Anda di halaman 1dari 5

∗)

NILAI HIDROLOGIS BUKIT KARST


Oleh: Eko Haryono
INTISARI
Kawasan karst sering terkesan hany a sebagai lahan gersang berbatu,
sehingga tidaklah mengherankan kalau batulah y ang dianggap sebagai
potensi yang menggiurkan dari kawasan karst. Penambangan batugarnping di
kawasan karst seolah menjadi primadona sektor usaha, tanpa atau sedikit
menghiraukan fungsi yang lain terutama f ungsi hidrologis. Bukit karst sebagai
mintakat epikarst diketahui merupakan peny impan air dan regulator utama
sistem hidrologis kawasan karst. Melalui diaklas dan rongga-rongga hasil
pelarutan beserta endapan isian yang mengisiny a, bukit karst dan mintakat
epikarst secara umum telah menjadikan batugamping y ang relatif kedap air
menjadi peny impan air yang sangat potensial. Kemampuan bukit karst dan
mintakat epikarst pada umumnya telah mampu meny impan tiga hingga empat
bulan setelah berakhirnya musim penghujan, sehingga sebagian besar sungai
bawah tanah dan mataair mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air y ang
baik. Dengan demikian penambangan bukit gamping di kawasan karst mutlak
haruslah memperhatikan fungsi tersebut.

PENDAHULUAN
Kawasan karst sering terkesan hanya penjernih air, dan keramik), pertanian (pupuk),
sebagai lahan gersang dan berbatu, sehingga dan batu hias (lantai, dinding, atau cindera mata).
tidaklah mengherankan kalau batulah yang Tanpa adanya pemahaman tentang fungsi
dianggap sebagai potensi yang mengiurkan dari ekologis dari bukit karst seperti saat ini, dapat
kawasan karst. Penambangan batugamping di dipastikan bahwa di masa mendatang kawasan
kawasan karst seolah menjadi primadona sektor karst a kan terancam. Tulisan ini selanjutnya akan
usaha, tanpa atau sedikit menghiraukan fungsi memberikan gambaran singkat tentang salah satu
yang lain terutama fungsi hidrologis. Kesan inilah fungsi ekologis bukit karst sebagai penyimpan
yang selama ini tertanam dalam sebagian besar dan regulator sistem hidrologis kawa san karst.
baik masyarakat, pemerintah, maupun Adapun sistematika pembahasan akan dimulai
pengusaha. Suatu diskusi yang pernah penulis dengan uraian singkat mengenai morfologi bukit
ikuti baik di tingkat perguruan tinggi, pemerintah karst dan selanjutnya uraian tentang hidrologi
daerah tingkat dua, maupun masyarakat di tingkat bukit karst. Tulisan ini sebagian besar didasarkan
desa selalu mengusulkan bagaimana sepenuhnya dari kajian pustaka dengan maksud
mengoptimalkan potensi batugamping. untuk menjelaskan konsep dan pemahaman
dengan dukungan data baru yang dimiliki penulis.
Kenyataan tersebut semakin runyam dengan
adanya kenyataan lain bahwa kebutuhan akan
MORFOLOGI BUKIT KARS T
batugamping terus meningkat. Peningkatan rata-
rata konsumsi batugamping dari Tahun 1986 Bukit karst merupakan karakteristik dari karst
hingga 1995 mencapai 32,18%/tahun (diolah dari di daerah tropis, yang terbentuk akibat dari
data BPS). Batugamping saat ini digunakan perkembangan dolin atau lembah (Aref dkk, 1987;
sebagai batu fondasi, plester untuk adukan Ahnert dan William 1997). Secara singkat dapat
pasangan bata, semen, bahan baku industri dirangkum bahwa karst berkembang dimulai dari
(karbid, peleburan baja, bahan pemutih, soda pelarutan yang terkonsentrasi pada satu titik atau
abu, penggosok, pembuatan logam magnesium, sepanjang kelurusan-kelurusan kekar atau se sar
pembuatan alumina, plotasi, pembasmi hama, membentuk cekungan-cekungan tertutup atau
lembah-lembah kering. Cekungan-cekungan dan

∗)
Makalah dalam seminar Nasional, Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001, Teknik Sipil, UGM

13
lembah-lembah tersebut terus berkembang dan Irian Jaya), mempunyai dominasi bentuk tertentu,
melebar, bergabung satu dengan lainnya namun pada umumnya kedua .jenis bukit tersebut
meninggalkan bukit-bukit karst dengan bentuk setempat-setempat dapat diketemukan.
yang bervariasi. Variasi bentuk bukit sisa karst
utama yang telah dikenal adalah bentuk kerucut HIDROLOGIS BUKIT KARS T
(kegelkarst) dan menara (trumkarst, mogote).
1. Porositas
Karst dengan bentuk bukit sisa kerucut ditemukan
antara lain di Gunung Sewu-Jawa (Lehmann, Kedua jenis bukit karst yang telah diuraikan
1936; Haryono, 2001), Cape dan Transvaal Afrika di atas, walaupun berbeda bentuk mempunyai
Selatan (Marker,1989). Bentuk bukit sisa menara ke samaan dalam hal proses yang bekerja, yaitu
di antaranya ditemukan di Maros-Sulsel proses pelarutan. Pelarutan menghasilkan
(McDonald, 1976; Sunarto, 1997), Mulu-Sarawak rongga-rongga yang saling berhubungan
(McDonal dkk, 1985), Guilin-Cina (Sweeting, (protocave) membentuk porositas sekunder.
1990). Perbedaan antara bukit sisa bentuk Pelarutan terbesar terjadi di permukaan yang
kerucut dan menara ditunjukkan pada Gambar 1. berangsur-angsur menurun semakin ke dalam,
disebabkan oleh daya larut air yang semakin
menurun dalam perjalanannya ke bawah. Daya
larut yang semakin kecil disebabkan oleh
Tipe keruc ut Tipe menar a bertambahnya konsentrasi karbonat yang terlarut
hingga mencapai kejenuhan pada kedalaman 30
Gambar 1. Macam bukit karst hingga 50 meter.
Terbentuknya bukit kerucut atau menara Rongga-rongga pelarutan juga mengikuti
mensyaratkan lapisan batugamping yang tebal daya larut air, semakin ke bawah rongga-rongga
dengan sistem kekar yang berkembang baik semakin berkurang hingga sampai pada batuan
(White, 1988) dengan proses karstifikasi yang gamping yang masif. Rongga-rongga tersebut
terus-menerus dalam waktu yang lama (Ahnert sebagian terisi oleh tanah. Rongga-rongga
dan Williams, 1997) dan curah hujan yang besar pelarutan, pori-pori tanah, dan pori-pori antar butir
(Verstappen, 1960). Karst menara merupakan batuan secara bersama-sama berfungsi sebagai
perkembangan dari karst kerucut, yaitu penyimpan air. Penelitian Hunton (1992) di Stone
disebabkan oleh perkembangan cekungan- Forest-Cina dan Haryono (2000) di Kab
cekungan atau lembah-lembah yang terus Gunungkidul menunjukkan bahwa yang
berkembang melebar setelah perkembangan mempunyai peranan terpenting adalah rongga-
lembah mendekati atau mencapai base level rongga hasil pelarutan, diikuti oleh pori-pori
erosi. Karst menara dicirikan oleh bukit-bukit sisa endapan isian/tanah, dan pori-pori batuan.
yang tersebar di dataran hasil pelaruran. Porositas bukit karst yang diukur dari tiga tempat
Beberapa buku (Sweeting, 1972; Trudgill, 1985; di karst Gunung Sewu Kabupaten Gunungkidul
White, 1988) menjelaskan bahwa bukit karst ditunjukkan pada Tabel 1.
menara harus terjal (70°-90°), sementara buku
lain (Ford dan William, 1989) tidak rnensyaratkan 2. Kandungan Air dan Konduktivitas Hidraulik
kemiringan lereng yang terjal, hal terpenting dari Endapan Isian
dalam pengertian karst menara adalah adanya
Kandungan air oleh Fetter (1988)
dataran hasil pelarutan dengan bukit-bukit sisa
didefinisikan sebagai berat air dibagi dengan total
yang terpencar.
berat tanah. Penelitian Haryono (2001b)
Bukit-bukit karst kerucut dan menara menunjukkan kandungan air dari endapan isian di
berkembang baik di Indonesia, sehingga bukit karst Kabupaten Gunungkidul bervariasi dari
sebagian besar kawasan karst di Indonesia 21,42% hingga 34,93% (Tabel 2). Nilai tersebut
mempunyai kedua macam bukit tersebut. relatif besar. Besarnya kandungan air endapan
Walaupun setiap kawasan karst utama (Sinamar- isian disebabkan oleh tekstur endapan isian yang
Kyantan- Takung di Sumatra; Kalapanunggal, geluh lempung debuan hingga lempung.
Karangbolong, Gunungsewu di Jawa; Maros dan Konduktivitas hidraulik diprediksi dari tekstur
-9 -4
Boneo di Sulawesi; Doberai, Fak Fak, Kumawa di berkisar antara 10 –10 meter/detik.
14
Tabel 1. Porositas Bukit Karst di Kabupaten Gunungkidul
Porositas
Areal Sampel Karakteristik Rongga Endapan
Batuan
Pelarutan Isian
Batugamping terumbu y ang keras dan
Karst poligonal di
dangkal, karren dan rongga pelarutan 1.1-14.0 22-52 40.-58.9
Kec. Panggang
intensif, dijumpai banyak mataair
Batugamping terumbu y ang keras dan
Karst Labirin di
dalam, karen dan rongga pelarutan 36.6-
Kec. Saptosari 13.-16.6 22-52
intensif, jaringan lembah kering intensif, 40.2
dan Tepus
tidak terdapat mataair
Batugamping berlapis, lunak dan
Karst tower-cone
dalam, karren tidak berkembang baik, 23.1- 20.6-
di Kec. Ponjong < 10
bukit terpencar dengan dataran planasi, 48.2 31.9
bagian selatan
tidak diketemukan mataair
Sumber: Hary ono, 2000

Tabel 2. Kandungan Air Bukit Karst di Kabupaen Gunungkidul

Kandungan Hy draulic
No. Lokasi Sampel Tekstur Conductivity (cm/sec)
Air (%)
-9 -6
1. Bedoy o Lempung 24.47 10 – 10
-6 -4
2. Pay ak Geluh Berlempung 21.42 10 – 10
-6 -4
3. Wotawati Lempung berdebu 21.75 10 – 10
-9 -6
4. Semugih Lempung 34.93 10 – 10
-9 -6
5. Klepu Lempung 26.34 10 – 10
-9 -6
6. Panggang Lempung 25.05 10 – 10
Sumber: Hary ono, 2000

Kanduktivitas yang lambat inilah yang 3. Aliran Air dan Respon Mataair
merupakan bagian dari fungsi regulator dari
Air yang tersimpan di bukit karst dikeluarkan
sistem hidrologi kawasan karst. Meskipun
perlahan-Iahan baik sebagai mataair maupun
porositas sekunder karena diaklas dan rongga
sungai bawah tanah. Perjalanan air hingga ke
pelarutan besar, akuifer karst tetap mampu
sistem sungai bawah tanah atau mataair menurut
menyisakan air dalam musim kemarau untuk
Gunn (1981) melewati paling tidak enam jalan
mensuplai sungai-sungai bawah tanah, sehingga
yaitu aliran permukaan, troughflow, aliran dekat
sebagian besar sungai bawah tanah bersifat
permukaan (subcutaneous flow), aliran luweng
perenial (mengalir sepanjang tahun). Hal ini dapat
(shaft flow), aliran vados dan rembesan vados
terjadi karena porositas sekunder sebagian besar
(vadose seepage)
terisi oleh endapan isian. Di samping hal tersebut,
air yang tersimpan di endapan isian tidak bisa Keenam aliran tersebut akan memberikan
teratus dengan cepat ke sistem sungai bawah respon yang berbeda-beda pada sungai bawah
tanah karena batugamping yang belum terlarut di tanah dan mataair. Sungai bawah tanah dan
bawah mintakat (zona) epikarst bersifat kedap air. mataair akan merespon dengan cepat aliran
Air hanya bisa teratus melewati celah-celah permukaan dan aliran luweng. Pengukuran di
batuan (kekar atau sesar). Dengan demikian Sungai bawah tanah Bribin menunjukkan waktu
rongga-rongga pelarutan dan endapan isian di tunda (time lag) empat jam, sedangkan aliran
mintakat dekat permukaan (epikarst) berfungsi subcutanous dan vados akan direspon sekitar
sebagai tandon air. satu bulan. Dari pengukuran mataair di Karst
Gunung Sewu Kabupaten Gunungkidul
menunjukkan respon yang bervariasi tergantung

15
pada ternpat pemunculan mataair. Mataair yang golongan B sebesar 40 MPN/l00 ml dan sangat
muncul di tempat yang tinggi rnempunyai respon jauh dari jumlah maksimum yang diperbolehkan
yang cepat sebagai akibat dari jarak tempuh air sebesar 200 MPN/100 ml.
dari puncak ke tempat pemunculan yang pendek.
Sebaliknya mataair yang muncul di tempat yang PENUTUP
rendah rnernpunyai respon yang lambat,
disebabkan oleh jarak yang lebih panjang. Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa
bukit karst bersama-sama dengan cekungan karst
Pengukuran 11 mataair di Kecamatan merupakan tandon air utama daerah karst. Air
Ponjong-Karst Gunung Sewu menunjukkan tiga yang tertampung di dalamnya akan teratus
mataair mempunyai waktu tunda empat bulan, perlahan-lahan melalui celah-celah batuan
dua mataair dengan waktu tunda tiga bulan, satu sebagai aliran vados, rembesan vadose atau
mataair dengan waktu tunda dua bulan, satu mataair secara perlahan-lahan. Karena hal inilah,
mataair dengan waktu tunda satu bulan, dan sungai-sungai bawah tanah dan sebagian besar
empat mataair mempunyai waktu tunda kurang mataair di kawasan karst bersifat perenial,
dari satu bulan. Waktu tunda terlama di bahkan dengan waktu tunda hingga tiga atau
Kecamatan Ponjong tersebut sama dengan empat bulan dan kualitas air yang baik.
kondisi di Cina Selatan (Linhua, 1996). Hidrograf
aliran bulanan mata air Ponjong, Selonjono, dan Mengingat hal tersebut, sudah selayaknya
Gremeng ditunjukkan pada Gambar 2. bukit karst untuk dilindungi dari kegiatan
penambangan. Dapat dipastikan penambangan
Mataair Ponjong menurut klasifikasi Ford dan akan mengurangi potensi simpanan air dan
Williams (1989) merupakan mataair tipe mempercepat waktu tunda perjalanan air yang
terbendung (dammed spring) oleh sesar. Mataair pada akhirnya akan mengurangi kualitas,
Selonjono merupakan mataair terdrainase bebas kuantitas, dan kontinyuitas. Kegiatan
(free drainage spring). Mataair Gremeng penambangan batugamping harus diarahkan
merupakan mataair resurgence, yaitu mataair pada batugamping yang tidak mengalami
yang inputnya berupa sungai permukaan yang karstifikasi.
masuk melalui ponor dan muncul kembali ke
perrnukaan. DAFTAR PUS TAKA
5. Kualitas Air Ahnert, F.A., P.W. Williams, 1997, Karst landform
Penelitian Haryono dkk (2000) menunjukkan development in a three-dimensional
bahwa kualitas air mataair karst di Kabupaten theoretical model, Z. Geonlorph. N.F, Suppl.
Gunungkidul termasuk baik. Berdasarkan baku Bd108, 63-80.
mutu lingkungan DIY, dari 11 sampel air yang Aref, El M.M., A.M.A., Kadrah, Z.H. Lotfy, 1987,
diambil dari mataair, enam matair termasuk Karst topography and karstification
kategori golongan A dan lima mataair termasuk processe s in the Eocene limestone plateau
dalam kategori golongan B. Golongan A of El Bahariya. Z. Geonlorph. N. (31)1,45-64.
merupakan air yang dapat digunakan sebagai
sumber air minum secara langsung tanpa Fetter, C. W ., 1988, Applied Hydrogeology,
pengolahan terlebih dahulu, sedangkan golongan Second edition, MacMillan, New York.
B adalah air baku yang baik untuk air minum dan Ford D.C. dan P.W. Williams, 1989, Karst
rumah tangga dan dapat dimanfaatkan untuk Geomorphology and Hydrology, Chapman
keperluan lainnya tetapi tidak sesuai dengan and Hall, London.
golongan A.
Gunn, J., 1981, Hydrological processes in karst
Parameter yang menyebabkan beberapa depression, Z. Geomorph. N.F, (25)3,313-
mataair karst di Kabupaten Gunungkidul masuk 331.
dalam kategori golongan B adalah bakteri coli.
Lima mataair sampel menunjukkan adanya Haryono, E., M.P. Hadi, S.W. Suprojo, Sunarto,
kandungan bakteri coli paling banyak 9 MPN/l000 2000, Kaji an Mintakat Epikarst Gunungkidul
ml. Namun demikian jumlah tersebut masih jauh untuk Penyediaan Air Bersih, Laporan PHB
di bawah angka yang direkomendasikan untuk VIll, LIT -UGM, Yogyakarta.
16
Huntoon P.W., 1992, Exploration and Sunarto, 1997, Paleogeomorfologi dalarn analisis
Development of Groundwater from the Stone perubahan lingkungan kompleks gua karst
Forest Aquifer in South China. Ground Maros, Majalah Geogafi Indonesia,
Water, 30,.324-330. (11)19,31-52.
Linhua S., 1996, Mechanism of Karst Depression Sweeting, M.M, 1990, The Guilin karst, Z.
Evolution and HydrologIcal Evolution, Geomorph N.F, SuppL Bd 77,47-65.
ActaGeographica Sinica, 41~ 41-50.
Trudgill, S, 1985, Limestone Geomorphology,
Marker, M.E., 1989, Cone karst in South Africa, z. Longman, London.
Geomorph. N.F, Suppl Bd 75,83-93.
Verstappen, H.Th, 1960, Some observations on
MacDonald and Patners, 1984, Greater karst development in the Malay Archipelago,
Yogyakarta Groundwater Resources Study, J of Tropical Geography, 14, 1-10.
Volume 8, Directorat General of Water
Resources Development.

17

Anda mungkin juga menyukai