Anda di halaman 1dari 4

Klementius Anselmus Loba (166114027)

Ekaristi: Kekuatan dalam Penderitaan

Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia sedang berusaha melawan wabah virus
corona (Covid-19). Boleh dikatakan bahwa virus ini merupakan ‘penderitaan’ yang sedang
dialami oleh manusia. Menurut saya, sebagai orang Katolik, Ekaristi adalah kekuatan yang dapat
‘melawan’ virus ini. Tidak berarti bahwa Ekaristi dapat membuat virus ini hilang lenyap. Tetapi
Ekaristi akan membawa manusia (khususnya orang Kristen) pada solidaritas untuk bersama-
sama melawan virus ini.

 Ekaristi dan Penderitaan

Penderitaan dan Ekaristi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ekaristi tetap
menghidupkan ingatan akan penderitaan Yesus (sengsara dan wafat-Nya). Yesus bersabda,
“Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku”. Perintah Yesus ini di satu pihak bertujuan agar
Gereja dan segenap umat kristiani tidak pernah melupakan penderitaan Yesus. Akan tetapi, yang
harus disadari di sini ialah bahwa kita tidak memuliakan penderitaan itu, melainkan cinta-Nya
kepada umat manusia dan kesetiaan-Nya kepada Bapa. Kita tidak mengenangkan dan
memuliakan penderitaan (sengsara dan wafat), akan tetapi lebih daripada itu yakni kebangkitan-
Nya yang hidup sampai saat ini. Pada konteks ini, kita menemukan kekuatan dan kemenangan
cinta kasih atas penderitaan yang terjadi.

Penyebab mengapa Yesus mengalami penderitaan itu, semata-mata terjadi karena Dia
mau melawan ketidakadilan. Dia tidak bisa melihat ketika orang miskin, sakit, buta, cacat, dan
kusta disebut sebagai pendosa dan diperlakukan dengan tidak adil. Dia ‘marah’ ketika melihat
para pemimpin agama yang lebih mengagungkan hari Sabat daripada meringankan penderitaan
dan menyembuhkan penyakit. Dia membenci semua tindakan religius yang penuh kemunafikan.
Dalam konteks ini, saya boleh mengatakan bahwa cinta dan kasih Yesus dapat mengalahkan
hukum.
 Ekaristi: Sakramen Persatuan

Bagi umat Kristiani, Ekaristi dipandang sebagai sakramen persatuan; yang menyatukan
umat Kristiani dalam satu Tubuh Kristus. Dengan demikian Ekaristi dapat disebut sebagai
sakramen Gereja par excellence.

 Ekaristi: Kekuatan untuk Membawa ‘Kehidupan’

Jika persekutuan dengan Tuhan dan sesama adalah ‘bahasa’ Ekaristi, maka ketika umat
kristiani merayakan Ekaristi, mereka juga harus ‘terpancing’ oleh semua tindakan yang
merendahkan martabat manusia, ketidakadilan dan diskriminasi dalam bentuk SARA. Dalam
konteks ini, saya sedikit ‘terpancing’ untuk mengkritik Gereja Katolik dalam hal menggunakan
Ekaristi untuk membawa ‘kematian (penderitaan)’. Gereja seperti bersifat eksklusif bagi umat
Katolik sendiri. Saya mengatakan demikian, karena Gereja terlalu kaku dalam melarang dan
menolak orang-orang yang dikatakan ‘berdosa’ (orang yang bercerai, aborsi, ekskomunikasi, dll)
untuk berpartisipasi dalam Ekaristi (menerima Tubuh Kristus). Bukankah cinta-kasih adalah
alasan utama Yesus melakukan semua tindakan-Nya, yang mana justru hal inilah yang membuat
Dia dibenci, disiksa dan menderita sampai wafat di kayu Salib?

 Ekaristi: Kekuatan di Dalam Penderitaan

Ekaristi adalah "Tubuh mistik" dan demikian pula Gereja adalah Tubuh mistis, karena ia
diwakili oleh Ekaristi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Ekaristi merupakan
kekuatan yang membawa keadilan sosial dan mengalahkan kejahatan.Tanpa tindakan nyata
terhadap solidaritas dan keadilan, perayaan Ekaristi merupakan tindakan kosong. Inilah yang
harus menjadi bahan refleksi bagi kita umat kristiani.

Sebenarnya, Ekaristi memiliki potensi luar biasa untuk menjadi agen transformasi pribadi
dan global. Perjamuan Terakhir itu, sangat erat kaitannya dengan persembahan diri Kristus yang
memberi, bukan hanya makanan dan minuman, tetapi hidupnya sendiri untuk kebebasan
manusia. Ekaristi menempatkan kita pada misi untuk menyerahkan diri dan melayani sesama.
Perintah Yesus “lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” menyiratkan kita agar selalu
bersiap-siap untuk menyerahkan hidup kita bagi sesama, karena Yesus sendiri telah
menyerahkan hidup-Nya untuk semua orang. Singkatnya, kekuatan Ekaristi hanya akan mulai
dirasakan dengan baik, ketika kita bersatu dan membebaskan sesama kita, dari penindasan dan
ketidakadilan.

Dalam konteks wabah Corona ini, kita bisa menjadikan Ekaristi sebagai kekuatan dalam
penderitaan. Ketika virus corona melanda, ia tidak perna memandang SARA, melainkan melanda
semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, kita harus bersolidaritas dan
bekerja sama untuk menghadapi dan melawan virus ini. Ekaristi adalah pusat dari perjuangan ini.
Tidak perlu lagi melihat dia itu siapa, asalnya dari mana, musuh atau teman dan lain sebagainya.
Melalui tindakan-Nya, Yesus sangat ‘bersemangat’ untuk menunjukkan cinta kasih Allah. Maka
dari itu, kita sebagai umat yang beriman kepada-Nya juga harus seperti itu. Dengan demikian,
kita dapat menjawab perintah Yesus, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku” dengan
jawaban, “sedang kami lakukan Tuhan”. Dalam konteks ini, Ekaristi memberikan kesempatan
agar ‘suara’ Gereja didengar dan dirasakan oleh semua orang.

- Ekaristi di Tengah-tengah Wabah Corona

Hampir di seluruh tempat, Gereja memutuskan agar perayaan Ekaristi ditiadakan. Hal ini
adalah upaya Gereja untuk mencegah penyebaran virus corona. Tentunya, hal ini akan membuat
umat kristiani sedih dan mungkin 'marah' karena tidak bisa merayakan Ekaristi. Dalam konteks
ini, saya mau mengatakan bahwa cara ini merupakan salah satu dari tindakan Gereja untuk
bersolidaritas dan bekerja sama melawan virus corona.

Memang sekarang ada misa live streaming dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana dengan
orang-orang di pelosok yang tidak bisa mengakses dan tidak tahu menahu tentang hal ini?
Lagipula saya mendengar bahwa ada umat juga yang berkomentar, bahwa mereka juga tetap
tidak menerima tubuh Kristus secara nyata. Pada tahap ini, saya mau mengatakan bahwa
kerinduan kita untuk merayakan Ekaristi sudah merupakan nilai penting. Selain itu, seperti yang
sudah dijelaskan di atas bahwa Ekaristi akan 'tampak dan nyata' apabila kita melakukan apa yang
baik. Dalam konteks ini, yang baik itu adalah bersama-sama melawan virus corona. Dengan kata
lain, tindakan Gereja yang tidak merayakan misa, merupakan Sebuah tindakan Ekaristi dalam
bentuk nyata. Alasannya karena, Gereja turut bersolidaritas dan bersama-sama mencegah
penyebaran virus ini.

Anda mungkin juga menyukai