Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga pada tanggal 15 Agustus 2013: Saudara-saudari terkasih! Pada akhir Konstitusinya atas Gereja, Konsili Vatikan II mewariskan kita sebuah meditasi yang sangat indah mengenai Maria yang Tersuci. Biar saya ingat kembali kata-kata yang mengacu pada misteri yang kita rayakan hari ini: “Perawan suci yang terlindungi bebas dari segala noda dosa asal, diangkat tubuh dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi, ketika hidupnya di dunia sudah berakhir, dan ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu atas segala sesuatu” (no. 59). Kemudian menuju akhir, di sana: “Bunda Yesus dalam kemuliaan yang ia miliki dalam tubuh dan jiwa di surga merupakan gambaran dan awal gereja sebagaimana adanya disempurnakan di dunia yang akan datang. Demikian juga, ia bersinar seterusnya di bumi, sampai hari Tuhan datang “(no. 68). Dalam terang dari gambaran yang paling indah dari Ibu kita ini, kita dapat melihat pesan dari bacaan-bacaan Alkitab yang baru saja kita dengar. Kita bisa fokus pada tiga kata kunci: perjuangan, kebangkitan, pengharapan. Kutipan dari Wahyu memperlihatkan visi perjuangan antara wanita dan naga. Sosok wanita, yang mewakili Gereja, adalah, di satu sisi, yang mulia dan penuh kemenangan dan sampai sekarang, di sisi lain, masih dalam kesusahan. Dan Gereja juga seperti itu: jika di surga ia sudah bersatu dengan berbagai cara dalam kemuliaan Tuhannya, dalam sejarah ia terus hidup melalui cobaan-cobaan dan tantangan- tantangan penuh konflik antara Allah dan si jahat, yang disebabkan oleh musuh abadi-Nya. Dan dalam perjuangan yang para murid harus hadapi – semua dari kita, semua murid-murid Yesus, kita harus menghadapi perjuangan ini – Maria tidak meninggalkan mereka sendirian: Ibu dari Kristus dan dari Gereja selalu bersama kita. Ia berjalan bersama kita selalu, ia bersama kita. Dan dalam sebuah cara, Maria berbagi dengan kondisi ganda ini. Dia tentu saja telah masuk, sekali untuk selamanya, ke dalam kemuliaan surgawi. Tapi ini tidak berarti bahwa ia jauh atau terpisah dari kita, melainkan Maria mendampingi kita, berjuang dengan kita, menopang umat Kristiani dalam perjuangan kita melawan kekuatan jahat. Doa bersama Maria, terutama Doa Rosario – tapi dengarkan dengan seksama: Doa Rosario. Apakah kalian berdoa Rosario setiap hari ? Tapi saya tidak yakin kalian melakukannya [orang-orang berteriak “Ya !”] … Benarkah? Nah, doa bersama Maria, terutama Doa Rosario, memiliki dimensi “penderitaan ” ini, yaitu perjuangan, doa yang bertahan dalam pertempuran melawan si jahat dan para kaki tangannya. Doa Rosario juga menopang kita dalam pertempuran itu. Bacaan ke-dua berbicara kepada kita tentang kebangkitan. Rasul Paulus, menulis kepada jemaat di Korintus, menegaskan bahwa menjadi Kristiani berarti percaya bahwa Kristus benar-benar bangkit dari kematian. Seluruh iman kita didasarkan pada kebenaran mendasar yang bukan merupakan gagasan melainkan sebuah peristiwa. Bahkan misteri tubuh dan jiwa Maria diangkat ke surga sepenuhnya tertulis dalam kebangkitan Kristus. Kemanusiaan Bunda “ditarik” oleh Puteranya dalam bagian-Nya sendiri dari kematian kepada kehidupan. Sekali untuk selamanya, Yesus telah masuk ke dalam kehidupan kekal dengan semua umat manusia yang telah Dia ambil dari Maria; dan ia, sang Bunda, yang telah mengikutinya dengan setia sepanjang hidupnya, mengikutiNya dengan hatinya, dan telah masuk bersamanya ke dalam kehidupan kekal yang kita juga sebut surga, paradis, rumah Bapa. Maria juga telah mengalami kemartiran Salib: kemartiran hatinya, kemartiran jiwanya. Ia telah menjalani kesengsaraan Putranya ke kedalaman jiwanya. Ia sepenuhnya bersatu denganNya dalam kematian-Nya, sehingga ia diberi karunia kebangkitan. Kristus adalah buah yang pertama dari antara orang mati dan Maria adalah[buah] yang pertama dari yang ditebus, yang pertama dari “orang-orang yang ada di dalam Kristus”. Ia adalah Ibu kita, tetapi kita juga dapat mengatakan bahwa ia adalah wali kita, saudari kita, saudari tertua kita, ia adalah yang pertama dari yang ditebus, yang telah sampai di surga. Injil menunjukkan kepada kita kata ke-tiga itu: pengharapan. Pengharapan merupakan keutamaan orang-orang yang, mengalami konflik – perjuangan antara hidup dan mati, baik dan jahat – percaya pada kebangkitan Kristus, dalam kemenangan kasih. Kita mendengar Kidung Maria, Magnificat (Kemuliaan): itu adalah lagu pengharapan, itu adalah lagu Umat Allah yang berjalan melalui sejarah. Ini adalah lagu dari banyaknya orang kudus, pria dan wanita, beberapa yang terkenal, dan banyak lagi orang lainnya yang tidak dikenal oleh kita, tetapi diketahui oleh Allah: ibu, ayah, katekis, misionaris, imam, suster, orang-orang muda, bahkan anak-anak dan kakek-nenek: mereka ini telah menghadapi perjuangan hidup sewaktu sedang membawa di hati mereka pengharapan dari yang kecil dan yang rendah hati itu. Maria berkata: “jiwaku memuliakan Tuhan” – saat ini, Gereja juga menyanyikan ini di setiap belahan dunia. Lagu ini terutama kuat di tempat-tempat di mana Tubuh Kristus menderita sengsara. Bagi kita umat Kristiani, di mana pun Salib berada, di sana ada pengharapan, selalu. Jika tidak ada pengharapan, kita tidak kristiani. Itulah sebabnya saya ingin katakan: jangan biarkan dirimu kehilangan pengharapan. Semoga kita tidak kehilangan pengharapan, karena kekuatan ini adalah sebuah rahmat, sebuah karunia dari Allah yang membawa kita maju ke depan dengan mata kita tertuju pada surga. Dan Maria selalu ada di sana, dekat komunitas-komunitas itu, saudara-saudara kita, ia mendampingi mereka, menderita bersama mereka, dan menyanyikan Kemuliaan dari pengharapan bersama mereka. Saudara-saudari terkasih, dengan segenap hati kita marilah kita juga menyatukan diri kita sendiri kepada lagu kesabaran dan kemenangan ini, [lagu] perjuangan dan sukacita, yang menyatukan Gereja yang menang dengan suatu penziarahan, bumi dengan langit, dan yang menghubungkan kehidupan kita menuju keabadian yang kita jalani. Amin. (AR) Paus Fransiskus, Kastil Gandolfo, 15 Agustus 2013 Diterjemahkan dari : www.vatican.va
Paus : Jangan Malu Menjadi Pengikut Yesus
Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Pesta Santo Ignatius Loyola, Pendiri Serikat Yesus pada tanggal 31 Juli 2013: Dalam Ekaristi ini di mana kita merayakan Bapak kita, Ignatius Loyola, dalam terang bacaan-bacaan yang kita telah dengar saya ingin menyarankan tiga pemikiran sederhana, yang dipandu oleh tiga konsep: menempatkan Kristus dan Gereja di pusat; membiarkan diri kita dimenangkan oleh Dia untuk melayani, merasa malu atas kekurangan-kekurangan dan dosa-dosa kita sehingga menjadi rendah hati di mata-Nya dan di mata saudara- saudara kita. 1. Lambang Yesuit kita adalah sebuah monogram bertuliskan akronim dari “Iesus Hominum Salvator” (IHS)–red. Yesus penyelamat Manusia-. Masing-masing dari kalian bisa berkata kepada saya: kita tahu itu dengan sangat baik! Tapi lambang ini terus menerus mengingatkan kita dengan sebuah realitas yang kita tidak boleh lupa: sentralitas Kristus, bagi masing-masing dari kita dan bagi seluruh anggota Serikat yang St Ignatius ingin serukan, tepatnya, [berpusat] pada “Yesus” untuk mengindikasikan titik acuannya. Selain itu, pada awal Latihan Rohani kita juga menempatkan diri kita di hadapan Tuhan kita Yesus Kristus, Pencipta dan Juruselamat kita (lih. EE, 6). Dan ini membawa kita para Yesuit dan seluruh anggota Serikat untuk menjadi “penggembira”, untuk berdiri di hadapan “Kristus yang selalu lebih besar”, yang “Deus sempre maior”, yang “intimior intimo meo”, yang memimpin kita terus keluar dari diri kita sendiri, membawa kita ke kenosis tertentu, “berhenti mengutamakan diri sendiri, mencari manfaat untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri”; (EE, 189). Pertanyaannya: “apakah Kristus adalah pusat hidup saya? Untuk kita, untuk setiap dari kita, pertanyaannya ialah apakah aku benar-benar menempatkan Kristus di pusat kehidupanku?” harus tidak dianggap remeh. Karena selalu ada godaan untuk berpikir bahwa kita berada di pusat; dan ketika seorang Yesuit menempatkan dirinya dan bukan Kristus di pusat [artinya] dia keliru. Dalam bacaan pertama Musa mengungkapkan secara bersikeras kepada rakyatnya bahwa mereka harus mengasihi Tuhan dan hidup menurut jalan-Nya “karena hal itu berarti hidup untuk kalian” (lih. Ul 30:16, 20). Kristus adalah hidup kita! Demikian juga sentralitas Kristus sesuai dengan sentralitas Gereja: mereka adalah dua titik fokus yang tidak dapat dipisahkan: aku tidak bisa mengikuti Kristus kecuali dalam Gereja-Nya dan dengan Gereja-Nya. Dan dalam kasus ini juga kita para Yesuit – dan seluruh anggota Serikat – tidak berada di pusat, kita adalah, boleh dikatakan, sebuah konsekuensi, kita berada pada pelayanan Kristus dan Gereja, Mempelai Kristus Tuhan kita, yang adalah Ibu suci kita Gereja yang hirarkis (lih. EE, 353). Manusia-manusia telah berakar dalam dan berlandaskan pada Gereja: ini adalah apa yang Yesus inginkan dari kita untuk berada. Tidak akan ada jalur paralel atau terisolasi. Ya, cara-cara penelitian, cara-cara kreatif, hal ini memang penting: bergerak keluar ke pinggiran itu, pinggiran-pinggiran orang banyak itu. Untuk alasan ini kreativitas sangat penting, tetapi selalu dalam komunitas, dalam Gereja, dengan rasa memiliki ini yang memberi kita keberanian untuk terus maju. Melayani Kristus adalah mencintai Gereja yang sebenarnya ini, dan yang melayani Gereja dengan murah hati dan dalam semangat ketaatan. 2. Jalan apa yang menuntun pada kehidupan sentralitas ganda ini? Mari kita lihat pengalaman St Paulus yang adalah juga pengalaman St Ignatius. Dalam bacaan ke-dua yang baru kita dengar, Rasul menulis: Aku terus maju menuju kesempurnaan Kristus, karena “Kristus Yesus telah membuatku menjadi milik- Nya sendiri” (Flp 3:12). Bagi Paulus itu terjadi dalam perjalanan ke Damaskus, bagi Ignatius dalam rumah keluarga Loyola, tetapi mereka memiliki sebuah titik mendasar yang sama: mereka berdua membiarkan Kristus membuat mereka menjadi milik-Nya. Aku mencari Yesus, aku melayani Yesus karena Dia telah mencari aku lebih dulu, karena aku dimenangkan olehNya: dan hal ini merupakan hati dari pengalaman kita. Namun Ia pergi lebih dulu, selalu. Di Spanyol ada kata yang sangat ekspresif yang menjelaskan dengan baik : El nos “primerea”, Dia “mendahului” kita. Dia selalu lebih dulu. Ketika kita tiba Dia sudah ada di sana menunggu kita. Dan di sini saya ingin mengingat kembali meditasi pada “Kerajaan dalam Minggu Ke-dua”. Kristus Tuhan kita, Raja yang kekal, memanggil masing-masing dari kita, dengan mengatakan: “kepada siapa pun, kemudian, yang memilih untuk bergabung denganKu, Aku tidak menawarkan apa-apa kecuali sebuah bagian dalam penderitaan-penderitaan-Ku, tetapi jika ia mengikuti Aku dalam penderitaan ia pasti akan mengikuti Aku dalam kemuliaan” (EE, 95); untuk dimenangkan oleh Kristus untuk mempersembahkan kepada Raja ini seluruh pribadi kita dan setiap usaha kita (lih. EE, 96); yang mengatakan kepada Tuhan bahwa kita berniat untuk melakukan yang terbaik kita bagi pelayanan yang lebih sempurna dan pujian yang lebih besar pada yang Mulia, menanggung dengan sabar semua ketidakadilan, semua kekerasan, segala kemiskinan (lih EE, 98). Tapi saat ini pikiran-pikiran saya beralih ke saudara-saudara kita di Suriah. Membiarkan Kristus membuat kita menjadi milik-Nya sendiri selalu berarti berusaha maju ke depan untuk apa yang ada di depan, dengan tujuan Kristus (lih. Flp 3:14), dan hal itu juga berarti meminta diri seseorang dengan kebenaran dan ketulusan : apa yang telah aku lakukan bagi Kristus ? Apa yang sedang aku lakukan bagi Kristus? Apa yang harus aku lakukan untuk Kristus? (lih. EE , 53). 3. Dan saya sampai pada poin terakhir. Dalam Injil Yesus mengatakan: “Barangsiapa menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya …. Sebab barangsiapa malu karena Aku … ” (Luk 9:23; 26). Dan lain sebagainya. Rasa malu Yesuit. Undangan Yesus adalah tidak pernah untuk menjadi malu karena Dia tapi untuk mengikutiNya selalu dengan dedikasi total, percaya padaNya dan mempercayakan diri kepadaNya. Tapi seperti St Ignatius ajarkan kepada kita dalam “Minggu Pertama”, melihat Yesus dan, terutama, melihat Kristus yang Tersalib, kita merasakan perasaan yang paling manusiawi dan paling mulia itu yang adalah rasa malu karena ketidakmampuan untuk mengukur sampai kepadaNya; kita melihat pada kebijaksanaan Kristus dan ketidaktahuan kita, pada kemahakuasaan-Nya dan ketidakberdayaan kita, pada keadilan- Nya dan kelakuan buruk kita, pada kebaikan-Nya dan kejahatan kita (lih. EE, 59). Kita harus memohon rahmat untuk menjadi malu; rasa malu yang berasal dari percakapan yang berkesinambungan dengan belas kasihan-Nya, rasa malu yang membuat kita malu di hadapan Yesus Kristus, rasa malu yang menyelaraskan diri kita dengan hati Kristus yang telah membuat dirinya menjadi dosa karena aku; rasa malu yang mengharmoniskan setiap hati melalui air mata dan menemani kita dalam “penyertaan” dari “Tuhanku”setiap hari. Dan hal ini selalu membawa kita, sebagai individu-individu dan sebagai masyarakat, kepada kerendahan hati, kepada kehidupan kebajikan besar ini. Kerendahan hati yang setiap hari membuat kita sadar bahwa bukan kita yang membangun Kerajaan Allah tetapi selalu rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita; sebuah kerendahan hati yang memacu kita untuk menempatkan seluruh diri kita tidak menjadi pelayan diri kita sendiri atau ide-ide kita sendiri, tetapi melayani Kristus dan Gereja, seperti bejana- bejana tanah liat, rapuh, tidak memadai dan tidak mencukupi, namun yang mengandung harta karun besar yang kita lahirkan dan komunikasikan (lih. 2 Kor 4:7). Saya selalu suka memikirkan waktu senja seorang Yesuit, ketika seorang Yesuit sedang mendekati akhir kehidupan, pada saat ia terbenam. Dan dua gambaran dari Yesuit di waktu senja ini selalu muncul dalam pikiran: sebuah gambaran klasik, gambaran dari St Francis Xavier yang sedang menatap ke arah China. Seni telah begitu sering menggambarkan ini, masa akhir Xavier. Demikian juga dalam sastra, dalam hasil karya seni yang indah dari Pemán. Pada akhirnya, tanpa sesuatu apapun selain berada di hadapan Tuhan, pemikiran ini membuat aku merasa baik. Suasana matahari terbenam yang lain, gambaran lain yang datang ke pikiran sebagai sebuah contoh adalah gambaran dari Pater Arrupe (red- mantan Superior Jendral Yesuit) dalam percakapan terakhirnya di kamp pengungsi, ketika ia katakan kepada kita – sesuatu yang biasa ia katakan – “Aku katakan hal ini seolah-olah ini adalah nyanyian angsaku: berdoalah”. Doa, persatuan dengan Yesus. Setelah menyampaikan kata-kata ini ia terbang ke Roma dan setibanya [di sana] ia terkena stroke yang mengantarnya terbenam – begitu panjang dan begitu penuh teladan – kehidupannya. Dua suasana matahari terbenam, dua gambaran, yang keduanya berguna bagi kita untuk dilihat dan untuk direnungkan. Dan kita seharusnya memohon rahmat ini semoga saat tutup usia kita sendiri akan menyerupai mereka. Saudara-saudara, mari kita kembali kepada Bunda Maria yang membawa Kristus dalam rahimnya dan telah menyertai Gereja saat ia mengambil langkah-langkah pertamanya. Semoga ia membantu kita selalu mengutamakan Kristus dan Gereja-Nya di tengah-tengah kehidupan kita dan pelayanan kita. Semoga ia, yang adalah murid Putranya yang pertama dan yang paling sempurna, membantu kita membiarkan Kristus membuat kita menjadi milik-Nya, untuk mengikuti-Nya dan melayani-Nya dalam setiap situasi; semoga ia yang telah menanggapi dengan kerendahan hatinya yang terdalam pada pesan malaikat: “Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), memungkinkan kita untuk merasa malu pada kekurangan kita sendiri sebelum harta kekayaan itu dipercayakan kepada kita. Semoga hal itu juga memungkinkan kita untuk merasakan kerendahan hati saat kita berdiri di hadapan Allah; dan semoga kita disertai pada perjalanan kita dengan perantaraan bapa kita St Ignatius dan semua Orang Kudus Yesuit yang terus mengajarkan kita untuk melakukan segala hal, dengan kerendahan hati, ad maiorem dei Gloriam, Demi semakin besarnya kemuliaan Tuhan Allah kita. (AR) Paus Fransiskus, Gereja Nama Yesus Yang Paling Suci, Roma, 31 Juli 2013 Diterjemahkan dari : www.vatican.va
Paus : Semoga kita tidak lari dari Salib
Mintalah rahmat yang kalian butuhkan dalam upaya untuk tidak melarikan diri dari Salib: ini adalah pesan Paus Fransiskus kepada umat beriman dalam Misa pada hari Sabtu pagi [28/09/2013] di kapel Domus Sanctae Marthae di Vatikan. Poin – poin pesannya mengikuti bacaan-bacaan harian yang difokuskan pada bagian Injil hari itu, di mana Yesus mengumumkan Sengsara-Nya kepada murid-murid-Nya. “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.” Paus Fransiskus berkata bahwa kata-kata Yesus ini menawarkan hati para murid-Nya, yang menantikan sebuah perjalanan kemenangan. Kata-kata itu adalah kata-kata yang, “dicamkan oleh [para murid-Nya] sedemikian misteriusnya sehingga mereka tidak memahami maknanya.” Paus mengatakan, “[Para murid] takut untuk menanyakan tentang hal [arti perkataan] itu kepadaNya.” Bagi mereka, “lebih baik tidak membicarakan tentang hal itu,” yang, “lebih baik tidak paham, daripada memahami kebenarannya,” yang Yesus telah nyatakan: “Mereka takut akan Salib – mereka takut akan Salib. Petrus sendiri, setelah pengakuan yang sungguh-sungguh di daerah Kaisarea Filipi itu, ketika Yesus kembali mengatakan hal yang sama, mencela Tuhan: “Tidak, Tuhan! Tidak pernah! Bukan ini! “[kata Petrus]. Dia takut akan Salib. Tidak hanya para murid-Nya, namun, tidak hanya Petrus: Yesus sendiri takut akan Salib! Dia tidak dapatmenipu diri-Nya sendiri, Dia tahu. Begitu besar rasa takut Yesus sendiri yang, pada Kamis malam itu Dia sungguh berkeringat darah. Sedemikian besarnya rasatakut Yesus hingga Dia hampir-hampir mengatakan hal yang sama seperti Petrus – hampir:’Bapa, ambillah cawan ini daripadaKu. Jadilah kehendak-Mu! “Inilah perbedaannya.” Salib itu menyebabkan rasa takut bahkan dalam karya evangelisasi, meski, Paus Fransiskus amati, terdapat “aturan” di mana, “murid tidak lebih besar dari Guru. Ada aturan menurut yang mana tidak ada penebusan tanpa penumpahan darah,” tidak ada karya kerasulan yang berbuah banyak tanpa Salib: “Mungkin kita berpikir – masing-masing orang dari kita dapat bertanya-tanya: ‘Dan kepadaku, apa yang akan terjadi? Bagaimana akan jadinya Salibku? “Kitatidak tahu. Kita tidak tahu, tapi akan ada satu. Kita harus berdoa akan rahmatuntuk tidak kabur lari dari Salib ketika ia datang: dengan rasa takut, eh! Itu benar. Itu menakutkan kita. Namun demikian, itulah jalan yang harus ditempuh dalam mengikuti Yesus. Kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus kepada Petrus datang ke pikiran – dalam pemahkotaan Kepausan di Tiberias itu: ‘Apakah engkau mengasihiKu? Damai ! Apakah engkau mencintaiKu? Damai !‘… tapi kata-kata terakhirNya adalah ini: ‘Mereka akan membawa kamu ke mana kamu tidak inginpergi !‘ Janji dari Salib.“ Paus Fransiskus mengakhiri dengan sebuah doa kepada Perawan Maria: “Yang paling dekat kepada Yesus, di kayu Salib, adalah ibu- Nya – ibu-Nya yang terkasih. Mungkin hari ini, saat ini di mana kita berdoa kepadanya, baik adanya untuk meminta darinya bukan rahmat untuk menghapus rasa takut kita – yang harus datang, rasa takut akan Salib… melainkan rahmat yang kita butuhkan untuk tidak kabur lari dari Salib dalam rasa takut. Dia ada di sana dan dia tahu bagaimana untuk berada di dekat Salib.“ (AR) Paus Fransiskus, Domus Sanctae Marthae, 28 September 2013 Diterjemahkan dari: www.news.va
Paus : Bahasa-bahasa untuk mengenal Yesus
Untuk mengenal Yesus, kalian harus melibatkan diri denganNya, seperti yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus pada Misa pagi ini [26/09/2013] di Casa Santa Marta. Paus mengatakan bahwa Yesus akan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dia mengindikasikan tiga bahasa yang diperlukan untuk mengenal Yesus: bahasa pikiran, bahasa hati, dan bahasa tindakan. Siapakah Dia? Dari mana Dia berasal? Dalam pernyataan berdasarkan bacaan-bacaan pada Misa Kamis pagi di kapel residensi Domus Sanctae Marthae di Vatikan, Paus Fransiskus telah berfokus pada pertanyaan yang diajukan Herodes tentang Yesus – sebuah pertanyaan yang semua orang yang menjumpai Yesus akhirnya tanyakan. Paus katakan bahwa pertanyaannya adalah sesuatu, yang, “seseorang tanyakan karena rasa ingin tahu,” atau “seseorang yang mungkin meminta keselamatan.” Dia mencatat bahwa, [dalam] bacaan Injil, kita lihat bahwa “beberapa orang mulai merasa takut dengan Orang ini, karena Dia bisa menghantar mereka kepada sebuah konflik politik dengan orang-orang Romawi.” Seorang bertanya-tanya, “Siapakah Orang ini, yang membuat begitu banyak masalah?” Karena, Paus katakan,”Yesus [benar-benar membuat banyak masalah]”: “Kalian tidak dapat mengenal Yesus tanpa mengalami masalah-masalah. Dan saya berani katakan, “Jika kalian ingin punya masalah, pergi ke jalan untuk mengenal Yesus – kalian akan berakhir dengan memiliki tidak [cuma] satu [masalah], tapibanyak’ Tapi itulah cara untuk mengenal Yesus! Kalian tidak dapat mengenal Yesus di kelas satu (baca: secara ekslusif)! Seseorang dapat mengenal Yesus dengan pergi keluar [ke dalam kehidupan] sehari- hari. Kalian tidak dapatmengenal Yesus dalam damai dan tenang, atau bahkan di perpustakaan: KenaliYesus “. Tentu saja, ia menambahkan, “kita bisa mengenal Yesus dari Katekismus,” karena, “Katekismus mengajarkan kita banyak hal tentang Yesus.” Dia berkata, “kita harus mempelajarinya, kita harus belajar itu.” Jadi, “kita mengenal Putera Allah, yang datang untuk menyelamatkan kita, kita memahami keindahan sejarah keselamatan, tentang kasih Bapa, dengan mempelajari Katekismus itu. “Namun demikian, dia bertanya, berapa banyak orang yang telah membaca Katekismus sejak ia diterbitkan lebih dari 20 tahun yang lalu? “Ya, kalian harus datang untuk mengenal Yesus dari Katekismus – tetapi tidak cukup untuk mengenalNya dengan pikiran: itu adalah sebuah langkah. Namun, [kita] perlu untuk mengenal Yesus dalam dialog denganNya, dengan berbicara denganNya dalam doa, dengan berlutut. Jika kalian tidak berdoa, jika kalian tidakberbicara dengan Yesus, kalian tidak mengenal Dia. Kalian tahu hal- hal tentang Yesus, tapi kalian tidak pergi dengan pengetahuan, yang mana Dia berikan dalam hati kalian melalui doa. Mengenal Yesus dengan pikiran – pelajari Katekismus: mengenal Yesus dengan hati – dalam doa, dalam dialog denganNya. Hal ini membantu kita sedikit, tapi itu tidak cukup. Ada cara ke-tiga untuk mengenal Yesus: yaitu dengan mengikutiNya. Pergi dengan Dia, berjalan bersamaNya.” Hal ini perlu, “pergi, berjalan di sepanjang jalan-jalan, melakukan perjalanan.” Hal ini perlu, kata Paus Fransiskus, “mengenal Yesus dalam bahasa tindakan.” Di sini, kemudian, adalah bagaimana kalian benar-benar dapat mengenal Yesus: dengan “tiga bahasa – dari pikiran, hati dan tindakan” ini. Jika, kemudian, “aku mengenal Yesus dengan cara-cara ini,” katanya sebagai kesimpulan, “aku melibatkan diri denganNya”: “Seseorang tidak dapat mengenal Yesus tanpa ikut melibatkan dirinya sendiridenganNya, tanpa mempertaruhkan hidup kalian [pada] Nya. Ketika begitu banyak orang – termasuk kita – mengajukan pertanyaan ini: ‘Tapi, siapa Dia?’, Firman Allah menanggapi,” Kalian ingin tahu siapa Dia? Baca apa yang Gereja beritahu kalian tentang Dia, berbicara kepadaNya dalam doa dan berjalan di jalanbersamaNya. Dengan demikian, kalian akan tahu siapa Orang ini. “Ini adalahJalan-Nya! Setiap orang harus membuat pilihannya.” (AR) Paus Fransiskus, Domus Sanctae Marthae, 26 September 2013 Diterjemahkan dari: www.news.va
Paus : Hampiri misteri Salib [Kristus]
dengan doa dan air mata Pada Misa Pesta Pemuliaan Salib Suci, Paus Fransiskus mengatakan [bahwa] misteri Salib adalah misteri besar bagi umat manusia, sebuah misteri yang hanya dapat dihampiri dengan doa dan air mata. Dalam homilinya, Paus berkata bahwa dalam misteri Salib itulah kita temukan kisah manusia dan kisah Allah, yang diceritakan oleh para Bapa Gereja dalam perbandingan antara pohon pengetahuan baik dan jahat, di Firdaus, dan pohon Salib: “Pohon yang satu telah mengusahakan begitu banyak kejahatan, [sedangkan]pohon lainnya telah membawa kita kepada keselamatan, kepada kepulihan. Ini adalah serangkaian dari kisah manusia: sebuah perjalanan untuk menemukan Yesus Kristus Sang Penebus, yang memberikan hidup-Nya bagi kasih. Allah, pada kenyataannya, telah mengutus Putera-Nya ke dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan agar dunia bisa diselamatkan melalui Dia. Pohon Salib itumenyelamatkan kita, semua dari kita, dari konsekuensi-konsekuensi pohon lainnyaitu, di mana rasa terlalu percaya diri sendiri, kesombongan, kebanggaan dari kitayang ingin mengetahui segala sesuatu menurut mentalitas kita sendiri, sesuai dengan kriteria kita sendiri, dan juga seturut asumsi kitalah satu-satunya yang ada dan menjadi hakim dunia ini. Ini adalah kisah tentang manusia: dari satu pohon ke[pohon] yang lain”. Di Salib ada “kisah Allah,” lanjut Paus, karena kita dapat katakan bahwa Allah memiliki sebuah kisah. Dalam kenyataannya,” Dia telah memilih untuk mengambil kisah kita dan untuk melakukan perjalanan dengan kita, yang menjadi manusia, yang menerima kondisi dari seorang hamba dan yang membuat diri-Nya taat bahkan sampai mati di kayu salib”: “Allah mengambil arah jalan ini untuk kasih! Tidak ada penjelasan lain: kasihsendiri yang melakukan hal ini. Hari ini kita melihat pada Salib, kisah manusia dan kisah Allah. Kita pandang Salib ini, di mana kalian dapat mencoba madu dari getah itu, madu pahit itu, rasa pahit dari manisnya pengorbanan Yesus itu. Tapi misteri ini begitu besar, dan kita tidak bisa oleh diri kita sendiri melihat denganbaik pada misteri ini, tidak untuk memahami – ya, untuk memahami – tapi untuk merasakan dengan mendalam keselamatan dari misteri ini. Pertama-tama misteri Salib. Ini hanya dapat dimengerti, sedikit, dengan berlutut, dalam doa, tetapi juga melalui air mata: air matalah yang mendekatkan kita dengan misteri ini.“ “Tanpa meneteskan air mata, meneteskan air mata yang tulus,” Paus Fransiskus tekankan, kita tidak pernah dapat memahami misteri ini. Ini adalah “seruan peniten, teriakan saudara dan saudari yang menatap pada begitu banyak kesengsaraan manusia” dan memandang kepada Yesus, namun dengan “berlutut dan meneteskan air mata” dan “tidak pernah sendirian, tidak pernah sendirian!” “Dalam upaya untuk masuk ke dalam misteri ini, yang bukanlah sebuah labirin namun sedikit menyerupainya, kita butuh Ibu-Nya, tangan ibu-Nya. Bahwasanya ia, Maria, akan membuat kita mengerti betapa besar dan rendah hatinya misteri ini; bagaimana manisnya seperti madu dan bagaimana pahitnya seperti getah. Bahwasanya ia akan menjadi seorang yang menemani kita pada perjalanan ini, yang tak seorang pun dapat mengambilnya [bagi kita] jika bukan diri kita sendiri. Masing-masing dari kita harus mengambilnya! Dengan ibu- Nya, [dengan] meneteskan air mata dan [dengan] lutut-lutut kita.” (AR) Paus Fransiskus, Domus Sanctae Marthae, 14 September 2013 Diterjemahkan dari: www.news.va
Paus Fransiskus : Bukalah pintu bagi iman
Mereka yang datang menghampiri Gereja seharusnya menemukan pintu-pintu yang terbuka dan bukannya menemukan orang-orang yang ingin mengendalikan iman. Hal ini adalah apa yang telah Paus katakan pagi ini [25-05-2013] dalam misa di Casa Santa Marta. Injil hari ini menjelaskan kepada kita bahwa Yesus menegur para murid-Nya yang berusaha untuk menghalang-halangi anak-anak yang orang-orang bawa kepada Tuhan untuk menerima berkat. “Yesus memeluk mereka, mencium mereka, menyentuh mereka, semua dari mereka. Semua itu melelahkan Yesus sehingga para murid-Nya” ingin menghentikan hal tersebut”. Yesus marah: “Yesus menjadi marah, kadang-kadang.” Dan Dia berkata: “Biarkan mereka datang kepadaKu, jangan halang-halangi mereka. Karena orang-orang seperti inilah yang empunya Kerajaan Allah.” “Iman umat Allah – Paus mengamati – adalah sebuah iman yang sederhana, iman yang mungkin tanpa banyak teologi, tetapi memiliki teologi batiniah yang tidak salah, karena Roh berada di balik itu.” Paus menyebutkan Konsili Vatikan I dan Vatikan II, di mana dikatakan bahwa “orang-orang kudus Allah … tidak bisa keliru dalam hal-hal kepercayaan” (Lumen Gentium). Dan untuk menjelaskan formulasi teologis ini ia menambahkan:. “Jika kalian ingin mengetahui siapa Maria itu [maka] pergilah ke seorang teolog dan dia akan memberitahu kalian tepatnya siapa Maria itu. Tetapi jika kalian ingin mengetahui bagaimana mencintai Maria [maka] pergilah ke umat Allah yang mengajarkan itu dengan lebih baik.” Umat Allah itu – lanjut Paus -“selalu meminta sesuatu untuk menjadi lebih dekat kepada Yesus, mereka kadang- kadang sedikit ‘ngotot’ dalam hal ini. Tapi itu adalah sifat bersikeras dari mereka yang percaya”: “Saya ingat suatu kali, keluar dari kota Salta, pada pesta perayaan pelindung kota tersebut, ada seorang wanita rendah hati yang meminta berkat imam. Imam ituberkata, ‘Baik, tetapi kamu tadi telah ikut Misa‘ dan menjelaskan keseluruhanteologi berkat di gereja. Engkau telah melakukan dengan baik: “Ah, terima kasih pastor, ya pastor,” kata wanita itu. Ketika imam itu pergi, wanita itu berpaling ke imam yang lain: ‘Mohon berikan berkatmu!‘ Semua kata – kata tadi tidak mengenadengannya, karena dia punya kebutuhan lain:.. keperluan untuk disentuh oleh Tuhan. Itu adalah iman yang kita selalu cari, ini adalah iman yang membawa Roh Kudus. Kita harus memfasilitasikan itu, membuatnya tumbuh, membantunya tumbuh.” Paus juga menyebutkan kisah seorang buta dari Yerikho, yang ditegur oleh para murid karena ia berteriak menangis kepada Tuhan, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” “Injil mengatakan bahwa mereka tidak ingin dia [orang buta itu] berteriak, mereka ingin dia untuk tidak berteriak [namun] sebaliknya dia ingin berteriak lagi,mengapa? Karena dia telah memiliki iman dalam Yesus! Roh Kudus telah menempatkan iman dalam hatinya. Dan mereka berkata, ‘Jangan, engkau tidak boleh lakukan hal ini! Engkau jangan berteriak kepada Tuhan. Aturan resmi tidak memperbolehkan hal itu’. Dan ‘Pribadi ke-Dua Trinitas! Lihatlah apa yang Kaulakukan …’ seolah-olah mereka sedang mengatakan itu, benar?” Juga pikirkan tentang sikap dari banyak umat Kristiani: “Pikirkan umat Kristiani yang baik, dengan niat baik, kita berpikir tentang sekretaris paroki, seorang sekretaris paroki … ‘Selamat malam, selamat pagi, kami berdua – kekasih pria dan kekasih wanita – kami ingin menikah’. Dan bukannyaberkata, ‘Bagus itu!’ Mereka berkata, ‘Oh, baiklah, silakan duduk. Jika kalian ingin Misa, biayanya banyak…’. Hal ini, bukannya disambut dengan baik – yang merupakan sebuah hal yang baik untuk menikah! – Tapi sebaliknya mereka meresponnya dengan ini: ‘Apakah kalian memiliki sertifikat baptis, oke baik … ‘. Dan mereka temukan sebuah pintu yang tertutup. Ketika orang Kristen ini dan orang Kristen itu memiliki kemampuan untuk membuka pintu, berterima kasihlah pada Tuhan untuk fakta dari sebuah pernikahan baru ini… Kita berkali-kalimenjadi pengendali iman, bukannya menjadi fasilitator iman umat.” Dan selalu ada godaan – kata Paus – “mencoba dan mengambil kepunyaan Tuhan.” Dan ia menceritakan kisah lainnya: “Pikirkan tentang seorang ibu tunggal yang pergi ke gereja, di paroki dan kesekretaris dia berkata: ‘Saya ingin anak saya dibaptis’. Dan kemudian orangKristen ini berkata: ‘Tidak, Anda tidak bisa karena Anda tidak menikah!’. Tapi lihat, gadis ini memiliki keberanian untuk menanggung kehamilannya dan tidakmengirim kembali anaknya kepada Pengirim-nya, apa – apaan ini? Sebuah pintu yang tertutup! Ini adalah bukan usaha yang sungguh-sungguh! Hal ini jauh dari Tuhan! Itu tidak membuka pintu-pintu! Juga ketika kita berada di jalan ini, memiliki sikap ini, kita tidak berlaku baik kepada umat, umat itu, umat Allah, selain dari Yesus yang telah menetapkan tujuh sakramen [maka] dengan sikap ini kita akan menetapkan sakramen yang ke-delapan: [yaitu] sakramen kebiasaan pastoral !” “Yesus marah ketika ia melihat hal-hal ini” – kata Paus – karena mereka yang menderita adalah “umat setia-Nya, umat yang Ia sangat kasihi” “Kita pikirkan saat ini tentang Yesus, yang selalu ingin kita semua menjadi lebih dekat kepadaNya, kita berpikir tentang Umat Kudus Allah, orang-orang sederhana, yang ingin lebih dekat kepada Yesus dan kita berpikir tentang begitu banyaknya kebajikan umat Kristiani yang salah dan yang alih-alih membuka pintu mereka malah menutup pintu kebajikan itu… Jadi kita minta kepada Tuhan agar semua orang yang datang ke Gereja menemukan pintu-pintu yang terbuka, menemukan pintu-pintu yang terbuka itu, terbuka untuk bertemu kasih Yesus ini. Kita mohon rahmat ini.” (AR)
Paus Fransiskus, Domus Sanctae Marthae, 25 Mei 2013 Diterjemahkan dari : www.news.va
Paus Fransiskus: Adakah yang menangis
hari ini untuk para imigran? Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat mengunjungi kota Lampedusa untuk menyatakan solidaritasnya bagi para imigran: Para imigran mati di laut, dalam perahu – perahu yang merupakan kendaraan-kendaraan harapan dan menjadi kendaraan-kendaraan kematian. Demikian berita utama di surat – surat kabar. Ketika saya pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu yang lalu, dan menyadari bahwa itu semua terjadi terlalu sering, itu terus datang kembali pada saya seperti duri yang menyakitkan dalam hati saya. Jadi saya merasa bahwa saya harus datang ke sini hari ini, untuk berdoa dan menyatakan tanda kedekatan saya, namun juga untuk menantang hati nurani kita agar tragedi ini jangan sampai terulang. Tolong, jangan biarkan itu terulang! Pertama, bagaimanapun, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan dorongan yang tulus kepada kalian, orang-orang Lampedusa dan Linosa, dan kepada berbagai asosiasi, relawan, dan aparat keamanan yang terus melayani kebutuhan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Kalian hanya sedikit orang, namun kalian menawarkan sebuah contoh solidaritas! Terima kasih! Saya juga berterima kasih kepada Uskup Agung Francesco Montenegro untuk semua bantuannya, upaya-upayanya dan pelayanan pastoralnya yang teliti. Saya menyampaikan salam yang tulus kepada Walikota Giusi Nicolini: terima kasih banyak atas apa yang telah dilakukan dan yang sedang dilakukannya. Saya juga memikirkan dengan penuh kasih para imigran Muslim yang malam ini mulai puasa Ramadhan, yang saya percaya akan menghasilkan buah spiritual berlimpah. Gereja berada di sisi kalian saat kalian mencari kehidupan yang lebih bermartabat untuk diri kalian sendiri dan keluarga-keluarga kalian. Untuk semua dari kalian: O’scia! Pagi ini, dalam terang sabda Allah yang baru saja diwartakan, saya ingin menawarkan beberapa pemikiran yang dimaksudkan untuk menantang hati nurani orang-orang dan menuntun mereka kepada refleksi dan perubahan hati yang konkret. “Adam, di manakah kau?” Ini adalah pertanyaan pertama yang Allah tanyakan kepada manusia setelah dosanya. “Adam, di manakah kau?” Adam kehilangan arahnya, tempatnya dalam penciptaan, karena dia berpikir dia bisa menjadi kuat, mampu mengendalikan segala sesuatu, untuk menjadi Allah. Keharmonisan hilang; manusia telah keliru dan kesalahan ini terjadi kembali terulang lagi juga dalam hubungan- hubungan relasi antar sesama yang lain. “Yang lain itu” bukan lagi seorang saudara atau saudari yang patut dicintai, tetapi hanya seseorang yang mengganggu hidup saya dan kenyamanan saya. Allah mengajukan pertanyaan kedua: “Kain, di manakah saudaramu?” Ilusi akan menjadi kuat, akan menjadi hebat seperti Allah, bahkan akan menjadi Allah sendiri, mengarah kepada seluruh rangkaian kesalahan- kesalahan, sebuah rantai kematian, bahkan sampai menumpahkan darah seorang saudara! Dua pertanyaan Allah ini menggema bahkan hingga hari ini, sedemikian kuat seperti biasanya! Berapa banyak dari kita, termasuk saya sendiri, telah kehilangan arah kita, kita tidak lagi memperhatikan dunia di mana kita hidup, kita tidak peduli, kita tidak melindungi apa yang Allah telah ciptakan untuk semua orang, dan kita akhirnya bahkan tidak mampu mempedulikan satu sama lain! Dan ketika umat manusia secara keseluruhan kehilangan arahnya, yang menghasilkan tragedi seperti halnya yang telah kita saksikan. “Di manakah saudaramu?” Darahnya menangis kepadaKu, kata Tuhan. Ini bukan pertanyaan yang diarahkan kepada orang lain, itu adalah pertanyaan yang ditujukan kepada saya, kepada kalian, kepada masing-masing dari kita. Saudara-saudari dari kita ini telah sedang mencoba melarikan diri dari situasi-situasi sulit untuk menemukan ketenangan dan kedamaian, mereka sedang mencari sebuah tempat yang lebih baik bagi mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka, tetapi sebaliknya mereka menemukan kematian. Seberapa seringkah orang-orang semacam itu gagal menemukan pengertian, gagal menemukan penerimaan, gagal menemukan solidaritas. Dan tangisan mereka naik sampai kepada Allah! Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, orang-orang Lampedusa, atas solidaritas kalian. Saya baru-baru ini mendengarkan salah seorang dari saudara-saudara kita ini. Sebelum tiba di sini, dia dan yang lainnya hidup dari belas kasihan para penyelundup manusia, orang-orang yang mengeksploitasi kemiskinan orang lain, orang-orang yang hidup dari penderitaan orang lain. Berapa banyak orang-orang ini telah menderita! Beberapa dari mereka tidak pernah berhasil di sini. “Di manakah saudaramu?” Siapa yang bertanggung jawab atas darah ini? Dalam literatur Spanyol kita punya komedi Lope de Vega yang menceritakan bagaimana orang-orang dari kota Fuente Ovejuna membunuh gubernur mereka karena dia adalah seorang tiran. Mereka melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tahu siapa pembunuh sebenarnya. Jadi, ketika hakim kerajaan bertanya: “Siapa yang membunuh gubernur?”, Mereka semua menjawab: “Fuente Ovejuna, Yang Mulia”. Semua orang dan tak seorang pun! Hari ini juga, pertanyaan itu harus diajukan: Siapa yang bertanggung jawab atas darah saudara dan saudari kita? Tidak seorang pun! Itu adalah jawaban kita: Bukan aku, aku tidak ada hubungannya dengan itu, itu pasti orang lain, tetapi tentu bukan aku. Namun Allah bertanya kepada masing-masing dari kita: “Di mana darah saudaramu yang menangis kepadaKu itu ?” Hari ini tidak seorangpun di dunia kita merasa bertanggungjawab, kita telah kehilangan rasa tanggung-jawab untuk saudara-saudara kita. Kita telah jatuh ke dalam kemunafikan imam dan orang Lewi yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati: kita melihat saudara kita sekarat di pinggir jalan, dan mungkin kita katakan pada diri kita sendiri: “jiwa yang malang …!”, dan kemudian pergi meneruskan perjalanan kita. Ini bukanlah tanggung-jawab kita, dan dengan itu kita merasa diyakinkan, ditenangkan. Budaya kenyamanan, yang membuat kita hanya memikirkan tentang diri kita sendiri, membuat kita tidak peka terhadap tangisan-tangisan orang lain, membuat kita hidup dalam gelembung-gelembung sabun yang, bagaimanapun indahnya, tidak penting; mereka menawarkan ilusi singkat dan kosong yang mengakibatkan ketidakpedulian terhadap orang lain; memang, itu bahkan mengarah pada globalisasi ketidakpedulian. Dalam dunia global ini, kita telah jatuh ke dalam globalisasi ketidakpedulian. Kita telah menjadi terbiasa terhadap penderitaan orang lain: itu tidak mempengaruhiku, itu tidak memprihatinkanku, itu bukanlah urusanku! Di sini kita bisa memikirkan tentang karakter Manzoni itu – “yang tidak disebutkan namanya”. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita semua “tidak disebutkan namanya”, bertanggung jawab, namun tak bernama dan tak berwajah. “Adam, di manakah kau?” “Di manakah saudaramu?” Ini adalah dua pertanyaan yang Allah tanyakan pada awal sejarah manusia, dan yang Ia juga tanyakan kepada setiap pria dan wanita di zaman kita sendiri, yang juga Ia tanyakan kepada kita. Tapi saya ingin kita mengajukan pertanyaan ketiga: “Apakah salah satu dari kita telah menangis karena situasi ini dan lainnya?” Apakah salah satu dari kita telah berduka atas kematian saudara-saudara dan saudari-saudari ini? Apakah salah satu dari kita telah menangis karena orang-orang yang berada di kapal itu? Karena ibu-ibu muda yang sedang membawa bayi-bayi mereka? Karena orang-orang yang telah sedang mencari sarana penunjang keluarga-keluarga mereka? Kita adalah masyarakat yang telah lupa bagaimana untuk menangisi, bagaimana untuk mengalami rasa iba – “menderita” dengan sesama lainnya: globalisasi ketidakpedulian itu telah mengambil dari kita kemampuan untuk menangis! Dalam Injil itu kita telah dengar tangisan itu, ratapan itu, ratap tangis yang besar itu: “Rahel menangis karena anak-anaknya … karena mereka tidak ada lagi”. Herodes menabur kematian untuk melindungi kenyamanannya sendiri, gelembung sabunnya sendiri. Dan begitu seterusnya … Mari kita mohon Tuhan untuk menghapus sifat Herodes yang bersembunyi di hati kita, marilah kita mohon kepada Tuhan akan rahmat untuk menangis atas ketidakpedulian kita, untuk menangis atas kekejaman dari dunia kita, dari hati kita sendiri, dan dari semua orang itu yang dalam anonimitas membuat keputusan-keputusan sosial dan ekonomi yang membuka pintu itu kepada situasi-situasi tragis seperti ini. “Telah adakah seorang menangis?” Hari ini telah adakah seorang menangis di dalam dunia kita ? Tuhan, dalam liturgi ini, sebuah liturgi tobat, kita mohon pengampunan atas ketidakpedulian kita kepada begitu banyak saudara dan saudari kita. Bapa, kita mohon pengampunan-Mu bagi mereka yang terlena dan tertutup di tengah kenyamanan-kenyamanan yang telah mematikan hati mereka, kita mohon pengampunan-Mu bagi mereka yang oleh keputusan-keputusan mereka pada tingkat global itu telah menciptakan situasi-situasi yang mengarah pada tragedi-tragedi ini. Ampunilah kami, Tuhan! Hari ini juga, Tuhan, kita mendengar Engkau bertanya: “Adam, di manakah kau?” “Di manakah darah saudaramu itu ?” (AR) Paus Fransiskus, Lampedusa, 8 Juli 2013 Diterjemahkan dari : www.vatican.va
Pesan Suci Paus Fransiskus, Hari Minggu Misi Sedunia 2013 Saudara dan saudari yang kukasihi, Tahun ini kita merayakan Hari Minggu Misi atau Evangelisasi menjelang penutupan Tahun iman, yang telah merupakan momen penting untuk mempererat persahabatan kita dengan Tuhan dan untuk menegaskan perjalanan kita sebagai Gereja yang mewartakan injil dengan berani. Dalam perspektif ini saya ingin mengembangkan beberapa pemikiran. 1. Iman merupakan anugerah Allah yang berharga. Allah membuka hati kita agar kita dapat mengenal dan mengasihi Dia. Ia mau menjalin hubungan dengan kita agar kita dapat mengambil bagian dalam hidup- Nya agar hidup kita penuh makna, lebih baik dan lebih indah. Allah mengasihi kita! Akan tetapi iman itu meminta tanggapan kita, meminta agar kita berani menyerahkan diri kepada Allah, meminta agar kita mengasihi seperti Allah mengasihi, dan meminta agar kita tahu berterima kasih kepada Allah atas kerahimanNya yang tak terbatas. Iman itu tidak dianugerahkan kepada orang tertentu saja melainkan kepada semua orang sebab hati semua orang ingin dikasihi Allah, ingin mengalami keselamatan dari Allah! Iman itu adalah sebuah anugerah yang tak boleh dinikmati sendiri, minta dibagikan. Jika kita tidak berbagi iman itu, kita menjadi orang kristiani yang terisolir, yang mandul dan sakit. Pewartaan injil adalah bagian integral dari identitas murid Kristus dan komitmen konstan yang menjiwai kehidupan Gereja. “Semangat misioner adalah tanda nyata kedewasaan komunitas gerejani ” (Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Verbum Domini, 95). Setiap komuni- tas adalah “dewasa” apabila mengakui imannya dengan bangga, merayakannya dengan penuh sukacita dalam liturgi, mewujud-nyatakan kasih dan mewartakan Sabda Allah tak henti-hentinya sambil keluar dari lingkup hidupnya sendiri untuk dibawa ke “masyarakat pinggiran”, terutama kepada mereka yang belum sempat mengenal Kristus. Konsistensi iman di tingkat pribadi dan komuniter diukur juga dari kemampuan berbagi iman itu dengan sesama, disebarluaskan, dijelmakan menjadi kasih, menyaksikan Kristus kepada orang yang dijumpai dan kepada mereka yang mengambil bagian dalam perjalanan hidup bersama dengan kita. 2. Tahun iman yang mengenangkan 50 tahun dimulai Konsili Vatikan II, merupakan dorongan agar seluruh Gereja memiliki kesadaran baru akan kehadirannya dalam dunia zaman ini dan akan misinya di antara bangsa-bangsa. Tugas misi ini tidak menyangkut hanya secara geografis tetapi juga bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan dan pribadi-pribadi sebab “garis batas iman” tidak hanya melintasi daerah dan tradisi-tradisi, tetapi juga hati setiap orang laki-laki dan perempuan. Konsili Vatikan II telah menegaskan bahwa tugas perutusan misioner, tugas memperluas perbatasan iman, adalah tugas setiap pribadi dan setiap komunitas kristiani,”Karena umat Allah hidup dalam jemaat- jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, serta dengan cara tertentu kelihatan di situ, maka adalah juga tugas jemaat- jemaat itu memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa”. (Ad Gentes, 37). Setiap komunitas hendaknya merasa disapa oleh Yesus sendiri ketika Ia berpesan kepada para Rasul agar mereka “menjadi saksi-Nya di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis 1,8). Sapaan Yesus ini merupakan dimensi mutlak kehidupan kristiani, sebab kita semua diutus mewartakan injil dengan perkataan dan perbuatan kepada semua orang. Saya ajak para uskup, para imam, para dewan imam dan dewan pastoral, setiap orang dan setiap kelompok yang diberi tanggung jawab dalam Gereja agar memberikan perhatian khusus kepada dimensi misioner dalam program-program pastoral dan pendidikan, sadar bahwa tugas perutusan itu belum memadai kalau tidak mencakup tanggung jawab dan tekad “memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa.” Dimensi misioner itu bukan sekedar sejumlah program dan kegiatan dalam kehidupan kristiani, melainkan semangat dan spiritualitas yang menjiwai semua segi kehidupan kristiani. 3. Sering karya evangelisasi menemukan hambatan-hambatan bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam komunitas kristiani itu sendiri seperti kurangnya semangat, tidak adanya sukacita, kurang minat dan lebih-lebih kurang pengharapan dalam mewartakan pesan Kristus kepada semua orang dan dalam membantu orang berjumpa dengan Kristus. Masih ada orang yang berpikir bahwa mewartakan kebenaran Injil memperkosa kebebasan manusia. Dalam hal ini Paus Paulus VI mempunyai kata-kata inspiratif,” Tentu kelirulah memaksakan sesuatu pada hati nurani saudara-saudara kita. Tetapi mengajukan kepada hati nurani manusia kebenaran tentang Injil dan penebusan dalam Yesus Kristus dengan jelas dan dengan menghormati sepenuhnya pilihan- pilihan yang akan diambilnya nanti, … itu merupakan suatu kehormatan bagi kebebasan manusia”. (Anjuran. Ap. Evangelii Nuntiandi, 80 / EN 80). Dengan berani dan dengan senang hati serta dengan penuh hormat hendaknya kita senantiasa mengundang orang berjumpa dengan Kristus, dan menjadi pembawa Injil-Nya. Yesus telah datang di tengah-tengah kita untuk memperkenalkan jalan keselamatan dan kita telah diberi tugas perutusan untuk mewartakan keselamatan itu kepada semua orang sampai ke ujung bumi. Sering kita saksikan bahwa kekerasan, kepalsuan, dan kesesatanlah yang dikedepankan dan yang disodorkan. Maka pada masa kini adalah sangat urgen menampilkan hidup yang baik menurut injil melalui pewartaaan dan kesaksian, dan ini hendaknya dilakukan mulai dari dalam Gereja itu sendiri. Sebab, dalam perspektif ini setiap penginjil hendaknya ingat sebuah prinsip yang mendasar, bahwa Kristus tak dapat diwartakan tanpa Gereja. Paus Paulus VI menulis,”Penginjilan bukanlah merupakan suatu kegiatan individual dan terisolir; tetapi penginjilan adalah suatu kegiatan yang secara mendalam bersifat gerejani. Bila seorang pengkotbah di tempat paling tersembunyi, seorang katekis, atau seorang pastor di tempat yang paling jauh, berkotbah tentang Injil, mengumpulkan jemaat, mewartakan iman, melayani sakramen, meskipun ia sendirian, ia melakukan suatu kegiatan gerejani. Ia tidak bertindak atas suatu perutusan yang berasal dari dirinya sendiri atau berdasarkan suatu inspirsi pribadi, tetapi dalam kesatuan dengan perutusan Gereja dan atas nama Gereja”. (E.N. 60). Dan ini memberi kekuatan kepada misi, pun pula membangkitkan kesadaran dalam sang misionaris dan penginjil bahwa ia tak pernah sendirian, melainkan ia adalah bagian dari dari tubuh yang satu yang dijiwai oleh Roh Kudus. 4. Pada masa kini, mobilitas yang sudah umum dan kemudahan komunikasi melalui media, sudah mencapuradukan orang, bangsa, pengetahuan, pengalaman. Karena alasan kerja, keluarga-keluarga berpindah dari satu benua ke benua yang lain; pertukaran profesional dan kebudayaan, turisme dan fenomena serupa mengakibatkan pergerakan orang yang luas. Kadang-kadang komunitas-komunitas paroki pun merasa sulit mengenal dengan tepat dan pasti, siapa-siapa tinggal dalam satu daerah secara tetap atau hanya sementara. Terjadi juga bahwa di daerah yang pernah terinspirasi oleh iman, bertambah jumlah orang yang merasa diri jauh dari iman, menjadi acuh tak acuh terhadap agama atau terikat dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Tak jarang, beberapa orang beriman mengambil keputusan yang menjauhkan diri dari iman, dan dengan demikian mereka sepantasnya menerima ‘evangelisasi baru’. Tambahan lagi bahwa masih begitu banyak umat manusia yang belum digapai oleh Kabar Baik Yesus Kristus. Sementara itu, kita sedang mengalami suatu masa krisis yang menyentuh banyak aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang ekonomi, finansial, keamanan, lingkungan, tetapi juga tentang arti kehidupan dan nilai-nilai mendasar yang menjiwainya. Kehidupan bersama ditandai oleh ketegangan dan konflik, yang menimbulkan kesulitan dan ketidaknyamanan dalam mencari jalan bagi suatu perdamaian yang lestari. Dalam situasi yang rumit ini, di mana cakrawala masa kini dan masa depan dikelabui oleh awan yang mengancam, menjadi lebih mendesak lagi membawa dengan gagah berani Injil Kristus. Injil ini menyampaikan pewartaan tentang harapan, rekonsiliasi, persekutuan, kedekatan Allah dengan belaskasih-Nya, keselamatan-Nya serta berita bahwa kasih Allah itu mampu mengatasi kegelapan kejahatan dan menuntun di jalan kebaikan. Manusia masa kini membutuhkan cahaya yang pasti yang menerangi jalannya dan ini dia mendapatnya hanya dalam pertemuan dengan Kristus. Mari kita bawa ke dunia ini, melalui kesaksian dan kasih kita, harapan yg ditimbulkan oleh iman kita. Misionaritas Gereja kita bukan proselitisme, sebaliknya adalah kesaksian hidup yang menerangi jalan, yang membawa harapan dan kasih. Gereja kita – saya ulangi sekali lagi – bukan organisasi sosial, perusahaan atau LSM: dia adalah komunitas orang yg dijiwai oleh Roh Kudus, yang sudah mengalami dan meng- hayati kekaguman perjumpaan dengan Yesus Kristus dan ingin berbagi pengalaman kegembiraan ini, dan berbagi Pesan keselamatan yang dibawa oleh Tuhan. Roh Kudus lah sedang menuntun Gereja dalam per- jalanan ini. 5. Saya ingin mengajak semua agar menjadi pembawa Kabar Baik Kristus dan saya sangat berterima kasih kepada semua misionaris, laki-laki dan perempuan, kepada para imam Fidei Donum, kepada para biarawan/ti, kepada semua orang beriman yang semakin hari semakin banyak yang mendengar panggilan Tuhan dan meninggalkan tanah airnya guna melayani Injil di tempat dan kebudayaan yang berbeda. Saya ingin pula menggarisbawahi bahwa Gereja-gereja yang masih muda dengan berani sedang mengambil komitmen untuk mengirim misionarisnya kepada Gereja-gereja yang dalam kesulitan – tak jarang kepada Gereja-gereja yang lebih tua juga – dan dengan demikian membawa semangat yang segar dan antusiasme yang menjadi ciri khas penghayatan imannya, yang memperbarui hidup dan memberi harapan. Sesuai dengan pesan Yesus “pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridku” (Mt 28:19), hidup dalam suasana universal ini merupakan suatu kekayaan bagi setiap gereja lokal, bagi setiap komunitas; memberikan misionaris tak pernah merupakan suatu kerugian, sebaliknya suatu keuntungan. Saya mendorong semua yg mendengar panggilan ini supaya menjawab dengan hati besar kepada suara Roh, sesuai dengan status hidup masing-masing, dan supaya tidak takut mengikuti Tuhan. Saya ajak juga para Uskup, keluarga-keluarga religius, komunitas-komunitas dan kelompok-kelompok kristiani supaya, dengan visi yang luas dan disernement yang tepat, mendukung panggilan misioner Ad Gentes dan membantu Gereja-gereja yang membutuhkan imam, religius dan awam guna memperkuat komunitas kristiani. Perhatian ini seharusnya hidup juga di antara Gereja-gereja anggota suatu konferensi Uskup tingkat nasional atau regional: sangat penting bahwa Gereja-gereja yang lebih kaya akan panggilan, membantu dengan hati besar Gereja-gereja yang menderita karena kekurangannya. Saya ajak juga para misionaris, laki-laki dan perempuan, khususnya imam-imam Fidei Donum dan awam, supaya hidup dengan gembira pelayanan mereka dalam Gereja-gereja di mana mereka bertugas dan membawa serta kegembiraan mereka dan kekayaan iman Gereja-gereja dari mana mereka berasal, dengan mengingat Paulus dan Barnabas yang pada akhir perjalanan misioner mereka “ menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman” (Kis 14:27). Mereka itu bisa menjadi semacam jalan untuk ‘mengembalikan’ iman de ngan membawa kesegaran gereja-gereja muda, supaya Gereja-gereja yang lebih tua menemukan kembali antusiasme dan kegembiraan dalam berbagi iman, dalam suatu pertukaran yang menjadi kekayaan umum dalam kemuridan Tuhan. Uskup Roma memikul bersama dengan para Uskup suatu keprihatinan terhadap semua Gereja dan keprihatinan itu menemukan suatu bentuk penghayatan dalam komitmen Karya Kepausan Misioner, yang mempunyai tujuan menjiwai dan memperdalam kesadaran misioner setiap orang beriman dan setiap komunitas. Dan ini terlaksana melalui suatu pendidikan misioner seluruh Umat Allah yang lebih mendalam, begitu pula dengan memupuk kepekaan komunitas-komunitas kristiani dalam memberikan bantuan guna memperluas Injil di dunia. Dan sekarang hati kita terarah kepada umat Kristiani di pelbagai tempat di dunia ini yang mengalami hambatan dalam mengakui iman mereka di hadapan umum, begitu pula hak untuk menghayati imannya dengan bebas ditolak. Mereka ini adalah saudara dan saudari kita, saksi yang berani – yang jumlahnya melebihi jumlah para martir abad-abad pertama – yang menanggung dengan ketekunan rasuli bentuk-bentuk penganiayaan masa kini. Tidaklah sedikit yang berani mengambil risiko terhadap hidup mereka untuk tetap setia kepada Injil Kristus. Saya dalam doa menyatakan solidaritas saya kepada pribadi-pribadi, keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas yang mengalami kekerasan dan intoleransi dan kepada mereka saya sampaikan kata-kata Yesus yang meneguhkan hati,” Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh 16:33). Paus Benediktus XVI mengimbau agar “firman Tu- han disebarkan dan dimuliakan” (2Tes 3:1). Semoga Tahun Iman ini semakin mengeratkan hubungan dengan Kristus Tuhan, sebab hanya dalam Dialah terdapat kekuatan untuk membangun masa depan dan hanya dalam Dialah terdapat jaminan kasih yang otentik dan konsisten (S.Apotolik. Porta Fidei,15). Saya memberkati dengan sepenuh hati para misionaris, laki-laki dan perempuan dan semua orang yang mengiringi dan mendukung misi Gereja yang mendasar ini agar pewartaan Injil dapat berkumandang di segala penjuru dunia, dan kita, pelayan injil dan misionaris akan mengalami “betapa menghibur dan meneguhkan pewartaan Injil” (EN,80). Dari Vatikan, 19 Mei 2013, Hari Raya Pentakosta. Alih bahasa: Misionaris Xaverian. Sumber: http://www.kkindonesia.org/