BAB II Risherwandi
BAB II Risherwandi
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Konsep Halitosis
1. Definisi
Halitosis adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak
sedap yang berasal dari rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan seseorang
(Aryetta, Cindy Amallia, 2016). Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan
untuk menerangkan adanya bau atau odor yang tidak disukai sewaktu terhembus
udara, tanpa melihat apakah berasal dari oral ataupun berasal dari non-oral (Tallama,
Fitriani, 2014). Halitosis atau bau mulut adalah bau nafas yang tidak enak, tidak
menyenangkan dan menusuk hidung. Pada banyak kasus, umumnya bau mulut dapat
2. Proses halitosis
Bau mulut atau halitosis merupakan bau tidak sedap yang berasal dari mulut.
Prevalensi halitosis dilaporkan mencapai 61,9% dengan jumlah halitosis pada laki –
laki 61,5 % dan perempuan 38,5 % dan terjadi pada umur lebih dari 45 tahun
berjumlah 83.3 % (Setiawan, Yana, 2015). Akumulasi bakteri dan sisa makanan pada
bagian posterior dan permukaan lidah menjadi penyebab utama halitosis. Penyebab
lain halitosis terjadi karena adanya plak pada interdental dan gingivitis (Goma, Iqra,
D. S., 2017).
Volatile sulfur compounds (VSCs) merupakan unsur utama penyebab halitosis.
Volatile sulfur compounds (VSCs) merupakan hasil dari aktivitas bakteri anaerob
dalam rongga mulut yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah
menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang disekitarnya.
Di dalam aktivitasnya di rongga mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein dan
sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut. Protein akan dipecah oleh bakteri
menjadi asam amino dan rantai peptide yang mengandung sulfur yang selanjutnya
akan menghasilkan volatile sulfur compounds (VSCs). Seperti yang telah diketahui,
di dalam mulut banyak terdapat bakteri baik gram positif maupun gram negatif.
Koyama & Astri Kusumawati, 2008; Djaya, 2000 dalam Nyoman, N.P., 2014).
Bakteri dan asam amino mempunyai peranan penting pada proses pembentukan
volatile sulfur compounds (VSCs) dimana terdapat tiga asam amino utama
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis hal ini terjadi karena
halitosis terutama bagian posterior yang sukar dijangkau dengan sikat gigi
merupakan tempat yang ideal bagi pengumpulan sel epitel nekrotik didalam mulut
(VSCs). Pembentukan volatile sulfur compounds (VSCs) terjadi saat kondisi saliva
yang alkali (pH basa), sebaliknya pada suasana asam (pH rendah) terjadi penurunan
pembentukan volatile sulfur compounds (VSCs) (Goma, Iqra, D. S., 2017; Widagdo,
Faktor yang mempengaruhi halitosis menurut Goma, Iqra, D. S., 2017 dan Hariadi,
Di dalam mulut terkandung lebih dari 400 juta bakteri yang mengeluarkan gas
merupakan suatu senyawa sulfur yang mudah menguap yang merupakan hasil
produksi dari aktivitas bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa berbau
tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah
Penyebab bau mulut yang utama adalah buruknya kebersihan mulut dan penyakit
(VSCs) dalam saliva dijumpai meningkat pada gingiva yang mengalami inflamasi
dan sebaliknya menurun bila gingivanya sehat. Karies gigi dapat memungkinkan
tertimbunnya sisa makanan dalam hal ini merupakan salah satu penyebab
timbulnya halitosis.
Makanan berbau tajam seperti bawang putih, telur, jengkol, dan makanan pedas
akan meninggalkan sisa makanan sehingga bakteri akan memproses sisa makanan
yang tertinggal di mulut, gigi, dan lidah yang menyebabkan halitosis. Bau mulut
yang disebabkan makanan atau minuman hanya bersifat sementara dan mudah
e. Xerostomia
Saliva pada rongga mulut dapat membersihkan mulut dan menghilangkan bakteri
namun kadar saliva setiap orang berbeda. Pada individu yang mempunyai saliva
f. Penyakit sistemik
Orang yang mengidap diabetes yang tidak terkontrol biasanya memiliki bau
manis (acetone breath). Bau mulut busuk dan amis (fishy breath) biasanya keluar
dari penderita gagal ginjal. Orang yang mempunyai masalah pada hidung
misalnya karena polip pada hidung dan sinusitis juga dapat menyebabkan
Banyak orang yang mengeluarkan bau nafas yang tidak sedap pada pagi hari
setelah bangun tidur semalaman. Hal ini sesuatu yang normal terjadi oleh karena
mulut cenderung kering dan tidak beraktivitas selama tidur. Bau nafas ini akan
dibandingkan anak perempuan. Hal ini terjadi karena pengaruh kelenjar saliva
laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga jika saliva
diproduksi cukup banyak maka berisiko terjadi halitosis menjadi lebih besar
karena didalam saliva sendiri terdapat substrat yang mengandung protein dan jika
berdasarkan usia produksi saliva pada lansia akan berkurang karena penurunan
4. Klasifikasi halitosis
Menurut Tallama, Fitriani, 2014 secara umum halitosis dibedakan menjadi 3 jenis
Halitosis tipe ini dibedakan lagi menjadi halitosis fisiologis dan patologis.
Halitosis fisiologis sering juga disebut halitosis sementara. Bau tidak sedap yang
berasal dari bagian posterior dorsum lidah, halitosis tersebut tidak memerlukan
terapi khusus. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi patologis
yang menyebabkan halitosis, contohnya adalah morning bad breath yaitu bau
nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan tidak aktifnya otot pipi
dan lidah serta berkurangnya saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen dan tidak bisa
hilang hanya dengan metode pembersihan yang biasa. Halitosis patologis harus
dirawat dan perawatannya bergantung pada sumber bau mulut itu sendiri. Sumber
penyebab halitosis patologis dibedakan atas intra oral dan ektra oral. Sumber
penyebab intra oral yaitu kondisi patologisnya berasal dari dalam rongga mulut
dan atau bagian posterior dorsum lidah, sedangkan sumber penyebab halitosis
patologis dari ekstra oral adalah kondisi patologisnya berasal dari luar rongga
b. Pseudohalitosis
Disebut juga halitosis palsu yang sebenarnya tidak terjadi tetapi penderita merasa
bahwa mulutnya berbau. Seseorang terus mengeluh adanya bau mulut tetapi
orang lain tidak merasa orang tersebut menderita halitosis. Penanganannya dapat
c. Halitophobia
pseudohalitosis penderita masih tetap merasa mulutnya bau, maka orang tersebut
halitosis, phsychological halitosis, dan self halitosis. Pasien selalu khawatir dan
terganggu oleh adanya halitosis sedangkan pada pemeriksaan oleh dokter atau
dokter gigi tidak ditemukan adanya halitosis yang mengganggu. Pasien dengan
5. Pengukuran halitosis
Menurut Setiawan, Yana. (2015) cara atau metode yang digunakan dalam
a. Metode ini dilakukan dengan mencium langsung bau yang terpancar dari mulut.
nilainya 7, pH asam nilainya <7 dan pH basa >7, semakin basa pHnya semakin
memberikan hasil bacaan skor halitosis dengan melihat adanya indikator volatile
Sulfur Compound (VSC) dalam lima tingkatan, yaitu: 0 (tidak bau), 1 (bau
lemah), 2 (berasa bau), 3 (bau sedang), 4 (bau sekali) dan 5 (sangat bau sekali).
6. Penanganan halitosis
Minumlah air putih sebanyak 8-10 gelas sehari, tujuannya untuk menjaga gusi
selalu basah dan metabolisme tubuh tetap stabil sehingga menghilangkan bakteri
penyebab halitosis dan dianjurkan mengunyah permen karet tanpa gula selama
beberapa menit yang berfungsi untuk mencegah penumpukan bakteri dalam ludah
b. Diet sehat
Mengkonsumsi buah-buahan, terutama apel, wortel, dan buah pir. Buah pir
termasuk salah satu buah-buahan subtropis yang kaya akan gizi, rendah kalori,
dan berserat tinggi. Serat pada buah dapat digunakan sebagai sikat gigi alami yang
mengurangi penumpukan plak pada permukaan gigi. Apel, wortel dan buah pir
juga mengandung vitamin, mineral dan air. Rasa asam dan manisnya dapat
meningkatkan volume air ludah. Peningkatan kadar aliran ludah dapat membantu
terjadinya radang gusi. Alkohol dapat mengurangi produksi air ludah sehingga
d. Oral Hygiene
Oral hygiene secara teratur terutama setiap kali habis makan adalah salah satu
terhindar. Cara lainnya adalah melakukan pembersihan karang gigi secara berkala
mekanis dapat membantu mengeluarkan kotoran yang terjebak di sela sela gigi.
1. Definisi
Oral hygiene akan menjaga kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir (Ring, 2002 dalam
Potter & Perry, 2010). Halitosis banyak terjadi pada pasien dengan oral hygiene yang
menurun terutama pada pasien penurunan kesadaran. Oral hygiene yang menurun
atau buruk mengakibatkan penurunan volume saliva, peningkatan plak gigi sehingga
terjadi kolonisasi mikroorganisme pada orofaring oleh flora yang berpotensi patogen
(Goma, Iqra, D. S., 2017; Widagdo, Yanuaris and Kristina Suntya, 2007).
Oral hygiene harus dilakukan dalam waktu kurang dari 48 jam pada pasien
peneurunan kesadaran, jika tidak dilakukan dalam waktu 48 jam maka akan
mengalami perubahan flora orofaringeal dari gram positif berubah mejadi gram
negatif sehingga terjadi halitosis dan berisiko terjadi pneumonia (Wijaya, Dibyo
Mukti, 2012).
a. Praktik sosial
misalnya jenis oral hygiene, pada masa remaja oral hygiene dipengaruhi oleh
kelompok teman sedangkan pada lansia oral hygiene berubah karena kodisi
kesehatannya.
b. Pilihan pribadi
berhubungan dengan penampilan dirinya. Citra tubuh tiap orang selalu berubah
ubah.
Status ekonomi akan mempengaruhi jenis dan sejauh mana melakukan hygiene.
Jika terjadi masalah ekonomi maka akan sulit dalam melakukan hygiene.
melakukan hygiene.
f. Variable budaya
g. Kondisi fisik
Dalam kondisi dengan keterbatasan fisik biasanya tidak memiliki energi untuk
melakukan hygiene.
kesadaaran.
c. Memeriksa adanya reflek muntah dengan meletakkan spatula lidah pada setengah
j. Jika pasien tidak kooperatif atau kesulitan membuka mulut, memasang jalan
napas oral.
k. Membersihkan mulut dengan sikat gigi dan spatula yang dilapisi kassa yang
dalam lidah dan gigi dahulu terus bagian langit-langit mulut, gusi dan pipi bagian
Mukosa mulut dan lidah terlihat merah muda, lembab. Bibir lembab, mukosa dan
faring tetap bersih. Gusi basah, gigi terlihat bersih dan licin. Lidah berwarna merah
muda dan tidak kotor (bila pasien menggunakan gigi palsu dilepas dahulu dan bila
sehingga digunakan sebagai oral hygiene pada pasien penurunan kesadaran di ruang
ICU (Sharma, Suresh K., & Jasbir Kaur 2012). Chlorhexidine telah terbukti dapat
mengikat bakteri, hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara muatan
positif dari molekul chlorhexidine dan dinding sel bakteri yang bermuatan negatif.
perlekatannya dengan substansi (jaringan rongga mulut). Ikatan yang baik dengan
jaringan lunak maupun keras pada mulut menyebabkan efek chlorhexidine bertahan
dalam jangka waktu yang lama setelah digunakan. Produk yang mengandung
chlorhexidine konsentrasi tinggi harus dijauhkan dari mata dan telinga, karena
digunakan untuk cairan yang kontak lensa (Hennesey, 1973 dalam Puspita, Komang
Yullan, 2014).
lauryl sulfate dan sodium monofluorophosphat. Meskipun data masih terbatas, untuk
sampai dua jam antara waktu menyikat gigi dan berkumur (Kolahi dan Soolari, 2006
dalam Puspita, Komang Yullan, 2014). Berkumur yang terlalu sering menggunakan
chlorhexidine juga dapat menimbulkan sensasi terbakar, perubahan persepsi rasa
dan iritasi (Gurgan dkk, 2006 dalam Puspita, Komang Yullan, 2014).