DISUSUN OLEH:
TUGAS 1 KELOMPOK 5 KELAS A
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Kulit
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi
utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan
lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati),
respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan
pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai
peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono
dan Latifah, 2007).
2.2 Struktur Kulit
Struktur kulit Menurut Anief (1997), secara mikroskopik lapisan kulit terbagi menjadi
tiga, yaitu:
1. Epidermis merupakan lapisan kulit paling luar dan berfungsi sebagai sawar dasar dari
kulit terhadap kehilangan air, elektrolit, dan nutrisi dari badan dan sawar dasar
terhadap penetrasi air dan substansi asing dari luar badan, yang dapat dibagi menjadi 5
lapisan yaitu :
a. Stratum corneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan paling luar yang tersusun dari
sel mati berkeratin dan merupakan sawar kulit terhadap kehilangan air. Bila air yang
dikandung stratum korneum hilang, kulit akan menjadi kering dan bersisik dan juga
apabila terjadi dehidrasi stratum korneum sampai kira-kira di bawah 10% air akan
menimbulkan celah, dan Universitas Sumatera Utara 7 membuka jalan bagi substansi
iritan dan mikroorganisme masuk ke dalam kulit. Hilangnya stratum korneum
memberi jalan penguapan (evaporasi), kekurangan komponen sel, dan terjadinya
penetrasi substansi asing tanpa ada halangan (Anief, 1997).
b. Stratum lucidium merupakan sel-sel permukaan bertanduk setelah mengalami
proses diferensiasi. Stratum lucidium terdapat di bawah lapisan tanduk dan bertindak
juga sebagai sawar, dapat dilihat jelas pada telapak kaki dan tangan (Anderson,1996).
c. Stratum granulosum (lapisan butir) merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di dalamnya (Wasitaatmadja,
1997). Sel-sel pada stratum granulosum ini pipih dan banyak mengandung partikel
berwarna gelap yang disebut granula keratohialin. Di dalam sitoplasma dari stratum
granulosum ini terdapat organel yang disebut granula lamela yang berfungsi sebagai
pertahanan bagi epidermis (Brown dan Burns, 2005).
d. Stratum spinosum (lapisan sel duri) merupakan sel yang berbentuk poligonal
(banyak sudut) dan mempunyai banyak tanduk atau spina. Stratum spinosum adalah
keratinosit yang membentuk keratin suatu protein fibrosa. Pada waktu keratinosit
meninggalkan stratum spinosum dan bergerak ke atas, sel sel ini akan mengalami
perubahan bentuk, orientasi, struktur sitoplasmik dan komposisi. Proses ini
mengakibatkan transformasi dari sel-sel hidup (aktif mensintesis) menjadi sel yang
mati dan bertanduk pada stratum corneum. Proses ini disebut keratinisasi (Syaifuddin,
2006). Di antara sel sel stratum spinosum terdapat sel Langerhans yang mempunyai
peran penting dalam sistem imun tubuh (Tranggono dan Latifah, 2007).
e. Stratum germinativum (lapisan sel basal) merupakan lapisan terbawah epidermis.
Di dalamnya terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel yang tidak mengalami keratinisasi
dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan melalui dendrit diberikan
kepada sel-sel keratinosit. Satu sel melanin untuk sekitar 36 sel keratinosit disebut
unit melanin epidermal (Tranggono dan Latifah, 2007). Melanin melindungi kulit dari
pengaruh matahari yang merugikan. Sebaliknya sinar matahari meningkatkan
pembentukan melanosom dan melanin (Price, 2002).
2. Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis dan terdiri dari serabut-serabut kolagen
dan elastin, yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit. Dermis
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, gelembung rambut, kelenjar lemak
(sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut saraf dan corpus pacini (Anief, 1997).
Lapisan dermis termasuk bagian terpenting pada tubuh, bukan hanya menyediakan
gizi, memberi kekebalan dan menyangga epidermis, tetapi juga berperan dalam
mengatur suhu, tekanan dan rasa sakit (Walters, 2007).
3. Hipodermis merupakan lapisan di bawah dermis, tersusun dari lapisan sel adiposa dan
sebagai lambang “bantalan” dari lemak antara kulit dan organ yang berada di
bawahnya. Biasa disebut dengan lapisan subkutis, berperan sebagai isolator panas,
menyerap getaran dan untuk penyimpanan energi. Lapisan ini merupakan jaringan sel
lemak yang langsung berhubungan dengan dermis melalui hubungan kolagen dan
serat elastin. Selain sel lemak, lapisan ini terdiri dari fibroblas dan makrofag. Salah
satu peran utama dari hipodermis adalah menopang pembuluh darah dan sistem saraf
(Walters, 2007).
2.3 Warna Kulit
Warna kulit sangat beragam, dari yang berwarna putih mulus, kuning, cokelat,
kemerahan, atau hitam. Warna kulit terutama ditentukan oleh:
- Oxyhemoglobin yang berwarna merah
- Hemoglobin tereduksi yang berwarna merah kebiruan
- Melanin yang berwarna cokelat
- Keratohyalin yang memberikan penampakan opaque pada kulit
- Lapisan-lapisan stratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabu-
abuan.
Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit, yang paling menentukan warna kulit
adalah pigmen melanin. Banyaknya pigmen melanin di dalam kulit ditentukan oleh
faktor-faktor ras, individu, dan lingkungan (Tranggono, 2007: 27).
2.3.1 Melanin dan mekanisme pigmentasi
Melanin adalah pigmen alamiah kulit yang memberikan warna cokelat. Melanin dibuat
dari tirosin sejenis asam amino dan dengan oksidasi tirosin diubah menjadi butiran-
butiran melanin yang berwarna coklat, serta untuk proses ini perlu adanya enzim
tirosinase dan oksigen. Oksidasi tirosin menjadi melanin berlangsung lebih lancar pada
suhu yang lebih tinggi atau dibawah sinar ultraviolet. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi
pigmen melanin kulit terjadi pada butir-butir melanosom yang dihasilkan oleh sel-sel
melanosit yang terdapat di antara sel-sel basal keratinosit di dalam lapisan-lapisan benih
(Kusantati, 2008: 82).
Pembentukan melanosom di dalam melanosit melalui 4 fase (Tranggono, 2007: 28)
yaitu:
Fase I : Permulaan pembentukan melanosom dari matriks protein dan tirosinase,
diliputi membran dan berbentuk vesikula bulat.
Fase II : Disebut pramelanosum, pembentukan belum sempurna belum terlihat adanya
pembentukan melanin.
Fase III : Mulai nampak adanya deposit melanin di dalam membran vesikula. Disini
mulai terjadi melanisasi melanosom.
Fase IV : Deposit melanin memenuhi melanosom yang merupakan partikelpartikel padat
dan berbentuk sama.
Proses melanisasi melanosom terjadi di fase III dan fase IV sebelum melanosom
dieksresikan ke keratinosit. Pembentukan melanin di dalam melanosit sangat kompleks.
Ada 2 macam pigmen melanin dengan variasi warna yang terjadi (Tranggono, 2007 :
29):
1) Eumelanin : memberikan warna gelap, terutama hitam, cokelat dan variasinya, serta
mengandung nitrogen.
2) Feomelanin : memberikan warna cerah, kuning sampai merah, mengandung nitrogen
dan sulfur.
Dampak buruk sinar UV untuk kulit yaitu :
- Kemerahan pada kulit, yang merupakan suatu bentuk iritasi kulit yang terpapar sinar
ultraviolet. Biasanya gejala ini juga disertai rasa gatal pada bagian kulit yang
memerah.
- Kulit terasa seperti terbakar
- Dapat menimbulkan eritema, Eritema merupakan kondisi dimana kulit kaki
mengalami kemerahan dan bengkak.
- Dapat memicu pertumbuhan sel kanker, Paparan sinar UV dapat menimbulkan
terjadinya kerusakan fotokimia pada DNA dari sel-sel yang berada di dalam tubuh.
Hal ini akan memicu terbentuknya kanker, terutama kanker kulit pada manusia.
- Kulit dapat kehilangan elastisitas, Paparan sinar UV A yang dapat menembus bagian
demis kulit dapat merusak sel-sel yang berada pada dermis. Hal ini membuat
elastisitas kulit menjadi berkurang. Kerutan pada kulit merupakan salah satu efek
samping dari hilangnya dan berkurangnya elastisitas kulit.
- Pigmentasi yang berlebihan, penebalan sel tanduk, dan aging (penuaan kulit).
Sengatan matahari yang berlebihan juga dapat menyebabkan kelainan kulit mulai dari
dermatitis ringan (biasanya ditandai gejala ringan berupa sedikit memerah kering,
bersisik, dapat menimbulkan gatal ataupun tidak)
Evaluasi Efektifitas :
1. Penentuan nilai SPF in vitro
Nilai SPF in vitro diperoleh dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis
dengan pelarut dan blanko isopropanol. Larutan dalam kuvet 2 cm yang akan
mengandung serapannya harus mengandung bahan aktif yang ekivalen dengan
0,001% atau 0,01 g / l yang berarti 10 mg / l atau 10 ppm. Dalam penelitian ini
dilakukan dalam kuvet 1 cm, sehingga bahan aktif yang dibutuhkan ekivalen dengan
0,002% atau 0,02 g / l (Petro 1981). Dari hasil penilaian, nilai yang diperoleh berubah
menjadi nilai serapan untuk konsentrasi, 20 ppm pada masing-masing panjang
gelombang.
2. Persen Transmisi Eritema (Windono, 1997: 39)
Dari data pengamatan nilai transmitan pada berbagai panjang gelombang dapat
dihitung persen transmisi eritema dengan cara sebagai berikut:
1. Nilai transmisi eritema adalah T.Fe Perhitungan nilai transmisi eritema tiap
panjang gelombang (panjang gelombang 292,5 – 372,5 nm).
2. Banyaknya fluks eritema yang diteruskan oleh bahan tabir matahari (Ee)
dihitung dengan rumus : Ee = ∑T.Fe
3. Kemudian % transmisi eritema dihitung dengan rumus :
% transmisi eritema = 𝐸𝑒 ∑Fe
Dimana :
T = nilai transmisi
Fe = fluks eritema
Ee = ∑T.Fe = banyaknya fluks eritema yang diteruskan oleh ekstrak pada
panjang gelombang 292,5 – 317,5 nm.
∑Fe = jumlah total energi sinar UV yang menyebabkan eritema.
3. Persen Transmisi Pigmentasi (Windono, 1997: 39)
Nilai persen transmisi pigmentasi dihitung dengan cara sebagai berikut:
1. Nilai transmisi pigmentasi adalah T.Fp Perhitungan nilai transmisi pigmentasi tiap
panjang gelombang (panjang gelombang 292,5 – 372,5 nm).
2. Banyaknya fluks pigmentasi yang diteruskan oleh bahan tabir surya (Ep) dihitung
dengan rumus : Ep = ∑T.Fp.
3. Kemudian % transmisi pigmentasi dihitung dengan rumus :
% transmisi pigmentasi = 𝐸𝑝 ∑Fp
Dimana :
T = nilai transmisi
Fp = fluks pigmentasi
Ep = ∑T.Fp = banyaknya fluks pigmentasi yang diteruskan oleh ekstrak pada
panjang gelombang 322,5 – 372,5 nm.
∑Fp = jumlah total energi sinar UV yang menyebabkan pigmentasi.
2.8 Praformulasi Bahan
1. Zat Aktif
a. Avobenzone
Avobenzone merupakan filter UV disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration).
Nama kimia : 1-(4-tert-butylphenyl)-3-(4-methoxyphenyl)propane-1,3-dione
Nama dagang : Avobenzone, Parsol 1789; Butyl methoxydibenzoylmethane; Escalol
517; Eusolex 9020
Berat Molekul : 310.393 g/mol Rumus bangun : C20H22O3
Pemerian : serbuk kristal berwarna putih kekuningan dan bau aromatis lemah
Kelarutan : Larut dalam minyak menunjukkan absorbsi yang besar pada UV-A
dengan panjang gelombang 360 nm (Barel, dkk., 2009).
Stabilitas : Avobenzone bersifat tidak stabil, yaitu terdegradasi dalam waktu
yang cepat saat terpapar UV, paparan selama 15 menit menyebabkan
36% avobenzone terdegradasi (Auerbach, 2011).
Konsentrasi : Konsentrasi penggunaan minimum telah ditetapkan sebesar 2% dan
maksimum 3% (Barel, dkk., 2009).
Penyimpanan : disimpan pada suhu 15-400c
Kegunaan : UV Protector
b. Oktil Metoksisinamat
Oktil metoksisinamat merupakan penyerap UV B yang bagus, dimana memiliki
panjang gelombang maksimum 311 nm. Merupakan bahan yang paling banyak
digunakan pada sediaan tabir surya di seluruh dunia. Oktil metoksisinamat termasuk
pada turunan sinamat, yang sekarang ini merupakan pengganti dari golongan asam p-
aminobenzoat.
Nama kimia : 2-ethilheksil-3-(4-metoksifenil)-2-propenoat
Nama dagang : Eusolex 2292, Escalol 557, NeoHolipan, Parsol MCX
Rumus bangun : C18H26O3
Berat Molekul : 290,40 g/mol
Pemerian : berwarna bening berupa cairan
Kelarutan : Oktil metoksisinamat memiliki kelarutan yang bagus pada minyak
dan paling efektif meningkatkan SPF jika dikombinasikan dengan
bahan lainnya (Harry, 2000).
Konsentrasi : Penggunaan berkisar antara 2- 7,5% (Walhberg, dkk., 1999).
Kegunaan : UV Protector
c. Oksibenzon
Okzibenzon merupakan turunan dari benzofenon. Tabir surya benzofenon memiliki
absorbansi pada panjang gelombang lebih besar dari 320 nm dan digolongkan sebagai
tabir surya UVA. Oksibenzon juga banyak digunakan dengan konsentrasi mencapai
10% dengan kombinasi tabir surya UVB untuk memberikan spektrum perlindungan
(Butler, 2000).
Pemerian : Kristal padat. Berbau seperti mawar.
Berat Molekul : 228,25 g/mol
Kelarutan : Larut dalam minyak (lipofilik)
Konsentrasi : Menurut FDA penggunaan oksibenzon mencapai konsentrasi
maksimal hanya 6%.
OTT : Tidak kompatibel dengan senyawa oksidator kuat
Kegunaan : UV Protector
d. Titanium Dioksida
Titanium dioksida atau anatase titanium dioxide memiliki rumus kimia TiO2
Pemerian : Serbuk putih, tidak berbau dan tidak berasa.
Berat Molekul : 79,866 g/mol
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam pelarut organik, larut dalam asam sulfat
pekat
Kegunaan : Titanium dioksida memiliki aktivitas fotokatalitik yang tinggi, stabil
dan tidak beracun. (UV Protector)
b. Span 80
Pemerian : Cairan kental seperti minyak jernih, kuning, bau asam lemak khas
Kelarutan : Mudah larut dalam air, etanol 95%P, sukar larut dalam parafin cair
dan dalam minyak biji kapas.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai surfaktan
d. Mineral Oil
Pemerian : Cairan bening, mirip minyak; tidak berwarna; bebas atau praktis
bebas dari fluoresensi; jika dingin, tidak berbau dan tidak berasa;
jika dipanaskan berbau minyak tanah, lemah.
h. Aquadest
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan kebanyakan pelarut polar.
Berat Jenis : 0,9971 pada 250C.
Kegunaan : Pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
OTT : Dapat bereaksi dengan obat dan bahan tambahan lain yang
dapat menghidrolisis pada temperatur yang ditingkatkan. Air
dapat bereaksi dengan logam alkali dan oksida-oksida seperti
kalsium oksida dan magnesium oksida. Air juga dapat
bereaksi dengan gram-garam anhidrat untuk membentuk
hidrat-hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan material
organik dan kalsium karbida.
i. TEA (Trietanolamin)
Bobot molekul : 149,19 (Rowe et al, 2003).
Pemeriaan : Trietanolamina tak berwarna, berwarna kuning pucat, cairan
kental, memiliki sedikit bau amoniak. Trietanolamina adalah
campuran basa terutama 2,20,200-nitrilotriethanol, meskipun
juga mengandung dietanolamina dan jumlah yang lebih kecil
dari monoetanolamina (Rowe et al, 2003).
j. Asam Stearat
Bobot molekul : 284.47 g/mol (Rowe et al, 2003).
Pemeriaan : Asam stearat berbentuk padat, berupa kristal padat atau
serbuk putih atau kekuningan, mengkilap, bau lemah (Rowe
et al, 2003).
Penggunaan : Pada penggunaan topikal, asam stearat digunakan sebagai
agen pengemulsi dan agen untuk meningkatkan kelarutan
(Rowe et al, 2003).
Titik lebur : 69-70oC (Rowe et al, 2003).
Koefisien partisi : Log (minyak : air) = 8,2 (Rowe et al, 2003).
Kelarutan : Sangat larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform,
dan eter; larut dalam etanol 95%, hexan, dan propilen glikol;
praktis tidak larut dalam air (Rowe et al, 2003).
Stabilitas : Asam stearat adalah material yang stabil, antioksidan juga
dapat ditambahkan pada asam stearat (Rowe et al, 2003).
Penyimpanan : Pada wadah tertutup rapat, ditempat yang sejuk dan kering
(Rowe et al, 2003).
Inkompatibilitas : Asam stearat tidak tercampurkan dengan kebanyakan logam
hidroksida dan basa, agen pereduksi, dan agen pengoksidasi.
Basis ointment yang dibuat dari asam stearat dapat
menunjukkan pengeringan atau penggumpalan berkaitan
dengan reaksi ketika dicampurkan dengan garam zink atau
garam kalsium. Asam stearat tidak tercampurkan dengan
obat naproxen (Rowe et al, 2003).
k. Dimethicone
Pemerian : Cairan tidak berwarna dan tersedia dalam berbagai macam
viskositas
Kelarutan : Larut dengan etil asetat , metil etil keton, minyak mineral,
eter, kloroform, dan toluene, larut dalam isopropil
miristat, sangat sedikit larut dalam etanol (95 %), praktis tidak
larut dalam gliserin, propilen glikol, dan air.
Pemakaian lazim : 10-30%
Kegunaan : Pelembab
l. Asam malat
Asam malat merupakan salah satu golongan alpha hydroxy acid (AHA) yang
memiliki empat rantai karbon (Barel et al., 2009). Memiliki rumus empiris C, H, O5
dengan berat molekul 134,09.
Pemerian : Merupakan serbuk berbentuk kristal, berbentuk bundar, memiliki
rasa asam kuat, dan tahan higroskopis.
Kelarutan : Asam malat larut dalam aston, dietil, metanol, propilen glikol dan
udara. Asam malat memiliki pH 2,35 biasanya digunakan sebagai
buffering agent, chelating agent, flavoring agent, dan agen
terapeutik (Rowe et al., 2009).
Kegunaan : Asam malat juga dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi yaitu
dengan cara menurunkan kohesi antara komposit pada stratum
korneum (Barel et al., 2009).
m. Sorbitol
Pemerian : Serbuk, butiran atau kepingan; putih; rasa manis; higroskopik
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%) P, dalam
methanol P dan dalam asam asetat P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Humektan
PEMBAHASAN
3.1 Formulasi
Formula Karakteristik
F1 Krim dari formula ini memiliki krim tekstur lembut, berwarna putih dan tidak
beraroma. Memiliki perlindungan UV yang baik. Sediaan ini memiliki pH yang
sesuai dengan kulit wajah.
F2 Krim dari formula ini memiliki konsistensi kental, warna putih, tekstur lembut,
serta bau khas. Berwarna putih disebabkan oleh titanium dioksida yang berwarna
putih dan bersifat opak. Titanium dioksida memberikan perlindungan UVB yang
baik dan memiliki intensitas warna putih yang pekat. memiliki tipe emulsi oil in
water (o/w) atau minyak dalam air (m/a). pH sesuai dengan pH kulit dan wajah.
F3 Krim dari formula ini memiliki penampakan fisik berwarna putih, bersifat semi
padat, tekstur lembut serta homogenitas yang cukup baik. Nilai pH sediaan krim
sesuai dengan rentang pH normal kulit sehingga sediaan krim memenuhi
keamanan untuk digunakan pada kulit terutama wajah dan memiliki tingkat SPF
yang baik.
Komponen Sediaan
F1 F2 F3
Bahan Aktif Bahan Aktif Bahan Aktif
Emulsifying Agent Emulsifying Agent -
Surfaktan - Surfaktan
Humektan Humektan Humektan
Emollient Emollient Emollient
Siffening Agent Siffening Agent Siffening Agent
Acidfying agent - -
Antifoaming agent - -
- Pengawet Pengawet
Pelarut Pelarut Pelarut
F1 F2 F3
Prinsip pembuatan krim Prinsip pembuatan krim Prinsip pembuatan krim
adalah pencampuran adalah pencampuran adalah pencampuran
beberapa bahan yang disertai beberapa bahan yang disertai beberapa bahan yang disertai
pengadukan dan pemanasan pengadukan dan pemanasan pengadukan dan pemanasan
yang sempurna. Bahan yang sempurna. Bahan yang sempurna. Bahan
dipisahkan menjadi dua dipisahkan menjadi dua dipisahkan menjadi dua
bagian, yaitu bahan yang bagian, yaitu bahan yang bagian, yaitu bahan yang
larut dalam minyak dan larut dalam minyak dan larut dalam minyak dan
bahan yang larut dalam air. bahan yang larut dalam air. bahan yang larut dalam air.
Pembuatan sediaan krim tabir Semua bahan ditimbang Fase minyak (minyak
surya dilakukan dengan terlebih dahulu. Pertama- mineral, propil paraben, Span
melebur pada hot plate pada tama, dibuat bagian minyak 80, dan setil alkohol) dan
suhu 70ᵒC sampai diperoleh dengan cara melelehkan fase air (air, metil paraben,
fase minyak avobenzone, dimethicone, mineral oil, Tween 80, gliserin, dan
octyl methoxycinnamate, asam stearat, dan setil propilen glikol) dipanaskan
asam stearat, setil alkohol, alkohol, dalam cawan di atas hot plate stirrer pada
dan simetikon. Fase air yaitu porselen (a) yang kemudian suhu 65- 75C secara
Sorbitol, tween 80, TEA, dan dipanaskan di atas penangas terpisah. Fase air
akuades dipanaskan di atas air sambil diaduk hingga ditambahkan ke dalam fase
hot plate pada suhu 70ᵒC suhu kurang lebih 75°C. Pada minyak sedikit demi sedikit
sampai melebur. Fase cawan porselen yang lain, sambil terus diaduk diatas hot
minyak dan fase air pada dibuat bagian air dengan plate stirrer. Sediaan krim
suhu yang sama dicampurkan mencampurkan TEA, didinginkan dengan terus
secara bersamaan pada mortir gliserin, dan metil paraben diaduk. Zat aktif
panas dan diaduk konstan kemudian ditambah sebagian ditambahkan ke dalam
hingga terbentuk masa krim akuades dan dipanaskan di sediaan krim sesuai formula
berwarna putih, lalu setelah atas penangas air hingga kemudian diaduk hingga
mortir dingin tambahkan suhu 75°C (b). Selanjutnya homogen. Setelah itu
ZnO yang telah diayak dan campuran (a) dimasukkan ke terbentuk krim wajah untuk
asam malat kemudian diaduk dalam gelas beker lalu mencegah sinar UV.
hingga homogen. ditambahkan oksibenzon.
Setelah tercampur,
ditambahkan campuran (b)
secara perlahan sambil
dilakukan pengadukan
konstan sampai homogen dan
terbentuk korpus emulsi oleh
alat pendispersi. Setelah
terbentuk korpus emulsi
minyak dalam air, titanium
dioksida dimasukkan ke
dalam campuran. Campuran
diaduk menggunakan stirer
berkecepatan 250 rpm selama
25 menit hingga homogen.
Tween 80 1 Surfaktan
Sorbitol 6 Humectan
Dimethicone 4 Emollient
Membuat formulasi sediaan topikal tidak hanya dengan optimasi penghantaran zat
aktif tetapi juga harus memenuhi persyaratan stabilitas fisika dan kimia, tidak toksik, dan
estetika (Smith et al., 2000). Pengujian organoleptis merupakan pengamatan secara
kualitatif meliputi konsistensi, warna, tekstur, dan bau terhadap sediaan krim o/w
kombinasi oksibenzon dan titanium dioksida yang dihasilkan. titanium dioksida
berwarna putih disebabkan oleh titanium dioksida yang berwarna putih dan bersifat opak.
Titanium dioksida memberikan perlindungan UVB yang baik dan memiliki intensitas
warna putih yang pekat. Viskositas, merupakan salah satu respon optimasi yang penting
untuk karakter emulsi yang berbasis krim. Viskositas merupakan parameter yang
menggambarkan tentang besarnya tahanan suatu cairan untuk mengalir. Semakin besar
tahanannya, maka viskositas juga akan semakin besar (Sinko, 2006). Krim dengan
viskositas yang terlalu tinggi maka akan sulit dituang ke dalam wadah, sedangkan krim
dengan viskositas yang terlalu rendah menghasilkan krim yang encer dan mudah menetes
saat diaplikasikan sehingga tidak tinggal seluruhnya pada permukaan kulit.
Viskositas krim ditetapkan dengan viscotester VT-04E (Rion Co, Ltd), rotor no 1.
Menurut (Langenbucher dan Lange 2007), viskositas yang dapat diterima untuk sediaan
semisolid yang menbutuhkan pemencetan dari tube adalah 50-1000 dPas dengan nilai
optimumnya 200 dPas. sediaan krim merupakan sediaan topikal yang diaplikasikan
dengan cara dioleskan. Daya sebar merupakan bagian dari psikoreologi yang dapat
dijadikan sebagai parameter aseptabilitas (Martin et al., 1993). Daya sebar yang optimum
akan memudahkan krim menyebar saat dioleskan pada permukaan kulit tanpa perlu
tekanan yang besar. Pada umumnya daya sebar memiliki kaitan dengan viskositas.
Apabila viskositas rendah, maka daya sebar krim akan semakin besar karena krim akan
semakin mudah mengalir dan menyebar pada permukaan kulit.
Daya lekat, krim berkaitan dengan seberapa lama kemampuan krim melekat pada
kulit. Krim tabir surya harus memiliki daya lekat yang optimum agar efektif dalam
melindungi kulit dari paparan sinar matahari namun tetap mudah dihilangkan dengan
pencucian menggunakan air. Krim yang terlalu lengket akan tidak nyaman digunakan
dan mudah mengabsorpsi debu, sedangkan krim yang tidak lengket memiliki daya
proteksi yang singkat sehingga perlu pengulangan pengaplikasian krim. Pengujian pH
bertujuan untuk mengevaluasi keamanan krim yang dihasilkan sehingga tidak
mengiritasi kulit. Sediaan krim yang dihasilkan sebaiknya memiliki pH yang mendekati
pH normal kulit, yaitu 4,5-6,5 (Draelos & Thaman, 2006). pH krim yang terlalu asam
dapat menyebabkan iritasi pada kulit, sedangkan pH krim yang terlalu basa dapat
menyebabkan kulit bersisik. Jumlah TEA yang ditambahkan mempengaruhi pH produk
yang dihasilkan (Swarbick & Boylan, 1996). TEA merupakan basa kuat, sehingga
dengan adanya konsentrasi TEA yang tinggi akan menyebabkan proses netralisasi
semakin cepat terjadi menghasilkan pH yang semakin mendekati basa. Dalam uji tipe
emulsi emulgator yang digunakan yaitu TEA Stearat merupakan emulgator yang larut
dalam air. Banchroft rule menyatakan fase dimana emulgator larut adalah fase eksternal
(Myers, 2006). Oleh sebab itu, terbukti bahwa krim yang dihasilkan memiliki tipe emulsi
oil in water (o/w) atau minyak dalam air (m/a).
Cycling test, uji stabilitas dipercepat cycling test dilakukan dengan mengondisikan
sediaan krim pada siklus panas (45°C) dan dingin (4°C) yang ekstrim secara bergantian
(Amnuaikit & Boonme, 2015). Dengan cara ini diperoleh gambaran stabilitas sediaan
krim pada kondisi penyimpanan jangka panjang dalam waktu uji yang dipercepat. Hasil
cycling test formula 2 krim o/w kombinasi oksibenzon dan titanium dioksida tidak
mengalami pemisahan fase setelah melewati 6 siklus cycling test. Emulgator TEA stearat
mampu menghasilkan lapisan antarmuka yang kompleks dan rapat yang tidak
dipengaruhi siklus suhu pada kondisi dipercepat menghasilkan krim yang stabil pada
cycling test.
Uji aktivitas tabir surya secara In Vivo, uji aktivitas formula optimum krim o/w
kombinasi oksibenzon dan titanium dioksida secara in vivo dilakukan dengan mengukur
aktivitas daya perlindungan krim tabir surya terhadap kelinci betina galur New Zealand
White. Nilai SPF dihitung dengan cara membandingkan Minimal Erythema Dose (MED)
pada kulit yang terlindung tabir surya dibandingkan MED yang sama pada kulit yang
tidak terlindungi. Banyaknya krim yang dioleskan yaitu 2mg/cm2 (Kim et al., 2010).
Banyak faktor yang mempengaruhi efek tabir surya, seperti kemampuan penyerapan
kulit, frekuensi aplikasi, kepadatan, basis tabir surya, serta terutama jumlah tabir surya
yang diaplikasikan (Kim et al., 2010). Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa nilai
SPF formula 2 krim o/w kombinasi oksibenzon dan titanium dioksida yaitu 12.
Formula 3
Tween 80 3 Surfaktan
Gliserin 10 Humectan
Pemilihan zat aktif nano partikel zink oksida karena zink oksida yang berukuran nano
dapat meningkatkan daya hambur terhadap radiasi sinar UV, sehingga terjadipenurunan
nilai transmisi pigmentasi. Zat ini lebih efektif dari pada zink oksida yang berukuran
besar. Evaluasi stabilitas fisik yang dilakukan meliputi: pemgamatan organoleptik, uji
viskositas, penentuan pH, uji daya sebar, uji daya lekat, dan uji stabilitas. Pengujian
organoleptis dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik sediaan krim tabir surya
yang meliputi bentuk, tekstur, warna dan aroma krim sesuai dengan yang diharapkan.
Pengujian pH dilakukan untuk menjamin pH sediaan sesuai dengan pH kulit sehingga
tidak terjadi iritasi pada kulit dan nyaman digunakan pada pemakaian berulang. pH yang
dapat ditoleransi kulit untuk tidak mengiritasi yaitu 4,5-6,5. Nilai pH sediaan krim
formulasi 3 sesuai dengan rentang pH normal kulit wajah sehingga sediaan krim
memenuhi keamanan untuk digunakan pada kulit.
Pada emulsi semipadat, setil alkohol memiliki kelebihan jika dikombinasikan dengan
pengemulsi fase air karena dapat membentuk fase kontinu viskoelastis yang memberi
sifat semipadat sehingga dapat memperbaiki tekstur dan meningkatkan viskositas. Pada
uji daya sebar dapat dilihat bahwa Tween 80 dengan kadar tinggi dan kenaikan level setil
alkohol dapat menurunkan daya sebar. Penurununan daya sebar dipengaruhi oleh
viskositas yang semakin tinggi, begitu pula sebaliknya dengan penurunan viskositas
maka daya sebarnya semakin luas. Meningkatnya viskositas sediaan krim dipengaruhi
oleh kadar setil alkohol yang semakin tinggi. Pada uji daya lekat kombinasi setil alkohol
dan Tween 80 dapat meningkatkan viskositas sediaan krim sehingga konsistensinya akan
lebih kental. Peningkatan viskositas sediaan krim akan meningkatkan daya lekat begitu
pula sebaliknya. Daya lekat krim yang baik yaitu tidak kurang dari 4 detik (Genatrika et
al., 2016; Wasitaatmadja, 1997).
Pengujian stabilitas sediaan krim dilakukan dengan mengamati sediaan krim secara
organoleptis serta dilakukan pengukuran pH krim selama 4 minggu. Menurut Rowe 10 et
al., (2009) kombinasi setil alkohol dengan pengemulsi fase air dalam sediaan semisolid
dapat menghasilkan barrier monomolekuler yang rapat pada antar muka minyak dan air
sehingga membentuk penghalang mekanis mencegah koalesen droplet. Nilai SPF
berhubungan dengan lama perlindungan yang diberikan krim tabir surya, semakin tinggi
nilai SPF maka semakin tinggi pula tingkat perlindungan yang dapat diberikan oleh
sediaan tabir surya tersebut. Peningkatan nilai SPF disebabkan karena nanopartikel seng
oksida memiliki aktivitas sebagai tabir surya. Sediaan krim tabir surya yang mengandung
nanopartikel seng oksida memiliki nilai SPF sebesar 3,65. Kombinasi setil alkohol level
tinggi dan Tween 80 level tinggi memiliki nilai SPF yang tinggi. Zink oksida yang
berukuran nano dapat meningkatkan daya hambur terhadap radiasi sinar UV, sehingga
terjadi penurunan nilai transmisi pigmentasi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Karakteristik sediaan krim wajah yang diharapkan adalah sediaan dapat
mencegah sinar UV yang memenuhi syarat dan evaluasi.
2. Komponen yang digunakan dalam sediaan krim wajah untuk mencegah sinar UV
adalah komponen yang dapat menangkal atau melindungi kulit wajah dari sinar
UV.
3. Metode pembuatan sediaan krim wajah untuk mencegah sinar UV dilakukan
dengan cara memisahkan dua fase antara fase yang larut air dan fase larut minyak
lalu dipanaskan sampai mencapai suhu yang sama dan mencapai massa yang
homogen. Prinsipnya adalah pencampuran beberapa bahan yang disertai
pengadukan dan pemanasan yang sempurna.
4. Sediaan krim wajah untuk mencegah sinar UV harus memenuhi syarat yaitu
mempunyai nilai SPF yang tinggi sehingga dapat lebih lama menjaga kulit dari
sengatan sinar matahari, tidak berbau dan memiliki daya lengket yang baik, tidak
menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan sensitisasi, memiliki
daya proteksi terhadap matahari selama beberapa jam, stabil dalam penggunaan,
tidak memberikan noda pada pakaian.
5. Evaluasi yang perlu dilakukan pada sediaan krim wajah untuk mencegah sinar
UV yaitu evaluasi fisik meliputi organoleptis, pH, viskositas, jenis krim,
homogenitas, daya sebar, daya lekat dan cycling test. Evaluasi efektivitas
meliputi penentuan nilai SPF, persen transmisi eritema dan persen transmisi
pigmentasi.
4.2 Saran
Dibutuhkan penelitian dan pengujian lebih lanjut tentang evaluasi efektivitas
khususnya tentang transmisi eritema dan transmisi pigmentasi dalam setiap sediaan
krim wajah untuk mencegah sinar UV.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian Rosyidi, Viddy., Ummah, Lisanul., Kristiningrum, Nia. 2018. Optimasi Zink
Oksida Dan Asam Malat dalam Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan
Octyl Methoxycinnamate dengan Desain Faktorial. Jember. e-Jurnal Pustaka
Kesehatan, vol. 6 (no. 3)
Alwan R.M., Kadhim Q.A., Sahan K.M., Ali R.A., Mahdi R.J., Kassim N.A. and Jassim
A.N., 2015, Synthesis of Zinc Oxide Nanoparticles via Sol – Gel Route and
Their Characterization, Nanoscience and Nanotechnology, 5 (1), 1–6.
Ansel, H. C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, Penerbit UI, Jakarta.
Azad M., Nasrollahi S.A. and Firooz A., 2014, Zinc Oxide in Sunscreen Products,
Journal of Dermatology and Cosmetics, 5 (1), 41–48.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Elcistia, Ribka., Karim Zulkarnain, Abdul. 2018. Optimasi Formula Sediaan Krim o/w
Kombinasi Oksibenzon dan Titanium Dioksida Serta Uji Aktivitas Tabir
Suryanya Secara In Vivo. Yogjakarta. Majalah Farmaseutik Vol. 14 No. 2: 63-
78
Rowe, Raymond C., Paul J. S., Paul J. W. 2003. Handbook of Pharmaceutical Exipients.
London: Pharmaceutical Press.