Anda di halaman 1dari 312

Bab 1: Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia

A. Sebelum Mengenal Tulisan


Coba kamu renungkan, apakah yang terjadi ketika tawuran anak-anak sekolah berlangsung?
Bukankah sering kali mereka saling melempar batu? Batu adalah senjata yang paling awal digunakan
umat manusia dalam mempertahankan hidupnya. Jadi, anak sekolah di zaman modern ini — zaman
yang bahkan dikatakan “era globalisasi”, ketika tiada lagi batas-batas yang menghambat hubungan
kebudayaan — ternyata masih mempraktikkan tradisi manusia purba pada masa pra-aksara. Bila
kamu juga melakukan hal-hal seperti itu, maka kamu masih pada tahapan peradaban masa pra-
aksara. Untuk mengetahui apa, siapa, dan bagaimana kehidupan manusia zaman pra-aksara kamu
dapat mempelajari bacaan di berikut ini.
Manusia purba tidak mengenal tulisan dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dikenal dengan
zaman pra-aksara. Masa praaksara berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan
manusia yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perkembangan
kehidupan manusia pada zaman pra-aksara kita perlu mengenali tahapan-tahapannya.
Sebelum mengenali tahapan-tahapan atau pembabakan perkembangan kehidupan dan kebudayaan
zaman pra-aksara, perlu kamu ketahui lebih dalam apa yang dimaksud zaman praaksara. Pra-aksara
adalah istilah baru untuk menggantikan istilah prasejarah. Penggunaan istilah prasejarah untuk
menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan
adalah kurang tepat. Pra berarti sebelum dan sejarah adalah sejarah sehingga prasejarah berarti
sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah berarti sebelum ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam
kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia sudah memiliki
sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para ahli mempopulerkan istilah
praaksara untuk menggantikan istilah prasejarah.
Pra-aksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan.
Dengan demikian zaman pra-aksara adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada
istilah yang mirip dengan istilah pra-aksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka berarti
tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan
manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Kapan waktu
dimulainya zaman pra-aksara? Kapan zaman pra-aksara itu berakhir? Zaman pra-aksara dimulai
sudah tentu sejak manusia ada, itulah titik dimulainya masa praaksara. Zaman pra-aksara berakhir
setelah manusianya mulai mengenal tulisan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah kapan
tepatnya manusia itu mulai ada di bumi ini sebagai pertanda dimulainya zaman pra-aksara?. Sampai
sekarang para ahli belum dapat secara pasti menunjuk waktu kapan mulai ada manusia di muka
bumi ini. Tetapi yang jelas untuk menjawab pertanyaan itu kamu perlu memahami kronologi
perjalanan kehidupan di permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita
huni sekarang diperkirakan mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.
Bagaimana kalau kita ingin melakukan kajian tentang kehidupan zaman pra-aksara? Untuk
menyelidiki zaman praaksara, para sejarawan harus menggunakan metode penelitian ilmu arkeologi
dan juga ilmu alam seperti geologi dan biologi. Ilmu arkeologi adalah bidang ilmu yang mengkaji
bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik, seperti lempeng artefak, monumen, candi dan sebagainya.
Berikutnya menggunakan ilmu geologi dan percabangannya, terutama yang berkenaan dengan
pengkajian usia lapisan bumi, dan biologi berkenaan dengan kajian tentang ragam hayati
(biodiversitas) makhluk hidup.
Mengingat jauhnya jarak waktu masa pra-aksara dengan kita sekarang, maka tidak jarang orang
mempersoalkan apa perlunya kita belajar tentang zaman pra-aksara yang sudah lama ditinggalkan
oleh manusia modern. Tetapi pandangan seperti ini sungguh menyesatkan, sebab tentu ada
hubungannya dengan kekinian kita. Beberapa di antaranya akan dikemukakan berikut ini.
Data etnografi yang menggambarkan kehidupan masyarakat pra-aksara ternyata masih berlangsung
sampai sekarang. Entah itu pola hunian, pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional dan
konsepsi kepercayaan tentang hubungan harmoni antara manusia dan alam, bahkan kebiasaan
memiara hewan seperti anjing dan kucing di lingkungan manusia modern perkotaan. Demikian pula
kebiasaan bertani merambah hutan dengan motode ‘tebang lalu bakar’ (slash and burn) untuk
memenuhi kebutuhan secukupnya masih ada hingga kini. Namun, kebiasaan merambah hutan dan
hidup berpindah-pindah pada masa lampau tidak menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu
penerbangan domestik. Selain itu, juga mengganggu bandara negara tetangga Singapura dan
Malaysia seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi manusia modernlah yang mampu
melakukan perambahan hutan secara besar-besaran, entah itu untuk perkebunan atau
pertambangan, dan permukiman real estate sehingga menimbulkan malapetaka kabut asap dan
kerusakan lingkungan.
Arti penting dari pembelajaran tentang sejarah kehidupan zaman pra-aksara pertama-tama adalah
kesadaran akan asal usul manusia. Tumbuhan memiliki akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin
dalam pula akarnya menghunjam ke bumi hingga tidak mudah tumbang dari terpaan angin badai
atau bencana alam lainnya. Demikian pula halnya dengan manusia. Semakin berbudaya seseorang
atau kelompok masyarakat, semakin dalam pula kesadaran kolektifnya tentang asal usul dan
penghargaan terhadap tradisi. Jika tidak demikian, manusia yang melupakan budaya bangsanya akan
mudah terombang-ambing oleh terpaan budaya asing yang lebih kuat, sehingga dengan sendirinya
kehilangan identitas diri. Jadi bangsa yang gampang meninggalkan tradisi nenek moyangnya akan
mudah didikte oleh budaya dominan dari luar yang bukan miliknya.
Kita bisa belajar banyak dari keberhasilan dan capaian prestasi terbaik dari pendahulu kita.
Sebaliknya kita juga belajar dari kegagalan mereka yang telah menimbulkan malapetaka bagi dirinya
atau bagi banyak orang. Untuk memetik pelajaran dari uraian ini, dapat kita katakan bahwa nilai
terpenting dalam pembelajaran sejarah tentang zaman pra-aksara, dan sesudahnya ada dua yaitu
sebagai inspirasi untuk pengembangan nalar kehidupan dan sebagai peringatan. Selebihnya
kecerdasan dan pikiran-pikiran kritislah yang akan menerangi kehidupan masa kini dan masa depan.
Sekarang muncul pertanyaan, sejak kapan zaman pra-aksara berakhir? Sudah barang tentu zaman
pra-aksara itu berakhir setelah kehidupan manusia mulai mengenal tulisan. Terkait dengan masa
berakhirnya zaman pra-aksara masing-masing tempat akan berbeda. Penduduk di Kepulauan
Indonesia baru memasuki masa aksara sekitar abad ke-5 M. Hal ini jauh lebih terlambat bila
dibandingkan di tempat lain misalnya Mesir dan Mesopotamia yang sudah mengenal tulisan sejak
sekitar tahun 3000 SM. Fakta-fakta masa aksara di Kepulauan Indonesia dihubungkan dengan
temuan prasasti peninggalan kerajaan tua seperti Kerajaan Kutai di Muara Kaman, Kalimantan
Timur.
B. Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Bumi kita yang terhampar luas ini diciptakan Tuhan Yang Maha Pencipta untuk kehidupan dan
kepentingan hidup manusia. Di bumi ini hidup berbagai flora dan fauna serta tempat bersemainya
manusia dengan keturunannya. Di bumi ini kita bisa menyaksikan keindahan alam, kita bisa
beraktivitas dan berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup kita. Namun harus dipahami bahwa bumi
kita juga sering menimbulkan bencana. Sebagai contoh munculnya aktivitas lempeng bumi yang
kemudian melahirkan gempa bumi baik tektonis maupun vulkanis, bahkan sampai menimbulkan
tsunami. Sebagai contoh tentu kamu masih ingat bagaimana gempa dan tsunami yang terjadi di
Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, di Papua dan beberapa di daerah lain, termasuk beberapa gunung
berapi meletus. Bencana tersebut telah mengakibatkan ribuan nyawa hilang dan harta benda
melayang.
Fenomena alam yang terjadi itu merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas panjang bumi kita
sejak proses terjadinya alam semesta ratusan bahkan ribuan juta tahun yang lalu. Proses tersebut
secara geologis mengalami beberapa tahapan atau pembabakan waktu. Berikut ini kita mencoba
menelaah tentang pembabakan waktu alam secara geologis dan bagaimana Kepulauan Indonesia
terbentuk.
Ada banyak teori dan penjelasan tentang penciptaan bumi, mulai dari mitos sampai kepada
penjelasan agama dan ilmu pengetahuan. Kali ini kamu belajar sejarah sebagai cabang keilmuan,
pembahasannya adalah pendekatan ilmu pengetahuan, yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya
juga tidak perlu bertentangan dengan ajaran agama. Salah satu di antara teori ilmiah tentang
terbentuknya bumi adalah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), seperti dikemukaan oleh sejumlah
ilmuwan, seperti ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori ini menyatakan bahwa alam
semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi seluruh ruang jagad raya. Jika digunakan
teleskop besar Mount Wilson untuk mengamatinya akan terlihat ruang jagad raya itu luasnya
mencapai radius 500.000.000 tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu
dentuman yang amat dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta mulai berdesakan
satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya tersisa energi
berupa proton, neutron dan elektron, yang bertebaran ke seluruh arah.
Ledakan dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta yang menyebar dan
menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi, bintang-bintang, matahari, planet-
planet, bumi, bulan dan meteorit. Bumi kita hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya
yang mengisi jagad semesta. Di samping itu banyak planet lain termasuk bintang-bintang yang
menghiasi langit yang tak terhitung jumlahnya. Boleh jadi ukurannya jauh lebih besar dari planet
bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam suatu gugusan, meskipun antarbintang berjauhan letaknya
di angkasa. Ada juga ilmuwan astronomi yang mengibaratkan galaksi bintang-bintang itu tak
ubahnya seperti sekumpulan anak ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari induknya. Jadi di mana
ada anak ayam di situ pasti ada induknya. Seperti halnya dengan anak-anak ayam, bintang-bintang di
angkasa tak mungkin gemerlap sendirian tanpa disandingi dengan bintang lainnya. Sistem alam
semesta dengan semua benda langit sudah tersusun secara menakjubkan dan masing-masing
beredar secara teratur dan rapi pada sumbunya masing-masing.
Selanjutnya proses evolusi alam semesta itu memakan waktu kosmologis yang sangat lama sampai
berjuta tahun. Terjadinya evolusi bumi sampai adanya kehidupan memakan waktu yang sangat
panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu geologis. Masing-masing ditandai
oleh peristiwa alam yang menonjol, seperti munculnya gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup
yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai
berikut.
1. Azoikum (Yunani: a = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini
bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih dari satu miliar tahun lalu.
2. Palaezoikum, yaitu zaman purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan fauna.
Berlangsung kira-kira 350.000.000 tahun.
3. Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan
amfibi, burung dan tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140.000.000 tahun.
4. Neozoikum, yaitu zaman purba baru, yang dimulai sejak 60.000.000 tahun yang lalu. Zaman ini
dapat dibagi lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Quarter). Zaman es mulai menyusut dan makhluk-
makhluk tingkat tinggi dan manusia mulai hidup.
Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah di Kepulauan Indonesia terbentuk melalui proses yang
panjang dan rumit. Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora dan
fauna yang masih sangat kecil dan sederhana. Alam juga harus menjalani evolusi terus-menerus
untuk menemukan keseimbangan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam
dan iklim, sehingga makhluk hidup dapat bertahan dan berkembang biak mengikuti seleksi alam.
Gugusan kepulauan ataupun wilayah maritim seperti yang kita temukan sekarang ini terletak di
antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di utara dan Australia di selatan, antara
Samudra Hindia di barat dan Samudra Pasifik di belahan timur. Faktor letak ini memainkan peran
strategis sejak zaman kuno sampai sekarang. Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan
dengan kondisi alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsurunsur geodinamika yang sangat
berperan dalam pembentukan Kepulauan Indonesia.
Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang
bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat
tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi. Pada suhu yang tinggi itu material-
material akan meleleh sehingga material di bagian dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu
tinggi ini terus-menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak jutaan tahun lalu. Ketika ada celah
lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair. Ketika lava mencapai permukaan bumi,
suhu menjadi lebih dingin dari ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada
suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua
(daratan) dan kerak samudra selalu bergerak secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi.
Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.
Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu Lempeng
Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan
lempenglempeng tersebut dapat berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi
(pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng). Pergerakan lain dapat berupa
pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran
lempeng-lempeng tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-
lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Namun semuanya telah menyebabkan
wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil hingga
rawan gempa sepanjang waktu. Sumber : J. Tuzo Wilson. 1994. “Lempeng Tektonik” dalam Tony S.
Rahmadie (terj). Ilmu Pengetahuan Populer. Jilid 2. Grolier International.
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum
terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan bagian dari samudra yang
sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa
Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan
lempenglempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis
(orogenesa larami), sehingga menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-
pulau yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk
pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan
Kepulauan Banda. Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak
ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sebagian Maluku
Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut telah mengakibatkan
wilayah pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan kuat telah
membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan dan Jawa telah tenggelam menjadi laut dangkal
sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan laut atau transgresi. Sulawesi pada masa itu
sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi
oleh cekungan sedimentasi laut dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu
gamping. Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan tektonis yang sangat kuat,
yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini
pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian
perbukitan struktural seperti perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian
gunung api aktif sepanjang gugusan perbukitan itu. Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga
awal masa Pleistosen, yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini
berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia.
Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau
Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta
Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Pembentukan daratan yang semakin luas itu telah membentuk Kepulauan Indonesia pada
kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal
Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Jadi pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus
bergerak secara dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun
tektonis.
Pada Kala Eosen (sekitar 55 juta tahun yang lalu) sebagian Kepulauan Indonesia (Sumatra, Jawa, dan
Kalimantan) masih berada dan menyatu dengan Benua Eurasia di utara, sedangkan sebagian
kepulauan lainnya (Papua) masih menyatu dengan Benua Australia di Selatan.
Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api membuatnya menjadi daerah
dengan tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam dan kondisi
geografis ini telah mendorong lahirnya penelitian dari bangsabangsa lain. Dari sekian banyak
penelitian terhadap flora dan fauna tersebut yang paling terkenal di antaranya adalah penelitian
Alfred Russel Wallace yang membagi Indonesia dalam dua wilayah yang berbeda berdasarkan ciri
khusus baik fauna maupun floranya. Pembagian itu adalah Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan
Sunda di sebelah barat. Zona di antara paparan tersebut kemudian dikenal sebagai wilayah Wallacea
yang merupakan pembatas fauna yang membentang dari Selat Lombok hingga Selat Makassar ke
arah utara. Fauna-fauna yang berada di sebelah barat garis pembatas itu disebut dengan Indo-
Malayan region. Di sebelah timur disebut dengan Australia Malayan region. Garis itulah yang
kemudian kita kenal dengan Garis Wallacea. Merujuk pada tarikh bumi di atas, keberadaan manusia
di muka bumi dimulai pada zaman Quater sekitar 600.000 tahun lalu atau disebut juga zaman es.
Dinamakan zaman es karena selama itu es dari kutub berkali-kali meluas sampai menutupi sebagian
besar permukaan bumi dari Eropa Utara, Asia Utara dan Amerika Utara Peristiwa itu terjadi karena
panas bumi tidak tetap, adakalanya naik dan adakalanya turun. Jika ukuran panas bumi turun dratis
maka es akan mencapai luas yang sebesar-besarnya dan air laut akan turun atau disebut zaman
Glacial. Sebaliknya jika ukuran panas naik, maka es akan mencair, dan permukaan air laut akan naik
yang disebut zaman Interglacial. Zaman Glacial dan zaman Interglacial ini berlangsung silih berganti
selama zaman Diluvium (Pleistosen). Hal ini menimbulkan berbagai perubahan iklim di seluruh
dunia, yang kemudian mempengaruhi keadaan bumi serta kehidupan yang ada diatasnya termasuk
manusia, sedangkan zaman Alluvium (Holosen) berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu hingga
sekarang ini. Untuk memperkaya pengetahuan tentang hal ini, kamu bisa membaca Alfred Russel
Wallace. Kepulauan Nusantara.
Sejak zaman ini mulai terlihat secara nyata adanya perkembangan kehidupan manusia, meskipun
dalam taraf yang sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan berpikirnya. Namun demikian
dalam rangka untuk mempertahankan diri dan keberlangsungan kehidupannya, secara lambat laun
manusia mulai mengembangkan kebudayaan. Beruntung kita bangsa Indonesia memiliki temuan
bermacam-macam jenis manusia purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga sejak akhir
abad ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melakukan kajian di negeri kita.
C. Mengenal Manusia Purba
Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba
Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat
membanggakan bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari berbagai pertimbangan yang
kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia
purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari masa lalu. Sangiran telah menjadi sentral
bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran.
Beberapa temuan fosil di Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian
termasuk di luar Sangiran.
Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai
warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri
dan luar negeri, serta sebagai tempat wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada
masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.
Untuk memahami jenis dan ciri-ciri manusia purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.
Peninggalan manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau
Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan
tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan
dipaparkan beberapa penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat.
1. Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan
bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten
Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan
Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah
kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di
Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang
memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu
mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat.
Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat
adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang
bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan
yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi
tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak
subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan
fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu
seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran,
akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav
Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak
sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan
penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat
terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan
berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum
masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan tetapi
juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa
fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih
dari dua juta tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu
pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996,
yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO. Sumber:
Harry Widianto dan Truman Simanjuntak. 2011. Sangiran Menjawab Dunia (Edisi Khusus). Jawa
Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Gambar 1.7 Sertifikat the Sangiran early
man
Perhatikan baik-baik gambar fosil manusia purba di samping, fosil itu juga disebut sebagai Sangiran
17 sesuai dengan nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di
Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu
merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu
ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa
Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada
tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua
horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan
sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi
manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang
hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von
Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di
Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia
pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini
ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan
fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume
otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc).
Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat
jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang
meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan
perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning,
Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu
penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan
diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang
digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak
itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan
mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta
tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk
dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini
merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang tertarik untuk
melakukan pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume
otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan
dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara
300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa
jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman pra-aksara.
1. Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936
dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini
kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus,
artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan
badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuhtumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa
di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia,
tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus,
artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut
Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo
erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan
berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3. Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh
Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia
Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak
semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang.
Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat
penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya
yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga
diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan
alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat
ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan
morfologis antara
Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya
dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan
sekompak Homo erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang
pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens
menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus.
Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo
sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak
yang jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai
tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata
antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies
yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni
berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan
Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya,
kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan manusia
modern awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian
dilanjutkan oleh (ii) kehidupan manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter
fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni
baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan
karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongolid. Ras inilah yang kemudian
berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang.
Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk
sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala
Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di
lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono
Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang
bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens. Mukanya datar dan
lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas
matanya ada busur kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30
tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890
di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang
bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang
nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah
besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah.
Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak
sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia
Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia
Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid
sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk
agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih
Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain
juga memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas. Temuan Wajak menunjukkan pada kita bahwa
sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar
dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap
sebagai suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi
mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo
neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke
arah Homo yang ditemukan di Indonesia. Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan
Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras
Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian
kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras
Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh
karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. tetapi
memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan manusia Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia
ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan
Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di Flores. Liang Bua bila diartikan
secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan
permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa
pra-aksara. Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di
sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan
manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan
dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September 2003
lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an, sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya
kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang
manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan
gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang
antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah.Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah
situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan
rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di
bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di
bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian
beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan
temuantemuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa Manusia Liang
Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan
Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik,
dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan
penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa
sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis dan postur yang
sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa binatang
komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan
perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam
spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan
genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada percampuran
antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens.
Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan
dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek
modern Homo sapiens juga sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens
hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa
hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang
sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang
dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu seperti berikut.
Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai
majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut
teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan
moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap
tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu
berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan
tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia
modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi
Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka,
dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan
tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam
pameran publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang
tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya
itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan
Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus
menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa dan heterokronis.
Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah
melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan
menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan
fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal,
bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat dipisahkan. Penemuan-penemuan
kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing,
menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis.
Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan
Pithecanthropus erectus.
Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan
Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia
modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan
kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan
perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus
Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah
debat pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang
berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari
Homo erectus.
D. Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Coba kamu cermati banyaknya suku bangsa di Indonesia memunculkan keberagaman bahasa
daerah, dan kebudayaan yang berlaku dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja
ada lebih dari 500 suku bangsa Indonesia, sungguh merupakan kekayaan bangsa yang tidak dimiliki
oleh negara lain. Namun demikian kekayaan ini akan menjadi masalah jika kita tidak pandai
mengelola perbedaan yang ada. Tentu ini berkaitan pula dengan asal mula kedatangan suku bangsa
dan kapan mereka datang? Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana proses dan
dinamika nenek moyang Indonesia sehingga terbentuk keragaman budayanya. Untuk itu kamu harus
mempelajarinya, agar kita bisa saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada.
Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan
bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air
laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan
vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk asli Kepulauan Indonesia
tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk
pendatang. Penduduk asli itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk
dalam kelompok ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di
Semenanjung Malaya.
Beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di
Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai hubungan erat
dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika,
Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah
berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup
dalam budaya mesolitik.
Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu budaya neolitik. Para pendatang baru itu
jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu
oleh Sarasin disebut sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah
diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
1. Proto Melayu
Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar
sampai pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras
Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit.
Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan
Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantaipantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan
Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang
para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke
pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu
itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam hutan-hutan
menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk
asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa
Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras Proto Melayu sedikit mendapat pengaruh
dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat
pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk
memperkenalkan agama Kristen dan peradaban baru dalam kehidupan mereka. Persebaran suku
bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan
mereka dari Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat
menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh
suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.
2. Deutero Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian utara. Mereka membawa budaya
baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka
seringkali disebut juga dengan orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada rasa
Proto Melayu. Mereka dapat membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan
keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia dapat
dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia,
yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini dapat dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan,
Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam bidang pengolahan tanah mereka
mempunyai kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka
ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga mempunyai peradaban
pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan
penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga
menggunakan jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan
Jepang, bahkan kelak ada yang hingga sampai Madagaskar. Kedatangan ras Deutero Melayu di
Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat
baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu
membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya
mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian
utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali
penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah ras Deutero Melayu.
3. Melanesoid
Ras lain yang juga terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid. Mereka tersebar di
lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan benua Australia. Di Kepulauan
Indonesia mereka tinggal di Papua. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New
Caledonia dan Fiji, mereka tergolong rumpun Melanesoid. Menurut Daldjoeni suku bangsa
Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di
sekitar Papua dan Papua-Nugini. Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Papua berawal
saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum
berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut menjadi beku.
Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan saat ini. Pada saat itulah
muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia
menuju kawasan Oseania. Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga ke Papua,
selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubungan
dengan Papua. Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu jiwa meliputi wilayah Papua
dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleotikum. Pada saat masa es
berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua dan Benua Australia
terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan
pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 jiwa. Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia
merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan
menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi
pada saat itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-
muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan
serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-
perkampungan yang terbuat dari bahanbahan yang ringan. Rumah-rumah itu sebenarnya hanya
berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan menempel pada dinding gua yang besar.
Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung,
sedangkan aktifitas lainnya dilakukan di luar rumah. Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh
bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan percampuran
dengan ras baru itu. Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan
Melanesoid-Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
4. Negrito dan Weddid
Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu
kemasukkan orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol
karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana
kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta
kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum
banyak diketahui dengan pasti. Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala
mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang; kulit mereka coklat tua
dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di
pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di
Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan
Tomuna)
Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok
ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia
saat ini. Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa Austronesia
(Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa
Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah
bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan
dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu
menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai
peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan
Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera
E. Corak kehidupan Masyarakat Masa Pra-aksara
1. Pola Hunian
Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan tentang pola hunian manusia purba
yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan
(2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta
kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs
purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong)
merupakan contohcontoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di
pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun
binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk
hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi
tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke
tempat yang lainnya.
2. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Sering kali kita mendengar aktivitas pembukaan lahan di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini
bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita juga sudah
melakukan hal serupa. Pola hidup berpindah-pindah dan melakukan aktivitas bercocok tanam demi
Sumber : Harry Widianto dan Truman Simanjuntak. 2011. Jejak Langkah Setelah Sangiran. Jawa
Tengah: Balai Pelastarian Situs Manusia Purba Sangiran. Gambar 1.19 Situs gua bekas tempat tinggal
kelangsungan hidup mereka. Bagaimana pendapat kamu mengenai kesamaan aktivitas dari dua
kehidupan manusia yang terpisah jarak jutaan tahun tersebut? Untuk mendapatkan pemahaman
tentang aktivitas bercocok tanam manusia purba di Kepulauan Indonesia silahkan telaah bacaan
berikut.
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan manusia
zaman pra-aksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup mereka umumnya
masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup
nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang
digunakan terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada manusia
Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya
lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka
beristirahat misalnya di bawah pohon besar. Mereka juga membuat atap dan sekat tempat istirahat
itu dari daun-daunan.
Masa manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka
hanya mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman
untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba
yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food
gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya
mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan
bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat
sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan.
Pelajaran inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk melakukan cocok tanam. Apa yang
mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan
mengharuskan pindah. mencari tempat yang dapat ditanami. Ada yang membuka hutan dengan
menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu juga sudah ada
pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Bagaimana pendapat kamu tentang hal ini dan
kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh manusia modern sekarang ini?
Kegiatan manusia bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah
jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan
dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini
berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan
orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga
kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan
yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan
mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem barter mulai berkembang.
Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.
Untuk lebih lengkapnya kamu bisa membaca buku Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah
Nasional Indonesia I, dan Sardiman AM dan Kusriyantinah, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum.
3. Sistem Kepercayaan
Sebagai manusia yang beragama tentu kamu sering mendengarkan ceramah dari guru maupun
tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya sebentar
sehingga tidak boleh berbuat menentang ajaran agama, misalnya tidak boleh menyakiti orang lain,
tidak boleh rakus, bahkan melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain. Karena
itu dalam hidup ini manusia harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling tolong
menolong. Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa karena
melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain.
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan
lain yang maha kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati.
Berikut ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan manusia zaman pra-aksara, yang
menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam berbagai bentuk
diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal.
Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang digunakan sebagai bekal kubur. Seiring dengan
bekal kubur ini, maka pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah
manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan
membuat berbagai bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup
bagus pada masa sekarang. Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain
sebagainya.
Masyarakat zaman pra-aksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem
kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa
roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh karena itu, roh orang
yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka
kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi
penguburan ini, jenazah orang yang telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan
kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama
mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin
dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya
juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.
Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk mendirikan bangunan
suci. Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya
ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus.
Batu-batu besar ini menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur juga memberi
peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan
baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah
dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan
manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem
kepercayaan masyarakat pra-aksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman
megalitikum = zaman batu besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir,
dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman praaksara, seorang dapat dilihat
kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan bahan wadah kubur dapat digunakan
sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan
jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata
lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang
dalam masyarakat.
Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas, telah mendorong
berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem
kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan
dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini memiliki
kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.
Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara akhir juga mulai mengenal
sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para
nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat
memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini sampai sekarang masih
dapat kita temui dibeberapa daerah.
Berikut ini kita akan membahas tentang teknologi bebatuan yang telah dikembangkan sejak
kehidupan manusia purba.
Perlu kamu ketahui bahwa sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah
mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan
yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi
bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih
bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka hanya
menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini
berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para ahli kemudian membagi
kebudayaan zaman batu di era pra-aksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan.
Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan
zaman batu ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum.
F. Perkembangan Teknologi
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan
juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman
batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal
zaman Quartair. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan
zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis
manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang
relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi
menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di
daerah ini. Seorang ahli, von Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan
beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat
batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu ini
sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk
binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan
juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga
ditemukan alat-alat serpih.
Alat-alat itu oleh Koeningswald digolongkan sebagai alatalat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”,
yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koeningswald
ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu
sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yang
ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu dikenal
sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia.
Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali,
Flores, dan Timor. Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan hingga
saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli condong kepada
jenis manusia Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir
Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir.
Kapak perimbas (chopper): Alat batu inti atau serpih yang dicirikan oleh tajaman monofasial yang
membulat, lonjong, atau lurus, dihasilkan melalui pangkasan pada satu bidang dari sisi ujung (distal)
ke arah pangkal (proksimal). Ciri yang membedakan kapak perimbas dengan serut adalah ukuran
dimana serut yang kasar dan masif digolongkan sebagai kapak perimbas, sementara yang halus dan
kecil digolongkan serut.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah
ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal
dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati.
Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-
alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alatalat ini sering disebut dengan flake.
Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu tengah yang dikenal zaman
Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil
kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua). Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan
zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan
alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini
terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di
gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding dapat diartikan
sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia,
kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di
sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger
ini dapat memberi informasi bahwa manusia purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal
di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan
menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman
Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi
nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali
yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan
keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu
pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan
menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang
ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini
tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua
Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil
teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga
ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan
misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
3. Mengenal Api
Bagi manusia, api merupakan faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik,
aktivitas manusia sehari-hari hampir dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak.
Pelajaran dan pengetahuan apa yang kamu peroleh melalui uraian tersebut.
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting.
Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan
pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin.
Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api
dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping itu penemuan api juga
memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara
membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api
sebagai senjata. Api pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang
menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia
dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan.
Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap
berkembang sampai sekarang.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda
halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api, jika
dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian
ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api.
Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik
secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada
kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api.
Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari
periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua
ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat
kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah
manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll).
Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar
1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki
ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania
dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam.
4. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman batu yang dapat dikatakan paling penting dalam kehidupan manusia adalah
zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman
batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola
hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring
dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis
Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok
tanam dan beternak sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup
bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di
zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.
a. Kebudayaan Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan
dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang
berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering
disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis
seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan
Bali. Diperkirakan sentrasentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor,
Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa
Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan. Kapak persegi ini
cocok sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong.
Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai
dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut
walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di
Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. Gambar 1.36
Gerabah
Pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu juga ditemukan barang-barang
perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.
Perlu kamu ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas
bebatuan untuk peralatan. Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering
dipergunakan adalah jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan, tufa kersikan,
kalsedon, dan jasper. Jenisjenis batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan pecahan
yang cenderung tajam dan tipis, sehingga memudahkan pengerjaan. Di beberapa situs yang
mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan)
tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak
menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di
sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini dapat diamati pada situs
Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada
umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.
c. Perkembangan Zaman Logam Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman
logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda
bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman
tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi.
Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh bendabenda
kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan.
Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya
nekara.
5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)
Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan
hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan
dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan
sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu manusia sudah mulai merancang sebuat tempat.
Bentuk arsitektur pada masa pra-aksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu.
Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang
berkembang pada masa pra-aksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah
mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan
adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak hanya
mencerminkan kehidupan sehari hari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di
goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual
penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera
pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk
membantu dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakan oleh manusia pra-aksara untuk
berburu binatang.
Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada
manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang
tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat
hunian di goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang
memberikan secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat berburu
yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam.
Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung
tak teratur seperti aliran sungai, dan pola spiral seperti route yang ditempuh mungkin adalah citra
pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mengutamakan arah utama. Secara sederhana
dapatlah kita lihat bahwa, pada masa praaksara konsep tata ruang, atau yang saat ini kita kenal
dengan arsitektur itu sudah mereka kenal.
G. Kesimpulan
Setelah membaca secara keseluruhan bab ini marilah kita sama-sama menyimpulkan nilai-nilai apa
yang dapat dipetik dari kehidupan masa lalu itu untuk kehidupan pada masa kini dan masa
mendatang.
1. Untuk mempelajari sejarah awal manusia ahli sejarah bergantung pada disiplin arkeologi, geologi
dan biologi dan cabang-cabang ilmu lainnya. Masa pra-aksara terbentang dari penemuan manusia
pertama di planet bumi ini hingga ditemukannya tulisan. Cerita sejarahnya mulai sejak sekitar
500.000 atau barangkali sekitar 250.000 tahun lalu.
2. Pengetahuan tentang kehidupan manusia pra-aksara menyediakan jawaban tentang asalusul
manusia dan kemanusiaan, serta keberadaan manusia di dunia dalam mencapai impiannya dan
rintangan-rintangan yang dihadapinya. Sebagai sebuah bangsa, pembelajaran mengenai kehidupan
manusia pra-aksara hendaknya menggugah kita untuk memperbarui pertanyaan klasik seperti, dari
manakah kita berasal dan bagaimana evolusi perjalanan hidup manusia di masa lalu hingga
mencapai suatu tahap sejarah ke tahap berikutnya?
3. Semakin sadar kita tentang asal usul dan evolusi yang dijalani nenek moyang di masa lampau,
hendaknya semakin ingat pula kita tentang tugas dan tanggung jawab sebagai seorang peserta didik
yang akan membangun bangsa ini.
4. Nenek moyang orang Indonesia di masa lampau telah menjalani sejarah yang amat panjang dan
berat dengan segala tantangan zaman yang dihadapi pada masanya. Mereka telah mengalami
evolusi atau transformasi sedemikian rupa yaitu, dari nomaden ke kehidupan menetap, dari
mengumpulkan makanan dan berburu menjadi penghasil bahan makanan, dari ketergantungan total
pada alam dan teknologi dalam bentuk manual kepada upaya menciptakan alat yang kian lama kian
canggih, dan dari hidup berkelompok berdasarkan sistem kepemimpinan primus interpares ke
susunan masyarakat yang lebih teratur. Semua itu berlangsung dengan cara yang tak mudah dan
memakan waktu yang lama, bahkan ribuan tahun.
5. Perubahan-perubahan itu tidak mengalir begitu saja, tetapi dimulai dari reflesi berpikir dan
gagasan hasil interaksi mereka dengan alam sekitar. Kondisi lingkungan yang berat mengajarkan
bagaimana, misalnya, membuat alat yang tepat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Dalam
masyarakat, generasi yang lebih tua meneruskan tradisi dan pengalaman kolektifnya kepada yang
lebih muda. Dengan akumulasi pengalaman kolektif itu mereka belajar meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan.
6. Pencapaian prestasi yang diraih manusia modern dewasa ini telah mengubah dunia dengan cara
yang mungkin tak terbayangkan oleh nenek moyang mereka di masa silam. Kehidupan modern
dibayar dengan harga besarnya energi yang telah dikuras oleh manusia, baik itu yang tidak terbarui
(antara lain minyak bumi, gas, dan batubara) maupun yang terbarui (air, kayu, hutan dan lain-lain).
Karena itu, seorang ahli ilmu hayat Tim Flannery menyebut manusia Homo sapiens zaman modern
berbeda dengan nenek moyang mereka, karena mereka tidak lain adalah “pemangsa masa depan”.
Julukan ini tidak salah apabila kita menghitung kembali kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
eksploitasi manusia hingga saat ini. Bahkan, sumberdaya alami (antara lain tambang mineral, bahan
bakar fosil, keindahan alam, hutan tropis, dan sumber daya lautan) yang seharusnya bukan menjadi
hak manusia saat ini, tetapi warisan bagi anakcucu di masa mendatang, sudah mulai dimanfaatkan
atau malah sudah dimakan habis.
7. Kekayaan sumber kearifan lokal zaman pra-aksara menyediakan inspirasi dan sekaligus peringatan
bagi generasi kita bagaimana hubungan harmoni antara manusia dan alam tidak perlu menimbulkan
malapetaka bagi manusia lain. Kekayaan alam pikir manusia pra-aksara jelas merupakan kearifan
lokal yang harus terus menerus digali lagi dan bukan diremehkan. Mitosmitos tentang awal
penciptaan dunia dan asal-usul manusia dengan cerita yang berbeda-beda di berbagai suku bangsa,
tidak hanya mengandung nilai pelajaran di dalamnya, tetapi juga, kalau ditelusuri lebih jauh,
membawa pesan-pesan rasional yang sering disampaikan secara simbolik. Maka, di saat manusia
modern hidup semakin individualistik, semakin terasa pula kebutuhan untuk menegakkan nilai-nilai
kearifan lokal. Entah itu yang namanya berupa gotong royong, kekeluargaan dan kebersamaan.
Itulah kebiasaan nenek moyang, misalnya, dalam rangka membangun kampung, mendirikan
bangunanbangunan dari batu besar atau megalitik. Tidak jarang pula para pemimpin kelompok sosial
mengadakan pesta jasa sebagai bukti bahwa mereka dapat memberikan kesejahteraan bagi anggota
masyarakatnya. Semua anggota masyarakat ikut terlibat dan secara bersama-sama melaksanakan
upacaraupacara. Masyarakat yang telah merasakan kesejahteraan yang diberikan pemimpin akan
membalas jasa itu dengan bergotong royong mengangkut dan mendirikan batu tegak (prasasti) bagi
pemimpinnya. Di masa lampau, sifat gotong royong itu, tidak saja terlihat dalam mendirikan
bangunan megalitik tetapi juga untuk pendirian rumah, upacara syukuran panen, serta upacara
kematian. Apa pun bentuknya, pengalaman kolektif manusia pra-aksara adalah akar tunggang dari
budaya Nusantara, yang tentunya dapat memperkuat budaya Indonesia modern dalam mengarungi
globalisasi abad ke-21 ini.
Kutipan di atas menunjukkan perkembangan Kebudayaan Hindu-Buddha sudah berlangsung sangat
lama dan meluas di seluruh Kepulauan Indonesia. Kebudayaan yang sangat monumental adalah
mulai dikenalnya tulisan. Oleh karena itu dalam bab ini kita akan mengenal lebih lanjut tentang
penduduk di Kepulauan Indonesia ketika sudah mengenal tulisan dan kebudayaannya mulai
berkembang. Terutama sewaktu pengaruh-pengaruh budaya Hindu-Buddha masuk ke Kepulauan
Indonesia. Masa ini sering kali disebut juga dengan masa klasik, yaitu awal masuknya unsur-unsur
budaya India di Kepulauan Indonesia. Pada tahapan ini pula banyak kemajuan yang dicapai dalam
pemikiran dan hasil-hasil budaya baik dalam bentuk benda, maupun budaya tak benda. Masa klasik
juga diartikan sebagai pertimbangan banyaknya capaian budaya pada masa Hindu-Buddha itu yang
masih tetap dihargai dan ditafsirkan ulang hingga saat ini meskipun pengaruh budaya Hindu-Buddha
sudah mulai memudar dan digantikan oleh budaya lain.

Bab II Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha)


Masa Hindu-Buddha berlangsung selama kurang lebih 12 abad. Pembabakan masa Hindu-Buddha
terbagi menjadi tiga, yaitu periode pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan. Pada abad ke-16
agama Islam mulai mendominasi Nusantara. Namun, tidak berarti pengaruh kebudayaan Hindu-
Buddha hilang tergantikan kebudayaan Islam. Agama Islam mengakomodasi peninggalan Hindu-
Buddha, tentunya dengan melakukan modifikasi agar tetap berselang beberapa abad, wujud
peradaban Hindu-Buddha masih dapat kita saksikan hingga sekarang, misalnya dalam perwujudan
sastra dan arsitektur. (Taufik Abdullah (ed), 2012)

A. Pengaruh Budaya India


Candi Borobudur terletak di Kota Magelang, Jawa Tengah. Dari bentuk arsitekturnya candi itu
merupakan candi Buddha. Candi yang megah itu merupakan satu di antara tujuh keajaiban dunia.
Kamu tentu bangga dengan tinggalan budaya itu dan harus dapat merawat peninggalan yang sangat
berharga tersebut. Tidak jauh dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan. Candi Hindu itu
terletak di perbatasan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Klaten, Jawa Tengah. Kedua candi
yang megah itu merupakan bukti perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia. Apa kamu pernah membaca cerita rakyat tentang Lara Jonggrang dan Bandung
Bondowoso? Cerita itu yang melatarbelakangi terjadinya Candi Prambanan. Benarkah hal tersebut
terjadi nyata ataukah hanya sebuah mitos belaka? Kamu dapat mendiskusikannya bersama teman-
teman.
Dua mahakarya itu merupakan bukti-bukti pencapaian yang luar biasa pada Dinasti Syailendra.
Setelah masa dinasti tersebut surut, pusat kebudayaan dan politik kerajaan pindah ke Jawa bagian
timur. Di Jawa bagian timur itu kemudian berdirilah kerajaan yang diperintah oleh keturunan Raja
Mataram yang bernama Mpu Sindok. Beberapa sumber sejarah yang berasal dari Cina menyebutkan
tentang adanya hubungan perkawinan antara raja Jawa dan Bali pada masa pemerintahannya.
Sementara itu, di Sumatra terdapat Kerajaan yang sangat terkenal, yaitu Sriwijaya. Kerajaan yang
handal menjalin hubungan dengan dunia internasional melalui jaringan perdagangan dan
kemaritimannya. Dalam masa itulah para pedagang datang dari India, Cina dan Arab untuk
meramaikan Sriwijaya. Saat Sumatra berada di bawah Dinasti Syailendra, kerajaan itu dapat
menguasai kerajaan-kerajaan lain di sepanjang Selat Malaka. Pada masa itu pula hubungan dengan
India dan Cina berkembang pesat. Bahkan hubungan itu sangat berpengaruh dalam perkembangan
budaya pada masa itu, bahkan hingga saat ini pengaruh kedua budaya itu masih dapat kita temui.
Kehebatan Sriwijaya juga ditunjukkan dengan adanya “dharma” (sumbangan) dari Raja Sriwijaya
untuk mendirikan asrama di Nalanda, India. Sriwijaya pun menjadi pusat belajar agama Buddha pada
masa itu. Sumber-sumber Tibet dan Nepal menyebutkan, seorang pendeta Buddha yang bernama
Atisa, belajar Agama Buddha di Sriwijaya selama 12 tahun, atas saran I-tsing, seorang musafir dari
Cina yang lebih dahulu pernah singgah di Sriwijaya.
Jika mengunjungi Candi Prambanan atau Candi Borobudur, kamu akan melihat kisah dalam dunia
wayang. Tentu kamu juga pernah mendengar tentang wayang, atau bahkan ada yang suka melihat
wayang. Wayang sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak masa Hindu-Buddha. Melalui wayang
kisah Mahabharata dipentaskan. Kisah yang hingga saat ini masih populer adalah kisah
Bharatayudha. Kisah yang menceritakan tentang perang saudara antara Kurawa dan Pandawa,
tentang kebaikan yang mengalahkan kejahatan. Cerita itu merupakan saduran dari India. Seorang
pujangga Jawa diperintahkan oleh Jabajaya untuk menulis cerita itu dalam versi Jawa. Jayabaya
adalah Raja Kediri yang kekuasaannya tidak dapat ditentang oleh kerajaan-kerajaan lain. Raja ini pula
yang dikenal karena kehebatan ramalannya. Selain Mahabharata juga dikenal cerita tentang
Ramayana. Dari kisah Ramayana itulah disebutkan adanya Jawadwipa, pulau yang kaya dengan
tambang emas dan perak.
Nama Jawadwipa juga sudah dikenal oleh seorang ahli geografi Yunani, Ptolomeus, pada awal tarikh
Masehi dengan nama “Labadiu”. Jadi nama Kepulauan Indonesia sudah ditulis dan dikenal oleh
penulis Barat jauh pada masa awal Masehi. Ptolomeus menyebutkan bahwa Pulau Labadiu artinya
Pulau Padi atau dikenal pula dengan Jawadwipa.
Nah, bagaimanakah agama Hindu dan Buddha dapat masuk di Kepulauan Indonesia? Banyak ahli
yang berpendapat tentang itu. Pada bab ini kita akan belajar tentang masuk dan berkembangnya
pengaruh-pengaruh India dan Cina, serta capaian-capaian yang dilakukan para penguasa pada masa
saat itu dan proses masuknya agama Hindu dan Buddha. Pada saat ini pula peranan pedagang,
penguasa, dan pujangga sangat terlihat dari bukti-bukti capaian budaya yang hingga kini masih dapat
kita jumpai.
Satu diantara bangsa yang berinteraksi dengan penduduk kepulauan di Indonesia adalah bangsa
India. Interaksi itu terjalin sejalan dengan meluasnya hubungan perdagangan antara India dan Cina.
Hubungan itu yang mendorong pedagang-pedagang India dan Cina datang ke kepulauan di
Indonesia. Menurut van Leur, barang yang diperdagangkan dalam pasar internasional saat itu adalah
barang komoditas yang bernilai tinggi. Barang-barang itu berupa logam mulia, perhiasan, berbagai
barang pecah belah, serta bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Dua komoditas penting yang
menjadi primadona pada awal masa sejarah di Kepulauan Indonesia adalah gaharu dan kapur barus.
Kedua komoditi itu merupakan bahan baku pewangi yang paling digemari oleh bangsa India dan
Cina. Interaksi dengan kedua bangsa itu membawa perubahan pada bentuk tatanegara di beberapa
daerah di Kepulauan Indonesia. Juga perubahan dalam susunan kemasyarakatan dan sistem
kepercayaan. Sejak saat itu pula pengaruh-pengaruh Hindu-Buddha berkembang di Indonesia.
Tanda-tanda tertua adanya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia berupa prasasti-prasasti yang
ditemukan di daerah Sungai Cisedane dekat Kota Bogor saat ini. Juga di Jawa Barat dekat Kota
Jakarta. Disamping itu kita juga dapat melihat peninggalan kebudayaan Hindia itu di sepanjang
pantai Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muara Kaman, Kutai. Menurut para ahli sejarah kuno,
kerajaan-kerajaan yang disebut dalam prasastiprasasti itu adalah kerajaan Indonesia asli, yang hidup
makmur bersumber dari perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Interaksi dengan
orang-orang dari negara lain itulah yang kemudian mempengaruh cara pandang para raja-raja saat
itu untuk mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang para ahli dan para pendeta
dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau Brahma.
Beberapa bukti menunjukkan, setelah budaya India masuk, terjadi banyak perubahan dalam tatanan
kehidupan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, kerajaan tertua di Muarakaman, Kalimatan
Timur, yaitu Kerajaan Kutai mendapat pengaruh yang kuat dari budaya India yaitu budaya yang
dikembangkan oleh Bangsa Arya di lembah Sungai Indus. Percampuran budaya itu kemudian
melahirkan kerajaan yang bersifat Hindu di Nusantara. Baik itu yang mencakup dalam sistem religi,
sistem kemasyarakatan, dan bentuk pemerintahan. Suatu hal yang sangat penting dalam pengaruh
Hindu adalah adanya konsepsi mengenai susunan negara yang amat hirarkis dengan pembagian-
pembagian dan fraksi-fraksi yang digolongkan ke dalam empat atau delapan bagian besar yang
bersifat sederajat dan tersusun secara simetris. Semua bagianbagian itu diorientasikan ke atas, yaitu
sang raja dianggap sebagai keturunan dewa. Raja dianggap keramat dan puncak dari segala hal
dalam negara dan pusat alam semesta.
Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan zaman
modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi
seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia. Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual
agama Hindu pada masa itu yang mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.
Sebelum kebudayaan India masuk, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala suku yang
dipilih oleh anggota masyarakat. Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui
tentang adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik. Ia juga dianggap
sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus dapat melindungi keselamatan dan kesejahteraan
rakyatnya. Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya. Setelah masuknya
budaya India, terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja seperti halnya di India.
Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan
tetapi diturunkan secara turun temurun. Raja merupakan penjelmaan dewa yang seringkali
disembah oleh rakyatnya. Para Brahmana agama Hindu tidak dibebani untuk menyebarkan agama
Hindu di Indonesia. Pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir
sebagai Hindu. Mengingat hal tersebut, maka menjadi menarik dengan adanya agama Hindu di
Indonesia. Bagaimana dapat terjadi bahwa orangorang Indonesia yang pasti pada mulanya tidak
dilahirkan sebagai Hindu dapat beragama Hindu.
Demikian pula dengan sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh
bangsa Arya yang berkembang di Lembah Sungai Indus adalah sistem kasta. Sistem kasta mengatur
hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsabangsa yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan
masyarakat berdasarkan fungsinya. Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama.
Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki
golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan
keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar terbentuknya kepercayaan terhadap
Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna.
Awal hubungan dagang antara penduduk Kepulauan Nusantara dan India bertepatan dengan
perkembangan pesat dari agama Buddha. Pendeta-pendeta Buddha menyebarkan ajarannya
keseluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghitungkan kesulitan-kesulitan yang
ditempuhnya. Mereka mendaki Himalaya untuk menyebarkan ajaran Buddha di Tibet. Dari Tibet
mereka melanjutkan ke arah utara hingga sampai ke Cina. Kedatangan mereka itu biasanya
disampaikan terlebih dahulu, sehingga ketika tiba di tempat tujuan mereka dapat bertemu dengan
kalangan istana. Mereka biasanya mengajarkan agama dengan penuh ketekunan. Mereka juga
membentuk sebuah sanggha dengan biksubiksu setempat, sehingga muncul suatu ikatan langsung
dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan para biksu dari India ke negara-negara lain itu,
memunculkan keinginan para penduduk daerah setempat untuk pergi ke India mempelajari agama
Buddha lebih lanjut. Para biksu lokal itu kemudian kembali dengan membawa kitabkitab suci, relik,
dan kesan-kesan. Bosch menyebut gejala ini dengan “arus balik”. Pengaruh Buddha di Indonesia
dapat dijumpai pada beberapa temuan arkeologis. Satu bukti adalah ditemukannya arca Buddha
terbuat dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan. Menurut ciri-cirinya, arca Sempaga
memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan. Arca sejenis juga ditemukan di
daerah Jember, Jawa Timur dan daerah Bukit Siguntang Sumatra Selatan. Di daerah Kota Bangun
Kutai, Kalimantan Timur, juga ditemukan arca Buddha. Arca Buddha itu memperlihatkan ciri seni
area dari India Utara. Kalau begitu kapan kebudayaan Hindu-Buddha dari India itu masuk ke
Kepulauan Indonesia?
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut
Hindunisasi. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur proses masuk
dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Beberapa pendapat (teori)
tersebut dijelaskan pada uraian berikut:
Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa
munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum
ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan
kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Namun, teori Ksatria
yang dikemukakan oleh R.C. Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
Selama ini belum ada ahli arkeolog yang dapat menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya
ekspansi dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada
semangat petualangan para kaum ksatria.
Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan bahwa
kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang.
Pada saat itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang menyebabkan mereka tergantung
pada musim angin dan kondisi alam. Bila musim angin tidak memungkinkan maka mereka akan
menetap lebih lama untuk menunggu musim baik. Para pedagang India pun melakukan perkawinan
dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan kebudayaan
India. Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk datang ke Asia Tenggara
adalah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan.
Ketiga, teori Brahmana. Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa Hindunisasi di
Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas
temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Bahasa dan
huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu adanya kepentingan dari para
penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk
keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala
suku agar mereka menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan
dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.
Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik. Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa
Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Artinya, orang-
orang di Kepulauan Indonesia terutama para tokohnya yang pergi ke India. Di India mereka belajar
hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha. Setelah kembali mereka mengajarkan dan
menyebarkan ajaran agama itu kepada masyarakatnya. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan
pandangan F.D.K. Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia
dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri dari kaum terpelajar yang mempunyai
semangat untuk menyebarkan agama Buddha. Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh
masyarakat. Selanjutnya karena tertarik dengan ajaran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk
memperdalam ajaran itu. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses Indianisasi adalah suatu
pengaruh yang kuat terhadap kebudayaan lokal.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat
di Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang
bersifat Hindu-Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan
karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat pada
masa itu.
Nah, bagaimana selanjutnya dengan persebaran agamaagama itu? Beberapa bukti arkeologis
menunjukkan perkembangan masuknya agama Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Pengaruh
Hindu ditemukan pada abad ke-5 Masehi. Prasasti yang ditemukan di Kutai dan Tarumanegara yang
menyebutkan sapi sebagai hewan persembahan menunjukkan bahwa agama Hindu berkembang di
daerah itu. Juga adanya penyebutan Dewa Trimurti yaitu, Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Mungkin kamu pernah mendengar atau malah sudah pernah berkunjung di suatu tempat yang
disebut Trowulan di Mojokerto. Kompleks Trowulan inilah yang diperkirakan dulu menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Majapahit. Beberapa situs yang dapat kita temukan sekarang misalnya ada
pendhopo, segaran, Candi Bajang Ratu dan sebagainya. Kamu bayangkan Majapahit tempo dulu
merupakan kerajaan yang luas dan sudah menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan di luar
Kepulauan Indonesia. Bahkan Mohammad Yamin menyebut Kerajaan Majapahit itu sebagai Kerajaan
Nasional kedua. Bayangkan pula tokoh besar seperti Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk yang
berhasil mempersatukan Nusantara. Bahkan hingga saat ini kebesaran Patih Gajah Mada masih
melekat dalam ingatan kita, hingga makam Patih Gajah Mada oleh masyakarat Lombok Timur
dipercaya berada di kompleks pemakaman Raja Selaparang. Cerita kebesaran Patih Gajah Mada juga
terdapat di daerah lain. Nah, itulah satu diantara kisah menarik Kerajaan Majapahit, satu diantara
kerajaan-kerajaan HinduBuddha yang ada di Nusantara. Berikut ini kita akan mempelajari
perkembangan beberapa kerajaan Hindu-Buddha.
B. Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha
1. Kerajaan Kutai
Bicara soal perkembangan Kerajaan Kutai, tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman. Kamu perlu
memahami keberadaan Kerajaan Kutai, karena Kerajaan Kutai ini dipandang sebagai kerajaan Hindu-
Buddha yang pertama di Indonesia. Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di
tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan
memiliki beberapa anak sungai. Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam
dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat
dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan. Inilah posisi
yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sungguh Tuhan Yang
Maha Esa menciptakan alam semesta dan tanah air Indonesia itu begitu kaya dan strategis. Hal ini
perlu kita syukuri.
Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan sumber sejarah yang dapat
menjelaskannya. Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa
batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada
masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa
sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad
ke-5 M.
Hal menarik dalam prasasti itu adalah disebutkannya nama kakek Mulawarman yang bernama
Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal yang setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha
daerahnya berubah menjadi kerajaan. Walaupun sudah mendapat pengaruh Hindu-Buddha
namanya tetap Kudungga berbeda dengan puteranya yang bernama Aswawarman dan cucunya yang
bernama Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal sebagai wamsakerta adalah Aswawarman.
Coba pelajaran apa yang dapat kita peroleh dengan persoalan nama di dalam satu keluarga
Kudungga itu?
Satu di antara yupa itu memberi informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan
bahwa Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman dikatakan seperti
Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang terkenal adalah
Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang terbesar di Kutai. Ia pemeluk agama
HinduSiwa yang setia. Tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang
sangat dekat dengan kaum brahmana dan rakyat. Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia
mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana. Oleh karena itu, sebagai
rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana mendirikan sebuah
yupa.
Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonomi
pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai, sehingga masyarakatnya melakukan
pertanian. Selain itu, mereka banyak yang melakukan perdagangan. Bahkan diperkirakan sudah
terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat
Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu
singgah terlebih dahulu di Kutai. Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur.
Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan yang artinya:“Sang Mulawarman, raja yang
mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti
api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara”.
1. Bila benar Kudungga adalah penduduk pribumi, bagaimana agama Hindu dapat masuk di Kerajaan
Kutai? Hubungkanlah jawabanmu dengan teori tentang proses masuk dan berkembangnya agama
dan kebudayaan Hindu di Nusantara.
2. Bacalah dengan cermat keterangan di yupa itu. Bila isi yupa itu diartikan secara harfiah,Raja
Mulawarman memberikan hadiah sapi sebanyak 20.000 ekor kepada para brahmana, artinya pada
abad ke-5 telah ada suatu peternakan yang sangat maju. Permasalahan yang muncul adalah
benarkah pada saat itu peternakan sudah begitu majunya, sehingga dengan mudah memberikan
20.000 ekor sapi. Diskusikan dengan teman-teman sekelas kamu!
2. Kerajaan Tarumanegara
Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan adalah pada masa
Kerajaan Tarumanegara. Untuk mengendalikan banjir dan usaha pertanian yang diduga di wilayah
Jakarta saat ini, maka Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabaga. Setelah selesai melakukan
penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu kepada brahmana. Berkat sungai
itulah penduduk Tarumanegara menjadi makmur. Siapakah Raja Purnawarman itu?
Purnawarman adalah raja terkenal dari Tarumanegara. Perlu kamu pahami bahwa setelah Kerajaan
Kutai berkembang di Kalimantan Timur, di Jawa bagian barat muncul Kerajaan Tarumanegara.
Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa bagian barat. Berdasarkan prasasti-prasasti
yang ditemukan letak pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai Citarum
dan Cisadane. Kalau mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan
dengan kata tarum yang artinya nila. Kata tarum dipakai sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat,
yakni Sungai Citarum. Mungkin juga letak Tarumanegara dekat dengan aliran Sungai Citarum.
Kemudian berdasarkan Prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusatnya ada di daerah Bekasi.
Sumber sejarah Tarumanegara yang utama adalah beberapa prasasti yang telah ditemukan.
Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti.
Prasasti-prasasti itu berhuruf pallawa dan berbahasa sanskerta. Prasasti itu adalah:
1. Prasasti Tugu
Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman ini ditemukan di Kampung batutumbuh, Desa Tugu,
dekat Tanjungpriuk, Jakarta. Dituliskan dalam lima baris tulisan beraksara pallawa dan bahasa
sanskerta. Inskripsi tersebut isinya sebagai berikut:
“Dulu (kali yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai
lengan kencang dan kuat, (yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut, setelah (kali ini)
sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja
Purnawarman yang berkilauan-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi
panji-panji segala raja, (maka sekarang) beliau memerintahkan pula menggali kali yang permai dan
berair jernih, Gomati namanya, seteleh kali itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang
Mulia Sang Pandeta Nenekda (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik,
tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra,
jadi hanya dalam 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan
baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.
2. Prasasti Ciaruteun
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti
terdiri atas dua bagian, yaitu Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris tulisan berakasara
pallawa dan bahasa sanskerta, dan Inskripsi B yang terdiri dari satu baris tulisan yang belum dapat
dibaca dengan jelas. Inskripsi ini disertai pula gambar sepasang telapak kaki. Inskripsi A isinya
sebagai berikut:
“ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di
negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Beberapa sarjana telah berusaha membaca inskripsi B, namun hasilnya belum memuaskan. Inskrispi
B ini dibaca oleh J.L.A. Brandes sebagai Cri Tji aroe? Eun waca (Cri Ciaru?eun wasa), sedangkan H.
Kern membacanya Purnavarmma-padam yang berarti “telapak kaki Purnawarman”.
3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruetun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya
dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah. Isinya sebagai
berikut:
“Di sini tampak sepasang telapak kaki…… yang seperti (telapak kaki) Airawata, gajah penguasa
Taruma (yang) agung dalam…… dan (?) kejayaan”.
4. Prasasti Muara Cianten
Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi
ini belum dapat dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-
sulsuran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal.
5. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)
Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleangkak, Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya
dituliskan dalam dua baris tulisan dengan aksara pallawa dan bahasa sansekerta. Isinya sebagai
berikut:
“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, adalah pemimpin manusia yang tiada taranya,
yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang baju
zirahnya yang terkenal tiada dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya,
yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri
dalam daging musuhmusuhnya”.
6. Prasasti Cidanghiang (Lebak)
Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Dituliskan dalam dua baris
tulisan beraksara pallawa dan bahasa sanskerta. Isinya sebagai berikut:
“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang
Mulia Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja:.
7. Prasasti Pasir Awi
Inskripsi ini terdapt di sebuah bukit bernama Pasir Awi, di kawasan perbukitan Desa Sukamakmur,
Jonggol, Bogor, Inskripsi prasasti ini tidak dapat dibaca karena inskripsi ini lebih berupa gambar
(piktograf) dari pada tulisan. Di bagian atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.
Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad ke-5 M. Raja yang sangat terkenal adalah
Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para
brahmana, pangeran, dan rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Daerahnya
cukup luas sampai ke daerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan dengan
kerajaan lain, misalnya dengan Cina.
Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikit
yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang (animisme).
Berdasarkan berita dari Fa-Hien, di To-lomo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama
Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu. Sebagai bukti, pada
prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya
menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T’ang terjadi hubungan perdagangan dengan Jawa.
Barangbarang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.
dituliskan pula bahwa penduduk daerah itu pandai membuat minuman keras yang terbuat dari
bunga kelapa.
Rakyat Tarumanegara hidup aman dan tenteram. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok. Di
samping itu, perdagangan juga berkembang. Kerajaan Tarumanegara mengadakan hubungan dagang
dengan Cina dan India.
Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara
menggali sebuah saluran sepanjang 6112 tumbak (±11 km). Saluran itu disebut dengan Sungai
Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah bahaya banjir.
Prasasti Jambu ( Pasir Koleangkak) terletak di sebuah bukit, di Desa Parakan Muncang, Nanggung,
Bogor. Prasasti ini ditulis dalam dua baris tulisan dengan aksara pallawa dan bahasa sanskerta. Isinya
sebagainya berikut:
“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, adalah pemimpin manusia yang tiada taranya,
yang termasyhur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan baju
zirahnya yang terkenal tiada dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya
yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri
dalam daging musuh-musuhnya”.
Bagaimana pendapat kamu tentang isi teks di atas? Apakah pola kepemimpinan tokoh yang
dijelaskan pada teks tersebut masih sesuai dengan pemimpin ideal saat ini?
3. Kerajaan Kalingga
Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita
yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Kerajaan Kalingga atau
Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama
sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po-li (Bali
sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara
Kalingga terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena
itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di
sebelah utara Gunung Muria.
Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang.
Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal
yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan
Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.
Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita yang bernama
Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat
bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. Rakyat patuh terhadap semua
peraturan yang berlaku. Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya,
dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang
mengusik pundi-pundi itu.
Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh
kantong pundi-pundi dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai
salah dan harus diberi hukuman mati. Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, hukuman itu
diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu
Sima. Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya sendiri.
Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha
berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal
selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke
dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta
bernama Janabadra.
Kepemimpinan raja yang adil, menjadikan rakyat hidup teratur, aman,dan tenteram. Mata
pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk
pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.
Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai
perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian
timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755 M.
4. Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara, India dengan Kepulauan Indonesia sudah
ramai. Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para
pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan.
Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur sekitar abad ke7, antara lain Tulangbawang,
Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai
kejayaannya adalah Sriwijaya. Kerajaan Melayu juga sempat berkembang, dengan pusatnya di Jambi.
Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat
ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Letak pusat Kerajaan Sriwijaya ada berbagai
pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang, ada yang
berpendapat di Jambi, bahkan ada yang berpendapat di luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang
banyak didukung oleh para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan
di tepi Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran,
Sriwijaya berpindah ke Jambi.
Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan
huruf pallawa. Bahasa yang dipakai Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu antara lain sebagai berikut.
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka
tahun 605 Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang
mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari
Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini
berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya menyebutkan tentang pembangunan sebuah taman yang
disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya terutama
tentang kutukankutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.
4. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M). Isinya terutama
permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang
yang bermaksud jahat.
5. Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi, berangka tahun 608 saka (686 M). Isinya sama dengan isi
Prasasti Kota Kapur. Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor berangka tahun 775 M
ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda di India Timur. Di samping prasasti-
prasasti tersebut, berita Cina juga merupakan sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya
berita dari I-tsing, yang pernah tinggal di Sriwijaya.
Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya
antara lain:
a. Letak geografis dari Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi
Sungai Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung
pelabuhan di Muara Sungai Musi. Keadaan seperti ini sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan
pertahanan. Kondisi itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India
ke Cina, atau sebaliknya. Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan laut yang cukup tenang,
serta penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.
b. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini telah memberi
kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.
Perkembangan Politik dan Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7.
Pada awal perkembangannya, raja disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit
dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak
melakukan usaha perluasan daerah.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai antara lain sebagai berikut.
a. Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.
b.Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat penting
artinya bagi usaha pengembangan perdagangan dengan India. Menurut I-tsing, penaklukan Sriwijaya
atas Kedah berlangsung antara tahun 682-685 M.
c. Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, merupakan daerah
yang sangat penting. Daerah ini dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun 686 M berdasarkan Prasasti
Kota Kapur. Sriwijaya juga diceritakan berusaha menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia kepada
Sriwijaya. Bhumi Java yang dimaksud adalah Jawa, khususnya Jawa bagian barat.
d. Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki kedudukan yang penting,
terutama untuk memperlancar perdagangan di pantai timur Sumatra. Penaklukan ini dilaksanakan
kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
e. Tanah Genting Kra merupakan tanah genting bagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan
Tanah Genting Kra sangat penting. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di tanah genting
sangat dekat, sehingga para pedagang dari Cina berlabuh dahulu di pantai timur dan membongkar
barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar ke
India. Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang
berangka tahun 775 M.
f. Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno. Menurut berita Cina, diterangkan adanya serangan dari
barat, sehingga mendesak Kerajaan Kalingga pindah ke sebelah timur. Diduga yang melakukan
serangan adalah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa bagian tengah karena pantai utara Jawa
bagian tengah juga merupakan jalur perdagangan yang penting.
Sriwijaya terus melakukan perluasan daerah, sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk
lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M dibangunlah sebuah pangkalan di daerah
Ligor. Waktu itu yang menjadi raja adalah Darmasetra.
Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9
M. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan.
Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan
Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Balaputradewa adalah
seorang raja yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan
Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja ini menghadiahkan sebidang tanah
kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang
belajar di Nalanda, yang dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”. Hal itu tercatat dengan
baik dalam Prasasti Nalanda, yang saat ini berada di Universitas Nawa Nalanda, India. Bahkan bentuk
asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan Candi Muara Jambi, yang berada di Provinsi
Jambi saat ini. Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama
pengetahuan agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya.
Pada tahun 990 M yang menjadi Raja Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa. Pada masa
pemerintahan raja itu terjadi serangan Raja Darmawangsa dari Jawa bagian Timur. Akan tetapi,
serangan itu berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya. Sri Sudamaniwarmadewa kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama Marawijayottunggawarman. Pada masa pemerintahan
Marawijayottunggawarman, Sriwijaya membina hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala.
Pada masa itu, Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya.
Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan Sriwijaya cukup Luas. Daerah-daerah kekuasaannya
antara lain Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah,
sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara. Bahkan
Muhammad Yamin menyebutkan Sriwijaya sebagai negara nasional yang pertama.
Untuk mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang Rakryan (wakil
raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur pemerintahan.
Perkembangan Ekonomi Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi
karena Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat
berkembang. Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan
perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di
persimpangan jalan perdagangan internasional. Para pedagang Cina yang akan ke India singgah
dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang dan India yang akan ke Cina. Di Sriwijaya para
pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai
dan berkembang menjadi pusat perdagangan. Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional
maupun internasional di kawasan perairan Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka,
Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Tampilnya Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, memberikan kemakmuran bagi rakyat dan negara
Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat, harus membayar pajak. Dalam
kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang liar,
sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas,
gading, dan binatang.
Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan
maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan
hasil-hasil laut. Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang
kuat. Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu mengawasi perairan di Nusantara.
Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan
berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.
Kehidupan beragama di Sriwijaya sangat semarak. Bahkan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha
Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara. Diceritakan oleh I-tsing, bahwa di Sriwijaya tinggal
ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha. Salah seorang pendeta Buddha yang terkenal adalah
Sakyakirti. Banyak pelajar asing yang datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta. Kemudian
mereka belajar agama Buddha di Nalanda, India. Antara tahun 1011 - 1023 datang seorang pendeta
agama Buddha dari Tibet bernama Atisa untuk lebih memperdalam pengetahuan agama Buddha.
Dalam kaitannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha, di Sriwijaya ditemukan
beberapa peninggalan. Misalnya, Candi Muara Takus, yang ditemukan dekat Sungai Kampar di
daerah Riau. Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan arca Buddha. Pada tahun 1006
Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat suci agama Buddha di Nagipattana, India
Selatan. Hubungan Sriwijaya dengan India Selatan waktu itu sangat erat.
Bangunan lain yang sangat penting adalah Biaro Bahal yang ada di Padang Lawas, Tapanuli Selatan.
Di tempat ini pula terdapat bangunan wihara.
Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa hal antara lain : a. Keadaan
sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini disebabkan aliran Sungai Musi,
Ogan, dan Komering banyak membawa lumpur. Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
b. Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan terutama karena
melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan semakin sulit. c. Dari segi politik,
beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1017 M Sriwijaya
mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala, namun Sriwijaya masih dapat
bertahan. Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya, Sri
Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja
Kertanegara dari Singhasari melakukan Ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu
lepas. Tahun 1377 armada angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri
riwayat Kerajaan Sriwijaya.
5. Kerajaan Mataram Kuno
Pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita
kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno
tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di
Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu
dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungaisungai. Di sebelah utara terdapat
Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di
sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan
Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan
Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.
Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber yang berupa
prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya
Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping
beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita
Cina.
Perkembangan Pemerintahan Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa
seorang raja bernama Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan
bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara
perempuan dari Sanna.
Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama
Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari
Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini
Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan
kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan
Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci
sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit
Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-
raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga
dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan
menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian
dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci.
Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai
lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran
mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun
778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah
candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan
tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut
dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran
kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan.
Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra.
Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya
bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra, karena
adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga
yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan
Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang
menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas
tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra
yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa bagian utara. Misalnya,
candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks
Candi Dieng memakai namanama tokoh wayang seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut,
Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada
tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.
Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu
kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu
dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M.
Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Pada awal abad ke-21, kita sering mendengarkan dan membicarakan tentang kebudayaan lokal
dalam menghadapi globalisasi. Setidaknya hal itu sudah dialami oleh bangsa kita sejak abad ke-8,
atau bahkan jauh ke masa lampau. Bukti nyata dari itu adalah Candi Borobudur, yang kemudian
dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, pada tahun 1991
Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9. Candi itu
terletak di antara dua bukit, tepatnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten
Magelang. Candi Borobudur yang terletak pada satu garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi
Mendut dipandang sebagai satu kesatuan. Letak candi seperti ini sesuai dengan aturan yang disebut
dalam kitab-kitab pedoman para seniman agama di India. kitab itu disebut dengan Vastusastra.
Suatu kitab yang menjelaskan tentang bangunan suci agama Hindu. Namun demikian, aturan-
aturannya juga digunakan sebagai desain bangunan suci agama Buddha.
Candi Borobudur Mahakarya Dynasti Syailendra
Borobudur merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur berbeda dengan susunan candi di
India. Pada umumnya susunan candi di India berdiri di atas fondasi yang tertanam di dalam tanah.
Fondasi tersebut berdenah dengan jari-jari delapan. Di titik tengah terdapat tiang yang dibuat
tembus ke atas permukaan tanah, dan diteruskan menjadi tongkat dengan payung. Candi Borobudur
didirikan langsung di atas bukit tanpa fondasi yang ditanam di dalam tanah seperti yang terdapat di
India. Dilihat dari susunannya, Candi Borobudur merupakan sebuah teras-stupa. Kaki stupa
berbentuk undak teras persegi, disusul teras mengalir yang dihiasi stupa. Susunan candi ini
memperlihatkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa pada abad ke-8.
Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya adalah bukit peningkatan kebijakan
setelah melampaui sepuluh tingkat Boddhisattwa. Borobudur sendiri terdiri dari sepuluh tingkatan,
yang dapat dipahami sebagai lambang ke-10, jalan Boddhisattwa. Candi itu berbentuk bujur sangkar,
dengan ukuran 123 m x 123 m di bagian kakinya. Bentuk bangunan seperti itu dapat ditafsirkan
sebagai bentuk mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah 35,4 m. Secara vertikal Candi Borobudur
terdiri dari dua pola, yaitu pola undak-undak persegi dan pola bangun vertikal. Karena bentuknya
itulah Candi Borobudur dapat dipahami sebagai sebuah stupa yang besar.
Dalam agama Buddha stupa merupakan perwujudan dari makrokosmos yang terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Kamadatu merupakan alam bawah, bagian ini
berada di bagian bawah Candi Borobudur. Pada kamadatu terdapat relief karmawibangga, yaitu
suatu hukum sebab akibat, yang merupakan hasil perbuatan manusia. Arupadatu adalah alam atas,
yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di atas
rupadatu. Cara membaca relief pada dinding Candi Barobudur searah dengan jarum jam. Sebagai
candi pemujaan, Borobudur mempunyai hubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga
candi itu menunjukkan proses suatu ritual keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di
Candi Mendut. Kemudian dilakukan persiapan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan
dilakukan di Candi Borobudur.
Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan pagar candi menunjukkan bahwa Candi
Borobudur sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana. Dari arca dan relief itu juga dapat
dilihat adanya penyatuan ajaran Mahayana dan Tantrayana, sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu
tergambar tentang kehidupan sehari-hari di Jawa, seperti cara berpakaian, rumah tinggal, candi, alat
berburu, alat-alat keperluan sehari-hari, serta jenis-jenis tanaman.
Dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10, Mpu Sindok dari Dinasti
Isana menyebarkan ajaran dari India, yaitu agama Buddha. Ajaran itu disebarkan di Jawa dan
disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat itu. Lebih jauh lagi hasil pengetahuan itu
diwujudkan dalam bentuk bangunan candi oleh penduduk Jawa, bukan oleh penduduk India. Candi
itu kemudian digunakan sebagai sarana ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya
Kampung Keling yang berada di sekitar Candi Borobudur. Bukti lainnya itu ditemukannya tulisan
yang memakai huruf Jawa kuno, dengan bahasa Sanskerta, dengan tidak menggunakan tata bahasa
Sanskerta.
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa
menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan
antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng
pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira kenal dengan
Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra.
Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun
856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi
kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia
memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri
Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan,
ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan
sebagai candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja
yang berkuasa setelah Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang
menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana alam dan ancaman dari
musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Lara Jonggrang adalah seorang putri semata wayang Raja Boko, Penguasa Kerajaan Medang
Kamuan. Karena kecantikannya, seorang pangeran bernama Bandung Bondowoso berniat
menyuntingnya sebagai istri. Raja Boko mengabulkan permintaan Bandung Bondowoso, bila
pangeran itu dapat mengalahkannya. Bandung Bondowoso ternyata dapat mengalahkan Raja Boko.
Namun Lara Jonggrang tidak mau dipersunting oleh pembunuh ayahnya, ia pun tidak berani untuk
menolak. Lara Jonggrang pun memberikan syarat pada Bandung untuk membuat seribu candi
lengkap dengan arcanya dalam waktu semalam.
Bandung Bandowoso dengan dibantu sepasukan jin, hampir dapat meyelesaikan permintaan Lara
Jonggrang. Saat mendengar suara kokok ayam bersautan dan melihat langit di ufuk timur memerah,
para jin itu melarikan diri sebelum pekerjaannya selesai. Melihat tipu daya Lara Jonggrong, Bandung
Bondowoso mengutuknya menjadi arca batu yang ke seribu untuk melengkapi jumlah keseluruhan
arca.
Tentu kamu pernah mendengar cerita rakyat yang menceritakan tentang asal mula Candi
Prambanan itu. Cerita itu hingga kini masih berkembang di daerah sekitar Prambanan. Lara
Jonggrang sering kali diwujudkan sebagai arca Durga Mahisasuramawardini yang berada di bilik
utara Candi Siwa. Lara Jonggrang secara harfiah diartikan sebagai seorang gadis cantik semampai.
Pada kompleks percandian,sosok Lara Jonggrang diwujudkan pada bangunan paling tinggi dari
keseluruhan Candi Prambanan. Dari kondisi itu kita dapat menafsirkan, bahwa legenda Bandung
Bondowo itu muncul sebagai cerita rakyat penduduk Prambanan saat Candi Siwa masih berdiri
kokoh. Jadi Candi Prambanan merupakan sebuah karya monumen kejayaan Mataram Kuno yang
berdiri tinggi tegak di dataran Prambanan yang subur. Kawasan Candi Prambanan sejak tahun 1991
ditetapkan sebagai situs cagar budaya dunia oleh UNESCO. Bagi bangsa Indonesia pengakuan itu
sangat membanggakan.
Candi Prambanan dibangun pada abad ke-9 Masehi atas perintah raja, pada masa puncak kejayaan
Dinasti Sanjaya. Pada masa itulah ia mendirikan Candi Prambanan menurut model candicandi
Syailendra. Candi Prambanan terletak di Desa Prambanan. Candi itu pertama ditemukan oleh Calons
pada tahun 1733 M. Bangunan candi itu dibangun untuk sebuah dharma bagi agama Hindu. Candi
Prambanan merupakan bangunan suci agama Hindu yang ditujukan untuk memperkuat keberadaan
agama itu di wilayah selatan Jawa. Candi itu dibangun atas perintah Raja Rakai Pikatan. Kompleks
Prambanan terdiri atas Candi Siwa, Candi Hamsa, Candi Wisnu, Candi Nandi, Candi Garuda dan dua
buah Candi Apit yang semuanya berada di halaman pertama. Delapan candi penjaga arah mata angin
dan kurang lebih 200 candi perwara yang mengelilingi inti pusat.
Candi utama adalah Candi Siwa dengan empat ruangan. Ruang utama berisi patung Siwa sebagai
mahadewa. Di sebelah utara terdapat Lara Jonggrang atau Siwa sebagai Durga Mahesasuramardin.
Bagian timur terdapat patung Ganesa. Pada dinding Candi Siwa itu terdapat relief Ramayana, yang
berisi tentang titisan Wisnu hingga Rama menyeberang ke lautan. Cara membaca relief pada candi
itu searah dengan jarum jam. Candi itu digunakan hanya sebagai tempat pemujaan.
Candi kedua yang terbesar adalah Candi Brahma. Dalam candi ini terdapat patung Brahma. Juga
terdapat relief yang menggambarkan epik Ramayana. Pada bagian ini menceritakan tentang Rama
menyerang Alengka dan Sinta membakar diri, atau dikenal dengan cerita “pati obong”. Candi ketiga
adalah Candi Wisnu yang terdapat arca Wisnu di dalamnya. Dalam dinding candi ini terdapat relief
yang menceritakan tentang Kernayana. Candi Prambanan merupakan candi termegah pada saat itu,
kemegahannya tersohor hingga sampai ke Asia Tenggara.
Candi Sewu yang berada di sekeliling Candi Prambanan mempunyai latar belakang agama Buddha.
Hal itu dilihat dari arsitektur bentuk candi yang bentuk seperti stupa daripada Candi Prambanan. Di
samping bentuknya juga dicirikan dengan puncak candi yang berbentuk stupa. Puncak candi itu
merupakan satu di antara lambang dari agama Buddha.
Candi itu kurang lebih terdiri dari 240 bangunan. Bangunan candi sendiri dibangun dalam areal
seluas kurang lebih 49.284 m. Candi itu diresmikan oleh Rakai Kayuwangi, pada tahun 778 Saka (856
Masehi). Dalam Prasasti Siwagraha tertuliskan tentang pembuatan Candi Prambanan. Candi dan
gapuranya dikerjakan oleh beratusratus pekerja.
Dari segi arsitektur bangunan, Candi Prambanan dan Candi Sewu masih menampakkan ciri-ciri
arsitektur Buddhis. Teknik pembangunan candi itu dengan menggunakan ikatan pada setiap bata-
batanya. Keistimewaan bangunan itu terletak pada bentuk candi yang menjulang tinggi pada tanah
datar. Candi Prambanan merupakan candi tertinggi dengan bentuk menara. Candi Prambanan
berada dalam kawasan yang memiliki kepadatan bangunan candi yang beragam. Khususnya pada
bagian sisi timur Kali Opak, terdapat Candi Bubrah, Lumbung, dan Sewu. Keempat candi besar yang
berderat itu memiliki kesatuan mandala. Kedekatan letak Candi Prambanan dengan candi-candi
agama Buddha menunjukkan adanya toleransi antara penduduk yang beragama Hindu dengan
penduduk yang beragama Buddha pada masa Mataram Kuno itu.
Kekuasaan Dinasti Isyana
Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa
pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan
Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan
dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di samping karena pertentangan keluarga, pemindahan
pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi.
Berdasarkan prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang
diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa
Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.
Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri
Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah putra
yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya.
Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk
agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan
untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun
takhtah ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan
Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama
pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan
Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka
berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.
Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan
Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada
tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota
kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa
dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga menyerahkan
kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi. Namun, putrinya itu menolak dan
memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.
Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri
dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya
yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang
bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi
daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah
barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota
di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.
Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan negara
berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan
thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang
duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan
paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.
6. Kerajaan Kediri
Kehidupan politik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara
Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak
dapat hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara
kedua belah pihak. Pada tahap pertama Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya,
sehingga Panji Garasakan berkuasa. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji
Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Akan tetapi setelah itu tidak
terdengar berita mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan
Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan
ibu kotanya di Daha.
Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti
Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting tentang pemberian status
perdikan untuk beberapa desa.
Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga
prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa
Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu
untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai
kekacauan di kerajaan.
Di kalangan masyarakat Jawa, nama Jayabaya sangat dikenal karena adanya Ramalan atau Jangka
Jayabaya. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Empu Sedah dan
kemudian dilanjutkan oleh Empu Panuluh.
Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan
akibat pertentangan dengan Janggala terus berlangsung.Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil
memadamkan kekacauan itu. Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada prasasti Hantang.
Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.
Kehidupan Kerajaan Kediri menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang penting
adalah pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang.
Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada laut Kediri mampu
menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan
laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah mampu mengembangkan
pelayaran dan perdagangan. Barang perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu
cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau
sebagian hasil buminya kepada pemerintah.
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih
dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin
wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai sepatu, dan
perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang
diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.
Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang.
Di Kediri dikenal adanya wayang panji.
Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut. 1. Kitab Baratayuda Kitab Baratayudha ditulis
pada zaman Jayabaya, untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu
melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan Pandawa
yang masingmasing merupakan keturunan Barata. 2. Kitab Kresnayana Kitab Kresnayana ditulis oleh
Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi
Rukmini. 3. Kitab Smaradahana Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Empu
Darmaja. Isinya menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa
Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) karena
kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai
Kameswara dan permaisurinya. 4. Kitab Lubdaka Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung pada
zaman Raja Kameswara. Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak
membunuh. Pada suatu ketika ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga
rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.
Raja yang terakhir di Kerajaan Kediri adalah Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa
pemerintahannya, terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, karena
Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di
Kediri.Para brahmana kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa
di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri.
Kediri dapat dikalahkan oleh Ken Arok.
7. Kerajaan Singhasari
Raja-Raja yang Memerintah Singhasari
a. Ken Arok (1222 – 1227 M)
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan
Singhasari kira-kira terletak di dekat kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok.
Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Menurut kitab
Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi,
daerah Malang. Ibunya bernama Ken Endok.
Diceritakan, bahwa pada waktu masih bayi, Ken Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam. Bayi
ini kemudian ditemukan oleh seorang pencuri, bernama Lembong. Akibat dari didikan dan
lingkungan keluarga pencuri, maka Ken Arok tumbuh menjadi seorang penjahat yang sering menjadi
buronan pemerintah Kerajaan Kediri. Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan pendeta Lohgawe.
Ken Arok mengatakan ingin menjadi orang baik-baik. Kemudian dengan perantaraan Lohgawe, Ken
Arok diabdikan kepada seorang Akuwu (bupati) Tumapel, bernama Tunggul Ametung.
Setelah beberapa lama mengabdi di Tumapel, Ken Arok mempunyai keinginan untuk memperistri
Ken Dedes, yang sudah menjadi istri Tunggul Ametung. Kemudian timbul niat buruk dari Ken Arok
untuk membunuh Tunggul Ametung agar Ken Dedes dapat diperistri olehnya. Ternyata benar,
Tunggul Ametung dapat dibunuh oleh Ken Arok dengan keris Empu Gandring. Setelah Tunggul
Ametung terbunuh, Ken Arok menggantikan sebagai penguasa di Tumapel dan memperistri Ken
Dedes. Pada waktu diperistri Ken Arok, Ken Dedes sudah mengandung tiga bulan, hasil perkawinan
dengan Tunggul Ametung.
Pada waktu itu Tumapel hanya daerah bawahan Raja Kertajaya dari Kediri. Ken Arok ingin menjadi
raja, maka ia merencanakan menyerang Kediri. Pada tahun 1222 M Ken Arok atas dukungan para
pendeta melakukan serangan ke Kediri. Raja Kertajaya dapat ditaklukkan oleh Ken Arok dalam
pertempurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh
wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan Singhasari.
Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja
bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada
tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah
Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok
dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha. Ken Arok meninggalkan
beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok memiliki empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji
Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra bernama
Mahesa Wongateleng.
b. Anusapati
Tahun 1227 M Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan
tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan.
Lambat laun berita tentang pembunuhan Ken Arok sampai pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok).
Oleh karena ia mengetahui pembunuh ayahnya adalah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas
dendam, yaitu membunuh Anusapati. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati memiliki kesukaan
menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati untuk menyabung ayam. Pada saat menyabung
ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati. Anusapati dicandikan di Candi Kidal dekat Kota
Malang sekarang. Anusapati meninggalkan seorang putra bernama Ronggowuni.
c. Tohjoyo (1248 M)
Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik takhta. Masa pemerintahannya sangat singkat,
Ronggowuni yang merasa berhak atas takhta kerajaan, menuntut takhta kepada Tohjoyo.
Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng.
Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu Ampal untuk
melawan Ronggowuni. Kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut
Ronggowuni. Dalam pertempuran tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan
pengikut Ronggowuni semakin kuat dan berhasil menduduki istana Singhasari. Tohjoyo berhasil
meloloskan diri dan akhirnya meninggal di daerah Katang Lumbang akibat luka-luka yang
dideritanya.
d. Ronggowuni (1248 - 1268 M)
Ronggowuni naik takhta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya
Wisnuwardana. Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang berkedudukan
sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti. Di samping itu, pada tahun
1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai raja muda
atau Yuwaraja. Pada saat itu Kertanegara masih sangat muda.
Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup dalam keadaan aman
dan tenteram. Rakyat hidup dengan bertani dan berdagang. Kehidupan rakyat juga mulai terjamin.
Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu Lor.
Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa di
Waleri dan sebagai Buddha Amogapasa di Jajagu. Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago.
Bentuk Candi Jago sangat menarik, yaitu kaki candi bertingkat tiga dan tersusun berundak-undak.
Reliefnya datar dan gambar orangnya menyerupai wayang kulit di Bali. Tokoh satria selalu diikuti
dengan punakawan. Tidak lama kemudian Mahesa Cempaka pun meninggal dunia. Ia dicandikan di
Kumeper dan Wudi Kucir.
e. Kertanegara (1268 - 1292 M)
Tahun 1268 M Kertanegara naik takhta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri Maharajadiraja Sri
Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang paling terkenal di Singhasari. Ia bercita-cita,
Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya, maka Kertanegara
melakukan berbagai usaha.
Perluasan Daerah Singhasari Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga meliputi seluruh
Nusantara. Beberapa daerah berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku,
Sunda, dan Pahang. Penguasaan daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik
luar negeri bertujuan untuk mengimbangi pengaruh Kubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1275 M Raja
Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo
Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan tetapi, untuk menguasainya
harus melalui daerah sekitarnya termasuk bersahabat dan menanamkan pengaruh Singhasari di
Melayu. Sebagai tanda persahabatan, Kertanegara menghadiahkan patung Amogapasa kepada
penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diharapkan akan menggoyahkan Sriwijaya. Dalam rangka
memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain
di luar Kepulauan Indonesia. Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan Kerajaan Campa.
Bahkan Raja Jayasingawarman III memperistri salah seorang saudara perempuan dari Kertanegara.
Kertanegara memandang Cina sebagai saingan. Berkali-kali utusan Kaisar Cina memaksa
Kertanegara agar mengakui kekuasaan Cina, tetapi ditolak oleh Kertanegara. Terakhir pada tahun
1289 M datang utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Mengki disakiti dan
disuruh kembali ke Cina. Hal inilah yang membuat marah Kaisar Cina yang bernama Kubilai Khan. Ia
merencanakan membalas tindakan Kertanegara.
Perkembangan Politik dan Pemerintahan Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur,
Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian
raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.
Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan
yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada
pegawai-pegawai rendahan.
Untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan
para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara diganti. Sebagai contoh,
Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura,
menjadi Bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.
Kehidupan Agama Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha
berkembang dengan baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi
bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri
penganut aliran Tantrayana.
Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan dan berbagai daerah terus dilakukan oleh
Kertanegara. Banyak pasukan Singhasari yang dikirim ke berbagai daerah. Antara lain pasukan yang
dikirim ke tanah Melayu. Oleh karena itu, kekuatan ibu kota kerajaan berkurang. Keadaan ini
diketahui oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak
senang itu antara lain Jayakatwang, penguasa Kediri. Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan
Kertanegara.
Saat yang dinantikan oleh Jayakatwang ternyata telah tiba. Istana Kerajaan Singhasari dalam
keadaan lemah. Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada saat itu, Kertanegara sedang
melakukan upacara keagamaan dengan pesta pora, sehingga Kertanegara benar-benar lengah.
Tibatiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan Jayakatwang dibagi menjadi dua
arah. Sebagian kecil pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan Singhasari
keluar dari pusat kerajaan. Sementara itu induk pasukan Kediri bergerak dan menyerang dari arah
selatan. Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan pasukan yang ada di
bawah pimpinan Raden Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah anak Jayakatwang dan
menantu dari Kertanegara. Pasukan Kediri yang datang dari arah utara dapat dikalahkan oleh
pasukan Raden Wijaya Akan tetapi, pasukan inti dengan leluasa masuk dan menyerang istana,
sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M. Raden Wijaya
dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh
pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja membalik dan bergabung dengan pasukan Kediri.
Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di
Candi Singosari, di daerah Singosari, Malang.
Sebagai raja yang besar, nama Kertanegara diabadikan di berbagai tempat. Bahkan di Surabaya ada
sebuah arca Kertanegara yang menyerupai bentuk arca Buddha. Arca Kertanegara itu dinamakan
arca Joko Dolok. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singhasari.
8. Kerajaan Majapahit
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara abad
ke-14 - ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa
Jayawarddhana (Raden Wijaya). Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang
saat itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa
Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai
hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa
“pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan
Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden
Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali
pasukannya.
Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mengalami pemberontakan yang dilakukan oleh
sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung perjuangan dalam mendirikan Majapahit. Setelah
Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh putranya Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai raja yang
kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang menyebabkan
pembantupembantunya melakukan pemberontakan.
Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti.
Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke
Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada
kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah
Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321) dan Patih Kediri (1322-1330).
Kerajaan Majapahit penuh dengan intrik politik dari dalam kerajaan itu sendiri. Kondisi yang sama
juga terjadi menjelang keruntuhan Majapahit. Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi
Jayawisnuwarddani adalah pembentuk kemegahan kerajaan. Tribhuwana berkuasa di Majapahit
sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Pada masa
Hayam Wuruk itulah Majapahit berada di puncak kejayaannya. Hayam Wuruk disebut juga
Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman
keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik
Indonesia sekarang. Oleh karena itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan
negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dan kegigihan Gajah Mada. Sumpah Palapa,
ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh
beberapa tokoh, misalnya Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala
Majapahit membentuk angkatan laut yang sangat kuat. Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh
perairan yang ada di Nusantara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami
kemajuan di berbagai bidang.
Menurut Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua,
Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya
ke Tiongkok.
SUMPAH PALAPA
Pada saat diangkat sebagai Mahapatih Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat
(amukti palapa) jika belum dapat menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah itu kemudian dikenal
dengan Sumpah Palapa sebagai berikut :
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”.
Artinya: “Setelah tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan
beristirahat”
Politik dan Pemerintahan Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja
memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh berbagai
badan atau pejabat berikut.
1. Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i
Sirikan, dan Rakryan i Halu.
2. Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung,
Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang
Panca ring Wilwatika. Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi
merupakan pejabat yang paling penting. Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama
sama raja, ia menjalankan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu terdapat pula dewan
pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.
Struktur tersebut ada di pemerintah pusat. Di setiap daerah yang berada di bawah raja-raja,
dibuatkan pula struktur yang mirip.
Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuklah badan peradilan yang
disebut dengan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut
Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami
pemerintahan strategi perang dan hukum.
Untuk mengatur kehidupan beragama dibentuk badan atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa.
Dharmadyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani persoalan keagamaan. Di
Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.
1. Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu),
2. Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu oleh pejabat keagamaan yang
diberi sebutan Sang Pamegat.
Kehidupan beragama di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun
Buddha saling bersatu. Pada masa itupun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya,
sekalipun berbeda-beda baik Hindu maupun Buddha pada hakikatnya adalah satu jua. Kemudian
secara umum kita artikan berbeda-beda akhirnya satu jua
Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional
Majapahit terjamin. Hal ini disebabkan pula karena kekuatan tentara Majapahit dan angkatan
lautnya sehingga semua perairan nasional dapat diawasi.
Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan lain. Hubungan dengan Siam, Birma,
Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina hubungan dengan luar
negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup aman dan tenteram. Hayam
Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu
dibangun jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dengan demikian lalu lintas menjadi lancar. Hal ini
mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas
perdagangan yang paling penting melalui sungai. Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai
Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di tepi pantai,
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Hal itu menyebabkan terjadinya arus bolak-balik
para pedagang yang menjajakan barang dagangannya dari daerah pantai atau muara ke pedalaman
atau sebaliknya.Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau,
bahkan dengan pedagang dari luar. Kemudian timbullah kota-kota pelabuhan sebagai pusat
pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara
lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar seperti
dari Cina India, dan Siam.
Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong munculnya kelompok bangsawan kaya. Mereka
menguasai pemasaran bahan-bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur
dan Malaka.
Kegiatan pertanian juga dikembangkan. Sawah dan ladang dikerjakan secukupnya dan dikerjakan
secara bergiliran. Hal ini maksudnya agar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian.
Tanggultanggul di sepanjang sungai diperbaiki untuk mencegah bahaya banjir.
Perkembangan Sastra dan Budaya Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang sastra
mengalami kemajuan. Karya sastra yang paling terkenal pada zaman Majapahit adalah Kitab
Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Di samping
menunjukkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah
Majapahit. Kitab lain yang penting adalah Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab
Sutasoma memuat katakata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.
Sutasoma 139,4d-5d
Hyan Buddha tan pabi lawan siwarajadewa rwanekadhatu winuwus wara Buddhawisma bhineki
rakwa rinapankenapanarwanosen manka n jiwatwa kalawan siwatatwa tunggal bhineka ika tan
hanna dharma mangruwa
Artinya : “Dewa Buddha tidak berbeda dengan Siwa. Mahadewa di antara dewa-dewa. Keduanya
dikatakan mengandung banyak unsur Buddha yang boleh dikatakan tidak terpisahkan dapat begitu
saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan Jiwa Siwa adalah satu dalam hukum tidak terdapat
dualisme.
Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi
Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta
Candi Tikus di Trowulan.
Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga raja, setelah
turunnya Hayam Wuruk. Perang Paregrek telah melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit.
Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan karena raja yang berkuasa
tidak mampu lagi mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit
adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu.
Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian itu
terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa. Peninggalan peradaban Majapahit
juga dapat kita saksikan pada perkembangan lingkup kebudayaan Bali pada saat ini. Kebudayaan
yang masih dikembangkan hingga masa Islam adalah cerita wayang yang berasal dari epos India
yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah asmara Raden Panji dengan Sekar Taji (Galuh
Candrakirana). Selain itu dapat kita saksikan juga pada unsur arsitekturnya bentuk atap tumpang,
seni ukir sulur-suluran dan tanaman melata, senjata keris, lokasi keramat, dan masih banyak lagi.
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang
dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang
Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi
dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang
harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.
Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu
di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya
Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan
selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah
zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan
Belanda.
Pada zaman kuno, sebenarnya Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan
Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti
Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat
perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari
Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan
bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah
seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh
Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di
Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.
Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra,
rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang datang dengan jukung
bahitra berlabuh di manasa...”
Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar
(uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling.
Dengan perkembangan perdagangan laut antar pulau di zaman kuno secara ekonomis Buleleng
memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali misalnya pada masa
Kerajaan Dinasti Warmadewa.
10. Kerajaan Tulang Bawang
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan
yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah
Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa
pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun
499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau
P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-
Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang
diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina
berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di
Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.
Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–
983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan
untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau
Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-
lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk
Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai
lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang
(Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah
Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa
Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu
tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih
ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.
11. Kerajaan Kota Kapur
Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994,
diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak
masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan
arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama
dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang
ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari
masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan
sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah
ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca
Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan
di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara
di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan
yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing
panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan
dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan
tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula
dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke7. Penguasaan Pulau
Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan temuan piring di situs Kota Kapur dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya
mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya
ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur
pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada
tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Kesimpulan
1. Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia)
memainkan peran utama sejak zaman pra-aksara. Faktor geografis ini tampaknya merupakan faktor
permanen dalam perjalanan sejarah Indonesia sepanjang masa. Peran itu ditunjukkan di zaman
Hindu-Buddha, ketika jalur utama dalam pelayaran samudra semakin pesat dan mengintegrasikan
daerah antarpulau. Kondisi demikian didukung dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif
dalam perdagangan laut, dan mengarungi lautan. Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan
ekonomi dan politik yang besar di Nusantara sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di
Nusantara terutama era Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.
2. Silang budaya Nusantara di zaman pra-aksara terlihat jelas ketika masuknya pengaruh budaya
Austronesia. Sebagian besar dimungkinkan berkat posisi silang letak geografis Nusantara (di antara
dua benua dan dua samudra). Sekali lagi pola itu diulangi lewat integrasi budaya dominan seperti
Hindu-Buddha. Sumbangan terbesar dari zaman Hindu-Buddha ialah membebaskan Nusantara dari
zaman pra-aksara dan memberi jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
zamannya. Budaya tulis tetap merupakan bagian penting dalam perkembangan peradaban sampai
hari ini. Meskipun sekarang kita sudah mengenal media cyber (media maya), budaya tulisan tidak
akan pernah ditinggalkan dan bahkan akan semakin maju apabila generasi kita semakin menguasai
bahasa tulis.

Bab III Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara


Islamisasi adalah proses sejarah yang panjang yang bahkan sampai kini masih terus berlanjut… Kalau
para ahli sejarah mempersoalkan tentang asal usul nasionalisme Indonesia, atau integrasi bangsa,
mereka menyebutkan Islam sebagai salah satu faktor utama maka hal itu bisa diartikan pada sifat
Islam yang universal dan pada jaringan ingatan kolektif yaitu keterkaitan para ulama di Nusantara
dalam berbagai corak jaringan sosial guru-murid, murid sesama murid; penulis-dan-pembaca, dan
tak kurang pentingnya ulama-umara serta ulama dan umat. (Taufik Abdullah, 1996)
Kedatangan Islam ke Nusantara mempunyai sejarah yang panjang. Satu di antaranya adalah tentang
interaksi ajaran Islam dengan masyarakat di Nusantara yang kemudian memeluk Islam. Lewat
jaringan perdagangan, Islam dibawa masuk sampai ke lingkungan istana. Interaksi budaya Islam
dengan budaya yang ada sebelumnya memunculkan sebuah jaringan keilmuan, akulturasi budaya
dan perkembangan kebudayaan Islam. Uraian berikut akan mencoba menjabarkan proses Islamisasi
di Indonesia dan mengurai simpul dari silang budaya yang sampai kini masih terus berlanjut.
A. Kedatangan Islam ke Nusantara
Gambar di depan memperlihatkan jalur masuknya Islam ke Nusantara yang kemudian melahirkan
sebuah interaksi antara ajaran Islam dengan penduduk Nusantara. Wujud dari keberlangsungan
interaksi yang hingga kini masih terlihat adalah banyaknya umat Muslim Indonesia yang
menjalankan ibadah haji dan umrah. Di samping itu tidak sedikit para ulama dari Timur Tengah yang
berkunjung ke Indonesia dalam rangka berdakwah. Bagi umat Islam di Indonesia, berbagai bentuk
interaksi tersebut akan semakin memantapkan keimanan dan ketakwaan terhadap ajaran
agamanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah kapan dan dari mana kira-kira pertama kali
Islam masuk ke Kepulauan Indonesia serta bagaimana prosesnya? Untuk mendapatkan informasi
dan bahan diskusi tentang proses masuknya Islam ke Indonesia, mari kita kaji uraian berikut.
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama
perihal waktu dan tempat asalnya. Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri Belanda
—mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad
ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian
barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara
timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar
sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut
Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk
Islam dan berdagang ke dunia Timur. Pendapat J. Pijnapel kemudian didukung oleh C. Snouck
Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-
Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di
Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki
bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian
berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang
Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.
Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari
Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan
10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Sumber : Kartodirdjo,Sartono dkk, 2012, 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata
Daerah Propinsi Daerah Jawa Timur. Gambar 3.4 Nisan dari Tralaya yang bercorak Islam
menandakan bahwa Islam sudah masuk pada masa Majapahit
Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah
kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-
7 M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah
dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum
pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat
ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.
Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di
Kepulauan Indonesia merupakan hal yang kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan.
Pasai dan Malaka, adalah tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai
kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan jasa dinasti
Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka. Demikian pula Sulu dan Mangindanao
akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya. Sementara itu Minangkabau
akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai
peletak dasar tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari
Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari
Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa-Tallo. Sumber: Kartodirdjo,Sartono
dkk, 2012, 700 Tahun Majapahit suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata Daerah propinsi Daerah Jawa
Timur. Gambar 3.5 Batu Nisan Makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 H) di Gresik, Jawa
Timur Salah satu naskah yang terkenal dari Sulawesi Selatan adalah I La Galigo yang berisi epik mitos
penciptaan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan. Epik ini ditulis antara abad 13 dan 15 dalam bentuk
puisi, huruf lontarak dengan bahasa Bugis Kuno. Naskah ini sudah diakui sebagai Memory of The
World oleh UNESCO pada tahun 2011.
Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di Nusantara. Pada pertengahan abad ke-15, ibu
kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang datang dari utara. Dalam kenangan historis Jawa,
Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang
putri Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin
dengan raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua.
Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di
kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia
bagian Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam
pengetahuan agama. Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi
beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di bagian lain, Demak telah berhasil
mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus
berlangsung. Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat
proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.
B. Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau
Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Para nelayan pergi melaut dan pulang
dengan membawa hasil tangkapannya. Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang
membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan
Tuhan. Coba kamu renungkan alam semesta, lautan dan daratan semua diciptakanNya untuk
kepentingan hidup kita. Marilah kita syukuri semua itu dengan menjaga lingkungan laut dan daratan
sebaik-baiknya.
Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antarsuku bangsa di
Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki
keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Bagi para pelaut,
samudra bukan sekadar suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak
air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya dapat membantu pelaut dalam
mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dulu mereka sudah
mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran dan
perdagangan. Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam Januari
atau Februari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus.
Angin musim barat daya di Samudra Hindia adalah antara April sampai Agustus, cara yang paling
diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka dapat kembali pada musim yang sama setelah tinggal
sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari musim perubahan yang
rawan badai dalam Oktober dan kembali dengan musim timur laut.
Bacaan berikut akan memaparkan tentang aktivitas perdagangan antarpulau pada masa awal
perkembangan Islam di Indonesia. Memahami aktivitas pelayaran dan perdagangan antarpulau yang
membawa serta pesan-pesan agama ini dapat menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita
asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Jalurjalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia
Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W.
Wolters (1967). Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun
dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan
perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama
dengan Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan
abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara
sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke
Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan
pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada
abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang,
Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan
kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau
kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13
sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitaskomunitas Muslim di
pesisir utara Jawa bagian timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan
gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun
internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai
yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome
Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa,
Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan,
Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja,
Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku,
Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra,
Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai,
Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita dapat
mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa
kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi
hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan
pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan
makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan
ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas
pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini
hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka
perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala
pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul
suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan
Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai
lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan
melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan
pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain
sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Perompakan laut
sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh
penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang.
Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan
pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat dari
aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu
berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di
Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan
cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditas ke Somba Opu, ibu
kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan
perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi
pelabuhan yang menampung komoditas cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat),
sedangkan komoditias pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh
para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak
kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit),
Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan
Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa
Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin
hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut
memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama
Katolik. Kerja sama ini didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang
dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja
yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar
di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari
Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan
Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur
perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan
adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang
dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih
ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat
Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara
mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan
cepat. Selama periode (1500-1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut
Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur jalur
perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di
laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538)
memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor
komoditas pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir,
seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo, Banjarmasin,
Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari
abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman, wilayah
kekuasaannya meliputi sebagian besar Pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung.
Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang,
Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari
kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu,
muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan
Keling, Pekojan, dan kampungkampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari
kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan
Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan
dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan
daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Transaksi itu dilakukan di pasar,
baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter hingga kini masih dilakukan oleh
beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa
pertumbuhan dan perkembangan Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang.
Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang
diatur pemerintah daerah setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena
kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman
yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
C. Islam Masuk Istana Raja
Kamu tahu gambar di atas, bangunan apa dan di mana? Itu adalah salah satu pusat pemerintahan
keraton yang bersifat Islam dan masih berfungsi sampai sekarang, yaitu Keraton Yogyakarta. Di
Indonesia, keraton semacam ini pada perkembangannya memiliki peranan dan posisi yang sangat
penting. Selain berfungsi sebagai simbol perkembangan pemerintahan Islam, keraton juga menjadi
lambang perjuangan kemerdekaan. Di sana para raja atau tokoh-tokohnya mengibarkan panji-panji
perlawanan terhadap penjajahan. Islam yang masuk ke istana memang telah menyemai bibit-bibit
kemerdekaan dan persamaan.
Pada bagian ini kamu akan mempelajari secara garis besar awal pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Uraian ini terutama dipusatkan pada beberapa pusat
kekuasaan Islam yang berada di berbagai daerah, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
dan bahkan di Indonesia bagian timur, seperti Maluku dan Papua. Kerajaan-kerajaan yang tidak
diuraikan pada bab ini, dapat kamu cari informasinya melalui berbagai buku yang ada.
1. Kerajaan Islam di Sumatra
Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam
pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang
strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan
catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di
sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang
besar maupun yang kecil. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri,
Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas,
Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut
ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan
ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.
a. Samudra Pasai
Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 hingga 1275, atau pertengahan
abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh
Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau
1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-
Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah
menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan
urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai.
Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang
disebut dengan dirham. Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai
mempunyai hubungan dengan negara Cina. Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti
Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar
Raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan
Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin. Menurut Tome Pires,
Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami
kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan
terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu
mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat
dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara
seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan
Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Di
samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh
pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor. Dalam sumber-sumber
sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti
uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang
terbuat dari dramas.
Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga
dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta
disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i.
Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam. Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peranan
penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam
karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat
dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal
abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam Malaka, yang dimulai dengan
pemerintahan Parameswara. Dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani
yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena
berhasil menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il
Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti
Aisyah, dan Sultan Mansyur. Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi
seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia mendirikan
masjid untuk orangorang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh
menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia. Pada umumnya nisan kubur tersebut
berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad
ke-17. Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan hurufhuruf bahkan dengan cara
pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan
penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang
perekonomian dan perdagangan. Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan
meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521. Kemudian
Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil
menguasai Samudera Pasai. Kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Kedir, dan
lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad
ke-16 makin mengalami perkembangan politik,ekonomiperdagangan, kebudayaan dan keagamaan.
b. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun
1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali
Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar
Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka,
tetapi batal karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII,
Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar
(15381571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,
Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk
meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan
tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan,
seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus,
dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya
Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-
wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan
daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya
telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan
Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka
sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade
abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.
c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau
Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515 ) antara
lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14
dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut
tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-
daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Jika kita
dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan
perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di
pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah
(wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488)
banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka.
Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar
menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri
menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman
Minangkabau.
Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr Syah di mana
ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu. Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di
Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang
menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama
Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak
VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan, yaitu Siak,
Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi–perdagangan VOC.
Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.
Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga terikat oleh
ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di
Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil
kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan selama
pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan-perlawanan
terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750,
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibu kota kerajaan dari Buantan ke Mempura yang
terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan
kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau
Guntung di mulut Sungai Siak, sering mengganggu lalu lintas kapalkapal Kerajaan Siak Sri Indrapura,
maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.
Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia
berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang Sultan yang jujur. Daerah-daerah
yang pada masa Raja Kecil melepaskan diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan
Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan
Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah
pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang
yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya
perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan Siak tidak boleh
mengadakan ikatanikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain kecuali dengan
Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin
banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan
Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap Sultan
Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan
Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan
berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka
Kampar ada di bawah pembesar- pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yang
mengirimkan utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang
memohon agar di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja
Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua. Hubungan antara Kerajaan
Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan
hubungan perdagangan. Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan
ibu kota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar
menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4
Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan
Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu
berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan
dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober
1664.
Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi
dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan
Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah,
kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27
September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berarti jalannya
pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.
d. Kerajaan Islam di Jambi
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi diperkirakan
dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses
Islamisasi masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan
Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala.
Konon menurut UndangUndang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang
terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia menikah
dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim, turunan raja-raja Pagarruyung yang
kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu
kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad
ke-15.
Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri
Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang
Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk
Paduka Berhala ialah Orang Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah
Putri Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah
wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembahan Rantau Kapas.
Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang
Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa
pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar
antara tahun 1500 hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun
1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565.
Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan digantikan oleh Panembahan
Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar Sultan
Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul
Kahar itulah orang-orang VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka
membeli hasilhasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni
Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun kemudian ialah pada
1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil-hasil buminya kepada
VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642
Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (16651690) terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi
dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat bantuan VOC dan akhirnya menang.
Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian pada 12
Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-
perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC memaksakan untuk
penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang VOC oleh
rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi
dituduh terlibat. Oleh karena itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula ke Batavia
dan akhirnya ke Pulau Banda. Sultan penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar
Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan
sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi
Raja-Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik yang
memuncak dengan pemberontakan dan perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan
terutama di daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran yang sengit, Sultan Thaha
gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di Muaratebo.
e. Kerajaan Islam di Sumatra Selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah proses
Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada
akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di
bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang
banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh
kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah
asalnya.
Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa
pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu
penduduk Palembang berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam
serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka. Mereka berdagang dengan Malaka dan
Pahang dengan jungjung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditas yang diperdagangkan
adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan
lainlainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550,
nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan
Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/Kiai Mas Endi
sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan
yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi karena VOC tidak
dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan. Pada 1658 wakil dagang VOC,
Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas.
Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di
bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang
dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan bangsabangsa
lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan
Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang
hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai
dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-
1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan
dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad alPalimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn
Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan
lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah
dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang
riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal
sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan
Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh
prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi
melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock.
Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak
7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah
Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima.
Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap Gambar 3.18
Jenderal de Kock Sumber :Harsja. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham. 2009. Raden Saleh: Anak
Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
199Sejarah Indonesia
kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.
f. Kerajaan Islam di Sumatra Barat
Islam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal masuk
kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada bagian ini ialah Kerajaan Islam
di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar
dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M)
ada kelompok orangorang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah
perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang datang dan berkembang di
Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di
kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir
abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci
tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci,
semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang
kesemuanya berada di daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-
tempat seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang
perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun
ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang
dagangannya antara lain pakaian.
Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara daerah Sumatra
Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada
masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang berada di bawah pengaruh
Kerajaan Aceh penggantinya. Pada abad ke-17 M, terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah
seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal bernama Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di
Ulakan. Ia mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di
Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran
tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh
Burhanuddin dalam masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang
bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19.
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat
kedamaian, samasama saling menghargai antara kaum adat dan kaum agama, antara hukum adat
dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”.
Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh
Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan
agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagarruyung. Raja
tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya
kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi kebiasaan buruk seperti
main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak
dapat mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak
dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan
masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari
kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat,
Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang
penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar
dan ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Dari sini Haji
Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan
beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut “Padri”
yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka
itu terdiri atas Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku
Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kuat,
tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat
kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk
perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda
dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri,
memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dengan
perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri
diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam
pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda
pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau
atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari
1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu
pada 6 November 1864.
2. Kerajaan Islam di Jawa
Tahukah kamu kapan dan bagaimana proses Islamisasi di tanah Jawa? Islam masuk ke Jawa melalui
pesisir utara Pulau Jawa. Bukti sejarah tentang awal mula kedatangan Islam di Jawa antara lain ialah
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat tahun 475 H atau 1082 M di
Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah
keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.
Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di
Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga
ditemukan ratusan makam Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374. Diperkirakan makam-
makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit. Berdasarkan informasi ini, tentu kamu dapat
mengambil kesimpulan bahwa Islam itu sudah lama masuk ke Pulau Jawa, jauh sebelum bangsa
Barat menjejakkan kaki di pulau ini. Untuk lebih jelasnya marilah kita paparkan sekelumit
kerajaankerajaan Islam di Pulau Jawa.
a. Kerajaan Demak
Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu
sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun
1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berarti memiliki
angka tahun 1400 Saka. Raja pertama Kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan
Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518. Menurut cerita rakyat
Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja
Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat
karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras.
Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur
perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai
sebuah kerajaan yang agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain
beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi
Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah
pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan
mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak
simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak
seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhanpelabuhan tersebut kemudian
berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama
Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini,
memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga
berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh
Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan
Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan
Pajang.
b. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan
Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya
Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya
Penangsang di antaranya adalah Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai
bupati (adipati) di Mataram. Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak
oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota,
bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan
raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin
menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya
segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan
gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede,
sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yang
bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya bernama Mas
Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan
Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.
Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke
berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping
berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin
mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke
Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan
Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan
hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil
yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.
Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya,
para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena
raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama, yaitu pengatur
kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat
hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan.
Bidang kebudayaan juga maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami
perkembangan. Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta
ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam
prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa.
Sebagai contoh, di Mataram d i s e l e n g g a r a k a n perayaan sekaten untuk memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur
Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu
setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi).
Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid
agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk
menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan
kepada rajanya.
Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung.
Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam.
Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. Dalam
perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755).
Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
c. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke
kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera
Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana
Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya, kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari
Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan
tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu
oleh adanya kerja sama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat
membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari
Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan
pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan
kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau,
Kerajaan Indrapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka
Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia
meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara).
Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat)
di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran
Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya.
Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini
Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf
meninggal dan digantikan oleh putranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana
Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki
Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan
perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang
lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya,
Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung
dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena
tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing
Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali
ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana
Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanakkanak. Pemerintahan
dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran
Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru setelah
Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh
diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali.
Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan
para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan
sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten
menolak dan mengusir orangorang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya.
Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik,
sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta.
Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan
Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh putranya bernama Abumaali Achmad. Setelah Abumaali
Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan
nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682. Pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis
mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga
mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam.
Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus
dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian
masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam.
Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan
masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka
menyebut dirinya orang-orang Kejeroan.
Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan
yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng
Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda.
Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu
Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan
Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa
berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.
d. Kesultanan Cirebon
Menurut berita Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di
bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate
Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak bahan makanan lainnya. Kota ini
berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun
sebelum kehadiran Tome Pires sendiri.
Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari
karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon
pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah Iman atau
Pangeran Cakrabumi. Syarif Hidayatullah kawin dengan Pakungwati dan pada 1479 ia menggantikan
mertuanya sebagai Penguasa Cirebon, lalu mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati di
sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelaran
Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, seorang dari walisongo dan juga ia mendapat julukan
Pandita-Ratu sejak berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala
pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan.
Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski mungkin masih terbatas daerahnya. Pangeran
Cakrabumi alias Haji Abdullah Iman dan juga Syaikh Datuk Kahfi yang telah mempelopori pendirian
pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam untuk daerah sekitarnya. Pada
masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung
Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati. Islam diluaskan ke berbagai daerah, antara
lain, ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar 1528-1530, dan ke Banten sekitar 1525-1526 bersama
putranya Maulana Hasanuddin. Sekitar 1527 ia mendorong menantunya, panglima yang dikirimkan
Pangeran Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan Sunda.
Ketika itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan hubungan dengan Portugis dari Malaka sejak 1522.
Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan
makam Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal sebagai
Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal dunia pada 1565. Pada masa
pemerintahannya hubungan dengan Mataram masih diteruskan melalui jalur kekeluargaan antara
lain dengan pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Ratu Ayu Sakluh dengan Sultan
Agung Mataram (1613-1645), yang melahirkan Amangkurat I (1614-1677).
Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17 diwarnai dengan perjanjian-perjanjian
VOC antara lain perjanjian pada tanggal 7 Januari 1681. Lewat perjanjian tersebut Kesultanan
Cirebon mulai dicampuri politik kolonial VOC. Selain itu di bidang ekonomi-perdagangan, VOC
mendapatkan hak monopoli seperti pakaian dan opium. Demikian pula ekspor komoditas lada,
beras, kayu, gula, dan sebagainya berada di tangan VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan
dan Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan. Karena itu menurut pendapat Sharon
Sidiqque, Kesultanan Cirebon sejak 1681 sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme.
Meskipun pendapat beberapa ahli agak berbeda namun dapat dikatakan Kesultanan Cirebon
merupakan pusat syiar keagamaan dengan penyebarannya berlangsung sebelum 168I. Tasawuf dan
tarekat-tarekat keagamaan Islam seperti Kubrawiyah, Qadariyah, Syattariyah, dan kemudian
Tijaniyah berkembang di Cirebon. Cirebon sebagai pusat keagamaan banyak menghasilkan naskah-
naskah kuno seperti Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, dan lainnya.
3. Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan
Di samping Sumatra dan Jawa, ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan-kerajaan
yang bercorak Islam. Apakah kamu sudah mengetahui nama kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di
Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu adalah Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-
1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan
Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung
Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan (1731).
a. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe.
Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe
menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan
Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya
tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah
Sukadana) menghasilkan komoditas seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak
barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari
Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada
abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram
terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa
Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16.
Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan
bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di
antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca alQur’an, ilmu fikih, dan
ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi
kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang
menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama
masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian
memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan.
Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami
kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang
berdatangan dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn
Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus)
memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.
Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam
dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula
singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang. Di tempat itulah ia bertemu dengan
pedagang Arab bernama Syaikh, karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana.
Kesaktiannya menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyat.
Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam.
Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman
Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak
dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman
Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman
al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-
sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.
b. Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-
kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu
Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih dan
patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit.
Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan
sebagainya tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita
Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden
Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan. Sejak itulah Raden
Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama
Islam kepada Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu Demak.
Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan
Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas,
Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk
biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai
penguasa Kerajaan Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya
dengan gelar Sultan Rahmatullah. Ketika menjabat sebagai raja, ia masih mengirimkan upeti ke
Demak, yang pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yang
memerintah Kerajaan Banjarmasin ialah seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah.
Pengganti Sultan Hidayatullah ialah Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan gelar Sultan
Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke
Amuntai. Ketika memerintah pada awal abad ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-
kerajaan sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya
Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram,
di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.
Pada abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad ibn
Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya kesultanan masa Sultan Tahlil Allah
(1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn ia
mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia ahli di bidang tasawuf dengan
karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya
secara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857,
pergantian sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi
pertentangan-pertentangan antara keluarga raja, terlebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar
oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama
antara tahun 1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun
dan lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-
tahun selanjutnya.
4. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan
Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah
beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan
Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan
Gowa-Tallo
a. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di
Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu
dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah
taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng
Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan
Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian
Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605,
Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan
tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada Kerajaan GowaTallo
antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 November 1611.
Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang
disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri
Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib
Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah yang
mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad
pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo
yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo)
mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan
gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan
syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Perkembangan agama Islam di
daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari
Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan
abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan
Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan
dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam
mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC)
Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami
kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat
setelah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan
Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat
berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama untuk
mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak
berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-
1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan
kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya dijual kepada orang Portugis.
Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat
merugikan pihak Gowa-Tallo.
b. Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di
hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yang
didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan
dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo:
Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo
dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang
buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo
tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa
artinya raja yang pertama atau utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo
(pendukung panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan
berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas
daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan
Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Pocco pada
1582. Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk
pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri
Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap rajaraja Wajo dan
rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat
agama atau syura dan yang menjadi kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan
mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai
1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu
diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulangkali Gowa juga
mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan
Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo
sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk
kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan
Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone
berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada
VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah
ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arungmatoa penggantinya
terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC
5. Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Utara
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia di kawasan timur
Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-
15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan
Belanda.
Sejak awal diketahui bahwa di daerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate
dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Kedua
kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya
mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.
Tanda-tanda awal kehadiran Islam di daerah Maluku dapat diketahui dari sumber-sumber berupa
naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti Hikayat Hitu, Hikayat Bacan,dan hikayat hikayat
setempat lainnya. Sudah tentu sumber berita asing seperti Cina, Portugis, dan lainnya amat
menunjang cerita sejarah daerah Maluku itu.
Kerajaan Ternate
Pada abad ke-14 dalam kitab Negarakartagama, karya Mpu Prapanca tahun 1365 M menyebut
Maluku dibedakan dengan Ambon yaitu Ternate. Hal itu juga dapat dihubungkan dengan Hikayat
Ternate yang antara lain menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Pada abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit sudah sering terjadi hubungan pelayaran dan
perdagangan antara pelabuhanpelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate,
Tidore bahkan Ambon. Pada abad tersebut pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit
juga sudah didatangi para pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditi berupa rempah-rempah
terutama cengkeh dan pala, para pedagang Muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu juga
sangat mungkin mendatangi daerah Maluku.
Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan,
berasal dari Jafar Sadik dari Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12
bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan orang-orang Muslim Arab yang datang ke
Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa
pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim dari Jawa bernama Maulana Husein
yang mengajarkan membaca al-Qur’an dan menulis huruf Arab yang indah sehingga menarik raja
dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum
begitu berkembang. Perkembangannya baru pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan
dengan Zainul Abidin pergi ke Jawa belajar agama, iman Islam, dan tauhid makrifat Islam. Zainul
Abidin (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri dan mungkin dari Prabu Atmaka di Jawa
dikenal sebagai Raja Bulawa artinya Raja Cengkeh. Sekembalinya dari Jawa ia membawa mubalig
yang bernama Tuhubahalul. Hubungan perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires
(1512-1515) juga sudah diberitakan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-
kapal dari Gresik milik Pate Cusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam ialah Sultan Bem
Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar Sultan, sedangkan yang lainnya masih
memakai gelar raja-raja di Tidore, Kolano. Pada waktu itu diceritakan Sultan Ternate sedang
berperang dengan mertuanya yang menjadi raja di Tidore namanya Raja Almansor. Ternate, Tidore,
Bacan, Makyan, Hitu dan Banda pada masa kehadiran Tome Pires sudah banyak yang beragama
Islam. Bila Islam memasuki daerah Maluku, Tome Pires mengatakan “50 tahun” lalu yang berarti
antara tahun 1460-1465. Tahun-tahun tersebut menunjukkan persamaan dengan berita Antonio
yang mengatakan bahwa Islam di daerah Maluku mulai 80 atau 90 tahun lalu dari kehadirannya di
daerah Maluku (1540-1545) yang lebih kurang terjadi pada 1460-1463. Kerajaan Ternate sejak itu
makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik, lebih-
lebih setelah Sultan Khairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta sekitar 1535, Kerajaan Ternate
berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara. Tetapi persatuan daerah-daerah dalam
Kerajaan Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga orang-orang
Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-rempah. Di kalangan
kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan Portugis memusatkan perhatiannya
kepada Ternate, sedangkan pedagang Spanyol kepada Tidore.
Pada 1565 Sultan Khairun dengan rakyatnya mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap
Portugis. Karena hampir terdesak, pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk
mengadakan perundingan tetapi ternyata Sultan Khairun dibunuh pada 1570. Hal tersebut tentu
menyebabkan makin marahnya rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu diteruskan di bawah pimpinan
putranya, Sultan Baabullah yang pada 28 Desember 1577 berhasil mengusir orang-orang Portugis
dari Ternate, menyingkir ke pulau dekat Tahula tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap diganggu oleh
orang-orang Ternate agar menyingkir dari tempat itu. Sultan Baabullah menyatakan dirinya sebagai
penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat pengakuan kekuasaannya sampai ke berbagai daerah
Mindanao, Menado, Sangihe, dan daerah-daerah Nusa Tenggara. Sultan Baabullah mendapat
julukan sebagai “Penguasa 72 Kepulauan” dan menganggap sebagai kerajaan seluruh wilayah dan
sangat berkuasa. Sultan Baabullah wafat pada 1583. Selain Kerajaan Ternate, kamu dapat mencari
sumber lain tentang Kerajaan Tidore, Bacan, Jailolo dan juga proses Islamisasi di Ambon.
6. Kerajaan-Kerajaan Islam di Papua
Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak
lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni:
(1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan
Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7)
Kerajaan Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana.
Berdasarkan sumber tradisi lisan dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana
dan Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal datang ke daerah ini. Ada beberapa pendapat
mengenai kedatangan Islam di Papua. Pertama, Islam datang di Papua tahun 1360 yang disebarkan
oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini juga berasal dari sumber lisan yang
disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-17
(H. Ismail Samali Bauw). Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati dan
sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid Kampung Rumbati tahun 1374.
Kedua, pendapat yang menjelaskan bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah
Papua, tepatnya di jazirah Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan
dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada
pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitar 400 tahun
atau di bangun sekitar tahun 1587.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan
oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab
bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan
dengan cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua
mubaligh akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian
penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Keempat, pendapat yang mengatakan Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan
Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri,
seperti Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas Arnold,
Raja Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah tahun 1521. Pada
masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulaupulau di sebelah barat lautnya,
seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya
hingga ke Semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya dan para
pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama Islam.
Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap
menganut animisme.
Kelima, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Papua berasal dari Maluku Utara (Ternate-
Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu
Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua).
Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat
Kaicil Patrawar putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita
Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian
berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool
atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, terutama
di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di
Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung oleh faktor letaknya yang strategis, yang
merupakan jalur perdagangan rempahrempah (spices road) di dunia.
Penelitian tentang Islamisasi di Papua sampai saat ini belum begitu banyak, mungkin kamu bisa
melakukan penelitian sendiri dengan membaca berbagai bacaan yang ada di perpustakaan sekolah,
atau melacak sumber informasi di internet atau website.
7. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara
Kehadiran Islam di daerah Nusa Tenggara antara lain ke Lombok diperkirakan terjadi sejak abad ke-
16 yang diperkenalkan Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Islam masuk ke Sumbawa kemungkinan
datang lewat Sulawesi, melalui dakwah para mubalig dari Makassar antara 1540-1550. Kemudian
berkembang pula kerajaan Islam salah satunya adalah Kerajaan Selaparang di Lombok.
a. Kerajaan Lombok dan Sumbawa
Selaparang merupakan pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari.
Pada masa itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh
Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan tempat-tempat
lainnya. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari Lombok menuju Sumbawa. Hubungan
dengan beberapa negeri dikembangkan terutama dengan Demak.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dapat dimasukkan kepada kekuasaan Kerajaan Gowa pada
1618. Bima ditaklukkan pada 1633 dan kemudian Selaparang pada 1640. Pada abad ke17 seluruh
Kerajaan Islam Lombok berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Hubungan antara
Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaparang, Pemban
Pejanggik, dan Pemban Parwa. Kerajaankerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC
setelah terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat Kerajaan
Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk dapat mempertahankan
kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan pengaruh kekuasaan Gowa.
Sumbawa dipandang lebih strategis daripada pusat pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman
dan serangan dari VOC terus-menerus terjadi.
b. Kerajaan Bima
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan
nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I
atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan
Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah
Kerajaan Bima terusmenerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli
perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui
perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; ketika Tambora
merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan
menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn. Pada 1691, ketika permaisuri Kerajaan Dompu
terbunuh, Raja Kerajaan Bima ditangkap dan diasingkan ke Makassar sampai meninggal dunia di
dalam penjara. Di antara kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, dan kerajaan-kerajaan
lainnya sepanjang abad ke-18 masih menunjukkan pemberontakan dan peperangan, karena pihak
VOC senantiasa memaksakan kehendaknya dan mencampuri pemerintahan kerajaan-kerajaan,
bahkan menangkapi dan mengasingkan raja-raja yang melawan.
Sebenarnya jika kita membicarakan sejarah Kerajaan Bima abad ke-19 dapat diperkaya oleh
gambaran rinci dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut telaah filologi Cambert Loir diperkirakan
sangat mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi
meletakkan jabatannya dan diganti oleh putranya. Pendek kata syair itu dikarang oleh Khatib
Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu ditulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu. Dalam
syair itu diceritakan empat peristiwa yang terjadi di Bima pada pertengahan abad ke-19, yaitu,
letusan Gunung Tambora, wafat dan pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, serangan
bajak laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819, Sultan Abdul Hamid dan Wazir Abdul
Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, kontrak Bima pada 26 Mei 1792,
pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan Sultan Ismail, Reinwardt, dan H. Zollinger yang
mengunjungi Sumbawa dan menemui Sultan.
D. Jaringan Keilmuan di Nusantara
Pada bagian ini kamu akan memahami hubungan antara istana sebagai pusat kekuasaan dan
pendidikan. Perkembangan lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat
ditentukan oleh dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi
juga mendatangkan para ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun dari
kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-
pejabat negara, bukan saja memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi
juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama.
Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya
tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun,
ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh
Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara,
bahkan mungkin dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah
mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam
proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
Kerajaan Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Hal itu terbukti dengan
berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan perubahan sikap dan konsepsi masyarakat
terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan sebagian berlangsung di
kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat penyalinan kitab-
kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.
Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara
yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab.
Banyaknya para ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para
penuntut ilmu dari berbagai kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari Jawa misalnya,
Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan setelah menyelesaikan
pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat
masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat
bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi
Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk
mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan
karya-karya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan
pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman,
dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh Yusuf al
Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam
sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama
Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di
Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa
Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu
menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Pada abad ke-17,
Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Para ulama dari berbagai negara
menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan
agama cukup menonjol ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan
bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan
Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad
Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa
pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan
karya-karya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan alQur’an.
Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan
perpustakaan keraton yang memiliki koleksi cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara
yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara Arab dan bahasa
Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan
Islam di Nusantara ditulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu
atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf
pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung
asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka
jumpai.
Pada 1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei. Orang Spanyol itu menguji
apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak sultan itu dapat menulis.
Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa
Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya
pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya berbagai ulama hasil didikan dari
istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan
dilangsungkannya pendidikan di rumahrumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai
tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab. Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan
dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di
Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan terutama
membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu. Dan ini
diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini.
Di Nusantara, masjid-masjid yang berada di pemukiman penduduk yang dikelola secara swadaya
oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum. Di sinilah
terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam. Demikianlah yang terjadi di wilayah-wilayah
Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau,
Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar,
Papua dan lain sebagainya. Bahkan mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan
tertentu, di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di
antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks, seperti
meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.
Untuk memperdalam tentang jaringan keilmuan ini kamu dapat membaca buku Taufik Abdullah dan
Adrian B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, jilid III dan Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Empirium.
E. Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam
Coba kamu perhatikan gambar menara Masjid Kudus. Bentuknya unik seperti candi langgam Jawa
Timur. Di bagian atas ada beduk yang dibunyikan seiring datangnya waktu salat. Itulah bentuk nyata
akulturasi dalam kebudayaan di Indonesia. Di Nusantara banyak terdapat bangunan yang akulturatif
dan budaya non fisik yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya lain. Untuk
lebih menghayati perkembangan hasil budaya ini, kamu dapat mengkaji uraian berikut
Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya
nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia.
Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan
masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan
kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan
kebudayaan yang sudah ada.
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya
berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga
menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan
ditunjukkan pada paparan berikut.
1. Seni Bangunan
Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni
bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.
a. Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam
dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid.
Fungsi utama dari masjid, adalah tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau mesjid dalam
bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang
artinya merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad yang
dapat diartikan dengan kuil atau gereja. Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primer
ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî yang menyatakan
bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum)
dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.” Jika
pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah
memberikan pengertian perkataan masjid atau mesjid itu bersifat universal.
Dengan sifat universal itu, orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat
di tempat manapun asalkan bersih. Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim yang
melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi
jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas
bangunan gedung dan sebagainya. Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan
bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan khusus yang
disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang
luas yaitu sebagai pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan
ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Demikian pula masjid dapat
dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lainnya ada bermacam-macam
sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa setempat. Sebutan masjid, dalam bahasa
Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut
meuseugit, dalam bahasa Makassar dan Bugis disebut masigi.
Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan
tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang
tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu,
jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi
sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
2) Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan
masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjidmasjid kuno di
Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dilakukan dengan memukul beduk atau
kentongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya
begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah
diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara
tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
3) Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang
dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali
Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
b. Makam
Bangunan makam muncul saat perkembangan Islam pada periode perkembangan kerajaan Islam.
Bahkan kalau yang meninggal itu orang terhormat wali atau raja, bangunan makamnya nampak
begitu megah bahkan ada bangunan semacam rumah yang disebut cungkup. Kemudian kalau kita
perhatikan letak makam orang-orang yang dianggap suci biasanya berada di dekat masjid di dataran
rendah dan ada pula di dataran tinggi atau di atas bukit.
Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara
lain makam sultansultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam rajaraja Mataram-Islam
Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultansultan Palembang, makam sultan-sultan di daerah
Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang
XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak Indrapura (Riau),
makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultan-
sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam
Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di
Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai
daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau
syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi. Makam tokoh tersebut antara lain,
makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di
Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran
di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh
Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin arRaniri (Aceh) dan masih banyak para
dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran.
Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana telah
dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan
pada ruh-ruh nenek moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian
pundenpunden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia
Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain
Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi
Borobudur. Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah Surakarta, Percandian
Gunung Penanggungan dan lainnya. Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani
dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian
bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan
berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi. Makam-makam yang lokasinya di atas
bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah
makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di
Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah. Makam walisongo dan
sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih
bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui. Cungkupcungkup yang termasuk
kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati. Demikian juga
cungkup makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun
sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, dan Ratu
Kalinyamat (Jepara).
Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari
ajaran Islam. Misalnya, jenazah dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur
batu dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-
100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan. Saji-sajian dan selamatan adalah
unsur pengaruh kebudayaan pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam. Hal ini jelas menunjukkan
perpaduan. Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya
diperkuat dengan bangunan dan batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing. Nisannya diganti
dengan nisan batu. Di atas jirat sering didirikan semacam rumah yang di atas disebut cungkup.
Dalam kaitan dengan makam Islam ada juga istilah masjid makam. Apa yang dimaksud masjid
makam itu?
2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan
melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia ajaran
tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang
berkembang. Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung
bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung berkembang
seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan.
Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu
mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti
yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab
(kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makhluk hidup, akan
disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelasjelas berwujud binatang atau manusia.
Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran. Misalnya,
ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu
gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang dicampur
dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau
wayang.
3. Aksara dan Seni Sastra Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara
atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab
mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dengan itu
berkembang seni kaligrafi
Di samping pengaruh sastra Islam dan Persia, perkembangan sastra di zaman madya tidak terlepas
dari pengaruh unsur sastra sebelumnya. Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam
dengan sastra yang berkembang di zaman pra-Islam. Seni sastra di zaman Islam terutama
berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti
berikut.
1) Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak
ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis
dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya
Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat RajaRaja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001
Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
2) Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu
berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah
Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi,
Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
3) Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri
atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan
makam putri Pasai di Minye Tujoh.
4) Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal
tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang.
4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
1) Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam ke
tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayatayat dalam Al Quran
dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
2) Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan
orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh
delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi
3) Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu,
akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah
dikembangkan pertunjukan wayang golek.
5. Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi
kalender Islam. Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar
menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita
mengenal tahun Hijriyah.
Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara. Bukti perkembangan sistem penanggalan
(kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia
melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan
Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai
tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun
1555 Jawa (8 Agustus 1633).
Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dengan
kebudayaan Islam. Misalnya upacara kelahiran perkawinan dan kematian. Masyarakat Jawa juga
mengenal berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu
tertentu. Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen
(putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan
(Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal.
F. Proses Integrasi Nusantara
Integrasi suatu bangsa adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan segala persoalan
yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wujud
konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi bangsa Indonesia ini ternyata sudah
berlangsung cukup lama bahkan sudah dimulai sejak awal tarikh masehi. Pada abad ke-16 proses
integrasi bangsa Indonesia mulai mengalami kemajuan pesat sejak proses Islamisasi. Coba kamu
perhatikan dari bacaan di atas hubungan antara ulama dari berbagai daerah telah mempercepat
proses persatuan bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia. Ulamaulama dari Minangkabau misalnya
sudah berhasil mengislamkan saudara-saudara kita di Sulawesi, begitu juga ulama Sulawesi juga
telah berperan dalam mengislamkan saudara-saudara kita di Bima, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau
dan sebagainya, begitu juga ulama dari Jawa Timur telah mengislamkan Ternate dan Tidore, tentu
kalau diurai satu persatu maka hubungan antar ulama ini telah menyatukan seluruh wilayah
Indonesia bahkan sampai ke Malaka dan Singapura.
1. Peranan Para Ulama dalam Proses Integrasi
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan
mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak
mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Islam memunculkan perilaku ke
arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia
mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat
perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota
pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan. Timbulnya
kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing
kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.
2. Peran Perdagangan Antarpulau
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman
kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran
dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara
yang satu dengan negara yang lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya
berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan
antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya
proses integrasi.
Pada mulanya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada
di pulau tersebut. Dalam perkembangannya, mereka ingin mendapatkan barang-barang yang
terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan dagang antar
pulau. Angkutan yang paling murah dan mudah adalah angkutan laut (kapal/perahu), maka
berkembanglah pelayaran dan perdagangan. Terjadinya pelayaran dan perdagangan antarpulau di
Kepulauan Indonesia yang diikuti pengaruh di bidang budaya turut berperan serta mempercepat
perkembangan proses integrasi. Misalnya, para pedagang dari Jawa berdagang ke Palembang, atau
para pedagang dari Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini menyebabkan terjadinya proses integrasi
antara Sumatra dan Jawa. Para pedagang di Banjarmasin berdagang ke Makassar, atau sebaliknya.
Hal ini menyebabkan terjadi proses integrasi antara masyarakat Banjarmasin (Kalimantan) dengan
masyarakat Makassar (Sulawesi). Para pedagang Untuk lebih mendalami, silakan membaca buku
Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Empirium.
Makassar dan Bugis memiliki peranan penting dalam proses integrasi. Mereka berlayar hampir ke
seluruh Kepulauan Indonesia bahkan jauh sampai ke luar Kepulauan Indonesia.
Pulau-pulau penting di Indonesia, pada umumnya memiliki pusatpusat perdagangan. Sebagai
contoh di Sumatra terdapat Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa memiliki beberapa pusat
perdagangan misalnya Banten Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Blambangan.
Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka. Malaka berkembang sebagai bandar terbesar di Asia
Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akibatnya perdagangan Nusantara
berpindah ke Aceh. Dalam waktu singkat Aceh berkembang sebagai bandar dan menjadi sebuah
kerajaan yang besar. Para pedagang dari pulau-pulau lain di Indonesia juga datang dan berdagang di
Aceh.
Sementara itu, sejak awal abad ke-16 di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa bandar
sebagai pusat perdagangan. Di kepulauan Indonesia bagian tengah maupun timur juga berkembang
kerajaan dan pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian, terjadi hubungan dagang antardaerah
dan antarpulau. Kegiatan perdagangan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang
terhubung melalui para pedagang. Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya
hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan.
3. Peran Bahasa
Perlu juga kamu pahami bahwa bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi.
Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam
suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing. Untuk mempermudah
komunikasi antarsuku bangsa, diperlukan satu bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat
dimengerti oleh semua suku bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak akan
terjadi karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain.
Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-
pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi
negara Melayu (Jambi). Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa
resmi dan bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M,
Prasasti Talang Tuo tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun
686 M.
Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan
Nusantara. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun
bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan
Nusantara. Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai barat
Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai Kalimantan, penduduk menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pergaulan.

Masuk dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku
agama dan tafsir alQur’an juga mempergunakan bahasa Melayu. Ketika menguasai Malaka, Portugis
mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Portugis, namun kurang berhasil. Pada
tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan
bahasa Melayu. Jadi, secara tidak sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut
mengembangkan bahasa Melayu.
Kesimpulan
1. Perkembangan Islam di Nusantara tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di kawasan-kawasan
lain. Karena itu, adalah keliru pandangan yang menganggap seolah-olah Islam Nusantara
berkembang secara tersendiri serta terisolasi dari perkembangan dan dinamika Islam di tempat-
tempat lain. Peradaban Islam Nusantara juga menampilkan ciri-ciri dan karakter yang khas, relatif
berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah perabadan Muslim lainnya, misalnya Arab,
Turki, Persia, Afrika Hitam, dan Dunia Barat.
2. Islam yang datang pertama kali adalah Islam yang umumnya dibawa para guru pengembara Sufi,
yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan Islam. Islam sufistik yang
dibawa para guru pengembara ini jelas memiliki kecenderungan kuat untuk lebih menerima
terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal. Bagi guru-guru Sufi pengembara ini, yang paling
penting adalah pengucapan dua kalimah syahadat, setelah itu barulah memperkenalkan ketentuan-
ketentuan hukum Islam.
3. Masyarakat Nusantara pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang kehidupan mereka
tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di
pedalaman adalah masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian.
4. Dalam bidang kebudayaan, umat Islam mempunyai ciri yang khusus pula dari budaya material
(material culture) dalam kehidupan sehari-hari, sampai kepada budaya spiritual (spiritual culture).
Bahkan sampai sekarang kita masih bisa menyaksikan berbagai kesinambungan tertentu antara
tradisi Islam dengan tradisi budaya spiritual praIslam yang sedikit banyak diwarnai tradisi Hindu,
Buddha, dan bahkan tradisi keagamaan spritual lokal.
5. Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam. Islam
mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan menjadi
identitas yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas kesukuan, adat istiadat dan
tradisi lokal lainnya. Tentu saja, sejauh menyangkut pemahaman dan pengamalan Islam, terdapat
pula perbedaan-perbedaan tertentu terhadap doktrin dan ajaran Islam sesuai rumusan para ulama,
bukan dengan identitas suku bangsa.
6. Faktor pemersatu kedua, yaitu bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam digunakan
hanya di lingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatra
Timur), dan Semenanjung Malaya. Terdapat bahasa-bahasa lain yang digunakan lebih banyak orang
suku bangsa lain di Nusantara, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Melayu yang lebih
egaliter dibanding bahasa Jawa, diadopsi sebagai lingua franca oleh para penyiar Islam, ulama, dan
pedagang. Kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat
ketika bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab. Bersamaan dengan adopsi huruf-huruf Arab, maka
dilakukan pula pengenalan dan penyesuaian pada aksara Arab tertentu untuk kepentingan bahasa-
bahasa lokal di Nusantara. Kedudukan bahasa Melayu itu menjadi semakin lebih kuat lagi ketika para
ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa Melayu berhuruf Jawi tersebut, sehingga pada
gilirannya, tulisan Jawi menjadi alat komunikasi dan dakwah tertulis bagi masyarakat Melayu-
Nusantara menggantikan beberapa bentuk tulisan yang berkembang sebelumnya.
7. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat
nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau.
BAB 1 Antara Kolonialisme dan Imperialisme
Imperialisme zaman sekarang berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandatgebieden”, daerah-
daerah pengaruh “alias” “involedssferen” dan lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya
menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuahkan negeri djajahan-koloniasa-bezit H.A.
Notosoetardjo -Bung Karno di hadapan Pengadilan Kolonial .1963 Kamu sering mendengar kritik
bahwa secara politis kita sudah merdeka tetapi secara ekonomis masih sering dipermainkan oleh
kekuatan ekonomi global. Bahkan ada yang secara ekstrim mengatakan “kita sudah merdeka secara
politik tetapi masih terjajah di bidang ekonomi.” Bahkan beberapa ahli mengatakan tidak hanya
terjajah secara ekonomi, di Indonesia juga sedang berkembang imperialisme kebudayaan.
Dapat dirasakan bahwa kemandirian dan kekuatan ekonomi Indonesia masih lemah karena
pengaruh kekuatan asing dan utang luar negeri yang tidak sedikit. Sementara di dalam negeri
berbagai penyelewengan di sektor ekonomi, termasuk korupsi masih terus berlangsung. Begitu juga
kalau mencermati perkembangan budaya dan gaya hidup sebagian generasi muda kita yang lebih
bangga dan menyenangi budaya Barat. Contohnya, anakanak dan remaja akan lebih mengenal dan
bangga memakan hamburger dari pada jenis makanan di negeri sendiri misalnya singkong goreng.
Negeri kita yang terkenal dengan nama Indonesia ini, juga dikenal dengan sebutan Kepulauan
Nusantara, sementara kaum kolonial Barat menyebutnya dengan tanah Hindia. Sejarah telah
mencatat bahwa kekayaan Kepulauan Nusantara begitu luar biasa. Kekayaan bumi Nusantara ini
dapat diibaratkan sebagai “mutiara dari timur”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau
Kepulauan Nusantara atau Indonesia ini menarik perhatian kongsi-kongsi Eropa untuk
menguasainya. Terjadilah perebutan hegemoni di antara mereka bangsa-bangsa Eropa yang ingin
menjajah Indonesia. Akibat penjajahan dan dominasi asing telah membuat jati diri dan budaya
bangsa terancam dan menjadi rapuh. Begitu juga kehidupan sosial ekonomi menjadi tersendat.
Kalau kita renungkan masalah-masalah tersebut bisa jadi berakar dari berkembangnya kultur
kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia sejak abad ke-17. Nah, mulai saat itu kita tidak
memiliki kemandirian dan kedaulatan baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Realitas kehidupan semacam itu perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Dalam kenyataan
sekarang ini masih dapat dirasakan adanya pengaruh asing yang begitu kuat di dalam dinamika
kehidupan perekonomian di Indonesia. Utang luar negeri yang juga semakin menumpuk, di samping
penyakit korupsi yang belum dapat diberantas. Kalau begitu apakah benar kehidupan sekarang ini
juga ada warisan yang berasal dari zaman penjajahan, zaman dominasi kolonialisme dan
imperialisme di Indonesia. Bila mengingat prinsip sebab akibat dan konsep perubahan dan
keberlanjutan, sangat mungkin kehidupan kita sekarang ini juga dipengaruhi oleh kultur di zaman
penjajahan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Bagaimana sebenarnya perkembangan
dominasi kolonialisme dan imperialisme di Indonesia yang sudah muncul sejak abad ke-16.
ARTI PENTING
Mempelajari sejarah perkembangan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia akan memberikan
penyadaran dan memberikan pelajaran dan sekaligus peringatan. Mengapa kita sampai dijajah?
mengapa penjajahan berlangsung sangat lama? apa ada yang salah dengan bangsa kita? Jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan itu akan memberikan pelajaran dan inspirasi bagaimana kita mengelola
negara dan pemerintahan Indonesia dengan kedaulatan dan kemandirian yang utuh sebagai bangsa
yang merdeka.
A. Perburuan “Mutiara dari Timur” dan Perebutan Hegemoni
Perlu disadari bahwa Nusantara atau Kepulauan Indonesia merupakan kepulauan yang sangat kaya
dan indah. Bagaikan “mutiara dari timur”. Tanah Nusantara memiliki flora dan fauna yang beraneka
ragam, hasil dan persediaan tambang ada di mana-mana, hasil pertanian pun melimpah, begitu juga
hasil perkebunan seperti rempah-rempah selalu menggugah selera.
Sungguh Tuhan Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan bumi Nusantara yang kaya ini untuk
kita semua. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita bersyukur atas nikmat-Nya, caranya, dengan
menjaga dan melestarikan kekayaan alam semesta Nusantara ini. Kekayaan dan keindahan tanah
Nusantara itu pula yang menarik dan menggiurkan bangsa-bangsa lain untuk datang. Sekarang
mereka datang ke Indonesia, ada yang sebagai wisatawan, ada sebagai penanam modal, ada yang
bekerja seperti konsultan, dan lainlain.
Tetapi dalam perjalanan sejarah Indonesia, kedatangan bangsa-bangsa asing terutama Eropa di
Nusantara yang dimulai abad ke-16 ternyata telah membawa sebuah perubahan besar dengan
terjadinya suatu masa penjajahan bangsa Barat.
Nah, bagaimana proses datangnya bangsa Barat ke Indonesia? Ikuti uraian berikut.
1. Motivasi, Nafsu, dan Kejayaan Eropa
Di dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia dikenal adanya masa penjelajahan samudra. Aktivitas
penjelajahan samudra ini dalam rangka untuk menemukan dunia baru. Aktivitas penemuan dunia
baru ini tidak terlepas dari motivasi dan keinginannya untuk bertahan hidup, memenuhi kepuasan
dan kejayaan dalam kehidupan di dunia. Bahkan bukan sekedar motivasi, tetapi juga muncul nafsu
untuk menguasai dunia baru itu demi memperoleh keuntungan ekonomi dan kejayaan politik.
Pertanyaannya adalah daerah mana yang dimaksud dunia baru itu? Yang dimaksud dunia baru waktu
itu pada mulanya adalah wilayah atau bagian dunia yang ada di sebelah timur (timurnya Eropa).
Wilayah itu sebagai penghasil bahan-bahan yang sangat diperlukan dan digemari oleh bangsa-
bangsa Eropa. Bahan-bahan yang dimaksudkan itu adalah rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan
pala.
Mengapa orang-orang Eropa sangat memerlukan rempah-rempah? Orangorang Eropa berusaha
sekuat tenaga untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah ini menjadi
komoditas perdagangan yang sangat laris di Eropa. Rempahrempah ini sangat diperlukan untuk
bumbu masak dan bahan minuman yang dapat menghangatkan badan. Hal ini sangat cocok untuk
orangorang Eropa yang memang tinggal di daerah dingin. Kemudian dari mana asal rempah-rempah
itu?
Daerah yang menghasilkan rempahrempah itu tidak lain adalah Kepulauan Nusantara. Orang-orang
Eropa menyebut daerah itu dengan nama Hindia. Bagaikan “memburu mutiara dari timur”, orang-
orang Eropa berusaha datang ke Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan rempah-rempah. Dalam
konteks penemuan dunia baru itu kemudian tidak hanya Kepulauan Nusantara, tetapi juga daerah-
daerah lain yang ditemukan orang-orang Eropa pada periode penjelajahan samudra, misalnya
Amerika dan daerah-daerah lain di Asia.
Sejarah umat manusia sudah sejak lama mengglobal. Peristiwa sejarah di suatu tempat sangat
mungkin terpengaruh atau menjadi dampak dari peristiwa lain yang terjadi di tempat yang cukup
jauh. Perkembangan ini sudah sangat nyata seiring dengan semakin ramainya perdagangan melalui
“Jalur Sutera”
Kehidupan global semakin berkembang dengan maraknya penjelajahan samudera orang-orang
Eropa ke dunia Timur. Begitu juga peristiwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, telah ikut
meningkatkan kehidupan global. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh peristiwa yang jauh dari
Indonesia, misalnya peristiwa jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah pada tahun 1453.
Serangkaian penemuan di bidang Tahukan kamu apa yang dimaksud dengan “Jalur Sutera”? Apa
dampak perkembangan “Jalur Sutera” kehidupan global?
Teknologi juga merupakan faktor penting untuk melakukan pelayaran bagi bangsa-bangsa Barat
menuju Tanah Hindia/Kepulauan Nusantara. Sementara itu semangat dan dorongan untuk
melanjutkan Perang Salib disebut-sebut juga ikut mendorong kedatangan bangsa-bangsa Barat ke
Indonesia.
2. Petualangan, Penjelajahan, dan Perebutan Hegemoni
Bertahun-tahun lamanya Laut Tengah menjadi pusat perdagangan internasional antara para
pedagang dari Barat/Eropa dan Timur. Salah satu kota pusat perdagangan itu yang terkenal adalah
Konstantinopel. Banyak jenis komoditas di pasar Konstantinopel. Misalnya batu mulia, emas dan
perak, gading, sutera dan juga yang penting rempah-rempah. Orang-orang Eropa sangat menyenangi
rempah-rempah. Para pedagang dari Barat atau orangorang Eropa itu mendapatkan rempah-rempah
lebih mudah, dan dengan harga lebih murah. Namun, setelah jatuhnya Konstantinopel tahun 1453
ke tangan Turki Usmani, akses bangsa-bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang lebih
murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup. Harga rempah-rempah di pasar Eropa melambung
sangat tinggi. Oleh karena itu, mereka berusaha mencari dan menemukan daerah-daerah penghasil
rempah-rempah ke timur. Mulailah periode petualangan, penjelajahan, dan penemuan dunia baru.
Upaya tersebut mendapat dukungan dan partisipasi dari pemerintah dan para ilmuwan.
Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, pelayaran, dan penjelajahan
samudra untuk menemukan dunia baru di timur. Portugis juga telah menjadi pembuka jalan
menemukan Kepulauan Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Kemudian menyusul
Spanyol, Belanda, dan Inggris. Tujuan kedatangan mereka ke wilayah timur tidak semata-mata
mencari keuntungan melalui perdagangan rempahrempah, tetapi ada tujuan yang lebih luas.
Tujuan mereka terkait dengan:
• gold : memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan emas perak dan
bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat berharga.
• glory : memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka saling
bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya.
• gospel : menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada mulanya orang-orang Eropa
ingin mencari dan bertemu Prester John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang berkuasa di
Timur.
Mengenai ketiga jenis tujuan:
gold, glory, dan gospel itu sebenarnya lebih dimiliki dan digelorakan oleh Portugis dan Spanyol.
Berikut ini akan dijelaskan petualangan, pelayaran, dan penjelajahan samudra bangsa-bangsa Eropa
menuju Kepulauan Nusantara.
a) Portugis
Berita keberhasilan Columbus menemukan daerah baru, membuat penasaran raja Portugis
(sekarang terkenal dengan sebutan Portugal), Manuel l. Raja Portugis tersebut kemudian memanggil
pelaut ulung Portugis bernama Vasco da Gama untuk melakukan ekspedisi menjelajahi samudra
mencari Tanah Hindia yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah. Vasco da Gama mencari
jalan lain agar lebih cepat sampai di Tanah Hindia yang merupakan tempat penghasil rempah-
rempah. Kebetulan sebelum Vasco da Gama mendapatkan perintah dari Raja Manuel l, sudah ada
pelaut Portugis bernama Bartholomeus Diaz melakukan pelayaran mencari daerah Timur dengan
menelusuri pantai barat Afrika. Pada tahun 1488 karena serangan ombak besar terpaksa
Bartholomeus Diaz mendarat di suatu ujung selatan Benua Afrika. Tempat tersebut kemudian
dinamakan Tanjung Harapan. Ia tidak melanjutkan penjelajahannya tetapi memilih bertolak kembali
ke negerinya.
Pada Juli 1497 Vasco da Gama berangkat dari pelabuhan Lisabon untuk memulai penjelajahan
samudra. Berdasarkan pengalaman Bartholomeus Diaz tersebut, Vasco da Gama juga berlayar
mengambil rute yang pernah dilayari Bartholomeus Diaz. Rombongan Vasco da Gama juga singgah di
Tanjung Harapan. Atas petunjuk dari pelaut bangsa Moor yang telah disewanya, rombongan Vasco
da Gama melanjutkan penjelajahan, berlayar menelusuri pantai timur Afrika kemudian berbelok ke
kanan untuk mengarungi Lautan Hindia (Samudra Indonesia). Pada tahun 1498 rombongan Vasco da
Gama mendarat sampai di Kalikut dan juga Goa di pantai barat India.
Ada pemandangan yang menarik dari kedatangan rombongan Vasco da Gama ini. Mereka ternyata
sudah menyiapkan patok batu yang disebut batu padrao . Batu ini sudah diberi pahatan lambang
bola dunia. Setiap daerah yang disinggahi kemudian dipasang patok batu padrao sebagai tanda
bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis. Bahkan di Goa, India itu Vasco da Gama berhasil
mendirikan kantor dagang yang dilengkapi dengan benteng. Atas kesuksesan ekspedisi ini maka oleh
Raja Portugis, Vasco da Gama diangkat sebagai penguasa di Goa atas nama pemerintahan Portugis.
Setelah beberapa tahun tinggal di India, orang-orang Portugis menyadari bahwa India ternyata
bukan daerah penghasil rempah-rempah. Mereka mendengar bahwa Malaka merupakan kota pusat
perdagangan rempahrempah. Oleh karena itu, dipersiapkan ekspedisi lanjutan di bawah pimpinan
Alfonso de Albuquerque. Dengan armada lengkap Alfonso de Albuquerque berangkat untuk
menguasai Malaka. Pada tahun 1511 armada Portugis berhasil menguasai Malaka. Portugis mulai
memasuki wilayah Kepulauan Nusantara yang disebutnya juga sebagai tanah India (Hindia). Orang-
orang Portugis pun segera mengetahui tempat buruannya “mutiara dari timur” yakni rempah-
rempah yang ada di Kepulauan Nusantara, khususnya di Kepulauan Maluku,
Tentang rempah-rempah di Maluku (Ternate dan Tidore), pernah digambarkan oleh Luis vaz de Cam
sebagai berikut.
“Lihatlah, betapa laut-laut di Timur ditebari pulau-pulau tidak terkira banyaknya. Tengoklah Tidore
lalu Ternate dengan puncak gunung yang membara dan meluncurkan api. Pandanglah kebun-kebun
cengkeh yang panas. Dibeli oleh Portugis dengan darah mereka. Dan burung cenderawasih yang
terbang tidak pernah melangit. Tetapi jatuh ke bumi ketika mereka berhenti terbang.“ Luis vaz de
Cam-cs. The Lusiads (1572). Canto. 132. (Taufik Abdullah & AB. Lapian. Indonesia dalam Arus
Sejarah. 2012) » Nah, kapan dan bagaimana orang-orang Portugis itu akhirnya memasuki wilayah
Indonesia? Kapan dan di mana Portugis berhasil menanamkan kekuasaannya di wilayah Nusantara/
Indonesia? Tahukah kamu bagaimana hubungan antara Portugis dengan Kerajaan Ternate? Coba
lakukan pelacakan kemudian buatlah uraian tentang masuknya orang-orang Portugis ke Indonesia!
Untuk mengerjakan tugas ini kamu dapat membaca buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan
sekolah.
Perlu ditambahkan bahwa dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah
menyebabkan perdagangan orang-orang Islam menjadi terdesak. Para pedagang Islam tidak lagi bisa
berdagang dan keluar masuk kawasan Selat Malaka, karena Portugis melakukan monopoli
perdagangan. Akibatnya para pedagang Islam harus menyingkir ke daerah-daerah lain. Tindakan
Portugis yang memaksakan monopoli dalam perdagangan itu telah mendapatkan protes dan
perlawanan dari berbagai pihak. Sebagai contoh pada tahun 1512 terjadi perlawanan yang
dilancarkan seorang pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir). Pate Kadir merupakan
tokoh masyarakat (kepala suku) Jawa yang ada di Malaka. Ia dikenal sangat pemberani. Ia
melancarkan perlawanan terhadap keserakahan Portugis di Malaka. Dalam melancarkan perlawanan
ini Pate Kadir berhasil menjalin persekutuan dengan Hang Nadim. Perlawanan Pate Kadir terjadi di
laut dan kemudian menyerang pusat kota. Tetapi ternyata dengan kekuatan senjata yang lebih
unggul, pasukan Kadir dapat dipukul mundur. Kadir semakin terdesak dan kemudian berhasil
meloloskan diri sampai ke Jepara dan selanjutnya ke Demak.
Tindak monopoli yang dipaksakan Portugis juga mendapatkan protes dari penguasa Kerajaan Demak.
Demak telah menyiapkan pasukan untuk melancarkan perlawanan terhadap Portugis di Malaka.
Pasukan Demak ini dipimpin oleh putera mahkota, Pati Unus. Pasukan Demak ini semakin kuat
setelah bergabungnya Pate Kadir dan pengikutnya. Tahun 1513 pasukan Demak yang berkekuatan
100 perahu dan ribuan prajurit mulai melancarkan serangan ke Malaka. Tetapi dalam kenyataannya
kekuatan pasukan Demak dan pengikut Kadir belum mampu menandingi kekuatan Portugis,
sehingga serangan Demak ini juga belum berhasil. Posisi Portugis menjadi semakin kuat. Portugis
terus berusaha memperluas monopolinya, hingga sampai ke Indonesia.
b) Spanyol Sebelum orang-orang Portugis berangkat memulai penjelajahan samudra, sebenarnya
sudah lebih dulu Spanyol berangkat berlayar mencari tempat penghasil rempah-rempah. Orang-
orang Spanyol dan Portugis dapat dikatakan sebagai pelopor dalam pelayaran dan penjelajahan
samudra untuk mencari daerah baru penghasil rempah-rempah di timur (disebut Tanah Hindia).
Bangsa Portugis dan bangsa Spanyol umumnya memeluk agama Katolik. Kedua bangsa ini sama-
sama ingin menguasai wilayah lain di dunia. Hal ini menimbulkan keprihatinan Paus Yulius II. Untuk
menjaga kerukunan antara keduanya, maka Paus turun tangan untuk bermusyawarah dengan kedua
bangsa tersebut. Diadakanlah kemudian perjanjian pembagian wilayah. Perjanjian ini diadakan di
Tordesillas, Spanyol pada tanggal 7 Juni 1494. Isinya adalah wilayah di luar Eropa dibagi menjadi dua
dengan garis meridian 1550 km sebelah barat Kepulauan Tanjung Verde. Belahan sebelah timur
dimiliki oleh Portugis dan belahan sebelah barat dikuasai Spanyol.
Orang-orang Spanyol yang diprakarsai Christhoper Columbus merencanakan melakukan
penjelajahan samudra untuk menemukan tanah penghasil rempahrempah. Sebelum berangkat
Columbus menghadap kepada Ratu Isabella untuk mendapat dukungan termasuk fasilitas. Ratu
Isabella mengizinkan dan menyediakan tiga kapal dengan segala perlengkapannya. Ratu Isabella juga
menyediakan hadiah apabila misi Columbus ini dapat berhasil.
Pada tanggal 3 Agustus 1492, Columbus berangkat dari pelabuhaan. Atas dasar keyakinan bahwa
bumi itu bulat maka Columbus dengan rombongannya bertolak dari Spanyol berlayar menuju ke
arah barat. Mereka optimis berhasil menemukan daerah baru di timur.
Pada tanggal 6 September tahun yang sama, rombongan Columbus sampai di Kepulauan Kanari di
sebelah barat Afrika. Ekspedisi penjelajahan samudra dilanjutkan dengan mengarungi lautan luas
yang dikenal ganas, yakni Samudra Atlantik. Salah satu kapalnya rusak. Para anggota ekspedisi
hampir putus asa. Namun Columbus terus memberi semangat bagi anggota rombongannya. Setelah
sekitar satu bulan lebih berlayar, tanggal 12 Oktober 1492 rombongan Columbus berhasil mendarat
di pantai bagian dari Kepulauan Bahama. Columbus mengira bahwa ekspedisinya ini sudah sampai di
Tanah Hindia. Oleh karena itu, penduduk yang menempati daerah itu disebut orang-orang Indian.
Tempat mendarat Colombus ini kemudian dinamakan San Salvador. Berikutnya rombongan
Columbus kembali berlayar dan mendarat di Haiti. Merasa ekspedisinya telah berhasil maka
rombongan Columbus bertolak kembali ke Spanyol untuk melapor kepada Ratu Isabella. Tahun 1493
Columbus sampai kembali di Spanyol. Kedatangan Columbus dan rombongan disambut dengan suka
cita. Bahkan dengan keberhasilannya mendarat di Kepulauan Bahama dan Haiti, Columbus diakui
sebagai penemu daerah baru yakni Benua Amerika.
Keberhasilan pelayaran Columbus menemukan daerah baru telah mendorong para pelaut lain untuk
melanjutkan penjelajahan samudra ke timur. Apalagi Columbus belum berhasil menemukan daerah
penghasil rempahrempah. Berangkatlah ekspedisi yang dipimpin oleh Magellan/Magalhaes atau
umum menyebut Magelhaens. Ia juga disertai oleh seorang kapten kapal yang bernama Yan
Sebastian del Cano.
Berdasarkan catatan-catatan yang telah dikumpulkan Columbus, Magellan mengambil jalur yang
mirip dilayari Columbus. Setelah terus berlayar Magellan beserta rombongan mendarat di ujung
selatan benua yang ditemukan Columbus (Amerika). Di tempat ini terdapat selat yang agak sempit
yang kemudian dinamakan Selat Magellan.
Melalui selat ini rombongan Magellan terus berlayar meninggalkan Samudra Atlantik dan memasuki
Samudra Pasifik dengan lautan yang relatif tenang. Setelah sekitar tiga bulan lebih rombongan
Magellan berlayar akhirnya pada Maret 1521 Magellan mendarat di Pulau Guam. Rombongan
Magellan kemudian melanjutkan penjelajahannya dan pada April 1521 sampai di Kepulauan
Massava atau kemudian dikenal dengan Filipina. Magellan menyatakan bahwa daerah yang
ditemukan ini sebagai koloni Spanyol.
Tindakan Magellan dan rombongan ini mendapat tantangan penduduk setempat (orang-orang
Mactan). Terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran dengan penduduk
setempat itu rombongan Magellan terdesak bahkan Magellan sendiri terbunuh. Rombongan
Magellan yang selamat segera meninggalkan Filipina. Mereka di bawah pimpinan Sebastian del Cano
terus berlayar ke arah selatan. Pada tahun 1521 itu juga mereka sampai di Kepulauan Maluku yang
ternyata tempat penghasil rempah-rempah. Tanpa berpikir panjang kapal-kapal rombongan del
Cano ini dipenuhi dengan rempah-rempah dan terus bertolak kembali ke Spanyol. Dikisahkan bahwa
atas petunjuk pemandu orang Indonesia kapal-kapal rombongan del Cano ini berlayar menuju ke
arah barat, sehingga melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan diteruskan menuju Spanyol.
Dengan penjelajahan dan pelayaran yang dipimpin oleh Magellan itu maka sering disebut-sebut
bahwa tokoh yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali adalah Magellan.
Dalam kaitannya dengan pelayaran dan penjelajahan samudra itu ada pendapat yang menarik dari
Menzies, seorang perwira angkatan laut Inggris. Ia menegaskan bahwa yang berhasil mengelilingi
dunia pertama kali adalah armada Cina yang dipimpin oleh Panglima Zheng He (Cheng Ho) pada
tahun 1421. Zheng He adalah seorang kasim kepercayaan Kaisar Cina dari Dinasti Ming yang
bernama Zhu Di atau Yong Le. Dijelaskan oleh Menzies bahwa Zheng He bersama armadanya telah
berlayar mengelilingi dunia dengan berpedoman pada peta-peta kuno yang dibuat oleh para
kartografer Cina dan juga beberapa peta yang dibuat misalnya oleh Fra Mauro (orang Italia), dan
yang dibuat oleh Piri Reis (orang Turki).
Kemudian bagaimana peran para nelayan dan pedagang Indonesia yang sudah berdagang sampai
India, kemudian ke Laut Timur Tengah? Mereka pada umumnya sudah mengetahui berbagai jalur
perdagangan dan pelayaran ke berbagai wilayah, sehingga wajar kalau beberapa di antara mereka
juga sebagai pemandu pelayaran. Sungguh luar biasa nenek moyang dan para pendahulu kita saat
itu. Mereka sudah memiliki pengetahuan yang luas tentang pelayaran dan penjelajahan samudra.
Mereka dengan perahu jung-jungnya menjelajahi perairan di Nusantara, bahkan sampai di luar
Kepulauan Nusantara. Mereka telah mewariskan kepada kita tentang jiwa dan nilai-nilai bahari,
tentang kedaulatan diri untuk berdagang dan bergaul dengan orang-orang dari luar atas dasar
persamaan.
c) Belanda
Portugis sudah memasuki wilayah Kepulauan Nusantara tahun 1511, kemudian sampai ke Maluku
tahun 1521. Begitu juga Spanyol memasuki Maluku pada tahun 1521. Tetapi Belanda datang ke
wilayah Nusantara baru pada tahun 1596. Mengapa Belanda sangat terlambat datang ke Indonesia
bila dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol?
Perlu diketahui bahwa pada abad ke-15 Belanda masih menjadi vasal Spanyol. Berbagai gerakan
terus dilakukan Belanda untuk melepaskan diri dari Spanyol yang kemudian dikenal Revolusi 80
tahun. Revolusi ini dimulai tahun 1566. Di tengah-tengah revolusi, kegiatan perdagangan orangorang
Belanda di Eropa terutama di pusat perdagangan di Lisabon, terus berkembang dan masih berjalan
normal. Belanda juga tidak menemui kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah di Lisabon.
Tetapi pada saat Portugis berada di bawah kekuasaan Spanyol, maka Belanda dilarang lagi
berdagang di Lisabon. Dengan demikian, Belanda menemui kesulitan untuk mendapatkan rempah-
rempah. Belanda harus berusaha untuk mendapatkan rempah-rempah seperti yang telah dilakukan
Portugis dan Spanyol. Orangorang Belanda mulai mencari jalan untuk pergi ke dunia Timur atau
Tanah Hindia.
Pada tahun 1594 Willem Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia Timur atau Tanah Hindia
melalui daerah kutub utara. Karena keyakinannya bahwa bumi bulat maka sekalipun dari utara atau
barat akan sampai pula di timur. Ternyata Barents tidak begitu mengenal medan. Ia gagal
melanjutkan penjelajahannya karena kapalnya terjepit es mengingat air di kutub utara sedang
membeku. Barents terhenti di sebuah pulau yang disebut Novaya Zemlya. Ia berusaha kembali ke
negerinya, tetapi ia meninggal di perjalanan.
Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain yakni Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser memulai
pelayaran. Kedua pelaut ini bersama armadanya dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal
beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah
Hindia yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Cornelis de Houtman mengambil jalur laut
yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 1596 Cornelis de Houtman beserta armadanya
berhasil mencapai Kepulauan Nusantara. Ia dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan
niatnya untuk berdagang maka kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh rakyat Banten.
Waktu itu di Kerajaan Banten bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir
Mahmud Abdulkadir. Dengan melihat pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya hasil
tanaman rempahrempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk memonopoli
perdagangan di Banten. Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku kasar, orang-orang
Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat diterima oleh rakyat dan penguasa Banten.
Oleh karena itu, rakyat mulai membenci bahkan kemudian mengusir orang-orang Belanda itu.
Cornelis de Houtman dan armadanya segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali ke Belanda.
Ekspedisi penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju Kepulauan Nusantara.
Rombongan kali ini dipimpin antara lain oleh Jacob van Heemskerck. Tahun 1598 van Heemskerck
dengan armadanya sampai di Nusantara dan juga mendarat di Banten. Heemskerck dan anggotanya
bersikap hati-hati dan lebih bersahabat. Rakyat Banten pun kembali menerima kedatangan orang-
orang Belanda. Belanda mulai melakukan aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar
ke timur dan singgah di Tuban. Dari Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju Maluku. Di bawah
pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di Maluku pada tahun 1599. Kedatangan orang-orang
Belanda ini juga diterima baik oleh rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik
dengan orangorang Portugis. Oleh karena itu, kedatangan Belanda ini diterima dengan baik dan
diberi kebebasan untuk berdagang. Pelayaran dan perdagangan orang-orang Belanda di Maluku ini
mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dengan demikian semakin banyak kapal-kapal dagang yang
berlayar menuju Maluku.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa rakyat wilayah Nusantara/Indonesia senantiasa mau
bersahabat dan berdagang dengan siapa saja atas dasar persamaan. Tetapi kalau para pedagang
asing itu ingin memaksakan kehendak dan melakukan monopoli perdagangan di wilayah Nusantara
tentu harus ditolak karena tidak sesuai dengan martabat rakyat Indonesia yang ingin berdaulat
dalam hidup dan kehidupan termasuk dalam kegiatan perdagangan.
d) Inggris
Perlu dipahami bahwa setelah Portugis berhasil sampai di kepulauan Maluku, aktif mengadakan
perdagangan dengan penduduk setempat. Kedatangan Portugis ini telah mendorong perdagangan
rempah-rempah semakin meluas. Jalur perdagangan antara timur (Indonesia, Maluku) dengan Eropa
semakin berkembang. Bahkan Lisabon dalam waktu singkat berkembang menjadi pusat perdagangan
rempah-rempah di Eropa Barat.
Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah.
Inggris dapat memperoleh rempah-rempah secara bebas dan relatif murah di Lisabon. Rempah-
rempah itu kemudian diperdagangkan di daerah-daerah Eropa Barat bahkan sampai di Eropa Utara.
Tetapi karena Inggris terlibat konflik dengan Portugis dan Spanyol apalagi setelah Portugis berada di
bawah kekuasaan Spanyol, maka Inggris pun mulai tidak bebas untuk mendapatkan rempah-rempah
di Lisabon.
Oleh karena itu, Inggris berusaha mencari sendiri negeri penghasil rempahrempah. Banyak anggota
masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak melibatkan diri dalam perang justru mengadakan
pelayaran dan penjelajahan samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Dalam
pelayarannya ke dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempahrempah, Inggris pertama kali
sampai ke India pada tahun 1498 dengan mengikuti rombongan Portugis yang dipimpin oleh Vasco
da Gama. Untuk memperkuat daya saing para pedagang Inggris perdagangannya di dunia timur ini
kemudian dibentuk kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC) pada tahun 1600.
Orang-orang Inggris juga sampai ke Indonesia pertama kali tahun 1579 dipimpin oleh Francis Drake
dan Thomas Cavendish. Inggris juga membentuk beberapa kantor dagang di Indonesia pada tahun
1604, misalnya di Ambon, Makasar, Jepara, Jayakarta.
Tentang beberapa ekspedisi atau penjelajahan samudra ini selengkapnya kamu bisa membaca buku
dari “Garis Besar Sejarah Amerika” yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat,
2004.
KESIMPULAN
1. Latar belakang datangnya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia: Jatuhnya Konstantinopel ke tangan
Turki Usmani (1453), adanya berbagai penemuan di bidang teknologi, semangat melanjutkan Perang
Salib.
2. Bangsa-bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris), mencari daerah baru untuk
memburu rempah-rempah melalui penjelajahan samudra atau jalur laut.
3. Dari konteks Indonesia, orang-orang Spanyol datang ke Indonesia melalui jalur timur, sedang
Portugis melalui jalur barat, diikuti Belanda dan Inggris.
4. Orang-orang Barat itu telah menemukan buruannya yakni Kepulauan Nusantara, penghasil
rempah-rempah yang diibaratkan sebagai “mutiara dari timur”. Sungguh luar biasa kekayaan bumi
Nusantara sebagai rahmat yang diberikan Tuhan Yang maha Pengasih. Oleh karena itu, harus
disyukuri. Namun sayang waktu itu rakyat Indonesia belum bersatu padu sehingga mudah
dipengaruhi dan dikuasai oleh orang-orang Barat.
B. Kekuasaan Kongsi Dagang VOC
Gedung Fatahillahyang sekarang terletak di Jalan Taman Fatahilah mulai dibangun tahun 1620 atas
perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J. P. Coen). Gedung ini kemudian dikenal sebagai
Stadhuis atau Balai Kota, merupakan salah satu bangunan Belanda di Batavia yang digunakan
sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Gedung itulah yang
dijadikan sentral untuk membangun kemaharajaan VOC, tempat awal membangun keabsolutan dan
kesewenang-wenangan bertindak kejam serta melakukan monopoli perdagangan serta intervensi
politik VOC di Nusantara. Hal ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC
dibubarkan.
1. Lahirnya VOC
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia timur antara
lain untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Tujuan ini dapat dicapai setelah mereka
menemukan rempahrempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah
berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian, semakin banyak orang-
orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing meraup
keuntungan dalam berdagang. Para pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan
para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang
Inggris, dan seterusnya. Bahkan tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam
satu bangsapun mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia timur
masingmasing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan dagang bersama. Sebagai
contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East
India Company (EIC). Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari
Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan Inggris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun 1811,
kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah berhasil menempatkan kekuasaannya di
Nusantara.
Persaingan yang cukup keras juga terjadi antarperusahaan dagang orangorang Belanda. Masing-
masing ingin memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Kenyataan ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab
persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri. Terkait dengan itu,
maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar
antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar.
Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi
dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang
telah ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau
dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India
Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam.
Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
(1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda
yang telah ada,
(2) memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para
pedagang negara lain,
(3) sebagai kekuatan revolusi (dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki tentara.
VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, sehingga disebut “Dewan
Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren XVII. Heeren XVII ini maksudnya para tuan, misalnya
Lord, Duke, Count, dari 17 provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC. Mereka terdiri
atas delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan
di Amsterdam.
Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
1) melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat
Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara;
2) membentuk angkatan perang sendiri;
3) melakukan peperangan;
4) mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat;
5) mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri;
6) mengangkat pegawai sendiri; dan
7) memerintah di negeri jajahan;
Kewenangan di atas sering disebut dengan hak oktroi. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan
kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan
kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan
memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, maka
VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerahdaerah di Nusantara sebagai
wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai
musuhnya. Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon.
Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. Benteng itu kemudian oleh
VOC diberi nama Benteng Nieuw Victoria.
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus
menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk
perluasan wilayah monopoli. Dapat kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di
Amsterdam di Negeri Belanda harus mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara. Sudah
barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas sehari-hari secara cepat dan
efektif. Sementara itu, persaingan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras.
Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan jabatan baru
dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal. Gubernur jenderal merupakan jabatan
tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga
dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan Hindia” ini adalah memberi nasihat dan
mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal.
Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1602-1614). Sebagai gubernur jenderal
yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-
baiknya agar harapan mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan.
Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu
juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa Jayakarta waktu
itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan. Pedagang dari mana saja bebas
berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India,
Persia, Arab, termasuk juga Belanda. Dengan demikian, Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda
Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil
mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas 50x50
vadem (satu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara Ciliwung. Tanah
inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal
bakal Kota Batavia. Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat
tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan
menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon.
2. Keserakahan dan Kekejaman VOC
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru
berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619).
Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi
Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap
baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga
berjalan lancar. Bahkan, sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter
Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta.
Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin
memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai
menampakkan sikap congkak, dan sombong.
Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan menikmati keuntungan yang
melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai Indonesia. Untuk
memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC sering melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan
terhadap kaum pribumi. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal.
Rakyat dan para penguasa lokal tidak mau diperlakukan semena-mena oleh VOC. Oleh karena itu,
tidak jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal. Sebagai contoh pada tahun
1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil
mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC
hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta.
Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan
Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta
ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta,
maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan
18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta
kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puingpuing kota
Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu
dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia
juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap
congkak dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi
Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya.
Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
1) Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli
rempah-rempah di Maluku;
2). Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi
hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum pribumi, tetapi yang penting VOC dapat
memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan;
3). VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempattempat yang memiliki posisi
strategis. Cara-cara yang dilakukan, di samping dengan kekerasan dan peperangan, juga melakukan
politik adu domba;
4). VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaankerajaan di Nusantara, terutama
menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli, serta melakukan intervensi
dalam pergantian penguasa lokal;
5). Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan
harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi;
Cara-cara seperti monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian menjadi kebiasaan VOC
dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia.
Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada
tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de
Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya
pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk
jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin congkak dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya
di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus
dilakukan. Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua J.P. Coen ini pula terjadi
serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.(akan dibahas pada bab II).
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas besar VOC. Semua
kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Selain
itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan
internasional. Batavia menjadi pusat perdagangan dan jalur yang menghubungkan perdagangan di
Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara
bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang
utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam
perdagangan rempah-rempah.
VOC semakin bernafsu dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai wilayah Nusantara yang
kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan
pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya
juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh,
Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara
penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang
dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan
Mataram Islam kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-
kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan.
Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di
Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya,
yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh.
Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga
berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil
memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan.
Pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan melalui Pelayaran Hongi. » Apa yang dimaksud
dengan Pelayaran Hongi? Bagaimana pelaksanannya sehingga keuntungan tetap jatuh di tangan
VOC? Coba jelaskan!
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk mempertahankan kebijakan monopoli di
setiap daerah yang dipandang strategis, maka armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan
dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di
Ambon sudah ada Benteng Nieuw Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di
Makasar.
VOC juga memperluas pengaruhnya sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih
tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif.
Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armadanya
rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Papua pada tahun 1606.
Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempahrempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William
Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty
bahkan sampai ke New Ireland. Pada waktu itu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan
budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan
pada tahun 1667, Pulaupulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian, daerah
pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. Penguasaan atas Papua/Irian oleh
VOC ini terutama terjadi setelah melihat Inggris mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa
tempat di Indonesia, seperti penguasaan atas Bengkulu.
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha
mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara.
Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk
memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus
memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara
ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah
tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme
merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara
kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain.
Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara,
baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Sistem ekonomi dan praktik penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa Eropa itu tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang berkembang di Eropa
yakni sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad ke-16. Merkantilisme merupakan sistem ekonomi
yang menekan peraturan dan praktik ekonomi pemerintahan suatu negara dengan tujuan
memperluas kekuasaan dengan mengorbankan kekuatan nasional negara saingannya. Merkantilisme
ini diarahkan untuk menambah cadangan moneter dengan melakukan ekspansi ke negara lain.
Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme. Oleh karena itu, ciri yang menonjol dalam
sistem ekonomi merkantilisme yakni menciptakan koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan
monopoli perdagangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa
Eropa ke dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.
Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas masyarakat atau bangsa yang lain.
Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan
keserakahan ini telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan
tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk
mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-
hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan
dan penguatan akar kolonialisme dan imperialisme. VOC telah melakukan praktik penjajahan di
Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu
muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah
kekuasaan dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan
yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di
Nusantara, misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan Maluku.
3. VOC Gulung Tikar
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-
kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi
bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas
membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan
perdagangan rempah-rempah juga melimpah.
Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang
dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya,
pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur
asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia
juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-
masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal
27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV
sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang
semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC.
Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan
pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir
memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi
dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak
mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah
dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang
cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon
mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur
jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun
dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus
menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur
Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur
kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir
orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia, kuda
yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC
sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran.
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti.
Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada
pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh
organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta
sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya
sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden
dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. Untuk menjadi karyawan VOC
juga harus “menyogok”. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin
menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,-
perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk menjadi kopral harus
membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri
Simbolon, 2007) . Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin
kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya
VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari
Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). » Bagaimana penilaianmu terkait
dengan korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, bagaimana kalau dibandingkan dengan keadaan di
Indonesia saat ini?
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah
keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak
dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC
dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus
bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari
serangan Inggris.
KESIMPULAN
1. Yang dimaksud dunia Timur penghasil rempah-rempah itu ternyata Kepulauan Nusantara.
2. Setelah menemukan daerah penghasil rempah-rempah, perdaganganpun meningkat. Untuk
menghindari persaingan antarpedagang satu bangsa dibentuklah kongsi dagang. Misalnya Inggris
membentuk EIC berpusat di India, Belanda mendirikan VOC di Indonesia.
3. Pada awalnya VOC dipimpin oleh Dewan Tujuh Belas (de Heeren XVII) yang berkedudukan di
Amsterdam, kemudian agar lebih efektif dan produktif diangkat jabatan gubernur jenderal yang
berkedudukan di Hindia.
4. VOC sebagai kongsi dagang yang ingin mencari untung sebanyakbanyaknya, kemudian semakin
bernafsu untuk mengusai daerahdaerah di Nusantara dengan memerangi beberapa kerajaan yang
ada. VOC akhirnya menjadi kongsi penjajah. Mulailah bercokol kolonialisme dan imperialisme di
Indonesia.
5. Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan VOC semakin luas. Ternyata hal ini menimbulkan
masalah dalam hal manajemen pemerintahan. Pengawasan tidak dapat berjalan secara baik.
Berbagai penyelewengan mulai terjadi. Pegawai atau pengurus VOC mulai hidup mewah dan
berfoya-foya. Penyakit korupsi semakin merebak. Utang VOC meningkat, dan kas habis untuk
membiayai perang. VOC berada pada posisi bangkrut.
6. Tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan.
C. Penjajahan Pemerintah Belanda
Kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga jenis tanaman itu sekarang begitu populer di masyarakat
Indonesia. Tembakau adalah bahan utama untuk rokok. Sementara kopi kini menjadi minuman yang
sangat terkenal di kalangan rakyat Indonesia. Begitu juga tebu sebagai bahan pembuat gula pasir.
Sejak zaman kolonial di Indonesia telah berkembang penanaman kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga
jenis tanaman telah menjadi bahan ekspor.
Ketiga jenis tanaman tersebut secara historis memiliki arti yang sangat penting, ditambah dengan
tanaman-tanaman yang lain seperti nila dan karet. Tanaman tersebut telah menjadi tanaman pokok
pada masa kolonial di Indonesia, terutama pada era Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Pada masa itu,
Indonesia berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan Tanam Paksa ini
telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Nah, bagaimana kehidupan rakyat pada masa penjajahan
pemerintah kolonial? Berikut ini uraian tentang “Menganalisis Penjajahan Pemerintah Hindia
Belanda”.
1. Masa Pemerintahan Republik Bataaf
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Munculah kelompok yang menamakan dirinya kaum
patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Prancis: liberte (kemerdekaan), egalite
(persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam
Revolusi Prancis itu, maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan
keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Prancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan
diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari
Prancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1811). Republik Bataaf dipimpin oleh Louis Napoleon
yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte.
Sementara itu, Raja Willem van Oranye (Raja Willem V) oleh pemerintah Inggris ditempatkan di Kota
Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi
perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada
Inggris bukan kepada Prancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan
mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun 1795, kemudian menguasai
Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade
terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Prancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera
mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik
Bataaf ini merupakan vassal dari Prancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur
pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Prancis. Kebijakan utama Prancis waktu itu
adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari
serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk
memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang
revolusioner.
a) Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-
1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai
pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat
pertahanan dan memperbaiki administrasi pemerintahan. Daendels juga ditugasi untuk
memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa. Tampaknya Jawa
menjadi sangat penting dan strategis dalam mengatur pemerintahan kolonial di Nusantara, sehingga
menyelamatkan dan mempertahankan Jawa menjadi sangat penting.
Daendels adalah kaum patriot dan berpandangan liberal. Ia kaum muda yang berasal dari Belanda
yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak
lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin
memberantas praktik-praktik yang dinilai feodalistik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih
dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf ). Langkah ini juga untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait
dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.
Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah
induk (Republik Bataaf), Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut
bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
1) Bidang Pertahanan dan Keamanan
Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels
melakukan langkah-langkah:
(a) membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis;
(b) membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan
pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil;
(c) meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi
ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah
jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang
(baca Ricklefs, 2005); dan
(d) membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan
(ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan
Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan Daendels.
Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan tersebut telah merubah
citra Daendels. Pada awalnya Daendels dikenal sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai
panji-panji Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah
memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat
untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita,
apalagi kerja rodi dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon. Lokasi yang begitu jauh, sulit dicapai
dan penuh dengan sarang nyamuk malaria, menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban.
Banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan tidak sedikit yang meninggal.
2) Bidang Politik dan Pemerintahan
Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia banyak melakukan
campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat istiadat di kerajaan-kerajaan di Jawa. Kalau
sebelumnya pejabat VOC datang berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan
Yogyakarta ada tata cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak boleh
memakai payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk di kursi yang lebih rendah dari
dampar (kursi singgasana raja), Daendels tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu. Ia harus
pakai payung emas, duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi. Sunan
Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi Sultan Hamengkubuwana II
menolaknya (Baca Ricklefs, 2005). Penolakan Hamengkubuwana II terhadap kebijakan Daendels
menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua belah pihak. Inilah benih-benih nasionalisme
yang tumbuh di lingkungan Kasultanan Yogyakarta.
Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil mempengaruhi Mangkunegara II
untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara” dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan
ini siap sewaktu-waktu untuk membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan kekuatan
yang ia miliki, Daendels semakin congkak dan berani. Daendels mulai melakukan intervensi terhadap
pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan Yogyakarta.
Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenangan Daendels itu, Raden Rangga mulai
melancarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Raden Rangga adalah kepala pemerintahan
mancanegara di Madiun yang merupakan bawahan Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Sultan
Hamengkubuwana II mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden Rangga. Namun
perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan Raden Rangga sendiri terbunuh. Setelah
berhasil mematahkan perlawanan Raden Rangga, Daendels kemudian memberikan ultimatum
kepada Sultan Hamengkubuwana II agar menyetujui pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih
dan Sultan harus menanggung kerugian perang akibat perlawanan Raden Rangga. Sultan
Hamengkubuwana II menolak ultimatum itu. Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels berangkat
ke Yogyakarta dengan membawa 3.200 orang serdadu. Dengan kekuatan ini Daendels berhasil
memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada
puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Hamengkubuwana III ini sering disebut Sultan Raja
dan Hamengkubuwana II sering disebut Sultan Sepuh. Sekalipun sudah diturunkan dari tahta, Sultan
Hamengubuwana II atau Sultan Sepuh ini masih diizinkan tinggal di lingkungan istana.
Selain hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkuat
kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(a) membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara;
(b) Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi Pulau Jawa menjadi 23
wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap
karesidenan dapat dibagi menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik
Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
(c) berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur
Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini
maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah
pemerintahan kolonial;
(d) kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial)
yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.
Jumlah Keresidenan di Pulau Jawa pada masa pemerintahan Daendels.
1. Tegal 2. Bagelen 3. Banyumas 4. Cirebon 5. Priangan 6. Karawang 7. Buitenzorg (Bogor) 8.
Banten 9. Batavia (Jakarta) 10. Surakarta 11. Yogyakarta 12. Banyuwangi 13. Besuki 14. Pasuruan
15. Kediri 16. Surabaya 17. Rembang 18. Madiun 19. Pacitan 20. Jepara 21. Semarang 22. Kedu 23.
Pekalongan
3) Bidang Peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan.
Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai
peraturan.
(a) Daendels membentuk tiga jenis peradilan:
(1) peradilan untuk orang Eropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan
untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di
Batavia, Surabaya, dan Semarang; dan
(b) peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi
diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
4) Bidang Sosial Ekonomi
Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan
dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat
mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu
misalnya:
(a) Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang
intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya
daerah Cirebon;
(b) meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah
kepada swasta;
(c) meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia;
(d) rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya;
(e) melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta;
Selama tiga tahun memerintah di Hindia Belanda, Daendels dianggap gagal melaksanakan misi
mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris dan program yang dijalankannya dinilai merugikan negara
karena korupsi makin merajalela. Oleh sebab itu Daendels dipanggil oleh pemerintah kolonial untuk
kembali ke negaranya dan digantikan oleh Jan Willem Janssen.
b) Pemerintahan Janssen (1811)
Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem
Janssen. Janssen dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya Janssen menjabat
sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 18021806. Pada tahun 1806
itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1810
Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada tahun 1811. Janssen
mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels.
Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia Belanda sudah jatuh ke tangan Inggris.
Sebetulnya pihak Belanda sebagai bawahan Prancis berusaha untuk mempertahankan koloni-koloni
Belanda dari ancaman Inggris. Oleh karena itu, seperti telah dijelaskan di depan Perancis mengirim
Daendels ke Indonesia dengan tugas utama untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Tetapi armada Inggris ternyata lebih kuat dan unggul. Jan Williem Janssen yang menggantikan
Daendels tidak bisa berbuat banyak. Penguasa Inggris di India, Lord Minto kemudian memerintahkan
Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Raffles
segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat
terusir dari Tanjung Harapan pun terulang. Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di
bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia. Beberapa minggu berikutnya,
tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha
menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari
Yogyakarta serta Surakarta. Namun, pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur
Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di
Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi
Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811.
2. Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia (1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur
Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa. Pusat
pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan
langkahlangkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan
pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip. Pertama, segala bentuk kerja rodi dan
penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati
sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah
kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap
dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik
yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
a) Kebijakan dalam Bidang Pemerintahan
Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas:
Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan.
Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan
Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa
yang sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai upaya mempercepat penguasaan
Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Kepulauan Nusantara. Sebagai realisasinya,
Raffles berhasil menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda
dari Hindia. Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi. Setelah berhasil mengusir Belanda dari
Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai contoh
dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja Baharuddin termasuk raja yang
banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda dari Nusantara, tetapi justru Raffles
ikut mendukung usaha Najamuddin untuk menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum
surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan
Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota.
Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II.
Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. Surat
itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi
kacau. Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Untuk mendalami bagaimana perkembangan
politik Kasultanan Yogyakarta di masa pemerintahan kolonialisme Inggris, kamu dapat membaca
bukunya Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2005, atau buku-buku sejarah yang ada di
perpustakaan sekolah Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras
dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles
di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel
Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari
tahta.
Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan
Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak
bersama Inggris. Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
1) Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran
Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari
Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I;
2) Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang;
dan
3) semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik
pemerintah Inggris.
b) Tindakan dalam Bidang Ekonomi
Tidak ubahnya Daendels, Raffles bisa dikatakan adalah tokoh pembaru dalam menata tanah jajahan.
Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup revolusioner.
Raffles berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi
program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial.
Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles sebagai berikut.
1) Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent) yang kemudian meletakkan dasar
bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
2) Penghapusan penyerahan wajib hasil bumi.
3) Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4) Penghapusan sistem monopoli.
5) Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
Kebijakan dan program landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait erat dengan
pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah
satu-satunya pemilik tanah yang sah. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa
menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak dipungut
perorangan (tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut per desa). Jumlah pungutannya
disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas
dua 40%, dan kelas tiga 33%. Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas tiga
25% (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, 2007). Beban pajak ini tentu sangat memberatkan
rakyat.
Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang. Namun, jika terpaksa pajak dapat juga
dibayar dengan barang lain, misalnya beras. Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan kepada
kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen, sedangkan pajak yang berupa beras
dikirim ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering memotong/mengurangi penyerahan hasil
panen itu.
Kita tahu bahwa para pimpinan atau pejabat pribumi sudah dialihfungsikan menjadi pegawai
pemerintah yang digaji. Pelaksanaan sistem landrent itu diharapkan dapat lebih mengembangkan
sistem ekonomi uang di Hindia Belanda.
Kamu juga harus tahu, bahwa Raffles adalah seorang Ilmuwan. Satu di antara karyanya adalah buku
yang berjudul History of Java. Ia juga memberikan bantuan penelitian John Crawfurd, sehingga
berhasil menulis buku History of the East Indian Archipelago
Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi pelaksanaan pemerintah, dimaksudkan
agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi
juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga akan
bertambah besar. Raffles juga ingin memberikan kebebasan bagi para petani untuk menanam
tanaman yang sekiranya lebih laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles sebenarnya orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk
ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat
berbagai kendala. Budaya dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam
mengatur rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten residen yang berasal dari
orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan
juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan
ataupun jembatan. Raffles juga melakukan monopoli garam. Secara umum dapat dikatakan Raffles
kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak
mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat tetap menderita. » Nah, kamu sudah
mengetahui bagaimana beberapa ketentuan kebijakan yang dicanangkan oleh Raffles sejak dari
program landrent sampai menempatkan desa sebagai unit administrasi pemerintah, agar desa lebih
terbuka, bebas dan produktif. Tetapi bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Dapatkah Raffles
berhasil mendorong rakyat pedesaan semakin produktif? Lakukan diskusi dengan anggota kelompok.
Kamu dapat membaca bukubuku sejarah yang sudah ada.
Di luar itu semua, tampaknya Raffles juga seorang ilmuwan. Raffles juga sangat memperhatikan
terhadap bahasa dan adat istiadat masyarakat di Jawa. Ia juga sangat tertarik pada antropologi dan
botani. Makalahmakalahnya kemudian diterbitkan dalam majalah Verhandelingen . Bahkan begitu
terkesan dengan Indonesianya dengan segala budayanya, apalagi Jawa, maka setelah pulang ke
Inggris, Raffles kemudian menulis buku History of Java Untuk merealisasikan buku itu, Raffles
dibantu oleh juru bahasa, antara lain Raden Ario Notodiningrat. Ia juga memberikan bantuan
penelitian John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul History of the
East Indian Archipelago .
3. Dominasi Pemerintahan Belanda
Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun 1816. Pemerintah Inggris sebenarnya
telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan
Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan
di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali
dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.
a) Jalan Tengah Bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama
Komisaris Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh
Pangeran Willem VI yang beranggotakan tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan
Buyskes, dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.
Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van der Capellen sebagai
ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal. Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di
negeri jajahan, Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan
( Regerings Reglement ) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undangundang tersebut menegaskan
bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi
dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat
ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah
diterapkan oleh Raffles. Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di
lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsipprinsip liberalisme dalam
mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah
mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas
mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah
Jajahan maupun di Negeri Induk.
Sementara itu perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan
tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesarbesarnya belum mencapai titik temu. Kaum
liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar
bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok
konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila
langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta
memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk
menerapkan kebijakan “jalan tengah”. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung
ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di
samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan.
Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan.
Pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa
tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu
berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapusan peran penguasa tradisional (bupati dan para
penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat
memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Van der
Capellen kemudian dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies.
Du Bus Gisignies berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini
tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang
diekspor. Kenyataannya justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi
pemerintah Belanda. Gambar 1.22 Van der Capellen Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 4
(Kolonisasi dan Perlawanan), 2012.
Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan
dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang
Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga
pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi.
Pengeluaran keuangan menjadi tidak terkontrol, sementara pengembangan usaha harus terus
dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan. Untuk mengatasi dan mengatur keuangan ini
diperlukan suatu lembaga keuangan yang bonafit. Oleh karena itu, sebagai bentuk persetujuannya,
Raja Belanda mengeluarkan oktroi . Atas dasar oktroi ini dibentuklah De Javasche Bank pada tanggal
9 Desember 1826. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Du Bus Gisignies dikeluarkan Surat Keputusan
No. 25 tertanggal 24 Desember 1828 tentang Akte Pendirian De Javasche Bank . Pembentukan De
Javasche Bank ini sekaligus juga merupakan bentuk dukungan Raja terhadap rencana pelaksanaan
Tanam Paksa di Indonesia/Hindia.
Pemulihan kondisi ekonomi dan keuangan Belanda harus segera diprogramkan. Apalagi setelah
keberhasilan Belgia dalam berjuang untuk memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830. Dengan
pisahnya Belgia dari Belanda ini menjadi pukulan bagi Belanda. Keadaan ekonomi Belanda semakin
berat. Sebab, Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga semakin
berkurang.
b) Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai
pendapat mulai dilontarkan oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat. Salah satunya pada tahun
1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang
berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch
berpendapat untuk memperbaiki ekonomi di Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan
penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan,
maka sistem penanaman harus dikembangkan dengan memanfaatkan kebiasaan kaum
pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”. Oleh karena itu, penanam yang dilakukan para petani itu
bersifat wajib. Kita, orang Indonesia menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van
den Bosch menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat mengambil
keuntungan bagi negeri induk. Diibaratkan oleh Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland
mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan
negeri penjajah. Dapat dikatakan Jawa dimanfaatkan sebagai sapi perahan.
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara ini
diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam
salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil
tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van
den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang
terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa. Dengan membawa dan
memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka akan mendatangkan
keuntungan yang sangat besar.
1) Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830
Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van den
Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa
mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia.
Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.
Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad)
Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
a) penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa;
b) tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
c) waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
d) tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;
e) hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang
harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f) kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan
pemerintah;
g) penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah
pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan
pengawasan secara umum; dan
h) penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik
pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun;
Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu
memberatkan rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan
apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan Tanam
Paksa itu masih memperhatikan martabat dan batas-batas kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.
2) Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi dan
kekuasaan tradisional yang sudah ada. Dalam hal ini para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala
desa memiliki peran penting. Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani wajib
menanam tanaman yang laku di pasaran dunia. Kekuasaan mereka harus diperkokoh dengan cara
diberi hak pemilikan atas tanah dan hakhak istimewa yang lain. Para penguasa pribumi akhirnya
lebih menjadi alat kolonial. Dengan demikian masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan yang
menjadi tempat berlindung di negerinya sendiri.
Berkaitan dengan pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti sambatan , gotong royong
maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan. Dalam hal ini peran para
penguasa pribumi, priayi dan juga kepada desa sangat sentral. Kemudian kepala desa di samping
sebagai penggerak para petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah.
Oleh karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah pengaruh dan
pengawasan para pamong praja. Para penguasa pribumi dan juga kepala desa ini dalam menjalankan
tugasnya juga mendapatkan bonus atau cultuur procenten dari pemerintah kolonial. Besaran bonus
itu tergantung dari besar kecilnya hasil setoran kepada pemerintah kolonial. Semakin besar setoran
dari petani kepada pemerintah kolonial yang ada di wilayahnya, pejabat pribumi di tempat itu juga
akan menerima bonus semakin besar pula. Hal inilah yang mendorong terjadinya berbagai
penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Para penguasa pribumi demi mengejar cultuur
procenten yang besar, kemudian memaksa para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman
yang diwajibkan dalam sistem Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat menyetorkan hasil
yang besar kepada pihak kolonial.
Sistem cultuur procenten inilah kemudian mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan Tanam Paksa. Beberapa penyelewengan itu antara dapat dicontohkan sebagai berikut.
a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa
tidak melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari
seperlima, sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih dari
setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran hasil tanamannya juga
bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.
b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak
boleh melebihi waktu untuk menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan
untuk menanam tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait
agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Dapatlah dikatakan bahwa dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu umumnya berjalan tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Pemicu penyelewengan ini tidak terlepas dari adanya cultuur
procenten. Pihak pemerintah kolonial di Hindia ini juga melakukan pembiaran dan ini tampaknya
yang memang diinginkan oleh pihak kolonial Belanda, agar hasil dari pelaksanaan Tanam Paksa
segera dapat memperbaiki ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
Negeri Belanda. Harus juga dipahami bahwa dalam pelaksanaan Tanam Paksa itu juga disertai
dengan tindak kekerasan, tindakan menakut-nakuti para petani.
Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan
meninggal. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan
keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai
daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk keuntungan dan
kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda
telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng
pertahanan dapat dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama manusia.
Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi manusia. Memang harus
diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman
baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya
jaringan rel kereta api. Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat di
kemudian hari.
c) Sistem Usaha Swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda.
Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong
Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula
tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul
perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik
buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam
Paksa.
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para
pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan.
Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM ( Nederlansche Handel Matschappij ), yang
mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil
Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam
Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi.
Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas
liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan
ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh Raja William I di Den
Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan
pengiriman, dan memegang peran penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya semakin kuat. Oleh
karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang. Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan
kemenangan politik di Parlemen ( Staten Generaal ). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam
urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya
perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi,
sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi.
Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana
prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong
oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes
Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrakkontrak
Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan
Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum. Oleh karena itu,
secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi
liberal. Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani
tahun 1871. Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Inggris memberikan
kebebasan kepada Belanda untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai
imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal sehingga pihak
swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia. »
Berdasarkan uraian yang ada coba tuliskan apa latar belakang penerapan sistem politik ekonomi
liberal. Bagaimana pelaksanaannya?
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut
mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam
menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan
peraturan perundang-undangan.
1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet).
Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan
disahkan oleh parlemen.
2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli
tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak
swasta.
3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur
tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan,
antara lain:
a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik
penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan,
pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah
pemerintah.
b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-
tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa
selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus
didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia
Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena
itu, mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda.
Tanah jajahan berfungsi sebagai:
(1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat
penanaman modal asing,
(2) tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa,
(3) penyedia tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis tanaman perkebunan
yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang
tambang juga meningkat. Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari
pasaran dunia yang semakin meningkat.
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana, misalnya
irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk
membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke
daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada tahun 1873 dibangun
serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang
dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang.
Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883
Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Pembangunan jalan
kereta api ini direncanakan untuk daerahdaerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai,
misalnya Aceh. Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini, juga berdasarkan
pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk kepentingan pertambangan,
seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra Barat.
Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872 dibangun
Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan
Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah
adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa penderitaan. Pertanian rakyat
semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya,
jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping melakukan
kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak
yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat
yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan.
Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
d) Perkembangan Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan
dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia. Bersamaan gelombang kedatangan bangsa-
bangsa Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris untuk menyebarkan agama
Kristen di Indonesia.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Eropa itu sudah menjangkau ke
seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen
Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di
Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama
Kristen menjadi mayoritas.
Harus diakui bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia telah membuka jalan bagi
perkembangan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen
Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan
(selanjutnya disebut Kristen). Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada abad ke-16
telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. Oleh karena itu, periode ini sering
disebut The Age of Discovery. Kegiatan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu
dipelopori oleh orang-orang Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan gospel.
Dengan motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh Portugis tidak
dapat terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Minimal secara politik, kegiatan para
missionaris dalam menyebarkan agama Kristen menjadi lebih lancar.
Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian meluaskan wilayahnya ke Kepulauan
Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah. Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis
mendarat di Hitu (di Pulau Ambon) Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan
Maluku sudah ramai. Melalui kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di Maluku.
Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. Berkembanglah agama Katolik di
beberapa daerah di Kepulauan Maluku. Para penyiar agama Katolik diawali oleh para pastor (dalam
bahasa Portugis, padre yang berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor
63Sejarah Indonesia
Fransiscus Xaverius SJ dari ordo Yesuit. Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang Pantai Leitimor,
Kepulauan Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan Morotai. Usaha penyebaran
agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang lain. Kemudian di Nusa Tenggara
Timur seperti Flores, Solor, dan Timor agama Katolik berkembang tidak terputus sampai sekarang.
Berikutnya juga berkembang agama Kristen di Kepulauan Maluku terutama setelah VOC menguasai
Ambon. Pada waktu itu para zendeling aktif menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme,
yaitu menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen ini juga semakin
intensif saat Raffles berkuasa. Agama Katolik dan Kristen berkembang pesat di Indonesia bagian
timur.
Agama Katolik juga berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di tempat itu pada abad ke-
16. Penyebaran agama Katolik di daerah Minahasa dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan
Pedro de Mascarenhas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan sebagai tahun
masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi itu sejumlah rakyat dan raja
menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis. Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya
telah dibaptis oleh Magelhaens. Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa.
Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia
pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katolik dan Kristen
dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia. Bahkan di Jawa ada
sebutan Kristen Jawa.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan agama Kristen di Indonesia, secara
intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orangorang Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris)
semakin kuat. Agama Kristen kemudian berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi
juga di berbagai wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan di Jawa ada
sebutan Kristen Jawa.
Perkembangan Kristen Jawa ini tidak dapat dilepaskan dari peran Kiai Sadrach. Dalam
petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia memeluk agama Kristen setelah dibaptis
pada tahun 1867. Ia kemudian mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan budaya Jawa. Ia
bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa. Pengikutnya pun semakin
banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan bahkan kemudian memisahkan diri dari Gereja
Protestan Belanda. Ia tinggal dan mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso
(sebelah selatan Kutoarjo). Banyak pengikut Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.
KESIMPULAN
1. Periode kekuasaan kolonialisme dan imperialisme dapat dipahami melalui dua fase: fase
keserakahan atau kezaliman kongsi dagang dan fase dominasi pemerintahan kolonial Belanda.
2. VOC yang bermula sebagai kongsi dagang untuk mencari keuntungan, kemudian berkembang
menjadi kekuatan monopoli dan intervensi di bidang politik dan pemerintahan kerajaan-kerajaan
yang ada di Nusantara.
3. VOC akhirnya bubar karena problem manajemen, utang, dan korupsi.
4. Pemerintahan Komisaris Jenderal yang mengawali dominasi pemerintahan kolonial Belanda
mengambil kebijakan jalan tengah.
5. Pelaksanaan Tanam Paksa di bawah Van den Bosch telah membawa penderitaan rakyat
Indonesia yang berkepanjangan.
6. Sistem usaha swasta Belanda telah berhasil mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia,
sementara rakyat tetap menderita.
7. Seiring dengan datangnya bangsa Barat juga telah membawa pengaruh pada perkembangan
agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan di Indonesia.
BAB 2 Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme
Untuk mentjapai kemerdekaan kita, kita harus bersatu, Untuk mentjapai kemerdekaan kita, kita
harus membinasakan imperialisme dan kapitalisme H.A. Notosoetardjo -Bung Karno dihadapan
Pengadilan Kolonial (1963)
Bangsa Indonesia memang cinta perdamaian, tetapi tentu lebih cinta kemerdekaan, karena secara
fitrah setiap orang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak kemerdekaan dan kedaulatan.
Kedaulatan itu baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, sudah
selayaknya sesuai dengan fitrah maka setiap bentuk dominasi asing dan penjajahan harus kita
lawan. Jiwa dan semangat untuk melawan setiap bentuk penjajahan ini seharusnya ada pada diri
setiap warga Indonesia. Banyak orang mengatakan dalam arti politik secara formal kita sudah
merdeka tetapi banyak kritik dilontarkan bahwa kita masih mengalami “penjajahan” dalam bidang
ekonomi dan kebudayaan dalam arti kurang memiliki kemandirian. Oleh karena itu, dengan segala
upaya kita harus memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan di bidang ekonomi dan kebudayaan.
Dalam berjuang untuk memperkuat kemandirian itu, kita perlu meneladani atau mencontoh
semangat juang para pendahulu kita, misalnya para pahlawan yang telah berjuang melawan
penjajahan, keserakahan kolonialisme, dan imperialisme. Pada bab ini kita akan belajar tentang
sejarah perjuangan rakyat dan para tokoh pejuang Indonesia pada kurun waktu sekitar abad ke-16
sampai dengan abad ke-20.
ARTI PENTING
Belajar sejarah perang melawan penjajahan dan kezaliman kolonialisme dan imperialisme ini
sangat penting. Dengan menghayati semangat juang rakyat dan para tokoh pendahulu kita dapat
mengambil nilainilai kejuangan mereka untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
A. Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang
Ilustrasi atau gambar di atas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa Indonesia terhadap
kezaliman kaum kolonialis dan imperialis, penjajahan bangsa Eropa di Indonesia. Gambar di atas
melukiskan kapal-kapal Belanda yang menuju Indonesia. Kemudian gambar ke-2 menunjukkan
ilustrasi tentang salah satu situasi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC di Banten.
Gambar ketiga gambar tokoh Pangeran Nuku dari Tidore untuk melawan kekejaman kompeni
Belanda. Sungguh heroik perlawanan rakyat Kepulauan Maluku dan sekitarnya di bawah pimpinan
Pangeran Nuku. Dari pulau yang satu ke pulau yang lain Nuku berhasil menggerakkan berbagai
lapisan kekuatan baik dari bangsawan maupun rakyat untuk melawan kezaliman Belanda. Politik
devide et impera pun mulai diterapkan oleh Belanda, tetapi Nuku tidak terpengaruh, tetap teguh
dan satu niat untuk melawan penjajah. Dengan dukungan para penguasa dari Papua dan
Halmahera, bahkan juga Inggris, pasukan Nuku semakin berjaya. Belanda harus mengakui
keunggulan Sultan Nuku. Di masa Pangeran Nuku inilah Tidore memperoleh kembali
kemerdekaannya dan terus bertahan sampai Sultan Nuku meninggal dunia.
Uraian di atas menunjukkan salah satu perlawanan terhadap keserakahan dan kekejaman kekuatan
kongsi dagang asing yang melakukan monopoli dan menjajah bumi Nusantara ini. Kekuatan
penjajahan itu telah merendahkan martabat bangsa dan membuat penderitaan rakyat, sehingga
perlawanan itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini akan kita pelajari tentang berbagai perlawanan
untuk melawan keserakahan VOC.
1. Aceh Versus Portugis dan VOC
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh.
Dengan demikian, perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang
menjadi bandar dan pusat perdagangan. Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang
berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur Sumatera sebelah utara. Bahkan
Aceh kemudian mampu mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti
di Barus, Tiku, dan Pariaman. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar (1537-1568)
terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai barat Sumatera.
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai Sumatera Barat dan pantai
timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing. Pedagang-pedagang asing seperti
dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan
tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada Aceh.
Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. Oleh karena
itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan
ke Aceh. Kembali Portugis tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan
Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh
sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh
dimanapun berada. Tindakan Portugis ini tidak dapat dibiarkan.
Aceh yang ingin berdaulat dan tetap dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan
penting di Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan. Sebagai persiapan Aceh
melakukan langkah-langkah antara lain:
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit;
2) mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun
1567; dan
3) mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di
Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng Formosa. Portugis harus mengerahkan
semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada
tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat
digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan dengan berdagang di
pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat melakukan monopoli. Oleh karena itu, VOC harus
bersaing dengan Portugis dan harus mendapat izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap
dominasi dan para pedagang asing. Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran
Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601. Dalam surat
dipenuhi dengan kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh.
Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan Portugis, dan juga dicantumkan
tawaran bantuan untuk mengusir orangorang Portugis. Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “
Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan Pangeran Maurits
itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka
Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah,
2012). Dengan surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis,
dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda. Bahkan pada tahun 1607 Aceh memberikan izin
kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera. » Nah, bagaimana penilaian kamu
tentang surat Belanda terhadap Sultan Aceh? Benarkah hal itu berangkat dari sebuah kejujuran
dan kata hati, ataukah memiliki tujuan-tujuan yang lebih jauh, coba beri penjelasan!
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki pendirian dan semangat
untuk terus berdaulat dan menentang dominasi orang asing. Oleh karena itu, jiwa dan semangat
juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan
asing semakin meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan
hubungan dan menolak kehadiran VOC. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan
bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka.
Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan
kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat
mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan,
Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan
wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para
pengawas di jalur-jalur perdagangan. Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan
penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke
Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan
semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun,
serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan
Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi,
tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, setelah VOC
bersekutu dengan Kesultanan Johor.
2. Maluku Angkat Senjata
Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya
di Ternate. Tidak lama berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan
memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.
78 Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK Semester 1
Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan
Spanyol bersahabat dengan Tidore. Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk
menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku. Mereka sering memanfaatkan
kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di
lingkungan istana.
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-
kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja
Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah
perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate
dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi
semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus
dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.
Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera
diakhiri. Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian
damai antara Portugis dan Spanyol. Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529.
Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara
Spanyol berkuasa di wilayah Filipina. Dengan demikian setelah ditandatangani Perjanjian Saragosa,
kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan
kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis
juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di
bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari
Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai
kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan
kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun
1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada
saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan yang
dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi keuntungan
ekonomi Portugis telah merusak sendisendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah
(putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan,
semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil
dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap
Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-
orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun1605 Portugis dapat
diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur. » Coba tuliskan, bagaimana
penilaian dan perasaanmu setelah mengetahui tindakan Portugis yang licik, yang telah membunuh
Sultan Khaerun?
Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan
tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya pada periode tahun 1635-1646
terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan
rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang
dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun
berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta
peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli
rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi. » Kamu ingat, apa yang dimaksud Pelayaran
Hongi dan bagaimana praktik kebijakan monopoli rempah-rempah oleh VOC di Maluku?
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan
Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru
diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai
sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah
kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin
perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran
Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Pangeran Nuku mendapat dukungan
rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh
para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir
Muhammad Syafiudin Syah. Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC
semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran
Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku juga mendapat dukungan
dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para
pemuka pedagang Seram Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi
yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada Inggris ( EIC) .
Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari
dominasi Belanda. Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat
melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).
3. Sultan Agung Versus J.P. Coen
Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan
Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan.
Cita-cita Sultan Agung antara lain:
(1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan
(2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan
Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus
memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi
mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh
karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.
Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka;
3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan 4) keberadaan VOC di Batavia telah
memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan
perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia. Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal
VOC adalah J.P. Coen. Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan
Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pospos
pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi. Akibatnya pertempuran
antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu
pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul
yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di
bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.
Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur
semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu.
Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera
mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan
jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan
makanan seperti di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju
Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai
Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh
VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung
yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal
Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur,
dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil
mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung
Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng
Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September
1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam
situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir
pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat
menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan
akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua
ini juga mengalami kegagalan.
Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus
memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun, di balik itu
VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk
mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim
ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh
tentara VOC di tengah perjalanan.
Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan. Namun, semangat dan cita-
cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya.
Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram.
Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan
militer Mataram. Sultan Agung yang cerdas itu kemudian menggunakan kemampuan diplomasi.
Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi
Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung. Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti
secara periodik dari VOC ke Mataram. Sementara VOC mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan
perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.
Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan
Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga
akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677.
Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja
ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap
para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan
rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya. » Nah, bagaimana kisah perlawanan
Trunajaya. Coba diskusikan dengan anggota kelompok, apa sebab-sebab terjadinya perlawanan,
bagaimana proses perlawanan itu, apa akibat setelah perlawanan ini berakhir.
4. Perlawanan Banten
Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu,
sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC
membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia
memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten
sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.
Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul
Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650.
Pangeran Surya bergelar Sultan Abu alFath Abdulfatah. Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih
dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar
perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia. Beberapa
kebijakannya misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark,
dan Portugis. Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara
Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak
disenangi oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan,
VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapalkapal dagang dari Maluku dilarang oleh
VOC meneruskan perjalanan menuju Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa
pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia.
Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan
perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten
dan Batavia semakin memburuk. » Coba rumuskan beberapa alasan mengapa Sultan Ageng Tirtayasa
memimpin rakyatnya untuk menyerang VOC!
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan
benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk. Dengan tersedianya beberapa benteng di
Batavia diharapkan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para
penyerang tersebut. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan
untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang.
Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk
memudahkan transportasi perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak
dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa
(tirta artinya air).
Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah mengobarkan semangat
anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar
Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja
pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa
bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia
kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-
pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan
Haji mencurigai ayah dan saudaranya. Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera
dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya
Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk
merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji
dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan
Banten tetapi dengan empat syarat.
(1) Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC,
(2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia,
India, dan Cina,
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
(4) pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.
Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan
berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng
Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada
tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji
terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah
pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga
ke Benteng Tirtayasa. Benteng Tirtayasa juga dikepung tentara VOC. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya
berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih
melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak
ke arah Bogor. Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu
muslihat. Sultan Ageng ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692. Semangat juang
Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu
menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti
setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus
berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama
terkenal yakni Ki Tapa. Pada bulan November 1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan
berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa. Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang
pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus. Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak
ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan
pasukan gabungan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki
Tapa dan Ratu Bagus. Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus
dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi
lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.
5. Perlawanan Gowa
Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat
pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba
Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja. Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu.
Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota
itu. Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka
dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada
prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan
tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan
prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang.
Makassar dengan pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan
internasional. Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat
persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya. Sebagai contoh kapal-kapal
pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah dulu di
Bandar Somba Opu. Begitu pula barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga
melakukan bongkar muat di Somba Opu.
Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras
untuk dapat mengendalikan Gowa. VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan
monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Gowa. Berbagai upaya
untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melakukan
blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang
berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau, yang ada. Bahkan dengan
menggunakan perahu-perahu tradisional seperti padewakang, palari, sope dan yang sudah begitu
terkenal perahu pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan Nusantara. VOC pun merasa
kesulitan untuk memburu dan menangkap perahu-perahu tersebut. Oleh karena itu, saat kapal-kapal
VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera
diburu, ditangkap, dan dirusaknya.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif
itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli di Gowa. Seluruh
kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC. Benteng pertahanan mulai dipersiapkan di
sepanjang pantai. Beberapa sekutu Gowa mulai dikoordinasikan. Semua dipersiapkan untuk
melawan kesewenangwenangan VOC.
Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Gowa. Politik devide et impera
mulai dilancarkan. Misalnya VOC menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang
bernama Aru Palaka. Setelah mendapat dukungan Aru Palaka, pimpinan VOC, Gubernur Jenderal
Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Gowa. Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan
21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang
Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus
Perang Gowa. Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru
Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.
Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari berbagai penjuru. Beberapa serangan VOC berhasil
ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang lebih
lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan tentara Gowa di
Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas
kerajaan Gowa. Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada
tanggal 18 November 1667, yang isinya antara lain sebagai berikut. 1) Gowa harus mengakui hak
monopoli VOC. 2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa. 3) Gowa
harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi perjanjian itu bertentangan
dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa atau Makassar. Pada tahun 1668 Sultan
Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan
kesewenangwenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC. Bahkan
benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC. Benteng itu kemudian oleh Spelman
diberi nama Benteng Rotterdam.
Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya. Dengan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, VOC memang berhasil mengendalikan peran politik Kerajaan
Gowa. Tetapi VOC tidak mampu mengendalikan dan memaksakan monopoli perdagangan di
perairan Indonesia Timur. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya itu justru melahirkan
diaspora perdagangan bagi orang-orang Bugis-Makassar. Mereka tidak menghiraukan monopoli yang
dipaksakan VOC. Dengan prinsip bebas berdagang mereka menyelundup ke berbagai kota dan
pelabuhan untuk berdagang termasuk perdagangan rempah-rempah di Maluku. Artinya VOC gagal
dalam mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang BugisMakassar. Heather
Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan perdagangan di perairan Indonesia Timur
yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar itu, karena: (1) ketidakmungkinan membatasi
perdagangan yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis yang
sulit terpantau sehingga mudah untuk melakukan penyelundupan dagang, (2) VOC memiliki
kelemahan dalam pemasaran, karena mengejar keuntungan yang tinggi dan tidak mampu
membangun jaringan dengan pasar lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan (3) keterlibatan
VOC dalam pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, sementara
para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produkproduk laut ini. Akhirnya VOC tidak
mampu bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan
Makasar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah,
2012).
6. Rakyat Riau Angkat Senjata
Ambisi untuk melakukan monopoli perdagangan dan menguasai berbagai daerah di Nusantara terus
dilakukan oleh VOC. Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau.
Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau. Kerajaan-
kerajaan kecil seperti Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi monopoli dan
tindakan sewenang-wenang VOC. Oleh karena itu, beberapa kerajaan mulai melancarkan
perlawanan.
Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah
berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan
di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda
untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan
puteranya yang bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra Pahlawan
sudah memiliki kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta tanah air sudah mulai tertanam
pada diri Raja Indra Pahlawan.
Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat. Sebagai gantinya
diangkatlah puteranya yang bernama Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini
juga memiliki naluri seperti ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka. Raja
Muhammad Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan perangnya. Pada
tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan VOC. Sebagai strategi menghadapi
serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak. VOC mendirikan
benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, sampai Pulau
Guntung yang berada di muara Sungai Siak. Kapalkapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh
VOC. Hal ini merupakan pukulan bagi Siak. Oleh karena itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan
kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC. Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan
kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali.
Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta
perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753).
Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar.
Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun banyak pula jatuh
korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang
Cina. Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan.
Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk
mundur kembali ke Siak.
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat baru. Mereka sepakat bahwa
VOC harus dilawan dengan tipu daya. Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara
memberikan hadiah kepada Belanda. Oleh karena itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah
sultan”. VOC setuju dengan ajakan damai ini. Perundingan damai diadakan di loji di Pulau Guntung.
Pada saat perundingan baru mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah
VOC. Sultan segera memberi kode pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-
orang Belanda di loji itu. Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan
membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC dari Malaka. Siasat perang ini tidak
terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh karena itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat
sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan Datuk
Lima Puluh”.
7. Orang-orang Cina Berontak
Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa dan jumlahnya pun
semakin banyak. Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak
pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya ke
Batavia. Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke
Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka
mendukung kemajuan perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya. Ternyata kota
Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk mengadu nasib di kota ini.
Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka
termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri.
Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia. Akhirnya
VOC mengeluarkan kebijakan membatasi imigran Cina.
Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa
setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin bermukim yang disebut
permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki surat
izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun
pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina. Mereka diberi waktu enam bulan untuk
mendapatkan surat izin tersebut. Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit
(Rds.2,-) per orang. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi
penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit. Akibatnya banyak yang
tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki
surat izin bermukim ditangkap. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. Mereka
kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan VOC di Batavia.
Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-
orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai beraksi
dengan melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Orang-orang Cina yang
berhasil meloloskan diri kemudian melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa
Tengah. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan
sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya
dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan kekacauan yang meluas di
berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat
bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II
juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng VOC di
Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban. VOC segera meningkatkan kekuatan tentara
dan persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan.
Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan
damai dengan VOC. Sikap Pakubuwana II yang demikian ini telah menambah panjang barisan orang-
orang yang kecewa dan sakit hati di lingkungan kraton. Kondisi ini pula yang telah mendorong VOC
kemudian melakukan intervensi politik di lingkungan istana.
8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said
Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan
kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20
tahun.
Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram pasca Sultan Agung
merupakan raja-raja yang lemah bahkan bersahabat dengan kaum penjajah. Pada saat
pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC. Bahkan, VOC semakin berani untuk
menekan dan melakukan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah
pengaruh Kerajaan Mataram juga semakin berkurang. Persahabatan antara Pakubuwana II dengan
VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para bangsawan kerajaan. Terlebih lagi VOC melakukan
intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya berbagai perlawanan
misalnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara
dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14 tahun Raden Mas Said sudah
diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.
Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk
mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan
hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas Said merasa sakit hati dengan
sikap keluarga kepatihan. Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah
membuat kerajaan kacau karena banyak kaum bangwasan yang bekerja sama dengan VOC. Hal ini
merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan
VOC. Raden Masa Said diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai
Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh
untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan
gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan
Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Perlawanan Mas Said
cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat sehingga menjadi ancaman yang serius bagi
eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II
mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah
sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Mas Said tidak menghiraukan apa yang
dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap
VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus
menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik
dari Pakubuwana II. Singkat cerita Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil
memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan
nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena
wola-wali (perkataan raja tidak boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak
jadi memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara
Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di
pihak lain. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur
Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran
Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran
Mangkubumi. Dia menganggap pejabat VOC secara langsung telah mencampuri urusan
pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain
kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam
politik pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya
Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said.
Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Untuk memperkokoh persekutuan ini, Raden
Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk
membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan
terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Pangeran Mangkubumi
konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa
Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Diberitakan pada saat itu Pangeran
Mangkubumi memiliki 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kuat dan meluas di hampir
seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan
Mas Said dan pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah berkecamuknya perang di berbagai tempat,
terdengar berita bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras. Pakubuwana II sangat
mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera datang ke istana kerajaan. Melihat kondisi
Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff
memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya
menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian. Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini
tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara
Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut,
Baron van Hohendorft.
Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, karena Pakubuwana II
telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC. Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11
Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut. 1). Susuhunan Pakubuwana II
menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC. 2). Hanya
keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja
Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC. 3). Putera mahkota akan segera
dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff
mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah tragedi besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya
di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak
asing (VOC). Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga
keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlu diketahui bahwa pada saat perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani,
Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja
yang baru. Mataram dalam keadaan vakum. Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan Pakubuwana, tetapi
sebutan ini kurang begitu populer. Karena penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa
Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan
Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi
kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said. Sebagai contoh pasukan
Mangkubumi berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu. Dari Kedu pasukan
Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah
pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan
Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa. Oleh karena itu, Van Hogendorp kemudian
mengundurkan diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur
Jenderal VOC digantikan oleh Jacob Mosel. Kedua pejabat VOC yang baru ini berusaha keras untuk
menyelesaikan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Cara perundingan mulai dipikirkan
secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana yang begitu besar.
Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir.
Oleh karena itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersedia
berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah
sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal
13 Februari 1755 di Desa Giyanti.
Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah
Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan
Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh
Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan
dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Namun
peperangan dalam bentuk lain tidak dapat dipadamkan seperti perlawanan budaya yang tercermin
dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan
“Dewa-Raja”. Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus
berkembang sampai Indonesia merdeka.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret
1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
KESIMPULAN
1. Perlawanan yang terjadi pada abad ke-16 di berbagai daerah ditujukan kepada Portugis, Spanyol,
dan Belanda. Kemudian perlawanan rakyat pada abad ke-17 dan ke-18 umumnya ditujukan kepada
dominasi kongsi dagang VOC (Belanda).
2. Perlawanan rakyat Indonesia dilatarbelakangi karena tindakan monopoli, keserakahan, dan
intervensi politik dengan devide et impera dari pemerintahan kongsi dagang itu.
3. Perlawanan rakyat Indonesia itu umumnya memang dapat dipatahkan oleh kekuatan musuh yang
sering berlaku licik dan memiliki persenjataan yang lebih lengkap.
4. Dominasi pemerintahan kongsi dagang dan kekalahan perlawanan rakyat mengakibatkan sebagian
besar Kepulauan Indonesia dikuasai kekuasaan asing terutama VOC.
B. Perang Melawan Penjajahan Belanda
Gambar di atas menunjukkan ilustrasi yang berkaitan dengan Perang Aceh Perang Aceh berlangsung
sangat lama yang ditujukan untuk melawan kezaliman dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda.
Rakyat Aceh bersama para pemimpinnya, baik tuanku maupun tengku mampu bertahan dan
membuat tentara Belanda kewalahan karena rakyat Aceh memiliki motivasi yang bersifat spiritual,
yakni sebuah keyakinan Islam. Rakyat Aceh yakin bahwa perang yang mereka kobarkan adalah
perang melawan kafir. Perjuangan melawan kekejaman penjajahan pemerintah Belanda juga terjadi
di berbagai daerah. Bagaimana perlawanan dan perang yang terjadi di berbagai daerah dalam
melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda itu? Pelajari dan telaah uraian-uraian berikut.
1. Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di
Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan
abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para
pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufik
Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
a) Perang Tondano I (1808)
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap. Perang
Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat, orang-orang
Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain
berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen
di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus
berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.
Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan
Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh
untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas
berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan
Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina. » Kamu ingat peristiwa apa yang menyebabkan Spanyol
harus pergi dari Indonesia dan menuju ke Filipina?
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC.
Hal ini karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di
Sulawesi Utara. Orangorang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain
bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang- orang Minahasa,
VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat
tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat
tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau
Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain:
(1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC,
(2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai
ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan.
Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal
karena ultimatumnya tidak diperhatikan. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah
itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada
yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC agar membeli hasilhasil
pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano
I. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke
perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal
Daendels yang mendapat mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels
memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut
pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari sukusuku yang memiliki keberanian
berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak,
dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera
mengumpulkan para ukung.
(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Belanda
menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa
umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa
sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru
ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas
perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung
Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan
terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial
yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen Prediger kecuali mengirim
pasukan untuk menyerang pertahanan orangorang Minahasa di Tondano Minawanua. Belanda
kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk
dua pasukan tangguh. Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano, sedangkan
pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai
berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga
menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang
tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda
dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan.
Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang
Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak
Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang
dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda
terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua.
Bahkan terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.
Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan
dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun
dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada
tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat
yang berusaha mempertahankannya.Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah kepada
penjajah.
2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur”. Kekayaan yang
diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa. Namun
tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli
perdagangan. Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan
bebas yang telah lama berkembang di Nusantara. Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles
keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk
bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia
Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan
demikian, beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai
kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang
melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan
diberhentikan untuk penghematan, sementara itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan
tentara di luar Maluku. Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan sikap
arogan dan sikap sewenang-wenang dari Residen Saparua. Suatu ketika Belanda memesan perahu
orambai kepada nelayan. Setelah selesai perahu diserahkan kepada Belanda. Tetapi Belanda tidak
mau membayar perahu itu dengan harga yang pantas. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia
membayar perahu orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas.
Bahkan perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal
orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapalkapal Belanda di Maluku.
Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orangorang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat
perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan
rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.
Menanggapi kondisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku melakukan serangkaian
pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan rahasia di Pulau Haruku, pulau yang
dihuni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni
orang-orang Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut dengan
Hutan Kayu Putih. Dalam berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus
menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena itu, mereka perlu
mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda. Thomas Matulessy yang kemudian
terkenal dengan gelarnya Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Pengalamannya bekerja di dinas
angkatan perang Inggris diyakini dapat menguntungkan rakyat Maluku.
Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para
pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. Ternyata di benteng itu sudah berkumpul
pasukan Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan
pasukan Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van den Berg.
Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu,
Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.
Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede dan tidak begitu
menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam
benteng. Sementara itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris.
Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan
masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para
pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda
Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.
Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 prajurit yang dipimpin oleh
Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal perang yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun
bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kemenangan
ini semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu,
Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk menyerang Benteng
Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat gelagat itu maka pasukan Belanda memperkuat pertahanan
benteng di bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Oleh karena itu, Pattimura
gagal menembus Benteng Zeelandia.
Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan. Akhirnya Belanda mengerahkan
semua kekuatannya termasuk bantuan dari Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede.
Bulan Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam
yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di kepulauan
itu jatuh kembali ke tangan Belanda. Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura memerintahkan
pasukannya untuk meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. Dengan demikian,
Benteng Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan pengikutnya terus melawan
dengan gerilya. Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap seperti
Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman mati.
Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk
bergerilya.
Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan, Belanda mengumumkan
kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam
bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817
Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha
melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang
lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina Martha
Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal
pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan
demikian, berakhirlah perlawanan Pattimura.
3. Perang Padri
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821–1837. Perang ini
digerakkan oleh para pembaru Islam. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi?
Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan
Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri
dengan kaum Adat dalam masalah praktik keagamaan. Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu
masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Perlu dipahami sekalipun
masyarakat Minangkabau sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih
memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampung Kota Tua di daratan Agam. Karena
berasal dari kampung Kota Tua maka ulama itu terkenal dengan nama Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota
Tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan melihat realitas
kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu
jauh menyimpang dari ajaran Islam. Ia menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup
sesuai dengan Alquran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini yang bernama
Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang baru saja pulang
haji dari tanah suci Mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan
gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh
Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam di Minangkabau itu
sering dikenal dengan kaum Padri.
Mengenai sebutan Padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir itu tempat
persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya dengan Padri yang dapat dikaitkan
dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih.
Sementara kaum Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.
Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik berbagai adat
dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung
ayam, dan minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat
penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak.
Timbullah bentrokan antara keduanya.
Pada tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di
Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan
tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka
beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang
telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Di daerah ini telah
ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh
kaum Padri pada tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
NAMA PADRI “Ada beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan, padri berasal
dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah gelar yang biasa diberikan untuk golongan
pendeta. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara
Aceh, tempat transit dan pemberangkatan kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah haji ke
Mekah. Di Minangkabau pada awal abad XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya popular
sebutan golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan pada pakaian yang mereka
kenakan. Golongan putih yang pakaiannya serba putih adalah para pembaru, kemudian oleh penulis-
penulis sejarah disebut sebagai kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan putih ini
mereka sebut sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan hitam merupakan kelompok yang
memakai pakaian serba hitam. Kelompok ini merupakan kelompok yang mempertahankan paham
yang terlebih dahulu sudah berkembang lama di Minangkabau, sehingga juga dikenal sebagai glngan
adat (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012: 415)
Perang Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase.
a) Fase Pertama (1821-1825)
Pada fase pertama, kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli
Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi sasaran serbuan kaum Padri. Begitu
pula dengan pos-pos lain seperti Soli Air, dan Sipinang. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan
sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan untuk mengadakan serangan di sekitar hutan di sebelah timur
gunung. Pasukan Padri menggunakan senjatasenjata tradisional, seperti tombak dan parang.
Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan
orang pribumi termasuk juga kaum Adat. Belanda menggunakan senjata-senjata lebih modern
seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak Tuanku
Pasaman kehilangan 350 orang prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak
sedikit kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan
diri ke Lintau. Sementara itu, pasukan Belanda setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah
Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Fort Van
der Capellen.
Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di
Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh
harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821 - 1825,
serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September
1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang, dan Tajong Alam.
Menyusul kemudian di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus. Pada
tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kesatuan kaum Padri
yang terkenal berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam
sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri
untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.
Belanda merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, sehingga mengambil strategi damai. Oleh
karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan
kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku
Imam Bonjol tidak keberatan dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi, Belanda justru
memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga
memaksa Tuanku Mensiangan dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak. Tuanku Mensiangan
justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan pusat pertahanannya kemudian
dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap. Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum
Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang. Tuanku
Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. Dengan demikian,
perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.
b) Fase Kedua (1825-1830)
Coba ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan peristiwa apa pada angka tahun
tersebut? Peristiwa itu jelas di luar Sumatera Barat. Tahun itu merupakan tahun yang sangat
penting, sehingga bagi Belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan
kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit mengendorkan
ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De
Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak
dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan
perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan ajakan damai dari Belanda, karena Belanda
sudah biasa bersikap licik. Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan
Arab yang bernama Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum Padri agar
dapat diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai
dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata
merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh.
Itulah sebabnya pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian
Padang itu antara lain sebagai berikut:
1) Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk
Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
2) Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
3) kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan
perjalanan.
4) Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam. » Coba perhatikan secara kritis, apa
makna perjanjian Padang itu bagi Belanda lalu kaitkan dengan peristiwa tahun 1825 – 1830 di Jawa.
Inilah strategi Belanda dalam memenangkan perang di berbagai daerah. Perang Padri fase ke-2 ini
dapat dikatakan sebagai fase peredaan.
c) Fase ketiga (1830 – 1837/1838)
Nah, tentu kamu sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa. Peristiwa itu
adalah Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan
Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah
Perang Padri fase ketiga.
Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Dengan
demikian, kekuatan para pejuang di Sumatera Barat meningkat. Orang-orang Padri yang
mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit
Kamang berhasil memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam dan
Bukittinggi. Tindakan kaum Padri itu dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Koto Tuo di Ampek
Angkek yang dipimpin Gillavary, Belanda juga membangun benteng pertahanan dari Ampang
Gadang sampai ke Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis terletak
antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Pada tahun 1831 Gillavary digantikan oleh
Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar
melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.
Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung dan
Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke
Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Karena bantuan
dua orang Padri yang berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju benteng kepada Belanda, maka
pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya
benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.
Seiring dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin
ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan yang datang dari Jawa itu antara
lain pasukan legium Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833
kekuatan Belanda sudah begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan
penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. Di Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang,
Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam.
Dalam catatan sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu, penyerangan terhadap Guguk
Sigandang merupakan catatan hitam karena disertai dengan penyembelihan dan penyincangan
terhadap tokoh-tokoh dan pasukan kaum Padri. Bahkan terhadap mereka yang dicurigai sebagai
pendukung Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat mendapat perlawanan
sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan
mengerahkan kekuatannya, Belanda dapat menguasai Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu
banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat ditangkap.
Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera Barat, diterapkan
strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai
dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak diberi gaji 25-30
gulden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari.
Komandan militer untuk wilayah pesisir barat Sumatera Cornelis Pieter Jacob Elout digantikan oleh E.
Francis. Selanjutnya Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di
Minangkabau. Sebagai upaya gencatan senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Plakat
Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi
peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian
Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri. Dengan kebijakan baru itu
beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Beberapa tokoh
memenuhi ajakan Belanda untuk berdamai.
Sementara para pejuang yang begitu mencintai kemerdekaan bumi Minangkabau terus melanjutkan
perlawanan. Setelah kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir
perjuangan kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1834 Belanda dapat
memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Jalan-jalan yang
menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai sudah diblokade oleh tentara Belanda. Pada tanggal
16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Pada bulan Agustus 1835
benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Belanda juga mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau
berdamai, tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain jika tercapai perdamaian, Imam Bonjol
minta agar rakyat Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda.
Namun, Belanda tidak memberi jawaban. Belanda justru semakin ketat mengepung pertahanan di
Bonjol. Pengepungan ini dipimpin oleh Residen Padang Emanuel Francis. Sampai tahun 1836
benteng Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi, satu per satu pemimpin
Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan Padri. Namun, di
bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah
Minangkabau. Pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dari empat penjuru
dan berhasil dilumpuhkan. Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya dapat meloloskan diri. Francis
kembali menyerukan Imam Bonjol untuk berunding.
Demi menjamin keselamatan warganya, pada tanggal 28 Oktober 1837, Imam Bonjol menerima
tawaran damai dari Residen Francis. Ternyata ajakan berunding itu hanya tipu muslihat, karena
pada saat datang di tempat perundingan, Imam Bonjol langsung ditangkap. Beberapa pengikutnya
memang ada yang berhasil meloloskan diri dan melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan
Minangkabau. Imam Bonjol kemudian dibawa ke Batavia.
Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 ia
dipindahkan ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan lagi ke Manado hingga wafatnya pada tanggal 6
November 1864.
Sumber: Jejak-Jejak Pahlawan: Dari Sultan Agung hingga Hamengku Buwono IX, 1992. Gambar 2.21
Tuanku Imam Bonjol.
Sumber: Tempat Pengasingan dan Makam Pejuang Bangsa, 2003 Gambar 2.22 Batu yang biasa
digunakan salat Iman Bonjol sekarang terletak di belakang kompleks makam Imam Bonjol di
Manado.
4. Perang Diponegoro
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin
memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang
mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan
kerajaan. Hal ini juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa
pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya
Barat yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi
pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga semakin
menderita. Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah
untuk kepentingan perkebunan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan penduduknya sekaligus.
Akibatnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru
menjadi tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen
juga menimbulkan kekecewaan.
Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak,
seperti:
(a) welah-welit (pajak tanah),
(b) pengawang-awang (pajak halaman pekarangan),
(c) pecumpling (pajak jumlah pintu),
(d) pajigar (pajak ternak),
(e) penyongket (pajak pindah nama), dan
(f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol. Semua lalu
lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan
umum juga harus membayar pajak. Penderitaan rakyat ini semakin bertambah setelah terjadi wabah
kolera di berbagai daerah.
Sementara itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat
dengan punggawa kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum
kolonial. Adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial, sering
menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering menimbulkan kekacauan.
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan
Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama
Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat
dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih menyaksikan masuknya
budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro
berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Pada
tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Meletusnya perang ini didasarkan pada visi dan
cita-cita Pangeran Diponegoro yakni untuk membentuk Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan
agama yang berada dalam wadah negara Islam. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro disebut telah
melakukan “hijrah kultural”.(Saleh As’ad Djamhari, “ Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (1825-
1830)” dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012)
Bermula dari insiden anjir
Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta.
Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh
karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran
Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo
memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/ patok) dalam rangka membuat
jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di
Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut.
Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan
Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro
mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari
insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro.
Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di ndalem
Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, dan lembing. Mereka
menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda
datang dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja. Pertempuran sengit antara
pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan.
Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan
ke Bukit Selarong.
Pangeran Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat memperhatikan
keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum melanjutkan perlawanan Pangeran
Diponegoro harus mengungsikan anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut
usia ke Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap Belanda Pangeran
Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. Dalam memimpin perang ini
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat, para punggawa kerajaan, dan para
bupati. Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran
Diponegoro. Di samping itu, Pangeran Diponegoro juga sudah mempersiapkan termasuk
penggalangan dana, tenaga, dan persenjataan. Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari
berbagai lapisan pangeran, dan priayi sepuh, juga rakyat. Mereka rela mengumpulkan barang-
barang berharga seperti uang kontan dan perhiasan, aneka sarung keris bertatahkan permata, dan
sabuk bersepuhkan emas. Bantuan juga diberikan rakyat sesuai dengan kemampuan mereka.
Sementara dari segi persenjataan para pengikut Pangeran Diponegoro mempersenjatai dirinya
sendiri dengan senjata seadanya. Seperti dilaporkan seorang komandan pasukan gerak cepat
Belanda menceritakan sebagai berikut.
“Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para pemberontak sehingga mereka langsung
bergabung dengan musuh dan menyerang orang-orang kita (Belanda) dengan tembakan ketapel
yang menyebabkan beberapa orang dipihak kita cedera” (Peter Carey, Kuasa Ramalan, 2011)
Mengatur Strategi dari Selarong Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang.
Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan.
Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah.
(1) merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan
mencegah masuknya bantuan dari luar.
(2) mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan
Belanda.
(3) menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan.
(4) membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan mengangkat
para pemimpinnya.
Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala perang, yaitu Yogyakarta dan sekitarnya
di bawah komando Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) yang diangkat sebagai patih dengan gelar
Suryenglogo. Bagelen diserahkan kepada Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo.
Perlawanan di daerah Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan, di
daerah Kedu Pangeran Diponegoro juga mengutus Kiai Hasan Besari mengobarkan Perang Sabil
untuk memperkuat pasukan yang telah ada. Pangeran Abubakar didampingi Pangeran Muhammad
memimpin perlawanan di Lowanu. Perlawanan di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo
dan Pangeran Somonegoro. Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo.
Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro.
Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh
Kertopengalasan. Daerah Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, sementara itu
daerah Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro. Gowong dipimpin oleh
Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh
Pangeran Serang.
Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman
Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo
bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M.
Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A.
Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya
(Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.
Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro balik menyerang Keraton
Yogyakarta. Serangan ke keraton ini mendapatkan hasil. Pasukan Pangeran Diponegoro di desa
Kejiwan berhasil memporak porandakan pasukan Belanda yang di pimpin Sollewijn. Pasukan
Diponegoro berhasil menduduki keraton.
Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengobarkan semangat “Perang Sabil”.
Perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat kota dapat dikuasai. Selanjutnya pasukan Pangeran
Diponegoro bergerak ke timur dan berhasil menaklukan Delanggu dalam rangka menguasai
Surakarta. Namun, pasukan Pangeran Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda di Gowok.
Secara umum dapat dikatakan pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan.
Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh kedudukan Pangeran
Diponegoro, para ulama dan pengikutnya menobatkannya sebagai raja dengan gelar: Sultan
Abdulhamid Herucokro (Sultan Ngabdulkamid Erucokro).
Perluasan perang di berbagai daerah Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa
pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke
daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke
Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mampu
menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan
Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan para ulama bergerak untuk melawan
kekejaman Belanda.
Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan
kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol
Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock
sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah
kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat. » Kamu tentu
ingat peristiwa apa yang terjadi di Sumatera Barat pada tahun 1825 – 1830. Peristiwa apa itu?
Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Sasaran
pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober
1825 pasukan Belanda menyerang pos tersebut. Namun, ternyata pos Gua Selarong sudah kosong.
Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan Diponegoro sudah
dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan
Ali Basyah Sentot Prawirodirjo ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian
barat (Kulon Progo dan sekitarnya). Sementara itu, di Gunung Kidul pasukan Diponegoro yang
dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan berbagai kemenangan. Benteng pertahanan
Belanda di Prambanan juga berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan
Tumenggung Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat
serangan Belanda. Meskipun demikian, Plered masih dapat dipertahankan oleh pasukan Diponegoro
di bawah Kertopengalasan.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas
dari para bupati di mancanegara (istilah mancanegara untuk menyebut daerah-daerah yang berada
di luar Yogyakarta). Misalnya terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara
Karesidenan Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus melakukan
perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, Magetan, Kertosono, Ngawi, dan
Sukowati. Sementara itu, peperangan di daerah mancanegara bagian barat meluas di wilayah
Bagelen, Magelang dan daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
Benteng Stelsel pembawa petaka Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang.
Pangeran Diponegoro menerapkan perang dengan penyerangan langsung yang mengandalkan
jumlah pasukan yang besar. Selain itu, ia juga menjalankan prinsip perang gerilya. Bahkan, Pangeran
Diponegoro juga menerapkan strategi perang atrisi (penjemuan). Strategi ini mengubah perang
secara langsung dengan perang jangka panjang (agar Belanda sampai bosan).
Dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa
bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini
semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan.
Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal
de Kock menerapkan strategi dengan sistem Benteng Stelsel . » Kamu tahu, apa yang dimaksud
sistem “Benteng Stelsel” dari Belanda. Apa tujuannya ? Coba diskusikan dengan anggota kelompok.
Kamu dapat membaca buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah.
Dengan strategi Benteng Stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam
tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang,
dan Magelang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Setiap tempat dihubungkan dengan
benteng pertahanan. Selain itu, Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.
Dengan sistem Benteng Stelsel ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin
sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap, tetapi
perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus
bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario
Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun, perlawanan di Rembang
dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828. Sementara itu, pasukan Diponegoro di
bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di
Kulon Progo sekarang). Penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa penyerangan
benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian para pemimpin perang Belanda. Pasukan Belanda
dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo
dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali
ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk
Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk
berunding.
Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan
pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain sebagai berikut.
1) Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam.
2) Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai pemimpinnya.
3) Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban.
4) Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo
dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan
pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando
Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari
satu pos yang ke pos lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro akan berakhir. Belanda
kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa
saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi
nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
5. Perlawanan di Bali
Kamu tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang belum pernah ke Bali, tetapi
tentu sudah begitu familier mendengar nama Bali. Bahkan, pada abad ke-20 pada saat Indonesia
sudah merdeka ternyata masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali
adalah sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan
menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah
nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat
untuk menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan
sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830an pemerintahan Hindia Belanda aktif
menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut
api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan “Perang Puputan”
Mengapa Terjadi Perang Puputan di Bali? Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-
kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung,
Jembrana, Tabanan, Menguri, dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels,
pemerintah kolonial mulai menjalin kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Kontrak tersebut tidak
sekadar urusan dagang, tetapi juga menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan
tentara pemerintah Hindia BeIanda. Namun, dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda
ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Oleh karena itu, Belanda mengirim dua utusan
dengan misi masingmasing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi. Kedua, Huskus
Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar, tetapi misi politik menghadapi
berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia
mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik
antara raja-raja di Bali dengan Belanda, diantaranya, dengan Raja Badung (28 November 1842), Raja
Karangasem ( 1 Mei 1843), Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Raja
Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama
seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan. » Kamu tahu apa yang dimaksud dengan Hukum
Tawan Karang di Bali. Mengapa Belanda meminta hukum itu dihapuskan. Coba cari jawabnya !
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk
meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan
Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk
melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan
Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda
memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang
telah disepakati.
Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas
penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ketut
Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan, I Gusti Ketut Jelantik sudah
melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda.
Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan.
Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan.
Dalam pertempuran ini Raja Buleleng mendapat dukungan dari Kerajaan Karangasem dan
Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700
orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu,
masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara
para pejuang dari Buleleng yang dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan
Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian.
Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin
terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih
Ketut Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah
timur Singaraja).
Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani
perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain:
(1) dalam waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang
pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru;
(2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda,
sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah
Belanda;
(3) Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang berpura-pura
menerima isi perjanjian itu. Namun, di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat
pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit Urang.
Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 kapal-kapal
asing yang terdampar di Pantai Kusumba Klungkung tetap dirampas oleh kerajaan. Hal ini
menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di
Buleleng, Klungkung, dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah
ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk
melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian mengirim kurir untuk meminta bantuan
pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung,
Karangasem, dan Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ketut
Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal tersebut. Pada tanggal 7 dan 8 Juni
1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap
Benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol
Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan
Ketut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan
gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu
dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda
terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh karena itu,
dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang
kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849
semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni
tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan
Benteng Jagaraga menjadi pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I
Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan
terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke
tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya
Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Meskipun demikian, Belanda tidak mudah untuk
menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi
Perang Puputan di Badung. Dua tahun kemudian Perang Puputan meletus di Klungkung.
6. Perang Banjar
Kamu tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibu Kotanya ada di Banjarmasin. Berbicara
soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang kamu ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi
Kalimantan Selatan pada umumnya. Kamu pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan
dari Kalimantan Selatan? Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua merupakan produk-
produk penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini. Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya?
Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin. Wilayah Kesultanan
Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang.
Pusatnya ada di Martapura. Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan
perdagangan dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan
dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang diminati oleh orang-orang Barat. Kondisi ini
membuat Belanda berambisi untuk menguasai Banjarmasin.
Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 terjadi perjanjian antara
Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan
Sulaiman harus menyerahkan sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak,
Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan
Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin semakin sempit, sementara
daerah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Bahkan, menurut perjanjian yang diadakan tanggal
4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda ditetapkan bahwa kekuasaan Kesultanan
Banjar hanya daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial ekonomi.
Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. Sementara dengan masuknya pola hidup
Barat, kebutuhan hidup para penguasa meningkat. Dengan demikian, beban hidup mereka semakin
sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan demikian, rakyat
menjadi sasaran eksploitasi oleh pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga
diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.
Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan sendiri terjadi konflik
intern. Konflik ini terutama dipicu oleh intervensi Belanda. Hal ini bermula saat putera mahkota
Abdul Rakhman meninggal secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki
tiga putra sebagai kandidat pengganti sultan, yakni: Pangeran Hidayatullah (Pangeran Hidayat),
Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom. Ketiga kandidat itu masing-masing memiliki pendukung.
Pangeran Hidayatullah didukung pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari
Sultan Adam untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan sebagai mangkubumi,
sedang Tamjidillah didukung Belanda.
Pada tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg
mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat
sebagai Mangkubumi. Pada hal menurut wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan adalah
Pangeran Hidayatullah. Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan
Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah memiliki
perangai yang kurang baik, senang minum-minuman keras seperti orang Belanda. Tamjidillah juga
menghapus hak-hak istimewa pada saudara-saudaranya termasuk menganggap tidak ada surat
wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah. Tindakan Tamjidillah yang sewenang-
wenang itu semakin menimbulkan rasa kecewa dari berbagai pihak. Salah satu gerakan protes dan
menolak pengangkatan Tamjidillah sebagai sultan dipelopori oleh Penghulu Abdulgani. Pangeran
Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai urusan.
Akibatnya, ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat kondisi kerajaan menjadi tidak
kondusif. » Berdasarkan uraian yang sudah ada itu coba lakukan identifikasi, sebab-sebab terjadinya
perang di Kesultanan Banjarmasin !
Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori
oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia
seperti mendengar kata-kata sebagai berikut. “Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan
permintaan ikam mandapat nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja
gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tetapi Pangeran Antasari ikam
aturi ka Muning”
Diterjemahkan sebagai berikut: “Engkau yang melakukan amalan zikir, salat serta puasa dengan
kesukaan atau izin, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja yang
bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut suruh menarikan gandut
dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong kamu, sehingga menjadi selamatlah rajapun akan
duduk di atas tahta. Tetapi Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning” (Tim, Sejarah Banjar,
2003).
Menurut Panembahan Muning berdasarkan ilham atau firasat (dalam bahasa Jawa: wisik) bahwa
nasib dan keselamatan Kesultanan Banjarmasin tergantung kepada peran serta Pangeran Antasari,
sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan
juga keturunan raja di Banjarmasin.
Gerakan Aling ini membuat suasana kerajaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling dinamakan Tambai
Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian Sungai Muning. Aling juga memanggil Antasari agar
datang di Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling
memang dipandang orang yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa
yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan Aling. Antasari
berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan
penuh dari pengikut Aling, Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti
Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Bagaimana Perang Banjar berlangsung? Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang
dipimpin oleh Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu
bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning
berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar
Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini.
Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan,
dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar.
Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan
Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena
itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah yang diminta untuk turun tahta.
Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan
legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor.
Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah kendali Belanda. Belanda sebenarnya berusaha
membujuk Pangeran Hidayatullah untuk bergabung dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan
Banjar.
Tetapi melihat kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah menilai bujukan itu merupakan tipu daya
Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan
perlawanan terhadap Belanda.
Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura.
Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa kerajaan
yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda. Bulan Agustus 1859, Antasari bersama
pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di
Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust, dan
merampas senjata yang ada di kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian,
Perang Banjar semakin meluas.
Memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi,
yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito.
Pertempuran di sekitar Banua Lima dipimpinan oleh Tumenggung Jalil. Pertempuran di sekitar
Martapura dan Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman. Sementara itu, pertempuran di
sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang Lehman yang berusaha
mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak
membawa korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah
pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya
dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan
di Gunung Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan
matimatian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya
yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan
semangat juang melawan Belanda sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.
Pada bulan September Demang Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil dan
Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut menuju
Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Pertemuan di
Kandangan menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak
tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai
berikut:
1) pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai;
2) membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan;
3) Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas; dan
4) mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir penjajah
Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang
tidak akan menyerah sampai titik darah yang penghabisan.
Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk menghadapi berbagai
serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan dan membangun benteng-benteng
pertahanan seperti di Tapin, memperkuat Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di
Kandangan. Demang Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal. Setelah
itu, Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah Barabai untuk memperkuat
pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan
seluruh anggota keluarga, yang diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan
perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai
sultan. Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillah terhadap orang-orang
Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya melakukan serangan ke pos-pos Belanda.
Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai. Datanglah kemudian
pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan
itu Belanda di bawah G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada. Pasukan
infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa
perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone, dan
kapal-kapal kecil. Terjadilah pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan
Hidayatullah dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. Mereka
dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati dalam perang ini adalah syahid.
Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata,
maka Hidayatullah dan Demang Lehman menarik mundur pasukannya. Kemudian membangun
pertahanan di Gunung Madang. Semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk segera menangkap
Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa
pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempat yang
lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun Belanda terus memburu dan mempersempit
ruang gerak pasukan Hidayatullah. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil
ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya. Hidayatullah bersama anggota
keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan Pangeran
Hidayatullah.
Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari
kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan
Amiruddin Kalifatullah Mukminin.
Nah, bagaimana kelanjutan dan akhir dari perjuangan Pangeran Antasari? » Coba bersama anggota
kelompokmu lakukan diskusi untuk kemudian menuliskan kisah dari kelanjutan dan akhir
perlawanan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar! Kamu bisa membaca buku sejarah yang ada di
perpustakaan sekolah atau bertanya kepada siapa saja yang sekiranya mengetahui tentang sejarah
perlawanan Pangeran Antasari.
Dikisahkan bahwa pada saat ditangkap keadaan Pangeran Hidayatullah itu sangat menyedihkan,
pakaian compang-camping, badannya sakit dan kurus kering. Ia memang seorang nasionalis sejati
ingin membela tanah airnya bebas dari kekuasaan asing. Ia tidak memilih jabatan sultan yang serba
enak tetapi memilih menderita bersama rakyat untuk sebuah kedaulatan rakyatnya.
7. Perang Aceh
Kita sering mendengar tentang Aceh. Apa yang kamu ketahui tentang Aceh? Ya, yang segar diingatan
kita yakni peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Tsunami itu terjadi karena adanya gempa
bumi yang begitu dahsyat dengan kekuatan 9,3 skala Richter terletak di Samudra Indonesia, kurang
lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Tsunami itu telah meluluhlantakkan Aceh.
Nah, peristiwa tsunami ini bisa dikatakan sebagai peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita lebih
berhati-hati untuk menjaga lingkungan dan tidak sembarang melakukan reklamasi pantai.
Di samping tsunami apa lagi yang kamu tahu tentang Aceh? Oh, ya mungkin kamu juga pernah
mendengar Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah. Mengapa? Aceh merupakan daerah pertama
masuknya Islam di Nusantara. Aceh juga pernah menjadi kerajaan Islam yang mendapat pengakuan
dari Syarif Mekah atas nama Khalifah Turki. Aceh juga pernah menjadi pangkalan/ pelabuhan haji
untuk seluruh Nusantara. Orang-orang Indonesia yang naik haji ke Mekah dengan kapal laut,
sebelum mengarungi Samudra Indonesia, tinggal beberapa bulan di Banda Aceh. Oleh karena itu,
Aceh mendapat julukan “Serambi Mekah”.
Sungguh Aceh ibarat Serambi Mekah merupakan daerah dan kerajaan yang berdaulat. Rakyat bebas
beraktivitas, beribadah, dan berdagang dengan siapa saja, di mana saja. Tetapi kedaulatan mulai
terganggu karena keserakahan dan dominasi Belanda. Dominasi dan kekejaman penjajahan Belanda
ini telah berimbas ke Aceh sehingga melahirkan “Perang Aceh”, perangnya para pejuang untuk
berjihad melawan kezaliman kaum penjajah pada tahun 1873 - 1912.
a) Mengapa dan Apa Latar Belakang Perang di Aceh itu?
Aceh memiliki kedudukan yang strategis. Aceh menjadi pusat perdagangan. Daerahnya luas dan
memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan. Karena itu dalam rangka
mewujudkan Pax Neerlandica, Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh. Kita tahu sejak
masa VOC, orangorang Belanda itu ingin menguasai perdagangan di Aceh, begitu juga zaman
pemerintahan Hindia Belanda. Namun, di sisi lain orang-orang Aceh dan para sultan yang pernah
berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat dan tindakan sultan beserta
rakyatnya yang demikian itu memang secara resmi didukung dan dibenarkan oleh adanya Traktat
London tanggal 17 Maret 1824. Traktat London itu adalah hasil kesepakatan antara Inggris dan
Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di
Kepulauan Nusantara tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh.
Isi Traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Tetapi
secara geografis-politis Belanda merasa diuntungkan karena kekuatan Inggris tidak lagi sebagai
penghalang dan Belanda mulai dapat mendekati wilayah Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris
sudah menyerahkan Sibolga dan Natal kepada Belanda. Dengan demikian, Belanda sudah
berhadapan langsung wilayah Kesultanan Aceh. Belanda tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
dapat melakukan intervensi di Aceh. Belanda mulai kasak-kusuk untuk menimbulkan kekacauan di
Aceh. Politik adu domba juga mulai diterapkan. Belanda juga bergerak di wilayah perairan Aceh dan
Selat Malaka. Belanda sering menemukan para bajak laut yang mengganggu kapal-kapal asing yang
sedang berlayar dan berdagang di perairan Aceh dan Selat Malaka. Dengan alasan menjaga
keamanan kapalkapal yang sering diganggu oleh para pembajak, maka Belanda menduduki beberapa
daerah seperti Baros dan Singkil.
Gerakan menuju aneksasi terus diintensifkan. Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda menyodorkan
perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian inilah yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya
antara lain Siak mengakui kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur. Ini artinya daerah-daerah
yang berada di bawah pengaruh Siak seperti: Deli, Asahan, Kampar, dan Indragiri berada di bawah
dominasi Hindia Belanda. Padahal daerah-daerah itu sebenarnya berada di bawah lindungan
Kesultanan Aceh. Bagaimanapun juga hal itu tentu mengecewakan pihak Kesultanan Aceh. Belanda
tampak bergeming dan tidak peduli. Oleh karena itu, Aceh mewaspadai sikap dan gerak-gerak
Belanda dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi aneksasi tentara Belanda.
Sebelum Traktat Siak terdapat Perjanjian antara Inggris-Belanda yang isinya Inggris mengizinkan
Belanda masuk ke Aceh. Sebagaimana kita ketahui bersama sebelumnya Aceh di bawah
Pemerintahan Kolonial Inggris.
Perkembangan politik yang semakin menohok Kesultanan Aceh adalah ditandatanganinya Traktat
Sumatera antara Belanda dengan Inggris pada tanggal 2 November 1871. Isi Traktat Sumatera itu
antara lain Inggris memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya di
seluruh Sumatera. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh. Dalam posisi yang terus
terancam ini Aceh berusaha mencari sekutu dengan negara-negara lain seperti Turki, Italia bahkan
juga melakukan kontak hubungan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1873 Aceh mengirim utusan
yakni Habib Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.
Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengancam dan
mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak
menghiraukan ultimatum itu. Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873,
Belanda melalui Komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh. Pecahlah
pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang Aceh di bawah pemerintahan Sultan
Mahmud Syah II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda. »
Dari uraian tersebut coba rumuskan apa saja yang menjadi sebabsebab terjadinya Perang Aceh!
Beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya membangun pos-pos
pertahanan. Sepanjang pantai Aceh Besar telah dibangun kuta, yakni semacam benteng untuk
memperkuat pertahanan wilayah. Kuta ini dibangun di sepanjang Pantai Aceh Besar seperti Kuta
Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi dan juga lingkungan istana Kutaraja dan Masjid Raya
Baiturrahman. Jumlah pasukan juga ditingkatkan dan ditempatkan di beberapa tempat strategis.
Sejumlah 3000 pasukan disiagakan di pantai dan 4000 pasukan disiagakan di lingkungan istana.
Senjata dari luar juga sebagian juga telah berhasil dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti mesiu dan
sekitar 1394 peti senapan.
b) Syahid atau Menang
Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah pimpinan
Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang
terdiri atas para ulebalang , ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda.
Dengan memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh dalam
keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin Belanda termasuk Kohler
optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan. Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda
terus diintensifkan. Namun, pada kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang Aceh.
Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan perlawanan sengit.
Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan, pada tanggal 14 April 1873 terjadi
pertempuran sengit antara pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan
tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman.
Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil
membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. Pohon ini kemudian dinamakan Kohler
Boom. Banyak jatuh korban dari pihak Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang
Aceh yang mati syahid.
Terbunuhnya Kohler menyebabkan pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai. Dengan demikian,
gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk
menundukkan Aceh. Karena kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan
pasukannya, tetapi juga karena hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial
budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda
hanya ada dua pilihan “syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi
potensi yang sangat menentukan untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan asing. Oleh
karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama.
Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda melakukan agresi
atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi
istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan
masjid dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan kemudian pada
tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang dan ulama kemudian meninggalkan masjid.
Tentara Belanda kemudian menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki
istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain
meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat
kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.
Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan bahwa Aceh Besar telah
menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang, ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan
pernyataan Belanda. Mereka kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai
Sultan Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur, maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda
sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25
km arah tenggara dari pusat kota). Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di
berbagai tempat. Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara itu,
tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal Pel. Sebelum Swieten
meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan segera membangun
kembali masjid raya yang telah dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh.
Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan ulebalang, ulama, dan
ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang melawan Belanda. Semangat juang semakin
meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian
menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro. Pasukannya terus melakukan serangan-serangan
ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda menambah kekuatannya sehingga dapat mengalahkan
serangan – serangan yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman dan Cik Di Tiro. Di bawah
pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan Habib Abdurrahman, bahkan Habib
Abdurrahman akhirnya menyerah kepada Belanda. Sementara Cik Di Tiro mundur ke arah Sigli untuk
melanjutkan perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh, Ansen
Batee.
c) Perang Sabil
Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad Daud Syah telah dewasa
maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Ala’uddin Muhammad Daud Syah
bertempat di Masjid Indrapuri. Pada waktu upacara penobatan ini para pemimpin Perang Aceh
seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan “Ikrar Prang Sabi”
(Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang
suci untuk membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan
kezaliman di muka bumi. Setelah penobatan itu, mengingat keamanan, istana di Indrapuri
dipindahkan ke Keumala di daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan kota Pidie). Dari Istana
Keumala inilah semangat Perang Sabil digelorakan.
Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Apalagi dengan seruan
Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan gerakan amal untuk membiayai perang, telah
menambah semangat para pejuang Aceh. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie. Di
Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di
Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan
Aceh dengan semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai
kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang dikenal
dengan Konsentrasi Stelsel atau Stelsel Konsentrasi .
Strategi Konsentrasi Stelsel itu ternyata juga belum efektif untuk dapat segera menghentikan perang
di Aceh. Bahkan, dengan strategi itu telah menyebarkan perlawanan rakyat Aceh dari tempat yang
satu ke tempat yang lain. Perang gerilya juga mulai dilancarkan oleh para pejuang Aceh. Gerakan
pasukan Teuku Umar juga terus mengalami kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil
menyerang dan menyita kapal Belanda Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. Kapten
Hansen (seorang berkebangsaan Denmark) nakhoda kapal yang diberi tugas Belanda untuk
menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh oleh Teuku Umar. Di tengah-tengah perjuangan itu
pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh
puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro. Kemudian ada berita bahwa pada tahun 1893
Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku Umar kemudian dijadikan panglima tentara Belanda
dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Ia diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara
beranggotakan 250 orang. Peristiwa ini tentu sangat berpengaruh pada semangat juang rakyat Aceh.
Nampaknya Teuku Umar juga tidak serius untuk melawan bangsanya sendiri. Setelah pasukannya
sudah mendapatkan banyak senjata dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret
1896 Teuku Umar dengan pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda. Peristiwa inilah yang
dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar berhasil
menyerang pos-pos Belanda yang ditemui.
Peristiwa itu membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara untuk menghadapi semangat
Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk
melaksanakan usulan Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui
bahwa sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Hurgronje agar melakukan kajian tentang seluk
beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh, sehingga dapat ditemukan strategi untuk
segera mengalahkan para pejuang Aceh. Snouck Hurgronje mulai menyamar memasuki kehidupan di
tengahtengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai nama samaran Abdul Gafar. Ia telah
mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck Horgronye menyimpulkan bahwa para
pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena disemangati oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah
Islamiyahnya. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje mengusulkan beberapa cara untuk melawan
perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu adalah sebagai berikut: 1) perlu memecah belah
persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab di lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa
persatuan antara kaum bangsawan, ulama, dan rakyat; 2) menghadapi kaum ulama yang fanatik
dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata; dan 3)
bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan diberi kesempatan untuk masuk ke
dalam korps pamong praja dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Hurgronje tersebut. Belanda harus
menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk memasuki fase ini dan memimpin perang
melawan rakyat Aceh, diangkatlah gubernur militer yang baru yakni van Heutsz (1898-1904)
menggantikan van Vliet. Genderang perang dengan kekerasan di mulai tahun 1899. Perang ini
berlangsung 10 tahun. Oleh karena itu, pada periode tahun 1899 – 1909 di Aceh disebut dengan
masa sepuluh tahun berdarah ( tien bloedige jaren) .
Semua pasukan disiagakan dengan dibekali seluruh persenjataan. Van Heutsz segera melakukan
serangan terhadap pos pertahanan para pemimpin perlawanan di berbagai daerah. Dalam hal ini
Belanda juga mengerahkan pasukan anti gerilya yang disebut Korps
Marchausse (Marsose) yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah
pimpinan opsir-opsir Belanda. Mereka pandai berbahasa Aceh. Dengan demikian, mereka dapat
bergerak sebagai informan. Dengan kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya
informan-informan bayaran, serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin
perlawanan. Teuku Umar bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan Panglima Polem dapat
digiring dan bergerak di Aceh bagian timur.
Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan
secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetapi tampaknya persiapan Teuku Umar ini tercium oleh
Belanda. Maka Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Terjadilah
pertempuran sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur sebagai
syuhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan pasukannya memasuki
hutan dan mengembangkan perang gerilya.
Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah komando Sultan Daud Syah
dan Panglima Polem terus berkobar. Setelah istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan
melakukan perlawanan dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan
menuju Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta ini berhasil diserbu
Belanda. Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. Pada tahun berikutnya Belanda menangkap
istri sultan, Pocut Murong. Karena tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan
Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari Belanda. Cara licik ini
kemudian digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan Tuanku Raha Keumala.
Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi
akhirnya Panglima Polem juga menyerah pada 6 September 1903. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514 harus berakhir.
Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan dominasi asing sulit
untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang jihad dengan bergerilya.
Tetapi setelah pos pertahanan pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak
Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal pada tanggal 8
November 1908.
Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum berakhir. Di daerah Pidie sejumlah ulama masih terus
melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokohtokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro
bersama istrinya Teungku Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini
gugur dalam Perang Sabil melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir mengadakan perlawaan
di Pidie ini adalah Teungku Ma’at Tiro yang waktu itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah
dikepung di Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada
tahun 1911. Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa.
Sementara itu, di pesisir utara dan timur Aceh juga masih banyak para ulama dan pemimpin adat
yang terus melakukan perlawanan. Tokoh perlawanan tersebut diantaranya Teuku Ben Pirak (ayah
Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong (suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut
Nyak Mutia melanjutkan perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak Mutia sesuai dengan pesan
suaminya Teuku Cik Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda disarankan untuk menikah dengan
Pang Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat bersama-sama melawan Belanda dengan Pang
Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru
tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11
tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat didesak
dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. Ulama yang lain seperti Teungku
Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu
akhirnya juga gugur tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian Perang
Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya
masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan,
dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.
8. Perang Batak
Kita semua juga sudah sangat familier mendengar kata Batak. Batak merupakan nama kawasan
sekaligus nama suku, Suku Batak. Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada Batak Toba, Batak
Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang masyarakat Batak tersebar
di berbagai daerah di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan berperan di bidang hukum.
Secara historis-sosiologis masyarakat Batak menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita mengenal
bagaimana struktur masyarakat Batak itu. Basis masyarakat Batak sebenarnya berada di daerah-
daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. Huta adalah bentuk kesatuan ikatan-
ikatan kampung yang dalam berbagai aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta
didiami oleh satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas huta atau
gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari beberapa horja terbentuk bius .
Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah satu wilayah kerajaan. Kerajaan masyarakat Batak
yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja, pusat pemerintahannya ada di Bakkara. Sejak tahun 1870
yang menjadi raja adalah Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Sisingamangaraja XII. Pada
tahun 1878 Raja Sisingamangaraja XII angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan
Belanda.
a. Mengapa terjadi Perang Batak?
Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya.
Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan
sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak,
Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Sisingamangaraja XII
karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan
bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi
ini, pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerahdaerah untuk
menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada
penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli
orang-orang Batak.
Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending.
Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah
memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, Pada tanggal 8 Januari
1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak » Dari uraian
yang telah dipaparkan, coba rumuskan apa sebab terjadinya Perang Batak?
b. Bagaimana Jalannya Perang Batak?
Alasan untuk melindungi para Zending tentu alasan yang dibuat-buat Belanda. Karena yang jelas
Belanda menduduki Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan
wilayah kekuasaan Raja Sisingamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Kali
pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal Batu. Rakyat Batak di
bawah pimpinan langsung Raja Sisingamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan
pasukan Belanda di Bahal Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah
menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di dataran tinggi Toba dan
Silindung. Di samping itu, dikembangkan benteng buatan yang ada di perkampungan. Setiap
kelompok kampung dibentuk empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Di
luar tembok ditanami bambu berduri dan di sebelah luarnya lagi dibuat parit keliling yang cukup
dalam. Pintu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan ukuran sempit.
Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Sisingamangaraja XII dengan pasukannya berusaha
memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang
dengan kekuatan tentara Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja XII ini harus ditarik mundur.
Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di Butar. Karena dengan
gerakan mundur tadi, pasukan Sisingamangaraja XII juga melakukan penyerangan pada pos-pos
Belanda yang lain.
Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil menggagalkan berbagai
serangan dari pasukan Sisingamangaraja XII, Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan
benteng dan istana Kerajaan Sisingamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar Belanda
mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah selatan, Chelter mendesak dari
sebelah timur, sementara Van den Bergh mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur
Belanda berusaha memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan batu
oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani tembakan-tembakan yang
begitu gencar, sehingga benteng itu dapat diduduki Belanda. Sisingamangaraja dan sisa pasukannya
berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba.
Belanda terus memburu Sisingamangaraja. Sisingamangaraja kemudian menyingkir ke Lintung.
Belanda terus mengejar Sisingamangaraja terus bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke
Baligie. Dengan kekuatan pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua,
sehingga semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.
Sisingamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. Pada Juli tahun 1889
Sisingamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan
Sisingamangaraja XII bertahan cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga
jatuh ke tangan Belanda. Sisingamangaraja XII kemudian membuat pertahanan di Pakpak dan Dairi.
Pasukan Belanda di bawah komando van Daden mengadakan gerakan sapu bersih terhadap
kantong-kantong pertahanan dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak .
Tahun 1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap
Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII berhasil dikepung rapat di daerah segitiga Barus,
Sidikalang, dan Singkel. Dalam pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap
Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya.
Dengan beban psikologis yang berat Sisingamangaraja XII tetap bertahan, tidak mau menyerah.
Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda dikerahkan untuk menangkap
Sisingamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan
terdesak, Sisingamangaraja XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan
sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Sisingamangaraja XII tertembak mati. Begitu juga
putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah
Perang Batak.
KESIMPULAN
1. Perang yang terjadi pada abad ke-18, 19, dan awal 20 merupakan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
2. Pemerintah kolonial Belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya
pura-pura mengajak damai, mengadu domba dan menangkap anggota keluarga pimpinan perang
Indonesia terus dilakukan.
3. Perang melawan penjajahan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memang belum berhasil,
tetapi semangat juang rakyat dan para pemimpin perang kita tidak pernah padam. Kedaulatan dan
kemerdekaan rakyat Indonesia harus terus diperjuangkan agar bebas dari penjajahan. Penjajahan
pada hakikatnya selalu kejam, menangnya sendiri, serakah, tidak memperhatikan penderitaan orang
lain. Penjajahan senantiasa bertentangan dengan harkat dan hak asasi manusia.
4. Banyak nilai keteladanan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
semangat cinta tanah air, rela berkorban, kebersamaan, kerja keras pantang menyerah dengan
berbagai tantangan, sehingga dapat memotivasi kita untuk kerja keras dan giat belajar.
BAB 3 Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme
Setelah VOC dibubarkan, terjadilah perubahan penting dalam sistem pemerintahan di tanah Hindia
Belanda. Pembaruan sistem pemerintahan ini terutama dilakukan oleh Daendels. Namun sistem
pemerintahan yang baru itu dapat dilembagakan dan dilaksanakan seara nyata pada aman
pemerintahan afes. istem pemerintahan yang baru itu bersifat dualistis, yakni ada pemerintahan
Eropa dan ada pemerintahan pribumi (sekalipun harus tunduk pada penguasa Eropa). Di samping itu,
sebenarnya ada kelompok Timur Asing yang kedudukannya setara dengan pribumi. Dalam hal ini
para pangreh praja direpresentasikan dalam pemerintahan pribumi. Namun penguasa kolonial
sangat menentukan sistem pergantian kekuasaan pemerintahan pribumi.
(Sementara itu) sejak pemerintahan Daendels, pembaruan di bidang pendidikan di Hindia Belanda
(juga) mulai dilakukan. Awalnya hanya ditujukan untuk kepentingan tertentu dan kalangan tertentu.
Namun sejak Politik Etis bergulir, para bumiputra Hindia Belanda pun turut mengenyam pendidikan
ala Barat. Pada masa selanjutnya, hal ini menjadi bumerang bagi Belanda karena pendidikan
tersebut justru melahirkan elite lokal yang menaruh perhatian besar pada semangat nasionalisme.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa penjajahan Barat memiliki implikasi terhadap
perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Di samping perkembangan pendidikan persekolahan
(pendidikan modern) juga menggerakkan semangat nasionalisme. Munculnya semangat
nasionalisme dan cinta tanah air, sebenarnya sudah muncul setelah Indonesia ini dijajah dan
digerogoti oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Timbullah berbagai bentuk perlawanan dan
pergerakan kebangsaan. Hal ini terjadi karena kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin
memprihatinkan akibat dari penindasan kaum penjajah, kekejaman kolonialisme dan imperialisme
Eropa. Berikut ini kita akan belajar bagaimana dampak perkembangan kolonialisme dan
imperialisme Eropa di Indonesia.
Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme
Dampak dalam bidang politik dan ekonomi
Dampak dalam bidang sosial-budaya dan pendidikan
Kebijakan pemerintah Belanda yang cenderung destruktif dan merugikan rakyat sekalipun ada
beberapa keuntungan
ARTI PENTING
Mempelajari sejarah perkembangan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia akan memberikan
dampak dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat di Indonesia. Harus juga disadari bahwa di
balik berbagai kekejaman penjajahan Belanda ada hikmah di balik penderitaan rakyat yakni
munculnya nasionalis dan beberapa pembangunan sarana dan prasarana yang sampai sekarang
masih ditiru dan dikembangkan di Indonesia.
A. Dampak dalam Bidang Politik-Pemerintahan dan Ekonomi
1. Bidang Politik dan Struktur Pemerintahan
Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda melakukan kebijakan yang
sangat ketat dan cenderung menindas. Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah
atau devide et impera. Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu muslihat
yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma kemanusiaan.
Misalnya pura-pura mengajak perundingan damai tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran
Diponegoro), purapura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/
Hairun). Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat. Rakyat
Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga setelah kelompok orang-orang Barat
(penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat itu, kekuatan kolonial
Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya. Penguasa kolonial juga selalu campur tangan
dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi. Penguasa-penguasa
pribumi/ lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini dapat menimbulkan
sikap rendah diri di kalangan rakyat. Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan
rakyatnya.
Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para penguasa
kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri di berbagai daerah.
Tetapi seperti telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi pemerintahan. Daendels telah
membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi
sembilan prefektur dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten). Setiap prefektu r diangkat
seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek . Seorang
A. Dampak dalam Bidang Politik-Pemerintahan dan Ekonomi
pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa. Kemudian setiap regentschap/ kabupaten dikepalai
oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum pribumi. Namun, status bupati sampai
dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru
terwujud setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan demikian, para bupati ini telah
kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik
Abdullah dan A.B. Lapian, 2012).
Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan
administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi. Ruang gerak para penguasa pribumi
semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha diciptakannyapun menjadi semu.
Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, semacam pemerintahan
pusat. Sebagai penguasa tertinggi adalah gubernur jenderal. Di tingkat pusat ini juga ada lembaga
yang disebut dengan Raad van Indie, tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat. Dalam
pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk mengatur
pemerintahan secara umum. Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada
Departemen Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan
Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibentuk Departemen
Kehakiman (1870); Departemen Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen
Pertanian, Industri dan Perdagangan (1911).
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat jelas adanya dualisme
pemerintahan. Ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands
bestuur). Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang paling tinggi yakni
residen. Ia memimpin wilayah karesidenan. Di seluruh JawaMadura terbagi menjadi 20 karesidenan.
Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau bagian timur juga dibagi dalam
wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil.
Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai suatu wilayah bagian
dari karesidenan yang dinamakan afdeling. Di bawah asisten residen masih ada pejabat yang disebut
kontrolir (controleur). Ia memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling. » Mengapa Daendels
melakukan perubahan dan pembaharuan dalam bidang politik pemerintahan di Hindia Belanda?
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi
pribumi. Jenjang tertinggi dalam pemerintahan pribumi adalah seorang regent atau bupati. Ia
memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih.
Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang
wedana. Setiap distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang asisten
wedana atau sekarang camat. Unit paling bawah kemudian ada desa-desa.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia mereformasi
pemerintahan pada saat itu. Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal
dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan
feodal yang kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru. Karena itu, dari para penguasa
pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi
yang baru. Dalam hal ini pemerintah pusat dapat langsung berhubungan dengan rakyat tanpa
perantara penguasa lokal. Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga Raffles
tinggal melanjutkan saja. Pembaruan yang dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan
dan peradilan.
Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari otonomi yang
menguntungkan diri sendiri. Seorang bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang
residen. W. Daendels memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost. Raffles kemudian
membagi Jawa menjadi 16 keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan
dibantu oleh beberapa asisten residen. Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk
melakukan transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa
yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki kembali. Di
samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih berbentuk kerajaan-
kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melakukan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera
Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua. Penyatuan seluruh wilayah
Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905. Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan
Pax Neerlandica masa setelah itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia
Belanda. Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
2. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah membawa pada
perubahan sistem perekonomian tradisional. Dalam sistem modern, tanah-tanah milik Raja berubah
statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari
uang dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan mereka kumpulkan
untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu. Untuk mendapatkan
uang pemerintah kolonial memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak.
Petani pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer sampai Panarukan, dibuka pada
masa Daendels memerintah Hindia Belanda. Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai
sarana pertahanan untuk menghadapi Inggris. Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan
dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon. Pembangunan jalan itu
terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa pemerintah, seperti masalah keuangan,
ancaman Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels.
Tindakan Daendels ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan
jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan. Pembangunan jalan sepanjang 1000 km
itu dilakukan dengan kerja rodi. Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk
memakmurkan pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur. Menurut Daendels, jalan itu
membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya perdagangan. Meskipun
jalan pos ini membawa perkembangan daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels
dilontarkan karena pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.
Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal ke
pemerintah. Ini berarti pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah. Perubahan
dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya perubahan hubungan antara
raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan yang bersifat komersial.
Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun
terisi. Dengan demikian pelaku ekonomi adalah pihak swasta. Sistem ini telah membuka
kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha. Perdagangan bebas pun mulai
dilakukan. Dalam kaitannya dengan ini, bila perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat
akan tumbuh dengan sendirinya. Sejak itulah sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan
daerah lain di Hindia Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya berubah
menjadi sistem ekonomi komersial.
Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi uang
terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun semakin luas. Perkembangan ini didukung oleh
perkembangan di bidang perbankan. Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia
Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank , didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828.
Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti Nederlands Handels Maatschappij, De
Nationale Handels Bank dan Escompto Bank . Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang
berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa,
Lumbung Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial adalah munculnya kota-kota baru yang ditandai dengan
adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di
Pulau Jawa dan lain sebagainya. Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur
kereta api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan. Pada
September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan kereta api juga
dibangun di Sumatera. Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di
Lampung sepanjang 62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917. Di
Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. Di samping itu, jalur
transpotasi darat membawa banyak perkembangan dalam bidang perekonomian.
Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan perdagangan.
Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-
pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, karena didukung munculnya angkutan kapal
laut.
Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transpotasi. Pada
1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia. Hal ini mengalami kemajuan lagi setelah Daendels
membangun jalan pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa. Terhubungnya jaringan kereta
api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, sehingga informasi semakin
berkembang cepat. Di Sumatera pelayanan pos
Hal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks politik dan ekonomi itu adalah usaha
perluasan daerah kekuasaan Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau
perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang dengan tipu muslihat, akhirnya
Kepulauan Indonesia ini berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada masa kekuasaan Belanda inilah
secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah Hindia Belanda yang
kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari ujung barat (Aceh) sampai ujung timur (Papua).
Batas tanah Hindia Belanda bagian timur di Papua ini telah disepakati dengan perjanjian antara
Belanda dan Inggris pada tahun 1895.

dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan
telegrap dimulai sejak 1855, sehingga informasi semakin cepat sampai. Sistem ekonomi kapitalis
mulai bangkit dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis
tanaman perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar dunia.
KESIMPULAN
1. Kebijakan penjajah yang cenderung menindas dan intervensi politik di lingkungan istana kerajaan,
telah menempatkan penguasa lokal menjadi bawahan Belanda. Rakyat menjadi rendah diri.
2. Penjajahan orang Eropa di Indonesia telah mengenalkan birokrasi pemerintahan.
3. Rakyat hidup semakin menderita bahkan timbul kemiskinan akibat dari kebijakan monopoli,
tanam paksa, beban pajak dan kerja rodi.
4. Penguasa lokal menjadi bawahan kolonial sehingga banyak yang tidak memperhatikan rakyatnya.
5. Mulai diperkenalkan sistem ekonomi uang, untuk menggantikan sistem perekonomian
tradisional.
6. Mulai dikenal tanaman-tanaman yang laku di pasar dunia dan dibangunnya sarana prasarana
pertanian dan perkebunan, sarana dan prasarana transportasi kereta api.
7. Pada pada masa penjajahan Belanda telah diperkenalkan dan ditetapkan batas wilayah, termasuk
wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia.
B. Dampak dalam Bidang Sosial-Budaya dan Pendidikan
1. Bidang Sosial-Budaya
Penjajahan bangsa Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan kehidupan yang diskriminatif.
Orang-orang Barat memandang bahwa mereka yang berkulit putih sebagai kelompok yang kelas I,
kaum Timur Asing sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang sebagai masyarakat kelas III, kelas
yang paling rendah. Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya juga dipandang paling rendah.
Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan martabat bangsa Indonesia yang memang sedang
terjajah.
Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal. Terbukti Belanda berhasil menggeser
hak-hak istimewa para penguasa pribumi. Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya
sebagai bangsawan yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Mereka telah ditempatkan sebagai
pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak memiliki hak-hak istimewa kebangsawanannya. Status
dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati
secara berlebihan kepada penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah menanamkan nilai-nilai
budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilainilai budaya bangsa Indonesia. Bahkan
perkembangan budaya Barat yang cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya
keindonesiaan.
Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai
kesantunan, unggah-ungguh atau budi pekerti luhur yang dikembangkan di lingkungan kraton yang
juga ditiru oleh masyarakat mulai bergeser. Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi,
para penguasa Barat tidak mau tahu tentang tradisi atau atau norma-norma, termasuk nilai halal dan
haram dalam Islam, misalnya dengan budaya minumminuman keras (menjadi mabuk-mabukan),
berangkat dari dance kemudian mengarah kepada pergaulan laki-laki dan perempuan yang
cenderung tanpa batas. Oleh karena itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum kolonial
yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir.
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa pengaruh semakin intensifnya
perkembangan agama Kristen. Hal ini tentu sejenak menimbulkan culture shock di kalangan
masyarakat muslim di Indonesia. Namun dalam perkembangannya mampu beradaptasi sehingga
menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan
budaya, khususnya di Jawa, mendapatkan perhatian khusus. Melalui bukunya yang berjudul History
of Java, buku tersebut memuat berbagai aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa. Ada juga buku karya
William Marsden yang berjudul History of Sumatera . Pemerhati budaya Nusantara ternyata cukup
banyak selain Raffles dan William Marsden terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni
Crawfurd. Ia menulis buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat
penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita oleh penduduk.
Pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melancarkan kritik terhadap
keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot. Ia menyatakan selama satu abad lebih pemerintah
mengambil keuntungan dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan
untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda. Di samping itu, Van Deventer pada tahun 1899, menulis
dalam judul “Hutang Kehormatan”. Dalam tulisan tersebut ia menganjurkan adanya politik balas
budi (politik etis) yang berisi pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
2. Bidang Pendidikan
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru. Dimulailah era Politik Etis yang dipimpin
oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia
Belanda (1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya
Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas
negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan
berbagai kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai
diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang
pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan
pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai
tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam era Politik Etis ini
dikembangkan program pendidikan. Pendidikan ini ternyata tidak hanya untuk orang-orang Belanda
tetapi juga diperuntukkan kepada kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Suasana dan simbol kemajuan melalui program pendidikan ini juga didukung oleh adanya surat-
surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi
kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan
pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda. »
Benarkah R.A. Kartini memiliki andil dalam mendorong berkembangnya sekolah di Indonesia pada
masa penjajahan Belanda. Coba berikan penjelasan!
Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada penduduk pribumi, tetapi
membawa dampak pada tumbuhnya sekolahsekolah. Pada tahun 1900, tercatat sebanyak 169
Eurepese Lagree School ( ELS) di seluruh Hindia Belanda. Dari sekolah ini murid-murid dapat
melanjutkan pelajaran ke STOVIA ( School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau
Hoogeree Burgelijk School (HBS). Di samping itu juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai)
yang berjumlah enam buah.
Untuk memperluas program pendidikan maka keberadaan sekolah guru sangat diperlukan.
Dikembangkan sekolah guru. Sebenarnya Sekolah Guru atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun
1852 di Solo. Berkembanglah pendidikan di Indonesia sejak jenjang pendidikan dasar seperti
Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Untuk
kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang disebut Algemene Middelbare
School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger School (HBS). Kemudian khusus untuk kaum pribumi
disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang
nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua”
yang di Jawa dikenal dengan “ Sekolah Ongko Loro ”.
Bagi para pemuda aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen
(STOVIA) yang berpusat di Batavia. Sekolah ini sering disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari
sekolah ini lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang dapat bersekolah sangat sedikit, namun
keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya
pendidikan. Hal ini mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan
membawa pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum terpelajar itu mendorong munculnya surat kabar, seperti, Pewarta Priyayi yang
dikelola oleh R.M Tjokroadikoesoemo. Juga koran-koran lain, seperti Surat kabar De Preanger Bode
(1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatera Timur, Makassarsche Couran t (1902) di
Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai,
membawa pencerahan di kalangan pribumi. Dari berbagai informasi yang ada di surat kabar inilah
lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan
terpelajar di seluruh wilayah Hindia Belanda. Berkat informasi yang berkembang inilah kaum
terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat tentang masa depan tanah kelahirannya sehingga
kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya adalah
adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah Indonesia pada
28 Oktober 1928.
KESIMPULAN
1. Kebijakan penjajah Belanda cenderung diskriminatif, sehingga terjadi perbedaan kelas dalam
masyarakat, ada kelas atau golongan pertama orang kulit putih, golongan kedua orang timur asing,
golongan ketiga orang Indonesia (kulit sawo matang).
2. Dalam mengendalikan rakyat dan mendapatkan keuntungan Penguasa Belanda memanfaatkan
kultur feodal yang sudah ada.
3. ada masa afes, ilmu pengetahuan, searah dan budaya terutama Jawa mendapat perhatian khusus.
4. Setelah diterapkan Politik Etis pendidikan di tanah Hindia Belanda berkembang, termasuk kaum
bumiputera mendapat kesempatan bersekolah.
5. Berkembangnya pendidikan yang diikuti kaum bumiputera telah melahirkan kaum terpelajar yang
kemudian mendorong gerakan nasionalisme di Indonesia yang kemudian ikut mendorong lahirnya
Sumpah Pemuda.
BAB 4 Sumpah Pemuda dan Jati Diri Keindonesiaan
“Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda telah mengecap
bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, munculnya surat kabar telah memupuk
kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak
dengan banyaknya organisasi kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu
bangsa dan negara yang merdeka” Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (d), ndnia ala Au aah (2012)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai peranan yang cukup penting
bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Dalam catatan sejarah dapat
diingat bagaimana peran para pemuda dan kaum terpelajar. Hal ini tampak jelas terutama setelah
dilaksanakan Politik Etis di Indonesia. Dibukanya program edukasi telah membuka jalan lahirnya
kaum muda terpelajar yang kemudian menggerakkan kesadaran kebangsaan sehingga melahirkan
gerakan kebangkitan nasional di Indonesia. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda
yang telah meneguhkan tiga pilar jati diri keindonesiaan: tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Setelah berhasil menggelorakan Sumpah Pemuda, hampir setiap momen perubahan dan
pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari peran pemuda. Sebut saja peristiwa Proklamasi
Indonesia, penumpasan G30S/PKI dan lahirnya Orde Baru serta gerakan reformasi tahun 1998,
kaum muda tampil sebagai penggerak dan pelopor. Peranan mereka dapat menentukan
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi sayang dalam kehidupan dewasa ini nilai-nilai kepeloporan kaum muda terpelajar itu tidak
sepenuhnya dapat dipahami dan diteladani oleh para remaja, pemuda dan juga kaum terpelajar,
kecuali sebagian kecil.
Marilah kita perhatikan gejala dan kehidupan yang nampak pada remaja dan masyarakat kita di
berbagai daerah dewasa ini. Munculnya perilaku anarkis di kalangan remaja, perkelahian
antarpelajar, penyalahgunaan narkoba dan rapuhnya rasa nasionalisme. Tidak sedikit di antara
remaja kita yang lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai budaya
dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme hampir dapat kita jumpai di berbagai
daerah. Penggunaan Bahasa Indonesia yang mulai rusak-rusakan. Penolakan terhadap seorang
pemimpin karena tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan,
masih merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media, baik cetak maupun
elektronik. Hal ini sebagai indikator rendahnya semangat nasionalisme dan jati diri keindonesiaan di
lingkungan masyarakat kita. Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri
bangsa ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir bermain sepak bola yang bernama
Tristan Alif Naufal. Kini ia tengah mendapat undangan untuk berlatih sepak bola di klub Ajax
Amsterdam, Belanda. Ia bersama kedua orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara
Belanda dan mendapat kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang memang sangat
menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. Aku tidak mau jadi warga negara Belanda, “aku
mau tetap jadi orang Indonesia”, ujar Alif”. (Tribun Kaltim, 3 November 2013). Sungguh luar biasa
pendirian anak berusia 8 tahun itu. Sudah barang tentu ilustrasi itu menginspirasi dan menggerakkan
hati serta kesadaran kita untuk meneguhkan kembali semangat nasionalisme kita.
Sehubungan dengan problem kehidupan remaja dan masyarakat yang mulai melemah semangat
keindonesiaannya dan inspirasi dari anak berusia 8 tahun itu, penting untuk merevitalisasi nilai-nilai
kepeloporan para pemuda yang telah menggelorakan nasionalisme serta prinsip persatuan dan
kesatuan bangsa. Melalui kegiatan belajar kemudian memahami dan menghayati materi bab tentang
Sumpah Pemuda dan Jati diri Keindonesiaan ini diharapkan dan dapat menumbuhkan semangat
nasionalisme dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
ARTI PENTING
Belajar sejarah tentang Sumpah Pemuda memiliki makna yang sangat penting, agar kita mendapat
pengetahuan dan pemahaman, bahwa tegaknya kehidupan bangsa Indonesia harus dilandasi
persatuan dan kesatuan. Nilai persatuan dan kesatuan sebagai nilai dasar dari Sumpah Pemuda
harus terus digelorakan untuk memperkukuh jati diri keindonesiaan.
A. Latar Belakang Sumpah Pemuda
Ya, gambar pertama menunjukkan adanya sekolah kaum pribumi, sedang gambar yang kedua adalah
salah satu contoh surat kabar yang juga berkembang pada masa Hindia Belanda. Adanya
pendidikan/sekolahsekolah akan memunculkan kaum terpelajar. Kaum muda terpelajar inilah
kemudian memelopori lahirnya kebangkitan nasional di Indonesia. Hal ini juga dipacu oleh adanya
surat kabar-surat kabar yang sudah terbit saat itu sehingga mempercepat berkembangnya semangat
nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, berkembanglah masa pergerakan
kebangsaan, suatu periode yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Dalam periode
pergerakan kebangsaan ini telah terjadi peristiwa yang sangat penting dan monumental, yakni
peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai klimaks dari sebuah perjuangan
untuk mempersatukan seluruh bangsa menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pada uraian ini kita
akan belajar tentang makna nilai-nilai Sumpah Pemuda bagi kehidupan berbangsa, terutama dalam
rangka memperkokoh jati diri keindonesiaan.
1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh
wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum
dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah
disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax
Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian perjanjian. Selanjutnya sistem
administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana
pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini
ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu
memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian
dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari
pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan
bersenjata. Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu
masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten
perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu
seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari
masingmasing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang Madura diadu domba
dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya
Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak
menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan
pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan.
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem
kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu
didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian,
perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami
penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia
Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat tulisan yang berjudul “ Een Eereschlud’ (utang
kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan
bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun
negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh karena itu, menurutnya sudah
sewajarnya Belanda membayar utang budi itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara
jajahan.
Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok yang sependapat
dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk
memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus
dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai
bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan.
Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian
mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh
Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(1909-1916). Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis
membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri
jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai
kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan
adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya
trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial
memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-
perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M.
Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis
adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan
modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu hanya saja menghasilkan
tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda. » Benarkah R.A.
Kartini memiliki peran penting dalam menginspirasi era kemajuan dan perluasan pendidikan di
Indonesia. Coba berikan penjelasan secara kritis.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah
Hindia/ Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok
kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu
disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan
pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa
kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda.
Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah
bumiputra.
Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda
dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk
kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain
dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru
bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia,
Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling
berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah
Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia
bergabung di dalamnya. Mereka menggerakkan wacana perubahan di lembaga tersebut.
Sumber: Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 2003. Gambar 4.3 R.A.
Kartini
186 Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK Semester 1
»Dapatkah kamu jelaskan mengapa pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis
di tanah jajahan? Tahukah kamu bagaimana pengaruh pendidikan pada masyarakat Hindia Belanda?
Coba lakukan pelacakan kemudian buatlah uraian tentang pengaruh pendidikan pada kaum Pribumi
di Hindia Belanda dalam bentuk narasi deskriptif. Untuk mengerjakan tugas ini kamu dapat
membaca buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah. Dapat juga kamu mencari informasi
melalui internet kemudian kamu cari buku yang dirujuk itu sebagai bahan referensi dalam membuat
tulisan sejarah Pers Membawa Kemajuan.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak)
mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status
sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan,
pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi
dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan
jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang
pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson
dari Bintang Hindia , E.F Wigger dari Bintang Baru , dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang
menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangannya kaum
bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa,
kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula
dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit
bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo,
F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani,
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di
Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah
diterbitkan oleh Firma H. Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra
lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar
Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di
Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang
diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan
”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar mereka dalam surat pembaca, dan
mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum
muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati
Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari
simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca
Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 ).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti
Surabaya, Padang, dan Semarang. Kebudayaan cetak mempermudah kaum terdidik untuk
memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja
sama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja ( Kweekschool )
Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar
Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat
dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli . Majala h Insulinde itu disebarkan ke seluruh
Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman
maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang,
negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu
disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan tentang perkembangan yang
terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman
“kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga
memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh
muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisantulisannya pada surat kabar
Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan
masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai,
kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan
ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada
organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di
Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat
itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar
kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah
dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih
jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji
( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913).
Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk
memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-
anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka
bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan
Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI)
dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui
tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan
kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum
perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe , yang berisi tentang panggilan perempuan untuk
memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga
Minangkabau. Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah
perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak
perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk
memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya
rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal
penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka
yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden
ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai
gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express . Surat
kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan
kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus
Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera
(1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan
kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra adalah mengkritik tindakan pemerintah
kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari
rakyat.
Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan
yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang
dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda menilai
tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda
menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis
sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai
editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial
selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi
Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke
Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers adalah Semaun. Ia
mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia . Kritikannya mengenai haatzaai
artikelen , yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan
kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang
aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap
program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang
sebagian besar adalah orang Eropa.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-
paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang
tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai
dampak dari Revolusi Perancis. Paham-paham itu misalnya liberalisme, nasionalisme, sosialisme.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. Perlu diingat bahwa
dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka
semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya
pahampaham baru di Indonesia. Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham ini telah mendorong
lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, Bangsa Indonesia. Kesadaran ini
kemudian mendorong untuk merubah dan menyempurnakan strategi perjuangan bangsa yang
selama ini telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka munculnya kaum terpelajar,
peran pers/media cetak, dan paham-paham baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional
itu juga dipicu oleh beberapa peristiwa dunia. Misalnya adanya Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina,
Gerakan Nasional di India dan Filipina.
Sekalipun didorong oleh banyak faktor, kesadaran berbangsa dan kebangkitan nasional yang muncul
di Indonesia tidak lepas dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan kekuasaan kolonialisme dan
imperialisme Belanda. Kesadaran bersama muncul bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan strateginya harus sudah berubah. Bentuk diplomasi dan
melalui berbagai organisasi pergerakan dipandang lebih tepat. Dipelopori oleh kaum terpelajar
kemudian lahirlah berbagai organisasi pergerakan nasional. Organisasi pergerakan itu ada yang
bercorak sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan tetapi ada juga
yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada kelompok perempuan. Dalam strategi
ada yang kooperatif dan ada juga non-kooperatif.
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat
sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin
Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908. Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu
kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan.
Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini lahir karena adanya
dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun
1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911
K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI)
oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni
Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes
Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar
Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari bidang keagamaan misalnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, yang didirikan Ahmad
Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial,
pendidikan, dan keagamaan. Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran
AlQuran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf nahi munkar , atau mengajak hal yang baik
dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini
didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji
Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal
jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan
ulama. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua
oraganisasi Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di Indonesia.
Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain didirikannya Perkumpulan
Politik Katolik Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925.
Organisasi ini juga bergerak di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga
bagi kemajuan Indonesia.
Organisasi lain yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan yang bersifat nasional misalnya Taman
Siswa. Organisasi ini didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi
Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal nama Ki Hajar Dewantoro. Tujuannya lebih diarahkan
pada upaya memajukan pendidikan bagi bumiputera. Pendidikan yang ditawarkan adalah sistem
pendidikan nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan asli Indonesia. Asas perjuangan Taman
Siswa adalah “ Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani ”. Dalam
waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak
pendidikan di Indonesia. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, misalnya Perhimpunan Indonesia (PI). Pada
mulanya organisasi ini bernama Indische Vereniging didirikan pada tahun 1908 oleh para
pelajar/mahasiswa yang belajar di negeri Belanda seperti R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono,
dan R. Husein Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para aktivis perjuangan dari Indonesia
seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi ini semakin bernuansa politik
kebangsaan. Bahkan nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada
tahun 1922 dan diubah lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925. Organisasi ini cukup
revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. Majalahnya
sebagai corong perjuangan yang semula bernama “Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia
Merdeka” Asas perjuangannya antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi,
persatuan nasional.
Demi mempertahankan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara rela melelang beberapa barangnya untuk
membayar pajak. Sebuah idealisme dan cita-cita memang harus dibayar mahal.
Sekilas Nama Indonesia
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians (sarjana Jerman) yang diambil dari
Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, adalah Indonesia
seara etngrafi, bukan knsep Indnesia seperti saat ini. selanutnya dalam rapatrapat menelang
kemerdekaan pandangan etngrafi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan tentang nasion yang
saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian menggunakan Indonesia sebagai identitas
dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi Indische
Vereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia.
Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita
Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan
resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu,
semuanya menyebut Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut
“Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan
lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka
menyebut “INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam pimpinan agenda
Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.”
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan
Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk
terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan
Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi
dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia
dengan secepatnya.
Terilhami dengan perkembangan dan perjuangan PI di Belanda, beberapa tokoh pemuda seperti
Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan
pembentukan organisasi semacam PI. Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya,
dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, diresmikanlah berdirinya
partai baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan
kepada Ir. Sukarno. Pada Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah
menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia. Asas
perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi
kerakyatan).
Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya sudah ada, yakni Partai
Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari organisasi Indische
Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet.
Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono. Dengan memperhatikan perkembangan politik,
setelah melalui serangkaian pembahasan, maka pada saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah
menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai
Komunis Hindia. Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah keindonesiaan yakni
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua PKI yang pertama adalah Semaun. Pada tahun
1921 diterapkan disiplin partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus
memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI juga menjadi partai
rakyat yang cepat berkembang.
Masa pergerakan kebangsaan ini juga berkembang organisasi pemuda dan tidak ketinggalan
organisasi para perempuan. Organisasi pemuda yang pertama berdiri di Indonesia adalah Trikoro
Darmo. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah
pembinaan generasi muda di Indonesia. Tokohnya antara lain: Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman.
Nama Trikoro Darmo ini bermakna memiliki tiga tujuan utama yakni: sakti, bud i dan bakti. Tujuan
dan arah gerakan Trikoro Darmo untuk menciptakan wadah pelatihan dan pembinaan generasi
muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional yang cinta tanah air. Anggota Trikoro
Darmo umumnya terdiri atas para pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di lingkungan pemuda ini juga berkembang gerakan kepanduan yang umumnya dimiliki oleh
organisasi induknya. Misalnya Muhammadiyah mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan
(HW). Sementara itu itu di lingkungan kaum wanita juga berkembang organisasi wanita. Organisasi
yang pertama adalah Puteri Mardika. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1912 atas prakarsa BU.
Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan kebangsaan, jelas orientasinya
adalah untuk kemajuan bangsa. Bahkan ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan
bertujuan untuk pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu masih
berkembang sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, untuk memperkuat perjuangan berbagai organisasi menuju cita-cita mulia yakni
pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu
persatuan dan kesatuan. Hal inilah yang mendorong para pemuda berjuang untuk dapat
mempersatukan berbagai organisasi dan partai yang ada di Indonesia.
KESIMPULAN
1. Berbagai kebijakan kolonial yang melahirkan kemiskinan dan penderitaan rakyat telah
mendapat kritik keras dari politikus dan intelektual Belanda C.H. Van Deventer. Kritik itu mendapat
perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah kebijakan meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang dikenal dengan Politik Etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, irigasi/ pertanian,
dan emigrasi/transmigrasi.
2. Bidang pendidikan membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar. Mereka adalah golongan
baru yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi
adalah hal penting yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu ideologi
kebangsaan.
3. Berkembangnya pers atau media cetak telah menggerakkan ide-ide kemajuan, sehingga lebih
memacu berkembangnya ideologi dan pergerakan kebangsaan.
4. Pada Berkembanglah fase kebangkitan nasional. Mulai berkembang berbagai organisasi
pergerakan yang mengusung ideologi kemajuan dan kebangsaan bahkan juga politik untuk
pembebasan rakyat dari penjajahan.
5. Berbagai organisasi yang berkembang di era kebangkitan nasional baik yang bercorak
keagamaan atau yang sekuler, bercorak kedaerahan ataupun yang bersifat nasional, yang kooperatif
ataupun yang non-kooperatif, yang pemuda maupun yang wanita, tampaknya belum mampu
menciptakan persatuan yang kokoh untuk sama-sama melawan penjajah. Mereka masih memikirkan
bagaimana organisasinya berkembang. Hal ini menjadi pemikiran serius dari kalangan pemuda untuk
mewujudkan gerakan persatuan dan kesatuan di antara berbagai organisasi.
B. Sumpah Pemuda: Tonggak Persatuan dan Kesatuan
Gambar pada halaman 201 menunjukkan salah satu situasi Kongres Pemuda II pada tahun 1928 yang
kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Dikaitkan dengan lirik-lirik lagu di atas sangat tepat karena
beberapa lirik lagu itu menggambar isi Sumpah Pemuda. Nah bagaimana proses lahirnya Sumpah
Pemuda tersebut. Pada uraian berikut kita akan belajar tentang serangkaian peristiwa sebelumnya
yang terkait dengan Kongres Pemuda II dan lahirnya Sumpah Pemuda.
1. Federasi dan “Front Sawo Matang”
Pada uraian di depan sudah disebutkan bahwa kaum muda terpelajar belum puas dengan
perkembangan organisasi pergerakan yang belum bersatu. Kesadaran kebangsaan sudah tumbuh,
tetapi masih terbatas pada anggota masing-masing organisasi. Dengan belajar dari perjuangan PI
pemuda semakin bersemangat untuk mewujudkan persatuan di antara organisasiorganisasi
pergerakan yang ada.
Asas perjuangan PI tidak hanya menginspirasi para muda terpelajar, tetapi juga tokoh-tokoh
organisasi pada umumnya. Sebagai contoh Ir. Sukarno. Ia belum juga puas dengan keadaan dan
perkembangan organisasi-organisasi yang ada, termasuk PNI sebagai organisasi yang ia pimpin.
Perkembangan PNI memang sangat pesat tetapi belum mampu membangun jaringan dan kerja sama
dengan organisasi-organisasi yang lain. Oleh karena itu, Ir.Sukarno ingin membentuk wadah yang
merupakan gabungan dari berbagai organisasi. Sukarno pernah membentuk Konsentrasi Radikal
pada tahun 1922. Konsentrasi Radikal dimaksudkan merupakan wadah penyatuan para nasionalis
dan partai-partai yang diwakilinya.
Gagasan tentang persatuan dan kerja sama antarorganisasi itu sudah lama didengungkan oleh PI.
Bahkan “persatuan” menjadi salah satu asas perjuangan PI. Tahun 1926 Moh. Hatta dengan tegas
menyatakan perlunya diciptakan “blok nasional” yang terdiri atas partai-partai politik
(organisasiorganisasi pergerakan), baik yang berbasis komunis maupun yang nasionalis, (baik yang
agamis maupun yang sekuler), guna menghadapi penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Namun
sayangnya pada tahun 1926 dan awal tahun 1927 PKI dengan ambisinya melakukan gerakan sendiri
melawan kekuasaan Belanda dan akhirnya dapat dihancurkan oleh Belanda.
Dengan peristiwa itu, maka tokoh-tokoh pergerakan nasionalis semakin bersemangat untuk
membentuk kekuatan bersama. Apalagi kondisi politik saat itu yang diwarnai dengan sikap keras
dan kejam pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi pergerakan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan kerja sama antara berbagai organisasi pergerakan yang ada. Kebetulan juga pada tahun
1927 telah terbit beberapa surat kabar yang memuat tulisan tentang perlunya mengatasi berbagai
perbedaan untuk membangun kerja sama yang lebih kokoh.
Dalam rangka merealisasikan gagasan tentang persatuan itu, Ir. Sukarno ingin membentuk wadah
persatuan dengan memadukan aliran nasionalisme, Islam dan marxisme, sehingga merupakan
kekuatan moral dan nasionalisme yang kokoh. Ir. Sukarno mendesak para pemimpin organisasi
untuk membentuk sebuah federasi antarpartai dan organisasi yang sekaligus merupakan “front sawo
matang” untuk menghadapi praktik diskriminasi kelompok kulit putih yang merasa superior. Federasi
dalam hal ini harus mencerminkan situasi sosial dan politik di Indonesia dengan berbagai orientasi
dan aliran yang beragam. Mengingat realitas ini maka federasi dibuat longgar dan tidak lebur. Ir.
Sukarno segera menemui beberapa pimpinan organisasi untuk membahas ide persatuan melalui
sebuah federasi. Sukarno juga bertemu dengan Dr. Sukiman sebagai pimpinan Partai Sarikat Islam
(PSI) sebagai organisasi atau partai yang cukup besar di Indonesia. Serangkaian pertemuan dan
diskusi dilakukan untuk membahas tentang pembentukan federasi antarpartai dan organisasi di
Indonesia. Ada pemikiran bahwa organisasi baru hasil federasi itu akan diberi nama “Persatuan
Rakyat Indonesia” (Sardiman AM, 1996).
Untuk membahas secara resmi tentang ide federasi tersebut maka pada tanggal 17-18 Desember
1927 diadakan rapat di Bandung. Hadir dalam rapat itu antara lain perwakilan dari BU, PNI, PSI,
PPKI, beberapa organisasi pemuda seperti Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Pasundan, Kelompok
Studi Indonesia. Mereka sepakat mendirikan sebuah federasi yang diberi nama “Permufakatan
Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI). Kemudian sebelum terbentuk
kepengurusan federasi yang tetap, terlebih dulu dibentuk semacam panitia yang diketuai oleh
Sabirin. Akhirnya terbentuk kepengurusan tetap PPPKI, sebagai berikut.
Dewan Penasihat: Ir. Sukarno dan Dr. Sukiman
Ketua : Iskaq Cokroadisuryo
Sekretaris merangkap Bendahara : Dr. Samsi
Adapun tujuan dari PPPKI adalah sebagai berikut:
1) Mencegah perselisihan antarpartai dan organisasi
2) Menyatukan arah dan cara beraksi dalam perjuangan ke kemerdekaan Indonesia.
3) Mengembangkan persatuan kebangsaan Indonesia dengan berbagai lambangnya, seperti Sang
Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan Bahasa Indonesia.
2. Cita-Cita Persatuan
Munculnya elite baru di kalangan kaum muda terpelajar, telah melahirkan pemahaman baru, yakni
tentang kebangsaan. Kalangan elite baru itu lebih cenderung memilih pekerjaan sebagai guru,
penerjemah, dokter, pengacara, dan wartawan agar dapat memberikan perlindungan dan advokasi
kepada rakyat.
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun dalam
loyalitas kedaerahan. Seperti telah disinggung di depan bahwa pada tahun 1915 telah lahir
organisasi pemuda yang pertama, Trikoro Darmo. Trikoro Darmo ini diharapkan menjadi wadah
pembinaan generasi muda untuk penjadi pemimpin nasional yang memiliki rasa cinta tanah air.
Organisasi Trikoro Darmo dirasakan para anggotanya cenderung Jawa sentris, terutama Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Oleh karena itu, dalam kongresnya di Solo pada 12 Juli 1918, nama Trikoro Darmo
diganti menjadi Jong Java, yang berarti Jawa Muda. Harapannya masyarakat dan komunitas Sunda di
Jawa Barat dan juga Kaum Betawi bisa bergabung dengan Jong Java .
Pada dasarnya Jong Java ini bukan organisasi politik dan anggotanya tidak berpolitik. Organisasi ini
lebih menaruh perhatian pada pendidikan dan pelatihan. Namun dalam perkembangannya atas usul
Samsurijal pada kongers Jong Java tahun 1924, bahwa anggota Jong Java itu dibagi dalam dua
kelompok. Kelompok pertama anggota yang berusia di bawah 18 tahun tidak boleh berpolitik dan
kelompok kedua anggota yang berusia 18 tahun ke atas diizinkan untuk ikut dalam gerakan politik.
Berkembangnya organisasi Jong Java ini telah mendorong munculnya organisasi pemuda di berbagai
daerah. Misalnya pada tanggal 9 Desember 1917 berdiri organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond .
Organisasi ini didirikan oleh para pelajar dan pemuda Sumatera yang ada di Jakarta. Tokohnya
antara lain Moh. Hatta, Muh. Yamin. Tujuannya untuk mempererat tali persaudaraan dan persatuan
antarpelajar dari Sumatera.
Pada tahun 1918 berdiri organisasi pemuda yang bernama Jong Minahasa. Menyusul berikutnya
berdiri Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon, Jong Borneo (Kalimantan). Kemudian Sekar Rukun,
organisasi pemuda dari tanah Sunda yang didirikan oleh para pelajar Sekolah Guru. Organisasi-
organisasi ini berorientasi pada kedaerahan atas dasar prinsip persatuan. Tujuan dikembangkannya
organisasi-oraganisasi itu untuk mempersatukan para pemuda dan pelajar yang merupakan
keturunan dari orang tua yang berasal dari daerah-daerah yang bersangkutan (misalnya anggota
Jong Celebes para pemuda/pelajar keturunan orang tua dari Sulawesi, Jong Ambon , para pemuda
keturunan orang tua dari Ambon, dan begitu seterusnya).
Selain berkembang organisasi pemuda dari berbagai daerah juga muncul organisasi pemuda dari
kelompok agama. Sebagai contoh dari penganut agama Islam muncul organisasi Jong Islamieten
Bond (JIB). Organisasi ini atas ide Agus Salim setelah usulnya untuk memasukkan unsur Islam di
dalam Jong Java , tidak diterima. Oleh karena dibentuk Jong Islamieten Bond untuk mewadahi para
pemuda yang berasal dari kalangan Islam. Sebagai ketua JIB dipercayakan kepada Samsurijal dan
Agus Salim sebagai penasihat. Sekalipun berbasis Islam, JIB memperjuangkan persatuan nasional
Perkembangan organisasi-organisasi pemuda tersebut semakin meramaikan suasana pergerakan
kebangsaan di Indonesia, apalagi setelah beberapa organisasi pemuda mulai bersentuhan dengan
gerakan politik. Sebagai contoh pada lustrum pertama Jong Sumatranen Bond pada tahun 1923.
Dalam lustrum itu Muh. Yamin menyampaikan pidato yang bertajuk; De Maleische Taal in het
verleden, heden en ini de toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang dan Masa Datang).
Muh. Yamin melontarkan gagasan pentingnya sebuah majalah kebudayaan yang diberi nama Malaya
(nama ini dalam rangka mengambil hati penduduk Malaya yang masih berada di bawah penjajahan
Inggris). Gagasan ini dapat dimaknai bahwa perlunya bangsa Indonesia memiliki bahasa pengantar
yang bersumber dari budaya sendiri (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika
Nasionalisme Indonesia, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah , 2012). Begitu juga Jong Java
setelah tahun 1924 nuansa politik semakin jelas. Sementara itu JIB sudah sangat kental dengan
gerakan politik. Dengan demikian, telah terjadi perubahan pesat dan radikal di lingkungan
organisasi pemuda. Organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai citacita persatuan
Indonesia.
Pada tanggal 15 November 1925 dilaksanakan pertemuan organisasiorganisasi pemuda. Hadir dalam
pertemuan itu antara lain perwakilan dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong
Celebes, Pelajarpelajar Minahasa, Sekar Rukun. Dalam pertemuan ini antara lain dibahas tentang
rencana kongres pemuda. Kemudian setelah pertemuan ini juga dibentuk sebuah komite dipimpin
oleh Tabrani. Komite ini diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan kongres pemuda.
Setelah dilakukan berbagai persiapan maka pada 30 April – 2 Mei 1926, diadakannya rapat besar
pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan Kongres Pemuda Pertama. Kongres itu diketuai
oleh M. Tabrani. Tujuan kongres itu adalah untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal,
yaitu membentuk suatu badan sentral. Keberadaan badan sentral ini dimaksudkan untuk
memantapkan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua
perkumpulan pemuda kebangsaan.
Gagasan-gagasan persatuan dibicarakan dan juga dipaparkan oleh para tokoh dalam kongres itu.
Sumarto misalnya, tampil sebagai pembicara dengan topik “Gagasan Persatuan Indonesia”. Bahder
Djohan tampil dengan topik “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Nona Adam yang
menyampaikan gagasannya tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. Djaksodipoero berbicara tentang
“Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”.
Muhammad Yamin berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan
Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan pengulangan dari pidatonya
yang disampaikan dalam Lustrum I Jong Sumatranen Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat
komentar dari Prof. Dr. Hooykes, bahwa kelak Muh. Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia. Dengan demikian,
penggunaan bahasa Belanda dapat semakin terdesak.
Dalam Kongres Pemuda I telah muncul kesadaran dan kesepahaman tentang perlunya bahasa
kesatuan. Pada saat kongres ini telah diusulkan untuk memutuskan bahasa kesatuan yang pilihannya
antara bahasa Jawa atau Bahasa Melayu. Setelah dipilih satu di antara dua bahasa itu akhirnya
dipilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang disebut dengan Bahasa Indonesia. Jadi pada
akhir Kongres Pemuda I itu sudah disepakati dan diputuskan bahwa bahasa persatuan adalah Bahasa
Indonesia. Hanya pada waktu M. Tabrani mengusulkan dan kemudian memutuskan agar Ikrar
Pemuda yang mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dibicarakan lagi pada Kongres
Pemuda berikutnya. Inilah hasil penting dari Kongres Pemuda I.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kongres Pemuda I telah melahirkan keputusan yang
mendasar yakni mengakui dan menerima tentang cita-cita persatuan Indonesia dan bahasa
Indonesia disepakati sebagai perekatnya. Perlu diketahui bahwa usul mengenai bahasa Indonesia itu
sebenanrnya datang dari M. Tabrani. Semula Muh. Yamin agak keberatan, namun setelah berdiskusi
dengan Sanusi Pane dan dan Adinegoro, disepakati yang diusulkan sebagai bahasa persatuan adalah
bahasa Indonesia yang intinya berasal dari bahasa Melayu yang akan diperkaya oleh bahasa-bahasa
lainnya.
3. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Perangkat lunak untuk membangun dan memperkokoh persatuan sudah disepakati, yakni bahasa.
Namun, dalam rangka melawan penjajahan harus juga diwujudkan secara kongkret. Organisasi atau
partai yang berjalan sendirisendiri tentu tidak efektif. Begitu juga organisasi pemuda yang terpisah-
pisah tidak akan bisa melawan penjajahan. Oleh karena itu, setelah Kongres Pemuda I berakhir,
berkembang usulan agar dilakukan penggabungan berbagai organisasi pemuda yang ada. Sebagai
realisasinya maka pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan pertemuan organisasi-organisasi pemuda
di Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu perwakilan antara lain dari Jong Java , Jong Sumatranen Bond,
Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun , Jong Bataks Bond , Jong Celebes, Perhimpunan Pelajar Ambon,
juga dihadiri Komite Kongres Pemuda I. Dalam pertemuan ini diusulkan agar dibentuk badan tetap
untuk keperluan persatuan Indonesia. Berkaitan dengan usulan ini maka tanggal 31 Agustus 1926
telah disahkan Anggaran Dasar untuk suatu perkumpulan atau organisasi pemuda yang baru yang
diberi nama Jong Indonesia . Namun realisasinya belum memuaskan seperti yang diharapkan para
pemuda. Baru pada tanggal 20 Februari 1927 ada pertemuan yang digagas oleh Algemene Studie
Club di Bandung. Pertemuan tersebut berhasil mendirikan organisasi pemuda yang diberi nama Jong
Indonesia . Organisasi ini berdasarkan pada asas kebangsaan atau nasionalisme. Tokoh-tokoh yang
ada di dalam Jong Indonesia itu antara lain: Sutan Syahrir, Suwiryo, Halim, Moh. Tamzil, Yusupadi,
dan Notokusumo.
Di samping organisasi itu, pada bulan September 1926 juga diadakan pertemuan para pelajar atau
mahasiswa. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk perkumpulan yang diberi nama Perhimpunan
Pelajar-Pelajar di Indonesia (PPPI). Anggota umumnya dari para mahasiswa STOVIA dan Sekolah
Tinggi Hukum. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Cita-cita hanya dapat
tercapai bila paham kedaerahan dihilangkan dan perselisihan pendapat di antara kaum nasionalis
harus dihapuskan. Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua perkumpulan
itu Soegondo Djojopoespito, tokoh-tokoh lainnya adalah Muh. Yamin, Abdullah Sigit, Suwiryo,
Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Sunarko, Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering
berkumpul di Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden. Mereka
mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak formal. PPPI memiliki peran
penting dalam pertemuan-pertemuan berikutnya dalam rangka mewujudkan persatuan Indonesia
untuk melawan penjajahan Belanda. Dua oragisasi PPPI dan Jong Indonesia ini memiliki peran
strategis dalam perjuangan pemuda untuk mewujudkan persatuan Indonesia.
Memasuki tahun 1927 perjuangan pemuda mengalami percepatan yang luar biasa. Setiap ide
persatuan untuk membebaskan Indonesia ditangkap dengan segera, baik oleh kelompok pemuda
bahkan juga kelompok tua. Dinamika silaturahmi antarorganisasi terus dilakukan untuk mencapai
kesepatan dan mewujudkan. Gerakan semangat dan gelora perjuangan para pemuda ini semakin
meningkat untuk merapatkan barisan perjuangan di tanah Hindia, karena didukung oleh
bergabungnya tokoh-tokoh dan para pelajar dari Perhimpunan Indonesia yang baru saja kembali ke
tanah air. Di antara mereka adalah Sartono, Moh. Nazif, dan Mononutu. Selama dua tahun itulah
para pemuda mengadakan pertemuan secara intensif di Indonesische Clubgebouw.
Pada tanggal 28 Desember 1927, Jong Indonesia menyelenggarakan kongres di Bandung. Dalam
kongres ini Ir. Sukarno memberikan ceramah yang dapat menambah semangat para pemuda. Dalam
kongres ini juga menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia.
Beberapa keputusan penting dalam kongres ini antara lain:
1. Menetapkan nama Jong Indonesia diganti dengan Pemuda Indonesia
2. Bahasa Indonesia (akhirnya dipilih bahasa Melayu) dijadikan bahasa pengantar organisasi Pemuda
Indonesia.
3. Pemuda Indonesia menyetujui usul PPPI tentang dibentuknya fusi semua organisasi–organisasi
lainnya yang berasaskan kebangsaan.
Selanjutnya untuk merealisasikan gagasan fusi semua organisasi itu, PPPI segerta mengambil
langkah-langkah. Diadakanlah pertemuan untuk membentuk panitia yang dikenal sebagai Panitia
Kongres Pemuda II. Panitia ini akan bertanggung jawab terhadap serangkaian acara seperti
rapatrapat terbuka dan ceramah-ceramah yang menganjurkan dan menguatkan semangat
persatuan. Pada bulan Juni 1928, panitia kongres dibentuk. Terpilih sebagai Ketua Kongres Pemuda II
adalah Soegoendo Djojopoespito dari PPPI. Selengkapnya susunan panitia itu sebagai berikut.
Ketua : Soegoendo Djojopoespito dari PPPI
Wakil Ketua : Djoko Marsaid dari Jong Java ,
Sekretaris : Muh. Yamin dari Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataks Bond
Pembantu I : Djohan Muh. Tjai dari Jong Islamieten Bond
Pembantu II : Kontjosungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon
Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Banyak tokoh-tokoh dari Perhimpunan Indonesia yang memberi saran dan masukan dalam
penyelenggaraan kongres, misalnya Sartono, S.H., Sunario, SH., Moh. Nazif, A.J.Z Mononutu.
Kongres Pemuda II ini dialaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Yang diundang dalam
kongres ini adalah semua organisasi pemuda dan mahasiswa, serta berbagai organisasi dan partai
yang sudah ada. Tampak hadir beberapa tokoh pemuda ataupun tokoh senior, seperti: Soegoendo
Djojopoespito, Djoko Marsaid, Muh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sartono, Kartokusumo,
Abdulrahman, Sunario, Kartosuwiryo, S. Mangunsarkoro, Nonan Purnomowulan, Siti Sundari, Muh.
Roem, Wongsonegoro, Kasmansingodimedjo, dan A.K. Gani. Kongres itu juga dihadiri perwakilan dari
Volksraad dan juga dari pemerintah Hindia Belanda. Diperkirakan hadir lebih dari 750 orang.
Kongres itu dilaksanakan dalam tiga tahapan sidang.
Rapat pertama Dilaksanakan hari Sabtu, 27 Oktober 1928 malam bertempat di gedung Katholik
Jongelingen Bond, Waterloopen . Rapat dibuka oleh Ketua Panitia Kongres Pemuda II. Di dalam
pembukaan ini juga dibacakan amanat tertulis dari Ir. Sukarno, amanat tertulis dari pengurus
Perhimpunan Indonesia yang ada di Belanda. Sementara itu, dalam pidato pembukaan Soegoendo
Djojopoespito menyerukan tentang pentingnya Indonesia Bersatu. Dalam sidang pertama, Muh.
Yamin memberikan ceramah tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia. Dalam ceramahnya itu
Yamin menegaskan ada lima faktor yang dapat memperkuat persatuan bangsa, yakni faktor: sejarah,
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua Rapat kedua dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, berlangsung pukul
08.00-12.00 Sidang dilaksanakan di Oost Java Bioscoop Koningsplein. Rapat membahas hal-hal yang
berkait dengan pendidikan. Beberapa tokoh tampil berbicara misalnya Nona Purnomowulan, S.
Mangunsarkoro. Ki Hajar Dewantoro diharapkan dapat tampil sebagai pembicara tetapi berhalangan
hadir.
Rapat ketiga Rapat ketiga dialksanakan pada hari Minggu 28 Oktober 1928 17.30-20.00 Rapat ini
dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw ., Jl. Kramat Raya 106. Pada rapat ketiga ini
rencananya akan diramaikan dengan acara pawai atau arak-arakan organisasi kepanduan. Namun,
pawai gagal dilakukan karena dihalang-halangi oleh pihak polisi Belanda. Hal ini mengecewakan para
peserta. Walaupun demikian, kekecewaan ini tidak menyurutkan semangat para peserta. Bahkan
sebaliknya semakin membakar semangat para peserta kongres. Pada rapat yang ketiga ini juga diisi
ceramah-ceramah. Misalnya Ramelan menyampaikan tentang gerakan kepanduan. Berikutnya
Sunario menyampaikan materi tentang “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Bangsa” dalam ceramah
ini ditekankan pentingnya persatuan dan kehidupan yang demokratis dan patriotis.
Rapat kemudian diistirahatkan. Pada saat istirahat ini tampillah W.R. Supratman untuk memainkan
lagu yang diberi judul “Indonesia Raya”. Namun untuk menyiasati agar tidak dilarang oleh orang
Belanda yang hadir, W.R. Supratman menampilkan lagu tersebut secara instrumental dengan biola.
Lagu inilah yang kemudian kita kenal dengan Lagu Kebangsaan Indonesia dan bendera Merah Putih
diakui sebagai bendera kebangsaan.
Setelah istirahat kemudian rapat dilanjutkan. Pada puncak Kongres Pemuda II ini diikrarkan sebuah
sumpah yang kemudian kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda senantiasa menjadi keputusan
penting yang historismonumental dalam Kongres Pemuda II. Naskah rumusan ikrar Sumpah Pemuda
ini selengkapnya dirumuskan oleh Muh. Yamin. Naskah selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut.
Kepoetoesan Kongres Pemoeda-Pemoedi Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia diadakan oleh perkoempoelanperkoempoelan Indonesia
berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra Bond (Pemoeda Soematra),
Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islameten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi
dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta.Sesoenggoehnja
mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan di dalam kerapatan tadi sesoedahnja
mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan ini.
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia
Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh
segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar
persatoeannja: Kemaoean, Sejarah, Bahasa, Hoekoem adat, Pendidikan dan kepandoean.
Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala surat kabar dan
dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.
Setelah Kongres Pemuda II berakhir, perkumpulan-perkumpulan pemuda segera menyiapkan untuk
melakukan proses fusi. Bahkan Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar dan tertua
mengadakan kongres tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta memutuskan menyetujui untuk
ikut fusi di dalam perkumpulan pemuda baru yang akan segera dibentuk.
Sebagai pematangan persiapan fusi, pada tanggal 24 April dan 25 Mei 1929 diadakan pertemuan di
gedung Indonesia Clubgebouw yang dihadiri perwakilan perkumpulan pemuda seperti perwakilan
Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan ini disepakati hasil fusi
akan melahirkan organisasi pemuda yang baru yang berdasarkan pada kebangsaan Indonesia. Untuk
itu dibentuklah suatu komisi besar yang anggotanya diambil dari berbagai organisasi pemuda.
Berdasarkan perwakilan dari masing-masing organisasi itu disusunlah struktur Komisi Besar
Indonesia Muda, sebagai berikut.
Ketua : Kuntjoropurbopranoto
Wakil Ketua : Muh. Yamin
Penulis I : Joesoepandi
Penulis II : Sjahrial
Bendahara I : Assaat
Bendahara II : Soewadji Prawirohardjo
Administratie I : A.K. Gani
Administratie II : Mohammad Tamzil
Pembantu : G.R. Pantouw Pembantu : Surjadi
Selanjutnya Komisi Besar Indonesia Muda ini menyelenggarakan kongres pada tanggal 28 Desember
1930 - 2 Januari 1931 di gedung Habiprojo Surakarta. Dalam kongres ini diputuskan organisasi baru
sebagai hasil fusi berbagai organisasi pemuda yang diberi nama Indonesia Muda. Tepat pukul 12.00
WIB semua hadirin diminta untuk berdiri dan piagam pendirian Indonesia Muda dibacakan. Pada
saat itu Panji-panji Indonesia Muda berkibar untuk selama-lamanya diiringi bunyi gamelan, setelah
gamelan berhenti semua pemuda yang hadir menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat diresmikan Indonesia Muda sudah memiliki 25 cabang di seluruh Indonesia dengan 2.393
anggota (Restu Gunawan, “Pemuda dan Perempuan dalam Dinamika Nasionalisme Indonesia”,
dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dengan berdirinya Indonesia Muda secara
otomatis perkumpulan atau berbagai organisasi pemuda yang ada menyatakan membubarkan diri.
Tujuan organisasi Indonesia Muda ini adalah membangun dan mempertahankan keinsyafan antara
anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. Karena Indonesia Muda berusaha
memajukan rasa saling menghargai dan memelihara persatuan semua anak bangsa, menjalin kerja
sama dengan semua komponen bangsa, mengadakan kursus-kursus untuk memberantas buta huruf,
memajukan kegiatan olah raga, dan lainlain.
4. Nilai-nilai Penting Sumpah Pemuda
Menurut Taufik Abdullah, kisah Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda
memperlihatkan pada kita tentang satu hal yang menarik dalam pengetahuan masa lalu kita.
Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu produk dari
berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan “Kongres Pemuda”.
Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan fundamental dari sebuah bangsa yang masih dalam
tahap pembentukan. Ia terbentuk melalui kurun yang waktu panjang. Tujuh tahun setelah
terbentuknya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai bangkit meskipun masih dalam tahapan
loyalitas kepulauan. Perubahan pesat dan radikal dari organisasi-organisasi pemuda itu mendorong
mereka untuk menciptakan persatuan yang lebih luas.
Dengan demikian, jelas nilai yang utama dari peristiwa Sumpah Pemuda adalah nilai persatuan.
Persatuan yang diilhami oleh asas perjuangan Perhimpunan Indonesia ini sudah lama diperjuangkan
oleh para pemuda. Para pemuda dengan memahami sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia,
telah melahirkan kesadaran yang mendalam tentang pentingnya persatuan. Kiranya dapat cermati
bagaimana ratusan tahun bangsa kita berjuang untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajahan.
Aceh berjuang, Banten, Mataram, Makassar, Maluku, tetapi gagal karena mereka berjuang di
daerahnya sendiri-sendiri. Selanjutnya Patimura, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Diponegoro,
Imam Bonjol, Cut Nyak Dien juga kandas tidak mampu mengusir penjajah karena tidak ada saling
membantu di antara mereka. Mereka belum mampu menjalin persatuan di antara mereka. Begitu
juga di era modern BU, SI, Indische Partij, PSI, PKI, PNI belum berhasil membebaskan Indonesia dari
cengkeraman penjajah. Setiap organisasi masih cenderung berjuang dengan organisasinya sendiri.
Oleh karena itu, berbagai organisasi pemuda berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan persatuan
di antara anak bangsa, minimal di kalangan pemuda. Lahirnya Indonesia Muda diharapkan dapat
menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk menciptakan Indonesia Raya, membebaskan diri
dari penjajahan, dan akhirnya tercapai kemerdekaan.
Nilai berikutnya, adalah kemandirian, jati diri, kedaulatan atau penguatan nasionalisme. Secara tidak
langsung dengan peristiwa Sumpah Pemuda, para pemuda telah meneguhkan pentingnya jati diri
Indonesia, penguatan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Hal ini tercermin dalam ikrar satu
tanah air, satu bangsa dan keikhlasan menjunjung satu bahasa: INDONESIA.
Pernyataan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia ini menunjukkan adanya kesadaran yang amat
tinggi tentang jati diri dan semangat kebangsaan kita semua sebagai orang Indonesia. Di dalam jati
diri dan ruh kebangsaan itu tentu mengandung kemandirian, kalau bangsa ini mandiri berarti
berdaulat, berdaulat berarti tidak dijajah orang lain, itulah kemerdekaan.
Di balik peristiwa Sumpah Pemuda, juga terkandung nilai demokrasi. Setelah Sumpah Pemuda
diikrarkan, persatuan diwujudkan maka langkah-langkah perjuangan pun dilaksanakan. Dalam
mewujudkan cita-cita Indonesia Raya, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa perlu ada program-
program kebersamaan, saling menghargai, dan rembug bareng di antara komponen bangsa untuk
memajukan bangsa. Setelah maju dapat mandiri dan bedaulat. Bahkan dalam strategi politik para
pemuda juga mengembangkan sikap saling menghargai baik yang mengambil langkah kooperasi
maupun nonkooperasi. Mereka dalam berjuang tidak lagi dengan fisik dan kekerasan tetapi dengan
bermusyawarah, berdemokrasi misalnya melalui Volksraad .
Di depan sudah disinggung bahwa pada tahun 1926 telah menunjukkan perubahan dalam orientasi
perjuangan bagi organisasi pergerakan kebangsaan. Pendekatan dan strategi perjuangan mulai
dimantapkan. Orientasi dan pendekatan politik semakin terbuka. Semangat persatuan dan kesatuan
mulai digelorakan. Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda secara nyata
mengembangkan semangat persatuan dan kebangsaan. Di samping itu, Sumpah Pemuda secara
tidak langsung telah memberikan pelajaran tentang nilai-nilai jati diri dan demokrasi. Dengan
dipelopori organisasi pemuda, nilai dan semangat keindonesiaan untuk memperkokoh jati diri dan
kemandirian juga semakin memantapkan perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan politik melaluiV
olksraad telah juga menjadi ajang yang penting untuk menunjukkan salah satu strategi perjuangan
bangsa yang lebih demokratis.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Sumpah Pemuda telah menjadi tonggak sejarah dalam
mengompakkan perjuangan seluruh warga bangsa Indonesia dalam upaya mengusir penjajah.
Sekalipun perjuangan belum berlabuh pada tujuan yang diharapkan tetapi semua itu, baik
perjuangan yang bersifat kooperatif dan non-kooperatif, perjuangan melaluiV olksraad maupun di
luarV olksraad telah menunjukkan eksistensi bangsa Indonesia dalam berjuang untuk mengusir
penjajahan menuju kemerdekaan bangsa.

KESIMPULAN
1. Memasuki tahun 1926 gagasan tentang persatuan antarorganisasi dan komponen bangsa
semakin menguat.
2. Ir. Sukarno berusaha menyatukan berbagai organisasi dan partai yang ada. Tahun1927 telah
membentuk: ”Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Bahkan sebelum yakni tahun 1922 Sukarno telah membentuk Konsentrasi Radikal.
3. Berbagai organisasi pemuda berusaha mewujudkan cita-cita persatuan. Tahun 1926 diadakan
Kongres Pemuda I. Dalam kongres ini semakin kuatnya untuk mewujudkan persatuan antara semua
unsur dan disepakati untuk membentuk organisasi pemuda yang baru sebagai hasil fusi
antaraorganisasi pemuda yang ada. Disepakati perlunya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
4. Sumpah Pemuda sebagai klimak agenda dalam Kongres Pemuda II, 28-101928 dengan ikrarnya
satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, merupakan peristiwa dan sangat penting yang historis-
monumental dalam dinamika perjuangan bangsa menuju cita-cita persatuan Indonesia.
5. Sumpah Pemuda memiliki nilai-nilai yang sangat bermakna dalam menuju cita-cita Indonesia
Merdeka. Nilai-nilai persatuan, jati diri/semangat kebangsaan dan demokrasi merupakan nilai-nilai
yang sangat penting artinya bagi perjuangan rakyat Indonesia pada masa-masa berikutnya, yang
secara nyata menunjukkan identitas keindonesiaan. Indonesia Raya, Indonesia Merdeka sebagai
tujuan utama.
c. Penguatan Jati Diri Keindonesiaan
Kalau kita perhatikan isi Sumpah Pemuda merupakan suatu peristiwa komitmen dan kebulatan tekad
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu dan tanah air yang satu, serta menjunjung bahasa
persatuan yang satu, bahasa Indonesia.
Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki makna yang strategis dalam rangkaian untuk
mengembangkan rasa persatuan dan proses penguatan jati diri bangsa, bangsa Indonesia. Karena hal
yang sangat menonjol, setelah terjadinya Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi dan partai yang ada
secara tegas mendasarkan jiwa dan semangat keindonesiaan. Partai atau organisasi politik yang
belum mencatumkan namanya dengan kata Indonesia, mulai menambahkan nama Indonesia,
misalnya Partai Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia.
Pada bagian ini kita akan mendalami tentang materi yang terkait dengan “Penguatan Jati Diri
Keindonesiaan” sebagai implikasi dari semangat Sumpah Pemuda.
1. Politik untuk Kesejahteraan dan Kejayaan
Perlu dipahami bahwa dengan berkembangnya organisasi di kalangan pemuda juga diikuti oleh
berkembangnya organisasi wanita atau perempuan di Indonesia. Pada tahun 1912 berdiri organisasi
perempuan yang pertama yakni Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu bertujuan untuk membantu
bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan
pendapat di muka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang mulia. Berbagai
aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan
dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam
kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun
Tondokusumo. Kartini Fonds , didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat
Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini.
Setelah itu, muncul dan berkembang organisasi perempuan di berbagai daerah, juga organisasi-
organisasi perempuan sebagai bagian dari organisasi yang sudah ada, seperti organisasi wanita di
Muhammadiyah, organisasi wanita di Taman Siswa, organisasi perempuan di BU, dan begitu
seterusnya.
Berkembangnya berbagai organisasi wanita tersebut mendorong pergerakan wanita untuk lebih
berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan. Wanita yang mengenyam
pendidikan juga semakin banyak. Dengan demikian, wawasan mereka juga semakin berkembang
untuk memberi dukungan terhadap organisasi-organisasi pergerakan pada umumnya.
Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda tersebut nampaknya
ikut menyemangati perjuangan organisasi pergerakan perempuan di Indonesia. Seide dengan
pelaksanaan Kongres Pemuda II itu kemudian organisasi-organisasi wanita yang telah berkembang di
berbagai daerah di Indonsia itu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember
1928, di Pendopo Joyodipuro, yang dipimpin oleh Ny. R.A. Sukanto. Kongres itu diprakarsai oleh Ny.
Sukoto, Nyi Hajar Dewantara, dan Nn. Suyatin. Kongres itu bertujuan untuk menjalin persatuan di
antara perkumpulan wanita, dan memajukan wanita. Dalam Kongres Perempuan Indonesia I itu
dihadiri oleh 30 organisasi wanita. Kongres Perempuan Indonesia I itu merupakan bagian penting
bagi Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Untuk mengenang sejarah kongres perempuan maka
setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi itu berubah nama sebagai Perserikatan Perhimpunan
Istri Indonesia (PPPI). Perjuangan organisasi itu semakin kuat dengan didirikannya Isteri Sedar dan
Istri Indonesia. Isteri Sedar didirikan oleh Suwarni Pringgodigdo (1930), di Bandung. Organisasi itu
bertujuan meningkatkan kesadaran wanita Indonesia untuk memperkokoh cita-cita Indonesia
Merdeka. Organisasi ini sejalan dengan PNI, yang menolak poligami. Selanjutnya Istri Indonesia
didirikan 1932. Organisasi itu didirikan berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Tujuan Istri
Indonesia adalah mencapai Indonesia Raya dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah Belanda.
Tokoh-tokoh organisasi itu adalah Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan Maria Ulfah Santoso. Kongres
Perempuan I dan juga semakin meningkatnya gerakan organisasi wanita telah ikut mendorong bagi
kemajuan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan. Kejayaan ini dalam rangka
menuju cita-cita kemerdekaan. » Organisasi kaum perempuan juga memiliki andil yang cukup
penting dalam ikut memajukan masyarakat Hindia yang sedang dijajah oleh Belanda. Coba jelaskan
bagaimana peran organisasi perempuan dalam membantu memajukan bidang pendidikan saat itu.
2. Pemuda yang Berpolitik
Seperti telah dijelaskan bahwa pada tahun 1931 secara resmi telah berdiri organisasi pemuda hasil
fusi yang bernama Indonesia Muda. Mereka para anggota penuh semangat untuk memperjuangakan
Indonesia Bersatu, Indonesia yang merdeka.
Pada mulanya perkumpulan Indonesia Muda tidak diperbolehkan terlibat dalam politik. Tekanan
pemerintah terhadap larangan berpolitik mendorong anggota Indonesia Muda untuk mendirikan
perkumpulan lain, bahkan tersebar di berbagai organisasi politik atau golongan yang ada. Pada 1931,
orang-orang PNI Baru di Malang mendirikan Suluh Pemuda Indonesia yang bercorak Marhaen.
Partindo di Yogyakarta mendirikan Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpri). Dari perkumpulan
Islam misalnya, berdiri JIB bagian keputrian, Pemuda Muslim Indonesia, Pemuda Muhammadiyah,
Pemuda Perserikatan Ulama, Pemuda Persatuan Islam, dan Anshor NU. Dari pemuda Kristen
misalnya, lahir Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen, sementara pemuda Katholik melahirkan
Mudo Katholik dari partai politik Suluh Pemuda Indonesia, barisan Pemuda Gerindo, Jajasan Obor
Pasundan. Perkumpulan lainnya seperti, Taman Siswa, Persatuan Pemuda Teknik, Persatuan Putri
Cirebon, Kebangunan Sulawesi, dan Minangkabau. Di dalam organisasi ini para pemuda dapat
bersentuhan dengan kegiatan politik sesuai dengan dinamika organisasi induknya.
Dalam gerakannya para pemuda juga melakukan kegiatan kepanduan. Kepanduan itu berasal dari
kepanduan Jong Java , Pemuda Sumatera, dan organisasi pemuda lainnya. Di samping itu juga berdiri
kepanduan berdasarkan kebangsaan dan keagamaan, seperti Natipy, Hizbul Wathon, Siap, dan
Kepanduan Rakyat Indonesia.
Kepanduan itu mengambil azas dari kepanduan dunia, yang berisi tentang memberikan pelajaran
dalam bentuk segala permainan dan kecakapan pandu, untuk meningkatkan kesehatan para
pemuda. Dalam kegiatan kepanduan ini para pemuda dengan payung kegiatan kesehatan bisa
dikaitkan dengan pembinaan disiplin seperti baris-berbaris. Dari kegiatan ini dapat ditumbuhkan
semangat termasuk kemudian semangat patriotisme dan nasionalisme, atau cinta tanah air seperti
yang dikembangkan di lingkungan Hizbul Wathon.
3. Nasionalisme yang Revolusioner
Sebagai seorang terpelajar Sukarno, muncul sebagai seorang pemuda cerdas yang memimpin
pergerakan nasional baru. Ia mendirikan partai dengan nama Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927).
Partai itu bersifat revolusioner, sebelumnya partai itu bernama Algeemene Studie Club. Sukarno
memimpin partai itu hingga Desember 1929. Jumlah anggotanya hingga saat itu mencapai 1000
orang.
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 1927. Pada 28 Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar
tentang tanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Pernyataan
Sumpah Pemuda itu membawa dampak luas pada masyarakat untuk menumbuhkan nasionalisme
yang kuat. Di daerah-daerah munculnya nasionalisme yang digerakkan oleh tradisi dan agama.
Mereka terinspirasi oleh para pemimpin pergerakan nasional yang ada di Jakarta.
Oleh karena itu, perlawanan terhadap kekuasaan kolonial pada masa pergerakan banyak berbasis
pada masalah perkumpulan agama. Di pihak lain, karena gerakangerakannya yang cenderung keras,
komunis merupakan target langsung dari pemerintah Belanda. Namun demikian, Belanda tidak
dapat mempertahankan kekuasaan mereka di daerah-daerah yang berbasis komunis. Pada saat itu
semangat untuk memerangi imperialisme dan kolonialis begitu kuat di lingkungan pengikutpengikut
PKI. Pengikut Tan Malaka masih terus dapat mempertahankan kerangka struktur yang biasanya
dilakukan melalui kontak pribadi di desadesa atau bekerja sama dengan organisasi-organisasi agama
lainnya.
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus menggelorakan programprogram perjuangan.
Kritik tajam terhadap kekejaman kolonialisme dan imperialis terus dilancarkan. Oleh karena itu, PNI
di bawah pimpinan Ir. Sukarno terus mendapat tekanan dari Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI
karena aksi-aksi yang dengan radikal terhadap pemerintah Belanda, akhirnya ditangkap dan diadili.
Menjelang vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk
membakar semangat para pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian dibukukan dengan
judul: “Indonesia Menggugat”.
Pidato pembelaan Bung Karno yang kemudian diberi judul Indonesia Menggugat itu telah ikut
membangun kesadaran tentang dampak penjajahan dan imperialisme modern yang akan membawa
kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, setiap organisasi dan partai yang berjiwa
kemerdekaan akan menolak dan melakukan perlawanan terhadap kekejaman penjajah dan
imperialisme (baca: Indonesia Menggugat. Pidato Bung Karno tentang Indonesia Menggugat itu
telah ikut mendorong terjadinya penguatan kesadaran sebagai bangsa yang harus merdeka.
Pidato pembelaan Bung karno yang cukup kritis dan keras untuk tidak mempengaruhi pendirian
hakim. Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman kurungan kepada Sukarno. Ia ditahan di
Penjara Sukamiskin selama empat tahun terhitung Desember 1930. Selama Sukarno menjalani masa
penahanannya PNI pecah menjadi dua, Partai Indonesia (Partindo) dipimpin oleh Sartono dan
Pendidikan Nasional Indonesia Baru dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Syahrir. Setelah bebas
Sukarno masuk dalam Partai Indonesia.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada mobilisasi massa, sedangkan Hatta dan
Sjahrir lebih menekankan pada organisasi kader yang akan menentang tekanan pemerintah kolonial
Belanda dengan keras dan lebih menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian,
kedua strategi politik itu belum mencapai hasil yang maksimal. Akhirnya, ketiga tokoh itu ditangkap
dan diasingkan oleh Belanda dan ditahan serta diasingkan pada 1933. Kedua organisasi yang
didirikan oleh ketiga tokoh itupun dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Sukarno dengan ide-ide nasionalisme itu memang terus diawasi. Selepas dari penjara Sukamiskin
kemudian diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia ditempatkan di sebuah rumah (konon
rumah ini milik Haji Abdullah). Bersama keluarganya, Sukarno selama empat tahun (1934-1938)
diisolasi dijauhkan dari dinamika perjuangan kebangsaan. Tetapi ide dan semangat nasionalismenya
tidak pernah padam. Dikisahkan di pengasingan itu Sukarno sering merenung di bawah pohon sukun
yang ada di dekat rumah itu. Kebetulan pohon sukun itu bercabang lima. Ia merenungkan nilai-nilai
luhur yang ada dalam kehidupan Bangsa Indonesia sejak zaman Praaksara. Nilai-nilai itulah yang
kemudian dirumuskan menjadi nilai-nilai dalam Pancasila. Menurut Cindy Adam, Sukarno memberi
nama Pancasila itu karena terinspirasi dengan pohon sukun yang bercabang lima dan daun sukun
yang memiliki lima sirip kanan, kiri, dan tengah.
Sukarno ternyata tidak hanya diisolasi, sebagai tahanan pemerintah, Sukarno justru masih harus
berjuang untuk menghidupi anggota keluarganya. Inilah perjuangan dan pengorbanan yang harus
dilakukan Sukarno di pengasingan.
Sungguh sebuah pengorbanan yang dilakukan Sukarno. Kalau ia mau bekerja untuk Belanda tentu
akan menjadi orang yang kaya raya bersama keluarganya. Tetapi ia tidak memilih itu. Ia memilih
berjuang bersama rakyat, sekalipun harus miskin, harus dipenjara di Sukamiskin.
4. Volksraad: Wahana Perjuangan
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergerakan untuk menentang
Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia
(Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung
menampakkan faham fasisme internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo
pemimpinnya berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya. Gerindo
sebagai partai yang berpaham marxis lebih menunjukkan sikap anti kolonialisme, anti-Eropa dan
antikapitalisme. Desakan-desakan untuk kemerdekaan nasional sangat kuat dan radikal. Organisasi
itu juga tidak sepaham dengan sistem feodalisme, nasionalisasi perusahaan-perusahaan kapital dan
restorasi hak-hak tanah pribumi.
Sementara itu, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939. Tokoh pendiri GAPI
adalah Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu, Gerindo berada dalam satu arah dengan
Parindra yang dipimpin oleh Thamrin dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra adalah partai politik
Indonesia yang paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di volksraad.
Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam Volksraad yang disebut Fraksi
Nasional.
Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan perjuangan maka dibentuklah
fraksi baru dalam volksraad yang bernama Fraksi Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu
diketuai oleh Muhammad Husni Thamrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal dari Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan. Tujuan organisasi itu adalah menjamin kemerdekaan Indonesia dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi Nasional. Mereka mengecam
tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Atas usulan Fraksi Nasional itu volksraad meninjau ulang kebijakan pemerintah
kolonial. Pemerintah kemudian mengusulkan perkara yang dituduhkan kepada para pemimpin ke
pengadilan tinggi, bukan pengadilan negeri. Akan tetapi permintaan itu ditolak, karena masalah itu
menyangkut masalah perbuatan pidana, bukan masalah pelanggaran politik. Jelaslah bahwa gerakan
yang dilakukan oleh kaum pergerakan dianggap sebagai kejahatan yang mengganggu keamanan
bukan sebagai gerakan politik.
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat pertahanan yang dapat
menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi
saat itu sedang mengalami depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk
meningkatkan kesejateraan rakyat. Sementara pengawasan dalam bidang politik semakin diperketat
dengan adanya bermacam-macam larangan, seperti larangan berkumpul, pembredelan surat kabar,
dan propaganda. Fraksi Nasional juga mendorong anggotanya untuk lebih berperan dalam
Volksraad. Para nasionalis di Volksraad diminta untuk bersikap nonkooperasi.
Meskipun aspirasi masyarakat sudah mendapat tempat, melalui perjuangan yang bersikap moderat
dalam perjuangannya, rasa tidak puas terhadap pemerintah terus berkembang. Kericuhan sempat
muncul dengan adanya Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu
menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan yang disebabkan oleh
tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah. Situasi politik dunia saat itu, yaitu sedang
berkembangnya naziisme dan fasisisme seharusnya membuat pemerintah waspada melihat bahaya
yang mungkin mengancam Indonesia, sehingga perlu mempererat hubungan dengan Pergerakan
Nasional Indonesia.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamong Praja
Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad, mendapat dukungan dari beberapa wakil
golongan dan daerah dari Volksraad mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil
Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dapat
berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda. Petisi itu melahirkan pro dan
kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.
Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya disampaikan pada
pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Partai Nasional saat itu memperingatkan para
pendukung petisi, bahwa tindakan yang diambil itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat, seperti Volksraad sehingga usaha itu sia-sia belaka. Pendukung petisi itu tidak
menghiraukan peringatan itu, bahkan membentuk suatu komite agar petisi itu mendapat dukungan
luas di kalangan rakyat. Kondisi itu tidak hanya bergerak di Indonesia saja, bahkan hingga ke negeri
Belanda, sehingga menyetujui petisi itu.
Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938.
Alasan penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab memerintah diri
sendiri. Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang
merdeka. Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak pergerakan
nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah menduga sebelumnya. Realitas itu
menunjukkan bahwa tuntutan rakyat Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.
PETISI SUTARDJO:
1. Volksraad sebagai parlemen sesungguhnya,
2. Direktur departemen diberi tanggungjawab,
3. Dibentuk Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia yang
anggotanya merupakan wakil kedua belah pihak,
4. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya, asal usulnya, dan cita-
citanya memihak Indonesia.
a. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari
dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai
adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum
kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah
yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama,
yang lainnya I.J. Kasimo,.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan organisasi politik dalam suatu
bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan
lainnya adalah Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI
adalah adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. Juga sikap pemerintah
yang kurang memperhatikan kepentingan Bangsa Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang
diperoleh negara fasis yaitu, Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers
Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali barisan dalam suatu wadah persatuan berupa
“konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu menyadarkan dan
menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan sendiri, serta menyadarkan
pemerintah Belanda akan citacita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan
dengan organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan Bangsa Indonesia. Pada 21
Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi
yang merupakan kerja sama partai politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai
Politik Indonesia (GAPI).
Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri;
persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham
politik, ekonomi, sosial, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4
Juli 1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI tidak menuntut
kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan sendi demokrasi.
Untuk mencapai tujuannya, GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia agar didukung oleh semua
lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan
rapat umum. Tidak kurang dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga
suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar, PNI Baru, dan
Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI. Mereka berpendapat tidak ada
gunanya bersifat meminta-minta kepada Belanda.
Untuk mencapai tujuannya, GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan kongres untuk
kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting
lainnya adalah penetapan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan Indonesia. Juga penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa rakyat Indonesia.
Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia, GAPI mengeluarkan Manifest GAPI (20 September 1939). Isi
manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya
fasisme. Menurut GAPI usaha itu lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberi hak baru dalam urusan
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari, oleh rakyat, dan
pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat
perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan
ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi
resolusi adalah mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih rakyat dan
mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Bagi rakyat serta organisasi lainnya yang tidak bergabung dalam GAPI diminta untuk mendukung
GAPI. Resolusi itu dikirimkan ke gubernur jenderal, Volksraad , Ratu Wilhelmina, dan kabinet
Belanda di London.
Aksi gigih yang dilakukan itu menghasilkan persetujuan pemerintah. Pada 14 September 1940
dibentuk Commissie tot besudeering van staatsrechtelijke
Hervormigen . Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai oleh D. Visman.
Pembentukan komisi itu tidak mendapat sambutan baik dari Volksraad maupun dari GAPI sendiri.
Ketidaksetujuan itu didasarkan dari pengalaman sebelumnya, bahwa pembentukan komisi tidak
menghasilkan perbaikan nasib rakyat seperti yang diinginkan. Untuk menghindari ketidaksamaan
pendapat dalam menghadapi komisi Visman, GAPI meminta anggota-anggotanya untuk tidak
memberikan pendapatnya sendiri-sendiri. Sikap GAPI menjadi lunak ketika menerima undangan
secara resmi dari komisi Visman. Sementara itu Volksraad mengajukan suatu mosi yang lebih ringan
dengan mengajak kerja sama pemimpin Indonesia dan pemerintah Belanda.
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi Visman pada 14 Februari 1941 di Gedung Raad van Indie , di
Jakarta tidak menghasilkan hal baru. Pertemuan itu hanya menambahkan kekecewaan pada
kalangan pergerakan sehingga ada anggapan GAPI tidak radikal lagi.
Tentang Penguatan Jatidiri Kebangsaan selengkapnya kamu bisa membaca buku dari Taufik Abdullah
dan A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012, juga buku Suhartono, Sejarah Pergerakan
Nasional: dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 -1945, juga buku Siti Waridah Q (dkk), 1997,
Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia, buku Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar:
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, 2003, juga buku Susanto Tirtoprodjo,
Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, 1960 .
5. Tamatnya Kemaharajaan Belanda
Ratusan tahun sudah Belanda membangun kemaharajaan di Kepulauan Indonesia, di tanah Hindia
Belanda. Secara interen pejuang dan para pemuda yang kemudian berpolitik untuk mewujudkan
persatuan guna melawan penjajahan. Roda kebangsaan digerakkan untuk melawan ganasnya roda
kolonialisme dan imperialisme. Tetapi tampaknya roda kolonialisme dan imperialisme itu masih
cukup kokoh. Tetapi para pejuang dan intelek muda kita tidak pernah putus asa. Roda kebangsaan
terus digerakkan di berbagai penjuru yang dipandang memungkinkan untuk mendapatkan
kebebasan termasuk melalui Volksraad.
Kebijakan politik etis telah diterapkan sebagai pengaman dari sebuah pertanggungjawaban
pemerintah kolonial terhadap negeri jajahan yang rakyatnya sudah lama dibuat menderita. Pintu
pendidikan dan politik bagi kaum bumiputera, dibuka untuk memberi kesempatan para pejuang kita
untuk mengekspresikan strategi perjuangannya secara lebih demokratis, berbeda dari perjuangan
masa-masa sebelumnya. Tetapi semua ini tidak dapat berjalan cepat sebagaimana harapan para
pejuang pergerakan kebangsaan. Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Belanda tampak masih
mampu mengontrol para pejuang kita. Masuknya bumiputera sebagai anggota Volksraad bukan
berarti kaum bumiputera diberi hak penuh untuk menyuarakan pendapatnya. Namun setidaknya
Volksraad sudah memberikan peluang para wakil Hindia, yang membukakan wawasan mereka
perlunya persatuan untuk melakukan gerakan nasional dalam melawan dominasi kolonialisme dan
imperialisme Belanda.
Di tengah-tengah roda pergerakan kebangsaan bergesekan dan beradu dengan roda kolonialisme
dan imperialisme, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah membuat skenario baru, yakni berkobarnya Perang
Dunia II. Perang itu pun dengan cepat menjalar ke Indonesia yang ditandai dengan datangnya
tentara Jepang yang kemudian ikut menyudahi kemaharajaan Belanda di Indonesia.
KESIMPULAN
1. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang sangat penting dalam upaya membangun jati diri
bangsa Indonesia.
2. Melalui Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 telah digelorakan semangat
persatuan dan kesatuan yang sangat penting artinya bagi perjuangan rakyat Indonesia pada masa-
masa berikutnya, dengan secara nyata menunjukkan identitas keindonesiaan. Indonesia merdeka
sebagai tujuan para pemuda.
3. Berkembang pula nasionalisme modern yang revolusioner seperti dipelopori Sukarno.
4. Dalam perkembangannya muncul organisasi-organisasi baru yang bersikap kooperatif dalam
rangka mengembangkan demokrasi dengan prinsip musyawarah. Oleh karena itu, berbagai bentuk
strategi organisasi-organisasi pergerakan nasional dalam menghadapi kekuasaan kolonial dilakukan
dengan kooperasi dan non-kooperasi.
5. Parindra merupakan organisasi yang berbentuk nasional dan mempunyai strategi perjuangan
dengan aksi politik Volksraad sebagai media perjuangan.
6 Di tengah-tengah pergesekan kekuatan pergerakan kebangsaaan dan kekuatan kolonialisme
sedang berlangsung Perang Dunia II berkecamuk. Kedatangan Jepang telah mempercepat tamatnya
kemaharajaan Belanda di Indonesia.
BAB I Perjuangan Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa
Musuh terbesar bangsa kita bukan yang datang dari luar, tetapi ancaman disintegrasi yang berasal
dari dalam sendiri (C.S.T. Kansil, 2005)
Tahukah kalian bahwa sesudah 40 tahun lamanya, baru pertama kali peringatan Hari Kebangkitan
Nasional tanggal 20 Mei, diselenggarakan pada tahun 1948. Awalnya, peringatan tersebut
merupakan anjuran Bung Karno agar pemerintah menyelenggarakannya secara besar-besaran.
Untuk itu, diangkatlah Ki Hajar Dewantara sebagai ketua panitia peringatan. Mengapa peringatan ini
dilaksanakan? Ki Hajar Dewantara menjawab hal tersebut, dengan mengatakan:
“Itulah sebenarnja maksud dan tudjuan Bung Karno, ketika ia mengandjurkan supaja hari 20 Mei
tahun 1948 dirajakan setjara besar-besaran. Hari itu olehnja dianggap sebagai hari bangunnja rakjat,
hari sadarnja serta bangkitnja rasa kebangsaan Indonesia, pada tahun 1908, empat puluh tahun
sebelum itu adjakan Bung Karno tadi terbukti sangat ditaati oleh semua golongan rakjat. Mulai
golongan-golongan jang berada di luar gerakan politik, sampai dengan partai, mulai jang paling
kanan sampai jang paling kiri, ikut serta secara aktif, dan bersama-sama merajakan hari 20 Mei
tahun itu sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, sebagai Hari Kesatuan Rakjat Indonesia”. (C.S.T.
Kansil, 2005). Jadi, makna peringatan Kebangkitan Nasional sebagaimana dimaksud Bung Karno di
atas, adalah untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi Belanda yang
hendak menjajah kembali Indonesia. Apalagi di awal tahun itu muncul pula kelompok dengan garis
perjuangan ideologi yang dapat menghancurkan integrasi bangsa dan ideologi negara Indonesia.
Awal tahun 1948, Muso baru kembali dari Moskwa dengan menawarkan doktrin “Jalan Baru”
sebagai strategi perjuangan bangsa yang berbeda dari strategi yang dijalankan pemerintah
Soekarno-Hatta. Doktrin Muso ini mempengaruhi kubu Amir Syarifuddin dengan membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) yang berpaham “kiri”. Hubungan antara FDR dengan kubu nasionalis dan
Islam pun kian meruncing. Pertikaian ideologi yang tajam tersebut berakhir pada pecahnya
pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Selain itu, akibat perundingan Renville,
sebanyak 35.000 anggota TNI juga dipaksa untuk meninggalkan wilayah yang diklaim Belanda
menuju daerah Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta. Tiga bulan setelahnya, Belanda
melancarkan agresi militer dengan menduduki ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa pejabat tinggi negara ditangkap dan diasingkan ke
Bangka. Meski demikian Presiden masih sempat memberikan mandat kepada Syafrudin
Prawiranegara untuk menjadi ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat.
Bahkan Soekarno juga memerintahkan kepada Soedarsono dan LN. Palar untuk siap mengantisipasi
bila suatu ketika terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan di India, meski hal ini akhirnya
tidak terjadi. Dengan kondisi kritis seperti itu maka Republik Indonesia dapat digambarkan bagai
“sebutir telur di ujung tanduk”. Namun demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari
Yogyakarta, langsung memimpin pasukannya untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda
dengan melakukan perang gerilya. Sementara Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat yang kemudian dikenal sebagai Perintah
Siasat Nomor 1 yang salah satu pokoknya adalah menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari
daerahdaerah federal ke garis belakang musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga
seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas. Dapat pula dikemukakan peran Sultan
Hamengkubuwono IX yang telah memberikan dukungan fasilitas dan finansial untuk
keberlangsungan berjalannya pemerintahan Republik yang ditinggalkan para pemimpinnya tersebut.
Menurut Kahin, dua kekuatan inilah yang menjadi sumber perlawanan terhadap Belanda yang pada
akhirnya memaksa Belanda untuk mengakhir perang menuju Konferensi Meja Bundar (KMB). Kedua
kekuatan yang digerakan oleh unsur sipil dan tentara yang melakukan gerilya menjadi amunisi yang
ampuh bagi para diplomat kita yang terus berunding di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dengan strategi perjuangan tersebut di atas dengan mendapat tekanan Internasional dan dari
Amerika Serikat sendiri yang mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan, maka Belanda
terpaksa menandatangani perjanjian KMB yang berisi “penyerahan kedaulatan” (souvereniteit
overdracht). Situasi dan kondisi perjuangan sebagaimana digambarkan di atas itulah yang menjadi
makna nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke 40 di tahun 1948, yang
menggerakkan perjuangan bangsa Indonesia yang pantang menyerah dan pada akhirnya dapat
mengakhiri upaya Belanda untuk kembali menjajah. Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa
memang bukan persoalan mainmain. Tak hanya merupakan masalah di masa lalu. Potensi
disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita harus terus dan selalu
memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa bila terjadi bagi kebangsaan kita.
Sejarah Indonesia telah menunjukkan hal tersebut.
HIKMAH DAN ARTI PENTING
Mempelajari sejarah pergolakan bangsa yang pernah terjadi dan membahayakan persatuan nasional
merupakan hal sangat penting, agar kita mendapatkan pelajaran sekaligus peringatan. Mengapa
sampai timbul perpecahan, mengapa perpecahan itu bisa berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, dan apa yang salah dengan bangsa kita pada waktu itu ? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
itu akan memberikan pelajaran dan inspirasi bagaimana kita menghadapi berbagai potensi
disintegrasi bangsa pada masa kini dan masa yang akan datang. Semua itu tak lain harus dilakukan
demi lestarinya kita sebagai sebuah bangsa.
A. Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965) Mengamati Lingkungan
Alangkah hebatnya bangsa kita sebenarnya. Indonesia adalah negeri yang terdiri dari 17.500 pulau,
lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 6 agama resmi dan belum termasuk beragam
aliran kepercayaan, serta 737 bahasa. Kita harus bersyukur pada Tuhan YME, atas keberuntungan
bangsa kita yang hingga kini tetap bersatu dalam keberagaman, meskipun berbagai kasus konflik
dan pergolakan sempat berlangsung di masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari potongan
gambar berita di atas. Dalam sejarah republik ini, konflik dan pergolakan dalam skala yang lebih
besar bahkan pernah terjadi. Bila sudah begitu, lantas siapa pihak yang paling dirugikan? Tak lain
adalah rakyat, bangsa kita sendiri. Karenanya, dalam bab berikut ini akan kalian pelajari beberapa
pergolakan besar yang pernah berlangsung di dalam negeri akibat ketegangan politik selama rentang
tahun 1948-1965. Tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar pertama setelah
Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan tahun 1965 merupakan tahun
dimana berlangsung peristiwa G30S/ PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi
Pancasila. Mengapa penting hal ini kita kaji, tak lain agar kita dapat menarik hikmah dan tragedi
seperti itu tak terulang kembali pada masa kini. Disinilah pentingnya kita mempelajari sejarah.
Mengamati Lingkungan Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia selama masa tahun
1948-1965 dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan :
1. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII dan
peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme, sedangkan
pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama. Perlu kalian ketahui bahwa
menurut Herbert Feith, seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia
pada masa setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima
kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi), komunis
(PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis Indonesia/ PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai Indonesia
Raya/PIR, kelompok teosofis/ kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu
kelompokkelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-
masing.
2. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest).
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz.Vested Interest
merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya
berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka
juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatu proses
perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan
pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan
tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini,
konflikpun terjadi.
3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan.
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO (Bijeenkomst Federal
Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan dengan negara
federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk
negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS. Negara-
negara federal lainnya misalnya adalah negara Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia
Timur. BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh
Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini makin
bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-negara federal
inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan. Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta
merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah
Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
Sekarang mari kita bahas satu persatu konflik atau pergolakan yang terjadi di Indonesia pada tahun-
tahun 1948-1965, yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut.
1. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi.
a. Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang didirikan sesudah
proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, karena telah ada sejak jaman pergerakan
nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.
Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah, yang kebetulan
memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI
menjadi partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front
Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan Februari 1948. Pada awal
September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa PKI ke dalam pemberontakan
bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18 September 1948 (Taufik Abdullah dan AB
Lapian, 2012).
Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana mereka memiliki
cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI
untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri
dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi
dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatankekuatan bersenjata juga berhasil masuk
dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam
pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi
Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Sovyet yang
komunis. Padahal saat itu AS dan Uni Sovyet tengah mengalami Perang Dingin. Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan sampai
mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI
Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948,
pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus.
PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun kemudian pada
tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia. Presiden Soekarno segera
bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta :
“…Saudara-saudara ! camkan benar apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang kita tjintai,
hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan
perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Sovyet, di bawah
pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh
Pemerintahan Republik Indonesia.
…Saudara-saudara, camkanlah benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik
Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso !
Rakjat jang kutjinta ! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu :
“Pada saat jang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan jang sebesar-
besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan antara dua : ikut Muso dengan
PKInja jang akan membawa bangkrutnja cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang
Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak
didjadjah oleh negeri apa pun djuga.
…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang djudjur, rakyat jang djudjur,djanganlah
memberikan bantuan kepada kaum pengatjau itu. Djangan tertarik siulan mereka ! …Dengarlah,
betapa djahatnja rentjana mereka itu ! (Daud Sinyal, 1996). Di awal pemberontakan, pembunuhan
terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga
menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil
mendesak mundur pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin
juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan Lukman
berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali
menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan
orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih
kekuasaan. Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini
bagi sejarah Indonesia kemudian ? Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih
profesional menguat sejak pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar”
berhasil didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi, simpati AS sebagai penengah
dalam konflik dan perundingan antara Indonesia dengan Belanda perlahan
berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari
strategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme. Tetapi hal terpenting lain
juga perlu dicatat. Bahwasannya konflik yang terjadi berdampak pula pada
banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak dalam peristiwa ini
juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan agresi
militernya yang kedua pada Desember 1948.
b. Pemberontakan DI/TII
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula dari sebuah
gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville yang membuka peluang bagi
Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk mendirikan negara Islam. Salah satu
keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerahdaerah yang diklaim dan diduduki
Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun
dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda.
Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh
Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum
(kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia
memimpin perjuangan melawan Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya
perjuangan tersebut beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu
menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada
Agustus 1948. Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo
tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja
Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka
pemerintahpun bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat
belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959, pemerintah mulai melakukan operasi
militer.
12 Kelas XII SMA/MA
Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat
untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah untuk
mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu diadakan pula
operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini pula
Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati, yang menandai
pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip,
dimana akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara
Nasional Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah
beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih. Saat pasukan TNI
kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melakukan agresi militernya yang
kedua, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan
TNI. Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes.
Namun ketegangan karena berbagai persoalan antara pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul
kembali. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya
lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan
berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara
pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI. Tetapi berbeda dengan DI/TII di
Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama. Kurangnya dukungan dari penduduk
membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah. Selain Amir Fatah, di Jawa
Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal
sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak
didirikan memang berkeinginan menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-
prinsip Islam. Meski demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya
AUI bahu membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI
berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah. Namun kerjasama antara
AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melakukan demobilisasi AUI. Ajakan
pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu. Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu
melakukan pemberontakan. Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas
pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagian
Sejarah Indonesia 13
besar berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes
dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan
rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan
berat. Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari
Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari
laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena
DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426 dalam
pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga Surakarta.Walaupun dianggap kuat
dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini
juga berhasil ditumpas. Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di
Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap awal,
pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan
terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang
dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih
dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada
masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup
Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu
ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16
batalyon atau satu divisi. Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk
kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan.
Namun anggota KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara
Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar
Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar
seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung
ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat
sebagai tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih
berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada
tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.
14 Kelas XII SMA/MA
Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya.
Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak
dalam suatu penyergapan. Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan
Selatan. Namun dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang
relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang
besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat
Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap. Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini
sesungguhnya bisa ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi
IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah
tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan
ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit
anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang harus didemobilisasi
atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Suasana mulai resah dan
keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan
anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang
mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak. Diantara para pembelot
mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak
keras, dengan cepat ia berhasilmengumpulkan pengikut, terutama di kalangan
anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan
barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi.
Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami
kegagalan. Pemberontakan pun pecah. Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung
dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam
pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan
tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu
Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya
hukuman mati. Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang
berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/ TII lainnya.
Sejarah Indonesia 15
Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950 pemerintah
menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para ulama Aceh yang
tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah
terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka
menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka
tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh. Pemerintah pusat kemudian
berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir
(1951), bahkan Soekarno (1953?) menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini,
namun mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak
dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang
dipimpin Kartosuwiryo. Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI
pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum akhirnya
pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun 1959. Tiga
tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah selesai. Ia mendapat
pengampunan.
Sumber: disarikan dari berbagai sumber Gambar 1.4 Tokoh DI/TII
Perhatikan gambar di atas! Carilah informasi mengenai tokoh-tokoh dalam gambar tersebut. Buat
laporan tertulis!
16 Kelas XII SMA/MA
c. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan
kontroversi. Utamanya adalah yang berhubungan dengan pertanyaan “Siapa dalang Gerakan 30
September 1965 sebenarnya?” Setidaknya terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S
tahun 1965 ini : 1. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini
menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan AD
sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel
Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup bermewahmewahan dan memperkaya
diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan
kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya
sederhana. 2. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Teori ini
berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat
khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya
menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok
dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI
yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno. 3.
Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS. Menurut teori ini
G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap
Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar
Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan
provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori
dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.
Sejarah Indonesia 17
4. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony
Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan
kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat
dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju
Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi.
Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk
meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan
menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok
harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian
menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia
mengutuk gerakan ini. 5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30
September (teori chaos). Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa
tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan
hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat),
pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam
improvisasi di lapangan. 6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI Menurut teori ini tokoh-tokoh
PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara.
Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965.
Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh
kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten. Teori
yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang
paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965. Namun terlepas dari teori
mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi
dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno
yang menampilkan
18 Kelas XII SMA/MA
dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua
kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak
terdamaikan saat itu : AD dengan PKI. Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman
terhadap kabinet dan tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga
persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI
kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010 ). Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat
melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-
partai lain seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998). Tahun 1963,
situasi persaingan semakin sengit, baik di kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk
mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi ofensif yang dipilih untuk
memenuhi harapannya.
Sumber: diolah dari berbagai sumber Gambar 1.5 Data PKI Menjelang G30S/PKI
Sejarah Indonesia 19
Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin
PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya
hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan
politik berbeda dengan mereka. Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI
memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional
didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah. Sedangkan di daerah, persoalan-
persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi karena bersinggungan
dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960),
dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini
merupakan upaya mengambilalih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak
janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari
tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa
jahat dan bandit desa. “Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya
merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011). Adegan-adegan protespun berlangsung bahkan
radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh
desa. Dalam aksi pengambilalihan tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa
Barat dan Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu
saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara.
Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung
PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan
muka dengan para santri NU. Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya
tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu
resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring
oleh ratusan tukang becak
20 Kelas XII SMA/MA
di tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan
serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan
di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999). Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi
sepihak semakin lama semakin kuat. Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak
balasan anti PKI dipelopori oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor. Hubungan angkatan darat
dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para
petinggi PKI terhadap AD. Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI
dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan
untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan tahun
1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah
semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin
intensif.
Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AUAL-Polisi yang dikemukakan oleh PKI pada Januari
1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan AD.
Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari
pengawasan mereka. Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang
matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro RRC
(Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini
akhirnya memang gagal direalisasikan. PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di
tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist”
yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat
Sumber : 30 Tahun Indonesia Merdeka Gambar 1.6 Berita koran di tahun 1965 mengenai usulan PKI
untuk mempersenjatai buruh dan petani
Sejarah Indonesia 21
adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita
dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta. Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan
danJenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden
Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan angkatan darat kini tampaknya
telah mencapai level yang akut. Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha menghentikan
penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar
Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa
Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan dan
Katolik. Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern
Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed.,
2012 : 139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah
kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI
telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah
saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran. Suasana
pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya
menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh
sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa
presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI
tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak. Dipimpin Letnan
Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30
September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1
Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya
Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S.
Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan,
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal
Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi
korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.
22 Kelas XII SMA/MA
Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”,
sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak menentu itulah Panglima
Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu
belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada
Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta,
melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika
diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap
pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi
juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil
ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.
TUGAS Buatlah kelompok yang terdiri dari 2-3 orang, kemudian buatlah rangkuman mengenai
“konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi”.
2. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan. a. Pemberontakan APRA Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah
milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda: KNIL, yang tidak setuju
dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat
itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi
Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan
mereka sebagai tentara negara federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling
mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan
memerintahkan penangkapan terhadap Westerling.
Sejarah Indonesia 23
APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan tindakan teror.
Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta
dan ingin membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS
Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah. Westerling
kemudian melarikan diri ke Belanda.
TUGAS Perhatikan potongan gambar di bawah ini! Tuliskan pendapatmu tentang dampak langsung
dari terjadinya pemberontakan APRA.
Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka, (Deppen, 1975) Gambar 1.7 Korban Westerling
b. Peristiwa Andi Aziz Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal
dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di
Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di
Negara Indonesia Timur (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke
Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut
24 Kelas XII SMA/MA
ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa
mereka akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI. Pasukan KNIL di bawah
pimpinan Andi Aziz ini kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan
menawan Panglima Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun bertindak tegas dengan
mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. April 1950, pemerintah
memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa tersebut, dan menarik
pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata serta membebaskan
tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah 4 x 24 jam. Namun Andi Aziz
ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap
di Jakarta setibanya ia ke sana dari Makasar. Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang
dilakukannya berawal dari rasa tidak puas terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya
berhasil ditumpas oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Sumber Gambar : Atlas Nasional Indonesia (Bakorsurtanal, 2011) Gambar 1.8 Foto/
Gambar Tentara
Carilah informasi tentang KNIL!
Tuliskan pendapat kalian, mengapa di negara federal pasukan KNIL tidak mau diganti oleh pasukan
APRIS !
Sejarah Indonesia 25
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS
dilakukan dengan tujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara
sendiri. Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil
pada April 1950, RMS didukung oleh mantan pasukan KNIL. Upaya penyelesaian secara damai
awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun
upaya ini mengalami kegagalan. Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan
melakukan operasi militer di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. Kelebihan pasukan
KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi sebagai pasukan komando.
Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau Ambon dengan medan perbentengan alam yang
kokoh. Bekas benteng pertahanan Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan
yang berat ini, selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi pertempuran frontal dan
dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang. Meski kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil
direbut dan pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel
Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya
berhasil melarikan diri ke pulau Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi
hukuman mati.
3. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan. a. Pemberontakan PRRI dan
Permesta Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam
tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan
Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada
ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat
yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan
dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956
dan Februari 1957, seperti :
26 Kelas XII SMA/MA
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. b. Dewan Gajah di
Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan
yang dipimpin oleh Letkol Barlian. d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel
Ventje Sumual. Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah di
wilayahnya masingmasing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan
bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad
Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan
jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut
agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan
tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15
Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap
mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Sumber : 30 Tahun Indonesia Merdeka, Deppen, 1975 Gambar 1.9 Allen Pope dalam persidangan, 28
Desember 1959 Allen Lawrence Pope Pemberontakan PRRI dan Permesta ternyata melibatkan AS di
dalamnya. Kepentingan AS dalam pemberontakan ini berkait dengan kekhawatiran negara tersebut
bila Indonesia akan jatuh ke tangan komunis yang saat itu kian menguat posisinya di pemerintahan
pusat Jakarta. Salah satu bukti keterlibatan AS melalui operasi CIA-nya adalah ketika pesawat yang
dikemudikan pilot Allen Lawrence Pope berhasil ditembak jatuh. Coba kalian cari informasi
mengenai kisah Allen Pope ini dalam kaitannya dengan keterlibatan AS dalam pemberontakan PRRI
dan Permesta.
Sejarah Indonesia 27
Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara
Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-
tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI.
Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat
Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka
mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah
pusat (kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer
dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS
berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah
pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan
PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
b. Persoalan Negara Federal dan BFO Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian
(BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan
bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara
golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli
1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai
daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr.
Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan
keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara
Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet
NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
28 Kelas XII SMA/MA
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada
bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia
Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T.
Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda
tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua
kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak
Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA
Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja
Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin
lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah
satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan
lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan
bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI
ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA
Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah
cermin dari pertentangan ini. Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan,
pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara
bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan
rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.
Sejarah Indonesia 29
KESIMPULAN 1. Potensi disintegrasi bangsa pada masa kini bisa saja benar-benar terjadi bila bangsa
Indonesia tidak menyadari adanya potensi semacam itu. Karena itulah kita harus selalu waspada dan
terus melakukan upaya untuk menguatkan persatuan bangsa Indonesia. 2. Sejarah Indonesia telah
menunjukkan bahwa proses disintegrasi sangat merugikan. Antara tahun 1948-1965 saja, gejolak
yang timbul karena persoalan ideologi, kepentingan atau berkait dengan sistem pemerintahan, telah
berakibat pada banyaknya kerugian fisik, materi mental dan tenaga bangsa. 3. Konflik dan
pergolakan yang berlangsung diantara bangsa Indonesia bahkan bukan saja bersifat internal,
melainkan juga berpotensi ikut campurnya bangsa asing pada kepentingan nasional bangsa
Indonesia.
LATIH UJI KOMPETENSI 1. Tuliskan contoh konflik di Indonesia yang berkait dengan vested interest,
yang terjadi antara tahun 1948-1965. Jelaskan ! 2. Jelaskan perbedaan latar belakang terjadinya
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dengan DI/TII Aceh ! 3. Jelaskan, mengapa sebagian pasukan
KNIL tidak mau bergabung ke dalam APRIS sesuai dengan keputusan yang diambil dalam
perundingan KMB ! 4. Tuliskan pendapat kamu mengenai persamaan atau perbedaan antara latar
belakang terjadinya aneka pemberontakan pada periode 1948-1965, dengan beberapa konflik pusat
– daerah pada masa sekarang ! 5. Tuliskan 5 (lima) hikmah yang bisa diambil dari pergolakan yang
pernah terjadi di Indonesia pada periode 1948-1965 !
30 Kelas XII SMA/MA
B. Dari Konflik Menuju Konsensus Suatu Pembelajaran
“Tujuan yang nyata hanyalah satu, Republik Indonesia Serikat yang merdeka, bersatu, bernaung di
bawah bendera Sang Saka Merah Putih, bendera kebangsaan Indonesia sejak beribu-ribu tahun”
(Soekarno, dalam Konferensi BFO 1948)
Salah satu guna sejarah adalah kegunaan edukatif. Maksudnya, dengan mempelajari sejarah maka
orang dapat mengambil hikmah dari pengalaman yang pernah dilakukan masyarakat pada masa
lampau, yang tentu saja dapat dikaitkan dengan masa sekarang. Keberhasilan di masa lampau akan
dapat memberi pengalaman pada masa sekarang. Sebaliknya, kesalahan masyarakat di masa lampau
akan menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai di masa kini. Karena itu sebelum kita
melanjutkan ke bab ini, kalian akan belajar tentang bagaimana sejarah dapat memberikan hikmah
keteladanan atau pembelajaran dalam kehidupan berbangsa, ada baiknya bila kita coba mengingat
kembali materi pada bab sebelumnya. Cobalah kalian baca kembali uraian dalam bab I, lalu lakukan
analisis, dan temukan hikmah dari berbagai kisah konflik yang pernah terjadi di
Indonesia dalam rentang tahun 1948-1965. Diskusikan pemikiran kalian dengan rekan
diskusi yang telah dipilih.. Diskusikan juga dengan guru apabila kalian memiliki pertanyaan! Bentuk
Pergolakan Hikmah yang bisa diambil Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan
ideologi.
Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest).
Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan.
Sejarah Indonesia 31
Dari analisis dan diskusi yang kalian lakukan, nyatalah bahwa sejarah dapat menjadi pembelajaran
bagi kita, antara lain melalui berbagai hikmah yang terkandung di dalamnya. Dan
dalam hal pernah terjadinya konflik dan pergolakan di Indonesia pada masa
lalu, hikmah dari peristiwa tersebut tentu dapat dijadikan pembelajaran dalam memandang atau
menghadapi berbagai ancaman potensi konflik yang terjadi pada masa sekarang.
Tugas untuk dikerjakan di rumah: Buatlah peta Indonesia, yang menunjukkan daerah-daerah
tempat terjadinya konflik yang membahayakan integrasi bangsa, antara tahun 1948-1965.
Tunjukkan dalam Peta tersebut daerah dengan potensi konflik sejenis pada masa sekarang. Buat
pula keterangan singkat mengenai isi peta tersebut ! Beri warna bila perlu.
1.Kesadaran Terhadap Pentingnya Integrasi Bangsa Pentingnya kesadaran terhadap integrasi bangsa
dapat dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di beberapa
wilayah Indonesia pada masa kini. Kementerian Sosial saja memetakan bahwa
pada tahun 2014 Indonesia masih memiliki 184 daerah dengan potensi rawan
konflik sosial. Enam di antaranya diprediksi memiliki tingkat kerawanan yang tinggi,
yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah (lihat, wacana
di bawah). Maka, ada baiknya bila kita coba kembali merenungkan apa yang pernah ditulis oleh
Mohammad Hatta pada tahun 1932 tentang persatuan bangsa. Menurutnya :
“Dengan persatuan bangsa, satu bangsa tidak akan dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu
itu boleh terdapat berbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya… di sanalah tempat kita
menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ‘persatuan’ dan
menolak ‘persatean’” (Meutia Hatta, mengutip Daulat Rakyat, 1931).
Konflik bahkan bukan saja dapat mengancam persatuan bangsa. Kita juga
harus menyadari betapa konflik yang terjadi dapat menimbulkan banyak
korban dan kerugian. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana
pemberontakanpemberontakan yang pernah terjadi selama masa tahun 1948 hingga 1965 telah
menewaskan banyak sekali korban manusia. Ribuan rakyat mengungsi
32 Kelas XII SMA/MA
dan berbagai tempat pemukiman mengalami kerusakan berat. Belum lagi kerugian yang bersifat
materi dan psikis masyarakat. Semua itu hanyalah akan melahirkan penderitaan bagi masyarakat kita
sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, cobalah kalian baca wacana berikut ini dan ikutilah instruksi
yang diberikan. Carilah hikmah yang terkandung di dalamnya agar kita dapat menyadari betapa
pentingnya persatuan bangsa tersebut :
Dipandu oleh guru kalian buatlah kelompok diskusi masing-masing 4 orang. • Bacalah, lalu analisis
dan diskusikan wacana berikut ini. Kaitkan dengan persoalan disintegrasi bangsa. Hubungkan pula
dengan materi sejarah yang telah kalian pelajari dalam bab satu. Gunakan catatan mengenai
konflik yang telah dibuat di rumah sebagai sumber analisis
dan diskusi. • Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok bertamu ke kelompok
yang lain. Semua kelompok harus dikunjungi. • Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas
menyampaikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka. • Setelah semua kelompok
dikunjungi, kembalilah ke kelompok masing- masing. Laporkan temuan yang didapat dari kelompok
lain. • Dengan dipandu oleh guru kalian, diskusikan dan bahas hasil kerja yang kalian lakukan
bersama-sama antarkelompok. • Tulislah kesimpulan yang didapat, lalu kumpulkan hasil dari
setiap kelompok ke guru.
Enam Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia
Kementerian Sosial memetakan 184 daerah di Tanah Air rawan terjadi konflik sosial karena kondisi
ekonomi yang tertinggal, enam di antaranya diprediksi paling rawan pada 2014 ini.
“Sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal dibanding daerah lain. Namun, ada juga daerah maju
tapi interaksi sosial antarkelompok sangat kaku, sehingga mudah meletup hanya karena masalah
kecil,” kata Tenaga Ahli Menteri Sosial bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintahan Sapto
Waluyo di Jakarta.
Sapto mengatakan, tidak semua daerah tertinggal itu rawan konflik. Ada enam daerah diprediksi
sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014.
Sejarah Indonesia 33
Daerah tersebut yaitu, Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa
Tengah.
“Indikatornya terlihat sepanjang 2013 daerah tersebut bermunculan aneka konflik,” kata Sapto
menambahkan.
Sepanjang 2013 di Papua terjadi 24 peristiwa konflik sosial, Jawa Barat (24), Jakarta (18), Sumatera
Utara (10), Sulawesi Tengah (10) dan Jawa Tengah (10).
“Di tahun politik 2014, ketegangan tentu akan meningkat. Karena itu, Kemensos melancarkan
program keserasian sosial di 50 daerah rawan dan penguatan kearifan lokal di 30 daerah,” katanya.
Targetnya mencegah kemungkinan terjadinya konflik atau memperkecil dampak jika konflik tetap
terjadi.
“Memang harus ditumbuhkan tenaga pelopor perdamaian di seluruh pelosok Indonesia, terutama
dari kawula muda,” kata dia.
Sumber : antaranews.com, Februari 2014 TUGAS Buatlah kliping 3 gambar/berita tentang konflik
yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kemudian lakukan analisis dan temukan
hikmah apa saja yang bisa diperoleh dari gambar/berita dalam klipping tersebut.
2. Teladan Para Tokoh Persatuan Tahukah kalian bahwa jumlah tokoh yang telah diangkat oleh
pemerintah sebagai pahlawan nasional hingga tahun 2014 ini adalah 159 orang? Tidak sembarangan
orang memang dapat menyandang secara resmi gelar pahlawan nasional. Ada beberapa kriteria
yang harus dipenuhi. Salah satu diantaranya adalah tokoh tersebut telah memimpin dan melakukan
perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lainnya untuk
mencapai/merebut/mempertahankan/ mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Sumber: Cover Buku Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional (Kemensos RI, 2012) Gambar 1.10
Pahlawan Nasional
34 Kelas XII SMA/MA
Beberapa tokoh di bawah ini merupakan para pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam
mewujudkan integrasi bangsa Indonesia. Tidak semua tokoh pahlawan dapat dibahas di sini. Selain
jumlahnya yang banyak, mereka juga berasal dari berbagai bidang atau daerah yang berbeda. Untuk
pahlawan dari daerah, kita akan mengambil hikmah para pejuang yang berasal dari wilayah paling
timur Indonesia, yaitu Papua. Diantara mereka mungkin kalian ada yang belum mengenalnya,
padahal sesungguhnya mereka mempunyai jasa yang sama dalam upaya memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tiga tokoh akan kita bahas di sini, yaitu Frans Kaisiepo,
Silas Papare dan Marthen Indey. Keteladanan para tokoh pahlawan nasional Indonesia juga dapat
kita lihat dalam bentuk pengorbanan jabatan dan materi dari mereka yang berstatus raja. Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sultan Syarif Kasim II adalah dua tokoh nasional yang akan dibahas dalam
bab ini.Kita akan melihat bagaimana tokoh-tokoh ini lebih mengedepankan keindonesiaan mereka
terlebih dahulu daripada kekuasaan atas kerajaan sah yang mereka pimpin, tanpa menghitung
untung rugi. Selain tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik dan perjuangan bersenjata, kita
juga akan mengambil hikmah keteladanan dari tokoh yang berjuang di bidang seni. Nama Ismail
Marzuki mungkin telah kalian kenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional. Namun mungkin juga masih
ada diantara kalian yang belum mengenal siapa sebenarnya Ismail Marzuki dan kiprah apa yang ia
berikan bagi integrasi Indonesia. Maka tokoh Ismail Marzuki ini akan juga kita bahas dalam bab
mengenai keteladanan para tokoh nasional ini.
1) Pahlawan Nasional dari Papua : Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey Posisi Papua
dalam sejarah Indonesia setelah kemerdekaan sebenarnya unik. Papua adalah wilayah di Indonesia
yang bahkan setelah RI kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950 pun, tetap berada dalam
kendali Belanda. Khusus persoalan Papua, berdasarkan hasil KMB tahun 1949, sesungguhnya akan
dibicarakan kembali oleh pemerintah RI dan Belanda “satu tahun kemudian”. Nyatanya hingga tahun
1962, ketika Indonesia akhirnya memilih jalan perjuangan militer dalam merebut wilayah ini,
Belanda tetap berupaya mempertahankan Papua.
Sejarah Indonesia 35
Meski demikian, dalam kurun waktu selama itu, bukan berarti rakyat Papua berdiam diri untuk tidak
menunjukkan nasionalisme keindonesiaan mereka. Berbagai upaya juga mereka lakukan agar bisa
menjadikan Papua sebagai bagian dari negara Republik Indonesia. Muncullah tokoh-tokoh yang
memiliki peran besar dalam upaya integrasi tersebut, seperti Frans Kaisiepo, Silas Papare dan
Marthen Indey.
Sumber: Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional, (Kemensos RI, 2012) Gambar 1.11 Peta Papua
dan 3 tokoh Papua
Frans Kaisiepo (1921-1979) adalah salah seorang tokoh yang mempopulerkan lagu Indonesia Raya di
Papua saat menjelang Indonesia merdeka. Ia juga turut berperan dalam pendirian Partai Indonesia
Merdeka (PIM) pada tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun yang sama, Kaisiepo menjadi anggota delegasi
Papua dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan, dimana ia sempat menyebut Papua (Nederlands
Nieuw Guinea) dengan nama Irian yang konon diambil dari bahasa Biak dan berarti daerah panas.
Namun kata Irian tersebut malah diberinya pengertian lain : “Ikut Republik Indonesia Anti
Nederlands.(Kemensos, 2013). Dalam konferensi ini, Frans Kaisiepo juga menentang pembentukan
Negara Indonesia Timur (NIT) karena NIT tidak memasukkan Papua ke dalamnya. Ia lalu
mengusulkan agar Papua dimasukkan ke dalam Keresidenan Sulawesi Utara. Tahun 1948 Kaisiepo
ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda.
Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Konsekuensi atas penolakannya adalah selama beberapa tahun
setelah itu ia dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di distrik-distrik terpencil Papua. Tahun 1961 ia
mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlans Nieuw
Guinea ke negara Republik Indonesia. Wajar bila ia kemudian banyak membantu para tentara
pejuang Trikora saat menyerbu Papua.
36 Kelas XII SMA/MA
Paruh tahun terakhir tahun 1960-an, Kaisiepo berupaya agar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
bisa dimenangkan oleh masyarakat yang ingin Papua bergabung ke Indonesia. Proses tersebut
akhirnya menetapkan Papua menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Silas Papare (1918-
1978) membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) hanya sekitar sebulan setelah Indonesia
merdeka. Tujuan KIM yang dibentuk pada bulan September 1945 ini adalah untuk menghimpun
kekuatan dan mengatur gerak langkah perjuangan dalam membela dan mempertahankan
proklamasi 17 Agustus 1945. Bulan Desember tahun yang sama, Silas Papare bersama Marthen
Indey dianggap mempengaruhi Batalyon Papua bentukan Sekutu untuk memberontak terhadap
Belanda. Akibatnya mereka berdua ditangkap Belanda dan dipenjara di Holandia (Jayapura). Setelah
keluar dari penjara, Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaaan Irian. Karena Belanda tidak
senang, ia kemudian ditangkap dan kembali dipenjara, kali ini di Biak. Partai ini kemudian diundang
pemerintah RI ke Yogyakarta. Silas Papare yang sudah bebas pergi ke sana dan bersama dengan
teman-temannya membentuk Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta. Sepanjang tahun 1950-an ia
berusaha keras agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Tahun 1962 ia mewakili Irian
Barat duduk sebagai anggota delegasi RI dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda
dalam upaya penyelesaian masalah Papua. Berdasarkan “New York Agreement” ini, Belanda
akhirnya setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia. Marthen Indey (1912–1986) sebelum
Jepang masuk ke Indonesia adalah seorang anggota polisi Hindia Belanda. Namun jabatan ini bukan
berarti melunturkan sikap nasionalismenya. Keindonesiaan yang ia miliki justru semakin tumbuh
tatkala ia kerap berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke Papua. Ia
bahkan pernah berencana bersama anak buahnya untuk berontak terhadap Belanda di Papua,
namun gagal. Antara tahun 1945-1947, Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan
jabatan sebagai Kepala Distrik. Meski demikian, bersama-sama kaum nasionalis di Papua, secara
sembunyi-sembunyi ia malah menyiapkan pemberontakan. Tetapi sekali lagi, pemberontakan ini
gagal dilaksanakan. Sejak tahun 1946 Marthen Indey menjadi Ketua Partai Indonesia Merdeka (PIM).
Ia lalu memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 Kepala Suku terhadap keinginan
Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Indey juga mulai terang-terangan
menghimbau anggota
Sejarah Indonesia 37
militer yang bukan orang Belanda agar melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Akibat aktivitas
politiknya yang kian berani ini, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Indey. Tahun
1962, saat Marthen Indey tak lagi dipenjara, ia menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu
kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora. Saat
perang usai, ia berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua ke wilayah
Indonesia, di PBB hingga akhirnya Papua (Irian) benar-benar menjadi bagian Republik Indonesia.
2) Para Raja yang Berkorban Untuk Bangsa: Sultan Hamengkubuwono IX dan Sultan Syarif Kasim II
Saat Indonesia merdeka, di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para
penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam
negara Republik Indonesia. Hal ini bisa terjadi tak lain karena dalam diri para raja dan rakyat di
daerah mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia. Meski demikian tak
semua raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI. Sultan Hamid II dari Pontianak misalnya,
bahkan pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta dalam rencana pembunuhan
terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski akhirnya mengalami kegagalan. Dalam
bagian ini, kita akan mengambil contoh dua orang raja yang memilih untuk melawan Belanda dan
bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak.
Sumber: Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional Gambar diolah dari berbagai sumber, (Kemensos
RI, 2012) Gambar 1.12 Sultan Hamengku Buwono IX
38 Kelas XII SMA/MA
Cobalah kalian cari dari berbagai sumber, raja-raja di beberapa wilayah Indonesia yang lebih
memilih untuk meleburkan wilayah kekuasaannya ke dalam negara kesatuan RI. Tuliskan asal daerah
mereka, dan bagaimana peran yang mereka lakukan dalam upaya integrasi tersebut!
Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988). Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengkubuwono IX
dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Dalam
pidatonya saat itu, ia mengatakan:
“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya
adalah dan tetap adalah orang Jawa.”(Kemensos, 2012) Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala
tidak sampai 3 minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX
menyatakan Kerajaan Yogjakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia. Dimulai pada tanggal
19 Agustus, Sultan mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya
Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tanggal 20
Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan tegas menyatakan berdiri di belakang
Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dan akhirnya pada tanggal 5 September 1945, Sultan
Hamengkubuwono IX memberikan amanat bahwa: 1. Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat
kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia. 2. Segala kekuasaan dalam negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX. 3.
Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan
Hamengkubuwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI. Melalui telegram dan amanat ini,
sangat terlihat sikap nasionalisme Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan melalui perbuatannya.
Sejak awal kemerdekaan, Sultan memberikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang baru
terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah
berada di Yogjakarta atas saran Sultan. Bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan
TNI tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan. Sultan Hamengkubuwono IX juga
pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah agresi militer
Belanda II berlangsung. Belanda rupanya ingin memisahkan Sultan yang memiliki pengaruh besar itu
dengan Republik. Bukan saja bujukan, Belanda bahkan juga sampai mengancam Sultan. Namun
Sultan Hamengkubuwono IX malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani. Meskipun
berstatus Sultan, Hamengkubuwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat.
Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Cerita
yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat” berikut ini,
menggambarkan hal tersebut. Trimurti adalah istri Sayuti Melik, pengetik naskah teks proklamasi :
Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengkubuwono IX bukan saja berpikir dan
bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa. Dalam hal kecil, ia bahkan melakukan perbuatan teladan
berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II (1893-1968). Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada
tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar
dengan Belanda. Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan
Belanda. Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Siak, Sultan Syarif Kasim II
segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap
pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan RI. Ini
adalah nilai uang yang sangat besar.Tahun 2014 kini saja angka tersebut setara dengan Rp. 1,47
trilyun. Kesultanan Siak pada masa itu memang dikenal sebagai kesultanan yang kaya.Tindak lanjut
berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik. Ia juga segera mengadakan rapat umum di istana serta
mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut
memihak republik. Saat revolusi kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai bahan makanan untuk
para laskar. Ia juga kembali menyerahkan kembali 30 % harta kekayaannya berupa emas kepada
Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika Van Mook, Gubernur Jenderal
de facto Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan Boneka”Belanda, Sultan Syarif Kasim II
tentu saja menolak. Ia tetap memilih bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Atas
jasanya tersebut, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah
Indonesia.
3. Mewujudkan Integrasi
Melalui Seni dan Sastra: Ismail Marzuki Ismail Marzuki(1914 – 1958). Dilahirkan di Jakarta, Ismail
Marzuki memang berasal dari keluarga seniman. Di usia 17 tahun ia berhasil mengarang lagu
pertamanya, berjudul “O Sarinah”. Tahun 1936, Ismail Marzuki masuk perkumpulan musik Lief Java
dan berkesempatan mengisi siaran musik di radio. Pada saat inilah ia mulai menjauhkan diri dari
lagu-lagu barat untuk kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri. Lagu-lagu yang diciptakan Ismail
Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah air. Latar belakang
keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah yang menanamkan perasaan senasib dan
sepenanggungan terhadap penderitaan bangsanya. ketika RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947
misalnya, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak
mau bekerjasama dengan Belanda. Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia baru mau kembali
bekerja di sana. Lagu-lagu Ismail Marzuki yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang menggugah
rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa, antara lain Rayuan Pulau Kelapa (1944), Halo-Halo
Bandung (1946) yang diciptakan ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, Selendang Sutera
(1946) yang diciptakan pada saat revolusi kemerdekaan untuk membangkitkan semangat juang pada
waktu itu dan Sepasang Mata Bola (1946) yang menggambarkan harapan rakyat untuk merdeka.
Meskipun memiliki fisik yang tidak terlalu sehat karena memiliki
penyakit TBC, Ismail Marzuki tetap bersemangat untuk terus berjuang melalui seni.
Hal ini menunjukkan betapa rasa cinta pada tanah air begitu tertanam kuat dalam dirinya. Sumber:
Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional, Kemensos, (2012) Gambar 1.14 Ismail marzuki
42 Kelas XII SMA/MA
4. Perempuan Pejuang Opu Daeng Risaju
“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus
meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah
bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan
tidak sepantasnya.”(Opu Daeng Risaju, Ketua PSII Palopo 1930) Itulah penggalan kalimat yang
diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan
Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu, ketika Datu Luwu Andi Kambo
membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu,
selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau engkau diperlakukan tidak
sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina.
Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra, hal 133). Namun Opu
Daeng Risaju, rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara
selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa menerima
aktivitasnya. Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan
membuat dia rela mengorbankan dirinya. Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia
dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan
Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan
Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.
Sejak kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun
ia keluarga bangsawan. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin,
dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah
mengikuti sekolah umum. Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad
Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Opu Daeng Risaju mulai aktif di organisasi
Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang
pedagang asal Sulawesi Sumber: Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional, Kemensos, (2012)
Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang
PSII di Pare-Pare. Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII
cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang
bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau). Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh
controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling
Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju
melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk
membangkang terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda
menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan. Hukuman penjara
tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng
Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat
jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam
menyebarkan PSII. Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan
dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti
kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933
Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII.
Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki.
Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak senang dari pihak
kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melakukan
pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda, Opu
Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum
(Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat yang proBelanda menuntut agar Opu Daeng Risaju
dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu
Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama
empat belas bulan pada tahun 1934. Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak
melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan
Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII. Opu
Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan
yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi
Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Ia banyak melakukan mobilisasi terhadap
pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini
membuat NICA berupaya untuk menangkapnya. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam
persembunyiannya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km.
Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke
penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo. Selama di penjara Opu Daeng mengalami penyiksaan
yang kemudian berdampak pada pendengarannya, ia menjadi tuli seumur hidup. Setelah pengakuan
kedaulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul
Kadir Daud yang waktu itu bertugas di ParePare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi
di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng
Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo
TUGAS Buatlah kliping tentang beberapa pahlawan nasional yang belum dibahas dalam buku ini. Beri
penjelasan tentang kepahlawanan yang mereka lakukan dalam upaya persatuan bangsa atau
menghadapi penjajahan Belanda. Sumber bisa kalian dapatkan dari internet atau berbagai buku,
atau kalian dapat mendiskusikannya dengan guru kalian.
KESIMPULAN
1. Beberapa peristiwa konflik yang terjadi pada masa kini, harus kita lihat sebagai potensi
disintegrasi bangsa yang dapat merusak persatuan negeri. Maka ada baiknya bila kita belajar dari
perjalanan sejarah nasional kita, yang juga pernah diwarnai dengan aneka proses konflik dengan
segala akibat yang merugikan, baik jiwa, fisik, materi, psikis dan penderitaan rakyat. Bagaimanapun,
salah satu guna sejarah adalah dapat memberi hikmah atau pelajaran bagi kehidupan.
2. Selain dari peristiwa sejarah, kita dapat juga mengambil hikmah dari teladan para tokoh sejarah.
Diantara mereka adalah para pahlawan nasional yang berjuang untuk persatuan bangsa dengan
tidak hanya menggunakan senjata, tetapi juga melalui karya berupa seni, tulisan, musik, sastra atau
ilmu pengetahuan.
BAB II Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Tahukah kalian, bahwa periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai
sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh karena
itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang mengakibatkan jatuh bangun
kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953)
sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partaipartai dianggap sebagai salah satu
kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti.
Sebagaimana pendapat Wilopo yang menyebut Demokrasi Parlementer sebagai zaman liberal: “…
zaman kabinet silih berganti, zaman yang melalaikan pembangunan berencana. Itulah biasanya
menjadi sebutan zaman ini”. (Wilopo, 1978) Namun demikian periode tersebut sesungguhnya tidak
hanya menampilkan sisi-sisi kelemahan saja melainkan juga terdapat berbagai segi positif sebagai
bentuk pembelajaran berdemokrasi. Lebih lanjut Wilopo menegaskan bahwa :
Sebaliknya harus diakui, bahwa zaman itu telah menjadi sebagian sejarah kita sejak merdeka dan
berlangsung hampir satu dasa warsa, serta banyak unsurunsur di dalamnya yang patut kita pelajari
lebih mendalam. (Wilopo, 1978).
Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950, RI kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula perubahan
undang-undang dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD sementara
ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia
memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk
kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang
kehidupan. Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat
pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja.
Pemerintah pada awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-partai
politik dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini seperti yang
disebutkan dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan bahwa:
1. Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya satu partai.
2. Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan
kita.
3. Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, bagi pemerintah mudah untuk minta tanggung
jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. (Wilopo, 1978).
Maklumat itu kemudian memunculkan partai-partai baru. Dari sinilah Indonesia mulai mengubah
sistem pemerintahan dari Presidensial ke Parlementer yang diawali dengan Kabinet Syahrir. Mari
kita lihat suasana pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950-1959. Pada era itu ada
tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian
kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional baik di bidang politik,
ekonomi, sosial dan keamanan terganggu. Kondisi ini membuat Presiden Soekarno, dalam salah
satu pidatonya mengatakan bahwa “sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding
sesamanya dan memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan dalam
lanjutan pidatonya menekankan untuk melakukannya sekarang juga. Pernyataan Soekarno membuat
hubungan dengan Hatta semakin renggang yang akhirnya dwi tunggal menjadi tanggal ketika Hatta
mengundurkan diri sebagai wakil presiden. (Anhar Gonggong, 2005) Perlu kalian ketahui pula bahwa
Soekarno Hatta merupakan pemimpin dengan dua tipe kepemimpinan yang berbeda. Herberth Feith
menyebut Soekarno sebagai pemimpin yang bertipe solidarity maker (pembuat persaudaraan/
persatuan). Soekarno berpendapat bahwa revolusi itu belum selesai, sehingga perlu membuat
simbol-simbol untuk menyatukan rakyat untuk menjalankan revolusi. Sedangkan Hatta oleh Feith
disebutnya pemimpin dengan tipe administrator. Hatta berpendapat bahwa revolusi itu sudah
selesai, untuk itu kita harus segera membangun negeri ini dengan mencari solusi agar pembangunan
bisa berjalan dengan baik. Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang
diikuti oleh banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia.
Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota Konstituante. Konstituante
diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan UUD sementara. Sayangnya beban tugas
yang diemban oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh situasi politik
pada masa itu sehingga mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959. Dekrit tersebut membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan
memasuki Demokrasi Terpimpin.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari uraian ini, diharap kalian dapat:
1. Menjelaskan perkembangan kabinet yang berlangsung selama masa Demokrasi Parlementer
1950-1959
2. Menganalisis sistem kepartaian yang berlangsung pada masa Demokrasi Parlementer
3. Membandingkan pelaksanaan Pemilu pada masa Demokrasi Parlementer dengan pemilu pada
masa Reformasi.
4. Menjelaskan kebijakan dan sistem ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer
ARTI PENTING
Mempelajari sistem demokrasi parlementer yang berlangsung di Indonesia pada tahun 1950-an,
dapat memberikan pembelajaran pada kita tentang bagaimana bangsa Indonesia belajar
berdemokrasi pada masa awalnya. Hal ini tentu saja dapat menjadi hikmah bagi kita di tengah
kehidupan demokratis yang kini tengah berlangsung. Begitu pula dengan sistem ekonomi nasional
yang diberlakukan. Penerapan kebijakan di bidang ekonomi dalam suasana demokratis seperti pada
tahun 1950-an tentu dapat menjadi pembelajaran kesejarahan yang positif bilamana kita hendak
membandingkannya dalam konteks kekinian.
A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal Mengamati Lingkungan
1. Sistem Pemerintahan
Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah
menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem
parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial
digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet
parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat
itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem
parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat
pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada
masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD Sementara 1950 atau
dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan hukum
Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal
kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut
UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya Kabinet disusun menurut perimbangan
kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai
dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula
Demokrasi Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa
ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet. Salah satu ciri yang
nampak dalam masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali terjadi
pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara
partaipartai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan
dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet mulai
Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI)
1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-
1959. Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula
Masyumi diberi kesempatan untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama
setelah Pemilihan Umum 1955. Namun PNI pun tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah
pimpinan Ir. Djuanda. Kabinet-kabinet tersebut pada umumnya memiliki program yang tujuannya
sama, yaitu masalah keamanan, kemakmuran dan masalah Irian Barat (saat ini Papua Barat). Namun
setiap kabinet memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan
pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI sering
menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang menguntungkan perjuangan pembebasan
Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri. Apabila kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu
maka akan nampak halhal yang menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya,
Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin
PENGAYAAN
Coba kamu cari tahu apa yang dimaksud dengan zaken kabinet partai agar kabinetnya
mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang besar. Namun pada
kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang diinginkan, terutama kesulitan
dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet. Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada
6 September 1950, tidak melibatkan PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.
Latar belakang masalah dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang menyebabkan
goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan pemerintahannya,
kelompok oposisi segera melancarkan kritik terhadap jalannya pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir
dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan
Pemerintah No 39 tahun 1950 tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-
lembaga perwakilan daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah no 39 tahun 1950
oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat demokratis
karena dalam PP no 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara bertingkat. Berdasarkan
pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini
menyebabkan menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan kabinet
dengan parlemen tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada
Soekarno pada 21 Maret 1951. Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan
pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk memilih tim formatur kabinet yang kemudian
menghasilkan Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya
yang tidak melibatkan PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di
dalamnya, sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI. Partai-
partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan,
berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja
tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh
adalah Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-
DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga
mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang
menimbulkan pertikaian politik dan konflik kepentingan. Kebijakan lain yang menimbulkan masalah
dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad
Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan
bahaya perang) tanpa persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini
ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad
Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman. Kondisi Kabinet Sukiman semakin
terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan
dengan penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad
Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang
diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima
bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota Menteri
Luar Negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini
dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia
ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar negeri
bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya
kepada presiden untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului
pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952. Kalau dibandingkan
dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan bahwa partai-partailah yang
memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi personalia,
pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah sepenuhnya terletak ditangan
partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing,
perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan masalah-masalah praktis yang dihadapi. Kemudian
Presiden Soekarno memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk
kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas dibandingkan
dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII dalam pemerintahan. Dukungan ini
memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini
mempengaruhi iklim politik dalam kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan
Parindra dalam pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi
oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan Partai-partai (PKI, PSII, Perti,
Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia, PRN, Parindra, Partai Rakyat Indonesia
dan Partai Indo Nasional) kehilangan artinya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan
adanya hubungan politik baru ini, praktis berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada
masa pemerintahan Kabinet Sukiman. Kabinet ini memiliki tugas pokok menjalankan persiapan
pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante. Namun sebelum tugas
ini dapat diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan jabatannya. Faktor yang menyebabkannya
antara lain peristiwa 17 Oktober 1952. Pada saat itu ada desakan dari pihak tertentu agar Presiden
Soekarno segera membubarkan Parlemen yang tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh golongan tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan sendiri. Kelompok
ini tidak menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD. Pihak-pihak tertentu dalam parlemen
menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan dalam pimpinan Kementrian Pertahanan dan
TNI. Ini dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan militer. Setelah itu
pimpinan TNI menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden menolak tuntutan ini,
sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya. Keberlangsungan Kabinet Wilopo semakin
terancam ketika terjadi peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa ini terkait dengan pembebasan tanah
milik Deli Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian
diminta untuk dikembalikan kepada DPV. Usaha pembebasan tanah ini mendapat perlawanan dari
penduduk. Karena menghadapi hambatan, pemerintah kemudian menggunakan alat-alat kekuasaan
negara untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur,
tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi yang kemudian mendapatkan perlawanan
dari petani yang mengakibatkan insiden yang menelan korban meninggalnya 5 orang petani.
Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut kepada pemerintah agar menghentikan
sama sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV sesuai dengan keputusan
Pemerintahan Sukiman dan semua tahanan yang terkait dengan peristiwa Tanjung Morawa segera
dibebaskan. Desakan-desakan ini akhirnya membuat Kabinet Wilopo jatuh. Jatuhnya Wilopo
membuat Presiden Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI
mengalamai kegagalan. Presiden menetapkan Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR) dan
Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini
bertujuan melanjutkan tugas Kabinet Wilopo, menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih
anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik luar
negeri, yaitu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955, namun harus meletakkan
jabatannya sebelum tugas utamanya dapat dilaksanakan. Faktor utama yang menyebabkan jatuhnya
kabinet adalah masalah pimpinan TNI- AD yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon
pimpinan TNI yang diajukan cabinet ini ditolak oleh korps perwira, kelompok Zulkifli Lubis. sehingga
timbul krisis kabinet. Menghadapi persoalan dalam tubuh TNI- AD, Parlemen mengajukan mosi tidak
percaya terhadap menteri pertahanan. Sebagai dampak dari mosi tersebut, Fraksi Progresif dalam
Parlemen menarik Mr. Iwa Kusumasumantri dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12
Juli 1955. Tidak lama berselang setelah itu kabinet akhirnya menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno pada 24 Juli 1955. Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dinyatakan demisioner,
Hatta selaku pejabat Presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan ibadah haji, segera
mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai untuk menentukan formatur kabinet. Formatur
kabinet mempunyai tugas pokok membentuk kabinet dengan dukungan yang cukup dari parlemen
yang terdiri dari orang-orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini kemudian berhasil dipenuhi oleh
Burhanuddin Harahap selaku formatur yang ditunjuk oleh Hatta. Pada tanggal 11 Agustus 1955,
Kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap diumumkan. Kabinet Burhanuddin Harahap
mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut berhasil
dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September
1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan
anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan tugasnya
Kabinet Burhanuddin meletakkan jabatannya. Kemudian dibentuk suatu kabinet baru berdasarkan
kekuatan partai politik yang ada dalam parlemen baru hasil pemilihan umum.
Selain masalah pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil menyelesaikan permasalahan dalam tubuh
TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD pada Oktober 1955. Program
lainnya yang berusaha dilaksanakan pada masa kabinet ini adalah masalah politik luar negeri dan
perundingan masalah Irian Barat. Perkembangan politik pasca pemilihan umum 1955
memperlihatkan tanda renggangnya dwi tunggal Soekarno Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955,
Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri Hatta ini
merupakan reaksi politis atas ketidakcocokan Hatta terhadap pernyataan yang dikeluarkan Presiden
Soekarno. Dalam salah satu pidatonya Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia akan sangat
gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan bersama untuk
mengubur partai-partai. Hatta sebagai seorang demokrat masih percaya pada sistem demokrasi yang
bercirikan banyak partai. Perbedaan antara Soekarno dan Hatta tidak hanya muncul pada tahun
1950an, namun sejak masa pergerakan nasional pun kedua tokoh ini telah terjadi perbedaan
pemikiran. Masa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan perjuangan revolusi membawa
kedua tokoh ini melupakan perbedaan yang ada sehingga disebut dwi tunggal. Namun, setelah
tahun 1950an tampak perbedaan menyangkut masalah demokrasi telah memecahkan mitos dwi
tunggal. Sistem demokrasi konstitusional sangat didambakan Hatta sedangkan Soekarno
menganggap sistem tersebut tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Soekarno yakin bahwa gerakan
komunisme bisa dikendalikan, sedangkan Hatta sangat menentang gerakan komunisme dan
menganggapnya sebagai bahaya laten yang harus dilenyapkan. Pergolakan politik dan keadaan
keamanan yang semakin memburuk telah mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi Presiden
pada tanggal 21 Februari 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mengabil alih pemerintahan dan
mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, suatu konsep demokrasi yang sangat diidamkan
oleh Soekarno namun sangat ditentang oleh Hatta. Sikap Hatta ini diungkapkannya dalam tulisannya
Demokrasi Kita. Hatta menuliskan bahwa “bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang
bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien ada baiknya diberikan kesempatan yang sama
dalam waktu yang layak apakah sistem itu akan menjadi suatu sukses atau kegagalan”.
Penunjukkan tim formatur untuk membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 agar berbeda
dengan sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang
pemilu sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet
mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet. Presiden Soekarno kemudian
memilih Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Dalam
pembentukan kabinet tidak ada kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk memunculkan
pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu tidak disertakan. Hal ini karena
Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet. Pada waktu formatur menyerahkan susunan
kabinet kepada Presiden Soekarno untuk disetujui, Presiden tidak langsung menyetujui. Ia kecewa
dengan susunan kabinet yang akan dibentuk yang tidak melibatkan PKI. Presiden menghendaki
masuknya PKI dalam kabinet. Namun kehendak Presiden tidak bisa diterima oleh formatur karena
susunan kabinet yang dibentuk merupakan hasil persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai PNI,
Masyumi, NU dan PSII agar mau menerima wakil PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam
kabinet. Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh dari
ketiga partai tersebut. Presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan kabinet yang telah
disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam kabinet. Pada tanggal 20 Maret
1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini
dikenal sebagai Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama yang memiliki
Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya mencakup masalah Irian Barat, masalah otonomi
daerah, masalah perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan dan pembentukan ekonomi
keuangan. Dalam menjalankan programnya Kabinet Ali II muncul berbagai peristiwa-peristiwa baru
antara lain gagal memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat yang akhirnya membatalkan
perjanjian KMB. Munculnya masalah anti Cina diantara kalangan rakyat yang kurang senang melihat
kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Selain itu mulai meningkatnya sikap kritis
daerah terhadap pusat. Kondisi ini mendorong lemahnya Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan
hasil pemilihan umum pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan Kabinet Ali
Sastroamidjojo semakin turun. PENGAYAAN Coba kamu cari informasi tentang pergolakan daerah
yang muncul pada masa Kabinet Ali II
Kurangnya tindakan tegas dari kabinet terhadap pergolakan yang muncul membuat Ikatan Pembela
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid, namun tidak
berhasil. Ali akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret
1957. Demisionernya Kabinet Ali II dan munculnya gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah
membuat Presiden Soekarno mengumumkan berlakunya Undang-undang negara dalam keadaan
darurat perang atau State van Oorlog en Beleg (SOB) di seluruh Indonesia. Keadaan ini membuat
angkatan perang mempunyai wewenang khusus untuk mengamankan negara. Menyikapi situasi
jatuh bangunnya kabinet, Soekarno melalui amanat proklamasi 17 Agustus 1957 menyatakan
bahwa:
“Sistem politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Ya,
nyata demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktikan di Indonesia, bukan satu sistem politik
terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa
yang kita namakan dengan demokrasi itu, tidak menjadi makin kuat dan makin sentosa, melainkan
menjadi makin rusak dan makin retak, makin bubrah dan makin bejat. (Presiden Soekarno, Amanat
Proklamasi III, 1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986).
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno
mengundang ke Istana Negara para tokoh partai dari tingkat daerah hingga pusat, dan tokoh militer
untuk mendengarkan pidatonya yang dikenal dengan Konsepsi Presiden. Konsepsi tersebut
bertujuan untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet yang sering dihadapi
dengan dibentuknya kabinet yang anggotanya terdiri dari 4 partai pemenang pemilu dan
dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya dari golongan fungsional dalam masyarakat.
Sayangnya gagasan ini dikeluarkan tanpa terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada kabinet yang
tengah mengalami masalah yang cukup berat. Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi
liberal yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, dan merupakan
demokrasi impor. Ia ingin menggantinya dengan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia, yang disebutnya dengan Demokrasi Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan
yang cukup sengit baik di parlemen maupun di luar parlemen. Usaha Presiden Soekarno untuk
mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet berkaki empat akhirnya gagal. Kaum
politisi dan partaipartai tetap mau melakukan politik “dagang sapi”, yaitu tawar menawar
kedudukan untuk membentuk kabinet koalisi. Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri, “Dr. Ir.
Soekarno, warga negara, sebagai formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer yang akan
bertindak tegas dan yang akan membantu Dewan Nasional sesuai konsepsi Presiden. Soekarno
berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana
Menteri dengan tiga wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU dan Parkindo. Kabinet ini
resmi dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini tidak
menyertakan Masyumi di dalamnya. Kabinet Djuanda merupakan Zaken Kabinet dengan beban
tugas yang harus dijalankan adalah perjuangan membebaskan Irian Barat, dan menghadapi keadaan
ekonomi dan keuangan yang memburuk.
Kabinet Djuanda untuk menyelesaikan tugasnya menyusun program kerja yang terdiri dari lima pasal
yang dikenal dengan Panca Karya, sehingga kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya. Kelima
program tersebut meliputi
1. Membentuk Dewan
2. Normalisasi keadaan Republik
3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
4. Perjuangan Irian
5. Mempergiat pembangunan Dewan Nasional merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957.
Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda
pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini
dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari golongan
fungsional. Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet
Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya adalah mantan Presiden Mohammad Hatta.
Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini
membahas permasalahan-permasalahan pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan,
angkatan perang, kepartaian serta masalah Dwitunggal Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian
menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian. Pada akhir acara Munas
dibacakan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh Soekarno Hatta yang bunyinya antara lain
bahwa:
“... adalah kewajiban mutlak kami untuk turut serta dengan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah RI
serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela dasar-dasar proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi, Dep.Kominfo, 2005) Untuk menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk
mempergiat pembangunan dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah ini
bertujuan khusus untuk membahas dan merumuskan usahausaha pembangunan sesuai dengan
keinginan daerah. Oleh karena itu, kegiatan ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh pusat dan daerah serta
semua pemimpin militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol. Achmad Husein dari Komando
Militer Sumatera Tengah. Perlu kalian ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas
wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan
peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang
dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada
pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari
Indonesia.” Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan
tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari
daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini
menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan
menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara yang
berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap
perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia. Melihat kondisi inilah
kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara
yang berbunyi:
Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya
adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-
kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006)
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek
penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah
mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu
mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan
dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai
alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai
alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas
kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar.
Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2
menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, karena wilayah itu belum diakui
secara internasional. Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang menjadi garis
batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum
memperoleh pengakuan internasional, pemerintah RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut
menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia. Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda
membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang
baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan
harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui
konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam
deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State Principle atau negara
kepulauan. Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations
Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya
dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16
November 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia
internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum
laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an. Pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika
masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan
tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
2. Sistem Kepartaian
Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk
memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya
partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan. Paska proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI
memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan
amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan
adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23
Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai
partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan pembentukan
partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3
November 1945. Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan
kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru. Diantara partai-partai tersebut
tergambar dalam bagan berikut ini: Nama Partai Pimpinan Tanggal Berdiri Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) Dr. Sukirman Wiryosanjoyo 7 November 1945 Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sidik Joyosukarto 29 Januari 1945 Partai Sosialis Indonesia (PSI) Amir Syarifuddin 20 November 1945
Partai Komunis Indonesia (PKI) Mr. Moh. Yusuf 7 November 1945 Partai Buruh Indonesia (PBI) Nyono
8 November 1945 Partai Rakyat Jelata (PRJ) Sutan Dewanis 8 November 1945 Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) Ds. Probowinoto 10 November 1945 Partai Rakyat Sosialis (PRS) Sutan Syahrir
20 November 1945 Persatuan Marhaen Indonesia (Permai) JB Assa 17 Desember 1945 Partai
Katholik Republik Indonesia (PKRI) IJ Kassimo 8 Desember 1945. Sistem kepartaian yang dianut pada
masa demokrasi liberal adalah multi partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad
Hatta agar memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa
pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita
dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan
perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk
memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang
ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang
tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen
sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang
memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet
tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya
yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan
keamanan. Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun
kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal
menuju demokrasi terpimpin.
3. Pemilihan Umum 1955
Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang
ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak
kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan
Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada
masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan
pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama
dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa.
Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota
parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota
Dewan Konstituante (badan pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955.
Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.
Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan
penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat.
Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang
menilai bahwa pemilihan umum 1955 merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan
di Indonesia. Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus
1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena pada
pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi,
rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang
meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula. Dalam proses pemilihan umum 1955
terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86
organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka
yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)
Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya
diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul
Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut : PNI 57 kursi
Masyumi 57 kursi Nahdatul Ulama 45 kursi PKI 39 kursi Pemilihan Umum 1955 menghasilkan
susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24
Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan
menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka
berakhirlah masa tugas DPR yang lama dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah
suara terbanyak di DPR. Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota
Dewan Konstituate. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember
1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk
menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal
134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar)
bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia
yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”. Berdasarkan hasil pemilihan
tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang
mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan
anggota legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI. PNI 119 kursi Masyumi
112 kursi Nahdatul Ulama 91 kursi PKI 80 kursi Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari
anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota
Konstituate jika ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak
memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang
ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12
kursi dan golongan Arab 6 kursi. Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak
tahun 1956 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S
1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait
dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang
mendasar diantara usulan dasar negara yang ada. Pembahasan mengenai dasar negara mengalami
banyak kesulitan karena adanya konflik ideologis antar partai.
Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan dasar negara yang diusung oleh partai-partai;
1. Dasar negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki;
2. Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII;
3. Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh.
Ketiga usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan Islam karena
Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi, hanya sembilan suara. Dalam
upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar negara, kelompok
Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan dimasukannya nilai-nilai
Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan
undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya
untuk mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua
kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil
menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno
dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945.
Konstituante harus menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya
tanpa perubahan. Menyikapi usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam
bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante
pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga
kali diadakan pemungutan suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang
menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul dengan masa reses (masa
tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri
sidang lagi. Kondisi inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat
genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat
(Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda,
melarang sementara semua kegiatan politik dan menunda semua sidang Dewan Konstituante.
Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan Nasional,
Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari
pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden
1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan Dewan
Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD
Sementara 1950. Dekrit juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-
singkatnya. TUGAS Buatlah essay mengenai perbandingan antara pemilu tahun 1955 dengan pemilu
yang dilaksanakan sekarang.
B. Mencari Sistem Ekonomi Nasional
1. Pemikiran Ekonomi Nasional
Pemikiran ekonomi pada 1950an pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur
perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam
mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama.
Warisan ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh
perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak perekonomian
Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir ekonomi nasional di setiap kabinet di
era demokrasi parlementer. Upaya membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet
pertama di era demokrasi parlementer, Kabinet Natsir. Perhatian terhadap perkembangan dan
pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Soemitro
mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan dari kelas ekonomi menengah pribumi
yang kuat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas
pengusaha pribumi, karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu,
pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan bimbingan
konkret dan bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka secara bertahap pengusaha
pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang
perdagangan akan berhasil. Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir
dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan
Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng. Program ini
antara lain mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta
membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah
perlindungan pemerintah. Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum pengusaha
pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing
lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberi peluang usaha sebesar-besarnya bagi
pengusaha pribumi dengan bantuan kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kelas
pengusaha pribumi yang mampu meningkatkan produktivitas barang dan modal domestik.
Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng,
pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan. Mereka yang menerima lisensi bukanlah
orang-orang yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang yang
mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi
dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik. Akibatnya,
pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada
yang menyalahgunakan maksud pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan
menjual lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang
kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain dalam pelaksanaan Politik Benteng
adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina
dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi. Orang Indonesia hanya digunakan untuk
memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan
keturunan Cina. Perusahaan yang lahir dari kerja sama tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-
Baba". Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga keturuan Cina. Usaha lain yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan
Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas
usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga
keturuan Cina pada khususnya. Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari
pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan
lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi
negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat
Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi. Pemerintah,
selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek
untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah uang yang
beredar dan mengatasi defisit anggaran. Untuk itu pada tanggal 20 Maret
1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan
memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang mempunyai
nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin.
Upaya pembangunan ekonomi nasional juga diwujudkan melalui program pembangunan rencana
lima tahun, 1956-1960, yang disiapkan oleh Biro Perancang Nasional (BPN). Program ini pertama kali
dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Program Pembangunan Rencana Lima Tahun
berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis
dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima
Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu
mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.
Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini berupa tindakan pencabutan hak milik Belanda atau
asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah Republik
Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing sudah dilakukan sejak pengakuan kedaulatan pada
tahun 1949. Hal ini terkait dengan hasil KMB yang belum terselesaikan, yaitu kasus Irian Barat yang
janjinya satu tahun setelah berakhirnya KMB akan dibicarakan kembali, namun tidak dilaksanakan
sehingga pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil kebijakan untuk melakukan nasionalisasi
perusahaan Belanda. Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua
tahap; pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah
pengawasan”. Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-
perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan. Tahap ini dimulai pada Desember
1958 dengan dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di
Indonesia. TUGAS Buatlah karikatur yang menggambarkan tentang Program Gunting Syarifuddin,
Gerakan Benteng, Program Ali Baba, Gerakan Asaat (pilih salah satu). Ikuti petunjuk guru kalian.
2. Sistem Ekonomi Liberal
Sesudah pengakuan kedaulatan, Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan
yang cukup berat dampak dari disepakatinya ketentuanketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai
utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur perekonomian yang
diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor Indonesia pada saat itu masih
sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi pada
era sebelum Perang Dunia II. Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu
mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka
pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang
beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah
adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah. Beban berat ini
merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era ini, Pemerintah mengalami deficit
sebesar Rp 5,1 miliar. Defisit ini sebagian besar berhasildikurangi dengan pinjaman
pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea.
Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya
volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki
komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak perkembangan
perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi, bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya
situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat. Disamping itu,
pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang
masih ada untuk meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik
keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh pemeritah
Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang
cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak
mampu menghasilkan perubahan yang drastis. Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk
menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang
dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan
industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan.
Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan
penanaman modal asing. Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia
mengirim delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek).
Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan
Indonesia terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut: 1. Pembatalan Persetujuan Finek
hasil KMB 2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral 3. Hubungan
finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain. Namun usul Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga
pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya
dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan
melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.
Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara pada masa Kabinet
Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang
kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana
Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen.
Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk
dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik yang timbul tidak
dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang dalam
penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini mendorong meningkatnya
prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari angka 20% di tahun 1950
dan 100% di tahun 1960.
KESIMPULAN
1. Salah satu ciri yang nampak dalam masa Demokrasi Parlementer adalah seringnya terjadi
penggantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali
Sastroamijoyo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan Kabinet Djuanda.
2. Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah
karena adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang tidak pernah dapat terselesaikan
dengan baik. Pada masa ini, sistem kepartaian yang diterapkan memang bersifat multi partai.
3. Pemilu pertama di Indonesia berhasil dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer, dan
menampilkan empat partai besar dalam perolehan kursi hasil pemilu : PNI, Masyumi, NU dan PKI.
4. Dalam bidang ekonomi, kebijakan ekonomi yang diterapkan pada 1950an umumnya merupakan
upaya untuk menggantikan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.
BAB III Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
“Masalah kita, bangsa Indonesia, hanya bisa dipecahkan dengan perumusan nilai-nilai murni bangsa
sendiri....
(Soekarno, Susunlah Konstituante yang benar-benar Konstituante, pidato Presiden Soekarno di
Depan Dewan Konstituante pada saat pembukaan)
Kutipan di atas merupakan pidato Presiden Soekarno di depan Dewan Konstituante Republik
Indonesia yang akan bersidang menyusun UUD baru menggantikan UUD Sementara 1950. Harapan
Bung Karno bahwa UUD yang baru terbentuk nanti memuat nilai-nilai bangsa Indonesia, sehingga
bisa menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Presiden Soekarno
mencoba mengusulkan pemikirannya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa
Indonesia melalui konsepsi yang dikenal dengan Konsepsi Presiden 1957. Konsepsi ini merupakan
gagasan pembaruan kehidupan politik dengan sistem demokrasi terpimpin sebagai upaya
penyelesaian permasalahan bangsa Indonesia. Soekarno berpendapat bahwa sistem Demokrasi
Terpimpin adalah jawaban terhadap kegagalan sistem Demokrasi Parlementer yang memunculkan
pergolakan, pembangkangan dan instabilitas politik. Pendapat Presiden Soekarno ini wujud
ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi yang dianut pemerintah masa demokrasi liberal. Perlu
kamu ketahui, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno secara
resmi menerapkan pemikirannya dengan mengganti sistem Demokrasi Parlementer menjadi
Demokrasi Terpimpin. Melalui sistem ini, Presiden Soekarno membawa
Indonesia ke dalam suasanakonflik antar kekuatan politik yang pada akhirnya
melahirkan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemikiran politik Soekarno akhirnya menjepit
dirinya dan mengantarkannya kepada kejatuhan kekuasaan yang dipegangnya sejak 1960.
Sejarah Indonesia
ARTI PENTING
Belajar Sejarah Demokrasi Terpimpin penting bagi kesadaran bangsa Indonesia untuk memahami
salah satu bentuk demokrasi dan sistem ekonomi yang pernah diterapkan di negeri ini. Pemahaman
dan pengalaman kita akan kehidupan berdemokrasi diharapkan menjadi semakin kaya. Tentu
dengan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan yang ada.
A. Dinamika Politik Masa Demokrasi Terpimpin Mengamati Lingkungan
1. Menuju Demokrasi Terpimpin
Kehidupan sosial politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950 hingga 1959) belum pernah
mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet yang silih berganti membuat program kerja kabinet
tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Partai-partai politik saling bersaing dan saling
menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok masing-masing. Di sisi lain,
Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia. Padahal Presiden Soekarno menaruh
harapan besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi
yang lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi raba-
raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden
Soekarno semata.
Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik
yang ada, setidaknya menyederhanakan partai-partai politik yang ada dan membentuk kabinet yang
berintikan 4 partai yang menang dalam pemilihan umum 1955. Untuk mewujudkan keinginannya
tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh politik dan tokoh militer
menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi krisis-krisis kewibawaan pemerintah
yang terlihat dari jatuh bangunnya kabinet. Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki
dibentuknya kabinet berkaki empat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan
PKI. Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya
terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat. Lebih jauh Presiden juga menekankan bahwa
Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa
dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin sendiri
merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957.
Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial
dan kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957.
Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama, dalam pembaruan
struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh
kekuatankekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan
kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-
partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan
fungsional atau golongan karya. Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh
Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama adalah
pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba
mengganti sistem demokrasi parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan
demokrasi terpimpin. Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali
ke UUD 1945. Usulan ini berawal dari KSAD Mayor Jenderal Nasution yang mengajukan usul secara
tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan pelaksanaan demokrasi terpimpin. Usulan
Nasution ini kurang didukung oleh wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung
mempertahankan UUD Sementara 1950. Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno ragu
untuk mengambil keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya Presiden Soekarno menyetujui
untuk kembali ke UUD 1945. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah
mengeluarkan suatu keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang pelaksanaan demokrasi
terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan ini pun kemudian disampaikan Presiden
Soekarno di hadapan anggota DPR pada tanggal 2 Maret 1959. Karena yang berwenang menetapkan
UUD adalah Dewan Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat terkait kembali ke UUD 1945
di hadapan anggota Dewan Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Dalam amanatnya Presiden
Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi dan
mendengarkan amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai
sebuah negara kesatuan. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian meminta anggota Dewan
Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa adanya tanpa perubahan dan menetapkannya
sebagai UUD RI yang tetap. Dewan Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk
mengambil keputusan terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan pemungutan sebanyak
tiga kali tidak mencapai kuorum untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap.
Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya
untuk selamanya. Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan
menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante. Kondisi ini membuat situasi
politik menjadi sangat genting, konflik politik antarpartai semakin panas dan
melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah munculnya beberapa pemberontakan di
daerah yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencegah munculnya ekses-
ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan
Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H.
Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku
mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 Pagi. KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan
kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekrit
Presiden. Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di
Dewan Konstituante untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante. Presiden Soekarno
memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan masa depan bangsa
Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno
memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan
anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr.
Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian
pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk memberlakukan
kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga menyepakati untuk mengambil langkah untuk
melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang berlangsung selama 15
menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan dekrit yang memuat tiga hal pokok
yaitu :
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara
(UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante mengadakan reses yang akhirnya
untuk selamanya. Hal ini disebabkan beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan
menghadiri sidang lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante. Kondisi ini membuat situasi
politik menjadi sangat genting, Konflik politik antarpartai Semakin panas dan melibatkan masyarakat
di dalamnya ditambah munculnya beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat
ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan Konstituante, Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A.H. Nasution, atas nama
pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku mulai tanggal 3 Juni
1959, pukul 06.00 Pagi. KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan kepada Presiden
Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD 1945 dengan suatu Dekrit Presiden.
Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan
Konstituante untuk tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante. Presiden Soekarno
memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah yang menentukan masa depan bangsa
Indonesia dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno
memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, pimpinan TNI, dan
anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr.
Wirjono Prodjodikoro, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian
pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk memberlakukan
kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga menyepakati untuk mengambil langkah untuk
melakukannya melalui Dekrit Presiden.
Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi yang berlangsung selama 15
menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengumumkan dekrit yang memuat tiga hal pokok
yaitu :
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara
(UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun merasakan
ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan dekrit akan tercipta suatu
stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit juga didukung
oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah satu
konseptor dekrit, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan
dan mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya
pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja
terus di bawah naungan UUD 1945. Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang
dirumuskan Presiden Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan melalui
Staatsnoodrecht, hukum negara dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini terpaksa diambil
karena keadaan tatanegara dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan juga mengancam keutuhan NKRI. Sehari sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Perdana
Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.
Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet Kerja.
Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri
pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri
dari sembilan menteri dan dua puluh empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para ketua
partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai. Namun kabinet ini
mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri
negara ex officio. Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan dalam
negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat. Pembentukan kabinet
kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung
diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS bertugas
menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPA
dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang wakil /utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu
orang wakil ketua. Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI,
Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya. Dalam pidato tersebut,
Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi,
gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan
secara total. Pidato tersebut diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. DPA dalam sidangnya
bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17
Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima
usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik
Indonesia” disingkat Manipol. Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui
Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa
orang wakil ketua. Anggota MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan pengangkatan
oleh presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Mereka yang
diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada
perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto Politik. MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2
1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sementara itu untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum 1955 tetap menjalankan
tugasnya dengan landasan UUD 1945 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang diajukan
pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1959. Pada
awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan menjadi kebijakan
Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR secara aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akan tetapi benih konflik sebenarnya sudah mulai muncul
antara ketua DPR dan Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada
Presiden Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur
kenegaraan sesuai dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet. Bahkan Sartono
meyakinkan presiden bahwa mandat itu pasti akan diberikan, namun Presiden Soekarno menolak, ia
hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan lain-lain, bukan untuk
meminta mandat. Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR. Konflik terbuka antara DPR
dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana Anggaran
Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah. Penolakan tersebut membawa dampak
pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960. Ia kemudian mendirikan DPR
Gotong Royong (DPRGR). Para anggota DPRGR ditunjuk Presiden tidak berdasarkan perimbangan
kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis,
Islam, Komunis, KristenKatolik dan golongan fungsional. Sehingga dalam DPRGR terdiri atas dua
kelompok besar yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya) dengan perbandingan 130
wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional. Pelantikan anggota DPRGR dilaksanakan pada 25
Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat
dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Kedudukan DPRGR adalah Pembantu Presiden/Mandataris
MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu
yang telah ditetapkan oleh MPRS. Pembubaran DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi
dari berbagai pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI. Tokoh NU yang pada awalnya keberatan
atas pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam akan menarik pencalonan anggotanya
untuk DPR GR. Akan tetapi sikap ini berubah setelah jatah kursi kursi NU dalam DPRGR ditambah.
Namun, K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI
dalam suatu kabinet dan NU sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama
dengan PKI. Tokoh dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno datang dari dua
orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo. Sartono merasa prihatin
terhadap perkembangan yang ada dan Iskaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk dalam
DPRGR bukanlah wakil PNI. Hubungan mereka dengan PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka yang
duduk dalam DPRGR adalah hasil penunjukkan. Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang
menolak pembubaran DPRGR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan dirinya
Liga Demokrasi. Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi,
Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan.
Kelompok ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPRGR. Namun Liga Demokrasi ini
kemudian dibubarkan oleh Soekarno. Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan
Demokrasi Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front Nasional.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959. Dalam penetapan ini
disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional langsung diketuai oleh
Presiden Soekarno. Langkah Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan regrouping kabinet
berdasarkan Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian lembaga-lembaga
tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS, DPRGR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan
Perancang Nasional dipimpin langsung oleh Presiden. Pengintegrasian lembaga-lembaga tersebut
dengan eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta
dalam sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan
pemerintah pada lembaganya masing-masing. Selain itu Presiden juga membentuk suatu lembaga
baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan
Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam
mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR
meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan
para pemimpin partai politik Nasakom. Penilai terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang
dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya dalam
Majalah Islam Panji Masyarakat pada tahun 1960 yang berjudul “demokrasi kita”. Hatta
mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan Presiden, tugas-tugas DPR sampai pada
pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’, yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal batas
kemerdekaan, lupa syaratsyarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan
oleh diktator. TUGAS a. Bacalah materi halaman 82-89 tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
tindak lanjut setelah Dekrit tersebut dibacakan Soekarno. b. Kemudian gambarkan bagan
struktur lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA) berdasarkan UUD 1945
sebelum Amandemen sekarang atau yang berlaku setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibacakan. c.
Gambarkan pula struktur lembaga-lembaga negara pada masa Demokrasi Terpimpin. d. Buatlah
analisis perbandingan antara kedua bagan struktur tersebut, dan berikan komentar tertulis.
2. Peta Kekuatan Politik Nasional
Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya.
TNI, yang sejak kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta
pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik. Dihidupkannya UUD 1945
merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh TNI
AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan
dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa
terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.
Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada tahun 1952
dari puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada
pemilihan umum 1955. Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7 1959, partai ini mendapat
tempat dalam konstelasi politik baru. Kemudian dengan menyokong gagasan Nasakom dari Presiden
Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya. Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan
memanfaatkan dukungan yang diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.
PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno. PKI menerapkan
strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra
sebagai Pancasilais dan pedukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen
adalah sama halnya dengan melaksakan program PKI. Hanya kaum Manipolis munafik dan
kaum reaksionerlah yang berusaha menghambat dan menyabot
manipol. Apa yang diungkapkan Aidit ini merupakan suatu upaya untuk memperoleh citra sebagai
pendukung Soekarno. PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno sebaik-
sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang sah dalam konstelasi politik
Indonesia. Kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat
meningkat. Bahkan ketika Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan
presiden, konsep awal disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai yang
memberontak. Namun dalam keputusan final, Presiden Soekarno
meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata “memberontak”, sehingga rumusannya
berbunyi “sedang memberontak karena para pemimpinnya turut dalam pemberontakan....”. Sesuai
dengan rumusan itu maka partai yang calon kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI.
Sebaliknya, PKI yang pernah memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar
Gonggong, 2005) PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik dari
masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit, Siapa setuju Nasakom harus
setuju Pancasila. Berbagai pidato Soekarno dikutip disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-
olah sejalan dengan gagasan dan cita-cita PKI. PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan berbagai
isu yang memberi citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis dan pendukung Presiden
Soekarno yang paling setia. Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk kabinet Gotong Royong
(Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam dan TNI AD, PKI
mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh kedudukan dalam MPRS, DPRGR, DPA dan
Pengurus Besar Front Nasional serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR).
Kondisi ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan mengajukan
calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI dalam komposisinya. Upaya ini tidak
mencapai hasil yang optimal karena Presiden Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada
anggota PKI.
Ketika TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan pengacauan di Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, pimpinan TNI AD mengambil tindakan
berdasarkan UU Keadaan Bahaya mengambil tindakan terhadap PKI dengan melarang terbitnya
Harian Rakyat dan dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan kawankawan, namun mereka
berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah juga dibekukan. Namun tindakan TNI AD ini tidak
disetujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan segala keputusan dicabut kembali. Presiden
Soekarno melarang Peperda mengambil tindakan politis terhadap PKI. Pada akhir tahun 1964, PKI
disudutkan dengan berita ditemukannya dokumen rahasia milik PKI tentang Resume Program
Kegiatan PKI Dewasa ini. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan
kekuasaan. Namun pimpinan PKI, Aidit, menyangkal dengan berbagai cara dan menyebutnya sebagai
dokumen palsu. Peristiwa ini menjadi isu politik besar pada tahun 1964. Namun hal ini diselesaikan
Presiden Soekarno dengan mengumpulkan para pemimpin partai dan membuat kesepakatan untuk
menyelesaikan permasalahan diantara unsur-unsur di dalam negeri diselesaikan secara musyawarah
karena sedang menjalankan proyek Nekolim, konfrontasi dengan Malaysia. Kesepakatan tokoh-
tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor. Namun PKI melakukan tindakan sebaliknya
dengan melakukan sikap ofensif dengan melakukan serangan politik terhadap Partai Murba dengan
tuduhan telah memecah belah persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta akan
membunuh ajaran dan pribadi Presiden Soekarno. Upaya-upaya PKI ini membawa hasil dengan
ditangkapnya tokohtokoh Murba, diantaranya Soekarni dan partai Murba dibekukan oleh Presiden
Soekarno. Merasa kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh kedudukan
dalam kabinet. Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi corat-coret, pidato-pidato dan petisi-
petisi yang menyerukan pembentukan kabinet Nasakom. Mereka juga menuntut penggantian
pembantu-pembantu Presiden yang tidak mampu merealisasikan Tri Program Pemerintah, serta
mendesak supaya segera dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom. Terhadap
TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka mematahkan pembinaan teritorial yang
sudah dilakukan oleh TNI AD. Seperti peristiwa Bandar Betsy (Sumatera Utara), Peristiwa Jengkol.
Upaya merongrong ini dilakukan melalui radio, pers, dan poster yang menggambarkan setan desa
yang harus dibunuh dan dibasmi. Tujuan politik PKI disini adalah menguasai desa untuk mengepung
kota.
3. Pembebasan Irian Barat
Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah kabinet RI adalah masalah Irian
Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Akan tetapi
dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan
berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang berbunyi:
“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya
semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan
rukun, maka status quo Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu
setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah
kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan
Kerajaan Nederland”.(Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen
Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956)
Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui konferensi uni
yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun upaya penyelesaian secara bilateral
ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis
Umum PBB. Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami
kegagalan. Indonesia pun kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya
dilakukannya Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan dalam
menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa Belanda
melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian. Karena
jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat,
pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Upaya ini telah dilakukan Indonesia
sejak tahun 1957, jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat,
dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh. Untuk
mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan
menyerahkannya kepada pemerintah. Hubungan Indonesia semakin memuncak ketegangan pada 17
Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah
kerajaan Belanda.
Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB
menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Dalam
pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa:
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan
sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah
berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran
hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak
memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi, Depkominfo, 2005)
Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat
di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan
Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam waktu dua
tahun. Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bungker. Usulan itu secara
prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan waktu yang lebih singkat. Sedangkan
pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan
pemerintah Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan
uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat. Setelah upaya merebut kembali Irian
Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI
menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer
untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada
awalnya usaha ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun
tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan ke negara-negara Blok Timur
(komunis), terutama ke Uni Soviet. Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian barat tidak diserahkan
ke Indonesia secara damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat
perkembangan persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa
Indonesia akan melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat
dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian,
diantaranya adalah kapal induk Karel Doorman.
Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan
didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun militer.
Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal
19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando untuk
berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi
dari Trikora tersebut adalah :
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.
Dengan dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua. Langkah
pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 1 tahun 1962
tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di
bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto. Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya,
unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo Boat, telah melakukan penyusupan ke Irian
Barat. Namun upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di
laut Aru antara kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda. Naas Kapal MTB Macan
Tutul, berhasil ditembak Belanda sehingga kapal terbakar dan tenggelam. Peristiwa ini memakan
korban Komodor Yos Sudarso, Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan
tenggelamnya MTB Macan Tutul. Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan
militer di bawah Komando Mandala. Belanda menganggap bahwa pasukan Indonesia tidak akan
mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian. Namun ketika operasi infiltrasi
Indonesia berhasilmerebut dan menduduki kota Teminabuan,
Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian.
Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa tuntutan pimpinan
Indonesai bukan suatu yang main-main. Sumber: Atlas Nasional Indonesia, Bakosurtanal, 2011
Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding,
agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung
di Pasifik Barat Daya. Amerika Serikat juga punya kepentingan
dengan kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya
pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York. Hal pokok dari isi
perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Belanda ke PBB. Untuk
kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang
kemudian akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Berdasarkan perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua
belah pihak harus menerima apapun hasil dari Pepera tersebut. Tindak lanjut berikutnya adalah
pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali
kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den Haag. Sesuai dengan Perjanjian New
York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat
dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jaya Pura. Kembali Irian
ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat. Sebagai tindak lanjut dari
perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksankan Act Free
Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pemerinatah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap.
Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian
dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan
PBB. Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah
dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi perjanjian New York. Sejak saat itulah Indonesia
secara de Jure dan de Facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.
4. Konfrontasi Terhadap Malaysia
Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapatkan tempat dalam
kalangan pimpinan negara. Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman
dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua
negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi Malaysia mendapat
tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang karena memiliki keinginan atas wilayah
Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik
Sultan Sulu. Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno
pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan
kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek
Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara
federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia. Untuk meredakan ketegangan di antara tiga
negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di
Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan
bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-
baiknya mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa.
Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan
Manila dan Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina
menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta
Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan
rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukan ke dalam Federasi Malaysia. Kemudian ketiga kepala
pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik. Menindaklanjuti
permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim
penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia
pada tanggal 14 September 1963. Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan
melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat
PBB dan pelangggaran Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa
penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum
Federasi Malaysia diproklamasikan. Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang
dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara
semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul
Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi
demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963,
hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada tanggal 21 September
memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir
tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara
dalam melawan Neokolonilisme Inggris. Konflik di Asia Tenggara ini menarik
perhatian beberapa negara dan menghendaki penyelesaian pertikaian
secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi
menyelesaikan masalah ini. Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan memburuknya
hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku
Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara. Upaya lainnya adalah melakukan
pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun
pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif,
sehingga diplomasi mengalami kemacetan. Ditengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964
Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwi Kora) di hadapan apel besar
sukarelawan.
“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah mencatatkan diri:
perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila,
Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik
Abdullah dan AB Lapian, 2012) Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno
membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya. Walaupun
pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya
penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada
tanggal 20 Juni 1964.
Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap
menolak pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia
ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden
Seokarno menegaskan bahwa :
“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi mencerminkan
keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita,
Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian,
2012)
Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia
menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia
dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden
Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”. Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB,
sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia
dan perombakan PBB tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesai dari PBB, Indonesia
kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan dengan
Malaysia secara damai.
1. Kebijakan sanering mata uang
2. Pola Pembangunan Semesta Berencana
3. Penurunan nilai uang dan pembekuan simpanan di Bank
4. Konsep Juanda
5. Panitia 13
6. Dekon
7. Proyek Mercusuar
B. Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi terpimpin, sebagai awal
berlakunya herordering ekonomi. Dimana alat-alat produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki
dan dikuasai oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara. Dengan demikian peranan
pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin menonjol. Pengaturan
ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi
dasar bagi kebijakan ekonomi. Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi
politiknya ditempatkan sebagai masalah strategis nasional. Kondisi ekonomi dan keuangan yang
ditinggalkan dari masa demokrasi liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa
langkah yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan
melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1000 masing-masing
nilainya diturunkan menjadi 10% saja. Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15
Agustus 1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas dewan
ini menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan mental. Pada tanggal 17
Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya
memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu perencanaan overall dan hubungan
pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin. Depernas kemudian menyusun
program kerjanya berupa pola pembangunan nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan
Semesta Berencana dengan mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan
pembangunan. Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah,
rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang tersimpul
dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint
tripola, yang meliputi pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola
pembiayaan pembangunan.
Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat untuk tahun 1961-
1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui
Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961. Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan
Perancangan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno
sendiri. Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka
pendek, baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan
menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS. Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25
Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar
untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang
kertas pecahan Rp500 dan Rp1000 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu
diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan
sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di atas Rp25.000 dengan tujuan untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian
uang lembaran Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru
yang bernilai Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari 1960. Setelah keamanan nasional berhasil
dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan
penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun
oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan
Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI
karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia. Upaya
perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia 13. Anggota panitia
ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota
Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini menghasilkan
konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri dari beberapa tahap;
Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang
bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan menuju
tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.
Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik
modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi. Peraturan
pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir sendiri terhadap
Dekon. PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam
penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas peraturan pemerintah
yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah
kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah
tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan
Malaysia. Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya
terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah satu penyebab
membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang
lebih bersifat politis dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas),
pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk Asian Games IV dan
Games Of the New Emerging Forces (Ganefo). Kondisi perekonomian yang sangat merosot
mendorong pemerintah berusaha mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang
harus dibayar kembali setelah satu atau dua tahun. Menteri Bank Sentral Yusuf Muda dalam
memanfaatkan devisa kredit ini sebagai deferedpayment khusus untuk menghimpun dan
menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan pungutan terhadap perusahaan atau
perseorangan yang memperoleh fasilitas kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar. Perusahaan
atau perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan.
Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk
menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang
bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri. Dampak dari
kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan barang mencapai 200-300% pada
tahun 1965 sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1000 (uang
lama)
KESIMPULAN
1. Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain diwarnai dengan
tampilnya dua kekuatan politik di Indonesia yang saling bersaing, yaitu PKI dengan Angkatan Darat.
2. Pada masa Demokrasi Terpimpin pula, Indonesia melakukan operasi militer untuk membebaskan
Papua dari penjajahan Belanda (Trikora). Selain itu, konfrontasi dengan Malaysia juga terjadi
(Dwikora).
3. Kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa ini antara lain berupa pembentukan Dewan
Perancang Nasional dan Deklarasi Ekonomi, serta dilakukan Devaluasi Mata Uang. Proyek Mercusuar
berupa pembangunan Monas, kompleks olahraga Senayan, Pemukiman Kebayoran juga
berlangsung. diganti dengan Rp1 (uang baru). Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru
diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan
masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan
menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Bab IV Sistem dan Struktur PolitikEkonomi Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998)
ARTI PENTING
Mempelajari sejarah masa Orde Baru, kita akan dapat memahami betapa dalam upaya untuk
mengubah situasi negara yang kacau diperlukan lebih dahulu stabilisasi di berbagai bidang. Hanya
saja kran demokrasi, sesungguhnya juga harus dijaga. Dalam hal pembangunan, kita juga harus
mengakui ada banyak keberhasilan di bidang ini, yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Meniadakan begitu saja keberhasilan tersebut sama saja kita tak mengakui pencapaian positif yang
telah diraih Indonesia hingga saat ini. Bagaimanapun sejarah merupakan perjalanan yang terus
berlanjut dan berkesinambungan.
Miniatur pulau-pulau dalam gambar di atas terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). TMII
dibangun tahun 1975 pada masa pemerintahan Orde Baru. Di dalam TMII kita dapat melihat
“Indonesia kecil” yang digambarkan melalui beragam bentuk keanekaragaman masyarakat dan
budaya Indonesia sebagai cermin persatuan Indonesia sebagaimana terungkap dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika. TMII mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal
pembangunan nasional yang menjadi program utama Orde Baru. Hal ini sesuai dengan cita-cita
proklamasi untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Orde Baru adalah suatu
sistem pemerintahan yang hendak menerapkan tatanan kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.Orde ini lahir setelah terjadinya tragedi nasional pada tahun 1965. Mengapa Orde
Baru dapat bertahan selama 32 tahun? Karena Orde Baru mampu menciptakan dan memelihara
stabilitas sosial politik dengan mewujudkan pembangunan nasional yang dirancang secara bertahap
dan berkesinambungan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Untuk menjawabnya,
mari kita gunakan Peta Konsep sebagaimana digambarkan di atas sebagai kerangka berpikir untuk
menjelaskan periode Orde Baru ini.
A. Masa Transisi 1966-1967
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa itu. Pasca
penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian
politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para
mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota antara
lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua
umum Zamroni (PMII). Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan
yang terjadi pada masa ini. Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari
Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera
menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.
1. Aksi-Aksi Tritura
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik
Indonesia. Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan
negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai
600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan
kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
RESIMEN CAKRABIRAWA
Resimen Cakrabirawa merupakan kesatuan pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada
zaman pemerintahan Soekarno. Sayangnya, sebagian anggota resimen ini kemudian berhasil
dipengaruhi PKI dan ikut terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Diantara mereka
yang terlibat, adalah Letkol Untung Syamsuri, salah seorang komandan Cakrabirawa yang justru
menjadi pemimpin G30S/PKI saat melakukan penculikan terhadap para perwira tinggi AD pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada zaman pemerintahan Soeharto, resimen ini dibubarkan. Untuk
mengawal Presiden, dibentuk kemudian kesatuan baru Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden)
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin meningkat.
Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI,
KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan
lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat
G-30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu
front, yaitu Front Pancasila. Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang
menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik
politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang
semakin memburuk.
Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa
mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat).Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi
yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu:
(1) Pembubaran PKI,
(2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan
(3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden.
Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi
Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih
bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100
Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan
menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan
bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya
mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu
keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando
Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.
Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional.
Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar
Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk
meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa
membentuk Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi KAMI. Protes terhadap pembubaran
KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali
pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa
yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri,
selain itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para
demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga Presiden
mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-
usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan
setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan,
kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta
proyek “British Malaysia”
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan
sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden
Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan
yang menuju ke Istana.
Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan
Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya.
Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan
tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Tindakan
itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama
dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam
II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil. Sementara itu, tiga orang perwira
tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud, yang juga
mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum
berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan
Darat Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu Jenderal
Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya.
Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk
Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada
kesanggupan saya. Beliau akan mengerti” Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak
pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-
S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai
kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik saat itu. Menurut Letjen Soeharto, pergolakan rakyat
tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan
jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno
menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin
Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya
perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk
membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang
disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada
kesanggupan tersebut.
Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi
oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan,
ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur,
kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan
keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno
menandatangani surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau
SP 11 Maret, atau Supersemar. Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto
selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu
kepada presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Tindakan pertama yang
dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah
membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung
ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara
Tritura telah dilaksanan. Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa
untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga
terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad tidak baik
dalam penyelesaian masalah itu. Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat
lima orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut
ialah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr.
J. Leimena.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, diantaranya:
1. Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
2. Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
3. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
4. Untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
3. Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme
kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah
kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar
PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua
kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari
Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam
pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi
mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun
Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas
harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme
kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto
sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-
tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas
harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan
pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan
pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam Sidang
MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan
Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS
secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan
sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu
Mandataris MPRS. Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno
selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi
mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato
pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”. Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden
Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi
sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR.
Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang
terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya
sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS. Melalui Keputusan Nomor
5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan
pertanggung jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30
September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10
Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap
Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya
mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang
lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga
menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September,
kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi
nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966.
Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program
kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan
pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966.
Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan
pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh
Letnan Jenderal Soeharto. Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap
Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan
resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha-
usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan
pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban
ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal
ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga
kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno. Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui
Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri
dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik
politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris
MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.
Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai
Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Kemudian,
Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui
Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas
surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft
surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu
menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada
Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik.
Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan
kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak
berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia
memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu
tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft
surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22
Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi
pengunduran dirinya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat
Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun
menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27
Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto
dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu.
Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya
pemerintahan Orde Baru.
B. Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi
Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS
tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.
Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai
presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-
kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya,
seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap MPRS
No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966) Pemerintahan Orde Baru memandang
bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan
Pancasila. Diantara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan
pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan
stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah
agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan
rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto
menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach),
termasuk di dalamnya deSoekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik
(orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk
lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi
Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970). Mengenai
kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya
mengembalikan Indonesia dari politik NefosOldefos dan “Poros Jakarta -Pnom Penh - Hanoi-Peking -
Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun
diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu tampak dari
pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau
menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi
kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam upaya
mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan
kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat,
selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia. Sebagai wujud nyata dari niat itu,
Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat
terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September
1966, Indonesia kembali aktif di forum Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Pada era Orde Lama,
Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia
bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kerjasama regional
ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967.
Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang
ekonomi dan budaya.
1. Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut
adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968.
Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang
berisi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G
30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila
dan UUD 1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di
pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah
rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu),
pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara
historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.
Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan).
Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam
pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar. Berdasarkan Tap MPRS No
IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena
berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971.
Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi
Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23
tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan
ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara
hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi
(24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar
Gonggong ed, 2005: 150) Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan
penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi
parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru
sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol,
melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu
timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu,
pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak
dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945.
Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain. Realisasi
penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan
partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai
Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam,
yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung
dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber
Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR.
(Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).
Partai Peserta Pemilu 197
Hasil Fusi Partai 1973 (Peserta Pemilu Hingga Tahun 1997) Partai NU (Nahdlatul Ulama) Parmusi
(Partai Muslimin Indonesia) PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiah) PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) PNI (Partai Nasional Indonesia) Partai Katholik
Parkindo (Partai Kristen Indonesia) PDI (Partai Demokrasi Indonesia) Partai Murba IPKI (Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Golkar (Golongan Karya) Golkar (Golongan Karya)
Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep “massa
mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai
pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan
agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).
Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360
orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat. Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru
dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde
Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah
(pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melalui kekuatan-
kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar. Meskipun anggota
ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI
(Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai
negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI,
Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan
masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa. Penyelenggaraan pemilu selama
Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi
pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan. Ketidakpuasan
yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan
pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar. Selain
melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di tingkat kecamatan
dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan,
depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa
malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974. Partai Golkar PPP (1973-1984) PPP (1984-
1997) PDI (1973-1977) Sumber: Diolah dari berbagai sumber Gambar 4.6 Lambang Golkar, PPP,
dan PDI.Peristiwa 15 Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari
1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki.
Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina di Jalan Hayam Wuruk,
Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini
mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima
Belas Januari yang populer dengan Malari (R.P Soejono ed, 2009:637)
Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi
yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan
pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus
Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan
demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. Para
mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya
menguntungkan kaum kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan
program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan
ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat. Ketika
mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal
14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi
menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di
depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka
serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Kemudian setelah Tanaka tiba di
Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang
menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi
yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya
berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra
Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan
dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang
diantaranya dipenjara.
Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk
Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang,
kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar. Selain
mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka
ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun
energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi
Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas,
pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada
seluruh rakyat.
Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas
bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi
Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek
kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya. Trilogi Pembangunan itu tidak lain
merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan
tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin
diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila. Stabilitas nasional sendiri meliputi
stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat
terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk
terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan
orang lain dan resultan dari kebebasan masingmasing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan
kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek
apapun tidak dapat ditoleransi. Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto
pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik
dan keamanan.
Trilogi Pembangunan
1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
2. Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi
konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini
disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres
Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh
rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar
tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa
penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang
teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu
(1) takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
(2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenangwenang;
(3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;
(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;
(5) suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi
Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan
P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk
komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan
pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di
Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang
dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila,
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan
sistem sosial masyarakat Indonesia. Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun
militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah
sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal
tahun ajaran atau tahun akademik. Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan
penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah
Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi
penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu,
masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak
langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau
bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan
dengan masalah sara. Meskipun demikian, akhirnya konflik yang
bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun
1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta
(Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik
datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan
banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian
disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali. Setelah P4 menjadi Tap MPR dan
dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”.
Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat
Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali
pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.
Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai
pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama. Meskipun mendapat kritikan
dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke
MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR
No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan
Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus
menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni
1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan
bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal
mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah
seragam.. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh
pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal
tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.
3. Penerapan Dwi Fungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk
bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan
bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam
rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari
pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang
hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam
lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur
dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial
lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional. Dwifungsi ABRI, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai
pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada
era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat
dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan
seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun
1968. Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang
mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR,
MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari
jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab
kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab
langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal
dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah
dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI
Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer
percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan.
Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan
Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I
Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan
Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua
Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk
pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif.
Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap
memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun
keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan
kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini
diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja
DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu
fraksi secara otonom.
Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam
formulasi kebijakan oleh MPR. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh
ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari:
(a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon,
Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”,
(b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada
waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar
sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
(c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan
berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
TUGAS Buatlah peta konsep (mind mapping) mengenai “Stabilisasi Politik Pemerintahan Orde Baru”
4. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru
Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi
kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor
produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula
sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya
berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada
masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya
pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional. Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru
dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan
diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain,
termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus
sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat. Bertolak dari kenyataan
ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi
adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun
APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan
itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari
hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya. Untuk
menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan
diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club), untuk
merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris (London Club) untuk merundingkan
hutang-piutang swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara
para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan
terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta
dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun
1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada
perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun
1965. Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru
memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA,
pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan
ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi
investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas mereka
dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun
perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan
untuk memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka,
lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang
terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional. Upaya diplomasi ekonomi ke
negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali
pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga mampu meyakinkan dan
menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya.
Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI) . Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan
antara para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967,
di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi
Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk
membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya. Selain mengupayakan masuknya dana
bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu
dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama– sama Bank
Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.
Upaya lain adalah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6 1968. Satu hal
dari UUPMDN adalah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman
modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk
menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya,
pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya. Pada 19 Januari 1967,
pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres
no.286/1968 badan itu berubah menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973,
TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini. Kebijakan-
kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif.
Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan
80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu
pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12%
(1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971. TUGAS Buatlah rangkuman mengenai
“Kebijakan Pembangunan Orde Baru”. Rangkuman kalian akan dibahas pada pertemuan berikutnya.
5. Kebijakan Pembangunan Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut
maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat
maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek
dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan
dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia. Pada masa ini pengertian
pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan
untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam usaha mewujudkan
tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993
menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan
nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana
pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang
akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969
sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal
dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu
pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah
meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka
Panjang Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang
terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu:
(1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat;
(2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan
(3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan
pemerataan pembangunan.
Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka
pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
(1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan;
(2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
(3) pemerataan pembagian pendapatan;
(4) pemerataan kesempatan kerja;
(5) pemerataan kesempatan berusaha;
(6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita;
(7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
(8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
a.Pertanian
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam
rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal
pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian
yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian.
Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh
kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.
Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan
program-program tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai
wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan
meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan.
Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan
pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki
produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan
dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan membentuk Badan Usaha Unit
Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD melakukan kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan
nasional yang diperluas dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan
obat-obatan). Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya
seperti institusi penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang
untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu
produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Pemerintah Orde
Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi
kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin
dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani,
dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang
terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi
daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih
unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun
antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh
Fertilizer di Aceh. Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan
ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam
rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah
untuk peningkatan produksi pangan terutama beras. Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk
meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah
pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor
pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta
peranan yang terus dikembangkan. Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa
dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan
dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada
akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL),
yang berada di bawah Departemen Pertanian. Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan
teknologi pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan
para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan,
kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program
pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompecapir merupakan wadah temu wicara
langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau
bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat
pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat.
Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh
Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri
Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
b. Pendidikan
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat
penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah
pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan kelompok
belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di
pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada 1973,
Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.
Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-
masing memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan
minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Pada tahun-tahun awal
pelaksanaan program pembangunan SD Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah
dibangun. Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah
gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada
awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung
SMP. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru
dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun.
Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang
sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru.
Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari
puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk
program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto
menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil
kepada Sumber : Yayasan Lalita, 1979 Gambar 4.8 Pak Harto saat mengunjungi kelas di salah satu SD
Inpres seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib
belajar itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun
(SD). Program ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki unsur paksaan dan sanksi
bagi yang tidak melaksankannya. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan
anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, di
samping tenaga pengajarnya. Meski program wajib belajar tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan
biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu beruapya
mengatasinya melalui program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program Gerakan Nasional-
Orang Tua Asuh (GN-OTA). Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat
Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195
Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat
Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Keberhasilan
program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar
1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi
itu menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib
belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti
anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar
9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres
Nomor 1 Tahun 1994. Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat
Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas
pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif,
baru kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.
Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan bidang
pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka melek huruf,
pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara yang
ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”. Kejar merupakan program
pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor
atau pembimbing setiap kelompok adalah masyarakat yang telah dapat membaca, menulis dan
berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam
setiap kejar disesuaikan dengan kondisi setiap tempat. Keberhasilan program kejar salah satunya
terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total
jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas
yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu
menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus
menyusut menjadi 15,9 persen. c. Keluarga Berencana (KB) Pada masa Orde Baru dilaksanakan
program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana
(KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah
menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB
yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Berbagai kampanye
mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media massa cetak maupun
elektronik. Pada akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an di Televisi Republik Indonesia
(TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai pentingnya KB. Baik itu melalui berita atau acara
hiburan seperti drama dan wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars “Keluarga
Berencana” ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di pinggir-
pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB. Demikian pula dalam mata uang
koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa Orde Baru sangat serius
dalam melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam kampanyekampanye KB adalah “dua
anak cukup, laki perempuan sama saja”. Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya
Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak
untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya
pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial. Keberhasilan
Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai berhasil menekan
tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan
kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang
tingkat kematian bayinya masih tinggi. Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling
sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia.
Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini. d. Kesehatan
Masyarakat, Posyandu Perkembangan puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan
oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep
pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah
proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan dan
pusat pelatihan tenaga. Kemudian didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura
(Sumut), Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung),
DIY dan Kalimantan Selatan. Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program
pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN). Konsep
Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada tahun
1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya
bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B & C. Kegiatan Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’.
Ada Basic 7, Basic 13 Health Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG,
UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A & B. Pada tahun
1977 Indonesia ikut menandatangi kesepakatan Visi : ”Health For All By The Year 2000”, di Alma Ata,
negara bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979
Puskesmas tidak ada pen’tipe’an, dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian
Puskesmas yaitu ’ Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas. Pada tahun 1984
dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu
dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan
saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil. Bahkan pada waktu-waktu
tertentu untuk promosi dan distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan
Posyandu saat ini juga menjadi andalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) seperti
PIN, Campak, dan Vit A. Perkembangan puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru,
salah satu indikatornya adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu
dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter
untuk 11,4 ribu penduduk.
C. Integrasi Timor-Timur
Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional
saat itu, yaitu perang dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi
perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing pada saat itu yaitu Blok Barat (Amerika Serikat)
dan Blok Timur (Uni Soviet) . Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975,
berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan
kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik
Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa menyebabkan jatuhnya
negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis. Kemenangan komunis di Indocina
(Vietnam) secara tidak langsung juga membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak
militer). Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara
langsung dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik. Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak
kebebasan yang diberikan oleh pemerintah baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de
Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak
demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.
Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh
pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah:
(1) Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka
secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian dari
Portugal:
(2) Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan
Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan
(3) Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor)
yang ingin bergabung dengan Indonesia.
Selain itu terdapat dua Partai kecil, yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai tersebut saling
bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara. Pada tanggal 31 Agustus
1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung
dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di
kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis dan
etnis maupun geografis. Menurutnya integrasi akan menjamin
stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu mendapat respons yang
cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya
memang merasa khawatir jika Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan
komunis. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja
keinginan orang-orang Apodeti.
Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para
pendukung “Proklamasi Balibo”, yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalista. Keempat
partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk
bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur
mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya
menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik
Indonesia. Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan,
pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini
diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di
Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis memang
tengah berlangsung. Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah
Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah
Indonesia dengan mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor
Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara
resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasannya
masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur
ke tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia) secara
diam-diam mendukung tindakan Indonesia. Mereka secara de-facto dan selanjutnya de-jure
integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu
ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya
“perang dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.
D. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi
nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap
program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara
kongkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang
bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang
diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka
partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa
dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru
cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur
jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya
pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan
penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat
kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme
merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk
kehidupan politik. Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang
baik, Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua
partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem
perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan
secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ DPR yang tidak mengenal rakyat dan
daerah yang diwakilinya. Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan
yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini
disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/ mengejar pada pertumbuhan ekonomi,
yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol
yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan.
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata
sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial
dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta
kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian. Selain masalah–masalah diatas, tidak sedikit
pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde
Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty
International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan
beberapa negara Timur Tengah,Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa
Timur, sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations
Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke 77 dari 88 pelanggar
HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190). Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga
internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa
tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut
peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979),
peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan
terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa,
yaitu peristiwa Penembak Misterius – Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984).
Pada kurun 1988-1993, terdapat peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM)
Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan
Peristiwa Nipah (September 1993). Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi peristiwa
Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret
1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12
Mei 1998). Dengan situasi politik dan ekonomi seperti diatas, keberhasilan pembangunan nasional
yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke tingkat US$ 600
di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300 perkapita diawal dekade 1990-an,
serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “ Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak
bermakna. Sebab meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi secara fundamental
pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru
menjadi penyumbang terbesar devisa negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Irian
Barat/Papua. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya
perekenomian Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
KESIMPULAN
1. Pembangunan menjadi prioritas kebijakan pemerintah Orde Baru. Program berupa Rencana
Pembangunan Lima Tahun menunjukkan adanya pelaksanaan tahap demi tahap pembangunan yang
dilakukan dengan prioritas pembangunan tertentu.
2. Agenda pembangunan ini diformulasikan oleh pemerintaah Orde Baru dalam bentuk Trilogi
Pembangunan.
3. Sistem kepartaian disederhanakan oleh pemerintah Orde Baru sejak awal tahun 1970-an ke dalam
tiga partai.
4. Krisis ekonomi dan tuntutan demokratisasi menjadi alasan gerakan mahasiswa yang akhirnya
menjadikan orde ini diganti dengan Orde Reformasi.
BAB V Sistem dan Struktur PolitikEkonomi Indonesia Masa Reformasi (1998-sekarang)
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional. Lahirnya
reformasi oleh karena pemerintah Orde Baru yang sebelumnya berjalan secara otoriter dan
sentralistik yang tidak memberikan ruang demokrasi dan kebebasan rakyat berpartisipasi penuh
dalam proses pembangunan. Gerakan Reformasi diawali ketika Presiden Soeharto meletakan
jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Mengapa? Padahal ia merupakan penguasa Orde
Baru yang dapat bertahan 32 tahun lamanya. Proses kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika
Indonesia mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia.
Ketika krisis ini melanda Indonesia, nilai rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus di
segala bidang kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial. Tidak sampai menempuh
waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis moneter melanda dunia, bulan Mei
1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya
kehidupan berdemokrasi yang sehat, yang selama ini terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru
yang serba menguasai semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses menuju reformasi
telah dimulai ketika wacana penentangan politik secara terbuka kepada Orde Baru mulai muncul.
Penentangan ini terus digulirkan oleh mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat, mereka menuntut
pelaksanaan proses demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang mucul dampak tidak diimbanginya pembangunan fisik dengan
pembangunan mental (character building) terhadap para pelaksana pemerintahan
(birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Mereka juga
menuntut terwujudnya rule of law, good governnance serta berjalannya pemerintahan yang bersih.
Oleh karena itu, bagi mereka reformasi merupakan sebuah era dan suasana yang senanatiasa terus
diperjuangkan dan dipelihara. Jadi bukan hanya sebuah momentum, namun sebuah proses yang
harus senantiasa dipupuk.
ARTI PENTING
Memahami sebab dan akibat terjadinya peristiwa reformasi 1998 dapat memberikan pelajaran
penting bagi perubahan sistem demokrasi dan upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan
bernegara di masa mendatang. Pemerintahan pada era reformasi berupaya untuk memberantas
berbagai kasus KKN dan hal ini merupakan langkah yang patut dilanjutkan oleh pemerintahan
berikutnya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagai salah satu upaya
untuk menegakkan hukum.
A. Masa Akhir Orde Baru
1. Krisis Moneter, Politik, Hukum dan Kepercayaan
Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa yang
mengguncang nilai tukar mata uang negaranegara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Korea dan
Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp.2.500/US$ terus mengalami kemerosotan.
Situasi ini mendorong Presiden Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).
Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia harus
melakukan pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi. Diantara syarat-syarat
tersebut adalah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun usaha ini tidak
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah,
melalui Bank Indonesia dengan melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar
rupiah yang terus merosot. Nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp.4000/US$ pada Oktober terus
melemah menjadi sekitar Rp.17.000/ US$ pada bulan Januari 1998. Kondisi ini berdampak pada
jatuhnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang
menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besarbesaran. Kondisi ini
membuat Presiden Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998
dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto dan
Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius. Namun, kemudian Presiden Soeharto menyatakan
bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem ekonomi liberal. Hal ini
menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50
butir kesepakatan tersebut. Situasi tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis
ekonomi semakin memburuk. Pada saat krisis semakin dalam, muncul ketegangan-ketegangan sosial
dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti Cina.
Kelompok ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena mereka mendominasi perekonomian
di Indonesia. Krisis ini pun semakin menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non ekonomi lainnya yang
membawa pengaruh terhadap proses perubahan selanjutnya. Sementara itu, sesuai dengan hasil
Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, Golkar memperoleh suara 74,5 persen,
PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen. Setelah pelaksanaan pemilu tersebut perhatian tercurah pada
Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada Maret 1998. Sidang umum MPR ini akan memilih
presiden dan wakil presiden. Sidang umum tersebut kemudian menetapkan kembali Soeharto
sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dengan B.J. Habibie sebagai
wakil presiden. Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI,
kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul ke permukaan. Meningkatnya
kecaman terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa
sejak awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI dan
lain-lain semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya Soeharto. Demonstrasi-demonstrasi
mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademis maupun
pimpinan universitas. Garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai
kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli,
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional. Aksi-aksi mahasiswa yang
tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota
mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering berlanjut
menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto,
mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog. Dari dialog tersebut diharapkan komunikasi
antara pemerintah dan masyarakat kembali terbuka. Namun mahasiswa menganggap bahwa dialog
dengan pemerintah tidak efektif karena tuntutan pokok mereka adalah reformasi politik dan
ekonomi pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mahasiswa, mitra dialog yang paling efektif
adalah lembaga kepresidenan dan MPR.
Di tengah maraknya aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei
1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Kebijakan
yang diambil pemerintah bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu. Sehingga
naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa, karena kebijakan
tersebut berdampak pula pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya. Dalam
kondisi negara yang sedang mengalami krisis, Presiden Soeharto, Pada 9 Mei 1998, berangkat ke
Kairo (Mesir) untuk menghadiri Konferensi G 15. Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya
Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, ia
menyerukan kepada lawan–lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan
tegas setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan
dan gelombang protes dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus berlangsung.
2. Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan
tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak
efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratis. “Reformasi
atau mati”. Demikian tuntutan yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk
yang terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui
kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998. Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi
dari gerakan aksi protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998.
Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan politik
yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa
Indonesia. Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar. Namun
mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan respon dari
pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda yaitu: 1. Suksesi
kepemimpinan nasional 2. Amendemen UUD 1945 3. Pemberantasan KKN 4. Penghapusan dwifungsi
ABRI 5. Penegakan supremasi hukum, 6. Pelaksanaan otonomi daerah Agenda utama gerakan
reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden. Berikut ini kronologi beberapa peristiwa
penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998. Dalam rangka memperingati
Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh
gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional. Namun ledakan kerusuhan terjadi
lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti,
Jakarta tewas tertembak peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur.
Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan
Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya
baru memasuki kampusnya setelah melakukan demostrasi di gedung MPR. Penembakan aparat di
Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto
mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi
mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para demonstran mulai menduduki gedung-gedung
pemerintah di pusat dan daerah. Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat
gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka
menduduki atap gedung tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil
sikap yang tegas. Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun
dari jabatannya sebagai presiden.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini
dinyatakan setelah Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan tetapi, upaya ini tidak
mendapat sambutan rakyat. Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 rencananya
digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan
tetapi, beliau membatalkan rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di
kawasan tersebut. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat
berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari
Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan dengan
itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri. Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB
Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah beberapa peristiwa penting
menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden yang
telah dipegang selama 32 tahun.
Beliau mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Soeharto
kemudian digantikan B.J. Habibie. Sejak saat itu berakhirlah era Orde Baru selama 32 tahun,
Indonesia memasuki sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.
B. Perkembangan Politik dan Ekonomi
1. Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia pada 21 Mei 1998, pada hari itu juga Wakil Presiden B.J Habibie dilantik menjadi presiden
RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana Negara. Dasar hukum pengangkatan
Habibie adalah berdasarkan TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika Presiden berhalangan,
maka Wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”. Ketika Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia
sedang mengalami krisis ekonomi terburuk dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis
mata uang yang didorong oleh hutang luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan nilai
rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997. Krisis yang telah menimbulkan kebangkrutan
teknis terhadap sektor industri dan manufaktur serta sektor finansial yang hampir
ambruk, diperparah oleh musim kemarau panjang yang disebabkan oleh El
Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras. Ditambah kerusuhan Mei 1998 telah
menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya di kalangan investor keturunan Cina yang
memainkan peran dominan dalam ekonomi Indonesia. Larinya modal, dan hancurnya produksi serta
distribusi barang-barang menjadikan upaya pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut
menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi.
Pengunduran diri Soeharto telah membebaskan energi sosial dan politik serta frustasi akibat
tertekan selama 32 tahun terakhir, menciptakan perasaan senang secara umum akan kemungkinan
politik yang sekarang tampak seperti terjangkau. Kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok pro
demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik segera terjadi, meminta pemilihan umum
segera dilakukan untuk memilih anggota parlemen dan MPR, yang dapat memilih presiden baru dan
wakil presiden. Di samping tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin,
pemerintah juga berada di bawah tekanan kuat untuk menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme
yang menandai Orde Baru. Tugas yang diemban oleh Presiden B.J Habibie adalah memimpin
pemerintahan transisi untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi yang menyeluruh dan
mendasar, serta sesegera mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi. Naiknya B.J Habibie ke
singgasana kepemimpinan nasional diibaratkan menduduki puncak Gunung Merapi yang siap
meletus kapan saja. Gunung itu akan meletus jika berbagai persoalan politik, sosial dan psikologis,
yang merupakan warisan pemerintahan lama tidak diatasi dengan segera. Menjawab kritik-kritik atas
dirinya yang dinilai sebagai orang tidak tepat menangani keadaan Indonesia yang sedang dilanda
krisis yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan tentang komitmennya untuk melakukan
reformasi di bidang politik, hukum dan ekonomi. Secara tegas Habibie menyatakan bahwa
kedudukannya sebagai presiden adalah sebuah amanat konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya ini
ia berjanji akan menyusun pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan
perubahan yang digulirkan oleh gerakan reformasi tahun 1998. Pemerintahnya akan menjalankan
reformasi secara bertahap dan konstitusional serta komitmen terhadap aspirasi rakyat untuk
memulihkan kehidupan politik yang demokratis dan meningkatkan kepastian hukum. Dalam pidato
pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya setelah dilantik sebagai Presiden, pukul.19.30
WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI, B.J. Habibie menyatakan
tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato tersebut bisa dikatakan merupakan visi
kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan Reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa
point penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi di
ketiga bidang yaitu :
1. Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundangundangan dalam rangka
lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana yang
diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Di bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi.
3. Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undangundang yang menghilangkan
praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan
pihak luar negeri, khususnya dengan melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan
kesepakatan dengan IMF. Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama regional dan
internasional, seperti yang telah dilaksanakan selama ini dan akan berusaha dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika pembangunan bangsa Indonesia yang dilandasi atas
kepercayaan nasional dan internasional yang tinggi.
Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya, bahwa pemerintahannya akan komitmen pada aspirasi
rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomisosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi dan
menegakkan kepastian hukum. Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie diarahkan pada tiga
bidang tersebut.
a. Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan
Sehari setelah dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet
Reformasi Pembangunan. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4 Menteri
Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin
Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu. Dalam Kabinet Reformasi
Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang merupakan Menteri pada Kabinet
Pembangunan era Soeharto. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari berbagai elemen kekuatan
politik dalam masyarakat, seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur daerah,
golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Untuk pertama
kalinya sejak pemerintahan Orde Baru, Habibie mengikutsertakan kekuatan sosial politik non
Golkar, unsur daerah, akademisi, profesional dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga
diharapkan terjadi sinergi dari semua unsur kekuatan bangsa tersebut. Langkah ini semacam
rainbow coalition yang terakhir kali diterapkan dalam Kabinet Ampera. Pada sidang pertama Kabinet
Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J. Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah
harus mengatasi krisis ekonomi dengan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok
masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Pusat perhatian Kabinet
Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi
rakyat, dengan memberi peran perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena terbukti memiliki
ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis. Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibie
memerintahkan bahwa departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan
dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan
bidang hukum. Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbaharui antara lain Undang-Undang
Pemilu, Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah. Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat
terhadap reformasi politik, banyak kalangan menuntut adanya amandemen UUD 1945.Tuntutan
amandemen tersebut berdasarkan pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini ada pada UUD 1945. UUD 1945 memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu
fleksibel, sehingga dalam pelaksanaannyabanyak yang disalah gunakan,
pengaturan hak azasi manusia yang minim dan kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan
mekanisme demokrasi.
b. Sidang Istimewa MPR 1998
Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual terhadap
legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10-13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang. Beberapa
hasil yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa dan gerakan
reformasi telah terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain:
• Terbukanya kesempatan untuk mengamandemen UUD 1945 tanpa melalui referendum.
• Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR No.XVIII/MPR/1998).
• Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas,
masing masing lima tahun (Tap MPR No.XIII/ MPR/1998).
• Agenda reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan
pemerintah, pengawasan yang baik dan berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI.
• Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, mendorong kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan politik
dan narapidana politik.
c. Reformasi Bidang Politik Sesuai dengan Tap MPR No. X/MPR/1998,
Kabinet Reformasi Pembangunan telah berupaya melaksanakan sejumlah agenda politik, yaitu
merubah budaya politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, seperti pemusatan
kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi, terbatasnya partisipasi politik rakyat,
menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta terabaikannya
nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan prinsip supremasi hukum. Beberapa hal yang telah dilakukan B.J
Habibie adalah:
• Diberlakukannya Otonomi Daerah yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
diharapkan akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan melalui
Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
• Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya.
Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998
sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum, partai politik
yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh Komisi
Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang berhak mengikuti Pemilihan Umum
sebanyak 48 partai saja. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.
• Pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media massa cetak,
sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir dibredel melalui mekanisme pencabutan Surat Izin
Terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa
adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasiorganisasi profesi. Pada era Soeharto, para
wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk
oleh pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah. • Dalam hal
menghindarkan munculnya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas,
diberlakukan pembatasan masa jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi
Presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
d. Pelaksanaan Pemilu 1999
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai salah satu hasil terpenting lainnya yang dicapai
Habibie pada masa kepresidenannya. Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan pemilu multipartai (yang
diikuti oleh 48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang partai politik, tentang pemilu, dan tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD. Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil partai politik dan wakil
pemerintah. Hal yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955)
adalah dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan
suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999. Tidak seperti yang
diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak pihak, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai
tanpa ada kekacauan yang berarti meski dikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga
mencatat masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berdasarkan
laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang Bandingkan dengan pelaksanaan pemilu
pada Orde Baru dengan Pelaksanaan Pemilu 1999, menurut kamu pemilu mana yang lebih cocok
untuk Indonesia.
meninggal semasa kampanye, baik karena kekerasan maupun kecelakaan dibanding dengan 327
orang pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat kebanyakan
lebih rileks melihat perbedaan. Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang
paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Berdasarkan keputusan KPU,
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1 September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu.
Hasil pembagian kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau 90,26 %
dari 462 kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi.
Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34 kursi.
e. Pelaksanaan Referendum Timor-Timur
Satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah
diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menyelesaikan permasalahan Timor-Timur
yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur
(TimTim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/ M7PR/1978, atas
kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah mendapat pengakuan internasional. Meskipun
sebenarnya Indonesia tidak pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim. Banyak
pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk
menciptakan perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang sering
bergejolak antara yang pro integrasi dengan yang kontra. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah
pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada provinsi-provinsi lain untuk mengejar
ketertinggalan. Namun sungguh disesalkan bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat
tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat Timor-
Timur sendiri. Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8
resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan. Indonesia harus
menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali
berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh
masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia menawarkan gagasan segar, yaitu
otonomi yang luas bagi Timor-Timur. Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang
berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi
akhir seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap
menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur memilih otonomi atau
kemerdekaan. Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-Timur secara tuntas,
karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus
berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan
untuk memenangkan referendum. Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah
berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain.
Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka
adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika pemerintah mengusulkan
Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI
secara damai, baikbaik dan terhormat. Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30
Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak pendapat yang diumumkan PBB pada
4 September 1999, adalah 78.5% menolak dan 21,5% menerima. Setelah jajak pendapat ini telah
terjadi berbagai bentuk kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan
pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur. Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie
mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam
ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan
perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik,
terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari
masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
f. Reformasi Bidang Ekonomi
Sesuai dengan Tap MPR tentang pokok-pokok reformasi yang menetapkan dua arah kebijakan pokok
di bidang ekonomi, yaitu penanggulangan krisis ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai rupiah
dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga terjangkau, serta
berputarnya roda perekonomian nasional, dan pelaksanaan reformasi ekonomi. Kebijakan ekonomi
Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional
yang dimodifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang
semakin memburuk.
Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama yaitu:
1. Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2. Memperkuat basis sektor riil ekonomi.
3. Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis. Secara
perlahan presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh lebih
baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan
kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie. Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan
laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembaliberjalan
dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai tukar
rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp. 6.700,-/dolar AS
pada bulan Juni 1999. Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya masih sekitar Rp.
15.000,-/dollar AS. Meski saat naiknya eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit
melemah mencapai Rp. 8000,-/dolar AS. Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan
krisis di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dan krisis ekonomi, Pemerintah telah
melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program Jaring Pengaman Sosial, terutama di
bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis.
Pada masa Presiden B.J. Habibie pembangunan kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup
besar. Pembangunan kelautan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan
wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan
dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia.
g. Reformasi Bidang Hukum
Sesuai Tap MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum diarahkan untuk menanggulangi krisis
dan melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang
upaya reformasi di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.
Keberhasilan menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu
hanya dalam waktu 16 bulan. Setiap bulan ratarata dapat dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang
yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat
sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan). Untuk meningkatkan kinerja aparatur
penegak hukum, organisasi kepolisian telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari
organisasi Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait
ke dalam kerangka sistem penegakan hukum. Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh
dalam kehidupan nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini seakanakan disakralkan haruslah
ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman. Penyempurnaan Undang-
Undang Dasar dipandang penting untuk menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang akan
datang semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan ke arah
perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan. Untuk itu pada era pemerintahan B.J. Habibie
Ketetapan MPR No 11/1978 mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum
diberlakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut. Pada tanggal 1 sampai 21
Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota
DPR/MPR periode 1999-2004 dilantik. Lewat mekanisme voting, Amin Rais dari Partai Amanat
Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai
Ketua DPR. Pada 14 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober 1999, dari sebelas fraksi yang
menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan
enam fraksi lainnya masih belum menentukan putusannya. Kebanyakan fraksi itu memberikan
catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban Habibie itu. Pada umumnya masalah yang
dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak
Azasi Manusia. Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksifraksi,
MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya menolak pertanggungjawaban
Presiden Habibie melalui proses voting. Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais
menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden
Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya. Presiden
Habibie memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia ikhlas menerima
keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga
menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya. Pada 20 Oktober
1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan presiden dilaksanakan. Beberapa calon
diantaranya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra. Calon
yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya beberapa saat menjelang dilaksanakannya
voting pemilihan presiden. Lewat dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman
Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara. Ia mengungguli
Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene adalah
pemenang pemilu 1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Presiden Habibie yang hanya
berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.
2. Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden
tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie.
Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid
mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang
dilakukan melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri
sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil
presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober
1999. Sumber: Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi (Dep. Kominfo, 2005) Gambar 5.5 Karikatur
yang menggambarkan harapan terhadap pemerintahan Gus Dur
Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi
diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari
partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB,
Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid
membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dengan
alasan perampingan struktur pemerintahan. Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa aktivitas
yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat sendiri. Dari sudut
pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu upaya untuk
melanjutkan reformasi di bidang sosial dan politik mengingat departemen ini merupakan salah satu
alat pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang
mengkritisi kebijakan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan
pembentukan Departemen Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999
tanggal 26 Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan
organisasi dan tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999
tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000 tanggal 23 November 2000.
Pembentukan departemen ini memiliki nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan
Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar
justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya. Selain explorasi dan
eksploitasi sumber daya kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut
meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan budi daya
laut melalui pemanfaatan bioteknologi. a. Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan Pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen
ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara
dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. Selain
amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan juga menyentuh institusi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI dan Polri. Institusi ini
kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan terutama dalam
melakukan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan
upaya untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri
dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara
Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Masalah lain yang
menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk
menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai
kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah
dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses
hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan,
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang
bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait
beberapa yayasan yang dipimpinnya. Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah
pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama
Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut
agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya
mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru
mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam
kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung
mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak
kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap
kebijakan dan gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid
melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun 1966
tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.
Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan
tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden
Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang
Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan
partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden
adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasannya tersebut
mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang menjajah dan telah banyak
melakukan tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang
mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar
apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan
negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan. Kejatuhan pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya
yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik
Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia
Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang
kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan
pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR
dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis.
Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan
mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian
Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya
semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan
penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah
dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk
Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid
dalam kasus tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220) Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui
dan menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang
dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa
presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan
dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN.
(Gonggong &Asy’asri ed, 2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi memorandum
tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR sendiri kembali
mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal
30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas
tanggapan presiden terhadap memorandum pertama. Hubungan antara presiden dan DPR semakin
memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat,
mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR,
dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang
tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga
meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar
rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan
aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid
dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan pembakaran berbagai fasilitas
umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang
dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR. Dua hari menjelang
pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus
skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga melibatkan
Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung
Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001. Ketegangan antara pendukung
presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR
untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan
hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk
meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR. Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR
menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya
menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan
illegal..
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden
tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit
tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari
hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung. Namun isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri
yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan
tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI
maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Sikap TNI dan Polri tersebut
turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda
pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang
dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR
No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri
sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan
tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk
memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat
Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan
mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia
pada tanggal 23 Juli 2001.
3. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Presiden Megawati Soekarno Putri mengawali tugasnya sebagai presiden kelima Republik Indonesia
dengan membentuk Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini memiliki lima agenda utama yakni
membuktikan sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN, menyusun langkah untuk
menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik,
mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial kultural yang kondusif untuk
memajukan kehidupan masyarakat sipil, menciptakan kesejahteraan dan rasa aman masyarakat
dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia. Tugas Presiden Megawati di awal
pemerintahannya terutama upaya untuk memberantas KKN terbilang berat karena selain banyaknya
kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang belum tuntas, kasus KKN pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid menambah beban pemerintahan baru tersebut. Untuk menyelesaikan berbagai
kasus KKN, pemerintahan Presiden Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah
keluarnya UU RI No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Pembentukan komisi ini menuai kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid telah dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari sisi kemiripan tugas,
keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam perjalanan pemerintahan
Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal karena hingga akhir pemerintahan
Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada belum dapat diselesaikan. a. Reformasi Bidang
Hukum dan Pemerintahan Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, MPR kembali melakukan
amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 10 November 2001. Amandemen tersebut meliputi
penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu
perubahan penting terkait dengan pemilihan umum adalah perubahan tata cara pemilihan presiden
dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada pemilu tahun 2004.
Dengan demikian rakyat akan berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih calon anggota
legislatif, presiden dan kepala daerah secara terpisah. Hal lain yang dilakukan terkait dengan
reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah pembatasan wewenang MPR, kesejajaran
kedudukan antara presiden dan DPR yang secara langsung menguatkan posisi DPR, kedudukan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penetapan APBN yang diajukan oleh presiden dan penegasan
wewenang BPK. Salah satu bagian penting amandemen yang dilakukan MPR terkait upaya
pemberantasan KKN adalah penegasan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen untuk
menyelenggarakan peradilan yang adil dan bersih guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Amandemen ini memberikan kekuatan bagi penegak hukum
untuk menembus birokrasi yang selama ini disalahgunakan untuk mencegah penyelidikan terhadap
tersangka kejahatan terlebih jika sebuah kasus menimpa pejabat pemerintah yang tengah berkuasa.
Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita reformasi di bidang hukum adalah pencanangan
pembentukan Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Selain beberapa
amandemen terkait masalah hukum dan pemerintahan, pemerintahan Presiden Megawati juga
berupaya melanjutkan upaya reformasi di bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-
undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat dari sisi kebebasan mengeluarkan pendapat,
keberadaan kedua undang-undang tersebut berdampak positif namun di sisi lain berbagai media
yang diterbitkan oleh partai-partai politik dan LSM seringkali melahirkan polemik dan sulit dikontrol
oleh pemerintah. b. Reformasi Bidang Ekonomi Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1998
belum dapat dilalui oleh dua presiden sebelum Megawati sehingga pemerintahannya mewarisi
berbagai persoalan ekonomi yang harus dituntaskan. Masalah ekonomi yang kompleks dan saling
berkaitan menuntut perhatian pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki
kehidupan rakyat. Wakil Presiden Hamzah Haz menjelaskan bahwa pemerintah merancang paket
kebijakan pemulihan ekonomi menyeluruh yang dapat menggerakkan sektor riil dan keuangan agar
dapat menjadi stimulus pemulihan ekonomi. Selain upaya pemerintah untuk memperbaiki sektor
ekonomi, MPR berhasil mengeluarkan keputusan yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan
pembangunan ekonomi di masa reformasi yaitu Tap MPR RI No. IV/ MPR/1999 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara 1999-2004. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah kebijakan
penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) lima
tahun yang ditetapkan oleh presiden bersama DPR. Minimnya kontroversi selama masa
pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan
Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang ekonomi dan dianggap berhasil membangun
kembali perekonomian bangsa yang sempat terpuruk sejak beralihnya pemerintahan dari
pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan pada era reformasi. Salah satu indikator keberhasilan
pemerintahan Presiden Megawati adalah rendahnya tingkat inflasi dan stabilnya
cadanga devisa negara. Nilai tukar rupiah relatif membaik dan berdampak pada stabilnya harga-
harga barang. Kondisi ini juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian
Indonesia yang dianggap menunjukkan perkembangan positif. Kenaikan inflasi pada
bulan Januari 2002 akibat kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai
bencana lainnya juga berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002. Namun berbagai
pencapaian di bidang ekonomi pemerintahan Presiden Megawati mulai menunjukkan penurunan
pada paruh kedua pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003 nilai tukar rupiah yang
sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian melemah seiring menurunnya kinerja
pemerintah. Di sisi lain, berbagai pencapaian tersebut juga tidak berbanding lurus dengan jumlah
penduduk yang ternyata masih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Popularitas pemerintah
juga menurun akibat berbagai kebijakan yang tidak populis dan meningkatkan inflasi.
Meningkatnya inflasi berdampak buruk terhadap tingkat inflasi riil.
Diantara kebijakan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan
negara. (Sarwanto, 2004: 50). Selain itu, persoalan hutang luar negeri juga menjadi persoalan pada
masa pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang luar negeri mengambil porsi
APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan oleh
rakyat sebesar 219,4 triliun rupiah. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengalami defisit
anggaran dan kebutuhan pinjaman baru.
c. Masalah Disintegrasi dan Kedaulatan Wilayah
Pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah
pemerintahan Presiden Megawati. Tidak meratanya pembangunan dan tidak adilnya pembagian
hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah yang berujung pada
keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama beberapa
provinsi yang kaya akan sumber daya alam tetapi hanya mendapatkan sedikit dari hasil sumber daya
alam mereka. Dua provinsi yang rentan untuk melepaskan diri adalah provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Papua. Kebijakan represif yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde
Baru di kedua provinsi tersebut menjadi alat propaganda efektif bagi kelompokkelompok yang ingin
memisahkan diri. Untuk meredam keinginan melepaskan diri kedua provinsi tersebut, Presiden
Megawati melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan disintegrasi dan
memperbaiki persentase pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah di
kedua propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik propinsi NAD dan
Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam. Upaya Presiden
Megawati untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan rakyat propinsi NAD juga dilakukan
dengan melakukan kunjungan kerja ke Banda Aceh pada tanggal 8 September 2001. Dalam
kunjungan kerja tersebut, presiden melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato di
halaman Masjid Raya Baiturrahman. Dalam kesempatan tersebut, presiden mensosialisasikan UU
No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD. Presiden Megawati juga menandatangani
prasasti perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe menjadi universitas negeri. Upaya
Presiden Megawati untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI juga diuji saat pemerintah berusaha
untuk menyelesaikan sengketa status Pulau Sipadan dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia.
Sengketa status kedua pulau tersebut tidak dapat diselesaikan melalui perundingan bilateral antara
pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah
Internasional di Den Haag. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah memperjuangkan
pengakuan internasional bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Republik
Indonesia. Namun Mahkamah Internasional pada akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau
tersebut merupakan bagian dari Malaysia. Dari 17 hakim yang terlibat dalam proses keputusan
Mahkamah Internasional, satu-satunya hakim yang memberikan keputusan bahwa kedua pulau
tersebut merupakan bagian dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang
ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas 10,4 hektar dan Pulau Ligitan
yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan pukulan bagi diplomasi luar negeri Indonesia setelah
terlepasnya Timor Timur. Kasus ini juga menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesia saat
berhadapan dengan negara lain terutama dalam sengketa perbatasan dengan negara-negara
tetangga.
d. Desentralisasi Politik dan Keuangan
Terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah, pemerintahan Presiden Megawati berupaya untuk
melanjutkan kebijakan otonomi daerah yang telah dirintis sejak tahun 1999 seiring dengan
dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah. Upaya ini
merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang politik, pengelolaan keuangan
daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam daerah untuk kepentingan masyarakat
setempat. Upaya desentralisasi politik dan keuangan ini sejalan dengan struktur pemerintahan di
masa mendatang dimana masing-masing daerah akan diberi wewenang lebih besar untuk mengelola
hasil-hasil sumber daya alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki. Otonomi daerah merupakan
isu penting sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde
Baru, rakyat di beberapa daerah mulai menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem
sentralisasi kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat yang sangat kuat. Kepala daerah yang
bertugas di beberapa daerah mulai dari posisi gubernur hingga bupati seringkali bukan merupakan
pilihan masyarakat setempat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, para pejabat yang bertugas di
daerah umumnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dan memerintah sesuai
keinginan pemerintah pusat. Masalah di daerah semakin kompleks saat pejabat bersangkutan
kurang dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat. Faktor inilah yang membuat isu
mengenai otonomi daerah menjadi penting sebagai bagian dari reformasi politik dan sosial terutama
di beberapa wilayah yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Proses pelaksanaan otonomi daerah
berikut pengadaan perangkat hukumnya berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum berikutnya
yang akan diselenggarakan pada tahun 2004. Sejalan dengan rencana pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah secara aktif mengeluarkan beberapa undang-undang yang mendukung pelaksanaan
otonomi daerah sekaligus memberikan pedoman dalam penelitian, pengembangan, perencanaan
dan pengawasan saat undangundang tersebut diberlakukan. Terkait dengan itu, pemerintah
mengeluarkan UU No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 23 tahun 2003 mengenai pemilihan presiden dan
wakil presiden. Untuk melengkapi berbagai perangkat hukum mengenai otonomi daerah yang sudah
ada, pemerintahan Presiden Megawati di tahun terakhir masa pemerintahnnya mengeluarkan UU
No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat antara lain kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat di daerah dan kepala daerah menjadikan
pelaksanaan otonomi daerah semakin memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk
berperan lebih besar dalam memajukan wilayah mereka. Terpilihnya wakil rakyat dan kepala daerah
yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan lebih dapat mengakomodasi keinginan
masyarakat karena memahami seluk beluk masalah dan potensi masyarakat dan sumber daya alam
yang dimiliki oleh wilayah bersangkutan disamping lebih memahami karakter dan adat istiadat yang
berlaku di wilayah tersebut. e. Upaya Pemberantasan KKN Kendati berhasil melakukan berbagai
pencapaian di bidang ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan produk undang-undang
mengenai pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden Megawati belum berhasil
melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Berbagai kasus KKN yang diharapkan dapat
diselesaikan pada masa pemerintahannya menunjukkan masih belum maksimalnya upaya Presiden
Megawati dalam penegakkan hukum terutama kasus-kasus KKN besar yang melibatkan pejabat
negara. Belum maksimalnya penanganan kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya
jumlah dan kualitas aparat penegak hukum sehingga proses hukum terhadap beberapa kasus
berjalan sangat lambat dan berimbas pada belum adanya pembuktian dari kasus-kasus yang
ditangani. Namun keseriusan pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi tercermin dari
dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor). Produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang dikeluarkan khusus
untuk memerangi korupsi. Pengeluaran produk hukum tentang Tipikor diikuti dengan
dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 22 Tahun
2002 tentang Grasi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), PP No, 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2 Tahun 2002
tentang Penambang Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham.
f. Pelaksanaan Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dimana untuk pertama kalinya masyarakat pemilik
hak suara dapat memilih wakil rakyat mereka di tingkat pusat dan daerah secara langsung. Pemilu
untuk memilih anggota legislatif tersebut selanjutnya diikuti dengan pemihan umum untuk memilih
presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan anggota legislatif dan
pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden memiliki keterkaitan erat karena setelah pemilu
legislatif selesai, maka partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat
mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk maju ke pemilu presiden. Jika
dalam pemilu presiden dan wakil presiden terdapat satu pasangan yang memperoleh suara lebih
dari 50%, maka pasangan tersebut dinyatakan sebagai pasangan pemenang pemilu presiden. Jika
pada pemilu presiden tidak terdapat pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50%, maka
pasangan yang mendapatkan suara tertinggi pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden
putaran kedua. Pemilu legislatif 2004 yang diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 diikuti oleh 24
partai politik. Lima partai politik yang berhasil mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar
(24.480.757 atau 21,58% suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB (11.989.564 atau
10,57% suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara) dan PAN (7.303.324 atau 6,44% suara).
Berdasarkan perolehan suara tersebut, KPU meloloskan lima pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang dianggap memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU
no. 36 tahun 2004 untuk mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden yakni: 1. Nomor urut 1: H.
Wiranto, S.H. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (calon dari partai Golkar). 2. Nomor urut 2: Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi (calon dari PDI-P). 3. Nomor urut 3: Prof. Dr. H.M.
Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo (calon dari PAN). 4. Nomor urut 4: H. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla (calon dari Partai Demokrat). 5. Nomor Urut
5: Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M. Sc. (calon dari PPP)
Pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 belum menghasilkan satu pasangan
calon presiden dan calon wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% sehingga pemilu
presiden diselenggarakan dalam dua putaran. Dalam pemilu presiden putaran kedua yang
diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.
Muhammad Jusuf Kalla mengungguli pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim
Muzadi. Pada pemilu putaran kedua tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62% sementara pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan
K.H. Ahmad Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38% . (Gonggong & Asy’arie,
2005: 239).
4. Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai
presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.Terpilihnya pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden diikuti dengan berbagai
aksi protes mahasiswa, diantaranya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana,
Denpasar, Bali, yang meminta agar presiden terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama
kampanye presiden. Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera
membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu. Sejak
awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk menyelesaikan
permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta pemberantasan KKN yang ia canangkan dalam
program 100 hari pertama pemerintahannya. Program pengentasan kemiskinan berkaitan langsung
dengan upaya pemerataan dan pengurangan kesenjangan serta peningkatan pembangunan
terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bantuan langsung tunai (BLT).
Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp. 18,8 triliun untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007
dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348
kecamatan. Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata
bantuan per rumah tangga sebesar Rp. 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33). Selain memfokuskan pada
manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya
untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah,
fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dll. Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah
penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan
Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan
nasional. (Gonggong& Asy’arie, 2005: 243)
a. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia
belum pulih. Upaya pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden
sebelumnya masih belum terlaksana sepenuhnya. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah
bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh yang merenggut banyak korban dengan kerugian
material yang sangat besar. Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil
langkah-langkah penanggulangan pasca bencana. Salah satunya adalah dengan menetapkan
Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Selain itu
dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan
Nias (Yudhoyono, 2013). Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya
untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian
termasuk upaya untuk swasembada pangan. Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar
3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah. Untuk mendukung perbaikan di sektor
pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah bagi petani. Selain berupaya memperkuat
ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berupaya memperbaiki
sektor pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49
triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007. Seiring dengan itu, program bantuan
operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di sektor pendidikan ini berhasil
menurunkan persentase tingkat putus sekolah dari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5% pada tahun
2006. Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik, pemerintah
juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik. Di bidang kesehatan, pemerintah
memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit melalui
pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali menurunkan harga obat
generik. (Suasta, 2013: 33-36). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan
perhatian besar pada permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan,
pengembangan usaha kecil, peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit TNI dan Polri dan juga
kesejahteraan buruh. Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatan. Di bidang hukum, upaya
pemerintah untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi hukum
juga mendapat perhatian pemerintah.
b. Reformasi di Bidang Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan
Pemerintahan yang solid berpengaruh terhadap kelancaran jalannya programprogram pemerintah
sehingga upaya untuk menjaga kesolidan pemerintahan menjadi salah satu faktor penting
keberhasilan program pemerintah. Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi sebelumnya,
pembentukan kabinet pemerintah merupakan hasil dari koalisi partai-partai yang mendukung salah
satu pasangan calon presiden saat pemilu presiden, dengan demikian keberadaan koalisi dan
hubungan partai-partai yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus
dijaga. Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono adalah pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat
dengan partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY. Pembentukan Setgab juga bertujuan
untuk menyatukan visi dan misi pembangunan agar arah koalisi berjalan seiring dengan kesepakatan
bersama. Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan
dibentuk sebagai sarana komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25). Sejalan
dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
juga melanjutkan reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya pada
era reformasi. Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang
pemerintah pusat dan memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara proporsional
dan seimbang. (Suasta, 2013: 259). Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi
yang mengedepankan aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi menciptakan good
governance. Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan dapat
diakses oleh masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan
hajat hidup orang banyak seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.
Untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan
penggunaan media sosial seperti SMS online dan twitter. Melalui media tersebut, partisipasi
masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat. Di sisi lain pemerintah dapat
dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-masalah tertentu termasuk opini
masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.
c. Upaya untuk menyelesaikan konflik dalam negeri
Selain berupaya untuk menjaga kedaulatan wilayah dari ancaman luar, upaya internal yang
dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya
disintegrasi di wilayah konflik. Konflik berkepanjangan di wilayah Aceh dan
Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan presiden sebelumnya,
mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati telah dilakukan
pendekatan baru melalui dialog pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie termasuk dengan
mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, namun konflik di
Aceh tidak kunjungselesai. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum dialog mulai
dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional. Di tingkat internasional, upaya tersebut
menghasilkan Geneva Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA). Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah menghentikan segala bentuk
pertempuran sekaligus menjadi kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak
yang berseteru di Aceh. Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan
bersama belum mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya. Belum dapat dilaksanakannya
kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan DPR
maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
(Yudhoyono, 2013). Selain berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui
perundingan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukan pendekatan
langsung dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh pada tanggal 26
November 2004. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan
pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas. Presiden juga
berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya menekankan bahwa
solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara permanen. Selain konflik di
Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas
adalah konflik bernuansa agama di Poso. Konflik yang dimulai pada
tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Salah satu kebijakan presiden untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan
mengeluarkan Intruksi Presiden No 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah
komprehensif penanganan masalah Poso. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:
1. Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui langkah- langkah komprehensif,
terpadu dan terkoordinasi.
2. Menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi dan teror serta mengungkap jaringannya.
3. Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20
Desember 2001. Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat
perhatian serius pemerintah adalah konflik di Papua. Seperti halnya
konflik di Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga
mengedepankan aspek dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan
keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Perhatian pemerintah sudah
sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan sumber daya
manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan mereka di bidang pertanian dan pemahaman birokrasi, terlebih propinsi Papua
memiliki sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan. Terkait dengan itu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua. Otonomi
khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan, perlindungan dan
pemberdayaan kepada orang asli Papua.
Kebijakan tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat
Papua dapat menikmati rasa aman dan tentram di tengah derap pembangunan (Suasta, 2013: 294).
d. Pelaksanaan Pemilu 2009 Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya. Hal ini
juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan berbagai kebijakan
pemerintah yang efektif di lapangan. Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor
penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara
pemerintah dengan dunia usaha dan perguruan tinggi. Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin
kondusif termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor asing untuk
menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Indonesia. Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi. keberhasilan beberapa program
pembangunan juga tidak terlepas dari adanya stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta
harmoni sosial.
Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan langsung oleh
masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai
calon presiden pada pemilu presiden tahun 2009. Berpasangan dengan seorang ahli ekonomi yakni
Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendapatkan kembali mandat dari rakyat
untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan berikutnya. Pada pemilu presiden yang
diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil
memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.
e. Euforia Berdemokrasi: Demokrasi Masa Reformasi
Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya
bagi perubahan sistem dan penerapan demokrasi di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang sangat
sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-wilayah yang dianggap kurang
mendapat perhatian. Selain itu, pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di daerah-daerah
terutama para kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa
tidak puas terhadap pemerintah. Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk
mendapatkan ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur wilayah sendiri menjadi keinginan
masyarakat di daerah-daerah yang pada akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi daerah.
Pembagian hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah
juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Penerapan otonomi daerah tersebut diiringi dengan perubahan sistem pemilu
dan diselenggarakannya pemilu langsung untuk mengangkat kepala dareah mulai dari gubernur
hingga bupati dan walikota. Di bidang pers, euphoria demokrasi juga melahirkan sejumlah media
massa baru yang lebih bebas menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Namun, kebebasan di
bidang pers harus tetap memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam menyebarkan
berita. Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap mengedepankan fakta sehingga euphoria
kebebasan pers yang telah sekian lama terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak
menimbulkan keresahan dalam masyarakat. f. Peran Pemuda dan Tokoh Masyarakat dalam
perubahan Politik dan Ketatanegaraan Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa Reformasi 1998,
seperti halnya juga terjadi di beberapa negara lain, menunjukkan bahwa sebuah perubahan hingga
dapat mempengaruhi situasi politik nasional bahkan pergantian kepemimpinan, memerlukan energi
yang besar dan ide-ide cemerlang sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi
dalam gerbong perubahan itu sendiri. Pengaruh dan ide-ide tokoh masyarakat yang bersinergi
dengan semangat pemuda dan mahasiswa yang energik melahirkan sebuah kekuatan besar dalam
masyarakat (people power) untuk pada akhirnya melakukan perubahan. Tokoh masyarakat dan
pemuda khususnya mahasiswa memainkan peranan penting sebelum dan sesudah peristiwa
Reformasi 1998. Tidak hanya sebagai pelaku yang berperan dalam menumbangkan pemerintahan
Orde Baru, baik tokoh masyarakat maupun pemuda pada era reformasi juga berpartisipasi secara
aktif dalam melanjutkan upaya untuk mewujudkan cita-cita reformasi. Salah satu upaya untuk
memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, reformasi di bidang politik dan ketatanegaraan
merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian besar sejak masa pemerintahan Presiden
Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banyaknya produk hukum dan undang-undang
termasuk Tap MPR, instruksi presiden dan peraturan pemerintah menyangkut upaya untuk
memperbaiki kehidupan politik dan ketatanegaraan telah dikeluarkan dan sebagian telah berhasil
diterapkan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari perubahan sistem pemilu. Perubahan sistem
tersebut menghasilkan para anggota eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan yang dianggap
dapat lebih menyuarakan kepentingan masyarakat termasuk peran aktif tokoh-tokoh masyarakat
dan mahasiswa yang sejak awal era reformasi telah aktif dalam mengawal perubahan sejak
tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi anggota
legislatif dan menduduki posisi-posisi strategis dalam partai-partai politik hingga masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama era reformasi, regenerasi kepemimpinan dari tokoh-
tokoh senior kepada tokoh-tokoh yang lebih muda juga memperlihatkan kepedulian organisasi
masyarakat dan partai politik terhadap pentingnya peran serta aktif pemuda untuk memulai lebih
dini dalam mengikuti perkembangan dan perubahan politik yang dalam beberapa hal juga
mempengaruhi ketatanegaraan. Selain itu, peran aktif pemuda juga diharapkan dapat menyuarakan
kepentingan generasi mendatang agar dapat lebih kompetitif dengan bangsa-bangsa lain di tengah
arus globalisasi termasuk peningkatan anggaran di bidang pendidikan yang meliputi sarana dan
prasarana serta peningkatan anggaran untuk melakukan penelitian.
KESIMPULAN
1. Reformasi lahir sebagai reaksi langsung terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekaligus
adanya tuntutan untuk terjadinya perubahan-perubahan di Indonesia dalam berbagai bidang.
2. Selama masa Reformasi hingga kini, berbagai pembaharuan nyatanya memang terjadi. Pemilu
misalnya, berlangsung lebih demokratis. Pembaharuan di bidang hukum juga terjadi. Desentralisasi
berlangsung, dan gerakan separatis GAM bisa diakhiri.
3. Terhitung sejak bergantinya era Orde Baru ke era Reformasi, hingga Pemilu tahun 2014 ada 4
tokoh yang menjadi presiden RI: BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan
Susilo Bambang Yudhoyono.
Bab VI Indonesia Dalam Panggung Dunia
“…pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus menjadi subjek yang menentukan sikap kita sendiri, berhak
memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya...” (sumber: Sejarah
Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)
Tahukah kalian, ungkapan di atas merupakan bagian dari pidato Mohammad Hatta dalam sidang BP
KNIP pada 2 September 1948. Pidato tersebut secara substansial merupakan pemikiran awal yang
kemudian menjadi cikal bakal kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas aktif. Pada 2 September
1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Mohammad
Hatta memberikan keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan politik Negara
Indonesia saat itu RI menghadapi berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Perundingan dengan
Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari PBB terputus. Dari dalam negeri oposisi dari
aksi Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Muso menghebat. Untuk menangkis
serangan-serangan yang ditujukan kepada pemerintah RI, diadakan sidang BP KNIP. Mengenai
pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam perang dingin di masa itu, fraksi FDR PKI
dalam Badan Pekerja mendesak supaya RI memilih pihak Uni Soviet. Terkait desakan tesebut, Hatta
menyatakan bahwa politik RI tidak memilih pro ini atau pro itu, melainkan memilih jalan sendiri
untuk mencapai kemerdekaan. Sejak keterangan Hatta tersebut politik luar negeri RI disebut politik
bebas dan aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun
juga; aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa. Dalam situasi
dunia yang terbelah dalam dua Blok, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling berusaha
memasukkan negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia Kedua ke dalam bloknya
masing-masing, Indonesia telah mempunyai sikap yang tegas, sebagaimana diungkapkan Hatta
dalam pidatonya. Meskipun saat ini perang dingin telah berakhir dan dunia tidak terbelah dalam dua
blok, bukan berarti tantangan bagi Indonesia berakhir juga. Kini mulai tampak kecenderungan kuat
munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan yang dapat menghadapi Amerika Serikat dan
memungkinkan Indonesia dihadapkan pada pilihan atau mempengaruhi bebas aktif kita. Oleh karena
itu maka esensi pidato Hatta masih relevan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang
ditimbulkan dari pertikaian kepentingan politik antar bangsa.
Kalian diskusikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia saat ini dalam kaitannya
dengan perkembangan politik luar negeri Indonesia saat ini. Coba kalian temu kenali isu-isu atau
masalah-masalah di kawasan yang memperlihatkan konflik kepentingan antar negara.
Bagaimana pendapat kalian mengenai sikap Indonesia dalam merespon isu dan
masalah yang berkembang di atas.
ARTI PENTING
mempelajari sejarah Indonesia dalam panggung dunia merupakan hal yang sangat penting agar kita
bisa mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan politik luar negeri bebas
aktif serta implementasi/penerapannya sejak proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945 hingga masa
Reformasi. Selain itu, kita bisa mengambil hikmah dari berbagai peristiwa perjalanan politik luar
negeri bebas aktif dari setiap periode pemerintahan sehingga kita dapat mengambil hikmah dan
pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Kalian diskusikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif I n d o n e s i a saat ini dalam kaitannya
dengan perkembangan politik luar negeri Indonesia saat ini. Coba kalian temu kenali isu-isu atau
masalah-masalah di kawasan yang memperlihatkan konflik kepentingan antarnegara. Bagaimana
pendapat kalian mengenai sikap Indonesia dalam merespon isu dan masalah yang berkembang di
atas. A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Politik luar
negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat.
Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia
internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan tersebut
merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari
kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar
negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan
situasi internasional. Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dijadikan sebagai pedoman, pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Mohammad
Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima
sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut
mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik
luar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa
Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat
menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.
Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”…. dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial….”. Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional
bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial….” Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat
dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan
menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai
dengan kepentingan nasional. Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan
operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui
maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan,
dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; politik
damai dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri
negara lain; politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik
dan lain-lain; serta selalu mengacu pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara
lain. Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar
negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea
pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik
Indonesia”. Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara.
Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang
dan tujuan jangka pendek, yaitu :
Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan
mempertahankan kepribadian Indonesia di tengahtengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang
sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu
imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia
bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian
dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art
jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan
revolusioner.
( Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri,, 1971 . Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259) Tujuan
jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah
mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan
imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat),
masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari
keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok. Pedoman
Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17
Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan
mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia
tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci
tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian. Manipol, Djarek
(Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi
dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi
dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces /Nefos dan Old Established
Forces/Oldefos. Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit. Sementara Oldefos
merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar
politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan
Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan
negaranegara Barat.
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin
dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah Ketetapan MPRS no. XII/
MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar
negeri Indonesia.
TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan
MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada
kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan
Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negaranegara di wilayah ini mampu
mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta
memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia
Tenggara;
3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-
badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang
sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan
nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka
panjang dan pola umum pelita dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang
politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia
yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No.
IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian
pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu
didengungdengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi
memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga
lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan
dunia internasional. Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang.
Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu
aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik
luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci.
Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik
internasional yang berkembang saat itu. Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi
yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan
MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-garis besar haluan negara dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan pada faktor-faktor
yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat
mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya
ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan.
Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya
memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan
ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan
politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
1. menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
2. ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan
rakyat Indonesia;
3. memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan
diplomasi pro-aktif di semua bidang;
4. meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan
ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional
dan internasional;
5. mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
6. memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
7. mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan
tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan
aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara
berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan
serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
TUGAS Buatlah rangkuman materi tentang landasan ideal, konstitusional dan operasional politik
luar negeri indonesia.
B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya
1. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya.
Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional
yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu;
1). Memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI,
2). Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di
Indonesia,
3). Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui
negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk
good offices ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebut di atas, maka
Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-
negara lain.
Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet
(Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak
kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu
menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di
New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak
bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian
dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta
menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang
dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak
adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak meredakan
perang dingin tersebut. Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak
dalam perang dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi
oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap
perjuangan kemerdekaannya. Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada
belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena pada waktu
itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan
kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain
pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa
tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan
kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha
mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada
masalah tersebut. Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat
Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September
1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa:
“………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara
kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang
harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang
harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional,
melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak
memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah
Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004) Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas
terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu.
Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan
perang dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di
Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada
salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Karena
itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok
ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu. Sikap yang demikian inilah yang
kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif,
yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi
juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara
dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar
saling menghargai. Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara
Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar
negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah
satu Blok negaranegara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam
negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia
tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional
(Pembukaan UUD 1945).
Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-
tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan
negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk
Diskusikanlah dalam kelompok Isi dari Pembukaan UUD 1945, jelaskan kaitannya dengan
pelaksanaan politik luar negeri “Bebas Aktif” tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri
bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia
pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga
disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu.
2. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlermenter 1950-1959
Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an
lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga
untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di
Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya. Usaha
dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memberikan
perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi
agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia. Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk
mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia
mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari
perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan
diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi
yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil mendapatkan
pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan. Sejak pertengahan tahun 1950 an,
Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting
dan monumental, seperti, Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu
terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam
membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB)
atau (Non-Aligned Movement/ NAM). Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya
dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat ) dan Blok
Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-
bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.
3. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Soekarno (Demokrasi Terpimpin)
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile,
flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap antiimperialisme dan kolonialisme
serta bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada era ini, diabadikan pada tujuan nasional
Indonesia. Pada saat itu kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan
pembentukan identitas bangsa. Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar
negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia, dan
untuk menunjukan karakter yang dimiliki pada bangsa-bangsa lain di dunia internasional. Politik luar
negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini berusaha
sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi
nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan
dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dari sini dapat
dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke Blok komunis, baik
secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara
Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai
Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah
agar komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai
kelompok luar . Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari
responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil
alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian
didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik
konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro
terhadap imperialisme Barat. Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota
Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15
September 1965 Indonesia keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada
Blok Barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan
modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi
penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi
dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces).
Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari
pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme
merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam
upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa
Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah
satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan
poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara sosialis dan
komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi
dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat
Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar
yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia
perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang
mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga
ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia
internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia.
Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan
Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan
prestis menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik
luar negeri ini. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya
masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan
ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau
beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi
maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
domestik. Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi
dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit
akibat inflasi yang terjadi
Sejarah Indonesia 201
secara terus-menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek
Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of
The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu
penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi
Terpimpin.
4. Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia. dalam
segala bidang. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada
pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa
adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang
mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri),
yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihakpihak Barat dan “good neighbourhood policy”
melalui Association South East Asian nation (ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang
Indonesia saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang
dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa abad yang akan datang. Tujuan utama
politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order (tatanan baru) adalah untuk
memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan
pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia
untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya. Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak identik dengan tidak adanya
keterlibatan. Itulah alasannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar
negeri yang bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan.
Politik luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun juga, baik itu
dalam secara militer, politik ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari
berbagai masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara
militer, politis, ataupun secara ideologis.” (Kumpulan Pidato Presiden Soeharto, http://kepustakaan-
presiden.pnri.go.id/speech)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar
negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin
Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana
pembangunan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan
dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman.
Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam
pelaksanaan kebijakan luar negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno. Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain;
menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia
dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali
ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk
menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif.
Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri
menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia
sebagai suatu negara. Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN
bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Dalam pembentukan ASEAN Indonesia
memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN merupakan wadah bagi
politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan
luar negeri Indonesia. Ada kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN,
yaitu pembangunan ekonomi dan sikap non komunis. Dengan demikian, stabilitas negara-negara
anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting. ASEAN dijadikan
barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan
masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini.
Pemerintahan Soeharto coba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru di
kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand
sebagai macan-macan Asia baru. Di samping itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN,
juga untuk membentuk citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan
sangat layak bagi investasi industri.
Presiden Soeharto memakai Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik
(APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak
setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi
liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerjasama
antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah
pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antara lain adalah karena Indonesia menjadi
ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan
juga keberhasilan menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan
pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional. Selain ASEAN, keterlibatan
Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta
memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara
produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar
negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia. Kepemimpinan Soeharto secara umum
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pendahulunya. Diparuh pertama kepemimpinannya,
dia cenderung adaptif dan low profile. Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, sejak 1983,
Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile. Gayanya tersebut mempengaruhi
pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi
politik-ekonomi dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa,
Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri). 5. Politik Luar
Negeri Indonesia Era Reformasi. Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih
sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi akibat transisi pemerintahan.
Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan
dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar
negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada
politik internasional. Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
B.J.Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah
internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan
kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie
berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds (IMF)
dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Pada masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami
sedikit masalah setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita
mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan
kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa
pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam
setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini,
selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua dan isu
perbaikan ekonomi. Diplomasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks
kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke
mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi
konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia,
dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke
peran profesional. Ancaman integrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional
yang sangat mendesak dan diprioritaskan. Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk
dan kondusif. Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah
yang agak stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya. Belajar dari pemerintahan presiden yang
sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan peran DPR
dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945.
Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah
konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan
Selatan atau Timor Barat.
Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan
teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di
tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan
Megawati. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia pada
tanggal 20 Oktober 2004. SBY merupakan Presiden Indonesia pertama yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan umum secara langsung. SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan
menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa
pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya
sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan
istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut
dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang
bermasalah. Indonesia tidak pandang bulu bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan
manfaat bagi Indonesia.
Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:
1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India,
dll).
2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan- perubahan domestik dan
perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri (internasional).
3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan
siapa saja (baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia
membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Prinsip-prinsip
dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam
konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan
selanjutnya.
C.Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia
1. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955
Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan
di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa
pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru
yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka,
seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara. Masalah-masalah tersebut
sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun
kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok
Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar
menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya
suasana permusuhan yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana
permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”. Timbulnya pergolakan di dunia
disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika.
Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan
bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi
negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa
mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di
ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang
menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan
Pakistan. Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang
dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat
manusia. Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka pun
masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan
(politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok dunia tersebut. Walaupun pada masa itu
telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani
masalah-masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan
tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian
besar diderita oleh bangsabangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya
gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon
(Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India
(Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud
mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua
pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi
Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini
membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Yang menarik perhatian para
peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali
Sastroamidjojo:
” Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia. Kita
sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana
Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang
sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia
mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika
dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang
terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali
Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974) Pernyataan tersebut memberi arah
kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika
diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh
semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan. Perdana Menteri Indonesia pergi ke
Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan
hasil perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-
kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar
Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 Sampai dengan 22
Maret 1954. Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan
bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan
konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat
menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu. Konferensi
Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi
Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan
melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh
mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan konferensi tersebut. Ternyata
pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui
Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi. Atas undangan Perdana Menteri Indonesia,
para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/ Myanmar, Srilangka, India, Indonesia,
dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang
dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Sumber: Jamie Mackie, 2005 Gambar 6.4 Gedung Merdeka
Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas
penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara
sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas
nama lima negara. Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan,
Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas
(Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia,
Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam
Selatan, dan Yaman. Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995. Mengingat
negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang
berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam
konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap
berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula
asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat
dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi
lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing Gedung Dana Pensiun dipersiapkan
sebagai tempat sidang-sidang Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel
lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap
para tamu yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa persiapanpersiapan terakhir
di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama
Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna,
dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan
untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan
tujuan konferensi. Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan
kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang
diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central
African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya.
Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada
mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di
Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955. Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika
dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato
pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidangsidang selanjutnya dipimpin oleh
Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo. Konferensi Asia Afrika di Bandung
melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha
menciptakan perdamaian dunia.
Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusian yang
termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun
kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara
kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan
kemerdekaan negara lain.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan,
persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya
kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari
konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk
mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala
usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian
pemerintahan, sehingga konferensi itu tidak jadi. Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil
menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam
menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan
tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika,
Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia
Afrika. Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para
pejuang bangsa-bangsa Asia Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan
tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika.
Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk kedalam
tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah
pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga
atau “Non-Aligned” terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow. Dengan
diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh dunia. Semangat
perdamaian yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat Bandung” atau “Bandung Spirit”.
Untuk mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol di kota Bandung yang
terbentang di depan gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia Afrika.
2. Gerakan Non-Blok/Non Align Movement (NAM)
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori
oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha
menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi
dengan Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen penduduk dunia
dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara anggota GNB adalah negara-negara
yang baru memperoleh kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan
secara geografis berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.
2. Gerakan Non-Blok/Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu
gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100
negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak
menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok
merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-
negara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan setelah
berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara–negara di dunia terpolarisasi
dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah
pimpinan Uni Soviet. Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan Timur,
era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold War) yang berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga
runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan upaya
untuk memperluas sphere of interest dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan
penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia. Dalam pertarungan perebutan
pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai
negara yang baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk
menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok tersebut, muncul beberapa konflik
terutama di Asia, seperti Perang Korea, dan Perang Vietnam.
Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga saat
itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok tersebut. Indonesia bisa dikatakan
memiliki peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi
Gerakan Non Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga
terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu karena adanya
persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara
Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilangka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di
Kolombo (Srilangka) pada 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana Bogor pada
29 Desember 1954. Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari terselenggaranya Konferensi
Asia-Afrika /KAA di Bandung pada 18 April-25 April 1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara
Asia dan Afrika.
KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan KAA adalah mengidentifikasi
dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berusaha
memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru merdeka tersebut pada tataran
hubungan internasional. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan
proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul
Naser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini kemudian dikenal
sebagai para pendiri GNB. Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan
antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan
puncaknya krisis teluk Babi di Kuba, yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para
pemimpin negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan bisa
berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu. Pembentukan organisasi
Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 1-6
September 1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut, negara-
negara pendiri GNB berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi
untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama diantara
mereka. Pada KTT I ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam
politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen
yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya. GNB menempati posisi
khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam
pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila
Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting
Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam
dan ke luar. Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial,
dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan
ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT). Pokok pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwaperistiwa internasional yang
membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam perjalanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan Non Blok telah 16 kali
menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran
pada Agustus 2012. Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan rumah
penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini diselenggarakan di Jakarta,
Indonesia pada September 1992 – 7 September 1992, dipimpin oleh Soeharto. KTT ini menghasilkan
“Pesan Jakarta” yang mengungkapkan sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi
manusia, demokrasi dan kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin. KTT ini dihadiri oleh
lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini juga dihadiri oleh Sekjen PBB Boutros Boutros
Ghali.
3. Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda
Dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia memainkan sejumlah peran
dalam percaturan internasional. Peran yang cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah
dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen Garuda (KONGA) ke luar negeri.
Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan kontingen Garudanya sampai dengan kontingen
Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII). Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada
bulan Januari 1957. Pengiriman Misi Garuda dilatarbelakangiadanya konflik di
Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh Presiden
Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai akibatnya, pertikaian menjadi meluas dan
melibatkan negara-negara di luar kawasan tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada
bulan Oktober 1956, Inggris, Perancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir.
Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB turun tangan dan
mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding. Dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar
Kanada Lester B.Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara
perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada tanggal 5 November 1956 Sekjen
PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama United Nations Emergency Forces (UNEF).
Pada tanggal 8 November Indonesia menyatakan kesediannya untuk turut serta menyumbangkan
pasukan dalam UNEF. Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan
yang berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan Teritorium
IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk UNEF yang diberinama
Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada bulan Januari 1957. Untuk kedua kalinya
Indonesia mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for the
Congo (UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait munculnya
konflik di Kongo (Zaire sekarang). Konflik ini muncul berhubungan
dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu
pecahnya perang saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB
membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC. Pasukan kali ini di sebut “Garuda II” yang
terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut.
Pasukan Garuda II berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya
pada bulan Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh pasukan Garuda
III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan Agustus 1964. Peran aktif Indonesia dalam
menjaga perdamaian dunia terus berlanjut, ketika meletus perang saudara antara Vietnam Utara
dan Vietnam Selatan. Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh PBB untuk mengirim
pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk menjaga stabilitas politik di
kawasan Indocina yang terus bergolak akibat perang saudara tersebut, PBB membentuk
International Commission of Control and Supervission (ICCS) sebagai hasil dari persetujuan
internasional di Paris pada tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hongaria,
Indonesia, Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang dilakukan kedua
belah pihak yang bertikai.
Pasukan perdamaian Indonesia yang dikirim ke Vietnam disebut sebagai Pasukan Garuda IV yang
berkekuatan 290 pasukan, bertugas di Vietnam dari bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti
dengan Pasukan Garuda V, dan kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975 Pasukan Garuda VII
ditarik dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ketangan Vietcong (Vietnam Utara yang komunis).
Pada tahun 1973, ketika pecah perang Arab-Israel ke 4, UNEF diaktifkan lagi dengan kurang lebih
7000 anggota yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia, Finlandia, Swedia, Irlandia, Peru,
Panam, Senegal, Ghana dan Indonesia. Kontingen Indonesia semula berfungsi sebagai pasukan
pengamanan dalam perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas pasukan Garuda VI berakhir 23
September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan Garuda VIII yang bertugas hingga tanggal 17
Februari 1975. Sejak tahun 1975 hingga kini dapat dicatat peran Indonesia dalam memelihara
perdamaian dunia semakin berperan aktif, ditandai dengan didirikannya Indonesian Peace Security
Centre (IPSC/Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang didalamnya
terdapat unit yang mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim untuk menjaga perdamaian dunia
(Standby Force).
4. Pembentukan ASEAN
ASEAN Menjelang berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, beberapa pemimpin bangsa-bangsa
Asia Tenggara semakin merasakan perlunya membentuk suatu kerjasama regional untuk
memperkuat kedudukan dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal 5-8
Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari lima negara, yakni Adam
Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina)
dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut
menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration. Deklarasi tersebut
merupakan persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi
kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di
Asia Tenggara.
2. Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.
3.Memajukan kerjasama aktif dan saling membantu di negara- negara anggota dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
4. Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.
5. Kerjasama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan,
komunikasi serta usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.
6. Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.
7. Memelihara dan meningkatkan kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi
regional dan internasional yang ada.
Dari tujuh pasal Deklarasi Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan organisasi kerjasama negara-
negara Asia Tenggara yang bersifat non politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN
bukan merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas aktif, karena ASEAN bukanlah
suatu pakta militer seperti SEATO misalnya. ASEAN sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri
Indonesia yang mengutamakan pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya ASEAN
adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas sosial budaya, dan kesatuan regional
melalui usaha dengan semangat tanggungjawab bersama dan persahabatan yang akan menjamin
bebasnya kemerdekaan negara-negara anggotanya. Kerjasama dalam bidang ekonomi juga
merupakan pilihan bersama para anggota ASEAN. Hal itu disadari karena negara-negara ASEAN
pada saat itu adalah negara-negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian
kerja sama dalam bidang lain seperti bidang politik dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan
Malaysia misalnya melakukan kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan
kedua negara di Kalimantan. Malaysia dan Thailand melakukan kerja sama militer di daerah
perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas
menyebutkan bahwa pangkalan militer asing yang berada di negara anggota ASEAN hanya bersifat
sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang bersangkutan.
Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai tantangan yang muncul dari
masalah-masalah negara anggotanya sendiri. Seperti masalah antara Malaysia dan Filipina
menyangkut Sabah, sebuah wilayah di Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman
mati dua orang anggota marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis di Malaysia, dan
permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan. Akan tetapi, semua pihak yang terlibat dalam
permasalahan-permasalahan tersebut dapat meredam potensi konflik yang muncul sehingga
stabilitas kawasan dapat dipertahankan. Aktivitas ASEAN dalam bidang politik
yang menonjol adalah dengan dikeluarkannya Kuala Lumpur Declaration pada 27 November 1971.
Deklarasi tersebut merupakan pernyataan kelima menteri Luar Negeri ASEAN yang menyatakan
bahwa Asia Tenggara merupakan zone of peace, freedom and neutrality (ZOPFAN)/Zona Bebas
Netral, bebas dari segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang
pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah damai, bebas dan netral
telah berhasil dicantumkan dalam “Deklarasi Kesepakatan ASEAN” dan diterima sebagai program
kegiatan kerangka kerja sama ASEAN. Selain menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul
dari negaranegara anggotanya sendiri, seperti potensi konflik yang telah dijelaskan
sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal berdirinya adalah masalah keraguan dari
beberapa negara-negara anggotanya sendiri. Singapura misalnya, menampakan sikap kurang
antusias terhadap ASEAN, sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam
melakukan kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan sikap serius dan
optimis terhadap keberhasilan ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan. Selain sikap meragukan
yang muncul dari beberapa negara anggotanya, tantangan lainnya adalah munculnya citra kurang
menguntungkan bagi ASEAN dari beberapa negara luar. RRC menuduh bahwa ASEAN merupakan
suatu proyek “pemerintah fasis Indonesia” yang berupaya menggalang suatu kelompok kekuatan di
kawasan Asia Tenggara yang menentang Cina dan komunisme. RRC juga menuduh bahwa dalang
dari kegiatan yang diprakarsai oleh “pemerintah fasis Indonesia” tersebut adalah Amerika Serikat.
Uni Soviet tidak menunjukkan sikap penentangan, tetapi menganjurkan agar ASEAN digantikan oleh
sebuah lembaga keamanan bersama bangsa-bangsa Asia, yaitu Asian Collective Security System.
Citra kurang menguntungkan dari ASEAN juga muncul dari Jepang. Jepang bahkan meramalkan
ASEAN akan bubar dalam waktu yang singkat. Sikap dan penilaian berbeda dari negara luar ASEAN
muncul dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Mereka menyambut positif berdirinya
ASEAN. Hal itu dapat dipahami karena negaranegara Barat sangat menginginkan suatu kawasan
damai dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut untuk meredam bahaya komunisme di Asia
Tenggara. Keraguan beberapa negara anggota ASEAN sendiri dapat dimaklumi karena pada masa
1969-1974 dapat dikatakan sebagai tahap konsolidasi ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan
rasa solidaritas ASEAN terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah dan
kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada perjalanan selanjutnya
ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi yang mendapat tempat di wilayah
Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia seperti Masyarakat
Ekonomi Eropa dan Jepang. Bidang sosial dan budaya pun menjadi perhatian ASEAN, melalui
berbagai aktivitas budaya diupayakan untuk memasyarakatkan ASEAN terutama untuk kalangan
remaja, seniman, cendikiawan dan berbagai kelompok masyarakat lainnya di negara-negara
anggota. Untuk itu, ASEAN pada 1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.
Perkembangan organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan yang positif setelah dalam
KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN yang berkedudukan di Jakarta.
Pada sidang tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di Manila tanggal 7 Juni 1976, H.R. Dharsono
(Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN Indonesia) ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang
pertama. Akan tetapi karena persoalan politik dalam negeri Indonesia, H.R. Dharsono ditarik dari
jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN dan digantikan oleh Umarjadi Njotowidjono. Pada KTT
ASEAN di Bali tahun 1977 telah memperkuat Deklarasi Kuala Lumpur dan telah berhasil menetapkan
prinsip-prinsip program kerja dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas politik, memperat
kerjasama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil menetapkan cara-cara yang lebih
kongkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali
tersebut adalah dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur pada 8-9
Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT ASEAN di bidang kerjasama ekonomi.
Dalam sidang menteri-menteri ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu antarnegara
ASEAN dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan dan produksinya.
Secara kongkrit masing-masing negara ASEAN membangun lima buah proyek bersama. Kerjasama
yang dimaksud adalah koordinasi antara satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah
disepakati untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog dengan negara-
negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara Timur Tengah, Eropa Timur,
Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai kelompok negara lainnya. Kerjasama antar negara-negara
di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu upaya kongkret Indonesia untuk menciptakan stabilitas
kawasan. Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerjasama regional itu tidak akan berhasil
meningkatkan kemakmuran nasional dan regional bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-
baiknya, jika tidak ada keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia
senantiasa berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dalam
masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian Indocina secara keseluruhan dan
Vietnam khususnya sangat penting artinya dalam rangka memelihara keamanan dan menciptakan
stabilitas di Asia Tenggara. Indonesia kemudian berinisiatif menyelenggarakan konferensi untuk
menyelesaikan masalah Kamboja dalam rangka mencegah semakin luasnya perang Vietnam. Atas
inisiatif Indonesia, diselenggarakan suatu konferensi di Jakarta pada 15-17 Mei 1970 yang dihadiri
oleh sebelas negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos, Vietnam Selatan, Filipina, Jepang, Korea Selatan,
Thailand, Singapura, Australia dan Selandia Baru. Konferensi tersebut tidak membuahkan hasil
secara kongkrit, tetapi telah memberikan saran-saran bagi penyelesaian konflik. Indonesia
telah berupaya untuk menyumbangkan jasa baiknya guna
meredam potensi konflik dan konflik bersenjata di Asia Tenggara.
Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling berkepentingan dan
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan di kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-
bangsa di Asia Tenggara harus mencegah dan menghalau setiap campur tangan asing yang negatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bisa
dikatakan adalah pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi ASEAN sangat tergantung dari cara
Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin ASEAN sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi
karena Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi dalam negeri serta situasi politik dalam
negeri yang belum stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di era
pemerintahan Presiden SBY. Melalui momentum terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada
tahun 2011. Indonesia mulai mengarahkan ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang
kokoh di tahun 2015. Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan Cetak Biru
Komunitas ASEAN 2015. Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia menunjukan kepemimpinan
dalam mendorong tercapainya tiga prioritas. Pertama adalah kemajuan yang signifikan
dalam pencapaian komunitas ASEAN 2015. Kedua adalah dipeliharanya
kondisi kawasan Asia-Pasifik yang aman dan stabil. Serta yang
ketiga adalah menggulirkan visi ASEAN untuk sepuluh tahun mendatang sesuai tema “ASEAN
Community in a Global Community of Nations ( www. embasy of Indonesia.org) Paparan bab ini
memperlihatkan proses lahirnya kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas aktif dan
dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam
memelihara perdamaian dunia baik di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan
komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat UUD 1945, yang menekankan
pentingnya peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan
kemerdekaan dan perdamaian abadi.
KESIMPULAN
1. Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas maksudnya tidak terikat pada
Blok tertentu, sedangkan aktif berarti selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.
2. Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam pengaruh dua Blok utama setelah
selesainya Perang Dunia ke II, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.
3. Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perdamaian dunia antara lain tercermin dari pengiriman
Pasukan Misi Perdamaian Garuda ke wilayah-wilayah konflik di dunia.
4. Indonesia juga menjadi pelopor atau pendiri organisasi-organisasi antar bangsa seperti Gerakan
Non Blok, ASEAN dan Konferensi Asia Afrika.

Anda mungkin juga menyukai