Anda di halaman 1dari 42

Perencanaan Pajak Penghasilan

Revisi Makalah Mata Kuliah Perencanaan dan Akuntansi Pajak

Kelas : D

Disusun oleh :
Benedictus Adriel P 6081901237

Dosen Mata Kuliah: Justina Maria S., Dra., S.E., M.Ak., Ak., CA.

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG
2022
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
karunianya sehingga makalah yang berjudul “Perencanaan Pajak Penghasilan” dapat kami
selesaikan dengan baik dan tepat waktu.Kami berharap dengan penulisan makalah ini dapat
menambah pengetahuan kepada para pembaca tentang perencanaan pajak penghasilan.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Perencanaan dan Akuntansi
Perpajakan,oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Justina Maria S., Dra.,
S.E., M.Ak., Ak., CA. selaku dosen mata kuliah Perencanaan dan Akuntansi Perpajakan yang
memandu kami dan membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu,kami
sangat mengharapkan serta menerima kritik dan saran demi memperbaiki serta
menyempurnakan makalah ini.

Bandung, 20 November 2022

Tim Penyaji

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1

DAFTAR ISI 2

BAB I 3
Pendahuluan 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5

BAB II 6
Pembahasan 6
2.1 Kreativitas Manajemen Pajak dan Tanggung Jawab Kepada Pemangku Kepentingan 6
2.2 Siklus Bisnis Dan Upaya Manajemen Pajak 8
2.3 Pilihan Atas Pendirian Usaha 8
2.4 Pemilihan Bentuk Usaha 8
1. Partnership 8
2. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi partnership 9
3. Perseroan Terbatas 11
4. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi perseroan terbatas 14
5. Perusahaan perseorangan 16
2.5 Pemilihan Struktur,Proses & Model Bisnis,Dan Pendekatan Usaha 21
1. Struktur holding-terintegrasi vs subsidiaries-disintegrasi 21
2. Pendekatan bisnis kontraktor utama - subkontraktor(outsourcing) vs joint-operation
untuk penanganan suatu projek 23
2.6 Pembukuan dan Pemilihan Metode Akuntansi yang Menguntungkan 25
1. Pembukuan stelsel akrual vs stelsel kas campuran (termodifikasi) 27
2. Sistem penilaian persediaan 27
3. Metode perhitungan penyusutan dan amortisasi 28
2.7 Rekonsiliasi Fiskal 30
1. Koreksi fiskal atas penghasilan perusahaan 31
2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang 34
2.8 Perencanaan Pajak Saat Penutupan Perusahaan 37

BAB III 40
Kesimpulan 40

Daftar Pustaka 41

2
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021,pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.Oleh sebab itu baik individu maupun badan yang sudah memenuhi syarat wajib pajak
diharuskan untuk membayar pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 2 adalah orang pribadi
atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021,badan adalah
sekumpulan orang/modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,perseroan
komanditer,perseroan lainnya,badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun,firma,kongsi,koperasi,dana
pensiun,persekutuan,perkumpulan,yayasan,organisasi sosial politik,atau organisasi
lainnya,lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,setiap wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan. Ketentuan penyelenggaraan pembukuan dalam Undang – Undang Perpajakan
hanya memberikan pembatasan untuk hal – hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan
maupun beban sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pengakuan pendapatan dan
beban antara Standar Akuntansi Keuangan dan Ketentuan Perpajakan yang berlaku.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,pembukuan merupakan suatu proses pencatatan
yang dilakukan secara teratur dengan pengumpulan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta total perolehan dan penyerahan
atas barang/jasa.

3
Yang menjadi objek pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021,adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak,baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,dengan nama dan
dalam bentuk apapun
Untuk mendapatkan PPH terutang atau kewajiban membayar pajak seminimal
mungkin,wajib pajak badan dapat melakukan tax planning.Tax planning memiliki tujuan
untuk Bertujuan untuk mengefisienkan pajak.Ini merupakan salah satu cara yang dapat
dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam melakukan pengelolaan perpajakan usaha atau
penghasilannya secara legal atau bisa disebut sebagai tax avoidance.
Pengelolaan pajak penghasilan perusahaan pada dasarnya berbicara bagaimana
kreativitas manajemen untuk menciptakan pilihan-pilihan yang menguntungkan.Pilihan yang
secara bisnis reasonable,secara komersial aplikatif practicable dan secara legal tidak
bertentangan dengan ketentuan aturan yang ada.Pengelolaan pajak merupakan aktivitas untuk
menciptakan,menganalisis dan menentukan pilihan agar tercapainya tujuan berupa
optimalisasi penghematan pajak,minimalisasi beban pajak,peningkatan nilai perusahaan dan
antisipasi aras temuan yang signifikan dari pihak otoritas pajak.Pengelolaan pajak atau tax
management dapat dioptimalkan dengan cara menganalisis dan kekurangan dari masing-
masing opsi yang tersedia dan menentukan pilihan yang akan diambil.Pengambilan
keputusan juga membutuhkan kreativitas dalam mencari loopholes yang ada pada peraturan.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kreativitas manajemen pajak dan tanggung jawab perusahaan kepada
pemangku kepentingan?
2. Bagaimana siklus bisnis dan upaya manajemen pajak?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan pilihan atas pendirian usaha?
4. Bagaimana pemilihan bentuk usaha?
5. Bagaimana pemilihan struktur,proses & model bisnis dan pendekatan usaha?
6. Bagaimana pembukuan dan pemilihan metode akuntansi yang menguntungkan bagi
perusahaan?
7. Bagaimana yang dimaksud dengan rekonsiliasi fiskal?
8. Bagaimana perencanaan pajak saat penutupan perusahaan?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk memahami materi perencanaan pajak penghasilan
2. Untuk memahami “loopholes” yang ada dalam peraturan agar dapat dimanfaatkan
untuk efisiensi penghasilan kena pajak
3. Dapat mengimplementasikan perencanaan pajak penghasilan agar tercapainya
manajemen pajak yang baik.

5
BAB II
Pembahasan

2.1 Kreativitas Manajemen Pajak dan Tanggung Jawab Kepada Pemangku


Kepentingan
Kreativitas sangat diperlukan bagi pihak manajemen dikarenakan untuk memenuhi harapan
semua pemangku kepentingan (stakeholders).

Perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar pajak,hal tersebut merupakan


tanggung jawab perusahaan kepada pemerintah,perusahaan yang masuk ke kategori
perusahaan terbuka perlu melaporkan penanaman modal pada BKPM,OJK,Bank
Indonesia.Perusahaan juga perlu memiliki izin usaha dengan melaporkan usaha apa saja yang
akan dilakukan ke pemerintah yang berkaitan,seperti membuat dan memiliki NIB (Nomor
Induk Berusaha)
Perusahaan juga memiliki tanggung jawab kepada pemegang saham,dimana pengelola
(direksi/manajemen) perlu melaporkan kepada pemegang saham kegiatan operasional usaha
perusahaan tersebut,walaupun untung/rugi.Perusahaan perlu memikirkan pembagian laba
kepada investor atau jika laba tersebut akan dijadikan modal lagi untuk perusahaan
membutuhkan persetujuan dari investor,oleh karena itu pengelola perusahaan harus terbuka
kepada para pemegang saham sehingga informasi yang didapatkan oleh mereka jelas.

6
Untuk kreditur atau pemberi kredit perusahaan,perusahaan perlu bertanggung jawab
atas kredit yang diberikan oleh kreditur dimana perusahaan dapat melunasi kredit yang sudah
diiberikan tersebut,dan dapat dilaksanakan sesuai dengan perjanjian sebelumnya dan jika
tidak dapat memenuhi perusahaan perlu bertanggung jawab atau mau menerima sanksi yang
disepakati sebelumnya.
Karyawan merupakan salah satu bagian paling penting dalam perusahaan,karena
tanpa mereka perusahaan tidak dapat bergerak dengan baik,oleh karena itu perusahaan
memiliki tanggung jawab yang besar kepada mereka,karena kepuasan pegawai merupakan
salah satu aspek yang penting.Pengelola diharapkan dapat memberikan gaji,bonus dan
fasilitas yang sesuai,layak dan mendukung para karyawannya.Dalam hal perpajakan,seperti
yang dipelajari sebelumnya bahwa terdapat PPh pasal 21 maka perusahaan memiliki
tanggung jawab untuk mengadministrasikan payroll tax PPh pasal 21 dan mengoptimalkan
employees take home pay.
Untuk mendapatkan keuntungan,perusahaan pastinya perlu menjual produk sebanyak
mungkin dan untuk meningkatkan penjualan maka harus mendapatkan client/pelanggan yang
banyak.Perusahaan memiliki tanggung jawab kepada mereka,karena untuk menarik
pelanggan hal yang harus dipastikan adalah produk/jasa memiliki kualitas yang baik dan
harga yang sesuai dengan target pasar.Pelanggan yang membeli produk/jasa tersebut pastinya
akan dikenakan pajak PPN,pengelola perusahaan dapat mengedukasi para pembeli terkait
dengan pemungutan PPN
Perusahaan juga pastinya memiliki tanggung jawab kepada supplier,karena merekalah
yang menyediakan barang/jasa yang bertujuan untuk kepentingan usaha perusahaan,sehingga
perlu dipastikan semuanya dapat berjalan dengan baik terutama pembayaran.Dalam hal
perpajakan perusahaan perlu memastikan supplier merupakan supplier yang terpercaya dan
tidak memiliki reputasi yang buruk seperti pernah masuk dalam daftar blacklist dari pihak
otoritas pajak dan perusahaan juga memiliki tugas untuk mengadministrasikan laporan atau
bukti pemotongan,pemungutan,pembayaran dan pelaporan pajak.
Terlepas dari itu semua pengelola/manajemen perusahaan memiliki tanggung jawab
yang besar dimana perlu menjaga keberlangsungan perusahaan dan memastikan perusahaan
masih dijalan yang benar untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sebelumnya.secara umum, key performance indicators perusahaan didasarkan pada 4 (empat)
aspek keberhasilan, yaitu: (i) pertumbuhan usaha dan penguasaan pasar (growth and market
leadership); (ii) penanganan sumber daya manusia yang baik (people - human capital); (iii)
kepatuhan dan pengelolaan risiko usaha (governance and quality risk management); dan (iv)
kinerja keuangan dan operasional yang ekselen (financial and operational excellence)
Dapat dilihat bahwa pihak pengelola/manajemen perusahaan yang bertanggung jawab dalam
mengambil keputusan dan berani mengamgil risiko,termasuk resiko perpajakanOleh karena itu, dalam
hal perpajakan, manajemen harus memahami dan mempertimbangkan implikasi pajak dari setiap
keputusan bisnis yang mereka buat. Untuk tujuan ini, disarankan agar administrasi mengetahui
struktur organisasi otoritas pajak dan
dinamis dan rajin berkomunikasi tentang masalah perpajakan yang dihadapinya.Setiap pilihan yang
diambil sejatinya tidak bersifat benar atau salah karena pajak bukanlah ilmu eksakta (pasti) dan
pilihan itu bersifat kontekstual tergantung situasi dan kondisi saat pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

7
2.2 Siklus Bisnis Dan Upaya Manajemen Pajak
Siklus Bisnis dan Upaya Manajemen Pajak dimulai dari awal pendirian badan usaha
tersebut sampai penutupan usaha dan likuidasi jika memang perusahaan memutuskan untuk
menutup badan usahanya.Hal tersebut dikarenakan terdapat berbagai macam opsi yang akan
berdampak kepada kewajiban pajaknya yang nantinya akan berdampak kepada pengambilan
keputusan.
Berikut, beberapa pilihan (option) yang tersedia bagi manajemen perusahaan untuk
melakukan pengelolaan pajak, khususnya PPh badan, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2.3 Pilihan Atas Pendirian Usaha


Pada waktu pendirian perusahaan, terdapat banyak pilihan atas bentuk usaha yang
akan dipakai untuk menjalankan kegiatan usaha, pilihan apakah business vehicle yang kita
pilih khususnya jika omzet perusahaan per tahun kurang dari Rp4,8 milyar
tadi perlu mengukuhkan diri sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak) untuk keperluan PPN atau
tidak, atau apakah business vehicle tadi perlu didirikan di kawasan berikat, free trade zone,
kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) yang menawarkan beberapa fasilitas
perpajakan, atau tidak mengapa didirikan di daerah pabean biasa.

2.4 Pemilihan Bentuk Usaha


Untuk pendirian usaha,terdapat beberapa jenis bentuk usaha secara legal yang berupa
partnership,perseroan terbatas ataupun koperasi,asosiasi serta individual basis,wajib pajak
orang pribadi (WPOP).

1. Partnership
Salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia adalah 'persekutuan
komanditer' (commanditaire vennootschap atau CV) . CV adalah suatu persekutuan yang dibentuk
oleh dua orang atau lebih yang kemudian mempercayakan modal yang dimiliki kepada dua orang atau
lebih.
Dari pengertian di atas , sekutu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Sekutu aktif atau sekutu komplementer, adalah sekutu yang menjalankan
perusahaan dan berhak melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. Artinya,
semua kebijakan perusahaan dijalankan oleh sekutu aktif. Sekutu aktif sering
juga disebut sebagai persero kuasa atau persero pengurus.
b. Sekutu pasif atau sekutu komanditer, adalah sekutu yang hanya menyertakan
modal dalam persekutuan. Jika perusahaan menderita rugi, mereka hanya
bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan dan begitu juga apabila
untung, yang mereka peroleh terbatas tergantung modal yang mereka berikan.
Status sekutu komanditer dapat disamakan dengan seseorang yang menitipkan
modal pada suatu perusahaan, yang hanya menantikan hasil keuntungan dari
inbreng yang dimasukkan itu, dan tidak ikut campur dalam kepengurusan,

8
pengusahaan, maupun kegiatan usaha perusahaan.Sekutu ini sering juga
disebut sebagai persero diam.
Persekutuan komanditer biasanya didirikan dengan akta dan harus didaftarkan.
Namun persekutuan ini bukan merupakan badan hukum (sama dengan firma), sehingga tidak
memiliki kekayaan sendiri.
Berdasarkan perkembangannya, bentuk perseroan komanditer adalah sebagai berikut:
(i) persekutuan komanditer murni, yang merupakan persekutuan komanditer yang pertama .
Dalam persekutuan ini hanya terdapat satu sekutu komplementer sedangkan yang lainnya
adalah sekutu komanditer; (ii) persekutuan komanditer campuran, bentuk ini umumnya
berasal dari bentuk firma bila firma membutuhkan tambahan modal. Sekutu firma menjadi
sekutu komplementer sedangkan sekutu lain atau sekutu tambahan menjadi sekutu
komanditer; dan (iii) persekutuan komanditer bersaham yang menerbitkan saham yang tidak
dapat diperjualbelikan dan sekutu komplementer maupun sekutu komanditer mengambil satu
saham atau lebih. Tujuan dikeluarkannya saham ini adalah untuk menghindari terjadinya
modal beku karena dalam persekutuan komanditer tidak mudah untuk menarik kembali
modal yang telah disetorkan.
Kelebihan bentuk usaha CV , antara lain adalah: (i) relatif mudah dan murah proses
pendiriannya; (ii) kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi; (iii) cenderung lebih mudah
memperoleh kredit; (iv) Dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik; (v) lebih fleksibel
karena bagi sekutu diam akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun mencairkan
kembali modalnya; (vi) tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT;
dan (vii) Anggaran Dasar (akta pendiriannya) tidak perlu mendapat pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM RI.
Namun CV juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu: (i) kelangsungan hidup tidak
menentu, karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang bertindak sebagai pemimpin
persekutuan; (ii) tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh
terhadap semangat untuk memajukan perusahaan; dan (iii) kewajiban sekutu yang tidak
terbatas (karena kekayaan sekutu pendirinya tidak dapat dipisahkan dengan kekayaan CV);
dan (iv) perlindungan hukumnya masih dianggap minim.

2. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi partnership


a. Partnership masuk dalam kategori wajib pajak badan
Secara teori, terdapat 2 (dua) pendekatan pengenaan pajak penghasilan atas
partnership.Pertama, pengenaan pajak partnership berdasarkan transparent tax
regime.Pengenaan pajak tersebut tembus ke para sekutu,oleh karena itu para
sekutu dari partnershipnya lah yang memiliki tanggung jawab membayar
pajak.Kedua, pengenaan pajak berada di level partnership, tidak tembus ke
masing masing sekutu anggota partnership.Indonesia, dalam hal ini, menganut
pendekatan yang kedua, dimana pengenaan pajak atas partnership dilakukan
dengan mengatur bahwa partnership merupakan subjek pajak badan.Hal ini
tercermin dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang berlaku yang
berbunyi:

9
b " Subjek pajak dalam negeri adalah: badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
1.pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3.penerimaannya Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah ; dan
4.pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara "
Lebih lanjut , penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b ) UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
Nomor 7 tahun 2021, menyebutkan bahwa "Badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun,persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap”.
Partnership, sebagai subjek pajak badan wajib untuk memiliki NPWP
dan/atau NPPKP apabila aktivitasnya berkaitan dengan penyerahan BKP/JKP
yang merupakan objek PPN. Partnership juga wajib untuk menyelenggarakan
pembukuan agar dari pembukuan tersebut dapat menghitung PPh badan
terutang dan melaporkan SPT PPh Badannya ke KPP tempat ia terdaftar.

b. Pembagian laba kepada para sekutu (partner) tidak dikenakan PPh


Pasal 4 ayat (3)huruf i) UU PPh yang berlaku memberikan perlakuan yang
mengecualikan bagian laba yang diterima atau diperoleh sekutu partnership
sebagai obyek pajak sebagaimana tertuang di bawah ini:
"Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham saham,persekutuan,perkumpulan,
firm, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;"
Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa untuk kepentingan
pengenaan pajak, partnership atau badan-badan seperti persekutuan,
perkumpulan, firma dan kongsi, pada hakekatnya merupakan himpunan para
anggotanya yang dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan
tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan
tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Dengan demikian pada bentuk
partnership, firma dan badan badan di atas tidak terdapat Economics Double
Taxation seperti pada bentuk Perseroan Terbatas (PT).
Ketentuan di atas merupakan daya tarik 'partnership' sebagai kendaraan
bisnis yang dapat dipakai oleh para sekutunya Namun demikian, perlu
10
diperhatikan apabila anggota sekutu adalah penduduk negara lain yang
menerapkan transparent tax regime, tax benefit dalam bentuk pengecualian
penghasilan sebagai objek PPh (income exemption) ini , mungkin tetap dapat
dikenakan pajak di negara domisili pihak sekut
c. Gaji yang dibayarkan kepada sekutu tidak dapat menjadi biaya pengurang
Jika di sisi penghasilan, bagian laba yang diterima atau diperoleh para
sekutu partnership dikecualikan sebagai objek PPh , maka biaya gaji yang
dibayarkan kepada sekutu partnership merupakan bukan biaya fiskal untuk
kepentingan perhitungan PPh badan partnership.Sebagaimana disebutkan pada
Pasal 9 ayat (1) huruf j) UU PPh yang berlaku yang berbunyi:
" Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan , firma , atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;"
Adapun basis pemikiran yang melandasinya, seperti yang tertulis
dalam penjelasan pasal dan ayat yang bersangkutan adalah bahwa anggota
firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan,firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham,bukan
merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan
tersebut.
d. Dividen yang diterima atau diperoleh partnership dari investment income
merupakan bukan objek pajak
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 4
ayat (3) bahwa dividen atau keuntungan yang didapat atas kepemilikan saham
perusahaan lain bukanlah objek pajak,dividen atau penghasilan lain dengan
ketentuan sebagai berikut:dividen yang berasal dari dalam negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak (a)orang pribadi dalam negeri sepanjang
dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam jangka waktu tertentu,(b) badan dalam negeri

3. Perseroan Terbatas
Undang - Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,merupakan
dasar hukum pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang berlaku sejak diundangkannya
yaitu tanggal 16 Agustus 2007. UU ini menggantikan UU sebelumnya, yaitu UU No.
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Perseroan Terbatas merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau disebut juga dengan persekutuan
modal.Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan
sehingga memiliki harta kekayaan sendiri.Setiap orang yang memiliki uang atau
modal dapat memiliki saham dari perusahaan tersebut. Pemilik saham mempunyai
tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki jika memiliki
11
saham mayoritas maka pemilik saham akan berpengaruh besar dalam mengambil atau
menyetujui sebuah keputusan. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan
perusahaan , maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para
pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan
tersebut dibagikan sesuai dengan jumlah kepemilikan saham orang tersebut atau yang
biasa disebut sebagai dividen.
PT dapat pula menerbitkan obligasi untuk pembiayaan operasionalnya.
Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga
tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut.
Untuk mendirikan PT, harus dengan menggunakan akta resmi (akta yang
dibuat oleh notaris) yang di dalamnya dicantumkan nama dari perseroan terbatas,
modal, bidang usaha, alamat perusahaan, dan lain-lain. Akta ini harus disahkan oleh
menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (dahulu Menteri
Kehakiman). Untuk mendapat izin,persyaratan sebagai berikut harus dipenuhi:
a. Perseroan terbatas tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan;
b. Akta pendirian memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-undang;
c. Paling sedikit modal yang ditempatkan dan disetor adalah 25 % dari modal
dasar.(sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 UU No. 40 Tahun 2007, keduanya
tentang perseroan terbatas).

Setelah mendapat pengesahan, dahulu sebelum adanya UU mengenai Perseroan


Terbatas (UU No. 1 tahun 1995) PT harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat, tetapi
setelah berlakunya UU No.1 tahun 1995 tersebut, maka akta pendirian tersebut harus
didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Perusahaan (sesuai UU Wajib Daftar Perusahaan tahun
1982). Tetapi berdasarkan perkembangan selanjutnya sesuai UU No.40 tahun 2007,
kewajiban pendaftaran di Kantor Pendaftaran Perusahaan tersebut ditiadakan juga .
Sedangkan tahapan pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) tetap
berlaku hanya yang pada saat UU No.1 tahun 1995 berlaku pengumuman tersebut merupakan
kewajiban Direksi PT yang bersangkutan tetapi sesuai dengan UU No.40 tahun 2007, diubah
menjadi merupakan kewenangan / kewajiban Menteri Hukum dan HAM.
Setelah tahap tersebut dilalui maka perseroan telah sah sebagai badan hukum dan
perseroan terbatas menjadi dirinyangsi sendiri serta dapat melakukan perjanjian-perjanjian
dan kekayaan perseroan terpisah dari kekayaan pemiliknya.
Modal dasar perseroan adalah jumlah modal yang dicantumkan dalam akta pendirian
sampai jumlah maksimal bila seluruh saham dikeluarkan. Selain modal dasar, dalam
perseroan terbatas juga terdapat modal yang ditempatkan, modal yang harus disetorkan dan
modal bayar. Modal yang ditempatkan merupakan jumlah yang disanggupi untuk
dimasukkan , yang pada waktu pendirian nya merupakan jumlah yang disertakan oleh para
persero pendiri Modal yang disetor merupakan modal yang dimasukkan dalam perusahaan.
Modal bayar merupakan modal yang diwujudkan dalam jumlah uang.
PT, memiliki beberapa jenis yaitu: (i) PT Terbuka, yaitu perseroan terbatas yang
menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal (go public). Jadi sahamnya
ditawarkan kepada umum, diperjualbelikan melalui bursa saham; dan (ii) PT Tertutup, yakni
perseroan terbatas yang modalnya berasal dari kalangan tertentu misalnya pemegang
12
sahamnya hanya dari kerabat dan keluarga saja atau orang kalangan terbatas dan tidak dijual
kepada umum. Ada juga (iii) PT Kosong, yaitu perseroan yang sudah ada izin usaha dan izin
lainnya tapi belum / tidak ada kegiatannya.
Dalam perseroan terbatas selain kekayaan perusahaan dan kekayaan pemilik modal
terpisah juga ada pemisahan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan.
Pengelolaan perusahaan dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga ahli dalam bidangnya
(profesional).Struktur organisasi perseroan terbatas terdiri dari pemegang saham, direksi, dan
komisaris.Dalam PT, para pemegang saham,melalui komisarisnya melimpahkan
wewenangnya kepada direksi,yang dimana direksi ini merupakan pengelola untuk
menjalankan dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha
perusahaan.Dalam kaitan dengan tugas tersebut, direksi berwenang untuk mewakili
perusahaan, mengadakan perjanjian dan kontrak, dan sebagainya. Komisaris memiliki fungsi
sebagai pengawas kinerja jajaran direksi perusahaan. Komisaris bisa memeriksa pembukuan,
menegur direksi, memberi petunjuk, bahkan bila perlu memberhentikan direksi dengan
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengambil keputusan
apakah direksi akan diberhentikan atau tidak. Dalam RUPS, semua pemegang saham
sebesar / sekecil apapun sahamnya memiliki hak untuk mengeluarkan suaranya. Dalam RUPS
sendiri dibahas masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi kinerja dan kebijakan
perusahaan yang harus dilaksanakan segera. Bila pemegang saham berhalangan,dia bisa
melempar (menguasakan) suara miliknya ke pemegang lain yang disebut proxy. Hasil RUPS
biasanya dilimpahkan untuk diteruskan ke direksi untuk dijalankan.
Isi RUPS, umumnya mencakup seperti:menentukan direksi dan pengangkatan
komisaris,memberhentikan direksi atau komisaris,menetapkan besar gaji direksi dan
komisaris,Mengevaluasi kinerja perusahaan,memutuskan rencana penambahan/pengurangan
saham perusahaan,menentukan kebijakan perusahaan,mengumumkan pembagian laba
(dividen).
Keuntungan utama membentuk perusahaan perseroan terbatas adalah:
1. Kewajiban dan tanggung jawab terbatas. Tidak seperti partnership, pemegang saham
sebuah perusahaan tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang terbatas atas
obligasi dan hutang perusahaan. Akibatnya, potensial kerugian/kehilangan menjadi
"terbatas" dan tidak dapat melebihi jumlah saham yang dibayarkan/disetorkan.
2. Masa hidup abadi. Aset dan struktur perusahaan dapat melewati masa hidup dari
pemegang sahamnya, pejabat atau direktur. Ini menyebabkan stabilitas modal, yang
dapat menjadi investasi dalam proyek yang lebih besar dan dalam jangka waktu yang
lebih panjang. Pemilik PT dapat diganti tanpa membubarkan PT.
3. Efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengurus PT.
Manajemen dan spesialisasi memungkinkan pengelolaan modal yang efisien sehingga
memungkinkan untuk melakukan ekspansi. Dengan menempatkan orang yang tepat,
efisiensi maksimum dari modal yang ada dapat diusahakan optimal. Pemisahan antara
pengelola dan pemilik perusahaan memungkinkan RUPS dapat memilih pengurus
yang mampu menjalankan PT sehingga dapat dicapai efisiensi. Dengan dilakukannya
pemilihan pengurus PT atas dasar kemampuan, maka kontinuitas PT lebih terjamin.
4. Modal dapat diperoleh dengan menjual saham, menerbitkan obligasi atau memperoleh
pinjaman dari lembaga keuangan.
13
Sementara, kelemahan Perseroan Terbatas terdapat pada kerumitan perizinan dan
organisasi. Untuk mendirikan sebuah PT tidak semudah seperti membuat cv. Selain biayanya
yang tidak sedikit, PT juga membutuhkan akta notaris dan izin khusus untuk usaha tertentu
seperti harus mengeluarkan biaya untuk organisasi perusahaan,jika melakukan
perubahan/penambahan bidang usaha atau KBLI PT. relatif akan mengubah Akta Pendirian
dan memerlukan biaya lagi untuk mengubahnya,dan hubungan antar pihak dalam perusahaan
akan lebih formal dan kaku, dikarenakan kepentingan yang berbeda antara pengelola dan
pemilik PT.
Dikarenakan ada pemisah kepentingan dalam PT maka diperlukan pengelolaan tata
kelola perusahaan yang baik,dimana para manajemen/pengelola dapat memiliki sikap
keterbukaan terhadap informasi yang berkaitan dengan berjalannya perusahaan.Sehingga
seluruh pihak yang berkati dapat mengetahui seluruh informasi tentang perusahaan tersebut
dan dapat menimbulkan lingkungan yang baik.

4. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi perseroan terbatas


Dari sudut pandang corporate tax management, beberapa perlakuan pajak istimewa
untuk PT yang dapat dijadikan inspirasi perencanaan pajak, meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. PT wajib menyelenggarakan pembukuan
Sebagai tipikal wajib pajak badan dalam negeri Indonesia, PT berkewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan Pasal 28 UU KUP yang
berlaku.Tata cara penyelenggaraan pembukuan itu meliputi: pembukuan harus
diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,pembukuan harus
diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,
satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam mata
uang dan bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan,pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel
kas,perubahan terhadap metode pembukuan dan / atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak,pembukuan sekurang-
kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang, dan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat
kedudukan Wajib Pajak badan.
Dengan begini maka perhitungan pajak dapat dilakukan secara lebih
akurat dan terperinci berdasarkan kondisi operasional aktual dari kegiatan
usaha perusahaan sehingga lebih adil pengenaannya,apabila setelah dilakukan
koreksi fiskal, hasil pembukuan PT masih menunjukkan jumlah kerugian,
maka PT tidak perlu membayar PPh badan terutang Bandingkan dengan
perlakuan perpajakan bagi badan usaha tertentu yang menganut prinsip
14
pemajakan atau penghitungan pajak menggunakan norma penghitungan
khusus yang tetap harus melakukan pembayaran pajak meski secara aktual,
pembukuannya masih menunjukkan kerugian atau defisit,dan jumlah kerugian
fiskal yang diderita di suatu tahun pajak,jika begini maka dapat mendapatkan
kompensasi dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) tahun.
Tetapi untuk melakukan pembukuan PT lagi-lagi harus mengeluarkan
biaya pastinya terlebih untuk PT yang memiliki skala besar karena
membutuhkan sistem accounting untuk mendukung terjadinya pembukuan
yang baik.
2. Pemegang saham dapat bertindak sebagai pengelola atau komisaris dan biaya
gajinya dapat dibebankan sebagai pengurang atau deductible expense
Pengelola PT adalah dewan direksi yang merupakan sekelompok
individu atau pimpinan perusahaan yang dipilih oleh para pemegang saham
dan badan pengatur melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk
mewakili kepentingan mereka dalam mengelola perusahaan
Kewajiban direksi umumnya adalah:kewajiban yang berkaitan dengan
perseroan,kewajiban yang berkaitan dengan RUPS,dan kewajiban yang
berkaitan dengan kepentingan seluruh stakeholders.Anggota direksi
merupakan orang yang mengelola perusahaan,oleh karena itu mereka harus
bertanggung jawab jika lalai dalam melaksanakan tugasnya.Namun demikian,
anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila ia
dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya,telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan,tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian,telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Hak direksi, menurut UU PT sebagai berikut:hak untuk mewakili
perseroan di dalam dan di luar pengadilan,hak untuk memberikan kuasa
tertulis kepada pihak lain,hak untuk mengajukan usul kepada Pengadilan
Negeri agar perseroan dinyatakan pailit setelah didahului dengan persetujuan
RUPS,hak untuk membela diri dalam forum RUPS jika direksi telah
diberhentikan untuk sementara waktu oleh RUPS/Komisaris,hak untuk
mendapatkan gaji dan tunjangan lainnya sesuai AD/Akte Pendirian.
Dewan komisaris PT, memiliki tugas utama untuk mengawasi direksi
atau pengelola perusahaan dalam menjalankan tugasnya serta memberi nasihat
direksi. Pengangkatan Komisaris dilakukan pada saat RUPS. Keanggotaan
Komisaris: jika pemegang saham maka harus melaporkan kepemilikan
sahamnya baik di perseroan yang diawasi maupun saham yang dimiliki di
perseroan lain. Kriteria umum untuk dapat menjadi Komisaris sama seperti
halnya direksi. Tanggung jawab dewan komisaris juga sama seperti
direksi,mereka harus bertanggung jawab jika lalai dalam melaksanakan

15
tugasnya seperti lalai dalam mengawasi tugas direksi yang mengakibatkan
kerugian terhadap perusahaan.
Baik UU PT maupun UU Pajak,memperbolehkan seorang pemegang
saham untuk duduk menjabat sebagai pengelola PT, baik itu direksi ataupun
komisaris.Oleh karenanya, berbeda dengan partnership yang memperkenankan
biaya gaji sekutu untuk menjadi biaya pengurang perhitungan PPh badan
partnership, maka biaya gaji komisaris dan/atau direktur yang juga merangkap
sebagai pemegang saham pada PT, tetap diperkenankan untuk dijadikan
sebagai biaya pengurang, sepanjang jumlahnya wajar dan menjadi suatu
kelaziman dalam bisnis. Gaji sebagai anggota dewan direksi atau komisaris
pada PT yang diterima oleh pemegang saham tidak serta merta dianggap
sebagai pembayaran dividen pendahuluan (advance dividend) sebagaimana
halnya uang prive yang diterima sekutu pada partnership.
3. Fasilitas inter-corporate dividend tax free
Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf f UU pph yang berlaku,
terhadap PT diberikan fasilitas ‘inter-corporate dividend tax free', dimana
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT dari penyertaan
modal badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
dikecualikan sebagai objek PPh sepanjang memenuhi syarat:dividen dan
penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar
30% dari laba setelah kena pajak,dividen yang berasal dari badan usaha luar
negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek dan keistimewaan
lainnya
Beberapa keistimewaan lain dari PT sebagai kendaraan bisnis,
umumnya menyangkut aspek di luar perpajakan (non tax aspects) , seperti
profil usaha dan preferensi pihak pelanggan atau pemilik proyek dimana di
beberapa kasus tertentu banyak pelanggan atau pemilik proyek lebih
menginginkan mengikat kontrak pekerjaan dengan kontraktor atau penyedia
jasa yang bentuk PT ketimbang bentuk legal yang lainnya.Permintaan tender
lebih ditujukan kepada badan usaha berbentuk PT ketimbang yang lainnya
karena persoalan business credential,tedapat sejumlah fasilitas perpajakan pun
mensyaratkan pendirian usaha dalam bentuk PT bagi mereka yang ingin
menikmatinya,seperti fasilitas insentif pajak menurut Pasal 31A dan 31E UU
PPh, juga fasilitas tax holiday berdasarkan UU Penanaman Modal.
Di samping keistimewaan - keistimewaan di atas , bentuk PT juga
memiliki kelemahan dari segi pajak , yaitu terdapat Economic Double
Taxation (pajak berganda ekonomis) dimana atas objek pajak yang sama
(Penghasilan Kena Pajak/PKP) dikenakan pajak lebih dari satu kali,yakni di
tingkat Badan dan di tingkat pemegang saham (atas PKP dikurangi PPh
Badan).

5. Perusahaan perseorangan
a. Perseorangan yang menjalankan pekerjaan bebas

16
Perusahaan dapat dibentuk oleh seorang diri tanpa adanya partner
seperti pada Partnership ataupun pemegang saham seperti pada Perseroan
Terbatas. Hal tersebut membuat perusahaan perseorangan flexibel karena
mudah dibentuk dan mudah pula ditutup. Di samping itu Perusahaan
perseorangan (khususnya perseorangan yang menjalankan pekerjaan bebas)
juga memiliki kelebihan si sisi pajak, yaitu dapat memilih untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan apabila omzet kurang dari Rp4.800.000.000,00
per tahun dan memiliki opsi lain yaitu melakukan pencatatan. Jika Wajib
Pajak memilih menyelenggarakan pencatatan,maka Wajib pajak harus
memberitahu kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Terkait dengan kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan
pencatatan, pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (KUP) mengatur sebagai berikut:
a. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya (ayat 3).
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia
dengan menggunakan huruf atin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan (ayat 4).
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas (ayat 5).
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak (ayat 6).
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban,modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terhutang
(ayat 7).
f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin
dari Menteri Keuangan (ayat 8).
g. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang , termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final (ayat 9).

Apabila perusahaan memilih untuk menyelenggarakan pencatatan,


maka PPh terutang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagai berikut:
⦁ Penghasilan bruto =Y
⦁ Penghasilan Neto =% norma x penghasilan bruto (% norma xY)
⦁ Penghasilan Kena Pajak (PKP) =Penghasilan Neto-PTKP

17
⦁ PPh OP terutang = tarif pajak (progressive) x PKP

Kelemahan dalam menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


(NPPN) tidak menerima adanya kerugian,karena PPh dihitung atas dasar
penghasilan bruto tanpa pengakuan biaya-biaya.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penerapan NPPN yaitu jika
omzet pertahun telah mencapai Rp4.800.000.000,00 atau lebih maka secara
otomatis perusahaan wajib menyelenggarakan pembukuan.Sekali perusahaan
telah wajib menyelenggarakan pembukuan maka untuk seterusnya perusahaan
harus menyelenggarakan pembukuan meskipun omzet di tahun-tahun
berikutnya mengalami penurunan di bawah Rp4.800.000.000,00 per
tahun.Apabila perusahaan masih tetap menyelenggarakan pencatatan dan
menghitung PPh dengan menerapkan Norma Penghitungan maka perusahaan
akan dikenakan sanksi sebesar 50% dari PPh yang terutang yang dihitung
dengan menerapkan Norma penghitungan penghasilan neto.
Dalam memilih apakah perusahaan akan menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah margin
laba perusahaan lebih besar atau lebih kecil dari persentase norma untuk usaha
wajib pajak. Apabila margin laba perusahaan lebih besar daripada persentase
norma yang maka penyelenggaraan pencatatan dan penghitungan PPh dengan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto akan lebih efisien/menguntungkan dan
sebaliknya apabila margin laba perusahaan lebih kecil daripada persentase
norma, maka penyelenggaraan pembukuan dan penghitungan PPh secara
normal akan lebih berlaku, efisien/menguntungkan.
Pertimbangan non pajak lainnya antara lain adalah: apakah perusahaan
memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pembukuan karena seperti
yang sudah ditulis diatas bahwa untuk menyelenggarakan pembukuan
memerlukan sistem serta SDM yang mendukung.
b. Perseorangan yang menjalankan usaha
Untuk perseorangan yang menjalankan usaha, ketentuan
perpajakannya adalah: Jika omzet pertahun melebihi Rp 4,8 milyar, maka
perseorangan tersebut wajib menyelenggarakan pembukuan dan pajaknya
dihitung secara normal dari basis neto.Sementara itu apabila omzet per tahun
tidak melebihi Rp 4,8 milyar, maka perseorangan tersebut dikenakan PPh final
dari basis bruto.
Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018 tanggal 8 Juni 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018,
tanggal 24 Agustus 2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018, pada intinya pemerintah mengatur hal - hal sebagai berikut:

18
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu
2. Tidak termasuk penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan final
tersebut:
⦁ Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
⦁ Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar
negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
⦁ Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan
tersendiri.
⦁ Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
3. Terdapat juga jasa yang berkaitan dengan pekerjaan bebas yaitu:
⦁ Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), penilai dan aktuaris.
⦁ Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model,peragawan/peragawati, pemain drama dan penari.
⦁ Olahragawan.
⦁ Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan
moderator.
⦁ Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
⦁ Agen iklan.
⦁ Pengawas atau pengelola proyek.
⦁ Perantara.
⦁ Petugas penjaja barang dagangan.
⦁ Agen asuransi.
⦁ Distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan
langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
4. Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu tersebut
merupakan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan
berbentuk koperasi, persekutuan komanditer,firma, atau perseroan
terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak, dan tidak
termasuk Wajib Pajak dalam hal:

19
⦁ Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif Pasal 17 ayat(1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau
Pasal 31E UU PPh;
⦁ Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma
yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang
memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
⦁ Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan:
a. Pasal 31A UU PPh; atau
b. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau
penggantinya ; dan
⦁ Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap
5. Pengenaan Pajak Penghasilan final tersebut didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan
keseluruhan peredaran bruto dari usaha,termasuk peredaran bruto dari
cabang.
6. Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
yaitu paling lama:
a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk
koperasi , persekutuan komanditer , atau firma;
c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk
perseroan terbatas.
7. Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar
0,5% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yaitu jumlah peredaran bruto
setiap bulan.
8. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final tersebut adalah jumlah peredaran bruto
setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha,dan merupakan
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan ,
potongan tunai , dan atau potongan sejenis.
9. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a atau Pasal 31E Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

20
10. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut dilunasi dengan cara
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu atau dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut
Pajak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak.

Bagi perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud


dalam aturan di atas, Peraturan Pemerintah juncto Peraturan Menteri
Keuangan tersebut sangat menguntungkan perusahaan.Di samping
penghitungannya yang sangat simpel tarif PPh finalnya pun relatif rendah.
Untuk tetap dapat menerapkan PPh final ini perusahaan harus tetap
menjaga besarnya peredaran bruto pertahunnya agar tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00. Hal penting lainnya yang harus selalu diperhatikan oleh
perusahaan adalah bahwa perusahaan harus senantiasa mengajukan
permohonan Surat Keterangan dalam hal bertransaksi dengan Pemotong atau
Pemungut Pajak.

2.5 Pemilihan Struktur,Proses & Model Bisnis,Dan Pendekatan Usaha


Dalam perjalanannya, setelah kendaraan bisnis telah terbentuk, dimulailah kegiatan
operasional usaha yang memerlukan struktur, proses, model dan pendekatan bisnis tersendiri
untuk mencapai tujuannya mendapatkan laba dan memakmurkan para pemangku
kepentingan. Banyak pilihan tersedia atas struktur, proses, model dan pendekatan bisnis yang
dilakukan oleh perusahaan. Terkait dengan masalah model bisnis ini, Osterwalder & Pigneur
menjelaskannya melalui 9 (Sembilan) blok bangunan dasar yang memperlihatkan cara
berpikir tentang bagaimana perusahaan menghasilkan uang. Kesembilan blok itu meliputi:
segmen pelanggan (customer segments), proposisi nilai (value propositions), saluran
(channels), hubungan pelanggan (customer relationships), arus pendapatan (revenue
streams),sumber daya utama (key resources), aktivitas kunci (key activities), kemitraan utama
(key partnerships), dan struktur biaya (cost structure). Intisarinya, mencakup 4 (empat)
bidang utama dalam suatu bisni pelanggan, penawaran, infrastruktur, dan kelangsungan
finansial.Model bisnis ibarat cetak biru sebuah strategi yang diterapkan struktur organisasi,
proses,dan sistem.Di bawah akan dijelaskan pilihan-pilihan tersebut dan implikasi
perpajakannya untuk masing-masing opsi.

1. Struktur holding-terintegrasi vs subsidiaries-disintegrasi


Struktur holding-terintegrasi adalah struktur perusahaan yang memiliki banyak
cabang perusahaan tetapi memiliki induk perusahaan,cabang perusahaan biasanya
dibuka jika ingin membuka bisnis di kota atau negara lain,sehingga memudahkan
perusahaan untuk fokus menjalankan usahanya di daerah tersebut.
Dengan begini memberikan keuntungan untuk pihak perusahaan,walaupun
perusahaan memiliki cabang perusahaan yang banyak dan di lokasi yang berbeda
tetapi pada saat melaporkan SPT Tahunan PPh badan cukup dijadikan 1 saja,hal
tersebut membuat memungkinkan terjadi kompensasi kerugian horizontal antar unit

21
bisnis yang satu dengan yang lainnya, kecuali apabila terdapat unit bisnis yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
Disamping itu, struktur holding-branch memungkinkan dilakukannya
pembebanan biaya alokasi kantor pusat (HOAE = Head Office Overhead Allocation
Expenses) bagi cabang perusahaan yang terletak di negara lain, dengan tatacara dan
persyaratan yang berlaku di negara tempat perusahaan tersebut berada.Untuk kasus
Indonesia, hal ini diatur pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf a) UU PPh yang
berlaku yang menyebutkan bahwa "dalam menentukan besarnya laba suatu BUT,
biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak".Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-62/PJ./1995 tanggal 27 Juli 1995, disebutkan bahwa biaya administrasi kantor
pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan
oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau
kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding
dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh
peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. BUT di Indonesia yang
mengurangkan biaya administrasi kantor pusat tersebut wajib menyampaikan laporan
keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha
dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak bersangkutan
sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Laporan
Keuangan konsolidasi atau kombinasi itu harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan
mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan
besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing BUT di negara
tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.
Pada Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia beberapa biaya tidak
diperbolehkan dijadikan sebagai beban pengurang untuk kepentingan penghitungan
PPh badan atau PPh pasal Pasal 26 ayat (4),seperti:pengeluaran sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 UU PPh,pembayaran kepada kantor pusat yang berupa:
(a) royalti atau imbalan lain sehubungan penggunaan harta, paten atau hak-hak
lainnya,
(b) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, dan
(c) bunga, kecuali bunga yang diperkenankan dengan usaha perbankan; serta
kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai rupiah pada
perkiraan hutang kepada kantor pusat.
Untuk kepentingan PPN, struktur holding terintegrasi ini juga memiliki
beberapa permasalahan perpajakan.
Pertama, Berkaitan dengan PPN struktur perusahaan seperti ini kurang efisien
dikarenakan penyerahan barang kena pajak dari cabang ke pusat atau sebaliknya
adalah penyerahan barang kena pajak yang terutang PPN,oleh karena itu bisa dibilang

22
kurang efisien karena setiap adanya penyerahan barang kena pajak perusahaan perlu
menerbitkan faktur pajak.
Perusahaan dapat membuat pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Wilayah yang akan diberikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya merupakan tempat PPN terutang.Dengan syarat:
⦁ memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai
terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai
Terutang;
⦁ memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai
terutang yang akan dipusatkan; dan
⦁ dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan
secara terpusat pada tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih
sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.

Kedua, adanya ketentuan spesial pengkreditan PPN masukan bagi perusahaan


terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang
yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, yang mengatur hal-hal
sebagai berikut: (i) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang nyata nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang terkait
dengan penyerahan yang terutang PPN, dapat dikreditkan seluruhnya; (ii) Pajak
Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang nyata-nyata hanya digunakan untuk
kegiatan yang terkait dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapatkan
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan seluruhnya; (iii)
Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang belum dapat dipastikan
penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak
terutang pajak, pengkredit menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ke Nomor
135/PMK.011/2014.
Sedangkan stuktur anak perusahaan (subsidiary) dimana perusahaan memiliki
anak perusahaan yang berlokasi di tempat yang berbeda dan mungkin dengan usaha
yang berbeda teteapi kepemilikan anak anak perusahaan itu adalah milik perusahaan
yang sama.Struktur anak perusahaan berbeda dengan struktur holding dimana pada
struktur ini setiap perusahaan diharuskan untuk melaporkan pajaknya atau SPT
tahunannya masing masing.Sehingga dalam kasus ini setiap perusahaan harus
memiliki SDM keuangan&perpajakan yang memadai.Walaupun begitu dengan
memiliki banyak perusahaan yang berbeda dapat meminimalisir permasalahan
perpajakan hanya pada satu anak perusahaan saja,jadi jika satu bermasalah yang lain
tidak akan bermasalah,memungkinkan penerapan insentif pengurangan (discount)
tarif PPh badan sesuai ketentuan Pasal 31E sepanjang memenuhi persyaratan dan juga
memungkinkan diberlakukannya insentif pajak berbentuk inter-corporate dividend tax
free sepanjang memenuhi persyaratan untuk induk dari anak perusahaannya yang
didirikan di Indonesia.
23
2. Pendekatan bisnis kontraktor utama - subkontraktor(outsourcing) vs joint-
operation untuk penanganan suatu projek
Dalam penanganan suatu projek, suatu entitas bisnis dapat melakukannya
dengan pendekatan kontraktor utama (main contractor) - subkontraktor (sub-
contractor),bekerja sama dengan pihak lain untuk mencapai sebuah tujuan dengan
bekerja sama dapat membagi tanggung jawab dan tugas sehingga akan lebih
mudah.Dalam hal perpajakan,tagihan komersial dan faktur pajaknya akan berurutan
dari sub kontraktor ke main kontraktor dan seterusnya,yang dimana hal tersebut akan
mengakibatkan terjadinya dua kali pemotongan PPh dari pihak pemilik proyek ke
kontraktor utama dan kontraktor utama ke sub kontraktor.

Perlakuan perpajakannya tergantung dengan tipe JO yang dipilih jika ingin


menggunakan pendekatan ini.
Kerjasama administratif (Administrative typed of JO)

Administrative typed of joint operation berbeda dengan kontraktor utama


maupun sub kontraktor dikarenakan pada tipe ini setiap anggota joint operation
memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing dalam melaporkan
keuntungan yang diterima pada SPT nya masing-masing tetapi joint operation perlu
memberikan laporan keuangan dan koreksi fiskal yang akan digunakan oleh
anggotanya.Joint operation juga perlu mendaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
untuk melaporkan yang berkaitan dengan PPN seperti tagihan dan faktur pajak.Dan
tidak lupa bahwa Joint Operation juga memiliki tanggung jawab atas pemotongan PPh
Pasal 21/26 atas pemberian remunerasi dalam bentuk kas kepada karyawannya,
memotong PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 23/26 atas pembayaran
transaksi-transaksi yang merupakan objek PPh pemotongan pasal-pasal yang
bersangkutan.Kesimpulannya adalah O tipe administratif ini berkewajiban atas
pelaksanaan pemotongan, pembayaran, dan pelaporan PPh potong-pungut karena
statusnya sebagai agen pemotong.

24
Kerjasama Operasi (Non-administrative typed of JO)

Sebaliknya, tipe kerjasama operasi


(non-administrative typed of joint
operation)
memiliki perlakuan perpajakan yang
sedikit berbeda, meliputi: pertama,
untuk kepentingan
PPh badan masing-masing anggota JO
berkewajiban untuk melaporkan bagian
laba yang diterima dari JO pada SPT-
nya masing-masing. JO bukan subjek
PPh badan, sehingga JO tidak perlu
melaporkan SPT PPh badannya
sendiri. JO juga tidak berkewajiban untuk menyiapkan laporan keuangan dan koreksi
fiskal bagi para anggotanya, karena dalam JO tipe KSO ini, pihak anggota dapat
melakukan penagihan langsung kepada pemilik proyek dan dealing langsung kepada
vendor sehingga semua pelaksanaan pencatatan, pembukuan, dan pelaporan SPT PPh
badan dilakukan langsung di level para anggota JO
Kedua, untuk kepentingan PPN, JO juga tidak harus mendaftarkan dan
mengukuhkan diri sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak) seperti tipe administrative
dikarenakan pihak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa
Kena Pajak (JKP) adalah para anggotanya langsung. PPN atas tagihan dan faktur yang
diterbitkan kepada pemilik proyek sebagai pelanggan merupakan PPN keluaran bagi
anggota JO, sedang PPN terkait dengan tagihan dan faktur yang diterima dari para
supplier dan vendor yang berhubungan dengan kegiatan operasional anggota JO
tersebut akan diakui sebagai PPN masukan. Oleh karenanya, JO tipe ini tidak lagi
melakukan pembagian laba (profit sharing distribution) kepada para anggota karena
sejatinya transaksi-transaksi atas nama JO dilakukan langsung oleh para anggotanya,
sesuai JOA.
Terakhir, dalam konteks pemotongan PPh, pada JO tipe KSO kewajiban untuk
melakukan pemotongan PPh Pasal 21/26 atas pemberian remunerasi dalam bentuk kas
kepada karyawan memotong PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 23/26 atas
pembayaran transaksi-transaksi yang merupakan objek PPh pemotongan pasal-pasal
yang bersangkutan,berada di tangan para anggota JO. Singkatnya, JO tipe KSO ini
melimpahkan kewajiban atas pelaksanaan pemotongan, pembayaran, dan pelaporan
PPh potong-pungut kepada para anggotanya karena status sebagai agen pemotong
(withholding tax agent) berada dan dimiliki oleh para anggotanya. Gagal untuk
melaksanakan tugas ini (seperti adanya keterlambatan pemotongan, pembayaran, atau
pelaporan), pihak anggota JO lah yang akan terekspos sanksi administrasi berupa
denda dan bunga keterlambatan, bukan pihak JO.

25
2.6 Pembukuan dan Pemilihan Metode Akuntansi yang Menguntungkan
Secara umum, wajib pajak badan berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pengertian pembukuan diatur Pasal 1 angka 29 UU KUP, yaitu bahwa pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Sehingga, berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung
dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga
perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang
yang an Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pem atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan
harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan
menentukan lain.
Pasal 28 UU KUP yang berlaku mengatur bahwa:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap wajib melakukan pencatatan, adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma Penghitungan Penghasilan
Neto dan Wajib Pajak pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
3. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan
itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan
stelsel kas.
6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
7. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
8. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

26
9. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan
secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
10. Dihapus.
11. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10
(sepuluh)indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib orang pribadi,
atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
12. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam melakukan pembukuan terdapat beberapa ketentuan dalam peraturan


perpajakan.menyangkut pembukuan jenis akrual atau stelsel kas campuran.Sistem penilaian
persediaan yang diperkenankan FIFO (First In First Out) atau rata-rata (average) vs LIFO
(Last In First Out).Juga terdapat beberapa metode perhitungan penyusutan dan amortisasi
yaitu bentuk metode garis lurus atau metode saldo menurun.Dan yang paling penting
merupakan pilihan bahasa dan mata uang yang digunakan dalam penyelenggaraan
pembukuan: Rupiah dan bahasa Indonesia atau Dollar Amerika Serikat dan bahasa Inggris
bagi badan yang berhak.

1. Pembukuan stelsel akrual vs stelsel kas campuran (termodifikasi)


Sesuai memori penjelasan Pasal 28 UU KUP sebagaimana dilansir di atas,
stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Yang
mengartikan bahwa di stelsel akrual ini mengakui penghasilan saat terjadinya
transaksi terlepas sudah diterima secara tunai atau belum.Sementara, stelsel kas
adalah suatu metode penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan
biaya yang dibayar secara tunai.Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap
sebagai penghasilan apabila benar-benar diterima secara tunai dalam suatu periode
tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar
secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel
kas harus memperhatikan beberapa hal seperti penghitungan jumlah penjualan dalam
suatu periode harus meliputi seluruh penjualan,dalam menghitung harga pokok
penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan,dalam memperoleh
harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,biaya-biaya yang
dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi,pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara konsisten.Dengan demikian
penggunaan stelsel kas tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus asas, yaitu harus sama
seperti tahun sebelumnya.Tetapi, perubahan metode pembukuan bisa saja dilakukan
dengan syarat mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan
27
metode pembukuan harus diajukan kepada DJP sebelum dimulainya tahun buku yang
baru dengan memberikan alasan yang sesuai.Perubahan metode pembukuan akan
mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang meliputi perubahan metode
dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan
penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan
biaya yang berkaitan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu.

2. Sistem penilaian persediaan


Ayat (6) dari Pasal 10 UU PPh yang berlaku menyebutkan bahwa:
"Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama" Lebih lanjut, memori penjelasan
pasal tersebut menyebutkan hal-hal sebagai berikut:
Terdapat 3 macam persediaan barang yaitu,barang jadi atau barang dagangan,
barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.Ketentuan pada ayat
ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga
perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan
yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan
kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Contoh:
1. Persediaan Awal 100 satuan @Rp 9,00
2. Pembelian 100 satuan @Rp 12,00
3. Pembelian 100 satuan @Rp 11,25
4. Penjualan/dipakai 100 satuan
5. Penjualan/dipakai 100 satuan
Perhitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan menggunakan cara rata-rata
misalnya sebagai berikut:

Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara
FIFO misalnya sebagai berikut:

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
28
penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan
cara yang sama (konsisten).
Sehingga, dari perspektif perpajakan kita ketahui bahwa sistem penilaian persediaan
berdasarkan harga perolehan yang menggunakan metode Identifikasi khusus dan LIFO
(last-in first- out) tidak diperbolehkan di perpajakan sehingga tidak diakui secara
fiskal.Dikarenakan sistem LIFO dapat membuat laba kena pajak semakin kecil

3. Metode perhitungan penyusutan dan amortisasi


Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU PPh yang berlaku, penyusutan diterapkan
atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan
harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut. Terdapat beberapa macam metode penyusutan yaitu:
metode garis lurus dan metode saldo menurun. Sementara untuk bangunan yang
terdapat 2 jenis juga yaitu,permanen dan bukan permanen, metode penyusutan
menurut pajak yang diperbolehkan adalah metode garis lurus. Penyusutan, lebih lanjut
diatur, dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan
harta tersebut. Dengan persetujuan Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Apabila Wajib Pajak
melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 UU PPh, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah
dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
Berikut tabel daftar kelompok harta berwujud serta tarifnya untuk menghitung
penyusutan.

Dengan adanya opsi perhitungan penyusutan tersebut,dapat menguntungkan


perusahaan dikarenakan perusahaan bisa melakukan perencanaan pajak,sehingga
perusahaan dapat melakukan penghematan pajak atau tax saving agar tidak lebih

29
bayar dan sebagainya karena mengingat time value of money,uang tersebut dapat
digunakan untuk keperluan lain.
Perusahaan juga dapat memilih akan menggunakan tarif penyusutan yang
diakuin pajak atau diakui oleh ketentuan fiskal atau tidak,jika mengikuti ketentuan
fiskal perusahaan tidak perlu repot lagi pada akhir tahun untuk menghitung ulang
penyusutan agar sesuai dengan ketentuan fiskal.Perusahaan juga dapat mengadopsi
tax driven accounting principle dimana perusahaan mencoba mengoptimalkan
perhitungan penyusutan pajak dengan cara tidak melakukan pembukuan pembelian
aktiva tetap diatas tanggal 15.Beberapa peluang perbedaan perlakuan penyusutan
secara akuntansi dan pajak yang dulu berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang lama masih ada, dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36
Tahun 2008, dicoba diminimalisir. Ketentuan yang dihapuskan tersebut antara lain
menyangkut masalah penyusutan pajak basis tahunan digantikan dengan basis
bulan.Dengan ketentuan ini, dahulu untuk kepentingan pengelolaan pajak, banyak
perusahaan melakukan pembelian aktiva tetap akhir (penghujung) tahun buku, karena
logikanya beli di awal dan beli di akhir tahun, besarnya penyusutan sama lalu
berikutnya open ended depreciation calculation pada metode saldo menurun
digantikan dengan ketentuan bahwa nilai sisa buku dibebankan langsung semuanya di
akhir masa manfaat. Sebagaimana diketahui,dalam metode saldo menurun,
penyusutan akan tetap terus dilakukan sampai dengan tahun tak terhingga karena
besarnya penyusutan dihitung dari nilai sisa buku fiskal aktiva tetap yang
bersangkutan. Sekarang, nilai sisa buku di akhir tahun manfaat harus dibiayakan
sekaligus sehingga penyusutan menjadi closed ended di akhir masa manfaat.
Meski demikian, tetap saja dalam praktik keseharian, masih dimungkinkan
perbedaan pandangan perhitungan penyusutan antara wajib pajak badan dengan pihak
fiskus, misalnya atas kasus pengeluaran atas pembuatan office leasehold improvement
berupa partisi sekat-sekat untuk kubikal kantor yang kadang perhitungan penyusutan
akunting dan pajaknya dilakukan dengan cara: (i) menyusutkannya sesuai dengan
masa sewa kantor (dialokasikan selama masa sewa berdasarkan perjanjian dengan
pihak pemilik); (ii) menghitung penyusutannya berdasarkan pengelompok bagai
aktiva bangunan permanen dengan alasan merupakan bagian tak terpisahkan dari
gedung kantor; (iii) menghitung penyusutannya berdasarkan pengelompokan sebagai
aktiva bangunan tidak permanen karena material pembentukannya sebagian besar
adalah kayu yang sifatnya fleksibel dan dipindah-pindahkan; atau (iv) penyusutannya
dihitung menurut kelompok 1 dengan masa manfaat maksimal 4 tahun karena
umumnya modelnya sementara dan sebagian besar dikategorikan sebagaiperabotan
kantor (office furniture and fixtures).
Peluang lain yang dapat dimanfaatkan perusahaan terkait dengan masalah
akuntansi dan pembukuan ini adalah klausal yang termaktub dalam memori
penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
(UU KUP yang berlaku) yang berbunyi: "...Pembukuan harus diselenggarakan
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia,misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan
30
menentukan lain" Secara implisit, itu berarti bahwa preferensi akan diberikan pada
ketentuan/regulasi perpajakan apabila terdapat pengaturan akuntansi yang tidak
sejalan.Atau dengan kata lain, perlakuan pajak akan mengikuti ketentuan akuntansi
apabila tidak ada ketentuan perpajakan yang secara spesifik mengatur hal tersebut
('tax follows accounting rules').

2.7 Rekonsiliasi Fiskal


Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian penghasilan dan/atau biaya
komersial yang telah dicatat sesuai standar akuntansi dengan ketentuan (aturan) perpajakan
yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal merupakan proses yang harus dilakukan perusahaan
sebelum disampaikannya pelaporan SPT Tahunan PPh Badan.
Proses/Tahapan Rekonsiliasi Fiskal yang efektif

1. Koreksi fiskal atas penghasilan perusahaan


Koreksi fiskal atas penghasilan, secara yuridis dapat dilakukan dengan penguasaan
atas ketentuan peraturan perpajakan terkait dengan objek PPh. Pada prinsipnya,
penghasilan sebagai objek PPh, didefinisikan sebagai : 'setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini (UU PPh);
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
i. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
ii. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;

31
iii. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan,pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
iv. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan
v. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia."

Oleh sebab itu,untuk dapat melakukan pengelolaan pajak dengan baik perlu
mengetahui,memahami dan mengidentifikasi penghasilan apa saja yang dikecualian dan
bukan objek PPh.

Identifikasi penghasilan untuk kepentingan rekonsiliasi fiskal dapat dilakukan berdasarkan


sumbernya (dalam negeri vs luar negeri), penggolongan jenis atau tipe penghasilan
32
(penghasilan usaha aktif,
penghasilan dari modal atau
penghasilan lainnya), dan
perlakuan pengenaan pajaknya
(apakah merupakan objek PPh
yang harus digunggung di akhir
tahun, bukan objek PPh atau objek
PPh final). Ilustrasi dari
pengidentifikasian tersebut, dapat
dilihat pada gambar diatas
Penghasilan yang
dikecualikan dari pengenaan PPh
berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021,mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
i. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

33
ii. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g. dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi,termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
i. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;dan
ii. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
k. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/ata bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
l. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Sementara, penghasilan yang dikenakan PPh final yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
dan pasal-pasal terkait lainnya, meliputi:
a. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek;
b. Penjualan saham milik perusahaan modal ventura;
c. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan;
d. Penghasilan dari hadiah undian;
e. Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan;
f. Penghasilan berupa bunga/diskonto obligasi yang dijual di bursa efek;
g. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan pemborongan bangunan;
h. Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI; dan
i. Selisih lebih revaluasi aktiva tetap.

34
2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang
Koreksi fiskal dibagi menjadi 2 yaitu beda tetap atau beda waktu.Untuk beda
tetap disebabkan karena adanya peraturan perpajakan yang berbeda dengan akuntansi
laporan keuangan komersial.Dalam laporan keuangan komersial biaya diperbolehkan
untuk menjadi beban pengurang atau deductible expense,sedangkan tidak boleh
menjadi beban pengurang dalam peraturan perpajakan biasa disebut non deductible
expense
Secara garis besar, koreksi fiskal atas biaya pengurang dapat dilakukan karena
hal-hal sebagai berikut: biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh/mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak,biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan penghasilan yang dikenakan
PPh final,kerugian usaha dari luar negeri,Kerugian atas pengalihan harta yang dimiliki
tetapi tidak digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan,biaya-biaya yang tercantum
dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh yang berlaku. Adapun biaya-biaya yang bukan
merupakan biaya pengurang berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, adalah:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham,sekutu, atau anggota; usaha
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan,kecuali:
i. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
ii. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
iii. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
iv. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
v. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
vi. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

35
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak penghasilan
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Koreksi fiskal dapat positif dan


negatif,dimana positif menambah
penghasilan kena pajak sedangkan
negatif mengurangi penghasilan kena
pajak

Sementara, untuk perusahaan yang berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia,
definisi penghasilan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai (attributable income concept);
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia (force of attraction principle);
36
3. Penghasilan dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah, maupun penghasilan dari
penjualan harta yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat
hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud (effectively connected income rules).

Adapun biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana disebutkan di


atas,boleh dikurangkan dari penghasilan BUT. Disamping itu, di dalam menentukan besarnya
laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan
adalah
biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan pembayaran kepada kantor pusat yang
tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya, meliputi: (i) royalti atau imbalan lainnya
sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; (ii) imbalan sehubungan dengan
jasa manajemen dan jasa lainnya; (iii) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha
perbankan; dan (iv) kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai
rupiah pada perkiraan hutang kepada kantor pusat.

2.8 Perencanaan Pajak Saat Penutupan Perusahaan


Pada saat penutupan perusahaan manajemen pajak sangat diperlukan,sama seperti dari
tahap pembentukan bahwa manajemen diperlukan untuk mengoptimalkan plihan atau opsi
perpajakan.Penutupan perusahaan atau melikuidasi perusahaan akan berdampak pada
penghapusan NPWP dan NPPKP,sebelum melakukan itu otoritas pajak pastinya akan
melakukan pemeriksaan pajak terhadap perusahaan tersebut.
Proses penutupan perusahaan dapat dilakukan secara langsung dengan likuidasi
perusahaan maupun bertahap dengan membuat status perusahaan menjadi tidak aktif
terdahulu (dormant status) sebelum membubarkan dan mengajukan permintaan penghapusan
NPWP/NPPKP.
1. Proses likuidasi perusahaan
Proses ini merupakan proses pembubaran perusahaan dengan memenuhi
tanggung jawab kepada seluruh stakeholders perusahaan yang dimana perusahaan
membayar atau mengembalikan harta yang tersisa kepada pada pemilik
saham.Likuidasi merupakan proses membersihkan seluruh harta kekayaan atau aset
perusahaan.Tujuan utama dari likuidasi itu sendiri adalah untuk melakukan pencairan,
pengurusan dan pemberesan atas harta perusahaan yang dibubarkan tersebut. Tahap
likuidasi wajib dilakukan ketika sebuah perseroan dibubarkan, dimana pembubaran
perseroan tersebut bukanlah akibat dari penggabungan dan peleburan. Perseroan yang
dinyatakan telah bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan
untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi
Pembubaran perseroan umumnya akan diikuti dengan likuidasi yang dilakukan
oleh likuidator atau kurator. Berikut adalah tahap-tahap likuidasi sebuah perseroan,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 147 sampai dengan pasal 152 UU PT:
1. Tahap pengumuman dan pemberitahuan pembubaran perseroan
2. Tahap pencatatan dan pembagian harta kekayaan

37
3. Tahap pengajuan keberatan kreditur
4. Tahap pertanggungjawaban likuidator
5. Tahap pengumuman hasil likuidasi

2. Penghentian kegiatan operasional dan status dormant


Terdapat cara lain selain membubarkan perusahaan yaitu dengan cara
menonaktifkan atau memberhentikan seluruh kegiatan perusahaan tersebut ini disebut
sebagai dormant.Dengan begini jika suatu saat perusahaan mendapatkan proyek
baru,maka bisa langsung bergerak lagi.
Untuk mengefisiensi pengeluaran,pada masa dormant perusahaan dapat
memotong biaya-biaya operasional, seperti: melakukan PHK kepada karyawan
sehingga tidak ada pengeluaran untuk gaji, menurunkan biaya sewa gedung dengan
cara memindahkan sementara lokasi usaha ke tempat yang lebih murah seperti virtual
office,dsb.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari dormant adalah perusahaan tidak perlu
melakukan proses likuidasi (seperti pada PT) dalam rangka penutupan usaha serta
menghadapi pemeriksaan pajak dalam rangka penutupan NPWP perusahaan. Di
samping itu apabila perusahaan mendapatkan proyek baru lagi maka perusahaan tidak
perlu mengajukan permohonan NPWP baru atas perusahaan baru.
Dengan cara dormant, pemeriksaan pajak terkait dengan permohonan
penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan cenderung dapat dikelola dengan baik,
mengingat dalam kondisi dormant, tidak banyak kewajiban yang dilakukan oleh
perusahaan sehingga tax exposure dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus-
kasus tertentu, masa dormant dapat diterapkan selama masa daluwarsa penetapan
pajak (berdasarkan UU KUP yang sekarang berlaku adalah 5 tahun) untuk
mengantisipasi tax exposure temuan pemeriksaan pajak yang massif apabila pihak
otoritas perpajakan memeriksa keseluruhan tahun yang masih terbuka (all open years)
untuk pemeriksaan. Jika pun ada temuan, dipastikan jumlahnya tidak material karena
secara substantif perusahaan tidak lagi memiliki kegiatan operasional usaha dan
mungkin telah tidak lagi memiliki pegawai sehingga kemungkinan risiko pajak yang
ditemukan hanya berupa keterlambatan lapor SPT saja. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
UU KUP yang berlaku, Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang tidak disampaikan
tepat waktu akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar: (i) Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN); (ii)
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya (seperti PPh Pasal 4(2),
15 21/26, dan 23/26); dan (iii)sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Pasal 7
ayat (2) huruf e UU KUP menyebutkan bahwa 'pengenaan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan.Meskipun dalam sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana disebutkan di atas tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak badan yang
tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku' namun di kebanyakan kasus pemeriksaan pajak untuk penghapusan
NPWP, Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih denda tersebut acap kali
diterbitkan. Barangkali karena jumlahnya yang kurang signifikan, banyak perusahaan

38
yang tidak berkeberatan untuk melunasinya agar penghapusan NPWP/NPPKP
perusahaan dapat berjalan lancar.
3. Aspek akuntansi dan perpajakan lain atas pembubaran perusahaan
Perlu diperhatikan pula bahwa dalam kedua kondisi pembubaran perusahaan,
beberapa aspek akuntansi dan perpajakan yang tidak dapat dihindari dan harus
dikelola dengan baik,seperti pada saat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
manajemen dan karyawan perusahaan harus membayar pesangon,pesangon tersebut
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 berikutnya adalah pembubaran
perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang perusahaan kepada pihak debitur
dan sebaliknya mungkin sebagian atau seluruh utang perusahaan kepada pihak
kreditur, juga terhapus lalu bisa saja terjadi pengembalian sejumlah dana kepada
pemegang saham dan kerumitan pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya atas
pemotongan PPh dan PPN atas pembayaran jasa profesional terkait dengan asistensi
pembubaran perusahaan, seperti imbalan jasa untuk notaris, legal counsel,
likuidator,konsultan hukum dan pajak, sementara perusahaan telah dibubarkan.

39
BAB III
Kesimpulan
Perusahaan memerlukan tax planning atau perencanaan pajak,perencanaan pajak
diperlukan untuk mengefisienkan pajak.Ini merupakan salah satu cara yang dapat
dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam melakukan pengelolaan perpajakan usaha atau
penghasilannya secara legal atau bisa disebut sebagai tax avoidance.Perusahaan memerlukan
kreativitas manajemen yang baik,demi tercapainya tujuan.Mengefisienkan pajak dapat
dengan cara mencari loopholes yang ada pada peraturan.Perencanaan pajak dapat dilakukan
berdasarkan pengelolaan perusahaan yang baik mulai dari pemilihan bentuk usaha,pemilihan
struktur,proses dan model bisnis dan pendekatan usaha,pembukuan dan pemilihan metode
akuntansi yang menguntungkan bagi perusahaan,serta memahami biaya biaya pengurang apa
saja yang diakui dalam rekonsiliasi fiskal.Dengan begitu perusahaan dapat mendapatkan
kewajiban pajak yang seefisien mungkin,yang dimana hal tersebut pastinya akan
menguntungkan bagi perusahaan tetapi tidak ilegal di mata hukum.

40
Daftar Pustaka
Santoso, I. (2019). Corporate Tax Management (Revisi ed.). Ortax.

Waluyo. (2020). Akuntansi Pajak (7th ed.). Salemba Empat.

Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas

Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan

Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021

Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

41

Anda mungkin juga menyukai