Anda di halaman 1dari 33

Paus : Doa Rosario Menopang Pertempuran

Kita Melawan yang Jahat!


Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari
Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga pada tanggal 15
Agustus 2013:
Saudara-saudari terkasih!
Pada akhir Konstitusinya atas Gereja, Konsili Vatikan II mewariskan
kita sebuah meditasi yang sangat indah mengenai Maria yang Tersuci.
Biar saya ingat kembali kata-kata yang mengacu pada misteri yang
kita rayakan hari ini: “Perawan suci yang terlindungi bebas dari segala
noda dosa asal, diangkat tubuh dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi,
ketika hidupnya di dunia sudah berakhir, dan ditinggikan oleh Tuhan
sebagai Ratu atas segala sesuatu” (no. 59). Kemudian menuju akhir, di
sana: “Bunda Yesus dalam kemuliaan yang ia miliki dalam tubuh dan
jiwa di surga merupakan gambaran dan awal gereja sebagaimana
adanya disempurnakan di dunia yang akan datang. Demikian juga, ia
bersinar seterusnya di bumi, sampai hari Tuhan datang “(no. 68).
Dalam terang dari gambaran yang paling indah dari Ibu kita ini, kita
dapat melihat pesan dari bacaan-bacaan Alkitab yang baru saja kita
dengar. Kita bisa fokus pada tiga kata kunci: perjuangan, kebangkitan,
pengharapan.
Kutipan dari Wahyu memperlihatkan visi perjuangan antara wanita
dan naga. Sosok wanita, yang mewakili Gereja, adalah, di satu sisi,
yang mulia dan penuh kemenangan dan sampai sekarang, di sisi lain,
masih dalam kesusahan. Dan Gereja juga seperti itu: jika di surga ia
sudah bersatu dengan berbagai cara dalam kemuliaan Tuhannya,
dalam sejarah ia terus hidup melalui cobaan-cobaan dan tantangan-
tantangan penuh konflik antara Allah dan si jahat, yang disebabkan
oleh musuh abadi-Nya. Dan dalam perjuangan yang para murid harus
hadapi – semua dari kita, semua murid-murid Yesus, kita harus
menghadapi perjuangan ini – Maria tidak meninggalkan mereka
sendirian: Ibu dari Kristus dan dari Gereja selalu bersama kita. Ia
berjalan bersama kita selalu, ia bersama kita. Dan dalam sebuah cara,
Maria berbagi dengan kondisi ganda ini. Dia tentu saja telah masuk,
sekali untuk selamanya, ke dalam kemuliaan surgawi. Tapi ini tidak
berarti bahwa ia jauh atau terpisah dari kita, melainkan Maria
mendampingi kita, berjuang dengan kita, menopang umat Kristiani
dalam perjuangan kita melawan kekuatan jahat. Doa bersama Maria,
terutama Doa Rosario – tapi dengarkan dengan seksama: Doa Rosario.
Apakah kalian berdoa Rosario setiap hari ? Tapi saya tidak yakin
kalian melakukannya [orang-orang berteriak “Ya !”] … Benarkah?
Nah, doa bersama Maria, terutama Doa Rosario, memiliki dimensi
“penderitaan ” ini, yaitu perjuangan, doa yang bertahan dalam
pertempuran melawan si jahat dan para kaki tangannya. Doa Rosario
juga menopang kita dalam pertempuran itu.
Bacaan ke-dua berbicara kepada kita tentang kebangkitan. Rasul
Paulus, menulis kepada jemaat di Korintus, menegaskan bahwa
menjadi Kristiani berarti percaya bahwa Kristus benar-benar bangkit
dari kematian. Seluruh iman kita didasarkan pada kebenaran mendasar
yang bukan merupakan gagasan melainkan sebuah peristiwa. Bahkan
misteri tubuh dan jiwa Maria diangkat ke surga sepenuhnya tertulis
dalam kebangkitan Kristus. Kemanusiaan Bunda “ditarik” oleh
Puteranya dalam bagian-Nya sendiri dari kematian kepada kehidupan.
Sekali untuk selamanya, Yesus telah masuk ke dalam kehidupan kekal
dengan semua umat manusia yang telah Dia ambil dari Maria; dan ia,
sang Bunda, yang telah mengikutinya dengan setia sepanjang
hidupnya, mengikutiNya dengan hatinya, dan telah masuk bersamanya
ke dalam kehidupan kekal yang kita juga sebut surga, paradis, rumah
Bapa.
Maria juga telah mengalami kemartiran Salib: kemartiran hatinya,
kemartiran jiwanya. Ia telah menjalani kesengsaraan Putranya ke
kedalaman jiwanya. Ia sepenuhnya bersatu denganNya dalam
kematian-Nya, sehingga ia diberi karunia kebangkitan. Kristus adalah
buah yang pertama dari antara orang mati dan Maria adalah[buah]
yang pertama dari yang ditebus, yang pertama dari “orang-orang yang
ada di dalam Kristus”. Ia adalah Ibu kita, tetapi kita juga dapat
mengatakan bahwa ia adalah wali kita, saudari kita, saudari tertua kita,
ia adalah yang pertama dari yang ditebus, yang telah sampai di surga.
Injil menunjukkan kepada kita kata ke-tiga itu: pengharapan.
Pengharapan merupakan keutamaan orang-orang yang, mengalami
konflik – perjuangan antara hidup dan mati, baik dan jahat – percaya
pada kebangkitan Kristus, dalam kemenangan kasih. Kita mendengar
Kidung Maria, Magnificat (Kemuliaan): itu adalah lagu pengharapan,
itu adalah lagu Umat Allah yang berjalan melalui sejarah. Ini adalah
lagu dari banyaknya orang kudus, pria dan wanita, beberapa yang
terkenal, dan banyak lagi orang lainnya yang tidak dikenal oleh kita,
tetapi diketahui oleh Allah: ibu, ayah, katekis, misionaris, imam,
suster, orang-orang muda, bahkan anak-anak dan kakek-nenek:
mereka ini telah menghadapi perjuangan hidup sewaktu sedang
membawa di hati mereka pengharapan dari yang kecil dan yang
rendah hati itu. Maria berkata: “jiwaku memuliakan Tuhan” – saat ini,
Gereja juga menyanyikan ini di setiap belahan dunia. Lagu ini
terutama kuat di tempat-tempat di mana Tubuh Kristus menderita
sengsara. Bagi kita umat Kristiani, di mana pun Salib berada, di sana
ada pengharapan, selalu. Jika tidak ada pengharapan, kita tidak
kristiani. Itulah sebabnya saya ingin katakan: jangan biarkan dirimu
kehilangan pengharapan. Semoga kita tidak kehilangan pengharapan,
karena kekuatan ini adalah sebuah rahmat, sebuah karunia dari Allah
yang membawa kita maju ke depan dengan mata kita tertuju pada
surga. Dan Maria selalu ada di sana, dekat komunitas-komunitas itu,
saudara-saudara kita, ia mendampingi mereka, menderita bersama
mereka, dan menyanyikan Kemuliaan dari pengharapan bersama
mereka.
Saudara-saudari terkasih, dengan segenap hati kita marilah kita juga
menyatukan diri kita sendiri kepada lagu kesabaran dan kemenangan
ini, [lagu] perjuangan dan sukacita, yang menyatukan Gereja yang
menang dengan suatu penziarahan, bumi dengan langit, dan yang
menghubungkan kehidupan kita menuju keabadian yang kita jalani.
Amin.
(AR)
Paus Fransiskus,
Kastil Gandolfo, 15 Agustus 2013
Diterjemahkan dari : www.vatican.va

Paus : Jangan Malu Menjadi Pengikut Yesus


Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada
Pesta Santo Ignatius Loyola, Pendiri Serikat Yesus pada
tanggal 31 Juli 2013:
Dalam Ekaristi ini di mana kita merayakan Bapak kita, Ignatius
Loyola, dalam terang bacaan-bacaan yang kita telah dengar saya
ingin menyarankan tiga pemikiran sederhana, yang dipandu oleh
tiga konsep: menempatkan Kristus dan Gereja di pusat;
membiarkan diri kita dimenangkan oleh Dia untuk melayani,
merasa malu atas kekurangan-kekurangan dan dosa-dosa kita
sehingga menjadi rendah hati di mata-Nya dan di mata saudara-
saudara kita.
1. Lambang Yesuit kita adalah sebuah monogram bertuliskan
akronim dari “Iesus Hominum Salvator” (IHS)–red. Yesus
penyelamat Manusia-. Masing-masing dari kalian bisa berkata
kepada saya: kita tahu itu dengan sangat baik! Tapi lambang ini
terus menerus mengingatkan kita dengan sebuah realitas yang
kita tidak boleh lupa: sentralitas Kristus, bagi masing-masing
dari kita dan bagi seluruh anggota Serikat yang St Ignatius ingin
serukan, tepatnya, [berpusat] pada “Yesus” untuk
mengindikasikan titik acuannya. Selain itu, pada awal Latihan
Rohani kita juga menempatkan diri kita di hadapan Tuhan kita
Yesus Kristus, Pencipta dan Juruselamat kita (lih. EE, 6). Dan
ini membawa kita para Yesuit dan seluruh anggota Serikat untuk
menjadi “penggembira”, untuk berdiri di hadapan “Kristus yang
selalu lebih besar”, yang “Deus sempre maior”, yang “intimior
intimo meo”, yang memimpin kita terus keluar dari diri kita
sendiri, membawa kita ke kenosis tertentu, “berhenti
mengutamakan diri sendiri, mencari manfaat untuk diri sendiri
dan kepentingan sendiri”; (EE, 189). Pertanyaannya: “apakah
Kristus adalah pusat hidup saya? Untuk kita, untuk setiap dari
kita, pertanyaannya ialah apakah aku benar-benar menempatkan
Kristus di pusat kehidupanku?” harus tidak dianggap remeh.
Karena selalu ada godaan untuk berpikir bahwa kita berada di
pusat; dan ketika seorang Yesuit menempatkan dirinya dan
bukan Kristus di pusat [artinya] dia keliru. Dalam bacaan
pertama Musa mengungkapkan secara bersikeras kepada
rakyatnya bahwa mereka harus mengasihi Tuhan dan hidup
menurut jalan-Nya “karena hal itu berarti hidup untuk kalian”
(lih. Ul 30:16, 20). Kristus adalah hidup kita! Demikian juga
sentralitas Kristus sesuai dengan sentralitas Gereja: mereka
adalah dua titik fokus yang tidak dapat dipisahkan: aku tidak
bisa mengikuti Kristus kecuali dalam Gereja-Nya dan dengan
Gereja-Nya. Dan dalam kasus ini juga kita para Yesuit – dan
seluruh anggota Serikat – tidak berada di pusat, kita adalah,
boleh dikatakan, sebuah konsekuensi, kita berada pada
pelayanan Kristus dan Gereja, Mempelai Kristus Tuhan kita,
yang adalah Ibu suci kita Gereja yang hirarkis (lih. EE, 353).
Manusia-manusia telah berakar dalam dan berlandaskan pada
Gereja: ini adalah apa yang Yesus inginkan dari kita untuk
berada. Tidak akan ada jalur paralel atau terisolasi. Ya, cara-cara
penelitian, cara-cara kreatif, hal ini memang penting: bergerak
keluar ke pinggiran itu, pinggiran-pinggiran orang banyak itu.
Untuk alasan ini kreativitas sangat penting, tetapi selalu dalam
komunitas, dalam Gereja, dengan rasa memiliki ini yang
memberi kita keberanian untuk terus maju. Melayani Kristus
adalah mencintai Gereja yang sebenarnya ini, dan yang
melayani Gereja dengan murah hati dan dalam semangat
ketaatan.
2. Jalan apa yang menuntun pada kehidupan sentralitas ganda
ini? Mari kita lihat pengalaman St Paulus yang adalah juga
pengalaman St Ignatius. Dalam bacaan ke-dua yang baru kita
dengar, Rasul menulis: Aku terus maju menuju kesempurnaan
Kristus, karena “Kristus Yesus telah membuatku menjadi milik-
Nya sendiri” (Flp 3:12). Bagi Paulus itu terjadi dalam perjalanan
ke Damaskus, bagi Ignatius dalam rumah keluarga Loyola,
tetapi mereka memiliki sebuah titik mendasar yang sama:
mereka berdua membiarkan Kristus membuat mereka menjadi
milik-Nya. Aku mencari Yesus, aku melayani Yesus karena Dia
telah mencari aku lebih dulu, karena aku dimenangkan olehNya:
dan hal ini merupakan hati dari pengalaman kita.
Namun Ia pergi lebih dulu, selalu. Di Spanyol ada kata yang
sangat ekspresif yang menjelaskan dengan baik : El nos
“primerea”, Dia “mendahului” kita. Dia selalu lebih dulu. Ketika
kita tiba Dia sudah ada di sana menunggu kita. Dan di sini saya
ingin mengingat kembali meditasi pada “Kerajaan dalam
Minggu Ke-dua”. Kristus Tuhan kita, Raja yang kekal,
memanggil masing-masing dari kita, dengan mengatakan:
“kepada siapa pun, kemudian, yang memilih untuk bergabung
denganKu, Aku tidak menawarkan apa-apa kecuali sebuah
bagian dalam penderitaan-penderitaan-Ku, tetapi jika ia
mengikuti Aku dalam penderitaan ia pasti akan mengikuti Aku
dalam kemuliaan” (EE, 95); untuk dimenangkan oleh Kristus
untuk mempersembahkan kepada Raja ini seluruh pribadi kita
dan setiap usaha kita (lih. EE, 96); yang mengatakan kepada
Tuhan bahwa kita berniat untuk melakukan yang terbaik kita
bagi pelayanan yang lebih sempurna dan pujian yang lebih besar
pada yang Mulia, menanggung dengan sabar semua
ketidakadilan, semua kekerasan, segala kemiskinan (lih EE, 98).
Tapi saat ini pikiran-pikiran saya beralih ke saudara-saudara kita
di Suriah. Membiarkan Kristus membuat kita menjadi milik-Nya
sendiri selalu berarti berusaha maju ke depan untuk apa yang
ada di depan, dengan tujuan Kristus (lih. Flp 3:14), dan hal itu
juga berarti meminta diri seseorang dengan kebenaran dan
ketulusan : apa yang telah aku lakukan bagi Kristus ? Apa yang
sedang aku lakukan bagi Kristus? Apa yang harus aku lakukan
untuk Kristus? (lih. EE , 53).
3. Dan saya sampai pada poin terakhir. Dalam Injil Yesus
mengatakan: “Barangsiapa menyelamatkan nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya
karena Aku, ia akan menyelamatkannya …. Sebab barangsiapa
malu karena Aku … ” (Luk 9:23; 26). Dan lain sebagainya. Rasa
malu Yesuit. Undangan Yesus adalah tidak pernah untuk
menjadi malu karena Dia tapi untuk mengikutiNya selalu
dengan dedikasi total, percaya padaNya dan mempercayakan
diri kepadaNya. Tapi seperti St Ignatius ajarkan kepada kita
dalam “Minggu Pertama”, melihat Yesus dan, terutama, melihat
Kristus yang Tersalib, kita merasakan perasaan yang paling
manusiawi dan paling mulia itu yang adalah rasa malu karena
ketidakmampuan untuk mengukur sampai kepadaNya; kita
melihat pada kebijaksanaan Kristus dan ketidaktahuan kita, pada
kemahakuasaan-Nya dan ketidakberdayaan kita, pada keadilan-
Nya dan kelakuan buruk kita, pada kebaikan-Nya dan kejahatan
kita (lih. EE, 59). Kita harus memohon rahmat untuk menjadi
malu; rasa malu yang berasal dari percakapan yang
berkesinambungan dengan belas kasihan-Nya, rasa malu yang
membuat kita malu di hadapan Yesus Kristus, rasa malu yang
menyelaraskan diri kita dengan hati Kristus yang telah membuat
dirinya menjadi dosa karena aku; rasa malu yang
mengharmoniskan setiap hati melalui air mata dan menemani
kita dalam “penyertaan” dari “Tuhanku”setiap hari. Dan hal ini
selalu membawa kita, sebagai individu-individu dan sebagai
masyarakat, kepada kerendahan hati, kepada kehidupan
kebajikan besar ini. Kerendahan hati yang setiap hari membuat
kita sadar bahwa bukan kita yang membangun Kerajaan Allah
tetapi selalu rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita; sebuah
kerendahan hati yang memacu kita untuk menempatkan seluruh
diri kita tidak menjadi pelayan diri kita sendiri atau ide-ide kita
sendiri, tetapi melayani Kristus dan Gereja, seperti bejana-
bejana tanah liat, rapuh, tidak memadai dan tidak mencukupi,
namun yang mengandung harta karun besar yang kita lahirkan
dan komunikasikan (lih. 2 Kor 4:7).
Saya selalu suka memikirkan waktu senja seorang Yesuit, ketika
seorang Yesuit sedang mendekati akhir kehidupan, pada saat ia
terbenam. Dan dua gambaran dari Yesuit di waktu senja ini
selalu muncul dalam pikiran: sebuah gambaran klasik, gambaran
dari St Francis Xavier yang sedang menatap ke arah China. Seni
telah begitu sering menggambarkan ini, masa akhir Xavier.
Demikian juga dalam sastra, dalam hasil karya seni yang indah
dari Pemán. Pada akhirnya, tanpa sesuatu apapun selain berada
di hadapan Tuhan, pemikiran ini membuat aku merasa baik.
Suasana matahari terbenam yang lain, gambaran lain yang
datang ke pikiran sebagai sebuah contoh adalah gambaran dari
Pater Arrupe (red- mantan Superior Jendral Yesuit) dalam
percakapan terakhirnya di kamp pengungsi, ketika ia katakan
kepada kita – sesuatu yang biasa ia katakan – “Aku katakan hal
ini seolah-olah ini adalah nyanyian angsaku: berdoalah”. Doa,
persatuan dengan Yesus. Setelah menyampaikan kata-kata ini ia
terbang ke Roma dan setibanya [di sana] ia terkena stroke yang
mengantarnya terbenam – begitu panjang dan begitu penuh
teladan – kehidupannya. Dua suasana matahari terbenam, dua
gambaran, yang keduanya berguna bagi kita untuk dilihat dan
untuk direnungkan. Dan kita seharusnya memohon rahmat ini
semoga saat tutup usia kita sendiri akan menyerupai mereka.
Saudara-saudara, mari kita kembali kepada Bunda Maria yang
membawa Kristus dalam rahimnya dan telah menyertai Gereja
saat ia mengambil langkah-langkah pertamanya. Semoga ia
membantu kita selalu mengutamakan Kristus dan Gereja-Nya di
tengah-tengah kehidupan kita dan pelayanan kita. Semoga ia,
yang adalah murid Putranya yang pertama dan yang paling
sempurna, membantu kita membiarkan Kristus membuat kita
menjadi milik-Nya, untuk mengikuti-Nya dan melayani-Nya
dalam setiap situasi; semoga ia yang telah menanggapi dengan
kerendahan hatinya yang terdalam pada pesan malaikat:
“Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku
menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), memungkinkan kita
untuk merasa malu pada kekurangan kita sendiri sebelum harta
kekayaan itu dipercayakan kepada kita. Semoga hal itu juga
memungkinkan kita untuk merasakan kerendahan hati saat kita
berdiri di hadapan Allah; dan semoga kita disertai pada
perjalanan kita dengan perantaraan bapa kita St Ignatius dan
semua Orang Kudus Yesuit yang terus mengajarkan kita untuk
melakukan segala hal, dengan kerendahan hati, ad maiorem dei
Gloriam, Demi semakin besarnya kemuliaan Tuhan Allah kita.
(AR)
Paus Fransiskus,
Gereja Nama Yesus Yang Paling Suci, Roma, 31 Juli 2013
Diterjemahkan dari : www.vatican.va

Paus : Semoga kita tidak lari dari Salib


Mintalah rahmat yang kalian butuhkan dalam upaya untuk tidak
melarikan diri dari Salib: ini adalah pesan Paus Fransiskus
kepada umat beriman dalam Misa pada hari Sabtu pagi
[28/09/2013] di kapel Domus Sanctae Marthae di Vatikan. Poin
– poin pesannya mengikuti bacaan-bacaan harian yang
difokuskan pada bagian Injil hari itu, di mana Yesus
mengumumkan Sengsara-Nya kepada murid-murid-Nya.
“Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.”
Paus Fransiskus berkata bahwa kata-kata Yesus ini menawarkan
hati para murid-Nya, yang menantikan sebuah perjalanan
kemenangan. Kata-kata itu adalah kata-kata yang, “dicamkan
oleh [para murid-Nya] sedemikian misteriusnya sehingga
mereka tidak memahami maknanya.” Paus mengatakan, “[Para
murid] takut untuk menanyakan tentang hal [arti perkataan] itu
kepadaNya.” Bagi mereka, “lebih baik tidak membicarakan
tentang hal itu,” yang, “lebih baik tidak paham, daripada
memahami kebenarannya,” yang Yesus telah nyatakan:
“Mereka takut akan Salib – mereka takut akan Salib. Petrus
sendiri, setelah pengakuan yang sungguh-sungguh di daerah
Kaisarea Filipi itu, ketika Yesus kembali mengatakan hal
yang sama, mencela Tuhan: “Tidak, Tuhan! Tidak pernah!
Bukan ini! “[kata Petrus]. Dia takut akan Salib. Tidak
hanya para murid-Nya, namun, tidak hanya Petrus: Yesus
sendiri takut akan Salib! Dia tidak dapatmenipu diri-Nya
sendiri, Dia tahu. Begitu besar rasa takut Yesus sendiri
yang, pada Kamis malam itu Dia sungguh
berkeringat darah. Sedemikian besarnya rasatakut Yesus
hingga Dia hampir-hampir mengatakan hal yang
sama seperti Petrus – hampir:’Bapa,
ambillah cawan ini daripadaKu. Jadilah kehendak-Mu!
“Inilah perbedaannya.”
Salib itu menyebabkan rasa takut bahkan dalam karya
evangelisasi, meski, Paus Fransiskus amati, terdapat “aturan” di
mana, “murid tidak lebih besar dari Guru. Ada aturan menurut
yang mana tidak ada penebusan tanpa penumpahan darah,” tidak
ada karya kerasulan yang berbuah banyak tanpa Salib:
“Mungkin kita berpikir – masing-masing orang dari
kita dapat bertanya-tanya: ‘Dan kepadaku, apa yang akan
terjadi? Bagaimana akan jadinya Salibku? “Kitatidak tahu.
Kita tidak tahu, tapi akan ada satu. Kita harus berdoa akan
rahmatuntuk tidak kabur lari dari Salib ketika ia datang:
dengan rasa takut, eh! Itu benar. Itu menakutkan kita.
Namun demikian, itulah jalan yang harus ditempuh dalam
mengikuti Yesus. Kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus
kepada Petrus datang ke pikiran – dalam pemahkotaan
Kepausan di Tiberias itu: ‘Apakah engkau mengasihiKu?
Damai ! Apakah engkau mencintaiKu? Damai !‘… tapi
kata-kata terakhirNya adalah ini: ‘Mereka akan membawa
kamu ke mana kamu tidak inginpergi !‘ Janji dari Salib.“
Paus Fransiskus mengakhiri dengan sebuah doa kepada Perawan
Maria:
“Yang paling dekat kepada Yesus, di kayu Salib, adalah ibu-
Nya – ibu-Nya yang terkasih. Mungkin hari ini, saat ini di
mana kita berdoa kepadanya, baik adanya untuk meminta
darinya bukan rahmat untuk menghapus rasa takut kita –
yang harus datang, rasa takut akan Salib… melainkan
rahmat yang kita butuhkan untuk tidak kabur lari dari
Salib dalam rasa takut. Dia ada di sana dan dia tahu
bagaimana untuk berada di dekat Salib.“
(AR)
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 28 September 2013
Diterjemahkan dari: www.news.va
 

Paus : Bahasa-bahasa untuk mengenal Yesus


Untuk mengenal Yesus, kalian harus melibatkan
diri denganNya, seperti yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus
pada Misa pagi ini [26/09/2013] di Casa Santa Marta. Paus
mengatakan bahwa Yesus akan dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Dia mengindikasikan tiga bahasa yang diperlukan
untuk mengenal Yesus: bahasa pikiran, bahasa hati, dan
bahasa tindakan.
Siapakah Dia? Dari mana Dia berasal? Dalam pernyataan
berdasarkan bacaan-bacaan pada Misa Kamis pagi di kapel
residensi Domus Sanctae Marthae di Vatikan, Paus Fransiskus
telah berfokus pada pertanyaan yang diajukan Herodes tentang
Yesus – sebuah pertanyaan yang semua orang yang menjumpai
Yesus akhirnya tanyakan. Paus katakan bahwa pertanyaannya
adalah sesuatu, yang, “seseorang tanyakan karena rasa ingin
tahu,” atau “seseorang yang mungkin meminta keselamatan.”
Dia mencatat bahwa, [dalam] bacaan Injil, kita lihat bahwa
“beberapa orang mulai merasa takut dengan Orang ini, karena
Dia bisa menghantar mereka kepada sebuah konflik politik
dengan orang-orang Romawi.” Seorang bertanya-tanya,
“Siapakah Orang ini, yang membuat begitu banyak masalah?”
Karena, Paus katakan,”Yesus [benar-benar membuat banyak
masalah]”:
“Kalian tidak dapat mengenal Yesus tanpa mengalami
masalah-masalah. Dan saya berani katakan, “Jika
kalian ingin punya masalah, pergi ke jalan untuk mengenal
Yesus – kalian akan berakhir dengan memiliki tidak
[cuma] satu [masalah], tapibanyak’ Tapi itulah cara untuk
mengenal Yesus! Kalian tidak dapat mengenal Yesus di
kelas satu (baca: secara ekslusif)! Seseorang dapat mengenal
Yesus dengan pergi keluar [ke dalam kehidupan] sehari-
hari. Kalian tidak dapatmengenal Yesus dalam damai dan
tenang, atau bahkan di perpustakaan: KenaliYesus “.
Tentu saja, ia menambahkan, “kita bisa mengenal Yesus dari
Katekismus,” karena, “Katekismus mengajarkan kita banyak hal
tentang Yesus.” Dia berkata, “kita harus mempelajarinya, kita
harus belajar itu.” Jadi, “kita mengenal Putera Allah, yang
datang untuk menyelamatkan kita, kita memahami keindahan
sejarah keselamatan, tentang kasih Bapa, dengan mempelajari
Katekismus itu. “Namun demikian, dia bertanya, berapa banyak
orang yang telah membaca Katekismus sejak ia diterbitkan lebih
dari 20 tahun yang lalu?
“Ya, kalian harus datang untuk mengenal Yesus dari
Katekismus – tetapi tidak cukup untuk mengenalNya
dengan pikiran: itu adalah sebuah langkah. Namun, [kita]
perlu untuk mengenal Yesus dalam dialog denganNya,
dengan berbicara denganNya dalam doa, dengan berlutut.
Jika kalian tidak berdoa, jika kalian tidakberbicara dengan
Yesus, kalian tidak mengenal Dia. Kalian tahu hal-
hal tentang Yesus, tapi kalian tidak pergi dengan
pengetahuan, yang mana Dia berikan dalam hati
kalian melalui doa. Mengenal Yesus dengan pikiran –
pelajari Katekismus: mengenal Yesus dengan hati – dalam
doa, dalam dialog denganNya. Hal ini membantu kita
sedikit, tapi itu tidak cukup. Ada cara ke-tiga
untuk mengenal Yesus: yaitu dengan mengikutiNya. Pergi
dengan Dia, berjalan bersamaNya.”
Hal ini perlu, “pergi, berjalan di sepanjang jalan-jalan,
melakukan perjalanan.” Hal ini perlu, kata Paus Fransiskus,
“mengenal Yesus dalam bahasa tindakan.” Di sini, kemudian,
adalah bagaimana kalian benar-benar dapat mengenal Yesus:
dengan “tiga bahasa – dari pikiran, hati dan tindakan” ini. Jika,
kemudian, “aku mengenal Yesus dengan cara-cara ini,” katanya
sebagai kesimpulan, “aku melibatkan diri denganNya”:
“Seseorang tidak dapat mengenal Yesus
tanpa ikut melibatkan dirinya sendiridenganNya,
tanpa mempertaruhkan hidup kalian [pada] Nya. Ketika
begitu banyak orang – termasuk kita – mengajukan
pertanyaan ini: ‘Tapi, siapa Dia?’, Firman Allah
menanggapi,” Kalian ingin tahu siapa Dia? Baca
apa yang Gereja beritahu kalian tentang Dia, berbicara
kepadaNya dalam doa dan berjalan di jalanbersamaNya.
Dengan demikian, kalian akan tahu siapa Orang ini. “Ini
adalahJalan-Nya! Setiap orang harus membuat pilihannya.”
(AR)
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 26 September 2013
Diterjemahkan dari: www.news.va

Paus : Hampiri misteri Salib [Kristus]


dengan doa dan air mata
Pada Misa Pesta Pemuliaan Salib Suci, Paus Fransiskus mengatakan
[bahwa] misteri Salib adalah misteri besar bagi umat manusia, sebuah
misteri yang hanya dapat dihampiri dengan doa dan air mata.
Dalam homilinya, Paus berkata bahwa dalam misteri Salib itulah kita
temukan kisah manusia dan kisah Allah, yang diceritakan oleh para
Bapa Gereja dalam perbandingan antara pohon pengetahuan baik dan
jahat, di Firdaus, dan pohon Salib:
“Pohon yang satu telah mengusahakan begitu banyak
kejahatan, [sedangkan]pohon lainnya telah membawa kita
kepada keselamatan, kepada kepulihan. Ini adalah serangkaian
dari kisah manusia: sebuah perjalanan untuk menemukan Yesus
Kristus Sang Penebus, yang memberikan hidup-Nya
bagi kasih. Allah, pada kenyataannya, telah mengutus Putera-Nya
ke dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan agar dunia
bisa diselamatkan melalui Dia. Pohon Salib itumenyelamatkan
kita, semua dari kita, dari konsekuensi-konsekuensi pohon
lainnyaitu, di mana rasa terlalu percaya diri sendiri,
kesombongan, kebanggaan dari kitayang ingin mengetahui segala
sesuatu menurut mentalitas kita sendiri, sesuai dengan kriteria
kita sendiri, dan juga seturut asumsi kitalah satu-satunya yang
ada dan menjadi hakim dunia ini. Ini adalah kisah tentang
manusia: dari satu pohon ke[pohon] yang lain”.
Di Salib ada “kisah Allah,” lanjut Paus, karena kita dapat katakan
bahwa Allah memiliki sebuah kisah. Dalam kenyataannya,” Dia telah
memilih untuk mengambil kisah kita dan untuk melakukan perjalanan
dengan kita, yang menjadi manusia, yang menerima kondisi dari
seorang hamba dan yang membuat diri-Nya taat bahkan sampai mati
di kayu salib”:
“Allah mengambil arah jalan ini untuk kasih! Tidak ada
penjelasan lain: kasihsendiri yang melakukan hal ini. Hari ini kita
melihat pada Salib, kisah manusia dan kisah Allah.
Kita pandang Salib ini, di mana kalian dapat mencoba madu dari
getah itu, madu pahit itu, rasa pahit dari manisnya pengorbanan
Yesus itu. Tapi misteri ini begitu besar, dan kita tidak bisa oleh
diri kita sendiri melihat denganbaik pada misteri ini, tidak untuk
memahami – ya, untuk memahami – tapi untuk merasakan
dengan mendalam keselamatan dari misteri ini. Pertama-tama
misteri Salib. Ini hanya dapat dimengerti, sedikit, dengan
berlutut, dalam doa, tetapi juga melalui air mata: air matalah
yang mendekatkan kita dengan misteri ini.“
“Tanpa meneteskan air mata, meneteskan air mata yang tulus,” Paus
Fransiskus tekankan, kita tidak pernah dapat memahami misteri ini.
Ini adalah “seruan peniten, teriakan saudara dan saudari yang menatap
pada begitu banyak kesengsaraan manusia” dan memandang kepada
Yesus, namun dengan “berlutut dan meneteskan air mata” dan “tidak
pernah sendirian, tidak pernah sendirian!”
“Dalam upaya untuk masuk ke dalam misteri ini, yang bukanlah
sebuah labirin namun sedikit menyerupainya, kita butuh Ibu-Nya,
tangan ibu-Nya. Bahwasanya ia, Maria, akan membuat kita mengerti
betapa besar dan rendah hatinya misteri ini; bagaimana manisnya
seperti madu dan bagaimana pahitnya seperti getah. Bahwasanya ia
akan menjadi seorang yang menemani kita pada perjalanan ini, yang
tak seorang pun dapat mengambilnya [bagi kita] jika bukan diri kita
sendiri. Masing-masing dari kita harus mengambilnya! Dengan ibu-
Nya, [dengan] meneteskan air mata dan [dengan] lutut-lutut kita.”
(AR)
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 14 September 2013
Diterjemahkan dari: www.news.va
 

Paus Fransiskus : Bukalah pintu bagi iman


Mereka yang datang menghampiri Gereja seharusnya menemukan
pintu-pintu yang terbuka dan bukannya menemukan orang-orang yang
ingin mengendalikan iman. Hal ini adalah apa yang telah Paus katakan
pagi ini [25-05-2013] dalam misa di Casa Santa Marta.
Injil hari ini menjelaskan kepada kita bahwa Yesus menegur para
murid-Nya yang berusaha untuk menghalang-halangi anak-anak yang
orang-orang bawa kepada Tuhan untuk menerima berkat. “Yesus
memeluk mereka, mencium mereka, menyentuh mereka, semua dari
mereka. Semua itu melelahkan Yesus sehingga para murid-Nya” ingin
menghentikan hal tersebut”. Yesus marah: “Yesus menjadi marah,
kadang-kadang.” Dan Dia berkata: “Biarkan mereka datang
kepadaKu, jangan halang-halangi mereka. Karena orang-orang seperti
inilah yang empunya Kerajaan Allah.” “Iman umat Allah – Paus
mengamati – adalah sebuah iman yang sederhana, iman yang mungkin
tanpa banyak teologi, tetapi memiliki teologi batiniah yang tidak
salah, karena Roh berada di balik itu.” Paus menyebutkan Konsili
Vatikan I dan Vatikan II, di mana dikatakan bahwa “orang-orang
kudus Allah … tidak bisa keliru dalam hal-hal kepercayaan” (Lumen
Gentium). Dan untuk menjelaskan formulasi teologis ini ia
menambahkan:. “Jika kalian ingin mengetahui siapa Maria itu [maka]
pergilah ke seorang teolog dan dia akan memberitahu kalian tepatnya
siapa Maria itu. Tetapi jika kalian ingin mengetahui bagaimana
mencintai Maria [maka] pergilah ke umat Allah yang mengajarkan itu
dengan lebih baik.” Umat Allah itu – lanjut Paus -“selalu meminta
sesuatu untuk menjadi lebih dekat kepada Yesus, mereka kadang-
kadang sedikit ‘ngotot’ dalam hal ini. Tapi itu adalah sifat bersikeras
dari mereka yang percaya”:
“Saya ingat suatu kali, keluar dari kota Salta, pada pesta
perayaan pelindung kota tersebut, ada seorang wanita rendah
hati yang meminta berkat imam. Imam ituberkata,
‘Baik, tetapi kamu tadi telah ikut Misa‘ dan
menjelaskan keseluruhanteologi berkat di gereja. Engkau
telah melakukan dengan baik: “Ah, terima kasih pastor, ya
pastor,” kata wanita itu. Ketika imam itu pergi, wanita itu
berpaling ke imam yang lain: ‘Mohon berikan berkatmu!‘ Semua
kata – kata tadi tidak mengenadengannya, karena dia punya
kebutuhan lain:.. keperluan untuk disentuh oleh Tuhan.
Itu adalah iman yang kita selalu cari, ini adalah iman yang
membawa Roh Kudus. Kita harus memfasilitasikan itu,
membuatnya tumbuh, membantunya tumbuh.”
Paus juga menyebutkan kisah seorang buta dari Yerikho, yang ditegur
oleh para murid karena ia berteriak menangis kepada Tuhan, “Yesus,
Anak Daud, kasihanilah aku!”
“Injil mengatakan bahwa mereka tidak ingin dia [orang buta
itu] berteriak, mereka ingin dia untuk tidak berteriak [namun]
sebaliknya dia ingin berteriak lagi,mengapa?
Karena dia telah memiliki iman dalam Yesus! Roh Kudus telah
menempatkan iman dalam hatinya. Dan mereka
berkata, ‘Jangan, engkau tidak boleh lakukan hal ini! Engkau
jangan berteriak kepada Tuhan. Aturan resmi tidak
memperbolehkan hal itu’. Dan ‘Pribadi ke-Dua Trinitas! Lihatlah
apa yang Kaulakukan …’ seolah-olah
mereka sedang mengatakan itu, benar?”
Juga pikirkan tentang sikap dari banyak umat Kristiani:
“Pikirkan umat Kristiani yang baik, dengan niat baik, kita
berpikir tentang sekretaris paroki, seorang sekretaris paroki
… ‘Selamat malam, selamat pagi, kami berdua – kekasih
pria dan kekasih wanita – kami ingin menikah’. Dan
bukannyaberkata, ‘Bagus itu!’ Mereka berkata,
‘Oh, baiklah, silakan duduk. Jika kalian ingin Misa, biayanya
banyak…’. Hal ini, bukannya disambut dengan baik – yang
merupakan sebuah hal yang baik untuk menikah! – Tapi
sebaliknya mereka meresponnya dengan ini: ‘Apakah kalian
memiliki sertifikat baptis, oke baik … ‘. Dan mereka temukan
sebuah pintu yang tertutup. Ketika orang Kristen ini dan orang
Kristen itu memiliki kemampuan untuk membuka pintu,
berterima kasihlah pada Tuhan untuk fakta dari sebuah
pernikahan baru ini… Kita berkali-kalimenjadi pengendali iman,
bukannya menjadi fasilitator iman umat.”
Dan selalu ada godaan – kata Paus – “mencoba dan mengambil
kepunyaan Tuhan.” Dan ia menceritakan kisah lainnya:
“Pikirkan tentang seorang ibu tunggal yang pergi ke gereja, di
paroki dan kesekretaris dia berkata: ‘Saya ingin anak saya
dibaptis’. Dan kemudian orangKristen ini berkata: ‘Tidak, Anda
tidak bisa karena Anda tidak menikah!’. Tapi lihat, gadis ini
memiliki keberanian untuk menanggung kehamilannya dan
tidakmengirim kembali anaknya kepada Pengirim-nya, apa –
apaan ini? Sebuah pintu yang tertutup! Ini adalah bukan usaha
yang sungguh-sungguh! Hal ini jauh dari Tuhan! Itu
tidak membuka pintu-pintu! Juga ketika kita berada di jalan ini,
memiliki sikap ini, kita tidak berlaku baik kepada umat, umat itu,
umat Allah, selain dari Yesus yang telah menetapkan tujuh
sakramen [maka] dengan sikap ini kita akan menetapkan
sakramen yang ke-delapan: [yaitu] sakramen kebiasaan
pastoral !”
“Yesus marah ketika ia melihat hal-hal ini” – kata Paus – karena
mereka yang menderita adalah “umat setia-Nya, umat yang Ia sangat
kasihi”
“Kita pikirkan saat ini tentang Yesus, yang selalu ingin kita semua
menjadi lebih dekat kepadaNya, kita berpikir tentang Umat Kudus
Allah, orang-orang sederhana, yang ingin lebih dekat kepada Yesus
dan kita berpikir tentang begitu banyaknya kebajikan umat Kristiani
yang salah dan yang alih-alih membuka pintu mereka malah menutup
pintu kebajikan itu… Jadi kita minta kepada Tuhan agar semua orang
yang datang ke Gereja menemukan pintu-pintu yang terbuka,
menemukan pintu-pintu yang terbuka itu, terbuka untuk bertemu kasih
Yesus ini. Kita mohon rahmat ini.”
(AR)
 
Paus Fransiskus,
Domus Sanctae Marthae, 25 Mei 2013
Diterjemahkan dari : www.news.va
 

Paus Fransiskus: Adakah yang menangis


hari ini untuk para imigran?
Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat
mengunjungi kota Lampedusa untuk menyatakan solidaritasnya bagi
para imigran:
Para imigran mati di laut, dalam perahu – perahu  yang merupakan
kendaraan-kendaraan harapan dan menjadi kendaraan-kendaraan
kematian. Demikian berita utama di surat – surat kabar. Ketika saya
pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu yang lalu, dan
menyadari bahwa itu semua terjadi terlalu sering, itu terus datang
kembali pada saya seperti duri yang menyakitkan dalam hati saya. Jadi
saya merasa bahwa saya harus datang ke sini hari ini, untuk berdoa
dan menyatakan tanda kedekatan saya, namun juga untuk menantang
hati nurani kita agar tragedi ini jangan sampai terulang. Tolong,
jangan biarkan itu terulang! Pertama, bagaimanapun, saya ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan dorongan yang tulus kepada
kalian, orang-orang Lampedusa dan Linosa, dan kepada berbagai
asosiasi, relawan, dan aparat keamanan yang terus melayani
kebutuhan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan menuju
masa depan yang lebih baik. Kalian hanya sedikit orang, namun kalian
menawarkan sebuah contoh solidaritas! Terima kasih! Saya juga
berterima kasih kepada Uskup Agung Francesco Montenegro untuk
semua bantuannya, upaya-upayanya dan pelayanan pastoralnya yang
teliti. Saya menyampaikan salam yang tulus kepada Walikota Giusi
Nicolini: terima kasih banyak atas apa yang telah dilakukan dan yang
sedang dilakukannya. Saya juga memikirkan dengan penuh kasih para
imigran Muslim yang malam ini mulai puasa Ramadhan, yang saya
percaya akan menghasilkan buah spiritual berlimpah. Gereja berada di
sisi kalian saat kalian mencari kehidupan yang lebih bermartabat
untuk diri kalian sendiri dan keluarga-keluarga kalian. Untuk semua
dari kalian: O’scia!
Pagi ini, dalam terang sabda Allah yang baru saja diwartakan, saya
ingin menawarkan beberapa pemikiran yang dimaksudkan untuk
menantang hati nurani orang-orang dan menuntun mereka kepada
refleksi dan perubahan hati yang konkret.
“Adam, di manakah kau?” Ini adalah pertanyaan pertama yang Allah
tanyakan kepada manusia setelah dosanya. “Adam, di manakah kau?”
Adam kehilangan arahnya, tempatnya dalam penciptaan, karena dia
berpikir dia bisa menjadi kuat, mampu mengendalikan segala sesuatu,
untuk menjadi Allah. Keharmonisan hilang; manusia telah keliru dan
kesalahan ini terjadi kembali terulang lagi juga dalam hubungan-
hubungan relasi antar sesama yang lain. “Yang lain itu” bukan lagi
seorang saudara atau saudari yang patut dicintai, tetapi hanya
seseorang yang mengganggu hidup saya dan kenyamanan saya. Allah
mengajukan pertanyaan kedua: “Kain, di manakah saudaramu?” Ilusi
akan menjadi kuat, akan menjadi hebat seperti Allah, bahkan akan
menjadi Allah sendiri, mengarah kepada seluruh rangkaian kesalahan-
kesalahan, sebuah rantai kematian, bahkan sampai menumpahkan
darah seorang saudara!
Dua pertanyaan Allah ini menggema bahkan hingga hari ini,
sedemikian kuat seperti biasanya! Berapa banyak dari kita, termasuk
saya sendiri, telah kehilangan arah kita, kita tidak lagi memperhatikan
dunia di mana kita hidup, kita tidak peduli, kita tidak melindungi apa
yang Allah telah ciptakan untuk semua orang, dan kita akhirnya
bahkan tidak mampu mempedulikan satu sama lain! Dan ketika umat
manusia secara keseluruhan kehilangan arahnya, yang menghasilkan
tragedi seperti halnya yang telah kita saksikan.
“Di manakah saudaramu?” Darahnya menangis kepadaKu, kata
Tuhan. Ini bukan pertanyaan yang diarahkan kepada orang lain, itu
adalah pertanyaan yang ditujukan kepada saya, kepada kalian, kepada
masing-masing dari kita. Saudara-saudari dari kita ini telah sedang
mencoba melarikan diri dari situasi-situasi sulit untuk menemukan
ketenangan dan kedamaian, mereka sedang mencari sebuah tempat
yang lebih baik bagi mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka,
tetapi sebaliknya mereka menemukan kematian. Seberapa seringkah
orang-orang semacam itu gagal menemukan pengertian, gagal
menemukan penerimaan, gagal menemukan solidaritas. Dan tangisan
mereka naik sampai kepada Allah! Sekali lagi saya ucapkan terima
kasih, orang-orang Lampedusa, atas solidaritas kalian. Saya baru-baru
ini mendengarkan salah seorang dari saudara-saudara kita ini.
Sebelum tiba di sini, dia dan yang lainnya hidup dari belas kasihan
para penyelundup manusia, orang-orang yang mengeksploitasi
kemiskinan orang lain, orang-orang yang hidup dari penderitaan orang
lain. Berapa banyak orang-orang ini telah menderita! Beberapa dari
mereka tidak pernah berhasil di sini.
“Di manakah saudaramu?” Siapa yang bertanggung jawab atas darah
ini? Dalam literatur Spanyol kita punya komedi Lope de Vega yang
menceritakan bagaimana orang-orang dari kota Fuente Ovejuna
membunuh gubernur mereka karena dia adalah seorang tiran. Mereka
melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tahu siapa
pembunuh sebenarnya. Jadi, ketika hakim kerajaan bertanya: “Siapa
yang membunuh gubernur?”, Mereka semua menjawab: “Fuente
Ovejuna, Yang Mulia”. Semua orang dan tak seorang pun! Hari ini
juga, pertanyaan itu harus diajukan: Siapa yang bertanggung jawab
atas darah saudara dan saudari kita? Tidak seorang pun! Itu adalah
jawaban kita: Bukan aku, aku tidak ada hubungannya dengan itu, itu
pasti orang lain, tetapi tentu bukan aku. Namun Allah bertanya kepada
masing-masing dari kita: “Di mana darah saudaramu yang menangis
kepadaKu itu ?” Hari ini tidak seorangpun di dunia kita merasa
bertanggungjawab, kita telah kehilangan rasa tanggung-jawab untuk
saudara-saudara kita. Kita telah jatuh ke dalam kemunafikan imam
dan orang Lewi yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati: kita melihat saudara kita sekarat
di pinggir jalan, dan mungkin kita katakan pada diri kita sendiri: “jiwa
yang malang …!”, dan kemudian pergi meneruskan perjalanan kita.
Ini bukanlah tanggung-jawab kita, dan dengan itu kita merasa
diyakinkan, ditenangkan. Budaya kenyamanan, yang membuat kita
hanya memikirkan tentang diri kita sendiri, membuat kita tidak peka
terhadap tangisan-tangisan orang lain, membuat kita hidup dalam
gelembung-gelembung sabun yang, bagaimanapun indahnya, tidak
penting; mereka menawarkan ilusi singkat dan kosong yang
mengakibatkan ketidakpedulian terhadap orang lain; memang, itu
bahkan mengarah pada globalisasi ketidakpedulian. Dalam dunia
global ini, kita telah jatuh ke dalam globalisasi ketidakpedulian. Kita
telah menjadi terbiasa terhadap penderitaan orang lain: itu tidak
mempengaruhiku, itu tidak memprihatinkanku, itu bukanlah urusanku!
Di sini kita bisa memikirkan tentang karakter Manzoni itu – “yang
tidak disebutkan namanya”. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita
semua “tidak disebutkan namanya”, bertanggung jawab, namun tak
bernama dan tak berwajah.
“Adam, di manakah kau?” “Di manakah saudaramu?” Ini adalah dua
pertanyaan yang Allah tanyakan pada awal sejarah manusia, dan yang
Ia juga tanyakan kepada setiap pria dan wanita di zaman kita sendiri,
yang juga Ia tanyakan kepada kita. Tapi saya ingin kita mengajukan
pertanyaan ketiga: “Apakah salah satu dari kita telah menangis karena
situasi ini dan lainnya?” Apakah salah satu dari kita telah berduka atas
kematian saudara-saudara dan saudari-saudari ini? Apakah salah satu
dari kita telah menangis karena orang-orang yang berada di kapal itu?
Karena ibu-ibu muda yang sedang membawa bayi-bayi mereka?
Karena orang-orang yang telah sedang mencari sarana penunjang
keluarga-keluarga mereka? Kita adalah masyarakat yang telah lupa
bagaimana untuk menangisi, bagaimana untuk mengalami rasa iba –
“menderita” dengan sesama lainnya: globalisasi ketidakpedulian itu
telah mengambil dari kita kemampuan untuk menangis! Dalam Injil
itu kita telah dengar tangisan itu, ratapan itu, ratap tangis yang besar
itu: “Rahel menangis karena anak-anaknya … karena mereka tidak
ada lagi”. Herodes menabur kematian untuk melindungi
kenyamanannya sendiri, gelembung sabunnya sendiri. Dan begitu
seterusnya … Mari kita mohon Tuhan untuk menghapus sifat Herodes
yang bersembunyi di hati kita, marilah kita mohon kepada Tuhan akan
rahmat untuk menangis atas ketidakpedulian kita, untuk menangis atas
kekejaman dari dunia kita, dari hati kita sendiri, dan dari semua orang
itu yang dalam anonimitas membuat keputusan-keputusan sosial dan
ekonomi yang membuka pintu itu kepada situasi-situasi tragis seperti
ini. “Telah adakah seorang menangis?” Hari ini telah adakah seorang
menangis di dalam dunia kita ?
Tuhan, dalam liturgi ini, sebuah liturgi tobat, kita mohon
pengampunan atas ketidakpedulian kita kepada begitu banyak saudara
dan saudari kita. Bapa, kita mohon pengampunan-Mu bagi mereka
yang terlena dan tertutup di tengah kenyamanan-kenyamanan yang
telah mematikan hati mereka, kita mohon pengampunan-Mu bagi
mereka yang oleh keputusan-keputusan mereka pada tingkat global itu
telah menciptakan situasi-situasi yang mengarah pada tragedi-tragedi
ini. Ampunilah kami, Tuhan!
Hari ini juga, Tuhan, kita mendengar Engkau bertanya: “Adam, di
manakah kau?” “Di manakah darah saudaramu itu ?”
(AR)
Paus Fransiskus,
Lampedusa, 8 Juli 2013
Diterjemahkan dari : www.vatican.va
 
Pesan Suci Paus Fransiskus, Hari Minggu
Misi Sedunia 2013
Saudara dan saudari yang kukasihi,
Tahun ini kita merayakan Hari Minggu Misi atau Evangelisasi menjelang
penutupan Tahun iman, yang telah merupakan momen penting untuk
mempererat persahabatan kita dengan Tuhan dan untuk menegaskan
perjalanan kita sebagai Gereja yang mewartakan injil dengan berani.
Dalam perspektif ini saya ingin mengembangkan beberapa pemikiran.
1. Iman merupakan anugerah Allah yang berharga. Allah membuka hati
kita agar kita dapat mengenal dan mengasihi Dia. Ia mau menjalin
hubungan dengan kita agar kita dapat mengambil bagian dalam hidup-
Nya agar hidup kita penuh makna, lebih baik dan lebih indah. Allah
mengasihi kita! Akan tetapi iman itu meminta tanggapan kita, meminta
agar kita berani menyerahkan diri kepada Allah, meminta agar kita
mengasihi seperti Allah mengasihi, dan meminta agar kita tahu
berterima kasih kepada Allah atas kerahimanNya yang tak terbatas.
Iman itu tidak dianugerahkan kepada orang tertentu saja melainkan
kepada semua orang sebab hati semua orang ingin dikasihi Allah, ingin
mengalami keselamatan dari Allah!
Iman itu adalah sebuah anugerah yang tak boleh dinikmati sendiri,
minta dibagikan. Jika kita tidak berbagi iman itu, kita menjadi orang
kristiani yang terisolir, yang mandul dan sakit.
Pewartaan injil adalah bagian integral dari identitas murid Kristus dan
komitmen konstan yang menjiwai kehidupan Gereja. “Semangat
misioner adalah tanda nyata kedewasaan komunitas gerejani ”
(Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Verbum Domini, 95). Setiap komuni-
tas adalah “dewasa” apabila mengakui imannya dengan bangga,
merayakannya dengan penuh sukacita dalam liturgi, mewujud-nyatakan
kasih dan mewartakan Sabda Allah tak henti-hentinya sambil keluar dari
lingkup hidupnya sendiri untuk dibawa ke “masyarakat pinggiran”,
terutama kepada mereka yang belum sempat mengenal Kristus.
Konsistensi iman di tingkat pribadi dan komuniter diukur juga dari
kemampuan berbagi iman itu dengan sesama, disebarluaskan,
dijelmakan menjadi kasih, menyaksikan Kristus kepada orang yang
dijumpai dan kepada mereka yang mengambil bagian dalam  perjalanan
hidup bersama dengan kita.
2. Tahun iman yang mengenangkan 50 tahun dimulai Konsili Vatikan II,
merupakan dorongan agar seluruh Gereja memiliki kesadaran baru akan
kehadirannya dalam dunia zaman ini dan akan misinya di antara
bangsa-bangsa. Tugas misi ini tidak menyangkut hanya secara geografis
tetapi juga bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan dan pribadi-pribadi
sebab “garis batas iman” tidak hanya melintasi daerah dan tradisi-tradisi,
tetapi juga hati setiap orang laki-laki dan perempuan.
Konsili Vatikan II telah menegaskan bahwa tugas perutusan misioner,
tugas memperluas perbatasan iman, adalah tugas setiap pribadi dan
setiap komunitas kristiani,”Karena umat Allah hidup dalam jemaat-
jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, serta
dengan cara tertentu kelihatan di situ, maka adalah juga tugas jemaat-
jemaat itu memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa”.
(Ad Gentes, 37).
Setiap komunitas hendaknya merasa disapa oleh Yesus sendiri ketika Ia
berpesan kepada para Rasul agar mereka “menjadi saksi-Nya di
Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung
bumi.” (Kis 1,8). Sapaan Yesus ini merupakan dimensi mutlak kehidupan
kristiani, sebab kita semua diutus mewartakan injil dengan perkataan
dan perbuatan kepada semua orang.
Saya ajak para uskup, para imam, para dewan imam dan dewan pastoral,
setiap orang dan setiap kelompok yang diberi tanggung jawab dalam
Gereja agar memberikan perhatian khusus kepada dimensi misioner
dalam program-program pastoral dan pendidikan, sadar bahwa tugas
perutusan itu belum memadai kalau tidak mencakup tanggung jawab
dan tekad “memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa.”
Dimensi misioner itu bukan sekedar sejumlah program dan kegiatan
dalam kehidupan kristiani, melainkan semangat dan spiritualitas yang
menjiwai semua segi kehidupan kristiani.
3. Sering karya evangelisasi menemukan hambatan-hambatan bukan
hanya dari luar, tetapi juga dari dalam komunitas kristiani itu sendiri
seperti kurangnya semangat, tidak adanya sukacita, kurang minat dan
lebih-lebih kurang pengharapan dalam mewartakan pesan Kristus
kepada semua orang dan dalam membantu orang berjumpa dengan
Kristus.
Masih ada orang yang berpikir bahwa mewartakan kebenaran Injil
memperkosa kebebasan manusia. Dalam hal ini Paus Paulus VI
mempunyai kata-kata inspiratif,” Tentu kelirulah memaksakan sesuatu
pada hati nurani saudara-saudara kita. Tetapi mengajukan kepada hati
nurani manusia kebenaran tentang Injil dan penebusan dalam Yesus
Kristus dengan jelas dan dengan menghormati sepenuhnya pilihan-
pilihan yang akan diambilnya nanti, … itu merupakan suatu kehormatan
bagi kebebasan manusia”. (Anjuran. Ap. Evangelii Nuntiandi, 80 / EN 80).
Dengan berani dan dengan senang hati serta dengan penuh hormat
hendaknya kita senantiasa mengundang orang berjumpa dengan Kristus,
dan menjadi pembawa Injil-Nya.
Yesus telah datang di tengah-tengah kita untuk memperkenalkan jalan
keselamatan dan kita telah diberi tugas perutusan untuk mewartakan
keselamatan itu kepada semua orang sampai ke ujung bumi.
Sering kita saksikan bahwa kekerasan, kepalsuan, dan kesesatanlah yang
dikedepankan dan yang disodorkan. Maka pada masa kini adalah sangat
urgen menampilkan hidup yang baik menurut injil melalui pewartaaan
dan kesaksian, dan ini hendaknya dilakukan mulai dari dalam Gereja itu
sendiri. Sebab, dalam perspektif ini setiap penginjil hendaknya ingat
sebuah prinsip yang mendasar, bahwa Kristus tak dapat diwartakan
tanpa Gereja.
Paus Paulus VI menulis,”Penginjilan bukanlah merupakan suatu kegiatan
individual dan terisolir; tetapi penginjilan adalah suatu kegiatan yang
secara mendalam bersifat gerejani. Bila seorang pengkotbah di tempat
paling tersembunyi, seorang katekis, atau seorang pastor di tempat
yang paling jauh, berkotbah tentang Injil, mengumpulkan jemaat,
mewartakan iman, melayani sakramen, meskipun ia sendirian, ia
melakukan suatu kegiatan gerejani. Ia tidak bertindak atas suatu
perutusan yang berasal dari dirinya sendiri atau berdasarkan suatu
inspirsi pribadi, tetapi dalam kesatuan dengan perutusan Gereja dan
atas nama Gereja”. (E.N. 60).
Dan ini memberi kekuatan kepada misi, pun pula membangkitkan
kesadaran dalam sang misionaris dan penginjil bahwa ia tak pernah
sendirian, melainkan ia adalah bagian dari dari tubuh yang satu yang
dijiwai oleh Roh Kudus.
4. Pada masa kini, mobilitas yang sudah umum dan kemudahan
komunikasi melalui media, sudah mencapuradukan orang, bangsa,
pengetahuan, pengalaman. Karena alasan kerja, keluarga-keluarga
berpindah dari satu benua ke benua yang lain; pertukaran profesional
dan kebudayaan, turisme dan fenomena serupa mengakibatkan
pergerakan orang yang luas. Kadang-kadang komunitas-komunitas
paroki pun merasa sulit mengenal dengan tepat dan pasti, siapa-siapa
tinggal dalam satu daerah secara tetap atau hanya sementara. Terjadi
juga bahwa di daerah yang pernah terinspirasi oleh iman, bertambah
jumlah orang yang merasa diri jauh dari iman, menjadi acuh tak acuh
terhadap agama atau terikat dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Tak
jarang, beberapa orang beriman mengambil keputusan yang
menjauhkan diri dari iman, dan dengan demikian mereka sepantasnya
menerima ‘evangelisasi baru’. Tambahan lagi bahwa masih begitu
banyak umat manusia yang belum digapai oleh Kabar Baik Yesus Kristus.
Sementara itu, kita sedang mengalami suatu masa krisis yang
menyentuh banyak aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang
ekonomi, finansial, keamanan, lingkungan, tetapi juga tentang arti
kehidupan dan nilai-nilai mendasar yang menjiwainya. Kehidupan
bersama ditandai oleh ketegangan dan konflik, yang menimbulkan
kesulitan dan ketidaknyamanan dalam mencari jalan bagi suatu
perdamaian yang lestari.
Dalam situasi yang rumit ini, di mana cakrawala masa kini dan masa
depan dikelabui oleh awan yang mengancam, menjadi lebih mendesak
lagi membawa dengan gagah berani Injil Kristus. Injil ini menyampaikan
pewartaan tentang harapan, rekonsiliasi, persekutuan, kedekatan Allah
dengan belaskasih-Nya, keselamatan-Nya serta berita bahwa kasih Allah
itu mampu mengatasi kegelapan kejahatan dan menuntun di jalan
kebaikan. Manusia masa kini membutuhkan cahaya yang pasti yang
menerangi jalannya dan ini dia mendapatnya hanya dalam pertemuan
dengan Kristus.
Mari kita bawa ke dunia ini, melalui kesaksian dan kasih kita, harapan yg
ditimbulkan oleh iman kita. Misionaritas Gereja kita bukan proselitisme,
sebaliknya adalah kesaksian hidup yang menerangi jalan, yang
membawa harapan dan kasih. Gereja kita – saya ulangi sekali lagi –
bukan organisasi sosial, perusahaan atau LSM: dia adalah komunitas
orang yg dijiwai oleh Roh Kudus, yang sudah mengalami dan meng-
hayati kekaguman perjumpaan dengan Yesus Kristus dan ingin berbagi
pengalaman kegembiraan ini, dan berbagi Pesan keselamatan yang
dibawa oleh Tuhan. Roh Kudus lah sedang menuntun Gereja dalam per-
jalanan ini.
5. Saya ingin mengajak semua agar menjadi pembawa Kabar Baik Kristus
dan saya sangat berterima kasih kepada semua misionaris, laki-laki dan
perempuan, kepada para imam Fidei Donum, kepada para biarawan/ti,
kepada semua orang beriman yang semakin hari semakin banyak yang
mendengar panggilan Tuhan dan meninggalkan tanah airnya guna
melayani Injil di tempat dan kebudayaan yang berbeda. Saya ingin pula
menggarisbawahi bahwa Gereja-gereja yang masih muda dengan berani
sedang mengambil komitmen untuk mengirim misionarisnya kepada
Gereja-gereja yang dalam kesulitan – tak jarang kepada Gereja-gereja
yang lebih tua juga – dan dengan demikian membawa semangat yang
segar dan antusiasme yang menjadi ciri khas penghayatan imannya,
yang memperbarui hidup dan memberi harapan. Sesuai dengan pesan
Yesus “pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridku” (Mt
28:19), hidup dalam suasana universal ini merupakan suatu kekayaan
bagi setiap gereja lokal, bagi setiap komunitas; memberikan misionaris
tak pernah merupakan suatu kerugian, sebaliknya suatu keuntungan.
Saya mendorong semua yg mendengar panggilan ini supaya menjawab
dengan hati besar kepada suara Roh, sesuai dengan status hidup
masing-masing, dan supaya tidak takut mengikuti Tuhan. Saya ajak juga
para Uskup, keluarga-keluarga religius, komunitas-komunitas dan
kelompok-kelompok kristiani supaya, dengan visi yang luas dan
disernement yang tepat, mendukung panggilan misioner Ad Gentes dan
membantu Gereja-gereja yang membutuhkan imam, religius dan awam
guna memperkuat komunitas kristiani. Perhatian ini seharusnya hidup
juga di antara Gereja-gereja anggota suatu konferensi Uskup tingkat
nasional atau regional: sangat penting bahwa Gereja-gereja yang lebih
kaya akan panggilan, membantu dengan hati besar Gereja-gereja yang
menderita karena kekurangannya.
Saya ajak juga para misionaris, laki-laki dan perempuan,
khususnya imam-imam Fidei Donum  dan awam, supaya hidup dengan
gembira pelayanan mereka dalam Gereja-gereja di mana mereka
bertugas dan membawa serta kegembiraan mereka dan kekayaan iman
Gereja-gereja dari mana mereka berasal, dengan mengingat Paulus dan
Barnabas yang pada akhir perjalanan misioner mereka “ menceriterakan
segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka dan
bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman”
(Kis 14:27). Mereka itu bisa menjadi semacam jalan untuk
‘mengembalikan’ iman de ngan membawa kesegaran gereja-gereja
muda, supaya Gereja-gereja yang lebih tua menemukan kembali
antusiasme dan kegembiraan dalam berbagi iman, dalam suatu
pertukaran yang menjadi kekayaan umum dalam kemuridan Tuhan.
Uskup Roma memikul bersama dengan para Uskup suatu keprihatinan
terhadap semua Gereja dan keprihatinan itu menemukan suatu bentuk
penghayatan dalam komitmen Karya Kepausan Misioner, yang
mempunyai tujuan menjiwai dan memperdalam kesadaran misioner
setiap orang beriman dan setiap komunitas. Dan ini terlaksana melalui
suatu pendidikan misioner seluruh Umat Allah yang lebih mendalam,
begitu pula dengan memupuk kepekaan komunitas-komunitas kristiani
dalam memberikan bantuan guna memperluas Injil di dunia.
Dan sekarang hati kita terarah kepada umat Kristiani di pelbagai tempat
di dunia ini yang mengalami hambatan dalam mengakui iman mereka di
hadapan umum, begitu pula hak untuk menghayati imannya dengan
bebas ditolak. Mereka ini adalah saudara dan saudari kita, saksi yang
berani – yang jumlahnya melebihi jumlah para martir abad-abad
pertama – yang menanggung dengan ketekunan rasuli bentuk-bentuk
penganiayaan masa kini. Tidaklah sedikit yang berani mengambil risiko
terhadap hidup mereka untuk tetap setia kepada Injil Kristus.
Saya dalam doa menyatakan solidaritas saya kepada pribadi-pribadi,
keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas yang mengalami kekerasan
dan intoleransi dan kepada mereka saya sampaikan kata-kata Yesus
yang meneguhkan hati,” Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan
dunia.” (Yoh 16:33).  Paus Benediktus XVI mengimbau agar “firman Tu-
han disebarkan dan dimuliakan” (2Tes 3:1).
Semoga Tahun Iman ini semakin mengeratkan hubungan dengan Kristus
Tuhan, sebab hanya dalam Dialah terdapat kekuatan untuk membangun
masa depan dan hanya dalam Dialah terdapat jaminan kasih yang
otentik dan konsisten (S.Apotolik. Porta Fidei,15).
Saya memberkati dengan sepenuh hati para misionaris, laki-laki dan
perempuan dan semua orang yang mengiringi dan mendukung misi
Gereja yang mendasar ini agar pewartaan Injil dapat berkumandang di
segala penjuru dunia, dan kita, pelayan injil dan misionaris akan
mengalami “betapa menghibur dan meneguhkan pewartaan Injil”
(EN,80).
Dari Vatikan, 19 Mei 2013, Hari Raya Pentakosta.
Alih bahasa: Misionaris Xaverian.
Sumber: http://www.kkindonesia.org/

Anda mungkin juga menyukai