Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH BAHAN TAMBAHAN PANGAN ITP 410

POTENSI TAMARIND SEED POLYSACCHARIDE SEBAGAI


BAHAN TAMBAHAN PANGAN

DHIORAMA AKBAR NOVANDRA F24150015


INTAN SYAH PUTRI F24150019

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
1

LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari, bahan tambahan pangan (BTP) digunakan


secara umum oleh masyarakat untuk membuat produk olahan yang lezat, menarik,
dan tahan lama. Bahan tambahan pangan digolongkan menjadi bahan tambahan
pangan alami dan buatan. BTP alami dipandang lebih aman untuk kesehatan dan
mudah didapat (Aprilliani et al. 2014). Rempah-rempah menjadi salah satu contoh
BTP alami yang biasa digunakan masyarakat untuk mengolah bahan baku menjadi
bahan setangah jadi ataupun bahan jadi.
Indonesia dikenal sebagai “mother of spice” karena kaya akan
keanekaragaman rempah-rempah yang tersebar di wilayah geografisnya. Buktinya,
Indonesia menjadi produsen rempah-rempah sebanyak 21.06% dari total pasar
rempah yang ada di dunia, sementara sebanyak 31.43% rempah-rempah diekspor ke
wilayah ASEAN (Hermawan 2015). Asam jawa merupakan salah satu jenis rempah-
rempah khas Indonesia yang biasa digunakan sebagai bumbu pada masakan atau
bahan baku dalam pembuatan minuman ringan.  Menurut Badan Pusat Statistik
(2015), daerah penghasil asam jawa terbesar di Indonesia yaitu Pulau Bali dan Nusa
Tenggara yang mencapai 90% dari total produksi asam jawa di Indonesia. Produksi
asam jawa di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai 2015 dengan
jumlah produksi pada tahun 2015 sebesar 13444.21 ton. Nilai ekspor asam jawa yaitu
US$ 4 juta dengan tujuan utama negara Asia dan Australia. Rata-rata konsumsi
mingguan asam jawa per kapita pada tahun 2015 yaitu 0.055 ons dengan
pertumbuhan sebesar 4.3%. Namun, dalam kurun waktu tersebut luas areal
pengembangan asam jawa berkurang akibat terjadinya konversi lahan. Data tersebut
menunjukkan bahwa asam jawa sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan pasar
dalam negeri maupun luar negeri.  
Daging buah asam jawa biasa digunakan dalam aneka bahan masakan atau
bumbu sebagai penambah rasa asam pada sayur asam atau campuran rujak. Selain itu,
asam jawa juga dapat digunakan untuk menghilangkan bau amis ikan, bahan sirup,
selai, gula-gula, minuman ringan dan obat tradisional jamu. Bijinya dapat digunakan
2

sebagai bahan substitusi tepung pada pembuatan roti atau kue dan sebagai koagulan
alami pada proses pengolahan limbah (Ramadhani et al. 2013). Biji asam jawa
memiliki potensi sebagai bahan tambahan pangan alami. Hal ini dikarenakan
kandungan polisakarida yang tersusun atas D-galaktosa, D- 7 glukosa dan D-silosa
yang memiliki fungsi sebagai stabilizer, emulsifier, pengental, maupun pembentuk
gel.

ASAM JAWA

Asam jawa (Tamarindus indica) merupakan tanaman tropis yang banyak


tumbuh dan tersebar luas di Indonesia. Di Indonesia, asam jawa memiliki nama yang
berbeda di setiap daerah, seperti bakme (Aceh), kayu asam cumalagi (Minangkabau),
tangkal asem (Sunda), Acem (Madura), Camba (Makassar), Cempa (Bugis) dan asam
jawa (Kalimantan).  Asam jawa termasuk tanaman yang berbuah polong (Fabaceae)
dengan batang pohon yang cukup keras dan dapat tumbuh menjadi besar, serta
memiliki daun yang rindang (Mirnayanti 2018).  Buah asam jawa termasuk buah
sejati tunggal, kering, dan mengandung lebih dari satu biji. Panjang buah 5-15 cm,
tebal 2,5 cm, melengkung dan membungkus biji. Kulit cangkang luar asam jawa
lunak dan daging buahnya asam. Pada tiap polong terdapat 1-10 biji yang dibungkus
oleh daging buah yang lengket. Buah yang telah masak dan melaui proses
pengeringan disebut asem kawak. Biji asam jawa memiliki bentuk yang tidak
beraturan dan berwarna coklat tua atau hitam mengkilat. Bagian biji pada asam jawa
terdapat tiga bagian utama yaitu kulit biji (spermodermis), kulit ari tali pusar
(funiculus), dan inti biji (nukleus seminis). Kulit biji terdiri dari lapisan luar, lapisan
tengah dan lapisan kulit dalam. Inti biji asam terdiri dari lembaga Embrio dan puti
lembaga albumen yang berupa jaringan cadangan makanan sebagai pertumbuhan
buah (Rao 2005).
Buah asam jawa mengandung 8–18% asam tartarat, 2-3.5% pektin, 2-3%
protein, serta  25–45% gula reduksi dengan komposisi 70% glukosa dan 30%
3

fruktosa (Obelesu dan Bhattacharya 2011). Menurut El-siddig et al. (2006),


kandungan asam tartarat pada asam jawa ini memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap rasa asam pada buah asam jawa. Selain mengandung asam tartarat, buah
asam jawa juga mengandung asam malat, asam suksinat, asam sitrat, serta asam
quinic. Adapun biji buah terdiri atas testa (20-30%) dan kernel (70-75%). Biji asam
jawa mengandung protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 13-20% dan minyak
sebesar 4.5-16.2%. Adapun testa mengandung serat sebanyak 20% dan tanin
sebanyak 20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reid dan Edwards
(1995), tepung kernel asam jawa dapat dimurnikan sebagai polisakarida biji asam
jawa. Polisakarida ini memiliki fungsi untuk meningkatkan kapasitas penyerapan air,
kapasitas emulsi, kapasitas dan stabilitas foam (Kumar dan Bhattacharya 2008).

TAMARIND SEED POLYSACCHARIDE

Tamarind seed polysaccharide (TSP) atau tamarind gum merupakan produk


hasil samping dari biji asam jawa (Tamarindus indica linn.) yang diambil bagian
endosperm. TSP sebagian besar terdiri atas komponen glukosa, xylosa, dan galaktosa
(3:1:2) dengan bobot molekul antara 2.5×105 and 6.5×105 unit. Struktur kimia TSP
berupa penggantian rantai (1-4) -ß-D-glucan dengan rantai samping dari-D-
xylopyranose dan ß -D-galactopyranosyl (1-2) -α-D'Xylopyranose yang terhubung
pada ikatan (1-6) menjadi residu glukosa (Zhang et al. 2008).  Adapun kandungan
kimia Tamarind gum terdiri atas protein (12.7-15.4%), lemak (3-7.5%),  karbohidrat
(61-72.2%), serat kasar (7-8.2%), dan mineral (2.45-3.3%).
Proses pembuatan TSP dilakukan dengan biji asam jawa yang telah halus
dilarutkan dengan metanol, natrium hidroksida atau asam sulfat sebagai proses
pengaturan pH, kemudian dipisahkan dari protein, lemak dan mineral dengan cara
sentrifugasi. Filtrat berupa karbohidrat yang tidak larut dikeringkan, diperkecil
ukurannya menjadi bubuk dan distandarisasi agar kualitas tetap sama dalam setiap
produksinya (FAO 2017).
4

Kelarutan

Tamarind seed polysaccharide tidak dapat terdispersi pada air dingin dan
tidak larut pada pelarut organic seperti etanol, methanol, aseton dan eter (Manchanda
et al. 2014). Namun penelitiam yang dilakukan oleh Mehra et al.  (2010),
membuktikan bahwa TSP  dapat larut di dalam air dingin tetapi tidak dapat mencapai
kapasitas viskositas yang maksimal. Kelarutannya dalam air dingin akan meningkat
apabila tamarind gum disintesis dengan garam natrium (SMCA) menjadi
carboxymethylated tamarind (CMT) untuk dapat digunakan sebagai gelling agent
(Rasala et al. 2011).

Viskositas

Tamarind seed polysaccharide merupakan hidrokoloid yang memiliki sifat


sebagai pengental dan pembentuk gel seiring dengan meningkatnya viskositas dari
suatu larutan. Viskositas TSP dipengaruhi oleh konsentrasinya. Pada konsentrasi
rendah, viskostas TSP sangat dipengaruhi oleh suhu. Adapun ada konsentrasi tinggi,
viskositas larutan menurun dengan shear rate yang meningkat atau disebut juga
dengan shear thinning (Khounvilay dan Sittikijyothin 2012; Whistler dan Barkalow
1993). Shear thinning pada TSP disebabkan oleh restrukturisasi molekul polisakarida
pada larutan TSP (Nishinari dan Takahashi 2003).
        Sifat pengental dan penstabil yang dimiliki oleh TSP disebabkan oleh
keterikatan rantai molekul panjang yang bersifat tidak spesifik. Apabila hidrokoloid
digunakan pada konsentrasi yang rendah, maka hidrokoloid tidak dapat bergerak
bebas dan tidak memberikan pengaruh terhadap kekentalan larutan secara signifikan.
Namun, penggunaan konsentrasi yang semakin meningkat dapat menyebabkan
pergerakan molekul sehingga antar molekul dapat berinteraksi. Molekul-molekul
5

hidrokoloid yang berinteraksi menyebabkan rantai molekul yang tidak teratur menjadi
terjerat dan menyebabkan terjadinya pengentalan (Saha  dan Battachyra 2010).

Pembentuk gel

Tamarind seed polysaccharide dapat membentuk gel dengan keberadaan gula


dan alcohol. Pada fase aqueous, kombinasi TSP dengan 40-70 persen gula dapat
membentuk gel pada kisaran pH yang luas (Nishinari dan Takahashi 2003). Gel yang
terbentuk terbukti memiliki tingkat sineresis yang rendah. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Wüstenberg (2015), kekuatan gel maksimum larutan 1 persen
TSP dengan 50 persen gula terjadi pada pH 2. Namun pengasaman dengan asam
anorganik kyat dapat menurunkan viskositas TSP secara tajam.

Aplikasi tamarind seed polysaccharide sebagai BTP

Tamarind seed polysaccharide tidak bersifat toksik dan tidak menimbulkan


iritasi dalam aktivitas homeostatis sehingga aman digunakan sebagai bahan tambahan
pangan. Selain memliki sifat reologi yang dapat mempengaruhi fase cair pada pangan
serta dapat bersifat sebagai pengental dan pembentuk gel, TSP juga dapat digunakan
sebagai emulsifier pada produk es krim, mayonnaise, dan keju (Bagul et al. 2015).
Hal tersebut disebabkan oleh sifat hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh TSP,
sehingga molekul TSP tidak seutuhnya terhidrasi sehingga dapat digunakan sebagai
emulsifier (Picout et al. 2003). Adapun sifat pembentuk gel yang dimiliki oleh TSP
dapat digunakan pada produk pangan seperti jam dan jeli.  TSP yang memiliki
stabilitas pada pH asam hingga netral dapat digunakan juga sebagai pengental dan
stabilizer (Zhang et al. 2008).

Regulasi penggunaan tamarind seed polysaccharide


6

Penggunaan Tamarind seed polysaccharide di Jepang digunakan sesuai


dengan generally recognized as safe (GRAS) pada penggunaan sebagai pengental,
stabilizer, emulsifier, dan gelling agent pada 12 kategori pangan, yaitu es krim, saus
dan kondimen, mayonnaise dan dressing, fruit preserves, desserts, minuman, pikel,
tsukudani, spreads dan  filling, produk tepung-tepungan, dan sup. Selain itu, Amerika
Serikat juga telah menetapkan bahwa TSP dapat digunakan sesuai dengan GRAS
sejak tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Produksi Kehutanan 2015. Jakarta (ID):
BPS.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2017. Tamarind Seed Polysaccharide.
Roma (ITL): FAO.
Aprilliani A, Sukarsa, Hidayah HA. 2014. Kajian etnobotani tumbuhan sebagai bahan
tambahan pangan secara tradisional oleh masyarakat di Kecamatan Pekuncen
Kabupaten Banyumas. Scripta Biologica.1 (1):76-84.
El-Siddig K, Gunasena HPM, Prasa BA. 2006. Tamarind - Tamarindus indica L.
Fruits For The Future 1. Southampton (UK) : Southampton Centre for
Underutilized Crops Southampton.
Hermawan I. 2015.  Daya saing rempah Indonesia di ASEAN periode pra dan pasca
krisis ekonomi global. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 9(2): 153-178.
Khounvilay K, Sittikijyothin W. 2012. Rheological behaviour of tamarind seed gum
in aqueous 991 solutions. Food Hydrocolloids. 26: 334-338.
Kumar CS, Bhattacharya S. Tamarind seed: properties, processing and utilization.
Crit Rev Food Sci Nutr. 2008;48(1) : 1-20.
Manchanda R, Shrivastava B, Arora SC. 2015. Formulation, evaluation, and
optimization of tamarind seed polysaccharide based glipizide sustained release
7

matrix tablets by 32 full factorial design. International Journal of PharmTech


Research. 7(2) : 380-391.
Mehra GT, Manish M, Rashi S, Neeraj G, Mishra DN. 2010. Enhancement of miotic
potential of pilocarpine by tamarind gum based in-situ gelling ocular dosage
form. Acta Pharmaceutica Scienca. 52(1): 145-154.
Mirnayanti A. 2018. Efektifitas waktu perendaman larutan asam jawa dan belimbing
wuluh dalam menurunkan kadar logam berat timbal (Pb) pada kerang kepah
(Polymesoda erosa) [skripsi]. Makassar(ID) : Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.
Nishinari K, Takahashi R. 2003. Interaction in polysaccharide solutions and gels.
Current Opinion in 1021 Colloid and Interface Science. 8 : 396–400.
Obulesu M, Bhattacharya S. 2011. Color Changes of Tamarindus indica L. pulp
during fruit development, ripening and storage. Int J Food Prop.14(3):538–549.
Picout, David R., Simon B. Ross-Murphy, Neil Errington, Stephen E. Harding. 2003.
Pressure Cell 1042 Assisted Solubilization of Xyloglucans: Tamarind.
Biomacromolecules. 4 : 799-807.
Ramadhani GI, Moesriati A. 2013. Pemanfaatan biji asam jawa (Tamarindus indica)
sebagai koagulan alternatif dalam proses menurunkan kadar COD dan BOD
dengan studi kasus pada limbah cair industri tempe. Jurnal Teknik Pomits.(2)1:
22-26.
Rao N. 2005. Use of Plant Material as Natural Coagulants for Treatment of
Wastewater. Haryana (IN): VisionRI Nous.
Rasala TM, Kale VV, Lohiya GK, Moharir KS, Ittadwar AM, Awari JG. 2010.
Chemistry and pharmaceutical applications of excipients derived from
tamarind. Asian Journal of Chemistry. 23(4):1421-1423.
Saha D, Battachyra S. 2010. Hydrocolloids as thickening and gelling agents in food:
a critical 1055 review. Journal of Food Sciences Technology. 47 (6) : 587-597.
Whistler RL dan Barkalow DJ. 1993. Tamarind Gum. In Industrial Gums:
Polysaccharides and Their 1076 Derivatives 3rd Ed., by R. L. Whistler and J.
N. BeMiller, 247-250. San Diego (US) : Academic Press.
8

Wüstenberg T. 2015. Cellulose and Cellulose Derivatives in the Food Industry:


Fundamentals and Applications, First Ed. Weinheim (DE) : Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA.
Zhang J, Xu S, Zhang S, Du Z. 2008. Preparation and characterization of tamarind
gum/sodium alginate composite gel beads. Iranian Polymer Journal. 17 (12):
899-906.

Anda mungkin juga menyukai