Anda di halaman 1dari 25

KULIT KERING.

2.1 Kekeringan pada Kulit


Kulit kering ditandai dengan menurunnya kapasitas retensi air pada
stratum korneum dengan kandungan air kurang dari 10% sedangkan
pada kondisi normal mengandung 30% air (Tagami and Yoshikuni, 1985).
Kehilangan air terjadi akibat penurunan fungsi sawar stratum korneum
dan peningkatan TEWL (Black et al., 2005).
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh kondisi kulit kering sangat bervariasi
dari sangat ringan sehingga diabaikan tetapi dapat menjadi sangat berat
sehingga mengakibatkan kulit pecah-pecah dan terinfeksi. Pada umumnya
kulit kering ditandai dengan keadaan kulit yang bersisik dan pecah-pecah,
seringkali disertai rasa gatal (Wildauner et al., 1971).
Kulit kering pada orangtua berhubungan dengan pruritus, gatal yang
sering mengganggu tidur dan penurunan kualitas hidup. Garukan akan
merusak struktur kulit sehingga dapat mengakibatkan infeksi kuman
piogenik (Kligman, 2000).
Kulit yang kering dapat menyebabkan masalah yang serius bahkan dapat
menjadi prekursor dekubitus pada pasien rawat inap yang tidak berubah
posisi berbaringnya (Allman et al., 1995) Kekeringan kulit dapat terjadi
pada semua orang dengan berbagai penyebab baik eksogen maupun
endogen dan bukanlah merupakan diagnosis tunggal (Kligman, 2000).
Stratum korneum berperan sebagai sawar yang memiliki fungsi proteksi.
Sawar kulit mampu melindungi terhadap bahan kimia, fisik dan mekanik,
serta pelindung terhadap infeksi bakteri, jamur, juga sebagai storage
untuk obat-obatantopikal yang bersifat lipofilik. Fungsi proteksi lain adalah
melindungi kulit dari kekeringan (Kligman, 2000).
Pelembaban kulit terjadi karena pada ruang di antara ikatan sel junctional
bridges atau desmosomes dipenuhi oleh substansi yang mengandung
lemak lipid rich. Lemak ini adalah ceramide, kolesterol dan asam lemak
berperan sebagai sawar utama terhadap kehilangan air (water loss). Kulit
yang sehat memiliki rasio lipid rich yang proporsional (Downing and
Stewart, 2000).
Perubahan konfigurasi komposisi lipid menyebabkan barrier pada lapisan
terluar menjadi lebih lemah. Kadar ceramide yang tinggi menjaga ikatan
antar sel, sebaliknya kadar ceramide yang rendah menyebabkan kulit
menjadi kering dan bersisik (Downing and Lazo, 2000). Untuk mengetahui
hal yang mendasari terjadinya kulit kering maka perlu pemahaman
tentang struktur dan fungsi stratum korneum (Egelrud, 2000).

2.3 Etiologi Kulit Kering


Etiologi kulit kering didasari oleh berkurang dan atau adanya
ketidakseimbangan lipid termasuk perubahan komposisinya dalam kulit
(Schrer, 2006). Lipid ekstraseluler pada stratum korneum yang berperan
sebagai sawar air disusun oleh >40% ceramide, 25% asam lemak dan
20% kolesterol. Perubahan kadar komposisinya akan mengakibatkan
gangguan fungsi sawar kulit (Laudanska et al., 2003). Banyak perubahan
yang sangat kompleks yang mendasari terjadinya kekeringan pada kulit.
Faktor yang dapat mempengaruhi komposisi lipid dalam hidrasi dan sawar
kulit adalah:
1. Faktor internal:
a. Genetik:
Ditemukan adanya pewarisan genetik untuk gen yang berpengaruh
terhadap protein filagrin yang unik yang merupakan penentu dominan
apakah seseorang akan menderita kekeringan kulit atau tidak (Scott,
2005).
Pada penderita iktiosis vulgaris terdapat peningkatan produksi korneosit
yang menunjukkan adanya kelambatan proses deskuamasi. (Simon,
2002). Pada iktiosis vulgaris juga terdapat kekurangan NMF memberikan
gambaran kulit yang kering dan bersisik (Sybert et al., 1985). Psoriasis
adalah keadaan inflamasi pada kulit akibat adanya defek pada sistem
imun. Kulit akan tumbuh secara cepat, kering dan mengelupas (Icen et al.,
2009).
b. Riwayat atopik :
Dermatitis atopik, merupakan gangguan kulit dengan ciri khas kekeringan
kulit. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada dermatitis atopik
terdapat kekurangan ceramide (Imokawa et al., 1991). Tetapi pada pasien
yang menderita kekeringan kulit dan kadar air yang sangat menurun
dapat saja tanpa disertai penurunan kadar ceramide (Akimoto et al.,
1993). Oleh karena itu diduga bahwa kekeringan kulit berhubungan
dengan struktur lamellar dan lipid intraseluler dalam stratum korneum
(Bauman, 2002a).
c. Jenis Kelamin:
Secara visual kulit pada laki-laki berbeda dibandingkan dengan kulit
wanita. Perbedaan yang utama adalah ketebalannya karena penyebaran
rambut pada laki-laki lebih banyak. Keadaan ini juga yang menyebabkan

kulit laki-laki lebih terlindung dari kerusakan akibat aktivitas enzim


kolagenase dengan adanya radiasi sinar ultra violet (UV) (Draelos, 2006).
Selain karena kulit wanita lebih tipis, wanita juga lebih sering mengalami
dermatitis kontak alergik maupun iritan akibat seringnya mengoleskan
bahan-bahan iritatif untuk perawatan kulit dibandingkan laki-laki (Schrer,
2006).
Wanita lebih sering mengoleskan bahan anti aging topikal yang dapat
menyebabkan kerusakan barier kulit seperti halnya tretinoin, asam
glikolat, asam laktat dan lain-lain. Wanita juga lebih sering menjalani
prosedur perawatan seperti peeling wajah, mikrodermabrasi, spa
treatment dan lain-lain (Draelos, 2006).
Keseimbangan hormon testosteron, estrogen dan progesteron pada
wanita dan laki-laki juga berbeda. Testosteron dan estrogen keduanya
mempengaruhi produksi sebum (Hashizume, 2004).
d. Usia :
Sebelum pubertas produksi sebum dan kelenjar ekrin masih minimal. Hal
ini yang mendasari seringnya terjadi kekeringan kulit dan dermatitis pada
anak-anak. Pada usia pubertas, keluhan alergi dan kekeringan kulit
menurun karena fungsi kelenjar sebasea, dan ekrin serta apokrin
berfungsi dengan baik (Hashizume, 2004).
e. Menopause (hormonal):
Pada wanita usia 40 an, produksi sebum mulai menurun dan lipid
interselular berkurang terutama pada kondisi menopause. Dengan
menurunnya produksi estrogen, maka kualitas kulit juga menurun,
menjadi mudah rusak dan kering karena menurunnya kolagen pada
dermis. Proses keratinisasi melambat, mudah gatal karena pelindung pada
akhiran saraf juga menurun (Hashizume, 2004).
f. Penyakit kronik:
Kondisi kronik yang juga menyebabkan kekeringan kulit di antaranya
adalah Diabetes melitus, penyakit ginjal, uremia, hipotiroidisme, defisiensi
vitamin A, dan keganasan (Health Grade, 2009).
2. Faktor eksternal:
a. Bahan kontak dan iritasi kronik:
Kulit kering dapat disebabkan oleh kerusakan akibat polusi, bahan kimia
dan surfactant. Kulit yang teriritasi fungsinya akan terganggu sama halnya
dengan kondisi penyakit kulit. Sekalipun stratum korneum membentuk

lapisan yang mencegah terjadinya difusi air, tetapi pajanan yang berulang
terhadap surfactant dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan yang
mengakibatkan kekeringan kulit (Pedersen and Jemec, 2006).
b. Cuaca dan iklim:
Perubahan mendadak pada kelembaban udara akan mempengaruhi
kelembaban kulit. Lingkungan dengan kelembaban yang rendah akan
merusak sawar kulit, sehingga terdapat respons peningkatan sintesis DNA
(Deoxyribonucleic acid) epidermis (Denda et al., 1998).
Penelitian terhadap hewan menunjukkan, TEWL menurun sekitar 30%
pada hewan yang dipajankan pada udara yang kering (<10% RH). Hal ini
terjadi karena terdapat peningkatan biosintesis lipid, peningkatan lamellar
bodies dan penebalan stratum korneum. Sedangkan pada hewan yang
dipajankan udara yang lembab (80% RH) akan menginduksi penurunan
biosintesis lipid. Setelah dipindahkan dari lingkungan yang lembab (80%
RH) ke lingkungan yang kering (10%RH), terdapat peningkatan TEWL 6
kali lipat (Sato et al., 2001).
c. Gaya hidup (Lifestyle):
Sekalipun tanpa memiliki kelainan kulit, kondisi kulit kering dapat saja
terjadi akibat pengaruh lifestyle. Akhir-akhir ini semakin meningkat
dengan kebiasaan mandi dengan shower dan air panas yang terlalu sering
dilakukan atau berendam dalam air yang ditambahkan bath salt dan busa
sabun. Berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi ikatan air dalam
stratum korneum dan menyebabkan kekeringan kulit di antaranya
(Bauman, 2002) :
(1) Mandi dengan air panas: berendam dengan air panas dalam waktu
yang lama akan mengakibatkan lipid natural pada kulit mudah hilang.
(2) Gesekan pakaian
(3) Kebiasaan bepergian dengan pesawat udara
(4) Berada di ruang ber AC dalam waktu lama
2.4 Struktur dan Fungsi Epidermis
Kulit tersusun atas 3 lapisan primer: epidermis, dermis dan subkutan. Tiap
lapisan memiliki karakter dan fungsi masing-masing. Sekalipun
merupakan struktur dan jaringan yang menyatu, epidermis merupakan
lapisan terluar dan sangat penting perannya dalam segi kosmetik, karena
memberikan kelembaban dan tekstur kulit (Bauman, 2002a).

Penelitian tentang struktur dan fungsi epidermis memerlukan pembesaran


dengan mikroskop elektron agar dapat secara jelas mengetahui struktur
lamellar granules pada sel spinosum dan granulosum serta gambaran
struktur sel lainnya (Madison et al., 1987).
Keratinosit atau dikenal dengan korneosit adalah sel utama pada
epidermis. Diproduksi oleh stem cells yang disebut sel basal.
Stem cells akan membelah dan memproduksi sel anakan yang
secara perlahan bergerak ke bagian atas epidermis. Proses
maturasi dan pergerakan sel anakan menuju sel di atasnya
disebut keratinisasi (Kimyai-Asadi et al., 2003).
Selama pergerakan, sel akan mengalami perubahan karakteristik. Lapisan
paling bawah adalah sel basal, di atasnya adalah sel spinosum karena
memiliki banyak penghubung sel yang berbentuk seperti duri disebut
desmosom. Desmosom merupakan struktur kompleks adhesi molekul dan
protein. Lapisan di atasnya lagi adalah sel granulosum karena
mengandung granula keratohialin, dan lapisan paling luar adalah sel
kornifikasi atau stratum korneum, merupakan massa sel padat yang sudah
kehilangan inti dan granulanya. Stratum korneum dilapisi material protein
yang disebut cell envelope yang mempertahankan kadar air dan absorpsi
(Bauman, 2002a).

2.4.1 Sel basal


Sel basal adalah bagian sel paling bawah yang berfungsi meregenerasi sel
dengan cara membelah (Kimyai-Asadi et al., 2003). Tiap sel saling
melekat karena ada desmosom dan hemidesmosom, sel basal melekat ke
dermis dengan bantuan anchoring fibril (Chu et al., 2003).

2.4.2 Sel spinosum


Merupakan anakan sel dari hasil pembelahan sel basal yang memiliki duri,
saling melekat antar sel dengan diperantarai desmosom (Gambar 2.1)
Terdapat bundle serabut keratin yang menyeberangi tiap sel yang
menguatkan perlekatan desmosom dan nukleus. Bila sel spinosum matur,
akan mengakumulasi organel yang disebut Oldland bodies, membranecoating granule, lamellar bodies dan lamellar granules (Oldland, 1991).

Gambar 2. 1 Corneodesmosome

Paku yang melekatkan korneosit satu sama lain adalah struktur protein
spesial yang disebut corneodesmosomes. Struktur ini juga merupakan
bagian dari analogi "mortar" pada "brick and mortar" analogy.
Corneodesmosomes merupakan struktur utama yang harus rusak agar
kulit dapat mengelupas dalam proses deskuamasi (Brannon, 2007).

2.4.3 Sel granulosum


Sel ini memiliki granul yang merupakan deposit keratohialin yang dapat
terlihat dengan mikroskop cahaya, berbeda dengan lamellar granule yang
hanya biasa terlihat dengan mikroskop elektron karena ukurannya sangat
kecil. Biasanya terdapat 2-4 lapis sel granulosum dan granula keratohialin
ukurannya semakin bertambah (McGrath et al., 2004).

2.4.4 Sel transisional


Bagian atas sel granulosum menjadi sel mati dan lebih datar, sel
transisional ini secara bertahap kehilangan struktur organ subselulernya
termasuk nukleus dan struktur membran sitoplasma. Selama proses ini
granula keratohialin bergabung dengan bundle filamen keratin sehingga
gambaran sel yang bergranul menjadi hilang. Lamellar granule keluar dari
sel dan masuk ke dalam ruang interseluler di atasnya dengan cara berfusi
dengan membran sel, diikuti dengan keluarnya granul yang mengandung
lamellar disk (Gambar 2.2) (Downing and Lazo, 2000).
Gambar 2. 2 Lamellar Bodies
Lamellar bodies dibentuk dalam keratinosit pada stratum spinosum dan
stratum granulosum. Pada saat keratinosit matur, enzim pada stratum
korneum akan merusak bagian luar envelope lamellar bodies dan
membebaskan lipid tipe asam lemak bebas dan ceramides (Brannon,
2007).

2.4.5 Sel kornifikasi


Stratum korneum terdiri atas sel yang tidak memiliki inti dan DNA
sehingga tidak dapat mensintesis apapun, tetapi sel ini ternyata tetap
hidup (Steinert and Freedberg, 1991).
Setelah lamellar granule keluar sampai berada di ruang interseluler, sel
transisional berubah menjadi datar dengan diameter 30 m dan tebal 0,3
m. Proses ini akan menjadikan sel kehilangan organel subselulernya

sehingga hanya memiliki keratin fibril yang tersusun paralel pada panjang
sel. Di antara keratin fibril terdapat matriks keratohialin yang tersisa
(McGrath et al., 2004).
Protein pada matriks ini tampaknya berdegradasi dengan susunan
material yang berat molekulnya rendah, termasuk asam amino. Selama
proses kornifikasi, protein envelope pada korneosit selalu ditambahkan di
antara permukaan internal membran sel dan melekat pada serabut
keratin (Polakowska and Goldsmith, 1991).

Gambar 2. 3 Stratum Korneum


Stratum korneum merupakan lapisan terluar dari epidermis. Lapisan pada
epidermis memiliki peran penting dalam fungsi sawar kulit yang vital.
Sebelum pertengahan tahun 1970 stratum korneum diduga inert secara
biologis seperti lapisan plastik tipis yang melindungi lapisan di bawahnya
yang lebih aktif. Dalam 30 tahun terakhir terutama 5 tahun terakhir para
ilmuwan telah menemukan bahwa aktivitas biologis dan kimiawi stratum
korneum sangat kompleks (Brannon, 2007).
Keratin envelope terutama mengandung protein yang membentuk ikatan
iso peptida antara residu glutamine dan lysine. Protein envelope sulit
dicernakan oleh enzim dan substrat dimana lipid eksternal melekat secara
kimiawi (Wertz et al., 1987a).
Keratin merupakan material yang sangat hidrofilik yang dapat mengikat
substansi yang mengandung air. Struktur korneosit yang merupakan
sawar kulit tersusun atas dua komponen utama. Terdapat substansi
hidrofobik (water repellent) merupakan sawar lipid dan komponen
hidrofilik (water-attracting) (Wertz et al., 1989).
Sawar lipid terutama mengandung lipid netral (asam lemak dan
kolesterol) serta ceramides yang berfungsi mengontrol dan membatasi
transpor air melalui kulit (Wertz et al., 1987a). Difusi air melalui keratinosit
tidak dapat terjadi secara bebas karena keratin membatasinya (Bodde et
al., 1990).

2.4.6 Struktur lipid pada epidermis


Lipid termasuk dalam struktur anatomi sel epidermis dan memiliki fungsi
serta struktur yang bermakna pada jaringan. Lipid epidermis di antaranya
terdapat pada membran plasma sel, membran sitoplasma internal,
retikulum endoplasma, badan Golgi dan bounding membrane pada

lamellar granule serta lipid pada struktur intercellular lamellae di antara


sel kornifikasi (Wertz et al., 1988).
Lipid pada jaringan kulit yang dapat diekstraksi adalah: fosfolipid,
kolesterol dan glycosylceramides, sedikit asam lemak bebas, trigliserida
dan ceramide. Glycosylceramides di dapat dari lamellar granule sel
spinosum dan sel granulosum (Swartzendruber et al., 1988 ; Downing,
1992).
Selama 2-3 minggu pembelahan, sel basal akan kehilangan sel anakan
dari permukaan kulit tetapi komposisi lipid akan tetap konstan. Biosintesis,
transformasi dan translokasi lipid epidermal dalam tiap sel akan terus
berlanjut dan berubah tiap waktu (Wertz and Downing, 1987b ; Downing
and Stewart, 2000).
2.4.7 Biosintesis lipid pada sel hidup
Sel basal mengandung sedikit lipid dibandingkan dengan membran sel
permukaan dan sitoplasmanya. Pada membran sel permukaan terutama
terdapat fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid banyak mengandung linoleic
acid sehingga dapat diduga bahwa kulit mendapat lipid dari darah
(Monger et al., 1988). Tetapi terdapat bukti bahwa sel yang telah
bermigrasi dari sel basal tidak mampu lagi mengabsorpsi lipid dari
sirkulasi dan harus mensintesisnya sendiri dengan menggunakan
prekursor berat molekul rendah, yaitu glukosa (Doering,et al., 2002).
Hal di atas menunjukkan bahwa biosintesis epidermis berdiri sendiri dan
tidak bergantung pada glukosa dalam sirkulasi (Feingold and Elias, 2000).
Lipid yang disintesis harus mampu membentuk lamellar granule pada sel
spinosum dan sel granulosum (Robson et al., 1994).
Biosintesis lipid pada epidermis sangat bergantung pada adanya matriks
ekstraseluler hyaluronic acid (HA) yang memegang peranan penting
dalam aktivitas sel. HA merupakan mukopolikasarida yang secara kovalen
berikatan dengan protein. Molekul HA mengikat air dalam jumlah besar
sekalipun dalam konsentrasi yang sangat rendah. HA memiliki viskositas
yang sangat tinggi. HA dalam matriks ekstraseluler dermis berperan
mengatur keseimbangan kadar air, tekanan osmotik, mengatur aliran ion
dan sebagai lubrikan pada permukaan sel (Neudecker et al., 2004). Fungsi
dan peran HA akan dijelaskan kemudian.

2.4.8 Transformasi biokimia dan translokasi lipid selama diferensiasi

epidermis Lamellar granule dikeluarkan dari sel granulosum sebelum sel


berubah menjadi stratum korneum. Sel granulosum hanya mengandung
glucosylceramides sedangkan sel kornifikasi hanya mengandung
ceramides. Hal ini menunjukkan bahwa setelah berdiferensiasi menjadi sel
kornifikasi, glucocylceramides mengalami deglikosilasi dan berubah
menjadi ceramides (Lavker, 1970). Membran akan berikatan melekat
dengan lamellar granule dan menjadi bagian membran sel (Wertz and
Downing, 1987b).

2.4.9 Intercellular lamellae


Isi lamellar disk akan keluar dari lamellar granule kemudian terdistribusi
ke dalam ruang interseluler, melekat edge to edge dan bergabung
membentuk intercellular lamellae. Lamellar disk akan membentuk double
lipid bilayers dengan membuat liposome menjadi datar (Downing and
Lazo, 2000).
2.4.10 Lipid envelope pada korneosit
Bila
stratum
korneum
diekstraksi
maka
didapatkan
2%

hydroxyceramides. Lipid ini cukup untuk membentuk monomolecular layer


lipid pada seluruh permukaan sel kornifikasi (Polakowska and Goldsmith,
1991).
Tiap korneosit dikelilingi oleh selubung protein yang disebut cell envelope.
Cell envelope tersusun dari terutama 2 protein loricrin dan involucrin.
Protein ini memiliki ikatan yang kuat satu sama lain sehingga membuat
cell envelope menjadi struktur pada korneosit yang paling sulit larut. Sub
tipe dari cell envelope dapat "rigid" atau "fragile" bergantung pada
interaksi lamellar bilayer dengan cell envelope (Brannon, 2007).

2.5 Transformasi Lipid pada Stratum Korneum


Natural Moisturizing Factor (NMF) terdapat dalam stratum korneum
sehingga bersifat humektan (mampu mengikat air) . NMF merupakan
senyawa kimia yang sangat larut dalam air (water soluble), sangat mudah
keluar dari sel bila berkontak dengan air. Itulah sebabnya kontak dengan
air yang berulang justru akan mengeringkan kulit (Bauman, 2002a). NMF
terdiri atas asam amino dan metabolitnya dibebaskan oleh lamellar
granules dengan memecah filagrin. Pada kulit normal apabila sering
terpajan sabun, maka kadar NMF permukaan kulitnya akan menurun
dibandingkan dengan yang tidak sering terpajan sabun. Dengan

bertambahnya usia, maka kadar NMF juga akan menurun (Scott and
Harding, 2000).

Natural moisturizing factor (NMF) merupakan kumpulan substansi watersoluble yang hanya didapatkan pada stratum korneum, kadarnya sekitar
20-30%. Lapisan lipid yang mengelilingi korneosit menyelubungi dan
mencegah hilangnya NMF (Brannon, 2007).

2.6 Lipid Epidermal dan Fungsi Barrier


Lipid pada stratum korneum memiliki melting point dan polaritas yang
tinggi sehingga dapat membentuk lipid bilayer yang kuat, diperkuat lagi
dengan adanya intercellular lamellae dan corneocyte lipid envelope yang
meningkatkan efektivitas fungsi sawar lipid (Linberg and Forslind, 2000).
Intercellular lamellae adalah barrier terhadap air dan molekul polar
lainnya dengan adanya multiple lipid lamellae dalam tiap intercellular
space akan meningkatkan sawar (Gambar 2. 8) (Guy et al., 1994).

Gambar 2. 8
Intercellular Lipid Asam lemak bebas dan ceramides yang dibebaskan
dari lamellar bodies akan berfusi bersama dalam stratum korneum untuk
membentuk continuous layer lipids. Karena terdapat dua tipe lipid, maka
lapisan ini juga disebut lamellar lipid bilayer. Lipid bilayer berperan
penting dalam memelihara sawar kulit dan analog dengan "mortar" pada
model brick and mortar (Brannon, 2007).

2.6.1 Corneocyte lipid envelope


Corneocyte envelope membentuk bagian yang penting dalam sawar
permeabilitas epidermis. Strukturnya terdiri atas dua bagian: (1) bagian
yang tebal yang melekat pada sitoplasma tersusun oleh protein dan (2)
bagian yang tipis merupakan bagian yang menyusun sisi luar protein yang
tersusun dari lipid. Ikatan lipid pada corneocyte lipid envelope sama
dengan lipid pada intercellular lamellae (Bauman, 2002a).
Corneocyte lipid envelope dapat menahan asam amino dengan berat
molekul rendah dan berperan penting dalam sawar permeabilitas
epidermis (Swartzendruber et al., 1987 ; Lvque, 2002).

Gambar 2. 9 Cornified Envelope Lipid


Lapisan lipid ceramides melekat pada cell envelope dan menolak air.
Karena lamellar lipid bilayer juga menolak air, maka molekul air akan
berada di antara cell envelope lipid dan lipid bilayer. Ini akan memelihara
keseimbangan kadar air dalam stratum korneum dengan memerangkap
molekul air dibandingkan dengan membiarkannya terabsorpsi ke dalam
lapisan epidermis yang lebih dalam (Brannon, 2007).

2.7 Struktur dan Fungsi Dermis


Dermis terdapat di antara epidermis dan lemak sub kutan dan berperan
terhadap ketebalan kulit. Ketebalan kulit bervariasi pada bagian tubuh
yang berbeda dan dipengaruhi oleh usia. Pada penuaan lapisan basal
akan menurun ketebalan dan kelembabannya (Bauman, 2002b).
Pada dermis terdapat saraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan
kolagen. Pada bagian terluar dermis di bawah epidermis disebut dermis
papila dan bagian bawahnya disebut dermis retikuler. Struktur pada
dermis retikuler lebih padat dibandingkan pada dermis papila. Sel yang
dominan pada dermis adalah fibroblas yang memproduksi kolagen, elastin
dan protein matriks lain serta enzim. Bagian yang terdapat di antara
epidermis dan dermis disebut dermal-epidermal junction (DEJ) (McGrath et
al., 2004).
Pada mulanya perhatian terhadap struktur kulit ditujukan pada sel yang
menyusun lapisan epidermis, dermis dan subkutan. Saat ini yang menjadi
pusat perhatian adalah material yang berada di antara sel. Ternyata
komponen matriks ekstraseluler (MES) memiliki peran yang sangat besar
terhadap aktivitas sel. Dengan mikroskop elektron komponen MES ini
tampak sebagai massa yang amorf. Struktur ini terdiri atas
glycosaminoglycan (GAG), proteoglycan, glycoprotein, growth factor
peptide dan struktur protein kolagen serta elastin. Komponen yang paling
dominan pada kulit adalah HA (Neudecker et al., 2004).
2.7.1 Kolagen
Kolagen merupakan salah satu dari protein natural yang paling kuat dan
berperan terhadap kekuatan dan kelenturan kulit. Berbagai produk
maupun prosedur peremajaan kulit memiliki target kerja pada kolagen.
Seperti halnya produk kosmetik yang mengandung asam glikolat dan

asam askorbat yang diklaim dapat meningkatkan sintesis kolagen


(Bauman, 2002b).
Kolagen merupakan protein kompleks, yang terutama terdapat pada
dermis. Letak serabut kolagen tersusun tegak lurus dengan serabut
elastin. Serabut yang imatur terdapat pada dermis superfisial, sedangkan
yang matur terdapat pada lapisan yang lebih dalam pada dermis (McGrath
et al., 2004).
Tiap tipe kolagen tersusun atas 3 rantai. Kolagen disintesis pada fibroblas
dalam bentuk prekursor prokolagen. Residu prolin pada rantai prokolagen
berubah menjadi hidroksiprolin dengan adanya enzim prolyl hydroxylase.
Proses ini membutuhkan Fe ++, vitamin C dan -ketoglutarate. Demikian
juga dengan residu lisin, berubah menjadi hidroksilisin dengan adanya
enzim lysil hydroxylase. Proses ini juga membutuhkan Fe ++, vitamin C
dan -ketoglutarate. Kekurangan vitamin C akan menurunkan produksi
kolagen (McGrath et al., 2004).

2.7.2 Tipe kolagen pada dermis


Kolagen tipe I merupakan tipe kolagen yang terbanyak dan 80-85%
terdapat pada dermis, berpengaruh pada kekuatan dan kelenturan dermis.
Jumlah kolagen tipe I menurun pada photoaged dan merupakan kolagen
yang sangat mempengaruhi penuaan kulit (Kimyai-Asadi et al., 2003).
Kolagen tipe III terdapat pada matriks dermis 10-15%, diameternya lebih
kecil dibandingkan kolagen tipe I. Dikenal juga dengan istilah fetal
collagen, karena ditemukan terbanyak pada masa embrional. Terutama
didapatkan di sekitar pembuluh darah di bawah epidermis (Kimyai-Asadi
et al., 2003).
Kolagen tipe IV terdapat pada basement membrane zone. Kolagen tipe V
tersebar secara difus pada dermis sekitar 4-5%. Tipe VII membentuk
anchoring fibril pada DEJ. Sedangkan kolagen tipe XII terdapat pada
hemidesmosom (Kimyai-Asadi et al., 2003).

2.7.3 Elastin
Serabut elastin terdapat di perifer serabut kolagen, tersusun dalam
bentuk mikrofibril yang merupakan gabungan fibrilin. Fibrilin merupakan
tempat elastin dideposit. Bila sering terpajan sinar matahari elastin
menjadi substansi yang amorf pada dermis dan rusak (Kimyai-Asadi et al.,
2003).

2.7.4 Glycosaminoglycans
Glycosaminoglycans (GAG) adalah rantai polisakarida yang tersusun oleh
unit disakarida yang berulang dan berikatan secara kovalen dengan
protein inti. GAG merupakan senyawa yang mampu mengikat air dan
berperanan dalam pelembaban kulit (Jung et al., 1997). Proteoglycans
merupakan makromolekul kompleks yang terdiri atas protein utama dan
satu atau lebih rantai GAG yang terikat secara kovalen. GAG terutama
didapatkan dalam matriks ekstraseluler tetapi terutama disintesis oleh
apparatus Golgi yang terdapat dalam sel (Jung et al., 1997).
Bagian utama dari GAG adalah gula yang berupa konjugat molekul
kompleks yang disebut glycan. Glycan terdapat dalam berbagai bentuk
dan ukuran dari rantai linier (polisakarida) sampai molekul dengan banyak
cabang. Glycan merupakan bagian terbesar yang menempati
ekstraselular matriks dan berperan penting dalam transmisi sinyal
biokimia ke dalam dan antar sel (Tzellos et al., 2009).
Dermatan sulfate adalah GAG yang terutama didapat dalam kulit tetapi
juga pada pembuluh darah, katup jantung, tendon dan paru. Dermatan
sulfate berperan dalam koagulasi, penyakit jantung, karsinogenesis,
infeksi, penyembuhan luka dan fibrosis (Tzellos et al., 2009).
Chondroitin sulfate adalah GAG yang tersulfatasi tersusun atas rantai gula
((N-acetyl-galactosamine dan glucuronic acid). Biasanya melekat pada
proteoglycan. Rantai chondroitin dapat memiliki 100 gula dalam berbagai
variasi posisi dan jumlah. Chondroitin sulfate merupakan struktur
komponen utama dari kartilago dan berfungsi melindungi dari regangan
dan benturan (Bertozzi and Rabuka, 2009).
Kompleks Molekul Gula dari Glycan Merupakan diversi dari struktur yang
membentuk permukaan sel dan matriks ekstraseluler yang berada di
antara sel. Polisakarida ini tampak tersusun seperti manik-manik yang
berwarna-warni yang melekat pada protein (berwarna biru) dengan ikatan
kovalen. Glycan dapat merupakan rantai linier (GAG) atau memiliki
cabang molekul gula. Glycan dibentuk dalam Golgi. Terdapat vesikel lipid
yang mengangkut glycan yang sudah dimodifikasi menjadi protein ke
permukaan sel (Bertozzi and Rabuka, 2009).
Perkembangan teknologi terbaru untuk mengeksplorasi struktur rantai
gula dipelajari dalam cabang ilmu yang disebut Glycobiology. Istilah ini
pertamakali dikenalkan oleh Rademacher, Parekh, dan Dwek pada tahun
1988 untuk menunjukkan pengetahuan modern tentang kimia karbohidrat

dan biokimia serta biologi molekuler dari glycan. Sampai saat ini istilah
tersebut tetap digunakan (Rademacher et al., 1988).
Ilmu ini terutama mempelajari tentang struktur, biosintesis dan biologi
dari saccharide (rantai gula atau glycan). Saat ini merupakan dasar ilmu
bagi perkembangan bioteknologi, farmasi dan laboratorium. Glycobiology
sangat bergantung pada disiplin ilmu genetika molekuler, biologi sel,
fisiologi dan kimia protein (Bertozzi and Rabuka, 2009).
Dalam perkembangan Glycobiology akan dibahas lebih jauh tentang peran
utama molekul kompleks karbohidrat dalam komunikasi sel. Paradigma
sentral dari biologi molekuler modern adalah tentang alur informasi dari
DNA ke RNA. Konsep utama dari informasi ini bukan hanya presisi dalam
template-driven tetapi juga kemampuan memanipulasi tiap kelas molekul
berdasarkan pengetahuan tentang pola urutan homologi dan
hubungannya dengan fungsi dan evolusi. Dengan selesainya urutan
genom manusia (human genom project) dan pengetahuan berbagai model
organisme akan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat berharga
bagi perkembangan sistem biologi (Bertozzi and Rabuka, 2009).
2.11 Jalur Komunikasi Glycan
Merupakan petunjuk komunikasi yang penting bagi perkembangan sel dan
jaringan serta fungsi fisiologisnya (Bertozzi and Rabuka, 2009) Untuk
menunjukkan peran glycan dalam komunikasi sel dapat digambarkan
dengan salah satu contoh sebagai berikut. Salah satu interaksi protein
dan GAG adalah fibroblast growth factor akan menerima sinyal dari GAG
sehingga fibroblast growth factor dapat berinteraksi dengan reseptornya
pada permukaan sel. Pengikatan growth factor
pada reseptornya
merupakan gerakan akibat sinyal kaskade yang berakhir dalam nukleus
sel dan memicu gen yang memodulasi proliferasi sel. Untuk mempercepat
sinyal bertingkat ini reseptor pada permukaan sel harus berubah struktur
yaitu dengan melekat pada reseptor kedua (glycan) secara simultan (Esko
and Linhardt, 2009). Jenis GAG yang terbanyak pada dermis adalah
hyaluronic acid (HA) atau hyaluronan (Gambar 2.12) (Varki, et al. 2009).
Volume HA yang besar berhubungan dengan kandungan air dan hidrasi
kulit, kemampuan memelihara kegiatan sel. Kadarnya meningkat pada
aktivitas proliferasi, regenerasi dan penyembuhan luka (wound healing).
Dengan demikian HA memiliki potensial sebagai anti penuaan. HA
terutama diproduksi dalam mesenkim jaringan konektif dan paling banyak
oleh fibroblas. Dapat mencapai sirkulasi darah melalui saluran limfatik
(Neudecker et al., 2004).

Biosintesis HA oleh HA synthase (HAS) terjadi dengan penambahan gula


(Nacetyl-glucosamine/GLcN and glucuronic acid/GlcA) pada akhir polimer.
M++ adalah metal ion cofactor, UDP= Uridine Diphosphat (Varki and
Sharon, 2009).
HA terdiri atas disakarida yang berulang yang disusun oleh
Nacetylglucosamine (GlcN) dan glucuronic acid (GlcA) dan membentuk
matriks yang menghidrasi. Berperan pada pertumbuhan sel, berfungsi
sebagai reseptor membran dan adhesi sel. Dalam produk kosmetik, HA
berfungsi sebagai humektan (Neudecker et al., 2004).
HA terutama terdapat ekstraselular pada lapisan stratum spinosum dan
stratum granulosum. Sedangkan pada lapisan basal HA didapatkan
terutama intraselular (Tammi et al., 1991). HA pada dermis lebih banyak
dibandingkan dengan pada epidermis. HA total terutama didapatkan pada
kulit sekitar 50 %. Kadarnya lebih banyak pada dermis papila
dibandingkan pada dermis retikuler (Neudecker et al., 2004).
Perkembangan genetika molekuler dan kemajuan dalam human genom
project disempurnakan dengan pengetahuan tentang metabolisme HA. HA
disintesis oleh HA syntases (HAS), sedangkan enzim yang memiliki peran
dalam reaksi katabolik adalah hyaluronidase. HA memiliki reseptor yang
mengontrol sintesis HA, deposisi, menyusun sel dan protein tertentu dan
kemudian mendegradasinya (Varki and Sharon, 2009).
2.8 Filagrin dan Kulit Kering
Di luar mekanisme kompleks yang disebutkan di atas, terdapat beberapa
orang yang menderita kekeringan kulit sekalipun terlepas dari pengaruh
stres lingkungan, udara dingin, kering, angin, kerusakan akibat detergen
dan lain-lain. Hal ini menunjukkan terdapat juga peranan intrinsik dalam
menentukan terjadinya kekeringan kulit (Irvine and Mc Lean, 2006).
Filagrin merupakan protein yang penting dalam kulit dan mempunyai efek
dominan terhadap resistensi stres. Kadar filagrin dalam kulit menjadi
penentu terjadinya kekeringan kulit.

2.8.1 Genotip filagrin sebagai penentu utama kecenderungan kulit kering


Filagrin dikode oleh gen profilagrin yang terletak pada kompleks
diferensiasi epidermal lokus 1q21 pada kromosom 1 bersama dengan gen
yang terlibat dalam proses diferensiasi epidermal lainnya. Gen ini
mengkode sejumlah protein prekursor yang disebut profilagrin terdiri atas

10-12 protein filagrin yang bergabung dengan ikatan peptida (Scott,


2005).
Profilagrin disintesis dalam jumlah besar pada permukaan luar epidermis,
33% diproduksi dalam stratum granulosum. Filagrin memiliki komposisi
asam amino histidin dan arginin. Profilagrin berkumpul di dalam sel
membentuk granul keratohialin dan merupakan salah satu protein yang
sensitif terhadap protease (Irvine and Mc Lean, 2006).
2.8.2 Filagrin dan Natural Moisturizing Factor
Pada saat stratum korneum bergerak ke permukaan kulit, maka akan
terpajan dengan kondisi yang kering. Aktivitas air akan menurun di bawah
95%. Pada saat ini protease dalam stratum korneum menjadi aktif dan
secara lengkap akan mendegradasi filagrin menjadi asam amino
individual. Proses ini dipicu oleh peningkatan konsentrasi ion karena sel
kehilangan air. Asam amino bebas hasil pembongkaran filagrin akan
mengalami berbagai perubahan. Glutamine akan kehilangan ammonia
dan berubah menjadi pyrrolidone carboxylic acid melalui reaksi non
enzimatik, histidine kehilangan ammonia akibat pengaruh enzim histidine
ammonia lyase kemudian akan memproduksi urocanic acid (Scott, 2005).
Proses ini sangat penting bagi stratum korneum, pyrolidone carboxylic
acid bersifat sangat higroskopik sehingga dapat menarik air dalam kondisi
kering sekalipun. Pembentukan kompleks asam amino yang disebut
sebagai NMF ini membuat stratum korneum tetap terhidrasi (Irvine and Mc
Lean, 2006).
2.8.3 Fungsi filagrin
Dalam proses keratinisasi, filagrin mempunyai fungsi (Irvine and Mc Lean,
2006) :
a. Mengagregasi
closepacked

keratin

sehingga

menjadi

struktur

matriks

yang

b. Mengkatalisa ikatan disulfida di antara keratin


c. Membentuk NMF
d. Membentuk acid mantle kulit
e. Memproduksi urocanic acid yang berperan dalam imunomodulator dan
sebagai tabir surya

Gambar.
Filagrin Akibat mutasi homozigot, kulit tidak memiliki filagrin.
Immunostaining dengan filaggrin repeat domain mAb 15C10 (Novocastra,
Newcastle upon Tyne, United Kingdom) menunjukkan granula keratohialin
pada kulit normal (kiri)
berbeda kontras dengan hilangnya lapisan
granulosum pada individu homozigot yang kehilangan filagrin (kanan).
Pasien remaja ini menderita iktiosis vulgaris dan dermatitis atopik yang
sedang sampai berat sejak bayi (Irvine and Mc Lean, 2006).

2.9 Proses Deskuamasi


Proses deskuamasi yang normal merupakan hal yang penting dalam
menjaga fungsi stratum korneum yang normal, kohesi stratum korneum
dan peran enzim proteolitik mempengaruhi proses ini (Chu et al., 2003).
Bagian yang mengendalikan proses deskuamasi adalah intercellular space
dari stratum korneum karena didalamnya mengandung campuran lipid
complex yang menyusun struktur protein, enzim, dan nonstructural
protein, substansi dengan berat molekul rendah dan berbagai derajat
hidrofilik yang berinteraksi dengan rendahnya kadar air (Egelrud, 2000).
Pada kondisi menurunnya kadar air dalam stratum korneum, maka enzim
yang merusak desmosom menurun sehingga proses deskuamasi
terganggu. Permukaan kulit akan tampak kasar dan dan kering (Orth and
Appa, 2000).Desmosom memperantarai kontak antar sel stratum korneum
bentuknya bulat oval dengan diameter 0,2 1 mm. Berikatan dengan
intracellular keratin filament dan glycoprotein. Corneodesmosome
berikatan dengan intercellular keratin filament yang lebih padat,
degradasi corneodesmosome akibat reaksi enzim proteolitik stratum

corneum chymotriptyc enzyme (SCCE) akan menyebabkan terjadinya


proses deskuamasi karena menurunkan kohesi stratum korneum (Simon
et al., 2002).
Kegagalan desmosom menyelesaikan program self destruction pada
proses deskuamasi akan mengakibatkan kulit bersisik. Bila stratum
korneum mengalami penurunan water-binding capacity, maka elastisitas
kulit akan menurun (Scott, 2005).
Deskuamasi atau eksfoliasi merupakan proses pada stratum korneum
yang sangat kompleks dan sampai saat ini baru sebagian yang terungkap.
Telah diketahui beberapa enzim yang merusak corneodesmosomes
dengan pola spesifik, tetapi belum diketahui sifat alami dari enzim ini dan
bagaimana mulai mengaktivasi proses eksfoliasi ini sekalipun diketahui
bahwa air dan pH berperan penting terhadap aktivitas enzim ini (Brannon,
2007).
2.10 Kadar Air Pada Stratum Korneum dan Hidrasi Kulit
Pengukuran hidrasi stratum korneum untuk meneliti biofisik dan fungsi
sawar kulit sangatlah penting artinya. Dengan memonitor parameter ini
dapat secara efisien menjadi dasar dalam mencegah kambuhnya penyakit
kulit dan membantu mengevaluasi efektivitas pengobatan kulit (Primavera
et al., 2005).
2.10.1 Hidrasi kulit
Selain sebagai sawar yang melindungi dari pengaruh luar, stratum
korneum juga mencegah hilangnya molekul endogen termasuk kehilangan
air dari lapisan dalam epidermis. Kulit kering tidak berarti berlawanan
dengan kulit berminyak, lawan dari kulit kering adalah kulit yang tidak
kering sedangkan kulit berminyak lawannya adalah kulit yang tidak
berminyak, sehingga pengukuran produksi sebum tidak dapat mengukur
kekeringan kulit (Kligman, 2000).
Sejak tahun 1980 dikenal alat korneometer yang dapat mengukur kadar
air dalam kulit. Prinsip pengukuran korneometer berdasarkan kapasitans
dari media dielektrik. Setiap perubahan pada dielektrik yang diakibatkan
variasi hidrasi kulit akan mengubah kapasitans pada kapasitor pengukur.
Keunggulan prinsip pengukuran ini adalah tidak dipengaruhi oleh kondisi
permukaan kulit di luar hidrasi kulit, dan dapat mengukur perubahan
tingkat hidrasi kulit serta hanya membutuhkan waktu yang singkat dalam
pengukuran. Pengukuran ini secara tidak langsung mengukur fungsi sawar
kulit (Heinrich et al., 2003)

Kulit yang menua ditandai dengan perubahan histopatologi dan biologi.


Hal yang mempengaruhi keadaan ini adalah peningkatan ukuran
korneosit, peningkatan ketebalan stratum korneum akibat akumulasi
korneosit yang disebabkan gangguan deskuamasi. Dengan bertambahnya
usia, berbagai lipid barrier utama menurun sehingga fungsi sawar kulit
juga menurun dan terjadilah kekeringan kulit (Fore, 2009).
Probe yang digunakan merupakan bahan elektronik yang berkualitas dan
stabil terhadap perubahan temperatur serta tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi sumber listrik. Adanya pegas pada probe membuat penekanan
pada permukaan kulit tetap konstan. Luas permukaan probe 49 mm2
memudahkan pengukuran pada semua bagian tubuh dan mudah
dibersihkan. Seluruh kaliberasi data ada pada probe (Heinrich et al.,
2003).
Hidrasi kulit dan TEWL merupakan pengukuran non invasif yang penting
dalam dermatologi dan kosmetologi karena nilai pengukuran TEWL dan
kadar air stratum korneum dapat digunakan untuk menilai dan
membandingkan efikasi berbagai produk yang dioleskan pada kulit
terutama pelembab (Pedersen and Jemec, 2006). Pengukuran kelembaban
kulit dengan korneometri lebih mudah dan lebih reliabel dibandingkan
dengan pengukuran TEWL (Heinrich et al., 2003).
2.10.2. Transepidermal water loss (TEWL)
TEWL mencerminkan penguapan dari permukaan kulit. Salah satu
karakteristik kulit yang sehat adalah perbandingan yang proporsional
antara TEWL dan hidrasi kulit (Primavera et al., 2005). Pengukuran TEWL
hanya valid di dalam batas lapisan yang mengalami difusi pada tubuh
manusia yang kedalamannya sekitar 10 -30 m pada kondisi normal.
Sensitivitas instrumen juga dapat mengganggu hasil pengukuran TEWL
(Black et al., 2005).
Usia tidak terlalu banyak mempengaruh TEWL, tetapi pada periode
kehidupan tertentu dapat terjadi perubahan yang bermakna, misalnya
pada bayi prematur dengan kehamilan kurang dari 30 minggu akan
mengalami gangguan sawar epidermal tetapi dalam beberapa hari
setelah kelahiran akan terjadi maturasi sawar kulit (Primavera et al.,
2005).
Pengukuran TEWL menggunakan evaporimeter. Alat ini mempunyai probe
yang mengukur tekanan penguapan air parsial pada dua lokasi di atas
permukaan kulit, 3 mm dan 9 mm dengan bantuan dua pasang humidity
transducer dan thermistor. Perbedaan tekanan penguapan air parsial pada
kedua lokasi tersebut kemudian dikalkulasi dan dinyatakan sebagai gr/m2

per jam. Nilai TEWL normal adalah antara 2-5 gr/m2 per jam. Nilainya
dapat mencapai 90-100 gr/m2/ jam setelah stripping kulit atau pada
keadaan adanya lesi dermatitis atopik (Black et al., 2005).

2.12 Pelembab
Menurut Gabard (1994), pelembab adalah emulsi yang mengandung
substansi aktif yang dioleskan pada kulit dengan tujuan untuk rehidrasi
atau regenerasi kulit kering, kasar dan bersisik akibat xerosis, iritasi atau
oleh sebab lain. Sediaan pelembab adalah, lotion, krim, salep dan bath oil.
Pelembab bekerja dengan komposisi yang bersifat oklusif dan atau
humektan seperti halnya komponen pada NMF. Komposisi yang bersifat
oklusif secara fisik memblokir kehilangan air dari permukaan kulit (Hannon
and Maibach, 2005).
a. Substansi hidrofobik ini akan membentuk lapisan oklusif pada kulit yang
akan menurunkan TEWL dengan mencegah penguapan air.
b. Menjaga kadar lipid barrier kulit.
c. Contoh : petrolatum, beeswax, lanolin.
Komposisi yang bersifat
humektan bekerja dengan menarik air ke dalam kulit (Hannon and
Maibach, 2005).
a. Air yang diambil untuk mempertahankan kelembaban kulit berasal dari
lapisan epidermis yang lebih dalam, jarang dari lingkungan.
b. Hidrasi stratum korneum akan menormalkan lipid interselular dan
proses deskuamasi alami
c. Kulit menjadi lebih resisten terhadap kondisi kekeringan.
d. Humektan akan berperan seperti halnya natural hydrophilic humectants
dalam stratum korneum.
e. Yang termasuk humektan antara lain: asam amino, asam laktat, alpha
hydroxy acids, propylene glycol, glycerine dan urea.
f. Beberapa substansi di atas merupakan komponen NMF.
Selain komponen
mengandung:

oklusif

dan

humektan,

pelembab

juga

dapat

a. Komposisi bahan aktif lain yang dapat memperbaiki kelembutan kulit


dengan melubrikasi dan mengisi celah antar sel di antara sel yang kering,
yaitu bahan yang bersifat emolien (Simion and Story, 2005).

b. Bahan inaktif yang membantu melarutkan, menstabilkan, mengemulsi


sehingga didapatkan bentuk produk yang nyaman dipakai (Black, et al.
2005).
c. Pada umumnya pelembab mengandung 65-85% air dalam lotion. Air
berfungsi sebagai pelarut bagi bahan aktif dan inaktif. Banyaknya kadar
air juga memudahkan absorpsi dan evaporasi beberapa komponen
pelembab di samping berperan sebagai hydrating agent (Simion and
Story, 2005).
d. Pelembab yang berbentuk krim mengandung sedikit air dan lebih
banyak minyak atau bahan oklusif (Black et al., 2005).
e. Salep dengan bahan dasar minyak kadar airnya yang sangat kecil atau
tidak ada akan sangat berlemak dan oklusif (Black et al., 2005).
Dengan mengoreksi rasio 3 komponen utama lipid interseluler
(ceramides, kolesterol, dan asam lemak) pada kulit akan memperbaiki
kekeringan. Perlu penelitian yang lebih lanjut untuk menetapkan rasio
yang tepat. Pada kulit yang menua, terdapat defisiensi kolesterol sehingga
perlu formulasi kolesterol yang lebih banyak untuk formula pelembab
pada orangtua (Warner and Boissy, 2000).
Hidrasi yang adekuat bergantung pada adanya campuran intrinsic
hydroscopic water soluble material atau NMF (Irvine and Mc Lean, 2006).
2.11.1 Bahan-Bahan Pelembab
Bahan-bahan dalam formulasi pelembab antara lain:
a. Vaselin: berfungsi oklusif dan emolien, tidak bersifat komedogenik,
jarang menyebabkan alergi, tetapi bila digunakan tanpa campuran akan
terasa lengket, sehingga sebaiknya dicampur dengan bahan lain (Black et
al., 2005).
b. Lanolin: bekerja baik dengan lipid stratum korneum, karena lanolin
mengandung kolesterol yang merupakan bahan penting untuk
pembentukan lipid stratum korneum serta keduanya dapat bergabung
pada suhu kamar. Dapat terjadi sensitisasi terhadap lanolin (Black et al.,
2005).
c. Gliserin: bersifat humektan kuat, mempunyai kemampuan menyerap air
(NMF), terbuat dari asam amino, berfungsi menstabilkan dan memberi air
pada membran sel (Black et al., 2005).
d. Urea : Termasuk humektan, mempunyai efek antipruritus ringan,
dengan kadar 3% dan 10% dalam bentuk krim. Sering digunakan dalam

terapi topikal pada penyakit kulit lain misalnya psoriasis, iktiosis, dan
dermatitis atopik. Terdapat efek samping berupa kemerahan, rasa
tersengat dan rasa terbakar terutama pada lesi ekskoriasi yang baru
(Black et al., 2005).
e. Propilenglikol : sebagai humektan dan bahan oklusif, tidak berbau,
berbentuk cairan, serta larut dalam air, alkohol dan minyak, mempunyai
efek keratolitik, antimikrobial, dan meningkatkan penetrasi. Efek samping
berupa terjadi dermatitis alergi, iritasi dan rasa terbakar (Yu and Van
Scott, 2005).
f. Kolagen dan Polipeptida lain :
kolagen yang mampu melakukan
penetrasi ke dalam stratum korneum adalah kolagen yang mempunyai
berat molekul < 5000 dalton, yang akan melekat pada permukaan kulit
sehingga permukaan menjadi lebih rata dan halus, dan setelah kering
akan memberikan efek mengencangkan kulit yang bersifat sementara (Yu
and Van Scott, 2005).
g. Asam hidroksi alfa maupun beta dapat memudahkan pengelupasan
kulit. Asam alfa hidroksi membantu sintesis lipid interselular terutama
sintesis ceramide (Yu and Van Scott, 2005).

2.11.2 Mekanisme Aksi Pelembab


Pelembab bekerja pada berbagai lokasi pada epidermis, dengan
pengolesan moisturizer akan meningkatkan kandungan air karena terjadi
peningkatan absorpsi per kutan terhadap air. Peningkatan ini terjadi
karena adanya substansi yang mampu menahan air (humektan) sehingga
konsentrasi air pada permukaan kulit meningkat (Johnson and Anthony,
2005).

Gambar
Hidrasi Kulit Sangat Dipengaruhi oleh Kadar GAG dan Proteoglycans
Proteoglycans, Glycoproteins dan Glycosaminoglycans merupakan
regulator yang mengaktifkan fungsi sel. Berinteraksi dengan matriks
ekstrasel dan memiliki peran biologi yang penting dalam proliferasi
(Kligman, 2000).
Mekanisme pelembaban kulit tidak terlepas dari sinyal kaskade
yang memerlukan HA sebagai salah satu reseptor untuk membawa sinyal
pada permukaan kulit agar mempertahankan kelembaban kulit (Bertozzi
and Rabuka, 2009).
Pelembab digunakan untuk melembabkan kulit sehingga gejala dan
tanda kekeringan kulit, bersisik, permukaan yang kasar menjadi lembut
dan halus. Pelembab berbeda dengan barrier cream yang digunakan
untuk melindungi pajanan bahan kontak yang menyebabkan dermatosis
(Kligman, 2000). Pelembab memiliki manfaat yang tidak saja
melembabkan kulit, tetapi juga dapat mengobati dermatosis kronik seperti
dermatitis atopik dan psoriasis karena dapat memperbaiki kerusakan
sawar kulit. Pelembab sering digunakan sebagai antiinflamasi pada pasien
yang diterapi dengan psoralen yang dikombinasi dengan UVA (PUVA)
(Kligman, 2000). Pelembab yang digunakan selama lebih dari 6 bulan

sangat efektif untuk mengurangi photodamaged pada kulit wajah (Johnson


and Anthony, 2005).
2.12 Saccharide Isomerates (SI)
SI diproduksi sebagai salah satu jawaban dari perkembangan
Glycobiology untuk mendapatkan mekanisme pelembaban kulit yang
efektif. SI merupakan molekul gula yang dibentuk sedemikian rupa agar
menyamai kondisi glycan pada kulit.
Untuk mendapatkan efek
pelembaban kulit yang optimal dengan menggunakan bahan pelembab
topikal, maka barrier-repairing yang dikandung dalam lipid pada pelembab
diupayakan sama dengan lipid intraseluler pada kulit. Kombinasi asam
lemak, ceramide dan kolesterol pada pelembab dapat memperbaiki
kerusakan lipid bilayers akibat sabun, cairan yang iritatif, kondisi
lingkungan yang sangat kering, cuaca dingin dengan mengganti
komponen lipid yang berpengaruh (Warner and Boissy, 2000).
SI merupakan kompleks karbohidrat yang sama dengan yang ada
pada stratum korneum kulit manusia. Berfungsi mempertahankan
kelembaban sekalipun dalam kelembaban udara yang rendah. SI dapat
berikatan dengan kulit sekalipun dalam kondisi pH yang sangat rendah
sehingga sangat ideal bila digunakan bersama dengan bahan pelembab
yang mengandung Alpha hydroxy acid (AHA) (Pentapharm, 2009). Rumus
bangun molekul disaccharide isomerate disajikan pada Gambar 2.19.

Gambar 2.19 Rumus Bangun dari Disaccharide Isomerates


Komposisi SI yang sesuai dengan HA berperan sebagai pelembab
yang efektif mengendalikan kelembaban kulit dengan berikatan pada grup
asam amino lisin yang ada pada keratin stratum korneum. Karena
ikatannya sangat kuat, maka akan tetap efektif sekalipun berada pada
udara yang kering dan kelembabannya rendah. SI memiliki ikatan yang
kuat dengan stratum korneum yang hanya bisa terlepas dengan proses
deskuamasi, oleh karena itu sangat efektif melembabkan kulit, di samping
itu juga dapat membuat kulit menjadi lebih halus dan tidak gatal
(Pentapharm, 2009).
SI dapat bersifat sebagai komponen oklusif dan humektan. Dalam
bahan pelembab juga dapat mengandung bahan aktif lain yang dapat
memperbaiki kelembutan kulit dengan melubrikasi dan mengisi celah
antar sel di antara sel yang kering, yaitu bahan yang bersifat emolien
(Simion and Story, 2005).

Kombinasi
SI
dan
berbagai
bahan
pelembab
berperan
mengefektifkan kelembaban kulit dengan berikatan pada grup asam
amino lisin yang ada pada keratin stratum korneum. Karena ikatannya
sangat kuat, maka akan tetap efektif sekalipun berada pada udara yang
kering dan kelembabannya rendah (Pentapharm, 2009).
Pelembab juga ditambahkan bahan yang mengandung bahan inaktif
yang membantu melarutkan, menstabilkan, mengemulsi sehingga
didapatkan bentuk produk yang nyaman dipakai (Warner and Boissy,
2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan produsen Saccharide
Isomerate, sebelum dipasarkan, didapatkan hasil bahwa ikatan SI dengan
dengan stratum korneum. Oleh karena itu hanya bisa terlepas dengan
proses deskuamasi, oleh karena itu sangat efektif melembabkan kulit, di
samping itu juga dapat membuat kulit menjadi lebih halus dan tidak gatal
(Pentapharm, 2009).

Anda mungkin juga menyukai