Anda di halaman 1dari 13

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu bangsa agraris yang sebagian besar warganya
bekerja pada bidang pertanian. Salah satu komoditas pertanian terbesar di Indonesia
adalah kunyit (Rezki et al. 2015). Kunyit (Curcuma longa L.) adalah salah satu jenis
rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai kebutuhan bumbu dalam masakan
ataupun sebagai obat herbal. Tanaman ini tumbuh berkecambah dengan tinggi 40-
100cm dengan batang yang tegak,bulat, membentuk rimpang berwarna kekuningan
dan tersusun dari pelepah daun yang cukup lunak. Tanaman ini juga sangat
berkhasiat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya sistem pengobatan tradisional dan
lebih dari 60% produk farmasetik berasal dari kunyit (Hanjati 2009).
Kunyit dapat berkhasiat sebagai obat karena memiliki senyawa metabolit
sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan melalui reaksi
sekunder dari metabolit primer seperti protein, lemak dan karbohidrat. Menurut
Kulkarni et al. (2012) terdapat lebih dari 200.000 struktur dari produk metabolit
sekunder, sehingga untuk memudahkan klasifikasi dari metabolit sekunder tersebut,
perlu di golongkan ke dalam beberapa kelompok. Salah satu jenis metabolit sekunder
secara umum terbagi menjadi fenolik, flavonoid, karotenoid, alkaloid dan terpenoid.
Senyawa-senyawa ini dapat bermanfaat bagi kesehatan, tetapi beberapa senyawanya
juga dapat bersifat toksik bagi mahluk hidup. Oleh karena itu, uji aktivasi zat aktif di
dalam kunyit harus dilakukan untuk mengetahui apakah kunyit ini memiliki manfaat
bagi kesehatan atau bersifat toksik.
Uji aktivasi yang dilakukan dapat dilakukan dengan beberapa parameter seperti
uji fitokimia, uji aktivitas antibakteri, uji toksisitas terhadap larva udang, uji
antifeedant, uji inhibitor perkecambahan, dan deteksi potensi antioksidan. Semua
parameter uji ini dilakukan dengan sampel kunyit yang telah diekstraksi dengan
pelarut metanol dan etanol. Hasil dari pengujian aktivitas ini dapat memberikan
informasi mengenai kadungan zat aktif di dalam kunyit, sehingga kunyit dapat
dijadikan sebagai bahan pengobatan yang tepat sesuai dengan jenis zat aktifnya.
Penggunan bahan alam yang tidak tepat juga dapat memberikan efek toksik terhadap
kesehatan. Oleh karena itu, pengujian aktivitas zat aktif di dalam kunyit harus
dilakukan.

1.2 Tujuan

Percobaan bertujuan untuk mengetahui aktivitas zat aktif di dalam sampel


ekstrak kunyit dengan pengujian fitokimia, toksisitas dengan larva udang,
antifeedant, antibakteri, inhibitor perkecambahan, dan uji antioksidan, serta
membandingkan hasilnya antara ekstrak kunyit pelarut metanol dan etanol.
2 METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah beaker, erlenmayer, corong, pipet mohr, pipet
volumetric, pipet tetes, tabung reaksi, labu takar, batang pengaduk, kaca arloji, sudip,
multiwall, hotplate, cawan petri, kain kasa, kertas saring, pelat KLT, bejana
kromatografi, pipa kapiler, magnetic stirrer,bunsen, alumunium foil, botol semprot,
neraca analitik, hair dryer dan spektrofotometri uv-vis.
Bahan yang digunakan adalah rimpang kunyit, etanol, metanol, akuades, serbuk
Mg, HClp, amil alkohol, kloroform-ammonia (3:1), H2SO4 2M, pereaksi mayer,
dragendorf, wargner, dietil eter, pereaksi Lieberman-Buchard, FeCl 3 1%, larva udang,
larutan NaCl 2%, media agar, streptomisin, bakteri E.coli, bakteri Bacillus sp., ulat
grayak, daun talas, (BAHAN AKTIVITAS ANTI OKSIDAN SAMA
PERKECAMBAHAN BELOM).

2.2 Prosedur Penelitian

2.2.1 Ekstraksi kunyit


Rimpang kunyit yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 20 gram, kemudian
dilarutkan ke dalam 150 ml pelarut etanol dan metanol. Masing-masing jenis pelarut
dilakukan tiga kali ulangan. Campuran kunyit dengan pelarut diaduk secara konstan
ssetiap 15 menit, dan didiamkan 5 menit. Pengadukan ini terus berjalan selama 1.5
jam. Setelah itu, campuran disaring filtratnya, dan ekstraknya ditambahkan kembali
100ml pelarut dan diaduk setiap 15 menit selama 45 menit. Filtrat kemudian di saring
dan digabungkan dengan hasil ekstraksi pertama. Hasil ekstrak kemudian dipekatkan
dengan hair dryer hingga volume ektrak tersisa 5 ml. Ekstrak yang sudah dipekatkan
disimpan di dalam botol kaca tertutup.

2.2.2 Uji Fitokimia


Uji fitokimia diawali dengan pengujian flavonoid. Sebanyak 1 g kunyit yang
tekah dihaluskan dimasukan ke dalam gelas piala, dan kemudian dilarutkan dalam 25
ml air panas. Campuran tersebut kemudian didihkan selama 5 menit dan kemudian di
saring. Hasil penyaringan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 0.1 mg serbuk Mg, 1 ml HCl pekat dan 1 ml amil alkohol, lalu dikocok
kuat. Warna yang terbentuk kemudian diamati, jika dihasilkan warna emrah, kuning,
atau jingga pada lapisan amil alkohol, maka hasil menunjuka adanya flavonoid
Uji alkaloid dilakukan dengan cara ditimbang sebanyak 0.3 g sampel kunyit dan
dilarutkan di dalam 10 ml kloroform-ammonia (3:1), kemudian disaring. Filtrat hasil
penyaringan ditambakan H2SO4 2M, kemudian dikocong hingga terbentuk dua
lapisan. Lapisan asam dipipet ke dalam tiga tabung reaksi berbeda dan ditambahkan
pereaksi mayer pada tabung 1, pereaksi dragendorf pada tabung 2 dan pereaksi
wagner pada tabung 3. Warna yang terbentuk diaamati, jika sampel mengandung
alkaloid akan dihasilkan endapan berwarna putih pada tabung 1, jingga pada tabung2,
dan coklat pada tabung 3.
Uji steroid dilakukan dengan cara ditimbang sampel sebanyak 0.3 g dan
ditambahkan 25 ml dietel eter. Campuran kemudian dikocok. Lapisan dietil eter
dipisahkan untuk uji steroid, dan residunya disimpan untuk uji saponin. Lapisan eter
yang telah dipisahkan ditambahkan pereaksi Lieberman-Buchard. Warna yang
terbentuk diamati, jika terbentuk warna hijau-biru maka positif adanya steroid.
Residu yang dipisahkan kemudian dilarutkan di dalam 5 ml air dan dipanaskan
selama 5 menit. Larutan kemudian dikocok kuat dan dibiarkan selama 15 menit, jika
terdapat busa yang stabil maka sampel positif saponin.
Uji fitokimia yang terakhir adalah pengujian tanin. Sebanyak 0.1 g sampel
kunyit ditimbang dan dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1
ml metanol ke dalam tabung reaksi dan disaring. Filtrat yang dihasilkan ditambahkan
FeCl3 1%. Warna yang terbentuk diamati, jika terbentuk warna hijau, biru atau ungu
maka sampel positif adanya tanin.

(LANJUTIN METODE LAINNYA)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Ekstraksi dan Uji Fitokimia Ekstra Kunyit

Kandungan senyawa aktif di dalam kunyit dapat diambil dengan metode


ekstraksi. Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dimana komponen
mengalami perpindahan massa dari suatu padatan ke cairan atau dari cairan ke cairan
lain yang bertidak sebagai pelarut (Santosa dan Sulistiawati 2014). Ekstraksi terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu ekstraksi maserasi, sokletasi, dan refluks. Salah satu
jenis ekstraksi yang gemar digunakan dalam pemisahan komponen aktif senyawa dari
kunyit adalah maserasi. Metode ini adalah salah satu metode yang paling sederhana
dibandingkan metode ekstraksi lainnya.
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang dilakukan tanpa adanya
pemanasan. Metode ini dilakukan dengan cara memasukan sampel yang telah
dihaluskan ke dalah suatu wadah dan ditambahkan pelarut, kemudian didiamkan serta
dilakukan pengadukan dalam waktu tertentu. Proses ekstraksi dihentikan ketika
tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa di dalam pelarut dengan
konsentrasi sampel yang digunakan. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari
sampel dengan penyaringan. Kekurangan dari metode ini adalah memakan waktu
yang sangat lama untuk proses ekstraksi, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan
kemungkinan tidak semua komponen dapat terekstrak secara sempurna.
Metode maserasi yang dilakukan pada penelitian Maleta et al. (2018)
menghabiskan waktu selama 24 jam untuk proses ekstraksi, sedangkan pada
percobaan menghabiskan waktu selama 2.5 jam. Metode ini terbukti memakan waktu
yang sangat lama dibandingkan dengan metode ekstraksi dengan adanya pemanasan.
Akan tetapi, metode maserasi ini merupakan metode paling aman untuk menentukan
atau memisahkan komponen aktif di dalam suatu sampel yang belum diketahui
kandungan aktifnya. Penggunaan metode ekstraksi dengan adanya pemanasan tidak
dipilih, karena dikhawatirkan dapat merusak atau menghilangkan komponen aktif di
dalam sampel. Oleh karena itu, metode maserasi dipilih dalam percobaan ini.
Proses ekstraksi ini diawali dengan melarutkan rimpang kunyit di dalam
pelarut. Pelarut yang digunakan ada dua jenis, yaitu etanol dan methanol. Penggunaan
dua jenis pelarut yang berbeda ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pelarut
yang digunakan terhadap ekstrak yang diperoleh. Campuran pelarut dengan rimpang
kuyit ini kemudian dilakukan pengadukan selama 15 menit, kemudian didiamkan
selama 5 menit. Pengadukan pada proses ekstraksi dilakukan untuk mengeluarkan
senyawa aktif di dalam sampel, sehingga akan larut di dalam pelarut. Setalah diaduk,
sampel di diamkan selama 5 menit dan ditutup agar pelarutnya tidak menguap.
Pengadukan dan perendaman sampel ini dilakuan terus menerus selama 1.5 jam.
Kemudian ekstrak yang dihasilkan disaring untuk dipisahkan dari ampasnya.
Ampas yang dipisahkan dari hasil penyaringan tidak langsung dibuang. Ampas
ini ditambahkan pelarut dan dilakukan pengadukan lagi selama 15 menit dan terus
berulang selama 45 menit. Tujuan dari penambahan kembali pelarut ini adalah untuk
memaksimalkan ekstraksi agar seluruh komponen aktif dari sampel dapat diperoleh.
Ekstrak yang dihasilkan kemudian dipekatkan sampai menghasilkan volume akhir 5
ml. Pemekatan ekstrak ini dilakukan untuk menghilangkan kandungan pelarut,
sehingga diharapkan hanya komponen aktifnya saja yang tersisa. Proses pemekatan
ini juga harus diperhatikan, karena jika suhu yang digunakan teralu tinggi akan
menyebabkan komponen aktif di dalam ekstrak akan menghilang.
Ekstrak yang telah dipekatkan hingga 5 ml kemudian ditimbang untuk
mengetahui rendemen yang diperoleh. Berikut adalah hasil dari pengukuran
rendemen ekstrak yang diperoleh.
Tabel 1 Hasil rendemen ekstrak kunyit
Bobot
Bobot Bobot Rendemen
Ulangan Pelarut botol+ekstra
kunyit (g) botol (g) (%)
k (g)
1 Etanol 20.000 90.94 100.25 46.550
2 Etanol 20.005 102.005 112.85 54.211
3 Etanol 20.000 103.95 107.995 20.225
x 40.436
1 Metanol 20.000 101.8 109.825 40.125
2 Metanol 20.000 106.09 112.76 33.350
3 Metanol 20.010 99.865 111.995 60.620
x 44.698
Berdasarkan tabel 1, hasil rendemen dari proses ekstraksi menggunakan metode
maserasi menghasilkan % rendemen yang bervariasi. Rendemen yang dihasilkan pada
pelarut methanol lebih besar dibandingkan pelarut etanol. Hal ini dipengaruhi dari
sifat polaritas dari pelarut yang digunakan. Pelarut methanol memiliki indeks
polaritas lebih tinggi dibandingkan etanol yaitu 5.1 , sedangkan etanol hanya 4.4 .
Hasil rendemen yang tinggi ini disebabkan lebih banyaknya komponen atau senyawa
aktif yang terekstrak di dalam pelarut methanol karena sifat kepolaran dari senyawa
aktif tersebut. Senyawa aktif yang bersifat polar akan larut di dalam pelarut polar,
sedangkan senyawa yang bersifat non polar akan larut dalam pelarut non polar seperti
prinsip like dissolved like. Hal ini juga dibuktikan dari penelitian Hidayah et al.
(2016) dimana rendemen ekstrak menggunakan pelarut polar lebih besar daripada
pelarut yang tingkat kepolarannya lebih rendah. Pelarut methanol juga bersifat
semipolar, di mana komponen yang kepolarannya cenderung nonpolar juga dapat
larut di dalam pelarut ini, sehingga hasil rendemen yang dihasilkan lebih besar.
Selain proses ekstraksi, rimpang kunyit juga harus dilakukan skrining fitokimia.
Skrining fitokimia merupakan suatu tahapan awal untuk mengidentifikasi kandungan
suatu senyawa dalam tanaman yang ingin diuji (Dewatisari et al. 2015). Fitokimia
atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senaywa organic yang dibentuk dan
ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, dan
penyebarannya. Senyawa kimia sebagai hasil metabolit sekunder ini telah banyak
digunakan untuk berbagai kebutuhan, salah satunya adalah obat. Senyawa-senyawa
kimia hasil metabolit sekunder ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan
seperti flavonoid, alkaloid, steoroid, saponin, dan tannin.

3.1.1 Pengujian Flavonoid


Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan
di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat yang terdiri dari 15 atom karbon,
dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada rantai propane (C3), sehingga
membentuk susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan 3 jenis struktur,
yaitu 1,3 diarilpropana (flavonoid), 1,2-diarilpropan (isoflavonoid), dan 1,1-
diarilpropan (neoflavonoid). Flavonoid ini termasuk senyawa yang bersifat polar
karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubsitusi (Gafur et al. 2012).
Berikut adalah struktur dari 3 jenis utama senyawa flavonoid.

(a) (b) (c)


(Gafur et al. 2012)
Gambar 1 Struktur senyawa (a) 1,3 diarilpropana (flavonoid) (b) 1,2-diarilpropan
(isoflavonoid) (c) 1,1-diarilpropan (neoflavonoid)

Pengujian flavonoid pada percobaan ini termasuk dalam metode kualitatif,


dimana sampel hanya akan diidentifikasi apakah terdapat kandungan flavonoid atau
tidak. Identifikasi ini tidak dapat spesifk pada jenis flavonoid jenis apa dan jumlah
kadarnya di dalam sampel. Pengujian ini menggunakan uji yang bernama uji wistater
dimana hasil positif adanya kandungan flavonoid akan ditandai dengan terbentuknya
warna jingga. Perekasi yang digunakan dalam pengujian ini adalah Mg dan
HClpekat .Fungsi dari penambahan pereaksi ini adalah untuk mereduksi inti
benzopiron, sehingga terbentuk garam flavilium berwarna merah atau jingga (Ergina
et al. 2014). Benzopiron merupakan suatu senyawa dengan 2 gugus benzena yang
memiliki atom oksigen pada cincin keduanya. Struktur ini dapat ditemukan di dalam
senyawa flavonoid, sehingga ketika suatu sampel mengandung flavonoid akan
menghasilkan perubahan warna menjadi jingga atau merah pada saat penambahan Mg
dan HClp. Semakin pekat warna yang dihasilkan, maka kandungan flavonoidnya
semakin tinggi. Berikut adalag reaksi yang terjadi.

(Ergina et al. 2014)


Gambar 2 Reaksi flavonoid dengan Mg dan HClp

Sampel kunyit yang diuji menghasilkan warna jingga seperti pada gambar 3,
yang menandakan adanya kandungan flavonoid. Warna yang dihasilkan tidak terlalu
pekat, sehingga menandakan kadar flavonoid di dalam sampel tidak terlalu tinggi.
berikut adalah gambar dari hasil pengujian flavonoid.

Gambar 3 Hasil pengujian flavonoid

3.1.2 Pengujian Alkaloid


Alkaloid merupakan suatu senyawa golongan basa bernitrogen yang sebagian
besar heterosiklik dan terdapat di dalam tumbuhan (Aksara et al. 2014) . Senyawa ini
terdiri atas karbon, hydrogen, dan nitrogen yang sebagian besar atom nitrogen ini
merupkan bagian dari cincin heterosiklik dan sebagian besar diantaranya
mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat
basa) dikarenakan adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen
sehingga dapat mendonorkan sepasang elektronnya. Berikut adalah struktur umum
alkaloid.
(Aksara et al. 2014)
Gambar 4 Struktur alkaloid

Pengujian alkaloid dilakukan dengan 3 jenis pereaksi, yaitu wagner, mayer dan
dragendroff. Langkah awal yang dilakukan untuk pengujian alkaloid ini adalah,
Sampel dilarutkan di dalam kloroform-amonia (3:1). Penambahan larutan ini
digunakan untuk mekestrak komponen aktif di dalam sampel kunyit. Kemudian
disaring untuk memisahkan ampas dengan ekstraknya. Setelah itu ditambahkan
H2SO4 untuk meningkatkan kelarutan alkaloid. Alkaloid lebih larut di dalam asam,
sehingga yang diambil adalah fase asamnya. Fase asamnya diambil, dan di teteskan
ke dalam pelat untuk diuji. Setelah itu masing-masing ekstrak ditambahkan dengan 3
jenis pereaksi.
Prinsip dari penentuan alkaloid ini adalah reaksi pengendapan yang terjadi
karena adanya pergantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasangan electron
bebas pada alkaloid dapat menggantikan ion dalam pereaksi-pereaksi yang
digunakan. Pereaksi dragendroff mengandung bismut nitrat dan kalium iodide dalam
larutan asam aseat glasial. Hasil positi pada uji ini ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning (jingga). Endaoan tersebut adalah kalium
alkaloid. Bismuth nitrat di dalam pereaksi dragendroff dilarutkan menggunakan HCl
agar tidak terjadi hidrolisis. Garam-garam bismuth sangat mudah terhidrolisis
membentuk ion bismutil (BiO+). Berikut adalah reaksi hidrolisis bismuth.
Bi2+ + H2O BiO+ + 2H+
(Ergina et al. 2014)
Gambar 5 Reaksi hidrolisis bismuth

Proses hidrolisis ion Bi2+ ini dapat dihindari dengan penambahan larutan
asam, sehingga kesetimbagan akan bergeser ke arah kiri dan pembentukan BiO + tidak
akan terjadi. Ion Bi2+ dari bismut nitrat akan bereaksi dengan KI membentuk endapan
hitam bismut(II) iodid yang kemudian melarut dalam KI berlebih membentuk kalium
tetraiodobismutat. Pada uji alkaloid dengan pereaksi dragendorf, nitrogen digunakan
untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam.
Berikut merupakan reaksi yang terjadi.
(Ergina et al. 2014)
Gambar 5 Reaksi alkaloid dengan pereaksi dragendroff

Pengujian alkaloid dengan pereaksi dragendroff ini menghasilkan warna


jingga pada sampel kunyit seperti gambar 6. Hal ini menandakan bahwa sampel
kunyit mengandung metabolit sekunder alkaloid. Endapan jingga tersebut merupakan
kalium alkaloid. Warna yang dihasilkan tidak terlalu pekat, sehingga dapat dikatakan
kadarnya rendah di dalam sampel. Berikut adalah hasil dari pengujian alkaloid dari
sampel kunyit.

Gambar 6 Uji alkaloid dengan pereaksi dragendroff

Pengujian alkaloid selanjutnya adalah dengan menggunakan pereaksi mayer.


Pereaksi mayer mengandung kalium iodide dan merkuri klorida (kalium
tetraiosomerkurat (II)). Hasil positif dari adanya alkaloid menggunakan pereaksi
mayer adalah terbentuknya endapan putih. Pembuatan reaksi mayer ini dilakukan
dengan cara larutan merkuri(II) klorida ditambahkan kalium iodide akan
menghasilkan endapan berwarna merah merkuri (II) iodide (Ergina et al. 2014).
Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan electron bebas,
sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion
logam. Atom nitrogen dapat bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium
tetrtaiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Berikut adalah reaksi yang terjadi.
(Ergina et al. 2014)
Gambar 7 Reaksi pengujian alkaloid dengan pereaksi mayer

Pengujian alkaloid dengan pereaksi mayer ini tidak menghasilkan endapan


berwarna putih dalam pengujian. Berbeda dengan pengujian menggunakan pereaksi
dragendroff yang meghasilkan hasil yang positif. Hasil negatifi ini dapat disebabkan
oleh tidak terikatnya ion K+ pada senyawa alkaloid. Kadar alkaloid yang sedikit juga
dapat menjadi penyebab tidak terbentuknya endapan kalium alkaloid, sehingga hasil
yang diperoleh negatif. Berikut adalah gambar dari hasil pengujian alkaloid dengan
pereaksi mayer.

Gambar 8 Hasil pengujian alkaloid dengan pereaksi mayer

Pereaksi lainnya yang dapat digunakan untuk uji kualitatif alkaloid adalah
pereaksi wagner. Pereaksi ini berisi iodin dan kalium iodide, di mana hasil positif dari
adanya alkaloid ditandai dengan pembentukan endapan berwarna coklat. Berikut
adalah reaksi yang terjadi.

(Risky dan Suyatno 2014)


Gambar 9 Reaksi alkaloid dengan pereaksi wagner

Hasil dari pengujian alkaloid menggunakan pereaksi wagner adalah positif


adanya alkaloid. Hal ini dapat dilihat pada gambar 10, sampel yang ditambahkan
pereaksi wagner membentuk endapan berwarna coklat. Warna coklat ini terbentuk
dari adanya endapan kalium alkaloid dan I3- bebas. Semakin pekat warna yang
terbentuk, maka kandungan alkaloid di dalam sampel semakin banyak. Berikut adalah
gambar dari hasil percobaan.

Gambar 10 Hasil penentuan alkaloid dengan pereaksi wagner

3.1.3 Pengujian Steroid


Steroid merupakan senyawa oragnnik lemak sterol yang tidak terhidrolisis
dalam reaksi penurunan terpena atau skualena. Senyawa ini dapat diidentifikasi
dengan uji Liebermann Buchard. Lieberman buchard merupakan pereaksi yang
berisi asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat yang memberikan warna hijau-biru,
jika bereaksi dengan steroid. Steroid merupakan senyawa turunan triterpenoid jika
sampel kunyit mengandung steroid maka akan terbentuk senyawa berwarna hijau-biru
sedangkan jika mengandung triterpenoid maka akan terbentuk senyawa berwarna
jingga kemerahan. Berdasarkan hasil percobaan pada gambbar 11, dihasilkan warna
jingga kemerahan pada sampel kunyit. Hal ini menandakan bahwa kunyit
mengandung tritrerpenoid.

Gambar 11 Pengujian Steroid

3.1.4 Pengujian Saponin


Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dapat membentuk buih jika
dikocok dalam air. Berdasarjan strukturnya, saponin terbagi menjadi dua yaitu
steroid dan triterpenoid (Puspariani 2007). Saponin steroid lebih sedikit terdistribusi
di alam dibandingkna dengan tipe triterpenoid. Uji yang digunakan untuk
mengidentifikasi adanya saponin adalah dengan uji forth. Uji ini dilakukan dengan
cara residu dari pengujian steroid ditambahkan air dan dipanaskan. Saponin akan
larut di dalam air dan membentuk buih yang stabil selama 15 menit.
Identifikasi adanya saponin menggunakan uji forth menunjukkan hasil yang
positif dan menghasilkan buih yang stabil selama 15 menit. Buih yang terbentuk
menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam
air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lain. Berikut adalah hasil dari
pengujian saponin pada sampel kunyit.

Gambar 12 Pengujian Saponin

3.1.5 Pengujian Tanin


Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai
beberapa khasiat yaitu sebagai astrigen, anti diare, anti bakteri dan anti oksidan.
Tannin merupakan komponen zat organic yang sangat kompleks, terdiri dari senyawa
fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal. Tannin dibagi menjadi dua
jenis, yaitu yanin terhidrolisis dan tannin terkondensasi. Tannin juga dapat mengkelat
logam sehingga dapat mengendapkan protein (Malangngi et al. 2010). Tanin dapat
diidentifikasi dengan mudah yaitu dengan cara pembentukan kompleks logam
menggunakan FeCl3.
Identifikasi tanin menggunakan pereaksi FeCl3 akan menghasilkan warna
hijau,merah, ungu ataupun hitam jika positif mengandung tanin. Berdasarkan hasil
percobaan, sampel kunyit ketika ditambahkan pereaksi liberman-buchard
menghasilkan warna hitam yang cukup pekat. Oleh karena itu, sampel kunyit
mengandung tannin. Berikut adalah gambar dari hasil percobaan dari pengujian
tannin pada sampel kunyit dan reaksi yang terjadi.
(a) (b)
(Malangngi et al. 2010)
Gambar 13 (a) Reaksi antara tanin dengan FeCl3 (b) Hasil penujian tanin

DAFTAR PUSTAKA

Rezki RS, Anggoro D, Siswarni MZ. 2015. Ekstraksi multi tahap kurkumin dari
kunyit (Curcuma domestica Valet) menggunakan pelarut etanol. JTK. 1 (3) :
29-34
Dewatisari WF, Rumiyanti L, Rrkahmawati I. 2015. Rendemen dan skrining
firokimia pada ekstrak daun Sanseviera sp. J. Penelitian Pertanian Terapan. 17
(3) : 197-202.
Maleta HS, Indrawati R, Limantara L, Brotosudarmo THP. 2018. Ragam metode
ekstraksi karotenoid dari sumber tumbuhan dalam decade terakhir. J. Rekayasa
Kimia dan Lingkungan. 13 (1) : 40-50.
Santoso I, Sulistiawati E. 2014. Ekstraksi abu kayu dengan pelarut air menggunakan
sistem bertahap banyak beraliran silang. J. Chemica. 1 (1) : 33-39.
Hidayah N, Hisan AK, Solikin A, Irawati, Mustikaningtyas D. 2016. Uji efektivitas
ekstrak Sargassum muticum sebagai alternative obat bisul akibat aktivitas
Staphylococcus aureus. J. Creativity Student. 1 (1) : 1-9
Gafur MA, Isa IM Bialangi N. 2012. Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari
daun jamblang (Syzygium cumini). J. Kimia. 1(1) : 1-7.
Aksara R, Musa WJA, Alio L. 2014. Identifikasi senyawa alkaloid dari ekstrak
methanol kulit batang. J. Kimia. 1 (2) : 8-15.
Risky TA, Suyatno. 2014. Aktivitas antioksidan dan antikanker ektrak methanol
tumbuhan paku Adiantum philippensis L. J. Chemistry. 3 (1) : 21-28.
Purpanani YS. 2007. Isolasi dan identifikasi saponin pada kecambah kedelai
(Chyrine L.) [skripsi]. Yogyakarta (ID) : Universitas Sanata Dharma.
Malangngi LP, Sangi MS, Paendong JJE. 2010. Penentuan kandungan tannin dan uji
aktivitas antioksidan ekstrak biji buat alpukat (Persea americana M.). J.MIPA.
1(1) : 5-10
Kulkarni SJ, Maske KN, Budre KP, Mahajan RP. 2012. Extraction and Purification
of curcuminoids from Turmeric (curcuma longa L.). J. Pharmacology and
Pharmaceutical Technology. 1 (2) : 81-88.
Harjanti RS. 2009. Pemungutan kurkumin dari kunyit (Curcuma domestica val.) dan
pemakaiannya sebagai indikator analisis volumetric. Jurnal Rekayasa Proses,
2 (2) : 51-56.

Anda mungkin juga menyukai