Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Manajemen Laba
2.1.1 Pengertian Manajemen Laba
Manajemen laba adalah upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi
atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan
tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan
kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Menurut (Scott, 2000) membagi cara
pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai
pelaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan politicals costs
(Oppurtunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang
manajemen laba dari persfektif efficient contracting (Efficient Earnings
Management), di mana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibelitas
untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-
kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer
dengan cara memanipulasi data atau informasi akuntansi agar jumlah laba
yang tercatat dalam laporan keuangan sesuai dengan keinginan manajer, baik
untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan perusahaan.

2.1.2 Teknik dan Pola Manajemen Laba


Teknik manajemen laba menurut (Setiawati dan Na’im, 2000) dapat
dilakukan dengan tiga teknik yaitu :
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi.
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan)
terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak
tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi
aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain lain.
2. Mengubah metode akuntansi.
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu
transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode
depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan.
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain :
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan
sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda
pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau
menuda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva
tetap yang sudah tak dipakai.
Ada 7 pola manajemen laba yang dimukan oleh (Scott, 2000) yaitu :
1. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru
dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat meningkatkan laba dimasa datang.
2. Income Minimazation
Pola ini dilakukan pada saat perusahaan memiliki tingkat profitabilitas
yang tinggi, sehingga jika laba periode mendatang diperkirakan turun
drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
3. Income Maximization
Pola ini dilakukan pada saat laba perusahaan menurun, yang bertujuan
untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih
besar. Income Maximization dilakukan oleh perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian hutang.
4. Income Smoothing
Pola ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan untuk
mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya
investor menyukai laba yang relatif stabil.
5. Offsetting extraordinary / unusual gains
Pola ini dilakukan dengan menindahkan efek-efek laba yang tidak biasa
atau temporal yang berlawanan dengan trend laba
6. Aggresive accounting applications
Pola yang diartikan sebagai salah saji (misstatement) dan dipakai untuk
membagi laba antar periode.
7. Timing Revenue dan Expense Recognition
Pola ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan
dengan timing suatu transaksi. Misalnya pengakuan prematur atas
pendapatan.

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Laba


Manajemen laba yang dilakukan oleh manajer didorong oleh beberapa
motivasi. Faktor faktor yang mendorong tindakan manajer dalam melakukan
kegiatan manajemen laba menurut (Scott, 2009) adalah :
1. Bonus Scheme (Rencana Bonus)
Laba perusahaan sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer
perusahaan. Dengan demikian para manajer yang bekerja dalam
perusahaan yang menerapkan Bonus Scheme akan berusaha mengatur laba
yang dilaporkannya dengan tujuan memaksimalkan jumlah bonus yang
akan diterima.
2. Debt Covenant (Kontrak Utang Jangka Panjang)
Ketika perusahaan semakin mendekati waktu pelanggaran perjanjian
utang, para manajer cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
menggeser laba periode mendatang ke periode berjalan dengan harapan
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggran kontrak utang.
3. Political Motivation (Motivasi Politik)
Manajer pada perusahaan-perusahaan skala besar dan industri strategis
cenderung untuk menurunkan laba terutama pada saat periode
kemakmuran yang tinggi, dengan harapan memperoleh kemudahan serta
fasilitas dari pemerintah.
4. Taxation Motivations (Motivasi perpajakan)
Para manajer mengurangi laba yang dilaporkan dengan tujuan
meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh perusahaan.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer)
Biasanya CEO yang masa jabatannya akan segera berakhir
memaksimalkan jumlah laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan
diterima. Demikian halnya para manajer dengan kinerja yang buruk,
mereka cenderung untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan untuk
menghindarkan diri dari pemecatan.
6. Initial Public Offering (Penawaran Saham Perdana)
Informasi keuangan perusahaan yang menjual sahamnya kepada publik
merupakan sumber informasi penting karena dapat dimanfaatkan sebagai
sinyal kepada investor potensial. Oleh karena itu manajer akan berusaha
menaikkan jumlah laba yang dilaporkan untuk mempengaruhi keputusan
yang di buat investor.
2.2 Corporate Governance
2.2.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Dalam rangka memahami Corporate Governance maka digunakanlah
dasar perspektif hubungan keagenan. (Jansen dan Meckling, 1976)
menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah konrak antara manajer
(agen) dengan investor (principal). Pemilik mengharapkan return yang tinggi
dari investasi yang mereka tanamkan pada perusahaan sedangkan manajemen
mengharapkan kompensasi yang tinggi dan dipenuhinya kebutuhan
psikologis mereka. Hal ini menyebabkan timbul konflik antara manajemen
dengan pemilik karena masing masing akan memenuhi kepentingannya
sendiri (opportunistic behavioral). Pemilik akan mengeluarkan biaya
monitoring untuk mengawasi kinerja manajemen. Manajemen akan berusaha
meminimalkan biaya keagenan (agency cost) dengan sukarela memberi
informasi keuangan kepada pemilik. Manajemen memberikan laporan
keuangan secara teratur dengan harapan dapat mengurangi biaya monitoring.
Dasar teori agensi dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan kepentingan
antara agen dan principal untuk memaksimumkan kesejahteraannya masing-
masing.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh (Johnson,1976)
memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para
pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi
kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang bijaksana serta adil
terhadap pemegang saham. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory
mendapat respon lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan
yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang
dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan
penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
2.2.2 Pengertian Corporate Governance
Menurut (Kausalty et al.2013), mengungkapkan bahwa corporate
governance mengacu pada sistem, prinsip-prinsip dan proses di mana sebuah
perusahaan diatur. Corporate governance menyediakan pedoman bagaimana
mengendalikan dan mengarahkan perusahaan sehingga dapat memenuhi
tujuan dan sasaran yang dapat menambah nilai perusahaan dan dapat
bermanfaat untuk seluruh stakeholder dalam jangka panjang. Stakeholder
dalam hal ini, termasuk semua pihak dari dewan direksi, manajemen,
pemegang saham, karyawan dan masyarakat.
Terdapat beberapa pengertian yang telah dikeluarkan mengenai Good
Corporate Governance. Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan
yang mengatur hubungan antar pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pula pemegang kepentingan
internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan.
2.2.3 Manfaat Corporate Governance
Good Corporate Governance dapat memberikan kerangka acuan yang
memungkinkan pengawasan berjalan efektif, sehingga dapat tercipta
mekanisme checks and balance di perusahaan. Menurut Forum Corporate
Governance di Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil
dari penerapan Good Corporate Governance yang baik, antara kain :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang
pada akhirnya akan meningkatkan corporate value
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan modal
di Indonesia
4. Pemegang saham akan merasa puas meningkatkan shareholers,s , value
dan Deviden
2.2.4 Asas Corporate Governance
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (2006) terdapat 5
asas Good Corporate Governance yaitu :
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang
mudah di akses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas good corporate governance,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing
organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.2.5 Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme good corporate governance terdiri dari beberapa indikator
variabel. Pada penelitian ini indikator yang di gunakan oleh peneliti adalah
komposisi dewan komisaris, keprmilikan manajerial dan kepemilikan
institusional.
2.2.5.1 Komposisi Dewan Komisaris
Komposisi dewan komisaris adalah anggota komisaris yang bukan
merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas, pejabat atau
dengan cara lain yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi
pengelolaan perusahaan.
Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas
pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal
ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan
manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor.
Untuk mengatasinya dewan komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses
pada informasi perusahaan. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas dalam
perusahaan, maka dewan direksi bertanggung jawab untuk menyampaikan
informasi terkait dengan perusahaan kepada dewan komisaris (NCCG, 2001).
Selain mensupervisi dan memberi nasihat pada dewan direksi sesuai dengan
UU No. 1 tahun 1995, fungsi dewan komisaris yang lain sesuai dengan yang
dinyatakan dalam National Code for Corporate Governance 2001 adalah
memastikan bahwa perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial dan
mempertimbangkan kepentingan berbagai stakeholder perusahaan sebaik
memonitor efektifitas pelaksanaan good corporate governance.
2.2.5.2 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakah jumlah saham yang dimiliki oleh
manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat diukur dengan
menghitung persentase saham yang dimiliki oleh manajemen perusahaan
dengan seluruh jumlah saham perusahaan yang beredar. Salah satu
mekanisme corporate governanceyang dapat digunakan untuk mengurangi
agency costadalah dengan meningkatkan kepemilkan sahamoleh manajemen.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Setiwan (2009), menyatakan bahwa
kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen dapat menyetarakan
kepentingan pemegang saham dengan kepentingan manajer sehingga konflik
kepentingan antara pemegang saham dan manajer dapat dikurangi. Dari sudut
pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi
manajer perusahaan.
2.2.5.3 Kepemilikan Institusional
Pemegang saham institusional adalah pemegang saham perusahaan oleh
pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar
negeri, dana perwalian dan institusi lainnya. Adanya kepemilikan
institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan
agar terhadap kinerja manajemen. Semakin besar kepemilikan institusi maka
akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi keuangan
tersebut untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan
dorongan yang lebih besar bagi manajemen untuk mengoptimalkan kinerja
perusahaan dan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang
saham atau stakeholder. Cornett et al.,2006, menyatakan bahwa tindakan
pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan investor
institusional dapat membatasi perilaku manajer.
2.3 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya perusahaan
sebagaimana ditunjukkan oleh total aktiva atau penjualan. Ukuran perusahaan
pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan kedalam beberapa
kelompok, diantaranya perusahaan besar, sedang dan kecil. Skala perusahaan
merupakan ukuran yang dipakai untuk mencerminkan besar kecilnya
perusahaan yang didasar kan kepada total asset perusahaan (Suwito dan
Herawaty, 2005).
Menurut (Sidharta, 2000) ukuran perusahaan adalah skala perusahaan
yang dilihat dari total aktiva perusahaan pada akhir tahun. Adapun standar
ukuran untuk menentukan besar kecilnya suatu perusahaan belum ada standar
ukuran yang berlaku secara umum, hanya merupakan perkiraan dan masing-
masing standar itu terbatas penerapannya, karena standar dari perusahaan
yang satu dengan yang lain berbeda-beda (Irawan dalam Huda, 2008).
2.1 Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk manipulasi
pelaporan laba yang dilakukan oleh manajemen untuk mencapai tujuan
tertentu. Manajemen laba dapat juga dikatakan sebagai suatu proses yang
dilakukan dengan sengaja oleh manajemen perusahaan dalam batasan Prinsip
Akuntansi Berterima Umum untuk menghasilkan suatu tingkat laba yang
diinginkan.
2.2 Teori Agensi
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi (agency
theory). Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk
mengoptimalkan keuntungan para principal (pemilik) melalui pelaporan laba.
Sebagai imbalan atas kinerja agent tersebut, principal akan memberikan
kompensasi atau bonus yang sesuai kepada agent. Dalam hal ini, terdapat dua
kepentingan yang berbeda antara principal dan agent. Masing- masing pihak
akan berusaha untuk meningkatkan keuntungannya. Perbedaan kepentingan
antara agent dan principal ini memicu timbulnya konflik kepentingan
(conflict of interest).
Praktik manajemen laba dapat dipandang dari dua perspektif yang
berbeda, yaitu sebagai suatu tindakan yang salah (negatif) dan tindakan yang
seharusnya dilakukan manajemen (positif). [ CITATION Hea99 \l 1057 ]
menganggap manajemen laba sebagai tindakan yang menyesatkan dan
menipu pemilik/pemegang saham. Hal ini disebabkan manajemen memiliki
informasi asimetri mengenai kondisi perusahaan. Principal sebagai pihak
eksternal tidak dapat mengamati kegiatan operasional perusahaan secara
langsung sehingga tidak dapat memastikan fleksibilitas yang dimiliki oleh
perusahaan untuk melakukan rekayasa laba. Pandangan lain menganggap
bahwa manajemen laba merupakan strategi yang dilakukan oleh manajer
untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Manajemen laba
dilakukan untuk memaksimumkan nilai perusahaan ketika terdapat asimetri
informasi antara manajer dan pemilik. Hal ini dapat menurunkan resiko
persepsian investor karena ketidakpastian return di masa depan sehingga
diharapkan dapat memperbaiki nilai pemegang saham.
2.3 Motivasi Manajemen Laba
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan di dalam Positive Accounting
Theory (PAT) dan teori keagenan (agency theory). Tiga hipotesis dalam teori
PAT yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman motivasi tindakan
manajemen laba menurut [ CITATION Wat86 \l 1057 ] yaitu:
a) Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan
perencanaan bonus cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang
akan meningkatkan pendapatan saat ini.
b) Debt Covenant Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa Manajer perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metoda akuntansi yang
memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994). Hal ini untuk menjaga
reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
c) Political Cost Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan jika pada perusahaan yang besar memiliki biaya
politik tinggi, maka manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat
menurunkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode
mendatang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari regulasi atau
keputusan pemerintah, misalnya menaikkan pajak penghasilan perusahaan.
2.4 Jenis-jenis Manajemen Laba
Menurut [ CITATION Sco03 \l 1057 ] , pola manajemen laba dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu:
1) Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru
dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat meningkatkan laba di masa datang.
2) Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang
tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis
dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
3) Income Maximization
Pola ini dilakukan oleh manajer untuk memaksimalkan laba dengan tujuan
untuk memperoleh bonus yang lebih besar, menciptakan kinerja yang baik
sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
4) Income Smoothing
Pola ini sering dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi fluktuasi laba
yang terlalu tinggi sehingga dengan adanya pola perataan laba akan
mengimplikasikan suatu aliran laba yang stabil dan merata.

Anda mungkin juga menyukai