Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Perusahaan keluarga (family business) merupakan fenomena tersendiri dalam

dunia bisnis, selain jumlahnya yang sangat banyak, perusahaan jenis ini juga memiliki

andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. Menurut Biro Pusat Statistik

perusahaan keluarga di Indonesia mempunyai kontribusi besar terhadap PDB, yaitu

mencapai 82,44 persen (Tantangan Perusahaan Keluarga di Era Bisnis Modern, 2012).

Anderson dan Reeb (2003) serta Campbell dan Mınguez-Vera (2008) menyebutkan

bahwa dalam perusahaan keluarga sering terjadi pendelegasian posisi manajemen

puncak kepada anggota keluarga, sehingga semakin besar persentase anggota dewan

yang mempunyai hubungan keluarga dalam perusahaan. Di Indonesia, sebagian besar

posisi penting dalam perusahaan dikuasai oleh anggota keluarga, seperti pada PT

Ciputra Surya, enam dari delapan yang menjabat sebagai dewan direksi adalah anggota

keluarga dari pendiri yaitu Dr (Hc) Ir. Ciputra.

Hasil keputusan akhir perusahaan masih bergantung pada kebijakan keluarga.

Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Susanto, et al. (2007:182) bahwa pada

mayoritas perusahaan (82%), pemimpin perusahaan yang bukan anggota keluarga akan

meminta persetujuan dari anggota keluarga yang terlibat dalam perusahaan. Melihat

kondisi tersebut maka dapat diprediksi bahwa perusahaan keluarga dapat mengurangi

biaya agensi karena tidak jarang pada perusahaan keluarga, pihak manajemen atau

dewan direksi merupakan keluarga pendiri, sehingga perusahaan dapat menyelaraskan

antara kepentingan manajemen dengan pemilik perusahaan.

Kinerja keuangan dan nilai pasar perusahaan merupakan dua hal yang sangat

penting bagi perusahaan dalam kelangsungan hidupnya, agar mampu berkembang dan

bersaing dengan perusahaan lain. Uniknya di perusahaan keluarga pencapaian profit


harus beriringan dengan keharmonisan keluarga, karena bisnis keluarga dikatakan

sukses apabila mampu menciptakan profit dan terus berkembang seiring dengan

semakin harmonisnya keluarga. Keluarga pendiri sangat berperan dalam menciptakan

nilai dan kinerja perusahaan karena keluarga pendiri memiliki keterikatan psikologis

yang kuat dan komitmen terhadap organisasi daripada orang lain (Arthurs dan Busenitz,

2003). Perusahaan akan menunjukkan kinerja dan nilai yang semakin baik apabila ada

keterlibatan dari pendiri ataupun keluarganya karena pendiri cenderung menunjukkan

kebutuhan yang lebih tinggi untuk berprestasi. Di sisi lain, pemilik non pendiri tidak

selalu memiliki komitmen dan track record seperti yang dimiliki oleh pemilik dari

keluarga pendiri.

Terdapat beberapa perusahaan keluarga yang menjual perusahaannya kepada

orang lain yang bukan anggota keluarga. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa

keadaan, diantaranya karena ingin mengembangkan bisnisnya yang lain, bisnisnya

sudah berada pada ambang kehancuran atau pendirinya sudah meninggal akan tetapi

anggota keluarganya tidak ada yang ingin melanjutkan bisnis tersebut. Sehingga

munculah perusahaan keluarga yang dikelola bukan dari anggota keluarga pendiri.

Perusahaan yang sudah bukan menjadi milik keluarga pendiri, secara otomatis sudah

tidak ada keterlibatan keluarga pendiri di dalam perusahaan tersebut baik itu dalam

bentuk kepemilikan maupun keterlibatan di dalam posisi dewan komisaris dan posisi

dewan direksi karena sudah dikuasai oleh pemilik yang baru. Dengan berpindahnya

perusahaan dari keluarga pendiri ke bukan pendiri dikhawatirkan dapat menurunkan

kinerja dan nilai perusahaan karena meningkatnya biaya agensi dan kurangnya

komitmen dari pemilik serta masalah yang dihadapi pemilik karena tidak seberapa

paham dengan keadaan perusahaan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hamberg, et al,. (2013) bahwa kinerja dan nilai perusahaan keluarga

yang dikelola non pendiri secara signifikan lebih buruk daripada perusahaan keluarga

pendiri dan kinerja tidak berbeda dengan perusahaan lain.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa keterlibatan keluarga pendiri dalam

pengelolaan perusahaan dapat berpengaruh positif bagi kinerja keuangan dan nilai pasar

perusahaan seperti Hamberg et al,. (2013), akan tetapi tidak menutup kemungkinan akan

terjadi sebaliknya bahwa keterlibatan keluarga pendiri juga dapat membawa dampak

negatif bagi perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson dan Reeb, 2003;

Villalonga dan Amit, 2006 bahwa keluarga pendiri dengan tulus mengabdikan diri untuk

perusahaan mereka dan cenderung kepada kepemilikan terkonsentrasi, dengan demikian

ada risiko bahwa pendiri akan mengekstrak manfaat pribadi atau membuat keputusan

ekonomi yang mengatasnamakan pemegang saham minoritas.

Kinerja keuangan (ROA) dan nilai pasar perusahaan (Tobins Q) merupakan dua

hal yang berbeda. Kinerja keuangan menggambarkan kondisi yang dilihat dari kondisi

internal perusahaan, nilai pasar perusahaan merupakan kondisi yang dinilai dari persepsi

pihak eksternal (investor). Perusahaan yang memiliki kinerja keuangan baik belum tentu

memiliki nilai perusahaan yang baik pula. Akan tetapi jika perusahaan memiliki nilai

pasar yang baik maka sudah pasti memiliki kinerja keuangan yang baik pula karena

tidak ada investor yang menilai perusahaan itu baik jika memiliki kinerja keuangan yang

buruk. Maka dari itu peneliti membedakan antara kinerja keuangan dan nilai perusahaan

pada pasar. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh keluarga pendiri terhadap kinerja keuangan dan nilai pasar perusahaan.
LANDASAN TEORI

1. Family Business

Bisnis keluarga didefinisikan sebagai keluarga yang mengendalikan setidaknya

20% kepemilikan saham dan bisnis berada di bawah manajemen atau kendali

manajemen keluarga. Menurut Alderson (2015, p. 140), sebagian besar perusahaan

keluarga adalah UKM yang dimiliki oleh swasta. Ada kecenderungan alami untuk

berasumsi bahwa mereka menghadapi tantangan yang sama dibandingkan dengan bisnis

non-keluarga dengan ukuran yang sama. Valenti, Mayfield dan Luce (2010, hlm. 66)

mencatat bahwa UKM umumnya dimiliki dan dikelola oleh kelompok kecil individu

yang erat yang seringkali merupakan anggota keluarga. Dalam sektor UKM, bisnis

keluarga merupakan bentuk dominan dari organisasi bisnis, serta penggerak utama

perekonomian di seluruh dunia (Tagiuri & Davis, 1996; Bertrand & Schoar, 2006;

Memili, Singal, & Barrédy, 2016).

Bisnis keluarga adalah bisnis yang dimiliki oleh anggota keluarga yang sama

yang membentuk dan / atau mengejar visi bisnis formal atau implisit, yang mencakup

niat anggota keluarga untuk menyerahkan bisnis tersebut kepada generasi berikutnya;

atau jika tidak, bisnis tersebut telah diserahkan kepada anggota keluarga untuk dikelola

dan / atau dikendalikan (Venter, 2003, p. 17). Studi Kapteyn dan Wah (2016) dan

Kasseeah (2016, p. 442) menemukan bahwa mayoritas sektor swasta masih dalam tahap

perkembangan. Selain itu, Kapteyn dan Wah (2016) menunjukkan bahwa 83% dari

semua perusahaan swasta terdapat di sektor informal dan sebagian besar adalah milik

keluarga.
2. Family Ownership

2.1 Struktur Family Ownership

Struktur kepemilikan keluarga didefinisikan sebagai kepemilikan dimana

mayoritas saham dimiliki oleh keluarga, atau keluarga memiliki peran dalam

manajemen perusahaan, sehingga maksud dan kepentingan keluarga turut mengambil

bagian dalam keputusan perusahaan (Anderson & Reeb, 2003; Silva & Majluf, 2008;

Shyu, 2011). Beberapa karakteristik yang mencerminkan perusahaan dengan struktur

kepemilikan keluarga diantaranya adalah anggota keluarga memegang mayoritas aset

perusahaan (Lee, 2004), anggota keluarga berperan sebagai CEO perusahaan atau

menduduki posisi top management perusahaan (Lee, 2004), perusahaan dikendalikan

dan dikelola oleh anggota keluarga (Claessens et al., 2000; Anderson & Reeb, 2003;

Lee, 2004; Barontini & Caprio, 2006; Villalonga & Amit, 2006).

Kriteria pengukuran struktur kepemilikan keluarga cukup beragam. Beberapa

penelitian (Allen & Panian, 1982; Claessens et al., 2000; Gomez-Meija, Larraza-

Kintana, & Makri, 2003) menetapkan bahwa perusahaan dikatakan memiliki struktur

kepemilikan keluarga apabila pimpinan atau keluarga yang memegang saham mayoritas

memiliki lebih dari 5% hak suara. Sementara itu, menurut Barontini dan Caprio (2006)

kriteria struktur kepemilikan keluarga adalah apabila keluarga yang memegang saham

mayoritas memiliki lebih dari 10% hak suara (Maury, 2006; La Porta et al., 1999;

Claessens Djankov, Fan & Lang, 2002). Prabowo & Simpson (2011) yang melakukan

penelitian di Indonesia menggunakan kriteria kepemilikan saham diatas 20% untuk


menyatakan struktur kepemilikan keluarga, sedangkan Bambang & Hermawan (2012)

menggunakan kriteria kepemilikan saham keluarga diatas 5%. Penelitian yang

dilakukan oleh Wiranata & Nugrahanti (2013) menggunakan kriteria memiliki lebih

20% hak suara.

2.2 Pengukuran Struktur Kepemilikan Keluarga

Pengukuran struktur kepemilikan keluarga dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan kriteria adanya kepemilikan saham 10% atau lebih dari total kepemilikan

saham dalam perusahaan atau terdapat anggota keluarga yang menduduki posisi

manajerial dalam perusahaan. Pemilihan 10% sebagai titik cut-off kepemilikan saham

dikarenakan titik tersebut merupakan batas yang signifikan untuk memberikan hak suara

dan kebanyakan negara mewajibkan untuk mengungkapkan kepemilikan saham sebesar

10% atau kurang (La Porta et al., 1999). Selain itu, sudah cukup banyak penelitian yang

menggunakan titik cut-off 10% (Maury, 2006; Barontini & Caprio, 2006; Claessens et

al., 2002; La Porta et al., 1999).

Di Indonesia sendiri, pemakaian persentase 10% dianggap cukup efektif untuk

mengendalikan perusahaan (Siregar, 2008). Selain itu, menurut PSAK 15 kepemilikan

saham kurang dari 20% dapat memiliki pengaruh dalam perusahaan asalkan dapat

dibuktikan dengan jelas. Pemilihan kriteria adanya anggota keluarga yang menduduki

posisi manajerial didasarkan pada karakteristik umum yang ditemui dalam perusahaan

dengan struktur kepemilikan keluarga yaitu adanya anggota keluarga yang menduduki

posisi top management atau CEO perusahaan (Claessens et al., 2000; Anderson & Reeb,

2003; Lee, 2004). Selain itu, dengan adanya anggota keluarga di posisi manajerial dapat
mengurangi konflik antara pihak keluarga dan manajemen (Giovannini, 2010) yang

akan berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan (Martinez et al., 2007).

2.3 Family Ownership dan Kebijakan Dividen

Andres (2008) menyebutkan bahwa perusahaan dikategorikan sebagai

perusahaan keluarga apabila memenuhi setidaknya salah satu dari dua kriteria. Pertama,

pendiri dan/atau anggota keluarganya memiliki hak suara lebih dari 25% atau ada

anggota keluarga dalam manajemen jika keluarga pendiri perusahaan memiliki hak

suara kurang dari 25%. Sementara, di Indonesia terdapat peraturan mengenai

kepemilikan saham suatu perusahaan yaitu keputusan direksi PT. Bursa Efek Jakarta

No.Kep-305/BEJ/07-2004 yang menjelaskan bahwa seorang pemegang saham dapat

disebut sebagai pemegang saham pengendali apabila memiliki 25% atau lebih dari

saham perusahaan. Family Ownership mencerminkan bagian saham perusahaan yang

dimiliki oleh keluarga.Semakin besar family ownership menandakan semakin besar

kontrol yang dimiliki keluarga terhadap perusahaan. Family ownership diukur dengan

rasio jumlah saham semua golongan yang dimiliki oleh keluarga terhadap total saham

yang beredar.

Berdasarkan teori keagenan, masalah keagenan terjadi karena adanya pemisahan

antara kepemilikan dengan kontrol. Salah satu masalah yang timbul adalah

penyalahgunaan free cash flow oleh manager. Jensen (1986) menjelaskan bahwa

manajer memiliki kewenangan untuk menahan kas, yang mana dapat mereka gunakan

untuk kegiatan yang memberikan keuntungan pribadi bagi mereka sendiri, bukan untuk

kepentingan terbaik pemegang saham.Hal ini menyebabkan pemegang saham perlu


mengawasi manajer. Dalam konteks ini, pembayaran dividen yang tinggi dapat

mengurangi free cash flow dan dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengatasi

masalah keagenan.

Dalam perusahaan yang kepemilikan keluarga (family ownership) tinggi,

keluarga sebagai pemegang saham pengendali memiliki kontrol yang kuat terhadap

perusahaan termasuk manajer. Sehingga, masalah keagenan akan semakin minimum

terjadi. Semakin rendah family ownership, semakin tinggi tingkat dividen untuk

mengatasi masalah keagenan. Sebaliknya, semakin tinggi family ownership maka

semakin rendah dividen karena adanya kontrol dan kepercayaan bahwa manajer akan

bertindak sesuai kepentingan pemegang saham. Tetapi, menurut Claessens et al., (2002)

teori keagenan menjelaskan bahwa kepemilikan keluarga selain memiliki dampak

secara positif terhadap masalah keagenan, juga berpotensi meninmbulkan dampak

entrenchment. Seperti yang telah dijelaskan bahwa kepemilikan keluarga akan

mengurangi masalah keagenan dengan menunjuk pengelola yang masih sesuai dengan

kepentingan pemilik (Bhaumik et al., 2010) tetapi konrol yang terlalu besar yang

dimiliki keluarga akan mendorong mereka untuk hanya mementigkan kepentingan

mereka sendiri dan mengeksploitasi pemegang saham minoritas (Morck et al., 2005).

Hubungan antara family ownership dengan kebijakan dividen juga dapat

dijelaskan dengan income needs hypothesis dalam penelitian Isakov dan Weisskopf

(2015). Anggota keluarga memiliki dana dalam jumlah yang signifikan yang

diinvestasikan dalam perusahaan dan mereka tidak dapat menjual saham untuk

mendiversifikasi kekayaannya karena keluarga ingin memiliki kendali perusahaan

dalam jangka panjang. Oleh karena itu, semakin tinggi kepemilikan keluarga, maka
semakin tinggi tingkat pembayaran dividen yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan

pendapatan (income needs) keluarga (Isakov dan Weisskopf, 2015).

Family ownership berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen perusahaan

yang diukur dengan dividend payout ratio. Ketika family ownership atau kepemilikan

keluarga dalam suatu perusahaan tinggi, maka dividend payout ratio akan cenderung

meningkat. Penelitian yang telah dilakukan oleh Isakov dan Weisskopf (2015), Schmid

et al. (2010), Chen (2005), dan Setia-Atmaja et al. (2009) menyatakan bahwa semakin

tinggi tingkat kepemilikan keluarga yang diukur dengan family ownership, maka akan

semakin tinggi pula kebijakan dividen perusahaan. Tingginya dividend payout ratio di

perusahaan keluarga dapat dipengaruhi oleh adanya motif kebutuhan pendapatan

(income needs hypothesis). Keluarga sebagai pemegang saham pengendali memiliki

dana dalam jumlah yang signifikan yang ditanamkan dalam perusahaan dan mereka

tidak dapat menjual saham untuk mendiversifikasi kekayaannya ataupun untuk

konsumsi karena keluarga ingin tetap memiliki kontrol terhadap perusahaan dalam

jangka panjang. Oleh karena itu, keluarga dapat menggunakan kebijakan dividen

perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pendapatan (income needs) mereka (Isakov dan

Weisskopf, 2015).

Penjelasan dapat menggunakan konsep reputation-building behavior yang

dikembangkan salah satunya oleh Gomes (2000). Menurut konsep ini pemegang saham

pengendali yang dalam konteks ini dimilki oleh keluarga sengaja membayarkan dividen

dalam jumlah yang tinggi untuk memperlakukan pemegang saham minoritas secara baik

sehingga akan menurunkan tensi kontrolnya terhadap mayoritas. Selain itu, motivasi

dalam membangun reputasi baik dengan membayar dividen tinggi ini juga mungkin

dilakukan jika perusahaan berencana menerbitkan tambahan ekuitas di masa mendatang.


Karena perusahaan keluarga identik dengan tatakelola yang relative buruk maka dividen

yang tinggi diharpkan dapat mengkompensasi kelemahan tata kelola tersebut.

3. Hubungan antar-Anggota Keluarga dan Bisnis

Hubungan antar-anggota keluarga dan bisnis dalam perusahaan keluarga yang

baik sangat penting untuk memastikan keberlanjutan perusahaan keluarga tersebut

(Bachkaniwala et al., 2001). Maka dari itu, tiap anggota keluarga harus memercayai satu

sama lain dan memiliki komunikasi yang baik, sehingga perusahaan keluarga dapat

sukses (Mokhber et al., 2017). Selain itu, komunikasi yang baik antar-anggota keluarga

dapat meningkatkan kepuasan dan efektivitas suksesi dalam perusahaan keluarga,

sehingga kinerja perusahaan keluarga juga akan baik (Pyromalis & Vozikis, 2009).

Ghee et al. (2015) juga menyatakan bahwa tingkat kepercayaan tinggi dan hubungan

erat antar-anggota keluarga dapat membantu proses suksesi yang lebih baik dan

meningkatkan kinerja perusahaan keluarga. Berdasarkan kajian literatur di atas, maka

hipotesis kedua dari penelitian ini adalah hubungan antar- anggota keluarga dan bisnis

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan keluarga

4. Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan digunakan oleh pihak manajemen untuk melihat dan menilai kondisi

keuangan serta kinerja perusahaan dari sisi profitabilitas. Terdapat beberapa rasio

profitabilitas, salah satunya adalah Return On Assets. Menurut Sudana (2011: 22)

Return on Asset menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh


aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar rasio ini

berarti semakin efisien perusahaan tersebut dalam menggunakan aktivanya. Penelitian

ini hanya mengukur kinerja keuangan dengan menggunakan Return on Assets (ROA),

karena ROA dapat mencerminkan efektivitas dan efisien perusahaan dalam mengelola

seluruh asetnya. Return on Asset dinyatakan dengan rasio berikut :

ROA = Laba Bersih Setelah Pajak

Total Aset

Nilai pasar mencerminkan tinggi rendahnya nilai pasar dari saham beredar.

Menurut Ross (2013), terdapat beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan.

Dua rasio yang relevan adalah market to book ratio dan Tobins Q ratio. Secara konsep,

Tobins Q lebih baik untuk mengukur nilai pasar perusahaan daripada market to book

ratio karena Tobins Q berfokus kepada nilai perusahaan sekarang dibandingkan dengan

seberapa besar biaya untuk mengganti asetnya sekarang. Semakin besar variabel ini

menunjukkan semakin besar nilai pasar suatu perusahaan. Tobins Q dinyatakan dengan

rasio berikut :

Tobins Q = Nilai Pasar Ekuitas + Total Utang

Total Aset

*Nilai Pasar Ekuitas = (Harga saham akhir tahun X Jumlah saham yang beredar)

5. Kepemilikan Keluarga dan Kinerja Keuangan

Facio dan Lang (2002) mensyaratkan minimal 20% saham dikuasai oleh suatu

keluarga tertentu untuk diklasifikasikan Dengan kepemilikan hak suara 20% pada

perusahaan keluarga namun tetap memiliki pengaruh signifikan yakni kekuasaan untuk
berpartisipasi dalam keputusan kebijakan keuangan dan operasional suatu aktivitas

ekonomi, tetapi tidak mengendalikan atau mengendalikan bersama atas kebijakan

tersebut. Keberadaan pengaruh signfikan dapat dibuktikan dengan keterwakilan dalam

dewan direksi dan dewan komisaris, ikut dalam partisipasi proses pembuatan kebijakan

termasuk dividen dan distribusi lain, adanya transaksi material antara entitas dan

investee, pertukaran personal manajerial, dan penyediaan informasi teknis pokok

(PSAK 15, paragraph 5 dan 6)

Adanya keberagaman (variability) kinerja keuangan pada perusahaan keluarga

yaitu terjadinya penurunan dan kenaikan atau stabilnya performa perusahaan. Hal ini

dapat dipengaruhi dengan beberapa faktor kinerja keuangan seperti leverage,

pertumbuhan dan resiko, pajak dan rasio likuiditas. Konflik keagenan yang terjadi

masih terjadi meskipun itu adalah perusahaan keluarga dengan menempatkan anggota

keluarga sebagai salah satu agen, tentu biaya yang dibebankan ke perusahaan akan

bertambah karena adanya biaya keagenan untuk meminimalisir konflik.

Pada perusahaan keluarga memiliki agency problem yang unik, adanya agency

problem ini berhubungan para pemegang saham yang juga ikut menanamkan dananya di

perusahaan tersebut. Sehingga para pemegang saham baik mayoritas ataupun minoritas

dapat terlindungi. Sehingga pihak keluarga yang menduduki posisi top management

agar tidak mementingkan kepentingan pihak keluarga mereka sendiri namun juga ikut

memperhatikan para pemegang saham yang ada didalam perusahaan. Disinilah muncul

agency problem di sebuah perusahaan.

Menurut Mackenzie et al. (2011) pengertian dari kinerja ialah hubungan

pendapatan dan biaya dari suatu entitas selama periode pelaporan. Sedangkan Fahmi
(2012) menyatakan kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk

melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan

aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Hatmoko (2000)

mengemukakan terdapat beberapa kriteria dalam menilai suatu kinerja perusahaan yang

disampaikan dalam berbagai literatur. Kriteria tersebut meliputi finansial maupun non

finansial. Kriteria-kriteria yang berbeda dalam mengukur kinerja perusahaan tersebut

sebenarnya bergantung pada pengukuran kinerja itu sendiri. Jadi dapat disimpulkan

bahwa kinerja keuangan adalah suatu pengukuran atas prestasi perusahaan yang mampu

mencerminkan kondisi keuangan yang sesungguhnya perusahaan itu sendiri. Menelisik

lebih jauh mengenai struktur kepemilikan pada sebuah perusahaan, maka akan

ditemukan bahwa adanya pihak keluarga yang ikut sebagai pihak pengendali atau pun

non pengendali yakni kepemilikannya tidak mencapai 50%.

Pegendalian pada perusahaan tersebut dapat dilakukan dengan melihat hak suara

yang mampu mengendalikan perusahaan disebut juga dengan hak kontrol (La Porta et

al., 1999). Ada dua jenis hak kontrol yaitu hak kontrol langsung dan hak kontrol tidak

langsung. Hak kontrol langsung adalah persentase saham yang dimiliki oleh pemegang

saham pengendali atas nama dirinya pada sebuah perusahaan. Hak kontrol tidak

langsung adalah penjumlahan atas hasil control minimum dalam setiap rantai

kepemilikan (La Porta et al., 1999)

Hak kontrol ini mampu membantu perusahaan yang terkonsentrasi keluarga

untuk mengendalikan perusahaan oleh anggota keluarga yang memiliki saham tidak

mencapai 50%. Perusahaan yang terkonsentrasi keluarga mampu meningkatkan kinerja

perusahaan dengan mengelaborasi lima keunggulan competitive perusahaan keluarga

yaitu adanya kombinasi kepemilikan dan kontrol, berkurangnya kesenjangan informasi,


keberadaan pemegang saham keluarga yang berkesinambungan, perusahaan keluarga

sumber utama entrepreneurship dan inovasi, serta efesiensi investasi. Oleh karena itu

pendekatan ini mampu mempengaruhi kepemilikan keluarga terhadap kinerja

perusahaan (Chu, 2009) .

Kepemilikan keluarga merupakan kepemilikan saham oleh individu maupun

perusahaan yang bukan publik yang mensyaratkan minimal 20% saham dikuasai oleh

suatu keluarga tertentu untuk diklasifikasikan sebagai perusahaan keluarga (Facio Lang,

2001). Pencapaian prestasi sebuah perusahaan dari kinerja keuangan mampu

memberikan gambaran dan kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu.

Perusahaan keluarga mampu meningkatkan kinerja perusahaan dengan mengelaborasi

lima keunggulan competitive perusahaan keluarga yaitu adanya kombinasi kepemilikan

dan kontrol, berkurangnya kesenjangan informasi, keberadaan pemegang saham

keluarga yang berkesinambungan, perusahaan keluarga sumber utama entrepreneurship

dan inovasi, serta efesiensi investasi.

Oleh karena itu pendekatan ini mampu mempengaruhi kepemilikan keluarga

terhadap kinerja perusahaan (Chu, 2009) Perusahaan keluarga memiliki kendali dari

aktivitas perusahaan dan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Pihak keluarga yang

memiliki saham yang cukup besar mampu melakukan sebuah kepentingan yang

bertujuan untuk meminimilisirkan konflik yang terjadi, hal ini berguna meningkatkan

nilai perusahan semaksimal mungkin. Bila pihak keluarga tetap berada pada perusahaan

dan ikut mengelolanya tentu perusahaan telah memiliki visi dan misi untuk jangka

panjang sehingga pencapaian hal tersebut ingin diwujudkan oleh pihak keluarga

(Anderson dan Reeb ,2003)


Moores (2009) menyatakan bahwa sebuah perusahaan yang terpusat pada

kepemilikan keluarga maka akan terdapatnya suatu dinamika anggota keluarga dengan

kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Perusahaan keluarga tidak selalu tertuju pada

tujuan keuangan saja akan tetapi keberlangsungan usaha dalam jangka panjanng

sehingga strategi bisnis yang telah dirancang perusahaan dapat terwujud.

Kepemilikan keluarga mempunyai hak kontrol pada perusahaan. Hak kontrol

adalah hak suara untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan penting perusahaan.

Dengan adanya hak kontrol ini maka kepemilikan keluarga memiliki motivasi yang kuat

dalam melakukan pengawasan perusahaan dan meningkatkan kinerja perusahaan (Astuti

et al., 2015) Keluarga sebagai pemilik perusahaan publik memiliki informasi yang lebih

baik tentang perusahaan yang dapat mendorong mereka untuk menjalankan

perusahaannya dengan perspektif jangka panjang sehingga perusahaan-perusahaan ebih

aktif keterlibatan keluarga cenderung mempunyai kinerja yang lebih baik.(Andersoon

dan Reeb, 2003).

Sejalan dengan perspektif teori keagenan bahwa semakin besar kepemilikan

keluarga akan mengurangi masalah keagenan antara pemilik dan manajemen sehingga

kepemilikan keluarga yang semakin besar mempunyai pengaruh yang bersifat aligment,

manajemen bekerja untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Warsini dan Rosieta,

2013) Sehingga hal ini sejalan dengan aktualisasi yang ada. Pada dasarnya perusahaan

keluarga memiliki self-actualization yakni manajer keluarga berkomitmen untuk

menjalankan perusahaan dengan benar.

Keluarga memilki informasi lebih tentang perusahaan dalam perspektif jangka

panjang. Keluarga pengendali juga memiliki insentif, kekuasaan, dan informasi yang
sama untuk mengawasi manajer. Keluarga dapat mengurangi kemungkinkan tindakan

manajer yang hanya untuk kepentingan pribadi. Kepemilikan terkonsentrasi juga dapat

membantu pemilik untuk mengurangi diskresi manajer. Keluarga tidak mengijnkan ada

strategi buruk berdampak pada kinerja perusahaan.

Perusahaan keluarga tidak selalu tertuju pada tujuan keuangan saja akan tetapi

keberlangsungan usaha dalam jangka panjang sehingga strategi bisnis yang telah

dirancang perusahaan dapat terwujud. Selanjutnya agency Cost berperan sebagai

moderasi antara Kepemilikan Keluarga terhadap Kinerja Keuangan perusahaan. Hal ini

berarti bahwa agency cost yang dikeluarkan oleh perusahaan mampu meminimalisir

biaya perusahaan maka kinerja perusahaan lebih menunjukkan performa yang baik,

serta strategi bisnis berfungsi sebagai moderasi antara kepemilikan keluarga terhadap

kinerja keuangan perusahaan.

6. Famili Governance

Menurut Berent-Braun dan Uhlaner (2012, p. 104), praktik tata kelola keluarga

(FGP) adalah sarana untuk meningkatkan kewirausahaan keluarga pemilik bisnis.

Praktik tata kelola bisnis keluarga adalah alat pembangunan tim yang tidak hanya

meningkatkan efektivitas keluarga pemilik bisnis, tetapi juga bisnis yang dimilikinya.

Meskipun terdapat peningkatan literatur yang ditujukan untuk tata kelola bisnis keluarga

selama beberapa tahun terakhir, namun tidak ada gambaran umum atau konsensus

terkait dengan cara tata kelola keluarga dapat meningkatkan fungsi keluarga dan

keberhasilan jangka panjang keluarga. bisnis (Suess, 2014, hlm. 138). Sistem tata kelola

dalam bisnis keluarga memberikan mekanisme dalam hal bisnis; keluarga bisnis; dan

manajemen, diselaraskan.
Tujuan mendasar dari tata kelola keluarga adalah untuk memperjelas

penghargaan dan tuntutan yang ada dan diantisipasi, untuk membuat partisipasi dalam

bisnis menjadi jelas, untuk mengkomunikasikan peluang bagi keterlibatan keluarga

dalam bisnis, dan untuk memudahkan arus informasi (Suess, 2014, hal. 139). Mengingat

tata kelola keluarga tidak wajib secara hukum; dan tidak ada satu pun aturan standar

tertentu, atau aturan yang mengatur bagaimana urusan bisnis keluarga harus diatur.

Model tiga lingkaran adalah model konseptual teoretis paling tradisional untuk

bisnis keluarga yang tersedia. Model memandang bisnis keluarga terdiri dari tiga

subsistem utama yang tumpang tindih, yaitu, kepemilikan, bisnis dan keluarga (Gersick,

Lansberg, Desjardins, & Dunn, 1999). Pertumbuhan dan pergerakan di masing-masing

subsistem mempengaruhi masalah tata kelola dalam bisnis keluarga. Dalam artikel

mereka, Gersick et al. (1999, p. 289) berpendapat bahwa jika keluarga belajar

mengelola periode transisi secara efektif, ini, pada gilirannya, akan secara dramatis

meningkatkan kemungkinan kelangsungan bisnis keluarga. Model ini juga menyoroti

perlunya hidup berdampingan dengan berbagai pemangku kepentingan dalam

lingkungan bisnis keluarga. Angus (2005, p. 265) mengusulkan model tata kelola yang

terdiri dari prinsip-prinsip, kebijakan dan praktik, sementara Rodrigues dan Marques

(2013, p. 56) dan Lungeanu dan Ward (2012, p. 42) memperluas model tata kelola ini

untuk memasukkan tata kelola badan bisnis keluarga, pertemuan keluarga, pertemuan

keluarga, dewan keluarga, sub-komite dewan, perjanjian keluarga dan kantor keluarga.

Mekanisme tata kelola seperti rencana suksesi, protokol keluarga, dan dewan

keluarga membantu mengatur hubungan ekonomi dan keluarga antara pemilik keluarga

aktif dan pasif. Mekanisme tata kelola meningkatkan transparansi dan juga mengatur

hubungan antara pemilik aktif dan pasif (Corbetta & Salvato, 2004, p. 132). Namun,
hingga saat ini, tampaknya hanya ada sedikit penelitian tentang peran empiris dari efek

mekanisme tata kelola terhadap kelangsungan dan kelangsungan bisnis keluarga. Tata

kelola adalah masalah yang rumit dalam konteks bisnis keluarga karena terkadang

persaingan agenda keluarga, kepemilikan, dan manajemen bisnis. Oleh karena itu, perlu

adanya struktur inti yang mengatur keluarga sekaligus badan usaha. Tata kelola

memungkinkan keluarga untuk menggunakan pengambilan keputusan yang dapat

dimengerti dan transparan untuk menangani peluang dan tantangan kekayaan (Goldhart

& Di-Furia, 2010, hlm. 8). Goldhart dan Di-Furia (2010, p. 8) menyarankan sejumlah

besar proses, termasuk menetapkan tujuan strategis, pemeliharaan hubungan kunci,

menjaga kesehatan keluarga, menjaga akuntabilitas, dan menghargai kinerja.

Struktur tata kelola keluarga menciptakan kerangka kerja, kebijakan, dan tradisi

yang menentukan parameter yang mengatur bagaimana bisnis keluarga dijalankan.

Literatur menganggap sangat penting hubungan antara tata kelola dan tahap siklus

bisnis keluarga. Saat bisnis tumbuh dan bisnis keluarga berkembang ke fase sepupu, tata

kelola menjadi penting untuk menjaga keseimbangan hubungan. Lansberg (1999)

berpendapat bahwa pertimbangan dan upaya yang sama harus ditujukan untuk tata

kelola bisnis keluarga. Arti penting tata kelola bisnis keluarga adalah fungsi dari ukuran

keluarga, dan tahap kepemilikan bisnis. Seiring pertumbuhan bisnis keluarga,

kompleksitas yang timbul dari kebutuhan keluarga dan bisnis menjadi lebih rumit dan

konflik meningkat karena perbedaan tujuan dan strategi (Alderson, 2015, hlm. 140).

Ketika bisnis keluarga berkembang dari awal kewirausahaan mereka, mereka

menghadapi tantangan kinerja dan tata kelola yang unik (Casper, Dias, & Elstrodt,

2010, hlm. 1).


Tata kelola keluarga dan sistem serta proses bisnis adalah penentu utama

keberhasilan transisi dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Tata kelola dalam

bisnis keluarga dimulai dengan visi dan misi keluarga. Rasa tujuan ini, pada gilirannya,

memberikan peta jalan seperangkat struktur proses yang memungkinkan keluarga untuk

membuat keputusan dari waktu ke waktu sesuai kebutuhan untuk memastikan

kelangsungan hidupnya sebagai unit ekonomi (Brown, 2009, hlm. 45). Dalam

mendeskripsikan hubungan antara bisnis keluarga dan bisnis keluarga, Lambrecht

(2005, hlm. 267) menyimpulkan bahwa bisnis keluarga dapat berkembang menjadi

dinasti keluarga hanya jika bisnis tersebut menganut tata kelola yang baik sebagai

prinsip fundamental; Artinya, setiap anggota keluarga menjadi milik keluarga yang

menjadi bagian bisnis. Seiring dengan pertumbuhan bisnis, keluarga dalam bisnis harus

dipandu oleh prinsip-prinsip tata kelola yang baik untuk dihubungkan di antara mereka

sendiri dan dengan manajemen.


DAFTAR PUSTAKA

Setianto, Rahmat Heru & Sari, Putri Kartika. (2017). Perusahaan keluarga dan
kebijakan dividen di Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis 2(2).
Thejakusuma, Novi Dwi Vivian & Juniarti. (2017). Pengaruh Struktur Kepemilikan
Keluarga terhadap Kinerja Perusahaan pada Sektor Pertambangan. Business accounting
review. 5(2).
Anita, Kirmizi , Savitri , Enni .(2016) PENGARUH FAMILY OWNERSHIP
TERHADAP KINERJA KEUANGAN: STRATEGI BISNIS DAN AGENCY COST
SEBAGAI VARIABEL MODERATING . JURNAL EKONOMI . 24 (4) , 1-15 .
Henky Wahyudi Soeparto. Pencapaian Kinerja Perusahaan Melalui Tingkay Kesiapan
Suksesor dan Hunungan Antar Anggota Keluarga dan Bisnis.Article.
Ariani Dewi.2014. Peran Keluarga Pendiri Dalam Menciptakan Kinerja Keuangan dan
Nilai Pasar Perusahaan Pada Perusahaan Keluarga. Jurnal Manajemen Teori dan
Terapan.
Tadu1 , Ruramayi , Chiguvi , Douglas . (2019) The Impact of Family Governance on
the Sustainability and Continuity of Family Businesses in Botswana . International
Journal of Marketing Studies . 11 (4) .

Anda mungkin juga menyukai