Anda di halaman 1dari 136

L o a d i n g

Daftar Isi
I. SUBJEK PAJAK 1

1. Subjek Pajak Penghasilan 1

1) Subjek Pajak Orang Pribadi dan Warisan Belum Terbagi 1

2) Subjek Pajak Badan 5

3) Bentuk Usaha tetap 6

2. Bukan Subjek Pajak Penghasilan 8

II. OBJEK PAJAK 8

1. Objek Pajak Penghasilan 9

1) Ketentuan Penghasilan Untuk Wanita Kawin dan Anak yang Belum Dewasa 11

2) Ketentuan Penghasilan Untuk Warga Negara Asing 13

3) Objek Pajak bentuk usaha tetap 13

2. Objek Pajak Penghasilan Bersifat Final 14

3. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak 26

4. Biaya-Biaya Dalam Perhitungan Penghasilan Kena Pajak 31

1) Biaya Yang Dapat dikurangkan (Deductible Expenses) 31

2) Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan ( Non-deductible Expense) 36

5. Hubungan Istimewa 37

1) Kewenangan Menteri Keuangan Terkait Dengan Transaksi Yang Dipengaruhi


Hubungan Istimewa 38

2) Kewenangan Dirjen Pajak Menentukan Penghasilan/Biaya Apabila Transaksi


Dipengaruhi Hubungan Istimewa 39

6. Nilai Perolehan 39

1) Penilaian Jual beli harta 39

2) Penilaian tukar menukar harta 40

3) Penilaian Harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,


peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha 41

1
4) Penilaian Pengalihan Harta Atas Bantuan Atau Sumbangan, Harta Hibah dan
Warisan 45

5) Penilaian Harta Yang Dialihkan Atas Setoran Tunai Yang Diterima Oleh Badan
Sebagai Pengganti Saham Atau Sebagai Pengganti Penyertaan Modal. 46

6) Penilaian Persediaan dan Pemakaian Persediaan Untuk Penghitungan Harga


Pokok 46

7. Penyusutan dan Amortisasi Fiskal 47

1) Penyusutan 48

2) Amortisasi 51

8. Norma Penghitungan Penghasilan Neto 54

1) Yang Boleh Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto 54

2) Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto 55

3) Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha 55

4) Cara Menghitung Penghasilan Neto 56

9. Norma Penghitungan Khusus 56

III. Cara Menghitung Pajak Penghasilan 57

1. Koreksi Fiskal 57

1) Koreksi Fiskal Untuk Penghasilan 57

2) Koreksi Fiskal Untuk Biaya 57

2. Penghasilan Kena Pajak 58

1) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Luar Negeri 58

2) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri 58

3. Tarif Pajak 59

1) Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 60

2) Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap 61

IV. Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan 64

1. Pajak Penghasilan Pasal 21 64

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 64

2
2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 65

3) Tidak Termasuk Sebagai Pemotong 66

4) Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 66

5) Tidak Termasuk Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal


21 68

6) Penghasilan Yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 68

7) Tidak Termasuk Dalam Pengertian Penghasilan Yang Dipotong PPh 21 69

8) Dasar Pengenaan Dan Pemotongan PPh Pasal 21 70

9) Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penerima Penghasilan yang Tidak Memiliki


NPWP 70

10) Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terutang Untuk Pegawai Tetap 71

2. Pajak Penghasilan Pasal 22 80

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 80

2) Pemungut Objek dan tarif PPh Pasal 22 80

3) Tarif PPh Pasal 22 82

4) Dikecualikan Dari Pemungutan PPh Pasal 22 87

5) Saat Terutang PPh Pasal 22 92

6) Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22 92

7) Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22 93

8) PPh Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah 94

3. Pajak Penghasilan Pasal 23 95

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 95

2) Pemotong PPh Pasal 23 95

3) Objek dan Tarif Pajak 95

4) Tidak Termasuk Sebagai Pemotong 98

5) Saat Terhutang PPh Pasal 23 99

4. Pajak Penghasilan Pasal 24 100

5. Pajak Penghasilan 26 101

3
1) Objek, Pemotong, dan Tarif Pajak 101

2) Pelunasan PPh Pasal 26 103

3) Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26 103

4) Pelunasan PPh Pasal 26 104

6. Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) 104

1) Objek dan Tarif Pajak 104

2) PPh Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan 106

3) PPh Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan 107

4) PPh Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 109

5) PPh Atas Hadiah Undian 111

6) PPh Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia 112

7) PPh Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek 114

8) PPh Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi 115

9) PPh Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara 117

10) PPh Atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri 118

11) PPh Atas Penghasilan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu 119

7. Pajak Penghasilan Pasal 15 121

1) PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri 121

2) PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri 122

3) PPh Pasal 15 atas Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri 123

4) PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (representative office/liaison


office) di Indonesia 124

8. Pajak Penghasilan Pasal 19 126

4
I. SUBJEK PAJAK

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang


diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Peraturan perundang-undangan
perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) diatur dalam
Undang-undang No. 7/1983 diubah terakhir dengan No. 7/2021 tentang pajak
penghasilan (“UU 36/2008”).

UU 36/2008 ini mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap Subjek


Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Subjek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau
memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian
tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak. Tahun Pajak dalam UU 36/2008 adalah tahun kalender, tetapi Wajib
Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender,
sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

1. Subjek Pajak Penghasilan

Sesuai dengan Pasal 1 UU 36/2008 menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan


dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan
kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU 36/2008 disebutkan bahwa yang menjadi Subjek
Pajak adalah:

● Orang Pribadi (OP) dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak (Warisan Belum Terbagi);

● Badan; dan

● Bentuk usaha tetap (BUT).

1) Subjek Pajak Orang Pribadi dan Warisan Belum Terbagi

Orang Pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia maupun di luar Indonesia. Sedangkan warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris, hal ini dimaksudkan agar pengenaan

5
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.

dalam Pasal 2 ayat (2) UU 36/2008, Subjek pajak dibedakan menjadi subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

a. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kewajiban pajak subjektif orang
pribadi dalam negeri dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir
pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.

Orang Pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah :

● Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;

● berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia;

● mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.
Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia. seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di
Indonesia lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi
ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam
jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

● Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia

Contoh

Hermawan lahir dan bertempat tinggal di Indonesia, maka Hermawan adalah


Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia.

● Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia

Contoh

Mr. Eggy bekerja di Indonesia bulan Agustus - Oktober 2021. Lalu di tahun
selanjutnya kembali lagi ke Indonesia untuk bekerja mulai bulan Maret - Juni 2022.

6
Menurut tahun kalender, Mr. Eggy masih menjadi Wajib Pajak Luar Negeri (tahun
2021 selama 92 hari dan tahun 2022 selama 122 hari). Sedangkan bila dilihat
dalam jangka waktu 12 bulan, Mr. Eggy sudah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri.
Karena Mr. Eggy berada di Indonesia selama 214 hari, 92 hari ditambah 122 hari.
Menurut UU 36/2008, Mr. Eggy sudah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri karena
sudah berada di Indonesia selama lebih dari 183 hari.

● Berniat untuk tinggal di Indonesia, diatur dalam Peraturan Direktur


Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 tentang Penentuan Subjek
Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri (“PDJP 43/2011”)
dijelaskan bahwa Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai
niat yang tegas apabila dalam hal:

 Dapat dibuktikan dengan beberapa dokumen berupa :

● Visa bekerja, atau

● Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 (seratus


delapan puluh tiga) hari atau kontrak atau perjanjian untuk
melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di
Indonesia selama lebih 183 (seratus delapan puluh tiga) hari.

 Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang


menunjukkan bahwa dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia
atau bersiap untuk bertempat tinggal di Indonesia, seperti
menyewa atau mengontrak tempat, termasuk menyewa tempat
tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau
memperoleh tempat yang disediakan oleh pihak lain.

Contoh

Contoh: Mr. Ando mulai bekerja di Indonesia bulan Desember 2020 tetapi berniat
untuk menetap di Indonesia dengan mengurus kontrak serta administrasi visa
bekerja untuk menetap lebih dari 183 hari, maka untuk tahun pajak 2020 Mr. Ando
dianggap sudah menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri.

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang


berhak

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam
pengertian UU 36/2008 mengikuti status pewaris. Adapun untuk
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan

7
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap
sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat
pada objeknya.

c. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri

Orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri diatur dalam UU
36/2008 pasal 2 ayat (4) yang menyebutkan bahwa subjek pajak luar
negeri adalah :

● orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

● warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;

● Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi persyaratan:

 tempat tinggal;

 pusat kegiatan utama;

 tempat menjalankan kebiasan;

 status subjek pajak; dan

 persyaratan tertentu lainnya yang ketentuan lebih lanjut mengenai


persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;

pada pasal 2 ayat (4) UU 36/2008 Kewajiban pajak Subjektif untuk subjek
pajak orang pribadi luar negeri Bagi yang mempunyai Bentuk Usaha
Tetap (“BUT”) di Indonesia, kewajiban Pajak Subjektifnya dimulai pada
saat orang pribadi tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
BUT Dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap

Bagi subjek pajak luar negeri yang tidak mempunyai BUT di Indonesia,
kewajiban Pajak Subjektifnya dimulai pada saat orang pribadi tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir
pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Contoh:

8
● Mr Polin tidak pernah ke Indonesia tapi mempunyai saham di perusahaan
Indonesia. Bila perusahaan tersebut membagi dividen kepada Mr. Polin, maka
dividen tersebut dipotong pajak penghasilan untuk subjek pajak luar negeri

● Mr. Riz bekerja di Indonesia selama 2 bulan (expatriat). Karena tinggal di


Indonesia kurang dari 103 hari maka gaji Mr. Riz tidak dipotong PPh pasal 21 tapi
PPh pasal 26.

● Mr. Zahid orang India, membuka kantor cabang jasa konsultan di Indonesia maka
Mr. Zahid dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usahanya
di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.

2) Subjek Pajak Badan

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU 36/2008 jo. Pasal 1 angka 3
UU 7/2021 KUP menjelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.

Dalam pengertian Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya
sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga,
badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk
memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian
perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan
dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Pada pasal 2 ayat (2) UU 36/2008, Subjek Pajak Badan terbagi 2 yaitu:
subjek pajak badan dalam negeri dan subjek pajak badan luar negeri dalam
pasal 2 ayat (3) UU 36/2008 dijelaskan perbedaannya yaitu:

a. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri

Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:

● pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan;

9
● pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
● penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
● pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Dalam hal badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia


lebih rinci diatur pada Per 43/PJ/2011 disebutkan bahwa Badan yang
bertempat kedudukan di Indonesia adalah Subjek Pajak badan yang:

● mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana


tercantum dalam akta pendirian badan,

● mempunyai kantor pusat di Indonesia,

● mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/atau pusat


keuangan di Indonesia;

● mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang


melakukan pengendalian;
● pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat
keputusan strategis; atau
● pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.

Kewajiban subjektif dari badan dalam negeri diatur dalam pasal 2A ayat
(2) UU 36/2008 Kewajiban pajak subjektif badan dalam negeri dimulai
pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
b. Subjek Pajak Badan Luar Negeri

Subjek pajak badan luar negeri diatur dalam UU 36/2008 pasal 2 ayat (4)
huruf d yang menyatakan bahwa, badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.

Dalam hal ini subjek pajak badan luar negeri dimulai secara otomatis
pada saat menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima
dan memperoleh penghasilan. berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan di Indonesia.

10
3) Bentuk Usaha tetap

Dalam Pasal 2 ayat (5) UU 36/2008 dijelaskan bahwa Bentuk usaha tetap
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi dan badan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat
berupa:

● tempat kedudukan manajemen;

● cabang perusahaan;

● kantor perwakilan;

● gedung kantor;

● pabrik;

● bengkel;

● gudang;

● ruang untuk promosi dan penjualan;

● pertambangan dan penggalian sumber alam;

● wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

● perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

● proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

● pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan;

● orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;

● agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan

● komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,


atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Pada Pasal 4 ayat (1) 35/PMK.03/2019 BUT harus memenuhi kriteria


sebagai berikut:

● adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;

11
● tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen;
dan

● tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh


Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.

Adapun BUT yang tidak memenuhi kriteria namun tetap menjadi BUT
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) 35/PMK.03/2019 yaitu:

● proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

● pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

● orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas; dan

● agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung risiko di Indonesia.

2. Bukan Subjek Pajak Penghasilan

Bukan Subjek Pajak diatur dalam UU 36/2008 pasal 3 yang menyebutkan


bahwa yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

● kantor perwakilan negara asing;

● pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain


dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

● organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan

 tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh


penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak lebih lanjut
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
● pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud
pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak

12
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
II. Objek Pajak

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008 pengertian objek pajak adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 36/2008 Pengertian penghasilan tidak


memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan
ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

● penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, dan penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;

● penghasilan dari usaha dan kegiatan;

● penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak
bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan
harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan

● penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Sedangkan berdasarkan Pasal 4 UU PPh, dari cara pengenaan pajaknya dapat


dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Objek Pajak Penghasilan

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008 yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk:

● penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

● hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

● laba usaha;

13
● keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

 keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,


dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

 keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,


atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

 keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,


pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;

 keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau


sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan

 keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak


penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;

● penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai


biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

● bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan


pengembalian utang;

● dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis;

● royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

● sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

● penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

● keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah


tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

● keuntungan selisih kurs mata uang asing;

14
● selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

● premi asuransi;

● iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

● tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum


dikenakan pajak;

● penghasilan dari usaha berbasis syariah;

● imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang


mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

● surplus bank indonesia.

1) Ketentuan Penghasilan Untuk Wanita Kawin dan Anak yang Belum


Dewasa

Sistem pengenaan pajak berdasarkan UU 36/2008 menempatkan keluarga


sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai
pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.

Dalam Pasal 8 ayat (1) UU 36/2008 disebutkan bahwa seluruh penghasilan


atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) UU 36/2008 dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali:

● penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu)


pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
UU 36/2008; dan
● pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

15
Contoh

Ando seorang suami yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000 mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto sebesar Rp70.000.000 Apabila penghasilan istri Ando tersebut diperoleh dari satu
pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak
ada hubungannya dengan usaha Ando atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
sebesar Rp70.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan Ando dan pengenaan
pajak atas penghasilan istri Ando tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, istri Ando juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000 seluruh penghasilan istri
Ando sebesar Rp150.000.000 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan
dengan penghasilan Ando.

Dengan penggabungan tersebut, Ando dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000 (Rp100.000.000 + Rp70.000.000 + Rp80.000.000). Potongan pajak atas
penghasilan istri Ando tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000 tersebut yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Namun dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut


dilakukan secara terpisah. Penghasilan suami-istri dikenai pajak secara
terpisah apabila:
● suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;

● dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian


pemisahan harta dan penghasilan; atau

● dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan


kewajiban perpajakannya sendiri.

bagi istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri dan suami-istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan, dikenai Pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto
suami-istri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

Contoh

Lanjutan dari contoh sebelumnya.

Apabila istri Ando menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung
berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00. Misalnya, pajak yang
terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 27.550.000,00 maka untuk
masing-masing suami dan istri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:

Ando 100.000.000 x 27.550.000 = 11.020.000

16
250.000.000

Istri Ando 150.000.000 x 27.550.000 = 16.530.000

250.000.000

Untuk penghasilan anak yang belum dewasa diatur pada Pasal 8 ayat (4)
UU 36/2008 yang dijelaskan bahwa Penghasilan anak yang belum dewasa
dari mana pun sumber penghasilannya dan apapun sifat pekerjaannya
digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
apabila orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh
penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.

Pengertian anak yang belum dewasa dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8


Ayat (4) UU 36/2008 adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah.

2) Ketentuan Penghasilan Untuk Warga Negara Asing

Terdapat ketentuan khusus bagi warga negara asing yang telah menjadi
subjek pajak dalam negeri dalam Pasal 4 ayat (1a) UU 36/2008 disebutkan
bahwa bagi warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam
negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia, baik yang dibayarkan di Indonesia maupun di
luar Indonesia, dengan ketentuan: memiliki keahlian tertentu dan berlaku
selama 4 tahun pajak, dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.

Ketentuan ini tidak berlaku terhadap warga negara asing yang


memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (“P3B”).

3) Objek Pajak bentuk usaha tetap

Pada Pasal 5 UU 36/2008 yang menjadi Objek Pajak BUT adalah:

● Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan
dari harta yang dimiliki atau dikuasai.

● Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,


atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.

● Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU 36/2008 yang


diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif

17
antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.

dalam hal ini biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat
dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap di Indonesia dan Penghasilan sebagaimana tersebut
dalam Pasal 26 UU 36/2008 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud, boleh
dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.

biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan


adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

adapun yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya dalam bentuk


pembayaran kepada kantor pusat adalah:

● royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta,


paten, atau hak-hak lainnya;

● imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

● bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan kecuali


bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

2. Objek Pajak Penghasilan Bersifat Final

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU 36/2008 Perlakuan Pajak bersifat final
dilakukan atas dasar pertimbangan antara lain:

● perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan


tabungan masyarakat;

● kesederhanaan dalam pemungutan pajak;

● berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat


Jenderal Pajak;

● pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan

● memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Atas dasar penjelasan diatas objek pajak penghasilan bersifat final dibuat
dengan mempertimbangkan kesederhanaan dalam pemungutan dan
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak. hal ini bisa dilihat dalam cara menghitungnya yaitu dengan
langsung mengalikan tarif dengan penghasilan bruto.

18
Objek Pajak Penghasilan Bersifat Final memiliki karakteristik sebagai berikut:

● Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan


penghasilan terutang lain yang tidak bersifat final dalam penghitungan Pajak
Penghasilan pada SPT Tahunan,

● Jumlah Pajak Penghasilan Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong
pihak lain sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan

● Biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan pada penghasilan bersifat final tidak dapat dikurangkan.

Dalam Pasal 4 ayat (2) UU 36/2008 disebutkan bahwa penghasilan di bawah


ini dapat dikenai bersifat final:

● penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi


dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek
yang diperdagangkan di pasar uang, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

● penghasilan berupa hadiah undian;

● penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif


yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;

● penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau


bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan; dan

● penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang


diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Dalam hal ini Terdapat perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang sudah dirangkum dalam Tabel berikut :

N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan


o Pengenaan Pajak

Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia


1
10% dari jumlah ● Bank yang PP 123/2015
Bunga dari bruto, untuk membayarkan jo.212/PMK.03/2018
Deposito Devisa Deposito DHE bunga tabungan
Hasil Ekspor dengan jangka dan Deposito
(“DHE”) dalam waktu 1 bulan serta Bank
mata uang dolar Indonesia yang

19
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

Amerika Serikat 7,5% dari jumlah menerbitkan


yang, ditempatkan bruto, untuk SBI.
di dalam negeri Deposito DHE ● Dana Pensiun
pada bank yang dengan jangka yang
didirikan atau waktu 3 bulan pendiriannya
bertempat telah disahkan
kedudukan di 2,5% dari jumlah Menteri
Indonesia atau bruto, untuk Keuangan
cabang bank luar Deposito DHE
negeri di Indonesia dengan jangka
waktu 6 bulan

0%dari jumlah
bruto, untuk
Deposito DHE
dengan jangka
waktu lebih dari 6
bulan

7,5% dari jumlah


Bunga dari bruto, untuk
Deposito DHE Deposito DHE
dalam mata uang dengan jangka
rupiah yang waktu 1 bulan
ditempatkan di
dalam negeri pada 5% dari jumlah
bank yang didirikan bruto, untuk
atau bertempat Deposito DHE
kedudukan di dengan jangka
Indonesia atau waktu 3 bulan
cabang bank luar
negeri di Indonesia 0% dari jumlah
bruto, untuk
Deposito DHE
dengan jangka
waktu 6 bulan
atau lebih dari 6
bulan.

20% dari jumlah


Bunga dari bruto, terhadap
Tabungan dan Wajib Pajak dalam
Diskonto SBI, serta negeri dan bentuk
bunga dari usaha tetap
Deposito
tarif 20% dari
jumlah bruto atau
dengan tarif
berdasarkan P3B
yang berlaku,
terhadap Wajib
Pajak luar negeri.

Dikecualikan untuk:
Jumlah Deposito dan Tabungan serta SBI yang tidak melebihi Rp7.500.000,00;

20
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

bunga dan Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia; diterima atau diperoleh Dana Pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah mendapat izin
dari Otoritas Jasa Keuangan; bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah
dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap
bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri

2 Bunga Obligasi

Bunga dari Obligasi ● 10% bagi Wajib ● penerbit PP 91/2021 jo. PP


Dengan Kupon. Pajak Dalam Obligasi atau 55/2019
Negeri dan BUT kustodian
● 20% atau selaku agen
dengan tarif pembayaran
berdasarkan yang ditunjuk,
Perjanjian P3B atas bunga
yang berlaku, dan/atau
terhadap Wajib diskonto yang
Pajak luar diterima
negeri pemegang
Sebesar jumlah Obligasi dengan
bruto sesuai kupon pada
dengan masa saat jatuh
kepemilikan tempo Bunga
Obligasi Obligasi dan
diskonto yang
Diskonto dari ● 10% Bagi Wajib diterima
Obligasi Dengan Pajak Dalam pemegang
Kupon Negeri dan Obligasi tanpa
BUT bunga pada
● 20% atau saat jatuh
dengan tarif tempo Obligasi;
berdasarkan ● perusahaan
Perjanjian P3B efek, dealer,
yang berlaku, bank, dana
terhadap Wajib pensiun, atau
Pajak luar reksadana
negeri selaku
sebesar selisih pedagang
lebih harga jual perantara
atau nilai nominal dan/atau
di atas harga pembeli, atas
perolehan bunga dan
Obligasi, tidak diskonto yang
termasuk bunga diterima penjual
berjalan Obligasi pada
saat transaksi
Diskonto dari ● 10% Bagi Wajib ● kustodian atau
Obligasi tanpa Pajak Dalam subregistry
bunga Negeri dan selaku pihak
BUT yang
● 20% atau melakukan
dengan tarif pencatatan
berdasarkan mutasi hak
Perjanjian P3B kepemilikan,

21
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

yang berlaku, atas bunga dan


terhadap Wajib diskonto yang
Pajak luar diterima penjual
negeri Obligasi dalam
Selisih lebih harga hal transaksi
jual atau nilai penjualan
nominal di atas dilakukan
harga perolehan secara
Obligasi langsung tanpa
melalui
Bunga atau ● 5% sampai perantara dan
diskonto dari dengan tahun pembeli
Obligasi yang 2021 Obligasi bukan
diterima atau ● 10% untuk pihak yang
diperoleh Wajib tahun 2021 dan ditunjuk sebagai
Pajak reksa dana seterusnya pemotong
dan Wajib Pajak
dana investasi
infrastruktur
berbentuk kontrak
investasi kolektif,
dana investasi real
estat berbentuk
kontrak investasi
kolektif, dan efek
beragun aset
berbentuk kontrak
investasi kolektif
yang terdaftar atau
tercatat pada
Otoritas Jasa
Keuangan

Dikecualikan untuk:
Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan dan Wajib Pajak bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak bank
yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia, dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai Undang-Undang PPh.

3 Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

Surat ● 20% bagi Wajib ● Penerbit SPN 63/PMK.03/2008


Perbendaharaan Pajak dalam (emiten) atau jo.PP 27/2008
Negara yang negeri dan kustodian yang
merupakan Surat bentuk usaha ditunjuk selaku
Utang Negara yang tetap agen pembayar,
berjangka waktu ● 20% atau atas Diskonto
paling lama 12 dengan tarif yang diterima
bulan dengan berdasarkan pemegang SPN
pembayaran bunga Perjanjian P3B saat jatuh
secara diskonto yang berlaku, tempo.
terhadap Wajib ● Perusahaan
Pajak luar efek (broker)
negeri atau bank

22
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

Atas Diskonto selaku


Surat pedagang
Perbendaharaan perantara
Negara (dealer), atas
Diskonto yang
diterima atau
diperoleh
penjual SPN
pada saat
transaksi di
Pasar Sekunder
● Perusahaan
efek (broker),
bank, dana
pensiun, dan
reksadana
selaku pembeli
SPN tanpa
melalui
pedagang
perantara, atas
Diskonto yang
diterima atau
diperoleh
penjual SPN
pada saat
transaksi di
Pasar Sekunder

Dikecualikan untuk:
Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
● Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
● Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
● Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian izin usaha.

4 Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada
anggota koperasi orang pribadi

Bunga simpanan ● 0% untuk koperasi yang PP 15/2009 jo. PMK


yang dibayarkan penghasilan melakukan 112/PMK.03/2010
oleh koperasi yang berupa bunga pembayaran
didirikan di simpanan bunga simpanan
Indonesia kepada sampai dengan kepada anggota
anggota koperasi Rp240.000,00 koperasi orang
orang pribadi per bulan pribadi pada saat
● 10% dari pembayaran.
jumlah bruto
bunga untuk
penghasilan
berupa bunga
simpanan lebih
dari

23
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

Rp240.000,00
per bulan.

5 Hadiah Undian

Hadiah undian 25% dari jumlah Penyelenggara PP 132/2000


dengan nama dan bruto hadiah undian
dalam bentuk apa undian

6 Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek

penghasilan yang ● Besarnya Pajak Penyelenggara PP 14 1997


diterima atau Penghasilan bursa efek
diperoleh orang adalah 0,1%
pribadi atau dari jumlah
badan dari bruto nilai
transaksi penjualan transaksi
saham di bursa penjualan
efek ● Pemilik saham
pendiri
dikenakan
tambahan
Pajak
Penghasilan
sebesar 0,5%
dari nilai saham
perusahaan
pada saat
penutupan
bursa diakhir
tahun 1996.
● Dalam hal
saham
perusahaan
diperdagangka
n di bursa efek
setelah 1
Januari 1997,
maka yang
dimaksud
dengan nilai
saham adalah
nilai saham
ditetapkan
sebesar harga
saham pada
saat penawaran
umum perdana.

7 Perusahaan Modal Ventura Dari Transaksi Penjualan Saham


Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan

perusahaan modal ● 0,1% dari Perusahaan modal PP 4/1995


ventura dari jumlah bruto ventura
transaksi penjualan nilai transaksi

24
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

saham penjualan
atau pengalihan saham atau
penyertaan pengalihan
modal penyertaan
pada perusahaan modal
pasangan
usahanya

merupakan
perusahaan kecil,
menengah, atau
yang melakukan
kegiatan dalam
sektor-sektor usaha
yang ditetapkan
oleh Menteri
Keuangan dan
sahamnya tidak
diperdagangkan di
bursa efek di
Indonesia.

Dikecualikan untuk:
Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak
memenuhi ketentuan di atas dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Perlu Diperhatikan:
Mengingat perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan dalam Peraturan
Pemerintah ini berbeda dengan perlakuan atas penghasilan lainnya, maka kepada
perusahaan modal ventura diwajibkan untuk melakukan pembukuan yang terpisah
atas penghasilan maupun biaya yang berkaitan dengan penghasilan dari transaksi
penjualan saham ini.

8 Dividen Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Dividen yang 10% dari jumlah Pihak yang PP 19/2009 jo.


diterima atau bruto membayar atau 111/PMK.03/2010
diperoleh Wajib pihak lain yang
Pajak orang pribadi ditunjuk selaku
dalam negeri pembayar dividen

Perlu Diperhatikan:
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

9 Pengalihan Hak Atas Tanah atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas
Tanah atau Bangunan Beserta Perubahannya

pengalihan hak atas 2,5% dari jumlah ● Selain PP 34/ 2016 jo.
tanah atau bruto nilai transaksi 261/PMK.03/2016
bangunan selain pengalihan hak dengan
pengalihan hak atas Pemerintah

25
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

tanah atau atas tanah atau dibayar


bangunan berupa bangunan sendiri oleh
Rumah Sederhana pribadi atau
atau Rumah Susun badan yang
Sederhana yang bersangkutan
dilakukan oleh sebelum akta,
Wajib Pajak yang keputusan,
usaha pokoknya perjanjian,
melakukan kesepakatan
pengalihan hak atas atau risalah
tanah atau lelang
bangunan ditandatangani
oleh pejabat
yang
berwenang.
● Selain
transaksi
dengan
Pemerintah
bendahara
pemerintah
atau pejabat
yang
melakukan
pembayaran
atau pejabat
yang
menyetujui
tukar
menukar.

pengalihan hak atas 1% dari jumlah


tanah dan/ atau bruto nilai
bangunan berupa pengalihan
Rumah Sederhana hak atas tanah
dan Rumah Susun atau bangunan
Sederhana yang
dilakukan oleh
Wajib Pajak yang
usaha pokoknya
melakukan
pengalihan hak atas
tanah dan/atau
bangunan

pengalihan hak atas 0% bendahara


tanah atau pemerintah atau
bangunan kepada pejabat yang
pemerintah, badan melakukan
usaha milik negara pembayaran atau
yang mendapat pejabat yang
Penugasan khusus menyetujui tukar
dari Pemerintah, menukar.
atau badan usaha

26
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

milik daerah yang


mendapat
penugasan khusus
dari kepala daerah,
sebagaimana
dimaksud dalam
undang-undang
yang mengatur
mengenai
pengadaan tanah
bagi pembangunan
untuk kepentingan
umum.

Dikecualikan untuk:
● Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dengan
jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah;
● orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
dera.lat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
● badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan
dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
● pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan karena waris;
● badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
● orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan
dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna,
atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan;
● orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan.

10 Jasa Konstruksi

penyedia Jasa yang 1,75% dari Nilai ● Pengguna


memiliki sertifikat Kontrak Jasa Jasa pada PP 9/2022 jo.
badan usaha Konstruksi saat 153/PMK.03/2009
kualifikasi kecil atau pembayaran.
sertifikat ● disetor sendiri
kompetensi kerja oleh Penyedia
untuk usaha orang Jasa, dalam
perseorangan hal Pengguna
Jasa bukan
merupakan

27
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

Penyedia Jasa 4% dari Nilai pemotong


yang tidak memiliki Kontrak Jasa pajak
sertifikat badan Konstruksi
usaha atau sertifikat
kompetensi kerja
untuk usaha orang
perseorangan

penyedia Jasa 2,65% dari Nilai


selain yang memiliki Kontrak Jasa
dan tidak memiliki Konstruksi
sertifikat badan
usaha kualifikasi
kecil atau sertifikat
kompetensi kerja
untuk usaha orang
perseorangan

pekerjaan 2,65% dari Nilai


konstruksi Kontrak Jasa
terintegrasi yang Konstruksi
dilakukan oleh
Penyedia Jasa
yang memiliki
sertifikat badan
usaha

pekerjaan 4% dari Nilai


konstruksi Kontrak Jasa
terintegrasi yang Konstruksi
dilakukan oleh
Penyedia Jasa
yang tidak memiliki
sertifikat badan
usaha

jasa konsultansi 3,5% dari Nilai


konstruksi yang Kontrak Jasa
dilakukan oleh Konstruksi
penyedia Jasa yang
memiliki sertifikat
badan usaha atau
sertifikat
kompetensi kerja
untuk usaha orang
perseorangan

jasa konsultansi 6% dari Nilai


konstruksi yang Kontrak Jasa
dilakukan oleh Konstruksi
penyedia Jasa yang
tidak memiliki
sertifikat badan
usaha atau sertifikat
kompetensi kerja

28
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

untuk usaha orang


perseorangan

Perlu Diperhatikan:
● untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sebelum berlakunya
Peraturan pemerintah ini, pengenaan Pajak Penghasilan dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
● untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak terhitung sejak Peraturan
pemerintah ini berlaku, pengenaan Pajak penghasilan dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Pemerintah PP 9/2022.
● Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas
sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

11 Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Sewa Tanah dan Bangunan.

sewa atas tanah 10% dari jumlah ● Penyewa PP 34/ 2017 jo.
dan atau bangunan bruto nilai dalam hal 120/KMK.03/2002
berupa tanah, persewaan tanah penyewa
rumah, rumah dan atau adalah Badan
susun, apartemen, bangunan. Pemerintah,
kondominium, Subjek Pajak
gedung badan dalam
perkantoran, negeri,
gedung pertokoan, penyelenggar
atau gedung a kegiatan,
pertemuan bentuk usaha
termasuk tetap,
bagiannya, rumah kerjasama
kantor, toko, rumah operasi,
toko, gudang dan perwakilan
bangunan industri. perusahaan
luar negeri
lainnya, dan
orang pribadi
yang
ditetapkan
oleh Direktur
Jenderal
Pajak.
● Dalam
penyewa
adalah orang
pribadi atau
bukan Subjek
Pajak, selain
yang tersebut
di atas, PPh
disetor
sendiri oleh

29
N Jenis Penghasilan Tarif dan Dasar Pemotong Peraturan
o Pengenaan Pajak

yang
menyewakan.

Perlu Diperhatikan:
Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan adalah :
● Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
● Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

12 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Wajib Pajak orang 0,5% dari Jumlah ● Disetor sendiri PP 23/2018 jo.
pribadi dan Wajib peredaran bruto oleh Wajib 99 /PMK.03/2018
Pajak badan atas penghasilan Pajak yang
berbentuk koperasi, dari usaha memiliki
persekutuan setiap bulan peredaran
komanditer, firma, bruto tertentu
atau perseroan bersifat final. ● Dipotong atau
terbatas yang dipungut oleh :
menerima atau pembeli atau
memperoleh pengguna jasa
Penghasilan
dengan peredaran
bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,0
0
dalam 1 Tahun
Pajak.

Dikecualikan Untuk :
● Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan
Umum Pajak Penghasilan;
● Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan Jasa sejenis dengan Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
● Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
o Pasal 31A UU 36/2008; atau
o PP 94 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan
Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau
penggantinya, dan
o Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.
Perlu Diperhatikan :
Dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu, yaitu:
● 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
● 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan
komanditer, atau firma; dan
● 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

30
3. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak

Dalam Pasal 4 ayat (3) UU 36/2008 yang Dikecualikan dari Objek Pajak
adalah:

● Bantuan Atau Sumbangan dan Harta Hibahan

 bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;

 harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau


penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

● Warisan

● Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

● penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:

 makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi


seluruh pegawai;

 natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;

 natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja


dalam pelaksanaan pekerjaan;

31
 natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;

 natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu;

● pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau


karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi
beasiswa;

● dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut:

 dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak:

● orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan


di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu
tertentu; dan/atau

● badan dalam negeri;

 dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung
kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:

● dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut


paling sedikit sebesar 30% dari laba setelah pajak; atau

● dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia
sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak
atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2)
UU 36/2008;

dividen yang berasal dari luar negeri merupakan:

● dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang
sahamnya diperdagangkan di bursa efek; atau

● dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi
kepemilikan saham;

32
 dalam hal dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri
yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan
proporsi kepemilikan saham dan penghasilan setelah pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
ayat (3) huruf f angka 2 UU 36/2008 diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia kurang dari dari jumlah laba setelah pajak
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 huruf a) UU
36/2008 berlaku ketentuan:

● atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan


tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;

● atas selisih dari 30% laba setelah pajak dikurangi dengan dividen
dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 3 huruf a) UU 36/2008
dikenai Pajak Penghasilan; dan

● atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau


penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 3 huruf a) UU 36/2008 serta atas
selisih sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 3
huruf b) UU 36/2008, tidak dikenai Pajak Penghasilan;

 dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f
angka 3 huruf b) UU 36/2008 dan penghasilan setelah pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
ayat (3) huruf f angka 2 UU 36/2008, diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebesar lebih dari 30% dari jumlah laba
setelah pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka
2 huruf a) UU 36/2008 berlaku ketentuan:

● atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan


tersebut dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan

● atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau


penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud
pada huruf a), tidak dikenai Pajak Penghasilan;

 dalam hal dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia
setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas
dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) UU
36/2008, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan Pajak

33
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka
2 UU 36/2008;

 pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari luar negeri tidak


melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal penghasilan
tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan berikut:

● penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan

● bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri;

 pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri
atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f
angka 2 dan angka 7 UU 36/2008, berlaku ketentuan:

● tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;

● tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan;


dan/atau

● tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

 dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka


waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf f
angka 2 dan angka 7 UU 36/2008, berlaku ketentuan:

● penghasilan dari luar negeri tersebut merupakan penghasilan pada


tahun pajak diperoleh; dan

● Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri
atas penghasilan tersebut merupakan kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang UU 36/2008;

● iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;

● penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana


dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) huruf g UU 36/2008, dalam bidang-bidang
tertentu;

● bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari
koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas

34
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

● penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa


bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut:

 merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan


kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan

 sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

● beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur


lebih lanjut dengan atau berdasarkan 68/PMK. 03/2020 ;

● sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 68/PMK.03/2020;

● bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan 247/PMK.03/2008;

● dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH


khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang
atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji
(BPKH) yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
18/PMK.03/2021; dan

● sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan


keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan
keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan 18/PMK.03/2021.

4. Biaya-Biaya Dalam Perhitungan Penghasilan Kena Pajak

Dalam Pasal 6 UU 36/2008 menjelaskan bahwa besarnya Penghasilan Kena


Pajak (“PKP”) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, ditentukan berdasarkan

35
penghasilan bruto yang dikurangi biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dalam hal ini sering disebut dengan biaya (“3M”).
Adapun biaya yang tidak dapat menjadi pengurang meliputi pengeluaran yang
sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran yang
disebutkan dalam Pasal 9 UU 36/2008. Dengan begitu dalam hal biaya-biaya
tersebut terbagi menjadi 2 yaitu:

● Biaya yang dapat menjadi pengurang untuk Perhitungan Penghasilan Kena


Pajak (“Deductible Expenses”)
● Biaya yang tidak dapat dikurangkan sebagai biaya (“Non-deductible
Expense”)

1) Biaya Yang Dapat dikurangkan ( Deductible Expenses)

Dalam Pasal 6 UU 36/2008 menjelaskan bahwa yang termasuk dalam Biaya


yang dapat menjadi pengurang untuk Perhitungan Penghasilan Kena Pajak
adalah:

● biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan


kegiatan usaha. Biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya
sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. antara lain:

 biaya pembelian bahan;

 biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,


honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;

 bunga, sewa, dan royalti;

 biaya perjalanan;

 biaya pengolahan limbah;

 premi asuransi;

 biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan


02/PMK.03/2010;

 biaya administrasi; dan

36
 pajak kecuali Pajak Penghasilan;

● penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU 36/2008

● iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh


Otoritas Jasa Keuangan;

● kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan


digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan

● kerugian selisih kurs mata uang asing;

● biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

● piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :

 telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

 telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri


atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa
hutangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

 syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk


penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU 36/2008;

● sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang


ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

● sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan


di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

● biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan


Peraturan Pemerintah;

37
● sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;

● sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur


dengan Peraturan Pemerintah;

● biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura


dan/atau kenikmatan.

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi


dalam 2 (dua) golongan, yaitu:

● beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun.

● beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun.

Dalam hal ini beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya.
Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.

a. Kompensasi Kerugian

Adapun terkait dengan kerugian yang dapat dibebankan dapat dilakukan


apabila dalam suatu tahun Pajak didapat kerugian karena penjualan harta
atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto. kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
tahun.

Contoh
PT. A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu
miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT. A
sebagai berikut:

2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00


2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal RpN I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi fiskal tahun 2009 R (1.200.000.000,00)


p

38
Laba fiskal tahun 2010 R 200.000.000,00 (+)
p
Sisa rugi fiskal tahun R (1.000.000.000,00)
2009 p
Rugi fiskal tahun 2011 R 300.000.000,00 (-)
p
Sisa rugi fiskal tahun R (1.000.000.000,00)
2009 p
Laba fiskal tahun 2012 R NIHIL (+)
p
Sisa rugi fiskal tahun R (1.000.000.000,00)
2009 p
Laba fiskal tahun 2013 R 100.000.000,00 (-)
p
Sisa rugi fiskal tahun R (900.000.000,00)
2009 p
Laba fiskal tahun 2014 R 800.000.000,00 (-)
p
Sisa rugi fiskal tahun R (100.000.000,00)
2009 p

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)


yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan
lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011
sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena
jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada
akhir tahun 2016.

b. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Dalam Pasal 7 UU 36/2008 dijelaskan bahwa kepada orang pribadi


sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak (“PTKP”). Penerapan PTKP ditentukan
berdasarkan keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) UU 36/2008 jo.


101/PMK.010/2016 Pasal 1 Besarnya PTKP adalah sebagai berikut:

Keterangan Rp

Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi 54,000,00


0

39
Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 4,500,000

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya 54.000.00


digabung dengan penghasilan suami 0

Bila memiliki tanggungan (maksimal 3 tanggungan) 4,500,000

Terdapat beberapa kombinasi PTKP yang dimungkinkan terjadi, dengan


rincian sebagai berikut:

Golongan Kode Tarif PTKP

Tidak Kawin (TK) TK0 Rp 54,000,000

TK1 Rp 58,500,000

TK2 Rp 63,000,000

TK3 Rp. 67,500,000

Kawin (K) K0 Rp. 63,000,000

K1 Rp. 58,500,000

K2 Rp. 63,000,000

K3 Rp. 72,000,000

Kawin dengan penghasilan istri K/I/0 Rp. 108,000,000


digabung (K/I)
K/I/1 Rp. 112,500,000

K/I/2 Rp. 117,000,000

K/I/3 Rp. 121,500,000

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU 36/2008 menjelaskan bahwa tanggungan


adalah Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak
angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
banyak 3 orang.
Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

2) Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan (Non-deductible Expense)

Dalam Pasal 9 UU 36/2008 menjelaskan bahwa untuk menentukan


besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

● pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

● biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi


pemegang saham, sekutu, atau anggota;

● pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

 cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang
yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan;

 cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial


yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

 cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

 cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

 cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

 cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan


limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
memenuhi persyaratan Tertentu;

● premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi


dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang

41
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

● jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang


saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

● harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU
36/2008, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf i sampai dengan huruf m UU 36/2008 serta zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

● Pajak Penghasilan

● biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib


Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

● cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

● cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang


dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

● cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

● cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

● cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

● cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan


limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,

● gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

● sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi


pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

42
5. Hubungan Istimewa

Terdapat beberapa syarat yang harus diperhatikan agar dapat disebut sebagai
hubungan istimewa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (4) UU
36/2008 berikut:

● Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung


paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih
atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

● Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau

● terdapat hubungan keluarga baik sendiri maupun semenda dalam garis


keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

1) Kewenangan Menteri Keuangan Terkait Dengan Transaksi Yang


Dipengaruhi Hubungan Istimewa

a. Batasan Jumlah Biaya Pinjaman

Pada pasal 18 UU 36/2008 dijelaskan bahwa Menteri Keuangan


berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat
dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan. Dalam
menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan
untuk tujuan perpajakan digunakan metode yang lazim diterapkan di
dunia internasional, misalnya melalui metode penentuan tingkat
perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan
antara utang dan modal (debt to equity ratio), melalui persentase tertentu
dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum
dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings
before interest, taxes, depreciation, and amortization) atau melalui
metode lainnya.

b. Waktu Perolehan Dividen

Pada pasal 18 UU 36/2008 dijelaskan bahwa Menteri Keuangan


berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:

● besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling


rendah 50% dari jumlah saham yang disetor; atau

43
● secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang
disetor.

Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap


penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk
menentukan saat diperolehnya dividen.

Contoh
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd.
yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan
di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

2) Kewenangan Dirjen Pajak Menentukan Penghasilan/Biaya Apabila


Transaksi Dipengaruhi Hubungan Istimewa

a. Menentukan Penghitungan Yang Mempengaruhi Penghasilan Kena Pajak

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan kembali besarnya


penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya plus, atau metode lainnya.

Selain menentukan penghitungan yang mempengaruhi penghasilan kena


pajak Direktur Jenderal Pajak juga berwenang melakukan perjanjian
dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak
negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya, serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir

Pada intinya Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali hal-hal


yang berkaitan dengan jumlah pajak yang harus dibayarkan apabila
terdapat hubungan istimewa atau terjadi ketidak wajaran.

6. Nilai Perolehan

Pada Pasal 10 UU 36/2008 Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian


harta, termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan
sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung

44
keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan
penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.

1) Penilaian Jual beli harta

a. Penilaian jual beli harta tidak dipengaruhi hubungan istimewa

Dalam Pasal 10 ayat (1) UU 26/2008 harga perolehan atau harga


penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau
diterima, Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya
yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea
masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.

b. Penilaian jual beli harta dipengaruhi hubungan istimewa

Apabila terdapat hubungan istimewa yang memenuhi syarat sebagaimana


disebutkan dalam Pasal 18 ayat (4) UU 36/2008 berikut:

● Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak


langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak
lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau
hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
● Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau
● terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Dalam hal ini bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang
seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah
jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara
pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih
besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai
penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.

2) Penilaian tukar menukar harta

Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar.

45
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta
lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh
PT. A PT. B
(Harta X) (Harta Y)

Nilai sisa buku Rp10.000.000 Rp12.000.000

Harga pasar Rp20.000.000 Rp20.000.000

Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi


pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta
yang dipertukarkan adalah Rp20.000.000 maka jumlah sebesar Rp20.000.000
merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang
seharusnya diterima.

Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan
keuntungan yang dikenakan pajak.

PT A memperoleh keuntungan sebesar

Rp20.000.000 – Rp10.000.000 = Rp10.000.000

PT B memperoleh keuntungan sebesar

Rp20.000.000 – Rp12.000.000 = Rp8.000.000

3) Penilaian Harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,


peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha

a. Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan berdasarkan harga


pasar

Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar, kecuali ditentukan lain dengan PMK No.
52/PMK.010/2017 beberapa kali diubah terakhir dengan PMK
56/PMK.010/2021 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan
Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran,
Atau Pengambilalihan Usaha (“56/PMK.010/2021”).

Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang


dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan

46
usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka
likuidasi usaha atau sebab lainnya. Selisih antara harga pasar dengan nilai
sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak.

Contoh
PT. A PT. B
(Harta X) (Harta Y)

Nilai sisa buku Rp200.000.000 Rp300.000.000

Harga pasar Rp300.000.000 Rp450.000.000

Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka
peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta.

Dengan demikian PT A mendapat keuntungan sebesar

Rp300.000.000 – Rp200.000.000 = Rp100.000.000

PT B mendapat keuntungan sebesar

Rp450.000.000 – Rp300.000.00 = Rp150.000.000

Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp300.000.000 +


Rp450.000.000 = Rp750.000.000
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi,
investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling
of interest). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A
dan PT B tersebut sebesar Rp500.000.000 (Rp200.000.000 + Rp300.000.000).

b. Nilai Perolehan Atau Pengalihan Harta Yang Dialihkan Berdasarkan


Menggunakan Nilai Buku

Mengacu pada peraturan 56/PMK.010/2021 Wajib Pajak dapat


menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha,
setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

a) Penggabungan Usaha Yang Dapat Menggunakan Nilai Buku Yaitu


:

● Penggabungan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam


negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan
seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak badan
yang tidak mempunyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa
kerugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan Wajib Pajak
badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut; atau

47
● penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat
kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri
yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan
seluruh harta dan kewajiban badan hukum yang didirikan atau
bertempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak badan
dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan
badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar
negeri yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut.

b) Peleburan Usaha Yang Dapat Menggunakan Nilai Buku

● Peleburan dari 2 atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha
baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban
kepada Wajib Pajak badan baru serta membubarkan Wajib Pajak
badan yang melebur tersebut; atau

● peleburan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat


kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri
yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mendirikan badan
usaha baru di Indonesia clan mengalihkan seluruh harta clan
kewajiban kepada badan usaha baru serta membubarkan badan
hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dan
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melebur tersebut.

c) Pemekaran Usaha Yang Dapat Menggunakan Nilai Buku

● pemisahan usaha 1 Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya


terbagi atas saham menjadi 2 Wajib Pajak badan dalam negeri atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut,
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama;

Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku dalam hal


pemekaran usaha diatas yaitu:

 Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan


penawaran umum perdana (Initial Public Offering);

 Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan


penawaran umum perdana saham;

 Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha


hasil pemekaran usaha melakukan penawaran umum perdana
saham;
48
 Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan unit usaha
syariah untuk menjalankan kewajiban pemisahan usaha
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 Wajib Pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil


pemekaran usaha mendapatkan tambahan modal dari penanam
modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000; atau

 Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan


penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanJang
pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan
induk (holding) Badan Usaha Milik Negara.

● Pemisahan usaha 1 Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya


terbagi atas saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan
kewajiban kepada 1 atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri
yang modalnya terbagi atas saham, yang dilakukan tanpa
membentuk badan usaha baru dan tanpa melakukan likuidasi badan
usaha yang lama, dan merupakan pemecahan usaha; atau

suatu rangkaian tindakan untuk melakukan pemisahan usaha 2 atau


lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas
saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan kewajiban dari
usaha yang dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan
tersebut kepada 1 badan usaha tanpa melakukan likuidasi badan
usaha yang lama.

Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku tersebut adalah :

 Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan


penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanJang
pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan
induk (holding) Badan Usaha Milik Negara; atau

 Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan usaha


sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara
dengan syarat:

● restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal


Tahun Pajak 2021;

● pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau


pertukaran harta; dan

49
● restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh
persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.

d) Pengambilalihan Usaha Yang Dapat Menggunakan Nilai Buku

● Pengambilalihan usaha Bentuk Usaha Tetap yang menjalankan


kegiatan di bidang usaha bank yang dilakukan dengan cara
mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban Bentuk
Usaha Tetap kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang
modalnya terbagi atas saham, dan membubarkan Bentuk Usaha
Tetap tersebut; atau

● pengambilalihan usaha dari suatu Wajib Pajak badan dalam negeri


dengan cara mengalihkan kepemilikan atas saham Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimilikinya tersebut kepada Wajib Pajak
badan dalam negeri lainnya, yang dilakukan sehubungan dengan
restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara, dengan syarat:

 Kepemilikan atas saham Wajib Pajak badan dalam negeri yang


dialihkan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham
dengan hak suara yang telah disetor penuh; atau mempunyai
kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apapun pengelolaan atau kebijakan atas
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dialihkan;

 dalam hal Wajib Pajak badan dalam negeri yang diambil alih
berbentuk perseroan terbuka, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal;

 restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun


Pajak 2021;

 pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau


pertukaran harta; dan

 restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh


persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembina.an Badan Usaha Milik Negara.

50
4) Penilaian Pengalihan Harta Atas Bantuan Atau Sumbangan, Harta
Hibah dan Warisan

a. Penilaian Pengalihan Harta Atas Bantuan Atau Sumbangan, Harta Hibah


dan Warisan Yang Memenuhi Syarat

Nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku
harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui,
maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

b. Penilaian Pengalihan Harta Atas Bantuan Atau Sumbangan, Harta Hibah


Dan Warisan Yang Tidak Memenuhi Syarat.

Nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.

5) Penilaian Harta Yang Dialihkan Atas Setoran Tunai Yang Diterima Oleh
Badan Sebagai Pengganti Saham Atau Sebagai Pengganti Penyertaan
Modal.

Apabila terjadi pengalihan harta atas setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal, maka
dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan
nilai pasar dari harta tersebut.

Contoh

Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya


adalah Rp25.000.000,00 kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan
sahamnya dengan nilai nominal Rp20.000.000.

Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp40.000.000,00. Dalam


hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan
nilai Rp40.000.000 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y.

Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar:
Rp40.000.000 - Rp20.000.000 = Rp20.000.000

Dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar

Rp40.000.000 - Rp25.000.000 = Rp15.000.000

Objek Pajak
Rp15.000.000

51
6) Penilaian Persediaan dan Pemakaian Persediaan Untuk Penghitungan
Harga Pokok

Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok


dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.

dalam penjelasan Pasal 10 ayat (6) UU 36/2008 Pada umumnya terdapat 3


(tiga) golongan persediaan barang, yaitu :

● barang jadi atau barang dagangan;

● barang dalam proses produksi;

● bahan baku dan bahan pembantu.

Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya


boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO").
Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan
terhadap sekuritas.

Contoh:

Persediaan Awal 100 satuan @ Rp9,00

Pembelian 100 satuan @ Rp12,00

Pembelian 100 satuan @ Rp11,25

Penjualan/dipakai 100 satuan

Penjualan/dipakai 100 satuan

● Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan


menggunakan cara rata-rata misalnya sebagai berikut:

Didapat Dipakai Persediaan

100 @ Rp 9,00 =
Rp 900,00

100 @ Rp 12,00 = 200 @ Rp 10,50 =


Rp 1.200,00 Rp 2.100,00

100 @ Rp 11,25 = 300 @ Rp 10,75 =


Rp 1.125,00 Rp 3.225,00

100 @ Rp 10,75 = 200 @ Rp 10,75 =


Rp 1.075,00 Rp 2.150,00

100 @ Rp 10,75 = 100 @ Rp 10,75 =

52
Rp 1.075,00 Rp 1.075,00

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian


persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk
tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

7. Penyusutan dan Amortisasi Fiskal

Pada Pasal 9 ayat (2) UU 36/2008 menjelaskan bahwa Pengeluaran untuk


mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,
melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. pada Pasal 11 dan
Pasal 11A UU 36/2008 dijelaskan bagaimana cara melakukan Penyusutan dan
Amortisasi agar dapat dibebankan dalam penghitungan Pajak Penghasilan.

1) Penyusutan

Dalam Pasal 11 UU 36/2008 dijelaskan bahwa penyusutan atas pengeluaran


untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta
berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama
besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan lebih rinci
mengenai penyusutan yaitu Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh
tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali
apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk
memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah
dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau
perusahaan batu bata

a. Saat Mulai Penyusutan

Dalam Pasal 11 ayat (2) UU 36/2008 dijelaskan bahwa Penyusutan


dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang
masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut.

Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat dimulainya


penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam

53
ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan
dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU 36/2008, maka
dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian
kembali aktiva tersebut.

b. Pengelompokan Harta dan Tarif Penyusutan Harta Berwujud

Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai


dengan masa manfaat dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2,
Kelompok 3, dan Kelompok 4. Jenis-jenis harta berwujud bukan
bangunan yang tidak termasuk dalam kelompok 1, Kelompok 2.
Kelompok 3, dan Kelompok 4 digunakan masa manfaat dalam kelompok
3. Dalam hal ini lebih rinci tentang Jenis-jenis harta berwujud disebutkan
dalam lampiran 96/PMK.03/2009.

dalam Pasal 11 ayat (6) UU 36/2008 menetapkan bahwa untuk


menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tarif penyusutan sebagaimana


Kelompok Harta dimaksud dalam
Masa Manfaat
Berwujud
Ayat (1) Ayat (2)

Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Bangunan 20 tahun 5%
Permanen

Bangunan Tidak 10 tahun 10%


Permanen

Apabila bangunan permanen mempunyai masa manfaat melebihi 20


tahun, penyusutan dilakukan dalam bagian yang sama besar, sesuai
dengan masa manfaat atau sesuai dengan masa manfaat yang
sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan 96/PMK.03/2009 jo.


Per-55/PJ./2009, Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa
manfaat atas jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan
masa manfaat yang sesungguhnya. Untuk memperoleh penetapan, Wajib
Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak

54
dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis harta
berwujud bukan bangunan. Dalam hal permohonan ditolak, Wajib Pajak
menggunakan masa manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan 96/PMK.03/2009.

c. Metode Penyusutan

Dalam menghitung nilai penyusutan, terdapat 2 metode sesuai ketentuan


UU 36/2008 penjelasan Pasal 11 , yaitu:

● Dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang


ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line
method); atau
● Dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining
balance method).

Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat


asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan
dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat
disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun,
nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang
sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.

a) Garis Lurus (“GL”) Atau Straight Line Method (“SLM”)

Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,


penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali
tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha,
dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama
besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
dalam hal ini untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat
disusutkan dengan metode garis lurus.

Contoh

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 dan masa


manfaatnya 20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar
Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).

55
b) Saldo Menurun (“SM”) Atau Double Declining Balance Method
(“DDB”)

Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, selain bangunan, dapat


juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas
nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Contoh

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp150.000.000. Masa manfaat dari mesin tersebut
adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50%,
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku

Harga Perolehan 150.000.000

2009 50% 75.000.000 75.000.000

2010 50% 37.500.000 37.500.000

2011 50% 18.750.000 18.750.000

2012 Disusutkan Sekaligus 18.750.000 0,00

2) Amortisasi

Dalam Pasal 11 UU 36/2008 dijelaskan bahwa amortisasi atas pengeluaran


untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk
biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan
muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa
buku dan pada akhir masa manfaat amortisasi sekaligus dengan syarat
dilakukan secara taat asas.

a. Saat Mulai Melakukan Amortisasi

Dalam Pasal 11A ayat (1a) UU 36/2008 Amortisasi dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu diatur
dalam Pasal 1 248/PMK.03/2008 yaitu dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran atau pada bulan produksi komersial. dalam hal ini bulan
produksi komersial adalah bulan dimana penjualan mulai dilakukan. Yang
menjadi bidang usaha tertentu dalam 248/PMK.03/2008 adalah :

56
b. Metode Amortisasi

dijelaskan dalam Pasal 11A ayat (1) UU 36/2008, harga perolehan harta
tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan
metode:

● dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat;


atau
● dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.

Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode


saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak
berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.

c. Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi

Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak
berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak
dalam melakukan amortisasi.

Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang


dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak
berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok
masa manfaat sebagai berikut :

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku

Harga Perolehan 150.000.000

2009 50% 75.000.000,00 75.000.000,00

2010 50% 37.500.000,00 37.500.000,00

2011 50% 18.750.000,00 18.750.000,00

2012 Disusutkan Sekaligus 18.750.000,00 0,00

Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada
kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan
masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa
manfaat yang sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok masa
manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya
5 tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan
menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.

57
d. Amortisasi Bidang Pertambangan Migas

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain


yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun di bidang
penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi.

Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif


amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase
perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada
tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.

Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk
memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran
tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.

e. Amortisasi Di Bidang Pertambangan Selain Minyak dan Gas Bumi, Hak


Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Sumber Alam Serta Hasil Alam
Lainnya

Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan


gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam
serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi
berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20%
setahun.

Contoh

PT X bergerak dalam bidang usaha pengelolaan hutan produksi. PT X pada 2022


mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak pengusahaan hutan yang mempunyai
potensi 10.000.000 ton kayu sebesar Rp500.000.000.

Pada 2023, jumlah produksi kayu PT X adalah 3.000.000 ton kayu. Berapakah
amortisasi atas hak pengusahaan hutan yang dapat dibebankan PT X?

Mengacu pada Pasal 11A ayat (5) UU 36/2008, pengeluaran untuk hak pengusahaan
hutan diamortisasi melalui metode satuan produksi dengan limitasi maksimal 20%
setahun. Dengan begitu untuk tahun 2023, besarnya persentase satuan produksinya
adalah sebagai berikut:

Persentase satuan produksi = 3.000.000 ÷ 10.000.000 = 30 %

Dalam hal ini persentase satuan produksi yang sebenarnya adalah 30% maka
persentase satuan produksi yang digunakan untuk menghitung amortisasi adalah
20% Mengacu pada Pasal 11A ayat (5) UU 36/2008 terkait dengan limitasi maksimal.

Amortisasi hak pengusahaan hutan = 20% × 500.000.000 = 100.000.000

58
Dengan demikian, biaya amortisasi hak pengusahaan hutan PT X untuk tahun pajak
2023 adalah sebesar Rp100.000.000.

f. Pengeluaran Sebelum Operasi Komersial

Dalam penjelasan Pasal 11A ayat (6) UU 36/2008 dijelaskan bahwa,


pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan masa manfaat dan tarif amortisasi.

Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi


komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan
tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti
gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi
tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran

g. Dalam Hal Terjadi Pengalihan Harta Tak Berwujud

Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UU 36/2008,
maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

Apabila terjadi pengalihan harta berupa Bantuan atau sumbangan dan


harta hibah yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b UU 36/2008, yang berupa harta tak berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

8. Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto


bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,


dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

1) Yang Boleh Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Pada Pasal 14 UU 36/2008 jo. PER - 17/PJ/2015 dijelaskan terkait dengan


penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (“NPPN”). Bagi Wajib

59
pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN, dengan
syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan,

Wajib pajak orang pribadi yang tidak memberitahukan kepada Direktur


Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

Wajib pajak orang pribadi yang menghitung penghasilan netonya dengan


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini wajib
menyelenggarakan pencatatan.

NPPN juga di gunakan dalam hal terhadap Wajib Pajak Badan atau Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dilakukan pemeriksaan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan
tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.

2) Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Pada PER-17/PJ/2015 Pasal 4 disebutkan Persentase Norma penghitungan


Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :

● 10 (sepuluh) ibukota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,


Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;

● ibukota provinsi lainnya;

● daerah lainnya.

Lebih lanjut terkait dengan daftar persentase NPPN untuk WP OP yang


menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto tercantum dalam Lampiran I PER- 17
/PJ/2015.

Untuk WP OP yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya


menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya tercantum
dalam Lampiran II PER- 17 /PJ/2015.

Untuk Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya


menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan

60
pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya tercantum dalam Lampiran III
PER- 17 /PJ/2015.

3) Wajib Pajak Memiliki Lebih Dari Satu Jenis Usaha

● Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari


satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap
masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan
pengelompokan wilayah pengenaan norma.

● Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari
masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung.

4) Cara Menghitung Penghasilan Neto

● Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan
angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dalam 1 Tahun Pajak.

● Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib


Pajak Orang Pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak
Penghasilan, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan
mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto
tersebut.

9. Norma Penghitungan Khusus

Pada Pasal 15 UU 36/2008 mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus


untuk golongan WP tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau
penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah
(Build-Operate-Transfer).

Dasar pengenaan
Penerima Sifat
pajak dan Tarif Dasar Hukum
penghasilan pemotongan
pajak

Perusahaan PPh = 1,2% x Keputusan Menteri Keuangan


Pelayaran Peredaran Bruto. No. 416/ KMK.04/1996 tentang
Dalam Negeri Final Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto Bagi WP
Perusahaan Pelayaran Dalam
Negeri

Perusahaan PPh = 1,8% x Keputusan Menteri Keuangan


Uang Muka PPh
Penerbangan Peredaran Bruto. No. 475/ KMK.04/1996 tentang
Pasal 23 Bagi
Dalam Negeri Norma Penghitungan Khusus
Penerima
Penghasilan Neto Bagi WP
Penghasilan

61
Perusahaan Penerbangan
Dalam Negeri

PPh = 2,64% x
Perusahaan Keputusan Menteri Keuangan
Peredaran Bruto.
Pelayaran Atau No. No. 417/ KMK.04/1996
Penerbangan (“PMK 417/KMK.04/1996”)
Luar Negeri tentang Norma Penghitungan
Final Khusus Penghasilan Neto Bagi
WP Perusahaan Pelayaran
Dan/Atau Penerbangan Luar
Negeri

PPh = 0,44% x
Kantor Keputusan Menteri Keuangan
Perwakilan Nilai Ekspor Bruto. No. 634/KMK.04/1994 tentang
Dagang Di Norma Penghitungan Khusus
Indonesia Final Penghasilan Neto Bagi WPLN
Yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di
Indonesia
PPh = 5% x
Perjanjian Keputusan Menteri Keuangan
Jumlah Bruto Dari
Bangun No. 248/KMK.04/1995 Tentang
Nilai Tertinggi
Guna Serah Perlakuan PPh Atas
Pasar Dengan Final
Penghasilan Sehubungan
Njop Bagian
Dengan Perjanjian Bangun
Bangunan yang
Guna Serah
Diserahkan.

III. Cara Menghitung Pajak Penghasilan

1. Koreksi Fiskal

Koreksi fiskal terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif. Pada pokoknya ,
koreksi positif akan mengakibatkan penghasilan kena pajak meningkat,
sedangkan koreksi negatif menghasilkan penghasilan kena pajak menurun.
Tabel berikut merinci kedua koreksi fiskal tersebut.

Jenis Koreksi Fiskal Laporan Komersial - Laporan Fiskal

Koreksi Positif penghasilan < Penghasilan

Biaya > Biaya

Koreksi Negatif Penghasilan < Penghasilan

Biaya > Biaya

1) Koreksi Fiskal Untuk Penghasilan

● Penghasilan yang telah dikenakan PPh final sebagaimana diatur di dalam


Pasal 4 ayat 2 UU 36/2008 dan telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya, harus dikoreksi negatif.

62
● Penghasilan yang bukan merupakan objek PPh sebagaimana diatur di
dalam Pasal 4 ayat 3 UU PPh dan dibahas sebelumnya, harus dikoreksi
negatif.

2) Koreksi Fiskal Untuk Biaya

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai


Pengurang dan Bukan Pengurang, secara umum setiap pengeluaran wajib
pajak badan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang:

● berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dalam hal mendapatkan,


menagih, dan
● memelihara penghasilan;
● didukung dengan bukti yang valid dan reliabel; dan
● jumlahnya wajar (jika ada transaksi hubungan istimewa).

2. Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan


besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam UU 36/2008 dikenal dua
golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan
cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma


Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

1) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Luar Negeri

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara:

● Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan


kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

● Wajib Pajak luar negeri lainnya.

2) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri

Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak
dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU
36/2008 dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g UU 36/2008.

63
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara
penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.

Contoh
Peredaran bruto
Rp.6.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih,


dan memelihara penghasilan Rp.5.400.000.000 (-)

Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp.600.000.000

Penghasilan Lainnya Rp.50.000.00


0

Biaya untuk mendapatkan, menagih,


dan memelihara penghasilan lainnya Rp.30.000.00 (+
tersebut 0 )

Rp.20.000.000 (+
)

Jumlah seluruh penghasilan neto Rp.620.000.000

Kompensasi kerugian Rp.10.000.000 (-)

Penghasilan Kena Pajak (Wajib Pajak Rp.610.000.000


badan)

Pengurangan berupa Penghasilan


Tidak Kena Pajak untuk Wajib
Pajak orang pribadi (istri + 2 anak) Rp.19.800.000 (-)

Penghasilan Kena Pajak (Wajib Pajak Rp.590.200. 000


orang pribadi)

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan
norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.

Contoh
Peredaran bruto Rp 4.000.000.000

64
Penghasilan neto (menurut Norma Rp 800.000.000
Penghitungan) misalnya 20%

Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000 (+


)

Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) Rp 21.120.000 (-)

Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000

3. Tarif Pajak

Pada Pasal 17 UU 36/2008 diatur mengenai tarif untuk menghitung pajak


penghasilan. Dalam penerapan tarif perlu memperhatikan bahwa jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

1) Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak
orang pribadi dalam negeri sesuai dengan Pasal 17 UU 36/2008 adalah
sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Rp 60.000.000,00 5%

Rp 60.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00 15%

Rp 250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 25%

Rp 500.000.000,00 s.d. Rp5.000.000.000,00 30%

Rp 5.000.000.000 35%

Contoh

Dika seorang Pengusaha memiliki penghasilan sebesar Rp8.000.000.000,00 setelah


dihung jumlah Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar Rp6.000.000.850,00. berapa
Pajak Penghasilan yang terutang oleh Dika:
5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000

15 x Rp190.000.000 = Rp28.500.000
%

25 x Rp250.000.000 = Rp62.500.000
%

65
30 x Rp4.500.000.000 = Rp1.350.000.000
%

35 x Rp1.000.000.000 = Rp350.000.000 (+)


%

Rp1.794.000.000

Dari penghitungan diatas diketahui bahwa Pajak penghasilan yang terutang dari Dika
adalah sebesar Rp1.794.000.000,00.

Adapun dalam Pasal 17 ayat (2c) UU 36/2008 dalam hal ini tarif dari
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang
dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling
tinggi sebesar 10% dan bersifat final. Pengenaan pajak ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen.

Dalam hal Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak dihitung
sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 tahun pajak dengan ketentuan
tiap bulan yang penuh dihitung 30 hari.

Contoh

Naufal baru membuka usaha pada bulan Oktober tahun 2022 mendapat keuntungan
sebesar Rp600.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi tahun
2022 tuan Naufal Rp584.160.550,00.

Berapa pajak penghasilan orang pribadi Naufal yang terutang, apabila Naufal memilih
untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 dan dalam tahun 2022
Naufal tidak memiliki penghasilan selain dari usaha barunya?

Pajak Penghasilan setahun:


5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000

15 x Rp190.000.000 = Rp28.500.000
%

25 x Rp250.000.000 = Rp62.500.000
%

30 x Rp84.160.000.000 = Rp25.248.000 (+)


%

Rp119.248.000

Pajak Penghasilan yang terutang adalah :

((3 x 30) : 360) x Rp119.248.000,00 = Rp29.812.000,00

66
2) Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Pajak Penghasilan Badan dihitung berdasarkan tarif Pasal 17 UU 36/2008


dikalikan dengan penghasilan neto, setelah dikurangi dengan kompensasi
kerugian. dalam hal Pajak Penghasilan badan Terdapat 3 macam tarif, yaitu:

a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) Huruf b

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) Huruf b merupakan tarif umum
untuk wajib pajak badan dalam negeri sebesar 22% yang mulai berlaku
pada tahun pajak 2022.

Contoh

Penghasilan Kena Pajak PT A pada tahun pajak 2022 sebesar Rp1.500.000.000,00.


Pajak penghasilannya adalah?

22% x Rp1.500.000.000,00 = Rp330.000.000,00

Catatan:

Untuk ketentuan tarif untuk wajib pajak badan telah disesuaikan dengan UU 2/2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Coronavirus Disease(COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2020 Tentang Penurunan Tarif
Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan
Terbuka (“PP30/2020”), tarif PPh Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT menjadi
sebagai berikut:

● Sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak
2021.

Contoh

Penghasilan Kena Pajak PT A pada Tahun Pajak 2020 sebesar


Rp1.000.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2020:

22% x Rp1.000.000.000,00 = Rp220.000.000,00

● Sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak
2022.

Contoh

Penghasilan Kena Pajak PT A pada Tahun Pajak 2022 sebesar


Rp1.500.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2022:

20% x Rp1.500.000.000,00 = Rp300.000.000,00

67
Berdasarkan PP 30/2020, untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang
berbentuk Perseroan Terbuka (“PT”) yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh
tarif sebesar 3% lebih rendah daripada tarif PPh Badan normal dengan
ketentuan sebagai berikut :

Merupakan Wajib Pajak dalam negeri yang :

● Berbentuk Perseroan Terbuka

● dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada


bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan

● memenuhi persyaratan tertentu sebagai berikut :

 saham yang sebesar 40% yang disetor dan diperdagangkan di bursa


efek di Indonesia harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus)
pihak. Pihak tersebut tidak termasuk Wajib Pajak Perseroan Terbuka
yang membeli kembali sahamnya dan/atau pihak yang memiliki
hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan dengan Wajib Pajak Perseroan Terbuka;

 masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5%


dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;

 ketentuan mengenai jumlah minimal saham yang diperdagangkan di


bursa efek, jumlah pihak pemilik saham yang diperdagangkan di
bursa efek, dan jumlah maksimal kepemilikan saham masing-masing
pihak harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun
Pajak; dan

 pemenuhan persyaratan di atas dilakukan oleh Wajib Pajak dengan


menyampaikan laporan kepada DJP

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)

Pada pasal 17 ayat (2b) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan
berbentuk perseroan terbuka, dapat memperoleh tarif sebesar 3% lebih
rendah dari tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b UU
36/2008 dengan syarat:

● Jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa


efek di Indonesia paling sedikit 40%;
68
● saham harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak;

● masing-masing Pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 50%


dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;

● harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam
jangka waktu 1 Tahun Pajak

● dilakukan oleh Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan


laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

c. Tarif PPh Pasal 31 E ayat (1)

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai


dengan Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif.

Contoh

Peredaran bruto PT ABC dalam tahun pajak 2022 sebesar

Rp4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000

Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut
dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena
jumlah peredaran bruto PT ABC tidak melebihi Rp4.800.000.000

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 20%) x Rp500.000.000,00 = Rp50.000.000,00

IV. Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan

Dalam Pasal 20 UU 36/2008 dijelaskan bahwa, pajak yang diperkirakan akan


terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak
berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. dalam hal pelunasan pajak
dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan ini merupakan angsuran pajak yang
boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.

Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan


pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan
pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan
tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak

69
Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang.

1. Pajak Penghasilan Pasal 21

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 (“PPh 21”) adalah pemotongan pajak atas


penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP OP
dalam negeri.

Pemotongan PPh 21 terkait dengan ketentuan dalam Pasal 21 UU 36/2008


yang mengatur tentang pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan hal-hal berikut ini:

● Pekerjaan;

● Jasa; atau

● Kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima (cash
basis) atau diperoleh (accrual basis) WP OP dalam negeri.

2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Dalam Pasal 21 UU 36/2008 jo. 252/PMK.03/2008 jo. PER - 16/PJ/2016


disebutkan bahwa Pemotong PPh 21 atau disebut Pemotong Pajak terdiri
dari:

● Pemberi kerja yang terdiri dari : orang pribadi dan badan, baik merupakan
pusat maupun cabang perwakilan atau unit yang membayar gaji atau
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.

● Bendahara atau pemegang kas Pemerintah, termasuk bendahara atau


pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga negara
lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membawa, gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentukan sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan.

● Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan


badan-badan lain membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua.

70
● Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar:

 honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan


dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

 honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan


dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subjek Pajak luar negeri;

 honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan,


dan magang.

● Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang


bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan.

3) Tidak Termasuk Sebagai Pemotong

Dalam Pasal 21 UU 36/2008 jo. Pasal 2 252/PMK.03/2008 jo. Pasal 2


PER-16/PJ/2016 disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai pemberi
kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak
adalah:

● kantor perwakilan negara asing;

● organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam


Peraturan Menteri Keuangan 235/PMK.010/2020 jo Lampiran
156/PMK.010/2015 yang mengatur mengenai penetapan
organisasi-organisasi internasional yang tidak termasuk subjek Pajak
Penghasilan;

● organisasi-organisasi internasional yang ketentuan Pajak Penghasilannya


didasarkan pada ketentuan perjanjian internasional dan dalam perjanjian
internasional tersebut mengecualikan kewajiban pemotongan pajak, serta
organisasi-organisasi dimaksud telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

● pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk

71
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

● Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai penetapan organisasi-organisasi internasional yang
tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan, merupakan pemberi kerja yang
berkewajiban melakukan pemotongan pajak.

4) Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Penerima penghasilan yang dipotong PPh 21 adalah orang pribadi yang


merupakan:

● pegawai;

● penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan


hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya

● Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan


sehubungan dengan pemberian jasa; meliputi:

 tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari


pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;

 pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,


bintang sinetron, bintang iklan,sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis,dan
seniman lainnya;

 olahragawan;

 penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

 Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

 pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan


sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;

 agen iklan;

72
 pengawas atau pengelola proyek;

 pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang


menjadi perantara;

 petugas penjaja barang dagangan;

 petugas dinas luar asuransi; dan/atau

 distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan


kegiatan sejenis lainnya;

● anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap


sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;

● mantan pegawai; dan/atau

● peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan


sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:

 peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah


raga, seni, ketangkasan ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan
lainnya;

 peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

 peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara


kegiatan tertentu;

 peserta pendidikan dan pelatihan; atau

 peserta kegiatan lainnya.

5) Tidak Termasuk Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak


Penghasilan Pasal 21

● pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan
Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau

73
memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut,
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

● pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh


Menteri Keuangan, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

6) Penghasilan Yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh 21 adalah penghasilan yang diterima atau


diperoleh orang pribadi subjek Pajak dalam negeri sebagai berikut:

● penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa


Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;

● penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara


teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

● penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan


hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang
pembayarannya melewati jangka waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti
bekerja;

● penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan secara bulanan;

● imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi,


fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;

● imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama
apapun;

● penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur


yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang lama;

● penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan


lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai; atau

74
● penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Terkait dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi


subjek Pajak dalam negeri termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar
atas pemberian natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing,


penghitungan PPh 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan
tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

7) Tidak Termasuk Dalam Pengertian Penghasilan Yang Dipotong PPh 21

● Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi


sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;

● Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk


apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) PER - 16/PJ/2016

● Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya


telah disahkan oleh Menteri keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran
jaminan hari tua atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja

● Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

● Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l UU


36/2008.

● Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang


ditanggung oleh Pemerintah.

75
8) Dasar Pengenaan Dan Pemotongan PPh Pasal 21

Berdasarkan PER-16/PJ/2016 dasar pengenaan dan pemotongan PPh 21


dirangkum sebagai berikut :

9) Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penerima Penghasilan yang Tidak


Memiliki NPWP

Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak NPWP lebih
tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP. Jumlah PPh 21 yang harus dipotong adalah sebesar
120% dari jumlah PPh 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki NPWP.

76
Contoh

Zahid seorang karyawan penghasilan kena pajak nya adalah Rp3.000.000 PPh 21 yang
dipotong adalah:

Rp3.000.000 x 5% = Rp150.000

apabila zahid tidak memiliki NPWP maka PPh 21 nya adalah:

Rp150.000 + (150.000 x 20%) =

Rp150.000 + Rp30.000 = Rp180.000

atau dengan cara

Rp150.000 x 120% = Rp180.000

10) Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terutang Untuk Pegawai


Tetap

Penghitungan PPh 21 untuk Pegawai Tetap dibedakan menjadi 2, yaitu:

● Penghitungan masa yang menjadi dasar pemotongan PPh 21 yang


terutang untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh
21. Dalam perhitungannya hal ini terbagi atas:

 Penghasilan teratur;

 Penghasilan tidak teratur.

● Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721


A2 dan pemotongan PPh 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember
atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja. Penghitungan
kembali ini dilakukan pada:

 bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;

 bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun
kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun
sampai akhir tahun kalender.

a. Penghitungan PPh 21 Masa Untuk Penghasilan Teratur

Untuk menghitung PPh 21 atas penghasilan Pegawai Tetap, terlebih


dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan

77
pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur dan pembayaran
sejenisnya.

Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh


dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya
jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran
Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang
bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada BPJS
Ketenagakerjaan.

Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan


neto sebulan dikalikan 12 lalu dikurangi oleh PTKP kemudian diterapkan
pada tarif Pasal 17 untuk orang pribadi. selanjutnya dihitung PPh 21
sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu
sebesar jumlah PPh 21 setahun dibagi dengan 12.

Contoh:

Mamat pada tahun 2022 bekerja pada perusahaan PT Soulleehin dengan gaji
sebulan sebesar Rp5.750.000. dan Mamat membayar iuran pensiun sebesar
Rp200.000. Status Mamat menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan
Januari penghasilan Mamat dari PT Soulleehin hanya dari gaji. Penghitungan PPh 21
bulan Januari adalah sebagai berikut:
Gaji Rp 5.750.000
Pengurang
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 5.750.000 Rp 287.500
2. Iuran Pensiun Rp 200.000
Rp 487.500
Penghasilan neto sebulan Rp 5.262.500
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 5.262.500 Rp 63.150.000
PTKP K0 setahun Rp 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 4.650.000
Pajak Setahun
5% X Rp 4.650.000 Rp 232.500

78
PPh 21 bulan Januari
Rp 232.500,00 : 12 Rp 19.375

Apabila Mamat tidak mempunyai NPWP PPh 21 bulan Januari menjadi: 120% x
Rp19.375 = Rp23.250

Contoh

Astrit adalah seorang karyawati dengan status menikah tanpa anak, bekerja pada PT
Martpedia dengan gaji sebulan sebesar Rp10.500.000 Astrit membayar iuran pensiun
ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar
Rp50.000 sebulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah (Pemda)
tempat Astrit berdomisili yang diserahkan kepada pemberi kerja, diketahui bahwa
suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun. Pada bulan Juli 2022 selain
menerima pembayaran gaji juga menerima pembayaran atas lembur (overtime)
sebesar Rp2.000.000,00. Penghitungan PPh 21 bulan Juli 2022 adalah sebagai
berikut:

Oleh karena suami Astrit tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
PTKP Astrit adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin.
Gaji Rp 10.500.000
Pengurang
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 10.500.000 Rp 525.000
2. Iuran Pensiun Rp 50.000
Rp 550.000
Penghasilan neto sebulan RP 9.925.000
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp p 9.925.000 Rp 119.100.000
PTKP K0 setahun Rp 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 60.600.000
PPh 21 Terutang
5% X Rp 60.000.000 Rp 3.000.000
15% X Rp 600.000 Rp 90.000 (+)
Rp 3.090.000
PPh 21 bulan Januari
Rp 3.090.000 : 12 = Rp 257.500

b. Penghitungan PPh 21 Masa Untuk Penghasilan Tidak Teratur

Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi,


bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang
sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun atau periode
lainnya , maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai
berikut:

79
a) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan
ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa
produksi, dan sebagainya.
b) dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan
tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c) selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b
adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa
tantiem,jasa produksi dan sebagainya

Contoh

Bonus dan THR

Bapak Ando bekerja di PT. SAM beliau mendapatkan gaji pokok 10 juta per bulan,
ditambah dengan tunjangan lain-lain 5 juta. Pada bulan Desember 2022 beliau
mendapatkan THR 5 juta dan Bonus 5 juta. Perusahaan memberikan asuransi JKK
0,24% dan JKM 0,3%. Beliau sudah menikah dan memiliki 2 anak. Berapa PPh 21
Bapak Ando pada bulan Desember 2022?
Gaji Rp 10.000.000
Tunjangan Rp 5.000.000
JKK 0,24%
JKM 0,3%
Penghasilan Tidak Teratur (THR & Rp 10.000.000
Bonus)
Pengurang
1. Biaya Jabatan
5% X Rp 10.000.000 Rp 500.000
Rp 500.000
Penghasilan neto sebulan RP 24.500.000
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 24.500.000 Rp 294.000.000
PTKP K/2 setahun Rp 72.000.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 222.000.000
PPh 21 Terutang
5% X Rp 60.000.000 Rp 3.000.000
15% X Rp 162.000.000 Rp 24.300.000 (+)
Rp 27.300.000
PPh 21 bulan Desember 2022 (Termasuk
THR dan Bonus)
Rp 27.300.000 : 12 = Rp 2.275.500

c. Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja


Pada Tahun Berjalan

Penghitungan PPh 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu


untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember
adalah sebagai berikut:

80
Hitung PPh 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan,
baik penghasilan yang teratur maupun yang tidak teratur.

PPh 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan
Desember adalah sebesar selisih antara PPh 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak
dalam tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada
huruf a, dengan PPh 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang
bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.

Dalam hal jumlah PPh 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan
sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh 21 terutang atas seluruh
penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak
dalam tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai
berhenti bekerja pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan
PPh 21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti
bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh 21. Atas
kelebihan pemotongan PPh 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan,
pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh 21 terutang atas
penghasilan pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama,
sehingga jumlah PPh 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak untuk
Masa Pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan
pemotongan PPh 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak kepada
pegawai tetap yang berhenti bekerja.

Contoh

Arul yang berstatus belum menikah bekerja di PT. SAM sejak 2021 namun sejak 1
Oktober 2022 Arul berhenti bekerja. Pada tahun 2022 Arul mendaftarkan ibunya
sebagai tanggungan. Arul memperoleh gaji dari PT. SAM Rp 6.500.000 dan
membayar iuran pensiun Rp 100.000 setiap bulan. Arul hanya menerima penghasilan
berupa gaji saja.

81
Gaji Rp 6.500.000
Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 6.500.000 Rp 325.000
Iuran Pensiun Rp 100.000

Rp 425.000
Penghasilan neto sebulan RP 6.075.000
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 6.075.000 Rp 72.900.000
PTKP TK/1 setahun Rp 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 14.400.000
PPh 21 Terutang
5% X Rp 14.400.000 Rp 720.000
PPh 21 bulan September 2022
Rp 720.000 : 12 = Rp 60.000
PPh 21 Setahun Terutang
(Januari – September 2022)
Rp 60.000 x 9 = Rp 540.000

Jika terjadi pemotongan diawal, maka kelebihan pemotongan PPh 21 sebesar


(720.000 – 540.000) Rp 180.000 wajib dikembalikan oleh PT. SAM kepada Arul saat
pemberian bukti potong PPh 21

d. Penghitungan PPh 21 Masa Untuk Penghasilan Mingguan dan Harian

Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas
masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah
penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan
dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:
● Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4;
● Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26

Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh 21 sebulan dengan cara gaji


untuk masa sehari dikalikan dengan 26. PPh 21 atas penghasilan
seminggu dihitung dengan cara PPh 21 sebulan dibagi 4, sedangkan PPh
21 atas penghasilan sehari dengan cara PPh 21 sebulan dibagi 26.

82
Contoh

Adit bekerja sebagai pegawai produk manager di perusahaan PT. SAM, memperoleh
gaji mingguan sebesar Rp. 1.500.000,- Adit telah menikah dan belum mempunyai anak.
PT. SAM mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja,
dan Premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing setiap bulan 1% dan 0,3% dari gaji. Adit membayar iuran pensiun
sebesar Rp. 50.000,- dan Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari gaji. Pada Minggu kedua
Bulan Agustus 2022 Adit hanya memperoleh pembayaran berupa gaji saja, berapakah
PPh 21 Adit pada minggu kedua tersebut?

Penghasilan sebulan 1,5jt x 4 Rp 6.000.000


Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 1% Rp 60.000
Premi Jaminan Kematian 0,3% Rp 18.000
Penghasilan Bruto Rp 6.078.000
Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 6.078.000 Rp 303.900
Iuran Pensiun Rp 50.000
Iuran Jaminan Hari Tua Rp 120.000
Rp 473.900
Penghasilan neto sebulan RP 5.604.100
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 5.604.100 Rp 67.249.200
PTKP K/0 setahun Rp 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 8.749.200
Pembulatan Rp 8.749.000
PPh 21 Terutang
5% X Rp 8.749.000 Rp 437.450
PPh 21 sebulan
Rp 437.450 : 12 = Rp 36.454
PPh 21 seminggu (minggu kedua saja)
Rp 36.454 x 4 = Rp 9.113

e. Penghitungan PPh 21 Atas Pembayaran Uang Rapel

Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar


kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), penghitungan PPh Pasal 21 atas
rapel tersebut adalah:

● Rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut;


● Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan
sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan
PPh Pasal 21;
● PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan,
dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;

83
● PPh 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud
adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung dengan cara gaji
untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar
gaji baru setelah ada kenaikan dikurangi jumlah pajak yang telah
dipotong.

Contoh

Fadllih pada tahun 2022 bekerja pada perusahaan PT. Solusi dengan gaji sebulan
sebesar Rp 6.750.000 dan Fadllih membayar iuran pensiun sebesar Rp 200.000.
Status Fadllih menikah anak satu. Pada bulan Januari 2022 penghasilan Fadllih hanya
dari gaji. Penghitungan PPh 21 bulan Januari 2022 adalah sebagai berikut:

Gaji Rp 6.750.000
Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 6.750.000 Rp 337.500
Iuran Pensiun Rp 200.000

Rp 537.500
Penghasilan neto sebulan RP 6.212.500
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 6.212.500 Rp 74.550.000
PTKP K/1 setahun Rp 63.000.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 11.550.000

PPh 21 Terutang
5% X Rp 11.550.000 Rp 577.500
PPh 21 sebulan (Januari 2022)
Rp 577.500 : 12 = Rp 48.125

Lalu Fadllih pada bulan Juni 2022 menerima kenaikan gaji, menjadi Rp 7.750.000
berlaku surut sejak 1 Januari 2022. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut
tersebut maka Fadllih menerima rapel sejumlah Rp. 5.000.000 (selisih gaji yang
seharusnya diterima untuk masa Januari s/d Mei 2022). Untuk menghitung PPh 21 atas
uang rapel tersebut, terlebih dahulu dithitung kembali PPh 21 untuk masa Januari s/d
Mei 2022 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Dengan demikian
penghitungan PPh 21 terutangnya adalah sebagai berikut:
Gaji Rp 7.750.000
Pengurangan
Biaya Jabatan
5% X Rp 7.750.000 Rp 387.500
Iuran Pensiun Rp 200.000

Rp 587.500
Penghasilan neto sebulan RP 7.162.500
Penghasilan neto Per Tahun
12 X Rp 7.162.500 Rp 85.950.000

84
PTKP K/1 setahun Rp 63.000.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 22.950.000

PPh 21 Terutang
5% X Rp 22.950.000 Rp 1.147.500
PPh 21 sebulan (seharusnya)
Rp 1.147.500 : 12 = Rp 95.625
Rp 95.625 x 5 = Rp 478.125

PPh 21 sebelumnya (Januari-Mei 2022)


Rp 577.500 : 12 = Rp 48.125 x 5 = Rp 240.625
PPh 21 untuk uang Rapel Rp 237.500

2. Pajak Penghasilan Pasal 22

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22

Berdasarkan UU 36/2008 pasal 22 Jo. PER-31/PJ/2015 Jo. PER -


24/PJ/2015 jo. 34/PMK. 010/2017 Pemungutan pajak Pasal 22 dilakukan
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain dan atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.

Berdasarkan Pasal 22 UU 36/2008 dijelaskan bahwa Menteri Keuangan


dapat menetapkan:

● bendahara pemerintah untuk memungut PPh Pasal 22 sehubungan


dengan pembayaran atas penyerahan barang;

● badan-badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari Wajib Pajak


yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang
lain; dan

● Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari pembeli
atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

2) Pemungut Objek dan tarif PPh Pasal 22

Berdasarkan Pasal 22 UU 36/2008 dijelaskan bahwa Menteri Keuangan


dapat menetapkan:

● bendahara pemerintah untuk memungut PPh Pasal 22 sehubungan


dengan pembayaran atas penyerahan barang;

● badan-badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari Wajib Pajak


yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang
lain; dan

85
● Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari pembeli
atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Terkait dengan pemungut PPh Pasal 22 lebih rinci dijelaskan dalam 34/PMK.
010/2017 jo. PER-31/PJ/2015 yaitu:

● Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang
dan ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan dan Kontrak Karya;

● bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai


pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;

● bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian


barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

● Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah


Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak
ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);

● Badan usaha tertentu meliputi:

 Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;

 Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh


Pemerintah setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, dan
restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik
negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya;

 Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha
Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia
Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk
Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT
Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT
Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya
Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading &
Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah,

86
PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank
Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah.

Dalam hal badan usaha ini melakukan perubahan nama badan usaha,
badan usaha tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut pajak Pasal 22.

Pada Pokoknya apabila badan usaha ini Tidak lagi dimiliki secara
langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha tertentu
dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak Pasal 22
Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau
bahan bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

● Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan
hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;

Industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang
terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.

● Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM),


dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan
bermotor di dalam negeri;

● Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;

● Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,


perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian
bahan bahan untuk keperluan industrinya atau ekspornya;

● Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas


tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan;

Dalam hal ini berkaitan dengan Izin usaha pertambangan yang dimaksud
adalah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.

● Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas


batangan di dalam negeri.

3) Tarif PPh Pasal 22

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

87
Dasar
Pemungut Objek Tarif
pemungutan

Barang impor dengan atau


tanpa Angka Pengenal Impor
10% nilai impor
(“API”) sesuai lampiran A
41/PMK.010/2022

Barang impor dengan atau


tanpa API sesuai lampiran B 7,5% nilai impor
41/PMK.010/2022

Barang impor kedelai,


gandum, dan tepung terigu
oleh importir yang 0,5% nilai impor
menggunakan API sesuai
lampiran C 41/PMK.010/2022

Barang selain barang yang


dilampirkan pada lampiran A,B nilai impor
2,5%
dan C yang menggunakan
API

Direktorat Jenderal Bea Barang selain barang yang


dan Cukai dilampirkan pada lampiran A,B
7,5% nilai impor
dan C yang tidak
menggunakan API

harga jual
barang yang tidak dikuasai 7,5%
lelang

Ekspor barang yang


dilampirkan pada lampiran D,
kecuali yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang terikat 1,5% nilai ekspor
dalam perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan
dan Kontrak Karya

Nilai impor adalah Cost Insurance and Freight (CIF)


ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya
Nilai ekspor adalah nilai Free on Board (FOB) yang
tercantum pada Pemberitahuan Pabean Ekspor, termasuk
Pemberitahuan Pabean Ekspor yang nilai ekspornya telah
dibetulkan

● Bendahara
pemerintah dan
Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)
● Bendahara harga
pengeluaran pembelian barang dan/atau
pembelian
● Kuasa Pengguna bahan-bahan untuk keperluan 1,5%
(tidak termasuk
Anggaran (KPA) atau kegiatan usahanya
PPN)
pejabat penerbit Surat
Perintah Membayar
● Badan usaha tertentu
meliputi:
➢ BUMN

88
Dasar
Pemungut Objek Tarif
pemungutan
➢ Badan usaha dan
BUMN
Restrukturisasi
➢ Badan usaha yang
dimiliki BUMN

Bahan Bakar Minyak

Penjualan kepada stasiun


pengisian bahan bakar umum
Harga
yang menjual bahan bakar
0,25% penjualan (tidak
minyak yang dibeli dari
termasuk PPN)
Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;

penjualan kepada stasiun


pengisian bahan bakar umum
yang menjual bahan bakar Harga
minyak yang dibeli selain dari 0,3% penjualan (tidak
Pertamina atau anak termasuk PPN)
perusahaan Pertamina;
Produsen atau importir
bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan penjualan kepada pihak selain
pelumas stasiun pengisian bahan bakar
umum yang menjual bahan
bakar minyak yang dibeli dari Harga
Pertamina atau anak 0,3% penjualan (tidak
perusahaan Pertamina dan termasuk PPN)
selain yang dibeli selain dari
Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;

Harga
bahan bakar gas 0,3% penjualan (tidak
termasuk PPN)

Harga
Pelumas 0,3% penjualan (tidak
termasuk PPN)

Penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada penyalur/agen


bersifat final, sedangkan selain penyalur/agen bersifat tidak final.
badan usaha yang
penjualan hasil produksi
bergerak dalam bidang
kepada distributor
usaha

Harga
Industri Semen semua jenis semen 0,25%
penjualan

Harga
Industri Kertas Semua jenis kertas 0,1%
penjualan

Harga
Industri Baja Semua jenis Baja 0,3%
penjualan

89
Dasar
Pemungut Objek Tarif
pemungutan

semua jenis kendaraan


Harga
Industri Otomotif bermotor beroda dua atau 0,45%
penjualan
lebih, tidak termasuk alat berat

Harga
Industri farmasi semua jenis obat 0,3%
penjualan

● Agen Tunggal
Pemegang Merek Dasar
(ATPM) penjualan kendaraan bermotor Pengenaan
● Agen Pemegang di dalam negeri, tidak 0,45% Pajak
Merek (APM) termasuk alat berat Pertambahan
● importir umum Nilai (“PPN”)
kendaraan bermotor

pembelian bahan-bahan
berupa hasil kehutanan, Harga
Industri/eksportir selaku perkebunan, pertanian, pembelian
0,25%
Pembeli peternakan, dan perikanan (tidak termasuk
yang belum melalui proses PPN)
industri manufaktur

pembelian batubara, mineral


harga
logam, dan mineral bukan
badan usaha selaku pembelian
logam, dari badan atau orang 1,5%
Pembeli (tidak termasuk
pribadi pemegang izin usaha
PPN)
pertambangan

Badan usaha Selaku harga jual


penjualan emas 0,45%
penjual batangan

Komoditas tambang batu


bara, mineral logam, dan Nilai ekspor di
Badan usaha selaku
mineral bukan logam, sesuai 1,5% pemberitahuan
penjual
uraian barang dan pos tarif/ pabean ekspor
harmonized system

Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh


bendaharawan dan KPA, penjualan hasil produksi industri semen, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, dan pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan
sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib
Pajak yang dipungut.

Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.

Pada pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 berdasarkan tarif dibulatkan ke


bawah dalam ribuan rupiah penuh.

90
Contoh

PT. JKL mengimpor barang dengan harga faktur senilai A$ (Australian Dollar) 300.000
dari Australia. Biaya asuransi ditetapkan sebesar 5% dari nilai faktur dan biaya angkut
ditetapkan sebesar 6% dari harga faktur. Bea Masuk ditetapkan sebesar 10% dan kurs
yang berlaku adalah sebesar Rp 10.000 per dolar Australia.

Maka perhitungannya adalah sebagai berikut:


No Diketahui Perhitungan Nilai

a. Harga Faktur (Cost) A$ 300.000

Biaya Asuransi
b. (5% x A$ 300.000) A$ 15.000
(Insurance)

Biaya Angkut
c. (6% x A$ 300.000) A$ 18.000
(Freight)

Cost, Insurance, Freight


(a + b + c) A$ 333.000
(CIF)

d. CIF (dalam rupiah) (A$ 333.000 x 10.000) Rp 3.330.000.000

e. Bea Masuk (10% x Rp 3.330.000.000) Rp 333.000.000

Nilai Impor (d + e) Rp 3.663.000.000

Maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

Perhitungan Pasal 22 jika barang termasuk dalam lampiran A:

= Tarif PPh Pasal 22 x Nilai Impor

= 10% x Rp 3.663.000.000

= Rp 366.300.000.000

Perhitungan Pasal 22 jika barang termasuk dalam lampiran B:

= Tarif PPh Pasal 22 x Nilai Impor

= 7,5% x Rp 3.663.000.000

= Rp 274.725.000

Perhitungan Pasal 22 jika barang termasuk dalam lampiran C:

= Tarif PPh Pasal 22 x Nilai Impor

= 0,5% x Rp 3.663.000.000

= Rp 18.315.000

Perhitungan Pasal 22 jika barang tidak termasuk dalam jenis barang tertentu yang
berada dalam lampiran A,B,C PMK 41/2022 dan PT JKL memiliki Angka Pengenal Impor
(API) :

= Tarif PPh Pasal 22 x Nilai Impor

= 2,5% x Rp 3.663.000.000

91
= Rp 91.575.000

Perhitungan Pasal 22 jika barang tidak termasuk dalam jenis barang tertentu yang
berada dalam lampiran A,B,C PMK 41/2022 dan PT JKL tidak memiliki Angka Pengenal
Impor (API):

= Tarif PPh Pasal 22 x Nilai Impor

= 7,5% x Rp 3.663.000.000

= Rp 274.725.000

4) Dikecualikan Dari Pemungutan PPh Pasal 22

Pada Pasal 3 34/PMK010/2017 dijelaskan yang dikecualikan dari


pemungutan PPh Pasal 22:

● Impor barang atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang undangan tidak terutang Pajak Penghasilan (harus
memiliki Surat Keterangan Bebas atau SKB);

● Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai:

 barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang


bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

 barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang


bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang
diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas
impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para
pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

 barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal,


sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;

 barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam


dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

 barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu


pengetahuan;

 barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat


lainnya;

92
 peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

 barang pindahan;

 barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,


dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan kepabeanan;

 barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah


yang ditujukan untuk kepentingan umum;

 persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku


cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan
negara;

 barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi


keperluan pertahanan dan keamanan negara;

 vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi


Nasional (“PIN”);

 buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab


suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;

 kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal


angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan
oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa
Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan
kegiatan usahanya;

 pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan


atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak

93
yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga nasional;

 kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan
digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian
umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian
umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang
ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian
umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian
umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana
perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara
sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum;

 peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian


Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data
batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang
ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional
Indonesia;

 barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau

 barang untuk kegiatan usaha panas bumi.

● Impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan


untuk diekspor kembali.

● Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah


diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau
barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,
pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

● Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana


dimaksud dalam 34/PMK010/2017 Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf i dan huruf j berkenaan dengan:

94
 pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, 34/PMK.
010/2017 yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000 tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang
dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari
Rp2.000.000;

 pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, 34/PMK. 010/2017 yang
jumlahnya paling banyak Rp10.000.000 tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah
dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000;

 pembayaran untuk:

● pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,


benda-benda pos;

● pemakaian air dan listrik;

 pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk


sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi
yang dihasilkan di Indonesia dari:

● kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan


kontrak kerja sama;

● kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi


berdasarkan kontrak kerja sama;

● trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi


berdasarkan kontrak kerja sama.

 pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil


pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di
bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama
pengusahaan sumber daya panas bumi;

 pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan,


pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (l) huruf i 34/PMK. 010/2017 yang jumlahnya paling banyak
95
Rp20.000.000,00 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu
masa pajak;

 pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari


badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j 34/PMK.
010/2017 yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1) huruf e 34/PMK. 010/2017.

● Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang


perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.

● Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan


dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

● Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh


industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen
Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang
telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Pasal 22 ayat (1) huruf c UU 36/2008 dan peraturan pelaksanaannya.

● Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan


emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k
kepada Bank Indonesia.

● Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa


Pengguna Anggaran, pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran, atau bendahara
pengeluaran).

● Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan


Logistik (“Perum BULOG”).

● Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan


pangan dan stabilisasi harga pangan oleh Perum BULOG atau BUMN lain
yang mendapatkan penugasan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang


impor tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea
masuk sebesar 0%. Pengecualian dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Ketentuan ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

96
yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau
Direktur Jenderal Pajak.

Pengecualian atas impor barang dan atau penyerahan barang yang


berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak
Penghasilan dan pengecualian atas emas batangan yang akan diproses
untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengecualian atas impor kembali (re-impor), pembayaran yang dilakukan


oleh bendaharawan dan KPA, pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau
beras oleh Perum BULOG dan pembayaran untuk pembelian barang
sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah
(“BOS”) dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (“SKB”).

5) Saat Terutang PPh Pasal 22

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi


bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk

● Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak
Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (“PIB”)

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara,


mineral logam, dan mineral bukan logam, terutang dan disetorkan
bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
atas ekspor.

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang terutang dan


dipungut pada saat pembayaran

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produk industri semen


industri kertas, industri baja dan industri otomotif terutang dan dipungut
pada saat penjualan

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak,


gas dan pelumas terutang dari dipungut pada saat penerbitan Surat
Perintah Pengeluaran Barang (delivery order)

● Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang


pengumpul terutang dan dipungut pada saat pembelian

6) Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22

● Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan


dengan cara penyetoran oleh:

97
 importir yang bersangkutan; atau

 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ke kas negara melalui Kantor


Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

● Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang


batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan
cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke kas negara melalui
Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.

● Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh


bendaharawan dan KPA wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Kantor Pos bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi
atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

● Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir. Direktorat Jenderal


Bea dan Cukai dan pemungut pajak menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak

● Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar


minyak, gas dan pelumas, dan penjualan hasil produksi industri semen,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak

● Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan


untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau
eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor
Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pemungut pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan


Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:

● lembar kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang pengumpul);

● lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor


Pelayanan Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 22); dan

● lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

98
7) Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22

Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan


menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak.

Penyetoran dan pelaporan pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan sesuai


jangka waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran,
penyetoran, dan pelaporan pemungutan pajak.

8) PPh Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah

Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 yang terakhir diubah oleh


92/PMK.03/2019, tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut
Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong
Sangat Mewah, jenis barang yang tergolong sangat mewah yang dipungut
PPh Pasal 22.

1. Dipungut PPh Pasal 22 sebesar 5% adalah sebagai berikut:


● Pesawat terbang pribadi dan helicopter pribadi;
● Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
● Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi
purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan harga
jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000cc; dan/atau
● Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih
dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 250cc.
2. Dipungut PPh 22 Pasal 22 sebesar 1% adalah sebagai berikut:
● Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter
persegi);
● Apartemen, kodominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pegalihannya lebih dari Ro30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150 m2 (serratus lima puluh
meter persegi);

yang menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang


tergolong sangat mewah adalah Wajib Pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang menjadi dasar atas
pengenaan PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah adalah harga jual yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual
tidak termasuk PPN dan PPNBM.

99
Pemungut Pajak wajib memberikan tanda bukti pemungutan kepada orang
pribadi atau badan yang dipungut setiap melakukan pemungutan. Pemungut
Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan yang dipungut ke Kantor Pos
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak. Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

3. Pajak Penghasilan Pasal 23

1) Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23

Berdasarkan UU 36/2008 pasal 23 atas penghasilan tersebut dibawah ini


dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau jatuh tempo pembayaran oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

2) Pemotong PPh Pasal 23

Pemotong PPh Pasal 23 adalah:

a. Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara


kegiaan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap

b. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT)


kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas, serta orang pribadi yang menjalankan usaha
yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai Wajib
Pajak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa
sewa.

3) Objek dan Tarif Pajak

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang dibayarkan, disediakan untuk dbayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayaran oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayar.

100
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

● Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen


dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi UU PPh Pasal 4 ayat 1.
 Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidaqk
langsung, degan nama dan dalam bentuk apapun
 Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah
modal yang disetor
 Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetorqan
termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham
 Pembagian laba dalam bentuk saham

 Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran

 Jumlah yang melebihi jumlah setoran saham yang diterima


atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali
saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan.
 Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal
yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau
diperoleh keuntungan, kecuali jka pembayaran kembali itu
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statute) yang
dilakukan secara sah
 Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk
yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut
 Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi bagian
laba yang diterima oleh pemegang polis
 Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi

 Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang


saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

b. Sebesar 2% (dua persen) dar jumlah bruto atas:

 Sewa dan penghasilan lan sehubungan dengan


penggunaan harta

101
 Imbalan sehubungan dengan jasa Teknik, jasa manajemen,
jasa konsruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diatur
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, selain jasa
yang telah dipotong Pajak penghasilan.

c. Dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan


tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan
adalah lebih tinggi 100% (serratus persen) daripada tarif tersebut diatas.

Objek pajak yang dikenakan PPh final dan PPh Pasal 23

1. Bunga

No. Jenis Objek Pajak Keterangan Tarif

1. Bunga/diskonto dari obligasi Tidak dipotong


diperoleh/diterima oleh PPh 23 atau
pun PPh final

a. Bank yang didirikan di Indonesia Dipotong PPh


atau cabang bank LN d final
Indonesia

b. Dana pension yang Dipotong PPh


pendirian/pembentukannya final
disahkan oleh Menkeu

c. Reksadana Dipotong PPh s.d 2020 5%


final 2021 dan seterusnya 15%

d. WPDN atau BUT Dipotong PPh 15%


final

e. WPLN Dipotong PPh 20% atau sesuai tax treaty


final

2. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh


koperasi kepada anggotanya

a. Jumlahnya tidka melebihi batas PPh final 0%


yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan
(Rp 240.000,00)

102
b. Jumlahnya datas Rp 240.000 Dipotong PPh 15%
final

3. Bunga dibayarkan atau terutang kepada Tidak dipotong


bank PPh 23 & PPh
final

4. Bunga deposito/tabungan Dipotong PPh 20%


final

5. Bunga selain ketentuan di atas Dipotong PPh 15%


final Pasal 23

2. Hadiah

No. Jenis Objek Pajak Keterangan Tarif

1. Hadiah langsung Non Objek Pajak

2. Hadiah undian Dipotong PPh 25%


final

3. Hadiah penghargaan, pekerjaan, kegiatan, atau Dipotong PPh Tarif progresif


perlombaan yang diperoleh/diteri,a oleh WP Pasal 21
Orang Pribadi

Hadiah penghargaan, kegaitan, atau perlombaan Dipotong PPh 23 15%


yang dperoleh/diterima oleh WP Badan

3. Sewa

No. Jenis Objek Pajak Keterangan Tarif

1. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan Tidak dipotong


dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (capital PPh Pasa 23 &
lease) PPh final

2. Sewa (operating lease) 10%

a. Sewa tanah/bangung Dipotong PPh DN: 1,8%


final

b. Sewa pesawat udara Dipotong PPh LN: 2,64%


Pasal 15

c. Sewa selain di atas Dipotong PPh 2%


Pasal 23

103
4) Tidak Termasuk Sebagai Pemotong

No Non Objek Pemotongan PPh Pasal 23

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan bank
opsi

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperolehperseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:

a. Dividen berasal dari cadangan labab yang ditahan,


b. Bagi perseroan terbatas, BUMN/D yangmenerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dair jumlah modal yang
disetor dan harus mempunyai usaha aktif dari luar kepemilikan
saham tersebut.
4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahuhn
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha

5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, dirma, dan kongsi

6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

5) Saat Terhutang PPh Pasal 23

Berdasarkan UU Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan


bahwa pemotongan Pajak Peghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-udang pajak penghasilan
dilakukan pada akhir tahun:

1. Dibayarkannya penghasilan
2. Disediakan untuk dibayarkan penghasilan
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Saat terutang pajak penghasilan pasal 23 Undang-undang Pajak


Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti: dividen)

104
Contoh:

PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan


(satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak penyedia tenaga kerja satpam sebanyaj
20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan
pegawai PT Aman Jaya. Dalam kontrak disepakati bahwa pembayaran atas
penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan
sebesar Rp 20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per bulan
sebesar Rp 2.000.000.

a. Rincian tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:


Pembayaran gaji 20 orang satpam Rp 20.000.000

Imbalan Jasa Rp 2.000.000

b. Atas pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman


Jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar: 2% x Rp
2.000.000 = Rp 40.000,00

c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan diatas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp
22.000.000,00 sehingga PPh 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi
Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar 2% x
Rp 22.000.000,00 = Rp 440.000,00

4. Pajak Penghasilan Pasal 24

Berdasarkan UU 36/2008 pasal 24 Jo. UU Nomor 16 Tahun 2000 Pajak


Penghasilan Pasal 24 (“PPh 24”) adalah Pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang atas seluruh penghasilan.

Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan
beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
peghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur
tetangperhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.

Pemotongan PPh 24 terkait dengan ketentuan dalam Pasal 24 UU 36/2008


yang mengatur tentang besarnya kredit pajak sebesar pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan
pajak yang terutang.

105
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:

a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari


pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan;
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada;
c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian
dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
berada.
h. Keuntungan karena pengalihan harta yang mnjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada

Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan

● PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di


negara X. Z Inc tersbut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$
100.000,00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak
Dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai
berikut:
Keuntungan Z Inc US$ 100.000,00

Pajak Penghasilan (Corporate income tax)

atas Z Inc: (48%) US$ 48.000,00 (-)

US$ 52.000,00

Pajak atas dividen (38%) US$ 19.760,00 (-)

106
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32.240,00

● Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan


terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri,
dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar
US$19.760,00.

Pajak penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48.000, tidak
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak
sebesar US$48.000,00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas
keuntungan Z Inc. di negara X.

5. Pajak Penghasilan 26

1) Objek, Pemotong, dan Tarif Pajak

1. Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto
c. Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pension dan pembayaran berkala lainnya
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
h. Keuntungan karena pembebasan utang

107
Contoh:

Mark (K/3) orang pribadi subyek pajak luar negeri, membuat perjanjian kerja dengan
PT Suka sebagai supervisor untuk jangka waktu 4 bulan terhitung mulai tanggal 1
September 2021 (berada di Indonesia, kurang dari 183 hari). PT Suka pada tanggal
29 September 2021 membayarkan gaji sebesar $3.000,00 sebulan. (Kurs Menteri
Keuangan Rp14.930 per $1)
PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh PT Suka

20% x (3.000 x Rp 14.930)

20% x Rp 44.790.000

Rp 8.958.000

Jika, Mark memperpanjang kontraknya, sehingga berada di Indonesia telah melebihi


183 hari/time test, maka stastusnya menjadi subyek pajak dalam negeri, PPh yang
telah dipotong tersebut menjadi bersifat tidak final.

2. Negara domisili dari wajib pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui BUT di Indonesia adalah
negara tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak luar negeri
yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner)
3. Beneficial owner sesuai PER-25/PJ/2018
WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner dalam hal:

a. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau nominee,
atau

b. Bagi WPLN orang pribadi, tidak memenuhi ketentuan:

● Tidak bertindak sebagai Agen, nominee, atau conduit


● Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, asset,
atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
● Tidak lebih dari 50% (lima puluh persen) penghasilan badan
digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
● Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki
● Tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk
meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari
Indonesia kepada pihak lain.
4. Pemotong PPh Pasal 26 yang Wajib membuat bukti potong adalah:
● Wajib Pajak yang berstatus Pegusaha Kena Pajak (PKP) yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib pajak besar,
penanaman modal asing, perusahaan mask bursa, badan dan orang
asing, minyak dan gas bumi, dan KPP Madya di seluruh Jakarta.
(KEP – 599/PJ/2019).

108
● Wajib pajak yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP) yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya di seluruh
Indonesia (KEP – 652/PJ/2019).
● Wajib pajak yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP) yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di seluruh
Indonesia (KEP – 269/PJ/2020).
5. Atas penghasilan dari penjualan atau penghasilan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasa 4 ayat (2) UU PPh yang diterima atau
diperoleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia
dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan netto diatur oleh Menteri Keuangan.

2) Pelunasan PPh Pasal 26

Sesuai dengan Pasal 15 ayat (4) PP No. 94 Tahun 2010, pemotongan Pajak
Peghasilan Pasal 26 oleh pihak lain dilakukan pada akhir bulan:

1. Dibayarkannya penghasilan
2. Disediakan untk dibayarkan penghasilan
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjaid terlebih dahulu

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-undang Pajak


Peghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: royalty, imbalan jasa
Teknik atau jasa manajemen

3) Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26

1. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26 atas nama Wajib Pajak luar
negeri
2. Menyetor PPh Pasal 26 yang dipotong ke Kantor Penerima Pembayaran
selambat-lambatnya 10 hari setelah saat terutangnya pajak SSP (atau
dokumen yang dipersamakan) atas nama pemotong
3. Melaporkan penyetoran dan pemotongan pajak dengan menggunakan
tempat pemotong pajak terdaftar sebagai wajib pajak

4) Pelunasan PPh Pasal 26

Sesuai dengan Pasal 15 ayat (4) PP No.94 Tahun 2010 pemotongan pajak
penghasilan pasal 26 oleh pidahk lain dilakukan pada akhir bulan

1. Dibayarkannya penghasilan
2. Disedakan untuk dibayarkannya penghasilan
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu

109
Saat terutangnya pajak penghasilan pasal 26 Undang-undang pajak
penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan seperti dividen dan jatuh tempo seperti bunga dan sewa, saat
yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur seperti royalty,
imbalan jasa Teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya.

6. Pajak Penghasilan Pasal 4 (2)

1) Objek dan Tarif Pajak

Berdasarkan Pasal 4(2) UU 7/2021 Penghasilan di bawah ini dapat dikenakan


bersifat final:

● Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga


obligasi dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga
jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang, dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
● Penghasilan berupa hadiah undian;
● Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura;
● Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan
tanah dan/atau bangunan; dan
● Penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu, yang diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan


sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:

● Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan


tabungan masyarakat
● Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
● Berkurangnya beban adminisrasi baik bagi Wajb Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak
● Pemerataan dalam pengenaan pajaknya
● Memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter

Atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri


dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak
atas jenis penghasilan tesebut termasuk sifat, besarna, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran, pemotognan, atau pemungutan diatur dengan

110
Peraturan Pemerintah. PPh Atas Peghasilan dari Persewaan Tanah dan
Bangunan

Berdasarkan Ketentuan PP Nomor 34 Tahun 2017 pihak yang ditunjuk


sebagai pemotong yaitu:

● Badan pemerintah
● Subjek pajak badan dalam negeri
● Penyelenggara kegiatan
● Bentuk usaha tetap
● Kerjasama operasi
● Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
● Orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

Tarif dan Objek Pajak

10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bersifat final:

1. Atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau Bangunan, baik


sebagian maupun seluruh bangunan
2. Termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan pemegang ha katas tanah dari Investor terkait dengan
pelaksanaan perjanjian Bangunan Guna Serah, meliputi:

a. Penghasilan atas pembayaran berkala selama masa perjanjian Bangun


Guna Serah

b. Penghasilan dalam bentuk bangunan yang diserahkan sebelum perjanjian


Bangun Guna Serah berakhir

c. Penghasilan dalam bentuk Bangunan yang diserahkan atau seharusnya


diserahkan pada saat perjanjian Bangun Guna Serah berakhir: dan atau

d. Penghasilan lain terkait perjanjian Bangun Guna Serah, termasuk


pembayaran terkait bagi hasil penggunaan Bangunan dan denda
perjanjian Bangun Guna Serah

Tidak termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa


pelayanan penginapan (antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar,
asrama pondok pekerja, dan rumah kos) beserta akomodasinya.

Kewajiban

1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan


dalam negeri, penyelenggara kegaitan, bentuk usaha tetap,
kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan
orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, PPh
Pasal 4 ayat (2) yang terutang wajib dipotong oleh penyewa, dengan

111
Menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa ke Kantor Penerima Pembayaran.
2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak
Penghasilan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang wajib disetor
sendiri-sendiri oleh pihak yang menyewakan. Selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya
sewa ke Kantor Penerima Pembayaran
3. Melaporkan PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah dipotong dan disetor ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar sebagai Wajib Pajak
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa.

2) PPh Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau


Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan

Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 81/PMK.010/2019

Objek

1. Pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan adalah penghasilan yang
diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan ha katas tanah dan/atau
bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para
pihak
2. Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya.

Tarif

1. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
2. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun
Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
3. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat
penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah
yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana

112
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Nilai Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

1. Nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal


pengalihan hak kepada pemerintah;
2. Nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189
beserta perubahannya);
3. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang
dipengaruhi hubungan istimewa
4. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa
5. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar,
dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan
melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris,
atau cara lain yang disepakati antara para pihak.

3) PPh Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2017

1. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara


tetap pada tanah dan/atau perairan.
2. Penyewa adalah orang pribadi atau badan yang menyewa tanah
dan/atau Bangunan dari pemilik atau pihak yang menyewakan tanah
dan/atau Bangunan.
3. Bangun Guna Serah adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan
antara pemegang hak atas tanah dan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan Bangunan selama masa perjanjian dan mengalihkan
kepemilikan Bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah
setelah investor mengoperasikan Bangunan tersebut atau sebelum
investor mengoperasikannya.
4. Investor adalah orang pribadi atau badan yang diberikan hak untuk
mendirikan suatu Bangunan dan menggunakan atau mengusahakan
Bangunan berdasarkan perjanjian Bangun Guna Serah selama masa
perjanjian Bangun Guna Serah.

Tarif dan Objek

10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bersifat final:

113
1. Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, baik
sebagian maupun seluruh bangunan.
2. Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan semua jumlah
yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau
Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan,
biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
3. Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dalam bentuk Bangunan merupakan nilai Bangunan yang diterima oleh
pemegang hak atas tanah dari Investor.
4. Nilai Bangunan ditentukan berdasarkan nilai yang tertinggi antara nilai
pasar dan nilai jual objek pajak Bangunan.

Contoh

Borneo menyewa rumah milik Diego selama 5 tahun dari tahun November 2017 sampai
dengan November 2021 sebesar Rp250.000.000 yang dibayar pada awal sewa. Atas
pembayaran sewa tersebut Diego telah membayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan sebesar Rp25.000.000

Dalam perjanjian dimasukkan syarat bahwa Borneo dapat menyewakan kembali rumah yang
disewanya tersebut kepada oranglain meskipun tanggung jawabnya tetap berada di Borneo.

Pada bulan Juni 2019 Borneo, tanpa mematalkan sewa dengan Diego menyewakan rumah
tersebut kepada adik kandungnya Tiara yang berprofesi sebagai pengusaha sampai dengan
November 2021 sebesar Rp90.000.000 yang dibayar pada tanggal 2 Juni 2019.

Bagaimanakah kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) terkait transaksi sewa antara Borneo dan
Tiara?

Jawab:

Mengingat Tiara bukan merupakan pemotong pajak, maka Borneo wajib menyetorkan sendiri
PPh yang terutang tersebut ke KPP tempat dia terdaftar. Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final yang wajib disetorkan adalah:

10% x Rp90.000.000 = Rp9.000.000

4) PPh Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 Jo. PP Nomor 9 Tahun 2022


Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

Tarif dan Obyek

Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi:

● 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen) untuk pekerjaan


konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki
114
sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi
kerja untuk usaha orang perseorangan;
● 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha
atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan;
● 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan
konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia
Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
● 2,65% (dua koma enam puluh lima persen) untuk pekerjaan
konstruksi terintegrasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki sertifikat badan usaha;
● 4% (empat persen) untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan
usaha;
● 3,5% (tiga koma lima persen) untuk jasa konsultansi konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki sertifikat badan
usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang
perseorangan; dan
● 6% (enam persen) untuk jasa konsultansi konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan
usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang
perseorangan.

Dari nilai kontrak (bersifat final)

Nilai kontrak adalah jumlah pembayaran tidak termasuk PPN (dalam hal
melalui pemotongan oleh pengguna jasa) atau jumlah penerimaan
pembayaran jumlah penerimaan pembayaran (dalam hal melalui
penyetoran sendiri oleh pemberi jasa)

● Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian


rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektikal dan tata lingkungan masih-masing beserta
kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk
fisik lain
● Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang
pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang professional di
bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan
pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik
lain
● Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang
pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang professional di
bidang pelaksaaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil

115
perencanaan menadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain
termasuk didalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu
pengabungan fungsi layanan dalam mode penggabungan
perencanaam pengadaan, dan pembangunan serta model
penggabungan perencaan dan pembangunan
● Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang
pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang professional di
bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan
pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaam
konstruksi sampai selesai dan diserah terimakan.

Contoh

PT Maju Terus mendirikan kantro di Jakarta menggunakan Jasa Konstruksi CV Sederhana


sebagai kontraktor skala menengah untuk konsultasi serta pengerjaan pembangunan
gedung kantor. CV Sederhana memberikan dokumen berisi rincian biayan yang dibutuhkan
untuk membangun kantor baru PT Maju Terus. Dokumen rincian terdapat nilai kontrak
sebesar Rp 6.000.000.000. CV Sederhana merupakan kontraktor dan penyedia jasa
konstruksi skala menengah, maka dikenakan tarif pajak penghasilan jasa konstruksi sesuai
PP 9 Tahun 2022 sebesar 2,65% dengan perhitungan sebagai berikut:

= nilai kontrak x tarif PPh jasa konstruksi

= Rp6.000.000.000 x 2,65%

= Rp159.000.000

5) PPh Atas Hadiah Undian

Berdasarkan PP Nomor 132 Tahun 2000, Peraturan Ditjen Pajak Nomor


PER-11/PJ/2015

Pihak yang Ditunjuk Sebagai Pemotong

Penyelenggara undian yakni orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi


(termasuk organisasi internasional) atau penyelenggaran lainnya termasuk
pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan
cara diundi

Objek

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan melalui undian

Tarif

25% dari jumlah bruto nilai hadiah

116
Nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebu
diserahkan dalam bentuk natura misalnya mobil

Kewajiban Pemotong

1. Melakukan pemotongan PPh dengan memberikan bukti pemnotongan


PPh Ps. 4 ayat (2)
2. Melakukan penyetoran PPh Ps.4 ayat (2) yang dipotong ke Kantor
Penerima Pembayaran paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir
3. Melaporkan hasil pemotongan dan penyetoran PPh Ps. 4 ayat (2) paling
lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir ke Kantor Pelayanan Pajak
dengan menggunakan SPT Masa PPh Ps. 4 ayat (2)

Perbedaan antara Hadiah Unidan dengan Hadiah Penghargaan

1. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diberikan melalui undian
2. Hadiah ata penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan
yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan
3. Hadiah sehubuingan dengan kegaitan adalah hadiah dengan nama dan
dalam betuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh penerima hadiah
4. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan
prestasi dalam kegaitan tertentu

Contoh

Riska mendapatkan hadiah dari suatu brand karena telah memenangkan suatu games
dan dia mendapatkan hadiah undian senilai Rp25.000.000. Atas hadiah tersebut Riska
harus membayar pajak dan dikenakan pajak sebesar 25%. Perhitungannya sebagai
berikut:

25% x 25.000.000 = 6.250.000

Maka Riska harus membayar Pajak senilai Rp6.250.000. Dan uang tunai yang
didapatkan Riska senilai Rp18.750.000

6) PPh Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat


Bank Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2), PP Nomor 123 Tahun 2015,


Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Nomor 212/PMK.03/2018

Objek

Atas penghasilan berupa bunga denga nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan serta diskonto

117
Sertifikat Bank Indonesia (termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari
deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.

Pihak yang ditunjuk sebagai pemotong

1. Bank yang membayarkan bunga tabungan dan/atau Deposito serta Bank


Indonesia yang menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia
2. Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan
bank yang menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain
yang bukan bank atau kepada Dana Pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan (wajib memotong pajak penghasilan
diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut)

Tarif

a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dola Amerika Serikat yang
dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam
negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:

1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE
dengan jangka waktu 1 (satu) bulan
2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito
DHE dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito
DHE dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan
jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.

b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri
pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Peghasilan yang
bersifat final dengan tarif sebagai berikut:

1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito
DHE dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan
jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito DHE dengan
jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.

118
c. Atas bunga dari tabngan dan diskonto Sertifikat Bank Indoneisa dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dikenai pajak Peghasilan yang bersifat final
dengan tarif sebagai berikut:

1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku,
terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Dalam hal bank melakukan pemotongan Pajak Peghasilan atas bunga


Deposito dengan tarif huruf a dan/atau huruf b, bank bersangkutan wajib
melampirkan fotokopi dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil
Ekspor melalui bank devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(4) huruf a, pada saat penyampaian laporan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)

Ketetuan mengenai pengenaan Pajak Peghasilan atas bunga dari


Deposito dengan tarif dimaksud huruf a dan huruf b tidak berlaku dalam
hal Devisa Hasil Ekspor yang atas bunga Depositonya telah dikenai Pajak
Peghasilan dengan tarif sebagaimana huruf a dan huruf b ditempatkan
kembali sebagai Deposito, termasuk melalui mekanisme perpanjangan
deposito

Pengenaan Pajak Penghasilan final dengan tarif sebagaimana dmaksud


pada ayat (1) huruf a dan huruf b berlaku untuk deposito DHE yang
ditempatkan kembali pada saat jatuh tempo baik dalam mata uang rupiah
maupun mata uang dolar Amerika Serikat.

Contoh:

Dana pension Solusi Indonesia yang pendirinya disahkan oleh Menteri Keuangan membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari Bank Indonesia dengan nominal Rp2.000.000.000
dengan memperoleh diskonto sebesar Rp40.000.000. Pada tanggal 1 April 2021, dana
pensiun Solusi Indonesia menjual SBI tersebut kepada PT Brand Brand dengan harga
Rp1.960.000.000 dan dibayarkan pada saat yang sama. Bagaimana kewajiban
pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?

Jawab:

Besarnya diskonto SBI yang diperoleh PT Brand Brand adalah

Rp2.000.000.000 – Rp1.960.000.000 = Rp40.000.000

PPh pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh dana pensiun PT Solusi Indonesia adalah

20% x Rp40.000.000 = Rp8.000.000

119
7) PPh Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, PP Nomor 41 Tahun 1994


Jo. PP Nomor 14 Tahun 1997

Pihak yang ditunjuk sebagai pemotong:

1. Penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat


pelunasan transaksi penjualan saham
2. Emiten atas nama pemilik saham pendiri untuk penjualan saham
pendirian

Tarif dan Obyek

1. 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham dibursa efek (bersifat final) dari transaksi penualan
saham di bursa efek (bersifat final)
2. 0,%% dari nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana
yang dimiliki pemilik saham pendiri (bersifat final)

Kewajiban Pemotong

1. Memotong PPh degan memberikan bukti pemotongan PPh Ps 4 ayat (2)


2. Menyetor PPh yang dipotong ke Kantor Penerima Pembayaran:
a. Selambat lamatnya tanggal 20 setiap bulan atas transaksi
penjualan saham yang dilakukan dalam bulan sebelumnya
b. 1 bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa efek
3. Melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh dengan menggunakan
SPT Masa PPh pasal 4 ayat (2) selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan penyetoran.

Contoh

PT. Setiabudi memiliki 10% kepemilikan saham dari PT. Budiutomo. Seluruh penjualan
saham dari PT. Budiutomo dilakukan di bursa efek Indonesia. Apabila keseluruhan
lembar saham PT. Budiutomo yang beredar di publik adalah 10.000 lembar. Hitunglah
berapa pajak yang harus dikenakan bila PT. Setiabudi menjual seluruh sahamnya
dengan harga Rp6.000/lembar di bursa efek Indonesia?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 0,1% x Rp6.000 x 10.000

= Rp60.000

120
8) PPh Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi

Berdasarkan PP Nomor 91 Tahun 2021, Peraturan Menteri Keuangan


07/PMK.011/2012

Pihak yang ditunjuk sebagai pemotong

1. Penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang


ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang
Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi dan
diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh
tempo Obligasi;
2. Perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, atau reksa dana selaku
pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang
diterima penjual Obligasi pada saat transaksi;
3. Kustodian atau subregistry selaku pihak yang melakukan pencatatan
mutasi hak kepemilikan, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual
Obligasi dalam hal transaksi penjualan dilakukan secara langsung tanpa
melalui perantara dan pembeli Obligasi bukan pihak yang ditunjuk
sebagai pemotong

Tarif dan Obyek

Tarif pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen)
dari dasar pengenaan pajak penghasilan.

Dasar pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


untuk:

a. Bunga dari Obligasi dengan kupon, sebesar jumlah bruto sesuai


dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. Diskonto dari Obligasi dengan kupon, sebesar selisih lebih harga jual
atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk
bunga berjalan; dan
c. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga, sebesar selisih lebih harga jual
atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.

Apabila diskonto negative atau rugi, maka dapat diperhitungkan dengan


dasar dasar pengenaan pajak penghasilan atas Bunga Obligasi berjalan,
yakni bunga dari obligasi dengan kupon, sebesar jumlah bruto sesuai
dengan masa kepemilikan obligasi.

Pengecualian

Pengenaan Pajak Penghasilan bunga obligasi yang bersifat final dari dasar
pengenaan PPh ini dkecualikan atau tidak berlaku bagi:

121
a. Wajib pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah mendapatkan izin dari
Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi persyaratan
b. Wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.

Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh wajib


pajak dikenai pajak penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh:

Pada tanggal 1 April 2017 PT Sediakala (emiten) menerbitkan obligasi kupon (interest
bearing bond) dengan nilai nominal Rp12.000.000.000 per lembar. Jangka waktu obligasi 5
tahun (jatuh tempo tanggal 1 April 2022). Bunga tetap sebesar 16% per tahun, jatuh tempo
bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI).

PT LMO (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 12 lembar obligasi dengan
harga dibawah nilai nominal (at discount) dengan harga Rp10.000.000 per lembar. Berapa
besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga obligasi tersebut?

Jawab:

PPh pasal 4 ayat (2) yang harus dipotong oleh PT Sediakala pada saat jatuh tempo bunga
tanggal 31 Desember 2017 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp12.000.000) x 12 lembar = Rp11.520.000

PPh Pasal 4 ayat 2 = 10% x Rp 11.520.000 = Rp1.152.000

9) PPh Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, PP Nomor 123 Tahun 2015, PMK
Nomor 26/PMK.010/2016

Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat


Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
dengan pembayaran bunga secara diskonto.

Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :

1. Nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar
Perdana atau di Pasar Sekunder; atau
2. Harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana
atau di Pasar Sekunder,

Pemotong Pajak

122
1. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen
pembayar, atas Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh
tempo; atau
2. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun
selaku pembeli, atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.

Tarif

1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku,
terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Objek Pajak

Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

10) PPh Atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) UU PPh, PP Nomor 19 Tahun 2009,


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010

Pemotong Pajak

Wajib pajak yang melakukan pembayaran dividen kepada orang pribadi


dalam negeri

Tarif

10% dari jumlah bruto dari penghasilan berupa dividen dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang dibayarkan kepada orang pribadi dalam negeri
termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi (bersifat final).

Kewajiban Pemotong:

1. Melakukan pemotongan PPh dengan memberikan bukti pemotongan


PPh Pasal 4 ayat (2)
2. Melakuakn penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong ke Kantor
Penerima Pembayaran paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
3. Melaporkan hasil pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2)
paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir ke Kantor Pelayanan
Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

123
Contoh:

Johnson menerima dividen dari PT. Nusa Hati sebesar Rp. 500 Juta. PT. Nusa Hati
mentransfer uang tersebut tanpa melakukan pemotongan pajak terlebih dahulu pada
tanggal 21 April 2022. Dari uang tersebut Johnson mengalokasikan sebesar Rp. 80 Juta
untuk konsumsi dan membeli sepeda dan sisanya dibelikan Emas Batangan.

Jawab:

Uang sebesar Rp. 80 juta merupakan dividen yang terutang PPh Final sebesar Rp. 8 Juta
(10% x Rp. 80.000.000,-) dan Wajib disetor tanggal 15 bulan berikutnya yaitu tanggal 15
Mei 2022 dengan KAP/KJS 411128/419 serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP
tahun 2022 nanti.

11) PPh Atas Penghasilan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

PP Nomor 23 Tahun 2018, Peraturan Menteri Keuangan Nomor


99/PMK.03/2018

Tarif

0,5% bersifat final dari jumlah peredaran bruto berasal dari usaha setiap
bulan (dalam jangka waktu tertentu)

Wajib Pajak yang Memiliki peredaran bruto tertentu

1. Wajib pajak orang pribadi, dan


2. Wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan kamnditer, firma,
atau perseroan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam 1 tahun
pajak.

Besarnya peredaran bruto tertentu dimaksud merupakan jumlah peredaran


bruto dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum tahun pajak
bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto
dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang

Dalam hal Wajib Pajak orang Pribadi Merupakan Suami Istri yang:

● Menghendaki perjanjian pemisahan harta penghasilan secara


tertulis
● Istri nya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c


Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto

124
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan
penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri

Yang tidak termasuk Penghasilan dari Usaha yang dikenai Pajak


Penghasilan 0,5% yang bersifat final

● tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari


pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT,
penilai, dan aktuaris;
● pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
● olahragawan;
● penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
● pengarang, peneliti, dan penerjemah;
● agen iklan;
● pengawas atau pengelola proyek;
● perantara;
● petugas penjaja barang dagangan;
● agen asuransi;
● distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan
langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Jangka Waktu Tertentu Pengenaan Pajak Penghasilan yang Bersifat


Final ini Paling Lama

1. 7 tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi


2. 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan tertentu berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, atau firma, dan
3. 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas,
terhitung sejak
● Tahun pajak wajib pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar
sejak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018
● Tahun pajak berikutnya PP Nomor 23 Tahun 2018 bagi wajib
pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini (tanggal 1 Juli 2018)

Tata Cara Penyetoran, Pemotongan dan Pelaporan

1. Disetor sendiri oleh wajib pajak dilakakan setiap bulan paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Wajib pajak
dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau
sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak.

125
Dalam hal wajib pajak tidak memiliki peredaran usaha pada bulan
tertentu, tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
2. Pemotong atau Pemungut Pajak dalam kedudukan sebagai pembeli
atau pengguna jasa melakukan pemotongan atau pemungutan pajak
penghasilan dengan tarif sebesar 0,5% terhadap wajib pajak yang
memiliki Surat Keterangan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dilakukan untuk setiap transaksi penjualan atau penyerahan jasa yang
merupakan objek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan
sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau
pemungutan wajib pajak penghasilan
b. Wajib pajak bersangkutan harus menyerahkan fotokopi Surat Pajak
yang telah dipotong atau dipungut disetor paling lama tanggal 10 bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan
Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama wajib pajak yang
dipotong atau dipungut seta ditandatangani oleh pemotong atau
pemungut pajak

Pemotong atau pemungut pajak wajib menyampaikan Surat


Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan atas pemotongan atau
pemungutan pajak penghasilan ke kantro pelayanan pajak tempat
pemotong atau pemungut pajak terdaftar paling lama 20 hari setelah masa
pajak berakhir.

Contoh:

Tuan Kris seorang arsitek dan memiliki usaha toko bahan bangunan, pada tahun pajak
2021, Tuan Kris memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa arsitek atau nama
diri sendiri sebesar Rp 1.500.000.000 dan dari toko bahan bangunan memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 2.100.000.000 dalam 1 Tahun Pajak. Penentuan Batasan
peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000, maka penghasilan dari usaha toko
bahan bangunan dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun
2018. Sedangkan penghasilan dari kegiatan arsitek dikenai pajak penghasilan
berdasarkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

7. Pajak Penghasilan Pasal 15

1) PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri

Objek Pajak

Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan di luar negeri.

126
Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah WP perusahaan
penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia (SPDN Badan) yang
memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter.

Yang dimaksud dengan perjanjian charter meliputi semua bentuk charter,


termasuk sewa ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang
("space charter").

Tarif

PPh terutang = 30% x norma Penghitungan Penghasilan Netto.

Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 6% x Peredaran Bruto

Sehingga tariff efektif PPh Terutang = 1,8 % x Peredaran Bruto (1,8%berasal


dari 6% x 30%)

Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23


yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan
PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pemotong

Pemotong yaitu pencharter yang merupakan Badan pemerintah, Subjek


Pajak Badan Dalam Negeri, Penyelenggara Kegiatan, BUT, atau Perwakilan
Perusahaan Luar Negeri Lainnya.

2) PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri

Objek Pajak

WP perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh


penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia.

Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi
Penghasilan yang diterima atau diperoleh WP dari pengangkutan orang
dan/atau barang termasuk penyewaan kapal dari:

a. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia,

b. Pelabuhan di Indonesia ke luar pelabuhan Indonesia,

c. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia,

d. pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lain di luar Indonesia

Tarif

PPh terutang = 30 % x Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

127
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 4% x Peredaran Bruto

Sehingga tariff efektif PPh Terutang =

30% x 4% x Peredaran bruto = 1,2% x Peredaran Bruto dan bersifat final.

Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang
atau nilai uang yang diterima atau diperoleh WP perusahaan pelayaran
dalam negeri dari pengangkutan o rang dan/atau barang yang dimuat dari
satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

Pemotong

Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau


charter dengan pemotong pajak : pihak yang membayar atau terutang hasil
tersebut wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau
terutang.

Dalam hal penghasilan diperoleh bukan berdasarkan perjanjian persewaan


atau charter dengan pemotong pajak,maka Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh yang terutang.

Dalam hal Pengguna jasa adalah bukan pemotong pajak, maka Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh yang
terutang.

3) PPh Pasal 15 atas Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri

Objek Pajak

Objek PPh-nya adalah Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang
atau nilai uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari
suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Dengan demikian yang tidak termasuk penggantian atau imbalan yang


diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri tersebutadalah yang dari pengangkutan orang dan/atau barang dari
pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

Tarif

Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau


Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari
peredaran bruto.

Pengertian peredaran bruto di sini adalah semua imbalan atau nilai


pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib

128
Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan di luar negeri.

Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran


dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam
puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.

Pemotong

Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak


yang membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat
pembayaran atau terutang.

Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka Wajib Pajak


Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib menyetor
sendiri.

4) PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (representative


office/liaison office) di Indonesia

Subjek Pajak

Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang


(representative office/liaison office), selanjutnya disingkat KPD, di Indonesia
yang berasal dari negara yang belum mempunyai Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia.

Objek Pajak

nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau
badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Tarif

Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto

Pajak Penghasilan Terutang sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan
bersifat final.

Khusus untuk Kantor Perwakilan Dagang (KPD) yang berasal dari negara
mitra P3B

maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT
(Branch Proftit Tax) dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana
dimaksud dalam P3B terkait.

129
Pemotong

Pembayaran dilakukan dengan mekanisme penyetoran sendiri oleh kantor


perwakilan dagang selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah
bulan diterima atau diperolehnya penghasilan.

PPh Pasal 15 atas WP yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon


internasional di bidang produksi mainan anak-anak

Subjek Pajak

Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (contract


manufacturing) internasional adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang
melakukan jasa pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan
anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan
penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar
negeri dan mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.

Objek Pajak

Jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk


biaya pemakaian bahan baku (direct materials).

Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh


pengeluaran yang merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku
milik prinsipal) dan tidak langsung serta biaya umum dan administrasi sesuai
dengan pembukuan komersial Wajib Pajak;

Tarif (Final)

Penghasilan neto sebesar 7% (tujuh persen) dari jumlah seluruh biaya


pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan
baku (direct materials).

PPh terutang sebesar 2,1% (dua koma satu persen) dari jumlah seluruh
biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian
bahan baku (direct materials)

Ketentuan tarif norma sebesar 7% (tujuh persen) berlaku sepanjang Wajib


Pajak tidak mengadakan Perjanjian Penentuan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement) dengan Direktur Jenderal Pajak.

Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh


pengeluaran yang merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku
milik prinsipal) dan tidak langsung serta biaya umum dan administrasi sesuai
dengan pembukuan komersial Wajib Pajak.

130
Pemotong

PPh terutang wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak dengan cara
pembayaran setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir.

Besarnya pembayaran PPh setiap bulan dihitung berdasarkan jumlah


realisasi seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang setiap bulannya
tidak termasuk biaya pemakaian bahan buku (direct material).

Contoh:

Kantor Perwakilan Dagang PT Harum Melati (Perusahaan minyak wangi arab) yang
beralamat di Jakarta Pusat melakukan ekspor parfume pada tanggal 15 April 2019 dengan
nilai ekspor Rp 900.000.000 dan biaya yang dikeluarkan selama proses ekspor ialah Rp
100.000.000 dibayarkan pada tanggal 19 April 2019. Diketahui bahwa negara Arab Saudi
merupakan negara terikat P3B dengan Indonesia yang mencakup lalu lintas internasional
dengan tarif BPT sebesar 20%.

Jawab:

PPh Pasal 15 = 0,44 x nilai ekspor bruto

= 0,44 x Rp 900.000.000

= Rp 3.960.000 (bersifat final)

8. Pajak Penghasilan Pasal 19

Untuk lebih memahami ketentuan Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat


PPh) Pasal 19, silahkan disimak penjelasan seputar PPh Pasal 19 berikut ini.

Subjek Pajak

Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk


tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya
penilaian kembali.

Perusahaan yang dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk
perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Objek Pajak

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:

131
● seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik
atau hak gunabangunan; atau
● seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau
berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang
dilakukan

Nilai Revaluasi

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai


pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian
kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.

Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa
penilai atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang
sebenarnya,Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai
wajar aktiva yang bersangkutan.

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu


paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau
ahli penilai.

Tarif PPh Pasal 19

Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa
buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar
10% (sepuluh persen).

Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk


melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran
paling lama 12 (dua belas) bulan sesuai ketentuan.

Penyusutan Pasca Revaluasi

Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku


ketentuan sebagai berikut :

● Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh


persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
● Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali
aktiva tetap

132
● perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk
kelompok aktiva tetap tersebut.
● Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan.

Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :

● Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal


pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
● Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada
awal tahun pajak yang bersangkutan.
● Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
● Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar
penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

Pengalihan Aktiva Tetap

Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:

● Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah


memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa
manfaat yang baru; atau
● Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan
tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum
lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, maka atas selisih lebih penilaian
kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat
penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).

Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi:

● Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur


berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan
Pengadilan;
● Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan,
peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau
● Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami
kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
● Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa
buku fiskal pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian
berdasarkan ketentuan.

133
Pembukuan

Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan harus
dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama
"Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal
........................".

Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa
penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali
secara fiskal, bukan merupakan Objek Pajak.

Contoh:

PT. Riang Gembira memiliki aset bangunan dengan harga perolehan Rp 500 juta dibeli
tanggal 1 Januari 2016. Aset ini didepresiasikan selama 20 tahun tanpa nilai sisa.
Perusahaan mengajukan permohonan revaluasi aset di tahun 2020 dan baru disetujui dan
melakukan revaluasi aset pada 31 Desember 2021 dengan nilai revaluasi berdasarkan nilai
pasar yaitu Rp 540 juta. Berikut perhitungan PPh Pasal 19 yang terutang.

Jawab:

Selisih nilai revaluasi

= Rp 540 juta – Rp 500 juta

= Rp 40 juta

PPh Pasal 19 yang terutang pada 31 Desember 2021

= 10% x Rp 40 juta

134

Anda mungkin juga menyukai