Anda di halaman 1dari 33

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Anatomi Kulit

Kulit adalah organ terbesar di tubuh. Ini menutupi seluruh permukaan

eksternal tubuh, berfungsi sebagai penghalang orde pertama melawan patogen,

sinar UV, dan bahan kimia, dan menyediakan penghalang mekanis terhadap

cedera. Ini juga mengatur suhu dan jumlah air yang dilepaskan ke lingkungan

(Profile, 2017). Kulit terhitung sekitar 15% dari total berat badan orang dewasa.

Ini melakukan banyak fungsi vital, termasuk perlindungan terhadap penyerang

fisik, kimia, dan biologis eksternal, serta pencegahan kelebihan kehilangan air dari

tubuh dan peran dalam termoregulasi. Kulit terus menerus, dengan selaput lendir

yang melapisi permukaan tubuh. Sistem integumentary dibentuk oleh kulit dan

struktur turunannya. Kulit (Gambar 1) terdiri dari tiga lapisan: epidermis, dermis,

dan jaringan subkutan (Kanitakis, 2019).

Gambar 1. Kulit
Note. From Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed., p. 1), by W.D. James, T.G.
Berger, and D.M. Elston, 2006, Philadelphia: Elsevier Saunders. Copyright 2006 by Elsevier Saunders.

10
11

Epidermis adalah lapisan epitel skuamosa berlapis yang terutama terdiri

dari dua jenis sel: keratinosit dan sel dendritik. Keratinosit berbeda dari sel-sel

dendritik “jernih” dengan memiliki jembatan interselular dan sitoplasma stainable

yang banyak. Epidermis menampung sejumlah populasi sel lain, seperti melanosit,

sel Langerhans, dan sel Merkel, tetapi jenis sel keratinosit terdiri dari sebagian

besar sel sejauh ini. Epidermis biasanya dibagi menjadi empat lapisan menurut

morfologi keratinosit dan posisinya ketika mereka berdiferensiasi menjadi sel-sel

terangsang, termasuk lapisan sel basal (stratum germinativum), lapisan sel

skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), dan

lapisan sel cornified atau horny (stratum corneum) (Skin, n.d.2016), Tiga lapisan

bawah yang membentuk sel-sel epidermis yang hidup dan berinti kadang-kadang

disebut sebagai stratum malpighii dan rete malpighii (Murphy). Epidermis adalah

lapisan yang terus diperbarui dan memunculkan struktur turunan, seperti alat

pilosebaceous, kuku, dan kelenjar keringat. Sel-sel basal epidermis menjalani

siklus proliferasi yang menyediakan pembaruan epidermis luar.

2.2 TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PHOTOAGING ATAU PENUAAN

DINI

Kulit mempunyai beberapa fungsi, antara lain: sebagai barrier utama

pertahanan tubuh yang memisahkan organ dalam dengan lingkungan luar,

mengatur suhu tubuh, keseimbangan cairan dan elektrolit serta menyediakan

beberapa reseptor seperti reseptor sentuhan, nyeri dan tekanan.9,10 Salah satu

masalah dermatologi yang menjadi perhatian masyarakat yakni, penuaan kulit

(skin aging). Hal ini didasari oleh fakta bahwa kulit merupakan bagian tubuh yang
12

paling sering terpapar oleh faktor-faktor luar dan juga merupakan bagian tubuh

yang pertama kali nampak dari seorang individu saat berinteraksi dengan orang

lain, sehingga terjadinya penuaan kulit terutama pada wanita akan menurunkan

kepercayaan diri dan mempengaruhi kualitas hidupnya (Ahmad et al., n.d. 2018).

Proses penuaan termasuk penuaan kulit disebabkan oleh banyak faktor

(multifaktorial). Berdasarkan penyebabnya, penuaan kulit secara umum dapat

dibagi menjadi dua, yakni, penuaan intrinsik atau penuaan kronologis dan

penuaan ekstrinsik atau photoaging. Penuaan kulit yang dialami oleh individu

merupakan kombinasi dari penuaan kulit akibat faktor intrinsik serta faktor

ekstrinsik. Sangat sulit untuk memisahkan penuaan kulit intrinsik dari berbagai

faktor eksternal yang mempengaruhi penuaan kulit (Ahmad et al., n.d.2018).

Penuaan kulit intrinsik merupakan proses penuaan kulit alami yang terjadi

seiring bertambahnya usia yang dimulai pada akhir dekade ketiga. Proses ini juga

merupakan proses yang berjalan lambat yang akan menyebabkan perubahan pada

struktur jaringan kulit. Pada penuaan kulit intrinsik ini, berbagai mekanisme

perubahan terjadi secara simultan. Pada lapisan epidermis terutama terjadi

perubahan morfologi atau struktur kulit, sedangkan pada lapisan dermis terjadi

perubahan biokimiawi. Permukaan kulit yang mengalami penuaan kulit intrinsik

akan tampak lebih pucat, timbul kerutan-kerutan halus (fine wrinkle), lapisan

epidermis dan dermis menjadi atrofi sehingga kulit tampak lebih tipis, transparan,

serta tampak lebih rapuh. Kulit juga menjadi lebih kering dan terasa gatal.

Penuaan kulit intrinsik juga diikuti dengan menipisnya jaringan lemak subkutan

termasuk facial fat, sehingga akan menyebabkan gambaran pipi yang cekung dan
13

dalam serta munculnya kantung mata. Selain faktor usia, faktor intrinsik lain yang

berhubungan dengan penuaan kulit intrinsik, antara lain ras, variasi anatomi kulit

pada area-area tertentu, serta perubahan hormonal (Ahmad et al., n.d.2018).

Proses yang terjadi pada penuaan kulit intrinsik merupakan kombinasi dari

tiga proses, antara lain penurunan kemampuan proliferasi dari sel-sel kulit,

penurunan sintesis matriks ekstraseluler kulit, serta peningkatan aktivitas enzim

yang mendegradasi kolagen di lapisan dermis. Sel-sel kulit, antara lain keratinosit,

fibroblas serta melanosit mengalami penurunan jumlah populasi seiring dengan

pertambahan usia. Penurunan populasi sel fibroblas menyebabkan penurunan

biosintesis kolagen pada lapisan dermis. Proliferasi sel fibroblas kulit yang

melambat juga akan mempengaruhi produksi kolagen di lapisan dermis sehingga

menyebabkan penuaan kulit dan memunculkan kerutan (wrinkle). Di samping itu,

terdapat pula peningkatan aktivitas enzim matrix metalloproteinase (MMP) pada

sel-sel fibroblas seiring dengan pertambahan usia yang menyebabkan peningkatan

degradasi kolagen dilapisan dermis (Ahmad et al., n.d. 2018).

Kejadian penuaan kulit intrinsik juga dipengaruhi oleh keseimbangan

antara produksi radikal bebas, terutama reactive oxygen species (ROS), efektivitas

sistem penangkal radikal bebas, dan perbaikan tubuh. Secara umum terdapat dua

sumber utama radikal bebas, yakni mitokondria (memegang peranan penting pada

proses penuaan) serta nonmitokondria. Sumber terbanyak ROS intraseluler

berasal dari mitokondria. Peningkatan ROS akan menyebabkan kerusakan pada

lipid, protein serta deoxyribonucleic acid (DNA) sel yang akan memicu proses
14

penuaan kulit. Selain faktor intrinsik, penuaan kulit juga banyak dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain yang bersifat eksogen (dari luar) (Ahmad et al., n.d.2018).

Beberapa faktor ekstrinsik bekerja bersama-sama dengan faktor intrinsik

sehingga menyebabkan penuaan kulit terjadi lebih dini atau prematur. Faktor-

faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain, ekspresi wajah yang berulang,

pengaruh suhu panas, posisi tidur, gaya gravitasi, gaya hidup misal merokok,

polusi, serta paparan sinar matahari terutama sinar UV. Sebagai contoh, gaya

gravitasi menyebabkan ujung cuping hidung menjadi turun, cuping telinga

memanjang, kelopak mata turun, bibir atas menjadi hilang, serta bibir bawah

semakin tampak nyata. Selain itu, efek utama dari paparan radiasi sinar UV baik

akut maupun kronis, yaitu kerusakan DNA, inflamasi atau peradangan serta

imunosupresi. Penuaan kulit ekstrinsik terutama dipengaruhi oleh sinar ultraviolet

(UV) dan disebut juga sebagai photoaging (Ahmad et al., n.d.2018).

Sinar UV adalah komponen sinar matahari, yang memberikan efek positif

dan negatif pada makhluk hidup. Ada tiga jenis radiasi UV, yang meliputi radiasi

UV-A (400-320 nm), UV-B (320-290 nm) dan radiasi UV-C (100-290 nm).

Sekitar 95% radiasi UV yang masuk ke bumi adalah radiasi UV-A dan

membentuk bagian dari radiasi matahari, yang menembus lebih dalam pada

jaringan kulit atau sel dibandingkan dengan radiasi UV-B. UV-A bertanggung

jawab untuk penuaan kulit, keriput, penyamakan dan dapat menyebabkan

perkembangan kanker kulit. Di sisi lain radiasi UV-B menyebabkan kulit terbakar,

melemahnya jaringan bagian dalam kulit, mempengaruhi lensa mata manusia dan

sistem kekebalan tubuh. Juga dilaporkan bahwa ketika tubuh manusia terpapar
15

sinar UV-B, mereka diserap oleh sel manusia dan mengakibatkan kerusakan DNA

(asam deoksiribonukleat) yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

Paparan radiasi UV-B yang berlebihan, menyebabkan penekanan sistem

kekebalan yang pada gilirannya membuat tubuh lebih rentan terhadap virus herpes

simpleks, jerawat, dan lesi kulit, dll. UV-C sepenuhnya diserap oleh lapisan ozon

(Jain, Rahi, Pandey, Asati, & Soni, 2017).

Angka kejadian penuaan kulit terutama photoaging semakin meningkat

selama beberapa dekade terakhir. Meski belum banyak penelitian mengenai angka

kejadian penuaan kulit, sebuah penelitian di Australia oleh Green menyebutkan

sekitar 72% laki-laki dan 42% perempuan di bawah usia 30 tahun mengalami

photoaging. Individu yang memiliki riwayat paparan sinar matahari yang intensif,

tinggal di daerah yang secara geografis sering terpapar sinar matahari serta

memiliki kulit berwarna cerah memiliki risiko paparan radiasi sinar UV yang

lebih tinggi sehingga lebih rentan mengalami photoaging. Pekerja lapangan

seperti petani serta nelayan memiliki risiko paparan sinar UV yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan pekerja kantoran. Area kulit yang terbuka lebih rentan

terpapar oleh sinar UV, seperti wajah, leher, dada bagian atas, tangan serta lengan

bagian bawah dan merupakan area predileksi terjadinya photoaging, berbeda

dengan penuaan kulit intrinsik, yang lebih mudah ditemukan pada area-area kulit

yang tertutup, seperti area gluteal (Ahmad et al., n.d.2018).

Matahari merupakan sumber utama dari sinar UV, sehingga merupakan

kontributor utama dari photoaging. Sinar UV terbagi atas sinar UVA, UVB dan

UVC dengan panjang gelombang yang berbeda. Sinar UVA dapat menembus
16

lapisan kulit yang lebih dalam dibanding jenis sinar UV yang lain dan

menimbulkan kerusakan yang lebih berat. Radiasi sinar UV yang mencapai

lapisan dermis pada kulit yang berwarna cerah lebih banyak jika dibandingkan

dengan kulit berwarna gelap sehingga individu dengan tipe kulit Fitzpatrick

rendah cenderung lebih rentan terhadap photoaging (Ahmad et al., n.d.).

Tipe kulit diklasifikasikan oleh Fitzpatrick berdasarkan reaksinya terhadap

paparan sinar matahari serta radiasi sinar UV. Klasifikasi Fitzpatrick saat ini

menggolongkan kulit menjadi enam tipe warna kulit, mulai dari sangat pucat (tipe

kulit I) hingga sangat gelap (tipe kulit VI). Warna alami atau pigmentasi kulit

ditentukan oleh jumlah, tipe dan susunan melanin di kulit. Pigmen melanin

memberikan perlindungan alami terhadap paparan sinar UV yakni Sun Protection

Factor (SPF). Kulit yang lebih gelap memiliki SPF alami yang lebih tinggi yakni

13,4 jika dibandingkan kulit bangsa Kaukasia yang hanya memiliki SPF alami 3-4

atau bahkan kurang. Gambaran klinis dari photoaging dapat berupa kulit yang

kering, pigmentasi kulit yang ireguler (bervariasi dari bertambah gelap atau

menjadi lebih cerah), kulit yang memucat kekuningan, keriput yang dalam dan

kasar, kulit yang atrofi, kulit menjadi kendur, telangiektasis, solar elastosis,

actinic purpura, bahkan hingga pembentukan lesi prakanker. Kulit yang gelap

lebih tahan terhadap kerusakan kulit akibat paparan sinar UV, sehingga

manifestasi penuaan kulit lebih ringan dan terjadi lebih lambat 10 hingga 20 tahun

dibandingkan dengan kulit yang lebih terang. Pada kulit dengan tipe Fitzpatrick

III dan IV, dispigmentasi atau perubahan pigmen kulit merupakan gambaran

utama dari photoaging (Ahmad et al., n.d.).


17

Klasifikasi photoaging pertama kali dilakukan oleh Glogau pada tahun

1996. Berdasarkan klasifikasi dari Glogau, terdapat 4 tipe photoaging mulai dari

tipe I hingga tipe IV. Glogau tipe I (mild) yakni photoaging fase awal dimana

biasanya terjadi pada usia 20 hingga 30 tahun dan tidak ditemukan adanya keriput

(wrinkle). Pada Glogau tipe II (moderate) sudah mulai ditemukan adanya tanda-

tanda photoaging yakni keriput pada gerakan ekspresi wajah. Biasanya Glogau

tipe II ini ditemukan pada usia 30 hingga 40 tahun. Glogau tipe III (advanced)

menunjukkan adanya photoaging lebih lanjut, biasanya ditemukan pada usia 50

tahun, ditandai dengan adanya keriput pada saat istirahat (resting wrinkle).

Gambaran photoaging yang berat digolongkan pada Glogau tipe IV (severe) yang

biasanya ditemukan pada usia 60 tahun dan ditandai dengan banyaknya kerutan

(Ahmad et al., n.d.).

Penuaan ekstrinsik yang terutama disebabkan oleh radiasi sinar UV

(photoaging) juga akan menyebabkan peningkatan produksi ROS pada lapisan

dermis. ROS tersebut akan memicu serangkaian reaksi molekuler berantai

sehingga meningkatkan pembentukan AP-1 yang akan menstimulasi proses

transkripsi enzim MMP yang berperan dalam proses degradasi kolagen. ROS

bersama dengan AP-1 juga memiliki peranan dalam menghambat sintesis kolagen

dengan cara menghambat reseptor tipe 2 dari TGF-β. Serangkaian proses tersebut

pada intinya akan menyebabkan peningkatan pemecahan kolagen serta penurunan

produksi kolagen yang merupakan dasar patofisiologi dari penuaan kulit. Skema

patofisiologi penuaan kulit baik ekstrinsik maupun intrinsik dapat diringkas pada

gambar 1 berikut ini (Ahmad et al., n.d.2018).


18

Gambar 2. Patofisiologi penuaan kulit

Gambar. 1 Skema degradasi kolagen pada proses penuaan kulit akibat

ketidakseimbangan Activator Protein (AP-1) dan TGF-β.12 (Ahmad et al., n.d.).

2.3 TINJAUAN TENTANG ANTIOKSIDAN

Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan Radikal bebas

dengan menerima atau menyumbangkan elektron untuk menghilangkan kondisi

tidak berpasangan. Mereka adalah pengangkut alami radikal bebas, yang diketahui

sebagai penyebab kerusakan sel dan gangguan kesehatan akibat faktor usia

(termasuk kerutan pada kulit). Manfaat Antioksidan sebagai anti-aging adalah

karena efek anti-inflamasi, menunda atau mencegah kanker, diabetes dan


19

gangguan otak. Antioksidan juga berpotensi untuk menurunkan tekanan darah

dan mengurangi perkembangan aterosklerosis. Makanan yang kaya Antioksidan

pun juga disarankan untuk dikonsumsi karena dapat membantu mengurangi stress

Oksidatif yang disebabkan oleh peningkatan sintesis Radikal Bebas (Pal, Misra,

Organisation, Dhillon, & Verma, 2014).

Radikal bebas adalah atom atau kelompok atom dengan jumlah elektron

ganjil (Tidak berpasangan) dan dapat terbentuk saat oksigen berinteraksi dengan

suatu molekul. Setelah itu terbentuklah Radikal yang sangat reaktif ini dapat

memulai reaksi berantai. Bahaya utamanya berasal dari kerusakan yang dapat

lakukan ketika bereaksi dengan komponen seluler penting seperti DNA, atau

membran sel. Terdapat dua jenis penuaan pada kulit yaitu penuaan Intrinsik atau

kronologis dan penuaan Ekstrinsik atau Lingkungan. Pada penuaan Intrinsik,

Radikal Bebas terbentuk secara alami melalui metabolisme normal. Disaat inilah

mekanisme seluler menjadi kurang efisien yang menghasilkan kerutan halus. Pada

penuaan Ekstrinsik, kulit menderita kerusakan akibat radikal bebas tambahan dari

faktor – faktor eksogen seperti paparan sinar UV, perokok dan polusi udara.

Stressor lingkungan ini tidak hanya mempercepat penuaan kulit tetapi ikut serta

bertanggung jawab atas kerusakan kulit yang menyebabkan keriput yang dalam,

hiper-pigmentasi, peradangan kronis, pembentukan elastin yang abnormal, dan

kanker, tidak hanya terjadi pada penuaan Kronologis saja. Untuk mencegah

molekul yang tidak berpasangan maka ditemukan lah Antioksidan sebagai

penetral Radikal bebas (Pal et al., 2014).


20

Antioksidan menetralisir Radikal Bebas yang merusak kulit dan

mengakibatkan penuaan ini dengan cara mengambil molekul reaktif, sehingga

melindungi sel dari stresor endogen dan eksogen serta memperpanjang hidup dan

vitalitas nya. Dalam keadaan kulit ideal atau baik, kulit menggunakan serangkaian

oksidan Enzimatik dan Non-Enzimatik endogen untuk melindungi diri dari

kerusakan akibat Radikal Bebas. Yang termasuk dalam Antioksidan Enzimatik

yaitu Glutathione Peroksidase, Superoksida Dismutase, dan Katalase. Sedangan

yang termasuk Antikoksidan Non-Enzimatik yaitu Vitamin-c, Glutathione,

Vitamin-e, Koenzim Q10 (Ubiquinon-10), dan Asam Alfa Lipoat. Dapat diketahui

bahwa paparan sinar UV menghabiskan antioksidan yang terjadi secara

Kronologis. Tanpa adanya perlindungan Antioksidan yang mencukupi maka

Radikal bebas yang dihasilkan dibiarkan tidak terkendali sehingga terdapat

banyak molekul reaktif dan mengakibatkan penuaan pada kulit (Uwa, 2017).

2.3.1 Koenzim

Koenzim adalah molekul sederhana yang penting untuk fungsi normal dari

sistem enzim tertentu dalam sel kita. Koenzim Q10 adalah vitamin alami seperti

molekul terbentuk dari konjugasi cincin benzokuinon dengan prenyl rantai

samping diganti dari berbagai panjang rantai antara spesies yang berbeda

termasuk bakteri, tumbuhan dan hewan. Koenzim Q10 larut dalam lemak dan

kofaktor untuk tiga sistem enzim besar yang penting untuk produksi energi sel

manusia. Koenzim Q10 adalah komponen dari rantai transpor elektron dan

berpartisipasi dalam respirasi aerobik untuk menghasilkan energi dalam bentuk

Adenosin Trifosfat (ATP). Pada manusia, Koenzim Q10 sangat penting untuk
21

produksi sel ATP, sumber energi dasar untuk metabolisme sel. Sembilan puluh

lima hadir dari kebutuhan energi tubuh manusia dipenuhi dengan menghasilkan

ATP melalui glikolisis aerobik. Oleh karena itu, organ - organ dengan kebutuhan

energi maksimal seperti jantung, ginjal dan hati memiliki konsentrasi tertinggi

dari Koenzim Q10.

Gambar 3. Koenzim Q10

Koenzim Q10 diperlukan sebagai antioksidan untuk menetralisir Radikal

bebas berbahaya dan melindungi endotelium, lapisan dalam darah dan pembuluh

getah bening. Koenzim Q10 adalah pengangkut Radikal bebas yang ampuh dalam

lipid dan membran mitokondria. Sebagian besar terdapat dalam bilayer fosfolipid

dari membran dalam mitokondria. Selain itu, terdapat dalam semua membran

biologis dan lipoprotein plasma. alam di mana - mana dan diberi nama

ubiquinone. Koenzim Q10 memiliki kelarutan air yang cukup rendah dalam air

yaitu 0,913 µg / ml dalam air, berat molekul sebesar 863,36 g / mol dan memiliki

lipofilisitas tinggi (log P>10). akibatnya membuat penetrasi ke dalam jaringan

semakin rendah. Sehingga diperlukan pembawa agar Koenzim Q10 dapat masuk

ke dalam jaringan dan bisa memberikan efektivitas yang di inginkan. Sehingga


22

diciptakan berbagai macam nanoteknologi seperti nanoemulsion, nanostructure

lipid carrier (NLC), liposome, noisome dan lainnya. Pada penelitian ini akan

menggunakan teknik penghantaran Nanostructure Lipid Carrier (NLC)

(Motohashi, Gallagher, Anuradha, & Gollapudi, 2017).

2.4 TINJAUAN TENTANG SISTEM PENGHANTARAN NLC

2.4.1 Perkembangan Sistem Nanostructure Lipid

Selama 20 tahun terakhir, nanoteknologi telah praktis membuat

pengaruhnya di segala bidang teknis, termasuk farmasi. perkiraan industri

menunjukkan bahwa sekitar 40% dari dari obat lipofilik gagal karena kelarutan

dan stabilitas formulasi yang bermasalah, akhirnya telah diselesaikan oleh

berbagai produsen dan mendapat teknologi mutakhir untuk distribusi obat secara

lipofilik (Mishra et al. 2010). Lipid yang digunakan untuk mempersiapkan

nanopartikel lipid biasanya lipid yang fisiologisnya (biokompatibel dan

biodegradable) dengan toksisitas yang rendah (Müller et al. 1996).

Pada 1960-an emulsi lemak parenteral aman pertama (Intralipid)

dikembangkan oleh Wretlind (1981). Beberapa sistem pembawa yang menarik

lainnya adalah liposom, emulsi ganda, emulsi submikron, niosom, transferosom,

sistem pemberian obat mikroson, dll. Liposom telah dideskripsikan untuk

pertama kalinya oleh Bangham. pada 1960-an (Bangham dan Horne, 1964).

Hambatan utama untuk pengembangan formulasi liposomal adalah stabilitas

fisik yang terbatas dari dispersi, kebocoran obat, kemampuan penargetan yang

rendah, pembersihan non-spesifik oleh sistem fagositik mononuklear dan


23

kesulitan dalam peningkatan. Nanosuspensi adalah satu-satunya partikel koloid

yang tersusun dari obat dan emulsifie yang dapat dibuat dengan penggilingan

bola atau homogenisasi bertekanan tinggi (HPH) (Eldem et al. 1991). Sistem

serupa telah dideskripsikan oleh Domb (1995) sebagai nanopartikel Polimerik

'Lipospheres' dan nanokapsul polimer, dibuat dari polimer non-biodegradable

dan biodegradable adalah sistem pembawa inovatif lainnya yang memiliki

penargetan lokasi tinggi dan pelepasan terkontrol obat yang terkontrol (Patel et

al. 2011, Mehnert dan Mäder 2001). Pada awal 1990-an, keuntungan dari

partikel padat, emulsi dan liposom dikombinasikan oleh pengembangan

nanopartikel lipid padat (SLNs). SLN adalah pembawa nano koloid sub-

mikronik yang solid dengan ukuran mulai dari 1 hingga 1000 nm dan terdiri dari

lipid fisiologis dan biodegradable / biokompatibel, yang mampu

menggabungkan obat lipofilik dan hidrofilik dalam matriks lipid dalam jumlah

yang cukup banyak (Müller et al. 2002).

Baru-baru ini, SLN berdasarkan campuran lipid padat dan lipid cair

(disebut lipid berstruktur nano membawa, NLCS), jumlah tinggi lesitin,

siklodekstrin amphiphilic dan para- asil-calix- (4) -arenes telah diselidiki

(Müller et al. 2002, Tanggal et al. 2007). Nanocarier dalam berbagai bentuk,

memiliki peluang yang tak berujung di daerah distribusi obat yang telah baru-

baru ini diteliti untuk potensi besar mereka. nanoteknologi, seperti yang

didefinisikan oleh National Nanotechnology Initiative, adalah studi dan

penggunaan struktur kira-kira di kisaran ukuran 1-100 nm. Tujuan keseluruhan

dari nanoteknologi adalah sama dengan obat untuk mendiagnosa seakurat dan
24

sedini mungkin sehingga efektif tanpa efek samping.

2.4.2 Tipe – Tipe NLC

Seperti SLN, NLC telah diusulkan untuk memiliki tiga morfologi yang

berbeda, berdasarkan lokasi molekul obat yang dimasukkan :

• NLC tipe I atau “imperfect crystal” type

• NLC tipe II atau “amorphous” type

• NLC tipe III atau “multiple” type

2.4.2.1 NLC Tipe I or “Imperfect Crystal” Type

NLC tipe kristal yang tidak sempurna memiliki matriks padat terstruktur

yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut dapat ditingkatkan dengan

menggunakan gliserida yang terdiri dari asam lemak yang berbeda. Akomodasi

obat yang baik dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah ketidaksempurnaan.

Untuk mencapai "ketidaksempurnaan maksimum", daripada hanya menggunakan

lipid padat, jenis NLC yang tidak sempurna disiapkan dengan mencampurkan

lipid yang berbeda secara spasial, sehingga menghasilkan ketidaksempurnaan

pada kisi kristal. Kristal yang tertata mengakomodasi lebih banyak molekul obat,

baik dalam bentuk molekul atau sebagai gugus amorf. Menggunakan campuran

gliserida dengan rantai asam lemak yang bervariasi membentuk matriks padat

dengan jarak yang bervariasi. Penambahan sejumlah kecil lipid cair semakin

meningkatkan pemuatan obat[CITATION KBa18 \l 1057 ].

2.4.2.2 NLC Tipe II or “Amorphous” Type

Fenomena kristalisasi sering menyebabkan pemisahan obat. Untuk

meminimalkan hal ini, NLC juga dapat disiapkan dengan mencampur lipid padat
25

dengan lipid khusus seperti Hydroxy octacosanyl hydroxyl stearate, isopropyl

palmitate atau MCT. Nanopartikel lipid padat tetapi non-kristal terbentuk. Inti

lipid mengental dalam bentuk amorf. Jenis NLC ini, disebut "amorf" jenis NLC,

dan meminimalkan pemisahan obat dengan mempertahankan polimorfisme dari

matriks lipid[CITATION KBa18 \l 1057 ].

2.4.2.3 NLC Tipe III or “Multiple” Type

Tipe ketiga dari NLC adalah tipe oil-in-lipid-in-water. Kelarutan obat

lipofilik dalam lipid cair (minyak) lebih tinggi daripada lipid padat. Prinsip ini

dapat digunakan untuk mengembangkan "Multiple" tipe NLC. Dalam jenis NLC

ini, jumlah minyak yang lebih tinggi dicampur dalam lipid padat. Pada

konsentrasi rendah, molekul minyak mudah didispersikan ke dalam matriks lipid.

Penambahan minyak yang melebihi kelarutannya menyebabkan pemisahan fasa

menghasilkan kompartemen nano kecil berminyak yang dikelilingi oleh matriks

lipid padat. Model tersebut memungkinkan pelepasan obat yang terkontrol dan

matriks lipid mencegah kebocoran obat. Obat lipofilik dapat dilarutkan dalam

minyak dan beberapa jenis NLC terbentuk selama proses pendinginan dari proses

homogenisasi panas[CITATION KBa18 \l 1057 ].

2.4.2 Teknik penghantaran NLC

Terdapat beberapa macam teknik Nanostructure Lipid Carrier (NLC)

yakni :

1. HPH

HPH telah digunakan sebagai teknik yang andal dan kuat untuk produksi
26

NLC skala besar, konjugat obat lipid, SLN, dan emulsi parenteral. Lipid didorong

dengan tekanan tinggi (100-2000 bar) melalui tegangan geser yang sangat tinggi,

yang mengakibatkan gangguan partikel hingga kisaran submikrometer atau

nanometer. Biasanya isi lipid berada dalam kisaran 5-10%. Berbeda dengan

teknik persiapan lainnya, homogenisasi tekanan tinggi tidak menunjukkan

peningkatan masalah. Homogenisasi dapat dilakukan baik pada suhu tinggi

(homogenisasi panas) atau di bawah suhu kamar (homogenisasi dingin) (Journal

et al., 2016).

2. Hot homogenisation technique

Dalam teknik ini obat bersama dengan lipid leleh didispersikan dengan

pengadukan konstan dengan alat geser tinggi dalam larutan surfaktan berair pada

suhu yang sama. Pra-emulsi yang diperoleh dihomogenisasi dengan

menggunakan homogeniser celah piston dan nanoemulsi yang diperoleh

didinginkan hingga suhu kamar tempat lipid merekristalisasi dan mengarah pada

pembentukan nanopartikel (Journal et al., 2016).

3. Cold homogenisation technique

Homogenisasi dingin dilakukan dengan obat yang mengandung lipid

padat. Homogenisasi dingin telah dikembangkan untuk mengatasi masalah teknik

homogenisasi panas seperti, suhu diperantarai percepatan degradasi muatan obat,

partisi dan karenanya hilangnya obat ke dalam fase berair selama homogenisasi.

Langkah pertama dari kedua metode homogenisasi dingin dan panas adalah sama.

Pada langkah selanjutnya, obat yang mengandung leleh didinginkan dengan cepat
27

menggunakan es atau nitrogen cair untuk distribusi obat dalam matriks lipid

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Homogenisasi dingin meminimalkan

paparan termal sampel (Journal et al., 2016).

Gambar 4. Gambaran skematis (hanya berlaku untuk obat atau protein lipofilik)

dari teknik homogenisasi panas dan dingin

4. Microemulsion technique

Dalam teknik ini, lipid dilelehkan dan obat dimasukkan ke dalam lipid
28

cair. Campuran air, co-surfaktan dan surfaktan dipanaskan pada suhu yang sama

dengan lipid dan ditambahkan dengan pengadukan ringan ke lelehan lemak.

Sistem transparan, termodinamika stabil terbentuk ketika senyawa dicampur

dalam rasio yang benar untuk pembentukan mikroemulsi. Dengan demikian

mikroemulsi adalah dasar untuk pembentukan partikel nano dari ukuran yang

diperlukan. Mikroemulsi ini kemudian didispersikan dalam media berair dingin di

bawah pencampuran mekanis kecil mikroemulsi panas dengan air dalam rasio

dalam kisaran 1: 25-1: 50. Dispersi dalam media berair dingin ini mengarah pada

rekristalisasi cepat tetesan minyak (Moulik dan Paul, 1998).

Surfaktan dan co-surfaktan termasuk lesitin; garam biliar bersama alkohol

seperti butanol. Eksipien seperti butanol lebih jarang digunakan karena aspek

pengaturannya. Mikroemulsi disiapkan dalam tangki besar yang dikontrol suhu

dan kemudian dipompa dari tangki ini ke tangki air dingin untuk langkah

pengendapan (Gohla dan Dingler, 2001).

5. Solvent emulsification-evaporation technique

Dalam metode emulsifikasi-penguapan pelarut, bahan lipofilik dan obat

hidrofobik dilarutkan dalam pelarut organik yang tidak larut dalam air dan

diemulsi dalam fase berair menggunakan homogeniser kecepatan tinggi. Efisiensi

emulsifikasi halus ditingkatkan dengan segera melewatkan emulsi kasar melalui

mikrofluidiser Selanjutnya pelarut organik diuapkan dengan pengadukan mekanis

pada suhu kamar dan mengurangi tekanan (mis. Evaporator berputar)

meninggalkan partikel nano pengendapan lipid (seperti ditunjukkan pada Gambar

4) (Shahgaldian et al,. 2003).


29

Gambar 5. Schematic procedure of solvent emulsification evaporation

6. Solvent emulsification-diffusion technique

Teknik ini dapat diterapkan baik untuk fase berair dan berminyak di mana

pelarut yang digunakan harus sebagian larut dengan air. Awalnya, baik pelarut

dan air saling jenuh untuk memastikan kesetimbangan termodinamika awal dari

kedua cairan. Selama proses pemanasan untuk melarutkan lemak, langkah

saturasi dilakukan pada suhu yang sama. Kemudian lipid dan obat dilarutkan

dalam pelarut jenuh air dan fase organik ini diaduk menggunakan pengaduk

mekanis. Setelah formulasi emulsi o / w, air dalam rasio khas dari 1: 5 sampai

1:10, ditambahkan ke sistem untuk memungkinkan difusi pelarut ke dalam fase

kontinu, sehingga mengarah pada agregasi lipid dalam nanopartikel. Kedua fase

harus dipertahankan pada suhu tinggi yang sama sementara langkah difusi
30

dilakukan pada suhu kamar (Hu et al. 2002, Trotta et al. 2003).

7. Metode Dispersi Leleh

Dalam metode peleburan, obat dan lipid padat dilelehkan dalam pelarut

organik yang dianggap sebagai fase minyak, dan secara bersamaan fase air juga

dipanaskan pada suhu yang sama dengan fase minyak. Selanjutnya, fasa minyak

ditambahkan ke volume kecil fasa air dan emulsi yang dihasilkan diaduk dengan

kecepatan tinggi selama beberapa jam. Akhirnya, didinginkan sampai suhu kamar

untuk menghasilkan partikel nano (Reithmeier et al. 2001).

8. High shear homogenisation or ultrasonication technique

Teknik ini adalah salah satu metode yang jarang dipelajari untuk produksi

nanopartikel lipid. Pertama, bahan inti dilelehkan diikuti dengan penambahan

fosfolipid bersama dengan media berair, dan akhirnya mendispersikan bahan leleh

pada peningkatan suhu dengan pengadukan mekanis atau ultrasonication.

Pengurangan ukuran partikel emulsi lipid inti dengan lesitin kedelai dilakukan

dengan bantuan energi ultrasonik (Puglia et al. 2008).

9. Solvent injection

Prinsip dasar metode injeksi pelarut mirip dengan metode difusi pelarut.

Dalam hal metode injeksi pelarut, lipid dilarutkan dalam pelarut yang larut dalam

air (misalnya aseton, isopropanol, dan metanol) atau campuran pelarut yang larut

dalam air dan dengan cepat diinjeksikan ke dalam larutan surfaktan berair melalui

jarum injeksi (Schubert dan Müller-Goymann 2003). Kelebihan dari metode ini

adalah penanganan yang mudah dan proses produksi yang cepat tanpa peralatan
31

yang canggih secara teknis (mis. Homogeniser bertekanan tinggi). Namun,

kerugian utama adalah penggunaan pelarut organik (Müller et al. 2002).

10. Double emulsion technique

Dalam teknik emulsi ganda, obat (terutama obat hidrofilik) dilarutkan

dalam larutan berair, dan selanjutnya diemulsi dalam lipid cair. Emulsi primer

distabilkan dengan menambahkan stabilisator yang didispersikan dalam fase

berair yang mengandung pengemulsi hidrofilik, yang diikuti dengan pengadukan

dan penyaringan. Teknik emulsi ganda menghindari perlunya melelehkan lipid

untuk persiapan nanopartikel lipid yang mengandung peptida dan permukaan

nanopartikel dapat dimodifikasi untuk menstabilkannya secara sterik melalui

penggabungan turunan lipid-PEG (Date et al. 2007 ).

2.4.3 Kelebihan NLC

Nanostructure Lipid Carrier (NLC) dapat memberikan fleksibilitas lebih

yang lebih baik dalam bidang pelepasan obat, meingkatkan jumlah penjerapan

obat, dan menghindari kebocoran penjerapan. Selain itu juga, sistem nanopartikel

dengan ukuran partikel nya yang sangat kecil terbukti memiliki kemampuan

dalam mempertahankan stabilitas fisika dan kimia dari bahan aktif dan

mempermudah penetrasi bahan aktif ke dalam kulit (Li & Ge, 2012).

2.4.4 Karakterisasi NLC

Karakterisasi lipid pada sistem NLC sangat diperlukan agar bisa

mengetahui adanya perubahan sifat lipid yang di pengaruhi oleh parameter

pembuatan bahan ataupun adanya interaksi antara bahan – bahan penyusun sistem
32

NLC dan bahan aktifnya. Terdapat beberapa parameter yang penting dalam

karakterisasi NLC adalah ukuran partikel, bentuk partikel, jenis modifikasi lipid

dan derajat kristalisasi yang sangat berhubungan dengan Efisiensi Penjerapan

(EP) dan pelepasan obat.

2.4.4.1 Particle size and size distribution

Pemeriksaan ukuran partikel dan distribusi ukuran telah dilakukan oleh

(Fanny et al. 2019) dengan Nano Submicron 2.0 ml jumlah sampel sistem

koenzim Q10 encer dengan 10,0 ml aquadest. Penganalisa ukuran partikel. Alat

akan mengukurnya lebih dari 10 menit. Data yang diamati adalah diameter tetesan

rata-rata dan indeks polidispersitas (PI). PI menggambarkan variasi pada sampel.

Nilai kecil PI (<0,3) menunjukkan bahwa sampel adalah monodisperse (Astridani,

Primaharinastiti, & Hendradi, 2017).

2.4.4.2 Morfologi partikel

Evaluasi ini digunakan untuk menentukan bentuk partikel yang terkandung

dalam NLC. Sistem NLC Coenzyme Q10 didispersikan dalam 1% CMC Na gel

dan disebarkan pada pelat kaca kemudian sampel dikeringkan untuk

menghilangkan kadar air dalam sistem NLC. Sistem NLC kering dilapisi dengan

Aurum sebelum dihitung dalam kondisi vakum. Pemeriksaan morfologi partikel

diamati pada pembesaran 10.000× (Astridani et al., 2017).

2.4.4.3 Uji Efisiensi Penjerapan (EE)

Efisiensi Penjerapan (EP) adalah presentase dimana terdapat bahan aktif

yang terjebak didalam partikel lipid. Pada bahan yang bersifat lipofilik biasanya
33

memiliki nilai Efisiensi penjebakan antara 90 – 98% (Rahmawan, Rosita, &

Erawati, 2012). Efisiensi penjebakan dari obat koenzim Q10 E.E dihitung dengan

menentukan jumlah obat yang tidak terkurung (Cf) setelah penghilangan sistem

NLC dengan kantong dialisis. Koenzim Q10 yang tidak terkurung dalam sistem

NLC akan didispersikan dalam buffer fosfat dengan pH 6,0 ± 0,05 sebagai

supernatan. Evaluasi ini menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV).

Selanjutnya, dihitung menggunakan rumus berikut ini:

Wa−Ws
EE (%) = x 100 %
Wa

Keterangan :
Wa = Jumlah berat obat dalam NLC
Ws = jumlah berat filtrat

Di mana Ct adalah jumlah total obat yang ditambahkan dalam formulasi.

Konsentrasi obat ditentukan dengan spektrofotometer UV-VIS berkas ganda

(Shimadzu UV-1800) dengan metode panjang gelombang ganda (Astridani et al.,

2017).

Pemuatan obat dapat mempengaruhi profil pelepasan. Itu tergantung pada

afinitas obat untuk bercampur dengan lipid dan dimasukkan dalam matriks.

Wa−Wf
Pemuatan Obat (%) = x 100 %
Wa

Di mana Wa adalah jumlah awal Koenzim Q10, Wf jumlah Koenzim Q10

yang tidak terperangkap dalam larutan (obat bebas), dan jumlah total lipid (lipid
34

cair dan padat) yang digunakan dalam formulasi, masing - masing (Ahmadi,

Rostamizadeh, & Modarresi-Alam, 2018).

2.4.4.4 Uji Pelepasan

Pelepasan obat-obatan dari NLC yang terkontrol atau berkelanjutan dapat

menyebabkan paruh waktu yang lama dan serangan enzimatik terbelakang dalam

sirkulasi sistematis. Perilaku pelepasan obat dari NLC tergantung pada suhu

produksi, komposisi pengemulsi, dan persentase minyak yang tergabung dalam

matriks lipid. Jumlah obat di kulit terluar nanopartikel dan pada permukaan

partikulat dilepaskan dengan cara memecah, sedangkan obat yang dimasukkan ke

dalam inti partikulat dilepaskan dengan cara yang berkepanjangan [ CITATION

KBa18 \l 1057 ].

Pelepasan obat yang berkelanjutan dapat dijelaskan dengan

mempertimbangkan pembagian obat antara matriks lipid dan air, serta fungsi

penghalang dari membran antarmuka. Metode dialisis dan pemanfaatan sel Franz

adalah mode untuk mengukur pelepasan obat in vitro dari nanopartikel.

Interpretasi profil pelepasan obat in vitro harus mempertimbangkan lingkungan

spesifik dalam status in vivo. Degradasi enzimatik dari lipid nanopartikel dapat

dipengaruhi sampai batas tertentu oleh komposisi partikel [ CITATION KBa18 \l

1057 ].

2.5 Tinjauan Tentang Formula Rujukan

Tabel 2.5 Formula Acuan 1


35

Bahan Fungsi Formula 1 Formula 2


Konsentrasi Konsentrasi
Lipid 8% Lipid 10%
Koenzim Q10 Bahan aktif 1% 1%
Asam Stearat Lemak padat 5,6 % 7%
Isopropil miristat Lemak Cair 2,4 % 3%
Tween 80 Surfaktan 18 % 18 %
Span 80 Surfaktan 2% 2%
Propilenglikol Ko-surfaktan 10 % 10 %
Phenoxyethanol Pengawet 0,6 % 0,6 %
Larutan dapar Penstabil pH 60,4 % 58,4 %
fosfat pH 5.5
(Fanny. 2019)

2.6 Tinjauan Tentang Pra-Formulasi

2.6.1 Asam Stearat

Gambar 2.6.1 Asam Stearat (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C18H36O2

 Titik Nyala : 113°C

 Titik Didih : 38,3°C

 Berat Molekul : 284,47 g/mol

 Titik Leleh : 69 - 70°C


36

 Kelarutan : Bebas larut dalam benzena, karbon tetraklorida,

kloroform, dan eter; larut dalam etanol (95%), heksana, dan propilen

glikol; praktis tidak larut dalam air.

Asam stearat banyak digunakan dalam formulasi farmasi oral dan topikal.

Dalam formulasi topikal, asam stearat digunakan sebagai zat pengemulsi dan

pelarutan. Ketika sebagian dinetralkan dengan alkali atau trietanolamin, asam

stearat digunakan dalam pembuatan krim. Asam stearat yang dinetralkan sebagian

membentuk basa krem bila dicampur dengan 5–15 kali berat cairan berair sendiri,

penampilan dan plastisitas krim ditentukan oleh proporsi alkali yang digunakan.

Asam stearat digunakan sebagai zat pengeras dalam supositoria gliserin. Asam

stearat juga banyak digunakan dalam kosmetik dan produk makanan (HPE

6th,.ed. 2009).

2.6.2 Isopropil Miristat

Gambar 2.6.2 Isopropil Miristat (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C17H34O2

 Titik Nyala : 153,5°C

 Titik Didih : 140,2°C

 Berat Molekul : 270,5 g/mol

 Titik Leleh :-
37

 Kelarutan : Larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), etil

asetat, lemak, alkohol berlemak, minyak tetap, hidrokarbon cair, toluena,

dan lilin. Melarutkan banyak lilin, kolesterol, atau lanolin. Praktis tidak

larut dalam gliserin, glikol, dan air.

Isopropil miristat adalah pelembut tidak berminyak yang mudah

diserap oleh kulit. Ini digunakan sebagai komponen basa semipadat dan

sebagai pelarut untuk banyak zat yang dioleskan. Aplikasi dalam formulasi

farmasi dan kosmetik topikal termasuk minyak mandi; dandan; produk

perawatan rambut dan kuku; krim; lotion; produk bibir; produk cukur;

pelumas kulit; deodoran; suspensi otic; dan krim vagina. Isopropyl myristate

digunakan sebagai penambah penetrasi untuk formulasi transdermal, dan telah

digunakan bersamaan dengan terapi ultrasonografi dan iontophoresis. Telah

digunakan dalam emulsi rilis air-gel minyak-air dan dalam berbagai

mikroemulsi. Mikroemulsi semacam itu dapat meningkatkan ketersediaan

hayati dalam aplikasi topikal dan transdermal. Isopropil miristat juga telah

digunakan dalam mikrosfer, dan secara signifikan meningkatkan pelepasan

obat dari mikrosfer yang mengandung etoposida (HPE 6th,.ed. 2009).

2.6.3 Tween 80
38

Gambar 2.6.3 Tween 80 (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C64H124O26

 Titik Nyala : 149°C

 Titik Didih :-

 Berat Molekul : 1310 g/mol

 Titik Leleh :-

 Kelarutan : Larut dalam etanol dan air; tidak larut dalam

minyak mineral dan minyak sayur.

Polisorbat 80 adalah serangkaian ester asam lemak parsial dari sorbitol dan

anhidrida yang dikopolimerisasi dengan sekitar 20, 5, atau 4 mol etilena oksida

untuk setiap mol sorbitol dan anhidrida. Oleh karena itu produk yang dihasilkan

adalah campuran molekul dengan ukuran yang bervariasi dan bukan senyawa

seragam tunggal. Polisorbat yang mengandung 20 unit oksietilena adalah

surfaktan nonionik hidrofilik yang digunakan secara luas sebagai zat pengemulsi

dalam pembuatan emulsi farmasi dalam air yang stabil. Polisorbat juga banyak

digunakan dalam kosmetik dan produk makanan (HPE 6th,.ed. 2009).

2.6.4 Span 80 (Sorbitan Monooleate)


39

Gambar 2.6.4 Span 80 (Sorbitan Monooleate) (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C24H44O6

 Titik Nyala : >149°C

 Titik Didih :-

 Berat Molekul : 429 g/mol

 Titik Leleh :-

 Kelarutan : Ester sorbitan umumnya larut atau terdispersi

dalam minyak; mereka juga larut dalam sebagian besar pelarut organik.

Dalam air, meskipun tidak larut, mereka umumnya dapat didispersikan.

Span 80 memiliki nama kimia Sorbitan monooleate, pemeriannya Cairan

kental berwarna kuning muda, krim krem ke manik-manik berwarna cokelat atau

serpihan atau padat, lilin dengan bau yang khas. Span digunakan dalam kosmetik,

produk makanan dan formulasi farmasi sebagai surfaktan non ionik lipofilik. Span

memiliki fungsi lain, seperti pembasah, zat pelarut, zat pensuspensi (HPE 6th,.ed.

2009).
40

2.6.5 Propilenglikol

Gambar 2.6.5 Propilenglikol (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C3H8O2

 Titik Nyala : 99°C

 Titik Didih : 188°C

 Berat Molekul : 76,9 g/mol

 Titik Leleh : -59°C

Kelarutan : Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin,

dan air; larut pada 1 dalam 6 bagian eter; tidak larut dengan minyak mineral

ringan atau minyak tetap, tetapi akan melarutkan beberapa minyak esensial.

Propilenglikol telah menjadi banyak digunakan sebagai pelarut,

ekstraktan, dan pengawet dalam berbagai formulasi farmasi parenteral dan

nonparenteral. Propilenglikol adalah pelarut umum yang lebih baik daripada

gliserin dan melarutkan berbagai bahan, seperti kortikosteroid, fenol, obat sulfa,

barbiturat, vitamin (A dan D), sebagian besar alkaloid, dan banyak anestesi lokal.

Sebagai antiseptik mirip dengan etanol, dan terhadap cetakan itu mirip dengan

gliserin dan hanya sedikit kurang efektif daripada etanol. Propilen glikol

umumnya digunakan sebagai plasticizer dalam formulasi lapisan film berair.


41

Propilen glikol juga digunakan dalam kosmetik dan industri makanan sebagai

pembawa untuk pengemulsi dan sebagai kendaraan untuk rasa yang lebih disukai

daripada etanol, karena kurangnya volatilitasnya memberikan rasa yang lebih

seragam (HPE 6th,.ed. 2009).

2.6.6 Phenoxyethanol

Gambar 2.6.6 Phenoxyethanol (HPE 6th,.ed. 2009)

 Struktur Molekul : C8H10O2

 Titik Nyala : 121°C

 Titik Didih : 245,2°C

 Berat Molekul : 138,16 g/mol

 Titik Leleh : 14°C


42

 Kelarutan : campur dalam Acetone; campur dalam etanol

(95%); campur dalam gliserin; 1:26 dalam isopropil palmitat; 1:143 dalam

minyak mineral; 1:50 dalam olive oil; 1:43 dalam air.

Phenoxyethanol adalah pengawet antimikroba yang digunakan dalam

kosmetik dan formulasi farmasi topikal pada konsentrasi 0,5-1,0%; itu juga dapat

digunakan sebagai bahan pengawet dan antimikroba untuk vaksin. Secara terapi,

larutan 2,2% atau krim 2,0% telah digunakan sebagai desinfektan untuk luka

superfisial, luka bakar, dan infeksi ringan pada kulit dan selaput lendir.

Fenoksietanol memiliki spektrum aktivitas yang sempit dan karenanya sering

digunakan dalam kombinasi dengan pengawet lainnya (HPE 6th,.ed. 2009).

Anda mungkin juga menyukai