Anda di halaman 1dari 141

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada kehaditar Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya,

penulis dapat menyelesaikan menyelesaikan penulisan buku dengan judul

“PERPAJAKAN”. Penulisan buku ini adalah persiapan untuk mengajar mata kuliah

perpajakan di Program Studi Akuntansi S1 di Universitas Mahasaraswati Denpasar. Buku

ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi mahasiswa tentang pajak dalam konsep,

fungsi, dan praktis perhitungan pajak.

Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Civitas Akademika

Universitas Mahasaraswati Denpasar. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi dunia

pendidikan, serta membantu mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Kritik dan saran

yang membangun selalu kami tunggu untuk menyempurnakan buku ini. Terima kasih.

Denpasar, September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
BAB 1 PENGANTAR PERPAJAKAN
Pengantar Perpajakan 1
Definisi Pajak 2
Unsur Pajak 3
Fungsi Pajak 4
Perbedaan Pajak Dengan Pungutan 6
SyaraPemungutaPajak 7
Teori-Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak 9
Kedudukan Hukum Pajak 11
Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil 11
Kewajibandan Hak Wajib Pajak 12
Pengelompokan Pajak 13
Tata Cara Pemungutan Pajak 14
Timbuldan Hapusnya Hutang Pajak 17
Hambatan Pemungutan Pajak 20
Soal-soal Latihan 27

BAB 2 KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN


Ketentuan Umum Perpajakan 29
Istilah-Istilah Dalam KUP 30
Kewajiban dan Hak Wajib Pajak 31
Pemungutan dan Potongan Pajak Tertentu Sebagai Wajib Pajak 32
Sanksi-Sanksi Perpajakan Dalam KUP 32
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 33
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak 35
Surat Pemberitahuan (SPT) 37

ii
Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran Pajak 38
Surat Tagihan Pajak (STP) 39
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) 40
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) 41
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) 42
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) 43
Daluwarsa Penetapan 43
Tahun Pajak 50
Soal-soal Latihan 51

BAB 3 PAJAK PENGHASILAN


Pajak Penghasilan 52
Konsep Penghasilan 52
Subjek dan Objek Pajak Penghasilan 58
PPh Orang Pribadi 74
PPh Badan 84
Soal-soal Latihan 109

BAB 4 PPN DAN PPN BM


PPN dan PPN BM 110
Istilah-Istilah Penting 111
Objek PPN 115
Wajib Pajak PPN 115
Pemungut PPN Sebagai Subjek Pajak Pengganti 117
Jasa Kena Pajak 119
Tempat PajakTerutang 121
Saat Pajak Terutang 122
Dasar Pengenaan PPN 122

iii
Tarif PPN 124
Faktur Pajak 125
Pajak Penjualan Barang Mewah 132
Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan PPN dan PPNBM 132
Soal-soal Latihan 133

DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tarif Pajak……………………………………………………………………….92
Tabel 3.2 Kelompok Harta Berwujud ...……………………...……………………………93
Tabel 3.3 Kelompok Harta Tak Berwujud…………………………...…………………….94
Tabel 3.4 Contoh 1……………………………………………….......…………………….97
Tabel 3.5 Contoh 2…………………………………………………………………...…….98

v
BAB 1
PENGANTAR PERPAJAKAN
ebagian besar masyarakat Indonesia memahami pajak sebagai sebuah
S kewajiban rutin yang harus dipenuhi atas segala bentuk penghasilan dan
kekayaan yang dimiliki. Fenomena yang terjadi bahwa masyarakat tidak seluruhnya
memahami tentang perpajakan. Melalui Ketentuan umum perpajakan akan dibahas dan
dipelajari berbagai hal terkait tentang pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara
bagi pembangunan. Dalam bab ini kita akan mempelajari sebagian hal yang berkaitan
dengan pajak, mulai dari pengertian, jenis,fungsi,tata cara pemungutan pajak,perbedaan
pajak dengan pungutan resmi lainnya,syarat pemungutan pajak, teori-teori yang medukung
pemungutan pajak, kedudukan hukum pajak,hukum pajak materiil dan hukum pajak formil,
hambatan pemungutan pajak serta besaran tarif penarikan. Semua ini akan kita pelajari
sebagai pengantar dalam buku ini, karena materi yang lebih lanjut akan dipelajari dalam
bab-bab selanjutnya.

Tujuan pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan pembaca memiliki kemampuan yang baik
dalam:
1. Memahami pengertian pajak.
2. Memahami unsur pajak.
3. Memahami fungsi pajak.
4. Memahami perbedaan pajak dengan pungutan lainnya.
5. Memahami syarat pemungutan pajak.
6. Memahami teori-teori yang mendukung pemungutan pajak.
7. Memahami kedudukan hukum pajak.
8. Memahami hukum pajak meteriil dan hukum pajak formil.
9. Memahami pengelompokan pajak.
10. Memahami tatacara pemungutan pajak.
11. Memahami timbul dan hapusnya hutang pajak.

1
12. Memahami hambatan pemungutan pajak.
13. Memahami tarif pajak.

1.1 DEFINISI PAJAK


Pajak (dari bahasa Latintaxo; "rate") adalah iuran rakyat kepada negara
berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat
balas jasa secara langsung.Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
"pajak" yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya adalah:
1. Leroy Beaulieu
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah.
2. P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[5]
3. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi
sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayaipublic
investment.
4. Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,
bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang

2
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-
tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah


disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''

1.2 UNSUR PAJAK


Berdasarkan pengertian pajak, setiap pajak terdiri atas beberapa unsur. Berikut
ini unsur-unsur pajak.
a. Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu, misalnya
pegawai, pengusaha, dan perusahaan.Setiap wajib pajak wajib mendaftarkan diri
ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, kemudian wajib pajak akan mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai tanda pengenal.Wajib pajak harus
melaporkan kekayaan dan jumlah pajak yang menjadi tanggungannya kepada
kantor pelayanan pajak setempat setiap tahun.
b . Objek Pajak
Objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak, misalnya penghasilan
seseorang yang melebihi jumlah tertentu, tanah, bangunan, laba perusahaan,
kekayaan, mobil.Apabila setiap tahun ayah kalian membayar pajak bumi dan
bangunan (PBB), tanah dan bangunan yang dimiliki ayah kalian dikatakan
sebagai objek pajak.
c . Tarif Pajak
Tarif pajakadalah ketentuan besar kecilnya pajak yang harus dibayar oleh wajib
pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungannya. Semua jenis pajak

3
mempunyai tarif yang berbeda-beda. Tarif pajak untuk pajak bumi dan bangunan
berbeda dengan tarif pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Perbedaan
tarif pajak disebabkan oleh karena sistem pajak Indonesia yang menggunakan
sistem tarif pajak progresif sehingga pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan
yang membedakan tarif pajak sesuai dengan keadaan ekonomi negara dan
program pembangunan.

Diatas adalah unsur-unsur pajak secara umum, sedangkan menurut Rochmat


Soemitro, unsur unsur pajak adalah sebagai berikut ini :
1. Ada kepentingan umum
2. Memiliki/Ada Undang-Undang yang mengaturnya
3. Objek pajak
4. Subjek pajak
5. Surat ketetapan pajak (fakultatif)
6. Penguasa (pemungut pajak)

1.3 FUNGSI PAJAK


Pajak memegang peranan yang sangat penting bagi suatu negara, karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara, yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mengatur kegiatan ekonomi dan sebagai pemerataan pendapatan masyarakat. Pajak
mempunyai fungsi utama sebagai berikut:
1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgeter)
Pajak merupakan sumber pemasukan keuangan negara yang menghimpun dana
ke kas negara untuk membiayai pengeluaran negara atau pembangunan nasional.
Jadi, fungsi pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara, yang bertujuan agar
posisi anggaran pendapatan dan pengeluaran mengalami keseimbangan (balance
budget).
2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Fungsi mengatur (regulered)
tersebut antara lain:

4
1). memberikan proteksi terhadap barang produksi dalam negeri
2). pajak dapat dipakai untuk menghambat laju inflasi;
3). pajak dipakai sebagai alat untuk mendorong ekspor
4). untuk menarik dan mengatur investasi modal yang dapat menunjang
perekonomian yang produktif.
3. Fungsi Pemerataan (Fungsi Distribusi)
Pajak mempunyai fungsi pemerataan artinya dapat digunakan untuk
menyeimbangkan dan menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan
kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pajak berfungsi untuk pemerataan
pendapatan masyarakat, sebagaimana yang tercantum dalam Trilogi
Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
4. Fungsi Stabilisasi
Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan keadaan ekonomi, misalnya dengan
menetapkan pajak yang tinggi, pemerintah dapat mengatasi inflasi, karena
jumlah uang yang beredar dapat dikurangi. Dan, untuk mengatasi deflasi atau
kelesuan ekonomi, pemerintah dapat menurunkan pajak . Dengan menurunkan
pajak, jumlah uang yang beredar dapat ditambah sehingga kelesuan ekonomi
yang di antaranya ditandai dengan sulitnya pengusaha memperoleh modal dapat
diatasi. Dengan demikian, perekonomian diharapkan senantiasa dalam keadaan
stabil.

1.4 PERBEDAAN PAJAK DENGAN PUNGUTAN LAINNYA


Selain melakukan pungutan berupa pajak, pemerintah juga melakukan
pungutan selain pajak, di antaranya sebagai berikut:
1. Retribusi
Retribusi adalah iuran rakyat yang disetorkan melalui kas negara atas dasar
pembangunan tertentu dari jasa atau barang milik negara yang digunakan oleh
orang-orang tertentu. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1). retribusi tidak ada unsur paksaan,
2). ikatan pembayaran tergantung pada kemauan si pembayar,
3). tidak selalu menggunakan sarana undang-undang.

5
Jadi, retribusi pada umumnya berhubungan dengan imbalan jasa secara langsung.
Contoh: pembayaran listrik, pembayaran abonemen air minum, dan sebagainya.
2. Cukai
Cukai adalah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu, seperti minyak
tanah, bensin, minuman keras, rokok, atau tembakau.
3. Bea masuk
Bea masuk adalah bea yang dikenakan terhadap barangbarang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean Indonesia dengan maksud untuk dikonsumsi di dalam
negeri. Sementara itu, bea keluar adalah bea yang dikenakan atas barang-barang
yang akan dikeluarkan dari wilayah pabean Indonesia dengan maksud barang
tersebut akan diekspor ke luar negeri.
4. Sumbangan
Sumbangan adalah iuran orang-orang atau golongan orang tertentu yang harus
diberikan kepada negara untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran negara yang
sifatnya tidak memberikan prestasi kepada umum, dan pengeluarannya tidak
dapat diambil dari kas negara. Pada mulanya sumbangan bersifat insidentil dan
sukarela, jumlah sumbangan juga tidak mengikat dan tidak harus berupa uang
tetapi dapat berupa barang. Namun selanjutnya, sumbangan bersifat rutin atau
wajib yang berupa uang dengan jumlah tertentu yang ditetapkan, misalnya: pajak
kendaraan bermotor.

Perbedaan Pajak dan Retribusi

1. Pajak berasal dari dasar hukum undang-undang sedangkan pungutan resmi


lainnya berasal dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau pejabat
negara yang lebih rendah.
2. Balas jasa pada pajak bersifat tidak langsung sedangkan pada pungutan
lainnya bersifat langsung dan nyata kepada individu tersebut.
3. Pungutan pajak berlaku untuk umum seperti penghasilan, kekayaan, laba
perusahaan dan kendaraan, sedangkan pungutan resmi lainnya hanya
ditujukan untuk orang-orang tertentu yang menggunakan jasa pemerintah.

6
4. Pajak bersifat dapat dipaksakan (menurut UU). Jadi, wajib dibayar. Jika tidak,
maka akan mendapatkan sanksi, sedangkan pungutan resmi lainnya dapat
dipaksakan juga, akan tetapi paksaannya bersifat ekonomis yang hanya
berlaku kepada orang-orang yang menggunakan jasa pemerintah.
5. Lembaga pemungut pajak adalah pemerintah pusat maupun daerah (negara),
sedangkan lembaga pemungut resmi lainnya hanya pemerintah daerah.
6. Pajak bertujuan untuk kesejahteraan umum, sedangkan pungutan resmi
lainnya bertujuan untuk kesejahteraan individu tersebut yang menggunakan
jasa pemerintah.

1.5 SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, terlebih
dahulu harus memenuhi syarat – syarat pemungutan pajak, sebagai berikut :
1). Syarat Pemungutan Pajak harus Adil (Syarat Pajak Keadilan).
Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, maka dalam undang-
undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-
undangan yaitu mengenakan pajak secara umum dan merata, hal ini
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaan yaitu dengan memberikan hak bagi si wajib pajak untuk
mengajukan keberatan pembayaran, penundaan pembayaran dan mengajukan
banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2). Syarat Pemungutan Pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Pajak
Yuridis). Syarat pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang,
oleh karenanya di Indonesia dimuar dalam UUD 1945. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik itu bagi negara maupun
warga negara.Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan
pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU
tentang pajak, yaitu:
- Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU
tersebut harus dijamin kelancarannya

7
- Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan
secara umum
- Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
3). Syarat Pemungutan Pajak tidak Menggangu Perekonomian (Syarat Pajak
Ekonomis).
Salah satu syarat pemungutan pajak ialah tidak boleh mengganggu kelancaran
kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian masyarakat.
4). Syarat Pemungutan Pajak harus Efisien (Syarat Pajak Finansial).
Syarat pemungutan pajak salah satunya yaitu harus efisien sesuai dengan
fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima
lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu,
sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
5). Syarat Pemungutan Pajak sistemnya harus sederhana.
Salah satu dari Syarat pemungutan pajak yaitu sistem pemungutannya harus
sederhana, sehingga memudahkan dan mendorong masyarakan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat pemungutan pajak ini dipenuhi
oleh undang-undang perpajakan yang baru.

1.6 TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK


Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak? Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara
untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak diibaratkan sebagai seuatu premi asuransi
karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

8
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan (Misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pajak yang harus dibayarkan.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar
sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul
dapat digunakan 2 pendekatan yaitu:
- Unsur objektif yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan
yang dimiliki oleh seseorang.
- Unsur subjektif yaitu memperlihatkan besarnya kebutuhan materil harus
dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari
bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut
pajak berarti menarik daya beli dan rumah tangga mayarakat untuk rumah
tanggan negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
Contoh:
Tuan Andi memiliki penghasilan Rp 10 juta/bulan, yang sudah menikah dan
memiliki 3 anak. Sedangkan, Tuan Berdi memiliki penghasilan Rp 10 juta/bulan
belum menikah dan belum mempunyai anak.Secara objektif PPh untuk tuan Andi
sama besarnya dengan tuan Berdi, karena mempunyai penghasilan yang sama
besarnya.Secara subjektif PPh untuk tuan Andi lebih kecil daripada tuan Berdi,
karena kebutuhan materiil yang harus dipenuhi tuan Andi lebih besar.

9
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi. Menurut teori ini,negara mempunyai tugas untuk melindungi
warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun
keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya
seperti layaknya dalam perjanjianasuransi diperlukan adanya pembayaran premi.
Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori
ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan
asuransi.
2. Teori kepentingan.Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya
kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam
perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan,
maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak
ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan
orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial,
kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban
pajak.

1.7 KEDUDUKAN HUKUM PAJAK


Kedudukan Hukum Pajak
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum publik ini dibagi menjadi 4 yaitu:
a) Hukum Tata Negara
b) Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara)
c) Hukum Pajak
d) Hukum Pidana

Prof.P.J.A Adriani menyatakan hahwa Hukum Pajak merupakan ilmu pengetahuan


Sendiri yang terlepas dari Hukum Administrasi Negara dengan alasan:

10
a) Tugas Hukum Pajak bersifat berbeda dengan Hukum Administrasi
Negara;
b) Hukum Pajak berkaitan erat dengan Hukum Perdata;
c) Hukum Pajak dapat secara langsung digunakan sebagai politik
perekonomian;
d) Hukum Pajak memiliki ketentuan dan istilah-istilah yang khas untuk
bidang tugasnya

1.8 HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL


Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut
pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain
keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa
yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala
sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara
pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
a. Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang
Undang Nomor : 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan,
b. Undang Undang Nomor : 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang
Undang Nomor : 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
c. Undang Undang Nomor : 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan
Undang Undang Nomor : 12 Tahun 2000 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan,
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum
materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini
memuat antara lain:
a) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b) Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

11
c) Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan
keberatan atau banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Contohnya :UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana Diubah Terakhir Dengan UU
Nomor 28 Tahun 2007Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

1.9 KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK


1. Kewajiban Wajib Pajak
a) Mendaftar
b) Menghitung
c) Memotong
d) Memungut
e) Setor
f) Lapor
g) Pembukuan dll.
2. Hak Wajib Pajak
a) Mencabut pendaftaran
b) Menunda penyampaian SPT
c) Membetulkan SPT
d) Menunda penyetoran
e) Mengajukan restitusi
f) Pengajuan keberatan dan banding serta peninjauan kembali dll.

1.10 PENGELOMPOKAN PAJAK


Berbagai macam pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu :.
1. Pengelompokan pajak menurut golongannya.
Pajak ditinjau dari golongannya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu :
a) Pajak Langsung (Direct Tax). Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan
secara berkala pada wajib pajak berdasarkan surat ketetapan pajak (kohir)

12
yang dibuat oleh kantor pajak. Pada intinya, surat ketetapan pajak (kohir)
memuat berapa besar pajak yang harus dibayar wajib pajak. Pajak langsung
harus dipikul sendiri oleh si wajib pajak, sebab pajak ini tidak bisa dialihkan
kepada pihak lain, berbeda dengan pajak tidak langsung yang bebannya bisa
dialihkan kepada pihak lain. Contoh pajak langsung yaitu pajak penghasilan
dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
b) Pajak Tidak Langsung (Indirect Tax). Pajak tidak langsung adalah pajak
yang dikenakan pada wajib pajak hanya jika wajib pajak melakukan
perbuatan atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, pajak tidak langsung tidak
bisa dipungut secara berkala, pajak hanya bisa dipungut jika terjadi perbuatan
atau peristiwa tertentu yang menimbulkan kewajiban membayar pajak.
Contoh pajak tidak langsung yaitu, pajak penjualan atas barang mewah.
Pajak ini hanya bisa dikenakan, jika ada wajib pajak yang melakukan
penjualan barang mewah dan pajak pertambahan nilai.

2. Pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutannya


a) Pajak negara (pusat). Pajak negara adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat melalui aparatnya, yaitu Dirjen Pajak, Kantor Inspeksi
Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia, maupun Dirjen Bea dan Cukai.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan, dan Bea Meterai.
b) Pajak daerah (lokal). Pajak daerah (lokal) adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah dan terbatas pada rakyat daerah itu sendiri, baik yang
dilakukan oleh Pemda Tingkat I maupun Pemda Tingkat II. pajak Propinsi
seperti pajak kendaraan bermotor, dan pajak Kabupaten/Kota seperti pajak
restoran, pajak hotel dll.

3. Pengelompokan pajak menurut sifatnya

13
a. Pajak subjektif. Pajak subjektif adalah pajak yang pemungutannya berdasar
atas subjeknya (orangnya), di mana keadaan diri pajak dapat memengaruhi
jumlah yang harus dibayar. Contoh: pajak penghasilan (PPh)
b. Pajak objektif. Pajak objektif adalah pajak yang pemungutannya berdasar
atas objeknya. pajak yang berpangkal dan menitikberatkan pada obyeknya
dan lebih tidak memperhatikan subyeknya. Contoh Pajak Bumi dan
Bangunan, PPN, pajak kendaraan bermotor, dan sebagainya.

1.11 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


Berbicara mengenai tata cara pemungutan pajak, maka akan kita bahas secara
sederhana. Dalam tata cara pemungutan pajak harus diperhatikan tiga garis besar,
yaitu:
1. Stelsel Pajak.
Tata cara pemungutan pajak yaitu dapat dilakukan berdasarkan pada 3 stelsel
pajak:
a) Stelsel pajak nyata. Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan
yang nyata), sehingga pemungutan pajak baru dapat dilakukan pada akhir
tahun pajak, yaitu setelah diketahui penghasilan yang sesungguhnya. Stelsel
nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kebaikan stelsel nyata ini ialah
pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahan stelsel pajak ini
adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan
sesungguhnya telah diketahui).
b) Stelsel pajak anggapan. Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu
anggapan yang diatur oleh undang-undang. Contohnya, penghasilan suatu
tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada waktu awal
tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun
pajak berjalan. Kebaikan stelsel pajak anggapan ialah pajak dapat dibayar
selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahan stelsel
pajak anggapan adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan
yang sesungguhnya.

14
c) Stelsel pajak campuran. Pengenaan pajak campuran ini merupakan
kombinasi antara stelsel pajak nyata dengan stelsel pajak anggapan. Pada
awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun bersarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya. Jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada
pajak menurut anggapan, maka si wajib pajak harus menambah. Sebaliknya,
jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

2. Asas Pemungutan Pajak.


a. Asas pajak domisili (asas tempat tinggal). Dalam tata cara pemungutan pajak
harus memperhatikan asas domisili (asas tempat tinggal). Negara memiliki
kewenangan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik itu penghasilan yang berasal dari
dalam maupun luar negeri. Asas pajak domisli berlaku untuk wajib pajak
dalam negeri.
b. Asas pajak sumber. Dalam tata cara pemungutan pajak harus memperhatikan
sumber pajaknya berasal. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib
pajak.
c. Asas pajak kebangsaan. Dalam tata cara pemungutan pajak harus
dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

3. Sistem Pemungutan Pajak


a. Official Assessment System. Pengertian Official Assessment system adalah
suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Fiskus
adalah perbendaharaan pajak. Ciri-cirinya adalah:
- wewenang untuk menentukan berapa besar pajak terutang yang ada
pada fiskus.
- wajib pajak bersifat pasif.

15
- utang pajak akan timbul pada saat dikeluarkannya surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
b. Self Assessment System. Pengertian Self Assessment System adalah sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah:
- wewengan untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri.
- dalam hal ini wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
- fiskus tidak ikut campur, akan tetapi hanya mengawasi.
c. With Holding System. Pengertian With Holding System adalah sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan
fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya adalah:
wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga,
pihak selain fiskus dan wajib pajak.
Dalam tata cara pemungutan pajak, pemungutan pajak dilarang diborongkan.
Setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak
atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan perundang-undanga
perpajakan. Wajibpajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak
Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan/atau
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).

1.12 TIMBUL DAN HAPUSNYA HUTANG PAJAK


1. Timbulnya Utang Pajak.
Utang Pajak adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh masyarakat
(khususnya Wajib Pajak) akibat adanya keadaan, perbuatan, atau peristiwa,
yang harus dilunasi dengan mekanisme yang berlaku dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan. Pengertian hutang pajak ini diatur di beberapa peraturan

16
perundang – undangan, seperti Undang – undang Nomor 19 tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Menurut Pasal 1 point 8 Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa tersebut, yang dimaksud dengan “Utang
Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksiadminisirasi
berupa bunga. denda atau kenaikan yang tercantum dalam SuratKetetapan
Pajak aiau surat sejenisnya berdasarkan peraturan
perundangundanganperpajakan. (Undang-Undang Pajak Tahun 2000, 2001:2
12).
Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang
mendasarmya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran
perpajakan), yang terdiri dari: keadaan-keadaantertentu, peristiwa, dan atau
perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti
pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan,
dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan
walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-
perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu
sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban
masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang – undang.
Dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat, antara lain :
a) Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus;
b) Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;
c) Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi;
d) Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Pada umumnya yangberhutang pajak ini terdiri dan seseorang tertentu,


namun dapat pula ditentukan dalam undang-undang pajak bahwa disamping
orang-orang tertentu ini, ada orang (pihak) lain yang ditunjuk untuk turut
bertanggung-jawab atas pelunasan hutang pajak ini. Penunjukan pihak lain ini
didasarkan atas pertimbangan-pentimbangan sebagai berikut:

17
a) Agar fiskus mendapat jaminan yang lebih kuat bahwa utang pajak
tersebut dapat dilunasi tepat pada waktunva.
b) Orang yang sebenarnva herhutang sukar didapat oleh fiskus. tetapi orang
yang ditunjuk diharapkan dapat dengan mudah ditemui.
Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang mengatur
tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:
a) Ajaran Formil, yaitu hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official
Assessment System. Contohnya : hutang pajak si A baru akan timbul
sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak
mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika
fiskus belum menerbitkan SKP nya.
b) Ajaran Materiil, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya undang –
undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan.
Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System. Contohnya : syarat
timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut Undang –
Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Manfaat Mengetahui Saat Timbulnya Hutang Pajak


Timbulnya hutang pajak mempunyai peranan yang sangat penting bagi negara,
dalam hal berikut :
a). Pembayaran atau Penagihan Pajak. Undang – undang biasanya
menentukan jangka waktu setelah saat terutang pajak untuk pelunasan
hutang pajaknya. Jika hutang pajak pada saat jatuh tempo tetapi belum
dibayar maka akan dilakukan penagihan oleh kantor pelayanan pajak
setempat dan untuk pembayaran dengan terlambat, maka akan dikenai
sanksi administrative berupa denda karena keterlambatannya membayar
pajak.
b). Memasukkan Surat Keberatan. Surat keberatan hanya dapat
dimasukkan dalam jangka waktu tiga bulan setelah diterimanya surat

18
ketetapan pajak atau surat terutangnya pajak menurut ajaran formal,
lebih dari tiga bulan pengajuan surat keberatan dianggap daluarsa.
c). Penentuan Daluarsa. Daluarsa dalam pajak dihitung lima tahun sejak
terutangnya pajak. Ada yang dihitung sejak awal tahun dan ada pula
yang dihitung sejak akhir tahun. Tergantung pada sistem pungutan di
muka atau sistem pemungutan di belakang.
d). Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak
Tambahan. Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak
Tambahan hanya dapat diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun
sejak terutang pajaknya.

3. Hapusnya Hutang Pajak


Selain hutang pajak itu dapat timbul, hutang pajak pun dapat berakhir atau
hapus. Hapusnya utang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a) Pembayaran. Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan hapus
karenapembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak (wajib pajak telah
membayar) ke Kas Negara.
b) Kompensasi. Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi hutang pajak
dengan tagihan seseorang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena
itu kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa
kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang
diterima Wajib Pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-
pajak lainnya yang terutang.
c) Daluarsa. Dalam penghapusan hutang pajak ini, daluarsa diartikan
sebagai daluwarsa penagihan. Daluwarsa atau lewat waktu ialah sebagai
salah satu sebab berakhirnya utang pajak dan hapusnya perikatan (hak
untuk menagih atau kewajiban untuk membayar hutang) karena
lampaunya jangka waktu tetentu, yang ditetapkan dalam unthng-undang.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, daluarsa setelah lampau waktu
sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhimya
masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal

19
ini untuk memberikan kepastian hukum kapan hutang pajak dapat ditagih
lagi. Namun daluarsa penagihan pajak tertangguh, antara lain; apabila
diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
d) Pembebasan. Hutang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya
tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap
pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.
e) Penghapusan. Penghapusan hutang pajak ini sama sifatnya dengan
pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan Wajib Pajak misalnya
keadaan keuangan Wajib Pajak (Waluyo dan Wirawan, 1999:10).

1.13 HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK


Hambatan-hambatan pemungutan pajak ada dua yaitu :
1. Perlawanan pasif. Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu
sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu.
Hambatan-hambatan tersebut berasal dari struktur ekonomi, perkembangan
moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
a). Struktur Ekonomi. Contoh: Pajak penghasilan yang diterapkan pada
masyarakat agraris. Padahal pajak ini diperuntukkan untuk masyarakat
di negara industri. Dalam pajak ini, wajib pajak dituntut untuk
menghitung sendiri pendapatan nettonya. Untuk itu diperlukan adanya
pembukuan. Namun, menghitung pendapatan netto akan sangat sulit
dilakukan oleh masyarakat agraris. Selain karena pencatatan pendapatan
yang akurat sulit dilakukan, mereka juga tidak mampu melakukan
pembukuan. Karena itu, timbullah perlawanan pasif terhadap pajak.
Untuk menghindari hal ini, pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah
bulat atas dasar pendapatan kadastral/nilai sewa, ataupun atas dasar
luasnya tanah yang dikerjakan.Di negara berkembang, biasanya negara
agraris menghubungkan besarnya penghasilan netto dengan luas
kepemilikan atas tanah dan dihubungkan dengan tingkat kesuburan
tanah. Indonesia mengambil jalan keluar untuk masyarakat kecil yang
tidak bisa melakukan pembukuan dengan menggunakan norma

20
perhitungan. Norma perhitungan dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Wajib pajak tinggal menghitung berapa omsetnya dikalikan dengan
norma perhitungannya.
b). Perkembangan Intelektual dan Moral Penduduk. Perlawanan pasif yang
timbul dari lkemahnya sistem kontrol yang dilakukan oleh fiscus
ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk dikontrol.Contoh:
Pajak kepemilikan permata yang diterapkan di Belgia. Permata adalah
benda yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya. Sehingga bisa saja
pemilik permata menyembunyikan permata ini agar terhindar dari
pengenaan pajak.
c). Cara Hidup Masyarakat di Suatu Negara. Contoh: masyarakat yang
hidup di daerh tropis yang hanya memiliki dua musim sehingga
memungkinkan mereka bekerja sepanjang tahun. Hal ini bisa
mengakibatkan mereka bekerja lebih santai dan hasilnya tidak optimal.
Pendapatan mereka lebih sedikit sehingga penerimaan negara pun
kurang. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis
yang memiliki empat musim. Sebelum teknologi berkembang, mereka
tidak bisa bekerja di musim dingin. Karena itu, mereka harus bekerja
keras di musim yang lainnya agar kebutuhan di musim dingin bisa
terpenuhi. Hasilnya, mereka bisa menghasilhan pendapatan yang lebih
banyak sehingga uang yang masuk ke kas negara pun lebih banyak.
d). Teknik Pemungutan Pajak Itu Sendiri. Contoh: untuk pajak yang cara
perhitungannya rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit
pula, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya
perlawanan pasif terhadap pajak. Jadi, setiap tahun, peugas pajak
melakukan penyuluhan dari kantor perpajakan mulai dari pusat sampai
ke daerah.Perlawanan pasif sangat kuat dirasakan oleh pajak langsung
dari pada pajak tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh karena cara
perhitungan pajak tidak langsung lebih sederhana dari pajak langsung.
Di negara berkembang, pajak tidak langsung lebih besar dari pajak
langsung. Sedangkan di negara maju, pemasukan negara dari pajak

21
langsung lebih besar dari pada pemsukan negara dari pajak tidak
langsung. Pajak tidak langsung hanya merupakan pelengkap dari pajak
langsung. Namun, dari pajak tidak langsung ada masalah ketidakadilan.
Sebagai contoh, cukai tembakau yang dikenakan pada orang yang
merokok. Jika ada konglomerat dan tukang becak yang merokok,
mereka akan dikenakan cukai tembakau yang sama besarnya walaupun
mereka memiliki kemampuan ekonomi yang jauh berbeda.

2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak
itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau
mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar.Ada 3 cara perlawanan
aktif terhadap pajak, yaitu: Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Pengelakan
Pajak (Tax Evation), Melalaikan Pajak.
a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Penghindaran pajak terjadi sebelum
SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas
melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas
menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pembuat undang-undang.Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara,
yaitu:
- Menahan Diri. Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib
pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh:Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau, tidak
menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar
dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.
- Pindah Lokasi. Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi
yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
Contoh:Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi

22
tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus
memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta
fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai
dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak
yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi
hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan
yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di
tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
- Penghindaran Pajak Secara Yuridis. Perbuatan dengan cara
sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak
terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan
kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang
memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.
Contoh:Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di
Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak khusus untuk
tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan
pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka
mengubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa
khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan
demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa
umum.Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda,
pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan
khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan
tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di
koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis.
Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut.
Pemilik bioskop menghindari pengenaan pajak ini dengan cara
mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk
wartawan.Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in
natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara:

23
perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran
tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan
yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras.
b. Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri
dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara
menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap
negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational
corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional)
dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari
dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri,
dll).Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau
pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem
penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah
disuap). Beberapa wajib pajak yang mempunyai kecenderungan
melakukan pengelakan pajak adalah:
a). Wajib Pajak Besar. Wajib pajak besar memiliki kecenderungan
untuk melakukan penghindaran pajak (Tax Avoidance). Karena:
- Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim
lawyer yang tangguh yang mampu mencari celah dalam
undang-undang pajak.
- Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko
terjadinya kebocoran juga besar.
- Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak,
mereka harus memperkecil keuntungannya di mata publik.
Perusahaan yang labanya kecil, performancenya akan
turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini
mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya.
Sehingga mereka akan kehilangan relasi yang

24
mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan
pengurangan tarif pajak.
b). Wajib Pajak Kecil. Wajib pajak kecil cenderung melakukan
pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:
- Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-
undang pajak.
- Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan
sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh
fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
- Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus
karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak
mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut
dianggap sebagai konsumsi.
c. Melalaikan Pajak. Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar.
Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan
dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh
wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan.
- Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus
membayar pajak sesuai dengan SKP tersebut.
- Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan
mengirim surat teguran.
- Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa
yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang
berlaku.
- Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka
diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk
melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu.
Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan
cara kasar dan cara halus.Cara kasar: yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing
herder untuk mengusir juru sita tersebut. Ataupun mengancam dengan golok.Cara
halus: yaitu dengan cara mengalihkan/memindahtangankan semua harta wajib pajak

25
ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta
yang tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak
bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan
minum ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang
yang berutang, baik utang publik maupun perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran
dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena
posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak termasuk utang publik.
Karena itu wajib pajak yang membayar pajak akan disandera.

1.14 TARIF PAJAK


Tarif Pajak Di Indonesia, penentuan besar kecilnya tarif pajak ditetapkan
dalam undang-undang. Karena berbentuk undang-undang, maka dalam menentukan
besar kecilnya tarif pajak dan segala hal tentang perpajakan pemerintah harus
membahasnya dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama. Dengan adanya
DPR sebagai wakil rakyat, diharapkan tarif pajak yang ditetapkan tidak memberatkan
rakyat dan sekaligus dapat ikut menunjang pendapatan negara.
Tarif pajak adalah dasar pembebanan besarnya pajak yang harus dibayar wajib
pajak, yang umumnya dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Berikut ini adalah
macam-macam tarif pajak:
a). Tarif Tetap. Tarif Tetap yaitu tarif pajak yang ditetapkan dalam nilai
rupiah tertentu yang jumlahnya tetap (tidak berubah). Contoh: pajak
meterai atau bea meterai yang tarifnya tetap, yaitu sebesar Rp3.000,- dan
Rp6.000,-.
b). Tarif Proporsional. Tarif Proporsional yaitu tarif pajak yang
menggunakan persentase tetap terhadap berapa pun jumlah objek pajak
sehingga jika dihitung, besarnya pajak akan proporsional (sebanding)
dengan besarnya jumlah objek pajak. Contoh: tarif PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) adalah sebesar 0,5% dari berapa pun jumlah objek pajak dan
tarif PPN yaitu 10 %.

26
c). Tarif Progresif. Tarif Progresif yaitu tarif pajak yang persentasenya
semakin meningkat jika jumlah objek pajak semakin bertambah. Contoh:
Tarif pajak penghasilan yang ditentukan sebagai berikut:
- Penghasilan 0 - Rp25.000.000,- tarifnya 5%.
- Penghasilan di atas Rp25.000.000,- - Rp50.000.000,- tarifnya
10%.
- Penghasilan di atas Rp50.000.000,- - Rp100.000.000,- tarifnya
15%, dan seterusnya.
d). Tarif Regresif/Degresif. Tarif Regresif/Degresif yaitu tarif pajak yang
persentasenya justru semakin menurun jika jumlah objek pajak semakin
bertambah. Contoh:
- Jumlah objek pajak 0 - Rp25.000.000,- tarifnya 15%.
- Jumlah objek pajak di atas Rp25.000.000,- - Rp50.000.000,-
tarifnya 12,5%.
- Jumlah objek pajak di atas Rp50.000.000,- - Rp100.000.000,-
tarifnya 10%, dan seterusnya.

1.15 LATIHAN SOAL


1. Apa yang dimaksud dengan pajak?
2. Sebutkan unsur pajak!
3. Sebutkan fungsi pajak!
4. Sebutkan perbedaan pajak dengan pungutan lainnya!
5. Sebutkan syarat pemungutan pajak!
6. Sebutkan teori-teori yang mendukung pemungutan pajak!
7. Sebutkan kedudukan hukum pajak!
8. Sebutkan hukum pajak meteriil dan hukum pajak formil!
9. Sebutkan pengelompokan pajak!
10. Sebutkan tatacara pemungutan pajak!
11. Sebutkan timbul dan hapusnya hutang pajak!
12. Sebutkan hambatan pemungutan pajak!
13. Sebutkan jenis-jenis tarif pajak!

27
BAB 2
KETENTUAN UMUM
PERPAJAKAN

U ndang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dilandasi


filsafah pancasila dan undang-undang dasar 1945, yang didalamnya tertuang
ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.

Tujuan pembelajaran
Setelah mempelajari buku ini, diharapkan pembaca memiliki kemampuan yang baik dalam:
1. Istilah-istilah dalam KUP
2. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak
3. Sanksi-sanksi perpajakan dalam KUP
4. Pemungutan dan potongan pajak tertentu sebagai wajib pajak.
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
6. Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
7. Surat Pemberitahuan (SPT)
8. Surat Setoran Pajak (SSP) Dan Pembayaran Pajak
9. Surat Tagihan Pajak (STP)
10. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
11. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
12. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
13. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
14. Pencatatan Dan Pembukuan
15. Tahun Pajak

28
2.1. ISTILAH-ISTILAH DALAM KUP
Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dijumpai
pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku. Pengertian-pengertian atau
istilah-istilah antara lain:
1. Wajib Pajak (MP) adalah pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak
tertentu.
2. Badan adalah sekumpulan orang yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuj apapun, firma
koperasi, dana pension, perkumpulan, yayasan, organisasi, massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga. Bentuk
usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan paling lama tiga bulan.
4. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama.
5. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
6. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat.
Dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
7. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
8. Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak sesuai dengan UU No. 19 Tahun 1997 tentang penagihan

29
pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19
Tahun 2000.

2.2. KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK


1) Kewajiban Wajib Pajak
a. mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP
b. Menghitung sendiri dan membayar kewajiban pajak dengan benar
c. Mengisi dengan benar SPT dan memasukkan ke kantor pelayanan
pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan
d. Menyelanggarakan pembukuan /pencatatatn
e. jika diperiksa wajib:
1) Memperlihatkan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak
2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaaan
3) Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan
ataupun dokumen serta keterangan yang diminta. Wajib pajak
terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh pemerintah
untuk keperluan pemeriksaaan

2) Hak-hak wajib Pajak


a. mengajukan surat keberatan dan surat banding
b. menerima tanda bukti pemasukan SPT
c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan
d. Mengajukan permohonan penundaaan pemasukkan SPT
e. Mengajukan permohonan penundaaan atau pengangsuran pembayaran
Pajak

30
f. Mengajukan permohonan perhitungan Pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan Pajak
g. Meminta kembalian kelebihan pembayaran Pajak
h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pemgurangan sanksi, serta
pembetualan surat ketetapan Pajak yang salah
i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban Pajaknya
j. Apabila wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, wajib Pajak berhak
untuk meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong Pajak,
mengajukan surat keberatan dan permohonan Pajak

2.3. SANKSI-SANKSI PERPAJAKAN DALAM KUP


Sanksi-sanksi di bidang perpajakan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan umum
dan tata cara perpajakan (KUP) dapat berupa:
1. Sanksi administrasi, terdiri atas:
a. sanksi administrasi berupa bunga, yang dihitung dalam bentuk persentase
tertentu pada umumnya sebesar 2%
b. sanksi administrasi berupa denda, yang dihitung dalam bentuk jumlah
uangnya atau dalam persentase
c. sanksi administrasi berupa kenaikan, yang terhitung dalam bentuk
persentase yang besarnya 50% atau lebih
2. Sanksi pidana, yang dikenakan beberapa hal antara lain:
a. alpa, yaitu dikarenakan tidak menyampaikan SPT
b. sengaja, yaitu dikarenakan tidak mendaftarkan diri atau tidak
menyampaikan SPT dan sebagainya
c. pengulangan, yaitu dikarenakan jika seseorang melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun sudah mengulanginya lagi
d. percobaan, yaitu dikarenakan melakukan percobaan untuk melakukan
tindak pidana penyalahgunaan di bidang perpajakan

31
2.4. PEMUNGUTAN DAN POTONGAN PAJAK TERTENTU SEBAGAI WAJIB
PAJAK
Wajib pajak yang juga termasuk pemungut dan pemotong pajak tertentu
berkewajiban untuk melakukan penungutan atau pemotongan pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.Beberapa Undang-undang yang
menjelaskan hal tersebut, antara lain:
1. Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah dengan
UU No. 11 Tahun 1994 pasal 1
2. Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yang telah diubah dengan Undang
Nomor 10 Tahun 1994 pada Pasal 22 ayat (1)
3. Keppres No. 56 Tahun 1988, antara lain mengatur:
4. Keppres No. 16 Tahun 1994 atau No. 24 tahun 1995 pasal 2 ayat2

Wajib pajak yang juga termasuk pemungut dan pemotong pajak tertentu
menurut UU diatas antara lain:
- KPN
- Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah (TK I + TK II)
- Pertamina
- Kontraktor bagi hasil dan kontrak karya di bidang minyak dan gas bumi
- Pertambangan umum lainnya
- BUMN dan BUMD
- Bank Pemerintah dan BPD

2.5. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)


Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Adapun fungsi
Nomor Pokok Wajib Pajak yaitu Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dan untuk menjaga ketertiban dalam membayar pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Nomor Pokok Wajib Pajak harus ditulis dalam setiap
dokumen perpajakan, antara lain pada formulir pajak yang diperlukan wajib pajak,

32
surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan, dalam hubungan dengan instansi
tertentu yang mewajibkan mengisi NPWP.

1. Pendaftaran NPWP
Semua wajib pajak berdasarkan system Self Assesment wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jendral Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak untuk dicatat
sebagai wajib pajak sekaligus mendapat NPWP. Kewajiban mendaftarkan ini
berlaku pula untuk wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena
hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisah penghasilan dan harta.Apabila berdasarkan
data yang diperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan
dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak NPWP secara
jabatan. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi
jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan
kewajiban mengenakan pajak terutang jangka waktu pendaftaran NPWP
adalah:
- Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dan wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri
paling lambat satu bulan setelah usahanya mulai dijalankan.
- Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau
pekerjaan bebas apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh
penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun, wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan
NPWP akan dikenakan sanksi perpajakan. Bagi mereka yang dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau tanpa hak NPWP sehingga
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.

33
2. Penghapusan NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dihapus, antara lain karena:
1. Wajib pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan;
2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
3. Warisan yang telah selesai dibagi;
4. Wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang telah kehilangan setatusnya sebagai
bentuk usaha tetap;
6. Wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud diatas yang
tidak memenuhi syarat sebagai wajib pajak.

3. Format NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama
merupakan kode wajib pajak dan6 digit berikutnya merupakan kode
administrasi perpajakan. Formatnya adalah sebagai berikut: XX. XXX. XXX.
X. XXX. XXX
- Wajib pajak yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan
NPWP, dapat mendaftar diri dan kepadanya akan diberikan NPWP.
- Setiap wajib pajak hanya mempunyai satu NPWP untuk semua jenis pajak.
- Untuk perusahaan perseorangan, NPWP atas nama pemiliknya.
- Untuk badan (misalnya PT) yang baru berdiri sebaiknya tetap mempunyai
NPWP karena apabila rugi dapat dikompensasi dengan tahun berikutnya.

2.6 NOMOR PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (NPPKP)


Setiap pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jendral
Perpajakan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Terhadap
pengusaha yang telah memenuhi syarat PKP tetap tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP akan dikenakan sanksi perpajakan. Adapun fungsi dari
NPPKP adalah sebagai berikut:

34
a. Untuk mengetahui identitas PKP yang sebenarnya.
b. Untuk memenuhi pemenuhan kewajiban pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang meah.
c. Untuk pengawasan administrasi perpajakan.

1. Pelaporan atau Pengukuhan PKP


Bagi pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pad
kantor Direktorat Jendral pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
penhusaha dan tempat kegiatan usha dilakukan. Sedangkan bagi pengusaha
badan pada kantor Direktorat Jedral Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal penhusaha dan tempat kegiatan usha dilakukan. Jika pengusaha
orang pribadi atau badanmempunyai tempat kegiatan usaha diwilayah beberapa
kantor Direktorat Jedral Pajak, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP baik dikantor Direktorat Jedral Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan usaha pengusaha maupun
dikantor Direktorat Jedral Pajak pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal penhusaha dan tempat kegiatan usha dilakukan.

Apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat


Jedral Pajak pengusaha telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagaiPKP
tetapi tidak melaporkan usahanya, dapat diterbitkan NPPKP secara jabatan.
Kewajiban melaporkan untuk dikukuhkan menjadi PKP dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saaat pajak terutang adalah
selambat-lambatnya satu bulan setelah usaha dimulai.

2. Sanksi
Bagi mereka yang dengan sengaja tidak mendftarkan, atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPPKP sehingga
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana
penjara selama-lamanya enam tahun denda setinggi-tingginya empat kali
jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar. Mulai 1998 Nomor

35
Pengukuhan Kena Pajak sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak, sehingga
format NPPKP juga dari 15 digit.

2.7 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)


Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun fungsi SPTadalah:
a. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Penghasilan:
- Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
- Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau
pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun
pajak.
- Untuk melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungutan
tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan
dalam satu masa pajak, yang ditentukan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
b. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak
- Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang sebenarnya terutnag.
- Untuk melaporkan perkriditan Pajak masukan terhadap pajak keluaran.
- Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dialksanakan oleh pengusaha kena pajak dan atau pihak lain dalam
satu masa pajak, yang telh ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
c. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

36
1. Prosedur Pengisian dan Penyetoran SPT
Adapun prosedur pengisian dan penyetoran SPT adalah sebagai berikut:
a. Datang sendiri ke KPP mengambil berkas SPT.
b. Mengisi SPT sesuai ketentuan yang berlaku kemudian menyerahkan kembali
ke KPP dalam batas yang sudah ditentukan.
c. Jika terjadi kekeliruan, maka wajib pajak dapat membetulkan sendiri dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat
terutangnya pajak atau berakhir masa pajak, dengan syarat:
- Direktur Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan dan pembetulan
tersebut menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar, maka
dikenakan sanksi 2% sebulan.
- Walaupum sudah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan
penyidikan, wajib pajak dapat mengungkapkan ketidak benaran
pengisian SPT.
2. Hal-hal yang Harus Tercantum Dalam SPT
a. Jumlah pajak yang sebenarnya terutang menurut perhitungan yang benar.
b. Jumlah pembayaran pajak yang telah dibayar sendiri oleh wajib pajak
maupun dipotong melalui pihak lain.
c. Jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangan dan jumlah pajak
yang lebih dibayar.

3. Jenis-Jenis SPT
a. SPT Masa adalah SPT yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan
perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu masa pajak (suatu
saat tertentu).
b. SPT Tahunan adlah SPT yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan
perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu tahun pajak.

2.8 SURAT SETORAN PAJAK (SSP) DAN PEMBAYARAN PAJAK


Surat Setoran Pjak adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos

37
dan atau bank Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan Usaha Milik Daerah atau
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Adapun fungsi SPP
adalah sebagai sarana untuk membayar pajak dan sebagai bukti dan laporan
pembayaran pajak. Tempat pembayaran dan penyetoran pajak dapat dilakukan di
bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral Anggaran, Kantor Pos, bank-bank
BUMN atau BUMD, tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2.9 SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga. Surat Tagihan Pajak diatur dalam
pasal 14 Undang-undang KUP. STP diterbitkan oleh kantor pajak dalam hal sebagai
berikut:
1. pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
2. dari hasil penelitian surat pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis/atau salah hitung
3. wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
4. pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
5. pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP)
tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP tetapi tidak membuat atau tidak mengisi faktur pajak secara lengkap.

Penerbitan STP biasanya diikuti dengan sanksi administrasi berupa bunga


sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan (maks. 48%).
Contoh:
Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak
penghasilan pasal 25 tahun 2015 setiap bulan sebesar Rp 100.000.000 dan jatuh
tempo misalnya tiap tanggal 15. pada bulan Juni 2015 dibayar tepat waktu sebesar
Rp40.000.000. atas kekurangannya diterbitkan STP tangggal 18 September 2015,
maka penghitungannya adalah:
- kekurangan pajak penghasilan pasal 25

38
bulan Juni tahun 2015. ………………….Rp 60.000.000
- bunga (3 x 2% x Rp 60.000.000)………..Rp 3.600.000 +
- jumlah yang masih harus dibayar ……….Rp 63.600.000

Fungsi STP adalah sebagai berikut:


1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang SPT wajib pajak.
2. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
3. Alat untuk menagih pajak.

Selain itu STP (Surat Tagihan Pajak) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
surat ketetapan pajak. Sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan
Surat Paksa.

2.10 SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB)


Surat ketetapan pajak kurang bayar diatur dalam pasal 13 Undang-undang
KUP. SKPKB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang
terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB ini akan
diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya
masa pajak, atau bagian tahun pajak atau tahun pajk, yaitu dalam hal sebagai berikut:
1. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterngan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar
2. surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti
ditentukan dalam surat teguran
3. berdasrkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak segarusnya dikenka tarif 0%
4. tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam
pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang.

39
SKPKB dapat dilakukan setelah lewat jangka waktu 10 tahun ditambah sanksi
bunga sebesar 48% dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar. Pengenaan sanksi
administrasi berupa kenaikan yaitu suatu jumlah proporsional yang harus
ditambahkan pada jumlah yang harus ditagih. Sanksi administrasi berupa kenaikan
ini untuk jenis pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 tahun,
sanksi kenaikannya sebesar 50%. Untuk jenis pajak penghasilan yang dipotong oleh
orang atau badan lain dan jenis pajak PPN dan PPnBM ditetapkan sebesar 100% dari
besarnya pajak yang tidak atau kurang dibayar. Adapun fungsi SKPKB adalh sebagai
kreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya, sarana untuk mengenakan sanksi
dan alat untuk menagih pajak.

2.11 SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKPKBT)


SKPKBT telah diatur dalam pasal 15 Undang-undang KUP. SKPKBT adalah
surat keputusan yang menentukan tambahan atau jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Penerbitan SKPKBT dimaksudkan untuk menampung beberpa kemungkinan yang
terjadi seperti:
1. adanya SKPKB yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada
perhitungan yang sebenarnya
2. adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang
seharusnya tidak dilakukan
3. adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang
ditetapkan ternyata lebih rendah

SKPKBT merupakan koreksi atas SKPKB, artinya SKPKBT baru dapat


diterbitkan bila sudah pernah diterbitkan SKPKB, SKPLB, dan SKPN.
Diterbitkannya SKPKBT ini juga harus ada syarat adanya data baru (novum)
dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak
yang terutang dalam ketetapan pajak sebelumnya. SKPKBT yang kedua bias
diterbitkan jika ternyata masih ditemukan lagi adanya data baru (novum) dan/atau
data yang semula belum terunkap yang baru diketahui belakangan oleh direktur
jenderal pajak. Jadi penerbitan SKPKBT bisa dilakukan lebih dari satu kali.

40
Kekurangan pajak dalam SKPKBT akan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Penerbitan
SKPKBT juga dapat dilakukan setelah lewat jangka waktu 10 tahun ditambah sanksi
bunga sebesar 48% dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar apabila wajib pajak
terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan telah diputus oleh
hakim serta mempunyai kekuatan hokum yang tetap (in kracht van gewijsde). Funsi
SKPKBT adalah sebagai berikut:
 Koreksi atau jumlah yang terutang menurut SPT-nya.
 Saran untuk mengenakan sanksi.
 Alat untuk menagih pajak.

2.12 SURAT KETETAPAN PAJAK LEBIH BAYAR (SKPLB)


SKPLB diatur dalam pasal 17 Undang-undang KUP. SKPLB adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya
terutang.SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan secara tertulis dari wajib
pajak. SKPLB harus sudah diterbitkan selambat-lambatnya 12 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap. Apabila kepala KPP tidak memberikan
keputusan, permohonan pengembalian dianggap dikabulkan, dan SKPLB harus
diterbitkan selambat-lambatnya 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Fungsinya sebagai alat atau sarana untuk mengambil kelebihan pembayaran pajak.

2.13 SURAT KETETAPAN PAJAK NIHIL (SKPN)


SKPN diatur dalam pasal 17A Undang-undang KUP. SKPN adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang tertang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
Penerbitan SKPN dilakukan baik untuk jenis pajak penghasilan maupun untuk
pajak pertambahan nilai dan pajak pejualan barang barang mewah. Untuk pajak
penghasilan, SKPN diterbitkan apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah
pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Untuk pajak

41
pertambahan nilai, SKPN diterbitkan apabila jumlah kredit pajak sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Sedangkan untuk pajak penjualan barang mewah, SKPN diterbitkan apabila jumlah
pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang
dan tidak ada pembayaran pajak.

2.14 SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG (SPPT)


SPPT diatur dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 12 tahun 1994 tentang
pajak bumi dan bangunan (PBB). SPPT akan dikeluarkan berdasarkan surat
pemberitahuan objek pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh wajib pajak atau
berdasrkan data objek pajak yang telah ada pada kantor pelayanan pajak bumi dan
bangunan (KPPBB). SPPT yang telah diterbitkan oleh KPPBB, pelunasannya harus
diselesaikan selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib
pajak. Bila SPPT tidak dilunasi, maka akan dikenakan sanksi berpa denda
administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari
pembayaran utnuk jangka waktu selama-lamanya 24 bulan.

2.15 DALUWARSA PENETAPAN


Daluwarsa penetapan menurut pasal 13 Undang-undang KUP adalah selama 10
tahun. Artinya, direktorat jenderal pajak diberikan batas waktu sampai dengan 10
tahun untuk mengeluarkan ketetapan pajak (SKPKB) atas utang wajib pajak. Apabila
dalam waktu 10 tahun direktorat jenderal pajak tidak mengeluarkan ketetapan pajak
(SKPKB), pengeluaran SKPKB tidak dapat lagi dilakukan. Dengan demikian utang
wajib pajak menjadi daluwarsa.

2.16 PENCATATAN DAN PEMBUKUAN


Setelah anda membaca bab ini, diharapkan anda memahami dan mampu
menjelaskan tentang :
a. Pentingnya pembukuan dan pencatatan dalam kaitannya dengan
pemeriksaanpajak;

42
b. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan bagi wajib pajak;
c. Syarat-syarat penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan;
d. Apa saja yang dimaksud dengan elemen pembukuan dan pencatatan;
e. Metode pembukuan yang terdiri dari metode actual dan metode kas
yangdiperkenankan oleh ketentuan perpajakan;
f. Pengertian mengenai penggunaan dan penyebutan tahun pajak.

Undang-undang perpajakan menggunakan istilah pembukuan dan bukan


Akuntansi (Pasal 28 UUKUP). Akuntansi berdimensi lebih luas, yaitu meliputi
pembukuan itu sendiri, penyusunan system akuntansi, interpretasi laporan keuangan
dan penyajian informasi.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan, dan biaya serta jumlah harga perolehan.dan penyerahan barang atau jasa
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
rugi/laba pada setiap tahun pajak terakhir. Sedangkan Laporan Keuangan sebagai
lampiran yang melengkapi SPT, yang minimal diisyaratkan terdiri dari neraca dan
laporan rugi/laba, dapat disebut sebagai laporan keuangan fiscal, sepanjang sudah
disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian, tujuan pembukuan untuk keperluan perpajakan adalah


pembukuan yang dapat dipakai untuk membuktikan kebenaran angka-angka yang
dilaporkan dalam SPT, lebih-lebih pada saat wajib pajak diperiksa atau dilakukan
penyelidikan tarhadapnya. Oleh karena itu, apabila wajib pajak ternyata
menyelenggarakan pembukuan berdasarkan standart akuntansi yang belaku, maka
harus melakukan penyesuaian atau rekonsiliasi (fiskal) terlebih dahulu, yaitu
melakukan koreksi-koreksi fiskal, baik koreksi fiskal positif maupun koreksi fiskal
negative, atas elemen-eleman dalm neraca dan daftar laba/rugi sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku.

43
Pencatatan merupakan ikhtisar atau daftar ringkasan penerimaaan penghasilan
dari penjualan atau sumber-sumber penghasilan yang diterima wajib pajak dari waktu
ke waktu.

1. Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan


a. Kewajiban Pembukuan
Kewajiban pembukuan diatur dalam ketentuan PPN, yaitu dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1994 disebutkan dalam pasal 6
sebagai berikut :
- Setiap pengusaha kena pajak diwajibkan diwajibkan mencatat
semua jumlah harga perolehan dan penyerahan barang kena
pajak dalam pembukuan perusahaan.
- Dalam pembukuan ini harus dicatat secara terpisah dan jelas,
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
terutang tidak dipungut, dikenakanan tarif 0%, serta mendapat
pembebasan pengenaan pajak
- Pengusaha memilih dikenakan PPh berdasarkan norma
penghitungan penghasilan neto, wajib membuat catatan nilai
peredaran bruto secara teratur, sepanjang terutang pajak
pertambahan nilai atas barang dan jasa.

b. Penggunaan Norma Perhitungan


Dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang No. 17 Tahun 2000, dinyatakan bahwa jumlah peredaran bruto
yang menjadi batas kewajiban tidak menyelenggarakan pembukuan
adalah kurang dari Rp. 600.000.000,00 dalam satu tahun buku.

Undang-undang PPN juga menganut asas yang sama, yaitu setiap wajib
pajak yang menjadi pengusaha kena pajak wajib menyelenggarakan

44
pembukuan. Terhadap pengusaha kena pajak semacam ini berlaku ketentuan
mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan, yaitu untuk menghitung PPN
yang harus dibayar dengan menggunakan suatu norma penghitungan yang
berlaku untuk pengkreditan pajak masukan selama masa pajak tertentu.

2. Syarat-Syarat Pembukuan dan Pencatatan


Pembukuan diselenggarakan wajib pajak sesuai dengan ketentuannya harus
memenuhi syarat antara lain sebagai berikut :
a. Pembukuan harus dilaksanakan di Indonesia dengan menggunakan
dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah
dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan
oleh Menteri Keuangan;
b. Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang dilakukan wajib pajak;
c. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat
dipertanggung jawabkan kebenaran dan keabsahannya;.
d. Pembukuan harus dilakukan secara teratur dan diselenggarakan dengan
prinsip taaat asas;
e. Pembukuan harus ditutup dengan membuat neraca dan perhitungan
laba/rugi pada setiap akhir tahun pajak;
f. Pembukuan harus dapat ditelusuri kembali apabila diperlukan;
g. Pembukuan ssekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta,
utang, atau kewajiban, modal, penghasilan, biaya, penjualan sehingga
dapat dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak-pajak yang
terutang.

Sementara untuk pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara


teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final.
Tujuan Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan adalah agar

45
dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, jumlah pajak
yang sudah dibayar sendiri atau melalui pemotongan dan pemungutan pihak
lain, penghasikan yang bukan objek pajak, tetapi telah dikenakan pajak bersifat
final maupun tidak final.

3. Unsur-Unsur Pembukuan
Berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (7) UUKUP, bahwa pembukuan
yang diselenggarakan wajib pajak paling sedikit terdiri dari :
a. Pembukuan Kas/Bank. Pembukuan mengenai kas dan bank untuk
menggambarkan keadaan kas/bank pada periode akuntansi tertentu, dengan
mencatatat semua penerimaan dan pengeluaran melalui kas/bank, sehingga
dari pembukuan ini dapat diketahui :
- Saldo kas/bak pada suatu saat tertentu, dan
- Seluruh mutasi kas/bank selama periode akuntansi tertentu.
b. Pembukuan Piutang. Pembukuan Piutang digunakan untuk menyajikan
informasi mengenai keadaan/posisi saldo piutang pada saat tertentu dan
mutasi piutang selama periode akuntansi tertentu, termasuk adanya
penambahan atau pengurangan piutang.
c. Pembukuan Persediaan. Pembukuan persediaan barang diselenggarakan
untuk menyajikan informasi mengenai posisi persediaan barang atau bahan
pada saat tertentu, termasuk mutasi barang/bahan selama periode tertentu,
baik menggenai kuantum atau nilainya, sehingga dari pembukuan persediaan
dapat dikalkulasikan harga pokok penjualan barang/bahan yang dijual atau
dipakai untuk keperluan lainnya.
d. Pembukuan Harta Yang Dapat Disusutkan/Diamoritisasi. Harta yang dapat
disusutkan adalah harta berwujud dimiliki dan digunakan dalam kegiatan
usaha, dan pekerjaannya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun kecuali tanah.
e. Pembukuan Harta Lainnya. Disini yang dimaksudkan dengan harta lainnya
adalah semua harta yang tidak termasuk ke dalam golongan kas/bank,

46
piutang, persediaan, dan harta yang dapat disusutkan atau diamortisasi,
misalnya : tanah, surat-surat berharga, deposito berjangka dan penyertaan.
f. Pembukuan Utang. Pembukuan utang dimaksudkan agar dapat menyajikan
informasi mengenai saldo utang pada saat tertentu dan mutasi utang selama
periode tertentu, penambahan atau pengurangan utang.
g. Pembukuan Modal. Yang dimaksud dengan modal, disini meliputi modal
yang disetor oleh pemilik/pemegang saham dan laba ditahan yang
tidak/belum diambil oleh pemilik. Pembukuan modal bertujuan untuj
menyajikan data atau keterangan secara rinci mengenai besarnya modal awal
periode akuntansi.
h. Pembukuan Penghasilan. Pengertian penghasilan sebagaimana dirumuskan
dalam ketentuan undang-undang pajak penghasilan, tidak terikat ada atau
tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu, seperti yang dianut oleh
undang-undang perpajakan yang lama.
i. Pembukuan Biaya. Dari pembukuan biaya dapat diketahui secara jelas
mengenai biaya-biaya yang boleh dikurangkan dan tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
j. Neraca dan Perhitungan Laba Rugi. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun
2000, dinyatakan bahwa pembukuan pada setiap tahun pajak berakhir,
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi.

4. Metode Pembukuan
Metode Pembukuan sebagai aturan yang dapat digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan dan biaya dalam suatu periode akuntansi
tertentu atau uantuk menentukan dasar pengenaan PPN yang terutang.Metode
akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya, yaitu bahwa
penghailan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada saat
terutang.Metode kas adalah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Pemakaian

47
metode kas dalam UUPPN/PPn.BM digunakan sebagai dasar pengenaan pajak
atas penyerahan dan perolehan BKP/JKP secara tunai.

5. Dokumen Pembukuan
Berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat (11) UUKUP, pembukuan dan dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib
pajak, harus disimpanselama 10 tahun, sehingga apabila pada suatu saat nanti
Direktur Jendral Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak bahan
pembukuan yang diperlukan masih tetap tersedia.
Wajib pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
asing dan mata uang selain rupiah adalah :
- Wajib pajak dalam rangka penanaman modal asing;
- Wajib pajak dalam rangka kontrak karya;
- Wajib pajak dalam rangka kontrak bagi hasil;
- Bentuk usaha tetap;
- Wajib pajak yang berafiliasi dengan usaha induk di luar negeri.

Bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang diperbolehkan untuk
dipergunakan dalm pembukuan wajib pajak adalah bahasa Inggris dan mata
uang dolar Amerika Serikat sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.
533/KMK.04/2000. Bagi wajib pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat,
berlaku ketentuan konversi ke mata uang dolar Amerika Serikat Sebagai
berikut :
- Pada Awal Tahun. Penyelenggaraan pembukuan dalam mata uang dolar
Amerik Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari
neraca akhir tahun buku sebelumnya yang dikonversi ke mata uang
dolar Amerika Serikat.
- Dalam Tahun Berjalan. Untuk transaksi yang dilakukan dalam mata
uang dolar Amerika Serikat baik dalam negeri maupun luar negeri yang

48
menggunakan mata uang selain dolar Amerika Serikat, yang
dikonversikan ke mata uang dolar Amerika Serikat.

2.16 TAHUN PAJAK


Tahun pajak pada hakekatnya adalah tahun takwim (tahun kalender).
Wajib pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
takwim, sepanjang tahun buku yang dipilihnya meliputi periode selama 12
bulan. Tahun takwim atau tahun buku digunakan sebagai dasar perhitungan
penghasilan kena pajak.
PPN/PPn.BM menganut masa pajak yang lamanya satu bulan takwim.
Penghitungan PPN/PPn.BM yang terutang dilakukan uantuk semua transaksi
penjualan, pembelian, dan penerimaan uang muka, atau termin pembayaran
yang terjadi setiap bulan takwim.Pada umumnya tahun pajak sama dengan
tahun kalender. Akan tetapi wajib pajak menggunakan tahun pajak tidak sama
dengan tahun kalender dengan syarat konsisten (taat asas) selama 12 bulan, dan
melapor atau memberitahu kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
Cara menentkan suatu tahun pajak adalah sebagai berikut:
a. Tahun pajak sama dengan tahun takwin.

1 Januari 2000 31Desember


Pembukaaan dimulai 1 Januari 2000 dan berakhir 31 Desember 2000,
disebut tahun pajak 2000
b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim.

1 Juli 1999 30 Juni 2000


Pembukuan dimulai 1 Juli 1999 dan berakhir 30 Juni 2000. disebut
tahun pajak 1999 karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 1999.
c.

1 Oktober 1999 30 september 2000

49
Pembukuan dimulai 1 oktober 1999 dan berakhir 30 September 2000.
disebut tahun pajak 2000 karena lebih dari 6 bulan pada tahun 2000.

2.17 SOAL LATIHAN


1. Jelaskan istilah-istilah berikut ini:
a) Wajib Pajak
b) Badan
c) Masa Pajak
d) Tahun Pajak
e) Pajak Terutang
f) Penanggung Pajak
g) Surat Pajak
2. Apa Kewajiban & hak wajib wajib pajak?
3. Sanksi-sanksi perpajakan apa saja yang diatur dalam KUP?
4. Apa yang dimaksud dengan Nomor pokok wajib pajak? Bagaimana cara
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak?
5. Apa yang dimaksud dengan Nomor pengukuhan pengusaha kena pajak?
6. Apa yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan?
7. Sebutkan fungsi SPT, dan prosedur pengisian serta penyetoran!
8. Sebutkan jenis-jenis Surat setoran pajak & pembayaran pajak
9. Sebutkan Kewajiban menyelenggarakan pembukuan & pencatatan, serta syarat-
syarat pembukuan!
10. Apa yang dimaksud dengan Tahun Pajak? Sebutkan perbedaan dengan tahun yang
lain!

50
BAB 3
PAJAK PENGHASILAN

T ujuan bab ini adalah mengidentifikasi berbagai atribut penghasilan dari sudut
pandang perpajakans serta memahami bagaimana menghitung pajak
penghasilan. Istilah penghasilan memang sudah dikenal oleh masyarakat luas, bahkan oleh
mereka yang tidak berpenghasilan sekalipun. Dua masalah pokok yang menyangkut
penentuan jumlah penghasilan, yaitu :pengertian atau definisi penghasilan itu sendiri,
metode-metode pengukurannya.

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari buku ini, diharapkan pembaca memiliki kemampuan yang baik dalam:
1. Memahami tentang konsep penghasilan
2. Memahami subjek dan objek pajak penghasilan
3. Memahami tentang Pajak penghasilan Orang Pribadi
4. Memahami tentang Pajak Penghasilan Badan

3.1. KONSEP PENGHASILAN


Berikut adalah konsep penghasilan dari berbagai sudut pandang.
1. Konsep Ekonomik.
Para ekonom mendefinisikan penghasilan sebagai jumlah (barang dan jasa)
yang dalam jangka waktu tertentu bisa dikonsumsikan oleh suatu entitas, tanpa
mengakibatkan berkurangnya modal. Para ekonom menggunakan menggunakan
pendekatan pemeliharaan capital (equity atau capital maintenance approach)
didalam menentukan penghasilan suatu entitas dalam suatu periode.
Penghasilan = (Modal Akhir) – (Modal Awal),
Atau

51
Penghasilan = (Nilai Konsumsi Barang/Jasa) +/- (Perubahan Modal)

Dengan pendekatan ekuitas, besar kecilnya penghasilan dalam suatu periode


ditentukan dengan cara membandingkan total nilai atau harga pasar (fair market
value) dari modal atau aktiva bersih pada akhir dan awal periode terkait (selain
yang berasal dari setoran dan penarikan kembali modal). Penghasilan diukur
berdasar kenaikan (atau penurunan) nilai kekayaan atau modal yang dimiliki oleh
suatu entitas ditambah dengan nilai (harga pasar) dari barang atau jasa yang
dikonsumsi dalam suatu periode.Dengan demikian, menurut konsep ekonomik
penghasilan adalah sama dengan jumlah dari nilai (harga pasar) barang atau jasa
yang sesungguhnya dikonsumsikan oleh suatu entitas ditambah kenaikan dan/atau
dikurangi penurunan nilai barang atau jasa yang dapat atau bersedia untuk
dikonsumsikan di kemudian hari atau dalam periode-periode berikutnya.Konsep
ekonomi tentang penghasilan menekankan pada nilai barang dan/atau jasa yang
dapat dikonsumsikan atau kemampuan konsumsi dari suatu entitas. Penghasilan
diukur berdasar kemampuan dari suatu entitas untuk mengkonsumsikan barang dan
jasa, yang seringkali juga disebut sebagai daya beli (purchasing power) atau
pendapatan riil (real income). Tiga aspek fundamental di dalam konsep ekonomik
tentang penghasilan tersebut :
- Konsep ekonomik tentang penghasilan merupakan suatu konsep yang sangat
luas cakupannya.
- Konsep ekonomik tentang penghasilan meliputi keuntungan dan kerugian,
baik yang sudah maupun yang belum direalisasikan (realized and unrealized
gains and losses).
- Konsep ekonomik tentang penghasilan mengharuskan untuk
dipertimbangkannya efek atau pengaruh perubahan tingkat harga, penurunan
daya beli uang atau inflasi.
Di dalam mengukur perubahan nilai, para ekonom menggunakan pendekatan
atau sudut pandang yang di sebut current perspective, dan oleh karena itu
menekankan pada nilai sekarang. Sementara itu, nilai atau harga historis dianggap
kurang relevan. Problem utama penggunaan nilai sekarang sebagai dasar

52
pengukuran adalah karena nilai sekarang bersifat subyektif, terutama apabila tidak
ada atau tidak tersedia pasar dari barang atau jasa yang diperlukan untuk
mengkonfirmasikan harga-harga tersebut.
Perubahan (kenaikan atau penurunan nilai) dari suatu barang atau jasa yang
diukur tidak berdasar pada transaksi yang sesungguhnya terjadi disebut keuntungan
atau laba yang belum direalisasikan (unrealized gains) atau kerugian yang belum
sesungguhnya terjadi (unrealized loss), dan oleh karena itu pantas diragukan
obyektivitasnya.
Penekanan daya beli, menuntut harus juga dipertimbangkan efek inflasi
(penurunan daya beli uang) sebagai salah satu faktor penyesuaian di dalam
pengukuran penghasilan. Kenaikan nilai barang dan jasa yang semata-mata
disebabkan oleh perubahan daya beli uang (dalam hal ini penurunan) tidak bisa
dipandang sebagai penghasilan, karena kenaikan nilai tersebut tidak diikuti oleh
bertambahnya kemampuan untuk mengkonsumsi barang atau jasa. Maka dari itu,
penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis dari suatu entitas, harus
diukur berdasar nilai rupiah konstan.Untuk itu, diperlukan adanya suatu indek (nilai
unit moneter) pada saat tertentu yang disebut tingkat harga tahun dasar atau base
period. Nilai rupiah yang sekarang berlaku harus dikonversikan ke dalam nilai
rupiah konstan berdasar indeks harga pada tahun dasar tersebut. Menurut konsep
ekonomik, kenaikan atau penurunan nilai barang atau jasa sebagai penghasilan atau
kerugian (dalam pengertian unrealized gains or losses) berdasar formula
perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan (Kenaikan Nilai Saham) = (Nilai Saham Akhir Tahun) – (Nilai Saham
Awal Tahun)
Kerugian (Penurunan Nilai Saham) = (Nilai Saham Awal Tahun) – (Nilai Saham
Akhir Tahun)

2. Konsep Akuntansi.
Para akuntan menggunakan pendekatan transaksi (transaction approach) dan
konsep harga pertukaran (exchange price) sebagai dasar pengukuran penghasilan.
Alasan utama digunakannya pendekatan dan harga demikian adalah karena

53
transaksi yang sesungguhnya terjadi dan harga pertukaran bersifat obyektif dan
dapat diverifikasi kebenarannya. Pendekatan transaksi dan harga pertukaran sebagai
dasar pengukuran penghasilan bukan tanpa kelemahan atau keterbatasan. Salah satu
kelemahan dari penggunaan konsep harga pertukaran adalah karena penghasilan
diukur hanya berdasar jumlah rupiah absolut, tanpa mempetimbangkan
kemungkinan adanya perubahan tingkat harga atau penurunan daya beli/inflasi.
Suatu penghasilan, termasuk keuntungan dianggap belum diperoleh atau belum
direalisasikan sampai dengan penghasilan dan/atau keuntungan dapat diasosiasikan
dengan transaksi atau peristiwa tertentu yang bisa mengakibatkan timbulnya
penghasilan dan/atau keuntungan tersebut. Artinya, jasa sudah harus diberikan atau
barang sudah harus dijual, diserahkan, ditukarkan, atau dikonversikan menjadi
barang atau jasa yang lain terlebih dahulu; sebelum sejumlah penghasilan dan/atau
keuntungan dianggap telah diperoleh (earned), direalisasikan (realized), atau dapat
direalisasikan (realizable). Konsep yang berkaitan dengan saat pengakuan
penghasilan dan/atau keuntungan semacam itu oleh para akuntan atau didalam
akuntansi seringkali disebut sebagai konsep atau prinsip realisasi pendapatan.
Pada hakekatnya, penghasilan adalah sama dengan jumlah nilai barang dan jasa
yang dikonsumsikan dalam suatu periode ditambah kenaikan nilai kekayaan atau
modal dalam periode terkait. Hanya saja, didalam mengukur perubahan nilai
kekayaan atau modal; konsep akuntansi menggunakan harga pertukaran (harga
historis atau nilai perolehan dan bukan nilai atau harga yang sekarang berlaku atau
current value). Oleh karena harga pertukaran (harga historis atau nilai perolehan)
tidak berubah sebagai akibat perjalanan waktu; maka tidak ada perubahan nilai yang
perlu diakui atau dicatat sampai dengan terjadinya suatu transaksi di kemudian hari.
Sebagai akibatnya, menurut konsep akuntansi tidak mengakui keuntungan yang
belum direalisasikan sebagai suatu komponen penghasilan. Namun sebaliknya,
menurut konsep akuntansi; kerugian yang kemungkinan besar akan terjadi dan
sudah dapat ditentukan jumlahnya dalam banyak hal harus diakui.
Pengalaman tingkat inflasi yang relatif tinggi dibeberapa negara maju, telah
membuat sebagian akuntan untuk memikirkan kembali kemungkinan
diaplikasikannya model-model akuntansi dengan mempertimbangkan perubahan

54
tingkat harga (current cost accounting model, general price level accounting model,
replacement cost accounting model); yang sebagai konsekuensinya harus mengakui
keuntungan yang belum direalisasikan sebagai komponen penghasilan. Namun pada
umumnya, para akuntan tetap bersikukuh untuk tidak beranjak dari model akuntansi
berdasar harga historis (histories cost accounting model), yang tidak mengakui
keuntungan yang belum direalisasikan sebagai komponen penghasilan.
Secara garis besar, perbedaan antara konsep akuntansi dengan konsep
ekonomik menyangkut penghasilan dapat diakui sebagai berikut. Menurut konsep
ekonomik, penghasilan meliputi semua keuntungan dan kerugian; dari manapun
sumbernya, yang didalam pengukuran atau penentuan jumlahnya harus
mempertimbangkan efek perubahan tingkat harga. Sedang menurut konsep
akuntansi, penghasilan hanya meliputi keuntungan yang direalisasikan dan semua
kerugian (termasuk yang belum sesungguhnya terjadi namun besar
kemungkinannya akan terjadi); yang di dalam pengukuran atau penentuan
jumlahnya tidak perlu mempertimbangkan efek perubahan tingkat harga.

3. Prinsip Realisasi dan Pengakuan Penghasilan.


Diakui bahwa pada umumnya, konsep penghasilan menurut Undang-Undang
Pajak Penghasilan lebih mendekati konsep akuntansi daripada konsep
ekonomik.Istilah realisasi didefinisikan sebagai saat dimana ketidakpastian yang
berkaitan dengan jumlah uang yang pada akhirnya akan diterima tidak lagi tampak;
sehingga tidak terdapat lagi keraguan untuk mengakui dan melaporkan adanya
sejumlah penghasilan. Adanya perubahan (dalam hal ini kenaikan) nilai dari
sumber-sumber ekonomi; secara rasional dapat diukur atau ditentukan jumlahnya.
Oleh karena itu, penekanan harus diberikan kepada transaksi, kejadian, atau
keadaan; sebagai aspek krusial dalam keseluruhan proses untuk memperoleh
penghasilan. Dengan transaksi, kejadian, atau keadaan sebagai acuan, maka secara
garis besar penghasilan harus diakui pada saat diperoleh (earned), direalisasikan
(realized), atau dapat direalisasikan (realizable).Tergantung pada sifat dan jenis
pekerjaan atau usaha, serta industri dan masing-masing entitas; transaksi atau
peristiwa yang dianggap krusial tersebut bisa berupa saat terjadinya:

55
- Penjualan barang atau penyerahan jasa
- Penerimaan kas
- Diselesaikannya proses produksi atau kegiatan konstruksi
- Saat diselesaikannya tahap-tahap tertentu dari suatu proses produksi atau
kegiatan konstruksi.

Dalam banyak hal, prinsip realisasi dan pengakuan penghasilan yang dianut
oleh Undang-Undang Pajak sama seperti halnya yang dianut oleh Standar
Akuntansi Keuangan (SAK). Namun demikian, dalam setiap hal; UU Pajak
biasanya mengatur secara lebih spesifik, serta tidk memberikan banyak alternatif.
Lebih dari itu, UU Pajak dapat dikatakan lebih konsisten di dalam menggunakan
transaksi atau kejadian sebagai acuan didalam mengakui penghasilan (dan biaya
sebagai pengurang penghasilan bruto). Pengakuan penghasilan atas kontrak jangka
panjang misalnya, sementara SAK memperkenankan baik metode kontrak selesai
maupun metode persentase penyelesaian; UU Pajak hanya memperkenankan
metode persentase penyelesaian. Demikian pula menyangkut pengakuan terhadap
Biaya Kerugian Piutang sebagai pengurang penghasilan bruto. Sementara SAK
memperkenankan baik metode cadangan maupun metode penghapusan langsung
untuk mengakui biaya kerugian piutang. Dihadapkan pada ketidakpastian, dalam
banyak hal SAK lebih toleran dibanding UU Pajak. Hal ini disebabkan oleh karen
di dalam mengakui penghasilan (pendapatan, keuntungan, dan kerugian) disamping
didasarkan pada konsep realisasi, SAK juga menganut konsep konservatisme, yang
dapat dikatakan tidak di kenal dalam UU Pajak.
Sisi lain yag membuat aplikasi prinsip realisasi penghasilan berbeda antara
SAK dengan UU Pajak, adalah terletak pada konsistensinya. Dalam kaitan ini,
barangkali tidak salah apabila dikatakan UU Pajak relatif lebih taat asas daripada
SAK. Konsistensi di dalam mengaplikasikan prinsip realisasi penghasilan mutlak
diperlukan dalam UU Pajak, dengan dua alasan yaitu untuk efisiensi di dalam
administrasinya dan untuk menjamin obyektivitas dan perlakuan yang adil bagi
semua Wajib Pajak. Adalah mustahil untuk bisa mencipatakan suatu sistem
admistrasi yang efisien, obyektif, dan dirasakan adil bagi semua Wajib Pajak

56
terhadap adanya penghasilan yang belum direalisasikan dab biaya yang belum
sesungguhnya terjadi; yang pada umumnya harus di dasarkan pada taksiran.
SAK dan UU Pajak keduanya memang menganut prinsip realisasi penghasilan.
Namun demikian, seperti telah dikemukakan terdapat beberapa perbedaan di dalam
implementasinya. Perbedaan itu, terutama tampak pada toleransinya terhadap
alternatif metode atau prosedur, dn penyimpangan-penyimpangan baik dalam
kaitannya dengan unsur ketidakpastian maupun konsistensinya. Akan tetapi, karena
pada dasarnya menganut prinsip yang sama, maka disamping perbedaan harus
diakui pula adanya beberapa kesamaan. Baik SAK maupun UU Pajak, keduanya
berorientasi pada transaksi (menggunakan pendekatan transaksi) sehingga
diperlukan adanya suatu transaksi, kejadian, atau keadaan sebagai kriteria
pengakuan pendapatan.

3.2. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN


1) Subjek Dan Bukan Subjek Penghasilan
a) Dasar Hukum Subjek Pajak
Pasal 2 dan 3 UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimna
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai
tahun pajak 2009. Sebelumnya UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 17 tahun 2000 yang berlaku mulai tahun
pajak 2001 sampai dengan 2008.
b) Kedudukan Subjek pajak dalam Pajak penghasilan
Subjek pajakadalah istilah dalam peraturan perundang-undangan
perpajakanuntuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) yang
dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam Tahun Pajak.pihak. Dan Pihak yang tidak termasuk subjek pajak tidak
dikenakan pajak penghasilan.
Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008 pasal 2, yang menjadi subjek pajak
adalah :
a) Orang Pribadi atau warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak :

57
1) Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau
berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
2) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan merupakan subjek
pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak
pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Catatan :
Warisan yang belum terbagi kepada ahli waris, misal usaha atau saham atas
nama meninggal, menghasilkan penghasilan yang menjadi objek pajak.
Penghasilan tersebut dikenakan pajak, disetor dan dilaporkan atas nama pihak
yang meninggal oleh ahli warisnya.
b) Badan
1) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha. Yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, operasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya seperti lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk
Usaha Tetap.BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa
memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari
badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang
dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan itu merupakan subjek pajak.
2) Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama.

58
c) Bentuk Usaha Tetap (BUT)
1) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh :
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.
b) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan; dan
c) Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, berupa : Tempat kedudukan manajemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel,
gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan
penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan
gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan,
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12
bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko
di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan
otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalannkan kegiatan
usaha melalui Internet.
2) Bentuk Usaha Tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Catatan :BUT merupakan ambang batas pengenaan pajak antara
subjek pajak dalam negri dengan luar negri.

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :


a. Subjek Pajak dalam negeri adalah :

59
1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
(Pengertian 183 hari dalam 12 bulan tidak harus berturut- turut, tapi bisa
jugadiselang seling yang penting jumlah harinya mencapai 183 hari, begitu
pula bagi yang mempunyai niat, tidak harus menunggu mencapai 183 hari,
tapi niat dimaksud dibuktikan dengan mengurus legalisasi kependudukan,
semisal keterangan izin menetap, kartu penduduk dan lain sebagainya).
2) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, Kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memnuhi kriteria :
a) Pembentukannya berdasar ketentuan perundang-undangan
b) Pembiayaan bersumber dari APBN atau APBD
c) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau
pemerintah daerah, dan
d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
3) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
(seandainya yang punya waris tidakmeninggalkan wasiat/pesan/amanah,
siapa yang harus bertanggung jawab, atau kepadasiapa harta tersebut
diberikan apabila yang punya harta ini meninggal dikemudian hari,apalagi
kalau pembagian waris berlarut-berlarut sementara kewajiban perpajakannya
tidakada yang mau bertanggung jawab. Oleh karena keberadaan Warisan
yang belum dibagi sebagai subjek pajak, hanya sampai warisan selesai
dibagi, artinya tidak bersifat permanen, maka dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, cukup menggunakan NPWP yang meninggal. Terhadap
warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh subjek pajak luar negeri
yang tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia melalui Bentuk
Usaha Tetap (BUT), dengan meninggalnya yang bersangkutan gugur
statusnya sebagai subjek pajak, hal ini dikarenakan subjek pajak orang
pribadi melekat pada orangnya, tidak ada istilah subjek pengganti).

60
b. Subjek pajak luar negeri adalah :
Pasal 2 ayat (4), UU No. 36 Tahun 2008, menjelaskan pengertiansubjek pajak
luar negeri yakni :

1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi


yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
2) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal ini menjelaskan, bahwa subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi
atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia,
yang dapatmenerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik tidak
melalui ataupunmelalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tetapiberada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, maka orangpribadi tersebut adalah subjek pajak luar
negeri. Apabila penghasilan yang diterima ataudiperoleh melalui bentuk usaha
tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebutdikenakan pajak melalui
bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebutstatusnya tetap
sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha
tetapmenggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri
dalammemenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan
tersebutditerima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka
pengenaan pajaknyadikenakan langsung kepada subjek pajak luar negeri
tersebut. Berkenaan denganpengenaan pajaknya (orang pribadi dan badan),
maka perlu ditetapkan tempat tinggalorang pribadi atau tempat kedudukan
badan.

61
Yang tidak termasuk subjek pajak sesuai pasal 3 UU PPh adalah :
a. Kantor perwakilan negara asing
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat :
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan
2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananyya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan
warga negara indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Saat Mulai dan Berakhirnya Subjek Pajak


Ketentuan mengenai saat mulai dan berakhirnya subjek pajak bertujuan menentukan
saat mulai dan berakhirnya kewajiban perpajakan subjek pajak yang bersangkutan.
a. Orang pribadi dalam negeri
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Badan dalam negeri
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

62
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan yang memenuhi syarat BUT dan berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
d. Subjek Pajak Luar Negeri
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan tersebut.
e. Warisan belum terbagi
Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut ddan
berakhirnya pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Subjek Pajak Dalam Negeri Orang
Pribadi : Pribadi :
 Saat dilahirkan.  Saat meninggal
 Saat berada di Indonesia atau  Saat meninggalkan Indonesia untuk
bertempat tinggal di Idonesia. selama-lamanya.
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan : Subjek Pajak Dalam Negeri Badan :
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak lagi
kedudukan di Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek Pajak Luar Negeri melalui Subjek Pajak Luar Negeri melalui
BUT : BUT :
 Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan usaha
melakukan kegiatan melalui BUT atau melakukan kegiatan usaha
di Indonesia. BUT di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri tidak Subjek Pajak Luar Negeri tidak
melalui BUT : melalui BUT :
 Saat menerima atau memperoleh  Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan di Indonesia memperoleh penghasilan dari
Indonesia
Warisan Belum Terbagi : Waisan Belum Terbagi :
 Saat timbulnya warisan yang  Saat warisan telah selesai
belum terbagi dibagikan

Wajib pajak
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP). Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak

63
saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri
baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.Perbedaan Wajib
Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri, antara lain adalah :
Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri
 Dikenakan pajak atas penghasilan  Dikenakan pajak hanya atas
baik yang diterima atau diperoleh penghasilan yang berasal dari
dari Indonesia dan dari luar sumber penghasilan di Indoesia.
Indonesia.  Dikenakan pajak berdasarkan
 Dikenaka pajak berdasarkan penghasilan bruto
penghasilan netto.  Tarif pajak yang digunakan adalah
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (Tarif UU PPh pasal
tarif umum ( Tarif UU PPh pasal 26)
17)  Tidak wajib menyampaikan SPT
 Wajib menyampaikan SPT

2). Objek dan Bukan Objek Penghasilan


a. Dasar Hukum objek pajak
Pasal 4 UU Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun
pajak 2009. Sebelumnya UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No 17 tahun 2000 yang berlaku mulai tahun pajak 2001 s.d.
2008.
b. Objek pajak menurut UU PPh
Objek pajak adalahpenghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk :
a. Penggantian atau imnbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, horarium, komisi,

64
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
- Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apapun;
- Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, atau badan
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
- Keuntungan karena penjualan atau pemgalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam usaha pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;

65
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi kepada pemegang polis atau pembagian sisa hasil
usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Yang termasuk dalam
pengertian deviden adalah :
- Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
- Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah
modal yang disetor.
- Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran
termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
- Pembagian laba dalam bentuk saham
- Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
- Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima
atau diperoleh pemegang saham karena pemberian kembali
saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan.
- Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh
keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat
dari pengecilan modal dasar(statuter)yang dilakukan secara sah.
- Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
- Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi
- Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis
- Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi
- Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham
yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

66
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan Utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan peraturan
pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil.
Misalnya Kredit Usaha keluarga Prasejahtera(kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit untuk perumahan sangat
sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak
serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan
kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan
pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia

67
Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris,
aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan hart, seperti sewa, bunga,
dividen, royalti, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan,
dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan
kedalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a. Keuntungan karena pembebasan utang.
b. Keutungan karena selisih kurs mata uang asing.
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d. Hadiah undian

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib
Pajak Luar Negeri, yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari
Indonesia saja.

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk

68
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang keturunannnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Warisan
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah, kecuali yang diberikan oleh :
a. Bukan wajib pajak
b. Wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau
c. Wajib pajak yang menggunakan perhitungan khusus.
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan:
a. Asuransi Kesehatan
b. Asuransi kecelakaan
c. Asuransi jiwa
d. Asuransi dwiguna
e. Asuransi bea siwa
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajb pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
a. Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden,
kepemilikan saham pada badan yang memeberikan deviden paling rendah
2,5 % dari jumlah modal yang disetor.
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.

69
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari :
a. Perseroan konditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
b. Persekutuan
c. Perkumpulan
d. Firma
e. Kongsi
11. Dihapus (sebelumnya penghasilan yang diterima oleh reksadana bukan objek
PPh)
12. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tertentu :
a. Merupakan usaha mikro, kecil, menegah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan.
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
13. Beasiswa yang memenuhi persayaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
14. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidangnginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/ atau penelitian dan pengembanga tersebut,yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdarkan peraturan menteri keuangan.
15. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasrkan peraturan menteri keuangan.

OBJEK PPH YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA KHUSUS


Objek PPh atas penghasilan tertentu yang diatur secara khusus :

70
a. Berdasarkan pasal 4 ayat 2 : PPh final Penghasilan Tertentu :
- Penghasilan atas bungan deposito/ tabungan, diskonto, SBI, dan jasa
Giro
- Penghasilan atas penjualan saham dibursa efek
- Penghasilan atas transaksi penjualan obligasi di bursa efek
- Penghasilan atas hadiah undian
- Persewaan tanah dan/atau bangunan
- Jasa kontruksi
- Penjualan saham milik perusahaan modal ventura
- Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
- Bunga simpanan koperasi kepada anggota koperasi
- Transaksi derivatif diperdagangkan di bursa
b. Berdasarkan pasal 15 UU PPh : norma penghitungan khusus usaha tertentu
- Wajib pajak pelayaran dalam negeri
- Wajib pajak penerbangan dalam negeri
- Wajib pajak pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
- Wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
indonesia.
- Penghasilan atas banguan yang diteriima dari investor kepada pemegang
hak atas tanah setelah perjanjian Built Operate Transfer (BOT) berakhir.
- Wajib pajak badan dari pola bagi hasil tahap 1 dan 2 dengan PT.
Telkom
- Wajib pajak yang menerima penghasilan dari jasa maklon internasional
(contract manufacturing).

3). Tarif PPH


Menurut pasal 17 UU PPh tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak :
a. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Tarif PPh orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif

71
Sampai dengan Rp. 50.000.000 5%
Diatas Rp.50.000.000 – s.d Rp. 250.000.000 15%
Diatas Rp. 250.000.000 – s.d Rp.500.000.000 25%
Diatas Rp.500.000.000 30%

b. Wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap


1) Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tahun 2009
sebesar 28%
2) Tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
Fasilitas pengurangan tarif wajib pajak badan mulai tahun 2009
a) Perseroan terbuka masuk bursa
b) Usaha dengan peredaran bruto s.d. Rp. 50 Miliar setahun.

4). Dasar Pengenaan Pajak PPh


PPh dihitung berdasar pengenaan pajak. Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasila Kena
Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.Besarnya
Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto.
Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Rumus :
Penghasilan kena pajak (WP Badan) = penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi) = penghasilan netto-PTKP

Rumus Umum menghitung PPh


Pajak Penghasilaan (WP Orang Pribadi)
= Penghasilan kena pajak x TARIF PAJAK
= (Penghasilan netto – PTKP) x TARIF PAJAK
= [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP] x TARIF
PAJAK
72
Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Badan)
= Penghasilan Kena Pajak x TARIF PAJAK
= Penghasilan netto x TARIF PAJAK
= (Penghasilan bruto - biaya yang diperkenankan UU PPh) x TARIF PAJAK

3.3 PPh Orang Pribadi


1. Subjek pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah :
a. Orang pribadi;
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak;
c. Badan;dan
d. Bentuk Usaha Tetap.

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia. Termasuk juga warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak merupakan bagian dari subjek
pajak orang pribadi yang dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Ketika orang pribadi memperoleh penghasilan maka orang
pribadi tersebut telah memenuhi kewajiban objektif sebagai Wajib Pajak.

2. Penghasilan Sebagai Objek Pajak


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk penghasilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat(1) UU Pajak Penghasilan.

73
Penghasilan sebagai objek pajak yang terkait dengan penghasilan orang pribadi
antara lain :
a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaries,
aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
b) Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
c) Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tidak
bergerak, seperti bunga, royalty, dividen, dan sewa.
d) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3. Penghasilan Yang Dikenai Pajak Bersifat Final


Terdapat beberapa penghasilan yang dikenai Pajak Bersifat Final sehubungan
dengan penghasilan orang pribadi antara lain :
a) Bunga Deposito/ Tabungan, Diskonto SBI
b) Hadiah, Undian
c) Bunga Simpanan Anggota Koperasi
d) Penyalur, Dealer, Agen dari Produk Pertamina dan Premix
e) Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
f) Pesangon, Tunjangan Hari Tua, dan Tebusan Pensiun yang dibayar
sekaligus.
g) Honorarium atas beban APBN/APBD.
h) Sewa atas tanah dan/atau bangunan.
i) Usaha jasa konstruksi.
j) Penghasilan dari transaksi derivatif.

4. Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak


Terdapat beberapa penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
a) Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima.
b) Warisan.

74
c) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham.
d) Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa.
e) Beasiswa dalam negeri.

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak


Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya sendiri, kepada Wajib Pajak yang
sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Bagi Wajib Pajak yang istrinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri paling sedikit sebesar Rp.
24.300.000,- (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah). Wajib Pajak yang
mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak
mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib
Pajak.
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan 4 (empat) orang
anak. Apabila istrinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang
sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tudak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp. 32.400.000,- (Rp. 24.300.000 + Rp. 2.025.000 + (3x Rp. 2.025.000)
sedangkan untuk istrinya saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh
pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 24.300.000,-.

75
Apabila penghasilan istri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp. 56.700.000,- (Rp. 32.400.000 + Rp. 24.300.000).

6. Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto
bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan. Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan
besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada
dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan
yang lengkap, atau
b. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,-
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Dengan demikian bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang akan memberitahukan penggunaan Norma
Penghitungan, surat pemberitahuan tersebut dilampirkan pada saat
menyampaikan SPT Tahunan.

Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan


Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan

76
umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak orang pribadi tersebut
meliputi :
- Peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha
dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak
yang tidak dikenai pajak bersifat final.
- Penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau
pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak
dikenai pejak bersifat final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut dan/atau
- Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha
dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau
kegiatan bebas.
Selain harus menyelenggarakan pencatatan, Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha harus menyelenggarakan pencatatan atas
harta dan kewajiban baik yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan
usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang tidak digunakan untuk
melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Bagi Wajib
Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha,
pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-
masing jenis usaha.

7. Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto merupakan gabungan seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak sehubungan dengan pekerjaan selama Tahun Pajak yang
bersangkutan dari setiap pemberi kerja. Penghasilan tersebut berupa :
- Gaji/uang pensiun/tunjangan hari tua (THT). Gaji/uang pensiun/THT
yang diterima atau diperoleh secara teratur dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan

77
- Tunjangan PPh. Uang tunjangan PPh yang diterima atau diperoleh dalam
Tahun Pajak yang bersangkutan.
- Tunjangan lainnya, uang penggantian, uang lembur dan sebagainya.
- Tunjangan yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan berupa tunjangan istri, dan atau tunjangan anak, tunjangan
kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport,
tunjangan pendidikan anak, uang imbalan prestasi, dan tunjangan lainnya
dengan nama apapun, uang penggantian seperti uang penggantian
pengobatan, uang lembur dan sebagainya.
- Honorarium, imbalan lain sejenisnya. Honorarium/imbalan lain yang
diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan atas jasa,
jabatan atau kegiatan yang dilakukan.
- Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja. Premi asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa yang dibayar pemberi kerja kepada perusahaan asuransi atau
penyelenggara Jamsostek dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
- Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya yang dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21. Jumlah yang sebenarnya diterima dari pemberi
kerja yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21, serta yang bukan Wajib
Pajak namun tidak dikecualikan untuk memotong PPh Pasal 21
sehubungan dengan pemberian dalam bentuk natura dan atau kenikmatan
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
- Tantiem, bonus, gratifikasi, jasa produksi, THR. Tantiem, bonus,
gratifikasi jasa produksi, THR, dan penghasilan sejenis lainnya yang
sifatnya tidak tetap, dan yang biasanya diberikan sekali saja atau sekali
dalam setahun yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan.

8. Pengurang Penghasilan Bruto


a. Biaya Jabatan

78
Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang diterima dari pemberi kerja oleh setiap
pegawai tetap tanpa memandang kedudukan atau jabatan. Jumlah biaya
jabatan untuk penghasilan dari setiap pemberi kerja adalah sebesar 5 %
(lima persen) dari penghasilan bruto dengan jumlah setinggi-tingginya
Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) dalam setahun atau Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) dalam sebulan yang dihitung menurut banyaknya
bulan perolehan dalam tahun yang bersangkutan.
Apabila Wajib Pajak menerima penghasilan dari 2 (dua) atau lebih
pemberi kerja, maka jumlah biaya jabatan yang dapat dikurangkan adalah
penjumlahan biaya jabatan dari setiap Formulir 1721-A1 dan/atau 1721-
A2.
Contoh :
Amin memperoleh penghasialn bruto daru dua pemberi kerja yaitu dari
PT.ABC sebesar Rp. 25.000.000,- dan PT.XYZ sebesar Rp.
150.000.000,- setahun.
Biaya jabatan yang boleh dikurangkan dari penghasilan yaitu :
- Dari PT.ABC sebesar 5 % x Rp. 25.000.000,- = Rp. 1.250.000,-,
dibawah jumlah maksimal (Rp. 6.000.000,-) sehingga
diperkenankan seluruhnya sebagai pengurang penghasilan bruto.
- Dari PT.XYZ sebesar 5 % x Rp. 150.000.000,- = Rp. 7.500.000,-
diatas jumlah maksimal (Rp. 6.000.000,-) sehingga biaya yang
diperkenankan sebesar Rp. 6.000.000,-
- Sehingga seluruh biaya jabatan Amin adalah Rp. 7.250.000,-

b. Biaya Pensiun
Biaya pensiun adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang diterima dari pemberi kerja oleh setiap
pensiunan tanpa memandang kedudukan atau jabatan yang besarnya 5 %
(lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah setinggi-tingginya
Rp. 2.400.000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah) dalam setahun atau Rp.

79
200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dalam sebulan yang dihitung menurut
banyaknya bulan perolehan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila menerima penghasilan dari 2 (dua) atau lebih pembayar pensiun,


maka jumlah biaya pensiun yang dapat dikurangkan adalah penjumlahan
biaya pensiun dari setiap formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2.

c. Iuran Pensiun dan Iuran THT


Merupakan jumlah iuran pensiun yang terikat pada gaji yang dibayarkan
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, baik melalui pemberi kerja maupun
secara langsung kepada dana pensiun yang disetujui oleh Menteri
Keuangan, atau iuran THT untuk Jamsostek yang dibayar oleh Wajib
Pajak sendiri dalam tahun yang bersangkutan. (Pasal 6 ayat (1) UU PPh).

9. Pemotongan/Pemungutan Pph Oleh Pihak Lain


a. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 meliputi PPh yang telah dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, baik terhadap Wajib Pajak sendiri
maupun terhadap istri Wajib Pajak yang bekerja pada lebih dari satu
pemberi kerja, dan anak/anak angkat yang belum dewasa dikutip dari
Formulir 1721-A1 angka 21 dan/atau dari Formulir 1721-A2 angka 18
dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 21, tidak termasuk PPh Pasal 21 yang
bersifat final.
b. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 meliputi PPh yang telah dipungut dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan oleh :
a). Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas impor
barang.
b). Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik
ditingkat Pemerintah Pusat maupun ditingkat Pemerintah Daerah,
yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.

80
c). BUMN dan BUMD, yang melakukan pembelian barang dengan dana
yang bersumber dari belanja Negara (APBN) dan/atau belanja daerah
(APBD) kecuali badan-badan tersebut pada butir d.
d). Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Asset (PPA), BULOG,
PT.Telkom, PT.PLN, PT.Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT.Krakatau
Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian
barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-
APBN.
e). Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industry semen,
industry kertas, industry baja, dan industry otomotif yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas penjualan hasil
produksinya di dalam negeri.
f). Produsen atau importer bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
g). Industry dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
c. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 meliputi PPh yang telah dipotong dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan oleh pemotong PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa dividen,
bunga, royalty, hadiah dan penghargaan, sewa, imbalan atas jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak, kecuali pemotongan PPh yang bersifat final.
d. PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dalam tahun yang
bersangkutan sebesar PPh yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
UU PPh. Penghitungan batas maksimumkredit pajak luar negeri yang dapat
dikreditkan tersebut harus dilakukan untuk masing-masing Negara.

81
Dalam hal pajak yang dibayar/dipotong/terutang atas penghasilan di luar
negeri jumlahnya sama atau lebih kecil dari “batas maksimum kredit pajak
luar negeri yang dapat dikreditkan” tersebut, maka jumlah PPh Pasal 24
yang diisikan pada SPT Tahunan adalah sebesar pajak yang sebenarnya
dibayar/dipotong/terutang atas penghasilan di luar negeri. Namun apabila
pajak yang dibayar/dipotong/terutang atas penghasilan di luar negeri
jumlahnya lebih besar dari “batas maksimum kredit pajak luar negeri yang
dapat dikreditkan” maka jumlah PPh Pasal 24 yang diiskan pada SPT
Tahunan adalah “batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat
dikreditkan” tersebut.

e. PPh Pasal 26
Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah bersifat final namun
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dab
huruf c UU PPh dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga
potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.

10. Tarif Pajak


Tarif Pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp.50.000.000,-
5 % (lima persen)
(lima puluh juta rupiah)
di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,- (dua 15 % (lima belas persen)
ratus lima puluh juta rupiah)
di atas Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- 25 % (dua puluh lima persen)
(lima ratus juta rupiah)
di atas Rp. 500.000.000,- (dua ratus lima puluh
30 % (tiga puluh persen)
juta rupiah)

82
3.4 PPh Badan
1. Pengertian PPh Badan
Badan menurut UU Pajak Penghasilan adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.Badan merupakan subjek pajak
sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. PPh Badan
yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha yang
bertempat kedudukan Indonesia. Besarnya PPh yang terutang bergantung pada
jumlah besarnya laba sebelum pajak. Laba sebelum pajak dapat diketahui
secara akurat jika pembukuan yang dilakukan oleh WP telah sesuai dengan
ketentuan prinsip akuntansi berlaku umum dan UU Perpajakan.

2. Pembukuan Sebagai Dasar Perhitungan Pajak


Pembukuan sebagai dasar penghitungan pajak menurut UU No.7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.
36 Tahun 2008, dalam pasal 16 menyebutkan bahwa salah satu cara untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak adalah:
“Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban seperti yang di-
maksud pada pasal 4 ayat (1), pasal 6 dan pasal 9, dan untuk bentuk
usaha tetap (BUT) disebutkan pada pasal 5 ayat (2) dan ayat (3)”.

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk
memperoleh besaran laba kena pajak (penghasilan kena pajak) adalah dengan
cara penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban, cara demikian ini
tidak lain adalah pembukuan. Dalam pembukuan ini informasi yang terpenting

83
untuk menghitung PPh yang terutang yaitu penghasilan dan biaya. Proses
matching antara penghasilan dengan biaya terefleksikan dalam Laporan
Perhitungan Laba-Rugi Badan Usaha.

3. Klasifikasi Penghasilan Dan Biaya


Penghasilan dalam perpajakan dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
a) Penghasilan, Objek Pajak Penghasilan
b) Penghasilan, bukan Objek Pajak Penghasilan
c) Penghasilan yang dikenai Pajak Bersifat Final

Biaya dalam perpajakan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :


a) Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya
b) Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya

4. Penghasilan Badan Usaha


Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam konteks wajib
pajak badan, maka berikut ini termasuk pengertian penghasilan meliputi :
a) Laba Usaha
b) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta,
c) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya
d) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
e) Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi
f) Royalty
g) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,

84
h) Keuntungan karena pembebasan utang,
i) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing,
j) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva,
k) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.

5. Penghasilan Yang Dikenai Pajak Bersifat Final


Terdapat beberapa penghasilan yang dikenai Pajak Bersifat Final antara lain :
a) Bunga Deposito/ Tabungan, Diskonto SBI
b) Hadiah, Undian
c) Bunga Simpanan Anggota Koperasi
d) Penjualan Saham Pendiri (di luar Bursa Efek)
e) Penjualan Saham milik Perusahaan Modal Ventura
f) Penyalur, Dealer, Agen dari Produk Pertamina dan Premix
g) Penyalur, Grosir dari Terigu, Gula Pasir, Rokok
h) Penghasilan lain dari Usaha di bidang Pelayaran dan Penerbangan Luar
Negeri

6. Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak


Terdapat beberapa penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
a) Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima
b) Warisan
c) Harta setoran tunai sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
d) Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia
e) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
f) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
g) Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
perusahaan pasangannya.

85
7. Pengeluaran Yang Dapat Dibebankan Sebagai Biaya
Biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha
atau kegiatan usaha dalam rangka untuk memperoleh, mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan. Karena penghasilan ada yang dikelompokkan
sebagai penghasilan bukan obyek pajak, maka penghasilan yang dimaksudkan
dikurangi biaya ini adalah penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama manfaat
dari pengeluaran tersebut.

Besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 UU Pajak Penghasilan. Berikut pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto, meliputi :
a) Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, yaitu untuk mendapatkan/memperoleh, menagih dan
memelihara penghasilan (3M) antara lain :
- Biaya pembelian bahan
- Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang
- Bunga, sewa, dan royalty
- Biaya perjalanan
- Biaya pengolahan limbah
- Premi asuransi
- Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan
- Biaya administrasi, dan
- Pajak, kecuali pajak penghasilan

86
b) Penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
penyusutan atau amortisasi.
c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan. Kerugian karena penjualan atau pengalihan
harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau
dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
e) Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing merupakan unsure
pengurang penghasilan bruto. Kerugian selisih kurs mata uang asing
akibat fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan
yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas.
f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
g) Biaya Bea-Siswa, magang dan pelatihan. Biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang
dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada
pelajar, mahasiswa dan pihak lain.
h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.

87
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak, dan
- Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
i) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k) Biaya pembangunan infrastruktur social yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
l) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
m) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

8. Pengeluaran Yang Tidak Diperkenankan Mengurangi Penghasilan


Terdapat beberapa pengeluaran yang tidak diperkenankan mengurangi
penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Pajak Penghasilan. Untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan antara lain :
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

88
d) Premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali
jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk naturan dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf I sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasakran Peraturan Pemerintah.
h) Pajak Penghasilan.
i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa dengan yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

9. Kompensasi Kerugian Fiskal

89
Kompensasi Kerugian Fiskal merupakan kompensasi kerugian fiskal dari tahun
pajak-tahun pajak yang lalu berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU PPh atau karena
memperoleh fasilitas penanaman modal berupa kompensasi kerugian fiskal
yang lebih lama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU PPh, Jika
pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat
(1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5
(lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun
didapatnya kerugian tersebut.

Perhitungan kompensasi kerugian fiscal di sini hanyalah berkenaan dengan


kerugian fiscal dari kegiatan usaha di Indonesia saja, tidak termasuk kerugian
fiscal dari kegiatan usaha di luar negeri baik melalui bentuk usaha tetap (BUT)
ataupun bukan BUT. Terhadap kerugian fiscal dari kegiatan usaha di luar
negeri berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002
jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.13/2004 hanya dapat
dikompensasikan dengan keuntungan fiscal yang diterima dan/atau diperoleh
dari kegiatan usaha di luar negeri dari Negara yang sama (per country basis).
Dalam hal demikian, harus dibuat perhitungan kompensasi kerugian fiscal yang
terpisah dengan bentuk daftar yang sama.

10. Penyusutan Dan Amortisasi Fiskal


Penyusutan diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36
Tahun 2008. Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang
berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut.

90
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan
pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai
tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh
penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna


bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali adala biaya
perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai
dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang
berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu
hak-hak tersebut.

Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan :


a. Dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight line
method);atau
b. Dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau
decliningbalance method).

Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode

91
garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode
garis lurus atau metode saldo menurun.

Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai
sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan
pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis
dapat disusutkan dalam satu golongan.

Contoh penggunaan metode garis lurus :


Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun adalah sebesar Rp.
50.000.000,- (Rp. 1.000.000.000,- : 20).

Contoh penggunaan metode saldo menurun :


Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp. 200.000.000,- (seratu lima puluh juta rupiah).
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Jika tarif penyusutan
misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Tarif Pajak
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 200.000.000,-
2009 50% 100.000.000,- 100.000.000,-
2010 50% 50.000.000,- 50.000.000,-
2011 50% 25.000.000,- 25.000.000,-
2012 Disusutkan sekaligus 25.000.000,- 0,-

Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan


selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama
dihitung secara pro-rata.

92
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut : (Pasal 11 ayat (6) UU Pajak
Penghasilan)
Tabel 3.2 Kelompok Harta Berwujud
Tarif Penyusutan sebagaimana
Kelompok Harta Masa
dimaksud dalam
Berwujud Manfaat
Ayat (1) Ayat (2)
i. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
ii. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% -
Tidak Permanen 10 tahun 10% -

Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang


bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan
yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk
karyawan.

Amortisasi diatur dalam Pasal 11A UU Pajak Penghasilan, Amortisasi atas


pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,
dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dilakukan dalam bagian bagian yang sama besar atau dalam
bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tariff amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku
dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

93
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut :
Tabel 3.3 Kelompok Harta Tak Berwujud
Tarif Amortisasi berdasarkan
Kelompok Harta Masa
metode
Tak Berwujud Manfaat
Garis Lurus Saldo Menurun

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%


Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak
berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajk dalam
melakukan amortisasi.

Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang
sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan
didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Undang-undang. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya
tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak
menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud
dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan
kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal
masa manfaat sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut
diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.

11. Penghitungan Laba Fiskal/Penghasilan Kena Pajak


a. Pengertian
Laba Fiskal adalah laba yang dihitung berdasarkan ketentuan dan peraturan
undang-undang perpajakan. Laba fiskal ini juga dikenal sebagai laba kena

94
pajak atau penghasilan kena pajak. Laba kena pajak ini digunakan untuk
menghitung pajak penghasilan yang terutang.

b. Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal bertujuan untuk menyesuaikan laba komersial (yaitu laba
yang dihitung menurut Prinsip Akuntansi Berlaku Umum) dengan
ketentuan-ketentuan perpajakan sehingga diperoleh laba fiskal. Laporan
Perhitungan Laba-Rugi yang dibuat perusahaan merupakan laporan
keuangan yang disusun berdasarkan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum.
Oleh karena itu agar dapat menghitung besarnya pajak penghasilan yang
terutang, perusahaan harus melakukan penyesuaian laporan perhitungan
rugi labanya tersebut agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perpajakan. Langkah penyesuaian ini dilakukan dengan cara mencari pos-
pos rekening yang berbeda perlakuan antara prinsip akuntansi berlaku
umum dengan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan. Pos-pos
rekening ini yang perlu dilakukan koreksi fiskal.

c. Timbulnya Koreksi Fiskal


Hal-hal yang menimbulkan perbedaan antara Prinsip Akuntansi Berlaku
Umum dengan UU Perpajakan antara lain :
 Perbedaan Konsep Penghasilan
Contoh:
- Deviden yang diterima oleh PT, Yayasan, Koperasi,
BUMN/BUMD,
- Sisa Cadangan Kerugian Piutang bagi Bank, Leasing dan
Asuransi
 Perbedaan Cara Pengukuran Penghasilan
Contoh :
Penjualan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli
tidak melihat apakah ada hubungan istimewa atau tidak.
 Perbedaan Konsep Biaya

95
Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah semua
pengorbanan ekonomis dalam rangka memperoleh barang dan jasa.
Tidak terbatas hanya biaya untuk mendapatakan, menagih dan
memelihara penghasilan saja. Singkatnya, biaya menurut pajak
adalah pengeluaran-pengeluaran yang ada kaitan langsung dengan
perolehan penghasilan.
 Perbedaan Cara Pengukuran Biaya Sama dengan cara pengukuran
penghasilan, jika ada transaksi yang tidak wajar karena hubungan
istimewa maka transaksi tersebut harus dikoreksi.
 Perbedaan Cara Pembebanan atau Alokasi Biaya
Contoh :
- Penyusutan, hanya metode Garis Lurus dan Saldo
Menurun dengan tarif yang telah ditentukan.
- Pengakuan Kerugian Piutang hanya menggunakan metode
langsung.
- Penilaian Persediaan hanya menggunakan metode rata-rata
dan FIFO.
 Adanya penghasilan yang kena pajak penghasilan secara final.
Penghasilan yang dikenakan pajak secara final berarti telah
diperhitungkan pajak penghasilannya sehingga tidak perlu
diperhitungkan lagi dalam menghitung pajak penghasilan di akhir
tahun maka harus dikeluarkan dari laporan perhitungan laba-rugi.

d. Jenis Koreksi Fiskal


1. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif (FKP) adalah koreksi fiskal yang menambah
besarnya laba kena pajak. Penyesuaian fiscal positif ini bersifat
mengurangi biaya-biaya yang tidak diperbolehkan dan menambah
penghasilan. Biaya-biaya yang tidak diperkenankan tersebut diatur
dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.

96
2. Koreksi Fiskal Negatif
Koreksi Fiskal Negatif (FKN) adalah koreksi fiskal yang mengurangi
laba kena pajak.

12. Contoh-Contoh
a. Kompensasi Kerugian Fiskal
PT.XYZ berdiri pada tahun 2009. Pada Tahun Pajak 2016 Wajib Pajak
memperoleh rugi fiskal sebesar Rp. 5.000.000,-. Adapun
keuntungan/kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.4 Contoh 1
Tahun Laba / Rugi Jumlah
Pajak
2009 Rugi fiskal Rp. 20.000.000,-
2010 Rugi fiskal Rp. 5.000.000,-
2011 Rugi fiskal Rp. 1.000.000,-
2012 Rugi fiskal Rp. 100.000.000,-
2013 Rugi fiskal Rp. 20.000.000,-
2014 Laba fiskal Rp. 30.000.000,-
2015 Laba fiskal Rp. 10.000.000,-
2016 Rugi fiskal Rp. 5.000.000,-
Kompensasi Rp. 111.000.000

b. Penyusutan dan Amortisasi Fiskal


Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Masa
manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tariff
penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka
penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :

97
Tabel 3.5 Contoh 2
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 200.000.000,-
2013 6/12 x 50% 50.000.000,- 150.000.000,-
2014 50% 75.000.000,- 75.000.000,-
2015 50% 37.500.000,- 37.500.000,-
2016 Disusutkan 37.500.000,- 0,-
sekaligus

c. Koreksi Fiskal
PT. SURYA MAKMUR yang berdiri 1 Januari 2012 berusaha di bidang
garmen. Berikut ini laporan laba-rugi yang berakhir 31 Desember 2016 :

PT.Surya Makmur
Laporan Perhitungan Laba-Rugi
Per 31 Desember 2016

Penjualan Rp. 765.300.000,-


HPP (Rp. 450.000.000,-)
Laba Kotor Rp. 315.300.000,-
Total Biaya Usaha (Rp . 212.900.000,-)
Laba Sebelum Pajak Rp. 102.400.000,-

Total Biaya Usaha tersebut terdiri atas :


a. Gaji Karyawan Rp. 120.000.000,-
b. Penyusutan mesin Rp. 10.000.000,-
c. Penyusutan gedung Rp. 25.000.000,-
d. Penyusutan tanah Rp. 2.000.000,-
e. Biaya pengeluaran saham Rp. 500.000,-
f. Premi asuransi kebakaran Rp. 200.000,-

98
g. Sumbangan bencana gempa Rp. 100.000,-
h. Piutang ragu-ragu Rp. 500.000,-
i. Cadangan umum Rp. 20.000.000,-
j. Deviden yang dibayar Rp. 30.000.000,-
k. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 4.600.000,-
TOTAL BIAYA USAHA Rp. 212.900.000,-

Informasi Tambahan:
a) Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp. 120.000.000,00 termasuk
juga pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp. 150.000,00
sebulan untuk biaya sopir dan iuran asuransi kecelakaan dan
kematian karyawan Rp. 10.000.000,00 dan beras yang dibagikan
kepada karyawan Rp. 2.000.000,-.
b) Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi
Rp 50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan
rugilaba.
c) Harga perolehan mesin adalah Rp. 50.000.000,00 dan disusutkan
setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki
masa manfaat 4 tahun.
d) Gedung dengan harga perolehan Rp. 250.000.000,00 disusutkan
sebesar 10% setahun (metode garis lurus).
e) Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus)
f) Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata
telah mening-galkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui
alamatnya.
g) Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum
(merupakan pem-bentukan cadangan).

Penjelasan/Analisis :
a) Karena Rp 150.000,00 merupakan pengeluaran pribadi, maka tidak
boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan,sehingga

99
dalam satu tahun (Rp 150.000,00 X 12 bln) jumlahnya Rp
1.800.000,00. Demikian pula untuk iuran asuransi kecelakaan dan
kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp 10.000.000,00
juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto
perusahaan. Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan
termasuk natura sehingga tdk boleh dikurangkan terhadap
penghasilan bruto perusahaan. Total koreksi sejumlah Rp
13.800.000,00 harus dikoreksi fiscal positif karena koreksi ini
mengakibatkan laba kena pajaknya meningkat.
b) Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir
secara fisik atau secara langsung. Nilai persediaan akhir ini
berpengaruh pada nilai harga pokok penjualan. Jika hasil stock
opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp
50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugilaba,
maka nilai persediaan akhir tersebut perlu dikoreksi agar sesuai
dengan nilai persediaan akhir sesungguhnya. Akibatnya harga
pokok penjualan juga perlu dikoreksi, jika nilai persediaan akhir
naik sebesar Rp 50.000.000,00,maka harga pokok penjualan-nya
akan turun Rp 50.000.000,00. Turunnya harga pokok penjualan ini
berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak,maka koreksi
sebesar Rp 50.000.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif.
c) Penyusutan merupakan cara penghitungan manfaat ekonomis
dinikmati atau terpakai selama satu tahun. Nilai penyusutan ini
akan mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin tersebut. Peraturan
Perpajakan menetapkan bahwa tariff penyusutan untuk harta tetap
yang disusutkan dengan metode saldo menurun sebesar 50% dari
harga perolehannnya. Dengan demikian, wajib pajak dalam
melakukan penyusutan harta tetapnya ini kurang 30%, sehingga
besarnya penyusutan mesin ini perlu ditambah atau dikoreksi
sebesar 30% dari harga perolehannya yaitu 30% X Rp 50.000.000
atau Rp 15.000.000,00. Karena adanya penambahan biaya

100
penyusutan ini, biaya penyusutannya menjadi lebih besar atau naik
sebesar Rp 15.000.000,00. Hal ini menjadikan turunnya laba kena
pajak sebesar Rp 15.000.000,00 juga maka koreksi fiskalnya
disebut koreksi fiskal negatif.
d) Peraturan Perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi
bangunan permanen dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif
penyusutan untuk bangunan permanen sebesar 5% dan bangunan
tidak permanen sebesar 10% dari harga perolehannya. Karena
gedung merupakan bangunan permanen, maka tarifnya 5% X Rp
250.000.000,00, sehingga besarnya penyusutan bukan Rp
25.000.000,00 tetapi Rp 12.500.000,00. Oleh karena itu biaya
penyusutan gedung perlu dikoreksi menjadi Rp 12.500.000,00, atau
biayanya turun Rp 12.500.000,00. Turunnya biaya penyusutan ini
berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak, maka koreksi
sebesar Rp 12.500.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif.
e) Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah
yang digunakan produksi, misal untuk pembuatan batu bata,
genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak berlaku jika tanah yang
digunakan untuk memproduksi batu-bata, genting dan sejenisnya
tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas
tanah ini harus dikoreksi atau harus dikeluarkan dari cara
penghitungan laba kena pajak. Akibat koreksi terhadap biaya
penyusutan tanah ini, maka laba kena pajaknya akan naik sebesar
penghapusan biaya penyusutan tanah tersebut, maka koreksi fiscal
ata biaya penyusutan tanah sebesar Rp 2.000.000,00 ini disebut
koreksi fiscal positif.
f) Metode penghapusan piutang, dalam akuntansi ada 2 (dua) yaitu
metode indirect (tidak langsung) dan metode direct (langsung).
Metode Indirect, penghapusan piutang menggunakan cara taksiran
terhadap piutang yang telah melebihi waktu tagihannya. Semakin
lama umur tagihan piutang makadimungkinkan semakin kecil

101
tingkat tertagihnya. Piutang yang tidak dimungkinkan ditagih
dianggap sebagai Kerugian Piutang, sehingga cara ini dikenal
sebagai metode Cadangan Kerugian Piutang. Adapun metode
direct, penghapusan piutang jika benar-benar telah tidak dapat
ditagih secara riil,tidak berdasar taksiran. UU Perpajakan
menggunakan metode langsung ini, untuk menghapuskan piutang
yang tidak tertagih. Pada kasus ini, maka piutang ragu-ragu ini
dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat ditagih
secara riil, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan
dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam
menghitung laba kena pajak. Dengan demikian dalam hal ini tidak
terjadi koreksi fiskal.
g) Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak
diperkenankan dalam perpajakan maka cadangan umum ini harus
dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan.
Karena cadangan sifatnya mengurangi laba kena pajak maka
adanya koreksi terhadap cadangan umum ini maka laba kena pajak
menjadi bertambah maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
h) Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam
perpajakan kecuali sumbangan yang diatur secara resmi oleh
Pemerintah melalui peraturan pemerintah misal sumbangan GNOT,
PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban merapi ini tidak dapat
dikategorikan dalam jenis ini, maka harus dikoreksi atau
dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan ( mengurangi laba
kena pajak), sehingga adanya koreksi terhadap sumbangan korban
merapi ini, laba kena pajak menjadi ber-tambah maka koreksinya
disebut koreksi fiscal positif.
i) Segala macam pembayaran deviden dalam perpajakan tidak
diperkenakan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung
laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi. Akibatnya laba

102
kena pajak akan bertambah, maka koreksinya disebut koreksi fiskal
positif.
j) Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi
perpajakannya tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto
dalam menghitung laba kena pajak maka adanya koreksi terhadap
pajak penghasilan pasal 25 (PPh Pasal 25) ini laba kena pajak
menjadi bertambah sehingga koreksinya disebut koreksi fiskal
positif.

KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL


PT. SURYA MAKMUR

No Keterangan LK Komersial KF Positif KF Negatif LK Fiskal


1 Penghasilan Usaha
2 Penjualan 765.300.000 765.300.000
3 HPP (450.000.000) 50.000.000 (400.000.000)
4 Laba Kotor 315.300.000 50.000.000 365.300.000
5 Pengeluaran Usaha
6 Gaji Karyawan (120.000.000) 13.800.000 (106.200.000)
7 Peny.Mesin (10.000.000) (15.000.000) (25.000.000)
8 Peny.Gedung (25.000.000) 12.500.000 (12.500.000)
9 Peny.Tanah (2.000.000) 2.000.000 -
10 B.Penerbitan (500.000) (500.000)
Saham
11 Premi Ass (200.000) (200.000)
Kebakaran
12 Sumbangan (100.000) 100.000 -
13 Piutang Ragu-ragu (500.000) (500.000)
14 Cadangan Umum (20.000.000) 20.000.000 -
15 Deviden yg (30.000.000) 30.000.000 -

103
Dibayar
16 PPh yg dibayar (4.600.000) 4.600.000 -
17 Total Peng. Usaha (212.900.000) 83.000.000 (15.000.000) (144.900.000)
18 Laba Sebelum 102.400.000 133.000.000 (15.000.000) 220.400.000
Pajak

13. Pajak Penghasilan Terutang


PPh Terutang, untuk pengisian PPh terutang wajib pajak memilih salah satu
penghitungan PPh terutang sesuai dengan kondisi Wajib Pajak.
a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Adalah tarif yang diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, yaitu sebesar 25 % (sejak tahun 2010). PPh terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Penghasilan Kena Pajak.
Contoh :
Jumlah peredaran bruto tahun pajak 2012 Rp. 54.000.000.000,- dengan
Penghasilan Kena Pajak Rp. 4.000.000.000,-.
PPh terutang = Rp. 4.000.000.000,- x 25% =Rp. 1.000.000.000,-

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)


Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak
tersebut dapat memperoleh tariff sebesar 5% (lima persen) lebih rendah
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) UU PPh.
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak dalam Tahun 2010 Rp. 1.250.000.000,-
PPh terutang = (25%-5%) x Rp. 1.250.000.000,- = Rp. 250.000.000,-

104
PP No.81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif PPh bagi Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka.

c. Tarif PPh Pasal 31E


Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tariff sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenai atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- maka
penghitungan PPh terutang yaitu 50% x 25% x seluruh Penghasilan
Kena Pajak..
2. Jika peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000,- sampai dengan
Rp. 50.000.000.000,- maka penghitungan PPh terutang yaitu :

Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena


PPh Terutang = (50% x 25%) x + 25% x
dari bagian peredaran Pajak dari bagian
bruto yang memperoleh peredaran bruto yang
fasilitas tidak memperoleh
fasilitas

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang


memperoleh fasilitas yaitu :

Rp. 4.800.000.000,- x Penghasilan Kena Pajak


Peredaran Bruto
Contoh :
Peredaran bruto PT XYZ dalam Tahun Pajak 2012 sebesar Rp.
4.500.000.000,- dengan Penghasilan Kena Pajak Rp. 500.000.000,-.
Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak
yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dengan mengalikan 50%

105
dari tarif karena jumlah peredaran bruto tidak melebihi Rp.
4.800.000.000,-.
PPh terutang = 50% x 25% x Rp. 500.000.000,- = Rp. 62.500.000,-

Contoh 2 :
Peredaran bruto PT XYZ dalam Tahun Pajak 2012 sebesar Rp.
30.000.000.000,- dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.
3.000.000.000,-
Penghitungan PPh terutang :
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas = (Rp. 4.800.000.000,- : Rp. 30.000.000.000,-
) x Rp. 3.000.000.000,- = Rp. 480.000.000,-
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas = Rp. 3.000.000.000 - Rp. 480.000.000=
Rp. 2.520.000.000,-
 PPh yang terutang
= (50% x 25% x Rp. 480.000.000,-) + (25% x Rp.
2.520.000.000,-)
= Rp. 60.000.000,- + Rp. 630.000.000,-
= Rp. 690.000.000,-

Pengembalian/Pengurangan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)


Yang Telah Diperhitungkan Tahun Lalu, diisi dalam hal memperoleh
pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang
terutang/dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24), yang sebelumnya telah
diperhitungkan sebagai kredit PPh yang terutang pada Tahun Pajak yang
lalu, diisi sebesar jumlah pengurangan atau pengembalian pajak tersebut.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit


Pajak Luar Negeri

106
14. Kredit Pajak
PPh Ditanggung Pemerintah (Proyek Bantuan Luar Negeri)PPh Ditanggung
Pemerintah diisi dalam hal memperoleh fasilitas PPh Ditanggung Pemerintah
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Kontraktor, Konsultan, dan
Pemasok (supplier) Utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah
dan/atau dana pinjaman luar negeri.

Diisi dengan jumlah PPh yang tidak bersifat final dengan formula sebagai
berikut :

Dana Pinjaman LN/Hibah x PPh Terutang


Total Biaya Proyek

Kredit Pajak Dalam Negeri & Luar Negeri diisi jumlah PPh yang telah
disetorkan baik melalui mekanisme pemotongan maupun pemungutan di dalam
maupun di luar negeri. Kredit Pajak juga berasal dari PPh Pasal 25 yang telah
dibayar sendiri.

15. PPh KURANG/LEBIH BAYAR


PPh Kurang Bayar merupakan kekurangan pembayaran PPh terutang setelah
dikurangkan dengan kredit pajak baik yang berasal dari
pemotongan/pemungutan maupun pembayaran PPh Pasal 25. Pelunasan PPh
Kurang Bayar disebut dengan PPh Pasal 29 yang harus disetorkan sebelum
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan. PPh Lebih Bayar merupakan
kelebihan pembayaran PPh terutang setelah dikurangkan dengan kredit pajak.
Dengan kondisi Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak memiliki hak untuk
meminta kembali pajak yang telah disetorkan melalui mekanisme Restitusi atau
mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak tersebut ke pembayaran
utang pajak.

107
16. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN
Untuk Wajib Pajak pada umumnya, pembayaran PPh Pasal 25 tahun berjalan
berlaku mulai bulan keempat tahun berjalan atau saat masa pajak April tahun
berjalan. Penghasilan yang dijadikan dasar penghitungan angsuran adalah
penghasilan teratur menurut SPT Tahunan Tahun Pajak yang lalu.

Untuk Wajib Pajak bank dan perusahaan pembiayaan sewa guna usaha dengan
hak opsi (financial lease), berlaku untuk tiga bulan pertama tahun berjalan, dan
selanjutnya dihitung kembali setiap tiga bulan dengan cara yang sama.
Penghasilan yang dijadikan dasar penghitungan angsuran adalah sebesar PPh
yang dihitung berdasarkan penerapan tariff umum atas laba-rugi fiscal menurut
laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24
yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk Tahun Pajak yang lalu, dibagi
12.

Untuk Wajib Pajak BUMN dan BUMD, berlaku sejak bulan pertama tahun
berjalan. Penghasilan yang dijadikan dasar penghitungan angsuran adalah
sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi
fiscal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) Tahun Pajak
bersangkutan yang telah disahkan RUPS dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri Tahun Pajak yang lalu, dibagi 12.

LATIHAN SOAL
SOAL 1
PT JUJUR bergerak dalam bidang perdagangan makanan kecil. Selama tahun 2016
memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp500.000.000 dengan kos barang terjual
(harga pokok penjualan) sebesar Rp300.000.000. Biaya yang terjadi selama tahun
2016:
 Biaya gaji Rp50.000.000 termasuk yang diberikan dalam bentuk beras
Rp5.000.000
 Biaya kemasan Rp5.000.000
 Biaya pemasaran Rp12.000.000

108
 Biaya listrik dan telpon Rp2.000.000; termasuk pembelian vocer hp direktur
Rp250.000
 Biaya transportasi Rp6.000.000; termasuk biaya antar-jemput karyawan
Rp2.000.000

Diminta:
a. Susunlah laporan laba rugi sesuai dengan peraturan perpajakan
b. Hitunglah besarnya pajak yang harus dibayar PT JUJUR

SOAL 2
Tuan Suryo (K/2), mempunyai usaha foto studio di Yogyakarta. Selama tahun 2016
penghasilan bruto dari usahanya sebesar Rp425.000.000. Pada awal tahun 2016 Tuan
Suryo telah memberitahukan kepada fiskus melalui Kantor Pelayanan Pajak setempat
bahwa Tuan Suryo akan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Menurut tabel, tarip untuk usaha foto studio adalah 37%. Hitunglah:
a. Penghasilan neto Tuan Suryo dari usaha foto studio tahun 2016
b. Penghasilan tidak kena pajak Tuan Suryo tahun 2016 (mengikuti aturan
terbaru!)
c. Jumlah pajak terutang Tuan Suryo selama tahun 2016

SOAL 3
Kurniadi, seorang pengusaha restoran yang berhasil. Selama tahun 2016 mempunyai
peredaran bruto sebesar Rp585.000.000. Kurniadi masih lajang dengan menanggung
ibu kandung dan 3 orang adik kandung yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Kurniadi telah mendapat ijin untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto dengan tarif 40%. Hitunglah:
a. Penghasilan neto untuk menghitung Pajak penghasilan terutang Kurniadi selam
tahun pajak 2016
b. Penghasilan tidak kena pajak yang dapat dikurangkan
c. Pajak penghasilan terutang selama tahun 2016

SOAL 4
Pada saat melaporkan SPT 2016 yang dilaporkan tanggal 31 Maret 2016, diketahui
Badu (K/2) memperoleh penghasilan neto (belum dikurangi PTKP) sebesar
Rp62.5000.000. PPh pasal 22 dan 23 yang dibayarkan sebesar Rp700.000 dan
Rp150.000.
a. Hitunglah pajak terutang tahun 2016
b. PPh pasal 25 untuk bulan Maret-Desember 2016

109
110
BAB 4
PPN dan PPnBM

P ajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
telah mengalami serangkaian perubahan. Pertama kali diundangkan pada
Undang-Undang No 8 Tahun 1983 yang kemudian dilakukan beberapa kali perubahan
terakhir dengan Undang-Undang No 49 Tahun 2009. Perubahan-perubahan tersebut juga
disertai dengan adanya perubahan-perubahan pada ketentuan-ketentuan operasionalnya.

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari buku ini, diharapkan pembaca memiliki kemampuan yang baik dalam:
1. Mengenal istilah-istilah umum dalam bidang PPN dan PPnBM
2. Mengetahui objek dan wajib pajak PPN
3. Mengetahui tata cara perhitungan PPN
4. Mengetahui tata cara pelaporan PPN

4.1 ISTILAH-ISTILAH PENTING


Sebelum membahas lebih lanjut, berikut ini disajikan pengertian dari istilah-istilah
yang terkait dengan PPN dan PPnBM sebagaimana dikutip dan disarikan dari
Undang-undang No 49 Tahun 2013.
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-
Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

111
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
undang PPN dan PPNBM.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang
PPN dan PPNBM.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke
dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan
Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan
tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

112
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukanusaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-undang PPN dan PPNBM.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau
mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk
menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak PertambahanNilai yang dipungut menurut Undang-undang PPN
dan PPNBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yangdipungut menurut Undang-undang PPN
dan PPNBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa
karenapemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang

113
Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-undang PPN dan PPNBM.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar harga BarangKena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/ataupenyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah
Pabean.

114
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke
luar Daerah Pabean.

4.2 OBJEK PPN


Objek PPN terdiri dari:
1. Pasal 4 ayat (1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

2. Pasal 16C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiriatau digunakan pihak lain yang batasan dan
tata caranya diatur dengan KeputusanMenteri Keuangan.
Ketentuan yang mengatur tentang Kegiatan Membangun sendiri yang berlaku saat
ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No163/PMK.03/2012.

115
3. Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa
aktiva yang menuruttujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha
Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktivayang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b adalah
mengenai perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
Pasal 9 ayat (8) huruf c adalah mengenai perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan
atau disewakan.

4.3 WAJIB PAJAK PPN


Pada dasarnya setiap pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP di dalam
Daerah Pabean wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) kecuali
pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal 1
Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan menyebutkan yang dimaksud pengusaha kecil adalah pengusaha
yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 3A UU No. 49 Tahun 2009, pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP/JKP memiliki kewajiban-kewajiban di bidang PPN antara lain :
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Bagi Pengusaha Kecil yang dalam suatu masa pajak dalam satu tahun buku
jumlah peredaran bruto sudah melebihi batasan Pengusaha Kecil , maka
pengusaha yang bersangkutan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
2. Memungut Pajak yang terutang
Kewajiban memungut PPN ini diimplementasikan dalam wujud PKP wajib
membuat Faktur Pajak atas setiap kegiatan penyerahan BKP/JKP di dalam
Daerah Pabean.

116
3. Menyetor Pajak terutang
Setelah kewajiban seorang PKP yang lain adalah menyetorkan hasil
penghitungannya tentang PPN/PPnBM yang terutang dalam suatu saat atau
Masa Pajak. Pasal 15 A ayat (1) UU No 49/2009 menyebutkan bahwa
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan.
4. Melaporkan penghitungan Pajak
Kewajiban PKP ini diwujudkan dengan pemenuhan kewajiban penyampaian
SPT Masa Pasal 15 A ayat (1) UU No 49/2009 menyebutkan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

Khusus atas kegiatan impor BKP, pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP di


dalam Daerah Pabean oleh siapapun (baik PKP atau bukan PKP) tetap merupakan
Objek PPN. Wajib Pajaknya adalah importir atau pihak yang memanfaatkan BKP
Tidak Berwujud/ JKP dari Luar Daerah Pabean.
Demikian juga atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur oleh Menteri
Keuangan merupakan Objek PPN dan Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau
badan (baik PKP atau bukan PKP) yang melakukan kegiatan membangun sendiri

4.4 PEMUNGUT PPN SEBAGAI SUBJEK PAJAK PENGGANTI


Selain PKP, Undang-undang No 49 Tahun 2009 juga menunjuk Pemungut PPN
sebagai Subjek Pajak Pengganti PKP. Jadi Pemungut PPN sebagai pembeli, oleh UU
PPN dan PPnBM ditunjuk sebagai Subjek Pajak. Hal ini diatur di Pasal 1 angka 27
UU Nomor 42 Tahun 2009. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang

117
oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah
tersebut.Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP kepada Pemungut
PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.

Barang Dan Jasa Tidak Kena Pajak


1. Barang Tidak Dikenakan Pajak
Pada dasarnya semua barang dikenakan PPN, kecuali yang ditentukan lain oleh
Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 4a ayat (2) UU No 8 Tahun 1983 stdtd
UU No 42 Tahun 2009, jenis barang yang tidak dikenakan PPN Jenis barang
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam
kelompok barang sebagai berikut:
a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, meliputi
- minyak mentah (crude oil);
- gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap
dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
- panas bumi;
- asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite),
grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika,
marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit,
fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome,
tanah liat, tawas (alum), tras,yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
- batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
- bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih
perak, serta bijih bauksit.;
b) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
meliputi;
- beras;
- gabah;

118
- jagung;
- sagu;
- kedelai;
- garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
- daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui
proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan,
dikemas atau tidak dikemas,digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan
dengan cara lain, dan/atau direbus;
- telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
- susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan
lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
- buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
- sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
c) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dansejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupuntidak, termasukmakanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga ataukatering; dan
d) uang, emas batangan, dan surat berharga

4.6 JASA KENA PAJAK


Pada dasarnya semua jasa dikenakan PPN, kecuali yang ditentukan lain oleh
Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 4a ayat (3) UU No 8 Tahun 1983 stdtd UU No
42 Tahun 2009, jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompokjasa sebagai berikut:
1. jasa pelayanan kesehatan medis meliputi

119
a. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;jasa dokter hewan;
b. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
c. jasa kebidanan dan dukun bayi;
d. jasa paramedis dan perawat;
e. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium;
f. jasa psikologi dan psikiater;dan
g. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukanoleh paranormal.;
2. jasa pelayanan sosial; meliputi
a. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b. jasa pemadam kebakaran;
c. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. jasa lembaga rehabilitasi;
e. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium; dan
f. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
4. jasa keuangan, meliputi
a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu;
b. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
- sewa guna usaha dengan hak opsi;
- anjak piutang;
- usaha kartu kredit; dan/atau
- pembiayaan konsumen;

120
- jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai,
- termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
- jasa penjaminan.
5. jasa asuransi;
6. jasa keagamaan;
7. jasa pendidikan;
8. jasa kesenian dan hiburan;
9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadibagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri;
11. jasa tenaga kerja;
12. jasa perhotelan;
13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secaraumum;
14. Jasa penyediaan tempat parkir;
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17. Jasa boga atau katering

4.7 TEMPAT PAJAK TERUTANG


Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No 42/2009 tempat PPN terutang antara lain
1. Tempat tinggal atau tempat kedudukan usaha PKP
2. Tempat kegiatan usaha dilakukan
3. Tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
4. Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas
permohonan tertulis dari PKP
5. Tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, dalam hal impor
6. Bagi orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

121
Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.

4.8 SAAT PAJAK TERUTANG


Saat terutang pajak berkaitan erat dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat
pembuatan Faktur Pajak berkaitan dengan saat penyetoran dan pelaporan pajak yang
terutang. Dari sini tampak jelas bahwa antara objek pajak, saat terutang, saat
pembuatan faktur pajak, saat penyetoran dan saat pelaporan merupakan satu mata
rantai mekanisme PPN yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Saat terutangnya PPN
meliputi.
1. Saat Terutang PPN untuk Penyerahan BKP dan JKP
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 mengatur bahwa saat
terutangnya PPN antara lain.
a. Penyerahan BKP
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP
d. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
h. Ekspor Jasa Kena Pajak
2. Saat Terutang untuk kegiatan Membangun Sendiri
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Saat terutang Pajak
Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada
saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.

4.9 DASAR PENGENAAN PPN


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terdiri dari:
1. Dasar Pengenaan Pajak Umum
a. Harga Jual
b. Penggantian

122
c. Nilai Impor
d. Nilai Ekspor
2. Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 1 angka 3 Peraturan menteri Keuangan No 75/PMK.03/2010, Nilai Lain
adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Pasal
2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 38/PMK.011/2013 Nilai
lain meliputi.
a) untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b) untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c) untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
harga jual rata-rata;
d) untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film;
e) untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual
eceran;
f) untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
g) untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah
harga pokok penjualan atau harga perolehan;
h) untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
i) untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
j) untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen)
dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih;

123
k) untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah
10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih;
l) untuk penyerahan emas perhiasan termasuk penyerahan jasa perbaikan
dan modifikasi emas perhiasan serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan
emas perhiasan, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan adalah
20% (dua puluh persen) dari harga jual emas perhiasan atau nilai
penggantian;
m) untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang
didalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya
transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
yang ditagih atau seharusnya ditagih.
3. DPP Membangun Sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaan
Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
163/PMK.03/2012, DPP untuk Kegiatan membangun sendiri adalah adalah
20% (dua puluh persen) dari dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan
tanah.

4.10 TARIF PPN


Sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang No 42 Tahun 2009 tarif PPN dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif PPN dapat diubah menjadi serendah-
rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)
3. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.

124
Tata cara penghitungan PPN

Besarnya PPN yang dipungut adalah dengan mengalikan DPP dengan Tarif PPN.

4.11 FAKTUR PAJAK


1. Saat Dibuatnya Faktur Pajak
Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal pajak No 24/PJ/2012 menyebutkan bahwa
saat dibuatnya faktur pajak adalah
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan;
d. saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah
sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; atau
e. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

2. Tata Cara Pengisian


a. Penomoran
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu :
 2 (dua) digit Kode Transaksi
Dua Kode Transaksi terdiri dari:
01 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan
PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP.
02 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN
Bendahara Pemerintah yang PPNnya dipungut oleh Pemungut PPN
Bendahara Pemerintah.
03 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN
Lainnya (selain Bendahara Pemerintah) yang PPNnya dipungut oleh
Pemungut PPN Lainnya (selain Bendahara Pemerintah) .
Pemungut PPN Lainnya selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini adalah
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor

125
atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas
Bumi, Badan Usaha Milik Negara atau Wajib Pajak lainnya yang ditunjuk
sebagai Pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap Kontrak
Karya Pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist
ditunjuk sebagai Pemungut PPN.
04 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan DPP
Nilai Lain yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP.
05 Kode ini tidak digunakan.
06 digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPNnya dipungut oleh PKP
Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan penyerahan
kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16E Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai.
07 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN
Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
08 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas
Dibebaskan dari pengenaan PPN.
09 digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D yang PPNnya dipungut oleh
PKP Penjual
yang melakukan penyerahan BKP.

 1 (satu) digit Kode Status


Kode yang dipergunakan adalah:
- 0 (nol) untuk status normal;
- 2) 1 (satu) untuk status penggantian
- 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Keterangan Yang Wajib Dimuat Dalam Faktur
Faktur Pajak harus memuat keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
mencantumkan :
- nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan
potongan harga;

126
- Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
- kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
- nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan di atas termasuk faktur pajak
tidak lengkap dan kepada PKP dapat dikenakan sanksi berupa denda
sebesar 2 % dari DPP sebagimana diatur dengan Pasal 14 Undang-undang
No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Khusus untuk
pedagang eceran, tidak dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal
14 Undang-undang No 28 Tahun 2007 apabila faktur pajak tidak memuat
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak, serta nama dan tandatangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.

Pengertian Pedagang eceran menurut PeraturanDirektur jenderal pajak


NO24/PJ/2012 Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah Pengusaha
Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan:
a 1. Penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut :
. 1 a. melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung
mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat
konsumen akhir lainnya;
) b. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada
konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis,
pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
3 c. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi
jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli
langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak
yang dibelinya; atau
b 2. Penyerahan Jasa Kena Pajak dengan cara sebagai berikut :
. 1 a. melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada

127
konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat
konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
2 b. dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa
didahului penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau
lelang; dan
3 c. pada umumnya pembayaran atas penyerahan Jasa Kena Pajak
dilakukan secara tunai.

4.12 PAJAK KELUARAN DAN PAJAK MASUKAN


1). Pajak Keluaran
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

2). Pajak Masukan


Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

Pajak Masukan nantinya akan dijadikan kredit pajak saat PKP menghitung besar
kewajiban PPN yang harus disetor kepada negara saat dibuatnya Surat
Pemberitahuan (SPT) masa PPN.
Beberapa Pedoman dalam pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 Undang-undang No 49 Tahun 2009 antara lain.
a) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
dalam Masa Pajak yang sama.
b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan

128
c) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.
d) Bagi wajib pajak dengan jumlah peredaran usaha tertentu, dapat menggunakan
pedoman pengkreditan pajak masukan yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
e) Pajak-pajak masukan dengan kreiteria berikut ini tidak dapat dikreditkan
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
atau ayat (9) Undang-undang PPN barang dan Jasa dan PPnBM atau tidak
mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-undang
PPN barang dan Jasa dan PPnBM;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak

129
Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
dan
- perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2a) Undang-undang PPN barang dan Jasa dan PPnBM.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan


Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan dapat dipergunakan oleh PKP-
PKP berikut ini.
a) Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak
yang mempunyai peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu. Sebagai mana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/PMK.03/2010, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan tentang
pedoman pengkreditan pajak masukan antara lain:
 Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan apabila memenuhi syarat :
 mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak
melebihi Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)
untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
 Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang bermaksud
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan harus
memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling lama :
 pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya
penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, bagi
mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak
melebihi Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)
 pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak saat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

130
Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan harus melaksanakan secara taat asas dalam 1 (satu) tahun buku,
sepanjang peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp
1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).
d. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, yaitu sebesar
 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena
Pajak; atau
 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang
Kena Pajak

e. Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak


yang melakukan kegiatan usaha tertentu
Sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
79/PMK.03/2010, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan
Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak
yang melakukan kegiatan usaha tertentu antaralain.
 Hanya bagi PKP yang semata-mata melakukan kegiatan usaha penyerahan
kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau penyerahan emas perhiasan
secara eceran.
 Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu sebesar :
 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha
Kena Pajak melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara
eceran;
 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha
Kena Pajak melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran

131
4.13 PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH
1. Ketentuan umum tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
antaralain.Dikenakan terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
3. PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM
4. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
5. Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
6. Perlakuan tarif dibedakan berdasar kelompok-kelompok barang mewah yang
diatur dengan Peraturan Menteri keuangan.

4.13 TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN PPN dan


PPNBM
Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN setidaknya membutuhkan 2
instrumen penting yaitu formulir dan Surat Setoran Pajak (SSP).
1). Formulir
Terdapat dua jenis formulir SPT masa PPN yaitu:
a. SPT Masa PPN 1111, dipergunakan PKP yang menggunakan mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan.
b. SPT Masa PPN 1111DM, dipergunakan bagi PKP yang menggunakan
pedoman penghitungan Pajak masukan.
c. SPT 1107 Put yang digunakan oleh para pemungut.

132
Khusus bagi PKP yang menggunakan formulir 1111 dan 1111 DM selain
tersedia formulir dalam bentuk hardcopy juga terdapat formulir dalam bentuk
elektronik atau yang disebut e-SPT PPN. E-SPT PPN dipergunakan oleh
seluruh PKP badan, dan PKP orang pribadi dengan omset perbulan tidak
kurang dari Rp 400.000.000, - atau memiliki lebih dari 25 dokumen faktur.

2). Surat Setoran Pajak


SSP merupakan instrumen yang dipergunakan untuk melakukan pembayaran
pajak. Berdasar penggunanya, tata cara pengisian SSP adalah sebagai berikut.
Pelaku Identitas Kode MAP TandaTangan SSP
PPN dipungut sendiri PKP 411211-100 PKP
Telah PPN dipungut PKP 411211-900 Rekanan
Pemungut

Setelah formulir dan lempiran kelengkapannya terisi benar dan lengkap maka
PKP atau pemungut dapat menyerahkannnya ke Tempat Pelayanan Terpadu
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP tersebut terdaftar.

SOAL LATIHAN
1). PT Denpasar Jaya bergerak dibidang jual-beli sandal tanggal 2 September 2013
baru saja dikukuhkan sebagai PKP. Saat ini PKP tersebut telah mendapat jatah
faktur 13.900.00000001 s.d. 13.900.00000020. Menurut pembukuannya, selama
masa September 2013 diperoleh data sebagai berikut
a. Menjual 1000 unit pasang sandal kepada PT Badung senilai Rp 100.000.000
pada 4 September 2013.
b. Menjual 1200 unit pasang sandal kepada PT Sempidi senilai Rp 120.000.000
pada 20 September 2013.
c. Memperoleh nota pembelian tertanggal 3 September 2013 dari PKP rekanan
bisnis atas pembelian 10 ember pewarna Sandal sebesar Rp 10.000.000,-
d. Memperoleh faktur pajak tertanggal 1 Agustus 2013 senilai Rp 5.000.000,- dari
rekanan atas pembelian kardus kemasan sandal.

133
e. Memperoleh faktur pajak tertanggal 4 September 2013 dari PKP rekanan atas 9
ember pembelian pewarna Sandal Rp 10.000.000.
f. Menjual kepada instansi pemda daerah sebanyak 100 unit pasang Sandal pada
Tanggal 25 September 2013 senilai Rp 10.000.000.
Bantulah PT Denpasar jaya membuat faktur atas penyerahan BKP, hitung PPN
yang harus disetor ke negara untuk masa September, dan buatlah SPT masanya.
2). Pak Budi sedang membangun sebuah rumah pondok di Jimbaran dengan keluasan
500 m2. Setelah dilakukan perhitungan dibutuhkan biaya sebanyak Rp
1.500.000.000,-. Tentukan jenis objek dan besar PPN yang terutang jika;
a. Pak Budi membangunnya sendiri
b. Pak budi menggunakan perusahaan jasa kontraktor yang sudah PKP sebagai
pelaksananya.
3). Pak Ahmad adalah PKP yang bergerak dalam bidang penjualan alat rumah tangga
yang telah melaporkan kegiatan usahanya akan menggunakan pedoman
penghitungan kredit pajak masukan. Ybs. telah mendapatkan jatah nomor faktur
13.900.00000001 s.d. 13.900.00000020 dari Kantor Pelayanan Pajak. Dari data
administrasinya diperoleh data bahwa sepanjang September 2013 terdapat rekaman
transaksi sebagai berikut.
a. Menjual perabot furniture senilai Rp 80.000.000,- kepada PT anugrah pada
tanggal 2 sepetember 2013
b. Menjual perabot perkebunan senilai Rp 75.000.000,- kepada PT kebun sejahtera
pada Tanggal 9 september 2013
c. Memperoleh faktur pajak atas pembelian dari PT alam sutera atas pembelian
alat-alat perkebunan senilai Rp 90.000.000,- pada tertanggal 5 september 2013
d. Memperoleh nota atas pembelian tertanggal 15 September 2013 dari seorang
pedagang eceran atas pembelian 10 pisau dapur yang niatnya akan dijual
kembali senilai Rp 2.000.000,-.
Bantulah Pak Ahmad menyiapkan faktur dan laporan SPT masa September 2013.

134
REFERENSI

Arief. 2001. Pelaksanaan Penyuluhan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara.
Asshiddiqie, Jimly. 2006.Pembangunan Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia.
Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Boediono. Pelayanan Prima Perpajakan. 2003. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Bohari. 2002. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Burton, Richard, dkk. 1997. Perpajakan.Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Bwogo, Hanantha.2005. Pemeriksaan Pajak di Indonesia.Jakarta:PT Grasindo.
Devano, Sony. 2006. Perpajakan Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Gade, Jamaluddin.2002. Hukum Pajak.Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hutagaol, John. 2007. Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Graha Ilmu.
Lamandasa, Raimond. 2007. Artikel Penegakan Hukum. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada Mardiasmo. 2009. Perpajakan, Jakarta : Salemba Empat.
Mardiasmo.2011. Perpajakan.Yogyakarta:Andi.
Milliron, V. A.1988. Conseptual Model of Factor Influencing Tax Preparers Agresiveness,
in Shane Moriarity and Julie H. Collins, eds., Contemporary Tax Research, pp. 1-
15.
Nurmantu, Safri. 2005. Pengantar Perpajakansi, Jakarta: Granit
Pandiangan, Liberti. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang Terbaru. Jakarta:PT Elex Media Komputindo.
Richardson, Grant. 2006. The Impact of Tax Fairness Dimensions on Tax Compliance
Behavior in an Asian Jurisdiction: The Case of Hong Kong. International Tax
Journal, p 29-42.
Soemitro, Rochmat. 1997.Asas dan Dasar Perpajakan.Bandung:PT Retika Aditama.
Widodo, Widi,dkk. 2010. Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Wajib Pajak. Bandung :
ALFA BETA
Yuraida. 2010. Pelaksanaan Peyuluhan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatra Utara.
Zain, Mohammad. 2007. Manajemen Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat

135

Anda mungkin juga menyukai