilan, makin terasa bahwa sistem terpisah ini kurang adil, karena system
ini secara nyata mengistimewakan PNS. Di negara-negara miskin (terutama
di Afrika), sistem ini merupakan peninggalan jaman kolonial, dan sampai
hari ini, PNS merupakan satu-satunya kelompok yang mendapatkan uang
pensiun bulanan.
Dalam berbagai hal, tekanan finansial yang dihadapi oleh program pensiun
pegawai negeri kurang-lebih sama di seluruh dunia. Kebanyakan negara
mengalami periode di mana perekrutan PNS yang sangat besar (terutama di
tahun 70 dan 80-an), yang kemudian diikuti dengan masa stabilisasi dan
penciutan jumlah PNS. Fenomena ini sangat nyata, dalam arti rasio
pensiunan yang semakin meningkat pada sepuluh tahun terakhir. Hal ini
diperparah dengan pengenalan sistem pensiun dini untuk mengurangi beban
anggaran belanja pegawai, yang pada akhirnya menambah jumlah pensiunan
di berbagai negara.
Mengingat pembiayaan pensiun PNS dibayarkan atau ditunjang oleh
penerimaan negara, banyak yang mengatasi masalah keuangan negara dengan
cara yang kurang tepat, yang tidak membawa hasil dalam
mengembalikan keseimbangan fiskal. Karena itu, World Bank (2004)
menganjurkan negara- negara berkembang tersebut untuk mengambil
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengurangi kewajiban pembayaran pensiun melalui perubahan
parameter (contohnya dengan mengurangi item-item yang dalam
tunjangan atau mengurangi jumlahnya).
2. Secara berkala berpindah ke sistem cost-sharing dengan
PNS.
3. Membuat sistem pensiun yang lebih luwes dan dapat diterapkan
dalam jangka panjang.
4. Menyeimbangkan komponen yang dikompensasi untuk menarik,
mempertahankan dan memotivasi PNS.

Asuransi Sosial untuk Pegawai


Swasta
Asuransi sosial yang diwajibkan bagi pegawai di sektor swasta dimulai
pada tahun 1977 dengan dibentuknya ASTEK, yang pada tahun 1992 berganti
nama menjadi JAMSOSTEK. Pada awalnya asuransi mencakup asuransi
kecelakaan kerja, asuransi kematian pada kasus dimana yang
bersangkutan meninggal
sebelum memasuki masa pensiun, serta tunjangan hari tua yang
diberikan dalam bentuk sejumlah uang pada saat memasuki masa pensiun.
Pada tahun
1992 jaminan kesehatan mencakup pelayanan pertama, kelahiran dan rawat
inap di rumah sakit ditambahkan pada skema ini.
Jaminan hari tua yang disediakan oleh JAMSOSTEK merupakan asuransi
iuran pasti (defined contribution scheme) dimana manfaat yang diperoleh
bergantung pada kontribusi yang dibayarkan: para pekerja akan
menerima akumulasi dari tabungan mereka ditambah dengan bunga pada usia
55 tahun. Perlu juga ditambahkan bahwa hal ini tidak bisa disebut
sebagai pensiun, mengingat tidak adanya ketentuan untuk menghitung
anuitas dari jumlah yang diterima pada saat pensiun.
Seperti halnya dengan Taspen dan Asabri, PT Jamsostek merupakan PT,
namun dalam hal ini pemerintah Indonesia hanya salah satu di antara
pemegang saham kepada siapa PT Jamsostek wajib membayar dividen.

Pendanaan
Asuransi kecelakaan kerja dan kesehatan didanai dari kontribusi yang
dibayar oleh pegawai. Sedangkan jaminan hari tua didanai dari 5.7% dari
gaji pokok bulanan (3.7% dibayar oleh pihak pemberi kerja dan 2% oleh
pekerja). Asuransi kecelakaan kerja dan manfaat pensiun merupakan hal yang
wajib, sedangkan asuransi kesehatan (yang dibayarkan oleh pemberi kerja
sejumlah
3% untuk single dan 6% untuk pegawai yang berumah tangga) dapat
dihindari
bila perusahaan memiliki paket lain yang layak. Namun demikian, sistem ini
tidak selamanya ditaati oleh pihak pemberi kerja, sehingga masih
banyak pihak pemberi kerja yang tidak membayar asuransi kesehatan
sama sekali (Asher 2000a).

Replacement Rates
Replacement rate untuk jaminan hari tua bagi pegawai swasta jumlahnya
sangat rendah. Menurut Asher (1998), bahkan dengan menggunakan asumsi
optimistik mengenai tingkat penegembalian investasi dan setelah kontribusi
(yaitu masa kerja) selama 35 tahun, skema ini hanya memiliki
replacement rate sekitar 10%. Menurut Gough (2001b), saldo rata-rata
dalam provident fund pada akhir masa kerja adalah Rp.510.000, sekitar dua
bulan upah minimum. Angka dari ILO Report (2003:99) sedikit lebih
optimistis. Mengingat rata-rata jumlah lump sum yang dibayarkan pada akhir
masa kerja seseorang adalah sebesar Rp.2.100.000,- maka hal ini kira-kira
setara dengan delapan setengah bulan upah minimum.
Ada beberapa alasan mengapa replacement rate di sektor swasta ini sangat
rendah. Pertama, sebagian besar pekerja di sektor swasta (walaupun berada di
sektor formal) berpenghasilan sangat rendah sehingga kontribusi
yang diberikan (yang berdasarkan persentase) juga sangat rendah. Menurut
suatu laporan yang tidak dipublikasikan (Gough 2001b), 57% anggota
membayar kontribusi pada tingkat upah minimum. Tentu saja, kontibusi yang
dibayar menurut tingkat upah minimum ataupun dibayarkan secara terputus-
putus (biasanya terjadi di kalangan pekerja musiman dan para perempuan
pekerja) secara otomatis menghasilkan jumlah pembayaran manfaat yang
kecil pula. Selain itu, banyak pekerja di sektor formal digaji dengan upah
minimum (yang merupakan dasar pembayaran asuransi), namun menerima
penghasilan lain- lain dalam bentuk tunjangan dan bonus. Kedua,
anggota asuransi diperkenankan untuk menarik/mengambil dananya setelah
lima tahun bergabung dalam skema asuransi, apabila yang bersangkutan
berhenti bekerja. Hal ini berarti bahwa setelah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1998, banyak penarikan dana yang terjadi bukan karena
pensiun melainkan karena PHK. Ketiga, replacement rate rendah disebabkan
oleh kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi. Sebagian besar
aset diinvestasikan pada deposito berjangka (41%), obligasi (11%), surat
berharga pemerintah (30%), property (10%) dan saham (8%). Investment
pada aset luar negeri tidak diperkenankan oleh peraturan, sehingga
penyebaran risiko sangat terbatas. Lebih jauh lagi, sebagian besar
investasi bersifat jangka pendek, padahal kewajiban membayar pensiun
adalah jangka panjang.

Coverage
Menurut peraturan, perusahaan-perusahaan swasta yang mempekerjakan 10
karyawan atau lebih, atau memiliki payroll sebesar satu juta rupiah atau
lebih, wajib bergabung dengan Jamsostek dan mendaftarkan karyawannya.
Pada kenyataannya, tingkat kepatuhan perusahaan sangat rendah, dan sektor
formal berkembang lebih cepat daripada tingkat coverage PT Jamsostek.
Menurut Tambunan dan Purwoko (2002:45), hanya 57% karywan dari sektor
formal swasta yang benar-benar tercover oleh asuransi PT Jamsostek. Hanya
25% anggota yang benar-benar mematuhi peraturan (Asher 2000b);
sedangkan banyak perusahaan lain yang diduga tidak melaporkan jumlah
yang sesungguhnya untuk mengurangi jumlah kontribusi yang harus mereka
bayar.
Coverage dari PT Jamsostek sangat rendah, karena Jamsostek hanya
terbatas pada pekerja di sektor formal. Sehingga, pekerja di sektor non formal
dan wiraswasta tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, pada sektor formal
pun banyak pemberi kerja yang menolak untuk mengcover pekerja
kontrak dan
pekerja musiman. Padahal, jumlah mereka sangat banyak Satu hal lagi,
karena buruknya reputasi PT Jamsostek, banyak pihak pemberi kerja yang
tidak mendaftarkan diri (pendaftaran anggota dilakukan melalui pihak
pemberi kerja, bukan secara langsung dari karyawan/pekerja).

Tunjangan Bagi Masyarakat Miskin


Seperti sudah disebutkan di atas, pemerintah juga menganggarkan
sejumlah dana dari APBN bagi kesejahteraan warga negaranya, namun
bentuk jaminan sosial ini lebih bersifat sekali-sekali dan belum
terlembagakan seperti jaminan sosial bagi sektor formal yang diuraikan di
atas. Jaminan sosial yang dapat diidentifikasi sampai saat ini adalah:

1. Jaring Pengaman Sosial


Program ini muncul setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada
tahun
1997 dan sebagian dari program ini masih berlanjut hingga kini.
Kegiatan- kegiatan JPS dapat dikelompokkan menjadi empat program
besar, yaitu:
a. Meningkatkan penyediaan dan penyaluran bahan kebutuhan pokok
serta bantuan bahan pangan bagi masyarakat miskin di pedesaan dan
perkotaan (food security). Contoh dari program ini adalah Raskin atau
program pemberian beras bagi rakyat miskin (lihat boks).
b. Perlindungan sosial (social protection) yang terdiri
dari:
o Meningkatkan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar
dan bantuan obat-obatan bagi masyarakat miskin di pedesaan dan
perkotaan;
o Meningkatkan penyediaan fasilitas pendidikan dan bantuan
biaya pendidikan bagi peserta didik yang berasal dari kelompok
masyarakat miskin, baik di pedesaan maupun perkotaan;
c. Meningkatkan penciptaan kesempatan kerja langsung dan
kesempatan berusaha untuk menumbuhkan daya beli masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan (employment creation);
d. Menggerakkan kembali ekonomi rakyat dengan mendorong
pembangunan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil.

2. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat


Miskin
Dana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
(JPKMM) yang bersumber dari Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM) tahun 2005
sebesar Rp 2,168
triliun akan dibayarkan langsung kepada PT Asuransi Kesehatan (Askes)
tanpa melalui Departemen Kesehatan. Ini untuk efisiensi,
akuntabilitas, dan transparansi. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik, orang miskin di Indonesia yang akan diikutkan dalam
program JPKMM sebanyak 36.146.700 orang dengan premi sebesar Rp
5.000 per orang per bulan. Maka dana untuk membayar premi selama
satu tahun adalah Rp
2.168.441.000.000. Mereka yang masuk kriteria miskin adalah
keluarga
yang tidak bisa makan dua kali sehari, keluarga dengan anak drop out
sekolah karena alasan ekonomi, keluarga tidak mampu mengobatkan
anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan.
Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) Dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Bidang Pangan Tahun 2003

Kebijakan subsidi pangan terarah (targeted food subsidy) sebagai kebijakan income transfer
untuk keluarga miskin, menjadi penting sebagai program nasional. Program ini dirancang untuk
tidak menghambat perkembangan pangan lokal serta tidak mendorong perubahan pola
konsumsi yang terlalu cenderung ke beras atau gandum.
Tujuan Raskin adalah membantu keluarga miskin/rawan pangan dalam rangka memenuhi
kebutuhan pangan pokoknya sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga
melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat Raskin pada tingkat harga
bersubsidi dengan jumlah yang telah ditentukan dan dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan pemerintah.
Masyarakat yang termasuk kelompok rawan pangan ini juga merupakan masyarakat miskin yang
daya belinya rendah dan sebagian besar pengeluarannya adalah dibelanjakan untuk konsumsi
pangan pokok. untuk membantu keluarga miskin/rawan pangan tersebut, maka langkah
penanggulangan yang ditempuh adalah melanjutkan Program Beras Untuk Masyarakat Miskin
(Raskin) yang memiliki ciri spesifik antara lain:
a. Tidak disalurkan melalui pasar umum, tetapi penjualan langsung kepada keluarga penerima
manfaat (bersubsidi).
b. Jumlah beras yang disalurkan tidak tergantung pada permintaan pasar, tetapi berdasarkan
jumlah keluarga penerima manfaat.
c. Tidak ditujukan dalam upaya stabilisasi harga pasar, tetapi untuk membantu pemenuhan
kebutuhan beras keluarga yang menjadi sasaran penerima manfaat Raskin.
Penerima manfaat adalah keluarga miskin rawan pangan yang memenuhi satu atau lebih
kriteria:
a. keluarga tidak mampu makan dua kali sehari,
b. keluarga tidak mampu mengkonsumsi pangan sumber protein minimal seminggu sekali,
c. sudah ada anaknya yang putus sekolah,
d. pekerja/buruh kasar,
e. bila anggota keluarga sakit tidak.mampu lagi ke fasilitas kesehatan serta dengan kriteria
lainnya yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan Pemerintah Daerah setempat.
Titik distribusi adalah tempat penyerahan/pendistribusian beras di tingkat kelurahan/desa yang
terdekat dengan keluarga sasaran penerima manfaat, yang ditentukan atas dasar
kesepakatan/musyawarah antar instansi pelaksana Raskin yang terkait, sesuai tingkatan wilayah
operasionalnya. Untuk daerah-daerah yang tidak memungkinkan titik distribusi di tingkat
kelurahan/desa seperti daerah terpencil dan sulit transportasinya, maka penetapan titik distribusi
dilakukan atas kesepakatan dengan pihak Pemda.

Tabel Asuransi Sosial Berbagai Negara


Prosentase Jumlah Prosentase Prosentase Pembiayaan Total
Group/Negara Penduduk yang Pembiayaan Kesehatan Askes Biaya Kesehatan
Tercakup Kesehatan Askes Sosial/Total Pembiayaan Prosentase GNP
Sosial/Sektor Publik Kesehatan
Low Income
§ India 5 9 2 6.0
§ Kenya 10 7 4 4.3
§ Indonesia 13 17 6 2.0

Middle Income
§ Filipina 38 12 6 2.3
§ Turki 58 26 14 4.0
§ Korea Selatan 90 50 25 6.6
§ Paraguay 18 24 13 2.8

High Income
§ Jerman 75 76 63 8.0
§ Jepang 100 64 56 6.5
§ Perancis 100 95 71 8.0
§ Belanda 100 94 73 7.9

RANGKUMAN
§ Tunjangan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah di
Amerika Serikat terdiri atas komponen-komponen utama program sebagai
berikut: (a) Medicaid, (b) Jaminan Penghasilan Tambahan, (c) Kupon
Makanan, (d) Perumahan Murah, dan (e) Tunjangan Kesejahteraan.
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria
AFDC (Aid to Families with Dependent Children) atau yang disebut
program kesejahteraan.
§ Program kesejahteraan AFDC menerapkan tarif pajak marjinal,
dimana tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat, sehingga
tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat. Selain itu,
persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala
keluarga pria dan jumlah tunjangan yang diberikan dianggap tidak
memadai.
§ Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan
rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan
pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah.
§ Alternatif tunjangan lain dengan bentuk pajak penghasilan negatif,
jika pendapatan kotor meningkat maka pajak negatif akan menurun
sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif
terutang.
§ Asuransi sosial di Amerika Serikat memiliki komponen-komponen
utama yang terdiri atas sistem asuransi OASI (Old Age and Survivors
Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).
§ Beberapa jenis asuransi sosial yaitu: (1) Asuransi pensiun dan cacat,
(2) Asuransi kesehatan, dan (3) Asuransi pengangguran.
§ Karena dianggap memberikan dampak negatif, tunjangan sosial
terkini tidak lagi memberikan tunjangan dalam bentuk tunai tetapi
beralih ke bentuk non tunai. Aturan tersebut menciptakan program
kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (TANF).
§ TANF mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) bantuan tunai hanya
temporer (tidak setiap saat), berbeda dengan AFDC yang memberikan
bantuan manfaat tunai secara mutlak bagi orang yang mempunyai
pendapatan di bawah batasan tertentu, (2) individu tidak diijinkan
menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun, (3) orang
dewasa normal (tidak cacat) yang menerima bantuan tunai selama dua
tahun diharuskan mengambil bagian dalam kegiatan yang dapat
menghidupi dirinya, (4) setiap negara bagian memperoleh grant untuk
melaksanakan program kesejahteraan dari pemerintah federal yang
jumlahnya tetap. Struktur pemberian bantuan dikendalikan
pelaksanaannya oleh pemerintah federal.
§ Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara
yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak.
§ Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional, sebagai berikut: (a)
prinsip kegotong-royongan, (b) prinsip nirlaba, (c) prinsip keterbukaan,
kehati- hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas, (d) prinsip
portabilitas, (e) prinsip kepesertaan bersifat wajib, (f) prinsip dana amanat,
(g) prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional berupa
dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan
peserta jaminan sosial, dan (h) Sistem Jaminan Sosial Nasional
meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, dan
jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib kerja yang
diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
§ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai UU No.40/2004 adalah:
(a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK), (b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), (c) Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan
(d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES).
§ Menurut UU Jaminan Sosial Nasional (UU No 40/2004) terdapat lima
jenis program jaminan sosial: (a) jaminan kesehatan, (b) jaminan
kecelakaan kerja, (c) jaminan hari tua, (d) jaminan pensiun, dan (e)
jaminan kematian.
§ Program jaminan sosial disediakan bagi angkatan kerja yang aktif
bekerja di sektor formal, bersifat contributory, dimana pihak penerima
manfaat memberikan kontribusi dalam bentuk pembayaran premi yang
dipotong dari gaji mereka.
§ Jaminan sosial untuk pegawai negeri didanai oleh APBN,
dengan replacement rates antara 75-100% untuk masa kerja 20-35 tahun,
dan mencakup seluruh keanggotaan di kalangan PNS.
§ Dalam mengatasi pembiayaan pensiun yang semakin besar, World
Bank menganjurkan negara-negara berkembang untuk mengambil
langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengurangi kewajiban pembayaran
pensiun melalui perubahan parameter, (2) secara berkala berpindah ke
sistem cost- sharing dengan PNS, (3) membuat sistem pensiun yang lebih
luwes dan dapat diterapkan dalam jangka panjang, (4) menyeimbangkan
komponen yang dikompensasi untuk menarik, mempertahankan, dan
memotivasi PNS.
§ Asuransi sosial untuk pegawai swasta mencakup asuransi kecelakaan
kerja, asuransi kematian, asuransi jaminan hari tua dan asuransi kesehatan
yang didanai oleh pegawai dan pemberi kerja (khusus untuk jaminan hari
tua).
§ Replacement rates di sektor swasta sangat rendah, hal ini disebabkan:
(a) sebagian besar pekerja swasta berpenghasilan sangat rendah, sehingga
kontribusi yang diberikan juga sangat rendah, (b) banyak penarikan dana
asuransi yang terjadi bukan karena pensiun, melainkan PHK, (c)
kesalahan investasi dan tingginya biaya administrasi, sebagian investasi
berjangka pendek sedangkan kewajiban membayar pensiun berjangka
panjang.
§ Jaminan sosial di Indonesia yang dapat diidentifikasikan sampai saat
ini adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM).
§ Jaring Pengaman Sosial (JPS) dikelompokkan menjadi empat
program besar, yaitu: (a) food security, meningkatkan penyediaan dan
penyaluran bahan kebutuhan pokok serta bantuan pangan bagi masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan, (b) social protection (perlindungan
sosial), meningkatkan penyediaan fasililtas pelayanan kesehatan dasar dan
bantuan obat-obatan, pendidikan, bantuan pendidikan, (c) employment
creation, meningkatkan penciptaan kesempatan kerja langsung dan
kesempatan berusaha untuk menumbuhkan daya beli masyarakat miskin,
(d) menggerakan kembali ekonomi rakyat dengan mendorong
pembangunan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil.
§ Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM)
mendapat dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM), dibayarkan langsung ke PT.
ASKES tanpa melalui Departemen Kesehatan untuk efisiensi,
akuntabilitas, dan transparansi.

LATIHAN
1. Mengapa program tunjangan kesejahteraan di Amerika banyak
menuai protes dari masyarakat?
2. Apa yang dimaksud dengan:
a. tarif pajak marjinal,
b. pajak penghasilan negatif.
3. Jelaskan masalah yang terjadi dalam asuransi sosial untuk kesehatan!
4. Apa dampak sistem tunjangan dalam bentuk tunai!
5. Sebutkan hal-hal yang diatur dalam Temporary Aid for Needy Families
(TANF)!
6. Dalam bentuk apa saja tunjangan kepada masyarakat
berpenghasilan rendah?
7. Jelaskan cara yang paling efektif dalam menunjang keluarga
berpenghasilan rendah !
8. Sebutkan komponen-komponen utama dari asuransi sosial di Amerika
dan jelaskan siapa saja yang berhak mendapat asuransi sosial tersebut!
360 Bab 16: Kebijakan Belanja Publik dalam Tunjangan
Sosial

9. Apa yang dilakukan dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund?
10. Apa saja yang dapat oleh pemerintah daerah dalam menggunakan grant
yang diberikan pemerintah pusat ?
KEUANGAN PEMERINTAH
PUSAT DAN DAERAH

Dalam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu


negara, baik itu negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan selalu
memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal
intergovernmental relationship). Dan sebagaimana dikemukakan oleh
Norregaard (1995), terdapat perbedaan-perbedaan dalam interval luas dalam
struktur kelembagaan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, baik dalam
negara-negara yang pada dasarnya berbentuk federal maupun negara
yang berbentuk kesatuan.
362 Keuangan Publik: Teori dan Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan 362
Aplikasi Daerah

Tabel 17.1: Susunan Rak Desentralisasi Fiskal


Kelompok Negara Federalisme Fiskal Keuangan Federal
Negara Maju Perancis, Jepang Amerika Serikat, Kanada
Negara Berkembang Indonesia,Kolumbia, Maroko, India, Brasil, Argentina, Pakistan,
Tunisia Afrika Selatan
Negara Transisi Cina, Vietnam Rusia, Bosnia Herzegovina
Sumber: Bird dan Vaillancourt (1998)

Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan fiskal
antar pemerintahan yang berlaku saat ini (lihat Tabel 17.1). Pertama,
federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal
finance).
Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat
II (kabupaten/kota) merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Atau, di
beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state)
bukan merupakan pelaku otonom. Perancis dan Inggris mencerminkan pola
ini untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara
1
Indonesia , Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina
dan Vietnam adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a).
Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian
tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah
2
bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi atau maksimalnya
3 4
berpola delegasi , dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory .
Implikasi

1
Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
2
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
3
Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang
berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah
Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-
undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam
penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak
pemberi wewenang (sovereign-authority).
4
Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan
mengubah baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah
dan pengaturan hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi
permasalahan-
dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk
transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Dati I dan Dati II)
dalam rangka untuk menggalakkan otonomi regional dan untuk memperbaiki
infrastruktur lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh pemerintah daerah sesuai
dengan pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat.
Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal
finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negara-
negara yang memiliki keanekaragaman dalam aspek geografis dan etnis
(Bird,
1994b serta Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-
batas
resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara
umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang.
Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut
model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika
Serikat dan Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi
adalah hubungan fiskal antara pemerintah federal (pusat) dengan pemerintah
negara bagian/propinsi (state) dan hubungan fiskal antara pemerintah negara
5
bagian/propinsi (state) dengan pemerintah lokal (kabupaten/kota).
Dimana masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi)
yang jelas
terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.
Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki
kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983).
Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan
model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian.
Menurut Bank Dunia (1995b) negara-negara seperti Pakistan, Argentina, dan
Afrika Selatan adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya
sejauh ini masih sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal.
Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan
federal juga berlaku. Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah,
Indonesia
secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini
terbukti,

permasalahan informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal
dan agent (Pemerintah Daerah).
5
Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties
(wilayah kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau
townships (Kota). Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama
pemerintahan regional dari pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan
(authority) independensi yang signifikan.
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 25/1999, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman
secara mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat
desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi.

DIMENSI EKONOMI DARI DESENTRALISASI FISKAL


Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah
stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan
Musgrave, 1989). Menurut para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan
raison d'etre untuk desentralisasi fiskal. Karena preferensi setiap individu
terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang
terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal di sebuah
komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan preferensi mereka dalam
rangka untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial.
Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa
pemerintah daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan
pendapat dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber
daya (resources) secara lebih efisien dibandingkan pemerintah pusat. Namun
demikian, aspek efisiensi tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi untuk
mengevaluasi desentralisasi fiskal. Desain fiskal antar pemerintahan juga
memiliki implikasi penting atas keadilan dan stabilitas makro ekonomi.

Efisiensi
Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah pusat hanya
dapat menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara
konsisten. Oleh karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat
keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal, yaitu:
(1) Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)
Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah
memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya
dibandingkan pemerintah pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik
yang dibuat oleh pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap
keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat
oleh pemerintah pusat.
(2) Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local
Governments)
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan
inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini
dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai
"The Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi
pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar
oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan
pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di
lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling
tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak
yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada
kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan
barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di
wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal
melalui DPRD-nya (Hyman, 2002). Hipotesis tersebut memberikan
petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi
(maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat
lokal.

Stabilitas Makro Ekonomi


Penilitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi
(macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa
desentralisasi inheren dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan
antara desentralisasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi menemukan
bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial
yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi
dibandingkan sistem fiskal yang tersentralisasi”. Faktanya, negara-negara
federal yang terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria,
dan Amerika Serikat memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan
tingkat inflasi yang rendah (Shah, 1997).
Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro
ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya
desentralisasi fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika
suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar
dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan
akan menurun. Atau, daerah akan menekan pusat untuk
mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang
lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-
kasus di negara
Federasi Rusia (Wallich, 1994). Sebaliknya, jika lebih banyak
penerimaan daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi
dana daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi dapat
kembali muncul (Yu, 1996).

Keadilan (Equity)
Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan
redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi
klasik, redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan.
Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua
dimensi: keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-
locality equity). Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas
pemerintah daerah (subnational governments) dalam memenuhi pelayanan
publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya
ketidakadilan horisontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda
secara signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2)
karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan
pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini, maka perlu
dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang
lebih besar kepada daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan
(equalization grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi
ketidakadilan horisontal tersebut.
Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah
miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan
dalam kebijakan redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus
terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-locality equity).
Dalam merancang kebijakan redistribusi, pemerintah daerah memerlukan
dukungan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak
dapat mengambil kebijakan redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah
tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah untuk menggunakan kebijakan
redistribusi. Jika pemerintah daerah mengeluarkan program redistribusi
pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi
penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong
penduduk berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan
program redistribusi pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan
subsidi bagi penduduk miskin.
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting
bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau
efisiensi mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus
demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya
harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari
pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh
masyarakat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan
tidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang lain.
Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi,
dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing
tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya
manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi,
perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan
masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.
Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung
pelaksanaan desentralisasi, maka pemerintah daerah harus didukung sumber-
sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue,
pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal akan berjalan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1)
adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan
dan enforcement, dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan
kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

RANGKUMAN
§ Menurut Bird dan Vaillancourt, terdapat dua pola hubungan fiskal
antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship) yaitu
federalisme fiskal (fiscal federalism) dan keuangan federal (federal
finance).
§ Konsep federalisme fiskal menganggap Pemerintah Daerah Tingkat
II merupakan kepanjangan tangan dari pusat. Di negara federal,
pemerintah negara bagian bukan merupakan pelaku otonom.
§ Federalisme fiskal merupakan model konsentrasi kekuasaan di pusat
yang semakin tinggi, sehingga kerangka yang sesuai untuk desentralisasi
adalah
bersifat “top down’, berpola dekonsentrasi atau delegasi, dan
kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory.
§ Model keuangan federal biasanya diterapkan di negara-negara
yang memiliki keragaman dalam aspek geografis dan etnis. Batas-batas
resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara
umum ditetapkan dengan undang-undang. Di mana pemerintah negara
bagian ataupun pemerintah lokal memiliki kewenangan (otonomi) yang
jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan
konstitusi federal.
§ Indonesia secara tidak langsung menerapkan model keuangan federal,
hal ini terjadi sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini
dapat terbukti, yaitu Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk
menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri.
§ Dimensi ekonomi dari suatu kebijakan keuangan publik adalah
stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi. Aspek-aspek
inilah yang dapat digunakan untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal.
§ Berdasarkan aspek efisiensi, desentralisasi fiskal memiliki
keuntungan efisiensi potensial, yaitu: (1) efisiensi alokasi sumber daya
(efficient allocation of resources), (2) persaingan antar pemerintah daerah
(competition among local government).
§ Efisiensi alokasi sumber daya, berarti bahwa pemerintah daerah
memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya
dibandingkan pemerintah pusat, sehingga keputusan mengenai
pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah daerah lebih responsif
terhadap keinginan konstituennya.
§ Persaingan antar pemerintah daerah, yaitu persaingan antar daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong
pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Seperti yang
dikemukakan “Tiebout Model” bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan
barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat
merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah
daerah. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam
penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
§ Menurut penelitian empiris, desentralisasi inheren dengan
destabilisasi, dimana sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan
potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro
ekonomi dibandingkan
sistem fiskal yang tersentralisasi. Negara federal yang terdesentralisasi
secara tinggi memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan
tingkat inflasi yang rendah.
§ Khusus bagi negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah
hal yang otomatis terwujud dengan diterapkannya desentralisasi. Jika
tanggung jawab pengeluaran lebih besar daripada sumber yang
tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Sebaliknya, jika
penerimaan lebih banyak daripada pengeluaran yang
didesentralisasikan, maka mobilisasi dana daerah dapat menurun dan
ketidakseimbangan makro ekonomi kembali muncul.
§ Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan
dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
Redistribusi berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan. Redistribusi memiliki dua dimensi, yaitu keadilan horisontal
dan keadilan lokal.
§ Keadilan horisontal merujuk pada tingkat kapasitas pemerintah
daerah dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama
penyebab munculnya ketidakadilan horisontal: (a) basis pajak (tax bases)
sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan yang lain, (b)
karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan
pelayanan. Untuk mengatasinya, perlu dirancang kebijakan untuk
memberikan sumber daya yang lebih besar ke daerah yang miskin.
Bantuan pemerataan (equalizational grant) adalah alat yang digunakan
untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut.
§ Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil pemerintah daerah
untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika dilakukan secara agresif,
maka akan menciptakan suatu insentif bagi penduduk berpendapatan
rendah untuk datang dan mendorong penduduk berpendapatan tinggi
untuk pindah ke mana saja.
§ Prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi terlepas
dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro menurut Bird dan
Vaillancourt adalah: (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus
demokratis dan transparan, (2) biaya-biaya dari pengambilan keputusan
tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat sehingga tidak ada
ekspor pajak dan tambahan transfer level pemerintahan yang lain.
§ Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi menurut Sidik (2002)
tergantung pada: desain, proses, implementasi, dukungan politis baik
pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat
pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan, kesiapan
administrasi pemerintahan,
370 Keuangan Publik: Teori dan Bab 17: Keuangan Pemerintah Pusat dan 370
Aplikasi Daerah

pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme


koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem
nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat
khususnya dalam pelayanan sektor publik.
§ Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan baik dengan
mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya pemerintah pusat yang
kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement, dan (2) terdapat
keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan
pungutan pajak dan retribusi daerah.

LATIHAN
1. Sebutkan 2 model hubungan fiskal antar pemerintah yang berlaku saat
ini, jelaskan !
2. Apa yang dimaksud dengan Agency Theory ?
3. Mengapa Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat derajat
desentralisasi fiskalnya lebih tinggi ?
4. Mengapa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya ?
5. Jelaskan yang dimaksud dengan Tiebout Model ?
6. Mengapa khusus untuk negara-negara berkembang, stabilitas
makroekonomi tidak otomatis terwujud dengan diterapkan desentralisasi
fiskal ?
7. Sebutkan faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya
ketidakadilan horisontal !
8. Sebutkan syarat-syarat keberhasilan desentralisasi fiskal menurut Bird dan
Vaillancourt !
9. Apa yang dimaksud dengan dekonsentrasi ?
10. Jelaskan keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal !
11. Jelaskan hubungan antara desentralisaasi fiskal dengan pengelolaan
makro ekonomi !
12. Apa yang dimaksud dengan redistribusi ?
13. Jelaskan yang dimaksud dengan :
a. keadilan horisontal,
b. keadilan vertikal.
14. Apa akibatnya jika pemerintah daerah mengeluarkan program
redistribusi pendapatan secara agresif ?
15. Bagaimana caranya untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ?
16. Menurut sidik (2002) pedoman apa saja yang harus dijalani
agar pelaksanaan desentralisasi fiskal berjalan dengan baik ?
17. Sebutkan tiga dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan
keuangan publik!
18. Jelaskan fakta di Pemerintah Daerah mengenai argumentasi
ekonomi tentang efisiensi !
TRANSFER PUSAT KE DAERAH:
TEORI DAN PRAKTIK

Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah


pusat kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Desentralisasi memang merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Sejalan dengan desentralisasi tersebut, aspek
pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya, daerah dituntut
untuk dapat membiayai sendiri biaya pembangunannya.
Namun, ternyata banyak daerah di berbagai negara ini local government
revenue tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah (lihat
Tabel
18.1). Dari Tabel 16.1. terlihat bahwa, tidak ada satupun pemerintah daerah
di berbagai negara yang disurvei memiliki pendapatan yang dapat membiayai
seluruh pengeluarannya.
374 Keuangan Publik: Teori dan Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan 374
Aplikasi Praktik

Tabel 18.1: Persentase Pendapatan atas Pengeluaran Daerah

Negara Kesatuan 1995 1996 1997 1998

Albania 5.64% 6.85% 3.69% 4.05%


Azerbaijan 73.97% 68.65% 66.78% 58.30%
Belarusia 73.18% 70.63% 77.73% 81.69%
Bulgaria 57.27% 66.19% 65.35% 61.08%
Kroasia 98.11% 93.62% 93.83% 89.18%
Republik Cekoslowakia 72.26% 60.28% 72.74% 75.80%
Denmark 57.10% 57.50% 58.55% 59.25%
Estonia 65.95% 66.97% 73.10% 72.04%
Irlandia 87.26% 84.64% 84.29% 85.31%
Kazakhstan N/A N/A 78.76% 71.68%
Latvia 75.53% 77.93% 73.82% 72.08%
Lithuania 73.82% 72.22% 71.71% 80.65%
Mauritius 39.51% 39.91% 40.68% 42.52%
Moldova 72.74% 60.50% 58.66% 62.49%
Mongolia 58.46% 56.92% 60.10% 57.32%
Norwegia 60.96% 62.10% 61.30% 59.71%
Polandia 71.52% 66.49% 66.21% 64.83%
Republik Slovakia N/A 89.65% 79.75% 73.69%
Slovenia 77.31% 82.83% 81.88% 80.60%
Inggris 27.47% 27.31% 27.91% 29.33%
Negara Federal*
Australia 85.73% 83.28% 81.92% 81.80%
Austria 82.74% 85.31% 87.28% 83.89%
Bolivia 85.64% 85.93% 85.85% 85.76%
México 97.37% 97.72% 99.98% N/A
Switzerland 81.35% 81.91% 81.96% 82.02%
United States 62.43% 63.51% 64.32% 64.51%
*Pemerintah Daerah di negara-negara federal adalah kelompok Pemerintah Daerah yang terendah tingkat
pendapatannya. Catatan: Pendapatan Pemerintah Daerah tidak termasuk transfer antar pemerintahan (intergovernmental

transfers)

Sumber: International Monetary Fund. 1998. Government Finance Statistics


Year Book 1998, Country Tables.
Implikasi dari kondisi tersebut, transfer dana dari pusat (intergovernmental
transfer) merupakan sumber penerimaan yang sangat dominan bagi
pemerintah daerah di banyak negara, terutama negara berkembang. Tidak
terkecuali Indonesia. Sumber ini membiayai sekitar 85% dari
pengeluaran pemerintah daerah di Afrika Selatan, antara 67% sampai 95%
pengeluaran negara bagian di Nigeria, 70% sampai 90% pengeluaran negara
bagian yang miskin di Meksiko, 72% pengeluaran propinsi dan 86%
pengeluaran kabupaten/kota pada dekade 1990-an di Indonesia (Simanjuntak,
2002).

TUJUAN TRANSFER
Pada dasarnya, transfer pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi
hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan
dari transfer ini bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical
equalization), pemerataan horisontal (horizontal equalization), mengatasi
persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities),
mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan
ide-ide baru (experimenting with new ideas), stabilisasi, dan kewajiban untuk
menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah.

Vertical Equalization Transfer


Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-
sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Sementara itu,
pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber
penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang
basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik
besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya
menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pada era tahun 1960-an, Pemerintah Federal
Amerika Serikat sangat memonopoli sumber-sumber penerimaan. Kondisi ini
akhirnya bisa menimbulkan ketimpangan antara pemerintah federal,
pemerintah negara bagian (state), dan pemerintahan lokal. Kemudian, pada
pertengahan era 1960-an hingga pertengahan 1980-an lahirlah kebijakan bagi
hasil penerimaan umum (General Revenue Sharing/GRS). GRS untuk tingkat
negara bagian diberlakukan secara tuntas pada tahun 1982 dan untuk tingkat
lokal diberlakukan pada secara tuntas pada tahun 1986. Dengan demikian,
tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengkoreksi
kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.
KOTAK 17.1: PRAKTEK VERTICAL EQUALIZATION DI INDONESIA
Penerapan vertical equalization di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Latar belakang diberlakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh suatu kondisi selama Orde Baru,
dimana pemerintah pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan
fiskal secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya,
terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber-sumber kekayaan alam mereka diangkut ke pusat.
Kondisi ini kemudian berubah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 25/1999. Menurut Undang-Undang No. 25/1999 ini, daerah penghasil
penerimaan (baik itu pajak maupun sumber daya alam) mendapat porsi yang besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue
sharing) yang lebih besar dibandingkan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 25/1999 (lihat Tabel 2.2. Dengan bagi hasil yang lebih
besar ini, taxing power yang diterima daerah menjadi lebih besar dan ketimpangan vertikal dapat dikurangi.

Tabel 17.2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Penerimaan Negara


Sebelum dan Sesudah UU No. 25/1999 (dalam %)

No Jenis Penerimaan Sebelum UU No. 25/1999 Sesudah UU No. 25/1999


Pusat Dati I Dati II Pusat Pro-pinsi Kab/ Pemertaan
Kota Kab/Kota
Lainnya
1. PBB 10 16,2 64,8 - 16,2 64,8(+) +
2. BPHTB 20 16 64 - 16 64(+) +
3. IHH 55 30 15 20 16 64 -
4. PSDH/IHPH 55 30 15 20 16 32 32
5. Land Rent/Iuran Tetap 20 16 64 20 16 64 -
6. Royalty Pertambangan Umum 20 16 64 20 16 32 32
7. Perikanan 100 - - 20 - - 80
8. Minyak 100 - - 85 3 6 6
9. Gas Alam 100 - - 70 6 12 12
10. Dana Reboisasi 100 - - 60 - 40 -
11. PPh 100 - - 80 8 12 -
Sumber : Sidik 2002, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999

Horizontal Equalization Transfer


Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan (revenue needs) dan
kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi
horisontal. Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga
menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Pengalaman empiris
di berbagai negara menunjukkan ternyata kemampuan daerah untuk
menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah
bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun
daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah.
Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas fiskal
(fiscal capacity) di daerah-daerah bersangkutan.
Di sisi lain, daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat
bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut
usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-
daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana
transportasi
dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak, ada
daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun
memiliki sarana dan prasasarana yang telah lengkap. Ini mencerminkan tinggi
rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah yang
bersangkutan.
Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas,
maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-
masing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari pemerintah pusat.
Dengan kata lain tujuan dari horizontal equalization transfer adalah untuk
menutup celah fiskal yang dimiliki oleh setiap daerah.

KOTAK 17.2: PRAKTEK HORIZONTAL EQUALIZATION DI INDONESIA


Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalizataion di Indonesia. Secara
faktual, peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil daerah
(by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah, karena daerah yang mempunyai
potensi pajak dan SDA yang terbatas pada daerah-daerah tertentu.
Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan
daerah atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula ini, maka
dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer DAU dari pusat.
Rumus umum DAU 2001 adalah sebagai berikut:
1. DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan
menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan.
2. Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres
tahun 2000. Oleh karenanya, dalam alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lump sum.
Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas pemerintah daerah dalam
membiayai kewajiban-kewajiban mereka. Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan
pendanaan akibat terjadinya transfer pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang tentunya membawa
konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait lainnya.
Faktor lump sum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam
APBN 925% dari penerimaan bersih domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang
dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.
3. Faktor formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal.
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam
(primer); (b) PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non primer); dan besarnya angkatan kerja
(SDM).
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah;
(3) indeks harga bangunan; dan (4) jumlah penduduk miskin.
4. Penentuan bobot dan alokasi daerah.
Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002)

Correcting Spatial Externalities


Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar”
(eksternalitas) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi
(universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah,
sistem
pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah, tidak bisa
dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat tertentu saja.
Namun, tanpa adanya “imbalan” (dalam bentuk pendapatan) yang
berarti dari proyek-proyek serupa di atas, biasanya pemerintah daerah enggan
untuk berinvestasi di sini. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu
memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber
keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh
daerah.

Koreksi “Spillovers” Melalui Transfer

MC

P1

PB DT

PA
DA DB

QB QT Q

Gambar 18.1

Berdasarkan Gambar 18.1, jika permintaan dari penduduk (resident


demands) setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaannya
akan sangat rendah, yaitu sebesar DA dan harganya (biayanya) pun relatif
murah (PA) sehingga daerah setempat dipastikan dapat mengadakannya.
Namun, untuk permintaan atas barang publik tertentu (misalnya, perguruan
tinggi), peminatnya juga berasal dari luar daerah (nonresident demands), yaitu
sebesar DB dengan harga (biaya) sebesar PB. Sehingga, total permintaan atas
barang publik tersebut adalah DT dengan harga (biaya) sebesar P1, yang
bagi daerah
bersangkutan akan sangat sulit untuk dapat mengadakannya, karena
biayanya terlalu mahal.
Agar penyediaan barang publik tersebut tetap dilakukan oleh daerah
bersangkutan, maka pemerintah pusat memberikan transfer (subsidi),
yaitu sebesar perbedaan antara PB dan P1. Dengan adanya subsidi ini, maka
daerah bersangkutan dapat menyediakan barang publik tersebut, karena
biayanya berada dalam jangkauan anggaran daerah.

Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam
penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas
yang dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya
bertentangan dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan
lainya.
Misalnya, pemerintah pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan di
sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan
harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun
ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan
daerah. Pemerintah daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor
kesehatan lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat
setempat.
Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan
secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat memberikan transfer atau
insentif kepada daerah. Transfer pemerintah pusat kepada daerah semacam ini
akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai
dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.

Experimenting with New Ideas


Bantuan (grants) seperti ini berawal dari adanya keinginan pemerintah
pusat untuk mengujicobakan suatu program baru di suatu daerah sebelum
program tersebut diberlakukan terhadap seluruh daerah. Alasan perlunya
bantuan dari pusat kepada daerah sehubungan dengan uji coba program
baru tersebut, karena daerah yang menjadi tempat uji coba tidak mau
menanggung kerugian dan risiko manakala terjadi dampak negatif terhadap
program baru tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya bantuan untuk tujuan
uji coba program baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan
daerah menjadi ajang uji coba suatu program baru dari pusat.
380 Keuangan Publik: Teori dan Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan 380
Aplikasi Praktik

Stabilisasi
Transfer dana dapat ditingkatkann oleh pemerintah ketika aktivitas
perekonomian sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke
daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk
dana-dana pembangunan (capital grants) adalah merupakan instrumen yang
cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat
diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak
berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi.

Memenuhi Standar Pelayanan Minimum


Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar
dapat mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan postulat
Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor
publik akan dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar
pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin
pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.

KRITERIA DESAIN TRANSFER PUSAT KE DAERAH


Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar
tingkat pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain
sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah
beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia.
1. Otonomi
Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal di dunia, apakah negara
tersebut berbentuk federal maupun negara kesatuan. Prinsip ini
menekankan agar pemerintah daerah memiliki independensi dan
fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh
ada pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan
di daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan pusat. Pajak-
pajak dimana daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan
pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan formula,
ataupun transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber
penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut.
2. Penerimaan yang Memadai (Revenue Adequacy)
Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer)
yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang
diembannya.
3. Keadilan (Equity)
Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan
positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan berkebalikan dengan besarnya
kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.
4. Transparan dan Stabil
Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses
masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah setiap daerah dapat
memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer),
sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut
seyogyanya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar
perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah.
5. Sederhana (Simplicity)
Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan pada
faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol
atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai
seyogyanya relatif mudah untuk dipahami.
6. Insentif
Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam
insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, sebaliknya
menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian,
tidak perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran
pemerintah daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.

JENIS-JENIS TRANSFER
Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian
transfer oleh pemerintah pusat kepada daerah dapat disertai dengan syarat-
syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada
dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
besar, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose
grant, block grant dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant,
categorial grant, spesific purpose grant).

Transfer Tanpa Syarat


Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya
pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap
daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat
yang layak.
Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal
yang bersifat horisontal (horizontal equalization).
KOTAK 17.3: PRAKTEK TRANSFER TANPA SYARAT DI INDONESIA

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat (unconditional
grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai
berikut:
1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari penerimaan dalam negeri yang
ditetapkan dalam APBN.
2. DAU untuk daerah propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh
persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari total DAU nasional.
3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, persentase
Dana Alokasi Umum untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan perubahan
tersebut.
4. DAU untuk suatu daerah propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh
daerah propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi daerah propinsi yang bersangkutan.
5. Porsi daerah propinsi merupakan proporsi bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
semua daerah propinsi di seluruh Indonesia.
6. DAU untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk
seluruh daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
7. Porsi daerah kabupaten/kota merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap
jumlah bobot semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
8. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan:
kebutuhan wilayah otonomi daerah;
potensi ekonomi daerah.
9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan (diskresi)
penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi
prioritas daerahnya.Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan
suatu formula tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin
meratanya kemampuan fiskal (fiscal capacity) daerah dalam menjalankan
pelayanan publik minimum, amat tergantung kepada kondisi atau keadaan di
masing- masing negara.
Penjelasan efek dari unconditional grant terhadap pembiayaan daerah,
dapat dilihat pada Gambar 18.2. Asumsikan terdapat dua jenis barang
publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan
transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis
horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other
public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis
1
AB adalah garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang
memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam
kasus ini adalah
barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva
2
indiferensi (indifference curve) .
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A
adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah
E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi
pada anggaran yang tersedia.Karena tidak ada batasan pada cara
pembelanjaan fasilitas publik manapun, maka yang bertambah akibat adanya
transfer adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya
pergeseran (shifting) budget line yang sejajar dari AB menjadi FG. Sehingga,
jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu menjadi OK
(untuk assested public goods) dan menjadi OH (untuk other public goods).
Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar,
sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi
i2i2 dan titik keseimbangan
.
baru menjadi E1
Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa penerima lebih memilih
unconditional grants dibandingkan bentuk transfer lainnya. Ini
mengingat, dengan unconditional grants memungkinkan tercapainya
kesejahteraan yang

1
Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi
dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar.
2
Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai
kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi
seorang konsumen.
lebih baik bagi daerah yang muncul dari kemungkinan untuk memilih yang
lebih besar. Namun, bagi pemberi, hal ini bisa juga menjadi suatu kerugian
karena tidak ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan maksud
pemberian grants tersebut.

Efek Unconditional Grant Terhadap Pembiayaan Daerah

Other
Public i2
F Goods

i1

A
E1
H
i2
E
C

i1 G
O D K B Assested Public Goods

Gambar 18-2

Transfer dengan Syarat (Conditional Transfer)


Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap
penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh
daerah. Contohnya adalah proyek-proyek yang menimbulkan efek
eksternalitas positif bagi daerah-daerah lain ataupun proyek-proyek dari
pemerintah pusat yang sifatnya uji coba atas suatu program atau ide baru
(experimenting with new ideas). Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis, yaitu:
Transfer Pengimbang (Matching Grants)
Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat kepada
daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan
satu jenis urusan tertentu. Jadi, di sini pemerintah daerah telah
mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk
penyelenggaraan urusan tersebut. Hanya saja, dana daerah belum cukup untuk
menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari
pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi
kekurangan dana tersebut.
Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
jenis:
1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants).
Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut dapat dan memang
ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi.
Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan
dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, daerah hanya mampu
menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar
Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar
ditanggung sepenuhnya oleh pusat.
Penjelasan efek dari open-ended matching grants dapat disajikan
dalam Gambar 18.3. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan
terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang
akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan
dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang
tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis
vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran daerah
setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi
berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah
barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva
indiferensi (indifference curve).
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand)
barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik
keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi
dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia.
Pemerintah pusat dan daerah berniat meningkatkan kuantitas barang
B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, pemerintah
pusat dan daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing,
yaitu misalnya pusat 90% dan daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis
anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM,
yaitu hanya menggeser kuantitas barang B, sementara barang A tetap.
Sehingga, jumlah barang B (untuk assested public goods) yang dapat
dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi OP. Dengan
demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar,
namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva
indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru
menjadi E1.

Efek dari Open-Ended Matching Grants


Other
Public i2
A Goods

i1

S
E1
N
i2
E
C
Q
M
i1
O D B P Assested Public Goods

Gambar 18.3

Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang


diberikan oleh pemerintah pusat justru akan menyebabkan
ketidakmerataan antar daerah, karena sifat grant ini yang tidak terbatas.
Akibatnya, daerah yang kaya akan mampu membuat proyek yang
kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan
tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat proyek kaya, yang
pembiayaannya bisa sebagian besar dari pemerintah pusat.
2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants).
Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang
dapat digunakan. Hal ini sangat disukai oleh pemberi bantuan
(pemerintah
pusat), karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek,
namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu,
pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya.
Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas awalnya
membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, daerah
hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana
atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90
miliar ditanggung sepenuhnya oleh pusat. Namun, dalam perjalanannya,
estimasi biaya ternyata membengkak menjadi Rp110 miliar atau
mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Karena pemerintah pusat
tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek
tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100
miliar.
Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat disajikan
dalam Gambar 18.4. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan
terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang
akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan
dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang
tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis
vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran daerah
setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi
berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah
barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva
indiferensi (indifference curve).
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang
A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal
0 0
adalah E , dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam
hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia.
Dalam rencana awal, pemerintah pusat dan daerah berniat
meningkatkan kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap.
Untuk tujuan ini, pemerintah pusat dan daerah sepakat memberikan
kontribusinya masing-masing. Misalnya, dari proyek senilai Rp100 miliar,
pemerintah pusat akan memberikan kontribusinya sebesar 90% dan
daerah
10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line)
akan
mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser
kuantitas barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah barang B
(untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak,
yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan
untuk barang B pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A
tetap,
sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1
menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.
Namun dalam perkembangannya, terjadi kenaikan bahan baku
sehingga budget seharusnya dinaikkan menjadi Rp110 miliar. Karena
pemerintah pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan
sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran
semula, yaitu Rp100 miliar. Implikasinya, garis anggaran tidak jadi
bergeser dari AB menjadi AM, tetapi dari AB menjadi AT yang berarti
jumlah barang A yang dapat dihasilkan akan lebih sedikit dibandingkan
perkiraan semula. Implikasinya, terjadi titik keseimbangan baru dari E
menjadi E1, dimana posisi permintaan (demand) barang B adalah tetap
OD. Dalam gambar terlihat bahwa rotasi pada budget line setelah
batas tertentu, slope-nya menjadi sejajar pada budget line awalnya.

Transfer Bukan Pengimbang (Non-Matching Grants)


Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan
tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri
telah/akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis
transfer ini dapat dipakai oleh pemerintah pusat untuk menjadi sarana
menginternalisasikan limpahan manfaat, (eksternalitas) terutama
kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut.
Jadi, kendati pemerintah daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan
pendapatan daerahnya (local revenue) untuk pembiayaan penyelenggaraan
urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan
manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh
pusat untuk mendorong daerah agar tetap bersemangat dan mau
mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.
Penjelasan efek dari non-matching grants terhadap pembiayaan daerah,
dapat dilihat pada Gambar 18.5. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik
(public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer
(assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal
(horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A)
yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah
garis anggaran daerah setempat (community budget line), yang
memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam
kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya
adalah kurva indiferensi (indifference curve).
Efek Closed-Ended Matching Grants
Other
Public i2
Goods
A

i1

S
E1
N
i2
E
C
Q
T M
O D B P i1 Assested Public Goods

Gambar 18.4

Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A


adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah
E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi
pada anggaran yang tersedia. Dengan adanya transfer dari pusat ke
daerah untuk keperluan khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka
budget line dari barang publik yang dibantu (assested public goods)
mengalami pergeseran (shifting), namun tidak mengubah batas maksimum
fasilitas publik lainnya (other public goods).
390 Keuangan Publik: Teori dan Bab 18: Transfer Pusat ke Daerah: Teori dan 390
Aplikasi Praktik

Efek Non-Matching Grants

Other
Public i2
Goods

i1

A
F E1
H
i2
E
C

i1 G
O D K B

Gambar 18.5

RANGKUMAN
§ Konsep desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Daerah juga dituntut untuk
membiayai sendiri biaya pembangunannya padahal pendapatan daerah
tidak bisa membiayai seluruh pengeluarannya, oleh karena itu,
transfer dana dari pusat (intergovernmental transfer) merupakan
sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah. Transfer
pusat ke daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue
sharing) dan bantuan (grants).
§ Tujuan transfer dari pusat ke daerah, antara lain: (a) pemerataan
vertikal, (b) pemerataan horisontal, (c) mengatasi persoalan efek
pelayanan publik, (d) mengarahkan prioritas, (e) melakukan eksperimen
dengan ide-ide baru,
(f) stabilisasi, dan (g) menjaga tercapainya standar pelayanan minimum
di setiap daerah.
§ Pemerataan vertikal (vertical equalization), bertujuan untuk
mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level
pemerintahan, antara pemerintah pusat dan daerah yang disebabkan
perbedaan atas penguasaan sumber-sumber penerimaan (pajak). Kebijakan
yang dilakukan dengan melakukan GRS (general revenue sharing) yaitu
bagi hasil penerimaan umum.
§ Pemerataan horisontal (horisontal equalization), bertujuan untuk
menutup celah fiskal yang dimiliki oleh daerah. Celah fiskal ini
terjadi karena adanya perbedaan antara kapasitas fiskal, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dan kebutuhan fiskal, yaitu
besarnya kebutuhan belanja/pengeluaran suatu daerah. Transfer dari pusat
ke daerah akan digunakan untuk menutup celah fiskal tersebut.
§ Mengatasi persoalan efek pelayanan publik (Correcting
Spatial Externalities), maksudnya pemerintah pusat memberikan (transfer)
subsidi kepada pemerintah daerah untuk penyediaan barang publik yang
memiliki efek ‘menyebar’ ke wilayah-wilayah lainnya. Hal ini
dilakukan karena dengan adanya externalities (penyebaran), permintaan
meningkat, dan sulit bagi daerah untuk mengadakannya karena biayanya
terlalu mahal. Subsidi dibutuhkan sebesar selisih akibat peningkatan
permintaan sehingga biayanya berada dalam jangkauan daerah.
§ Mengarahkan prioritas (redirecting proprities), bertujuan agar
keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara
paralel walaupun memiliki perbedaan prioritas. Perbedaan ini diatasi
dengan memberi transfer/insentif ke daerah sehingga membantu
mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai harapan.
§ Melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (Experimenting with
New Ideas), berarti membutuhkan tempat uji coba. Bantuan (grants) ke
daerah diperlukan sebagai kompensasi atas daerah yang menjadi ajang uji
coba suatu program baru dari pusat karena daerah tidak mau menanggung
kerugian dan risiko sendiri.
§ Stabilisasi, yaitu menstabilkan kondisi perekonomian yang lesu
dengan memberikan transfer maupun mengurangi transfer ketika
perekonomian sedang booming. Instrumennya berupa transfer untuk
dana-dana pembangunan (capital grants).
§ Memenuhi standar pelayanan minimum, bertujuan memberikan subsidi
ke daerah dengan sumber daya sedikit agar dapat mencapai standar
pelayanan umum.
§ Kriteria desain transfer pusat ke daerah, antara lain: (1) otonomi,
(2) penerimaan yang memadai (revenue adequacy), (3) keadilan (equity),
(4) transparan dan stabil, (5) sederhana (simplicity), dan (6) insentif.
§ Jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar:
(1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant,
block grant), dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial
grant, spesific purpose grant).
§ Transfer tanpa syarat, bertujuan utnuk mengurangi ketimpangan
fiskal yang bersifat horisontal dan menjamin adanya pemerataan
kemampuan fiskal antar daerah. Ciri utamanya, daerah memiliki
keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkannya sesuai dengan
pertimbangan dan aturan yang menjadi prioritas. Unconditional grants
lebih disukai karena memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang lebih
baik bagi daerah, tapi bagi pemberi bisa menjadi kerugian karena tidak
ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan tujuan pemberian
grants.
§ Transfer dengan syarat, digunakan untuk keperluan yang dianggap
penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh
pemerintah daerah seperti proyek yang memiliki eksternalitas positif dan
proyek yang bersifat uji coba. Transfer ini dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu: transfer pengimbang (matching grants) dan transfer
bukan pengimbang (non-matching grants).
§ Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat ke
daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu
jenis urusan tertentu, dikarenakan dana daerah yang tidak cukup. Transfer
pengimbang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Transfer pengimbang
tidak terbatas (open ended matching grants), yang memang ditujukan
untuk menutup seluruh kekurangan dana dari proyek. Efek negatif dari
transfer ini dapat menyebabkan ketidakmerataan daerah, karena sifatnya
yang tidak terbatas. Sehingga daerah kaya membuat proyek kaya menjadi
lebih kaya. (2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching
grants), terdapat batasan jumlah dana maksimal yang dapat
digunakan. Transfer ini disukai oleh pemberi bantuan, walaupun dana
yang diberikan sesuai dengan besar proyek, jika biaya proyek melebihi
jumlah tertentu, pemberi bantuan akan mencukupkan bantuannya.
§ Transfer bukan pengimbang (non-matching grants), diberikan oleh
pusat kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis
urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah telah
mengalokasikan dananya. Hal ini dilakukan untuk mendorong daerah
agar
tetap bersemangat melaksanakan fungsi tersebut karena
menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain.

LATIHAN
1. Apa saja tujuan dari transfer pusat ke daerah ?
2. Mengapa bisa timbul ketimpangan vertikal (vertical imbalance) ?
3. Sebutkan tujuan dari vertical equalization transfer dan
horizontal equalization transfer !
4. Jelaskan mengapa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh
yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalization transfer di
Indonesia !
5. Jelaskan kriteria desain transfer ke daerah dari sudut pandang :
a. keadilan,
b. transparan dan stabil,
c. insentif.
6. Jelaskan adanya transfer tanpa syarat dan tujuannya !
7. Apa yang dimaksud dengan transfer pengimbang tidak terbatas
dan transfer pengimbang terbatas !
8. Jelaskan yang dimaksud dengan transfer bukan pengimbang !
9. Jelaskan yang dimaksud dengan desentralisasi ?
10. Apa implikasi dari aspek pembiayaan yang juga ikut terdesentralisasi ?
11. Sebutkan dua macam transfer pusat ke daerah !
12. Mengapa diberlakukan praktek vertical equalization di Indonesia,
jelaskan dengan contohnya !
13. Apa yang dimaksud dengan horizontal equalization transfer dan
mengapa hal itu diperlukan ?
14. Apa yang dimaksud dengan :
a. faktor penyeimbang,
b. faktor lump sum.
15. Jelaskan faktor formula Dana Alokasi Umum (DAU) dan
sebutkan variabel-variabelnya !
16. Apa yang dimaksud efek menyebar yang dimiliki pelayanan publik
di suatu wilayah ?
17. Suatu kondisi yang seperti apa di dalam kurva jika daerah setempat
dapat mengadakan fasilitas publik yang dimaksud ?
18. Bagaimana cara pemerintah pusat melakukan redirecting priorities
terhadap pemerintah daerah !
19. Apa yang dimaksud dengan experimenting with new ideas yang
dilakukan pemerintah pusat pada pemerintah daerah ?
20. Jelaskan yang dimaksud dengan Pustulat Musgrave yang berkaitan
dengan standar pelayanan minimum di daerah !
21. Sebutkan kriteria umum desain transfer pusat ke daerah !
22. Apakah ciri utama dari transfer tanpa syarat di daerah ?
23. Apa yang dimaksud dengan :
a. garis anggaran
b. kurva indeferensi
24. Mengapa penerima lebih memilih unconditional grants
dibandingkan dengan bentuk transfer lainnya dan mengapa pemberi dapat
merasa dirugikan ?
PERPAJAKAN DAERAH

Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari perpajakan dengan


tiga cara. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, adalah melalui
pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan dipungut
oleh pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, menurut Undang-
Undang No. 25/1999, pajak pemerintah pusat yang dibagikan adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Kedua, pemerintah daerah dapat memungut tambahan pajak
(opsen, surchage di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh
pemerintah pusat. Menurut pengertian ini, para wajib pajak di wilayah
(daerah) mereka, pada umumnya membayar pungutan tambahan beserta
pajak-pajaknya kepada pemerintah pusat. Kemudian, pemerintah pusat
membayarkan pendapatan opsen tersebut kepada pemerintah daerah.
Praktek seperti ini diterapkan di
396 Keuangan Publik: Teori dan Bab 19: Perpajakan Daerah 396
Aplikasi

Swedia, Amerika Serikat, dan India. Pemerintah Daerah Swedia, misalnya,


memungut opsen atas pajak penghasilan nasional. Di Amerika Serikat,
pemerintah daerah mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara
bagian (state). Sedangkan, beberapa panchayats (pemerintah kabupaten)
di India menikmati opsen atas pajak tanah.
Untuk lebih jelas memahami opsen, Davey (1983) mendefinisikan bahwa
opsen adalah semacam pungutan pajak (precept) yang dipungut oleh propinsi
(country) atau dewan desa (parish council) di Inggris di atas rate (pajak atas
harta tetap, semacam PBB) dewan kabupaten (district council), sedangkan di
daerah-daerah non metropolitan, precept pemerintah propinsi merupakan
proporsi yang tinggi dari seluruh pungutan pungutan wajib wajib pajak.
Opsen tersebut mungkin dipungut sebagai persentase tambahan atas
pendapatan kena pajak (PKP), dalam hal pajak penghasilan atau alternatifnya,
sebagai suatu persentase tambahan atas pajak yang sebenarnya
dibayarkan kepada pemerintah pusat atau negara bagian.
Ketiga, adalah pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh
pemerintah daerah sendiri. Adapun variabel yang utama adalah
dasar hukumnya (kewenangannya). Suatu jenis pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah mungkin ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan
pemerintah pusat. Dalam konteks di Indonesia, pajak daerah jenis ini diatur
dalam UU No.
34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang
Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh
pemerintah daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue
sharing telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan
mengenai opsen, kurang relevan dengan sistem perpajakan di
Indonesia, karena Indonesia tidak menerapkan sistem opsen.

PRINSIP DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAH


Menurut Davey (1983) terdapat empat kriteria mengenai pajak Daerah.
Keempat kriteria tersebut adalah kecukupan dan elastisitas, pemerataan,
kemampuan administratif, dan dapat diterma secara politik.
Kriteria pertama, kecukupan dan elastisitas. Kecukupan maksudnya bahwa
sumber pendapatan tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar
dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan
dikeluarkan. Seringkali dijumpai pemerintah daerah mempunyai banyak jenis
pajak, tetapi pendapatan yang dihasilkan tidak mampu melebihi biaya yang
dikeluarkan untuk memungutnya.
Sedangkan elastis maksudnya adalah kemampuan untuk menghasilkan
tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan
pengeluaran pemerintah daerah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang
secara otomatis, misalnya, apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu
daerah meningkat, dan pendapatan individu meningkat, maka dengan
sendirinya pajak juga harus meningkat. Dalam hubungan ini, elastisitas
mempunyai dua dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan
pajak itu sendiri. Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan
pajak tersebut. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang
penting. Elastisitas juga dengan mudah dapat diukur dengan
membandingkan hasil penerimaan selama beberapa tahun dengan perubahan
dalam indeks harga, penduduk, atau PDRB.
Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban
pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam
masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing
golongan. Keadilan memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara
vertikal, yaitu dalam hubungan pembebanan pajak atas tingkat
pendapatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, pajak dapat dikatakan
baik kalau pajak tersebut bersifat progresif, yakni persentase pendapatan
seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat
pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika pajak tersebut
bersifat regresif, yakni persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak
berkurang dengan adanya kenaikan pendapatan.
Kedua, pemerataan secara horisontal, yaitu dalam konteks hubungan
pembebanan pajak berdasarkan sumber pendapatan. Maksudnya adalah
seseorang yang memiliki jumlah pendapatan yang sama, seharusnya
dikenakan pajak dalam jumlah yang sama. Petani yang memiliki pendapatan
Rp100 juta per tahun, maka pajaknya harus sama dengan pegawai kantor
(swasta atau negeri) yang memiliki gaji sebesar Rp100 juta per tahun.
Dengan konsep keadilan horisontal seperti ini, maka diharapkan tidak ada
penduduk yang yang kebal pajak.
Ketiga, adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil
antarpenduduk di berbagai daerah. Seseorang seharusnya tidak dibebani pajak
lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu.
Kriteria ketiga adalah kemampuan adiministratif. Untuk menilai suatu
pajak agar dapat memenuhi tuntutan keadilan dan pemerataan, maka
dibutuhkan suatu administrasi yang baik dan fleksibel. Dimana, administrasi
pemungutan pajak harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan
bagi si wajib pajak.
Kriteria keempat, adalah adanya kesepakatan politik. Tidak ada pajak
yang populer. Semua orang pada dasarnya ingin menolak membayar pajak,
kalau diperbolehkan. Bahkan, dalam beberapa jenis pajak, lebih tidak populer
dibandingkan jenis pajak yang lain. Dalam kondisi seperti ini, kemauan
politik diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif,
memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut
ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi
terhadap para pelanggar. Dengan adanya kemauan politik seperti ini, maka
diharapkan pajak pun dapat secara politis diterima oleh masyarakat,
sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
Sidik (2002) menambahkan bahwa selain keempat kriteria yang ditetapkan
Davey (1983) di atas, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria non distorsi
terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya
setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi
konsumen maupun produsen. Namun demikian, jangan sampai suatu pajak
atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan,
sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).
Dalam konteks Indonesia, kriteria non distorsi terhadap perekonomian
merupakan alasan keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas
UU No.18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan adanya UU No. 34
Tahun 2000 ini diharapkan pajak daerah tidak menimbulkan beban
tambahan bagi masyarakat.

CIRI-CIRI TERTENTU SUATU PAJAK DAERAH


Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah tersebut di atas, maka
perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri
dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang,
adalah sebagai berikut:
§ Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan
antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos
pemungutannya.
§ Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu
besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun
secara tajam.
§ Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan
(benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Dalam konteks Indonesia, terutama kaitannya dengan pelaksanaan otonomi
daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan
pajak
selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara
umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak
sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan
mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi.
Untuk itu, pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap
“menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator.
Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara
(daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan
sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras
dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman
keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor
komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di
dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan
yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat
pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota, yaitu:
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan
cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak
terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong
pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban
pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya,
basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah
untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan
dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak konsumsi di
banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena
pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di
Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan
persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang
lebih tinggi (pusat/propinsi).
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah,
seharusnya diserahkan kepada pemerintah pusat.
4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak
seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak
dan besarnya
pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga
dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada
penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar
pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi
dari pelayanan).
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang
memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar.
Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan
seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi
secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi
jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan
komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan
secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan
kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang
manfaatnya dapat dilokalisasi bagi pembayar pajak lokal.

Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah
yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak
selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung
pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan
tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model
Leviathan.
Model Leviathan
Tarif Pajak
Daerah

Kurva Laffer

*
t
Gambar 19.1

Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak


signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari
penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh
besaran pajak, maka Gambar 19.1 di bawah ini menunjukkan hubungan
antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva
(“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak),
menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh
kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun
illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar
19.1 ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap
pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan
tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak
maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif
tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada
kondisi ini dikenal sebagai revenue maximizing tax rate. Model Leviathan
ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak
daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi,
tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan
dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon
harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka
akan dicapai total penerimaan maksimum. Model Leviathan ini dapat
dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan
dasar pengenaan pajak untuk mencapai total penerimaan pajak maksimal.

Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah di Indoneia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun 1997 dengan
dikeluarkannya UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Namun, dalam perkembangannya, UU No.18 Tahun 1997 dianggap
kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan
baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan
kepada daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satu pun
daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut
sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari pusat
juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Seiring dengan keluarnya
UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, maka UU No.18 Tahun 1997
diubah dengan UU No.34
Tahun 2000. Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU
No.34
Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi
salah
satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah.
Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun
2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh
propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Propinsi


Pajak propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB &
KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
(P3ABT
& AP). Jenis pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti propinsi tidak
dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat
menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
dalam UU.
Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh propinsi terkait
dengan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang
hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya propinsi
dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika
dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif,
berlaku definitif untuk pajak propinsi yang
ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65
Tahun 2001.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Kabupaten


Pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk memungut 7
(tujuh) jenis pajak (Pasal 2 ayat 2), yaitu : (i) pajak hotel; (ii) pajak restoran;
(iii) pajak hiburan; (iv) pajak reklame; (v) pajak penerangan jalan; (vi) pajak
pengambilan bahan galian golongan C; (vii) pajak parkir.
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota
diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya
selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan
menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan
kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud (Pasal 2
ayat
4):
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi.
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek
pajak pusat.
e. Potensinya memadai.
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan
masyarakat. h. Menjaga kelestarian lingkungan.

Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi Dan


Peruntukannya (Pasal 2a)
Hasil penerimaan pajak propinsi sebagian diperuntukkan bagi daerah
kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas
Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas
Air
diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 30% (tiga
puluh persen);
b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan
kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen);
c. Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling
sedikit 70% (tujuh puluh persen).
Hasil penerimaan pajak kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10%
(sepuluh persen) bagi desa di wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan.
Bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan
daerah propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar
daerah kabupaten/kota. Bagian desa ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar desa.
Penggunaan bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan sepenuhnya oleh daerah
kabupaten/kota.
Dalam hal hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dalam suatu propinsi
terkonsentrasi pada sejumlah kecil daerah kabupaten/kota,
gubernur berwenang merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada
daerah kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan. Dalam hal
objek pajak kabupaten/kota dalam satu propinsi yang bersifat lintas daerah
kabupaten/kota, gubernur berwenang untuk merealokasikan hasil penerimaan
pajak tersebut kepada daerah kabupaten/kota yang terkait. Sedangkan
ketentuan mengenai realokasi dilakukan oleh gubernur atas dasar kesepakatan
yang dicapai antar daerah kabupaten/kota yang terkait dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

TARIF PAJAK PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA


Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak propinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih
tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan
adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh propinsi dan yang dipungut
oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Disebutkan dalam UU No. 34/2000 Pasal 3 ayat (1), tarif jenis pajak
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen);
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
10% (sepuluh persen);
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan 20% (dua puluh persen);
e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen);
f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen);
g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen);
i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen);
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen).

Peranan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah dalam


Mendukung Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah
dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah terkait penggalian sumber-sumber
pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai salah satu komponen dari PAD,
adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya
pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh
daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan
dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean
Urban
1
Project, RTI bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah
berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini
disebabkan oleh:
Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34
Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan
jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan
pajak baru
sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang
tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, diperkirakan daerah
memiliki basis

1
Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia,
LPEM Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar
daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti
memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi
krisis ekonomi.
Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari
segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini
mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih
mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap pusat untuk
memperoleh tambahan bantuan.
Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini
mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya
2
pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang
rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target”
dalam
pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong
memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi
sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target
yang ditetapkan.
Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini
mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran
daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10%
hingga 50%. Sebagian besar daerah propinsi hanya dapat membiayai
3
kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10% . Variasi dalam penerimaan ini
diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada
daerah penghasil
sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi
pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar
daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai
600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat
rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat
besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya
yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan
biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

2
Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase
perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan
perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan
perpajakan apabila PDB berubah 1%.
3
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran
2001.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari
‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan
kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-
pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu), seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi
kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu
jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39%
dari total penerimaan pajak (pajak
4
pusat dan pajak daerah). Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-
sumber
penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia dari sisi revenue
assignment masih terlalu ”sentralistis”.

RANGKUMAN
§ Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari perpajakan
dengan cara: (1) melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing)
yang dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat, yaitu PPh, PBB, dan
BPHTB menurut UU No.25/1999. (2) Pemerintah daerah dapat memungut
tambahan pajak (opsen, surchage) di atas suatu pajak yang dipungut dan
dikumpulkan oleh pemerintah pusat. (3) Pungutan-pungutan yang
dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah daerah sendiri yang diatur
dalam UU No.34 Tahun 2000.
§ Kriteria perpajakan daerah antara lain: (1) kecukupan dan elastisitas,
(2) pemerataan/ keadilan, (3) kemampuan administratif, dan (4) dapat
diterima secara politik.
§ Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendapatan tersebut
harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan
seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Elastisitas
adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar
dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran pemerintah
daerah dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis.
§ Pemerataan/keadilan, bahwa beban pengeluaran pemerintah
haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan
kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan
memiliki tiga dimensi: (a) pemerataan vertikal, dalam hubungan
pembebanan pajak atas

4
Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.
tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Pajak yang baik adalah pajak yang
bersifat progresif dan pajak yang tidak baik bersifat regresif,
(b) pemerataan horisontal, dalam konteks hubungan pajak berdasarkan
sumber pendapatan, (c) keadilan geografis, pembebanan pajak harus adil
antar penduduk di berbagai daerah.
§ Kemampuan administratif berarti administrasi pemungutan pajak
harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib
pajak.
§ Adanya kesepakatan politik, untuk memunculkan kemauan politik
yang diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif,
memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut
diterapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi
terhadap para pelanggar. Dengan kemauan politik, timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
§ Selain empat kriteria, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria
non- distorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau
pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap
perekonomian.
§ Ciri-ciri tertentu suatu pajak daerah, antara lain: (a) secara ekonomis
dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih
besar dibandingkan ongkos pemungutannya, (b) relatif stabil, artinya
penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, (c) tax base-nya
harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan
kemampuan untuk membayar (ability to pay).
§ Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi.
§ Fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) fungsi budgeter,
pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, (2) fungsi
regulator, pajak sebagai alat pengatur untuk mencapai tujuan, misalnya
pajak minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
§ Kriteria dan pertimbangan dalam pemberian kewenangan
perpajakan kepada tingkat pemerintahan pusat/propinsi dan
kabupaten/kota menurut Tersa Ter-Minassian, yaitu: (1) pajak yang
ditujukan untuk stabilisasi ekonomi dan distribusi pendapatan menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat, (2) pajak yang terlalu “mobile”
dipertahankan di pemerintah yang lebih tinggi, basis pajak yang
diserahkan kepada daerah tidak terlalu “mobile” sehingga mempermudah
daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan
dari kemampuan masyarakat, (3) basis pajak yang distribusinya sangat
timpang antar daerah dipertahankan di pemerintah pusat, (4) pajak
daerah bersifat “visible” jelas bagi pembayar
pajak, yaitu objek, subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan
mudah dihitung, (5) pajak daerah tidak dapat dibebankan kepada
penduduk daerah lain, (6) pajak daerah dapat menjadi sumber penerimaan
yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar,
(7) pajak daerah harusnya relatif mudah diadministrasikan, (8) pajak dan
retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan pada semua tingkat
pemerintahan.
§ Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari
pajak daerah perlu memperhatikan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.
Model Leviathan yang menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif
dan dasar pengenaan pajak dengan penerimaan total maksimum,
menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus
dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan
pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur
pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan
kuantitas barang terhadap penggunaan pajak sedemikian rupa, maka akan
dicapai total penerimaan maksimum.
§ Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya yaitu PP No. 65
Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001
tentang
Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang
dipungut oleh propinsi dan kabupaten/kota.
§ Pajak propinsi terdiri atas empat jenis, yaitu: (a) Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (b) Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (c) Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
§ Pajak propinsi bersifat limitatif yang berarti tidak dapat memungut
pajak lain selain yang telah ditetapkan dan hanya dapat menambah jenis
retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk pajak
propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur
dalam PP No.65
Tahun 2001.
§ Pajak daerah kabupaten/kota terdiri atas tujuh jenis pajak, yaitu: (1)
pajak hotel, (2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5)
pajak penerangan jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C,
dan (7) pajak parkir.
§ Pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, yaitu diberi peluang
untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang
ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan
menetapkan sendiri
jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria sebagai
berikut: (a) bersifat pajak dan bukan retribusi, (b) objek pajak terletak di
wilayah daerah kabupaten/kota dan mempunyai mobilitas yang cukup
rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah yang bersangkutan,
(c) objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, (d) objek pajak bukan merupakan objek pajak
propinsi dan atau pajak pusat, (e) potensinya memadai, (f) tidak
memberikan dampak ekonomi yang negatif, (g) memperhatikan aspek
keadilan dan kemampuan masyarakat, (h) menjaga kelestarian lingkungan.
§ Ketentuan mengenai bagi hasil pajak propinsi dan peruntukannya,
sebagai berikut: (a) hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air diserahkan pada kabupaten/kota paling sedikit
30%, (b) hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%, (c) hasil
penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota paling sedikit 70%.
§ Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota diperuntukkan paling sedikit
10% bagi desa di wilayah kabupaten/kota. Gubernur berwenang untuk
merealokasikan hasil penerimaan pajak jika penerimaan terkonsentrasi
pada sejumlah kecil daerah saja.
§ Menurut UU No.34/2000 , tarif pajak propinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan paling tinggi sebesar: (a) Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen), (b) Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh
persen), (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima
persen), (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan 20% (dua puluh persen), (e) Pajak Hotel 10% (sepuluh
persen), (f) Pajak Restoran 10% (sepuluh persen), (g) Pajak Hiburan 35%
(tiga puluh lima persen). (h) Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen),
(i) Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen), (j) Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen), (k) Pajak Parkir 20%
(dua puluh persen).
§ Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah
satu komponen PAD. Namun, pelaksanaannya belum memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara
keseluruhan.
§ Permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian
dan peningkatan PAD, disebabkan oleh: (a) relatif rendahnya basis
pajak dan
retribusi daerah, (b) perannya yang tergolong kecil dalam total
penerimaan daerah, (c) kemampuan administrasi pemungutan di daerah
yang masih rendah, (d) kemampuan perencanaan dan pengawasan
keuangan yang lemah.
§ Peran PAD yang tidak signifikan, tidak lepas dari ‘’ tax
assignment system” di Indonesia yang masih memberikan kewenangan
penuh kepada pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak
potensial. Ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber penerimaan
pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia masih “sentralistis”.

LATIHAN
1. Sebutkan dua cara pemerintah daerah memperoleh pendapatan
dari perpajakan di Indonesia !
2. Berdasarkan prinsip keadilan dari perpajakan daerah, jelaskan
yang dimaksud dengan :
a. pemerataan secara vertical
b. pemerataan secara
horizontal c. keadilan geografis
3. Sebutkan empat kriteria perpajakan daerah
!
4. Apa yang dimaksud dengan kriteria non distorsi
terhadap perekonomian, dan apa tujuan dikeluarkannya UU no. 34
tahun 2000 !
5. Berdasarkan model Leviathan, mengapa total penerimaan
pajak maksimum bukan pada saat tarif tertinggi?
6. Mengapa terdapat banyak permasalahan yang terjadi di
daerah berkaitan dengan penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ?
7. Jelaskan yang dimaksud dengan opsen
?
8. Jelaskan dua dimensi dari elastisitas sehubungan dengan pajak
?
9. Sebutkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki suatu pajak daerah
khususnya di negara yang sedang berkembang ?
10. Jelaskan fungsi pajak sebagai
:
a. Fungsi Budgetair
b. Fungsi Regulator
11. Mengapa basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya
tidak terlalu mobile ?
12. Jelaskan dengan singkat pertimbangan yang diperlukan
dalam pemebrian kewenangan perpajakan kepada tingkat
pemerintahan ?
13. Apa yang dimaksud dengan pajak daerah seharusnya visible ?
14. Apa yang dimaksud dengan pajak propinsi bersifat limitatif
dan mengapa pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif ?
15. Sebutkan yang termasuk jenis pajak propinsi !
16. Sebutkan jenis-jenis pajak daerah kabupaten/kota !
17. Bagaimana ketentuan pembagian dari hasil pajak propinsi ?
18. Mengapa peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum
signifikan dalam anggaran daerah ?
HUTANG PUBLIK

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal bahwa pemerintah harus


melakukan berbagai macam kegiatan dalam melaksanakan fungsinya sebagai
penyelenggara negara. Kegiatan kegiatan ini tentunya perlu ditunjang oleh
pengeluaran pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya pengeluaran
pemerintah itu harus dibiayai dengan penerimaan pemerintah.
Adakalanya pada saat tertentu pemerintah akan mengalami defisit
anggaran. Untuk menutup defisit anggaran pemerintah ini salah satunya
adalah dengan jalan hutang. Penutupan defisit anggaran pemerintah dengan
melalui pinjaman baik dari dalam maupun dari luar inilah yang
dinamakan pinjaman pemerintah (Mankiw, 2001). Hasil dari hutang publik
ini akan memainkan peranan yang sangat penting baik sebagai sumber
dana pada saat terjadinya pinjaman maupun pada saat kita harus melunasi
hutang tersebut. Hal yang demikian ini dialami terutama oleh negara negara
yang dalam masa berkembang termasuk Indonesia.
414 Keuangan Publik: Teori dan Bab 20: Hutang Publik 414
Aplikasi

Hutang negara seringkali dibedakan menjadi dua yakni “reproductive


debt” dan “dead weight debt”. Reproductive debt merupakan hutang yang
dijamin seluruhnya dengan kekayaan negara yang berhutang atas dasar nilai
yang sama besarnya. Sedangkan dead weight debt merupakan hutang yang
tanpa disertai dengan jaminan kekayaan. Pembedaan jenis pinjaman yang lain
adalah antara pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri (internal debt
dan external debt). Pinjaman dalam negeri adalah pinjaman yang berasal dari
orang-orang atau lembaga-lembaga yang ada dalam negara itu sendiri.
Pinjaman luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau
lembaga-lembaga negara lain. Pinjaman dalam negeri dapat bersifat paksa
maupun bersifat sukarela, sedangkan pinjaman luar negeri biasanya bersifat
sukarela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara
lain. Pada pelaksanaannya, dalam membiayai pembangunan jenis hutang
publik yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah Surat Utang
Negara (SUN) dan hutang atau pinjaman luar negeri. Pada bagian berikut,
akan dibahas mengenai kedua jenis hutang tersebut.

SURAT UTANG NEGARA (SUN)


Pengertian
Surat Utang Negara diatur berdasarkan Undang-Undang No. 24/2002.
Pengertian Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat
pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya. Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk
“warkat”, diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar sekunder dan
“tanpa warkat” (scripless), diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di
Pasar Sekunder. Surat Utang Negara terdiri dari surat perbendaharaan negara
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto dan obligasi negara berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
Tujuan diterbitkannya Surat Utang Negara adalah untuk membiayai defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka
pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan
pengeluaran dari rekening kas negara dalam satu tahun anggaran dan
mengelola portofolio utang negara. Kewenangan penerbitan Surat Utang
Negara berada pada pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan
dengan melakukan konsultasi dengan Bank Indonesia dan terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan DPR. Persetujuan akan diberikan oleh DPR
dengan catatan bahwa
atas nilai bersih maksimal surat utang negara dalam 1 tahun anggaran dan
pada saat pengesahan APBN. Dengan adanya persetujuan ini maka
pemerintah wajib membayar bunga & pokok saat jatuh tempo dengan dana
pembayaran bunga dan pokok disediakan di dalam APBN. Penawaran Surat
Utang Negara dilakukan melalui lelang dan yang ditunjuk sebagai agen
lelang Surat Utang Negara yaitu Bank Indonesia. Peserta lelang Surat Utang
Negara adalah bank, perusahaan pialang pasar uang dan perusahaan efek.
Penjualan Surat Utang Negara adalah dengan cara peserta lelang mengajukan
penawaran pembelian kompetitif dan penawaran pembelian nonkompetitif
dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan
diumumkan sebelumnya. Adapun kegiatan penataausahaan Surat Utang
Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setlement, serta
agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank
Indonesia.

PENGELOLAAN SURAT UTANG NEGARA


Surat Utang Negara dikelola oleh Menteri Keuangan dan aktivitas
pengelolaan tersebut meliputi hal hal yang diantaranya adalah penetapan
strategi & kebijakan pengelolaan surat utang negara, perencanaan &
penetapan struktur portofolio utang negara, penerbitan dan penjualan surat
utang negara di pasar perdana melalui lelang dan atau tanpa lelang
(issuance), pembelian kembali (buyback), Penukaran (debt
switching/exchange offer), pelunasan surat utang negara (redemption) dan
aktivitas lain dalam rangka pengembangan pasar Surat Utang Negara.
Dalam hal ini, Menteri Keuangan membuka rekening dalam rangka
pengelolaan Surat Utang Negara yang merupakan bagian dari rekening kas
negara (Rek. 502.000.003 dan Rek. 502.000.001). Kegiatan
penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan settlemen,
serta agen pembayar bunga dan pokok surat utang negara dilaksanakan oleh
Bank Indonesia (Central Registry).
Dalam pelaksanaan lelang Surat Utang Negara, Menteri Keuangan akan
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang surat
perbendaharaan negara di pasar perdana (Auction Agent). Di samping itu
Menteri Keuangan dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana
lelang obligasi negara di pasar perdana. Ketentuan mengenai metode
lelang, jadwal pelaksanaan lelang, kriteria peserta lelang dan hasil akhir
lelang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan juga dapat
menunjuk Bank Indonesia dan atau pihak lain sebagai agen untuk membeli
atau menjual Surat Utang Negara di pasar sekunder. Pengaturan dan
pengawasan kegiatan perdagangan Surat
Utang Negara dilakukan oleh instansi pemerintah yang melakukan
pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal (saat ini Bapepam).
Berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansinya, penatausahaan dan
pertanggungjawaban atas pengelolaan Surat Utang Negara dan dana yang
dikelola dilakukan oleh Menteri Keuangan. Pertanggungjawaban di atas akan
disampaikan secara bersamaan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN. Di samping itu juga akan dilakukan publikasi secara berkala
atas informasi kegiatan pengelolaan Surat Utang Negara yang akan dilakukan
oleh Menteri Keuangan.

HUTANG LUAR NEGERI


Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk
devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, dalam bentuk barang dan atau jasa
yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali
1
dengan persyaratan tertentu. Kredit/pinjaman merupakan penerimaan
negara, dalam bentuk devisa / barang / jasa, yang diperoleh dari pemberi
pinjaman luar negeri (Lender), dan harus dikembalikan sesuai ketentuan
dalam loan agreement. Pinjaman ini terdiri dari Soft Loan dan Export
Credit. Ketentuan
yang diberlakukan untuk soft loan, interest rate maksimum adalah
3.5%, grace period 7 tahun, dan pembayaran angsuran dalam 25 tahun
(termasuk grace period), dan kegiatan proyek bersifat non komersial serta
telah disetujui oleh CGI, sedangkan untuk Export Credit, interest rate lebih
2
dari 3.5% dan maksimum LIBOR rate, pemerintah harus menyediakan
down payment sebesar 15% dari biaya proyek, bersifat komersial, dan
pengalokasiannya disetujui oleh Menko Bidang Perekonomian.

Proses Pelaksanaan Kerjasama Pinjaman Dan Hibah Luar


Negeri (PHLN)
Dalam pelaksanaan kerjasama PHLN, prosesnya dimulai dari
pertemuan awal dimana akan dilakukan pembicaraan/pembahasan kerjasama
antar lembaga/ instansi terkait pada acara kunjungan resmi/tidak resmi,
sebagai bagian dari rangkaian suatu perundingan. Hasil pertemuan ini
kemudian dirangkum dalam catatan pertemuan, agreed minutes, summary
record, record
1
Pengertian Pinjaman Luar Negeri berdasarkan SKB Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas
No.185/KMK.03/1995 dan KEP.031/KET/5/1995
2
LIBOR (London Interbank Offer Rate), merupakan suku bunga yang umumnya
dikenakan bagi pinjaman – pinjaman antar Eurobank
of discussion, atau minutes of meeting. Catatan di atas sifatnya
belum mengikat dan tidak perlu mendapat persetujuan sekretariat kabinet;
Pertemuan awal ini kemudian dilanjutkan oleh kegiatan “keinginan antar
pihak” yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan awal, yang
menghasilkan komitmen untuk melaksanakan kerjasama dalam bidang
tertentu di masa mendatang. Masing-masing pihak berniat untuk
menindaklanjuti pembicaraan tentang kerjasama yang pernah didiskusikan
sebelumnya, namun belum siap untuk merumuskannya secara formal dalam
bentuk agreement, Memorandum of Understanding, maupun perjanjian
pelaksanaan. Hasil kesepakatan atau komitmen disebut naskah keinginan
bersama, kesepakatan pendahuluan, nota kesepakatan, atau Letter of Intent
(LoI). Naskah ini ditandatangani oleh pejabat lembaga/instansi yang
terlibat, namun belum perlu mendapat persetujuan sekretariat kabinet.
Langkah selanjutnya adalah adanya persetujuan antar pihak, yang
merupakan suatu kesepakatan yuridis antar lembaga/instansi, namun tidak
mengikat lembaga/instansi tersebut secara keseluruhan. Hasilnya disebut
kesepakatan bersama, MoU, atau naskah persetujuan, yang dapat berfungsi
hanya sebagai payung kerjasama, atau sebagai petunjuk teknis pelaksanaan
dari suatu persetujuan yang sudah ada. Isi kesepakatan ini mencakup pokok-
pokok perjanjian secara umum/garis besar, dengan ruang lingkup bidang
kerjasama tertentu/spesifik. Kesepakatan ini dapat mencakup lebih dari satu
kegiatan yang melibatkan instansi-instansi tertentu. Tujuannya adalah untuk
merealisasikan keinginan bersama yang telah dituangkan dalam LoI.
Setelah terjadi persetujuan antar pihak, maka akan dilanjutkan dengan
perjanjian pelaksanaan kerjasama (implementing arrangement). Implementing
arrangement merupakan perjanjian yuridis antar lembaga/instansi yang
mengatur kerjasama (teknis), dan sudah mengikat lembaga/instansi tersebut
secara keseluruhan, dalam batas-batas yang telah disepakati oleh pihak-pihak
yang terlibat. Isi perjanjian mencakup hal-hal yang terinci dari suatu kegiatan
kerjasama, dengan ruang lingkup yang lebih spesifik sampai pada jadwal
pelaksanaan serta kualifikasi personel yang ditugaskan dan sebagainya, yang
diajukan dalam bentuk proposal perjanjian pelaksanaan kerjasama pinjaman
luar negeri. Draft perjanjian ini kemudian diajukan ke sekretariat
kabinet untuk mendapat persetujuan. Tujuannya untuk menjabarkan rencana
pelaksanaan kerjasama (teknik) secara rinci, sebagai tindak lanjut atau
sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari MoU (yang merupakan payung
kerjasama). Implementing arrangement dapat mencakup lebih dari satu
macam perjanjian pelaksanaan.
Proses Penyusunan Perjanjian Kerjasama Dan Pengusulan
Program/Proyek PHL
Tujuan proses ini adalah agar program/proyek pinjaman luar negeri tersebut
mendapat persetujuan sekretariat kabinet, dan dapat dicantumkan ke
dalam blue book oleh Bappenas. Proses penyusunan perjanjian kerjasama dan
pengusulan program/proyek PHLN ini terdiri dari 2 (dua) tahap yakni
penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN dan pengusulan
program/proyek PHLN.
Dalam penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN, draft
perjanjian disusun berdasarkan MoU oleh unit pengusul, lalu disampaikan ke
biro perencanaan. Kemudian, bersama dengan biro hukum, biro perencanaan
akan merumuskan naskah perjanjian pelaksanaan kerja sama. Naskah ini
kemudian dibahas dalam rapat pimpinan departemen/lembaga instansi,
sehingga menjadi ”naskah awal”. Selanjutnya ”naskah awal” disampaikan ke
Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri (KTLN) sekretariat kabinet, untuk
mendapat persetujuan. Naskah awal dibahas di sekretariat kabinet bersama
instansi pengusul (pihak pertama), sekretariat kabinet, Deplu, perwakilan
negara asing/lender/donor (pihak ke dua), serta instansi lain yang
terkait. Setelah dibahas dan mendapat persetujuan sekretariat kabinet, naskah
awal menjadi naskah akhir, yang kemudian dikirim oleh pihak pertama ke
pihak kedua untuk disetujui dan ditandatangani bersama menjadi naskah kerja
sama.
Dalam proses pengusulan program/proyek PHLN, usulan program/proyek
PHLN, yang dilampiri salinan naskah kerjasama, diajukan oleh
departemen/lembaga pengusul kepada Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas
3
untuk dicantumkan ke dalam blue book (khusus bagi program/proyek yang
belum tercantum, atau bagi proyek/program yang belum ada kepastian
pembiayaan dari negara/lembaga donor). Usulan ini disusun dalam 2 (dua)
daftar yang terpisah, masing-masing untuk usulan bantuan proyek
(project
assistance) dan usulan bantuan teknis (technical assistance). Di sini,
Bappenas akan melakukan evaluasi (appraisal I) terhadap usulan program/
proyek bersangkutan. Hasil appraisal I dituangkan dalam Surat
Keputusan (SK) Deputi II Bappenas. Setelah itu, semua usulan
program/proyek (yang sudah memiliki SK) dikonsolidasikan oleh Bappenas,
dan dimasukkan ke dalam blue book.
3
Blue Book adalah suatu catatan yang berisikan Daftar Rencana Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri (DRPHLN), memuat berbagai usulan proyek yang dinilai layak mendapat
pembiayaan dari PHLN, termasuk kredit ekspor, sebagaimana dimaksud dalam SKB Menkeu
dan Ketua Bappenas No.: 185/KMK.03/1995 – No.:Kep.031/KET/5/1995, tanggal 5 Mei
1995.
PROSES PEMBUATAN LOAN AGREEMENT
Dalam pembuatan loan agreement, blue book dikirimkan oleh Bappenas ke
Departemen Keuangan, instansi pengusul (excecuting agency), dan
negara/lembaga donor, untuk diidentifikasi. Hasil identifikasi tersebut
kemudian akan dikaji kembali oleh Bappenas, lalu dievaluasi ulang
(appraisal II), sebagai bahan tindak lanjut bagi proses pembahasan teknik
berikutnya. Hasil appraisal II, yang berupa appraised project, diproses
berdasarkan basic model, multilateral model (World Bank & ADB), atau
OECF model, tergantung jenis program/proyek dan dari mana sumber
dana diperoleh. Dalam tahap ini hasil appraisal II kembali dibahas bersama
oleh Bappenas, negara/lembaga donor, dan konsultan independen (appraisal
III), dan hasilnya adalah appraisal result. Appraisal result kemudian akan
dievaluasi lagi (reviewing) oleh Bappenas, excecuting agency, dan
Departemen Keuangan. Hasil review inilah yang akan dijadikan dasar untuk
melaksanakan persiapan perundingan (negotiation) untuk membuat loan
agreement, penyusunan dan penandatanganan loan agreement.

Hutang Luar Negeri dalam Pembangunan Ekonomi


Utang pada dasarnya adalah salah satu alternatif yang dilakukan
karena berbagai alasan yang rasional. Dalam alasan-alasan yang rasional itu
ada muatan urgensi dan ada pula muatan ekspansi. Muatan urgensi tersebut
maksudnya adalah utang mungkin dipilih sebagai sumber pembiayaan karena
derajat urgensi kebutuhan yang membutuhkan penyelesaian segera.
Sedangkan muatan ekspansi berarti utang dianggap sebagai alternatif
pembiayaan yang melalui berbagai perhitungan teknis dan ekonomis
dianggap dapat memberikan keuntungan.
Dari perspektif negara donor setidak-tidaknya ada dua hal penting
yang dianggap memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke
negara-negara debitor. Kedua hal tersebut memotivasi politik (political
motivation) dan memotivasi ekonomi (economic motivation) dimana
keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat satu dengan yang lain.
Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi Amerika
Serikat untuk mengucurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali
perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat Perang Dunia II, dan program
ini kemudian dikenal dengan Marshall Plan (Todaro, 1985). Kesuksesan
kembali membangun Eropa Barat menjadikan program ini sebagai cetak biru
(blue print) yang kemudian digunakan dalam proses pengembangan
ekonomi di
berbagai belahan dunia lainnya seperti Asia Selatan, Asia Tenggara
bahkan selanjutnya sampai menyentuh Afrika serta Amerika Tengah.
Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan
dalam memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen
penting (Todaro, 1985) yaitu: Pertama, adalah foreign exchange
constraints. Argumen ini didasari atas two gap model dimana negara-
negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami
kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik (domestic saving)
sehingga tingkat tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan
tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan
ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara
yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan nilai tukar asing (foreign
exchange) untuk membiayai kebutuhan impor barang modal (capital goods)
dan impor barang-barang intermediate (Intermediae goods). Dengan demikian
untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan
luar negeri.
Kedua, adalah growth and savings, yakni untuk memfasilitai dan
mengakselerasi proses pembangunan dengan cara meningkatkan pertambahan
tabungan domestik sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.
Karena tingginya tingkat pertumbuhan di negara-negara berkembang
akan turut meningkatkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan
keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju seperti yang
dibuktikan studi Cooper (1995).
Ketiga, adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari
bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia
tingkat tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hal ini harus
dilakukan untuk menjamin bahwa aliran dana yang masuk dapat
digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan
pertumbuhan ekonomi.
Dan yang terkahir (keempat), adalah absorptive capacity yakni dalam
bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang
dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingat bahwa faktor
pendorong dan faktor penarik (push and pull factors) adalah dua kata
yang turut menentukan terjadinya capital movement ke negara-negara
berkembang (Taylor dan Sarno, 1997). Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan
antara motif ekonomi dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi
seorang investor yang rasional.
Meskipun demikian peranan dana bantuan luar negeri dan modal asing
terhadap kemajuan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara-
berkembang telah lama menjadi perdebatan hangat di antara kelompok-
kelompok ekonomi dunia. Sekelompok ekonom pada tahun 1950-an dan
1960-
an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak
yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negara tanpa
menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor
tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian
negara-negara Eropa Barat melalui Marshall plan seperti telah disinggung,
menjadi dasar kelompok tersebut untuk menganjurkannya diterapkan di
negara-negara berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses
penganjurannya adalah bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber
yang produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi terhadap alokasi dan
efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal
yang tercermin dari tingkat ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dan
sumber-sumber tersebut di atas sangat langka di negara-negara sedang
berkembang.
Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teori yang
dikembangkan oleh Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dilanjutkan serta
disempurnakan oleh Evsey D. Domar (AS) yang kemudian dikenal dengan
teori Harrod-Domar. Teori yang berbicara tentang penggunaan bantuan luar
negeri dalam pembiayaan pembangunan ini, selanjutnya dikembangkan lagi
oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout dan lain-lain pada
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka ini seperti yang
diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam
empat pemikiran mendasar: Pertama, sumber dana eksternal (modal asing)
dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai suatu dasar yang
signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi.
Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih
tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang substansial dalam struktur
produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting
dalam memobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat,
kebutuhan akan modal asing akan menjadi menurun segera setelah perubahan
struktural terjadi (meskipun modal yang masuk belakangan menjadi lebih
produktif).
Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan
pembangunan di negara-negara sedang berkembang, sehingga hampir
tidak ada negara berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya
proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi
bantuan luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap
(complementary factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam membiayai
pembangunan.
Memang bantuan luar negeri sebenarnya dapat mencapai arah dan
sasarannya, jika digunakan untuk investasi yang tingkat pengembalian
investasinya (return on investment) dapat memicu kenaikan sumber daya
ekonomi yang lebih besar, maka diharapkan bantuan luar negeri tidak saja
menambah sumber daya ekonomi tapi juga sekaligus mampu
membayar
kembali cicilan pinjaman sebelumnya. Keadaan ini telah dibuktikan oleh
negara-negara yang tergabung dalam kelompok negara-negara industri baru
(Newly Industrialized Countries/ NICs) seperti Korea Selatan dan Taiwan di
mana utang luar negeri telah dengan sukses menjadi mesin pertumbuhan
(engine of growth) dalam perekonomian mereka. Tetapi sebaliknya, banyak
juga negara-negara berkembang yang gagal dalam memanfaatkan utang luar
negeri dengan baik. Kasus-kasus Amerika Latin seperti Mexico, Argentina,
serta Brazil adalah contoh konkrit dari kasus yang terakhir ini.
Utang luar negeri bukan hanya dibutuhkan dalam proses perdagangan,
tetapi juga dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara untuk menunjang
proses produksi dalam negeri. Artinya, utang luar negeri merupakan mata
rantai yang menghubungkan kegiatan internal dan eksternal perekonomian
suatu negara. Dalam pemahaman ini sulit sekali menyatakan bahwa suatu
negara bisa saja tidak berutang sama sekali. Tetapi jelas sekali bahwa jumlah
dan pemanfaatan utang tersebut harus dikendalikan dan dikelola secara benar
sehingga justru tidak menjadi beban yang berkepanjangan.
Dalam tahap-tahap awal pembangunan, penggunaan komponen utang luar
negeri sebagai sumber pembiayaan disadari begitu menguntungkan. Bahaya
utang luar negeri belum dianggap serius oleh sebagian besar negara
pengutang mengingat mereka sangat kaya akan sumber daya alam. Masuknya
modal dari luar negeri juga dianggap sebagai salah satu cara mengatasi
hambatan dalam pengelolaan kekayaan alam yang begitu melimpah ketika
perekonomian dalam negeri tidak begitu mampu menyediakan dana untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Sehingga tidaklah
mengherankan apabila selain masuknya dana berupa fresh money ke dalam
negeri, utang luar negeri juga dapat dilihat dari tinjauan pemberian bantuan
tenaga ahli dan usaha joint venture perusahaan asing ke dalam negeri.
Namun, dalam perkembangannya, masuknya dana ke dalam negeri tanpa
usaha dan kerja keras telah ”meninabobokkan” negara-negara pengutang.
Akibatnya, utang luar negeri berubah menjadi perangkap utang (debt
trap) bagi negara-negara tersebut. Kucuran dana dari luar juga membentuk
birokrasi yang sangat sensitif terhadap berbagai kebocoran, korupsi
dan penyalahgunaan.
Kondisi semakin sulit ketika kekayaan alam yang dimiliki dengan
ujung tombak komoditas primer mengalami kerontokan di pasaran dunia serta
makin proteksionalisnya negara-negara maju. Sementara masyarakat belum
bisa maksimal digerakkan dalam partisipasi pembangunan selama ini
cenderung lebih meletakkan posisi rakyat sebagai obyek pembangunan dan
mempasifkan peranan mereka.
Perangkap utang yang terbangun dalam frame bantuan pinjaman ini makin
memojokkan negara-negara pengutang dan makin memperlemah posisi
bargaining power mereka. Lemahnya posisi tawar menawar ini tidak
saja dilihat dari makin kalahnya negara pengutang dalam kancah
perdagangan dunia, namun munculnya bentuk intervensi dalam penentuan
pengambil kebijaksanaan ekonomi negara pengutang yang disponsori oleh
IMF dan Bank Dunia.
Indonesia, sebagai salah satu negara pengutang terbesar, masalah utang,
baik perannya dalam pembangunan, implikasi dan kemauan melakukan
pembayaran bunga dan cicilan utang merupakan hal yang perlu dikaji lebih
lanjut. Dengan mencermati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat
sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri
akan berkurang untuk setidak-tidaknya 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini
disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia
mencapai tahap yang demikian kompleks sehingga sulit untuk
diupayakan pemecahan dalam waktu yang definitif.
Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam
mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia
untuk masa mendatang masih bergantung pada komponen ini. Seberapa besar
tingkat ketergantungannya, tentu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indonesia untuk menginjeksi
dana pembangunannya.
Di era globalisasi dan dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di
samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan
mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan
tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan
terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya
peran swasta dan langkanya pinjaman resmi yang bersyarat lunak. Oleh
karena itu, tidaklah heran untuk masa datang perspektif utang luar negeri
Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial.
Membesarnya pinjaman komersial ini akan membawa berbagai dampak
kepada perekonomian nasional. Di satu sisi, pinjaman komersial ini
dibutuhkan sebagai sumber pembiayaan dan juga untuk memperkuat
cadangan devisa nasional. Sementara di sisi lain, pinjaman komersial
memiliki dampak- dampak yang apabila tidak diwaspadai dapat
membahayakan keseimbangan makro.
Dampak pertama yang ditimbulkan akibat pinjaman komersial ini adalah
terjadinya ekspansi moneter yang akan mempengaruhi kestabilan
ekonomi
makro dan neraca pembayaran. Hal ini dikarenakan bahwa pinjaman-
pinjaman komersial jangka pendek yang dilakukan oleh pihak swasta
menyebabkan penarikan pinjaman ini tanpa pemantauan otoritas moneter.
Efeknya adalah kebijakan moneter yang dijalankan tidak akan mencapai
sasaran yang juga pada akhirnya akan menganggu pencapaian sasaran
ekonomi makro. Selain itu, penarikan yang berlebihan memliki potensi
untuk memanaskan perekonomian (over heating). Dampak ekspansi ini akan
menjadi sulit lagi sebagai konsekuensi sistem perekonomian terbuka yang
dianut Indonesia, yang menyebabkan arus keluar masuk modal menjadi lebih
mudah dengan jangka waktu yang sangat pendek.
Dampak lain dari pinjaman komersial ini berkaitan dengan adanya gejolak
nilai tukar mata uang dunia yang dapat dengan seketika melonjakkan beban
pembayaran kembali pinjaman. Perekonomian dunia yang semakin terbuka
semakin memperbesar ketidakpastian dari nilai tukar mata uang negara-
negara maju. Fenomena Yendaka, misalnya, menimbulkan beban berat
bagi Indonesia. Meskipun berbagai langkah telah dilakukan, misalnya dengan
melakukan hedging di pasar finansial, namun resiko perubahan nilai
tukar terhadap kemampuan membayar utang luar negeri tetap harus
diperhatikan.
Dampak terakhir dari kecenderungan peningkatan pinjaman komersial ini
adalah makin tingginya country risk dari Indonesia. Konsekuensi dari
ekonomi terbuka membuka banyak peluang kepada sumber dana dari luar
negeri yang dapat berimplikasi pada membesarnya pinjaman luar negeri.
Sementara di sisi lain, besarnya pinjaman luar negeri ini akan mengurangi
kepercayaan pihak luar sehingga meningkatkan country risk dari Indonesia.
Hal ini tercermin dari terus menigkatnya angka DRS (Debt Service Ratio) dan
persentase dari defisit transaksi berjalan terhadap GDP (Gross Domestic
Product).
Masalah utang luar negeri Indonesia celakanya hanya dilihat dari
mampu atau tidaknya dalam melakukan pembayaran. Bahkan, ketika ada
kekhawatiran bahwa anak cucu yang baru lahir sudah ”terbebani” oleh
warisan sejumlah utang, para pengambil kebijakan dengan mudahnya
mengandai-andai bahwa jumlah utang tersebut akan segera ”dibereskan”
dengan menjual seluruh asset yang dimiliki oleh BUMN. Persoalannya
adalah bahwa cara pandang seperti itu terlampau memudahkan persoalan
dan tidak dengan rendah hati ditempatkan pada basis pemikiran:
seberapa besar manfaat nyata yang diperoleh dari pembiayaan melalui
komponen utang luar negeri tersebut?.
Dalam prakteknya, bukan rahasia lagi jika proyek-proyek yang dibiayai
melalui pinjaman luar negeri banyak yang kurang efisien dengan
berbagai praktek korupsi serta memberikan multiplier effect yang sangat
kecil. Bahkan, daftar kekurangan ini semakin panjang jika proyek-proyek
yang dibangun
dengan mempergunakan bantuan dari pihak luar seringkali tidak
mengindahkan hak-hak asasi penduduk di mana proyek tersebut
dibangun. Otoritas moneter, oleh karena sistem moneter yang begitu bebas
terlihat sering
”keteter” dalam mengatur pinjaman dari pihak swasta yang kadang
justru disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dalam negeri sendiri yang
mendorong terjadinya arus masuk pinjaman luar negeri swasta yang
membumbung tinggi tersebut.
Persoalan utang luar negeri mesti disadari dengan kesadaran akan seberapa
besar kemampuan dalam melakukan kewajibannya yang berkaitan dengan
utang yang dipinjam. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat urgen
dewasa ini mengingat berbagai krisis yang telah melanda perekonomian
Indonesia. Persoalan utang luar negeri dikaitkan dengan krisis yang
menimpa sekarang ini tidak hanya berkaitan dengan kelanjutan
pembangunan, namun yang paling pokok adalah sudah bersentuhan pada
persoalan dasar kebutuhan hidup rakyat yaitu tersedianya kebutuhan pokok
yang cukup dengan harga terjangkau dan tertutupinya pengeluaran rutin agar
operasional pelaksanaan aparat negara bisa tetap berjalan.

RANGKUMAN
§ Pinjaman pemerintah adalah penutupan defisit anggaran
pemerintah dengan melalui pinjaman baik dari dalam maupun luar
negeri (Mankiw,
2001). Hutang negara dibedakan menjadi dua, yaitu (1) reproductive
debt,
hutang yang dijamin seluruhnya dengan kekayaan negara yang berhutang
atas dasar nilai yang sama besarnya, dan (2) dead weight debt, hutang
yang tanpa disertai dengan jaminan kekayaan.
§ Dapat dibedakan juga pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar
negeri (internal debt dan external debt). Pinjaman dalam negeri, bersifat
paksa maupun sukarela sementara pinjaman luar negeri bersifat sukarela.
§ Hutang publik yang dilaksanakan pemerintah Indonesia berupa
Surat
Utang Negara (SUN) dan hutang/pinjaman luar
negeri.
§ SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalm mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan
masa berlakunya. Diatur berdasarkan Undang-Undang No.24/2002.
§ SUN diterbitkan dalam bentuk “warkat” dan “tanpa warkat”
(scripless)
yang diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di pasar
sekunder.
§ SUN terdiri atas: (1) Surat Perbendaharaan Negara yang berjangka
waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto, dan (2) Obligasi Negara berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
§ Tujuan penerbitan SUN: (a) membiayai defisit APBN, (b)
menutup kekurangan kas jangka pendek, dan (c) mengelola portofolio
utang negara.
§ Kewenangan penerbitan SUN berada di tangan pemerintah,
diwakili Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Bank Indonesia
dan disetujui oleh DPR, disertai catatan atas nilai bersih maksimal SUN
dalam
1 tahun anggaran dan pada saat pengesahan APBN.
§ Pengelolaan SUN dilakukan oleh Menteri Keuangan yang meliputi:
(1) penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan SUN, (2) perencanaan
dan penetapan struktur portofolio utang negara, (3) penerbitan dan
penjualan SUN di pasar perdana melalui lelang atau tanpa lelang
(issuance), (4) pembelian kembali (buyback), (5) penukaran (debt
switching/exchange offer), (6) pelunasan SUN (redemption) dan aktivitas
lain dalam pengembangan pasar SUN.
§ Kegiatan penatausahaan SUN yang mencakup pencatatan
kepemilikan, kliring dan setlement, serta agen pembayar bunga dan pokok
SUN dilakukan oleh Bank Indonesia (Central Registry).
§ Penawaran SUN dilakukan melalui lelang. Menteri Keuangan
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen pelaksana lelang (Auction Agent)
surat perbendaharaan negara dan obligasi negara di pasar perdana. Peserta
lelang antara lain bank, perusahaan pialang pasar uang dan perusahaan
efek. Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang,
kriteria peserta lelang, dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
§ Menteri Keuangan juga menunjuk BI atau pihak lain sebagai agen
untuk membeli dan menjual SUN di pasar sekunder. Pengaturan dan
pengawasan kegiatan perdagangan SUN dilakukan oleh BAPEPAM.
Pertanggungjawaban atas SUN dan dana yang dikelola disampaikan
bersamaan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN demi
akuntabilitas dan transparansi.
§ Pinjaman luar negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk
devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, dalam bentuk barang dan atau
jasa yang diperoleh dari pemeberi pijaman luar negeri (lender) yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu (loan agreement).
Pinjaman luar negeri terdiri dari: (a) Soft Loan dan (b) Export Credit.
§ Tahap-tahap pelaksanaan kerjasama Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri (PHLN), yaitu: (a)pertemuan awal membicarakan/membahas
kerjasama antar lembaga/instansi pada acara kunjungan resmi/tidak resmi,
hasil pertemuan dirangkum dalam catatan ertemuan yang belum mengikat
dan tidak perlu persetujuan sekretaris kabinet, (b) kegiatan “keinginan
antar pihak” yang menghasilkan komitmen untuk bekerjasama dalam
bidang tertentu di masa mendatang. Hasil kesepakatan disebut naskah
keinginan bersama, kesepakatan pendahuluan, nota kesepakatan atau
Letter of Intent (LoI), ditandatangani pejabat terkait namun belum
mendapat persetujuan sekretaris kabinet, (c) adanya “persetujuan antar
pihak” merupakan suatu kesepakatan yuridis antar lembaga/instansi,
namun tidak mengikat. Hasilnya disebut kesepakatan bersama, MoU,
atau naskah persetujuan sebagai payung bersama atau petunjuk teknis
pelaksanaan dari suatu persetujuan yang sudah ada, (d) perjanjian
pelaksanaan kerja sama (implementing agreement), merupakan perjanjian
yuridis antar lembaga/instansi yang mengatur kerjasama (teknis), sudah
mengikat lembaga-lembaga secara keseluruhan dalam batas-batas yang
telah disepakati. Diajukan dalam bentuk proposal perjanjian pelaksanaan
kerjasama pinjaman luar negeri ke sekretaris kabinet untuk mendapatkan
persetujuan. Implementing agreement bertujuan untuk menjabarkan
rencana pelaksanaan kerjasama (teknis) secara rinci, mencakup lebih dari
satu macam perjanjian pelaksanaan.
§ Tujuan proses penyusunan perjanjian kerjasama dan
pengusulan program/proyek PHLN adalah agar program/proyek pinjaman
luar negeri mendapat persetujuan dari sekretaris kabinet dan dicantumkan
ke dalam Blue Book oleh Bappenas. Terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu (a)
penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN dan (b)
pengusulan program/proyek PHLN.
§ Dalam penyusunan naskah perjanjian pelaksanaan kerjasama PHLN,
draft perjanjian disusun berdasarkan MoU oleh unit pengusul,
disampaikan ke biro perencanaan. Kemudian bersama biro hukum
merumuskan naskah perjanjian pelaksanaan kerja sama sehingga menjadi
naskah awal, setelah dibahas dan mendapat persetujuan sekretaris kabinet,
naskah awal menjadi naskah akhir yang disetujui dan ditandatangani
bersama menjadi naskah kerja sama.
§ Dalam proses pengusulan program/proyek PHLN, usulan
program/proyek PHLN dilampiri salinan naskah kerja sama yang diajukan
oleh departemen/lembaga pengusul kepada Menteri Negara PPN/Ketua
Bappenas untuk dicantumkan ke dalam blue book. Disusun dalam
dua
daftar yang terpisah, yaitu usulan bantuan proyek (project assistent)
dan usulan bantuan teknis (technical assistance).
§ Dalam pembuatan loan agreement, blue book dikirimkan oleh Bappenas
ke Departemen Keuangan, instansi pengusul dan negara/lembaga donor.
Kemudian dilakukan evaluasi ulang sehingga dihasilkan appraisal result
yang akan direview lagi, Hasil review yang akan dijadikan dasar untuk
melaksanakan persiapan perundingan (negotiation) untuk membuat loan
agreement, penyusunan, dan penandatanganan loan agreement.
§ Dua hal penting yang memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan
luar negeri ke negara-negara debitor yaitu: (a) memotivasi politik
(political motivation) dan (b) memotivasi ekonomi (economic motivation)
§ Motivasi ekonomi dalam memberikan bantuan, memiliki empat
argumen penting: (1) foreign exchange constraints, (2) growth and
savings, (3) technical assistance, (4) absorptive capacity.
§ Foreign exchange constraints, didasari oleh two gap model,
dimana negara-negara pemberi bantuan khususnya negara berkembang,
mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik
(domestic saving) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat
investasi yang dibutuhkan dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Selain
itu, kekurangan yang dialami negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan
nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor
barang modal dan intermediate.
§ Growth and savings, bahwa bantuan luar negeri akan digunakan
untuk memfasilitasi dan mengakselerasi tingkat pertumbuhan yang tinggi,
sehingga terjadi pertambahan tabungan domestik yang akan
berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang dinikmati negara-
negara maju.
§ Technical assistance, pendamping dari bantuan keuangan yang
bentuknya transfer sumber daya manusia tingkat tinggi untuk menjamin
aliran dana digunakan secara efisien dalam memicu pertumbuhan
ekonomi.
§ Absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana itu akan digunakan.
§ Teori Harrod-Domar berbicara tentang penggunaan bantuan luar
negeri dalam pembiayaan pembangunan terdiri dari empat pemikiran
mendasar: (1) modal asing (dana eksternal) dimanfaatkan untuk memacu
kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi, (2) untuk menjaga dan
mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan
perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan, (3)
modal asing berperan penting dalam memobilisasi sumber dana
dan
transformasi struktural, (4) kebutuhan modal asing akan menurun
segera setelah perubahan struktural terjadi.
§ Dampak-dampak dari pinjaman komersial selain sumber pembiayaan
dan memperkuat cadangan devisa nasional, yaitu: (a) terjadinya ekspansi
moneter yang akan mempengaruhi kestabilan ekonomi makro dan neraca
pembayaran, (b) gejolak nilai tukar mata uang dunia yang dapat dengan
seketika melonjakkan beban pembayaran kembali pinjaman, (c) makin
tingginya country risk dari Indonesia, berkurangnya kepercayaan
pihak luar karena jumlah pinjaman luar negeri yang semakin besar dengan
meningkatnya DRS dan persentase dari defisit transaksi berjalan terhadap
GDP.

LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan reproductive debt dan dead weight debt!
2. Apa yang dimaksud dengan Surat Utang Negara (SUN)?
3. Sebutkan tujuan diterbitkannya SUN!
4. Apa saja tugas Menteri Keuangan dalam pengelolaan Surat Utang Negara
(SUN)?
5. Jelaskan proses pelaksanaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)!
6. Apa perbedaan antara soft loan dan export credit?
7. Bagaimana proses penyusunan naskah perjanjian kerja sama PHLN
dilakukan?
8. Jelaskan bagaimana proses pembuatan loan agreement!
9. Jelaskan beberapa argumen penting yang menjadi dasar negara-
negara donor untuk mengalirkan bantuan ke negara debitor secara
motivasi ekonomi!
10. Bagaimana pendapatmu tentang penggunaan hutang luar negeri
terkait dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia, apakah sesuai dengan sasaran?
11. Sebutkan beberapa dampak dari membesarnya pinjaman komersial!
PINJAMAN DAERAH

PENDAHULUAN
Pinjaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai
pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai
pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak
yang dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan
dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar.
Pinjaman dalam negeri dapat berasal dari; pemerintah pusat, lembaga
keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber
lainnya seperti pinjaman dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari
masyarakat penghimpunan dana dapat melalui penerbitan obligasi daerah.
Walaupun kemungkinan nilai pinjaman yang mampu dikumpulkan cukup
besar karena banyaknya sumber yang bisa digunakan, namun perlu
diperhatikan adanya batas meminjam yang
432 Keuangan Publik: Teori dan Bab 21: Pinjaman Daerah 432
Aplikasi

disesuaikan dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Risiko yang terkandung


dalam melakukan pinjaman, terutama risiko dalam pembayaran bunga
maupun pokok, harus menjadi pertimbangan dalam melakukan pinjaman.
Pinjaman juga dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu; jangka pendek dan
jangka panjang. Pemilihan jangka waktu akan sangat tergantung pada jenis
proyek yang akan dibiayai.
Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman,
metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan
kemampuan meminjam (ability to borrowing). Agar pembahasan ini lebih
riil di lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek
pinjaman daerah di Indonesia.

TUJUAN DAN BATAS-BATAS PINJAMAN


Pemerintah daerah dapat membiayai sebagian pengeluarannya dengan
melakukan pinjaman. Dalam konstitusi di berbagai negara, masalah
kewenangan daerah untuk meminjam ini telah diatur. Pada dasarnya
kewenangan daerah melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh
Davey (1983), bahwa berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek;
2. untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya
rutin dan beban hutang;
3. untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah;
4. untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat
menghasilkan penerimaan bagi daerah;
5. untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana
atau penyediaan pelayanan umum).
Pinjaman dengan maksud untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek
adalah sangat umum dilakukan, biasanya sebagai suatu keharusan karena pola
pengumpulan penerimaan daerah yang tidak seimbang. Bentuk pinjaman
yang umum berupa bank overdraft, akan tetapi pemerintah daerah
seringkali mencari pinjaman langsung dari deposito jangka pendek dari
masyarakat berupa short-term bills, dengan jangka waktu sampai tiga bulan.
Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi
untuk pemerintah pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi pemerintah
daerah. Pada tahun 1975, pemerintah daerah di Italia meminjam 61% dari
penerimaan kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal,
membayar hutang dan membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya
rutin (operating cost).
Pemerintahan New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar
gaji pegawai dan uang pensiunan dan membayar hutang yang telah
jatuh tempo.
Pembelian sebuah pabrik dan peralatan lainnya juga dapat dibiayai dengan
pinjaman. Suatu cara penyelesaian yang umum untuk membeli peralatan
dengan pinjaman adalah dengan membeda-bedakan perkiraan umur masing-
masing peralatan. Pilihan lain adalah dengan cara pinjam sewa (leasing).
Cara leasing ini semakin dikenal untuk menghindari pembelian peralatan
yang cepat menjadi usang sebagai akibat perubahan teknologi.
Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman
untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”.
Maksudnya adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan
penerimaan (revenue) yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana
pinjaman. Praktek-praktek seperti ini antara lain sering diterapkan di negara-
negara maju. Sebagai contoh, pembangunan British New Town Corporation
dibiayai oleh Pemerintah Pusat Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari
hasil penjualan rumah-rumah dan toko-toko yang dibangun oleh British.
Pemerintah negara bagian di Amerika Serikat juga mengadakan pinjaman
melalui industrial aid bonds untuk menyediakan dana investasi perusahaan
manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti ini adalah, selain
mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, pemerintah daerah juga
mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik.
Sementara itu, penggunaan dana pinjaman untuk membiayai pembangunan
prasarana dan penyediaan pelayanan umum, biasanya diarahkan untuk
membiayai prasarana publik yang relatif cenderung lebih mengedepankan
manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue
yang dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis
ini biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang
relatif lebih rendah dibandingkan dengan bunga komersial.
Dari pembahasan ini prinsip dasar yang harus dipegang ketika pemerintah
daerah melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana pinjaman harus
sesuai dengan karakteristik dari pinjaman itu sendiri. Pinjaman yang bersifat
jangka pendek, tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan atau
investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch
(ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu
penerimaan penghasilan. Dengan kata lain, sesungguhnya batasan-batasan
atau teknik-teknik pembiayaan yang berlaku dalam dunia korporasi juga
berlaku bagi pemerintah daerah.
METODE DAN SUMBER-SUMBER PINJAMAN
Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu:
1. Pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas (umumnya dari
pemerintah pusat).
2. Pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, seperti
Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank/ADB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB),
Bank Pembangunan Amerika Latin (untuk negara-negara di kawasan
Amerika Latin), Bank Asia Afrika dan bantuan bilateral, yang biasanya
pinjaman ini diberikan kepada pemerintah pusat negara yang
bersangkutan melalui mekanisme pinjaman two step loan atau
subsidary loan
1
aggreement.
3. Pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing.
4. Obligasi jangka panjang (bond).
5. Pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bank-bank komersial.
6. Pinjaman hipotek atas aset tetap.
7. Pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, misalnya dana pensiun.
8. Dana untuk sewa beli peralatan (leasing).
9. Dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek.
Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering
digunakan oleh pemerintah daerah di berbagai negara. Pertama, pemerintah
pusat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah. Praktek ini
diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari
pemerintah pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100%
pinjaman jangka panjang pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat,
karena ada larangan dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah untuk
meminjam di luar skema pemerintah pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk
kasus di Indonesia ini akan dibahas secara khusus di subbagian berikutnya.
Kedua, sumber dana yang berasal dari pasar keuangan. Misalnya, dengan
mengeluarkan obligasi (bonds) di pasar modal. Ketiga, melalui bank-bank
komersial, khusus untuk pinjaman jangka pendek untuk memenuhi cash flow
pemerintah daerah.

PERSYARATAN-PERSYARATAN PINJAMAN
1
Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman
dari luar negeri ke Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman
tersebut diteruskan ke Pemerintah Daerah.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman
adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat
bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan.
Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan
pinjaman. Jangka waktu pinjaman pemerintah daerah bisa saja berkisar
antara
24 jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment,
maka
pemerintah daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang
setidaknya sama dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan
adalah jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak
dan retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut.
Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung
pada sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman
yang bersumber dari pemerintah pusat atau lembaga keuanga internasional
sering mencari turnover dana yang dipinjamkan secepat mungkin, misalnya
pinjaman untuk masa 10 tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan
kemampuan finansial pemerintah daerah.
Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode
pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti
membayar beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya
setiap kali pembayaran hingga masa pembayaran selesai. Komponen
dalam setiap kali pembayaran tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga
pinjaman.
Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund,
dimana angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang
dibayarkan adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi,
pengalaman menunjukkan bahwa bila cara sinking fund telah diterapkan dan
untuk memenuhi kewajibannya disanggupi dengan baik, namun dalam
prakteknya metode ini sering lebih merupakan usaha penyelematan terhadap
utang kepada pihak luar (external debt).
Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan
pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu
pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu,
pinjaman dari lembaga-lembaga internasional oleh suatu pemerintah biasanya
memberlakukan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar.
Namun, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga
memberlakukan fee, berupa management fee dan commitment fee yang
besarnya sangat tergantung dari negosiasi antara kedua belah pihak. Di
Indonesia, misalnya, management fee dan commitment fee sekitar 0,25% dari
pinjaman yang belum ditarik.
Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi
pinjaman biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan
pembayaran kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh
pemerintah daerah, tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan
dari pemerintah pusat atau dijamin dengan aset tertentu.
Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan
dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam
konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah baru
dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.

PENGGUNAAN PINJAMAN DALAM PEMBIAYAAN


Kebutuhan akan pinjaman daerah muncul akibat kecenderungan yang
terjadi dimana peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan
pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, misalnya proyek-
proyek infrastruktur, semakin besar. Hal ini dilandasi dengan perkembangan
tingkat urbanisasi yang lebih tinggi daripada kemampuan daerah
menyediakan berbagai infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik.
Kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menentukan prioritas
investasi daerah dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah.
Keterbatasan keuangan pemerintah pusat yang berimplikasi pada dana
perimbangan pusat dan daerah. Keterbatasan pemerintah daerah dalam
memobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari daerahnya
sendiri menjadi alasan penggunaan pinjaman dalam pembiayaan suatu daerah.
Dari sisi teori fiskal, pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu
pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations).
Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi
dan sosial selayaknya didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Masyarakat
yang menerima manfaat proyek di masa mendatang secara prinsip harus ikut
menanggung beban biaya pengadaan proyek tersebut, sedangkan
pinjaman daerah yang berasal dari sumber non-pemerintah (private debt
sources) akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena pemerintah
daerah harus memperhitungkan secara tepat nilai opportunity cost of capital
yang sesungguhnya dan memprioritaskan proyek-proyek yang akan
dilaksanakannya sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan ekonomi
(Alisjahbana, 2001).
Prasyarat utama bagi diperbolehkannya daerah meminjam adalah
dengan menerapkan “the golden rule guidelines” bagi pinjaman daerah
(Magrassi,
2000):
“ ...... local government should only use sub-national debt to finance capital
projects that are anticipated to produce financial rate of returns that, vis-a-vis
the project socioeconomic benefits, justify the debt service paid to lenders”.
Untuk menghindari risiko yang dapat terjadi atas penggunaan pinjaman
daerah dalam pembiayaan hendaknya memperhatikan kaidah yang
berlaku dalam memperkirakan kapasitas meminjam pemerintah daerah. Dua
ukuran yang sering digunakan untuk itu adalah Debt Service Ratio (DSR) dan
Debt Coverage Ratio (DCR). DSR merupakan ambang batas kemampuan
pelunasan daerah yang pada prinsipnya digunakan Pemerintah Daerah untuk
mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. Sedangkan DCR
pada prinsipnya merupakan angka perbandingan antara perkiraan
kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan neto) dengan
total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya. Istilah disisihkan
dimaksudkan untuk mempertegas adanya rencana untuk membiayai proyek
melalui dana pinjaman daerah, dan terutama tersedianya dana untuk
pengembalian pinjaman secara aman.

PRAKTEK PINJAMAN DAERAH DI INDONESIA


Ketentuan Dasar Pinjaman Daerah di Indonesia
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah dapat
melakukan pinjaman yang bersumber dari; (a) sumber dalam negeri (b)
sumber luar negeri. Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri harus
melalui pemerintah pusat, perlunya persetujuan pemerintah pusat harus ada
evaluasi yang menyeluruh tentang aspek-aspek dapat tidaknya usulan
pinjaman untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan untuk pinjaman dari dalam
negeri dapat secara langsung dilakukan bila disetujui oleh DPRD
dengan prinsip pinjaman tersebut harus secara langsung dikaitkan dengan
kemampuan daerah untuk membayar pinjamannya. Undang-undang No 25
Tahun 1999
Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa: "Daerah dapat melakukan pinjaman
dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya".
Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari (PP 107/2000 pasal 2 ayat
2);
§ Pemerintahan Pusat
§ Lembaga Keuangan Bank
§ Lembaga Keuangan Bukan Bank
§ Masyarakat
§ Sumber Lainnya
Pinjaman daerah menurut PP No 107 Tahun 2000 adalah: semua transaksi yang
mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat
bernilai
uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Dalam hal ini, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam
perdagangan.
Pinjaman pada dasarnya dapat digunakan untuk pembiayaan defisit aliran
kas jangka pendek; pembiayaan defisit anggaran rutin tahunan;
pembelian peralatan dan kendaraan yang memiliki umur ekonomis jangka
menengah; pembiayaan investasi yang diharapkan dapat secara langsung
menghasilkan pendapatan, dan pembiayaan investasi jangka panjang yang
tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Walaupun demikian,
pinjaman harus didefinisikan sebagai sumber dana pelengkap untuk
mempercepat proses pembangunan daerah. Pinjaman harus secara langsung
dikaitkan dengan kemampuan mengangsur serta cara mengalokasikan pada
pembangunan dan atau penyediaan layanan publik yang produktif.
Pinjaman daerah sebaiknya bersifat jangka panjang guna membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman serta memberikan manfaat
bagi pelayanan masyarakat (Wiratmo, 2001). Berdasarkan penggunaan dan
melihat jangka waktunya maka;
a. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran
arus kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang.
b. Pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan
untuk pembayaran kembali, serta memberikan manfaat bagi pelayanan
masyarakat.

Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah


Pada tahun 1999, Pemerintah RI memberlakukan dua undang-undang
penting yang berkaitan dengan desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah
menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan
hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi
pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal
relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan.
Salah satu hal penting yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara
sebelum dan sesudah keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah
diperkenankannya daerah melakukan pinjaman sendiri secara langsung, baik
yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, yang
artinya
pemerintah pusat tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Kondisi
ini sangat berbeda dengan ketentuan mengenai pinjaman daerah sebelum UU
No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 (lihat Tabel 21.1 ).
Namun, pada kenyataannya lembaga lender multilateral (ADB, World
Bank, dan lain-lain) mensyaratkan perjanjian pinjaman dilakukan oleh
negara sebagai anggota, yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Hal
yang sama juga berlaku untuk pinjaman bilateral, dimana negara lender hanya
melakukan pinjaman dengan pemerintah pusat sebagai peminjam (Pakpahan,
2004).
Pasal 11 UU No. 25/1999 menyebutkan bahwa:
(1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri
untuk membiayai sebagian anggarannya.
(2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui
pemerintah pusat.
(3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna
membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan
dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman,
serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
(4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan
arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.

Tabel 21.1: Pinjaman Daerah Sebelum dan Setelah Kebijakan


Desentralisasi
SEBELUM DESENTRALISASI SETELAH DESENTRALISASI

Legal Foundation
UU No. 5/1974 UU No. 25/1999
PP 107/2000
Institutional Setting
Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval)
Menteri Dalam Negeri, berkenaan Menteri Keuangan
dengan persetujuan batas maksimum DPRD
pinjaman dan persetujuan pemberian.
Menteri Keuangan, sebagai pengawas
RPD dan
440 Keuangan Publik: Teori dan Bab 21: Pinjaman Daerah 440
Aplikasi

persetujuannya
Batasan Pinjaman (Persyaratan) Batasan Pinjaman (Persyaratan)
1982: Debt Service Coverage Jumlah kumulatif pokok pinjaman
Ratio (DSCR) < 15% yang wajib dibayar tidak melebihi
Kepmendagri Nomor 96 Tahun 75% dari jumlah penerimaan umum
1994: APBD tahun sebelumnya.
§ Minimum DSCR = 1 DSCR minimal 2,5 berdasarkan
proyeksi penerimaan dan pengeluaran
§ Average DSCR > 1,5 selama jangka waktu pinjaman.
Jumlah maksimum pinjaman jangka
pendek adalah 1/6 jumlah belanja APBD
tahun anggaran berjalan.

Sumber-Sumber Pinjaman
Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Sumber Dalam Negeri:
Pusat § Pemerintah Pusat
Pinjaman Pemerintah Pusat § Perbankan
melalui RDI
§ Lembaga keuangan non-bank
INPRES untuk Pembangunan § Sumber-sumber lain
Pasar
Sumber Luar Negeri
IPEDA
§ Bilateral
Sumber-sumber Lain (BPD dan
sektor swasta) § Multilateral
Pemerintah Pusat melalui RPD
Sumber: Alm & Mulyani, 2000

Lebih jauh, dalam rangka mengimplementasikan Pasal 11 UU No.


25/1999, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi/peraturan,
yaitu
PP 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Beberapa komponen kunci tentang
pinjaman daerah yang ditetapkan oleh UU No. 25/1999 dan PP
107/2000 adalah sebagai berikut:
Sumber Pinjaman Institusi tempat Meminjam
Indonesia/Dalam Negeri Pemerintah Pusat
Lembaga Keuangan Bank
Lembaga Keuangan Bukan
Bank
Masyarakat
Sumber Lainnya
Luar Negeri Bilateral
Multilateral
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 2 PP 107/2000

Jenis/Tipe Pinjaman Penggunaannya


Jangka Panjang (Long Hanya dapat digunakan untuk membiayai
Term) pembangunan prasarana yang merupakan aset
daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk
pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan
manfaat bagi pelayanan masyarakat.

Jangka Pendek (Short Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek


Term) guna pengaturan arus kas dalam rangka
pengelolaan kas daerah.
Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 4 & 5 PP 107/2000

Persyaratan Keterangan
Jangka Panjang (Long Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah
Term) yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh
puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya; dan
Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran
Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman,
Debt Service Coverage Ratio
(DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah).
Jangka Pendek (Short Jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah
Term) 1/6 (satu per enam) dari jumlah belanja APBD
tahun anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000

Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat


Untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat,
daerah mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat
persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang
diperlukan untuk dilakukan evaluasi.
Perjanjian pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat ditandatangani
oleh Menteri Keuangan dan kepala daerah.
Sumber: Pasal 12 PP 107/2000

Prosedur Pinjaman Daerah dari Luar Negeri


Pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui
pemerintah pusat.
Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada pemerintah pusat
disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen
lain yang diperlukan.
Pemerintah pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat
tidaknya menyetujui usulan tersebut.
Apabila pemerintah pusat telah memberikan persetujuan, pemerintah
daerah mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman
yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah
pusat.
Daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari luar
negeri,
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Perjanjian pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri
ditandatangani oleh kepala daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri.
Sumber: Pasal 13 PP 107/2000

Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah


Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah yang jatuh tempo
atas Pinjaman Daerah merupakan prioritas dan dianggarkan dalam
pengeluaran APBD.
Pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar
negeri oleh Daerah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan
dalam perjanjian pinjaman luar negeri.
Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman
Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat memperhitungkan
kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada Daerah.
Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman
Daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut
diselesaikan sesuai perjanjian pinjaman.
Sumber: Pasal 14 PP 107/2000

Larangan Penjaminan
Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan
terhadap pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan
Daerah.
Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan
umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman
Daerah.
Sumber: Pasal 10 PP 107/2000
RANGKUMAN
§ Pinjaman daerah dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1)
menutup kebutuhan dana jangka pendek, (2) membiayai kekurangan dana
anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang, (3) membeli
pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah, (4) membiayai
investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi
daerah, dan (5) membiayai pembangunan modal jangka panjang
(prasarana atau penyediaan pelayanan umum).
§ Prinsip pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman adalah
bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristiknya.
Pinjaman jangka panjang tidak boleh untuk membiayai kegiatan/investasi
jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan)
antara pembayaran yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan
pengahasilan.
§ Sumber-sumber pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah, yaitu: (1) pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih
atas, (2) pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, (3)
pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing, (4)
obligasi jangka panjang (bond), (5) pinjaman jangka pendek yang
diberikan oleh bank- bank komersial, (6) pinjaman hipotek atas aset
tetap, (7) pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, (8) dana
untuk sewa peralatan (leasing), (9) dana kontraktor untuk pembangunan
proyek-proyek.
§ Persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah :
(a) jangka waktu pinjaman, (b) cara pembayaran kembali, (c) tingkat
bunga, (d) keamanan pinjaman dan (e) persetujuan dan penyidikan.
§ Kebutuhan pinjaman daerah muncul karena alasan sebagai berikut:
(1) peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan
pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, (2) tingkat
urbanisasi yang lebih tinggi, (3) kewenangan daerah untuk menentukan
prioritas investasi daerah, (4) keterbatasan keuangan pemerintah pusat,
dan (5) keterbatasan pemerintah daerah dalam memobilisasi sumber-
sumber penerimaan daerah.
§ Pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada
prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations).
Proyek- proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi
dan sosial didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Pinjaman daerah
dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan
efisiensi penggunaannya, karena pemerintah daerah harus
memperhitungkan opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan
memprioritaskan proyek sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan
ekonomi.
§ Digunakan dua ukuran untuk memperkirakan kapasitas
meminjam pemerintah daerah agar terhindar dari resiko, yaitu: (1) DSR
(Debt Service Ratio), merupakan ambang batas kemampuan pelunasan
daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. (2) DCR
(Debt Coverage Ratio), merupakan angka perbandingan antara perkiraan
kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan netto) dengan total
rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya.
§ Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1999, daerah dapat
melakukan pinjaman yang bersumber dari: (a) dalam negeri, secara
langsung bila disetujui oleh DPRD, (b) luar negeri, melalui pemerintah
pusat.
§ Pinjaman daerah menurut PP No. 107 Tahun 2000, yaitu semua
transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah
uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Termasuk kredit jangka pendek
yang lazim dalam perdagangan.
§ Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya, maka:
(a) pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran
kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang, (b) pinjaman jangka
panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang
dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali serta
bermanfaat bagi pelayanan masyarakat.
§ Dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah banyak perubahan yang terjadi terkait dengan hubungan
antara pusat dan daerah. Salah satunya, diperkenankannya daerah
melakukan pinjaman sendiri secara langsung, artinya pemerintah pusat
tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Namun, pada kenyataannya
lembaga lender multilateral (ADB, World Bank, dll) mensyaratkan
perjanjian pinjaman dilakukan oleh pemerintah pusat.

LATIHAN
1. Sebutkan persyaratan yang harus dipenuhi didalam ketentuan pinjaman !
2. Jelaskan cara pembayaran kembali dengan :
a. metode anuitas,
b. metode singking fund.
3. Jelaskan mengenai Debt Service Fund (DSR) dan Debt Coverage Ratio
(DCR)!
4. Apa perbedaan manfaaat dari pinjaman jangka pendek dan
pinjaman jangka panjang ?
5. Apa yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara sebelum
dan sesudah keluarnya UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 28 tahun 1999 ?
6. Darimana saja pinjaman dalam negeri dapat diperoleh (PP 107/2000 pasal
2 ayat 2) ?
7. Jelaskan tujuan pemerintah daerah melakukan pinjaman menurut Davey
(1983) ?
8. Apa manfaat dari cara pinjam sewa (leasing) ?
9. Bagaimana cara menghindari mismatch (ketidaktepatan) antara
pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan
penghasilan ?
10. Sebutkan sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah !
11. Apa yang dimaksud dengan mekanisme pinjaman two step loan
dan subsidiary loan agreement ?
12. Mengapa persyaratan persetujuan diperlukan dalam persyaratan
pinjaman daerah?
13. Jelaskan yang dimaksud dengan prinsip keadilan antar
generasi (intergenerational equity considerations) dari pendapat yang
mendukung pinjaman daerah !
14. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari pemerintah pusat ?
15. Apa definisi dari pinjaman daerah menurut PP no 107 tahun 2000 ?
16. Jelaskan batasan pinjaman (persyaratan) dari pinjaman daerah
setelah kebijakan desentralisasi !
17. Jelaskan mengenai larangan penjaminan dalam pinjaman daerah ?
18. Bagaimana prosedur pinjaman daerah dari luar negeri ?
Daftar Pustaka

Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang


Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di
Indonesia”. Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April.
Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc.
Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta.
Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and
Markets. Oxford: Clarendon Press.
Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal
Federalism: The Two Worlds of Canadian Public Finance”.
Discussion Paper No. 6, International Centre for Tax Studies. University
of Toronto (July).
Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance”
dalam K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future
of Fiscal Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public
Policy.
Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization
in
Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press.
Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of
Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A
Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley,
L. Cambridge University Press.
Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi
DAU 2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana
Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public
Policy in the New Century, MIT Press, Cambridge, London.
Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and
Their Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute
of Local Government Studies.
Due, John. F. 1968, Government Finance: Economics of the Public Sector,
Richard D Irwin, Inc.
Feldstein, Martin, 1984, Debt and Taxes in The Theory of Public Finance,
Working Paper, National Bureau of Economic Research,
Massachusets, Cambridge, USA.
Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829.
National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret).
Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of
Theory to Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western,
Thompson Learning.
Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental
Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi
Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, Departemen Keuangan RI.
Klenow, Peter J., 2004, Externalities and Growth, Stanford University and
NBER Andres Rodriguez-Clare, Inter-American Development Bank
(IADB) (December).
Laporan Akhir Pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia. 2002. Studi yang
dilakukan oleh Sustainable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) Project
A Banking Industry Reform, yang merupakan kerjasama Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dengan United States
Agency for International Development (USAID).
LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI
(1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan
Daerah di Indonesia”, Jakarta.
Magrassi, Marco. 2000. “Subnational Investment Needs and Financial Market
Response”. Inter-American Development Bank.
Mankiw, N. Gregory, 2001. Principle of Economics, Second Edition, Harcourt
Colledge Publishers.
Mills, J.S., 1921, Principle of Political Economy, London, Longmans.
Mitchell, Daniel J. 2003. Nine Simple Guidelines for Pro-Growth Tax Policy.
Capitalism Magazine. (15 April).
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in
Theory and Practice. International Edition. United States: McGraw-Hill,
Inc.
Norregaard, John. 1995. “Intergovernmental Fiscal Relations” dalam P. Shome,
editor. Tax Policy Handbook. Washington, DC: International Monetary
Fund.
Pakpahan, Arlen T. 2004. “Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan
Daerah” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi
Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, Departemen Keuangan RI.
Razin, Assaf and Sadka, Efraim, 1991, International Fiscal Policy Coordination
and Competition: An Exposition, Working Paper, National Bureau of
Economic Research, Massachusets, Cambridge, USA.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah”.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusar dan Daerah”.
Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah”.
Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance (Sixth Edition), McGraw Hill, New
York.
Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Sidik, Machfud. 2002. ”Implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Kebijakan
Pemerintah Dalam Perimbangan Keuangan)”. Makalah yang disampaikan
Seminar Nasional Rencana Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah Kerja
sama Forum Rektor - Fraksi Utusan Daerah MPR-RI. Jakarta, 4 April.
Sidik, Machfud. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Makalah
yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi
Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi
Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN
Bandung Tahun Akademik 2001/2002. Bandung. 10 April.
Sidik, Machfud, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta:
Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen
Keuangan RI.
Simandjuntak, Robert A. 2002. ”Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan
Praktik di Beberapa Negara” Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi
Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor, 2003. Kebijakan Fiskal:
Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Kompas, Jakarta.
Suparmoko, M, Drs., M.A., Ph.D. 1996. Keuangan Negara: Dalam Teori dan
Praktek (Edisi 4), BPFE, Yogyakarta.
Ulbrich, Holley. 2003. Public Finance in Theory and Practice. United States:
South-Western, Thompson Learning.
Ter-Minassian,Teresa. 1997. “Fiscal Federalism in Theory and Practice”,
International Monetary Fund, Washington, DC.
The International Budget Project. 2001. A Guide to Budget Work for NGOs, The
Center on Budget and Policy Priorities, Washington DC
(Desember).
Wiratmo, Masykur. 2001. “Perencanaan Pembiayaan Daerah”. Makalah pada
Worskhop Manajemen Strategik Penerimaan Daerah dan Keuangan
Daerah, Malang, Indonesia, 26-27 September.
World Bank. 1996a. “Vietnam: Fiscal Decentralization and the Delivery of Rural
Services”. Report No. 15745-VN. Washington, DC (Oktober).

Anda mungkin juga menyukai