Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Lingkungan kerja, mesin yang digunakan oleh pekerja, proses produksi,
dan cara kerja pekerja dapat menimbulkan potensi bahaya pada seseorang saat
melakukan pekerjaan. Untuk meminimalkan terjadinya potensi bahaya tersebut,
adalah dengan menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) adalah upaya perlindungan untuk tenaga kerja dan orang
lain yang berada di tempat kerja agar dapat terhindar dari potensi yang dapat
menimbulkan bahaya, sehingga tenaga kerja tersebut selalu dalam kondisi selamat
dan sehat. Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan ilmu untuk
pengendalian bahaya serta risiko untuk dapat meminimalkan terjadinya accident
dan injury, serta upaya pencegahan terhadap tenaga kerja yang mengalami
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan maupun dari
lingkungan kerja dari tenaga kerja tersebut.1
Pengertian K3 menurut International Labour Organization (ILO)
kesehatan keselamatan kerja atau Occupational Safety and Health adalah suatu
cara untuk meningkatan dan memelihara derajat tertinggi semua pekerja baik
secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial di semua jenis pekerjaan, mencegah
terjadinya gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan, melindungi
pekerja pada setiap pekerjaan dari risiko yang timbul dari faktor-faktor yang dapat
mengganggu kesehatan, menempatkan dan memelihara pekerja di lingkungan
kerja yang sesuai dengan kondisi fisologis dan psikologis pekerja dan untuk
menciptakan kesesuaian antara pekerjaan dengan pekerja dan setiap orang dengan
tugasnya.2
UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Kesehatan, pasal 23 menyebutkan bahwa
semua tempat kerja yang mudah terjangkit penyakit, tempat kerja yang memiliki risiko
bahaya kesehatan dan tempat kerja yang memiliki karyawan paling sedikit 10
orang, wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Rumah
sakit, balai kesehatan, klinik, puskesmas, laboratorium merupakan tempat kerja
yang termasuk dalam kategori yang disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Kesehatan, tempat tersebut terdapat bahaya yang dapat mengganggu
kesehatan tenaga kerja. tetapi bukan hanya tenaga kerja yang bekerja di tempat
tersebut saja yang dapat terancam kesehatannya namun pasien dan pengunjung
tempat tersebut juga dapat terkena dari ancaman bahaya kesehatan.. Rumah sakit
juga tidak hanya memiliki potensi bahaya seperti penyakit infeksi tetapi memiliki
potensi bahaya yang lain seperti penerapan ergonomi yang kurang tepat,
kebakaran, kecelakaan yang bersumber dari instalasi listrik, radiasi, gas anestesi,
serta bahan kimia berbahaya.3
2.2 Lambang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Lambang K3 beserta arti dan maknanya tertuang dalam Kepmenaker RI


1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Berikut ini
penjelasan mengenai arti dari makna lambang K3 tersebut.4

Gambar 1. Lambang K3

Bentuk lambang K3 berupa palang dilingkari roda bergigi sebelas berwarna hijau
di atas warna dasar putih. Arti dan makna lambang K3 yaitu:4

1. Palang bermakna bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK).
2. Roda gigi bermakna bekerja dengan kesegaran jasmani maupun rohani.
3. Warna putih bermakna bersih dan suci.
4. Warna hijau bermakna selamat, sehat, dan sejahtera
5. Sebelas gerigi roda bermakna sebelas bab dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja.
2.3 Pengendalian Risiko K3
Pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya
pengendalian potensi bahaya yang ditemukan di tempat kerja. Pengendalian
risiko perlu dilakukan sesudah menentukan prioritas risiko. Metode
pengendalian dapat diterapkan berdasarkan hierarki dan lokasi pengendalian.
Hierarki pengendalian merupakan upaya pengendalian mulai dari efektivitas
yang paling tinggi hingga rendah, sebagai berikut:5

Gambar 2. Hierarki Pengendalian Risiko K3 dari NIOSH (National Institute For


Occupational Safety and Health)

Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian: 5


1. Eliminasi
Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang menjadi pilihan
pertama untuk mengendalikan pajanan karena menghilangkan bahaya dari
tempat kerja. Namun, beberapa bahaya sulit untuk benar-benar dihilangkan
dari tempat kerja.
2. Substitusi
Subtitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat atau cara kerja
dengan alternatif lain dengan tingkat bahaya yang lebih rendah sehingga
dapat menekan kemungkinan terjadinya dampak yang serius. Contohnya:
a. Mengganti tensi air raksa dengan tensi digital
b. Mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi dengan tipe yang
kebisingan rendah (tipe silent kompresor)
3. Pengendalian Teknik
Pengendalian teknik merupakan pengendalian rekayasa desain alat
dan/atau tempat kerja. Pengendalian risiko ini memberikan perlindungan
terhadap pekerja termasuk tempat kerjanya. Untuk mengurangi risiko
penularan penyakit infeksi harus dilakukan penyekatan menggunakan kaca
antara petugas loket dengan pengunjung/pasien. Contoh pengendalian teknik
yaitu: untuk meredam suara pada ruang dengan tingkat bising yang tinggi
seperti:
a. Pada poli gigi khususnya menggunakan unit dental dan kompresor
b. Pada ruang genset

4. Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi berfungsi untuk membatasi pajanan pada
pekerja. Pengendalian administrasi diimplementasikan bersamaan dengan
pengendalian yang lain sebagai pendukung. Contoh pengendalian
administrasi diantaranya:
a. Pelatihan/sosialisasi/penyuluhan pada SDM Fasyankes
b. Penyusunan prosedur kerja bagi SDM Fasyankes
c. Pengaturan terkait pemeliharaan alat
d. Pengaturan shift kerja

5. Alat Pelindung Diri


Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam mengendalikan risiko
keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting,
khususnya terkait bahaya biologi dengan risiko yang paling tinggi terjadi,
sehingga penggunaan APD menjadi satu prosedur utama di dalam proses
asuhan pelayanan kesehatan.
APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber
daya manusia dari potensi bahaya di Fasyankes. Alat pelindung diri tidak
mengurangi pajanan dari sumbernya, hanya saja mengurangi jumlah pajanan
yang masuk ke tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya melindungi individu)
dan spesifik (setiap alat memiliki spesifikasi bahaya yang dapat
dikendalikan). Implementasi APD seharusnya menjadi komplementer dari
upaya pengendalian di atasnya dan/atau apabila pengendalian di atasnya
belum cukup efektif.

Jenis-jenis APD yang dapat tersedia di Fasyankes sesuai dengan kebutuhan


sebagai berikut:
a. Penutup kepala (shower cap)
b. Kacamata Khusus (safety goggle)
c. Pelindung wajah (face shield)
d. Masker
e. Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan karet)
f. Jas Lab dan Apron (apron/jas lab)
g. Pelindung kaki (safety shoes dan sepatu boots)
h. Coveral

Contoh penggunaan APD dan lokasi penggunaannya dapat melihat tabel


berikut:
Tabel 1. APD dan Lokasi Pemakaian.5

No. APD Lokasi Pemakaian


1. Penutup Kepala Laboratorium, ruang sterilisasi, ruang
tindakan, ruang KIA, dapur
2. Kacamatan khusus Laboratorium, ruang tindakan dokter
gigi, ruang sterilisasi, pertolongan
persalinan, ruang pembuatan kacamata
3. Pelindung wajah Laboratorium, ruang tindakan dokter
gigi, ruang persalinan
4. Masker Ruang persalinan, ruang tindakan untuk
kasus infeksi, balai pengobatan, ruang
tindakan dokter gigi, balai pengobatan,
laboratorium, loket, ruang rekam medik,
ruang farmasi, dapur, cleaning service,
ruang pembuatan kacamata, unit
transfuse darah
5. Apron Ruang sterilisasi, ruang persalinan,
radiologi, ruang tindakan dokter gigi,
ruang tindakan untuk kasus infeksi
6. Sarung tangan Ruang tindakan, ruang KIA, ruang
tindakan dokter gigi, ruang sterilisasi,
laboratorium, dapur, cleaning service,
optik, ruang farmasi, unit transfuse
darah
7. Sepatu boot Tempat pembuangan limbah, ruang
laundry, pertolongan persalinan
8. Jas lab Ruang farmasi, laboratorium
9. Coverall Ruang observasi khusus dalam
pelayanan kekarantinaan kesehatan

Untuk faktor risiko biologi yang sangat infeksius dan bahan kimia, dapat
menggunakan bentuk APD secara lengkap atau merujuk pada juknis terkait.
Berikut penjelasan masing-masing APD beserta contoh gambar APD :5
a. Penutup Kepala (shower cap)
Alat penutup kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi kepala dari jatuhnya mikroorganisme yang ada dirambut dan kulit
kepala petugas terhadap alat- alat/daerah steril dan juga sebaliknya untuk
melindungi kepala/rambut petugas dari percikan bahan–bahan dari pasien.

Gambar 3. Penutup Kepala

b. Penutup Telinga (ear muff atau ear plug)


Penggunan APD penutup telinga di Fasyankes dalam proses
pemberian asuhan pelayanan kesehatan jarang digunakan. Penggunaan lebih
sering jika ada sumber bising di atas Nilai Ambang Batas (85 dba) seperti di
unit ganset, proses pembangunan, dan lainnya.
Gambar 4. Penutup Telinga

c. Kacamata Khusus (safety goggle)


Kacamata khusus (safety google) adalah alat pelindung yang
berfungsi untuk melindungi mata dari paparan bahan kimia berbahaya,
percikan darah dan cairan tubuh, uap panas, sinar UV dan pecahan kaca
(scrub).

Gambar 5. Kacamatan Khusus

d. Pelindung wajah (face shield)


Alat pelindung wajah adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi wajah dari terpapar cairan tubuh, darah, dan percikan bahan-
bahan kimia.

Gambar 6. Pelindung Wajah

e. Masker
Masker atau alat pelindung pernafasan adalah alat yang berfungsi
untuk melindungi pernafasan dari mikrobakterium dan virus yang ada di
udara, dan zat kimia yang digunakan. Bagi SDM Fasyankes yang
menggunakan respirator harus dilatih untuk menggunakan dan memelihara
respirator khusus secara tepat. SDM Fasyankes harus tahu keterbatasan dan
pengujian kecocokan respirator secara tepat, minimal masker dengan tipe
N95 atau masker yang dapat memproteksi SDM dari paparan risiko biologi
maupun kimia.

Gambar 7. Masker

f. Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan bahan karet, kain)


Sarung tangan adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tangan
dari darah dan cairan tubuh, zat-zat kimia yang digunakan, dan limbah yang
ada.

Gambar 8. Sarung Tangan

g. Pelindung Kaki (sepatu boots, safety shoes)


Alat pelindung kaki adalah alat yang berfungsi untuk melindungi kaki
dari darah, cairan tubuh, zatzat kimia yang digunakan, benturan benda keras
dan tajam, serta limbah yang ada. SDM Fasyankes yang berdiri dalam jangka
waktu lama ketika bekerja, perlu sepatu yang dilengkapi bantalan untuk
menyokong kaki. SDM Fasyankes yang bekerja dan berhadapan dengan
pekerjaan dengan risiko cidera akibat dari kejatuhan benda keras yang
mengenai jari kaki disarankan memakai sepatu dengan ujung yang keras.

Gambar 9. Pelindung Kaki

h. Jas Lab dan Apron


Jas lab dan apron adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tubuh
dari darah dan cairan tubuh, zat-zat kimia yang digunakan, dan limbah yang
ada.

Gambar 10. Apron

i. Coverall
Coverall adalah alat yang berfungsi untuk melindungi seluruh tubuh
dari kepala sampai kaki dari penularan melalui percikan darah ataupun cairan
tubuh sangat infeksius yang masuk melalui mucous membrane atau luka.
Penyediaan APD ini diutamakan pada Fasyankes yang melakukan pelayanan
dengan kasus karantina atau Fasyankes dengan pandemic wabah, radiasi dan
paparan bahan kimia yang sangat toksik.
Gambar 11. Coverall

2.4 Keselamatan Kerja Praktik Kedokteran Gigi


Dokter gigi sebagai tenaga Kesehatan berperan dalam pencegahan,
penatalaksaan dan perawatan gigi mulut bagi masyarakat yang hidup dengan
berbagai penyakit. Dokter gigi harus menerapkan standar precaution terhadap
setiap pasien dan kontrol infeksi untuk menjaga keselamatan kerja untuk
mencegah transmisi infeksi antara pasien, dokter gigi, para staf dan lingkungan.
American Dental Association (ADA) dan CDC merekomendasikan bahwa setiap
pasien harus dianggap berpotensi menular dan standard precautions harus
diterapkan bagi semua pasien. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dan mencegah
infeksi iatrogenik, nosokomial atau paparan darah, materi menular lainnya.6
Menurut Depkes RI 2005, 40,5% pekerja di Indonesia mempunyai keluhan
gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaannya dan diantaranya
adalah gangguan musculoskeletal sebanyak 16%. Risiko lain yang dapat
menyerang tenaga medis yaitu risiko gangguan musculoskeletal. Hal tersebut
dikarenakan sikap kerja yang sering dilakukan oleh praktisi kesehatan adalah
sikap kerja yang tidak ergonomis. Sikap kerja tersebut juga dilakukan dalam
waktu yang lama dan dilakukan berulang- ulang. Praktisi kesehatan yang paling
berisiko mengalami gangguan musculoskeletal yakni dokter gigi. Literatur
menunjukkan tingginya prevalensi gangguan musculoskeletal pada dokter gigi.
Dokter gigi diasumsikan memiliki gerakan yang statik saat bekerja dan
membutuhkan lebih dari 50% otot tubuhnya untuk berkontraksi, sehingga
prevalensi gangguan musculoskeletal pada dokter gigi berkisar antara 63–93%.7

Pekerjaan dokter gigi memiliki 3 tahapan bahaya yakni :

1) Menyiapkan alat, melakukan tindakan, dan mengembalikan alat. Disetiap


tahapan pekerjaan memiliki bahaya. Bahaya yang terdapat pada tahap
pekerjaan yang pertama adalah bahaya tergores dan kejatuhan alat-alat yang
tajam. Risiko dalam tahapan ini adalah infeksi luka sayatan pada bagian tubuh
yang terkena goresan serta memar dan lebam pada bagian tubuh yang
kejatuhan alat.7
2) Bahaya kebisingan dari bur dan kompresor, bahaya anggota tubuh dokter gigi
seperti leher dan punggung miring dan memutar, bahaya bahu membentuk
sudut lebih dari 45°, bahaya posisi kaki bertumpu pada 1 kaki, untuk dokter
gigi yang memiliki sikap kerja berdiri pada saat melakukan tindakan, bahaya
kontak atau terciprat air liur (saliva) dari pasien, bahaya tergores alat-alat
yang tajam, bahaya tertusuk jarum suntik yang telah dipakai. Risiko dalam
tahapan ini adalah ketidaknyamanan, musculoskeletal disorders (MSDs),
tertular penyakit infeksi dan luka gores.7

3) Bahaya tergores alat-alat yang tajam, bahaya strerilisasi dari alat-alat dokter
gigi yang kurang bersih, bahaya tidak melakukan sterilisasi setelah melakukan
tindakan. Risiko dalam tahapan ini adalah infeksi luka sayatan dan infeksi
nosokomial atau tertular penyakit dari pasien.7

2.4 Kontrol infeksi dalam kedokteran gigi


Pada tahun 2003, Center for Disease Control and Prevention (CDC) dan
Hospital Infection Control Practise Advisory Committee (HICPAC)

memperkenalkan standar tindakan pencegahan. CDC menerbitkan garis


pedoman tentang pelatihan perlindungan diri tenaga kedokteran gigi,
pencegahan transmisi patogen bloodborne (termasuk penatalaksanaan bila
terpapar), kebersihan tangan, dermatitis kontak dan hipersensitif lateks, sterilisasi
dan disinfeksi alat, kontrol infeksi lingkungan, jalur air dental unit, biofilm,
kualitas air, radiologi, teknik asepsis, perangkat sekali pakai, prosedur bedah
mulut, penanganan spesimen biopsi, kontrol infeksi lab dental, tuberkulosis dan
program evaluasi.6
Standard precaution terdiri dari dua yaitu standar tindakan pencegahan dan

transmission based precautions. yaitu standar tindakan pencegahan yang diaplikasikan


terhadap semua pasien dirancang untuk mereduksi resiko transmisi mikroorganisme
dari sumber infeksi yang diketahui dan tidak diketahui (darah, cairan tubuh, ekskresi
dan sekresi). Pencegahan ini diterapkan terhadap semua pasien tanpa
mempedulikan diagnosis atau status infeksi yang pasti. 6
Dasar-dasar tindakan pencegahan termasuk cuci tangan, pemakaian alat

pelindung diri (APD), manajemen health care waste, penanganan dan


pembuangan secara tepat jarum dan benda tajam. Cuci tangan adalah tindakan
pencegahan penyakit utama bagi tenaga kesehatan. Tangan harus dicuci secara
cermat dengan sabun cair disinfektan, dikeringkan dengan lap kertas 1 kali
pakai sebelum memakai dan setelah melepaskan sarung tangan. Alat pelindung
diri (APD) terdiri dari pakaian pelindung, sarung tangan, masker bedah, kacamata
pelindung. Dokter gigi dan perawat gigi harus menggunakan APD untuk
melindungi diri terhadap benda asing, percikan dan aerosol yang berasal dari tindakan
perawatan terutama saat scalling (manual dan ultrasonik) penggunaan instrumen
berputar, syringe, pemotongan atau penyesuaian kawat ortodonsi dan pembersihan
alat dan perlengkapannya. Staf harus menggunakan masker filter pernafasan bila
merawat pasien dengan infeksi TB. 6

Manajemen health care waste termasuk garis pedoman pemisahan,


pemaketan dan penyimpanan untuk health care risk waste. Penanganan dan
pembuangan secara tepat jarum dan benda tajam. Bahan yang 1 kali pakai harus di
buang dan jangan dipakai ulang. Ampul anestesi lokal 1 kali pakai dapat
mengandung darah atau cairan yang dapat teraspirasi dari pasien dan tidak boleh

digunakan kembali untuk pasien berikutnya. Kategori sampah ini yaitu


sampah medis yang tidak beresiko (tidak terkontaminasi cairan tubuh)
dimasukkan ke kantung hitam dan sampah medis yang beresiko dimasukkan
ke kantung kuning (terkontaminasi cairan tubuh dan berbahaya bagi orang lain).
Contoh sampah medis yang beresiko yaitu jaringan tubuh, bahan 1 kali pakai
(scalpel, aspirator dan saliva ejector), dan bahan yang dapat terkontaminasi
dengan cairan tubuh (pakaian, swabs,wipes, sarung tangan dan tissue). 6

Selain itu tenaga medis harus melakukan pembersihan, dekontaminasi

dan strerilisasi yang efektif pada alat, perlengkapan dan lingkungan (termasuk
ceceran darah) dan penggunaan serta waktu penggunaan disinfektan yang
tepat terhadap permukaan kontak dan instrumen serta perlengkapan yang tidak
dapat disterilkan.6
Transmission based precaution ditujukan bagi pasien yang beresiko baik
yang telah diketahui atau suspect terinfeksi atau terkolonisasi dengan transmisi
penularan yang tinggi sehingga membutuhkan tambahan tindakan pencegahan atas
tindakan pencegahan standar atau ketika pemberantasan agen infeksi dengan
sterilisasi tidak memungkinkan. 6

Transmission based precaution terdiri dari 4 tipe yaitu :

1) Tindakan pencegahan pertama melalui udara: TB aktif, influenza,


varicella dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah diimunisasi di dalam
ruangan tekanan negatif;
2) tindakan pencegahan kedua melalui percikan saliva: penyakit
meningococcal atau batuk rejan. Tindakan pencegahan ini harus
membutuhkan masker bedah dan kacamata pelindung yang dipakai oleh
tenaga kesehatan.
3) Tindakan pencegahan yang ketiga melalui kontak untuk impetigo,
Shingles, MRSA. Tindakan ini membutuhkan sarung tangan dan apron
plastik yang dipakai tenaga kesehatan ketika melakukan prosedur klinis
4) Tindakan pencegahan keempat dengan sterilisasi untuk encephalopathies,
spongiform yang dapat bertransmisi. Hal ini melibatkan pembakaran,
bahkan instrumen non disposable, diikuti perawatan pasien yang diketahui
memliki enchepalopaty spongiform.6

Pengumpulan riwayat medis yang teliti mutlak dilakukan dan bisa


membantu identifikasi pasien dengan daya tahan tubuh rendah yang membutuhkan
perawatan khusus. Penggunaan lembar riwayat medis dan kuesioner harus
didukung dengan pertanyaan dan diskusi langsung antara pasien dan dokter gigi.
Riwayat medis harus direvisi pada kunjungan berikutnya.6
Aspek kontrol infeksi termasuk penilaian resiko transmisi infeksi,
pengaturan area proses sterilisasi instrumen, proses sterilisasi instrumen yang

terkontaminasi. Staf harus dilatih untuk dapat menilai tingkat resiko dan
kemungkinan akibatnya, mengenali situasi ketika terjadi paparan dan mengetahui
cara mencegah atau meminimalisasi resiko terhadap pasien, staf dan orang lain.6
Pengaturan area proses sterilisasi terletak di tengah ruangan, diatur

sedemikian rupa, terpisah dari ruang kerja namun mudah diakses oleh para staf.

Untuk mengurangi potensi terjadinya kontaminasi pada ruangan steril, area ini harus
memiliki jalur yang membatasi hanya petugas yang dapat memasuki ruangan ini.
Proses dekontaminasi peralatan adalah rangkaian proses yang terdiri dari 5 tahap

yaitu: transportasi, pembersihan melalui dekontaminasi, persiapan pengepakan,


sterilisasi instrument dan penyimpanan instrumen steril.6
Instrumen dibawa dalam wadah tertutup dan diletakkan di tempat yang
terpisah sehingga tidak ada kontak antara instrumen yang steril dan tidak steril.
Semua instrumen harus dibersihkan secara teliti untuk menghilangkan kotoran
yang terlihat/ kasat mata dengan menggunakan mesin pencuci/ alat disinfeksi
yang lebih efisien dibanding alat pembersih ultrasonik pada saat sebelum proses
sterilisasi. Alat pembersih ultrasonik efektif untuk menghilangkan debris. Alat
pembersih ultrasonik harus dites berkala untuk menjamin alat berfungsi baik.
Instrumen harus dikeringkan dan diperiksa telah bersih dari kotoran, fungi dan
kerusakan sebelum pengepakan. Instrumen yang telah bersih diletakkan dalam
kantong sterilisasi yang memenuhi standar ADA. Pengepakan ini bertujuan
untuk mencegah kontaminasi setelah proses sterilisasi.6
Instrumen yang terkontaminasi disterilkan setelah digunakan. Prosedur
sterilisasi harus efektif melawan semua jenis mikroorganisme patogen. Pilihan
metode sterilisasi kebanyakan instrumen adalah autoclave dengan menggunakan
salah satu kombinasi suhu dan waktu. Suhu tertinggi harus digunakan untuk alat
yang cocok disterilisasi dengan suhu tersebut. Pak harus kering sebelum
dipindahkan dari autoclave (Tabel 1).6
Desinfektan mengeliminasi sebagian besar mikroorganisme tapi tidak semua
bentuk mikroorganisme. Sterilisasi penting dilakukan untuk semua instrumen
yang berkontak dengan jaringan mulut baik yang berpenetrasi maupun tidak
bepenetrasi jaringan lunak atau tulang. Instrumen yang hanya berkontak
dengan kulit utuh hanya didisinfeksi setiap pergantian pasien.Instrumen yang
telah steril dan terbungkus disimpan pada tempat tertutup, jangan di bawah
tempat pembuangan untuk mencegah instrumen basah. Instrumen ini disimpan
pada rak penyimpanan yang steril. Instrumen yang disimpan harus
dibungkus.6

Tabel 1. Kombinasi suhu dan waktu pada autoclave6


Pilihan Suhu (oc) Watu minuman (menit)
A 134-138 3
B 126-129 10
C 121-124 13

2.6 Desinfeksi perlengkapan alat kedokteran gigi


Peralatan harus dibersihkan dan didisinfeksi (lihat instruksi dan

pernyataan efektivitas pabrik). Oven udara panas, larutan kimia, air mendidih,

sinar UV, butiran panas dan sterilisator tidak adekuat untuk proses sterilisasi

dalam praktek kedokteran gigi. Metode sterilisasi dapat dilakukan dengan

tekanan uap, pemanasan, dan zat kimia kering. Pita indikator kimia dan biologi
digunakan untuk mengecek fungsi sterilisasi dan diletakkan dalam pak pada
setiap proses. Perubahan warna pita mengindikasikan terjadinya proses
sterilisasi. Kalibrasi monitor biologi dilakukan untuk menjamin sterilisasi
berlangsung baik. Bukti penghancuran spora dengan kultur setelah
dilakukan siklus sterilisasi menilai bahwa semua mikroorganisme yang
disterilisasi telah dihancurkan. Antiseptik adalah zat kimia yang digunakan untuk
mencegah pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme dengan cara
menghambat atau membunuh yang dipakai terhadap jaringan hidup. Disinfektan
adalah zat kimia untuk membunuh organisme patogen (kecuali spora kuman)
dengan cara fisik atau kimia dilakukan terhadap benda mati. Antiseptik biasanya
digunakan dan dibiarkan menguap seperti halnya alkohol. Umumnya isopropil
alkohol 70-90% adalah yang termurah namun merupakan antiseptik yang
sangat efektif. Penambahan Iodium pada alkohol akan meningkatkan daya
disinfeksi dengan atau tanpa Iodium, isopropil alkohol tidak efektif terhadap
spora.6
Solusi Iodium baik dalam air maupun dalam alkohol bersifat sangat
antiseptik dan telah dipakai sejak lama sebagai antiseptik kulit sebelum proses
pembedahan. Iodium juga efektif terhadap berbagai protozoa seperti amuba yang
menyebabkan disentri. Solusi Hipoklorit paling banyak dipakai untuk disinfeksi
dan menghilangkan bau karena bersifat relatif tidak membahayakan jaringan
manusia, mudah ditangani, tidak berwarna, meskipun memudarkan warna. Di
rumah sakit dipakai untuk mendisinfeksi ruangan, permukaan serta alat non
bedah.6
Peroksida hidrogen (H2O2) merupakan antiseptik yang efektif dan non

toksik. Molekulnya tidak stabil dan apabila dipanaskan akan terurai menjadi air dan
oksigen. Pada konsentrasi 0,3-6%, H2O2 dipakai untuk disinfeksi dan pada

konsentrasi 6-25% untuk sterilisasi. H2O2 10% bersifat virusid dan sporosid.

Larutan 3% biasa dipakai untuk mencuci dan mendisinfeksi luka.6


Aldehida dapat membunuh Staphilococcus dan lain-lain sel vegetatif
dalam waktu 5 menit, Mycobacterium tuberculosis dan virus dalam waktu 10
menit, sedangkan untuk membunuh spora diperlukan waktu 3-12 jam dengan
mendenaturasi protein. Larutan formaldehid 20% dalam 65-70% alkohol
merupakan cairan pensteril yang sangat baik apabila alat-alat direndam selama 18
jam. Akan tetapi karena meninggalkan residu, maka alat tersebut harus dibilas
terlebih dahulu sebelum dipakai.6
Teknik sterilisasi yang paling pasti adalah penggunaan uap air disertai
dengan tekanan, yang dilakukan dalam alat yang disebut autoclave. Autoclave
memiliki suatu ruangan yang mampu menahan tekanan di atas 1 atm. Alat-alat
atau bahan (Tabel 2) yang akan disterilkan,dimasukkan ke dalam ruangan ini.
Setelah udara dalam ruangan ini digantikan oleh uap air, maka ruangan ini ditutup
rapat sehingga tekanannya akan meningkat yang juga akan diikuti oleh kenaikan

suhunya. Dengan cara ini akan dicapai tekanan 1,5 atm dan suhu 1210 C. Dengan
tekanan dan suhu seperti ini, dalam waktu 10-12 menit, semua bentuk hidup
berikut spora akan dimatikan.6
Teknik sterilisasi lainnya adalah pemanasan kering dan radiasi.
Pembakaran merupakan cara sterilisasi yang 100% efektif tetapi terbatas
penggunaannya. Alat-alat yang berupa gelas tahan panas seperti piring petri,
pipet, tabung reaksi dapat disterilkan dengan cara sterilisasi dengan udara panas

ditempatkan di dalam oven dengan suhu mencapai 160-1800 C. Oleh karena


daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang
diperlukan lebih lama yaitu 1-2 jam. Selain itu, Mikroorganisme di udara dapat
dibunuh dengan penyinaran memakai sinar UV dengan panjang gelombang
antara 220-290 nm, radiasi yang paling efektif adalah 253,7 nm. Faktor
penghambat dari sinar UV adalah daya penetrasinya yang lemah.6

2.7 Pencegahan kontaminasi sumber air, pembersihan dan


disinfesi permukaan
Mikroorganisme, darah dan saliva dari mulut dapat masuk ke dalam jalur
air dental unit pada saat dilakukan perawatan. Handpiece, skeler ultrasonik dan
syringe air/udara harus dioperasikan selama minimum 20-30 detik setelah
perawatan bagi setiap pasien. Bahkan alat yang telah dilengkapi katup anti retraksi,
penyiraman alat yang sesuai dilakukan selama minimum 20-30 detik.

Permukaan dental unit dapat menjadi tempat akumulasi materi infeksi.


Semua permukaan yang rentan terkontaminasi dengan cairan tubuh atau materi
infeksi lainnya termasuk tombol lampu dan kontrol kursi harus dilapisi dengan
lapisan pelindung kedap air sekali pakai. Setiap pergantian pasien, lapisan

pelindung diganti dan permukaan dental unit dibersihkan. Lapisan lantai harus
mudah dibersihkan dan area ini harus memiliki ventilasi yang baik. Cairan
disinfektan yang efektif berupa iodofor dilusi, klorin, fenolik sintetik.6

Tabel 2. Metode sterilisasi instrument kedokteran gigi6

Materi Autoclave uap oven Uap kimia Etiien Dioksida


Instrumen tangan standar
Stainless steel 1 1 1 1
Carbon steel 3 1 1 2
Kaca mulut 2 1 1 2
Bur
Baja 2 1 1 1
Carbon steel 3 1 1 1
Tungsten-carbide 2 1 2 2
Stones
Diamond 2 1 1 2
Pemoles 1 2 1 1
Piringan dan roda pemoles
Karet 2 3 3 1
Garnet dan cuttle 4 3 3 1
Peralatan rubber dam
Penjepit carbon/carbide 1 1 1 1
Penjepit stanless steel 1 1 1
Punches 3 1 1 1
Kerangka logam 1 1 1 1
Sendok cetak
Aluminium,logam, krom 1 1 1 1
Sendo cetak TAF
Plastic tahan panas 1 4 3 1
Tang ortodonti SS 1 1 1 1
Instrument endodontik
Reamer,file,braches 1 1 1 1
stanless metal handles 1 1 3 1
Plugger, condenser 1 1 1 2
Glass slab 1 2 1 2
Dappen dishes 1 2 1 2
Hanpieces
Highspeed 1 3 2 1
Contra angle 1 3 1 1
Peralatan radiograf
Plastic film holder 1 4 2 1
Ultrasonic scalling tips 2 4 4 1
Electrosurgical tips & 4 2 4 2
handle
Nitrous oxide (hose/nose 1 4 1 1
piece)

2.8 Dekontaminasi cetakan, protesa dan radiologi kedokteran gigi


Semua hasil cetakan dan protesa harus disiram dengan air mengalir untuk
membersihkan semua kontaminasi dan didisinfeksi sebelum dikirim ke
laboratorium dental (lihat rekomendasi pabrik). Tekniker harus menggunakan

sarung tangan ketika memegang cetakan dan membuat model. Pengambilan


radiograf pasien harus menggunakan plastik pelindung yang melapisi film intra oral,
sarung tangan dalam meletakkan film, pemegang film dan tabung, dalam menseleksi
dan pengambilan gambar. Kepala tabung dan permukaannya harus didisinfeksi dan
Balok gigitan dan pemegang film harus disterilkan.6
2.9 Perlindungan tenaga kesehatan
Vaksinasi melawan virus hepatitis B (HBV) sangat direkomendasikan bagi
semua tenaga kedokteran gigi termasuk dokter gigi, perawat gigi, asisten, ahli
kesehatan gigi, mahasiswa. Perlindungan juga dilakukan untuk melawan
penyakit seperti Tuberculosis, Varicella, Poliomyelitis, Measles, Mumps, difteri
dan tetanus. Perempuan dalam usia subur yang tidak hamil dan belum diimunisasi
juga diimunisasi melawan Rubella. Vaksinasi Rubella dilarang diberikan saat
menjelang kehamilan.6
Ventilasi yang baik diperlukan dalam menata ruangan tak hanya untuk
mengatur suhu ruangan yang nyaman dan menghilangkan bau atau uap kimia.
Kipas angin tidak boleh digunakan dalam ruangan. Penggunaan filtrasi udara
digunakan bagi ruangan yang tidak memiliki sistem ventilasi. Selain itu, udara
yang telah disaring disirkulasikan ke area lain atau disirkulasikan kembali pada
ruangan tanpa sistem ventilasi.6
Penutupan kembali jarum suntik harus dengan teknik penutupan dengan 1
tangan (teknik Bayonet), jangan memegang instrumen tajam pada ujung yang
tajam. Jarum tidak boleh dibengkokkan, dipotong, ditutup dipindahkan dari
jarum suntik 1 kali pakai atau dimanipulasi dengan tangan sebelum
dibuang.6
Referensi :

1. Suryani, A. I., Ikhwansyah I., Eka L. M., 2013. Pengaruh Potensi Bahaya
terhadap Risiko Kecelakaan Kerja di Unit Produksi Industri Migas PT. X Aceh.
Jurnal Precure, [e-Journal] 1: pp. 34-42
2. Dewi, Anita. 2011. Dasar-Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jember: Jember University p:1.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Tentang Kesehatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan
4. Rezeki, Sri. 2016. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Kementrian
Kesehatan Indonesia. Jakarta. P : 12
5. Menkes RI. 2018. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
52 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
6. Lugito, M, DH. Kontrol Infeksi dan Keselamatan Kerja dalam Praktek
Kedokteran Gigi. Jurnal PDGI. 62(1).2013: 24-30
7. Sawitri,R,M. Mulyono. Analisis Risiko pada Pekerjaan Dokter Gigi di
Kabupaten dan Kota Probolinggo. The Indonesia Journal of Occupational
Safety and Health. 8(1). 2019. 29-37

Anda mungkin juga menyukai