Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Veteriner Desember 2019 Vol. 20 No.

4 : 572-582
pISSN: 1411-8327; eISSN: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2019.20.4.572
Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online pada http://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet
Kemenristek Dikti RI S.K. No. 36a/E/KPT/2016

Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Parasit


Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur
di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
(PREVALENCE AND RISK FACTOR FOR GASTROINTESTINAL
PARASITIC INFECTIONS IN SWAMP BUFFALOES
IN BREBES REGENCY, CENTRAL JAVA)

Nanis Nurhidayah1, Fadjar Satrija2, Elok Budi Retnani2,


Dewi Apri Astuti3, Sri Murtini2

1
Program Studi Doktor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
2
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan,
3
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Jln Agathis, Kampus IPB, Dramaga,
Bogor, Jawa Barat, Indonesia 16680
Email: fadjar_s@apps.ipb.ac.id

ABSTRAK

Kerbau lumpur merupakan ternak multiguna yang memiliki kedekatan dengan kehidupan masyarakat
di kawasan lumbung ternak khususnya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Infeksi parasit saluran
pencernaan pada kerbau lumpur berdampak negatif terhadap kesehatan ternak sekaligus menyebabkan
kerugian ekonomi. Data epidemiologi infeksi saluran pencernaan pada kerbau lumpur di Kabupaten
Brebes belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur prevalensi, derajat infeksi serta analisis
faktor risiko infeksi parasit saluran pencernaan pada kerbau lumpur di Kabupaten Brebes. Sebanyak
240 sampel tinja diperoleh dari kerbau di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Salem, Bantarkawung,
Tonjong dan Brebes. Data faktor risiko infeksi diperoleh melalui wawancara pemilik ternak dengan
kuesioner terstruktur. Pertanyaan meliputi aspek identitas ternak dan manajemen peternakan (kandang,
pakan dan kesehatan ternak). Hasil pemeriksaan mikroskopik dengan teknik Mc Master menunjukkan
bahwa 27,5% kerbau terinfeksi oleh parasit saluran pencernaan. Infeksi disebabkan oleh Toxocara vitulorum
(1,67%; jumlah telur tiap gram tinja [TTGT] 174,4), cacing Strongyle (Cooperia, Nematodirus,
Trichostrongylus) (4,17%; TTGT 140,18), Trichuris spp. (3,33%; TTGT 64,84), Moniezia expansa (9,17%;
TTGT 122,47) dan Eimeria spp (21,25%; jumlah ookista per gram tinja [OTGT] 162,37). Hasil analisis
faktor risiko infeksi menunjukkan bahwa hanya variabel umur merupakan satu-satunya faktor risiko
infeksi yang ditunjukkan dengan -P-value 0,03. Nilai odd ratio kelompok muda dan pedet adalah 3,424
dan 2,529, artinya, kelompok muda dan pedet memiliki risiko 3,424 dan 2,529 lebih tinggi dibandingkan
kerbau dewasa (referensi). Dari penelitian ini dapat disimpulkan, baik prevalensi maupun derajat infeksi
parasit saluran pencernaan pada kerbau lumpur di Kabupaten Brebes terjadi dalam taraf yang rendah
dan dipengaruhi oleh faktor umur ternak.

Kata-kata kunci: parasit saluran pencernaan; faktor risiko infeksi; kerbau; Brebes

ABSTRACT

Swamp buffalo is a multipurpose animal that live close to people of Brebes Regency, Central Java.
Infection by some gastrointestinal parasites are negatively affected on health status of the animals as
well as cause economic lossses. Current status of gastrointestinal parasitic infection of swamp buffalo in
Brebes Regency is absent. The aim of this research was to measure the prevalence, the degree of infection

572
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

as well as identify the risk factor for gastrointestinal parasitic infection of swamp buffalo in Brebes
Regency. The fecal samples were collected from 240 buffaloes in four sub-regencies i.e. Salem, Bantarkawung,
Tonjong, and Brebes. The result of microscopic examination through Mc Master technique showed that
27.5% of buffaloes were infected. The infectious agent was Toxocara vitulorum (1.67%; egg per gram fecal
sample [EPG] 174.4), Strongyle (Cooperia, Nematodirus, Trichostrongylus) (4.17%; EPG 140.18), Trichuris
spp. (3.33%; EPG 64.84), Moniezia expansa (9.17%; EPG 122.47) and Eimeria spp (21.25%; oocyst per gram
fecal sample [OPG] 162.37). Age was the only factor for gastrointestinal parasitic infection (P-value 0.03),
where the group of young and calve were 3.424 and 2.529 have a higher risk than adult group (as reference).
Finally, both of prevalence and degree of infection of gastrointestinal parasites in swamp buffaloes in
Brebes Regency was low, as well as age was the risk factor for the infection.

Keywords: gastrointestinal parasite; risk factor for infection; swamp buffalo; Brebes

karena peternak kerbau umumnya masih


PENDAHULUAN menganggap peternakan kerbau sebagai usaha
tani sampingan yang dilakukan secara
Kerbau lumpur merupakan ruminansia tradisional dan minim intervensi kesehatan
multiguna dan bernilai ekonomi tinggi bagi ternak (Prasetyo dan Muryanto, 2007; Gayatri
masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dan Vaarst, 2015). Kondisi tersebut memicu
Indonesia. Kerbau di samping sebagai tenaga timbulnya kejadian penyakit infeksius,
kerja untuk mengolah lahan pertanian, kerbau termasuk infeksi parasit saluran pencernaan.
merupakan ternak penghasil daging merah, Parasit saluran pencernaan telah
tabungan keluarga, serta hewan untuk dilaporkan menginfeksi baik ruminansia
keperluan upacara keagamaan dan adat (Talib domestik maupun liar (Swai et al., 2013; Budiono
et al., 2014). Kerbau juga berpotensi untuk et al., 2018). Cacing parasit serta protozoa
dibudidayakan sebagai ternak perah guna parasit berparasit di sepanjang saluran
memenuhi kebutuhan susu nasional yang pencernaan mulai lambung, usus halus hingga
sebagian besar masih harus dipenuhi dari impor kolon (Taylor et al., 2016). Prevalensi dan
(Matondang dan Talib, 2015). intensitas infeksi parasit saluran pencernaan
Populasi kerbau di Kabupaten Brebes pada pada kerbau di berbagai negara dilaporkan
tahun 2016 mencapai 7 651 ekor, sehingga sangat bervariasi (Patel et al., 2015, Gueguen
merupakan kabupaten dengan populasi kerbau et al., 2016, Founta et al., 2018; Nurhidayah et
tertinggi kedua di Provinsi Jawa Tengah (BPS al., 2019). Gejala klinis yang mungkin timbul
Jateng, 2016). Usaha ternak kerbau akibat infeksi tersebut berupa diare, emasiasi,
memberikan kontribusi terbesar pada anemia, kolik dan obstruksi intestinal (Van Der
pendapatan petani di wilayah agroekosistem Steen et al., 2014; Dermauw et al., 2017). Infeksi
dataran tinggi Kabupaten Brebes yaitu sebesar juga menyebabkan kerugian ekonomi yang
57,78%. Di wilayah agroekosistem dataran terkait dengan perlambatan pertambahan bobot
rendah yang didominasi tanaman bawang, badan dan penambahan biaya pengobatan
ternak kerbau menyumbangkan 14,43% dari (Davila et al., 2010).
pendapatan petani (Prasetyo dan Muryanto, Data tentang kejadian infeksi parasit
2007). Angka ini diperoleh melalui pelaksanaan saluran pencernaan dan faktor-faktor risiko
sistem pertanian terpadu dengan pemanfaatan yang memengaruhinya pada kerbau di Indonesia
limbah pertanian berupa jerami padi, jerami masih terbatas. Beberapa studi telah dilakukan
jagung hingga limbah bawang merah sebagai di Banten dan Jawa Barat, Jawa Timur dan
pakan ternak, serta pemanfaatan tenaga kerja Lombok (Karim et al., 2016; Nurhidayah et al.,
dan kotoran kerbau sebagai sumber pupuk 2019), namun data tersebut belum tersedia di
organik di sawah. Kabupaten Brebes sebagai salah satu sentra
Pemerintah terus berupaya meningkatkan pengembangan ternak kerbau Jawa Tengah.
populasi dan budidaya ternak kerbau di Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
masyarakat melalui berbagai program di epidemiologi parasit untuk mengukur prevalensi
antaranya Sentral Peternakan Rakyat (SPR) dan derajat infeksi, serta faktor resiko kejadian
dan Upaya Khusus Sapi/Kerbau Indukan Wajib infeksi parasit saluran pencernaan pada kerbau
Bunting (UPSUS SIWAB). Upaya peningkatan lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
usaha peternakan kerbau lumpur sering Penelitian ini diharapkan mampu menyediakan
menemui kendala dalam pelaksanaannya data dasar di bidang epidemiologi penyakit

573
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

parasit sebagai landasan pengendalian infeksi Total populasi kerbau di Kecamatan Brebes
parasit saluran pencernaan yang efektif dan tercatat sebesar 324 ekor (Dinkominfotik 2018).
efisien di lokasi studi. Kendala utama peternakan kerbau di wilayah
ini adalah ketersediaan lahan peternakan dan
pakan khususnya di musim kemarau.
METODE PENELITIAN
Koleksi dan Analisis Sampel Tinja
Rancangan dan Lokasi Penelitian Sampel tinja kerbau diperoleh melalui
Penelitian ini merupakan studi cross palpasi rektum 240 ekor hewan contoh. Jumlah
sectional dengan desain survei yang dilakukan hewan contoh diambil secara proporsional
pada bulan Maret–Mei 2018. Prosedur penelitian berdasarkan populasi kerbau di keempat
ini telah ditelaah dan mendapatkan persetujuan kecamatan yang menjadi lokasi penelitian.
dari Komisi Etik Hewan, Lembaga Penelitian Kerbau yang diambil sebagai contoh terdiri dari
dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut tiga kelompok umur, yaitu pedet (di bawah 12
Pertanian Bogor dengan Persetujuan Etik bulan), muda (di atas 12–32 bulan), serta
Nomor 133–2018. dewasa (di atas 32 bulan) (Mamun et al., 2011).
Lokasi penelitian adalah empat kecamatan Sampel tinja dibawa dengan rantai dingin
di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yaitu: menuju Laboratorium Helmintologi, Depar-
Kecamatan Salem, Tonjong, Bantarkawung dan temen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Brebes. Keempat lokasi tersebut memiliki Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
perbedaan kondisi agroklimatologi berdasarkan Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisa
Klasifikasi dari Oldeman (1975). laboratorium untuk mengidentifikasi jenis,
Kecamatan Salem, Bantarkawung dan mengukur prevalensi dan derajat infeksi parasit
Tonjong merupakan tiga kecamatan yang dilakukan dengan Metode McMaster yang
terletak di dataran tinggi dengan kontur dimodifikasi (Hansen dan Perry, 1994). Seba-
perbukitan di sepanjang barat daya, selatan nyak 4 g sampel tinja ditimbang, lalu ditambah
hingga tenggara Kabupaten Brebes. Kecamatan 56 mL larutan pengapung gula garam dan
Salem menjadi kecamatan terluar dengan jarak dihomogenisasi. Suspensi tersebut kemudian
111 km dari Ibukota Kabupaten Brebes dan disaring dengan saringan teh, lalu filtratnya
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa dihomogenkan dengan menuangkan di antara
Barat di bagian barat serta Kabupaten Cilacap, dua gelas secara bergantian (3–4 kali) sebelum
Jawa Tengah di Selatan. Kecamatan Salem dipipet ke kamar hitung McMaster. Setelah
dikelilingi perbukitan di seluruh sisinya, didiamkan selama 5 menit untuk memberikan
memiliki ketinggian 500 m di atas permukaan kesempatan telur dan ookista mengapung,
laut (dpl) dengan tipe iklim C2 (5–6 bulan basah dilakukan pengamatan serta penghitungan telur
dan 2–4 bulan kering). Kerbau lumpur di cacing dan ookista dengan mikroskop cahaya
Kecamatan Salem dipelihara secara komunal dengan perbesaran 100 kali. Identifikasi jenis
oleh kelompok ternak yang tersebar di beberapa telur cacing dan ookista protozoa yang
desa, yaitu Desa Indrajaya, Banjaran dan ditemukan dilakukan menggunakan kunci
Bentar. Total populasi pada tahun 2017 adalah identifikasi Taylor et al. (2016). Selanjutnya,
1 056 ekor (Dinkominfotik 2018). sampel-sampel tinja yang positif terhadap telur
Bantarkawung dan Tonjong merupakan Nematoda tipe strongyloid dikumpulkan
dua kecamatan dengan populasi kerbau terbesar (pooled) untuk dipupuk dengan vermikulit guna
di Kabupaten Brebes sebanyak masing-masing mendapatkan larva infektif (L3) pada hari ke-7
1.678 ekor dan 1.373 ekor. Secara geografis, pascapemupukan. Larva infektif L3 tersebut
Bantarkawung terletak di ketinggian 161 m dpl digunakan sebagai pembeda antar Nematoda
dengan tipe iklim B2 (7–9 bulan basah dan 2–4 yang memiliki tipe telur strongyloid, misalnya
bulan kering), sedangkan Tonjong berada di 175 Haemonchus, Trichostrongylus, Cooperia, Bu-
m dpl dengan tipe iklim C2. Sementara itu, nostomum, Nematodirus, Oesophagostomum,
Kecamatan Brebes terletak di dataran rendah Mecistocirrus dan Chabertia (Van Wyk dan
(3 m dpl) bagian utara Kabupaten Brebes dan Mayhew, 2013; Fernando 1965).
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Wila-
yahnya dicirikan memiliki tipe iklim D4 (3–4 Kuesioner Penelitian
bulan basah dan >6 bulan kering berturut-turut Wawancara dengan kuesioner terstruktur
dalam satu tahun) yang cenderung lebih kering. dilakukan terhadap 110 responden pemilik

574
Jurnal Veteriner Desember 2019 Vol. 20 No. 4 : 572-582

ternak. Pertanyaan meliputi; identitas res- satuan persen. Derajat infeksi tiap jenis cacing
ponden, sistem pemeliharaan ternak (perkan- dinyatakan dalam satuan telur tiap gram tinja
dangan, jenis dan lokasi sumber pakan, jenis (TTGT), sedangkan ookista protozoa dinyatakan
sumber air minum, waktu penyapihan, pola dalam satuan ookista tiap gram tinja (OTGT).
pemeliharaan) dan aspek kesehatan ternak Sebagian besar infeksi parasit tersebar secara
(intensitas pemeriksaan kesehatan, pemberian tidak merata (overdispersed), sehingga untuk
anthelmintika, dan fasilitas pelayanan menghindari adanya sebaran yang tidak normal
keseharan hewan). maka nilai TTGT dan OTGT tersebut dinya-
takan dalam bentuk rataan geometrik (geo-
Analisis Data metric mean/GEM) dan dilengkapi dengan nilai
Data prevalensi yang merupakan proporsi selang kepercayaan 95% atau Confidence
hewan yang terinfeksi parasit terhadap jumlah Interval/CI .
total hewan yang diperiksa dinyatakan dalam Analisis faktor risiko infeksi diolah dari

Gambar 1. Klasifikasi iklim Oldeman (2008–2017) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

575
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

data hasil wawancara terstruktur menggu- sulit dibedakan melalui pemeriksaan morfologi
nakan kuesioner. Penentuan faktor risiko infeksi telur cacing (Taylor et al., 2016).
dilakukan melalui dua tahap, yaitu seleksi Sampel tinja yang diperiksa juga positif
variabel melalui uji khi-kuadrat (chi-square) dan terhadap telur strongyloid yang ditandai dengan
dilanjutkan dengan uji multivariat melalui ditemukannya bentukan telur berisi 4–16 sel
analisis regresi logistik berganda (multiple yang bergerombol seperti anggur. Hasil
logistic regression). Variabel-variabel yang identifikasi L3 dari pupukan tinja positif
memiliki nilai signifikansi <0,05 pada uji chi- menunjukkan bahwa terdapat tiga genus yang
square dinyatakan memenuhi syarat sebagai menginfeksi kerbau di lokasi studi, yaitu
kandidat faktor risiko infeksi dan dilanjutkan Cooperia (43,75%), Trichostrongylus (37,50%)
melalui uji multivariat regresi logistik berganda. dan Nematodirus (18,75%). Cooperia
Faktor risiko infeksi digambarakan dalam nilai merupakan cacing Famili Cooperidae dengan
odd ratio dan disajikan dalam bentuk tabel. lima spesies utama yaitu C. oncophora, C.
Sementara itu, data agroklimatologi lokasi curticei, C. surnabada, C. punctata dan C.
diperoleh dari proses pencocokan titik GPS lokasi pectinata. Kelimanya merupakan cacing yang
kandang dengan peta klasifikasi iklim Oldeman menginfeksi usus halus sapi, namun hanya C.
Kabupaten Brebes tahun 2008–2017 yang curticei yang menginfeksi kambing, domba dan
diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi rusa. Larva infektif L3 Cooperia memiliki
Semarang. bentukan 16 sel intestinal, kepala berbentuk segi
empat yang dilengkapi refractile bodies dan
ekornya memiliki selubung yang cukup
HASIL DAN PEMBAHASAN panjang. Larva infektif L3 Trichostrongylus
memiliki jumlah sel intestinal yang sama
Identifikasi Jenis Parasit dengan Cooperia, namun berbeda di bagian
Pemeriksaan mikroskopik sampel tinja kepala dan ekornya. Bentuk kepala L3
berhasil menemukan tiga jenis telur nematoda Trichostrongylus lebih tumpul dan selubung
(telur tipe ascarid, trichurid dan strongyloid), ekornya pendek meruncing. Sementara itu,
satu jenis telur cestoda (Moniezia) serta ookista Nematodirus atau disebut juga sebagai thread-
protozoa parasit Genus Eimeria. Toxocara necked worm secara morfologi dapat dibedakan
vitulorum merupakan satu-satunya jenis cacing dari anggota Superfamili Trichostrongyloidea
parasit saluran pencernaan sapi dan kerbau lain karena memiliki bentukan vesikula sepalika
yang memiliki telur tipe ascarid. Telurnya yang kecil pada cacing dewasanya. Larva
berbentuk subglobular yang khas dengan infektifnya memiliki delapan sel intestinal,
cangkang albumin tebal dan tidak berwarna memiliki bentuk kepala yang lebar dan
serta berukuran panjang 75–95 μm dan lebar membulat, serta memiliki bentuk selubung ekor
60–75 μm (Taylor et al., 2016). Infeksi vertikal yang berfilamen (filamentous sheath) (Van Wyk
dari induk ke pedet terjadi dengan menelan larva dan Mayhew, 2013).
yang keluar bersama susu pada tujuh hari Kerbau di lokasi studi juga terinfeksi cacing
pertama setelah partus (Roberts 1990a). Larva pita Moniezia expansa, yaitu cacing pita yang
tersebut berkembang menjadi cacing dewasa panjangnya mampu mencapai 200 cm, lebar 1,5
yang menyebabkan kerusakan mukosa dan cm dan memiliki bentuk telur segi tiga
menghambat penyerapan sari makanan di usus (triangular). Telurnya dapat dibedakan dengan
halus. Akumulasi cacing dewasa dalam jumlah telur Moniezia benedeni yang berbentuk segi
besar dalam lumen dapat menyebabkan empat (quadrangular). Meskipun M. expansa
obstruksi usus yang berakhir dengan kematian lebih umum ditemukan pada kambing atau
pedet (Satrija et al., 2011; Van Der Steen et al., domba, spesies ini juga dapat ditemukan
2014). menginfeksi saluran pencernaan sapi (Taylor et
Telur tipe trichurid dari cacing Trichuris al., 2016). Infeksi pada kerbau di lokasi studi
dapat dengan mudah dibedakan dengan jenis mungkin terjadi karena kecocokan habitat
telur nematoda lain. Telurnya memiliki bentuk inang antaranya serta dekatnya habitat (baik
seperti buah lemon yang dilengkapi dengan kandang ataupun lahan penggembalaan) antara
operkulum berupa dua sumbat polar (polar plug) sapi dan kerbau. Cacing Moniezia spp. juga
dan berwarna kuning atau cokelat. Kerbau dapat pernah dilaporkan menginfeksi kerbau di India
terinfeksi dua spesies Trichuris yaitu T. (Gupta et al., 2018) dan di Yunani (Founta et
globulosa dan T. discolor, namun keduanya al., 2018).

576
Jurnal Veteriner Desember 2019 Vol. 20 No. 4 : 572-582

Berdasarkan hasil identifikasi telur dan Tabel 1. Prevalensi infeksi parasit saluran
larva infektif yang dilakukan, keragaman jenis pencernaan secara keseluruhan ialah 27,5% (66/
cacing nematoda dan cestoda pada kerbau di 240). Berdasarkan penelitian ini diketahui
Kabupaten Brebes ini kurang lebih serupa bahwa kerbau lumpur di Kabupaten Brebes
dengan penelitian terdahulu di wilayah mengalami infeksi parasit gastrointestinal lebih
Kabupaten Serang dan Lebak, Banten rendah dibandingkan kerbau lumpur di Provinsi
(Nurhidayah et al., 2019), serta di wilayah Banten (Nurhidayah et al., 2019). Kerbau
Kabupaten Bogor, Demak, Malang, lumpur terinfeksi dua golongan cacing yakni;
Tulungagung, Lamongan dan Lombok (Karim nematoda (9,17%) dan cestoda (1,67%) serta
et al., 2016). Perbedaan keragaman ditemukan teridentifikasi pula protozoa parasit dari Genus
pada Genus Strongyle yang menginfeksi kerbau Eimeria (21,25%). Secara umum derajat infeksi
di lokasi-lokasi tersebut. Kerbau di lokasi studi seluruh parasit gastrointestinal maupun
terinfeksi Cooperia, Trichostrongylus dan protozoa parasit di daerah ini terkategori ringan
Nematodirus, sedangkan Karim et al. (2016) yang ditandai dengan rendahnya nilai TTGT dan
mengidentifikasi empat jenis L3 Strongyle yaitu OTGT tiap-tiap parasit.
Haemonchus, Cooperia, Oesophagostomum, dan Cacing Strongyle merupakan kelompok
Bunostomum. cacing yang paling banyak menginfeksi kerbau
Penelitian ini menemukan keberadaan di lokasi studi. Hal ini tercermin dari prevalensi
ookista dari protozoa parasit Genus Eimeria. kelompok cacing tersebut (4,17%), namun
Hasil ini sesuai dengan kajian terdahulu oleh infeksinya terjadi dalam taraf yang rendah.
Nurhidayah et al. (2019) dan Khan et al. (2013). Menurut Taylor et al. (2016), infeksi campuran
Informasi berkaitan dengan jenis-jenis Eimeria cacing Strongyle pada sapi dikategorikan ringan
yang bersifat patogen pada kerbau di Indonesia apabila memiliki TTGT di bawah 200, katagori
masih sangat terbatas. Khan et al. (2013) sedang (200–700) dan katagori berat (lebih
mengidentifikasi enam spesies Eimeria yaitu E. banyak dari 700). Sebagian besar kerbau
bovis, E. zuernii, E. canadensis, E. ellipsoidalis, lumpur di lokasi studi dipelihara secara
E. alabamensis dan E. cylindrical dari saluran semiintensif oleh peternak yang juga berprofesi
pencernaan kerbau air di Pakistan. Infeksi sebagai petani sawah tadah hujan. Peternak
ookista protozoa parasit ini berkaitan erat dengan bekerja sekaligus mencari pakan hijauan di
aspek manajemen peternakan yaitu sistem sawah saat pagi hari, lalu menggembalakan
perkandangan tertutup, pemberian pakan di ternaknya pada pagi menjelang siang hingga
lantai kandang, sumber air dari telaga, tipe sore hari ke dalam kawasan hutan, serta
lantai kandang (tidak bersemen) dan tingginya mengandangkan ternaknya saat malam hari.
kepadatan ternak dalam satu kawanan (lebih Pakan yang diperoleh pada pagi hari tersebut
dari 50 ekor). dilayukan dan dijadikan persediaan untuk pakan
ternaknya di malam hari saat dalam kandang.
Prevalensi dan Derajat Infeksi Kebiasaan peternak yang baru menggembalakan
Hasil pengukuran prevalensi dan derajat ternaknya saat pagi menjelang siang inilah
infeksi parasit saluran pencernaan pada kerbau diduga menjadi penyebab rendahnya derajat
di lokasi Kabupaten Brebes disajikan dalam

Tabel 1. Prevalensi dan derajat infeksi parasit saluran pencernaan pada kerbau lumpur di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (n=240)

Jenis parasit Jumlah sampel % Prevalensi (CI*) Rataan geometrik


positif TTGT (CI*)

Nematoda (cacing gilig)


Kelompok Strongyle 10 4,17 (1,64–6,69) 5 55,81 (24,18–87,43)*
Toxocara vitulorum 4 1,67 (0,05–3,29) 1 174,4 (0–3 849,40)**
Trichuris spp. 8 3,33 (1,06–5,60) 6 64,84 (47,11–90,38)***
Cestoda (cacing pita)
Moniezia expansa 4 1,67 (0,05–3,29) 1 122,47 (14,46–230,49)º
Protozoa parasit
Eimeria spp. 51 21,25 (16,07–26,43)1 162,37 (0–4 051,77)ºº
Prevalensi keseluruhan 66 27,5 (21,85–33,15)

*Keterangan: CI= 95% Confidence interval atau selang kepercayaan 95%


577
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

infeksi nematoda pada kerbau lumpur tersebut. Meskipun demikian, prevalensi dan derajat
Hal ini terjadi mengingat bahwa stadium infektif infeksinya yang sangat rendah ini tetap harus
larva stadium tiga (L3) beberapa nematoda menjadi perhatian intensif mengingat adanya
memiliki kemampuan bergerak vertikal menuju potensi dan peran kelompok pedet sebagai
pucuk rumput/tanaman. Peristiwa ini terjadi sumber infeksi bagi ternak yang lebih tua. Hal
pada pagi hari dan jumlahnya semakin menurun ini terjadi karena penerapan sistem kandang
seiring dengan adanya sinar ultraviolet (Hansen komunal tanpa disertai waktu penyapihan yang
dan Perry, 1994). Bagi sebagian peternak yang jelas bagi pedet kerbau oleh peternak. Akibatnya,
tidak menggembalakan ternaknya, pakan yang ternak yang berumur lebih tua terinfeksi karena
diperoleh di pagi hari tersebut akan dilayukan kontaminasi telur T. vitulorum bersama pakan
beberapa waktu hingga diberikan pada ternak dan siklus hidup cacingpun berlanjut.
keesokan harinya. Proses pelayuan ini diduga Moniezia merupakan cacing pita herma-
turut berperan menurunkan jumlah stadium frodit yang mampu menghasilkan ratusan telur
infektif cacing yang mungkin tersedia dalam pada tiap-tiap segmen proglotida gravid. Telur
bahan pakan. dieksreksikan bersama tinja dan bersiklus
Toxocara vitulorum merupakan nematoda kembali melalui inang antara tungau rumput
yang paling sering menginfeksi pedet sapi dan Oribatidae (Taylor et al., 2016). Kerbau
kerbau dengan rute neonatus khususnya di terinfeksi apabila menelan tungau yang
kawasan Asia Tenggara (Hansen dan Perry, mengandung sistiserkoid. Pada penelitian ini,
1994). Dorny et al. (2015) melaporkan, T. Moniezia tercatat memproduksi telur dengan
vitulorum menginfeksi pedet sapi dan kerbau 122,47 TTGT, lebih rendah dari pengamatan
khususnya yang berumur 4–8 minggu di pada sapi di Jepang dengan TTGT berkisar
Kamboja. Di Indonesia, infeksi T. vitulorum antara 198,2–1 185,5 (Irie et al., 2013).
pernah dilaporkan terjadi sebesar 5,32% pada
sapi potong di SPR Kecamatan Kasiman, Faktor Risiko Infeksi
Bojonegoro, Jawa Timur (Winarso et al., 2015). Dari 240 ekor kerbau sampel, sebanyak 189
Telur cacing ini mulai diekskresikan bersama ekor merupakan kerbau betina dan 51 ekor
feses sejak pedet berumur 22 hari, sedangkan lainnya adalah jantan. Hal ini berkaitan dengan
cacing dewasanya mulai diekspulsikan secara tujuan dan fungsi peternakan yakni sebagai
alami saat ternak berumur enam bulan (Roberts penyedia bibit (pembibitan), sedangkan kerbau
1990b). Dalam studi ini T. vitulorum hanya jantan dipelihara sebagai pejantan dalam
ditemukan menginfeksi empat kerbau (1,67%) kawanan atau tabungan keluarga yang dijual
dengan derajat infeksi sangat rendah (174,4 saat peternak memiliki kebutuhan mendesak.
TTGT). Roberts (1990b) mencatat, cacing betina Berdasarkan kategori umur, sebagian besar
T. vitulorum mampu menghasilkan 98 000– ternak termasuk kerbau dewasa (152 ekor),
110 000 telur/betina per hari saat puncak diikuti ternak yang termasuk dalam kategori
produksi. Periode ini terjadi saat pedet berumur muda (55 ekor) dan sisanya adalah pedet (33
35,7±2,6 hari dengan durasi 5,5±2,5 hari. ekor).
Rendahnya prevalensi dan derajat infeksi T. Sebanyak 75% peternak menerapkan sistem
vitulorum tersebut diduga juga berkaitan pemeliharaan semi intensif dengan cara ternak
dengan minimnya jumlah kerbau berumur di digembalakan saat siang hingga sore dan
bawah enam bulan yang terambil sampel dikandangkan saat malam hari. Selain itu,
tinjanya. Hal ini dikuatkan oleh Winarso et al. terdapat 25% peternak yang mengandangkan
(2015) yang membuktikan adanya penurunan ternaknya sepanjang tahun (intensif). Berbagai
nilai TTGT akibat peningkatan umur ternak. penelitian terdahulu menyebutkan bahwa aspek
Rataan geometrik TTGT T. vitulorum pada manajemen khususnya kebersihan kandang
seekor pedet sapi potong di SPR Kasiman memberikan pengaruh signifikan terhadap
berumur di bawah enam bulan adalah 5 931 berbagai kasus kecacingan, misalnya kasus
TTGT, sedangkan anak (3 779 TTGT), muda thelaziosis pada sapi (Djungu et al., 2014) atau
(800 TTGT) dan dewasa (100 TTGT). Selain itu, nematoda saluran pencernaan pada ruminansia
jumlah produksi telur T. vitulorum tersebut (Khan et al., 2010). Dalam penelitian ini, aspek
berkorelasi dengan ukuran betinanya, perkandangan tidak memberikan pengaruh
fekunditas betina dewasa dan produksinya yang nyata karena seluruh kandang ternak
semakin menurun seiring dengan umur parasit (100%) berstruktur semipermanen, beralas
dalam tubuh inang (Hansen dan Perry, 1994). tanah dengan fasilitas sanitasi yang minimal.

578
Jurnal Veteriner Desember 2019 Vol. 20 No. 4 : 572-582

Sementara itu, sumber pakan utama bagi ternak meliputi pola pemeliharaan, tipe dan jenis
adalah rumput dan hijauan dari kawasan hutan, kandang, pakan, sumber dan lokasi air minum,
ladang penggembalaan serta limbah pertanian waktu penyapihan), nilai body condition score
(jerami padi atau batang jagung), sedangkan (BCS), kesehatan hewan, kecamatan serta
sumber air minum terdiri atas air dari air agroklimatologi lokasi studi secara statistika
kolam/telaga, sumur bor dan kombinasi tidak memberikan hasil yang signifikan.
keduanya. Dari aspek kesehatan ternak, Uji lanjut regresi logistik berganda
sebanyak 9,40% peternak mengaku tidak pernah membuktikan bahwa umur menjadi faktor
memberikan obat cacing (anthelmintika) pada risiko infeksi parasit gastrointestinal pada
ternaknya, sedangkan sisanya memberikan kerbau lumpur dengan nilai P-value 0,03 (Tabel
anthelmintika secara berkala dengan selang 3). Pada uji statistika ini juga dapat diketahui
pemberian enam bulan (38,46%) dan satu tahun bahwa risiko infeksi tertinggi dimiliki oleh
sekali (52,14%). kelompok kerbau muda karena memiliki nilai
Hasil analisis chi-square pada Tabel 2 odd ratio (OR) paling tinggi yaitu 3,424 diikuti
menunjukkan bahwa dari beberapa variabel oleh pedet (OR 2,529) dan dewasa. Artinya, baik
yang diuji kelayakannya, hanya variabel umur kelompok muda dan pedet memiliki risiko infeksi
yang signifikan dan dinyatakan layak sebagai sebesar 3,424 dan 2,529 kali lebih tinggi
kandidat faktor risiko infeksi (P-value <0,05-). dibandingkan kerbau dewasa (referensi).
Sementara itu, variabel lainnya berupa jenis Fenomena serupa juga ditemukan pada
kelamin ternak, manajemen peternakan (yang penelitian terdahulu oleh Gueguen et al. (2016)

Tabel 2. Hasil analisis chi-square untuk seleksi kandidat faktor risiko infeksi parasite saluran
pencernaan pada kerbau lumpur di Kabupaten Brebes (n=240)

Kategori Jumlah sampel Jumlah sampel Total prevalensi P-value


tiap kategori positif (%) pada uji x2

Jenis Kelamin 0,963


Jantan 51 19 37,25
Betina 189 47 24,87
Umur 0.05
Pedet 33 14 42,42
Muda 55 26 47,27
Dewasa 152 26 17,11
Kecamatan 0,963
Salem 51 16 31,37
Bantarkawung 90 25 27,78
Tonjong 69 15 21,74
Brebes 30 9 30
Tipe iklim 0,812
B2 90 25 27,78
C2 120 32 26,67
D4 30 9 30,00

Tabel 3. Hasil analisis multivariat regresi logistik berganda faktor risiko infeksi parasit saluran
pencernaan pada kerbau lumpur di Kabupaten Brebes

Variabel Signifikansi Nilai Odd Confidence P-value


Ratio (OR) Interval (95%)

Umur 0,030
Pedet 0,239 2,529 0,539–11,859
Muda 0,100 3,424 1,344–8,726
Dewasa Referensi
Konstanta 0,00 0,237

579
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

dan Nurhidayah et al. (2019). Menurut infeksi secara keseluruhan adalah 27,5%,
Nurhidayah et al. (2019), faktor risiko yang sedangkan infeksi terjadi lebih tinggi pada
utama pada infeksi parasit saluran pencernaan kerbau di kelompok umur muda. Faktor risiko
pada kerbau lumpur di SPR Provinsi Banten infeksi adalah umur ternak, di mana kelompok
adalah umur. Kelompok pedet memiliki risiko muda dan pedet memiliki risiko 3,424 dan 2,529
8,519 kali terinfeksi nematoda dan 8,435 kali lebih tinggi dibandingkan kerbau dewasa.
terinfeksi protozoa parasit dibandingkan
kelompok kerbau dewasa. Beberapa kajian
menyatakan bahwa kepekaan kelompok umur SARAN
muda/pedet dalam hal infeksi parasit disebabkan
oleh belum berkembangnya kekebalan inang Instansi pemerintah yaitu Dinas Peter-
terhadap parasit (Akhter et al., 2000; Mamun nakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Brebes
et al., 2011; Dorny et al., 2015). diharapkan mengupayakan program pengen-
Respons kekebalan inang terhadap infeksi dalian infeksi parasit saluran pencernaan secara
parasit merupakan suatu mekanisme yang terpadu di lokasi studi dengan penekanan pada
kompleks gabungan antara sistem kekebalan ternak usia lepas sapih dan muda, termasuk
spesifik dan nonspesifik. Pada kelompok pedet, pencegahan infeksi vertikal dari induk ke anak
pertahanan pertama dan utama bagi inang oleh cacing T. vitulorum.
diperankan oleh lapisan mukus di sepanjang
saluran pencernaan. Sel-sel Goblet
mensekresikan mucin, sedangkan sel epitel UCAPAN TERIMA KASIH
mensekresikan galektin yang merupakan
molekul pengikat karbohidrat (carbohydrate Ucapan terimakasih disampaikan kepada
binding molecules) yang terdapat pada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
permukaan nematoda dan mampu berinteraksi Tinggi (Kemenristek Dikti) atas pendanaan
dengan mucin (Meeusen et al., 2005; Grencis et penelitian melalui skema beasiswa Program
al., 2014). Kekebalan utama terhadap infeksi Magister menuju Doktor Sarjana Unggul
nematoda saluran pencernaan diperankan oleh (PMDSU) Batch II nomor 1471/IT3.11/PN/2018
sel T-helper 2 (Th2), eosinofil dan cell mast. tahun 2018. Penulis juga menyampaikan
Sitokin-sitokin sel Th2 juga mampu terimakasih kepada Dinas Peternakan dan
mensekresikan berbagai interleukin (IL-3, IL- Kesehatan Hewan Kabupaten Brebes (drh Jhoni
4, IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13), sedangkan wujud Murahman, drh Wiwin dan Bapak Agus),
respons kekebalan sel B ditandai dengan peternak di empat kecamatan di Kabupaten
Brebes serta anggota tim peneliti (drh Esdinawan
terbentuknya berbagai immunoglobulin (Ig)
Carakantara S., Achmad, SKH., drh Lutfi, drh
yakni IgA, IgE dan IgG yang berperan dalam
Tri Riska Abdilla, drh Dena Santa Prasasti, drh
membentuk kekebalan terhadap parasit.
Filika Amalia Isman dan Edwin Kordinata,
Efektivitas sistem kekebalan tubuh dalam
SKH.) atas bantuan dan kerjasama saat proses
melawan agen infeksi ini akan meningkat pengambilan sampel.
seiring dengan pertambahan umur hewan,
sedangkan status imun tersebut dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik ternak, nutrisi, DAFTAR PUSTAKA
umur dan status fisiologis inang. Dampak
adanya sistem kekebalan tersebut di dalam Akhter N, Mohammad IR, Mirbaha KB, Memon
tubuh inang adalah berupa kegagalan proses MI. 2000. Helminthiasis in buffaloes as
hipobiosis pradewasa cacing, rendahnya influenced by age and sex. Pakistan
kelimpahan parasit serta penurunan fekunditas Veterinary Journal 20(3): 154–156.
cacing betina (Hendawy et al. 2018).
[BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.
2016. Populasi ternak menurut kabupaten
kota dan jenis ternak di Provinsi Jawa
SIMPULAN
Tengah 2016. https://jateng.bps.go.id/
statictable/2017/10/27/1547/populasi-ternak-
Kerbau lumpur di Kabupaten Brebes
menurut-kabupaten-kota-dan-jenis-ternak-
terinfeksi lima jenis parasit saluran pencernaan di-provinsi-jawa-tengah-2016.html. [22
yaitu T. vitulorum, cacing Strongyle, Trichuris Januari 2018].
spp., M. expansa dan Eimeria spp. Prevalensi

580
Jurnal Veteriner Desember 2019 Vol. 20 No. 4 : 572-582

Budiono NG, Satrija F, Ridwan Y, Nur D, Grencis RK, Humphreys NE, Bancroft AL. 2014.
Hasmawati H. 2018. Trematodosis pada Immunity to gastrointestinal nematodes:
sapi dan kerbau pada wilayah endemik mechanisms and myths. Immunology
schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Review 260: 183–205.
Tengah, Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian
Gueguen E, Leperre P, Petit H, Merlin A,
Indonesia 23(2): 112–126.
Chartier C. 2016. A coproscopical study of
[Dinkominfotik] Dinas Komunikasi Informatika helminthosis in domestic ruminants (cattle,
dan Statistika Kabupaten Brebes. 2018. buffalo, goat) in Khammouane Province (Lao
Brebes dalam Data 2017. Brebes. Dinas PDR). Revue de Médicine Véterinaire 67(11-
Komunikasi Informatika dan Statistika 12): 310–315.
Kabupaten Brebes.
Gupta A, Singh NK, Singh H, Rath SS. 2018.
Davila G, Irsik M, Greiner EC. 2010. Toxocara Assessment of risk factors associated with
vitulorum in beef calves in North Central prevalence of gastrointestinal helminths in
Florida. Veterinary Parasitology 168: 261– buffaloes from Punjab State, India. Buffalo
263. Bulletin 37(3): 279–290.
Dermauw V, Meas S, Chea B, Onkelinx T, Sorn Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology,
S, Holl D, Charlier J, Vercruysse J, Dorny Diagnosis, and Control of Helminth
P. 2017. Effects on anthelmintic treatment Parasites of Ruminants: a Handbook.
and feed supplementation on parasite Nairobi. ILRAD. Hlm. 56-71.
infections and morbidity parameters in
Hendawy SHM. 2018. Immunity to
Cambodian cattle. Veterinary Parasitology
gastrointestinal nematodes in ruminants:
235: 113–122.
effector cell mechanisms and cytokines.
Djungu DFL, Retnani EB, Ridwan Y. 2014. Journal of Parasitic Diseases 42(4): 471–
Thelazia rhodesii infection on cattle in 482.
Kupang District. Tropical Biomedicine
Irie T, Sakaguchi K, Ota-Tomita A, Tanida M,
31(4): 844–852
Hidaka K, Kirino Y, Nonaka N, Horii Y.
Dorny P, Devleesschauwer B, Stoliaroff V, Sothy 2013. Continuous Moniezia benedeni
M, Chea R, Chea B, Sourloing H, Samuth infection in confined cattle possibly
S, Kong S, Nguong K, Sorn S, Holl D, maintained by an intermediate host on the
Vercruysse J. 2015. Prevalence and farm. Journal of Veterinary Medical Sciece
associated risk factors of Toxocara 75(12): 1585–1589
vitulorum infections in buffalo and cattle
Karim WA, Farajallah A, Suryobroto B. 2016.
calves in three provinces of Central
Exploration and prevalence of
Cambodia. Korean Journal of Parasitology
gastrointestinal worm in buffalo from West
53(2): 197-200.
Java, Central Java, East Java and Lombok,
Fernando ST. 1965. The life cycle of Indonesia. Aceh Journal of Animal Science
Mecistocirrus digitatus, a trichostrongylid 1(1): 1–15.
parasite of ruminants. The Journal of
Khan MN, Sajid MS, Khan MK, Iqbal Z, Hussain
Parasitology 51(2): 156-163.
A. 2010. Gastrointestinal helminthiasis:
Founta A, Papadopoulos E, Chliounakis S, prevalence and associated determinants in
Bampidis V, Papazahariadou M. 2018. domestic ruminants of district Toba Tek
Presence of endoparasites in the Greek Singh, Punjab, Pakistan. Parasitology
buffalo (Bubalus bubalis) from Northern Research 107: 787–794.
Greece. Journal of the Hellenic Veterinary
Khan MN, TU Rehman, MS Sajid, RZ Abbas,
Medical Society 69(2): 999–1003.
MA Zaman, A Sikandar and M Riaz, 2013.
Gayatri S, Vaarst M. 2015. The implementation Determinants influencing prevalence of
of Indonesia’s beef self-sufficiency coccidiosis in Pakistani buffaloes. Pakistan
programme (BSSP) as seen from a farmer- Veterinary Journal 33(3): 287-290.
family perspective. Journal of Rural and
Community Development 10: 166–186.

581
Nurhidayah et al Jurnal Veteriner

Mamun MAA, Begum N, Mondal MMH. 2011. Roberts JA. 1990b. The egg production of
A coprological survey of gastro-intestinal Toxocara vitulorum in Asian buffalo
parasite of water buffaloes (Bubalus bubalis) (Bubalus bubalis). Veterinary Parasitology
in Kurigram district of Bangladesh. Journal 37: 113-120.
of the Bangladesh Agricultural University
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2011. Efficacy
9(1): 103–109.
of Piperazine Dihydrochloride against
Matondang RH, Talib C. 2015. Pemanfaatan Toxocara vitulorum in buffalo calves; Jurnal
ternak kerbau untuk mendukung Veteriner12: 77-82.
peningkatan produksi susu. Jurnal
Swai ES, Mshanga D, Fyumagwa R, Mpanduji
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
D, Chuma I, Kuya S, Eblate E, Katale Z,
34(1): 41–49.
Keyyu J. 2013. Prevalence and spectrum of
Meeusen ENT, Balic A, Bowles V. 2005. Cells, helminths in free-ranging african buffaloes
cytokines and other molecules associated (Syncerus caffer) in wildlife protected areas,
with rejection of gastrointestinal nematode Tanzania. Journal of Coastal Life Medicine
parasites. Veterinary Immunology and 1(2): 145–150.
Immunopathoogyl 108: 121–125.
Talib C, Herawati T, Hastono. 2014. Strategi
Nurhidayah N, Satrija F, Retnani EBR. 2019. peningkatan produktivitas kerbau melalui
Gastrointestinal parasitic infection of perbaikan pakan dan genetik. Wartazoa
swamp buffalo in Sentra Peternakan Rakyat 24(2): 83–96.
(SPR) of Banten Province Indonesia:
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2016. Veterinary
Prevalence, risk factor and its impact to
Parasitology, 4th Ed. Oxford. Blackwell
production performance. Tropical Animal
Publishing. Hlm. 259-803.
Science Journal 41(1): 6–12.
Van Der Steen L, Pardon B, Sarre C, Valgaeren
Oldemann LR. 1975. An Agro-climatic Map of
B, Van Hende D, Vlamink L, Deprez P.
Java. Bogor. Lembaga Pusat Penelitian
2014. Intestinal obstruction by Toxocara
Pertanian. Hlm. 14-19.
vitulorum in a calf. Vlaams Diergenees-
Patel HC, Hasnani JJ, Patel PV, Pandya SS, kundig Tijdschrift 83(6): 299–305.
Solanki JB, Jadav SJ. 2015. A study on
Van Wyk JA, Mayhew E. 2013. Morphological
helminth parasites of buffaloes brought to
identification of parasitic nematode infective
Ahmedabad Slaughter House, Gujarat,
larvae of small ruminants and cattle: A
India. International Journal of Life Science
practical lab guide. Onderstepoort Journal
and Pharma Research 5(1): 20–27.
of Veterinary Research 80(1): 46-60.
Prasetyo, Muryanto. 2007. Sistem usahatani
Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Faktor
integrasi tanaman pangan dengan kerbau
risiko dan prevalensi infeksi Toxocara
lumpur (Bubalus bubalus) di Kabupaten
vitulorum pada sapi potong di Kecamatan
Brebes. Sains Peternakan 5(2): 34–38.
Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal
Roberts JA. 1990a. The life cycle of Toxocara Ilmu Pertanian Indonesia 20(2): 85-90.
vitulorum in Asian buffalo (Bubalus
bubalis). International Journal for
Parasitology 20(7): 833-834

582

Anda mungkin juga menyukai