Anda di halaman 1dari 23

Bab II

Seksio Sesarea

2.1 Definisi
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen (laparotomi) dan uterus (histerotomi). Persalinan janin pada kasus ruptura uteri dan
kehamilan abdominal tidak termasuk dalam definisi ini.1,5

2.2 Jenis-Jenis Seksio Sesarea


Tidak ada klasifikasi standar untuk seksio sesarea. Klasifikasi yang disepakati adalah
sebagai berikut :
 Seksio sesarea primer dan ulangan
 Seksio sesarea emergensi dan elektif
 Seksio sesarea segmen bawah dan segmen atas rahim
 Seksio sesarea post mortem
 Seksio histerektomi (cesarean hysterectomy)5

2.3 Indikasi Seksio Sesarea


2.3.1 Maternal
 CPD
 Persalinan abnormal (dikonfirmasi dengan partograph)
 Seksio sesarea ulangan dengan indikasi yang sama
 Perdarahan antepartum
 Obstruksi jaringan lunak
 Kegagalan induksi persalinan
 Riwayat operasi pada rahim (misalnya seksio sesarea segmen atas atau
miomektomi hingga membuka kavum uteri) atau urogenital (misalnya bekas
reparasi fistula vesiko-vaginalis)5

3
2.3.2 Bayi
 Persistent fetal distress (gawat janin)
 Malpresentasi
 Postmaturitas dan gawat janin
 Hamil ganda
 Prolapsus tali pusat (anak hidup)5

Bekas seksio sesarea sendiri bukan indikasi mutlak karena sebagian besar pasien
bekas seksio sesarea dapat melahirkan pervaginam. Untuk presentasi bokong, perlu
ditentukan kondisi khusus untuk seksio sesarea seperti primigravida, bokong masih tinggi
dengan presentasi kaki.5
Indikasi seksio sesarea di negara maju kurang lebih 30% dan indikasinya adalah
distosia (30%), presentasi bokong (11%), dan gawat janin (10%).5

2.3.3 Lilitan Tali Pusat


Tidak seperti tali pusat menumbung (cord prolapse) atau simpul tali pusat
(knot tying), maka lilitan tali pusat di leher bukan merupakan indikasi definitif untuk seksio
sesarea. Tali pusat menumbung pada pembukaan lengkap, masih dapat diusahakan
untuk partus pervaginam menggunakan ekstraksi cunam atau vakum.5

2.3.4 Permintaan Pasien


Bila pasien meminta seksio sesarea tanpa indikasi medis, perlu dijelaskan
secara objektif dan profesional tentang adanya risiko jangka pendek dan jangka panjang
terkait dengan prosedur seksio sesarea termasuk risiko anastesi yang dapat menimbulkan
efek atau komplikasi yang tidak diharapkan. Biarkan pasien membuat keputusan untuk
melanjutkan atau menghentikan informed choice dan informed consent setelah
memperoleh penjelasan tersebut diatas, karena hal tersebut adalah hak asasi dan
pilihan terbaik bagi pasien dan keluarganya.5

2.4 Manajemen Operatif Pada Seksio Sesarea


2.4.1 Manajemen pre-operatif
2.4.1.1 Informed Consent

4
Pada langkah ini, pasien diberikan informasi mengenai indikasi
tindakan yang akan dilakukan. Selain itu, juga diberikan keterangan mengenai
alternatif tindakan, kemungkinan risiko yang akan dihadapi, dan komplikasi
tindakan. Setelah diberikan informasi secara rinci dan pasien menyetujui untuk
ditindak, pasien menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.3
2.4.1.2 Pemasangan Akses Intravena dan Kateter Urin
Akses intravena menggunakan kateter intravena nomor 18 dengan
cairan yang sesuai harus dipasang sebelum operasi dimulai. Selain itu,
dilakukan pemasangan kateter folley agar drainase vesika urinaria sebelum,
selama, dan setelah operasi dapat terjaga.3
2.4.2 Manajemen Intra-Operatif
2.4.2.1 Anastesi dan Posisi Pasien
Tindakan SC bisa dilakukan dengan anastesi regional maupun anastesi
umum. Pasien diposisikan terlentang (supine) dan dilakukan pemasangan
kateter urin. Selanjutnya dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik di daerah
abdomen dan vagina.
2.4.2.2 Insisi Vertikal Linea Mediana
a. Kutis dan subkutis
Insisi vertikal linea mediana dapat dilakukan sepanjang ± 10
cm mulai dari atas simpisis sampai bawah umbilikus. Insisi kulit
dilanjutkan ke lapisan subkutis sampai mencapai lapisan fasia.2,3,7
b. Fasia
Serat-serat tendon otot dinding abdomen anterior kiri dan
kanan bertemu di garis tengah membentuk linea alba. Insisi lapisan
fasia dilakukan secara tajam dan dimulai dari pertengahan agar tidak
mencederai vesika urinaria yang terdapat di bagian inferior. Insisi ini
lalu diperluas ke bagian kaudal dan kranial dengan panjang sesuai
insisi kulit.2,3,7

5
Gambar 2.1 Insisi Fasia pada Linea Mediana2

c. Peritoneum
Peritoneum diidentifikasi diantara serat otot rektus abdominis
yang telah dipisahkan secara tumpul sebelumnya dengan jari telunjuk
operator. Peritoneum bisa dijepit dengan pinset maupun hemostat lalu
dilakukan insisi tajam. Serupa dengan fasia, insisi peritoneum diperluas
ke arah kranial dan kaudal. Saat melakukan sayatan, peritoneum harus
diangkat ke atas agar mencegah trauma pada usus dan omentum.2,3,7

Gambar 2.2 Insisi Peritonemum pada Linea Mediana2

6
d. Lapangan operasi
Setelah akses terhadap rongga abdomen terbentuk, maka
biasanya digunakan sebuah retraktor untuk menyingkirkan otot dinding
abdomen, usus, dan omentum dari lapangan operasi. Selain itu, bisa
digunakan spon laparotomi yang lembab di bagian kaudal usus untuk
mendorong usus ke arah kranial. Setelah organ pelvis bisa terlihat
dengan jelas, tindakan operasi bisa dilanjutkan.2,3,7

2.4.2.3 Bladder Flap


Perlekatan jaringan peritoneum di bagian atas vesika urinaria dan
bagian anterior segmen bawah rahim (SBR) disebut dengan bladder flap.
Jaringan ini dijepit dengan pinset di bagian tengahnya lalu diinsisi secara
transversal dengan gunting jaringan. Gunting diselipkan diantara plika
vesikouterina dan miometrium SBR lalu didorong ke arah lateral. Vesika
urinaria lalu dipisahkan dari miometrium SBR dengan diseksi tumpul. Pada
umumnya, pemisahan plika vesika uterina tidak boleh lebih dari 5 sentimeter.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terlukanya bagian atas vagina karena
pemisahan plika yang terlalu dalam, khususnya pada kasus-kasus SC dalam
kondisi serviks yang sudah matang atau pembukaan lengkap.1,3

Gambar 2.3 Bladder Flap1


2.4.2.4 Insisi Uterus

7
Menurut tipe insisi uterus, SC dibagi menjadi 2 macam, yaitu Seksio
Caesaria Trans-Peritoneal Profunda (SCTPP) dan Seksio Caesaria Klasik
(SCK). Namun demikian, pada makalah ini akan dibahas secara khusus tipe
SCTPP.3
 Pada teknik ini, akses ke dalam uterus dilakukan melalui insisi di daerah
SBR kurang lebih 1 cm di bawah batas refleksi peritoneum. Refleksi plika
vesikouterina dapat digunakan sebagai patokan.3
 Insisi dimulai dengan menggunakan skalpel dengan sayatan transversal
sepanjang 1-2 cm di bagian tengah. Insisi harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak menyayat bagian tubuh janin di bawahnya. Sebagai alternatif,
setelah insisi dibuat, dapat dilakukan diseksi tumpul dengan menggunakan
hemostat atau jari.3 Setelah uterus bisa ditembus, insisi diperlebar ke arah
lateral dan sedikit sefalik menggunakan gunting jaringan. Jika SBR tipis,
sebagai alternatif, insisi dapat diperlebar menggunakan kedua jari telunjuk
operator yang ditarik ke lateral sedikit sefalik.3
 Insisi uterus harus dibuat cukup lebar untuk melahirkan kepala dan bahu
janin tanpa merobek pembuluh-pembuluh darah uterus yang terdapat di
sisi lateral uterus. Jika pada permukaan dalam uterus terdapat daerah
perlekatan plasenta, maka plasenta harus ditembus atau dilepaskan.
Apabila plasenta ditembus, biasanya akan terjadi perdarahan janin yang
hebat. Oleh sebab itu, janin harus dilahirkan dan tali pusat diklem sesegera
mungkin.3

Gambar 2.4 Insisi uterus1

8
2.4.2.5 Pelahiran Janin

 Pada presentasi kepala, satu tangan operator diselipkan ke dalam


kavum uteri di antara simfisis pubis dan kepala janin. Kepala janin lalu
diluksir dengan jari dan telapak tangan operator secara lembut melalui
insisi uterus. Pada kasus partus lama akibat CPD, kepala janin mungkin
sudah turun cukup jauh dan tertahan di dalam jalan lahir. Pelahiran
kepala dalam kondisi seperti ini dapat dibantu oleh asisten dengan cara
mendorong kepala dari bawah.3

Gambar 2.5 Pelahiran Kepala dan Bahu Janin1

 Kesulitan lain dapat ditemukan pada kondisi pasien yang belum inpartu
atau kepala masih floating karena susah untuk meluksir kepala. Pada
kondisi seperti ini, dapat digunakan vakum atau sendok forsep untuk
melahirkan kepala. Setelah kepala lahir, bahu dapat dilahirkan dengan
tarikan lembut dan bantuan dorongan di fundus uteri. Setelah bahu
lahir, diberikan infus 2 ampul oksitosin di dalam 1 liter larutan
kristaloid dengan kecepatan tetesan 10 mL/menit agar kontraksi uterus
adekuat. Pemberian oksitosin secara bolus sebaiknya dihindari karena

9
dapat menyebabkan hipotensi. Keseluruhan badan janin biasanya akan
lahir setelah kepala dan bahu lahir. Pencegahan terhadap aspirasi
mekonium dapat dilakukan dengan membersihkan hidung dan mulut
janin setelah janin lahir. Tali pusat diklem dan janin diserahkan ke tim
neonatus.3

Gambar 2.6 Pelahiran Kepala dengan Forsep1

2.4.2.6 Pelahiran Plasenta dan Eksplorasi Kavum Uteri

 Setelah janin lahir, plasenta bisa dilahirkan secara spontan dengan


tarikan ringan pada tali pusat atau dengan tindakan manual. Setelah
plasenta lahir, dilakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta.
 Uterus lalu dikeluarkan dari rongga abdomen dan diletakkan di atas
perut lalu dibungkus dengan kain kassa yang lembab. Keuntungan
mengeluarkan uterus dari rongga abdomen adalah deteksi dini bila
terjadi atonia uteri dan visualisasi serta tindakan reparasi luka insisi
yang lebih mudah, terutama bila luka insisi melebar ke lateral.
 Kavum uteri dibersihkan dari sisa selaput plasenta, verniks, debris, dan
bekuan darah dengan menggunakan kassa steril.
 Sisi atas dan bawah insisi uterus serta batas lateral masing-masing sisi
insisi diperiksa secara hati-hati untuk menemukan sumber perdarahan.
Jika terdapat pembuluh darah besar yang berdarah dapat dilakukan
ligasi.3

10
Gambar 2.7 Pelahiran plasenta1

2.4.2.7 Penjahitan Uterus

 Penjahitan insisi uterus dilakukan dengan jahitan dua lapis. Jahitan


lapis pertama dilakukan secara jelujur terkunci dengan menggunakan
benang chromic no.2 karena jenis jahitan ini lebih menguntungkan dari
sisi fungsi hemostasisnya. Jahitan pertama dimulai dari atas salah satu
sudut lateral insisi uterus. Jahitan kemudian dilanjutkan secara jelujur
terkunci dengan jarum menembus seluruh ketebalan miometrium.
 Pada saat melakukan penjahitan, sangat penting untuk menentukan titik
penetrasi jarum secara cermat dan hati-hati serta menghindari
penusukan berulang-ulang. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya perforasi pembuluh darah yang belum terligasi dan
perdarahan berulang. Jahitan pertama diteruskan sampai melewati
sudut lateral insisi di sisi berlawanan.
 Jahitan lapis kedua dapat dilakukan dengan menggunakan benang
chromic no.2 atau no.1. Jahitan ini bertujuan untuk memperbaiki
aproksimasi jaringan yang belum sempurna atau menghentikan
perdarahan yang belum teratasi dengan jahitan lapis pertama. Jahitan
dapat dilakukan secara jelujur, jahitan angka depalan (figure-of-eight),
atau matras.

11
 Setelah insisi uterus dijahit dan perdarahan telah teratasi, maka dapat
dilakukan penjahitan plika vesikouterina (retroperitonealisasi).
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan benang chromic no.2.0
secara jelulur.3

Gambar 2.8 Penjahitan Uterus1

2.4.2.8 Penutupan Dinding Abdomen

Peritonium dijahit jelujur dengan chromic no. 2.0. M.rektus abdominis


dijahit satu-satu dengan khromik cat gut no 2.0. Fasia M.rektus abdominis
dijahit jelujur dengan vicryl 1. Subkutis dijahit satu-satu dengan plain no 2.0 .
Kulit dijahit subkutikuler dengan vicryl rapide no 3.0.3

2.4.3 Manajemen Post Operatif

 Perawatan post-operatif tindakan SC pada dasarnya sama dengan perawatan


post-operatif mayor lainnya. Perawatan biasanya membutuhkan 1 – 4 hari
untuk pemantauan kembalinya fungsi pencernaan dan munculnya demam.
 Demam yang terjadi pasca tindakan sering terjadi. Penyebab yang sering
adalah infeksi rongga pelvik, infeksi luka operasi, infeksi saluran kencing,
dan pneumonia. Oleh sebab itu, bagi pasien-pasien dengan risiko tinggi
infeksi dapat diberikan antibiotik dari golongan sefalosporin generasi ke-
dua.

12
 Pemakaian kateter urin dianjurkan mulai sebelum operasi dan dilanjutkan
sampai paling tidak 24 jam post-operatif. Pada kasus dengan risiko tinggi
atau kecurigaan terjadinya cedera vesika urinaria, masa pemakaian kateter
urin dapat diperpanjang.4

2.4.3.1 Penggunaan Antibiotik

 SC dengan risiko infeksi; misalnya pada pasien KPD, partus lama,


partus terlantar untuk pre op diberikan Cefazoline 2 g dan post op
lanjut pemberian cefotaxim 2 x 1 g selama 2 hari. Terapi pulang
diberikan antibiotik oral cefadroxil 2 x 500 mg selama 5 hari.
 SC dengan non-infeksi; untuk pre op diberikan Cefazoline 2 g, pada
post op tidak perlu pemberian antibiotik.

2.4.4 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi pada tindakan SC adalah perdarahan


post-partum, infeksi, dan trauma organ visera sekitar.3

2.4.4.1 Perdarahan Post Partum

Perdarahan post-partum pada saat tindakan SC paling sering


disebabkan oleh atonia uteri. Atonia adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi
secara adekuat setelah pelahiran.3 Pencegahan dan penanganan atonia uteri dapat
dilakukan dengan pemberian zat-zat uterotonik dan apabila tidak berhasil
dilanjutkan dengan tindakan surgikal.1

 Zat Uterotonik

Pada tindakan SC, pencegahan terhadap atonia uteri dapat dilakukan


dengan pemberian uterotonik segera setelah bahu depan janin lahir. Pemberian
oksitosin adalah dengan dosis 10-20 U/L dalam larutan salin isotonik atau
larutan intravena lainnya secara tetes lambat. Selain itu, oksitosin dapat juga
diberikan secara intramuskular dengan dosis 10 unit. Pemberian secara bolus
dalam dosis besar (>5 unit) sebaiknya dihindari karena dapat mengakibatkan
hipotensi.3

13
Zat uterotonik lain yang dapat digunakan adalah derivat alkaloid ergot
(metil ergometrin maleat) dengan dosis 0,2 mg secara intramuskular.
Pemberian zat ini harus dilakukan dengan hati-hati karena memiliki risiko
mencetuskan terjadinya kenaikan tekanan darah secara mendadak, terutama
pada pemberian secara intravena. Oleh sebab itu, zat ini tidak dianjurkan
digunakan pada pasien dengan hipertensi atau kelainan jantung.3

Hasil beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa analog


prostaglandin E1 (misoprostol) juga efektif digunakan dalam penanganan atonia
uteri. Namun demikian, dalam penelitian Cochcrane dinyatakan bahwa
penggunaan misoprostol tidak lebih baik dibanding terapi standar dengan
oksitosin atau ergometrin.1

Efek samping penggunaan misoprostol biasanya ringan namun


kadangkala bisa menyebabkan desaturasi oksigen, bronkospasme, dan
hipertensi. Sebuah penelitian klinis terkontrol terakhir menunjukkan efektifitas
penggunaan misoprostol dengan dosis 800 μg per rektal untuk mengatasi
perdarahan post-partum akibat atonia uteri.3

 Jahitan Kompresi Uterus (teknik B-Lynch)

Pada kondisi atonia yang tidak memberikan respon terhadap pemberian


zat-zat uterotonik, penanganan selanjutnya harus dilakukan secara surgikal.
Tindakan surgikal untuk mengatasi perdarahan akibat atonia uteri antara lain
dengan menggunakan teknik jahitan tertentu untuk tujuan kompresi uterus.3

14
Gambar 2.9 Teknik B-Lynch1

Langkah-langkah melakukan penjahitan uterus dengan teknik B-Lynch adalah


sebagai berikut:
1) Jahitan dimulai dari bawah irisan uterus dan menembus SBR sampai
ke dalam kavum uteri.
2) Jahitan dikeluarkan dari kavum uteri dan menembus SBR di atas
insisi uterus. Benang lalu dibawa mengelilingi uterus ke arah atas
menuju fundus dan kemudian sampai di permukaan dinding posterior
uterus.
3) Jahitan kemudian menembus dinding posterior uterus sampai ke
dalam kavum uteri. Arah jahitan lalu dipindahkan dari salah satu sisi
kavum uteri ke sisi sebelahnya.
4) Jahitan menembus keluar dari kavum uteri melalui dinding posterior
uterus. Setelah itu, benang lalu dibawa mengelilingi uterus ke arah
fundus dan kemudian sampai di permukaan dinding anterior uterus.
5) Jahitan menembus kembali ke dalam kavum uteri melalui SBR di atas
insisi uterus.
6) Jahitan keluar dari kavum uteri dengan menembus SBR di bawah
insisi uterus. Akhirnya, jahitan pada kedua titik pada bagian anterior
uterus diikatkan di bawah insisi.1

15
 Ligasi arteri uterina
1) Uterus diangkat ke atas dan didorong ke salah satu sisi menjauhi sisi
yang akan diligasi.
2) Jahitan menggunakan benang absorbable dengan jarum besar
diletakkan mengelilingi cabang asenden arteri dan vena uterina pada
salah satu sisi. Posisi jahitan adalah menembus miometrium kurang
lebih 2-4 cm di medial pembuluh darah dan melalui daerah avaskular
di ligamentum latum. Penembusan miometrium bertujuan untuk
fiksasi dan mencegah cedera pembuluh darah. Jika ligasi dilakukan
pada saat SC, jahitan dapat diletakkan persis dibawah insisi uterus di
bawah bladder flap.
3) Jahitan yang sama lalu dilakukan pada sisi yang berlawanan.
4) Sebagai usaha tambahan untuk mengurangi aliran darah, dapat juga
dilakukan ligasi arteri ovarika bilateral. Penjahitan dilakukan
menggunakan benang absorbable yang diletakkan di dekat titik
anastomosis antara arteri ovarika dengan cabang asenden arteri
uterina di ligamentum ovarii proprium.

Gambar 2.10 Ligasi arteri uterina1

 Ligasi arteri iliaka interna


1) Ligasi dilakukan dengan terlebih dahulu membuka peritoneum yang
terdapat di bagian lateral ligamentum infundibulopelvikum atau
melalui transeksi ligamentum latum. Tindakan ini bertujuan untuk
membuka peritoneum yang menutupi arteri iliaka komunis agar
diperoleh paparan yang adekuat dan menyingkirkan ureter dari
lapangan operasi. Peritoneum lalu di-diseksi ke arah bawah menuju

16
bifurkasio arteri iliaka interna dan eksterna. Lapisan areolar yang
membungkus arteri iliaka interna kemudian dibuka secara
longitudinal. Klem siku lalu disisipkan persis di bawah arteri dari arah
lateral ke medial.
2) Lokasi ligasi kira-kira 5 cm di distal bifurkasio. Ligasi biasanya
dilakukan menggunakan benang absorbable atau silk yang dijepit
dengan klem lalu dilewatkan di bawah arteri.
3) Arteri lalu diligasi dengan cara double ligation.
4) Pulsasi arteri iliaka eksterna setelah tindakan harus diperiksa. Pulsasi
arteri iliaka interna di distal ligasi biasanya mengalami penurunan
sehingga bisa menyebabkan terjadinya trombosis. Namun demikian,
aliran darah menuju uterus, serviks, dan vagina bagian atas biasanya
tidak terhambat. Tindakan ligasi arteri iliaka interna bilateral biasanya
tidak mempengaruhi fertilitas dan kehamilan selanjutnya.1

Gambar 2.11 Teknik ligasi arteri iliaka interna1

17
 Sesarean histerektomi

Sebagian besar tindakan sesarian histerektomi dilakukan untuk


tujuan mengatasi perdarahan hebat yang terjadi dalam kasus-kasus atonia
uteri, perdarahan SBR, kelainan implantasi plasenta (akreta, inkreta,
perkreta), serta laserasi pembuluh darah yang tidak bisa diatasi dengan
tindakan ligasi.1 Teknik pelaksanaan tindakan sesarian histerektomi
adalah sebagai berikut:

1) Histerektomi dapat dilakukan s ecara total maupun supravaginal.


2) Paparan adekuat terhadap uterus biasanya cukup dilakukan dengan
mengangkat uterus dengan bantuan asisten.
3) Bladder flap jika memungkinkan diperluas ke arah bawah sampai
setinggi serviks.
4) Jika luka irisan histerotomi mengalami perdarahan yang banyak,
luka dapat dijahit terlebih dahulu atau dijepit dengan penster klem.
5) Ligamentum rotundum di sisi uterus dijepit dengan klem lalu
dipotong dan diligasi.

Gambar 2.12 Transeksi ligamentum rotundum1


6) Insisi pada plika vesikouterina yang sudah ada sebelumnya diperluas
ke arah lateral dan atas melalui lapisan anterior ligamentum latum
menuju daerah insisi ligamentum rotundum.
7) Lapisan posterior ligamentum latum yang terdapat di sisi uterus lalu
ditembus persis dibawah tuba falopii, ligamentum ovarii propium,
dan arteri ovarika.

18
Gambar 2.13 Penembusan lapisan posterior lig.latum1
8) Tuba, ligamentum ovarii propium, dan arteri ovarika lalu diklem,
dipotong, dan diikat secara double l igation.

Gambar 2.14 Konservasi ovarium1


9) Lapisan posterior ligamentum latum kemudian diinsisi ke arah
bawah sampai ke ligamentum sakrouterina.

Gambar 2.15 Insisi lapisan posterior lig. latum1


10) Vesika urinaria dan plika vesikouterina dipisahkan dari SBR. Jika
bladder flap mengalami perlengketan, misalnya akibat bekas insisi
histerotomi sebelumnya, maka dapat dilakukan diseksi secara tajam
dengan gunting jaringan.

19
Gambar 2.16 Diseksi tajam plika vesika urinaria1
11) Setelah vesika dan peritoneum bisa disingkirkan dari lapangan
operasi, maka tindakan selanjutnya harus dilakukan dengan sangat
hati-hati agar tidak terjadi trauma ureter yang terdapat persis di
bawah arteri uterina. Tindakan ini dapat dibantu asisten dengan
menarik uterus ke arah menjauhi sisi arteri uterina yang akan
dipotong.
12) Ramus asenden arteri dan vena uterina diidentifikasi, diklem
mendekati uterus, dipotong, kemudian diikat secara double ligation.
Sebaiknya, digunakan 3 buah klem dan pemotongan dilakukan
diantara klem I (yang terdekat dengan uterus-medial) dan klem II
(tengah). Ligasi lalu dilakukan pada tunggul klem II dan III
(lateral)/double ligation.

20
Gambar 2.17 Ligasi dan pemotongan arteri uterina1

13) Setelah arteri uterina diligasi, selanjutnya dapat dilakukan


pengangkatan uterus. Sesarian histerektomi dapat dilakukan secara
supravaginal maupun total. Pada metode supravaginal,
pengangkatan uterus cukup dilakukan dengan amputasi korpus pada
daerah persis di bawah titik ligasi arteri uterina. Teknik ini pada
sebagian besar kasus sudah cukup untuk mengatasi perdarahan yang
terjadi.
14) Apabila direncanakan untuk histerektomi total, selanjutnya
dilakukan transeksi ligamentum kardinal. Ligamentum ini terdapat
pada kedua sisi lateral uterus dan inferior terhadap arteri uterina.
Ligamentum dijepit dengan klem pertama secara paralel terhadap
sisi lateral uterus. Namun pada saat mengunci, ujung klem
diarahkan sambil membentuk sudut ± 45⁰ terhadap sumbu vertikal
uterus. Klem kedua diletakkan di medial klem pertama. Jaringan di
antara kedua klem lalu disayat dengan skalpel lalu diikat. Insisi dan
pengikatan lig.kardinale kadangkala harus dilakukan berulang kali
mulai dari sisi lateral uterus ke bawah sampai sisi lateral puncak
vagina.

21
Gambar 2.18 Transeksi lig. kardinal1

15) Apabila seluruh ligamentum penggantung uterus telah ditranseksi,


operator melakukan palpasi melalui dinding anterior dan posterior
vagina untuk mengidentifikasi bagian terbawah serviks. Setelah bisa
diidentifikasi, dinding anterior dan posterior vagina disatukan dan
dijepit dengan 2 buah klem persis di bawah serviks. Jaringan vagina
yang terletak di atas klem lalu diinsisi dengan skalpel atau gunting
jaringan. Tindakan ini akan membebaskan uterus dari rongga pelvik.

Gambar 2.19 Amputasi uterus1

16) Penjahitan Puncak Vagina dilakukan denga cara ujung puncak


vagina di tiap sisi pertama-tama disatukan dengan tunggul sisa
lig.uterosakralis sisi yang sama menggunakan benang chromic no.2.
Penyatuan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya prolaps puncak
vagina setelah tindakan operasi. Setelah disatukan, masing-masing
ikatan dijepit dengan hemostat lalu ditarik ke arah atas dan lateral
untuk meregangkan puncak vagina. Dinding anterior dan posterior
puncak vagina yang telah teregang lalu diaproksimasi dengan
beberapa ikatan angka delapan menggunakan benang chromic no.2.1

22
Gambar 2.20 Penjahitan puncak vagina1

2.4.4.2 Sistotomi

Cedera vesika urinaria biasanya terjadi pada kasus-kasus bekas SC,


terutama yang dilanjutkan dengan sesarian histerektomi. Penjahitan laserasi
vesika urinaria dapat dilakukan dengan jahitan kontinu sebanyak 2 atau 3 lapis
menggunakan benang chromic 3-0. Jahitan lapis pertama memperbaiki mukosa
sementara jahitan lapis selanjutnya bertujuan untuk reaproksimasi lapisa
muskularis vesika urinaria. Perawatan post-operatif biasanya dilakukan dengan
pemasangan kateter urin kontinu selama 7-10 hari.1

Gambar 2.21 Penjahitan trauma vesika urinaria

BAB III
KESIMPULAN

23
1. Caesarean Section/Seksio Cesaria (SC) adalah tindakan pelahiran janin melalui insisi
yang dilakukan pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi).
2. Tindakan persalinan secara SC dilakukan jika ditemukan kondisi persalinan
pervaginam tidak mungkin terjadi atau akan menimbulkan risiko terhadap ibu maupun
janin.
3. Manajemen pre-operatif tindakan histerektomi antara lain; informed consent,
pemasangan akses intravena dan kateter urin, pemberian antibiotik profilaksis, serta
persiapan transfusi darah.
4. Langkah-langkah intra-operatif tindakan SC adalah:
a. Anastesi dan posisi pasien
b. Insisi abdomen
c. Bladder flap
d. Insisi uterus
e. Melahirkan janin
f. Melahirkan plasenta
g. Penjahitan uterus
h. Penutupan dinding abdomen
5. Komplikasi post-operatif yang sering timbul pada tindakan SC adalah infeksi,
perdarahan post-partum, dan cedera organ pelvik.
6. Seorang ahli obstetri harus memperhitungkan risiko dan manfaat tindakan operasi
secara cermat sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan. Segenap usaha harus
dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi fisik dan mental pasien agar pasien pada
saat tindakan berada dalam kondisi terbaiknya. Selain itu, seorang ahli obstetri harus
terus melatih kemampuan mengenai teknik operasi, metode pemilihan pasien,
pengetahuan anatomi topografi, serta penilaian klinisnya.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Cunningham, F G, et al. 2010. Cesarean Delivery and Peripartum Hysterectomy. Williams
Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section
IV, Chapter 25.

2. Hoffman, BL. 2008. Surgeries for Benign Gynecologic Conditions. [penyunt.] J O


Schorge, et al. Williams Gynecology. 1st Edition. New York : The McGraw-Hill
Companies, 2008, Section 6, Chapter 41-19.

3. Roman, AS dan Pernoll, ML. 2007. Operative Delivery. [penyunt.] A H DeCherney, et al.
Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. New
York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 30.

4. Sanfilippo, JS dan Rock, JA. 2005. Abdominal Hysterectomy. [penyunt.] John A Rock dan
Howard W Jones. Te Linde's Operative Gynecology. 10th. New York : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005, Section V; Chapter 32A.

5. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 1, cet.VI. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2005.

25

Anda mungkin juga menyukai