Anda di halaman 1dari 7

Konsumsi Inter-Temporal Dalam Islam

Bagian ini menujukan pada Monzer Khaf yang berusaha mengembangkan pemikiran tentang hal ini,
dengan memulai membuat asumsi sebagai berikut :

Islam dilaksanakan oleh masyarakat

1. Zakat hukumnya wajib


2. Tidak ada riba dalam perekonomian
3. Mudarabah wujud dalam perekonomian
4. Perilaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahan

Berlakunya beberapa instrument dalam ekonomi islam tentu berdampak pula kepada perubahan
perilaku konsumsi bila tanpa instrument ekonomi islam tersebut. Beberapa istrumen yang dapat
mempengaruhi volume jumlah uang yang dialokasikan untuk konsumsi baik pada periode satu atau dua
meliputi :

Zakat  pengenaan zakat pada periode 1 (Z 1) akan mengurangi m. yang dialokasikan untuk C3.
Bila tidak ada tabungan atau pinjaman pada periode 1 maka final spending (m 1 = FS = C1 + Z1)
sama dengan m.

Infak  pengeluaran infak pada periode 1 akan mengurangi m, yang dialokasikan untuk C1. Tidak
ada tabungan atau pinjaman pada periode 1 maka final spending sama dengan m 1.

Rate of profit  apabila pada periode 1 ada bagian m 1, yang dialokasikan dalam bentuk tabungan yang
diinventasikan maka final spending periode 2 (FS 2) sama dengan m2 ditambah d engan jumlah
m1 yang ditabung ditambah dengan rate of profit (rp) (FS2 = m2 + (1+rp) m1 ).

Konsep Islam yang dijelaskan oleh hadist Rasullulah Saw yang maknanya adalah “Yang kamu miliki
adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”. Oleh karena itu persamaan
pendapatan menjadi :

Y = (C + infak ) + S

Secara grafis, hal ini seharusnya digambarkan dengan tiga dimensi. Namun, untuk kemudahan penyajian
grafis yaitu dengan dua dimensi, maka persamaan ini disederhanakan menjadi :

Y = FS + S

Dimana : FS = C + infak

FS adalah final spending di jalan Allah

Dalam pola konsumsi satu periode, sumbu C dan Y menujukan jumlah barang X dan Y. Sedangkan dalam
pola konsumsi intertemporal (dua periode), sumbu X menujukan jumlah pendapatan, konsumsi, dan
tabungan pada periode pertama. Secara matematis ini disimbolkan sebagai Y, C, dan S. Karena konsumsi
dalam konsep islam yang dikenal adalah (C + infak), maka symbol yang digunakan adalah FS. Pada
sumbu Y menujukan jumlah tabungan periode pertama (S) yang digunakan sebagai konsumsi periode
kedua (C,,,) atau dengan kata lain S 1 = C. Dalam konsep islam symbol yang digunakan adalah FS, atau
persamaan menjadi S1 = FS.

Hubungan Terbalik Riba dengan sedekah

Sekarang bayangkanlah suatu keadaan dimana :

1. Orang tidak mau bekerja mencari pendapatan


2. Pratik riba menjadi tradisi di masyarakat.
3. Zakat wajib dilaksanakan

Dari keadaan ini dapat digambarkan 3 kombinasi utility function ( dalam hal disebut Indefference curve
atau IG ) dengan budget line.

Kasus I :

 Orang tidak mau memakan riba yang juga berarti tambahan pendapatan nihil secara matematis Y 1 =
Y1+2 riba dimana riba = 0 sehingga Y1+2 = Y3

 Orang tidak mengeluarkan zakat atas hartanya. Bila telah mengeluarkan zakatnya ketika menerima
pendapatan, maka ia tidak mengeluarkan zakat lagi pada periode pertama. Atau dengan kata lain Y
adalah income after zakat.

Titik optimal terjadi pada persinggungan Budget line dengan indifference curve yaitu pada titik R,
dimana tingkat konsumsi dan infaknya adalah sebesar FS.

Kasus II :

Budget line YY` menunjukan keadaan di mana :


 orang mau memakan riba yang juga berarti tambahan pendapatanya positif. Secara matematis
ditulis : Y1 = Y1 + riba, dimana riba > 0, sehingga Y 1+1 > Y1

 Orang tidak mengelurakan zakat atas hartanya dalam hal ini zakat atas kenaikan hartanya akibat riba

Titik optimal terjadi pada persinggungan Budget line dengan indifference curve yaitu pada titik R`,
dimana tingkat konsumsi dan infaknya adalah sebesar FS’.

Dibanding dengan kasus I yang tidak ada riba, maka kasus II ini menghasilkan tingkat FS` yang lebih kecil
daripada FS (FS` < FS). Jadi dengan dibolehkan riba ternyata terjadi penurunan final spending. Dari dua
komponen final spending yaitu konsumsi ( C ) dan infa, maka yang paling mungkin turun adalah
komponen infak. Hal ini disebabkan karena kecenderungan orang untuk mempertahankan tingkat
konsumsinya. Dengan kata lain, komponen konsumsi cenderung fixed untuk tingkat pendapatan
tertentu, sedangkan komponen infak cenderung variable untuk tingkat pendapatan tertentu. Sehingga
kita mendapatkan hubungan terbalik ( inverse relationship) antara riba dengan infak.

Infak = f (Riba)

Semakin besar riba, maka semakin kecil infak. Semakin kecil riba, maka semakin besar infak. Dalam
suatu masyarakat dimana riba telah begitu merajalela, maka tingkat infaknya akan kecil bahkan
kadangkala orang berusaha menghindarkan untuk membayar zakat yang memang merupakan
kewajibanya. Sebaliknya bila riba dihapuskan dari perekonomian, maka infak akan tumbuh subur. Aliah
berfirman : “ Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah” (QS 2-276).

Kasus III :

Budget line YY`` menunjukan keadaan di mana :

 Orang tidak mau memakan riba dan tidak juga mau bekerja mencari pendapatan sehingga tambahan
pendapatannya nihil. Secara matematis ditulis Y 1 = Y1 + riba
dimana riba = 0 sehingga Y1+1 = Y1

 Orang harus mengeluarkan zakat atas hartanya dalam hal pendapatan periode pertama yang
disimpan saja. Bila ia tidak melakukan konsumsi atau infak pada periode pertama (FS 1 = 0) maka Y 1+1 –
( C1 + infak ) = S1. Zakat dikeluarkan sebesar Zs1
dimana z adalah rate zakat.

Titik optimal terjadi pada persinggungan budget line dengan indifference curve yaitu pada titik R”.
Dimana tingkat konsumsi dan infaknya adalah sebesar FS”.

Dibanding dengan kasus I dan kasus II, maka kasus III ini tingkat indifference curve nya berada pada
tingkat yang paling rendah. Hal ini wajar saja, karena dengan tidak bekerja dan tidak memakan tiba
berarti ia tidak mendapatkan pendapatan apa pun baik yang halal maupun yang haram. Jadi wajar saja
bila indifference curvenya berada pada tingat yang paling rendah.

Yang menarik lagi adalah untuk tingkat pendapatan tertentu (given any income ) final spending pada
kasus III ini lebih besar dibandingkan dengan final spending pada kasus II dan kasus III (FS” > FS > FS’).
Logikanya sebagai berikut. Bagi orang yang tidak mempunyai sumber pendapatan apap pun sedangkan
ia sadar bahwa ia harus mengeluarkan zakatnya ketika mencapai waktunya (haul). Maka ia mempunyai 4
pilihan yaitu :

Mempertahankan tingkat konsumsinya, misalnya pada tingkat C, sehingga jumlah objek zakatnya adalah
Y – C1 – infak1 = S1 dan jumlah zakatnya adalah Z1 = Zs1

Meningkatkan tingkat konsumsinya menjadi C 2 dimana C2 = C1 + CC > 0 sehingga C2 > C1 jumlah objek
zakatnya adalah Y – C2 – infak1 = S2 dan jumlah zakatnya adalah Z 2 = Zs2 . Oleh karena itu C2 > C1 maka S2 <
S1 dan Z2 < Z1 . Bila stategi ini yang digunakan, maka orang akan berada pada tingkat konsumsi yang lebih
tinggi dan membayar zakat lebih kecil.

Meningkatkan tingkat infaknya menjadi infak 2 dimana Infak2 = infak1 + infak >0 sehingga infak2 : jumlah
onjek zakatnya adalah Y – C1 - Infak2 = jumlah zakatnya adalah Z3 = zS3 oleh karena itu infak2 > infak1 ,
maka S3 < S1 dan Z3 < Z1. Bila stategi ini yang digunakan, maka orang yang memilih untuk memperbesar
infaknya untuk menghindari kewajiban zakat karena dengan berinfak, hartanya tidak lagi mencapai
nisab.

Hubungan Terbalik saving ratio dengan final spending

Untuk melihat hubungan antara saving dan final spending, kita akan melihatnya pada final spending
dalam periode pertama dan kedua. Total final spending pada dua periode tersebut adalah final spending
periode pertama ditambah final spending periode kedua, secara matematlis :

FS = FS(t – 1) + FS(t-2)

Dimana : FS(t – 1) = Y – S1

FS(t-1) = S1 – zS1 10

Zs1 = adalah besarnya zakat pada periode kedua, zakat pada periode dua hanya didasarkan pada
besarnya jumlah tabungan pada periode pertama S 1

Krena S1 = Sy1

Maka dapat ditulis : Fstotal = FS(t-1) + FS(t-2)

= (Y1 – S1 ) + (S1 – zS1)


= (Y1 – sY1) + (Sy1 – zsY1)

= Y1 (1 –zs)

Dari persamaan ini, terlihat bahwa komponen ‘zs’ bertanda negatif. Istilah ini menunjukan adanya
hubungan terbalik antara final spending dengan saving ratio ‘s’ sedangkan zakat rate ‘z’ tetap besarnya.
Semakin besar ‘-s’ maka semakin kecil FS sebaliknya semakin kecil ‘-s’ maka semakin besar FS.

Inventasikan Tabungan

Apa artinya tabunga bila tidak diinventasikan. Ia hanya menjadi seonggok harta yang tidak berguna.
Islam tidak menyukai adanya tindakan penimbunan harta yang di sia-siakan ini. Disatu pihak islam
memberikan disinsentif terhadap saving yang tidak diinventasikan, namun di pihak lain islam
memberikan insentif untuk melakukan inventasi. Konsekuensi logis dari inventasikan adalah munculnya
peluang untuk untung dan rugi.

Katakanlah seorang mempunyai harta (Wealth W) sebesar RP. 100 juta. Harta ini dapat digunakan
seluruhnya untuk inventasi atau sebagaimananya. Tingkat pemanfaatan harta ini disebut saja ‘v’.
Dengan v = 1, katakanlah tingkat returnnya r = 50% atau R = Rp. 50 juta. Bila diasumsikan skala usaha
tidak berpengaruh pada tingkat return yaitu tetap 50% bila v = 0,5 maka returnnya R = Rp. 25 juta. Bila
dalam menginventasikan hartanya, ia tidak melakukan sendiri, misalnya melalui kerja sama bagi hasil
mudharabah, maka return ini akan di bagi hasil berdasarkan nisbah. Secara matematlis dapat ditulis :

Y = (πR) Vw

Dimana : Y = Pendapatan
π = Nisbah bagi hasil
v = tingkat pemanfatan harta
W = harta yang ditabung

Semakin besar pemnafaatan harta (v), maka semakin besar pula pendapatan (Y)

Jadi dengan argumen ilmu ekonomi, kita berusaha menjelaskan bahwa salah satu maksud larangan
penimbunan harta yang diatur dalam QS At-Takasur adalah untuk meningkatkan kesejaterahan manusia
itu sendiri. Demikian kenapa islam melarang membiarkan aset yang menganggur, dan mendorong agar
setiap kekayaan yang ada pada kita untuk diinventasikan di sektor rill.

KESIMPULAN :
Teori Permintaan Islami membahas permintaan barang halal, barang haram, dan hubungan antara
keduanya. Sedangkan dalam konvensional, semua komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi atau
digunakan. Dalam motif permintaan Islam menekankan pada tingkat kebutuhan konsumen terhadap
barang tersebut sedangkan motif permintaan konvensional lebih didominasi oleh nilai-nilai kepuasan
(interest) yang bertujuan untuk mendapatkan kesejahteraan atau kemenangan akhirat (fakah) sebagai
turunan dari keyakinan bahwa ada kehidupan yang abadi setelah kematian yaitu kehidupan akhirat,
sehingga anggaran yang ada harus disisihkan sebagai bekal untuk kehidupan akhirat.

Menurut Misanam, dkk (2008:173), kurva permintaan menggambarkan hubungan antara harga dan
jumlah yang diminta. Dengan kata lain, perubahan jumlah barang yang diminta disebabkan oleh
perubahan harga. Sementara itu, hukum permintaan diturunkan dari perilaku konsumen yang
berorientasi untuk mencapai tingkat maslahah maksimum, yang berbunyi sebagai berikut : "Jika harga
suatu baran meningkat, ceteris paribus, maka jumlah barang yang diminta turun; demikian juga
sebaliknya."

Kurva permintaan diturunkan dari titik persinggungan antara kurva indifference curve dengan budet
line . Semakin tinggi harga, semakin sedikit jumlah barang yang diminta. Dengan demikian, kita
mendapatkan slope kurva permintaan yang negatif untuk barang halal, sebagaimana lazimnya kurva
permintaan yang dipelajari dalam ekonomi konvensional.

Konsumsi inter-temporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu, yaitu masa sekarang
(periode pertama) dan masa yang akan dating (periode kedua). Dalam ekonomi konvensional,
pendapatan adalah penjumlahan konsumsi dengan tabungan.

Monzer Kahfz(2) berusaha mengembangkan pemikiran mengenai konsumsi inter-temporal dalam Islam
dengan membuat asumsi sebagai berikut:

1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat

2. Zakat hukumnya wajib

3. Tidak ada riba dalam perekonomian

4. Mudarobah wujud dalam perekonomian

5. Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahatan

Berlakunya instrument dalam ekonomi islam berdampak kepada perubahan perilaku konsumsi ekonomi
tanpa menggunakan instrument islam. kecenderungan orang untuk mampertahankan tingkat
konsumsinya. Dengan kata lain, komponen konsumsi cenderung cocok untuk tingkat pendapatan
tertentu, sedangkan komponen infak cenderung variable untuk tingkat pendapata tertentu.

Sehingga kita mendapat hubungan terbalik (inverse relationship) antara riba dengan infak.

Infak = f (Riba)

Semakin besar riba, semakin kecil infak, semakin kecil riba, semakin besar infak.
Untuk melihat hubungan antara saving dan final spending, kita akan melihatnya pada final spending
dalam periode pertama dan periode kedua. Total final spending pada dua periode tersebut adalah final
spending periode pertama ditambah final spending periode kedua

Anda mungkin juga menyukai