Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TENTANG KULIT

2.1.1 Anatomi Fisiologis Kulit

Kulit memiliki istilah “selimut” yang menutupi permukaan terluar tubuh

dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan

rangsangan luar. Pada umumnya, rata-rata luas kulit manusia adalah ± 2 meter

persegi, dengan berat 4 kg tanpa mengikut-sertakan berat dari lemak (Tranggono,

2007).

Gambar 2.1 kulit dan bagiannya (McGrath et al., 2010)

11
12

Kulit terbagi menjadi 2 lapisan utama yaitu, epidermis dan dermis,

dibawah dermis terdapat subkutis atau jaringan lemak bawah. Epidermis

merupakan lapisan terluar dan memiliki beberapa aksesori diantaranya ada

rambut, kuku, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat.

Jika dilihat dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang

menarik karena penggunaan kosmetik dibagian epidermis. Meskipun ada

beberapa penggunaan kosmetik yang digunakan sampai dermis, namun tetap

penampilan epidermis yang menjadi tujuan utama. Dengan adanya kemajuan

teknologi, dermis menjadi tujuan dalam kosmetik medik (Tranggono, 2007). Perlu

diketahui epidermis terdiri dari 5 lapisan yaitu, dari dalam keluar adalah, stratum

basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, stratum korneum.

Stratum corneum merupakan penghalang utama bagi bahan aktif untuk

dapat berpenetrasi ke dalam kulit. Ketebalan dari stratum korneum bervariasi

tergantung dari letaknya pada bagian tubuh. Stratum korneum yang paling tebal

adalah pada telapak kaki dan telapak tangan.

2.2 TINJAUAN TENTANG PENUAAN KULIT (PHOTOAGING)

Proses penuaan kulit ditandai dengan munculnya kerutan, keriput, dan noda

hitam pada kulit atau bisa kita simpulkan sebagai kemunduran yang terjadi pada

kulit kita. Ada dua teori tentang penuaan kulit, diantaranya :


13

1. Penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari oleh semua

makhluk hidup.

2. Penuaan merupakan kerusakan baik anatomi maupun fisiologi pada semua

organ, mulai dari pembuluh darah dan organ tubuh lainnya termasuk kulit.

Perubahan pada kulit akibat proses penuaan yang terjadi pada kulit dapat

dibagi menjadi tiga, yaitu perubahan anatomis, fisiologis, serta kimiawi. Beberapa

perubahan anatomis dapat terlihat langsung, seperti hilangnya elastisitas dan

fleksibilitas kulit yang menyebabkan timbulnya kerutan dan keriput. Biasanya

gejala ini dialami oleh wanita pada usia 40 tahun ke atas akibat terlalu lama

terpapar sinar matahari. Secara fisiologis dan histologis, pada kulit yang sudah

menua ditemukan hal-hal sebagai berikut, kulit menjadi kering karena

menurunnya fungsi kelenjar minyak kulit (kelenjar sebasea), berkurangnya kadar

air kulit dan mengeringnya serabut kolagen dan elastin akibat menurunnya

hormon-hormon kelamin, menurunnya kecepatan metabolisme sel basal dan

melambatnya proses keratinisasi, mengakibatkan sel-sel epidermis menjadi

kambat (Tranggono dan Latifah, 2007).

Penuaan kulit dibagi menjadi dua yaitu penuaan intrinsik dan penuaan

ekstrinsik. Penuaan intrinsik merupakan proses alami yang terjadi pada setiap

makhluk hidup. Sedangkan untuk penuaan ekstrinsik merupakan penuaan yang

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti paparan sinar UV, radikal bebas, asap

rokok dan lain sebagainya. Adanya paparan sinar UV yang berlangsung secara

terus-menerus dapat menimbulkan terjadinya penuaan dini pada kulit yang dapat

menimbulkan terjadinya kerusakan pada jaringan ikat, melanosit dan


14

mikrovaskulatur. Proses tersebut dinamakan sebagai Photoaging yang ditandai

dengan munculnya kerutan halus dan kerutan kasar pada kulit, dispigmentasi,

kulit berwarna pucat, perubahan tekstur, menurunnya elatisitas dan premaglinant

actinic keratosis atau precancer (Halim, 2018).

Photoaging adalah super posisi chronicultraviolet (UV) yang menginduksi

perubahan struktur kulit. Manifestasi photoaging berupa kerutan pada lapisan atas

dan bawah epidermis kulit, perkembangan tekstur kasar, atropi, dan

dyspigmentation. Jumlah kerusakan kulit yang disebabkan sinar matahari

ditentukan dari jumlah paparan radiasi dan proteksi pigmen seseorang. Perubahan

epidermis akibat sinar matahari termasuk dalam penipisan epidermis dan ekspresi

lesi yang memicu aktivasi keratosis, karsinoma sel basal, dan karsinoma sel

squamous.

Radiasi sinar UV mempengaruhi modifikasi post-translasi dari matrik protein

kulit (melalui ROS/Reactive Oxygen Species) dan menurunkan regulasi transkripsi

protein yang sama (melalui jalur TGF - β /Smad signaling). Sinar UVA dan UVB

menginduksi varietas matrix metalloproteinases (MMPs) yang luas. Senyawa ini

mendegradasi matrik protein kulit, spesifiknya yakni kolagen melalui aktivitas

enzimatik. UV menginduksi MMP-1 dengan menginisiasi cleavage tipe I dan III

kolagen kulit, diikuti dengan degradasi MMP-3 dan MMP-9. Kolagen tipe I

distabilkan oleh ikatan silang dengan matrik protein kulit sehingga dengan adanya

degradasi oleh MMPs, akan mengganggu intergritas dermis yang berujung pada

kerusakan kulit, seperti pada gambar 2.2 (Setyowati dkk, 2015).


15

Gambar 2.2 Sinar UV berinteraksi dengan sel kulit (Setyowati dkk, 2015)

2.3 TINJAUAN TENTANG ANTIOKSIDAN

Antioksidan didefinisikan dengan berbagai cara dan arti. Antioksidan dapat

didefinisikan senyawa yang dapat menunda dan memperlambat oksidasi substrat

yaitu molekul didalam tubuh manusia, seperti: protein, karbohidrat, lemak dan

DNA, olek oksidan. Oksidan adalah senyawa yang dapat mengoksidasi senyawa

lain seperti ROS (reactive oxygen spesies) dan RNS (reactive nitrogen spesies).

ROS dari senyawa radikal seperti superoksida, hidroksil, peroksil, slkoksil, dan

hidroperoksil dan senyawa non radikal seperti hidrogen peroksida, asam

hipoklorous, oksigen singlet, dan ozon. RNS terdiri dari nitrit oksida dan peroksi

nitril.

Antioksidan yang dapat bekerja didalam sistem biologis tubuh manusia

disebut antioksidan biologis. Hubungan sistem pertahanan preventif tubuh


16

manusia oleh antioksidan dalam melawan oksidan pda berbagai lokasi didalam sel

dan jaringan.

Pengelompokan antioksidan biologis dibagi menjadi beberapa macam

diantaranya ada antioksidan enzimatis (endogen), antioksidan non enzimatis

(endogen), dan antioksidan dari makanan (eksogen). Antioksidan endogen adalah

antioksidan yang berasal atau disintesis didalam tubuh sedangkan antioksidan

eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh atau dari makanan dan

minuman.

Sistem antioksidan bekerja di lingkungan hidrofobik dan lingkungan

hidrofilik. Antioksidan saling berinteraksi dengan cara meregenerasi radikal

antioksidan yang terbentuk setelah menetralisasi oksidan sehingga aktif kembali.

Siklus ini menghasilkan sistem pertahanan yang kuat melawan radikal bebas atau

senyawa oksidan lainnya.

Beberapa contoh dari antioksidan enzimatis seperti superoksida dismutase,

katalase, glutation peroksidase, glutaredoksin, tioredoksin, peroksidoksin dan

koenzim Q10. Sedangkan untuk antioksidan nonenzimatis diantara ada glutation,

asam urat, bilirubin. Dan untuk antioksidan yang berasal dari makanan ada

karotenoid, vitamin E, dan vitamin C (Wijaya dan Junaidi, 2011).

2.3.1 Koenzim Q10

Koenzim Q10 atau ubiquinone adalah molekul transpor elektron lipid

yang ditemukan di semua membran sel, yang berpartisipasi dalam banyak reaksi

redoks, yang terlibat dalam bioenergetik, biosintesis nukleotida, dan mekanisme


17

antioksidan. Molekul ini terdiri dari cincin benzoquinon yang melekat pada rantai

samping polyisoprenoid yang spesifik untuk spesies.

Isoform manusia mengandung sepuluh unit isoprena (CoQ10), hewan

pengerat utamanya mengandung sembilan unit (CoQ9) dan juga sejumlah CoQ10,

ragi Saccharomyces cerevisiae mengandung enam unit (CoQ6),

Schizosaccharomyces pombe mengandung sepuluh (CoQ10), dan Escherichia coli

memiliki delapan unit isoprene (CoQ8). Diasumsikan bahwa rantai samping

isoprenoid menstabilkan molekul di tengah membran bilayer sementara kepala

kuinon bergerak dari dalam ke permukaan membran tergantung pada keadaan

redoksnya, menjadi bentuk tereduksi yang bergerak ke permukaan karena sifatnya

yang lebih polar. CoQ berada dalam kesetimbangan permanen antara bentuk

tereduksi setelah menerima dua elektron, CoQH2 atau ubiquinol, dan bentuk

teroksidasi, CoQ atau ubiquinone. Dalam rantai pernapasan, siklus redoks ini

terjadi dengan transfer dua langkah masing-masing satu elektron, menghasilkan

perantara semiquinone. Zat antara ini sangat relevan juga dalam plasma sistem

membran antioksidan yang dimediasi oleh reduksi CoQ oleh sitokrom b5

reduktase. Radikal bebas semiquinone yang dihasilkan dalam reaksi ini

mempertahankan vitamin C dan α-tokoferol dalam keadaan tereduksi. Sebagian

besar CoQ disintesis secara endogen oleh sel. Isoprenoid rantai samping disintesis

melalui jalur mevalonat diikuti oleh modifikasi cincin benzoquinone berikutnya,

yang terjadi pada kompleks biosintetik yang terlokalisasi di bagian dalam

membran mitokondria (Fabra et al., 2016).


18

Gambar 2.3 Proses redoks koenzim Q10 (Fabra et al., 2016).

2.4 TINJAUAN TENTANG NANOSTRUCTURED LIPID CARRIER

Pada awal tahun 1990, diketahui bahwa Profesor R.H. Müller (Jerman)

dan Profesor M. Gasco (Italia) mulai menyelidiki potensi formulasi berbasis

nanopartikel yaitu solid lipid nanoparticles (SLN). Formulasi mereka didasarkan

pada lipid, yang memiliki keuntungan diantaranya adalah menghindari

penggunaan pelarut organik selama persiapan, bertentangan dengan nanopartikel


19

yang ada, dan menunjukkan adanya stabilitas yang tinggi pada metode in vivo

karena mereka akan tetap padat pada suhu tubuh. Namun, solid lipid

nanoparticles memiliki sebuah kelemahan yaitu pada saat penggabungan lipid

cair ke matriks padat nanopartikel dapat meningkatkan ketidaksempurnaan dalam

matriks inti padat, sehingga memfasilitasi peningkatan penggabungan jumlah obat

(Beloqui, 2015). Selain itu, SLN juga menunjukkan kelemahannya pada jumlah

muatan obat yang terbatas dan adanya kerusakan pada saat penyimpanan (Annisa,

dkk, 2016). Adapula beberapa kekurangan SLN menurut Afina 2015 diantaranya

jumlah penjerapan obat yang terlalu rendah, keluarnya obat dari sistim selama

penyimpanan, dan kandungan air yang terlalu tinggi pada dispersi SLN. Untuk

mengatasi kekurangan dari solid lipid nanoparticles tersebut maka

dikembangkanlah bentuk sediaan baru yaitu, nanostructured lipid carriers (NLC).

NLC memiliki fleksibilitas yang baik dalam memodulasi pelepasan obat,

meningkatkan jumlah penjerapan obat, dan menghindari kebocoran penjerapan.

Pembuatan NLC dilakukan dengan mencampur lipid padat dan lipid cair

dengan jumlah lipid padat yang lebih besar dibandingkan dengan lipid cair dan

surfaktan atau campuran surfaktan. Hasil pencampuran antara lipid padat dan lipid

cair berupa matriks yang dapat menjebak obat dalam jumlah yang relatif besar.

Keuntungan menggunakan lipid sebagai sistem penghantaran topikal berkaitan

dengan sifat fisiologis karena dapat mengurangi toksisitas dan iritasi lokal.

Beberapa lipid yang telah digunakan untuk pembuatan NLC, antara lain:

monotrigliserida, digliserida, trigliserida termasuk monoacid, dan polyacid

acylglycerols (Annisa, dkk., 2016; Beloqui, et al., 2015). Pada umumnya, rasio
20

dari campuran lipid padat dan lipid cair adalah 70:30 hingga rasio 99,9:0,1

sedangkan surfaktan berkisar antara 1,5 % sampai 5 % (b/v). Jenis surfaktan yang

biasa digunakan adalah surfaktan non-ionik karena memiliki potensi kecil dalam

menimbulkan sensitivitas kulit. Salah satu surfaktan jenis non-ionik yang aman

dan paling sering digunakan dalam produk farmasi adalah Tween 80. Penggunaan

ko-surfaktan sangat bermanfaat karena dapat meningkatkan stabilitas dari droplet

yang dihasilkan, salah satu ko-surfaktan yang paling sering digunakan adalah

propilenglikol. Banyak manfaat yang dapat diberikan kepada sediaan yang

dihasilkan dengan adanya propilenglikol dalam emulsi salah satunya adalah dapat

membantu menurunkan ukuran partikel, dan meningkatkan stabilitas fisika yang

disebabkan oleh peningkatan viskositas emulsi (Afina, 2015).

Ukuran partikel NLC antara 10-1000 nm. Ukuran partikel yang kecil dapat

meningkatkan penyerapan sampai ke stratum korneum dan dapat meningkatkan

laju pelepasan obat yang dapat dikendalikan. Dibandingkan dengan SLN, NLC

memiliki jumlah muatan obat yang lebih tinggi untuk sejumlah senyawa aktif dan

dapat meminimalkan kerusakan senyawa aktif selama penyimpanan. Sistem

dispersi NLC memiliki viskositas yang rendah sehingga nyaman digunakan pada

kulit. Viskositas mempengaruhi mobilitas dan kemudahan pergerakan bahan aktif

untuk lepas dari pembawanya. Semakin tinggi viskositas sediaan maka akan

semakin besar hambatan pelepasan yang berakibat semakin lama waktu difusi

bahan aktif, sebaliknya semakin encer sediaan mobilitas molekul bahan aktif akan

meningkat sehingga tidak ada hambatan dalam pelepasan (Annisa dkk, 2016).
21

Dibandingkan dengan generasi terdahulunya yaitu solid lipid

nanoparticles (SLN), NLC memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah:

1. Struktur NLC (tipe imperfection, amorf, dan multiple) dapat

mengakomodasi lebih banyak obat dan menurunkan resiko kebocoran

selama penyimpanan dibandingkan dengan SLN.

2. Memberikan perlindungan terhadap bahan-bahan yang labil secara kimia

dengan mencegah degradasi kimia.

3. Menurunkan jumlah air dalam partikel emulsi.

4. NLC dengan ukuran partikelnya yang kecil menjamin kontak antara bahan

aktif dan menjamin penetrasi obat kedalam kulit.

5. Membentuk lapisan tipis pada permukaan kulit sehingga memiliki efek

controlled ecclusion dan skin hidration.

6. Meningkatkan bioavailabilitas bahan aktif dikulit dan dapat membentuk

skin tageting sistem.

7. Membrikan stabilitas fisika untuk formulasi topikal (Afina, 2015).

2.4.1 Jenis NLC

Berdasarkan variasi komposisinya, NLC dapat dikategorikan menjadi tiga jenis

diantara adalah :

1. Imperfect type.

2. Amorphous type.

3. Multiple oil-in-solid fat-in-water (O/F/W) type.


22

Gambar 2.4 tipe-tipe NLC (Tamjidi et al., 2013)

Untuk imperfect type melibatkan pencampuran lipid yang berbeda secara

parsial seperti gliserida, terdiri dari sejumlah asam lemak, yang menyebabkan

ketidaksempurna dalam susunan kristal. Pemuatan obat lebih lanjut dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan ketidaksempurnaan dengan menggunakan

campuran berbagai gliserida, bervariasi dalam saturasi dan panjang rantai karbon.

Sedangkan untuk Amorphous type, matriks amorf yang terstuktur

dibentuk dengan mencampurkan lipid khusus seperti hidroksioktacosanyl

hidroksistearat atau iso-propil miristat dengan lipid padat. Sebagai hasilnya, NLC

berada dalam bentuk amorf yang mencegah terjadinya pengusiran obat yang

dihasilkan dari β-modifikasi selama penyimpanan.

Dan untuk Multiple oil-in-solid fat-in-water (O/F/W) type, mengandung

banyak kompartemen nanosized liquid oil yang didistribusikan dalam matriks

padat. Kelarutan obat lebih tinggi pada kompartemen nanosized yang dapat

menghasilkan pemuatan obat. Selanjutnya perilisannya diperpanjang karena

kompartemen dikelilingi oleh matriks lipid padat menggambarkan berbagai jenis

NLC daripada SLN.


23

2.4.2 Komponen penyusun NLC

1. Lipid Padat dan Lipid Cair

Istilah lipid secara umum digunakan untuk struktur trigliserida, gliserida, asam

lemak, steroid, dan lilin. Manfaat penggunaan lipid sebagai sistem penghantaran

obat untuk rute topikal adalah sifat lipid yang dapat ditoleransi dengan baik,

menurunkan risiko iritasi lokal, dan memiliki toksisitat yang rendah. Pada sistem

NLC, digunakan kombinasi lipid padat (lemak) dan lipid cair (minyak) yang

termasuk dalam kategori Generally Recognized as Safe status (GRAS) seperti

tristearin, campuran mono-, di-, dan triasilgliserol, asam lemak, dan beeswax.

Adanya minyak atau lipid cair pada sistem NLC ini memberikan kelebihan sistem

NLC dalam hal penjebakan obat karena pada umumnya bahan obat lebih larut

dalam minyak daripada lipid padat dan adanya minyak dapat menurunkan

keteraturan kisi kristal matriks lipid disebabkan oleh perbedaan panjang rantai

karbon lipid padat dan minyak.

2. Emulgator

Beberapa jenis emulgator yang telah banyak digunakan untuk membentuk sistim

NLC adalah jenis poloxamer, polisorbat, lesitin, dan asam empedu. Diketahui

bahwa kombinasi emulgator dapat menurunkan aglomerasi partikel secara

signifikan. Jenis emulgator dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan obat dalam

sistem NLC. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chen et al., 2010 menunjukkan

bahwa sistem NLC yang menggunkan emulgator soybean phosphatidylcholine

(SPC) memberikan pelepasan yang lambat jika dibandingkan dengan Myverol,


24

sementara untuk evektivitas penjebakan, Myverol memberikan penjebakan yang

lebih besar dibandingkan SPC (Afina, 2015).

2.4.3 Metode-metode Pembuatan NLC

Berikut beberapa metode-metode pembuatan NLC diantaranya :

Homogenization technique yang terbagi menjadi 3 diantaranya (High shear

homogenisation and ultrasound homogenisation, hot and cold high pressure

homogenization), solvent emulsification/evaporation, microemulsion formation

technique, dan berikut penjelasan dari masing-masing metode.

1. Hot high pressure homogenization

Pada metode ini fase lipid padat dipanaskan pada suhu 90°C, kemudian fase lipid

yang telah panas didispersikan dalam fase air yang mengandung surfaktan dengan

suhu yang sama. Proses tersebut dinamakan pre-emulsi. Pra-emulsi

dihomogenisasi pada suhu 90°C dibawah 3 siklus homogenizer pada 5 × 107 Pa.

Selanjutnya emulsi minyak dalam air yang telah diperoleh didinginkan pada suhu

kamar untuk memadatkan NLC.

2. Cold high pressure homogenization

Pada metode ini, fase lipid yang telah dilelehkan kemudian didinginkan agar

memadat dan kemudian ditumbuk untuk mendapatkan mikropartikel lipid.

Mikropartikel lipid yang diperoleh didispersikan dalam fase air yang mengandung

surfaktan untuk membentuk pra-suspensi.


25

3. High shear homogenisation and ultrasound homogenisation

Metode ini merupakan teknik dispersi yang mudah dan paling sering digunakan.

Pada metode ini leburan lipid didispersikan pada fase air pada suhu yang sama,

dengan pengadukan mekanik atau sonikasi. Terdapat pengaruh kecepatan

pengadukan, waktu emulsifikasi, dan kondisi pendinginan terhadap ukuran

partikel dan nilai zeta potensial,. Peningkatan kecepatan pengadukan lebih

berpengaruh pada nilai Polydispersity Index (PDI) dibandingkan pada penurunan

ukuran partikel. Dengan metode ini kualitas dispersi masih kurang baik karena

masik dijumpai mikropartikel dan untuk penggunaan metode ultrasound, terdapat

kemungkinan kontaminasi logam (Afina, 2015).

4. Solvent emulsification/evaporation technique

Dalam metode ini, fase lipid dilarutkan dalam fase organik seperti aseton (fase

organik). Kemudian, fase organik ditambahkan ke fase air (larutan surfaktan

dalam air) dibawah pengadukan kontinu pada 70-80°C. Pengadukan dilanjutkan

sampai fase organik benar-benar menguap. Kemudian nanoemulsi yang diperoleh

didinginkan (di bawah 5°C) untuk memadatkan partikel nano lipid.

5. Microemulsion formation technique

Dalam metode ini, lipid dilelehkan pada suhu yang sesuai dan fase air yang

mengandung surfaktan dipanaskan hingga suhu yang sama. Kemudian fase air

yang telah panas ditambahkan ke dalam lipid yang telah meleleh dibawah

pengadukan pada suhu yang sama. Minyak panas dalam mikroemulsi air

didispersikan dalam air dingin pada perbandingan 1:50 untuk memadatkan

partikel nano lipid.


26

2.5 TINJAUAN FORMULA

Berikut merupakan formula acuan yang digunakan sebagai pedoman

penyusunan formula terpilih pada penelitian ini :

Tabel 2.1 Formula Acuan 1


Bahan Konsentrasi (%w/w) Fungsi

Koenzim Q10 1 Bahan aktif

Olive oil 1,8 Lipid cair

Setil palmitat 4,8 Lipid padat

Tween 80 18,5 Surfaktan

Span 80 2 Surfaktan

Etanol 96% 3,5 Co-surfactant

Dapar asetat pH 4,2 ± 0,2 Sampai 100% Fase air

(Shoviantari et al., 2017)


27

Tabel 2.2 Formula Acuan 2


Bahan Konsentrasi (%w/w) Fungsi

Koenzim Q10 1 Bahan aktif

Setil palmitat 16 Lipid padat

VCO 4 Lipid cair

Tween 80 8 Surfaktan

Span 80 7 Surfaktan

Propilen glikol 11 Co-surfactant

Fenoksietanol etil heksil gliserin 0,6% Pengawet

Na2HPO4 0,04 Dapar Fosfat

NaH2PO4 1,24 Dapar Fosfat

Aquadest Sampai 100% Fase air

(Febrianti, 2018)

2.7 TINJAUAN TENTANG PRAFORMULASI

2.7.1 Bahan-bahan formulasi

1. Asam Stearat

Gambar 2.5 struktur asam stearat (Pubchem)


28

Asam stearat merupakan campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat dan asam heksadekanoat.
Pemerian zat padat keras, mengkilat menunjukkan susunan hablur putih atau
kuning pucat, mirip lemak lilin. Rumus molekulnya adalah CH3(CH2)16COOH.
Asam stearat dalam sediaan topikal digunakan sebagai emolient dan solubilizing
agent. Pada krim M/A adanya asam stearat dapat menyebabkan krim menjadi
lebih lunak sehingga viskositasnya semakin rendah. Jenis basis yang mempunyai
viskositas tinggi akan menyebabkan koefisien difusi suatu obat dalam basis
menjadi rendah, sehingga pelepasan obat dari basis akan kecil (Alfath, 2012).

2. Isopropil miristat

Gambar 2.6 struktur isopropil miristat (Pubchem)

Merupakan lipid yang berbentuk cairan bening, tidak berwarna dan

berminyak. Memiliki densitas sekitar 0,853. Tidak bercampur dengan air, dapat

bercampur dengan alkohol, diklorometana, minyak lemak, dan paraffin liquidum.

Terlindung dari cahaya. Isopropil miristat tidak dapat bercampur dengan parafin

padat (martindale, 2014). Isopropil miristat terdiri dari ester isopropil alkohol dan

asam lemak tak jenuh berbobot molekul tinggi, terutama asam miristat,

mengandung tidak kurang dari 90.0% C17H34O2. Menurut Farmakope Indonesia

bobot jenis dari isopropil miristat antara 0,846 dan 0,854 (Farmakope Indonesia,
29

2014). Menurut the pharmaceutical codex edisi 12, isopropil miristat memiliki

fungsi sebagai berikut diantaranya adalah, sebagai emolien, sebagai lubrikan, dan

dapat meningkatkan penyerapan melalui kulit.

3. Koenzim Q10

Gambar 2.7 struktur koenzim Q10 (Pubchem)

Koenzim Q10 adalah zat mirip vitamin yang larut dalam lemak ditemukan

diseluruh tubuh tetapi terutama di jantung, hati, ginjal, dan otak. Rumus

molekulnya adalah C59H90O4 dan massa molekulnya 863,34 g mol. Secara kimia,

disebut sebagai 1,4, benzoquinone di mana Q merujuk pada kelompok kimia

kuinon dan 10 mengacu pada jumlah subunit kimia isoprenil di bagian ekornya.

CoQ10 berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi tubuh dari kerusakan yang

disebabkan oleh molekul berbahaya yang dikenal sebagai radikal bebas. Koenzim

Q10 adalah bubuk kristal yang tidak larut dalam air. Absorbsinya mengikuti

proses yang sama dengan lipid dan mekanisme penyerapan tampaknya mirip
30

dengan vitamin E, nutrisi lain yang larut dalam lemak (kapoor et al.,2013).

Menurut Hsia et al. (2012) Koenzim Q10 memiliki pH stabil antara 3-6.

4. Tween 80 (Polioksietilen Sorbitan Monostearat 80)

Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama

kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26

dan rumus strukturnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.8 struktur tween 80 (Rowe, 2009)

Pada suhu 25°C Tween 80 akan berwujud cair, tween 80 berwarna

kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Tween

80 dapat larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan

Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan

(Rowe, 2009). Selain fungsi-fungsi tersebut, Tween 80 juga berfungsi sebagai

peningkat penetrasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Radomska dan

Dobrucki (2000) tween 80 pada sistem NLC dengan lipid cair Epicurone 135

secara signifikan memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan

sistem NLC dengan tween 60 (Afina,2015).


31

5. Span 80 (Sorbitan Monooleat)

Gambar 2.9 struktur span 80 (Rowe, 2009)

Span 80 (Sorbitan Monooleat) merupakan suatu surfaktan atau emulgator

non-ionik. Span 80 berbentuk krim hampir ke cair berwarna kuning memiliki bau

dan rasa yang khas. Fungsinya adalah sebagai dispersing agent, emulsifying

agent, nonionic surfactant, solubilizing agent, suspending agent.

6. Propilenglikol

Propilenglikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam

pembuatan sediaan farmasi dan kosmetik, khususnya untuk zat-zat yang tidak

stabil atau tidak dapat larut dalam air. Propilenglikol merupakan cairan bening,

tidak berwarna, kental, dan hampir tidak berbau. Memiliki nrasa yang manis

sedikit mirip dengan rasa gliserol. Propilenglikol dapat digunakan sebagai

penghambat pertumbuhan jamur. Struktur propilenglikol ditunjukkan sebagai

berikut :
32

Gambar 2.10 struktur propilenglikol (Rowe, et al., 2005)

Pada suhu dingin, propilenglikol stabil pada wadah yang tertutup rapat, namun
pada suhu tinggi dan keadaan terbuka dapat menyebabkan oksidasi yang
menghasilkan propionaldehid, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Secara
kimia stabil ketika dicampur dengan etanol (95%), gliserin, atau air. Larutan
dalam air dapat disterilisasi dengan autoklaf.

Pada penenlitian sebelumnya diketahui bahwa propilenglikol dapat


mempengaruhi ukuran partikel NLC dan stabilitas fisika. NLC dengan
penambahan propilenglikol memiliki ukuran partikel yang lebih kecil (188,40 ±
2,72 nm) dibandingkan NLC tanpa propilenglikol (193 ± 1,33 nm) yang berakibat
pada peningkatan stabilitas fisika NLC (Afina, 2015 ; Loo et al., 2012).

7. Phenoxyethanol-Ethylhexylglycerin

Gambar 2.11 struktur Phenoxyethanol (Pubchem)


33

Phenoxyethanol memiliki nama kimia 2-Phenoxyethanol dengan rumus

molekul C8H10O2 dan berat molekul 138,16 g/mol. Phenoxyethanol merupakan

cairan tidak berwarna dan sedikit kental memiliki kelarutan (1:43). Biasanya

digunakan sebagai pengawet sediaan kosmetik dengan konsentrasi maksimal

1,0%. Apabila dikombinasikan dengan ethylhexylglycerin konsentrasi

maksimalnya 0,5%.

Gambar 2.12 struktur Ethylhexylglycerin (Pubchem)

Ethylhexylglycerin memiliki nama kimia 3-(2-Ethylhexoxy)propane-1,2-diol

dengan rumus molekul C11H24O3 dan berat molekul sebesar 204,31 g/mol.

Fungsinya adalah sebagai pengawet dengan spektrum sempit sehingga

penggunaannya perlu dikombinasikan dengan pengawet lain. Dalam sediaan

kosmetik atau topikal digunakan dalam konsentrasi 0,5-1%.

Anda mungkin juga menyukai