Anda di halaman 1dari 16

LABEL PENGESAHAN

Tanggal Presentasi Moderator

Referat Ilmiah

Syok Spinal

Oleh:
Baarid Luqman Hamidi
Pembimbing:
dr. Nugroho Dzulkarnaen Sp.S

PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF


LAB/SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSUD DR.MOEWARDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi : Referat Ilmiah


Nama : Baarid Luqman Hamidi
Judul : Syok Spinal

1
PPDS I Ilmu Penyakit Saraf
FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Telah disetujui dan disahkan pada

Tanggal___________Bulan_____________2016
Oleh Bagian Bedah Orthopedi Fakultas Kedokteran UNS/ RSUD Dr. Moewardi/
RSO dr. Soeharso Surakarta
Surakarta

Pembimbing

dr. Nugroho Dzulkarnaen Sp.S

BAB I
PENDAHULUAN

A. Belakang

2
Terminologi syok spinal telah dikenal lebih dari 150 tahun yang lalu
sebagai fenomena yang diakibatkan oleh lesi transeksi medulla spinalis yang
mengakibatkan hilangnya atau menurunnya hampir semua refleks spinal
dibawah letak lesi1, namun mekanisme terjadinya dan penyebab syok spinal
masih belum jelas. Berdasarkan berbagai penelitian pada hewan, syok spinal
berhubungan dengan menghilangnya fasilitasi normal dan atau inhibisi
interneuron dan motorneuron dari jasa kortikospinal, rubrospinal,
vestibulospinal dan retikulospinal2.

Selama bertahun-tahun, berkembang banyak teori mengenai penyebab


pasti syok spinal, terminologi “syok” pada syok spinal dan bagaimana
mekanisme menghilangnya refleks neurologis yang diakibatkan dari cedera
medulla spinalis berat.

Berbagai teori dan kontroversi diatas akan dibahas lebih mendalam


pada bab-bab selanjutnya berdasarkan teori yang terus berkembang.

B. Rumusan Masalah

Syok spinal masih memiliki sisi kontroversial terutama dalam hal


etiologi dan mekanismenya, sehingga diperlukan pembahasan lebih
mendalam mengenai syok spinal berdasarkan literatur terbaru.

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai
definisi, diagnosa,etiologi, patofisiologi dan tatalaksana syok spinal secara
lebih mendalam.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Syok Spinal

3
Syok merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup
sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik, tetapi
petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.
Klasifikasi penyebab syok digolongkan menjadi 4 bagian yaitu:
 Syok Kardiogenik
 Syok Obstruktif
 Syok Oligemik
 Syok Distributif
Syok Spinal (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif,
yang terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada
vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer.
Syok spinal telah dideskripsikan oleh Hall lebih dari 150 tahun yang
lalu. Awalnya pada tahun 1750, Whytt menggambarkan suatu fenomena syok
spinal sebagai hilangnya sensasi sensorik diikuti dengan kelemahan motorik
dengan pemulihan refleks secara berangsur-angsur. Saat itu Whytt tidak
menggunakan istilah syok maupun tidak menggunakan dasar anatomis untuk
menjelaskan hilangnya refleks. Hall kemudian mengenakan istilah “syok”
pada tahun 1841, dan menggunakan istilah lengkung refleks untuk
menjelaskan fenomena refleks. Sejak saat itu, implikasi dan fisiologi syok
spinal mengalami perdebatan dan diskusi yang panjang. Atkinson et al dan
sherrington menjelaskan bahwa syok hipovolemik dan syok spinal seringkali
rancu dan akhirnya menyebabkan tata laksana yang salah apakah diberi terapi
cairan atau vasopressor.
Secara lebih lengkap, Syok spinal didefinisikan sebagai fenomena
fisiologis dan anatomi dari lesi transeksi medula spinalis yang mengakibatkan
menurun atau hilangnya hampir semua reflek spinal dibawah tingkat lesi
dengan pemulihan refleks secara berangsur (dalam hitungan jam-hari).
Dengan komplikasi hipotensi sebagai akibat dari hilangnya tonus simpatis,
tergantung letak lesi4,5.

B. Patofisiologi Syok Spinal


Syok spinal biasanya disebabkan oleh trauma dan atau sebab lain yang
mendadak, yang kemudian diikuti dengan perbaikan dalam beberapa jam.
Patomekanisme syok spinal belum dapat dijelaskan secara pasti. Syok Spinal

4
digolongkan ke dalam syok Distributif. Pada gambar 1 dijelaskan
penggolongan syok berdasarkan etiologinya.

Gambar 1. Klasifikasi syok berdasarkan etiologi

Sherrington menjelaskan bahwa penurunan reflek di bawah tingkat


lesi transeksi disebabkan karena hilangnya pengaruh fasilitasi secara
mendadak pada jaras supraspinal descendens, fenomena ini mengakibatkan
gangguan transmisi pada sinaps sehingga proses konduksi interneuronal
terganggu atau bahkan menghilang.
Secara ideal, yang biasanya terjadi pada trauma medula spinalis
komplet, terdapat empat fase syok spinal yang dibagi berdasarkan gejala
klinis dan patofisiologinya6 (tabel 1).
Tabel 1. Fase syok spinal

Fase-fase tersebut dijabarkan sebgai berikut :


1. fase 1 : arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1)
Ditandai dengan hilangnya atau melemahnya semua refleks dibawah
tingkat lesi. Terjadi jejas pada medulla spinalis yang mempengaruhi
neuron yang berfungsi sebagi lengkung refleks sehingga input neural dari
otak menjadi hiperpolarisasi dan tidak responsif
2. fase 2 : munculnya refleks inisial (hari ke 1-3)
Beberapa refleks kembali, refleks yang kembali paling awal adalah
refleks bublbocavernosus. Hal ini terjadi karena terjadi hipersensitivitas

5
otot refleks karena terjadi denervasi. Muncul neurotransmitter yang lebih
banyak dan menyebabkan lebih mudah distimulasi.
3. fase 3 : hiperrefleks awal (hari ke 4 – bulan ke 1)
Ditandai dengan munculnya hiperrefleksia. Fase 3 dan fase 4 memiliki
mekanisme dasar yang sama, yaitu neuron dibawah lesi berusaha
membangun kembali sinaps-sinapsnya, maka dari itu muncul
hiperrefleks.
4. fase 4 : spastisitas / hiperrefleks (bulan ke 1-12)
ditandai dengan spastisitas / hiperrefleks. Regenesasi sinaps dibawah lesi
ini berlangsung dalam jangka waktu minggu sampai ber bulan bulan.
Pembentukan kembali sinaps dapat berasal dari interneuron maupun dari
afferen segmental.
Patofisiologi secara lebih ringkas dijelaskan pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Mekanisme fase syok spinal

C. Tanda-Tanda Klinis pada Fase Syok Spinal7


Secara umum hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok
spinal terdapat tanda-tanda sebagai berikut :
a. Hipotensi.

6
b. Hipotermia.
c. Bradikardia.
d. Paralisis flacid
e. Hilangnya sensibilitas yang bersifat sementara.
f. Areflexia atau refleks terhambat.
g. Atoni lengkap pada otot polos dinding kandung kemih, sehingga
kencing tertahan (retensi urin).
h. Berkeringat.
i. Hilangnya refleks anus yang bersifat sementara.

Pada pembahasan ini akan lebih ditekankan pada tanda klinis syok
spinal berdasarkan dari fase yang telah dijelaskan sebelumnya. Yaitu :
1. Fase 1 : arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1)
Fase ini terjadi sejak 0- 24 jam post trauma. Deep Tendon Reflex (DTR)
seperti reflex patella maupun reflex achilles menghilang, otot lemah dan
bersifat flacid. Pada fase ini refleks kutaneus (polisinaps) seperti
bulbocavernosus dan refleks Cremaster mulai pulih. Jika dilakukan
pemeriksaan neurologis yang cermat pada 24 jam pertama, seharusnya
semua refleks tidak hilang. Deep Plantar Reflex (DPR), suatu refleks
patologis, biasanya muncul pertama dan dapat diamati beberapa jam
setelah onset.
Bradiaritmia, blok konduksi atrioventrikular, dan hipotensi terjadi pada
lesi cervical yang berhubungan dengan inervasi simpatis yang dimediasi
oleh funsi simpatis (nervus vagus) yang masih intake, stimulasi bronkus
seperti suctioning yang agresif dapat menyebabkan bradiaritmia atau
blok konduksi.
2. Fase 2 : munculnya refleks inisial (hari ke 1-3)
Fase kedua ini berlangsung pada hari ke 1-3 post onset. Refleks kutaneus
menjadi semakin kuat. DTR masih hilang, meskipun H-refles tibial pulih
pada waktu 24 jam. Pada usia lanjut dengan kasus lesi komplet, DTR dan
babinski sign dapat muncul di tahap ini. Gutmann menerangkan bahwa
pada anak-anak, DTR dapat pulih lebih awal pada 3 hari post onset. Hal

7
ini disebabkan mungkin karena jaras supraspinal descendens belum
berkembang sempurna.
3. Fase 3 : supersentivitas denervasi (hari ke 4 – bulan ke 1)
Fase ketiga ini terjadi saat hari ke 4 sampai bulan pertama post onset.
DTR muncul pada fase ini, dan dapat menjadi bukti pada semua subjek
dengan onset kurang lebih 30 hari. Refleks achilles mendahului refleks
patella. Babinski sign muncul segera setelah munculnya refleks patella.
Refleks kutaneus telah muncul pada akhir tahap ini dan hanya 10% DPR
yang masih muncul pada onset diatas 1 bulan.
Fungsi outonom terus mengalami perbaikan pada bradiaritmia dan
hipotensi. Disrefleksi autonom dapat muncul, biasanya berhubungan
dengan aktivitas viscus yang distensi (bladder atau bowel) sebagai
stimulus yang menebabkan aliran simpatis yang berlebih dibawah lesi.
4. Fase 4 : spastisitas / hiperreflex (bulan ke 1-12)
Fase keempat ini terjadi antara 1 bulan sampai 6 bulan post onset. DPR
menghilang pada sebagian besar kasus. Refleks kutaneus, DTR, dan
babinski sign menjadi hiperaktif pada stimulasi minimal. Terjadi
perbaikan bladder pada 4- 6 minggu. Hipotensi vasovagal dan
bradiaritmia menghilang dalam 3 – 6 minggu. Akan tetapi hipotensi
ortostatik sebagai akibat dari pasien tetraplegia saat berdiri dapat
berlangsung hingga10-12 minggu lebih lama. Di lain sisi, hipertensi
maligna akibat dari disrefleksia autonom berkembang pada beberapa
minggu sampai bulan dan bertahan pada waktu yang sulit unutk
ditentukan.
Pada tabel 3 dijelaskan mengenai ringkasan tanda-tanda refleks yang
muncul pada fase-fase spinal syok8.

Tabel 3. Perbaikan refleks pada fase syok spinal

8
D. Diferensial Diagnosa
Diffierensial diagnosa syok spinal adalah :
1. sinkop vasovagal
2. Syok Septik
3. Syok Neurogenik
Berikut merupakan tabel yang menjabarkan perbedaan syok spinal dengan
syok neurogenik (tabel 4)

tabel 4. Perbedaan syok spinal dan syok neurogenik

E. Tatalaksana Syok Spinal4

Tatalaksana syok spinal secara umum sama seperti penanganan syok pada
umumnya, dengan mengikuti tatalaksana penyebab dari spinal syok yang
sebagai besar terjadi karena trauma medula spinalis. Berikut merupakan tabel
secara umum talalaksana trauma medula spinalis.

9
Tabel 4. Overview tatalakana cedera medula spinalis

Tatalaksana syok spinal di Indonesia mengacu pada Konsensus Nasional


PERDOSSI : Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma spinal 2006 yang
meliputi :

a. Konsensus Manajemen Pre Hospital4


Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana disaat pre hospital, yaitu :
(1) Stabilisai manual
(2) Membatasi fleksi dan gerakan-gerakan lain
(3) Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebral
brace
b. Konsensus Manajamen Di Instalasi Gawat Darurat4
tindakan mengacu pada :
(1) A (AIRWAY)
Menjaga jalan nafas tetap lapang
(2) B (BREATHING)
Mengatasi gangguan pernafasan, jika perlu lakukan intubasi
endotrakheal (pada cedera medulla spinalis servical atas) dan
pemasangan alat bantu nafas supaya oksigenasi adekuat.

10
(3) C (CIRCULATION)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi karena pengaruh
pada sistem saraf ortosimpatis. Harus dibedakan antara :
a. Syok hipovolemik (hipotensi, tachycardia, ekstremitas
dingin/basah). Tindakan : diberikan cairan kritaloid ( NaCl 0.9% /
Ringer laktat). Kalau perlu dengan koloid ( misal : Albumin 5%)
b. Syok neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas
hangat/kering), pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi
(awasi oedema paru) maka harus diberi vasopressor :
 Dopamine untuk menjaga MAP>70
 Bila perlu adrenalin 0.2 mg s.k
 Dapat diulang 1 jam kemudian
(4) Selanjutnya
a. pasang foley catheter untuk memonitor hasil urine dan cegah
retensi urine
b. pasang pipa naso-gastrik (hati-hati pada cedera servikal),
dengan tujuan untuk :
 dekompresi lambung pada distensi
 kepentingan nutrisi enteral
(5) Pemeriksan Umum dan Neurologis khusus
Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :
a. servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan
disamping kiri-kanan leher ditaruh bantal pasir.
b. Torakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace)
c. Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

Defisit neurologis berdasarkan gejala dan tanda klinis sesuai


dengan tinggi dan luas lesi.

(6) Pemeriksan Penunjang


a. Laboratorium :
 Darah perifer lengkap
 Urine lengkap
 Gula darah sewaktu
 Ureum dan kreatinin
 Analisa gas darah
b. Radiologi
 Foto vertebra posisi AP/Lat/Odontoid dengan sesuai letak
lesi

11
 CT scan / MRI jika dengan foto konvensional masih
meragukan atau bila akan dilakukan tindakan operasi
c. Pemeriksaan lain
 EKG bila terdapat aritmia jantung
(7) Pemberian Steroid
 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan :
Methylprednisolon 30 mg/KgBB i.v bolus selama 15 menit,
ditunggu 45 menit (tidak diberikan Methylprednislon dalam
kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus Methylprednislon
terus menerus selama 23 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/Jam
Bila 3- 8 jam, Methylprednisolon 30 mg/KgBB i.v bolus selama
15 menit, ditunggu 45 menit (tidak diberikan Methylprednislon
dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus
Methylprednislon terus menerus untuk 47 jam dengan dosis 5.4
mg/KgBB/Jam
 Bila > 8 jam tidak dianjutkan pemberian methylprednisolon.
c. Konsensus Manajemen Di Ruang Rawat4
(1) Perawatan Umum
 Lanjutkan A, B, C sesuai indikasi
 Usahakan suhu badan tetap normal (jika lesi diatas C-8,
termoregulasi terganggu)
 Jika ada gangguan miksi pasang kondom kateter atau douer
kateter dan jika ada retensi alvi, berikan laksan / klisma.
(2) Pemeriksaan Neurofisiologi Klinik (SSEP)
(3) Medikamentosa
 Lanjutkan pemberian methylprednisolon ( mencegah proses
sekunder)
 Antipastisitas otot sesuai keadaan klinis
 Analgetik
 Mencegah dekubitus, kalau perlu pakai kasur khusus
 Mencegah trombsosis vena dalam (DVT) dengan stoking kaki
khusus atau fisioterapi. Jika perlu dapat diberikan antikoagulan
(heparin atau LMWH)
 Mencegah proses sekunder (free radikal,dll) dengan pemberian
anti oksidan (Vitamin C, Vitamin E)

12
 Stimulasi sel saraf dengan pemberian GM1-Ganglioside.
Dimulai dalam kurun waktu 72 jam sejak onset sampai dengan
18-32 hari.
 Terapi obat lain sesuai indikasi, seperti antibiotik bila ada
infeksi, dll.
 Memperbaiki sel saraf yang sudah dengan stem sel ( masa
mendatang)
(4) Operasi
(a) Waktu operasi :
 Waktu operasi antara 24 jam sampai dengan 3 minggu.
 Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna
menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan
keluaran skor motorik satu tahun paska trauma
(b) Indikasi operatif :
 Jika ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Fraktur, dislokasi yang labil
 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan
medula spinalis

Konsultasi ke bagian Bedah Saraf/Spinal Ortopedik


berdasarkan indikasi.

d. Konsensus Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi4


Tujuan :
1) Memberikan penerangan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga
mengenai trauma medulla spinalis.
2) Memaksimalkan kemampuan mobilisai dan self care (latihan mandiri)
dan atau latih langsung jika diperlukan
3) Mencegah komorbiditas ( kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll)

Tindakan meliputi :

(1) Fisioterapi
(2) Terapi okupasi
(3) Latihan miksi dan defekasi rutin
(4) Terapi Psikologis

13
D. Prognosis

Prognosis syok spinal tergantung dari waktu dan cara penanganan awal
dan. Semakin awal ditangani dan semakin baik penanganan baik pre hospita,
waktu di IGD maupun saat di bangsal, maka prognosis semakin baik.

BAB III

KESIMPULAN

1. Syok spinal telah diketahui sejak lebih dari dua abad ditandai dengan penurunan
sementara dan pemulihan bertahap dari aktivitas refles di bawah tingkat lesi.
2. Sampai saat ini mekanisme dan signifikansi klinis syok psinal masih
kontroversial.
3. Terdapat empat fase syok spinal berdasarkan manifestasi klinis dan
patofisiologinya.
4. Terdapat penatalaksanaan yang komprehensif, meliputi penatalaksaan prehopital,
penatalaksanaan waktu di instalasi gawat darurat, penatalaksanaan waktu di
Ruang rawat maupun saat di pulang dengan program rehabilitasi syaraf yang
terpadu.

14
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Atkinson PP, Atkinson JL. Spinal shock. Mayo Clin Proc 1996; 71: 384–389.
2. Ko HY, Ditunno Jr JF, Graziani V, Little JW. The pattern of reflex recovery
during spinal shock. Spinal Cord 1999; 37: 402–409.
3. Hall M. Synopsis of the Diastaltic Nervous System: or The System of the
Spinal Marrow, and its Reflex Arcs; as the Nervous Agent in all the Functions
of Ingestion and of Egestion in the Animal Oeconomy. Mallett J.:
London,1850.
4. Soertidewi, Lyna, Jusuf Misbach, Hasan Sjahrir, et al. Konsensus Nasional
Penanganan Trauma Kaptis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Bagian
Neurologi FKUI/RSCM : Jakarta.Indonesia.
5. Sherrington CS. Croonian Lecture (1897): the mammalian spinal cord as an
organ of reflex action. Philos Trans 1898; 190B: 128–138.
6. Holdsworth FW. Neurological diagnosis and the indications for treatment of
paraplegia and tetraplegia, associated with fractures of the spine. Manit Med
Rev 1968; 48: 16–18.
7. Cadilhac J, Georgesco M, Benezech J, Duday H, Dapres G. Somatosensory
evoked potentials and Hoffmann reflex in acute spinal cord lesions;
physiopathological and prognostic aspects. Electroencephalogr din
Neurophysiol 1977; 43: 160–167.

15
8. Leis AA, Zhou HH, Mehta M, Harkey III HL, Paske WC. Behavior of the H-
reflex in humans following mechanical perturbation or injury to rostral spinal
cord. Muscle Nerve 1996; 19: 1373–1382.

16

Anda mungkin juga menyukai