Anda di halaman 1dari 17

Seminar Akuntansi

Earnings Management

Disusun oleh:
Eka Junita Rahmawati (1610112106)
Dela Benita Ziliwu (1610112109)
Sela Kurnialita (1610112110)
Ida Sapriani (1610112115)
Fadila Fajar Apriliani (1610112202)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pembnagunan Nasional “Veteran” Jakarta
2019
EARNINGS MANAGEMENT

Teori Keagenan (Agency Theory)


Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik
mempunyai kepentingan yang berbeda. Perusahaan yang memisahkan fungsi
pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan. Dalam model
keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga
diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam
kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan
dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas
pengelolaan perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen
terletak pada maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala
(constraint) manfaat (utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen
(agent). Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan
antara pemegang saham/ pemilik (principal) dengan manajemen (agent).
Kinerja perusahaan yang telah dicapai oleh pihak manajemen
diinformasikan kepada pihak pemilik (principal) dalam bentuk laporan keuangan.
Dalam sistem desentralisasi, manajemen mempunyai informasi yang superior
dibandingkan dengan pemilik, karena manajemen telah menerima pendelegasian
untuk pengambilan keputusan/ kebijakan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat
memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial
manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level
kompensasinya. Pada model hubungan principal-agent, seluruh tindakan (actions)
telah didelegasikan oleh pemilik (principal) kepada manajer (agent).
Model hubungan principal-agent diharapkan dapat memaksimumkan
utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima
reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat
memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial
manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level
kompensasinya. Rajan dan Saouma (2006) menyatakan bahwa besarnya
kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya
laba/ profit yang dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan
pihak pemilik (owner). Besarnya laba yang diinformasikan melalui laporan
keuangan, tidak terlepas dari kebijakan akuntansi yang dibuat oleh manajemen.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa besarnya kompensasi yang
diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/ profit yang
dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik.

Management Laba (Earnings Management)


Laba akuntansi adalah perbedaan antara revenue yang direalisasi yang timbul
dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan pada periode tersebut. Laba merupakan informasi penting dalam suatu
laporan keuangan. Angka ini penting untuk :
a. Perhitungan pajak, berfungsi sebagai dasar pengenaan pajak yang akan
diterima Negara.
b. Untuk menghitung deviden yang kan dibagikan kepada pemilik dan yang kan
ditahan dalam perusahaan.
c. Sebagai pedoman dalam menentukan kebijaksanaan investasi dan
pengambilan keputusan.
d. Menjadi dasar dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi perusahaan
lainnya di masa yang akan datang.
e. Sebagai dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi.
f. Untuk menilai prestasi atau kinerja perusahaan/segmen perusahaan divisi.
Manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen
yang menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi
tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikkan atau
penurunan profitabilitas perusahaan untuk jangka panjang. Dengan demikian,
manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu tindakan manajemen dalam
mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat ekonomi yang keliru
kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan sangat
menggangu bahkan membahayakan perusahaan.
Manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap
proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh beberapa
keuntungan pribadi. Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah
laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholder tentang kinerja ekonomi
perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak
yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba
merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.
Tujuan manajemen laba adalah memanipulasi besaran laba yang dilaporkan
kepada para pemegang saham dan mempengaruhi hasil perjanjian yang bergantung
pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Fischer dan Rosenzweig (1995)
memandang earnings management sebagai serangkaian langkah yang dilakukan
manajer untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah laba yang dilaporkan dalam
tahun berjalan yang merupakan tanggung jawabnya tanpa menyebabkan penurunan
atau peningkatan keuntungan yang dicapai suatu badan usaha dalam jangka
panjang.
Ada tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer dalam melakukan
manajemen laba meliputi: minimalisasi biaya politik (political cost minimization),
maksimalisasi kesejahteraan manager (manager wealth maximization), dan
minimalisasi kas pendanaan (minimization of financing cost).

Skema Keterkaitan antara Peluang, Teknik dan Insentif Managemen Laba

Motivasi Peluang
• Pelanggaran kesepakatan kredit • Kelemahan standar akuntansi
• Kompensasi Manajemen (judgement dan pilihan
• Memperoleh/mempertahankan metode)
kendali atas perusahaan • Management information
• Penghematan pajak advantage
• Pertimbangan peraturan
• Pertimbangan pasar modal Manajemen Laba

• Pertimbangan stakeholder • Estimasi akuntansi


• Pertimbangan kondisi • Perubahan metode akuntansi
persaingan • Rekayasa suatu transaksi
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Manajemen Laba
Ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek manajemen
laba yaitu:
1. Manajemen Akrual (accruals management). Faktor ini biasanya berkaitan
dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga
keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer
(managers discretion).
2. Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib. Faktor ini berkaitan
dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijaksanaan akuntansi
yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu antara menerapkannya lebih
awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya
kebijaksanaan tersebut.
3. Perubahan Aktiva Secara Sukarela. Faktor ini biasanya berkaitan dengan
upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode akuntansi
tertentu diantara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan
diakui oleh badan akuntansi yang ada (Generally Accepted Accounting
Principles).

Peluang Manajemen Laba


Kesempatan bagi manajemen untuk mendistorsi laba timbul karena:
1. Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Sebagaimana
diungkapkan oleh Worthy (1984), fleksibilitas dalam menghitung angka laba
disebabkan oleh:
• metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat
suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, dan
• metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk
melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi.
2. Informasi asimetri antara manajer dengan pihak luar. Manajemer relatif
memiliki lebih banyak informasi diban- dingkan dengan pihak luar (termasuk
investor). Mustahil bagi pihak luar untuk dapat mengawasi semua perilaku
dan semua keputusan manajer secara detail.
Motivasi Manajemen Laba
Sugiri (2005) menyatakan bahwa salah satu motivasi manajemen laba adalah
mengelabui kinerja ekonomi yang sebenarnya, dan itu dapat terjadi karena terdapat
ketidaksimetrian informasi antara manajemen dan para pemegang saham suatu
badan usaha. Motivasi manajemen laba lainnya adalah mempengaruhi penghasilan
(telah diatur dalam kontrak) yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang
dilaporkan dengan asumsi bahwa manajemen memiliki kepentingan pribadi dan
kompensasinya didasarkan pada laba akuntansi.
Faktor-faktor yang memotivasi pihak manajemen untuk melakukan
manajemen laba adalah sebagai berikut:
1. Program Bonus (Bonus Plan)
Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan menyebabkan
pihak manajemen dapat mengatur laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka.
Pada motivasi ini, diasumsikan bahwa manajer meningkatkan keuntungan yang
dilaporkan dalam upaya untuk memaksimalkan imbalan bonus yang akan diterima.
Manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk
menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba
saat ini dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan.
2. Kontrak Utang (Debt Covenant)
Semakin dekat suatu perusahaan ke waktub pelanggaran kontrak utang,
manajemen akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat ‘memindahkan’
laba periode mendatang ke periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan perusahaan mengalami technical defauld (kegagalan dalam
pelunasan hutang).
3. Motivasi Politis (political motivation)
Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak akan cenderung
menurunkan labanya untuk mengurangi visibilitasnya, misalnya dengan
menggunakan praktik atau prosedur akuntansi, khususnya selama periode
kemakmuran tinggi.
4. Motivasi Pajak (taxation motivation).
Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk melakukan rekayasa
laba adalah keinginan untuk meminimalkan pajak atau total pajak yang harus
dibayarkan perusahaan. Hal ini karena laba sering dijadikan landasan untuk
mengambil keputusan, menyusun kontrak maupun penilaian kinerja suatu manajer.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer)
Banyak motivasi yng timbul disekitar waktu penggantian CEO. Contohnya,
CEO yang mendekati masa pensiun (tugas akhirnya) akan melakukan strategi
memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.
6. IPO (Initial Public Offering).
Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya dipasar modal
belum memiliki harga pasar, sehingga terdapat masalah bagaimana menetapkan
nilai saham yang ditawarkan. Oleh karena itu, informasi seperti laba bersih dapat
digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan, sehingga
manajemen perusahaan yang akan go public cenderung melakukan manajemen laba
untuk memperoleh harga lebih tinggi atas sahamnya.

Manajemen Laba melalui Manipulasi Akuntansi


Manajemen laba yang dilakukan manajemen biasanya dilakukan melalui
manipulasi akuntansi. Manipulasi akuntansi merujuk pada pengubahan catatan
akuntansi secara sengaja dari yang seharusnya untuk memperoleh posisi atau
kondisi keuangan tertentu dengan tujuan akhir berupa perubahan sikap pemangku
kepentingan sesuai dengan yang diinginkan pihak manajemen. Manipulasi
akuntansi tidak memiliki dampak terhadap aliran kas atau factor ekonomik real
lainnya.
1. Manipulasi yang melanggar PABU
Mencakup pelanggaran nyata terhadap PABU dalam konteks pendekatan
akuntansi berbasis aturan. Macam-macam pelanggaran ini antara lain: transaksi
fiktif dengan cara menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai
transaksi, atau mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, percepatan
pengakuan pendapatan dengan mengubah tanggal menjadi lebih awal, pengakuan
biaya sebagai asset, dll.
2. Manipulasi yang selaras dengan PABU
Memanipulasi laba dengan menggunakan fleksibilitas yang diperbolehkan
GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). Manipulasi ini
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Pemilihan metode
Cara ini meliputi pengubahan metode yang sebelumnya digunakan ke
metode lain yang lebih menguntungkan. Misalnya pengubahan metode alokasi
depresiasi dan aliran biaya pada sediaan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya
berbagai alternatif yang tersedia di PABU. Namun demikian, cara ini tidak terlalu
efektif untuk memanipulasi laba. Pertama, pemilihan metoda harus diungkap dalam
catatan laporan keuangan sehingga tidak terlalu sulit bagi pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mendeteksi apa yang terjadi (i.e. manipulasi akuntansi bila
terjadi). Kedua, cara ini tidak dapat seringsering digunakan karena pengubahan
metode yang terlalu sering tentu akan menimbulkan kecurigaan.
2) Pengubahan unsur-unsur estimasi
Managemen menggunakan metode ini untuk memanipulasi laba dengan
mengubah estimasi akuntansi. Ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur
estimasi seperti pada umur ekonomis dan nilai sisa pada aset jangka panjang,
perkiraan piutang tak tertagih, asset impairments. Manipulasi laba semacam ini
sangat sulit dideteksi oleh investor secara umum.
3) Penstrukturan transaksi
Penstrukturan transaksi, secara akuntansi, dilakukan dengan
menyesuaikan unsur-unsur transaksi. Contoh yang umum untuk cara ini adalah
penstrukturan sewa guna usaha (i.e. capital atau operating lease), investasi
saham/ekuitas (i.e. dikonsolidasi atau tidak dikonsolidasi).
Pola Manajemen Laba
Pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara:
1. Taking a Bath (Penurunan Laba Secara Besar-Besaran)
Hal ini terjadi selama periode pada saat terjadinya reorgenerasi, termasuk
adanya pergantian pimpinan baru. Jika manajer merasa harus melaporkan kerugian,
maka ia akan melaporkan dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajer
berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang dan kesalahan atas kerugian
perusahaan dapat dilimpahkan kepada manajer lama. Konsekuensinya, mereka
akan menghapus asset, menyediakan biaya yang diharapkan di masa mendatang,
dan secara umum akan meningkatkan probabilitas keuntungan yang dilaporkan di
masa datang.
2. Income Minimization
Pola ini mirip dengan taking a bath tetapi lebih halus. Cara ini dilakukan pada
saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi, sehingga jika periode yang akan datang
diperkirakan laba turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode
sebelumnya.
3. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization
bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang besar.
Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelaggaran perjanjian hutang.
Pola ini dapat dilakukan dengan mengakui pendapatan terlebih dahulu, dan
menunda pengakuan beban.
4. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga
dapat mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan dan dapat meningkatkan
kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas di masa yang akan datang.
karena pada umumnya investor lebih menyukai aliran laba yang relatif stabil.
Perataan laba dapat dihasilkan dari hal-lah berikut ini:
1) Natural income smoothing, yaitu proses pembentukan laba secara
inheren menghasilkan suatu stream earnings yang relatif merata, seperti
yang terjadi pada utilitas publik (Eckel, 1981).
2) Intentional income smoothing, yaitu yang disebabkan oleh tindakan
manajemen. yang dapat digolongkan ke dalam dua hal di bawah ini.
3) Real income smoothing (RIS), yang merupakan respons manajer
terhadap perubahan kondisi perekonomian. Hasil investigasinya
menunjukkan hasil bahwa RIS mempengaruhi aliran kas perusahaan.
4) Artificial income smoothing (AIS), yaitu upaya manajer untuk secara
"artifisial" mengurangi variabilitas laba. Hasil investigasinya
menunjukkan hasil bahwa AIS tidak memiliki dampak langsung terhadap
aliran kas perusahaan.

Teknik Manajamen Laba


Teknik untuk merekayasa laba dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
yaitu memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, merubah metode
akuntansi, dan menggeser periode biaya atau pendapatan.
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen
untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi
antara lain, estimasi tingkat piutang tidak tertagih, estimasi kurun waktu
depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya
garansi, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan
untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva
tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Beberapa orang menyebut
rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional. Contoh
rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat/menunda
pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya,
mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi
berikutnya, kerja sama dengan vendor untuk mempercepat/menunda
pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya,
mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi
sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, mengatur saat penjualan aktiva
tetap yang sudah tidak dipakai dan lain-lain. Perusahaan yang mencatat
persediaan menggunakan asumsi LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan
laba melalui pengaturan saldo persediaan.

Apakah Manajemen Laba Buruk?


Mulford (2010) menyatakan bahwa untuk dapat menilai baik dan buruknya
manajemen laba tergantung pada sifat langkah-langkah manajemen laba yang
dilakukan dan tujuan dari manajemen laba tersebut. Langkah-langkah manajemen
laba bisa berada dalam rentang mulai dari yang paling hati-hati dengan
menggunakan fleksibilitas dalam batasan SAK, menggunakan fleksibilitas yang
hampir di luar batasan SAK, sampai pada melanggar SAK dengan membuat laporan
keuangan bermuatan kecurangan.
Ada berbagai pandangan mengenai manajemen laba itu sendiri, biasanya
akademisi berpendapat bahwa manajemen laba itu tidak buruk dengan
mengasumsikan bahwa laporan keuangan telah mengungkapkan seluruh
manajemen laba yang dilakukan, atau dengan kata lain manajemen laba yang baik
adalah manajemen laba yang masih dalam batasan aturan SAK dan diungkapkan
secara penuh mengenai dampaknya terhadap kinerja keuangan tahun berjalan dan
yang akan datang.
Sedangkan manajemen laba yang buruk adalah menyajikan kinerja
keuangan yang menyesatkan pembacanya dengan tidak mengungkapkan
seluruhnya maupun sebagian mengenai dampaknya terhadap kinerja keuangan dan
biasanya dilakukan secara tersembunyi.

Dampak Rekayasa Laba Terhadap Alokasi Sumber Daya


Manajemen laba sulit dideteksi. Jika, pihak eksternal tidak dapat menyadari
adanya manajemen laba, maka laba hasil rekayasa tersebut dapat menyebabkan
distorsi dalam pengambilan keputusan. Misalnya, manajer yang seharusnya hanya
menerima bonus sejumlah x rupiah, akhirnya mendapatkan bonus sejumlah x + e
rupiah, karena laba yang dijadikan dasar pemberian bonus memberikan informasi
yang tidak benar. Berikutnya, rekayasa laba dalam IPO, dapat menyebabkan
investor salah menanamkan dana. Manajemen laba dapat mengganggu efisiensi
arus dana antara pihak-pihak dalam perekonomian.
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi
memberikan dampak yang permanen terhadap laba. Sekalipun perubahan metode
akuntansi mempengaruhi laba secara permanen, namun pengaruh perubahan
metode akuntansi juga mudah dikenali oleh investor, karena perubahan metode
akuntansi mesti diungkapkan kepada investor melalui suplemen laporan keuangan.
Perubahan metode akuntansi yang tidak berdampak terhadap cash flow
perusahaan tidak akan mempengaruhi harga saham, atau dengan kata lain investor
tidak akan tertipu oleh peningkatan laba akuntansi yang tidak berdampak terhadap
cash flow perusahaan. Apakah ini berarti bahwa perubahan metode akuntansi,
sekalipun berdampak terhadap laba, tidak mengakibatkan distorsi informasi bagi
investor?
Peluang bagi manajemen untuk menentukan periode depresiasi secara
subyektif memungkinkan aktiva yang sama didepresiasi dalam kurun waktu yang
berbeda. Padahal, perbedaan estimasi umur ekonomis suatu aktiva akan
menentukan nilai laba dalam laporan keuangan perusahaan. Contoh, di Amerika,
Delta Air Lines mengestimasi umur ekonomis pesawatnya sebesar 15 tahun dengan
nilai residu 10 persen, sedangkan pesawat Pan Am —yang serupa dengan pesawat
Delta Air Lines— diestimasi selama 25 tahun dengan nilai residu 15 persen
(Wechsler, 1989).
Robert Fenimore, salah seorang partner KPMG Peat Marwicks, menyatakan
estimasi umur ekonomis yang lebih panjang dapat dibenarkan jika pesawat tersebut
dirawat dengan baik. Dari sudut pandang para peneliti, perbedaan estimasi umur
ekonomis tidak berdampak terhadap cash flow perusahaan, berarti perbedaan
estimasi umur ekonomis tidak dapat mengelabui investor sekalipun perbedaan
estimasi tersebut mempengaruhi angka laba. Benarkah estimasi manajemen yang
tidak berdampak terhadap cash flow perusahaan tidak akan mendistorsi kandungan
informasi dalam laporan keuangan?
Pengamatan Thornton O’glove (Worthy, 1984), seorang analis sekuritas
independen, terhadap harga saham Union Carbide pada tahun 1980 sampai tahun
1983 membuktikan bahwa investor di pasar modal tertipu oleh peningkatan laba
Union Carbide yang diseba kan oleh perpanjangan periode depresiasi mesin dan
peralatan pada tahun 1980. Perpanjangan periode depresiasi memberikan kontribusi
terhadap EPS Union Carbide sebesar 18 persen pada tahun 1980, 15 persen pada
tahun 1981, 28 persen pada tahun 1982, dan 26 persen pada tahun 1983. O’glove
mengamati harga saham Union Carbide dan harga saham 6 pesaingnya. O’glove
mendapati bahwa Union Carbide mengalami peningkatan ranking, atas dasar harga
saham terhadap laba, dari ranking ketujuh menjadi ranking kedua. Komentar
O’glove terhadap fakta tersebut adalah, ―Wall Street forgets about the accounting
change after a couple of years.ǁ
Tambahan lagi, berkaitan dengan masalah Delta Air Lines dan Pan Am,
Robert Fenimore, salah seorang partner KPMG Peat Marwicks, menyatakan bahwa
perusahaan yang semakin lemah kondisi keuangannya adalah perusahaan yang
menentukan estimasi periode depresiasi yang semakin lama.
Perusahaan yang memilih kebijakan akrual yang income increasing pada saat
penawaran saham, pada saat-saat berikutnya akan mengalami penurunan harga
saham. Berarti pasar tidak mampu mendeteksi adanya income increasing accrual,
atau pasar terlambat memahami pilihan akuntansi manajer. Dana investor telah
terlanjur ditanamkan dalam perusahaan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan efek negatif manajemen laba, manajemen laba tidak hanya
merugikan investor, namun juga dapat berbalik merugikan manajemen. Jika
investor sampai mengetahui bahwa informasi yang disajikan oleh manajemen itu
tidak benar, harga saham yang overvalued bisa menjadi undervalued. Harga saham
yang lebih rendah dari harga yang sesungguhnya merugikan manajemen, karena
mempertinggi biaya manajemen untuk memperoleh tambahan dana dari pasar
modal.

Contoh Kasus Manajemen Laba


Kasus manajemen laba terjadi pada perusahaan PT. Kima Farma Tbk. Pada
laporan auditnya Bapepam menemukan adanya indikasi mark up terhadap laba
dimana tahun 2004 ditulis Rp. 132 milyar padahal sebenarnya hanya senilai Rp.
99,594 milyar. PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik
pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2004, manajemen Kimia
Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut
di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian
BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan
mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2005
laporan keuangan Kimia Farma 2005 disajikan kembali (restated), karena telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar
Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul
pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar
Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang
sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated
persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated 4 penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang
ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui
direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices)
pada tanggal 1 dan 3 Februari 2005. Daftar harga per 3 Februari ini telah
digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit
distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2004. Sedangkan kesalahan penyajian
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan
PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal
mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti
membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut. Kemampuan untuk
menemukan kecurangan dari laporan keuangan ditentukan oleh Kompetensi
auditor. Akibat adanya manipulasi tersebut maka Bapepam menjatuhkan sanksi
denda sebesar Rp. 500 juta kepada PT. Kimia Farma Tbk dan kepada auditornya
sebesar Rp. 100 juta (Media Akuntansi, 2004). Kasus yang sama juga terjadi pada
PT. Indofarma Tbk ini diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terhadap
PT. Indofarma Tbk. Yang melatar belakangi kasus PT. Indofarma yaitu karena
setelah diadakan pemeriksaan di kantor akuntan terhadap hasil laporan PT.
Indofarma untuk tahun buku 2004 yang melaporkan adanya kerugian sebesar 60
milyar. Sedangkan banyak kalangan 5 yang mengatakan hingga akhir kwartal
ketiga tahun 2004, indofarma masih mencatatkan keuntungan sebesar Rp. 86
Milyar. Sehingga BAPEPAM menemukan indikasi adanya penyembunyian
informasi penting menyangkut kerugian selama dua tahun berturut-turut yang
diderita PT. Indofarma Tbk. Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam
Abraham Bastari mengatakan temuan ini terungkap setelah Institusinya memanggil
sejumlah pihak, termasuk direksi dan mantan direksi indofarma karena BAPEPAM
menduga ada sesuatu yang disembunyikan dan tidak diungkapkan. Karena
permasalahan inilah maka BAPEPAM meminta kepada TIM untuk secara detail
meneliti khususnya yang berkaitan dengan barang-barang yang dihapus, asal-usul
dari pembelian barang itu,dan mengawasi apakah pembelian itu karena tindakan
kriminal atau salah manajemen. Bukti – bukti yang di temukan bahwa nilai barang
dalam proses dinilai lebih tinggi dari nilai yang seharusnya dalam penyajian nilai
persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2004 sebesar Rp28,87 miliar.
Akibatnya penyajian terlalu tinggi (overstated) persediaan sebesar Rp28,87 miliar,
harga pokok penjualan disajikan terlalu rendah (understated) sebesar Rp28,8 miliar
dan laba bersih disajikan terlalu tinggi overstated dengan nilai yang sama (Badan
Pengawas Pasar Modal, 2004). Tanpa banyak gembar-gembor, pemerintah
menggusur Edy Pramono dari posisinya sebagai orang nomor satu di Indofarma.
Dalam rapat umum pemegang saham Edy digantikan Dani Pratomo. Sebelumnya,
Dani menjadi Presiden 6 Direktur PT Phapros Indonesia. Pergantian ini tidak terlalu
mengejutkan karena Edy sudah tahu dia bakal dicopot. Tapi perubahan manajemen
ini tetap saja mengundang banyak pertanyaan. Kabar di luar menyebutkan bahwa
pemerintah menganggap Edy gagal mengemudikan perusahaan obat yang
berkonsentrasi dalam produksi obat generik itu. Setelah pada tahun-tahun
sebelumnya selalu memetik laba, tahun lalu Indofarma rugi Rp 59 miliar. Kerugian
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pernyataan manajemen lama. Sebelum
audit dilakukan, manajemen Indofarma menghitung kerugian Indofarma paling-
paling Rp 20 miliar. Tapi, setelah audit selesai, kerugiannya justru naik tiga kali
lipat. Kondisi ini jelas tidak bagus bagi pemerintah, yang berniat menjual mayoritas
sahamnya di Indofarma. Rapor merah ini terang akan mengurangi nilai jual
Indofarma, yang banyak diminati perusahaan obat lain. Karena itulah Edy
kemudian digusur. Edy sendiri mengelak dituding sebagai penyebab kerugian.
Menurut dia, kinerja keuangan Indofarma jeblok setelah subsidi kurs untuk obat
generik dihapuskan. Pada saat yang sama, harga obat generik tidak boleh naik.
Akibatnya, kinerja keuangan Indofarma buntung. Edy menceritakan, dari subsidi
saja, pendapatan Indofarma yang raib mencapai Rp 70 miliar, dan potensi
pendapatan yang hilang akibat harga tidak naik malah lebih besar, sampai Rp 110
miliar. Inilah yang kemudian menyebabkan rapor Indofarma merah menyala.
Kendati demikian, banyak pihak yang tidak bisa menerima penjelasan Edy. Auditor
Watch, lembaga yang mengawasi kerja para akuntan publik, menemukan bahwa
biang keladi jebloknya keuangan Indofarma tak lain adalah harga pokok penjualan
yang kelewat tinggi. Koordinatornya, Lan Gumay, mengatakan bahwa 7 pada tahun
2004, dengan penjualan Rp 615 miliar, biaya produksi cuma setengahnya. Tapi,
pada tahun lalu, ongkos produksi melonjak menjadi lebih dari dua pertiga
pendapatan. "Seharusnya auditornya, Hans Tuannakotta dan Mustofa, memberikan
klarifikasi soal ini," kata Lan. Analis bisnis farmasi BNI Sekuritas, Fitri
Murniawati, menyodorkan fakta yang sama. Penjualan Indofarma sepanjang tahun
2005 cuma naik 12 persen, sementara ongkos produksi membengkak 82 persen dan
biaya pemasaran naik 41 persen. Setelah menelusurinya lebih mendalam, Fitri
melihat bahwa pembengkakan biaya terjadi pada Indofarma Global Medika, anak
perusahaan Indofarma yang mendistribusikan produk perusahaan induknya. Data
perusahaan belum diaudit yang dikutak-katiknya menunjukkan bahwa selama
sembilan bulan pertama 2005, beban usaha di anak perusahaan mencapai Rp 39
miliar. Tapi, dalam tiga bulan terakhir, beban usahanya mencapai Rp 31 miliar. Fitri
mengakui bahwa tidak mudah menelurusi penyebab pembengkakan ongkos yang
begitu drastis di Indofarma Global karena ini bukan perusahaan publik. "Kalau
pengeluaran terjadi di induk perusahaan, yang merupakan perusahaan terbuka,
mungkin lebih mudah menganalisisnya," kata Fitri. Sebelumnya, Edy pernah
menjelaskan bahwa ada kesalahan pencatatan stok di Indofarma Global. Kesalahan
ini kemudian menyebabkan Indofarma juga keliru menerapkan strategi pemasaran.
Sialnya, Indofarma hanya melakukan pengecekan stok setahun sekali. "Ada selisih
pencatatan sampai Rp 57 miliar," kata Edy belum lama ini. Tapi benarkah cuma
karena itu? Lan menduga ada dana yang lari ke partai tertentu. Dani kontan
membantahnya. Berdasarkan penelusuran terbatas yang dilakukannya, manajemen
baru belum menemukan ada indikasi 8 penyelewengan pendahulunya. Kesalahan
direksi lama, kata Dani, adalah terlalu lamban mengantisipasi penghapusan subsidi.
Dia mencontohkan Kimia Farma dan Phapros, yang tetap untung kendati subsidi
dihapus. Jadi, agaknya langkah pemerintah mengganti Edy sudah tepat. Namun
pemerintah sebaiknya tak berhenti di situ. Manajemen lama harus
mempertanggungjawabkan kinerjanya. Auditor Indofarma, Hans Tuannakotta &
Mustofa (HTM), sudah memberikan indikasi bahwa ada sesuatu yang salah karena
sebelumnya manajemen mengklaim kerugian cuma Rp 20 miliar. Sayangnya, Chief
Executive Officer HTM, Theodorus Tuannakotta, hanya mengatakan, "Ada yang
kami temukan, tapi tak bisa diungkapkan karena bukan informasi publik."

Anda mungkin juga menyukai