Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PERHITUNGAN DAN TAX PLANNING PPN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan

Disusun oleh:

Kelompok 2 – 3B AC

1. Anisa Salsabila 195154036


2. Cici Rospita Sari 195154037
3. Diandra Oliviani Almandita 195154038
4. Gina Siti Nur Afiah 195154045
5. Haekal Muhamad Ghifari 195154046
6. Handayani Jolissetiawati 195154047
7. Nabila Daffa Rovishany 195154050
8. Rifa Gilang Hafitri 195154055
9. Rio Hizkia Simatupang 195154056
10. Yolanda Putri 195154064

PROGRAM STUDI D4 AKUNTANSI


JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
"Makalah Perhitungan dan Tax Planning PPN” tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak
yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung hingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun ucapan terima kasih
ditujukan kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan karunia sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini.
2. Bu Yeti Apriliawati, SE., M.Si.Ak. selaku dosen mata kuliah Manajemen Perpajakan.
3. Rekan-rekan kelompok dan pihak lainnya yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat umumnya
bagi pembaca dan khususnya bagi penyusun. Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi kalimat, tata bahasa, dan aspek lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari pembaca dibutuhkan guna penyempurnaan makalah ini.

Bandung, 9 Mei 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan 6
1.4 Manfaat 6

BAB II KAJIAN TEORI 8


2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 8
2.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 9
2.3 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10
2.4 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12
2.5 Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) 12
2.6 Pengecualian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) 16
2.6.1 Pengecualian Barang Kena Pajak (BKP) 16
2.6.2 Pengecualian Jasa Kena Pajak (JKP) 16
2.7 Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan dan Tidak Dipungut 17
2.8 Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 19
2.9 Tarif Pajak Pertambahan Nilai 20

BAB III PEMBAHASAN 22


3.1 Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 22
3.2 Analisis Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai 23
3.3 SPT Masa PPN 25

BAB IV PENUTUP 29
4.1 Kesimpulan 29
4.2 Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia adalah sistem self
assessment system yang merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan
pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dengan kata lain, wajib
pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan
besaran pajaknya. Salah satu sumber penerimaan dari sektor pajak adalah penerimaan dari
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan salah satu beban pajak bagi suatu badan
usaha atau perusahaan. Pajak Pertambahan Nilai diatur berdasarkan Undang-Undang No. 8
Tahun 1983. PPN merupakan pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, dimana pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
penanggung pajak atau penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang harus ia tanggung. Mekanisme dalam pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
PPN terdapat pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena
Pajak (PKP). Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, terdiri dari pajak
keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual
produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli atau
memperoleh produknya.
Adapun tujuan dari perusahaan adalah mampu memaksimalkan laba, salah satu cara
untuk memaksimalkan laba yaitu dengan melakukan perencanaan pajak karena pajak
merupakan unsur pengurang laba. Perencanaan pajak adalah salah satu cara yang
dimanfaatkan oleh wajib pajak dalam melakukan manajemen perpajakan usaha atau
penghasilannya, namun perlu diperhatikan bahwa perencanaan pajak yang dimaksud adalah
perencanaan pajak tanpa melakukan pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan
yang berlaku. Badan usaha atau perusahaan biasanya menggunakan beberapa strategi untuk
melakukan perencanaan pajak diantaranya yaitu penghindaran pajak (tax avoidance),

4
memilih alternatif pajak dengan biaya yang lebih rendah pengenaannya (tax saving), kredit
pajak dioptimalkan, menunda pembayaran wajib pajak, dan menghindari pelanggaran aturan
perpajakan agar terjauhkan dari sanksi atau denda.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
2. Apa saja yang menjadi subjek dan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
3. Siapa saja yang menjadi pemungut dan pemotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
4. Apa saja Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)?
5. Apa saja yang menjadi pengecualian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak
(JKP)?
6. Apa saja Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak dipungut?
7. Bagaimana menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam Pajak Pertambahan Nilai
(PPN)?
8. Bagaimana ketentuan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. Mengetahui subjek dan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Mengetahui pemungut dan pemotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Mengetahui Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)
5. Mengetahui pengecualian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP
6. Mengetahui Pajak Pertambahan Nilai yang tidak dipungut
7. Mengetahui Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
8. Mengetahui tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari disusunnya makalah ini adalah:
1. Manfaat teoritis

5
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis berupa
tambahan informasi dan pengetahuan mengenai Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) pada perusahaan.
2. Manfaat praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan berkaitan
dengan Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dilakukan guna untuk
pengambilan keputusan yang tepat dalam meminimalkan beban pajak dan
memaksimalkan laba perusahaan.

6
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) muncul menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah
cukup lama diterapkan di Indonesia, yakni dari tahun 1951 sampai munculnya Undang‐undang
Nomor 8 tahun 1983. Alasan perubahan seperti yang tercantum dalam paragraf awal
Undang‐undang Nomor 8 tahun 1983 adalah bahwa Pajak Penjualan (PPn) sudah tidak sesuai
lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia sehingga
belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan pengusaha kena pajak dalam
meningkatkan pendapatan negara. Oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali
sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah dengan undang‐undang. Adapun beberapa definisi dari pajak
pertambahan nilai (PPN) adalah sebagai berikut.
Menurut Supramono (2009: 125) pajak pertambahan nilai merupakan pajak yang
dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (daerah pabean), baik konsumsi BKP maupun JKP.
Berdasarkan penjelasan UU No. 42 Tahun 2009 Tentang perubahan Ketiga atas UU No. 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
pada bagian umum, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Menurut Waluyo (2011: 9) menyatakan bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan
pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik konsumsi
barang maupun konsumsi jasa.
Mardiasmo (2009: 269) menyatakan bahwa apabila dilihat dari sejarahnya, pajak
pertambahan nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan pengertian ini karena Pajak
Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum
mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan Negara,
mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.
Mardiasmo (2009: 269) pajak penjualan mempunyai kelemahan yaitu:
1) Adanya pajak ganda.
2) Macam-macam tarif, sehingga menimbulkan kesulitan.

7
3) Tidak mendorong ekspor.
4) Belum dapat mengatasi penyeludupan.
Sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) mempunyai kelebihan yaitu:
1) Menghilangkan pajak ganda.
2) Mengunakan tarif tungggal sehingga mudah pelaksanaannya.
3) Netral dalam pesaingan dalam negeri, perdagangan nasional.
4) Netral pola konsumsi dan mendorong ekspor.

2.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Subjek pajak PPN adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan
perundang‐undangan ditentukan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang PPN.
Orang Pribadi atau Badan tersebut dapat berupa Pengusaha Kena Pajak maupun yang belum
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Subjek pajak PPN terdiri dari:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Terhadap subjek pajak yang sudah menjadi PKP, PPN akan terutang dalam hal:
a) PKP melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
b) PKP melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
c) PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
Pengusaha yang melakukan penyerahan atau mengekspor BKP atau JKP
berwujud maupun tidak berwujud di wilayah pabean, merupakan subjek PPN yang
wajib melakukan hal-hal berikut:
● Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP
● Memungut pajak terutang
● Menyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan, yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang
● Melaporkan perhitungan pajak
2. Non Pengusaha Kena Pajak (Non PKP)
Terhadap subjek pajak yang belum PKP, PPN akan tetap terutang walaupun yang
melakukan kegiatan yang merupakan objek PPN adalah bukan PKP, yaitu dalam hal:

8
a) Mengimpor BKP/JKP
Orang Pribadi atau Badan (bukan PKP) yang memanfaatkan BKP Tidak
Berwujud dari Luar Daerah Pabean, dan memanfaatkan JKP dari Luar Daerah
Pabean, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang dengan
menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.
b) Pengusaha atau bukan pengusaha yang membangun sendiri bangunan tidak dalam
kegiatan usaha/pekerjaan.

2.3 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selalu mengalami perubahan seiring dengan
diberlakukannya UU baru. UU No. 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai 1 April 2010. PPN
dikenakan atas:
A. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi
baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat‐syarat
sebagai berikut :
(a) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
(b) barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud;
(c) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
(d) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
B. Impor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dalam daerah pabean , siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam

9
Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
C. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut:
(a) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
(b) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
(c) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Termasuk
dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara
cuma‐cuma.
D. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean didalam
Daerah Pabean.
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor
Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar
Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai
Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh: Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan
merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan
merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
E. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di
dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak
C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di
Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
F. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya
pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

10
G. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha
yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
H. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena
Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

2.4 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pemungutan PPN ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pemungut
yang memang ditunjuk atas penyerahan barang/jasa kena pajak (seperti Bendaharawan
Pemerintah). PKP yang ditunjuk untuk memungut adalah pengusaha yang memiliki
peredaran bruto melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun dan telah dikukuhkan sebagai PKP.
Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maka
diwajibkan untuk memungut PPN kepada pihak penerima barang.

2.5 Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)
2.5.1 Barang Kena Pajak
Menurut pasal 1 angka 3 dan 3 UU No 8 PPN Tahun 1983 BKP, yang mengatakan
bahwa pengertian barang kena pajak adalah suatu barang bergerak atau tidak bergerak
maupun barang kena pajak tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang ini.
Jenis barang bergerak adalah suatu barang yang penggunaanya dapat dipindahkan.
Namun sedangkan barang tidak bergerak ialah jenis barang yang tidak dapat dipindah
tempatkan. Sementara pada barang kena pajak PPN tidak berwujud merupakan barang yang
tidak dapat dilihat dan tidak memiliki wujud secara fisik. Sedangkan barang yang berwujud
adalah barang yang dapat dilihat maupun dirasakan secara fisik.

11
Biasanya jenis perpajakan ini dikenakan pada pihak yang menjual yang telah memiliki
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Namun apabila penjual belum mendaftarkan diri
sebagai wajib pajak, maka barang yang dijual tidak dikenakan pajak. Sehingga pihak yang
menanggung pajak adalah pihak pembeli.
Barang kena pajak PPN dapat dibedakan menjadi 2 yaitu barang kena pajak berwujud
dan barang kena pajak tidak berwujud . Barang kena pajak berwujud juga terdiri dari jenis
barang bergerak dan barang tidak bergerak.
1. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
- Hak atas merek dagang
- Hak paten
- Hak cipta
2. Barang Kena Pajak Berwujud
a. Barang Bergerak
- Berupa Kendaraan seperti (motor, bis, truck, kereta, mobil, kapal dan lain
sebagainya)
- Peralatan (excavator, aspal sprayer, dan breaker, dan lain sebagainya)
- Mesin-mesin produksi
- Perlengkapan seperti (Laptop, alat fotocopy, meja, kursi, lemari dan lain
sebagainya)
b. Barang Tidak Bergerak
- Tanah
- Bangunan (Rumah, apartemen, gedung dan lain sebagainnya)
Namun selain jenis dari barang kena pajak, ada jenis barang tidak dikenakan pajak
atau non BKP. Barang tidak dikenakan pajak atau non BKP adalah barang yang dalam
penyerahannya tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Contoh barang tidak kena
pajak atau non BKP adalah sebagai berikut:
- Tambang atau hasil pengeboran yang langsung didapatkan dari sumbernya, seperti
pasir dan kerikil.
- Kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh setiap masyarakat, seperti beras,
sagu, kedelai dan lainnya.

12
- Jenis makanan dan minuman yang disajikan oleh restoran, warung, rumah makan
dan sejenisnya.
- Contoh terakhir dari barang non BKP adalah Emas batangan, uang, dan surat
berharga. Karena barang tersebut dianggap sebagai pengganti uang yang sah,
yang dapat memiliki nilai moneter.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007 yang menjelaskan mengenai impor
dan penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN antara lain:
a. Mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terurai tidak
termasuk suku cadang.
b. Makanan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan.
c. Barang berupa hasil pertanian, perkebunan, peternakan, dan juga hasil dari
perhutanan yang dipetik, diambil langsung melalui sumbernya termasuk juga hasil
pemrosesannya oleh petani ataupun kelompok petani.
d. Bibit atau benih dari setiap barang yang dihasilkan dari perkebunan, pertanian,
kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan.
e. Bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk
batangan.
f. Bahan baku yang digunakan untuk melakukan pembuatan uang kertas dan uang
logam rupiah.
g. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum.
h. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya tidak lebih dari 6600 watt.
2.5.2 Jasa Kena Pajak
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU PPN, jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai.
Definisi jasa dalam pasal tersebut juga mencakup jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan. Hal ini berarti, terdapat dua macam kegiatan yang termasuk
dalam pengertian jasa.

13
Pertama, jasa dalam pengertian umum seperti salon kecantikan yang merawat
pelanggannya. Kedua, jasa dalam pengertian spesifik, yang berkaitan dengan jasa
untuk menghasilkan barang karena pesanan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan atau disebut jasa maklon.
Merujuk Pasal 1 angka 6 UU PPN, jasa kena pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN untuk
menentukan apakah penyerahan jasa termasuk penyerahan yang terutang PPN,
setidaknya terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, jasa yang dikenakan merupakan JKP. Kedua, penyerahan dilakukan di
dalam daerah pabean. Ketiga, penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya. Namun, sama halnya dengan barang kena pajak (BKP), UU PPN
hanya memerinci jenis jasa yang dikecualikan.
Jasa Kena Pajak meliputi seluruh jasa selain yang dimaksud pada Pasal 4A ayat
(3) dan pasal 16 UU HPP. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
- jasa pelayanan kesehatan medis;
- jasa pelayanan sosial;
- jasa pengiriman surat dengan perangko;
- jasa keuangan;
- jasa asuransi, kecuali jasa penunjang asuransi termasuk agen asuransi,
penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. (diatur dalam passl 16);
- jasa keagamaan;
- jasa pendidikan;
- jasa kesenian dan hiburan;
- jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
- jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
- jasa tenaga kerja;
- jasa perhotelan;

14
- jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
- jasa penyediaan tempat parkir;
- jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
- jasa pengiriman uang dengan wesel pos
- Jasa boga atau catering

2.6 Pengecualian Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)
2.6.1 Pengecualian Barang Kena Pajak (BKP)
Pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak, kecuali Undang-undang
menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah berdasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan, penggalian dan pengeboran, yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti minyak tanah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara,
biji besi, bijih timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, biji perak, dll.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan,
sayur-sayuran.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak.
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).
2.6.2 Pengecualian Jasa Kena Pajak (JKP)
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU
PPN. Pada UU No. 42 Tahun 2009, Menurut Mardiasmo (2008: 275) kelompok jasa yang
tidak dikenakan pajak pertambahan nilai adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa
pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa
keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa tenaga
kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon dengan uang logam,
jasa penerimaan uang dengan wesel pos, jasa boga atau catering.

15
2.7 Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan dan Tidak Dipungut
Dalam penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ada fasilitas yang diberikan oleh
Pemerintah yaitu PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut, Fasilitas PPN ini dapat diberikan
sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu maupun untuk seterusnya. Pemberian
fasilitas PPN baik PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut terbatas pada hal-hal sebagai
berikut:
● Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.
● Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tertentu/penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
tertentu.
● Impor BKP tertentu.
● Pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang diatur
dengan peraturan pemerintah.
● Pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
Perbedaan PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut
Perbedaan PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut dapat dilihat dari Pasal 16B ayat 2
dan ayat 3 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Perbedaan PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut sebagai berikut:
● Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/perolehan JKP yang atas
penyerahannya tidak dipungut PPN dapat dikreditkan.
● Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/perolehan JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.
Kemudian, perbedaan juga dapat terlihat dalam hal tarif yang dikenakan pada dua
fasilitas ini. Untuk PPN dibebaskan berarti memang tidak dikenakan PPN jadi memang tidak
ada tarif. Sedangkan untuk PPN tidak dipungut menggunakan tarif 0% jadi sebenarnya
dikenakan PPN tetapi diberikan fasilitas 0%.
PPN Dibebaskan
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015 tentang, BKP
tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai meliputi:

16
● Mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak
tersebut, tidak termasuk suku cadang;
● barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan, baik
penangkapan maupun budidaya, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015;
● jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
● ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
tersendiri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian;
● bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau
perikanan;
● pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
● pakan ikan;
● bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk imbuhan
pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
● bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak
batangan;
● unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui kredit
atau pembiayaan pemilikan rumah bersubsidi yang harus memenuhi beberapa
ketentuan.
PPN Tidak Dipungut
PPN tidak dipungut dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Pasal tersebut menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas:
● BKP berwujud yang diekspor;

17
● BKP tidak berwujud dari dalam daerah pabean yang dimanfaatkan di luar daerah
pabean; dan
● JKP yang diekspor termasuk JKP yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor BKP atas dasar pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar daerah pabean.
Baik terhadap PPN yang dibebaskan ataupun PPN yang tidak dipungut Pengusaha
Kena Pajak wajib membuat faktur pajak, untuk PPN yang tidak dipungut kode faktur
pajaknya adalah 07 sedangkan untuk PPN yang dibebaskan kode faktur pajaknya adalah 08.

2.8 Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai
impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan
yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Tarif PPN nantinya
dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak untuk menghasilkan PPN yang terutang. Jadi
untuk dapat menghitung PPN terutang sesuai aturan, pengertian dan pemakaian Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) yang tepat menjadi hal penting . Dasar Pengenaan Pajak dapat
berupa : Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, dan Nilai Lain yang ditetapkan
Menteri Keuangan.
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang‐Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
3. Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan

18
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
4. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain-lain yang ditetapkan Menteri Keuangan
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan
pajak oleh menteri keuangan.

2.9 Tarif Pajak Pertambahan Nilai


Berdasarkan UU No. 42 tahun 2009 sebagai perubahan ketiga atas UU No. 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, tarif PPN adalah sebagai berikut;

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%

Tarif PPN yang berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan

Jasa Kena Pajak adalah tarif tunggal yaitu 10 %, sehingga tidak memerlukan

daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang berbeda

sebagaimana berlaku pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak sebesar 0 %

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena

Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, terhadap :

a. Barang Kena Pajak berwujud yang diekspor

b. Barang Kena Pajak tidak berwujud dari dalam Daerah Pabean yang

dimanfaatkan di luar Daerah Pabean

c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan

oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang

19
Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas

petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, maka akan dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen)

20
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Tgl Faktur PK/


No DPP PPN Keterangan
Pajak PM
1 Mei PM Rp 300.000.000 Rp 30.000.000 Dapat dikreditkan di bulan Mei
Dilaporkan di SPT Masa bulan
2 4 April 2016 PK Rp 100.000.000 Rp 10.000.000
April
Dipungut karena transaksi
3 5 April 2016 PM Rp 353.760.000 Rp 35.376.000 dilakukan dengan perusahaan
luar negeri (import)
PK dipungut oleh PKP pada
4 6 April 2016 PK Rp 400.000.000 Rp 40.000.000 saat penyerahan BKP kepada
pedagang Konsinyasi
Dilaporkan di SPT Masa bulan
7 April 2016 PK Rp 180.000.000 Rp 18.000.000
April
5
Dilaporkan di SPT Masa bulan
Mei PK Rp 420.000.000 Rp 42.000.000
Mei
Dilaporkan di SPT Masa bulan
6 10 April 2016 PK Rp 400.000.000 Rp 40.000.000
April
1 Maret 2016 Rp 80.000.000 Rp 8.000.000 Dikreditkan di bulan Maret
7 PM
11 April 2016 Rp 240.000.000 Rp 24.000.000 Dikreditkan di bulan April
Tidak ada pencatatan di bulan
8 12 April 2016 - - -
April
Rp 60.000.000 Rp 6.000.000 Dikreditkan bulan April
9 13 April 2016 PM
Rp 23.000.000 Rp 2.300.000 Dikreditkan bulan April
10 14 April 2016 PK Rp 1.525.500.000 - PPN untuk eksport tarif 0%
Dipungut oleh Kementerian
11 15 April 2016 PK Rp 800.000.000 Rp 80.000.000
Dalam Negeri
12 18 April 2016 PK Rp 160.000.000 Rp 16.000.000 Faktur Pajak Digunggung
Dapat dikreditkan di bulan
13 24 Maret 2016 PM Rp 300.000.000 Rp 30.000.000
Maret
Dilaporkan di SPT Masa bulan
14 20 April 2016 PK Rp 100.000.000 Rp 10.000.000
April
Tidak ada pencatatan karena perusahaan belum melakukan penagihan atas proses inspeksi dan
15
pengecekan barang
16 22 April 2016 PM Rp 70.000.000 Rp 7.000.000 PPN tidak dapat dikreditkan
17 25 April 2016 (PK) Rp -50.000.000 Rp -5.000.000 Pengurangan PK bulan April

21
Dilaporkan di SPT Masa bulan
24 Maret 2016 Rp 120.000.000 Rp 12.000.000
Maret
Dilaporkan di SPT Masa bulan
18 26 April 2016 PK Rp 180.000.000 Rp 18.000.000
April
Dilaporkan di SPT Masa bulan
Mei Rp 300.000.000 Rp 30.000.000
Mei

19 27 April 2016 PM Rp 70.000.000 Rp 7.000.000 Dikreditkan di bulan April

Dikreditkan di bulan April,


20 28 April 2016 PM Rp 900.000.000 Rp 90.000.000 DPP adalah 50% dari transaksi,
sisa dilunasi hingga bulan Juli
PM Rp 20.000.000 Rp 2.000.000 Dikreditkan di bulan April
21 28 April 2016
Dikreditkan di bulan April
PM Rp 66.000.000 Rp 6.600.000
untuk angsuran pertama
Menjadi pengurang pajak
22 29 April 2016 PM Rp -40.000.000 Rp -4.000.000 karena merupakan transaksi
retur pembelian
Dilaporkan di SPT masa bulan
23 29 April 2016 PK Rp 60.000.000 Rp 6.000.000
April
Dilaporkan di SPT masa bulan
24 29 April 2016 PK Rp 800.000.000 Rp 80.000.000
April

22
3.2 Analisis Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai
1. PPN Terutang Sebelum Tax Planning

Rekapan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan bulan April 2016 pada PT Melati
adalah sebagai berikut:

Pajak Masukan = Rp 212.276.000

Pajak Keluaran = Rp 447.000.000

Selisih = -Rp 234.724.000 (Kurang Bayar)

Mengenai jumlah Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Masukan maka akan
didapatkan utang PPN yang harus dibayarkan oleh PT Melati dengan cara melakukan
mekanisme pengkreditan antara Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Masukan.
Setelah dilakukan mekanisme pengkreditan PPN maka akan muncul kekurangan atau
lebih bayar. Pada perhitungan diatas terlihat bahwa perusahaan mengalami kurang bayar,
hal ini karena jumlah Faktur Pajak Masukan yang diterima lebih kecil dibandingkan
jumlah Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan. Nilai kekurangan tersebut, PT Melati
sebagai PKP harus membayarkannya ke kas negara paling lama akhir bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir.

23
2. Strategi Tax Planning yang Bisa Diaplikasikan
Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam
perencanaan pajak untuk PPN, diantaranya:

a. Memaksimalkan pajak masukan

Untuk memaksimalkan pajak masukan, perusahaan harus memilih supplier yang


sudah dikukuhkan sebagai PKP agar memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan jumlah pajak masukan agar bisa
dikreditkan. Maksudnya adalah jika omzet penjualan besar maka otomatis Faktur
Pajak Keluaran juga besar sehingga memerlukan Faktur Pajak Masukan yang banyak
untuk dikreditkan sehingga PPN terutang dapat diminimalkan dengan sebaik
mungkin.

b. Impor inden dari importir ber-NPWP

Impor atas dasar inden adalah suatu kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh importir (pedagang yang mendatangkan barang
dari LN) untuk dan atas nama pemesan (indentor) berdasarkan perjanjian pemasukan
barang impor antara importir dengan indentor, yang segala pembiayaan impor
sepenuhnya menjadi beban indentor dan sebagai balas jasa, importir memperoleh
komisi (handling fee) dari indentor.

Impor yang dilakukan atas dasar inden maka PPN impor akan dibebankan kepada
indentor, sehingga apabila indentor adalah PKP, maka PPN impor tersebut
merupakan Pajak Masukan bagi indentor, yang dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluarannya sepanjang BKP yang di impor dengan dasar inden tersebut mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha dalam jalur produksi maupun distribusi.

c. Menyiapkan faktur pajak yang lengkap

Faktur pajak merupakan salah satu kriteria umum yang membuktikan pajak
masukan bisa dikreditkan. Selain itu, kriteria tersebut dapat berupa dokumen yang
diperlakukan selayaknya faktur pajak standar sesuai ketentuan perundang-undangan.
Wajib Pajak yang dikategorikan sebagai PKP, namun tidak membuat faktur pajak

24
akan dikenakan sanksi senilai 2% dari Dasar Pengenaan pajak dan berisiko
membebani jumlah pajak.

3.3 SPT Masa PPN


1. Formulir 1111

25
26
2. Formulir 1111 AB

3. Formulir 1111 A1

27
4. Formulir 1111 A2

5. Formulir 1111 B1

28
6. Formulir 1111 B2

7. Formulir 1111 B3

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pajak pertambahan nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam
negeri (daerah pabean), baik konsumsi BKP maupun JKP, yang dikenakan secara bertingkat
di setiap jalur produksi dan distribusi. Subjek pajak PPN adalah Orang Pribadi atau Badan
yang menurut peraturan perundang‐undangan ditentukan untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan di bidang PPN. Sedangkan yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai adalah
penyerahan dan/atau impor BKP, penyerahan JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud,
pemanfaatan JKP, dan ekspor BKP dan/atau JKP. Menurut pasal 1 angka 3 dan 3 UU No 8
PPN Tahun 1983 BKP, yang mengatakan bahwa pengertian barang kena pajak adalah suatu
barang bergerak atau tidak bergerak maupun barang kena pajak tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 5
UU PPN, jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia
untuk dipakai.
Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan juga perlu
memperhatikan besarnya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yaitu jumlah harga jual atau
penggantian atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang. Tarif PPN nantinya dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak untuk menghasilkan
PPN yang terutang. Sedangkan tarif pajak menurut UU No. 42 Tahun 2009 sebagai
perubahan ketiga atas UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa, tarif PPN adalah 10% sedangkan untuk ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil kajian teori dan pembahasan studi kasus, perusahaan disarankan
untuk melakukan mekanisme pengkreditan antara Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak
Masukan. Setelah dilakukan mekanisme pengkreditan PPN maka akan muncul kekurangan

30
atau lebih bayar. Pada perhitungan diatas terlihat bahwa perusahaan mengalami kurang
bayar, hal ini karena jumlah Faktur Pajak Masukan yang diterima lebih kecil dibandingkan
jumlah Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan. Nilai kekurangan tersebut, perusahaan
sebagai PKP harus memberikannya ke kas negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir.

31
DAFTAR PUSTAKA

adminipantax.co.id .2019 .Memahami Perbedaan PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut
serta Tidak Terutang PPN. diakses pada 9 Mei 2022, dari:
https://www.ipantax.co.id/2021/07/19/memahami-perbedaan-ppn-dibebaskan-dan-ppn
-tidak-dipungut-serta-tidak-terutang-ppn/
Bangsawan, Andi. 2018. Analisis Tax Planning Untuk Mengurangi Dampak Beban Pajak
Berbasis e-Faktur Atas PPN Terutang Pada PT Bosowa Beton Indonesia. Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Lilly, S. (2021, Januari 13). Tax Planning PPN, Perencanaan yang Membantu Perusahaan
Menghemat Pajak. Diambil kembali dari Hadi & Partners:
https://www.hadi.co.id/resources/tax-planning-ppn-perencanaan-yang-membantu-peru
sahaan-menghemat-pajak#:~:text=Berdasarkan%20Undang%2Dundang%2041%2F20
09,dari%20pembayaran%20PPN%20lebih%20besar

32

Anda mungkin juga menyukai