Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH BLOK BIOMATERIAL 1

Biokompatibilitas dan Reaksi Jaringan Bahan Kedokteran Gigi

Dosen Fasilitator:
Irsan Ibrahim, drg., Msi
Disusun oleh kelompok 1 (Kelas D):
1. Annisa Noer Asyifa (202011068)
2. Septiana Ayu Az Zahra (202011069)
3. Ammanda Diesyta D (202011070)
4. Calya Khulusi Nasywa (202011071)
5. Alifia Hana Pardiah (202011072)
6. Atsilah Charvia Risyanda (202011073)
7. Donna Belinda (202011074)
8. Afiyah Ameldian (202011075)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
TAHUN AKADEMIK 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah diberikan.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jakarta, 10 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan penulisan............................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

2.1 Biokompatibilitas...........................................................................................3

2.2 Reaksi Jaringan Bahan Kedokteran Gigi........................................................9

ii
BAB III..................................................................................................................20

KESIMPULAN......................................................................................................20

3.1 Ringkasan.....................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry)


biokompatibilitas (biomedical therapy) disebutkan sebagai kemampuan respons
host terhadap sebuah aplikasi yang spesifik atau kemampuan kontak dengan
jaringan host tanpa menimbulkan efek samping. (Johnson,2010) Kata
biokompatibilitas pertama kali dipopulerkan dalam pertemuan peer review
journals pada tahun 1970 oleh RJ Hegyeli. Saat ini, Williams kembali mencoba
melakukan evaluasi kembali pengetahuan tentang biokompatibilitas yang
diaplikasikan secara klinis seperti penggunan material implant. (Williams,2008).1

Suatu bahan kedokteran gigi dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada


manusia namun obat juga dapat mempunyai mudarat (kerugian) berupa reaksi
jaringan tubuh yang merugikan. Karena itu sebelum bahan kedokteran gigi
digunakan pada manusia perlu dilakukan evaluasi biologik terlebih dahulu.
Selanjutnya dipertimbangkan antara manfaat dan mudaratnya dalam
penggunannya di bidang kedokteran.2

Sebagai contoh perkembangan bahan polimer banyak digunakan dalam


kedokteran gigi seperti implant, pelapis kavitas, bahan tambalan, pencegah karies
dan plak, dentinadhesif, dan sealant untuk pit dan fissure. Bila bahan ini tidak
melalui tes preklinik pada hewan dan in vitro, maka dokter gigi akan melakukan

1
Williams DF. On the mechanisms of biocompatibility. Biomaterials 29(20);
2008, P: 2941–2953.

2
Johnson AD. An extended IUPAC nomenclature code for polymorphic nucleic
acids. Bioinformatics 26(10); 2010, P: 1386–1389.

1
uji secara langsung pada pasien. Sementara itu mungkin bahan dapat
membahayakan dan bukan menolong pasien. (Siregar,2000).3

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud Biokompatibilitas?

1.2.2 Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi Biokompatibilitas?

1.2.3 Bagaimana mengukur Biokompatibilitas?

1.2.4 Apa saja efek local dan sistemis bahan?

1.2.5 Bagaimana reaksi Inflamasi dan Alergi pada Biokompatibilitas?

1.2.6 Apa saja Reaksi Jaringan Bahan Kedokteran Gigi?

1.2.7 Bagaimana Reaksi Pulp?

1.2.8 Bagaimana Reaksi dari Jaringan Lunak Mulut Lainnya Terhadap Bahan
Restoratif?

1.2.9 Bagaimana Reaksi Jaringan Tulang dan Lunak terhadap Bahan Implan?

1.2.10 Bagaimana Reaksi terhadap Bahan Implan Keramik?

1.2.11 Bagaimana Reaksi Terhadap Logam dan Paduan Implan?

1.2.12 Bagaimana Reaksi Terhadap Bahan Resorbable?

3
Fazwishni Siregar. “Evaluasi Biologi Bahan Kedokteran Gigi” JKGUI. 7 Ed.
Jakarta; 2000, P: 22.

2
1.3 Tujuan penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Biokompatibilitas.

1.3.2 Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi Biokompatibilitas.

1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana mengukur Biokompatibilitas.

1.3.4 Untuk mengetahui efek local dan sistemis bahan.

1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana reaksi Inflamasi dan Alergi pada


Biokompatibilitas.

1.3.6 Untuk mengetahui Reaksi Jaringan Bahan Kedokteran Gigi.

1.3.7 Untuk mengetahui bagaimana Reaksi Pulp.

1.3.8 Untuk mengetahui Bagaimana Reaksi dari Jaringan Lunak Mulut Lainnya
1.3.9 Terhadap Bahan Restoratif.

1.3.10 Untuk mengetahui Bagaimana Reaksi Jaringan Tulang dan Lunak terhadap
Bahan Implan.

1.3.11 Untuk mengetahui Bagaimana Reaksi terhadap Bahan Implan Keramik.

1.3.12 Untuk mengetahui Bagaimana Reaksi Terhadap Logam dan Paduan


Implan.

1.3.13 Untuk mengetahui Bagaimana Reaksi Terhadap Bahan Resorbable.

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Biokompatibilitas

Biokompatibilitas secara formal didefinisikan sebagai kemampuan suatu


bahan untuk memperoleh respons biologis yang sesuai dalam aplikasi tertentu di
dalam tubuh. Dalam implan tulang, diharapkan material tersebut memungkinkan
tulang untuk berintegrasi dengan implan. Jadi respon biologis yang tepat untuk
implan adalah osseointegrasi. Oleh karena itu, apakah suatu bahan biokompatibel

4
atau tidak, tergantung pada fungsi fisik yang akan digunakan bahan tersebut dan
respons biologis yang diperlukan darinya. Dalam pengembangan suatu
biomaterial harus diperhatikan aspek kekuatan, estetika, dan fungsional suatu
material, serta biokompatibilitasnya. Selain itu, permintaan akan respons biologis
yang sesuai semakin meningkat karena bahan diharapkan melakukan fungsi yang
lebih canggih di dalam tubuh untuk jangka waktu yang lebih lama. Dengan
demikian pertimbangan biokompatibilitas penting bagi produsen, praktisi,
ilmuwan, dan pasien.4

Biokompatibilitas bahan restorasi gigi dievaluasi dengan menggunakan


analisis komposisi, uji degradasi permukaan, uji kultur sel, uji klinis pada
manusia, dan uji model hewan. Biokompatibilitas suatu bahan bergantung pada
beberapa faktor:55

1. Sifat kimiawi komponennya

2. Sifat fisik komponen

3. Jenis dan lokasi jaringan pasien yang akan terpapar perangkat

4. Lama paparan

5 Karakteristik permukaan material

6. Jumlah dan sifat zat yang dielusi dari Material5

Tujuan utama dari tes biokompatibilitas adalah untuk melindungi gigi


yang akan dirawat dengan material tersebut dan staf kantor serta teknisi lab yang
akan menangani material tersebut.5
4
Sakaguchi, R., Ferracane, J. and Powers, J. Craig's restorative dental materials.
14th Ed. St. Louis (Missouri): Elsevier; 2019, P: 91-98, 98-108.

5
Anusavice K, Shen C, Rawls H. Phillip's Science of Dental Materials. 12th Ed.
St. Louis (Missouri): Elsevier; 2013, P: 112-117.

5
MENGUKUR BIOKOMPATIBILITAS

Biokompatibilitas pengukuran terus berkembang karena semakin banyak


yang diketahui tentang interaksi antara bahan gigi dan jaringan mulut dan seiring
dengan peningkatan teknologi untuk pengujian. Bahan baru harus disaring secara
ekstensif untuk memastikan bahwa bahan tersebut dapat diterima secara biologis
sebelum digunakan pada manusia. Beberapa jenis uji digunakan untuk tujuan ini,
dan diklasifikasikan sebagai uji in vitro, hewan, dan penggunaan, yang terakhir
termasuk uji klinis. Bagian ini membahas contoh masing-masing jenis pengujian,
kelebihan dan kekurangannya, bagaimana pengujian tersebut digunakan bersama-
sama, dan standar yang mengandalkan pengujian tersebut untuk mengatur
penggunaan bahan dalam kedokteran gigi.4

A. Uji In Vitro 

Untuk biokompatibilitas memerlukan penempatan bahan atau komponen


bahan yang bersentuhan dengan sel, enzim, atau sistem biologis terisolasi lainnya.
Standarisasi uji in vitro merupakan perhatian utama. Dua jenis sel dapat
digunakan untuk pengujian in vitro. Sel primer adalah sel yang diambil langsung
dari hewan dan dibudidayakan. Sel atau garis sel yang tumbuh terus menerus
adalah sel yang telah diubah sebelumnya untuk memungkinkannya tumbuh lebih
atau kurang tanpa batas dalam kultur. Kultur sel primer tampaknya lebih relevan
daripada garis sel berkelanjutan untuk mengukur sitotoksisitas bahan. Pengujian
in vitro, dan keduanya harus digunakan untuk menilai bahan.4

1. Uji Cytotoxicity

Cytotoxicity menilai kematian sel yang disebabkan oleh suatu bahan dengan
mengukur jumlah sel atau pertumbuhan sebelum dan sesudahnya paparan bahan
itu.4

2. Uji untuk Metabolisme Sel atau Fungsi Sel 

6
Beberapa tes in vitro untuk biokompatibilitas menggunakan aktivitas
biosintetik atau enzimatik sel untuk menilai respons sitotoksik. Tes yang
mengukur sintesis DNA atau sintesis protein adalah contoh umum dari jenis tes
ini.4

3. Uji yang Menggunakan Hambatan (Tes Tidak Langsung) 

Karena kontak langsung sering tidak ada antara sel dan bahan selama
penggunaan in vivo, beberapa tes penghalang in vitro telah dikembangkan untuk
meniru kondisi in vivo. Pengujian ini mencakup metode overlay agar, yang
menggunakan agar untuk membentuk penghalang antara sel dan bahan, dan
pengujian filter Millipore, di mana lapisan sel tunggal ditanam pada filter yang
dibalik sehingga bahan uji ditempatkan di atasnya. produk filter dan difusi yang
dapat larut diizinkan untuk berinteraksi dengan sel.4

4. Uji Lain untuk Fungsi Sel 

Tes in vitro untuk mengukur fungsi kekebalan atau reaksi jaringan lainnya
juga telah digunakan.4

5. Uji Mutagenesis Assays 

Mutagenesis menilai efek biomaterial pada materi genetik sel.4

B. Uji Hewan 

Hewan untuk biokompatibilitas, biasanya melibatkan mamalia seperti


mencit, tikus, hamster, atau marmot, berbeda dengan uji penggunaan (yang juga
sering dilakukan pada hewan) karena bahan tersebut tidak ditempatkan pada
hewan terkait dengan uji penggunaan hewan akhir. Berbagai uji hewan telah
digunakan untuk menilai biokompatibilitas.4

7
C. Uji Penggunaan

Penggunaan dapat dilakukan pada hewan atau pada peserta penelitian


manusia. Kegunaan untuk memprediksi biokompatibilitas berbanding lurus
dengan ketepatan tes yang meniru penggunaan klinis bahan, termasuk waktu,
lokasi, lingkungan, dan teknik penempatan. Untuk alasan ini, uji penggunaan pada
hewan biasanya menggunakan hewan yang lebih besar yang memiliki lingkungan
mulut yang mirip dengan manusia, seperti anjing, babi kecil, atau monyet. Selain
itu, analisis statistik dari tes ini seringkali merupakan proses yang menakutkan.
Dalam kedokteran gigi, pulpa gigi, periodonsium, dan jaringan gingiva atau
mukosa merupakan target utama uji penggunaan.4

1. Uji Iritasi Pulp Gigi 

Pada akhir penelitian, gigi dicabut dan dipotong untuk pemeriksaan


mikroskopis, dengan reaksi nekrotik dan inflamasi jaringan yang diklasifikasikan
menurut intensitas respons.4

2. Implan Gigi di Tulang

Istilah berikut digunakan untuk menentukan berbagai tingkat keberhasilan:


keberhasilan implan awal untuk implan yang bertahan 1 sampai 3 tahun,
keberhasilan implan menengah untuk implan yang bertahan 3 sampai 7 tahun, dan
keberhasilan jangka panjang untuk implan yang bertahan lebih dari 7 tahun .
Dengan demikian, ada tiga tes yang umum digunakan untuk memprediksi
keberhasilan implan: (1) penetrasi probe periodontal di sepanjang sisi implan, (2)
mobilitas implan, dan (3) radiograf yang menunjukkan integrasi osseus atau
radiolusen di sekitar implan. mencangkok.4

3. Tes Penggunaan Mukosa dan Gingiva 

Respon jaringan terhadap bahan dengan kontak langsung jaringan gingiva dan
mukosa dinilai dengan penempatan pada preparat rongga dengan ekstensi
subgingiva. Efek bahan pada jaringan gingiva diamati dan respon dikategorikan

8
sebagai ringan, sedang, atau berat, tergantung pada jumlah sel inflamasi
mononuklear (terutama limfosit dan neutrofil) di epitel dan jaringan ikat yang
berdekatan.4
Standar Yang Mengatur Pengukuran Biokompatibilitas

Upaya pertama American Dental Association (ADA) untuk menetapkan


pedoman bahan gigi dilakukan pada tahun 1926 ketika para ilmuwan di National
Bureau of Standards (NBS), sekarang National Institute of Science and
Technology (NIST), mengembangkan spesifikasi untuk amalgam gigi.4

Spesifikasi ANSI / ADA 41 

Tiga kategori pengujian dijelaskan dalam spesifikasi American National


Standards Institute (ANSI) / ADA 2005: pengujian awal, sekunder, dan
penggunaan.4

Tiga kelas peraturan (yaitu, tingkat pengendalian, berdasarkan risiko;


kebutuhan untuk memberikan jaminan yang wajar atas keamanan dan efektivitas
jenis perangkat): 5

1. Kelas I: Risiko rendah — Kontrol Umum [umumnya dibebaskan dari 510 (k)] 

2. Kelas II: Risiko sedang — Kontrol Umum & Kontrol Khusus [510 (k)
umumnya diperlukan]

3. Kelas III: Risiko tinggi — Aplikasi Kontrol Umum & Persetujuan Premarket
(PMA) (diperlukan PMA; harus menunjukkan keamanan dan efektivitas tanpa
bergantung pada predikat device).5

ISO 10993 

Pada 1980-an, upaya internasional diprakarsai oleh beberapa organisasi


untuk mengembangkan standar internasional untuk bahan dan perangkat
biomedis. Beberapa kelompok kerja multinasional, termasuk ilmuwan dari ANSI
dan ISO, dibentuk untuk mengembangkan standar ISO 10993, yang diterbitkan

9
pada tahun 1992. Standar tersebut membagi pengujian menjadi pengujian awal
dan tambahan untuk menilai reaksi biologis terhadap material.4

EFEK LOKAL DAN SISTEMIS BAHAN

Setiap biomaterial yang ditempatkan berdekatan dengan jaringan alami di


dalam tubuh dapat menyebabkan efek biologis lokal atau sistemik. Sifat, tingkat
keparahan, dan lokasi efek ini ditentukan oleh distribusi zat yang dilepaskan.
Untuk bahan gigi, efek lokal mungkin terjadi di jaringan pulpa, di periodonsium,
di apeks akar, atau di jaringan mulut terdekat seperti mukosa bukal atau lidah.5

REAKSI INFLAMASI DAN ALERGI

Berbagai jenis respons biologis terhadap zat dapat terjadi pada manusia.
Ini termasuk reaksi inflamasi, alergi, toksik, dan mutagenik. Alergi terhadap zat,
makanan, dan bahan padat sudah diketahui dengan baik oleh masyarakat, tetapi
alergen tertentu sulit didiagnosis oleh profesional perawatan kesehatan. Reaksi
alergi terjadi ketika tubuh mengenali zat, molekul, atau ion sebagai benda asing,
dan sistem kekebalan manusia dapat bereaksi dengan cepat, seperti selama reaksi
anafilaksis atau perlahan-lahan pada dermatitis kontak yang tertunda. Reaksi ini
tidak sensitif terhadap jumlah alergen yang tersedia atau dilepaskan. Dalam
beberapa kasus, observasi selama 2 minggu atau lebih, jika memungkinkan, dapat
mengarah pada resolusi respon karena efeknya disebabkan oleh trauma, proses
noninflamasi lainnya, atau kondisi alergi yang dapat sembuh sendiri. dapat
menyebabkan alergi secara langsung dengan mengaktifkan antibodi pada bahan
tersebut. Ini diklasifikasikan sebagai reaksi Tipe I, II, atau III, menurut klasifikasi
respon imun Gell dan Coombs (Gell dan Coombs, 1963; Rajan, 2003).5

10
Gambar 1. Respon inflamasi atau kemungkinan reaksi alergi yang berdekatan
dengan komposit berbasis resin kelas V. Namun, tidak ada uji tempel yang
dilakukan untuk mengkonfirmasi tanggapan ini. (Atas kebaikan Dr. Hyun-Ju
Chung).5

11
Gambar 2. Kemungkinan reaksi alergi terhadap paduan nikel pada gesper gelang
jam. B, eritema bilateral pada pasien wanita yang mungkin terkait dengan reaksi
alergi terhadap nikel pada mahkota logam-keramik yang baru saja disemen (sisi
kiri foto) dan pada dua mahkota logam-keramik (sisi kanan foto) dari tiga unit
prostesis gigi tetap. C, Reaksi alergi yang parah pada bibir pasien yang terkena
kawat ortodontik yang mengandung nikel. D, Respon positif terhadap uji tempel
di punggung pasien. (C, Atas kebaikan Dr. Donald Cohen; D, Atas kebaikan Dr.
Young Ho Won).5

2.2 Reaksi Jaringan Bahan Kedokteran Gigi


Ilmu material gigi melibatkan studi tentang komposisi dan sifat material
dan cara mereka berinteraksi dengan lingkungan di mana material tersebut
ditempatkan. Dengan demikian, pemilihan bahan untuk aplikasi tertentu dapat
dilakukan dengan keyakinan dan penilaian yang baik.6

Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa dokter gigi dan teknisi gigi
memiliki lebih banyak jenis bahan yang mereka miliki dibandingkan dengan
profesi lain. Polimer kaku, elastomer, logam, paduan, keramik, garam anorganik,
dan material komposit semuanya biasa dijumpai. Klasifikasi material ini
mewujudkan variasi yang sangat besar dalam sifat material dari material yang
6
Mc. Cabe, John F and Walls, Angus W.G. Applied Dental Materials. 9th Ed.
London: Blackwell Munsgaard; 2008, P: 1.

12
keras dan kaku pada satu kondisi ekstrim hingga produk lunak dan fleksibel pada
sisi lainnya.6

Banyak bahan gigi dipasang secara permanen ke dalam mulut pasien atau
dikeluarkan hanya sebentar-sebentar untuk dibersihkan. Bahan semacam itu harus
tahan terhadap pengaruh lingkungan yang paling berbahaya. Variasi suhu, variasi
keasaman atau alkalinitas yang luas dan tekanan tinggi semuanya berpengaruh
pada daya tahan bahan.6

Variasi suhu normal pada rongga mulut terletak antara 32ºC dan 37ºC
tergantung pada apakah mulut terbuka atau tertutup. Namun, menelan makanan
atau minuman panas atau dingin, memperpanjang rentang suhu ini dari 0ºC
hingga 70ºC. Keasaman atau alkalinitas cairan di rongga mulut yang diukur oleh
pH bervariasi dari sekitar pH 4 hingga pH 8,5 sementara asupan jus buah asam
atau obat-obatan alkali dapat memperpanjang kisaran ini dari pH 2 hingga pH 11.6

Beban pada 1 mm2 gigi atau bahan restoratif dapat mencapai tingkat
setinggi beberapa kilogram yang menunjukkan persyaratan sifat mekanik yang
menuntut dari beberapa bahan.6

1. Reaksi Pulp

Kebocoran mikro

Ada bukti bahwa bahan restorasi mungkin tidak cukup mengikat atau
menutup enamel atau dentin. Dalam kasus ini, bakteri, sisa makanan, atau air liur
dapat ditarik ke dalam celah antara restorasi dan gigi melalui aksi kapiler. Efek ini
telah disebut microle- akage, dan pengaruhnya terhadap iritasi pulpa telah
dipelajari secara ekstensif. Beberapa penelitian awal melaporkan bahwa berbagai
bahan restorasi gigi mengiritasi jaringan pulpa pada hewan uji. Namun, beberapa
penelitian lain menghipotesiskan bahwa produk kebocoran mikro, bukan bahan
restoratif, yang menyebabkan iritasi. Selanjutnya, banyak penelitian menunjukkan
bahwa bakteri hadir dalam restorasi dan di dentin tubulus mungkin bertanggung
jawab atas iritasi pulpa. Penelitian lain menunjukkan bahwa bakteri atau produk

13
bakteri seperti lipopolisakarida dapat menyebabkan iritasi pulpa dalam beberapa
jam setelah diaplikasikan ke dentin.4

Akhirnya, penelitian hewan klasik menjelaskan peran bahan restoratif dan


kebocoran mikro pada iritasi pulpa. Amalgam, komposit, semen fosfat seng, dan
semen silikat digunakan sebagai bahan restoratif pada preparasi kavitas kelas 5
pada gigi monyet. Bahan-bahan tersebut ditempatkan langsung pada jaringan
pulpa. Separuh dari restorasi tersebut permukaannya ditutup dengan semen ZOE.
Meskipun beberapa iritasi terbukti pada semua restorasi pada 7 hari, setelah 21
hari, restorasi yang ditutup menunjukkan lebih sedikit iritasi pulpa dibandingkan
restorasi yang tidak ditutup, mungkin karena microleakage telah dihilangkan.
Hanya semen seng fosfat yang menimbulkan respons inflamasi jangka panjang.
Selain itu, gigi yang disegel menunjukkan tingkat pembentukan dentin baru yang
jauh lebih tinggi, yang disebut dentin bridging, di bawah materi. Hanya amalgam
yang tampaknya mencegah penyatuan. Studi ini menunjukkan bahwa kebocoran
mikro berperan penting dalam iritasi pulpa, tetapi bahan tersebut juga dapat
mengubah perbaikan pulpa dan dentin yang normal.4

Baru-baru ini, konsep nanoleakage telah diletakkan meneruskan. Seperti


kebocoran mikro, nanoleakage mengacu pada kebocoran air liur, bakteri, atau
komponen material melalui antarmuka antara material dan struktur gigi. Namun,
nanoleakage mengacu secara khusus pada ikatan dentin, dan dapat terjadi antara
dentin yang termineralisasi dan bahan terikat di ruang yang sangat kecil dari
matriks kolagen terdemineralisasi di mana bahan terikat tidak menembus. Jadi
nanoleakage dapat terjadi bahkan ketika ikatan keseluruhan antara material dan
dentin utuh. Tidak diketahui seberapa signifikan peran nanoleakage dalam respons
biologis terhadap material, tetapi diduga berkontribusi pada degradasi hidrolitik
dari ikatan material dentin, yang pada akhirnya menyebabkan kebocoran mikro
yang jauh lebih serius.4

Efek biologis penuh dari bahan restorative pada dasarnya masih belum
jelas. Bahan restorasi dapat secara langsung mempengaruhi jaringan pulpa, atau
dapat memainkan peran tambahan dengan menyebabkan perubahan subletal pada

14
sel pulpa yang membuatnya lebih rentan terhadap bakteri atau neutrofil. Jelas,
bagaimanapun, bahwa desain tes untuk mengukur iritasi pulpa bahan harus
memuat ketentuan untuk membasmi bakteri, produk bakteri, dan kebocoran mikro
lainnya. Selain itu, peran dentin dalam mengurangi efek kebocoran mikro masih
harus dipahami sepenuhnya. Penelitian terbaru berfokus pada efek komponen
resin terhadap kemampuan odontoblas untuk membentuk dentin yang reparatif.
Penelitian lain telah menetapkan kecepatan di mana komponen-komponen ini
melintasi dentin.4

Meskipun benar bahwa sebagian besar penelitian di bidang ini di masa lalu
berfokus pada efek merusak bahan pada sel pulpa dan dentin, bukti yang lebih
baru menunjukkan bahwa terdapat efek menguntungkan yang berpotensi berasal
dari interaksi ini. Paparan subtoksik terhadap bahan material tertentu, seperti etsa
asam, resin pengikat, pelapis dan basa, semen, dan bahan restorasi, dapat
melarutkan molekul yang diasingkan di dalam dentin selama perkembangan gigi.
Molekul-molekul ini termasuk faktor pertumbuhan dan protein dan enzim lain
yang mampu menstimulasi odontoplas yang ada atau memberi sinyal pada sel
yang tidak berdiferensiasi untuk bermigrasi ke lokasi dan memulai proses
regenerasi dentin. Peristiwa ini dapat terjadi apakah bahan menghasilkan margin
tertutup dengan gigi atau tidak, dan kemungkinan dimoderasi oleh kesehatan gigi
dalam hal tingkat peradangan dan adanya infeksi bakteri. Aspek menarik dari
memperoleh pengetahuan baru ini adalah potensi untuk merancang bahan gigi
yang mampu memulai proses perbaikan gigi secara sistematis dan bukan secara
acak.4

2. Reaksi dari Jaringan Lunak Mulut Lainnya Terhadap Bahan Restoratif

Bahan restoratif dapat menyebabkan reaksi pada jaringan lunak mulut


seperti gingiva. Tidak jelas seberapa banyak sitotoksisitas yang diamati
disebabkan oleh bahan restoratif dan seberapa banyak yang disebabkan oleh
produk dari plak bakteri yang terakumulasi pada gigi dan restorasi. Secara umum,
kondisi yang meningkatkan retensi plak, seperti permukaan kasar atau tepi
terbuka, meningkatkan reaksi inflamasi di sekitar bahan ini. Namun, produk yang

15
dilepaskan dari bahan restorasi juga berkontribusi baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap inflamasi ini. Hal ini terutama berlaku di area di mana
efek pencucian air liur minimal, seperti di area interproksimal, di kantong gingiva
yang dalam, atau di bawah peralatan yang dapat dilepas. Beberapa penelitian telah
mendokumentasikan peningkatan inflamasi atau resesi gingiva yang berdekatan
dengan restorasi dimana indikasi plak rendah. Dalam studi ini, produk yang
dilepaskan dari bahan dapat menyebabkan peradangan tanpa adanya plak atau
dapat menghambat pembentukan plak dan menyebabkan peradangan pada
gingiva. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa komponen dari bahan gigi
dan plak dapat bersinergi untuk meningkatkan reaksi inflamasi.4

Semen menunjukkan beberapa sitotoksisitas jaringan lunak dalam keadaan


segar, tetapi ini menurun secara substansial dari waktu ke waktu. Efek buffering
dan pengikatan protein dari air liur tampaknya mengurangi efek sitotoksik ini.4

Komposit resin dalam kontak langsung dengan fibroblas awalnya sangat


sitotoksik secara in vitro. Sitotoksisitas ini kemungkinan besar dihasilkan dari
komponen yang tidak terpolimerisasi di lapisan yang terhambat udara yang
terlepas dari bahan. Studi in vitro lainnya, di mana komposit disimpan dalam air
liur buatan hingga 6 minggu, telah menunjukkan bahwa toksisitas berkurang
dengan beberapa bahan tetapi tetap tinggi untuk yang lain. Beberapa komposit
dengan matriks non-Bis-GMA dan non-UDMA memiliki sitotoksisitas yang jauh
lebih rendah secara in vitro, mungkin karena jumlah komponen yang terlindih
lebih rendah. Komposit yang dipoles menunjukkan lebih sedikit sitotoksisitas in
vitro, meskipun beberapa bahan tetap beracun bahkan dalam keadaan terpoles.4

Baru-baru ini, ada kontroversi yang signifikan tentang kemampuan


bisphenol A dan bisphenol A dimethacrylate untuk menyebabkan respon seperti
estrogen in vitro. Senyawa ini adalah komponen dasar dari banyak komposit
komersial. Namun, tidak ada bukti bahwa efek xenoestrogenic menjadi perhatian
in vivo dari resin komersial manapun. Relatif sedikit yang diketahui tentang efek
in vivo lain dari komponen komposit yang dilepaskan pada jaringan lunak,
meskipun kekhawatirannya serupa dengan yang berkaitan dengan resin basis gigi

16
tiruan dan lapisan lunak. Ada beberapa bukti bahwa komponen komposit berbasis
metakrilat dapat menyebabkan tingkat hipersensitivitas yang signifikan, meskipun
hanya sedikit uji klinis.4

Amalgams telah digunakan secara ekstensif selama 150 tahun. Terlepas


dari sejarahnya yang substansial, bagaimanapun, secara berkala muncul
kekhawatiran tentang biokompatibilitas amalgam. Reaksi alergi terhadap restorasi
amalgam jarang terjadi, meskipun ada laporan kasus dermatitis kontak alergi,
radang gusi, stomatitis, dan reaksi kulit jarak jauh. Respons seperti itu biasanya
hilang dalam beberapa hari atau, jika tidak, saat pelepasan amalgam atau dengan
penggunaan lapisan rongga. Efek lokal atau sistemik lain dari merkuri yang
terkandung dalam amalgam gigi belum dibuktikan. Tidak ada penelitian ilmiah
yang dilakukan dengan baik yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa
amalgam gigi, ditempatkan dan digunakan dengan benar, menghasilkan efek
buruk. Meskipun demikian, konsensus global telah dicapai untuk mengurangi
penggunaan merkuri secara bertahap di semua industri, termasuk kedokteran gigi.
Jadi, penggunaan amalgam terus menurun di seluruh dunia, dan ini sebagian besar
disebabkan oleh masalah lingkungan atas kontaminasi merkuri di udara, air, dan
tanah.4

Pada pasien dengan lesi oral dekat campuran situs, uji tempel positif telah
dilaporkan. Namun, uji tempel yang sesuai masih belum ditentukan. Restorasi
amalgam yang terbawa ke dalam celah gingiva dapat menyebabkan inflamasi
pada gingiva karena produk korosi atau plak bakteri. Tujuh hari setelah
menempatkan amalgam, beberapa sel inflamasi muncul di jaringan ikat gingiva,
dan degenerasi hidropik dari beberapa sel epitel mungkin terlihat. Beberapa
proliferasi sel epitel ke dalam jaringan ikat juga dapat terjadi dalam 30 hari, dan
infiltrasi sel mononuklear kronis pada jaringan ikat terlihat jelas. Peningkatan
vaskularisasi tetap ada, dengan lebih banyak sel epitel yang menginvaginasi ke
dalam jaringan ikat. Beberapa dari perubahan ini mungkin merupakan respons
kronis gingiva terhadap plak di tepi amalgam. Namun demikian, produk korosi
dari amalgam tidak dapat dikesampingkan saat ini karena amalgam yang

17
ditanamkan menghasilkan respon serupa pada jaringan ikat pada hewan. Selain
itu, meskipun tembaga meningkatkan sifat fisik amalgam dan bersifat bakterisidal,
ia juga beracun bagi sel inang dan menyebabkan reaksi jaringan yang parah dalam
uji implantasi.4

Ada literatur yang menunjukkan bahwa campuran amalgam dan resin


melepaskan bahan sitotoksik yang menyebabkan respons jaringan, setidaknya di
tempat implantasi. Namun, secara umum, uji implantasi menunjukkan bahwa
bahan tersebut dapat ditoleransi dengan baik di jaringan lunak dan keras. Untuk
bahan yang ditempatkan di tempat yang dibilas dengan air liur, agen sitotoksik ini
mungkin akan dicuci sebelum merusak gingiva.4

Namun, permukaan kasar pada jenis restorasi ini telah dikaitkan dengan
peningkatan inflamasi in vivo. Uji penggunaan di mana restorasi diperluas ke
celah gingiva telah menunjukkan bahwa bahan jadi memberikan respons inflamasi
yang jauh lebih ringan daripada bahan yang belum selesai. Efek merugikan dari
kekasaran permukaan telah dikaitkan dengan peningkatan retensi plak pada
permukaan ini. Namun, permukaan kasar pada restorasi paduan juga telah terbukti
menyebabkan peningkatan efek sitotoksik in vitro, di mana tidak ada plak.
Penelitian ini dan penelitian in vitro lainnya akan kembali menunjukkan bahwa
respon sitotoksik terhadap paduan dapat dikaitkan dengan pelepasan unsur-unsur
dari paduan, dan bahwa peningkatan luas permukaan-permukaan kasar dapat
meningkatkan pelepasan unsur-unsur ini.4

Sejumlah penelitian in vitro telah meneliti efek ion logam pada sel di
jaringan gingiva, seperti sel epitel, fibroblas, dan makrofag. Untuk sebagian besar,
konsentrasi ion logam yang diperlukan untuk menyebabkan masalah dengan sel-
sel ini secara in vitro lebih besar daripada yang dilepaskan dari kebanyakan
paduan tuang. Namun, beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa
pemaparan yang berkepanjangan terhadap ion logam dosis rendah mungkin juga
memiliki kewajiban biologis. Ini perlu diperhatikan karena konsentrasi dosis
rendah mendekati yang diketahui dilepaskan dari beberapa paduan. Signifikansi
klinis dari penelitian ini, bagaimanapun, tidak diketahui.4

18
Bahan dasar gigi tiruan, terutama metakrilat, telah dikaitkan dengan
hipersensitivitas imun reaksi gingiva dan mukosa lebih dari bahan gigi lainnya.
Potensi terbesar untuk hipersensitisasi adalah untuk pegawai kedokteran gigi dan
laboratorium yang berulang kali terpapar berbagai komponen yang tidak bereaksi.
Hipersensitivitas telah didokumentasikan pada monomer akrilik dan diakrilat, zat
pengawet tertentu, antioksidan, amina, dan formaldehida. Untuk pasien,
bagaimanapun, sebagian besar bahan ini telah mengalami reaksi polimerisasi, dan
kejadian hipersensitisasi cukup rendah. Uji skrining untuk potensi kepekaan
meliputi pengujian bahan yang tidak bereaksi, bahan polimer setelah reaksi, dan
minyak, garam, atau ekstrak berair dari polimer menggunakan uji in vitro yang
dijelaskan sebelumnya.4

Selain hipersensitivitas, respons jaringan lunak terhadap lapisan gigi tiruan


lembut dan perekat gigi tiruan menjadi perhatian karena bahan ini digunakan
dalam kontak intim dengan gingiva. Pemlastis, yang digabungkan ke dalam
beberapa bahan untuk membuatnya lembut dan fleksibel, dilepaskan secara in
vivo dan in vitro. Tes kultur sel telah menunjukkan bahwa beberapa bahan ini
sangat sitotoksik dan mempengaruhi sejumlah reaksi metabolik seluler. Dalam uji
hewan, beberapa dari bahan ini telah menyebabkan perubahan epitel yang
signifikan, mungkin dari plasticizer yang dilepaskan. Dalam penggunaan, efek
pelepas pelapis mungkin sering tertutup oleh peradangan yang sudah ada di
jaringan tempat bahan-bahan ini ditempatkan. Perekat gigi tiruan telah dievaluasi
secara in vitro dan menunjukkan reaksi sitotoksik yang parah. Beberapa memiliki
kandungan formaldehida yang substansial. Perekat juga memungkinkan
pertumbuhan mikroba yang signifikan.4

A. Reaksi Jaringan Tulang dan Lunak terhadap Bahan Implan

Ketertarikan pada biokompatibilitas bahan implan telah berkembang


karena penggunaan implan dalam praktik klinis telah meningkat secara dramatis.
Bahan implan gigi yang berhasil dapat meningkatkan osseointegrasi atau
biointegrasi.4

19
B. Reaksi terhadap Bahan Implan Keramik

Bahan keramik dapat dengan mudah dibagi menjadi dua kelompok: bahan
bioaktif dan nonbioaktif keramik. Kebanyakan bahan implan keramik memiliki
efek toksik yang sangat rendah pada jaringan, karena sudah dalam keadaan
teroksidasi dan sangat tahan korosi. Sebagai sebuah kelompok, tidak hanya
beracun minimal tetapi juga nonimunogenik dan non karsinogenik. Material
keramik nonbioaktif umumnya. memanggil enkapsulasi fibrosa saat ditanamkan,
seperti yang disebutkan sebelumnya.4

C. Reaksi terhadap Logam dan Paduan Implan

Logam dan paduan murni adalah jenis bahan implan oral tertua. Awalnya,
bahan implan logam dipilih berdasarkan kekuatan dan kemudahan pembuatan.
Namun, seiring waktu, biokompatibilitas dengan tulang dan jaringan lunak serta
umur panjang implan menjadi lebih penting. Meskipun berbagai bahan implan
telah digunakan sebelumnya (termasuk stainless steel dan chromium-cobalt-
molybde- num), satu-satunya bahan implan gigi metalik yang umum digunakan
saat ini adalah paduan berbahan dasar titanium.4

Titanium adalah logam murni saat pertama kali dicetak. Namun, dalam
waktu kurang dari satu detik, permukaannya membentuk lapisan konformal tipis
dari berbagai titanium oksida. Lapisan oksida ini tahan korosi dan memungkinkan
tulang mengalami osseointegrasi. Kerugian utama dari logam ini adalah sulit
untuk dicor. Ini telah dibentuk menjadi berbagai bentuk, tetapi proses ini
memasukkan kotoran logam ke permukaan yang dapat mempengaruhi respon sel
tulang secara merugikan kecuali jika perawatan yang ekstrim dilakukan selama
pembuatan. Implan titanium telah digunakan dengan sukses sebagai bentuk akar
untuk mendukung sebuah prosesis. Dengan ingatan yang sering dan kebersihan
mulut yang baik, implan telah dipertahankan dalam jaringan sehat selama lebih
dari tiga dekade. Paduan titanium-aluminium-vanadium (Ti-6Al-4V) telah

20
digunakan dengan sukses dalam hal ini juga. Paduan ini secara signifikan lebih
kuat daripada titanium murni komersial, dan memiliki ketahanan lelah yang lebih
baik, tetapi memiliki kekakuan yang diinginkan dan sifat termal yang sama seperti
logam murni komersial (CP). Meskipun implan titanium dan titanium alloy
memiliki tingkat korosi yang jauh lebih rendah daripada implan logam lainnya,
implan tersebut melepaskan titanium ke dalam tubuh. Saat ini, tidak ada bukti
bahwa ion titanium yang dilepaskan merupakan masalah secara lokal atau
sistemik. Namun, pertanyaan tetap tentang kewajiban aluminium dan vanadium
yang dilepaskan dari paduan. mereka melepaskan titanium ke dalam tubuh. Saat
ini, tidak ada bukti bahwa ion titanium yang dilepaskan merupakan masalah
secara lokal atau sistemik. Namun, pertanyaan tetap tentang kewajiban aluminium
dan vanadium yang dilepaskan dari paduan. mereka melepaskan titanium ke
dalam tubuh. Saat ini, tidak ada bukti bahwa ion titanium yang dilepaskan
merupakan masalah secara lokal atau sistemik. Namun, pertanyaan tetap tentang
kewajiban aluminium dan vanadium yang dilepaskan dari paduan.4

Di jaringan lunak, epitel ikatan terbentuk dengan titanium secara


morfologis mirip dengan yang terbentuk dengan gigi, tetapi antarmuka ini belum
sepenuhnya dikarakterisasi. Jaringan ikat tampaknya tidak terikat pada titanium,
tetapi membentuk segel rapat yang tampaknya membatasi masuknya bakteri dan
produk bakteri. Berbagai teknik sedang dikembangkan untuk membatasi
pertumbuhan epitel ke bawah dan hilangnya tinggi tulang di sekitar implan,
karena hal ini pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan implan. Periimplantitis
sekarang menjadi penyakit yang didokumentasikan di sekitar implan dan
melibatkan banyak bakteri yang sama dengan periodontitis. Peran bahan implan
atau komponen yang dilepaskan dalam perkembangan periimplantitis tidak
diketahui, tetapi penyakit ini dianggap sebagai penyebab utama kegagalan implan
dan menjadi subjek banyak penyelidikan.4

D. Reaksi terhadap Bahan Resorbable

Dengan kelangsungan hidup bahan yang ditanamkan selama beberapa


dekade atau lebih, pemikiran utama mulai bergeser dalam penekanan dari

21
mencapai respon jaringan jinak (atau ditoleransi) menjadi sebagai gantinya
memproduksi bahan bioaktif yang dapat memperoleh tindakan dan reaksi
terkontrol di lingkungan fisiologis. Melanjutkan hal ini adalah pengembangan bio-
material yang dapat diserap tubuh yang menunjukkan pemecahan dan resorpsi
kimiawi yang terkontrol dan sesuai secara klinis. Dalam bahan-bahan ini, masalah
antarmuka bahan jaringan diselesaikan, karena bahan tersebut memicu respons
fisiologis untuk menggantikan bahan tersebut dengan jaringan yang beregenerasi.
Salah satu contoh paling awal dari bahan-bahan ini adalah pengembangan jahitan
resorbable. Bahan-bahan ini terdiri dari kopolimer asam polilaktat (PLA) dan
asam poliglikolat (PGA). Saat ditanamkan di tubuh, mereka mengalami
dekomposisi hidrolitik menjadi CO2 dan H2O. Pada pertengahan 1980-an,
penggunaan klinis dari jahitan polimerik resorbable adalah hal yang lumrah. Pelat
dan sekrup fiksasi fraktur resorbable, membran jaringan terpandu, dan sistem
pelepasan obat terkontrol dengan cepat mengikuti. Meskipun secara umum dapat
ditoleransi dengan baik oleh jaringan in vivo, resorbabilitas bahan-bahan ini
bergantung pada volume bahan yang ditanamkan dan karena bahan-bahan ini
terdegradasi menjadi produk sampingan yang bersifat asam, penurunan pH
selanjutnya di jaringan sekitarnya dapat memicu respons inflamasi. Bahan polimer
lain seperti polikaprolakton, dan turunan hialuronan, serta polimer alami seperti
kolagen ikatan silang, pati, dan selulosa saat ini sedang diselidiki kemampuannya
untuk menyerap in vivo setelah menjalankan fungsinya sebagai implant.4

22
BAB III

KESIMPULAN
3.1 Ringkasan
Biokompatibilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk
memperoleh respons biologis yang sesuai dalam aplikasi tertentu di dalam
tubuh. Respon biologis yang tepat untuk implan adalah osseointegrasi. Oleh
karena itu, apakah suatu bahan biokompatibel atau tidak, tergantung pada
fungsi fisik yang akan digunakan bahan tersebut dan respons biologis yang
diperlukan darinya. Dalam pengembangan suatu biomaterial harus
diperhatikan aspek kekuatan, estetika, dan fungsional suatu material, serta
biokompatibilitasnya. Dengan demikian pertimbangan biokompatibilitas
penting bagi produsen, praktisi, ilmuwan, dan pasien.
Biokompatibilitas bahan restorasi gigi dievaluasi dengan menggunakan
analisis komposisi, uji degradasi permukaan, uji kultur sel, uji klinis pada
manusia, dan uji model hewan. Biokopatibilitas dipengaruhi oleh faktor: Sifat
kimiawi komponennya; Sifat fisik komponennya; Jenis dan lokasi jaringan
pasien yang akan terpapar perangkat; Lama paparan; Karakteristik permukaan
material; Jumlah dan sifat zat yang dielusi dari Material. Tes biokompatibilitas
bertujuan untuk melindungi gigi yang akan dirawat dengan material tersebut
dan staf kantor serta teknisi lab yang akan menangani material tersebut.
Pengukuran Biokompatibilitas terus berkembang karena semakin banyak
yang diketahui tentang interaksi antara bahan gigi dan jaringan mulut dan
seiring dengan peningkatan teknologi untuk pengujian. Beberapa jenis uji
untuk tujuan ini, dan diklasifikasikan sebagai uji in vitro, hewan, dan
penggunaan, yang terakhir termasuk uji klinis. Standarisasi uji in vitro
merupakan perhatian utama. Dua jenis sel dapat digunakan untuk pengujian in
vitro. Sel primer adalah sel yang diambil langsung dari hewan dan
dibudidayakan. Uji in vitro: Uji Cytotoxicity; Uji untuk Metabolisme Sel atau
Fungsi Sel; Uji yang Menggunakan Hambatan (Tes Tidak Langsung); Uji
Lain untuk Fungsi Sel; Uji Mutagenesis Assays. Uji hewan Hewan untuk

23
biokompatibilitas, biasanya melibatkan mamalia seperti mencit, tikus,
hamster, atau marmot, berbeda dengan uji penggunaan (yang juga sering
dilakukan pada hewan) karena bahan tersebut tidak ditempatkan pada hewan
terkait dengan uji penggunaan hewan akhir. Uji penggunaan dapat dilakukan
pada hewan atau pada peserta penelitian manusia. Berfungsi memprediksi
biokompatibilitas berbanding lurus dengan ketepatan tes yang meniru
penggunaan klinis bahan, termasuk waktu, lokasi, lingkungan, dan teknik
penempatan, biasanya menggunakan hewan yang lebih besar yang memiliki
lingkungan mulut yang mirip dengan manusia, seperti anjing, babi kecil, atau
monyet. Dalam kedokteran gigi, pulpa gigi, periodonsium dan jaringan
gingiva atau mukosa merupakan target utama uji penggunaan. Uji penggunaan
meliputi: uji iritasi pulp gigi; implan gigi di tulang; tes penggunaan; mukosa
dan gingiva.
Standar yang mengatur pengukuran biokompatibilitas, upaya pertama
American Dental Association (ADA) untuk menetapkan pedoman bahan gigi
dilakukan pada tahun 1926 ketika para ilmuwan di National Bureau of
Standards (NBS), sekarang National Institute of Science and Technology
(NIST), mengembangkan spesifikasi untuk amalgam gigi. Tiga kategori
pengujian dijelaskan dalam spesifikasi American National Standards Institute
(ANSI) / ADA 2005: pengujian awal, sekunder, dan penggunaan. Tiga kelas
peraturan (yaitu, tingkat pengendalian, berdasarkan risiko; kebutuhan untuk
memberikan jaminan yang wajar atas keamanan dan efektivitas jenis
perangkat): Kelas I: Risiko rendah — Kontrol Umum [umumnya dibebaskan
dari 510 (k)]; Kelas II: Risiko sedang — Kontrol Umum & Kontrol Khusus
[510 (k) umumnya diperlukan]; Kelas III: Risiko tinggi — Aplikasi Kontrol
Umum & Persetujuan Premarket (PMA) (diperlukan PMA; harus
menunjukkan keamanan dan efektivitas tanpa bergantung pada predikat
device). Beberapa kelompok kerja multinasional, termasuk ilmuwan dari
ANSI dan ISO, dibentuk untuk mengembangkan standar ISO 10993, yang
diterbitkan pada tahun 1992. Standar tersebut membagi pengujian menjadi
pengujian awal dan tambahan untuk menilai reaksi biologis terhadap material.

24
Setiap biomaterial yang ditempatkan berdekatan dengan jaringan alami di
dalam tubuh dapat menyebabkan efek biologis lokal atau sistemik. Sifat,
tingkat keparahan, dan lokasi efek ini ditentukan oleh distribusi zat yang
dilepaskan. Untuk bahan gigi, efek lokal mungkin terjadi di jaringan pulpa, di
periodonsium, di apeks akar, atau di jaringan mulut terdekat seperti mukosa
bukal atau lidah.
Berbagai jenis respons biologis terhadap zat dapat terjadi pada manusia.
Ini termasuk reaksi inflamasi, alergi, toksik, dan mutagenik. Dalam beberapa
kasus, observasi selama 2 minggu atau lebih, jika memungkinkan, dapat
mengarah pada resolusi respon karena efeknya disebabkan oleh trauma, proses
noninflamasi lainnya, atau kondisi alergi yang dapat sembuh sendiri. dapat
menyebabkan alergi secara langsung dengan mengaktifkan antibodi pada
bahan tersebut. Ini diklasifikasikan sebagai reaksi Tipe I, II, atau III, menurut
klasifikasi respon imun Gell dan Coombs (Gell dan Coombs, 1963; Rajan,
2003).
Ilmu material gigi melibatkan studi tentang komposisi dan sifat material
dan cara mereka berinteraksi dengan lingkungan di mana material tersebut
ditempatkan. Polimer kaku, elastomer, logam, paduan, keramik, garam
anorganik, dan material komposit semuanya biasa dijumpai. Variasi suhu,
variasi keasaman atau alkalinitas yang luas dan tekanan tinggi semuanya
berpengaruh pada daya tahan bahan. Variasi suhu normal pada rongga mulut
terletak antara 32ºC dan 37ºC tergantung pada apakah mulut terbuka atau
tertutup. Namun, menelan makanan atau minuman panas atau dingin,
memperpanjang rentang suhu ini dari 0ºC hingga 70ºC. Keasaman atau
alkalinitas cairan di rongga mulut yang diukur oleh pH bervariasi dari sekitar
pH 4 hingga pH 8,5 sementara asupan jus buah asam atau obat-obatan alkali
dapat memperpanjang kisaran ini dari pH 2 hingga pH 11. Beban pada 1 mm 2
gigi atau bahan restoratif dapat mencapai tingkat setinggi beberapa kilogram
yang menunjukkan persyaratan sifat mekanik yang menuntut dari beberapa
bahan.

25
Reaksi pulp, ada bukti bahwa bahan restorasi mungkin tidak cukup
mengikat atau menutup enamel atau dentin. Dalam kasus ini, bakteri, sisa
makanan, atau air liur dapat ditarik ke dalam celah antara restorasi dan gigi
melalui aksi kapiler. Efek ini telah disebut microle- akage, dan pengaruhnya
terhadap iritasi pulpa telah dipelajari secara ekstensif. Reaksi dari jaringan
lunak mulut lainnya terhadap bahan restoratif, bahan restoratif dapat
menyebabkan reaksi pada jaringan lunak mulut seperti gingiva. Tidak jelas
seberapa banyak sitotoksisitas yang diamati disebabkan oleh bahan restoratif
dan seberapa banyak yang disebabkan oleh produk dari plak bakteri yang
terakumulasi pada gigi dan restorasi. Secara umum, kondisi yang
meningkatkan retensi plak, seperti permukaan kasar atau tepi terbuka,
meningkatkan reaksi inflamasi di sekitar bahan ini. Reaksi dari jaringan lunak
mulut lainnya terhadap bahan restoratif: Reaksi jaringan tulang dan lunak
terhadap bahan implant; Reaksi terhadap bahan implan keramik; Reaksi
terhadap logam dan paduan implant; Reaksi terhadap bahan resorbable.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Williams DF. On the mechanisms of biocompatibility. Biomaterials
29(20); 2008, P: 2941–2953.
2. Johnson AD. An extended IUPAC nomenclature code for polymorphic
nucleic acids. Bioinformatics 26(10); 2010, P: 1386–1389.
3. Fazwishni Siregar. “Evaluasi Biologi Bahan Kedokteran Gigi” JKGUI. 7
Ed. Jakarta; 2000, P: 22.
4. Sakaguchi, R., Ferracane, J. and Powers, J. Craig's restorative dental
materials. 14th Ed. St. Louis (Missouri): Elsevier; 2019, P: 91-98, 98-108.
5. Anusavice K, Shen C, Rawls H. Phillip's Science of Dental Materials. 12th
Ed. St. Louis (Missouri): Elsevier; 2013, P: 112-117.
6. Mc. Cabe, John F and Walls, Angus W.G. Applied Dental Materials. 9th
Ed. London: Blackwell Munsgaard; 2008, P: 1.

27

Anda mungkin juga menyukai