Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Teori Agensi (Agency Theory)


Dalam dunia bisnis, fenomena oportunis telah diungkapkan sejak tahun 1976
oleh Jensen dan Meckling yang lebih dikenal dengan sebutan teori keagenan (agency
theory) yang menggambarkan sebuah hubungan keagenan sebagai kontrak dimana
satu orang atau lebih (prinsipal) yang melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan
beberapa layanan demi kepentingan yang melibatkan pemberian delegasi kekuasaan
pengambilan keputusan kepada agen. Jika kedua pihak dalam hubungan utility
maximisers, ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa agen tidak akan selalu
bertindak demi kepentingan yang terbaik bagi prinsipal. Dalam kontrak tersebut,
manajer secara moral bertanggung jawab memaksimalkan kesejahteraan pemegang
saham. Namun di sisi lain manajer juga memiliki kepentingan pribadi untuk
mengoptimalkan kesejahteraan mereka melalui pencapaian bonus yang dijanjikan
oleh pemegang saham.
Konsep Agency theory menurut Pearce dan Robinson (2013:47) adalah
sekelompok gagasan mengenai pengendalian organisasi yang didasarkan pada
keyakinan bahwa pemisahan kepemilikan dengan manajemen menimbulkan potensi
bahwa keinginan pemilik diabaikan. Hubungan keagenan, seperti hubungan antara
pemegang saham dengan manajer, akan efektif selama manajer mengambil
keputusan investasi yang konsisten dengan kepentingan pemegang saham. Namun,
ketika kepentingan manajer berbeda dengan kepentingan pemilik, maka keputusan
yang diambil oleh manajer kemungkinan besar akan mencerminkan preferensi
manajer dibanding dengan pemilik. Kondisi ini semakin diperjelas oleh keadaan
bahwa manajer sebagai pelaksana operasional perusahaan memiliki informasi
internal yang lebih banyak, lebih lengkap, dan lebih akurat dibandingkan pemegang
saham. Penguasaan informasi tersebut makin memotivasi manajer untuk bertindak
kreatif untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya. (Sulistiawan, 2011:31).
Konflik kepentingan yang terjadi antara pemilik dan agen atau disebut juga
masalah keagenan yang pada akhirnya akan menimbulkan biaya keagenan (agency
costs) yang akan ditanggung baik oleh pemilik maupun manajemen. Jensen &
Meckling (1976) dalam (Godfrey, 2010: 363) membagi biaya keagenan ini menjadi
tiga, yaitu biaya pemantauan (monitoring cost), biaya ikatan (bonding cost), dan

12
13

kerugian residual (residual loss). Biaya pemantauan adalah biaya yang timbul dan
ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur,
mengamati, dan mengontrol perilaku agen. Biaya ini timbul karena adanya
ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen. Contohnya adalah biaya
audit wajib (mandatory audit costs), biaya untuk menetapkan rencana kompensasi
manajemen (costs to establish management compensation plans), pembatasan
anggaran (budget restrictions) dan aturan-aturan operasi (operating rules). Bonding
cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan
tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa
prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan. Contoh,
biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan laporan keuangan kepada
pemegang saham atau tidak mengungkapkan informasi tertentu kepada pesaing.
Agen siap mengeluarkan biaya ini hanya sejauh biaya ini dapat mengurangi
monitoring costs yang mereka tanggung. Sedangkan kerugian residual adalah
pengaruh kekayaan dari fakta bahwa meskipun dengan adanya pengeluaran
pemantauan dan ikatan, tindakan yang diambil oleh agen atau memang pengabaian
oleh agen terkadang akan berbeda dari perilaku yang akan memaksimalkan
kepentingan atau kekayaan prinsipal.

2.2 Manajemen Laba (Earnings Management)


2.2.1 Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba atau earnings management merupakan istilah yang sudah
biasa didengar, baik oleh praktisi maupun akademisi dari akuntansi dan manajemen.
Terdapat beberapa istilah umum yang sering digunakan oleh para praktisi dan
kalangan bisnis mengenai manajemen laba, antara lain creative accounting practices,
income smoothing, income manipulation, financial number game, dan masih banyak
istilah lainnya yang dapat digunakan. Berikut ini ada beberapa definisi pengertian
tentang manajemen laba yang diambil dari beberapa sumber yaitu :
1. Menurut Scott (2012:423) manajemen laba adalah: “the choice by a manager of
accounting policies, or actions affecting earnings, so as to achieve some specific
reported earnings objective.” Berdasarkan pengertian diatas, manajemen laba
adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk mencapai tujuan
khusus. Karena manajemen dapat memilih kebijakan akuntansi dari berbagai
14

pilihan kebijakan maka wajar jika manajemen akan memilih kebijakan akuntansi
untuk memaksimumkan nilai perusahaan.
2. Menurut Weil (2009:2), “…earnings management is not a technical term in
accounting or finance. However, it occurs when firm management has the
opportunity to make accounting decisions that change reported income, and
exploits those opportunities.” Dalam Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa
manajemen laba terjadi ketika manajemen perusahaan mempunyai kesempatan
untuk membuat sebuah keputusan akuntansi yang dapat mengubah laba yang
dilaporkan dan memanfaatkan peluang tersebut.
3. Fisher dan Rosenzweig (1995) dalam Helmayunita (2013:114) “Earnings
management is an actions of a manager which serve to increase (decrease)
current reported earnings of the unit which the manager is responsible without
generating a corresponding increase (decrease) in long-term economic
profitability of the unit.” Dalam Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa
manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer menaikkan (menurunkan)
laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa
menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka
panjang.
4. Menurut Sulistiawan, et. al. (2011:19) menyatakan bahwa manajemen laba
adalah aktivitas badan usaha (perusahaan) untuk memanfaatkan teknik dan
kebijakan akuntansi guna memperoleh hasil yang diinginkan, seperti penyajian
nilai asset atau nilai laba yang lebih tinggi (over valued) atau lebih rendah (under
valued) tergantung dari motivasi manajemen perusahaan untuk melakukannya.
Secara umum dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen laba (earnings management) adalah suatu upaya manajer dalam
merekayasa angka-angka dalam laporan keuangan terutama dalam laba dan
memberikan gambaran kinerja perusahaan yang menyesatkan kepada masyarakat
terutama investor.

2.2.2 Faktor-faktor yang Memotivasi Terjadinya Manajemen Laba


Sulistiawan, et al. (2011:31) mengemukakan bahwa secara umum terdapat
beberapa faktor yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan
manajemen laba, yaitu:
15

1. Bonus, dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan


sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer
dalam menjalankan operasional perusahaan. Pengukuran kinerja berdasarkan laba
dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa
terbaiknya sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan
manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang baik demi mendapatkan
bonus yang maksimal.
2. Motivasi utang, untuk kepentingan eskpansi perusahaan, manajer seringkali
melakukan kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor.
Agar kreditor mau menginvestasikan dananya di perusahaannya, tentunya
manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk
memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif
dari manajer untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya
pun seringkali muncul.
3. Motivasi Pajak, tindakan manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan go
public dan selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan
perpajakan. Kepentingan ini didominasi oleh perusahaan yang belum go public.
Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan
untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai yang
sebenarnya. Kecenderungan ini memotivasi manajer untuk bertindak kreatif
melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang
dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi
perpajakan.
4. IPO (Initial Public Offering), banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go
public ataupun sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan
penawaran saham perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial
Public Offering (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon
investor. Begitupun dengan perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan
dan ekspansi usahanya.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), praktik manajemen laba biasanya
terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau chief executive officer (CEO).
Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan
memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun
16

terakhir ia menjabat. Motivasi utama yang mendorong hal tersebut adalah untuk
memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.
6. Motivasi Politis, motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang
usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan
strategis perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi menjaga tetap mendapatkan
subsidi, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi keuangannya
dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik karena
jika sudah baik, kemungkinan besar subsidi tidak lagi diberikan.

2.2.3 Pola dalam Teknik Manajemen Laba


Scott (2012:425) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam
praktik manajemen laba, yaitu :
1. Pola taking a bath, dilakukan dengan cara mengatur laba tahun berjalan menjadi
sangat tinggi atau sangat rendah dibanding dengan tahun sebelumnya atau tahun
yang akan datang. Pola semacam ini sering ditemukan pada perusahaan yang
sedang mengalami masalah organisasi (organizational stress). Misalnya, jika
manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan
kerugian tersebut dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajemen
berharap dapat meningkatkan laba pada periode yang akan datang dan
manajemen dapat penilaian yang baik dari para pemilik, dan hal ini terutama
terjadi ketika akan pemilihan manajemen baru sehingga keselahan kerugian
dibebankan kepada manajemen yg lama.
2. Pola income minimization, dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun
berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Dalam hal ini manajer akan
menurunkan atau memperkecil laba untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan
penghematan kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Hal ini
dilakukan karena semakin rendah laba yang dilaporkan semakin rendah pula
jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
3. Pola income maximization, dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun
berjalan lebih tinggi dari laba yang sebenarnya. Dalam hal ini manajer akan
meningkatkan laba dengan tujuan tertentu, misalnya menjelang penjualan saham
perdana (Initial Public Offering), manajemen akan menaikkan labanya dengan
harapan akan memperoleh reaksi positif dari pasar (calon pemegang saham) dan
17

ini menunjukkan bahwa perusahaan sangat potensial untuk mendatangkan


keuntungan/laba,sehingga sahamnya akan laku di pasar modal.
4. Pola income smoothing. Dalam pola ini, manajemen laba dilakukan dengan
meratakan jumlah laba dari tahun ke tahun atau antar tahun dengan tujuan untuk
pelaporan eksternal, terutama bagi para investor karena umumnya investor
menyukai perusahaan yang labanya relatif stabil dari period eke periode dan tidak
fluktuatif. Perusahaan akan cenderung untuk melaporkan trend pendapatannya
secara stabil daripada melaporkan kenaikan atau penurunan yang drastis.
Sehingga laba pada periode berjalan dilaporkan tidak jauh berbeda dari laba
tahun sebelumnya agar ekspektasi dan prediksi pengguna laporan keuangan
untuk laba tahun selanjutnya tidak jauh meningkat. Dalam dunia keuangan,
fluktuasi mencerminkan ketidakpastian sehingga makin fluktuatif laba,
perusahaan dapat dikatakan berisiko.

2.2.4 Teknik Manajemen Laba


Teknik manajemen laba sangat beragam. Mulai dari teknik legal yang
diperbolehkan dalam SAK sampai teknik illegal yang bertentangan dan tidak
diperbolehkan dalam SAK. Secara umum, teknik legal yang biasanya dijumpai
dalam praktik manajemen laba dapat dikelompokkan ke dalam lima teknik
(Sulistiawan, et al., 2011:43), yaitu:
1. Mengubah Metode Akuntansi
Metode akuntansi merupakan pilihan-pilihan yang disediakan oleh standar
akuntansi (accounting choice) dalam menilai aset perusahaan. Beberapa bentuk
pilihan metode akuntansi antara lain seperti metode penilaian persediaan (First In
First Out-FIFO, Last In First Out -LIFO, rata-rata tertimbang, atau identifikasi
khusus. Selain itu, masih banyak metode pilihan yang lain seperti leasing (capital
lease atau operating lease), penggunaan metode harga pasar atau nilai buku pada
aset jangka panjang, daln lain-lain. Sebagai contoh, dalam hal pemilihan metode
akuntansi untuk penilaian perusahaan, seperti FIFO atau LIFO, bagi pemilik
perusahaan akan menguntungkan dalam aspek pajak ketika memilih untuk
menggunakan metode LIFO, karena penilaian persediaan dengan metode LIFO
akan menekan jumlah arus kas keluar untuk pembayaran pajak. Namun, LIFO
tidak diperkenankan dalam aturan perpajakan di Indonesia, meskipun dalam
akuntansi komersial hal ini diperkenankan.
18

2. Membuat Estimasi Akuntansi


Teknik ini dilakukan dengan tujuan mempengaruhi laba akuntansi melalui
kebijakan dalam membuat estimasi akuntansi. Beberapa bentuk estimasi
akuntansi tersebut yaitu estimasi dalam menentukan umur ekonomis aset, baik
aset tetap maupun aset berwujud, estimasi dalam menentukan besarnya jumlah
piutang tidak tertagih, baik dengan persantase penjualan maupun persentase
piutang, dan lain-lain. Salah satu contoh manajemen laba yaitu cara untuk
mendapatkan tambahan atau pengurangan laba adalah dengan mengubah estimasi
akuntansi. Perubahan estimasi akuntansi ini disesuaikan dengan kebutuhan
penyajian laporan keuangan. Jika mengharapkan kenaikan laba, perusahaan dapat
mengubah estimasi aset tetap atau aset tidak berwujudnya menjadi lebih panjang.
Hasilnya, laba menjadi lebih tinggi karena biaya penyusutan menurun.
3. Mengubah Periode Pengakuan Pendapatan dan Biaya
Teknik ini dilakukan untuk mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan
dan biaya dengan cara menggeser pendapatan dan biaya ke periode berikutnya
agar memperoleh biaya maksimum. Teknik ini biasanya ditemukan pada
perusahaan yang akan melakukan IPO.
4. Mengklasifikasikan Akun Current dan Noncurrent
Pada bagian ini, permainan akuntansi dilakukan dengan memindahkan posisi
akun dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi, sebenarnya laporan keuangan yang
disajikan sudah sama, tetapi karena kelihaian penyajinya, laporan keuangan ini
bias memberikan dampak interpretasi yang berbeda bagi penggunanya.
5. Mereklasifikasi Akrual Diskresioner (Accrual Discretionary) dan Akrual
Nondiskresioner (Accrual Nondiscretionary)
Akrual diskresioner adalah akrual yang dapat berubah sesuai dengan kebijakan
manajemen, seperti pertimbangan tentang penentuan umur ekonomis aset tetap
atau pertimbangan pemilihan metode depresiasi. Sedangkan, akrual
nondiskresioner adalah akrual yang dapat berubah bukan karena kebijakan atau
petimbangan pihak manajemen, seperti perubahan piutang yang besar karena
adanya tambahan penjualan secara signifikan. Akrual adalah penjumlahan antara
akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner. Akrual merupakan perbedaan
laba dengan arus kas operasi. Makin besar perbedaannya, maka perbedaan itu
disebabkan karena aspek akrual atau kebijakan akuntansi, sedangkan arus kas
operasional hanya berasal dari transaksi kas riil. Makin tinggi nilai akrual
19

menunjukkan adanya strategi menaikkan laba dan makin minus nilai akrual
menunjukkan adanya strategi menurunkan laba.

2.3 Alasan Dilakukannya Manajemen Laba


Terdapat beberapa alasan dilakukannya manajemen laba, diantaranya adalah :
a. Dengan melakukan manajemen laba, dapat meningkatkan kepercayaan para
pemgang saham (sebagai pemilik) terhadap manajemen perusahaan (sebagai
pengelola). Manjemen laba berhubungan erat dengan tingkat atau besaran laba
yang biasanya dikaitkan dengan prestasi/kinerja suatu organisasi dan akhirnya
bermuara pada besar kecilnya bonus yang akan diterima manajemen/manajer.
b. Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor. Misalnya
dalam kondisi perusahaan yang terancam ‘default’ (tidak dapat memenuhi
kewajiban pembayaran hutang pada waktunya), perusahaan berusaha
menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan
pendapatan atau labanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan posisi
‘bargaining’ yang lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang mengenai
hutangnya kepada pihak ktreditor. Manajer menimbulkan kesan yang baik
khususnya di depan para kreditor.
c. Manajemen laba dapat menarik investor dan atau calon investor untuk
menanamkan modalnya dalam perusahaan, terutama pada saat perusahaan yang
go-public melakukan Initial Public Offering (IPO).
d. Untuk memenuhi target internal, yaitu laba dan target penjualan, memaksa
manajer untuk melonggarkan standar kredit dan pada akhirnya dengan curang
menyembunyikan retur penjualan. Target internal ini sesungguhnya dapat
dijadikan sebagai alat yang berguna dalam memotivasi manajer untuk
meningkatkan usaha penjualan, mengendalikan biaya, dan menggunakan sumber
daya perusahaan secara lebih efisien.
e. Memberikan perataan laba (income smoothing). Perataan laba sering dilakukan
dengan tujuan (diantaranya) adalah agar menjadi lebih mudah dalam
mendapatkan pinjaman kreditur dan menarik investor.
f. Agar laporan keuangan seolah-olah tampak baik (window dressing) demi
kepentingan penawaran saham perdana ke publik atau mendapatkan pinjaman.
20

2.4 Perataan Laba (Income Smoothing)


2.4.1 Definisi Perataan Laba
Menurut Mulford dan Comiskey (2011:4), “Income smoothing is a form of
earnings management designed to remove peaks and valleys from a normal earning
series, including steps to reduce and store profit during good year for use during
slower year”. Dalam pengertian ini, perataan laba merupakan salah satu hipotesis
dari manajemen laba yang menunjukkan usaha manajer untuk meratakan laba pada
periode tertentu agar aliran laba terlihat lebih stabil dengan mengalihkan pendapatan
dari tahun yang baik (tinggi) ke tahun yang buruk (kurang menguntungkan) sehingga
dapat menaikkan nilai perusahaan.
Menurut Belkaoui (2012:192), “..income smoothing is smoothing of reported
earnings may be defined as the intentional dampening or fluctuating about some
level of earning that is currently considered to be normal for the firm. In this sense
smoothing represents an attempt on the part of the firm’s management to reduce
abnormal variations in earning to the extent allowed under sound accounting and
management principles.” Dalam Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa perataan laba
yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai pengurangan atau fluktuasi yang
disengaja terhadap beberapa tingkatan laba yang saat ini dianggap normal oleh
perusahaan. Dalam pengertian ini, perataan laba mencerminkan suatu usaha dari
manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi yang abnormal dalam laba sejauh
yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik.
Praktik perataan laba meliputi usaha untuk memperkecil laba yang dilaporkan
jika laba aktual lebih besar dari laba normal dan usaha untuk memperbesar laba yang
dilaporkan jika laba aktual lebih kecil dari laba normal karena salah satu tujuan
dilakukannya perataan laba adalah untuk memberikan rasa aman kepada investor
karena kemungkinan fluktuasi laba yang kecil dan meningkatkan kemampuan
investor untuk meramalkan laba perusahaan pada periode mendatang (Abiprayu dan
Irene, 2011).
Setelah melihat pengertian perataan laba diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perataan laba merupakan tindakan menormalisasikan laba untuk mengurangi
fluktuasi laba yang dilaporkan untuk mencapai tingkat tertentu yang diinginkan
perusahaan atau dianggap normal oleh perusahaan.
21

2.4.2 Jenis Perataan Laba


Pendeteksian perataan laba menggunakan rumus Indeks Eckel pertama kali
dikemukakan dan dipopulerkan oleh Eckel pada tahun 1981. Berdasarkan penelitian
Eckel tersebut terdapat dua jenis perataan laba yaitu naturally smooth dan designed
smooth. Designed smooth terbagi atas artificial smoothing dan real smoothing.

Berikut ini adalah gambar yang digunakan untuk memperjelas tipe perataan
laba tersebut :

Income Smoothing

Designed Smoothing Natural Smoothing

Real Smoothing Artificial Smoothing

Gambar 1
Jenis Perataan Laba
Sumber:
Norm Eckel, 1981, The Income Smoothing Hypothesis Revisited, Abacus Vol 17,
No 1 (dikutip dari Rezazadeh et. al, 2014)

Pada gambar 1 di atas dapat dijelaskan bahwa perataan laba digolongkan ke


dalam 2 jenis, yaitu :
1. Naturally smoothing (Perataan secara alami)
Naturally smooth merupakan perataan laba yang terjadi dengan sendirinya tanpa
campur tangan pihak lain. Hal ini dapat kita dapati pada perolehan penghasilan
dari keperluan atau pelayanan umum, dimana aliran laba yang ada akan rata
dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari pihak lain.
2. Intentionally Smoothing (Perataan yang disengaja)
Intentionally smoothing diartikan sebagai praktik perataan laba yang sengaja
dilakukan oleh pihak tertentu dengan tujuan tertentu, dalam hal ini adalah
manajemen. Intentionally smoothing terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Real smoothing adalah perataan laba yang dilakukan melalui transaksi
ekonomi dengan melakukan perubahan kebijakan operasi beserta waktunya.
22

Misalnya, seorang manajer memutuskan mengeluarkan sejumlah biaya riset


dan pengembangan hanya pada suatu tahun tertentu.
b. Artificial smoothing atau yang sering juga disebut accounting smoothing,
yaitu praktik perataan laba yang dilakukan secara sengaja dengan perubahan
prosedur dan kebijakan akuntansi yang telah diterapkan untuk memindahkan
biaya dan atau pendapatan dari suatu periode ke periode yang lain yang
dianggap memerlukan tambahan atau pengurangan jumlah laba sehingga
dapat terlihat lebih rata dari tahun ke tahun.

2.4.3 Alasan Manajemen Melakukan Perataan Laba


Dalam (Hery, 2013: 146), manajer melakukan praktik perataan laba pada dasarnya
ingin mendapatkan berbagai keuntungan ekonomi dan psikologis, yaitu:
1. Mengurangi total pajak terutang,
2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena laba yang
stabil akan mendukung kebijakan dividen yang stabil pula
3. Mempertahankan hubungan antara manajer dan karyawan karena pelaporan laba
yang meningkat tajam akan memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan
gaji dan upah karyawan,
4. Siklus peningkatan dan penurunan laba dapat ditandingkan, sehingga gelombang
optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.

2.5 Indeks Eckel


Praktik perataan laba diukur dengan menggunakan Indeks Eckel. Indeks Eckel
akan membedakan antara perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik perataan
laba dengan yang tidak melakukan perataan laba. Indeks perataan laba dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
CV ∆ I
Indeks Eckel=
CV ∆ S
Indeks Eckel untuk perusahaan bukan perataan laba adalah ≥ 1, sedangkan untuk
perusahaan perataan laba adalah < 1.
Jika koefisien varian laba lebih kecil daripada koefisien varian penjualan maka
menunjukkan praktik perataan laba. Situasi ini adalah hasil perataan laba dilakukan
oleh manajer dalam perusahaan masing-masing. CV ∆S dan CV ∆I dapat dihitung
sebagai berikut :
23

CV ∆ S atau CV ∆ I =√ ∑ ¿ ¿ ¿ ¿
Dimana,
∆X : perubahan laba (I) atau perubahan penjualan (S)
∆ X : rata-rata perubahan laba (I) atau perubahan penjualan (S)
n : banyaknya tahun yang diamati

Untuk mendapatkan simpulan yang kuat bahwa perusahaan dapat dikategorikan


sebagai perusahaan perata laba, maka selain indeksnya harus kurang dari satu,
perusahaan juga harus secara konsisten (minimal tiga periode) melakukan praktik
perataan laba. (Kustono, 2009)
Menurut Ashari dkk dalam (Pradana & Sunaryo, 2012), kelebihan Indeks Eckel
adalah:
1. Objektif dan berdasarkan pada statistik dengan cara pemisahan yang jelas
antara perusahaan yang melakukan praktik perataan laba dan tidak melakukan
praktik perataan laba,
2. Mengukur terjadinya praktik perataan laba tanpa memaksakan prediksi
pendapatan, pembuatan model dari laba yang diharapkan, pengujian biaya, atau
pertimbangan yang objektif,
3. Mengukur perataan laba dengan menjumlahkan pengaruh dari beberapa
variabel perata laba yang potensial dan menyelidiki pola dari perilaku perata
laba selama periode waktu tertentu.

2.6 Audit
2.6.1 Definisi dan Tujuan Audit
Beberapa definisi audit menurut berbagai ahli adalah sebagai berikut :
1. Menurut Arens et al. (2012:24) audit adalah “…the accumulation and evaluation
of evidence about information to determine and report on the degree of
correspondence between the information and established criteria. Auditing
should be done by a competent, independent person.” Audit dapat diartikan
sebagai akumulasi serta evaluasi bukti-bukti yang ada tentang suatu informasi
akuntansi. Bukti-bukti tersebut digunakan untuk menentukan apakah informasi
sudah sesuai dengan kriteria yang seharusnya dan kemudian hasil dari tingkat
kesesuaian akan dilaporkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang
independen dan kompeten yang artinya harus dilakukan oleh seseorang yang ahli
24

dalam bidang audit serta seseorang profesional yang tidak memihak dan tidak
terpengaruh kepada kepentingan siapapun.
2. Menurut Agoes (2012:4) “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan
secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan
pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Tujuan audit menurut SPAP (2011: 110.1) adalah: “Tujuan audit atas
laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk
menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi
keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”

2.6.2 Kualitas Audit


Audit atas laporan keuangan merupakan salah satu cara untuk mengatasi
konflik kepentingan yang terjadi antara agen dan principal termasuk mengurangi
perilaku perataan laba oleh manajemen perusahaan. Manajemen sebagai agen
membutuhkan jasa pihak ketiga agar tingkat kepercayaan pihak eksternal perusahaan
terhadap pertanggungjawaban semakin tinggi, begitu pula sebaliknya pihak eksternal
perusahaan membutuhkan jasa pihak ketiga untuk meyakinkan dirinya bahwa
laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan dapat dipercaya sebagai
dasar dalam pengambilan keputusan. Auditor merupakan pihak yang dianggap
mampu untuk mengendalikan perilaku manajemen serta menjembatani kepentingan
pihak prinsipal dan pihak manajer dalam mengelola keuangan perusahaan, dengan
demikian proses pengauditan berperan penting dalam mengurangi agency cost
dengan membatasi perilaku oportunistik manajemen. Akuntan publik sebagai auditor
eksternal yang relatif lebih independen dari manajemen dibandingkan auditor
internal sejauh ini diharapkan dapat meminimalkan kasus manipulasi laba dan
meningkatkan kredibilitas informasi akuntansi dalam laporan keuangan.
Laporan keuangan yang berkualitas, relevan dan dapat dipercaya dihasilkan
dari audit yang dilakukan secara efektif oleh auditor yang berkualitas. Pemakai
laporan keuangan lebih percaya pada laporan keuangan auditan yang diaudit oleh
auditor yang dianggap berkualitas tinggi dibanding auditor yang kurang berkualitas,
karena mereka menganggap bahwa untuk mempertahankan kredibilitasnya auditor
25

akan lebih berhati-hati dalam melakukan proses audit untuk mendeteksi salah saji
atau kecurangan. Auditor yang berkualitas akan melakukan audit yang berkualitas
pula (Wiryadi dan Sebrina, 2013:162).
Menurut Rapina et al. (2010), “Kualitas audit merupakan segala
kemungkinan dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat
menentukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan
melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan
tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan
publik yang relevan”. Dalam penelitian ini kualitas audit diproksikan dengan ukuran
KAP (KAP The big- 4 dan KAP Non The big- 4). Berikut adalah daftar KAP di
Indonesia yang berafiliasi dengan KAP big 4, diantaranya:
1. PricewaterhouseCoopers atau sering disingkat PWC. Perusahaan jasa akuntan ini
lahir di tahun 1998. Dimana PWC merupakan gabungan dari perusahaan jasa
Cooper & Lybrand (1854) dan Price Waterhouse (1849). kantor pusatnya terletak
di London, Inggris. Di Indonesia, PWC berafiliasi dengan KAP Tanudiredja,
Wibisana & Rekan.
2. Deloitte merupakan salah satu anggota dari big-4, dan berkantor pusat di New
York, USA. Di Indonesia, Deloitte berafiliasi dengan KAP Osman Bing Satrio.
3. Ernst & Young (EY), merupakan salah satu anggota dari big-4. Ernst & Young
berkantor pusat di London, UK. Di Indonesia, Ernst & Young Berafiliasi dengan
KAP Purwantono, Suherman & Surja.
4. KPMG (Klynveld, Peat, Marwick,Gordeler) KPMG berkantor pusat di
Amstelveen, Amsterdam. Di Indonesia, KPMG berafiliasi dengan KAP Sidharta
dan Widjaja.

2.7 Struktur Kepemilikan


Selain menggunakan proses audit sebagai mekanisme untuk mengurangi
perilaku oportunistik manajer dalam konteks teori keagenan, peningkatan jumlah
kepemilikan saham oleh perusahaan juga dapat digunakan sebagai suatu mekanisme
yang efektif. Saham merupakan bukti kepemilikan seseorang atas suatu perusahaan
sebanding dengan jumlah saham yang dimilikinya. Seorang pemegang saham ikut
memiliki segala sesuatu yang menjadi milik perusahaan dan juga ikut dalam hal
menanggung resiko dan kewajiban perusahaan. Seorang investor akan menghadapi
dua kemungkinan atas kepemilikannya tersebut, yaitu kemungkinan untung dan rugi.
26

Investor akan mendapatkan keuntungan apabila saham perusahaan tersebut


mengalami pertumbuhan yang baik, dan memberikan deviden yang memuaskan,
perusahaan akan tetap memiliki keuntungan lain dari nilai rill saham yang akan
meningkat dengan adanya perkembangan struktur modal. Selain itu keuntungan
mungkin diperoleh dari hasil penjualan saham (capital gain). Sebaliknya seorang
pemegang saham juga mempunyai kemungkinan rugi apabila perusahaan tersebut
tidak mengalami pertumbuhan yang baik. (Wiryadi dan Sebrina,2013:163)
Struktur kepemilikan saham merupakan salah satu dari mekanisme Good
Corporate Governance. Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa struktur
kepemilikan saham merupakan salah satu mekanisme pengawasan dimana
mekanisme ini dapat menurunkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang
disebabkan oleh masalah keagenan antara pemilik dan manajer. Struktur kepemilikan
dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi kepemilikan saham yang meliputi
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional.

2.7.1 Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan manajerial (managerial ownership) adalah suatu kondisi dimana
manajer mengambil bagian dalam struktur modal perusahaan atau dengan kata lain
manajer tersebut berperan ganda sebagai manajer sekaligus pemegang saham di
perusahaan. Dalam laporan keuangan, keadaan ini dipresentasikan oleh besamya
persentase kepemilikan oleh manajer. Peningkatan kepemilikan oleh manajer
bermanfaat untuk meningkatkan keselarasan kepentingan (goal congruence) di
antara manajer dengan pemegang saham. Semakin besar tingkat kepemilikan
manajerial suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat keselarasan
(alignment) dan kemampuan kontrol terhadap kepentingan antara manajer dengan
pemegang saham (Jensen dan Meckling, dalam Sugiarto,2011:9).
Dengan adanya kepemilikan oleh manajerial, pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan perusahaan akan dilakukan dengan tanggung jawab penuh karena
sesuai dengan kepentingan pemegang saham dalam hal ini termasuk kepentingan
manajemen sebagai salah satu komponen pemilik perusahaan.
Selain itu, manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan
menselaraskan kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham.
Sementara manajer yang tidak memiliki saham perusahaan, ada kemungkinan hanya
mementingkan kepentingannya sendiri. Meningkatkan kepemilikan manajerial
27

digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada di perusahaan.
Dengan meningkatnya kepemilikan manajerial maka manajer akan termotivasi untuk
meningkatkan kinerjanya sehingga dalam hal ini akan berdampak baik kepada
perusahaan serta memenuhi keinginan dari para pemegang saham. Semakin besar
kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan lebih giat untuk
meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggung jawab untuk
memenuhi keinginan dari pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

2.7.2 Kepemilikan Institusional


Selain kepemilikan manajerial, pemegang saham institusional memiliki
insentif dan kekuasaan untuk membatasi perilaku oportunistik manajer dalam bentuk
manajemen laba. (Roodposhti dan Chashmi, 2011:4146). Kepemilikan institusional
merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh investor
institusional seperti pemerintah, perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi
maupun kepemilikan lembaga dan perusahaan lain. (Juniarti dan Sentosa,2009:89).
Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen
perusahaan karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong
peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan
menjamin kemakmuran untuk pemegang saham karena pengaruh kepemilikan
institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup
besar dalam pasar modal sehingga akan dapat mengontrol manajer untuk melakukan
perbuatan yang tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham. (Wiryadi dan
Sebrina, 2013:164)
Investor institusional juga diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor
tindakan manajemen lebih baik dibandingkan dengan investor individual, dimana
investor institusional tidak akan mudah diperdaya dengan tindakan manipulasi yang
dilakukan oleh manajemen. Dengan kepemilikan institusi di luar perusahaan dalam
jumlah yang signifikan akan menyebabkan pihak luar perusahaan melakukan
pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen. Bagi
manajemen, pengawasan oleh pihak luar mendorong mereka untuk menunjukkan
kinerja yang lebih baik, dan melakukan pengelolaan secara transparan. (Juniarti dan
Sentosa,2009:89).

2.8 Profitabilitas
28

Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam mencapai laba


yang sering dikenal dengan perbandingan keuntungan dengan modal yang telah
digunakan oleh perusahaan itu sendiri. Hal tersebut mempunyai tujuan yaitu sebagai
hasil tolak ukur yang merupakan gambaran dari kualitas kinerja manajemen yang
menunjang kesuksesan suatu perusahaan. Analisis mengenai profitabilitas sangat
penting bagi kreditor dan investor ekuitas. Bagi kreditor, laba merupakan sumber
pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Sedangkan bagi investor ekuitas, laba
merupakan salah satu faktor penentu perubahan nilai efek. Hal yang terpenting bagi
perusahaan adalah bagaimana laba tersebut bisa memaksimalkan pemegang saham
bukan seberapa besar laba yang dihasilkan oleh perusahaan.
Menurut Gitman (2009) mengatakan bahwa profitabilitas merupakan hubungan
antara pendapatan dan biaya yang dihasilkan dengan menggunakan aset perusahaan,
baik lancar maupun tetap, dalam aktivitas produksi.
Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektifitas
manajemen berdasarkan hasil pengembalian dari penjualan investasi serta
kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang akan menjadi dasar pembagian
dividen perusahaan. Rasio yang paling umum digunakan untuk mengukur
profitabilitas adalah return on assets, return on equity dan return on investment.
(Gitman 2009)
Salah satu proksi untuk mengukur tingkat profitabilitas dari suatu perusahaan
adalah menggunakan proksi return on assets (ROA), dimana di dalam penelitian ini
menggunakan proksi return on assets (ROA). Return on Assets (ROA) merupakan
ukuran penting untuk menilai sehat atau tidaknya perusahaan, yang mempengaruhi
investor untuk membuat keputusan..

2.9 International Financial Reporting Standart (IFRS)


2.9.1 Latar Belakang IFRS
IFRS merupakan sekumpulan peraturan (standar) akuntansi yang dikeluarkan
oleh International Accounting Standards Board (IASB), sebuah organisasi yang
tidak terikat dan berpusat di London, UK. Mereka menjadi satu set peraturan yang
secara ideal dapat diaplikasikan secara merata terhadap laporan keuangan dari
perusahaan terdaftar di seluruh dunia. Antara tahun 1973 dan 2000, standar
internasional telah dikeluarkan oleh para pendahulu organisasi IASB, yaitu
International Accounting Standards Committee (IASC), sebuah badan yang didirikan
29

tahun 1973 oleh badan akuntansi profesional di Australia, Kanada, Perancis, Jerman,
Jepang, Meksiko, Belanda, UK dan Irlandia, serta Amerika. Dalam periode waktu
tersebut, peraturan-peraturan IASC tersebut diidentifikasi sebagai International
Accounting Standards (IAS). Pada bulan April 2001, IASB mengadopsi seluruh IAS
dan melanjutkan pengembangan standar yang dilakukan. Saat ini, lebih dari 100
negara telah diwajibkan atau membolehkan penerapan IFRS dan diperkirakan akan
semakin banyak negara di dunia menggunakan IFRS. Untuk Indonesia, sejak revisi
PSAK tahun 1994, IAI telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi standar
PSAK kepada IFRS. Selanjutnya, harmonisasi tersebut diubah menjadi adopsi yang
ditujukan dalam bentuk konvergensi.

2.9.2 Karakteristik IFRS


Menurut Sukendar (2009) karakteristik IFRS dapat diuraikan dalam 5
pendekatan dasar sebagai berikut.
1. Pendekatan basis prinsip (principle-based approach) adalah pendekatan yang
menempatkan penekanan lebih besar pada penafsiran dan penerapan prinsip-
prinsip, dengan fokus khusus pada semangat prinsip yang diterapkan. Pendekatan
ini menetapkan/mengatur IFRS hanya pada prinsipprinsip utamanya sehingga
tidak memiliki standar-standar yang spesifik untuk industri. Kalaupun terdapat
standar mengenai kontrak asuransi (IFRS 4 Insurance contract), standar tersebut
tidak mengatur entitas asuransi, tapi entitas apapun yang memiliki kontrak
asuransi. US-GAAP dan SAK kita sebelumnya yang berbasis pengaturan (rule
based) lebih detail dan kompleks juga memiliki standar-standar berbasis industry,
misalnya adalah standar mengenai pengakuan pendapatan. Di IFRS, pengakuan
pendapatan hanya diatur pada 2 standar, yaitu IAS 18 Revenue dan IAS 11
Construction Contracts. Sementara itu, standar akuntansi di US, misalnya
memiliki sekitar 100 standar yang di dalamnya berisi pengakuan pendapatan
yang berbeda-beda pada tiap industri. Jadi, dimungkinkan hasil yang berbeda
untuk substansi ekonomi yang sama dalam industri yang berbeda (IASB, 2009).
2. Pendekatan standar yang memerlukan penilaian substansi transaksi dan evaluasi,
apakah presentasi akuntansi mencerminkan realitas ekonomi. Karakteristik ini
menekankan substansi dari transaksi dan evaluasi yang mencerminkan realitas
ekonomi, contohnya di dalam IAS 38, juga PSAK 19 (revisi 2010) disebutkan
bahwa aset tidak berwujud tidak lagi memiliki maksimum umur manfaat.
30

Perusahaan harus menilai berapa umur eknomis aset tidak berwujud. Bahkan,
apabila perusahaan tidak bisa melihat batas akhir kapan manfaat ekonomis aset
tidak berwujud tersebut berakhir, perusahaan dapat membuatnya menjadi aset
tidak berwujud dengan umur manfaat tak terbatas. Aset tidak berwujud dengan
umur manfaat tidak terbatas diperlakukan sama seperti goodwill, yakni dikenai
uji penurunan nilai setiap tahun dan tidak diamortisasi.
3. Pendekatan yang berfokus pada kebutuhan untuk penilaian profesional dalam hal
penyelesaian berwujud dengan umur manfaat tidak terbatas diperlakukan sama
seperti goodwill, yakni dikenai uji penurunan nilai setiap tahun dan tidak
diamortisasi. Karakteristik ini menunjukkan bahwa penilaian profesional
merupakan hal yang terpenting dalam penyelesaian masalah akuntansi. Hal ini
dikaitkan dengan penentuan umur ekonomis suatu aset tidak berwujud, yang
berdasarkan kriteria dan faktor yang diterima secara umum.
4. Pendekatan pada penggunan yang lebih besar nilai wajar (fair value) sebagai
dasar pengukuran penekanan 2 arah untuk memperoleh pengukuran yang dapat
diandalkan. Kriteria ini berlawanan dengan PSAK yang dianut sebelumnya, di
mana penilaian aset haruslah berdasarkan harga perolehan (historical cost).
5. Pendekatan persyaratan pengungkapan yang lebih ektensif. Karakteristik ini
menuntut pengungkapan yang lebih ekstensif dibandingkan dengan PSAK
terdahulu. Fokus kepada penyiapan laporan keuangan tidak lagi cukup, dalam era
IFRS di samping laporan keuangan, pengungkapan atas hal-hal yang mendasari
perlu disampaikan dalam catatan atas laporan keuangan (CALK).

2.9.3 Perbedaan IFRS dengan GAAP


Menurut Kartikahadi et. al (2012:26) ada beberapa perbedaan penggunaan
Standar Akuntansi Internasional (IFRS) dengan GAAP (Generally Accepted
Accounting Principles) yaitu:
1. Nilai wajar, Sebelum menggunakan standar akuntansi internasional (IFRS),
akuntansi menggunakan historical cost untuk pengukuran transaksinya.
Historical cost merupakan jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai
wajar imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh aset pada saat perolehan
2. Principal Based ,merupakan pengaturan pada tingkat prinsip yang akan meliputi
segala hal dibawahnya. Kelemahan principal based yaitu basis ini akan
membutuhkan penalaran, judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari
31

pembaca aturan dalam menerapkannya. Keunggulan basis ini yaitu dalam hal
kemungkinan manajer memilih perlakuan akuntansi yang merefleksikan transaksi
atau kejadian ekonomi yang mendasarinya, meskipun hal sebaliknya dapat
terjadi.
3. Persyaratan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci, IFRS
mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif
maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan
data/informasi yang dipakai untuk pengambilan keputusan yang diambil oleh
manajemen. Tingkat pengungkapan yang makin mendekati pengungkapan penuh
(full disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan
informasi).

2.9.4 Konvergensi IFRS di Indonesia


Menurut Qu dan Zhang (2008:4) dalam (Hartati,2012:162), konvergen
mempunyai arti menuju atau berpindah ke satu titik atau titik yang lainnya.
Sedangkan, konvergensi adalah tindakan mengerucut (converging) dan khususnya
berpindah menuju kesatuan (union) atau keseragaman (uniformity). Jadi, konvergensi
IFRS adalah menyesuaikan standar-standar domestik agar sesuai dengan IFRS.
Penting untuk membedakan antara adopsi IFRS atau konvergensi IFRS. Pada level
negara, Adopsi berarti standar akuntansi nasional secara langsung digantikan dengan
IFRS. Posisi ini diambil oleh negara-negara anggota European Union (EU) yang
sejak tahun 2005 memberlakukan IFRS secara penuh. Sedangkan Konvergensi
adalah mekanisme bertahap yang dilakukan suatu negara untuk mengganti standar
akuntansi nasionalnya dengan IFRS. Pengadopsian IFRS di Indonesia berlaku secara
penuh pada tahun 2012. Dengan mengadopsi IFRS, perusahaan-perusahaan di
Indonesia diharapkan dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan.

Perkembangan standar akuntansi di Indonesia secara singkat adalah sebagai berikut


(Zamzani, 2011; World Bank, 2005; IAI, 2008):
Periode Keterangan
IAI membentuk Komite Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang
1973-1984 bertugas untuk menetapkan standar akuntansi. Standar ini kemudian
dikenal dengan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).
32

Periode Keterangan
Komite PAI melakukan revisi mendasar atas PAI 1973 dan kemudian
menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 (PAI 1984). Menjelang
akhir 1994, Komite standar akuntansi memulai suatu revisi besar atas
PAI dengan mengumumkan pernyataan-pernyataan standar akuntansi
1984-1994 tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi
tersebut menghasilkan 35 pernyataan standar akuntansi keuangan yang
sebagian besar harmonis dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASC.

Penggunaan IAS sebagai dasar untuk membangun standar akuntansi


keuangan Indonesia menunjukkan pergeseran kiblat dari US GAAP ke
1994-2004 IFRS. Pada tahun 1995, IAI menerapkan standar akuntansi baru yang
sebagian besar konsisten dengan IAS. Beberapa standar masih
diadopsi dari US GAAP dan beberapa lainnya dibuat sendiri.
Standar Akuntansi Keuangan terus direvisi secara berkesinambungan
sejak tahun 1995. Hingga akhirnya pada awal periode ini, Indonesia
masuk ke tahap I konvergensi IFRS. Perencanaan awal pada kongres
IAI 2006, target konvergensi penuh adalah pada tahun 2008. Namun,
target tersebut diperpanjang menjadi tahun 2012 karena faktanya
2006-2008 sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru mencapai 10
standar IFRS dari total 33 standar. Hal ini dikarenakan adanya
hambatan translasi bahasa sehingga masih perlu dilakukan revisi
(Wold Bank, 2010; http://www.adoptifrs.org, Februari 2013)

Roadmap proses konvergensi IFRS di Indonesia terdiri dari 3 tahap, yaitu (Zamzani,
2011; IAI, 2011):
1. Tahap Adopsi (tahun 2007-2010): adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan
infrastruktur yang diperlukan, serta evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap
PSAK yang berlaku.
2. Tahap Persiapan Akhir (tahun 2011): penyelesaian persiapan infrastruktur yang
diperlukan dan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3. Tahap Implementasi (tahun 2012): penerapan PSAK berbasis IFRS secara
bertahap dan evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
Konvergensi Standar Akuntansi Indonesia dengan IFRS dilakukan dengan
metode gradual, yaitu mengadopsi IFRS ke dalam PSAK secara bertahap, standar
demi standar. Pada tanggal 23 Desember 2008, IAI menerbitkan pengumuman
resmi bahwa Indonesia akan konvergensi penuh dengan IFRS per 1 Januari 2012
33

2.9.5 Manfaat Konvergensi IFRS


Jumlah perusahaan yang memilih untuk mengadopsi IFRS terus meningkat
dan ini dikarenakan pelaporan IFRS menawarkan manfaat yang luas. Beberapa
contoh manfaat ini meliputi:
a) IFRS secara signifikan mempengaruhi komparatibilitas entitas dan menyediakan
informasi keuangan yang lebih konsisten
b) IFRS diterima sebagai dasar pelaporan keuangan untuk perusahaan yang ingin
masuk menjadi anggota di hampir semua bursa saham dunia (termasuk AS).
c) Meningkatkan komparatibilitas dari laporan keuangan perushaan dan
meningkatkan kualitas komunikasi kepada pemegang saham, mengurangi
ketidakpastian investor, mengurangi resiko, meningkatkan efisiensi pasar, dan
pada akhirnya meminimalisir biaya modal.
d) IFRS menghilangkan penghalang perdagangan lintas batas di sekuritas, dengan
memastikan laporan keuangan lebih transparan.
e) Laporan manajemen untuk tujuan internal dalam IFRS, dapat meningkatkan
kualitas dan konsistensi informasi yang dibutuhkan manajemen supaya lebih
efektif, efisien, dan pengamnilan keputusan yang tepat waktu untuk bisnis
f) Adaptasi IFRS mungkin bisa digunakan sebagai peluang untuk meningkatkan
strategi ke sistem keuangan dan proses untuk mengurangi biaya dalam jangka
panjang
g) Laporan keuangan IFRS dimengerti secara universal dan dapat dibandingkan
untuk meningkatkan dan memulai hubungan baru dengan pelanggan dan
pemasok lintas batas nasional.
h) Karena efek positif informasi keuangan IFRS memiliki penilaian kredit, posisi
perusahaan diperkuat dalam negosiasi dengan lembaga kredit dan biaya pinjaman
dikurangi. (Ashok, 2014:2)

2.10 Bursa Efek Indonesia (BEI)


Bursa Efek Jakarta merupakan pasar saham terbesar di Indonesia yang juga
dikenal dengan nama asingnya sebagai Jakarta Stock Exchange (JSX). Sekuritas
yang diperdagangkan di BEJ berupa saham preferen, saham biasa, hak (rights), dan
obligasi konvertibel (convertibel bonds). Bursa efek terbesar setelah BEJ adalah
Bursa Efek Surabaya (BES) atau Surabaya Stock Exchange (SSX). Sekuritas yang
diperdagangkan di BEJ juga diperdagangkan di BES. BEJ dan BES bergabung
34

menjadi BEI pada bulan November 2007. BEI memperdagangkan seluruh produk
investasi yang dimiliki BEJ dan BES seperti saham, Kontrak Opsi Saham (KOS),
Exchange Traded Funds (ETF), Obligasi maupun Kontrak Futures baik Nikkei-225
Futures atau LQ45 Futures. Setelah diadakan pengabungan diharapkan nilai
kapitalisasi pasar BEI terus berkembang.
Berdasarkan situs resmi Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang sejarah BEI,
secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar
modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada
tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintahan Hindia
Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan
pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada
beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan
kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan
berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar
modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami
pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan
pemerintah.
Bursa Efek Indonesia membagi kelompok industri-industri perusahaan
berdasarkan sektor-sektor yang dikelolanya terdiri dari: sektor pertanian, sektor
pertambangan, sektor industri dasar kimia, sektor aneka industri, sektor industri
barang konsumsi, sektor properti, sektor infrastruktur, sektor keuangan, dan sektor
perdagangan jasa investasi.

2.11 Penelitian Terdahulu


Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian terdahulu mengenai topik yang
berkaitan dengan penelitian ini di dalam maupun di luar negeri:

2.11.1 Catherine Octorina Marpaung , Ni Made Yeni Latrini (2014). Pengaruh


Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, Kualitas Audit dan
Kepemilikan Manajerial Pada Perataan laba
35

Catherine Octorina Marpaung , Ni Made Yeni Latrini (2014). Dengan penelitiannya


yang berjudul Pengaruh Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, Kualitas
Audit dan Kepemilikan Manajerial pada Perataan laba. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari corporate governance terhadap perataan laba. Hasil
penelitian Marpaung dan Latrini dengan 60 sampel perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI dengan empat tahun pengamatan periode 2009-2012 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kualitas audit terbukti berpengaruh signifikan
negatif terhadap perataan laba. Perusahaan yang menggunakan Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang tergolong Kantor Akuntan Publik (KAP) Big Four cenderung
tidak akan melakukan praktik perataan laba, karena Kantor Akuntan Publik (KAP)
Big Four memiliki kualitas audit yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik,
sehingga risiko terungkapnya kecurangan yang dilakukan manajemen lebih besar
dibandingkan Kantor Akuntan Publik (KAP) Non Big Four. Hasil penelitian
Marpaung dan Latrini juga menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Kepemilikan manajerial merupakan
kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen. Namun saham yang dimiliki oleh
pihak manajemen dalam perusahaan tidak sebesar kepemilikan saham diluar
kepemilikan saham manajerial dari seluruh saham perusahaan yang
beredar.Walaupun manajemen secara aktif ikut mengambil keputusan karena saham
yang dimilikinya, jumlah yang dimiliki oleh manajemen tersebut tidak terlalu besar
berdampak terhadap suara yang diberikan dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan perusahaan yang berkaitan dengan manipulasi laba. Hal ini dapat
dikatakan bahwa kedudukan pemegang saham minoritas sering tidak terwakili dalam
pengambilan keputusan.

2.11.2 Mahdi Safari Gerayli, Abolfazl Momeni Yanesari, Ali Reza Ma'atoofi
(2011), Impact of Audit Quality on Earnings Management: Evidence from
Iran
Gerayli et al. (2011) melakukan penelitian dengan judul Impact of Audit
Quality on Earnings Management: Evidence from Iran dengan menggunakan sampel
seluruh perusahaan non keuangan di Iran pada tahun 2004-2009. Hasil dari penelitian
kuantitatif yang dilakukan oleh Gerayli et al. menyatakan bahwa ukuran auditor
berhubungan negatif dengan earnings management diukur dengan discretionary
accrual, sehingga menunjukkan bahwa perusahaan yang menggunakan auditor big 4
36

maka earnings management di perusahaan akan lebih rendah dengan perusahaan


yang di audit oleh auditor non big 4. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa
hubungan antara audit quality dan earnings management hanya signifikan dalam
perusahaan yang di audit oleh Big 4.

2.11.3 Fatemeh Mohebi, Mohammad Mahmoodi dan Naser Ail Yadollahzadeh


Tabari (2013), The Investigation of the Effect of Firm-Specific Accounting
Variables on Income Smoothing of Companies: Evidence from Tehran
Stock Exchange.

Fatemeh Mohebi, Mohammad Mahmoodi dan Naser Ail Yadollahzadeh


Tabari (2013) dengan judul “The Investigation of the Effect of Firm-Specific
Accounting Variables on Income Smoothing of Companies: Evidence from Tehran
Stock Exchange”. Penelitian ini menggunakan sebanyak 121 perusahaan yang
tercatat di Tehran Stock Exchange pada tahun 2010. Dalam perhitungan Indeks
Eckel terdapat sebanyak 59 perusahaan yang melakukan praktik perataan laba dari
121 perusahaan. Dimana dalam penelitian ini untuk menguji firm size, debt ratio,
profitability or return on sales dan ownership structure. Hasil pengujian model
regresi logistik menunjukkan ownership structure positif dan signifikan
mempengaruhi praktik perataan laba, firm size negatif dan signifikan mempengaruhi
praktik perataan laba, sedangkan debt ratio, profitability or return on sales tidak
signifikan mempengaruhi praktik perataan laba.

2.11.4 Nurfarizan Mazhani Mahmud (2012), Income smoothing and industrial


sector
Nurfarizan Mazhani Mahmud (2012) dengan judul penelitian “Income
Smoothing and Industical Sector”. Penelitian ini dengan menggunakan sebanyak 84
perusahaan publik non keuangan yang terdaftar dalam Bursa Malaysia pada tahun
2002 sampai 2006. Dalam perhitungan Eckel terdapat sebanyak 52 perusahaan yang
melakukan perataan laba dari 84 perusahaan. Penelitian menggunakan logistics
regression yang menunjukkan industry type dimana hanya industri hotel, properties
and construction berhubungan negatif terhadap praktik perataan laba, size, ownership
dan profit berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba, sedangkan growth
tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba.
37

2.11.5 Parviz Saeidi (2012), The Relationship between Income Smoothing and
Income Tax and Profitability Ratios in Iran Stock Market
Peneliti Dr. Parviz Saeidi (2012), dengan judul penelitian “The relationship
between income smoothing and income tax and profitability rations in Iran Stock
Market” dengan menggunakan variabel independen antara lain Income Tax,
Profitability (ROA,ROE), dan variabel dependen praktik perataan laba. penelitian ini
dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di Iran stock exchange periode 2001-2007.
Hasil penelitian yang dilakukan Dr. Parviz Saeidi yaitu Semua variable memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap praktik perataan laba.

2.11.6 Igan Budiasih (2009), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perataan


Laba
Igan Budiasih (2009) dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Praktik Perataan Laba”. Penelitian ini menggunakan sebanyak 84 perusahaan
manufaktur dan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2002
sampai 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ukuran perusahaan,
profitabilitas, financial leverage, dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap
perataan laba. Hasil pengujian multiple linear regressions menunjukkan ukuran
perusahaan, profitabilitas dan dividend payout ratio berpengaruh positif signifikan
terhadap praktik perataan laba, sedangkan financial leverage tidak berpengaruh
signifikan terhadap praktik perataan laba. Saran untuk penelitian ke depan sebaiknya
menggunakan analisis binary logistic regression dan menambah variabel penelitian
lain seperti bonus plan dan sektor industri.

2.11.7 Roberto Carlos Klann dan Ilse Maria Beuren (2015), The Impact of the
International Accounting Convergence on Income Smoothing in Brazillian
Companies

Roberto Carlos Klann dan Ilse Maria Beuren (2015) melakukan penelitian
dengan judul The Impact of the International Accounting Convergence on Income
Smoothing in Brazillian Companies. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
pengaruh dari proses konvergensi IFRS pada tingkat perataan laba (income
smoothing) pada perusahaan yang ada di Brazil. Penelitian tersebut menggunakan
pendekatan kuantitatif, berdasarkan model Barth, Landsman dan Lang (2008),
dilakukan dengan laporan keuangan dari 133 perusahaan pada periode 2005-2007
38

(pra-IFRS) dengan total 344 pengamatan, serta 106 perusahaan pada periode 2010-
2012 (post-IFRS), dengan total 289 pengamatan yang diambil dari database situs
Thomson ONE Banker. Metode penelitian yang digunakan oleh Klann dan Beuren
adalah teknik statistik regresi linier multivariat, uji F dan korelasi Pearson. Hasil
penelitian menunjukkan peningkatan pada tingkat perataan laba setelah konvergensi.
Dapat disimpulkan bahwa keefektifan proses konvergensi standar akuntansi negara
dengan standar internasional, untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik dari
informasi akuntansi, tidak hanya bergantung pada konvergensi dari standar
akuntansi.

2.11.8 Dian Rohaeni dan Titik Aryati (2012), Pengaruh Konvergensi IFRS
Terhadap Income Smoothing dengan Kualitas Audit Sebagai Variable
Moderasi

Dian Rohaeni dan Titik Aryati (2012) melakukan penelitian mengenai


pengaruh konvergensi IFRS terhadap perataan laba serta hubungannya dengan
kualitas audit. Penelitian ini melihat pengaruh konvergensi IFRS terhadap perataan
laba di Indonesia, Singapura, dan Cina secara bersama-sama, dengan menggunakan
kualitas audit sebagai variabel moderasi. Kualitas audit diukur dari pengaruh
konvergensi IFRS terhadap perataan laba perusahaan yang diaudit oleh KAP big 4
dibandingkan perusahaan yang diaudit oleh KAP non big 4. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa konvergensi IFRS terbukti berpengaruh negatif terhadap
perataan laba serta interaksi antara IFRS dengan kualitas audit memberikan hasil
positif signifikan terhadap perataan laba.

2.12 Kerangka Pemikiran


2.12.1 Perumusan Hipotesis
Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian dengan pengujian hipotesis.
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas audit, struktur
kepemilikan, dan konvergensi IFRS terhadap praktik perataan laba.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat empat hipotesis yang dirumuskan dalam
penelitian ini. Pembahasan tentang masing-masing hipotesis akan diuraikan sebagai
berikut:

2.12.1.1 Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Praktik Perataan Laba


39

Laporan keuangan yang dihasilkan oleh pihak manajemen perlu diperiksa,


dievaluasi atau diaudit oleh kantor akuntan publik, agar mendapat kepercayaan para
pemegang saham atas laporan keuangan tersebut. Kualitas audit dalam penelitian ini
diukur dengan proksi ukuran KAP (KAP the big-4 dan KAP non big-4) karena
diasumsikan akan berpengaruh terhadap hasil audit yang dilakukan oleh auditornya.
Auditor yang bekerja di KAP Big Four dianggap lebih berkualitas karena auditor
tersebut dibekali oleh serangkaian pelatihan dan prosedur serta memiliki program
audit yang dianggap lebih akurat dan efektif dibandingkan dengan auditor dari KAP
non-Big Four (Guna dan Herawaty, 2010:59).
Hasil penelitian Marpaung dan Latrini (2014) menyatakan bahwa kualitas
audit yang diukur dengan ukuran KAP, berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
praktik perataan laba. Perusahaan yang menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP)
yang tergolong Kantor Akuntan Publik (KAP) Big Four cenderung tidak akan
melakukan praktik perataan laba, karena Kantor Akuntan Publik (KAP) Big Four
memiliki kualitas audit yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik, sehingga risiko
terungkapnya kecurangan yang dilakukan manajemen lebih besar dibandingkan
Kantor Akuntan Publik (KAP) Non Big Four. Pendapat ini didukung oleh penelitian
Guna dan Herawaty (2010) menemukan bahwa semakin besar ukuran KAP yang
mengaudit perusahaan tersebut, semakin kecil kemungkinan manajemen melakukan
perataan laba. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesisnya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
HA1 : “Kualitas audit berpengaruh negatif terhadap perataan laba pada perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.”

2.12.1.2 Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Praktik


Perataan Laba
Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan,
maka manajemen berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham
yang juga adalah dirinya sendiri, dengan melakukan perataan laba untuk
meningkatkan kepercayaan investor untuk tetap berinvestasi pada perusahaan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam (Amanza,2012) mengemukakan bahwa
dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajerial akan memberikan
keleluasaan manajer untuk mengelola laporan keuangan. Praktik perataan laba lebih
disebabkan karena manajemen memilih untuk menjaga nilai laba yang stabil
40

dibandingkan nilai laba yang cenderung bergejolak (volatile), sehingga manajemen


akan menaikkan laba yang dilaporkan jika jumlah laba yang sebenarnya menurun
dari laba tahun sebelumnya dan sebaliknya manajemen akan memilih untuk
menurunkan laba yang dilaporkan jika laba yang sebenarnya meningkat tajam
dibandingkan laba tahun sebelumnya (Novita, 2009 dalam Pratiwi dan Handayani,
2014). Dengan kata lain, persentase tertentu terhadap kepemilikan saham oleh pihak
manajemen, cenderung mempengaruhi tindakan perataan laba. Oleh karena itu
dengan kepemilikan perusahaan dimiliki oleh direksi semakin meningkat maka
keputusan yang diambil oleh direksi akan lebih cenderung untuk menguntungkan
dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan.
Hasil penelitian Mahmud (2012) dengan menggunakan sampel sebanyak 84
perusahaan publik non keuangan yang terdaftar dalam Bursa Malaysia pada tahun
2002 sampai 2006 menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif
terhadap perataan laba. Artinya, semakin besar kepemilikan manajemen maka
semakin besar tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesisnya
dapat dirumuskan sebagai berikut:
HA2 : “Kepemilikan manajerial berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.”

2.12.1.3 Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional Terhadap Praktik


Perataan Laba
Kepemilikan institusional yang tinggi dan dimiliki oleh suatu badan atau
institusi dapat mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memonitor manajemen
secara efektif. Hal tersebut dikarenakan investor institusional merupakan investor
yang memiliki informasi yang memadai tentang perusahaan sehingga manipulasi
laba yang disebabkan oleh adanya asimetri informasi dapat dikurangi. Oleh karena
itu, tingkat kepemilikan institusional dapat mengurangi tindakan manajer dalam hal
manajemen laba yang dapat merugikan kepentingan pihak lain (stakeholder).
Dari penelitian relevan menunjukkan hasil bahwa kepemilikan institusional
berpengaruh negatif terhadap perataan laba, sehingga kecil kemungkinan perusahaan
melakukan tindakan perataan laba. Tindakan pengawasan perusahaan yang dilakukan
oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan
perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga mengurangi perilaku
opportunistic atau mementingkan diri sendiri.
41

Hasil penelitian Kharisma dan Agustina (2015) menunjukkan kepemilikan


institusional memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap perataan laba.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya kepemilikan institusional memberikan
pengaruh yang berarti sebagai tindakan monitoring yang dilakukan kepada pihak
manajemen. Semakin besar tingkat kepemilikan saham oleh institusi maka
semakin efektif pula mekanisme kontrol terhadap kinerja manajemen dan dapat
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar sehingga dapat menghalangi
perilaku opportunistic manajer yang dapat merugikan semua pihak.
HA3 : “Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.”

2.12.1.4 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Praktik Perataan Laba


Menurut Belkaoui (2012) dalam (Bestivano,2013) profitabilitas diduga
mempengaruhi praktek perataan laba karena perhatian investor yang besar pada
tingkat profitabilitas perusahaan dapat mendorong manajer untuk melakukan
perataan laba. Tindakan manajemen untuk meratakan laba yang dilaporkan
termotivasi atas kepuasan pemegang saham terhadap korporasi yang meningkat
seiring dengan rata-rata tingkat pertumbuhan income korporasi dan stabilitas
incomenya.
Dalam penelitian Budiasih (2009) menyatakan bahwa perusahaan dengan
profitabilitas yang semakin tinggi justru akan lebih mungkin melakukan
perataan laba. Hal ini disebabkan karena manajemen perusahaan tahu akan
kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba pada masa akan datang
sehingga memudahkan dalam menunda atau mempercepat laba.
Penelitian mengenai pengaruh profitabilitas dengan praktik perataan laba
pernah diteliti oleh Wijoyo (2014) yang menunjukkan bahwa profitabilitas
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap praktik perataan laba.
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesisnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
HA4 : “Profitabilitas berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap praktik
perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.”

2.12.1.5 Pengaruh Konvergensi IFRS Terhadap Praktik Perataan Laba


42

Menurut Rohaeni dan Aryati (2012) konvergensi IFRS diduga mempengaruhi perataan
laba, karena penerapan IFRS akan berdampak pada semakin sedikitnya pilihan-pilihan
metode akuntansi yang dapat diterapkan sehingga akan meminimalisir praktik
kecurangan akuntansi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisanti (2011) menunjukkan
bahwa penerapan IFRS menunjukkan pengaruh negatif yang signifikan terhadap income
smoothing, hal ini berarti pada saat adanya konvergensi IFRS akan mempengaruhi
tindakan manajemen untuk meminimalisir tindakan memanipulasi yang bertujuan untuk
kepentingan pribadinya.Selain itu, adanya konvergensi IFRS juga akan berdampak pada
pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci, baik kualitatif maupun kuantitaif.
Dengan adanya pengungkapan yang lebih banyak maka akan mendekati dengan
pengungkapan penuh (full disclosure) sehingga akan mengurangi asimetri informasi.
Asimetri informasi akan menyebabkan terjadinya konflik agen dan principal yang
merupakan agency problem karena ketidakseimbangan informasi yang diterima oleh
keduanya, dimana agen akan mempunyai informasi superior dibanding dengan principal.
Oleh karena itu dengan adanya konvergensi IFRS maka akan mengurangi adanya agency
problem sehingga dapat menurunkan manajemen laba.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
H4: “Konvergensi IFRS berpengaruh negatif terhadap perataan laba pada perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
43

2.12.2 Model Penelitian


Berdasarkan landasan teori yang terkaitnya mengenai praktik perataan laba
dengan ukuran perusahaan dan kinerja keuangan, maka model penelitiannya adalah
sebagai berikut:

Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Laporan Keuangan 2012-2014

Variabel Dependen Variabel Independen

R x1,y1 Kualitas Audit (X1)


R x2,y1
Kepemilikan Manajerial (X2)
R x3,y1
Indeks Eckel (Y1) R x4,y1 Kepemilikan Institusional (X3)

Profitabilitas (X4)
R c1,y1
Konvergensi IFRS (X4)

Variabel Kontrol

Ukuran Perusahaan (C2)


R x1,y1, R x2,y1, R x3,y1, R x4,y1, R C1,y1

Gambar 2.1 Model Penelitian


Sumber : Landasan teori (data diolah)

Anda mungkin juga menyukai