Anda di halaman 1dari 8

Persiapan Pasien

Persiapan pasien yang harus dilakukan sebelum sectio caesarea (SC) atau biasa disebut operasi sesar
atau caesarean section antara lain adalah:
 Anamnesis: menanyakan riwayat perawatan antenatal, riwayat kehamilan sebelumnya, serta kondisi
lain yang ditujukan untuk mencari adanya indikasi dan kontraindikasi.
 Puasa : pasien yang akan melakukan SC harus dipuasakan paling tidak 8 jam pre operasi untuk
makanan padat dan 2 jam pre operasi untuk cairan.
 Informed consent
 Pemeriksaan laboratorium : (1) darah lengkap, (2) profil koagulasi, (3) cross-match darah, dan (4)
pemeriksaan khusus bila diperlukan, misalnya pemeriksaan HIV, hepatitis B, dan sebagainya
 Pemasangan akses intravena, kateter Foley, dan konsultasi Anestesi untuk melihat apakah pasien layak
menjalani operasi
 Pemberian antibiotik profilaksis : Antibiotik yang disarankan adalah spektrum sempit yang efektif
terhadap mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih, endometritis, dan infeksi luka. Regimen
yang dapat diberikan antara lain adalah:
 Cephalosporin (Cephazolin, Cefotaxime, atau Cefotetan) 2 gram IV bila < 120 kg atau 3 gram
IV bila ≥120 kg.
 Ampicilin-sulbactam 3 gram IV
 Clindamisin 600 mg IV ATAU vancomycin 1 gram IV DAN gentamicin 1.5 mg/kg IV
 Antibiotik yang diberikan adalah secara intravena dalam dosis tunggal, diberikan 60 menit
sebelum dilakukan insisi. [3,8,11]
Peralatan

Peralatan untuk operasi sectio caesarea (SC) harus steril. Peralatan yang dibutuhkan pada umumnya sudah
dikelompokkan ke dalam set untuk SC. [2,3,11,13]
Alat-alat yang diperlukan antara lain adalah:
 Sarung tangan steril
 Apron
 Kasa steril
 Larutan klorheksidin 4% atau povidone iodine
 Set instrumen SC
 Pisau bedah dan Bisturi no. 10
 Guntung mayo lengkung (curved mayo scissor)
 Gunting metzenaum lengkung (curved metzenbaum scissor)
 Gunting kasa
 Pinset anatomis
 Pinset sirurgis (adson forcep)
 Pinset Ring (ring forcep)
 Pinset alligator (rat tooth tissue forcep)
 Klem Kocher
 Klem Allis
 Hemostat lengkung
 Needle holder
 Gunting benang
 Retraktor Doyen
 Retraktor Richardson
 Retraktor Bull
 Benang suture absorbable dan non-absorbable
 Vakum (bila diperlukan)
 Peralatan untuk resusitasi neonates

Posisi Pasien

Pasien diposisikan pada posisi supinasi, dapat diberikan bantal tipis. Studi menunjukkan bahwa miring ke kiri
lebih baik dibandingkan ke kanan. [14]
Pilihan anestesi yang umum digunakan adalah anestesi spinal, namun juga dapat menggunakan anestesi umum
(general anaesthesia).

Prosedural

Teknik pembedahan yang dilakukan dapat berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing pasien, namun
prosedur sectio caesarea (SC) umumnya terbagi ke dalam beberapa fase, yaitu (1) Laparotomi, (2)
Histerotomi, (3) Persalinan / delivery, (4) Reparasi uterus, dan (5) Penutupan abdomen. [2,11,15]
Laparotomi
Laparotomi dilakukan untuk memberikan akses ke rongga peritoneum dan uterus dengan membuka lapisan
abdomen. Membuka lapisan abdomen dilakukan dengan cara:
Insisi Kulit :
Insisi kulit dapat dibuat secara transversal atau vertikal. Insisi yang paling umum dilakukan secara transversal
(Pfannenstiel atau Joel-Cohen). Insisi ini menghasilkan perdarahan lebih sedikit dan nyeri lebih ringan. Insisi
vertikal midline  lebih mudah dan cepat memberikan akses intraabdominal. Buat insisi dengan pisau bedah.
Ukuran insisi secukupnya yang adekuat untuk fetus keluar dan minimalisir trauma. Rata-rata ukuran insisi
adalah 15 cm.
Lapisan Subkutaneus :
Buka lapisan subkutaneus secara diseksi tumpul ataupun tajam. Diseksi tumpul, misalnya dengan tangan,
lebih disarankan karena mengurangi risiko trauma dan memperpendek durasi operasi. Tangani perdarahan bila
ada.
Lapisan Fascia:
Terdapat beberapa teknik untuk membuka fascia. Umumnya dilakukan insisi kecil transversal dengan pisau
bedah dan kemudian dilebarkan dengan gunting fascia.
Lapisan Otot Rektus :
Lapisan otot rektus dapat dipisahkan secara tumpul. Hindari transeksi otot dan diseksi fascia rektus.
Membuka Rongga Peritoneum :
Rongga peritoneum dapat dibuka secara tumpul dengan jari. Bukaan yang dibuat harus dipastikan adekuat
untuk akses ke uterus. Diseksi secara tajam terkadang diperlukan, terutama bila terdapat adhesi cukup banyak.
[2,11,15]
Histerotomi
Histerotomi adalah prosedur membuka uterus dengan insisi. Operator harus mewaspadai letak plasenta dan
letak bayi sebelum membuka uterus. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
 Insisi inisial dilakukan dengan pisau bedah secara transversal atau vertikal. Pisahkan lapisan serosa
vesikouterina dan miometrium segmen bawah uterus secara tumpul dengan menyisipkan gunting dan
mendorong ke sisi lateral pada kedua sisi. Peritoneum akan terangkat dan vesika urinaria secara
perlahan terpisah dari lapisan miometrium.
 Pisahkan vesika urinaria dan miometrium dengan diseksi tumpul pada ruang antara
vesikouterina. Bladder flap tidak perlu dibuat.
 Lakukan insisi miometrium dengan hati-hati. Klem Allis dapat digunakan untuk membantu elevasi
miometrium. Pastikan akses ke segmen bawah uterus cukup.
 Insisi uterus dibuat sebesar 1-2 cm pada bagian midline. transversal pada bagian bawah uterus
(Monroe-Kerr) lebih disarankan karena perdarahan lebih sedikit, reaproksimasi lebih mudah, dan
risiko ruptur lebih kecil. Insisi vertikal dapat dilakukan secara klasik atau vertikal rendah (Cornell, De
Lee, Kronig). Indikasi insisi vertikal:
 Perlengketan vesika urinaria
 Persalinan postmortem
 Terdapat patologi pada segmen bawah uterus yang membuat insisi transversal tidak dapat
dilakukan
 Segmen bawah uterus kurang berkembang (kehamilan prematur, letak transversal dengan
punggung menghadap bawah, dsb)
 Setelah akses ke dalam rongga uterus didapat, insisi histerotomi yang dibuat dapat dilebarkan secara
tumpul dengan tangan operator atau gunting kassa. Insisi uterus dilebarkan secara transversal dengan
menarik secara vertikal ke arah sefalokaudal dengan kedua jari telunjuk.[2,11,15]

Persalinan
Proses persalinan dimulai setelah uterus berhasil dibuka dan dimulai dengan pengeluaran bayi, manajemen tali
pusat, pemberian oksitosin, dan melahirkan plasenta.
 Melahirkan kepala : Bila presentasi kepala, selipkan tangan ke dalam rongga uterus di antara simfisis
dan kepala bayi untuk mengeluarkan kepala. Elevasikan kepala bayi secara perlahan dengan jari dan
telapak melalui insisi. Setelah kepala masuk ke dalam insisi, berikan dorongan transabdominal pada
fundus untuk mengeluarkan kepala. Ekstraksi dengan forceps atau vakum dapat dilakukan bila
diperlukan.
 Periksa lilitan tali pusat : Setelah kepala berhasil dilahirkan, periksa ada atau tidaknya lilitan tali pusat
dengan menyusui leher bayi dengan jari. Lepaskan lilitan bila ada.
 Bahu anterior : Rotasikan kepala ke arah oksiput transversal. Pegang kedua sisi kepala dengan kedua
tangan. Lakukan traksi ke bawah secara perlahan hingga bahu anterior masuk ke insisi histerotomi.
 Bahu posterior : Lakukan traksi ke atas secara perlahan untuk melahirkan bahu posterior. Lanjutkan
traksi ke luar secara perlahan sampai seluruh bagian tubuh bayi lahir.
 Manajemen tali pusat : Setelah bayi berhasil dilahirkan, lakukan pemeriksaan tali pusat dan
klem. Penjepitan tali pusat tertunda dapat dilakukan dengan menilai manfaat dan risiko. Klem pada 2
titik dan potong tali pusat di antara kedua klem.
 Pemberian oksitosin : Oksitosin diberikan intravena bolus lambat 5 IU atau infus sebanyak 20 unit
dalam 1 liter cairan NS selama 1 jam.
 Mengeluarkan plasenta : Plasenta umumnya keluar secara spontan. Bila plasenta belum lahir, lakukan
traksi tali pusat terkendali. Metode ini lebih baik dibandingkan mengeluarkan plasenta secara manual.
[2,11,15]

Reparasi Uterus
Setelah bayi dan plasenta lahir, pastikan tidak terdapat jaringan yang tertinggal dan tangani perdarahan
sebelum melakukan reparasi uterus. Lakukan reaproksimasi uterus dan tutup insisi histerotomi. Proses reparasi
atau penutupan uterus meliputi penutupan insisi uterus dan myometrium. Menutup insisi uterus dapat
dilakukan dengan benang suture. Teknik jahitan dapat dilakukan secara kontinu atau interrupted. Jahitan
kontinu running-lock selapis (single layer) hingga seluruh lapisan miometrium dinilai lebih baik
dibandingkan penutupan 2 lapis. Benang catgut kromik 2-0 dinilai lebih baik untuk prosedur ini. Benang
suture absorbable 1-0 atau delayed-absorbable juga dapat digunakan. [2,11,15]
Penutupan Abdomen
Sebelum menutup abdomen, operator dan asisten operasi harus memastikan bahwa seluruh instrumen operasi
sudah lengkap dan tidak ada yang tertinggal di dalam rongga abdomen. Lakukan pengecekan organ dan
pastikan tidak terjadi cedera pada organ.  Penutupan abdomen dimulai dengan:
 Membersihkan darah dan cairan amnion dengan suction. Irigasi dapat dilakukan.
 Tutup setiap lapisan abdomen secara berurutan. Pastikan lapangan operasi kering dan tangani
perdarahan bila ada.
 Lapisan peritoneum visceral ataupun parietal tidak perlu ditutup.
 Posisikan otot rectus abdominis pada posisinya. Bila diperlukan, jahitan dapat dilakukan 1 atau 2
jahitan figure-of-eight dengan benang kromik no. 1
 Tutup lapisan fascia dengan:
 Teknik jahitan simple-running, jarak antar jahitan ≤1 cm
 Gunakan benang delayed-absorbable monofilament no. 1 atau no. 2
 Gunakan tegangan pada benang jahit yang tidak menyebabkan strangulasi
 Lapisan subkutaneus dijahit hanya bila ketebalan lebih dari 2 cm. Penutupan yang dilakukan harus
meminimalisir pembentukan seroma dan hematoma.
 Kulit dapat ditutup dengan jahitan subkutikuler dengan benang suture delayed-abosorbable atau non-
absorbable 4-0. Penggunaan benang suture lebih baik dibandingkan stapler.[2,11,15]

Follow-Up

Pasca dilakukan operasi sectio caesarea (SC), pasien harus mendapatkan observasi secara ketat. Hal-hal yang
harus diperhatikan adalah:
 Monitor jalan napas, hemodinamik, dan stabilitas kardiorespiratori hingga pasien dapat berkomunikasi
kembali
 Observasi rutin pasca-anestesi setiap 30 menit selama 2 jam pertama pasca operasi dilanjutkan setiap 1
jam atau lebih cepat hingga pasien stabil.
 Perawatan luka:
 Mengganti perban 24 jam pasca SC
 Pemantauan gejala demam dan tanda infeksi lain (nyeri bertambah intensitasnya, kemerahan,
karakteristik lendir)
 Pemeriksaan separasi atau dehisensi luka
 Mobilisasi awal: Mobilisasi dapat dimulai dengan miring ke kiri dan kanan dan dilanjutkan setelah
pelepasan kateter. Kateter foley dapat dilepas 12-24 jam pasca operasi. Apabila terdapat retensio urin
dalam 6 jam pertama, penggunaan kateter dapat diperpanjang 12-24 jam.
 Pemulangan pasien dan kontrol kembali. Apabila tidak terdapat komplikasi, pasien dapat dipulangkan
setelah 2-4 hari pasca operasi. Sebelum pemulangan pasien harus dipersiapkan untuk:
 Pemilihan kontrasepsi
 Edukasi ASI eksklusif
 Menghindari sanggama 4-6 minggu pasca partum
 Pemberian antinyeri berupa anti-inflamasi non-steroidal atau analgesik lain bila tidak ada
kontraindikasi
 Lakukan profilaksis deep vein thrombosis (DVT) dan pantau lokia
Kunjungan kembali ke dokter dalam waktu 4-6 minggu pasca operasi.

KOMPLIKASI SC
Komplikasi operasi sectio caesarea (SC) atau biasa disebut operasi sesar atau caesarean section, dapat
dibedakan menjadi komplikasi pasca operasi dan komplikasi jangka panjang. [6,7] Teknik operasi dan
indikasi operasi yang baik dapat mengurangi komplikasi akibat SC.[7,16]
Komplikasi SC dapat menyebabkan mortalitas ibu, sehingga perlu diperhatikan. SC juga dapat menyebabkan
komplikasi pada neonatus, seperti transient tachypnea of the newborn. [6,7,16]
Komplikasi Jangka Pendek

Komplikasi jangka pendek akibat sectio caesarea (SC) dapat terjadi intraoperatif ataupun pasca operasi.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah:
Infeksi
Infeksi pasca operasi SC paling sering disebabkan oleh endometritis, infeksi luka bekas operasi, dan
tromboflebitis akibat akses intravena. Pemberian profilaksis antibiotik serta teknik operasi yang baik dapat
mengurangi infeksi pasca partum pada SC. Infeksi juga dapat terjadi akibat pemasangan kateter.[6,7,16]
Sepsis
Pasien yang mengalami infeksi pasca SC juga berisiko mengalami sepsis. Sepsis terjadi pada 6.8%-9.7%
pasien dengan luka operasi terinfeksi dan 3.9-18.4% pada pasien endometritis pasca operasi. Pemberian
antibiotik, drainasi, laparotomi ulang, serta eksloprasi luka dapat dilakukan untuk menangani sepsis pasca SC.
[6,7,16]
Perdarahan
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi SC yang paling sering terjadi. Perdarahan dapat terjadi secara
langsung ataupun lambat/delayed. Faktor risiko perdarahan pasca SC antara lain adalah: plasenta previa,
distosia, perdarahan antepartum, fibroid uterus, obesitas, pemakaian anestesi umum. Perdarahan umumnya
disebabkan karena atonia uteri, trauma jaringan, trauma kandung kemih, gangguan koagulasi, atau masalah
plasenta. Penanganan akan sangat bergantung dari etiologi perdarahan.[6,7]
Apabila terjadi atonia uterus, dapat dilakukan pemijatan uterus, pemberian oksitosin, dan bila diperlukan dapat
dilakukan histerektomi.
Gangguan Traktus Urinarius
Masalah traktus urinarius yang paling sering terjadi adalah trauma kandung kemih atau trauma ureter. Hal ini
cukup jarang terjadi, tetapi dapat berakibat fatal. Teknik operasi yang baik dapat mengurangi insidensi
terjadinya gangguan traktus urinarius pasca SC. Pemasangan kateter juga dapat menyebabkan berbagai
komplikasi, seperti inkontinensia, retensio, infeksi, hematuria, dan sebagainya. [6,7]
Gangguan Traktus Gastrointestinal
Ileus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi (12%). Ileus pasca SC umumnya berhubungan dengan
sindrom Ogilvie. Trauma usus juga dapat terjadi, akan tetapi cukup jarang dan lebih sering terjadi intra operasi
karena teknik operatif yang kurang baik. [6,7]
Tromboemboli
Tromboemboli, terutama deep vein thrombosis (DVT) dapat terjadi pasca SC. Risiko TVD lebih tinggi 4x
lipat pada SC dibandingkan persalinan per vaginam.[6,7]
Disrupsi Luka
Disrupsi luka / gagal menutup dapat terjadi pasca SC, terutama pada wanita dengan obesitas, diabetes, insisi
vertikal, dan riwayat disrupsi luka. Disrupsi luka juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi luka operasi.
Operasi ulang untuk menutup luka dapat dilakukan.[7]
Komplikasi Anestesi
Komplikasi anestesi yang terjadi berbeda-beda tergantung teknik anestesi yang dipilih. Anestesi regional
merupakan pilihan yang lebih baik, tetapi tetap dapat menyebabkan komplikasi seperti hematoma, nyeri
kepala, nyeri punggung, dan sebagainya.[17,18]
Komplikasi Jangka Panjang

Komplikasi jangka panjang sectio caesarea (SC) adalah :


Komplikasi luka
Komplikasi luka yang dapat terjadi antara lain bekas luka insisi keloid.
Adhesi
Adhesi merupakan komplikasi SC yang paling sering terjadi. Risiko seorang wanita mengalami adhesi
meningkat seiring dengan bertambahnya operasi SC. Prevalensi adhesi pada SC kedua adalah 12-46% dan
pada SC ketiga adalah 26-75%.[7]
Ruptur Uteri
Ruptur uteri cukup jarang terjadi pasca SC, namun risikonya meningkat pada wanita-wanita yang
menjalani Trial of Labor After Cesarean  (TOLAC).[7,19]
Plasentasi Abnormal
Wanita yang menjalani SC memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami plasenta previa, plasenta akreta, dan
solusio plasenta pada kehamilan berikutnya. Plasenta previa merupakan komplikasi yang paling sering dengan
peningkatan risiko sekitar 3-4x lebih sering.[7]
Lainnya
Beberapa komplikasi lain seperti subfertilitas dan kematian janin dalam rahim yang tidak dapat dijelaskan
juga dapat terjadi. Akan tetapi, risikonya cukup kecil.[6,7]

Edukasi pada pasien-pasien sectio caesarea dilakukan sebelum tindakan untuk memastikan pasien tahu apa
keuntungan dan kerugian tindakan ini, serta setelah tindakan agar pasien dapat merawat diri dan bayinya
dengan baik, serta menghindari timbulnya komplikasi. Edukasi pasien sectio caesarea meliputi:
Konseling Pemilihan Rute Persalinan
Konseling pemilihan rute persalinan meliputi keuntungan dan kerugian dilakukannya SC.
 Keuntungan
 Orangtua mengentahui tanggal lahir bayi dengan lebih pasti, sehingga persiapan kelahiran lebih
baik
 Dalam beberapa kasus, dapat bermanfaat mengurangi risiko pada bayi, seperti infeksi HIV, dsb
 Mencegah kelahiran post-term
 Mengurangi trauma pelvis atau jalan lahir baik pada ibu atau fetus
 Kerugian
 Risiko terjadi trauma pada traktus urinarius dan gastrointestinal pada saat operasi
 Proses pemulihan lebih lama dibandingkan persalinan per vaginam
 Risiko pada kehamilan berikutnya, seperti SC ulang, adhesi, plasentasi abnormal, dan
sebagainya
 Transient tachypneu of the newborn
Informed Consent Tindakan Sectio Caesarea

 Penjelasan mengenai indikasi dilakukannya SC pada pasien tersebut


 Penjelasan mengenai persiapan yang harus dilakukan dan risiko terkait operasi SC
 Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani:
 Pemilihan anestesi dan risiko terkait
 Lokasi dilakukan insisi pada abdomen dan uterus
 Kemungkinan yang diperlukan saat mengeluarkan bayi, seperti forceps ataupun vakum
 Risiko kemungkinan dilakukan tindakan lain intraoperatif, seperti histerektomi
Perawatan Pasca Operasi dan Monitoring

 Perawatan pasca operasi


 Menjaga kebersihan luka dan jaga agar tetap kering
 Sanggama sebaiknya dihindari 4-6 minggu pasca operasi
 Pemulangan dan pemulihan pasien: Umumnya pasien dapat dipulangkan dalam 3 hari pasca operasi
bila tidak terdapat komplikasi. Pasien perlu istirahat selama pemulihan. Pasien dapat bekerja kembali
setelah 6 minggu. Pada 1 minggu pertama gejala nyeri perut ringan, perdarahan ringan dan keluar
cairan kekuningan per vaginam, serta nyeri sekitar luka operasi merupakan hal yang normal.
 Kunjungan kembali ke dokter dapat dilakukan 4-6 minggu pasca operasi apabila tidak terdapat tanda
komplikasi. Tanda komplikasi yang harus diperhatikan:
 Endometriosis: perdarahan hebat dan/atau perdarahan per vaginam ireguler
 Inkontinensia stress
 Gejala infeksi saluran kemih atau trauma traktus urinarius
 Retensio urin memanjang
 Gejala tromboemboli pada kaki atau toraks
 Luka operasi basah, berdarah, kemerahan, bengkak, nyeri dengan intensitas terus bertambah
 Demam
Konseling VBAC

Pasien juga sebaiknya melakukan konseling dengan dokter spesialis kandungan mengenai prosedur vaginal
birth after caesarean delivery (VBAC) serta pemilihan metode kontrasepsi.[1,3,11,20]

Anda mungkin juga menyukai