Pada suatu hari, seorang pemburu datang ke tempat itu. Ketika dia mengamati
burung itu buang air dan kotorannya segera menjadi selempengan emas, ia sangat
takjub. “Sudah sejak kecil aku menangkap ribuan burung, namun tidak pernah
melihat kotoran burung berubah menjadi emas,”kata pemburu itu dalam hati,
(Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 303).
Kemudian sang pemburu memasang perangkap di pohon itu. Burung yang tidak
mengetahui itu tidak menghiraukannya. Sehingga terperangkap dan pemburu itu
segera mengambil dan memasukkan ke dalam sangkar.
Si pemburu segera menghadap raja dan menuturkan semuanya tentang hal ihwal
burung itu. Sang raja menjadi senang dan berkata kepada pelayan- pelayannya,
“Peliharalah burung ini dengan saksama. Berikanlah dia makanan dan minuman
dengan baik.”
Namun para menteri raja berkata kepadanya, “Yang Mulia, bagaimana Tuan
dapat mempercayai kata-kata seorang pemburu? Apakah mungkin mendapatkan
emas dari kotoran seekor burung? Kami menganjurkan Tuan untuk
mengeluarkannya dari sangkar itu dan melepaskannya.”
Setelah berpikir cukup lama, sang raja memperhatikan nasihat para menteri itu.
Burung itupun dilepas ke alam bebas. Burung itu terbang dan bertengger di atas
pintu gerbang dekat sana dan mengeluarkan tahinya yang segera menjadi emas.
Burung itu berkata;
“Pada mulanya aku bodoh, kemudian pemburu, kemudian para menteri, kemudian
raja. Kita semua adalah kelompok orang bodoh, (Dikutip dari Buku Panca Tantra
ketiga, hal. 77 s/d 79), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 304).