Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN DASAR PROFESI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. EL DENGAN POST SECTIO


CAESAREA (SC) HARI KEDUA DI RUANG MAWAR
RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI SURABAYA

LUKLUATUL MAHBUBAH
1120020078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN POST SECTIO CAESAREA (SC)

A. Konsep Sectio Caesarea (SC)


1. Definisi Sectio Caesarea (SC)
Sectio Caesarea (SC) adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Caroll dan Wilkinson,
2012).
2. Jenis-jenis Sectio Caesarea (SC)
a. Sectio caesarea transperitonealis profunda
Sectio caesarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen
bawah uterus. Insisi pada bawah rahim bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini yaitu sebagai berikut:
1) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak
2) Bahaya peritonitis tidak besar
3) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh
lebih sempurna (Caroll dan Wilkinson, 2012).
b. Sectio caesarea klasik atau Sectio caesarea corporal
Pada sectio caesarea klasik ini dibuat kepada korpus uteri, pembedahan
ini yang agak mudah dilakukan, hanya diselenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan sectio caesarea transperitonealis profunda. Insisi
memanjang pada segmen atas uterus (Caroll dan Wilkinson, 2012).
c. Sectio caesarea ekstra peritoneal
Sectio caesarea ekstra peritoneal dahulu dilakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap
injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi dilakukan. Rongga
peritoneum tidak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat (Caroll
dan Wilkinson, 2012).
d. Sectio caesarea hysteroctomi
Setelah sectio caesarea, dilakukan hysteroctomi dengan indikasi
sebagai berikut:
1) Atonia uteri
2) Plasenta accrete
3) Myoma uteri
4) Infeksi intra uterin berat (Caroll dan Wilkinson, 2012).
3. Etiologi Sectio Caesarea (SC)
a. Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primiparatua disertai
kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvic (disproporsi janin / panggul), ada
sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul,
plasenta previa terutama pada primigravida, solutsio plasenta tinggi I - II,
komplikasi kehamilan yaitu preeklamsia-eklampsia atas permintaan kehamilan
yang disertai penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista
ovarium, mioma uteri dan sebagainya) (Caroll dan Wilkinson, 2012).
b. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress / gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan
janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan
vakum atau forceps ekstraksi (Caroll dan Wilkinson, 2012).
4. Patofisiologi Sectio Caesarea (SC)
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak,
placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin
besar dan letak lintang setelah dilakukan SC, ibu akan mengalami adaptasi post
partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan
mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post
de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan
luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu. Anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas
yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yang berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus. Seperti yang telah diketahui setelah makanan
masuk lambung akan terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus.
Kemudian diserap untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat
dari mortilitas yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada
di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka
pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa
endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan
pola eliminasi yaitu konstipasi (Caroll dan Wilkinson, 2012).
5. Pathway Sectio Caesarea (SC)

a. Plasenta previa sentralis dan a. Partus lama


lateralis (posterior) b. Partus tak maju
b. Panggul sempit c. Distosia serviks
c. Disporsi sefalopelvic d. Pre-eklampsia
d. Rupture uteri mengancam e. Malpresentasi janin

Sectio Caesarea (SC)

Post operasi SC

Post anestesi spinal Luka post operasi Nifas

Penurunan saraf Penurunan Jaringan Jaringan Uterus Laktasi Psikologis (Taking


ekstremitas bawah saraf otonom terputus terbuka in, taking hold,
taking go)
Kontraksi Progesterone
Merangsang Proteksi uterus dan estrogen
Kelumpuhan Penurunan menurun
saraf vegetatif area sensorik kurang Perubahan psikologis
motorik
Cemas Mobilitas Adekuat Tidak adekuat Prolactin
Invasi Penambahan anggota baru
Penurunan meningkat
peristaltic usus Nyeri bakteri
Pengelupasan Atonia uteri Kebutuhan meningkat
Pertumbuhan
desidua
Resiko Resti kelenjar susu
konstipasi infeksi Perdarahan terangsang Perubahan pola peran
Lochea
Perdarahan Pertumbuhan
kelenjar susu
terangsang
Hipovolemik Anemi
Isapan
Kekurangan HbO2 bayi
volume cairan menurun
Oksitosin
Metabolisme meningkat
anaerob
Ejeksi
Asam laktat ASI
meningkat

Adekuat Tidak
Kelelahan Adekuat
Suplai O2 ke
jaringan menurun ASI
keluar ASI tidak
Intoleransi
keluar
aktivitas
Nekrose
Efektif
laktasi Inefektif
laktasi

Kurang
pengetahuan
perawatan payudara

Menyusui
tidak efektif
6. Manifestasi Klinis Sectio Caesarea (SC)
a. Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior)
b. Panggul sempit
c. Disporsi sefalopelvik : yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan
ukuran panggul
d. Rupture uteri mengancam
e. Partus lama (prolonged labor)
f. Partus tak maju (obstructed labor)
g. Distosia serviks
h. Pre-eklamsia dan hipertensi
i. Malpresentasi janin
1) Letak lintang
2) Letak bokong
3) Presentasi dahi dan muka (letak defleksi)
4) Presentasi rangkap jika resposisi tidak berhasil
5) Gemeli (Caroll dan Wilkinson, 2012).
7. Komplikasi Sectio Caesarea (SC)
a. Infeksi Puerpuralis
1) Ringan : dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2) Sedang : dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi
atau perut sedikit kembung
3) Berat : dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering
kita jumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi
infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama
(Caroll dan Wilkinson, 2012).
b. Pendarahan disebabkan karena:
1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2) Atonia uteri
3) Pendarahan pada placentabled (Caroll dan Wilkinson, 2012).
c. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonalisasi terlalu tinggi (Caroll dan Wilkinson, 2012).
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah seksio
sesarea klasik (Caroll dan Wilkinson, 2012).
8. Pemeriksaan Penunjang Sectio Caesarea (SC)
a. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
b. Pemantauan EKG
c. JDL dengan diferensial
d. Elektrolit
e. Hemoglobin / Hematokrit
f. Golongan darah
g. Urinalisis
h. Amnio sentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
i. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi
j. Ultrasound sesuai pesanan (Caroll dan Wilkinson, 2012).
9. Penatalaksanaan Sectio Caesarea (SC)
a. Medis
Cairan intervena sesuai indikasi, anastesi, perjanjian dari orang terdekat
untuk tujuan, seksio sesarea test laboratorium sesuai indikasi, tanda – tanda
vital, pemasangan volley kateter (Caroll dan Wilkinson, 2012).
b. Perawatan Post Partum
Pasien berbaring miring di dalam pemulihan dengan pemantauan ketat
TTV tiap 15 menit dan 1 jam pertama, kemudian 30 menit dalam 1 jam
berikutnya dan selanjutnya setiap jam. Yakinkan kepala pasien agak tengadah
agar jalan nafas bebas, tungkai bagian atas posisi fleksi, analgetik diberikan,
mobilisasi, makan dan minum, setelah diperiksa peristaltik usus 6 jam post
partum bila positif maka pasien dapat diberikan minum hangat sedikit –
sedikit, seterusnya dilanjutkan dengan makanan biasa bila pasien telah flatus,
kassa harus diganti hari ke-3 sebelum pasien pulang, kateter dibuka 12 – 24
jam pasca bedah (Caroll dan Wilkinson, 2012).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Post Sectio Caesarea (SC)
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan Sectio Caesarea, data yang dapat ditemukan
meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin,
prolaps tali pusat, abrupsio plasenta, dan plasenta previa.
a. Identitas atau Biodata Klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register,
dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu: Penyakit kronis atau menular dan menurun
seperti jantung, hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau
abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat pada saat sebelun inpartu di
dapatkan cairan ketuban yang keluar pervaginam secara spontan kemudian
tidak diikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga: Adakah penyakit keturunan dalam keluarga
seperti jantung, DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin
penyakit tersebut diturunkan kepada klien.
d. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan
cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya menjaga
kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan dirinya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien nifas biasanya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktivitas
Pada pasien post partum, pasien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak,
cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena
mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eliminasi
Pada pasien post partum sering terjadi adanya perasaan sering / susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari
trigono yang menimbulkan infeksi dari uretra sehingga sering terjadi
konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubahan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan.
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga
dan orang lain.
7) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas.
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka jahitan
dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas primipara
terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya.
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri
antara lain body image dan ideal diri.
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau
fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan
nifas.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, karena adanya
proses mengerang yang salah.
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan
yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
4) Telinga
Bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah
cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola
mamae dan papila mamae.
7) Abdomen
Pada klien nifas, abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari di bawah pusat.
8) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekonium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture.
10) Ekstremitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung atau
ginjal.
11) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada post partum maka tekanan darah turun,
nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
b. Risiko konstipasi berhubungan dengan efek agen farmakologis (post anestesi
spinal)
c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive (post sectio
caesarea/post SC)
3. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, tingkat
nyeri menurun dengan kriteria hasil:
1) Keluhan nyeri dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup
menurun)
2) Meringis dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup menurun)
3) Sikap protektif dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup
menurun)
4) Frekuensi nadi dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup
menurun)
5) Tekanan darah dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup
menurun)
Intervensi:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi nyeri non verbal
4) Monitor efek samping penggunaan analgetik
5) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (teknik
relaksasi)
b. Diagnosa 2: Risiko konstipasi berhubungan dengan efek agen farmakologis
(post anestesi spinal)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, eliminasi
fekal membaik dengan kriteria hasil:
1) Konsistensi feses dari skala 2 (cukup memburuk) menjadi skala 4 (cukup
membaik)
2) Frekuensi defekasi dari skala 2 (cukup memburuk) menjadi skala 4
(cukup membaik)
3) Peristaltik usus dari skala 2 (cukup memburuk) menjadi skala 4 (cukup
membaik)
Intervensi:
1) Identifikasi faktor risiko konstipasi
2) Anjurkan mengkonsumsi makanan berserat
3) Anjurkan minum air putih sesuai dengan kebutuhan
c. Diagnosa 3: Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive (post
sectio caesarea/post SC)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, tingkat
infeksi menurun dengan kriteria hasil:
1) Kemerahan dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup
menurun)
2) Nyeri dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup menurun)
3) Bengkak dari skala 2 (cukup meningkat) menjadi skala 4 (cukup menurun)
Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
2) Batasi jumlah pengunjung
3) Berikan perawatan kulit pada area edema
4) Cui tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
5) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
6) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
7) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri
adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan
bukan atas petunjuk petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau
petugas kesehatan (Caroll dan Wilkinson, 2012).
5. Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan
tujuan yang hendak dicapai (Caroll dan Wilkinson, 2012).
LAPORAN PENDAHULUAN NYERI

A. Konsep Dasar Nyeri


1. Definisi Nyeri
Nyeri bersifat subjektif karena intensitas dan responnya pada setiap orang
berbeda-beda. Berikut adalah pendapat beberapa ahli tentang pengertian nyeri:
a. Long (1996): nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif
dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan
mengevaluasi perasaan tersebut.
b. Priharjo (1992): secara umum, nyeri merupakan perasaan tidak nyaman, baik
ringan maupun berat.
c. International Association For Study of Pain (IASP): nyeri adalah sensori
subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan (Saputra, 2013).
2. Fisiologi Nyeri
a. Nosisepsi
Rasa nyeri dihantarkan oleh reseptor yang disebut nosiseptor. Nosiseptor
merupakan ujung saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau hanya
memiliki sedikit myelin. Reseptor ini tersebar di kulit dan mukosa, khususnya
pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu (Saputra,
2013).
Proses fisiologis yang terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses ini terdiri atas
empat tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Transduksi
Rangsangan (stimulus) yang membahayakan memicu pelepasan mediator
biokimia (mislanya histamine, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P).
Mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor (Saputra, 2013).
2) Transmisi
Tahap transmisi terdiri dari tiga bagian yaitu:
a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa impuls nyeri
dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Jenis nosiseptor yang
terlibat dalam transmisi ini ada dua jenis, yaitu serabut C dan serabut A-
delta. Serabut C mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan,
sedangkan serabut A-delta mentransmisikan nyeri yang tajam dan
terlokalisasi (Saputra, 2013).
b) Nyeri ditransmisikan dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus
melalui jalur spinotalamikus yang membawa informasi tentang sifat dan
lokasi stimulus ke thalamus (Saputra, 2013).
c) Sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatic (tempat nyeri
dipersepsikan). Impuls yang ditransmisikan melalui jalur spinotalamikus
mengaktifkan respons otonomik dan limbic (Saputra, 2013).
3) Persepsi
Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi nyeri
tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan timbulnya
berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi komponen sensorik
dan afektif nyeri (Saputra, 2013).
4) Modulasi atau sistem desendens
Neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke tanduk
dorsal medulla spinalis yang terkonduksi dengan nosiseptor impuls
supresif. Serabut desendens tersebut melepaskan substansi seperti opioid,
serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asendens yang
membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis (Saputra, 2013).
b. Teori Gate Control
Teori gate control dikemukakan ole Melzack dan Well pada tahun 1965.
Berdasarkan teori ini, fisiologi nyeri dapat dijelaskan sebagai berikut:
Akar dorsal pada medulla spinalis terdiri dari atas beberapa lapisan
atau laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terdapat
substansi gelatinosa (substantia gelatinosa atau SG) yang berperan seperti
layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau menghalangi masuknya
impuls nyeri menuju otak. Substansi gelatinosa ini dilewati oleh saraf besar
dan saraf kecil yang berperan dalam penghantaran nyeri.
Pada mekanisme nyeri, rangsangan nyeri dihantarkan melalui serabut
saraf kecil. Rangsangan pada serat kecil dapat menghambat substansi
gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga merangsang aktivitas sel
T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
Rangsangan nyeri yang dihantarkan melalui saraf kecil dapat
dihambat apabila terjadi rangsangan pada saraf besar. Rangsnagan pada saraf
besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa meningkat sehingga
pintu mekanisme tertutup dan hantaran rangsangan pun terhambat.
Rangsangan yang melalui saraf besar dapat langsung merambat ke korteks
serebri agar dapat diidentifikasi dengan cepat (Saputra, 2013).
3. Teori Penghantaran Nyeri
a. Teori Pemisahan (Specificity)
Rangsnagan nyeri masuk melalui ganglion dorsal ke medulla spinalis melalui
kornu dorsalis yang bersinapsis di daerah posterior. Rangsangan tersebut
kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya.
Rangsangan nyeri berakhir di korteks sensoris tempat nyeri tersebut
diteruskan. Proses penghantaran nyeri ini tidak memperhitungkanaspek
fisiologis dan respons nyeri (Saputra, 2013).
b. Teori Pola (Pattern)
Rangsangan nyeri mausk ke medulla spinalis melalui ganglion akar dorsal dan
merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan
nyeri ke korteks serebri. Nyeri yang terjadi merupakan efek gabungan dari
intensitas rangsangan dan jumlah rangsangan pada ujung dorsal medula
spinalis. Proses ini tidak termasuk aspek fisiologis (Saputra, 2013).
c. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control)
Rangsangan nyeri dikendalikan oleh mekanisme gerbang pada ujung dorsal
medulla spinalis. Saraf besar dan saraf kecil pada ganglion akar dorsalis
memungkinkan atau menghalangi penghantaran rangsangan neyri (Saputra,
2013).
d. Teori Transmisi dan Inhibisi
Stimulus yang mengenai nosiseptor memulai trasmisi (penghantaran) impuls
saraf. Transmisi ini menajdi efektif karena terdapat neurotransmitter yang
spesifik. Inhibisi impuls nyeri juga menjadi efektif karena terdapat impuls
pada serabut besar yang menghalangi impuls pada serabut lambat dan system
supresi opiate endogen (Saputra, 2013).
4. Stimulus Nyeri
Beberapa faktor dapat menjadi stimulus nyeri atau menyebabkan nyeri karena
menekan reseptor nyeri. Contoh faktor-faktor tersebut adalah trauma atau
gangguan pada jaringan tubuh, tumor, iskemia pada jaringan, dan spasme otot
(Saputra, 2013).
5. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat dibedakan berdasarkan jenis dan bentuknya.
a. Jenis Nyeri
1) Nyeri perifer, dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
a) Nyeri superfisial: rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit dan
mukosa.
b) Nyeri viseral: rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri
di rongga abdomen, cranium, dan toraks.
c) Nyeri alih: rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh dari jaringan
penyebab nyeri.
2) Nyeri sentral, adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada medulla
spinalis, batang otak, dan thalamus.
3) Nyeri psikogenik, adalah nyeri yang penyebab fisiknya tidak diketahui.
Umumnya nyeri ini disebabkan oleh faktor psikologis (Saputra, 2013).

Selain jenis-jenis nyeri di atas, terdapat juga beberapa jenis nyeri yang
lain, yaitu sebagai berikut:
1) Nyeri somatic: nyeri yang berasal dari tendon, tulang, saraf, dan pembuluh
darah.
2) Nyeri menjalar: nyeri yang terasa di bagian tubuh yang lain, umumnya
disebabkan oleh kerusakan atau cedera pada organ viseral.
3) Nyeri neurologis: bentuk nyeri tajam yang disebabkan oleh spasme di
sepanjang atau di beberapa jalur saraf.
4) Nyeri phantom: nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang,
mislanya pada bagian kaki yang sebenarnya sudah diamputasi (Saputra,
2013).
b. Bentuk Nyeri
1) Nyeri akut, merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang. Umumnya berlangsung tidak lebih dari enam bulan.
Penyebab dan lokasi nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan
peningkatan tegangan otot dan ekcemasan (Saputra, 2013).
2) Nyeri kronis, merupakan nyeri yang berlangsung berkepanjangan,
berulang atau menetap selama lebih dari enam bulan. Umumnya nyeri
tidak dapat disembuhkan. Nyeri kronis dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri
psikosomatis.
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Pengalaman Suatu kejadian Suatu situasi, status
eksistensi nyeri
Sumber Faktor eksternal atau Tidak diketahui
penyakit dari dalam
Serangan Mendadak Bisa mendadak atau
bertahap; tersembunyi
Durasi Sampai 6 bulan Enam bulan lebih sampai
bertahun-tahun
Pernyataan nyeri Daerah nyeri umumnya Daerah nyeri sulit
diketahui pasti dibedakan intensitasnya
dengan daerah yang tidak
nyeri sehingga sulit
dievaluasi
Gejala klinis Pola respons yang khas Pola respons bervariasi
dengan gejala yang lebih
jelas
Perjalanan Umumnya gejala Gejala berlangsung terus
berkurang setelah dengan intensitas yang
beberapa waktu tetap atau bervariasi
Prognosis Baik dan mudah Penyembuhan total
dihilangkan umumnya tidak terjadi
6. Pengukuran Intensitas Nyeri
a. Skala nyeri menurut Hayward
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Hayard
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih satu bilangan dari 0-10
yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang ia rasakan.
Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut:
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan
4-6 = nyeri sedang
7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang biasa dilakukan
10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan

b. Skala nyeri menurut McGill


Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri McGill
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan dari
0-5 yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang ia
rasakan.
Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut:
0 = tidak nyeri
1 = nyeri ringan
2 = nyeri sedang
3 = nyeri berat atau parah
4 = nyeri sangat berat
5 = nyeri hebat
c. Skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale
Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan cara
memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut menyerang. Cara
ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas nyerinya
dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan pada masalah nyeri seacra umum mencakup lima hal,
yaotu pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan waktu
serangan.
P = Provoking atau pemicu, yaotu faktor yang menimbulkan nyeri an
memengaruhi gawat atau ringannya nyeri
Q = Quality atau kualitas nyeri, misalnya rasa tajam atau tumpul
R = Region atau daerah/lokasi, yaitu perjalanan ke daerah lain
S = Severity atau keparahan, yaitu intensitas nyeri
T = Time atau waktu, yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi nyeri
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan untuk pasien yang mengalami ketidaknyamanan atau
nyeri adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan:
1) Trauma pada perineum selama persalinan dan kelahiran
2) Trauma jaringan dan reflex spasme otot karena gangguan
musculoskeletal, gangguan vascular, gangguan visceral, aknker, dan
lain-lain.
3) Kram perut, muntah, diare karena influenza, gastroenteris, ulkus
lambung, dna lain-lain.
4) Inflamasi, misalnya pada saraf, sendi, dan tendon otot.
5) Inflamasi dan spasme otot polos, misalnya karena batu ginjal atau
infeksi saluran pencernaan.
6) Trauma jaringan dan spasme otot reflex, misalnya karena pembedahan,
kecelakaan, terbakar, dan res diagnostic.
7) Demam
8) Respons alergi
9) Iritan bahan kimia
b. Nyeri kronis berhubungan dengan artritis.
3. Rencana Keperawatan
a. Mengurangi atau menghilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri.
b. Menggunakan berbagai metode pereda nyeri yang noninvasif untuk
memodifikasi nyeri yang dialami.
c. Memberikan pereda nyeri yang optimal bersama analgesic sesuai dengan
program yang ditentukan.
4. Tindakan Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan
mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan
keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas
petunjuk petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau
petugas kesehatan
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada masalah nyeri dapat dinilai dari kemampuan
pasien dalam merespons serangan nyeri, hilangnya rasa nyeri, menurunnya
intensitas nyeri, terdapat respons fisiologis yang baik, dan kemampuan untuk
menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa keluhan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

Caroll, G.J. dan Judith M. Wilkinson. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan


Maternal dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang:
Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai