Seksio Sesarea
2.1 Definisi
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen (laparotomi) dan uterus (histerotomi). Persalinan janin pada kasus ruptura uteri dan
kehamilan abdominal tidak termasuk dalam definisi ini.1,5
3
2.3.2 Bayi
Persistent fetal distress (gawat janin)
Malpresentasi
Postmaturitas dan gawat janin
Hamil ganda
Prolapsus tali pusat (anak hidup)5
Bekas seksio sesarea sendiri bukan indikasi mutlak karena sebagian besar pasien
bekas seksio sesarea dapat melahirkan pervaginam. Untuk presentasi bokong, perlu
ditentukan kondisi khusus untuk seksio sesarea seperti primigravida, bokong masih tinggi
dengan presentasi kaki.5
Indikasi seksio sesarea di negara maju kurang lebih 30% dan indikasinya adalah
distosia (30%), presentasi bokong (11%), dan gawat janin (10%).5
4
Pada langkah ini, pasien diberikan informasi mengenai indikasi
tindakan yang akan dilakukan. Selain itu, juga diberikan keterangan mengenai
alternatif tindakan, kemungkinan risiko yang akan dihadapi, dan komplikasi
tindakan. Setelah diberikan informasi secara rinci dan pasien menyetujui untuk
ditindak, pasien menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.3
2.4.1.2 Pemasangan Akses Intravena dan Kateter Urin
Akses intravena menggunakan kateter intravena nomor 18 dengan
cairan yang sesuai harus dipasang sebelum operasi dimulai. Selain itu,
dilakukan pemasangan kateter folley agar drainase vesika urinaria sebelum,
selama, dan setelah operasi dapat terjaga.3
2.4.2 Manajemen Intra-Operatif
2.4.2.1 Anastesi dan Posisi Pasien
Tindakan SC bisa dilakukan dengan anastesi regional maupun anastesi
umum. Pasien diposisikan terlentang (supine) dan dilakukan pemasangan
kateter urin. Selanjutnya dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik di daerah
abdomen dan vagina.
2.4.2.2 Insisi Vertikal Linea Mediana
a. Kutis dan subkutis
Insisi vertikal linea mediana dapat dilakukan sepanjang ± 10
cm mulai dari atas simpisis sampai bawah umbilikus. Insisi kulit
dilanjutkan ke lapisan subkutis sampai mencapai lapisan fasia.2,3,7
b. Fasia
Serat-serat tendon otot dinding abdomen anterior kiri dan
kanan bertemu di garis tengah membentuk linea alba. Insisi lapisan
fasia dilakukan secara tajam dan dimulai dari pertengahan agar tidak
mencederai vesika urinaria yang terdapat di bagian inferior. Insisi ini
lalu diperluas ke bagian kaudal dan kranial dengan panjang sesuai
insisi kulit.2,3,7
5
Gambar 2.1 Insisi Fasia pada Linea Mediana2
c. Peritoneum
Peritoneum diidentifikasi diantara serat otot rektus abdominis
yang telah dipisahkan secara tumpul sebelumnya dengan jari telunjuk
operator. Peritoneum bisa dijepit dengan pinset maupun hemostat lalu
dilakukan insisi tajam. Serupa dengan fasia, insisi peritoneum diperluas
ke arah kranial dan kaudal. Saat melakukan sayatan, peritoneum harus
diangkat ke atas agar mencegah trauma pada usus dan omentum.2,3,7
6
d. Lapangan operasi
Setelah akses terhadap rongga abdomen terbentuk, maka
biasanya digunakan sebuah retraktor untuk menyingkirkan otot dinding
abdomen, usus, dan omentum dari lapangan operasi. Selain itu, bisa
digunakan spon laparotomi yang lembab di bagian kaudal usus untuk
mendorong usus ke arah kranial. Setelah organ pelvis bisa terlihat
dengan jelas, tindakan operasi bisa dilanjutkan.2,3,7
7
Menurut tipe insisi uterus, SC dibagi menjadi 2 macam, yaitu Seksio
Caesaria Trans-Peritoneal Profunda (SCTPP) dan Seksio Caesaria Klasik
(SCK). Namun demikian, pada makalah ini akan dibahas secara khusus tipe
SCTPP.3
Pada teknik ini, akses ke dalam uterus dilakukan melalui insisi di daerah
SBR kurang lebih 1 cm di bawah batas refleksi peritoneum. Refleksi plika
vesikouterina dapat digunakan sebagai patokan.3
Insisi dimulai dengan menggunakan skalpel dengan sayatan transversal
sepanjang 1-2 cm di bagian tengah. Insisi harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak menyayat bagian tubuh janin di bawahnya. Sebagai alternatif,
setelah insisi dibuat, dapat dilakukan diseksi tumpul dengan menggunakan
hemostat atau jari.3 Setelah uterus bisa ditembus, insisi diperlebar ke arah
lateral dan sedikit sefalik menggunakan gunting jaringan. Jika SBR tipis,
sebagai alternatif, insisi dapat diperlebar menggunakan kedua jari telunjuk
operator yang ditarik ke lateral sedikit sefalik.3
Insisi uterus harus dibuat cukup lebar untuk melahirkan kepala dan bahu
janin tanpa merobek pembuluh-pembuluh darah uterus yang terdapat di
sisi lateral uterus. Jika pada permukaan dalam uterus terdapat daerah
perlekatan plasenta, maka plasenta harus ditembus atau dilepaskan.
Apabila plasenta ditembus, biasanya akan terjadi perdarahan janin yang
hebat. Oleh sebab itu, janin harus dilahirkan dan tali pusat diklem sesegera
mungkin.3
8
2.4.2.5 Pelahiran Janin
Kesulitan lain dapat ditemukan pada kondisi pasien yang belum inpartu
atau kepala masih floating karena susah untuk meluksir kepala. Pada
kondisi seperti ini, dapat digunakan vakum atau sendok forsep untuk
melahirkan kepala. Setelah kepala lahir, bahu dapat dilahirkan dengan
tarikan lembut dan bantuan dorongan di fundus uteri. Setelah bahu
lahir, diberikan infus 2 ampul oksitosin di dalam 1 liter larutan
kristaloid dengan kecepatan tetesan 10 mL/menit agar kontraksi uterus
adekuat. Pemberian oksitosin secara bolus sebaiknya dihindari karena
9
dapat menyebabkan hipotensi. Keseluruhan badan janin biasanya akan
lahir setelah kepala dan bahu lahir. Pencegahan terhadap aspirasi
mekonium dapat dilakukan dengan membersihkan hidung dan mulut
janin setelah janin lahir. Tali pusat diklem dan janin diserahkan ke tim
neonatus.3
10
Gambar 2.7 Pelahiran plasenta1
11
Setelah insisi uterus dijahit dan perdarahan telah teratasi, maka dapat
dilakukan penjahitan plika vesikouterina (retroperitonealisasi).
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan benang chromic no.2.0
secara jelulur.3
12
Pemakaian kateter urin dianjurkan mulai sebelum operasi dan dilanjutkan
sampai paling tidak 24 jam post-operatif. Pada kasus dengan risiko tinggi
atau kecurigaan terjadinya cedera vesika urinaria, masa pemakaian kateter
urin dapat diperpanjang.4
2.4.4 Komplikasi
Zat Uterotonik
13
Zat uterotonik lain yang dapat digunakan adalah derivat alkaloid ergot
(metil ergometrin maleat) dengan dosis 0,2 mg secara intramuskular.
Pemberian zat ini harus dilakukan dengan hati-hati karena memiliki risiko
mencetuskan terjadinya kenaikan tekanan darah secara mendadak, terutama
pada pemberian secara intravena. Oleh sebab itu, zat ini tidak dianjurkan
digunakan pada pasien dengan hipertensi atau kelainan jantung.3
14
Gambar 2.9 Teknik B-Lynch1
15
Ligasi arteri uterina
1) Uterus diangkat ke atas dan didorong ke salah satu sisi menjauhi sisi
yang akan diligasi.
2) Jahitan menggunakan benang absorbable dengan jarum besar
diletakkan mengelilingi cabang asenden arteri dan vena uterina pada
salah satu sisi. Posisi jahitan adalah menembus miometrium kurang
lebih 2-4 cm di medial pembuluh darah dan melalui daerah avaskular
di ligamentum latum. Penembusan miometrium bertujuan untuk
fiksasi dan mencegah cedera pembuluh darah. Jika ligasi dilakukan
pada saat SC, jahitan dapat diletakkan persis dibawah insisi uterus di
bawah bladder flap.
3) Jahitan yang sama lalu dilakukan pada sisi yang berlawanan.
4) Sebagai usaha tambahan untuk mengurangi aliran darah, dapat juga
dilakukan ligasi arteri ovarika bilateral. Penjahitan dilakukan
menggunakan benang absorbable yang diletakkan di dekat titik
anastomosis antara arteri ovarika dengan cabang asenden arteri
uterina di ligamentum ovarii proprium.
16
bifurkasio arteri iliaka interna dan eksterna. Lapisan areolar yang
membungkus arteri iliaka interna kemudian dibuka secara
longitudinal. Klem siku lalu disisipkan persis di bawah arteri dari arah
lateral ke medial.
2) Lokasi ligasi kira-kira 5 cm di distal bifurkasio. Ligasi biasanya
dilakukan menggunakan benang absorbable atau silk yang dijepit
dengan klem lalu dilewatkan di bawah arteri.
3) Arteri lalu diligasi dengan cara double ligation.
4) Pulsasi arteri iliaka eksterna setelah tindakan harus diperiksa. Pulsasi
arteri iliaka interna di distal ligasi biasanya mengalami penurunan
sehingga bisa menyebabkan terjadinya trombosis. Namun demikian,
aliran darah menuju uterus, serviks, dan vagina bagian atas biasanya
tidak terhambat. Tindakan ligasi arteri iliaka interna bilateral biasanya
tidak mempengaruhi fertilitas dan kehamilan selanjutnya.1
17
Sesarean histerektomi
18
Gambar 2.13 Penembusan lapisan posterior lig.latum1
8) Tuba, ligamentum ovarii propium, dan arteri ovarika lalu diklem,
dipotong, dan diikat secara double l igation.
19
Gambar 2.16 Diseksi tajam plika vesika urinaria1
11) Setelah vesika dan peritoneum bisa disingkirkan dari lapangan
operasi, maka tindakan selanjutnya harus dilakukan dengan sangat
hati-hati agar tidak terjadi trauma ureter yang terdapat persis di
bawah arteri uterina. Tindakan ini dapat dibantu asisten dengan
menarik uterus ke arah menjauhi sisi arteri uterina yang akan
dipotong.
12) Ramus asenden arteri dan vena uterina diidentifikasi, diklem
mendekati uterus, dipotong, kemudian diikat secara double ligation.
Sebaiknya, digunakan 3 buah klem dan pemotongan dilakukan
diantara klem I (yang terdekat dengan uterus-medial) dan klem II
(tengah). Ligasi lalu dilakukan pada tunggul klem II dan III
(lateral)/double ligation.
20
Gambar 2.17 Ligasi dan pemotongan arteri uterina1
21
Gambar 2.18 Transeksi lig. kardinal1
22
Gambar 2.20 Penjahitan puncak vagina1
2.4.4.2 Sistotomi
BAB III
KESIMPULAN
23
1. Caesarean Section/Seksio Cesaria (SC) adalah tindakan pelahiran janin melalui insisi
yang dilakukan pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi).
2. Tindakan persalinan secara SC dilakukan jika ditemukan kondisi persalinan
pervaginam tidak mungkin terjadi atau akan menimbulkan risiko terhadap ibu maupun
janin.
3. Manajemen pre-operatif tindakan histerektomi antara lain; informed consent,
pemasangan akses intravena dan kateter urin, pemberian antibiotik profilaksis, serta
persiapan transfusi darah.
4. Langkah-langkah intra-operatif tindakan SC adalah:
a. Anastesi dan posisi pasien
b. Insisi abdomen
c. Bladder flap
d. Insisi uterus
e. Melahirkan janin
f. Melahirkan plasenta
g. Penjahitan uterus
h. Penutupan dinding abdomen
5. Komplikasi post-operatif yang sering timbul pada tindakan SC adalah infeksi,
perdarahan post-partum, dan cedera organ pelvik.
6. Seorang ahli obstetri harus memperhitungkan risiko dan manfaat tindakan operasi
secara cermat sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan. Segenap usaha harus
dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi fisik dan mental pasien agar pasien pada
saat tindakan berada dalam kondisi terbaiknya. Selain itu, seorang ahli obstetri harus
terus melatih kemampuan mengenai teknik operasi, metode pemilihan pasien,
pengetahuan anatomi topografi, serta penilaian klinisnya.
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Cunningham, F G, et al. 2010. Cesarean Delivery and Peripartum Hysterectomy. Williams
Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section
IV, Chapter 25.
3. Roman, AS dan Pernoll, ML. 2007. Operative Delivery. [penyunt.] A H DeCherney, et al.
Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. New
York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 30.
4. Sanfilippo, JS dan Rock, JA. 2005. Abdominal Hysterectomy. [penyunt.] John A Rock dan
Howard W Jones. Te Linde's Operative Gynecology. 10th. New York : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005, Section V; Chapter 32A.
5. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 1, cet.VI. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2005.
25