Kelas : D
Disusun oleh :
Benedictus Adriel P 6081901237
Dosen Mata Kuliah: Justina Maria S., Dra., S.E., M.Ak., Ak., CA.
Tim Penyaji
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
Pendahuluan 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
BAB II 6
Pembahasan 6
2.1 Kreativitas Manajemen Pajak dan Tanggung Jawab Kepada Pemangku Kepentingan 6
2.2 Siklus Bisnis Dan Upaya Manajemen Pajak 8
2.3 Pilihan Atas Pendirian Usaha 8
2.4 Pemilihan Bentuk Usaha 8
1. Partnership 8
2. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi partnership 9
3. Perseroan Terbatas 11
4. Keistimewaan perlakuan perpajakan bagi perseroan terbatas 14
5. Perusahaan perseorangan 16
2.5 Pemilihan Struktur,Proses & Model Bisnis,Dan Pendekatan Usaha 21
1. Struktur holding-terintegrasi vs subsidiaries-disintegrasi 21
2. Pendekatan bisnis kontraktor utama - subkontraktor(outsourcing) vs joint-operation
untuk penanganan suatu projek 23
2.6 Pembukuan dan Pemilihan Metode Akuntansi yang Menguntungkan 25
1. Pembukuan stelsel akrual vs stelsel kas campuran (termodifikasi) 27
2. Sistem penilaian persediaan 27
3. Metode perhitungan penyusutan dan amortisasi 28
2.7 Rekonsiliasi Fiskal 30
1. Koreksi fiskal atas penghasilan perusahaan 31
2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang 34
2.8 Perencanaan Pajak Saat Penutupan Perusahaan 37
BAB III 40
Kesimpulan 40
Daftar Pustaka 41
2
BAB I
Pendahuluan
3
Yang menjadi objek pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021,adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak,baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,dengan nama dan
dalam bentuk apapun
Untuk mendapatkan PPH terutang atau kewajiban membayar pajak seminimal
mungkin,wajib pajak badan dapat melakukan tax planning.Tax planning memiliki tujuan
untuk Bertujuan untuk mengefisienkan pajak.Ini merupakan salah satu cara yang dapat
dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam melakukan pengelolaan perpajakan usaha atau
penghasilannya secara legal atau bisa disebut sebagai tax avoidance.
Pengelolaan pajak penghasilan perusahaan pada dasarnya berbicara bagaimana
kreativitas manajemen untuk menciptakan pilihan-pilihan yang menguntungkan.Pilihan yang
secara bisnis reasonable,secara komersial aplikatif practicable dan secara legal tidak
bertentangan dengan ketentuan aturan yang ada.Pengelolaan pajak merupakan aktivitas untuk
menciptakan,menganalisis dan menentukan pilihan agar tercapainya tujuan berupa
optimalisasi penghematan pajak,minimalisasi beban pajak,peningkatan nilai perusahaan dan
antisipasi aras temuan yang signifikan dari pihak otoritas pajak.Pengelolaan pajak atau tax
management dapat dioptimalkan dengan cara menganalisis dan kekurangan dari masing-
masing opsi yang tersedia dan menentukan pilihan yang akan diambil.Pengambilan
keputusan juga membutuhkan kreativitas dalam mencari loopholes yang ada pada peraturan.
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kreativitas manajemen pajak dan tanggung jawab perusahaan kepada
pemangku kepentingan?
2. Bagaimana siklus bisnis dan upaya manajemen pajak?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan pilihan atas pendirian usaha?
4. Bagaimana pemilihan bentuk usaha?
5. Bagaimana pemilihan struktur,proses & model bisnis dan pendekatan usaha?
6. Bagaimana pembukuan dan pemilihan metode akuntansi yang menguntungkan bagi
perusahaan?
7. Bagaimana yang dimaksud dengan rekonsiliasi fiskal?
8. Bagaimana perencanaan pajak saat penutupan perusahaan?
5
BAB II
Pembahasan
6
Untuk kreditur atau pemberi kredit perusahaan,perusahaan perlu bertanggung jawab
atas kredit yang diberikan oleh kreditur dimana perusahaan dapat melunasi kredit yang sudah
diiberikan tersebut,dan dapat dilaksanakan sesuai dengan perjanjian sebelumnya dan jika
tidak dapat memenuhi perusahaan perlu bertanggung jawab atau mau menerima sanksi yang
disepakati sebelumnya.
Karyawan merupakan salah satu bagian paling penting dalam perusahaan,karena
tanpa mereka perusahaan tidak dapat bergerak dengan baik,oleh karena itu perusahaan
memiliki tanggung jawab yang besar kepada mereka,karena kepuasan pegawai merupakan
salah satu aspek yang penting.Pengelola diharapkan dapat memberikan gaji,bonus dan
fasilitas yang sesuai,layak dan mendukung para karyawannya.Dalam hal perpajakan,seperti
yang dipelajari sebelumnya bahwa terdapat PPh pasal 21 maka perusahaan memiliki
tanggung jawab untuk mengadministrasikan payroll tax PPh pasal 21 dan mengoptimalkan
employees take home pay.
Untuk mendapatkan keuntungan,perusahaan pastinya perlu menjual produk sebanyak
mungkin dan untuk meningkatkan penjualan maka harus mendapatkan client/pelanggan yang
banyak.Perusahaan memiliki tanggung jawab kepada mereka,karena untuk menarik
pelanggan hal yang harus dipastikan adalah produk/jasa memiliki kualitas yang baik dan
harga yang sesuai dengan target pasar.Pelanggan yang membeli produk/jasa tersebut pastinya
akan dikenakan pajak PPN,pengelola perusahaan dapat mengedukasi para pembeli terkait
dengan pemungutan PPN
Perusahaan juga pastinya memiliki tanggung jawab kepada supplier,karena merekalah
yang menyediakan barang/jasa yang bertujuan untuk kepentingan usaha perusahaan,sehingga
perlu dipastikan semuanya dapat berjalan dengan baik terutama pembayaran.Dalam hal
perpajakan perusahaan perlu memastikan supplier merupakan supplier yang terpercaya dan
tidak memiliki reputasi yang buruk seperti pernah masuk dalam daftar blacklist dari pihak
otoritas pajak dan perusahaan juga memiliki tugas untuk mengadministrasikan laporan atau
bukti pemotongan,pemungutan,pembayaran dan pelaporan pajak.
Terlepas dari itu semua pengelola/manajemen perusahaan memiliki tanggung jawab
yang besar dimana perlu menjaga keberlangsungan perusahaan dan memastikan perusahaan
masih dijalan yang benar untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sebelumnya.secara umum, key performance indicators perusahaan didasarkan pada 4 (empat)
aspek keberhasilan, yaitu: (i) pertumbuhan usaha dan penguasaan pasar (growth and market
leadership); (ii) penanganan sumber daya manusia yang baik (people - human capital); (iii)
kepatuhan dan pengelolaan risiko usaha (governance and quality risk management); dan (iv)
kinerja keuangan dan operasional yang ekselen (financial and operational excellence)
Dapat dilihat bahwa pihak pengelola/manajemen perusahaan yang bertanggung jawab dalam
mengambil keputusan dan berani mengamgil risiko,termasuk resiko perpajakanOleh karena itu, dalam
hal perpajakan, manajemen harus memahami dan mempertimbangkan implikasi pajak dari setiap
keputusan bisnis yang mereka buat. Untuk tujuan ini, disarankan agar administrasi mengetahui
struktur organisasi otoritas pajak dan
dinamis dan rajin berkomunikasi tentang masalah perpajakan yang dihadapinya.Setiap pilihan yang
diambil sejatinya tidak bersifat benar atau salah karena pajak bukanlah ilmu eksakta (pasti) dan
pilihan itu bersifat kontekstual tergantung situasi dan kondisi saat pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
7
2.2 Siklus Bisnis Dan Upaya Manajemen Pajak
Siklus Bisnis dan Upaya Manajemen Pajak dimulai dari awal pendirian badan usaha
tersebut sampai penutupan usaha dan likuidasi jika memang perusahaan memutuskan untuk
menutup badan usahanya.Hal tersebut dikarenakan terdapat berbagai macam opsi yang akan
berdampak kepada kewajiban pajaknya yang nantinya akan berdampak kepada pengambilan
keputusan.
Berikut, beberapa pilihan (option) yang tersedia bagi manajemen perusahaan untuk
melakukan pengelolaan pajak, khususnya PPh badan, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
1. Partnership
Salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia adalah 'persekutuan
komanditer' (commanditaire vennootschap atau CV) . CV adalah suatu persekutuan yang dibentuk
oleh dua orang atau lebih yang kemudian mempercayakan modal yang dimiliki kepada dua orang atau
lebih.
Dari pengertian di atas , sekutu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Sekutu aktif atau sekutu komplementer, adalah sekutu yang menjalankan
perusahaan dan berhak melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. Artinya,
semua kebijakan perusahaan dijalankan oleh sekutu aktif. Sekutu aktif sering
juga disebut sebagai persero kuasa atau persero pengurus.
b. Sekutu pasif atau sekutu komanditer, adalah sekutu yang hanya menyertakan
modal dalam persekutuan. Jika perusahaan menderita rugi, mereka hanya
bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan dan begitu juga apabila
untung, yang mereka peroleh terbatas tergantung modal yang mereka berikan.
Status sekutu komanditer dapat disamakan dengan seseorang yang menitipkan
modal pada suatu perusahaan, yang hanya menantikan hasil keuntungan dari
inbreng yang dimasukkan itu, dan tidak ikut campur dalam kepengurusan,
8
pengusahaan, maupun kegiatan usaha perusahaan.Sekutu ini sering juga
disebut sebagai persero diam.
Persekutuan komanditer biasanya didirikan dengan akta dan harus didaftarkan.
Namun persekutuan ini bukan merupakan badan hukum (sama dengan firma), sehingga tidak
memiliki kekayaan sendiri.
Berdasarkan perkembangannya, bentuk perseroan komanditer adalah sebagai berikut:
(i) persekutuan komanditer murni, yang merupakan persekutuan komanditer yang pertama .
Dalam persekutuan ini hanya terdapat satu sekutu komplementer sedangkan yang lainnya
adalah sekutu komanditer; (ii) persekutuan komanditer campuran, bentuk ini umumnya
berasal dari bentuk firma bila firma membutuhkan tambahan modal. Sekutu firma menjadi
sekutu komplementer sedangkan sekutu lain atau sekutu tambahan menjadi sekutu
komanditer; dan (iii) persekutuan komanditer bersaham yang menerbitkan saham yang tidak
dapat diperjualbelikan dan sekutu komplementer maupun sekutu komanditer mengambil satu
saham atau lebih. Tujuan dikeluarkannya saham ini adalah untuk menghindari terjadinya
modal beku karena dalam persekutuan komanditer tidak mudah untuk menarik kembali
modal yang telah disetorkan.
Kelebihan bentuk usaha CV , antara lain adalah: (i) relatif mudah dan murah proses
pendiriannya; (ii) kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi; (iii) cenderung lebih mudah
memperoleh kredit; (iv) Dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik; (v) lebih fleksibel
karena bagi sekutu diam akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun mencairkan
kembali modalnya; (vi) tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT;
dan (vii) Anggaran Dasar (akta pendiriannya) tidak perlu mendapat pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM RI.
Namun CV juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu: (i) kelangsungan hidup tidak
menentu, karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang bertindak sebagai pemimpin
persekutuan; (ii) tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh
terhadap semangat untuk memajukan perusahaan; dan (iii) kewajiban sekutu yang tidak
terbatas (karena kekayaan sekutu pendirinya tidak dapat dipisahkan dengan kekayaan CV);
dan (iv) perlindungan hukumnya masih dianggap minim.
9
b " Subjek pajak dalam negeri adalah: badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
1.pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3.penerimaannya Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah ; dan
4.pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara "
Lebih lanjut , penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b ) UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
Nomor 7 tahun 2021, menyebutkan bahwa "Badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun,persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap”.
Partnership, sebagai subjek pajak badan wajib untuk memiliki NPWP
dan/atau NPPKP apabila aktivitasnya berkaitan dengan penyerahan BKP/JKP
yang merupakan objek PPN. Partnership juga wajib untuk menyelenggarakan
pembukuan agar dari pembukuan tersebut dapat menghitung PPh badan
terutang dan melaporkan SPT PPh Badannya ke KPP tempat ia terdaftar.
3. Perseroan Terbatas
Undang - Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,merupakan
dasar hukum pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang berlaku sejak diundangkannya
yaitu tanggal 16 Agustus 2007. UU ini menggantikan UU sebelumnya, yaitu UU No.
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Perseroan Terbatas merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau disebut juga dengan persekutuan
modal.Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan
sehingga memiliki harta kekayaan sendiri.Setiap orang yang memiliki uang atau
modal dapat memiliki saham dari perusahaan tersebut. Pemilik saham mempunyai
tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki jika memiliki
11
saham mayoritas maka pemilik saham akan berpengaruh besar dalam mengambil atau
menyetujui sebuah keputusan. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan
perusahaan , maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para
pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan
tersebut dibagikan sesuai dengan jumlah kepemilikan saham orang tersebut atau yang
biasa disebut sebagai dividen.
PT dapat pula menerbitkan obligasi untuk pembiayaan operasionalnya.
Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga
tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut.
Untuk mendirikan PT, harus dengan menggunakan akta resmi (akta yang
dibuat oleh notaris) yang di dalamnya dicantumkan nama dari perseroan terbatas,
modal, bidang usaha, alamat perusahaan, dan lain-lain. Akta ini harus disahkan oleh
menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (dahulu Menteri
Kehakiman). Untuk mendapat izin,persyaratan sebagai berikut harus dipenuhi:
a. Perseroan terbatas tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan;
b. Akta pendirian memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-undang;
c. Paling sedikit modal yang ditempatkan dan disetor adalah 25 % dari modal
dasar.(sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 UU No. 40 Tahun 2007, keduanya
tentang perseroan terbatas).
15
tugasnya seperti lalai dalam mengawasi tugas direksi yang mengakibatkan
kerugian terhadap perusahaan.
Baik UU PT maupun UU Pajak,memperbolehkan seorang pemegang
saham untuk duduk menjabat sebagai pengelola PT, baik itu direksi ataupun
komisaris.Oleh karenanya, berbeda dengan partnership yang memperkenankan
biaya gaji sekutu untuk menjadi biaya pengurang perhitungan PPh badan
partnership, maka biaya gaji komisaris dan/atau direktur yang juga merangkap
sebagai pemegang saham pada PT, tetap diperkenankan untuk dijadikan
sebagai biaya pengurang, sepanjang jumlahnya wajar dan menjadi suatu
kelaziman dalam bisnis. Gaji sebagai anggota dewan direksi atau komisaris
pada PT yang diterima oleh pemegang saham tidak serta merta dianggap
sebagai pembayaran dividen pendahuluan (advance dividend) sebagaimana
halnya uang prive yang diterima sekutu pada partnership.
3. Fasilitas inter-corporate dividend tax free
Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf f UU pph yang berlaku,
terhadap PT diberikan fasilitas ‘inter-corporate dividend tax free', dimana
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT dari penyertaan
modal badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
dikecualikan sebagai objek PPh sepanjang memenuhi syarat:dividen dan
penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar
30% dari laba setelah kena pajak,dividen yang berasal dari badan usaha luar
negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek dan keistimewaan
lainnya
Beberapa keistimewaan lain dari PT sebagai kendaraan bisnis,
umumnya menyangkut aspek di luar perpajakan (non tax aspects) , seperti
profil usaha dan preferensi pihak pelanggan atau pemilik proyek dimana di
beberapa kasus tertentu banyak pelanggan atau pemilik proyek lebih
menginginkan mengikat kontrak pekerjaan dengan kontraktor atau penyedia
jasa yang bentuk PT ketimbang bentuk legal yang lainnya.Permintaan tender
lebih ditujukan kepada badan usaha berbentuk PT ketimbang yang lainnya
karena persoalan business credential,tedapat sejumlah fasilitas perpajakan pun
mensyaratkan pendirian usaha dalam bentuk PT bagi mereka yang ingin
menikmatinya,seperti fasilitas insentif pajak menurut Pasal 31A dan 31E UU
PPh, juga fasilitas tax holiday berdasarkan UU Penanaman Modal.
Di samping keistimewaan - keistimewaan di atas , bentuk PT juga
memiliki kelemahan dari segi pajak , yaitu terdapat Economic Double
Taxation (pajak berganda ekonomis) dimana atas objek pajak yang sama
(Penghasilan Kena Pajak/PKP) dikenakan pajak lebih dari satu kali,yakni di
tingkat Badan dan di tingkat pemegang saham (atas PKP dikurangi PPh
Badan).
5. Perusahaan perseorangan
a. Perseorangan yang menjalankan pekerjaan bebas
16
Perusahaan dapat dibentuk oleh seorang diri tanpa adanya partner
seperti pada Partnership ataupun pemegang saham seperti pada Perseroan
Terbatas. Hal tersebut membuat perusahaan perseorangan flexibel karena
mudah dibentuk dan mudah pula ditutup. Di samping itu Perusahaan
perseorangan (khususnya perseorangan yang menjalankan pekerjaan bebas)
juga memiliki kelebihan si sisi pajak, yaitu dapat memilih untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan apabila omzet kurang dari Rp4.800.000.000,00
per tahun dan memiliki opsi lain yaitu melakukan pencatatan. Jika Wajib
Pajak memilih menyelenggarakan pencatatan,maka Wajib pajak harus
memberitahu kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Terkait dengan kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan
pencatatan, pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (KUP) mengatur sebagai berikut:
a. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya (ayat 3).
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia
dengan menggunakan huruf atin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan (ayat 4).
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas (ayat 5).
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak (ayat 6).
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban,modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terhutang
(ayat 7).
f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin
dari Menteri Keuangan (ayat 8).
g. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang , termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final (ayat 9).
17
⦁ PPh OP terutang = tarif pajak (progressive) x PKP
18
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu
2. Tidak termasuk penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan final
tersebut:
⦁ Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
⦁ Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar
negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
⦁ Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan
tersendiri.
⦁ Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
3. Terdapat juga jasa yang berkaitan dengan pekerjaan bebas yaitu:
⦁ Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), penilai dan aktuaris.
⦁ Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model,peragawan/peragawati, pemain drama dan penari.
⦁ Olahragawan.
⦁ Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan
moderator.
⦁ Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
⦁ Agen iklan.
⦁ Pengawas atau pengelola proyek.
⦁ Perantara.
⦁ Petugas penjaja barang dagangan.
⦁ Agen asuransi.
⦁ Distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan
langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
4. Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu tersebut
merupakan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan
berbentuk koperasi, persekutuan komanditer,firma, atau perseroan
terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak, dan tidak
termasuk Wajib Pajak dalam hal:
19
⦁ Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif Pasal 17 ayat(1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau
Pasal 31E UU PPh;
⦁ Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma
yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang
memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
⦁ Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan:
a. Pasal 31A UU PPh; atau
b. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau
penggantinya ; dan
⦁ Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap
5. Pengenaan Pajak Penghasilan final tersebut didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan
keseluruhan peredaran bruto dari usaha,termasuk peredaran bruto dari
cabang.
6. Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
yaitu paling lama:
a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk
koperasi , persekutuan komanditer , atau firma;
c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk
perseroan terbatas.
7. Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar
0,5% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yaitu jumlah peredaran bruto
setiap bulan.
8. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final tersebut adalah jumlah peredaran bruto
setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha,dan merupakan
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan ,
potongan tunai , dan atau potongan sejenis.
9. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a atau Pasal 31E Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
20
10. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut dilunasi dengan cara
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu atau dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut
Pajak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak.
21
bisnis yang satu dengan yang lainnya, kecuali apabila terdapat unit bisnis yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
Disamping itu, struktur holding-branch memungkinkan dilakukannya
pembebanan biaya alokasi kantor pusat (HOAE = Head Office Overhead Allocation
Expenses) bagi cabang perusahaan yang terletak di negara lain, dengan tatacara dan
persyaratan yang berlaku di negara tempat perusahaan tersebut berada.Untuk kasus
Indonesia, hal ini diatur pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf a) UU PPh yang
berlaku yang menyebutkan bahwa "dalam menentukan besarnya laba suatu BUT,
biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak".Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-62/PJ./1995 tanggal 27 Juli 1995, disebutkan bahwa biaya administrasi kantor
pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan
oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau
kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding
dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh
peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. BUT di Indonesia yang
mengurangkan biaya administrasi kantor pusat tersebut wajib menyampaikan laporan
keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha
dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak bersangkutan
sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Laporan
Keuangan konsolidasi atau kombinasi itu harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan
mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan
besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing BUT di negara
tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.
Pada Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia beberapa biaya tidak
diperbolehkan dijadikan sebagai beban pengurang untuk kepentingan penghitungan
PPh badan atau PPh pasal Pasal 26 ayat (4),seperti:pengeluaran sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 UU PPh,pembayaran kepada kantor pusat yang berupa:
(a) royalti atau imbalan lain sehubungan penggunaan harta, paten atau hak-hak
lainnya,
(b) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, dan
(c) bunga, kecuali bunga yang diperkenankan dengan usaha perbankan; serta
kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai rupiah pada
perkiraan hutang kepada kantor pusat.
Untuk kepentingan PPN, struktur holding terintegrasi ini juga memiliki
beberapa permasalahan perpajakan.
Pertama, Berkaitan dengan PPN struktur perusahaan seperti ini kurang efisien
dikarenakan penyerahan barang kena pajak dari cabang ke pusat atau sebaliknya
adalah penyerahan barang kena pajak yang terutang PPN,oleh karena itu bisa dibilang
22
kurang efisien karena setiap adanya penyerahan barang kena pajak perusahaan perlu
menerbitkan faktur pajak.
Perusahaan dapat membuat pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Wilayah yang akan diberikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya merupakan tempat PPN terutang.Dengan syarat:
⦁ memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai
terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai
Terutang;
⦁ memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai
terutang yang akan dipusatkan; dan
⦁ dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan
secara terpusat pada tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih
sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.
24
Kerjasama Operasi (Non-administrative typed of JO)
25
2.6 Pembukuan dan Pemilihan Metode Akuntansi yang Menguntungkan
Secara umum, wajib pajak badan berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pengertian pembukuan diatur Pasal 1 angka 29 UU KUP, yaitu bahwa pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Sehingga, berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung
dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga
perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang
yang an Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pem atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan
harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan
menentukan lain.
Pasal 28 UU KUP yang berlaku mengatur bahwa:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap wajib melakukan pencatatan, adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma Penghitungan Penghasilan
Neto dan Wajib Pajak pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
3. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan
itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan
stelsel kas.
6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
7. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
8. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
26
9. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan
secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
10. Dihapus.
11. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10
(sepuluh)indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib orang pribadi,
atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
12. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara
FIFO misalnya sebagai berikut:
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
28
penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan
cara yang sama (konsisten).
Sehingga, dari perspektif perpajakan kita ketahui bahwa sistem penilaian persediaan
berdasarkan harga perolehan yang menggunakan metode Identifikasi khusus dan LIFO
(last-in first- out) tidak diperbolehkan di perpajakan sehingga tidak diakui secara
fiskal.Dikarenakan sistem LIFO dapat membuat laba kena pajak semakin kecil
29
bayar dan sebagainya karena mengingat time value of money,uang tersebut dapat
digunakan untuk keperluan lain.
Perusahaan juga dapat memilih akan menggunakan tarif penyusutan yang
diakuin pajak atau diakui oleh ketentuan fiskal atau tidak,jika mengikuti ketentuan
fiskal perusahaan tidak perlu repot lagi pada akhir tahun untuk menghitung ulang
penyusutan agar sesuai dengan ketentuan fiskal.Perusahaan juga dapat mengadopsi
tax driven accounting principle dimana perusahaan mencoba mengoptimalkan
perhitungan penyusutan pajak dengan cara tidak melakukan pembukuan pembelian
aktiva tetap diatas tanggal 15.Beberapa peluang perbedaan perlakuan penyusutan
secara akuntansi dan pajak yang dulu berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang lama masih ada, dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36
Tahun 2008, dicoba diminimalisir. Ketentuan yang dihapuskan tersebut antara lain
menyangkut masalah penyusutan pajak basis tahunan digantikan dengan basis
bulan.Dengan ketentuan ini, dahulu untuk kepentingan pengelolaan pajak, banyak
perusahaan melakukan pembelian aktiva tetap akhir (penghujung) tahun buku, karena
logikanya beli di awal dan beli di akhir tahun, besarnya penyusutan sama lalu
berikutnya open ended depreciation calculation pada metode saldo menurun
digantikan dengan ketentuan bahwa nilai sisa buku dibebankan langsung semuanya di
akhir masa manfaat. Sebagaimana diketahui,dalam metode saldo menurun,
penyusutan akan tetap terus dilakukan sampai dengan tahun tak terhingga karena
besarnya penyusutan dihitung dari nilai sisa buku fiskal aktiva tetap yang
bersangkutan. Sekarang, nilai sisa buku di akhir tahun manfaat harus dibiayakan
sekaligus sehingga penyusutan menjadi closed ended di akhir masa manfaat.
Meski demikian, tetap saja dalam praktik keseharian, masih dimungkinkan
perbedaan pandangan perhitungan penyusutan antara wajib pajak badan dengan pihak
fiskus, misalnya atas kasus pengeluaran atas pembuatan office leasehold improvement
berupa partisi sekat-sekat untuk kubikal kantor yang kadang perhitungan penyusutan
akunting dan pajaknya dilakukan dengan cara: (i) menyusutkannya sesuai dengan
masa sewa kantor (dialokasikan selama masa sewa berdasarkan perjanjian dengan
pihak pemilik); (ii) menghitung penyusutannya berdasarkan pengelompok bagai
aktiva bangunan permanen dengan alasan merupakan bagian tak terpisahkan dari
gedung kantor; (iii) menghitung penyusutannya berdasarkan pengelompokan sebagai
aktiva bangunan tidak permanen karena material pembentukannya sebagian besar
adalah kayu yang sifatnya fleksibel dan dipindah-pindahkan; atau (iv) penyusutannya
dihitung menurut kelompok 1 dengan masa manfaat maksimal 4 tahun karena
umumnya modelnya sementara dan sebagian besar dikategorikan sebagaiperabotan
kantor (office furniture and fixtures).
Peluang lain yang dapat dimanfaatkan perusahaan terkait dengan masalah
akuntansi dan pembukuan ini adalah klausal yang termaktub dalam memori
penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
(UU KUP yang berlaku) yang berbunyi: "...Pembukuan harus diselenggarakan
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia,misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan
30
menentukan lain" Secara implisit, itu berarti bahwa preferensi akan diberikan pada
ketentuan/regulasi perpajakan apabila terdapat pengaturan akuntansi yang tidak
sejalan.Atau dengan kata lain, perlakuan pajak akan mengikuti ketentuan akuntansi
apabila tidak ada ketentuan perpajakan yang secara spesifik mengatur hal tersebut
('tax follows accounting rules').
31
iii. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan,pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
iv. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan
v. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia."
Oleh sebab itu,untuk dapat melakukan pengelolaan pajak dengan baik perlu
mengetahui,memahami dan mengidentifikasi penghasilan apa saja yang dikecualian dan
bukan objek PPh.
33
ii. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g. dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi,termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
i. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;dan
ii. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
k. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/ata bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
l. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Sementara, penghasilan yang dikenakan PPh final yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
dan pasal-pasal terkait lainnya, meliputi:
a. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek;
b. Penjualan saham milik perusahaan modal ventura;
c. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan;
d. Penghasilan dari hadiah undian;
e. Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan;
f. Penghasilan berupa bunga/diskonto obligasi yang dijual di bursa efek;
g. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan pemborongan bangunan;
h. Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI; dan
i. Selisih lebih revaluasi aktiva tetap.
34
2. Koreksi fiskal pada pos-pos biaya pengurang
Koreksi fiskal dibagi menjadi 2 yaitu beda tetap atau beda waktu.Untuk beda
tetap disebabkan karena adanya peraturan perpajakan yang berbeda dengan akuntansi
laporan keuangan komersial.Dalam laporan keuangan komersial biaya diperbolehkan
untuk menjadi beban pengurang atau deductible expense,sedangkan tidak boleh
menjadi beban pengurang dalam peraturan perpajakan biasa disebut non deductible
expense
Secara garis besar, koreksi fiskal atas biaya pengurang dapat dilakukan karena
hal-hal sebagai berikut: biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh/mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak,biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/mendapatkan penghasilan yang dikenakan
PPh final,kerugian usaha dari luar negeri,Kerugian atas pengalihan harta yang dimiliki
tetapi tidak digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan,biaya-biaya yang tercantum
dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh yang berlaku. Adapun biaya-biaya yang bukan
merupakan biaya pengurang berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, adalah:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham,sekutu, atau anggota; usaha
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan,kecuali:
i. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
ii. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
iii. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
iv. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
v. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
vi. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
35
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak penghasilan
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
Sementara, untuk perusahaan yang berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia,
definisi penghasilan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai (attributable income concept);
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia (force of attraction principle);
36
3. Penghasilan dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah, maupun penghasilan dari
penjualan harta yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat
hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud (effectively connected income rules).
37
3. Tahap pengajuan keberatan kreditur
4. Tahap pertanggungjawaban likuidator
5. Tahap pengumuman hasil likuidasi
38
yang tidak berkeberatan untuk melunasinya agar penghapusan NPWP/NPPKP
perusahaan dapat berjalan lancar.
3. Aspek akuntansi dan perpajakan lain atas pembubaran perusahaan
Perlu diperhatikan pula bahwa dalam kedua kondisi pembubaran perusahaan,
beberapa aspek akuntansi dan perpajakan yang tidak dapat dihindari dan harus
dikelola dengan baik,seperti pada saat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
manajemen dan karyawan perusahaan harus membayar pesangon,pesangon tersebut
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 berikutnya adalah pembubaran
perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang perusahaan kepada pihak debitur
dan sebaliknya mungkin sebagian atau seluruh utang perusahaan kepada pihak
kreditur, juga terhapus lalu bisa saja terjadi pengembalian sejumlah dana kepada
pemegang saham dan kerumitan pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya atas
pemotongan PPh dan PPN atas pembayaran jasa profesional terkait dengan asistensi
pembubaran perusahaan, seperti imbalan jasa untuk notaris, legal counsel,
likuidator,konsultan hukum dan pajak, sementara perusahaan telah dibubarkan.
39
BAB III
Kesimpulan
Perusahaan memerlukan tax planning atau perencanaan pajak,perencanaan pajak
diperlukan untuk mengefisienkan pajak.Ini merupakan salah satu cara yang dapat
dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam melakukan pengelolaan perpajakan usaha atau
penghasilannya secara legal atau bisa disebut sebagai tax avoidance.Perusahaan memerlukan
kreativitas manajemen yang baik,demi tercapainya tujuan.Mengefisienkan pajak dapat
dengan cara mencari loopholes yang ada pada peraturan.Perencanaan pajak dapat dilakukan
berdasarkan pengelolaan perusahaan yang baik mulai dari pemilihan bentuk usaha,pemilihan
struktur,proses dan model bisnis dan pendekatan usaha,pembukuan dan pemilihan metode
akuntansi yang menguntungkan bagi perusahaan,serta memahami biaya biaya pengurang apa
saja yang diakui dalam rekonsiliasi fiskal.Dengan begitu perusahaan dapat mendapatkan
kewajiban pajak yang seefisien mungkin,yang dimana hal tersebut pastinya akan
menguntungkan bagi perusahaan tetapi tidak ilegal di mata hukum.
40
Daftar Pustaka
Santoso, I. (2019). Corporate Tax Management (Revisi ed.). Ortax.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
41