Anda di halaman 1dari 68

INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PROGRAM PASCASARJANA

TRADISI BERURUSAN DENGAN AKHIRAT

Oleh

Ang Che Che

NIM 4180170001

PENGANTAR KARYA
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S2
Penciptaan dan Pengkajian Seni Urban dan Industri Budaya

Jakarta

November 2020
HALAMAN HAK CIPTA/PENGESAHAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan, dengan bimbingan dan
masukan para pembimbing dan penguji. Semua sumber yang dirujuk telah saya
tulis dengan benar.

Jakarta, 9 November 2020

Ang Che Che


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


Nama : Ang Che Che
NIM : 4180170001

Jenis karya : Pengantar Karya


demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta Hak Bebas Royalti Noneksklusif atas
pengantar karya yang berjudul ‘TRADISI BERURUSAN DENGAN AKHIRAT’.
Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian
Jakarta berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data, merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
Demikian pertanyaan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 9 November 2020

Yang membuat pernyataan:

( Ang Che Che )


Abstrak:

Prinsip utama dalam berkeluarga menurut etnis Tionghoa adalah berbakti dan
menghormati orangtua dan orang yang lebih tua, dan mengutamakan keluarga. Tradisi
menyembah arwah para leluhur juga mencerminkan suatu bukti bakti, yaitu dengan ritual
sembahyang dan mempersembahkan berbagai benda untuk memenuhi kebutuhan para
leluhur di akhirat. Menurut tradisi, masyarakat Tionghoa percaya bahwa orang yang telah
meninggal mempunyai kebutuhan yang sama dengan dunia fana. Keluarga yang masih
hidup mempersembahkan berbagai kertas sembahyang, termasuk kertas replika benda-
benda duniawi pada saat ritual-ritual tertentu. Berbagai produk konsumerisme global
menjadi referensi dalam memproduksi kertas replika persembahan, selain untuk
kebutuhan sehari-hari, juga dapat meningkatkan status sosial para leluhur di akhirat.
Karya ‘Tradisi Berurusan dengan Akhirat’ merupakan karya parodi dari kehidupan bahagia
para leluhur di akhirat, untuk menggambarkan tradisi yang sakral namun berbalut
candaan.

Abstract:

Filial Piety and to pay most respect to parents, the elders, and the ancestors is the main
principal in Chinese tradition. To fulfil the filial duties, one must practice ancestor
worshipping. The practice is the way to respect, honour and to look after ancestors’
wellbeing in the afterlife by giving their prayers and the variety of offerings such as foods,
spirit money, and joss paper goods. According to the tradition, Chinese believes in the life
after death is pretty similar to this world, with the same daily needs as the livings. The
family members that left behind send objects for the afterlife by burning the joss paper
offerings in the form of detailed replica paper of daily objects. The joss paper goods are
the reflection of the globalised consumerism growth and the pursuit for modern material
objects. The artworks with title ‘Tradition Dealing with the Afterlife’ are the series of visual
parody that tell the tales of the ancestors in the afterlife, to reflect this sacred traditional
practice, yet act in humorous way.

i
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan karya dan penulisan pengantar karya yang berjudul
“Tradisi Berurusan dengan Akhirat” ini tepat pada waktunya. Penulisan pengantar karya
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister
Seni di Sekolah Pascarsarjana Institut Kesenian Jakarta.
Penulisan pengantar karya/tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi

Saya menyampaikan terima kasih kepada pihak Sekolah Pascasarjana IKJ dan seluruh
pihak terkait yang telah membantu saya dalam penyusunan pengantar karya ini,
khusunya kepada:
1. Bapak Dr. Iwan Gunawan, M.Si
2. Bapak Bambang Bujono
3. Bapak FX Harsono
4. Bapak Dr. Wagiono Sunarto, M.Sc.
5. Ibu Nyak Ina Raseuki, Ph.D
6. Ibu Dr. Yola Yulfianti, M.Sn.
7. Orangtua dan keluarga saya
8. Semua pihak dari Fakultas Seni Rupa IKJ yang telah membantu saya dan
memberi saya kesempatan untuk menyelesaikan Pendidikan S2 ini.

Saya sebagai penulis pengantar karya ini menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, saya terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun, sehingga dapat memperbaiki kualitas dan melengkapi kekurangan pada
karya dan pengantar karya ini.

Jakarta, 8 November 2020

Ang CheChe

ii
Daftar Isi

Abstrak i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I LATAR BERLAKANG PENCIPTAAN KARYA 1

BAB II STUDI 7

Sejarah Tradisi Menyembah Arwah Para Leluhur 7

Liturgi 8

Kertas Sembahyang 11

Referensi Karya Seni 21

BAB III GAGASAN BERKARYA DAN PROSES KREATIF 27

Konsep Karya 27

Proses Kreatif 28

Proses Eksperimental Karya 33

BAB IV KARYA 35

Proses Berkarya 35

Karya Gambar Parodi 46

Instalasi Karya dalam Ruangan 53

Karya Audio Visual 56

BAB V PENUTUP 58

Daftar Pustaka 60

iii
BAB I
LATAR BELAKANG PENCIPTAAN KARYA

百善孝为先 (bǎi shàn xiào wéi xiān) merupakan ungkapan dari negri China yang

berarti dari berbagai tindakan kebajikan, rasa bakti kepada orangtua merupakan hal yang
paling utama dan terpenting. Bagi etnis Tionghoa, berbakti kepada orangtua merupakan
ideologi utama dan mengutamakan keluarga adalah hal paling penting dalam hidup.
Bahkan setelah kematian orangtua, anak laki-laki harus memberi persembahan di setiap
hari dan ritual-ritual sembahyang yang lebih besar di hari besar tradisional, seperti imlek,
Qing Ming (hari besar bersih-bersih kuburan para leluhur), dan hari kelahiran dan
kematian leluhur.

Anak laki-laki harus mempunyai altar rumah leluhur dan orang tua yang telah
meninggal. Rumah altar leluhur adalah tempat bersembahyang dan memberi
persembahan bagi para leluhur dan orangtua yang telah meninggal untuk mengenang
jasa-jasa mereka dan sebagai bukti bakti anak laki-laki. Rumah altar terdiri dari meja
berwarna merah untuk menaroh persembahan dan berbagai keperluan sembahyang,
seperti lampu sembahyang berwarna merah, lilin, tempat dupa, dan yang terpenting
adalah papan kayu berwarna merah yang bertuliskan nama-nama para leluhur dan orang
tua yang ditulis dengan tinta emas.

Rumah altar leluhur

1
Saya terlahir di keluarga etnis Tionghoa yang masih menjalankan budaya dan
tradisi memuja para dewa dan leluhur, namun juga menjalankan ajaran Buddha. Buddha
dan tradisi pemujaan leluhur dan para dewa melebur menjadi satu dan dijalankan secara
bersamaan. Orangtua saya mempelajari tata cara ritual pemujaan secara turun temurun.
Biasanya, ibu yang akan mempersiapkan segala keperluan ritual, mulai dari berbelanja
benda-benda sembahyang dan memasak untuk persembahan sembahyang. Sebagai anak,
kami membantu melipat kertas sembahyang, memberi persembahan hio pada saat ritual,
dan kemudian membantu membakar kertas sembahyang. Bapak hanya
mempersembahkan hio pada hari perayaan besar, dan kemudian tidak terlalu peduli
dengan ritual-ritual yang berjalan.

Salah satu persembahan untuk leluhur yang telah meninggal adalah benda -benda
keperluan hidup yang dipercayai juga menjadi kebutuhan di akhirat. Tentu saja benda
yang dikirimkan bukan barang sebenarnya, melainkan replikanya yang dibuat dari kertas
sembahyang. Walaupun saya secara pribadi tidak mempercayai adanya kehidupan di
akhirat, Namun hal yang saya pelajari dari keluargaku dalam menjalankan tradisi ini
adalah pentingnya suatu ritual yang dilakukan dengan niat baik, yaitu menjaga
ketentraman jiwa bagi keluarga yang masih hidup maupun telah meninggal.

Keluarga besar saya juga masih mempercayai bahwa keluarga yang telah
meninggal datang berkunjung dalam mimpi akan membawa pesan. Apabila keluarga yang
telah meninggal terlihat susah dan sengsara dalam mimpi, maka keluarga yang hidup akan
bersepakat untuk mengadakan ritual sembahyang dan membakar kertas sembahyang
berupa baju, rumah, atau keperluan lainnya tergantung pesan mimpi.

Kertas sembahyang juga dipersembahkan sebagai bentuk donasi kepada hantu-


hantu yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang masih hidup. Menurut
kepercayaan, pada tanggal 15 bulan ke-7 menurut tanggalan China, pintu gerbang neraka
akan terbuka, dan hantu-hantu yang kelaparan dan telantar akan berkeliaran di dunia
nyata. Sebagian masyarakat Tionghoa yang masih mempercayai, akan melakukan
sembahyang di jalan-jalan dengan mempersembahkan lilin, dupa, makanan, dan
membakar berbagai bentuk kertas sembahyang. Mereka mendoakan supaya arwah-
arwah tersebut dapat tenang di akhirat dan tidak mengganggu manusia yang masih hidup.

2
Pada saat saya masih anak-anak, saya sering menemani ibu saya untuk berbelanja
keperluan sembahyang. Toko sembahyang merupakan tempat menjual berbagai alat
keperluan sembahyang dan berbagai alat hias untuk pemujaan, seperti kertas-kertas
sembahyang, lilin, dupa, lampu merah berbentuk bunga Teratai, altar sembahyang,
gambar dan patung dewa-dewi. Jenis barang-barang yang dijual di dalam toko sangat
beragam, sehingga barang disusun tidak hanya pada rak-rak, namun juga berbagai kertas
sembahyang digantung memenuhi langit-langit toko. Toko juga menjual lipatan kertas
emas yang membentuk nanas atau teratai digantung di dalam toko. Namun, yang paling
menarik adalah kertas replika benda-benda duniawi seperti pakaian, sepatu, dan berbagai
benda-benda keperluan sehari-hari yang dibuat dari bahan kertas. Benda-benda ini
terlihat seperti mainan anak-anak.

Saat masih kecil, saya sering diajak ibu untuk berbelanja keperluan sembahyang.
Saya teringat pada saat di toko sembahyang bersama ibu, saya melihat beberapa televisi
kertas yang disusun di dalam rak. Saya bertanya kepada ibu, kenapa ibu tidak membeli
‘televisi’ untuk dipersembahkan kepada kakek dan nenek? Walaupun masih anak-anak,
tentu saya hanya bercanda dengan ibu, dan ibu pun menjawab dengan candaan, “Buat
apa beli ‘TV’? Di akhirat juga belum tentu ada listrik dan tidak akan ada siaran yang bisa
ditonton.” Hal ini memberi saya persepsi bahwa ritual ini ternyata bisa ditanggapi dengan
candaan.

Produk kertas sembahyang telah mengalami perkembangan sesuai dengan supply


and demand. Dalam beberapa tahun terakhir, model dan cara produksi kertas
sembahyang telah mengalami transformasi. Pada jaman dulu, kertas sembahyang dibuat
dari kertas bambu dan batang bambu yang dikerjakan oleh pengrajin dengan tangan.
Kertas sembahyang dibuat khusus untuk persembahan sakral dalam ritual, sehingga tidak
boleh digunakan untuk keperluan lain, misalnya untuk membungkus, sebagai kertas
coretan, atau hal lainnya yang tidak berkaitan dengan ritual. Produk-produk kertas
sembahyang masa kini dibuat dari kertas dupleks yang dicetak menggunakan mesin cetak,
kemudian dilipat dan ditempel sehingga berbentuk tiga dimensi dan sangat menyerupai
benda sebenarnya. Kertas dupleks adalah jenis kertas yang biasanya digunakan untuk
membuat kotak kemasan, dengan 2 sisi permukaan yang berbeda warna, yaitu putih dan
abu-abu.

3
Dengan adanya teknologi mesin, kertas replika benda untuk persembahan
menjadi tak terbatas ragam jenisnya, bahkan terkesan konyol dan tidak wajar. Berbagai
benda duniawi menjadi referensi persembahan bagi kehidupan di akhirat, bahkan kertas
replika dari barang bermerk luxurious yang mampu menunjukkan status sosial pemakai
menjadi benda yang paling digemari konsumen. Barang-barang tersebut mampu
menimbulkan imajinasi pembeli saat berbelanja produk tersebut. Konsumen yang
memilih produk bermerk luxurious ingin mempersembahkan kepada para leluhur di
akhirat dengan benda-benda yang mereka inginkan di dunia ini. Produk mewah tersebut
belum tentu dapat mereka miliki di dunia, namun dapat dinikmati para leluhur di akhirat.
Hal ini menunjukkan pentingnya kemewahan gaya hidup dan gengsi di alam dunia
maupun akhirat.

Bagi orang-orang yang tidak mengenal tradisi menyembah leluhur etnis Tionghoa,
benda ini kelihatan seperti barang koleksi paper craft yang sangat menarik dan artsy,
karena beberapa benda seperti mobil mempunyai struktur dan potongan yang sangat
kompleks, akan tetapi dibuat sangat menyerupai benda sebenarnya. Bagi anak-anak,
barang ini terlihat seperti mainan. Namun, bagi penganut yang mempercayai tentang
tradisi ini, ritual ini dijalankan dengan sangat serius, dan benda-benda yang akan menjadi
persembahan adalah sakral, sehingga tidak boleh disimpan terlalu lama di dalam rumah.
Mereka percaya bahwa apabila benda-benda sembahyang yang telah dibeli dan disimpan
terlalu lama akan membawa mala petaka bagi keluarga, bahkan akan mengakibatkan
kematian salah satu anggota keluarga.

Melalui observasi saya pribadi sebagai generasi masa sekarang dan bagian dari
keluarga yang masih menjalankan tradisi ini, saya berpendapat bahwa persembahan
beragam kertas replika yang tidak wajar dan konyol membuat tradisi berurusan dengan
akhirat menjadi tradisi yang sakral namun berbalut candaan, sebuah parodi kehidupan
fana manusia di akhirat. Segala hasrat manusia di dunia fana menjadi referensi tentang
hidup makmur dan bahagia di akhirat. Bagaimana mungkin kita mengetahui kebutuhan
para arwah di dunia akhirat? Bagaimana mungkin pula kertas barang-barang replika yang
dibakar bisa sampai ke akhirat dan menjadi barang yang bisa digunakan? Dan apakah
benar arwah leluhur membutuhkan dan bisa menggunakan benda-benda tersebut?
Namun, ini tradisi kepercayaan yang lazimnya tidak membutuhkan bukti yang nyata.
Ritual dalam kepercayaan ini masih dijalankan hingga kini karena didasari oleh keyakinan.

4
Dan tentu dengan adanya keyakinan itu, tradisi ini mampu memberikan ketenangan saat
harus menghadapi masalah tentang kematian.

Pengalaman saya dengan tradisi ini menginspirasi saya sebagai perupa untuk
membuat karya seni dengan membangun imaginasi tentang kehidupan leluhur di akhirat
yang berbalut candaan. Karya seni akan dibangun dengan unsur candaan dan terkesan
bermain-main, sekaligus untuk mengkritisi persembahan kertas replika yang tidak wajar
dan terkesan konyol, namun masih dijalankan dengan sakral dan serius. Menurut saya,
kesan bermain, bercanda, dan sekaligus mengkritisi akan tersampaikan dalam bentuk
karya gambar parodi yang terinspirasi dari foto-foto lama keluarga yang biasanya
terpajang di dalam rumah.

5
BERBAGAI KERTAS REPLIKA YANG MENJADI LATAR BELAKANG DALAM INSPIRASI
BERKARYA

6
BAB II
STUDI
SEJARAH TRADISI MENYEMBAH ARWAH PARA LELUHUR

Sejarah kepercayaan dan keagamaan Cina sangatlah kompleks. Penelitian oleh


para ahli membuktikan bahwa sejarah pemujaan para leluhur telah terjadi ribuan tahun
yang lalu. Benda-benda artefak yang berkaitan dengan ritual pemujaan ditemukan telah
ada sejak jaman Neolitikum (10,000 – 8,000 SM). Praktek menyembah arwah leluhur
pada masa China kuno telah lama berkembang, bahkan sebelum munculnya ajaran filosofi
Konfusius dan ajaran spiritual Buddha, dan merupakan tradisi keagamaan paling bertahan
bahkan sampai masa kini.

Pada masa Dinasti Shang (1,600 – 1046 SM), masyarakat mulai menyembah
berbagai dewa-dewa, dan mengakut kepercayaan politeisme dan animisme, dan tetap
menyembah arwah para leluhur. Dewa utama yang paling penting diantara para dewa
adalah dewa langit ‘Shang Ti’. Untuk dapat membuat permohonan kepada dewa Shang
Ti, masyarakat harus tetap menyembah dan menjaga kesejahteraan arwah para leluhur,
karena hanya leluhur yang dapat berkomunikasi langsung dengan dewa Shang Ti dan
dewa-dewa lainnya. Apabila persembahan dapat membahagiakan arwah leluhur, maka
dapat menjamin keberhasilan hasil panen, kemakmuran dan Kesehatan anggota keluarga.
Apabila arwah leluhur berbahagia di akhirat, maka kehidupakan keluarga di dunia akan
berlimpah.

Konfusius (551 – 479 SM), dalam ajaran filosofinya tentang berbakti, menekankan
tentang pentingnya hormat dan bakti kepada orangtua dan orang yang lebih tua. Ajaran
filosofi Konfusius tentang berbakti menjadi ideologi utama dalam berkeluarga bagi Etnis
Tionghoa, sehingga praktek pemujaan kepada leluhur menjadi suatu praktek yang lebih
berbentuk tradisi budaya daripada praktek keagamaan. Papan nama leluhur ditempatkan
di rumah sebagai bukti bakti, dan persembahan diberikan secara teratur setiap hari dan
pada hari-hari tertentu. Ajaran filosofi Konfusius menjadi dominan dan pilar penting bagi
masyarakat Cina sampai masa kini. Anak-anak harus menghormati dan menjaga orang tua
yang masih hidup dan juga para leluhur yang telah meninggal.

7
Pada tahun 1692, agama Kristen masuk ke negri Cina, para misionaris Kristen
menyerukan bahwa praktek memuja dewa-dewa dan para leluhur adalah berhala.
Namun, seratus tahun kemudian, masyarakat tetap menjalankan praktek memuja arwah
leluhur, membuat para misionaris merasakan sulitnya agama Kristen untuk berkembang
di negri Cina. Bahkan para masyarakat yang telah meyakini ajaran agama Kristen masih
melakukan praktek pemujaan bagi leluhur sebagai bagian dari budaya tradisi.

LITURGI

Sebagian etnis Tionghoa masih menjalankan tradisi dengan alasan adanya suatu
bentuk obligasi, karena sesuatu yang telah dipelajari dan dijalankan secara turun
temurun. Namun, niat baik dari menjalankan tradisi ini adalah rasa bakti kepada orangtua,
walaupun telah meninggal. Selain itu, ada suatu perasaan bersalah apabila tradisi tidak
diteruskan dan hilang pada generasi berikutnya. Alasan lainnya adalah takut akan
kehilangan berkat rezeki yang akan diberikan para leluhur. Namun, dengan menjalankan
tradisi ini, berarti komunikasi antarkeluarga yang masih hiudp dan yang telah meninggal.

Ada 3 unsur dasar dalam persembahan, yaitu makanan, lilin dan dupa, dan kertas
sembahyang. Cara penyajian makanan pada saat ritual pada dasarnya mengikuti tradisi
Cina, dimana nasi disajikan dengan mangkok dan sumpit terletak di samping mangkok
nasi. Jumlah mangkok nasi tergantung pada jumlah nama yang tertulis pada papan nama
leluhur. Minuman arak dan teh serta berbagai makanan seperti daging, sayuran, dan
buah-buahan disusun di atas meja. Pada dasarnya penyajian makanan disusun di atas
meja selayaknya acara makan bersama keluarga.

Setelah selesai Menyusun dan menyajikan makanan, maka arwah leluhur akan
diundang ke meja makan dengan menyalakan lilin, mempersembahkan dupa, dan berdoa
kepada leluhur. Makanan akan dibiarkan tersaji sampai dupa yang dipersembahkan habis
terbakar, dengan asumsi bahwa para arwah sedang menikmati makanan yang disajikan.
Pada saat bersamaan, keluarga akan membakar berbagai kertas sembahyang untuk
dipersembahkan kepada leluhur.

8
Menurut tradisi Cina, mengirimkan berbagai benda berharga ke akhirat
merupakan hal yang lumrah. Walaupun benda yang dikirimkan dari dunia fana hanya
berupa kertas, namun diyakini bahwa benda tersebut akan menjadi benda berharga di
akhirat nantinya. Ada 3 cara mengirimkan benda tersebut ke akhirat:

Cara pertama adalah dengan menyusun benda-benda tersebut (seperti


makanan) di atas meja altar persembahan pada saat ritual dan mengundang arwah para
leluhur melalui doa dan wangi dupa yang dibakar, dan menggunakan lilin sebagai
penerangan jalan bagi arwah. Cara ini akan membuat raga persembahan masih tetap
berada di dunia fana, namun esensi dari persembahan telah berpindah ke akhirat.

Cara kedua adalah dengan mengirimkan benda-benda berharga ke akhirat


dengan menguburkannya bersama dengan orang yang meninggal dunia. Biasanya
beberapa benda yang berharga bagi almarhum seperti pakaian dan perhiasan akan
disusun bersama jasad di dalam peti mati, kemudian sisa benda lainnya akan disusun di
atas peti mati yang telah ditutup, kemudian diukubur atau dikremasi bersama.

Cara ketiga adalah benda yang dikirimkan melalui air, udara, dan api. Beberapa
beberapa persembahan dapat dilarutkan di dalam sungai atau laut, namun sekarang
dengan alasan pencemaran lingkungan, cara ini sudah tidak lazim dilakukan. Metode yang
masih tetap digunakan adalah dengan cara membakar, sehingga benda-benda
persembahan diproduksi dengan menggunakan kertas.

9
Ritual persiapan pembakaran kertas sembahyang di
kuburan leluhur pada festival Qing Ming

Ritual persiapan pembakaran kertas


sembahyang sebagai pesembahan
kepada leluhur

10
KERTAS SEMBAHYANG

Di China, kertas pertama kali ditemukan sekitar 100S.M. Pada tahun 105, saat
pemerintahan Dinasti Han, Cai Lun memulai industri produksi kertas, dan setelah itu
kertas mulai digunakan sebagai medium dalam ritual keagamaan. Kertas menjadi medium
komunikasi antarmanusia yang masih hidup dan telah meninggal. Kertas menjadi bahan
dasar berbagai elemen dan atribut sembahyang, seperti kertas mantra, uang, rumah
pakaian, dan replika benda-benda lainnya.

Adapun cerita sejarah maupun cerita rakyat yang beredar tentang bagaimana Cai
Lun berhasil meyakinkan masyarakat bahwa kertas dari dunia fana yang dibakar akan
menjadi uang di dunia akhirat. Alkisah, Cai Lun dan istrinya adalah pedagang yang pintar
dan licik. Pada awal pembuatan kertas, penjualan tidak begitu baik. Saat produksi kertas
telah menumpuk karena penjualan yang tidak begitu baik, Cai Lun dan istrinya membuat
suatu rencana untuk meyakinkan masyarakat bahwa kertas yang dibakar akan menjadi
uang di akhirat.

Ada beberapa variasi cerita rakyat yang menjelaskan asal mula membakar kertas
uang. Salah satu dari cerita ini adalah cerita pasangan suami – istri yang menggantikan
peran Cai Lun dan istrinya, yaitu adik dari Cai Lun, yaitu Cai Mo dan istrinya Hui Niang.
Dari cerita ini juga dapat disimpulkan mengapa kertas sembahyang selalu menggunakan
kertas dengan kualitas yang tidak baik. Cerita rakyat ini berasal dari Sheqi, Henan, yang
diceritakan oleh seseorang bernama Yang Wanshang:

Alkisah, ada seorang penemu kertas bernama Cai Lun,


masyarakat setempat sangat bersemangat membeli kertas untuk
menulis, sehingga bisnis kertas Cai Lun sangatlah baik. Kakak ipar Cai
Lun yang bernama Hui Niang melihat potensi bisnis kertas yang sangat
baik meminta suaminya Cai Mo untuk belajar membuat kertas dari Cai
Lun.

Cai Mo setuju untuk belajar membuat kertas dari adiknya. Setelah


3 bulan belajar membuat kertas, Cai Mo Kembali ke rumah dan memulai
bisnis produksi dan penjualan kertas bersama istrinya. Namun, kertas
yang diproduksi Cai Mo kasar dan kualitas kertas tidak baik, sehingga

11
kertas-kertas tersebut tidak dapat dijual. Kertas-kertas produksi mereka
pun segera menumpuk.

Hui Niang adalah seorang istri yang sangat cerdik dan juga licik.
Dia mulai berpikir dan mencari ide untuk bisa menjual kertas-kertas yang
menumpuk itu. Setelah membuat rencana, Hui Niang meminta Cai Mo
untuk mengikuti rencana cerdiknya.

Malam itu, Cai Mo tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.


Tetangga yang mendengarnya mulai berdatangan dan melihat Hui
Niang telah meninggal dan berada di dalam peti mati. Saat Cai Mo
melihat tetangganya mulai berdatangan, dia mulai menangis lagi dan
membawa tumpukan kertas untuk dibakar di depan peti mati seraya
berkata, “Saya belajar membuat kertas dari adik saya, namun sayat
tidak belajar Dengan tulus, dan kertas yang saya buat tidak baik. sAya
membuat kamu marah dan akhirnya meninggal. Saya akan membakar
kertas-kertas ini menjadi abu untuk memadamkan amarahmu.”

Cai Mo terus membakar kertas-kertas itu sambal menangis dan


kemudian ada suara dari dalam peti mati, namun dia tidak
mendengarnya. Tiba-tiba Hui Niang berteriak dari dalam peti, “Buka peti
ini, saya telah Kembali!” Semua orang terkejut dan memberanikan diri
untuk membuka penutup peti.

Hui Niang bangkit dan mulai berakting. Dia berkata, “Di dunia
fana, uang bisa digunakan dimana saja, namun ternyata di akhirat juga
terjadi transaksi. Apabila suamii saya tidak membakarkan kertas, saya
tidak mungkin kembail.”

“Barusan saya adalah hantu, sekarang saya adalah manusia lagi.


Pada saat saya sampai di akhirat, mereka menyiksa saya. Saya sangat
menderita. Saat suami saya mengirimkan uang kepada saya, para hantu
yang menyiksa saya mulai ragu melanjutkan penyiksaan. Panguan
(pejabat pengadilan akhirat) tahu saya ada uang, mereka memintanya.
Saya memberi mereka uang yang banyak, kemudian panguan membuka

12
pintu belakang penjara akhirat untuk melepaskan saya dan membiarkan
saya hidup Kembali.”

Setelah mendengarkan carita Hui Niang, Cai Mo berpura-pura


bingung dan berkata, “Tapi saya tidak mengirimkan dirimu uang.” Hui
Niang menunjuk tumpukan kertas yang dibakar, “Itu adalah uang yang
kamu kirimkan. Di dunia fana, kita menggunakan tembaga sebagai
uang, namun di akhirat, kertas adalah uang.”

Setelah itu, Cai Mo mulai mengambil tumpukan kertas lagi dan


membakarnya seraya berkata, “Panguan, Panguan, kamu membiarkan
istri saya hidup Kembali, saya sangat berterima kasih. Saya kan
memberikan lebih banyak lagi, tolong jagalah orangtua saya di akhirat,
jangan biarkan mereka menderita.”

Para tetangga tertipu oleh akting Cai Mo dan istrinya. Mereka


mulai percaya cerita tersebut dan membeli banyak kertas dari Cai Mo.
Kemudian mereka mendatangi kuburan para leluhur untuk membakar
uang kertas. Setelah itu , tradisi membakar uang kertas terus
berlangsung sampai sekarang.

Kertas sembahyang dibakar pada berbagai ritual keagamaan yang bertujuan


untuk menangkal nasib buruk dan mengharapkan keberuntungan, seperti acara
perkawinan, kehamilan, kelahiran, melakukan perjalanan jauh, pekerjaan, perceraian ,
mengusir roh jahat, kelancaran usaha, menyembuhkan penyakit, berduka, saat
mengingat seseorang yang telah meninggal, mengucap syukur, respon kepada mimpi
yang berpesan, dan masih banyak hal lainnya. Pemilihan beragam kertas sembahyang
juga tergantung ritual untuk situasi tertentu, biasanya kertas digunakan berdasarkan
pengetahuan tata cara ritual oleh masing-masing keluarga, atau keluarga berkonsultasi
kepada pendeta di klenteng atau penjual keperluan sembahyang.

Aktivitas ritual sembahyang bagi leluhur menjadi bagian dari keseharian yang
diselenggarakan cukup fleksibel sesuai kondisi keuangan pelaksanaan. Walau demikian,
segala macam aturan dan perlengkapan ritual tetap diperhatikan unsur estetika dan
artistik. Beberapa jenis kertas sembahyang seperti kertas uang emas biasanya dilipat

13
menyerupai batangan emas. Terkadang kertas sembahyang juga dilipat dan ditumpuk
menjadi bentuk buah nanas, dimana nanas adalah simbol keberuntungan bagi etnis
Tionghoa.

Berikut adalah pemaknaan kertas uang dan kertas doa:

1. Kertas uang emas (Kim Coa)


Kertas uang emas yang disebut dengan Kim Coa atau Toa Kim
yaitu kertas emas berukuran besar. Kertas emas adalah uang kertas yang
dipersembahkan kepada para dewa. Pada kertas emas terdapat gambar tiga dewa
(Fu, Lu, Shou). Fu adalah dewa kebahagiaan, Lu adalah dewa kekayaan, dan Shou
adalah dewa panjang umur. Kertas emas dipersembahkan kepada para dewa
sebagai wujud doa dan harapan untuk berkah yang berlimpah.

Kertas emas Besar (Toa Kim)

14
Lipatan Kertas emas Besar

Kertas Emas (Kim Coa) Lipatan Kertas Emas

2. Kertas uang perak (Gin Coa)


Kertas uang perak (Gin Coa) merepresentasikan logam perak sebagai
simbol bumi. Warna perak berbentuk kotak ditempelkan di tengah kertas
berdasarkan kosmologi lima unsur yaitu air, api, kayu, logam dan tanah. Peletakan
di tengah kertas (representasi tanah) yang mengartikan adanya harapan tanah
akan melahirkan emas. Kertas uang perak merupakan uang persembahan bagi
manusia yang masih hidup, dan simbol perbatasan alam hidup dan mati yang
dihubungkan melalui transmisi ritual pembakaran kertas perak. Kertas perak juga
dipersembahkan sebagai uang bekal di akhirat bagi yang telah meninggal.

Kertas Perak (Gin Coa) Lipatan Kertas Perak

15
3. Kertas mantra (Wan Sen)
Kertas mantra / kertas doa, yaitu kertas berbentuk bulat dengan pola
bunga dengan lingkaran tulisan mantra berwarna merah di tengah kertas. Kertas
mantra terdiri dari ukuran kecil dan besar. Kertas mantra berukuran besar
dipersembahkan kepada Shang Ti (dewa langit), dan kertas mantra berukuran
kecil dipersembahkan kepada dewa bumi. Kertas mantra merepresentasikan doa
sebagai harapan untuk memutus rasa dendam dan melepaskan keterikatan
dengan bumi untuk mencapai kesempuranaan yin dan yang. Kertas mantra juga
digunakan sebagai surat jalan untuk menghantarkan arwah supaya dilancarkan
jalannya untuk sampai ke tujuan berikutnya.

Kertas Mantra (Wan Sen) Lipatan Kertas Mantra

4. Kertas uang hantu


Kertas uang hantu, yaitu replika uang kertas yang merupakan imitasi dari
bentuk uang kertas yang dipakai di dunia fana. Replika uang kertas ini telah ada
sejak negri Cina mulai memakai uang kertas sebagai alat transaksi. Desain gambar
di atas uang hantu selalu mengikuti perkembangan jaman, sesuai dengan desain
gambar uang asli. Uang hantu mempunyai gambar wajah raja akhirat dan dibuat
seakan-akan diterbitkan oleh ‘Hell Bank note’ (Bank Neraka / Akhirat). Uang
kertas hantu mempunyai nominal angka yang lebih banyak daripada uang asli.
Nominal angka uang yang jauh lebih tinggi dari pada uang asli dengan tujuan
penerima uang di akhirat lebih kaya dan makmur. Uang hantu dipersembahkan
kepada arwah dan hantu untuk membayar hutang dan membeli keperluan di
akhirat.

16
Uang Hantu

5. Kertas replika benda-benda duniawi


Kertas replika benda dunawi dipersembahkan kepada para leluhur dan
keluarga yang telah meninggal, dan sebagai donasi kepada para hantu (arwah
yang tidak mempunyai keluarga). Kertas replika dipersembahkan pada saat ritual
penguburan, festival Qing Ming (festival bersih-bersih kuburan keluarga dan
leluhur), hari ulang tahun atau kematian leluhur, Hungry Ghost Festival
(Tanggalan Cina 15 bulan 7, saat pintu neraka dibuka), dan pada saat keluarga
yang telah meninggal memberi pesan dalam mimpi.
Mempersembahkan benda-benda duniawi kepada para leluhur
merupakan ritual tradisi yang kuno dan lumrah bari masyarakat China. Sebelum
adanya replika kertas benda duniawi, masyarakat mengubur benda-benda
kebutuhan sehari-hari dan perhiasan keluarga yang meninggal bersama dengan
jasad di dalam peti mati. Pada awal dimulainya persembahan kertas replika,
hanya berupa kertas rumah-rumahan dan uang kertas. Namun pada jaman
sekarang, replika kertas benda-benda duniawi sangat mudah ditemukan di toko
keperluan sembahyang.

Konon tradisi mempersembahkan kertas rumah-rumahan dan uang


replika baru dimulai pada jaman Kaisar Lie Sien Bien, yaitu kaisar
yag memerintah Dinasti Tang pada tahun 627-649 SM. Lie Sien Bien

17
dianggap sebagai kaisar yang baik, adil dan bijaksana, sehingga
sangat dicintai oleh rakyatnya.

Pada awalnya, Lie Sien Bien sangat puas dengan kehidupan


masyarakat yang hidup cukup makmur di sekitar kerajaan.
Masyarakat dalam kota hidup dengan tentram, Bahagia dan damai,
hingga suatu saat ketika Lie Sien Bien pergi keluar dari kota
kerajaan, dia menemukan bahwa banyak masyarakat yang masih
hidup dalam kemiskinan. Masyarakat tersebut hidup prihatin, dan
hanya memiliki kebun tanaman bambu dan beberapa jenis
pepohonan.

Sekembalinya Kaisar Lie Sien Bien ke kerajaan, dia pun mulai


berpikir keras bagaimana cara untuk membantu masyarakat
tersebut keluar dari hidup yang memprihatinkan, supaya dapat
meratakan kesejahteraan masyarakat di seluruh negri. Akhirnya, Lie
Sien Bien mendapatkan ide untuk berpura-pura sakit parah,
kemudian meninggal, dan hidup Kembali.

Pada saat hidup kembali, Lie Sien Bien mulai bercerita tentang
perjalanan dia ke akhirat. Dia berkisah, bahwa ketika di alam
neraka, dia bertemu dengan orangtua dan sanak keluarga serta
kerabat yang telah meninggal. Di akhirat, mereka hidup menderita
karena tidak memiliki apa-apa. Pada saat mereka bertemu dengan
Lie Sien Bien di akhirat, mereka meminta pertolongannya untuk
mengurangi penderitaan mereka. Mereka mengharapkan bantuan
dan pemberian dari sanak keluarga yang masih hidup.

Lalu Kaisar Lie Sien Bien menghimbau keluarga yang masih hidup
untuk memesan bambu sebagai bahan dasar membuat rumah-
rumahan kertas dan uang untuk dipersembahkan kepada yang
telah meninggal. Menurut Lie Sien Bien, rumah-rumahan kertas dan
uang kertas yang dibakar sebagai persembahan dari dunia fana
akan menjadi rumah dan uang yang dapat dipakai oleh keluarga
yang telah meninggal di akhirat.

18
Kertas replika produk duniawi yang paling banyak dipersembahkan
adalah pakaian dan rumah, karena merupakan kebutuhan mendasar bagi
manusia. Keluarga yang masih hidup berharap para leluhur di akhirat tidak
kedinginan dan mempunyai tempat berteduh. Namun, sejalan dengan
perkembangan jaman dan kebiasaan konsumenarisme masyarakat global,
berbagai barang yang membantu kepraktisan kehidupan sehari-hari dan berbagai
benda berlabel mewah juga menjadi bagian dari benda kertas replika yang dapat
dipersembahkan kepada para leluhur di akhirat.
Pada jaman dahulu, kertas replika dipesan secara khusus oleh keluarga
dan dibuat oleh pengrajin kertas sembahyang. Keluarga dapat memesan secara
spesifik benda-benda dan seperti apa yang disukai oleh para leluhur. Biasanya,
benda seperti rumah dibuat semewah mungkin, dengan ukuran 2 sampai dengan
3 meter yang terbuat dari batang bambu dan kertas warna-warni. Rumah kertas
biasanya akan dibakar bersama persembahan barang-barang replika kertas
lainnya, seperti pembantu, kertas uang, dan pakaian.

Kertas replika produksi kerajinan tangan

19
Beberapa tahun belakangan ini, produsen kertas sembahyang mulai
membuat kertas replika dengan teknologi mesin cetak. Teknologi mesin cetak ini
menyebabkan disruptif teknologi, sehingga pengrajin yang mengerjakan kertas
replika hanya menggunakan tangan tidak dapat bertahan. Walaupun konsumen
dapat memesan secara spesifik benda yang dibutuhkan kepada pengrajin tangan
kertas sembayang, tetapi teknologi mesin cetak mampu memberikan banyak
pilihan kepada konsumen, dengan berbagai materi kehidupan nyata sebagai
referensi produk replika kertas. Berbagai produk elektronik, fashion berlabel
mewah, alat transportasi, makanan cepat saji, dan berbagai produk masa kini
menjadi kertas replika yang paling digemari konsumen.
Mesin cetak mampu membuat kertas replika yang sangat mendekati
bentuk benda aslinya dengan harga yang jauh lebih murah. Perkembangan
tekonologi dan perilaku konsumen telah menyebabkan tradisi ini mengikuti
perkembangan jaman dan mencerminkan kebiasaan kehidupan masyarakat
urban yang dapat dibawa ke akhirat.

Kertas Replika hasil produksi mesin cetak dan potong

20
REFERENSI KARYA SENI
Jeffrey Chong Wang
Wang adalah seniman yang lahir dan dibesarkan di Beijing, China. Walaupun
Wang telah berdomisili di Canada pada tahun 1999, lukisan Wang selalu bernarasi tentang
pengaruh tradisi terhadap kehidupannya semasa di China. Wang banyak melukis tentang
potret diri, anggota keluarga dan kerabat dekatnya dari berbagai umur dan berbagai
daerah di China, berdasarkan memori dari masa lalunya.
Karya lukisan Wang merupakan refleksi dari perasaan pribadi dan akumulasi
memorinya. Dalam karyanya, Wang menginterpretasikan pengalaman hidupnya dan hasil
observasinya terhadap kehidupan sosial budaya pada masyarakat di sekelilingnya. Wang
melukiskan karakter setiap figurnya bertentangan dengan berbagai objek latar secara
daramatis. Hal ini dikarenakan pertentangan perasaan pribadi Wang dengan situasi sosial
budaya masyarakat luar yang dihadapi. Lukisan Wang terlihat seperti sebuah pertunjukan
parodi yang surrealis, namun mempunyai narasi yang dramatis dan jelas, dengan kanvas
sebagai panggung dari pertunjukan tersebut.
Lukisan Wang bergaya klasik tradisional barat dengan media cat minyak, namun
bertema tradisi timur kontemporer. Lukisannya menggambarkan bentuk figur distorsi
secara humoris, dan mencerminkan gaya seni pop urban surrealisme.

Jeffrey Chong Wang. THE SOPHISTS. 2018. Oil on canvas. 61 x 61cm.

21
Jeffrey Chong Wang. TEA TIME. 2019. Oil on canvas. 76,2 x 61cm.

Jeffrey Chong Wang. THE MARQUIS’ ADDICTION. 2019. Oil on canvas. 121,9 x 91,4cm.

22
Wolfgang Scheppe. SUPERMARKET OF THE DEAD. Instalasi. 2015.
“Supermarket of the Dead” adalah pameran instalasi mengenai tradisi
keagamaan tertua di China yaitu ritual membakar kertas sebagai persembahan kepada
leluhur, dewa dan arwah. Pameran ini diadakan di Residenzschloss Royal Palace, Dresden,
German, oleh seniman Wolfgang Scheppe. Wolfgang menyulap ruang galeri menjadi
Supermarket yang diisi dengan berbagai benda kertas replika uang dan materi yang biasa
dibakar sebagai persembahan kepada para leluhur.
“Supermarket of the Dead” memamerkan kertas replika produk-produk
keseharian yang cukup familiar di masyarakat. Pameran ini mengungkapkan sebuah
tradisi yang mengikuti perkembangan jaman sebagai efek konsumerisme global yang
kompulsif dan pemujaan terhadap produk-produk berlabel mewah dari negri barat.
Kecepatan masyarakat China menyejajarkan diri dengan sistem kebutuhan global dapat
dihubungkan dengan sebuah ritual tradisional yang berusia hampir dua ribu tahun.

23
24
Kurt Tong. IN CASE IT RAINS IN HEAVEN. 2012.
Pada pameran “In Case It Rains in Heaven”, Kurt Tong memamerkan objek-objek
replika kertas yang dibakar dan dipersembahkan dalam ritual tradisi China dalam bentuk
dokumentasi fotografi dan video. Kurt Tong adalah seniman kelahiran HongKong,
sehingga dia cukup akrab dengan tradisi keagamaan masyarakat China, salah satunya
adalah ritual membakar kertas persembahan untuk sembahyang. Beberapa tahun
belakangan ini, objek replika kertas sembahyang menjadi sangat bervariasi. Pakaian,
rumah, mobil, dan pembantu adalah hal yang sangat biasa pada saat pemakaman, namun
saat budaya konsumerisme majajal China, kertas replika sembahyang menjadi banyak
jenis, dan menurut Tong, menjadi sangat tidak wajar ragam jenisnya.
Tradisi keagamaan ini sebenarnya telah dilarang secara resmi di China, namun
masyarakat masih menjalankan ritual ini secara bebas. Sebagian masyarakat melihat
persembahan ini adalah kompensasi bagi mereka yang tidak pernah memiliki materi saat
masih hidup, dan beberapa melihat kertas replika sembahyang sebagai benda yang
merefleksikan materi keduniawian.
Pada pameran ini, Tong memilih beberapa objek persembahan terkini untuk
didokumentasi dalam bentuk foto berwarna cerah dengan latar belakang hitam, sehingga
objek utama terlihat mencolok dan kontras dengan latar yang gelap. Setelah
didokumentasikan dalam foto, benda-benda ini dibakar sebagai persembahan kepada
leluhurnya, dan proses pembakaran didokumentasikan dalam bentuk video yang berjudul
“With Love, from Earth to Heaven”. Tong juga membuat pameran ini lebih interaktif,
dengan mengundang para tamu yang datang ke pameran untuk menggunting gambar
benda dari majalah sebagai respon apa yang ingin mereka kirim ke akhirat untuk keluarga
mereka yang telah meninggal, juga apa yang mereka inginkan di akhirat.

25
26
BAB III
GAGASAN BERKARYA DAN PROSES KREATIF

KONSEP KARYA

“Bahagia adalah hidup makmur berlimpah harta di dunia dan akhirat”.


Setidaknya, itulah yang saya tangkap dari hasil pengamatan saya terhadap persembahan
beragam kertas replika kepada leluhur di akhirat. Namun, untuk bisa membayangkan
bagaimana kebahagiaan di akhirat, tentu manusia yang masih hidup harus mampu
membangun imajinasi tentang bagaimana materi di dunia fana dapat dinikmati juga di
akhirat.

Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa, ritual sembahyang kepada leluhur


masih merupakan tradisi budaya yang sakral. Prinsip dasar dari tradisi ini adalah sebagai
bukti bakti kepada leluhur dan pentingnya komunikasi antar-keluarga, baik yang masih
hidup maupun yang telah meninggal. Dasar pemikiran lain dari tradisi ini adalah dengan
menjaga kebahagiaan para leluhur di akhirat maka kebahagiaan keluarga yang masih
hidup di dunia fana juga akan terjamin. Dengan dua dasar pemikiran tersebut, maka
tradisi ini dijalankan masyarakat Tionghoa dengan niat yang baik namun juga terdapat
rasa takut kualat.

Ide dasar dalam menciptakan karya berawal dari tradisi yang masih dijalankan
keluarga saya sebagai masyarakat Tionghoa. Hal utama yang menjadikan tradisi budaya
ini menarik untuk diamati adalah kertas replika benda-benda dunia fana yang digunakan
sebagai persembahan bagi leluhur di akhirat. Pengalaman paling menarik bagi saya adalah
saat berbelanja kertas replika, dimana pemilihan produk berdasarkan imajinasi tentang
hidup di dunia akhirat. Menurut saya, tradisi berurusan dengan akhirat penuh imajinasi,
seperti bermain dan bercanda namun serius dan sakral.

Melalui observasi saya terhadap kertas replika di toko sembahyang, saya


berpendapat bahwa perkembangan produksi kertas replika sesuai dengan supply and
demand masyarakat masa kini. Beragam produk kertas replika adalah merupakan hasil
imaginasi tentang bagaimana harta benda yang berlimpah seperti di dunia fana dapat
menjamin kebahagiaan hidup hidup leluhur di akhirat. Pemilihan produksi kertas replika
berdasarkan referensi dari benda-benda yang paling dibutuhkan maupun diinginkan oleh

27
masyarakat, hal ini ditunjukkan dari benda yang diproduksi tidak hanya dikarenakan
fungsinya, namun juga merek-merek mewah yang dapat menunjukkan status sosial
pemiliknya.

Dari pengamatan dan pengalaman saya tersebut, saya menghubungkan ritual


tradisi masyarakat Tionghoa yang sangat tua ini dengan kehidupan masyarakat urban
masa kini. Saya mendapatkan pemikiran bahwa tradisi berurusan dengan akhirat adalah
tradisi sakral dengan balutan candaan, imajinasi tentang hidup setelah kematian adalah
parodi dari kehidupan fana manusia di akhirat. Segala hasrat manusia di dunia fana
menjadi referensi tentang hidup yang makmur dan bahagia di akhirat. Hal ini membuat
tradisi berurusan dengan akhirat akan tetap bertahan selama adanya keyakinan yang
masih teguh bahwa kehidupan di dunia akhirat adalah sama seperti kehidupan di dunia
fana.

PROSES KREATIF

Gagasan untuk menjadikan tradisi sembahyang kepada leluhur sebagai proyek


menciptakan karya berawal dari ketertarikan saya terhadap kertas-kertas replika yang
telah saya amati sejak lama. Sejak kecil, saya mengikuti ibu saya ke toko sembahyang,
saya telah melihat benda-benda familiar sehari-hari seperti televisi dan kipas angin yang
terbuat dari kertas. Saya sangat tertarik dengan benda-benda tersebut, karena terlihat
seperti mainan, sangat mencolok berbeda dengan benda-benda persembahan lainnya di
toko sembahyang. Pada masa sekarang, kertas replika menjadi variatif produksinya,
bukan hanya karena fungsinya, namun juga kerana label mewahnya.

Dari ketertarikan saya tersebut, saya mulai melakukan observasi secara terlibat.
Saya mulai aktif mengikuti ritual sembahyang leluhur keluarga yang diadakan pada hari-
hari tertentu, seperti pada hari kelahiran dan kematian leluhur. Namun, di keluarga saya,
persembahan kertas replika sangat sederhana, hanya berupa pakaian dan sepatu kertas.
Persembahan yang paling esensial pada ritual hari besar adalah dupa, lilin, makanan,
kertas emas dan perak, dan kertas mantra.

28
Saya juga melakukan pembahasan dengan keluarga dan orang-orang yang
familiar dengan ritual ini untuk mendapatkan buah pemikiran proses berkarya.
Pembahasan selalu berisi candaan, dikarenakan kertas replika mulai dirasakan semakin
konyol, seperti ponsel model tren terkini, berbagai obat-obatan China berbagaai merek,
pakaian dalam, peralatan elektronik rumah tangga, mobil mewah, pesawat terbang dan
helikopter yang disertai pengemudi, produk fashion berlabel mewah, meja mahjong, slot
dan chips Casino, dsb. Berbagai pilihan kertas replika dapat dipersembahkan sesuai
dengan hasrat leluhur maupun keluarga yang masih hidup.

Kertas-kertas replika yang dirasakan aneh dan konyol itu selalu membangun
imajinasi tentang bagaimana leluhur dapat menggunakaannya di akhirat. Apabila keluarga
mengirim ponsel, apakah ada signal wi-fi atau apakah leluhur mengerti bagaimana cara
memakai ponsel teknologi terkini. Apakah adalah listrik di akhirat untuk menggunakan
peralatan elektronik yang dikirimkan. Apakah leluhur di akhirat akan sakit sehingga kita
harus mengirim obat-obatan. Dan berbagai kemungkinan bagaimana leluhur dapat
mengunakan benda persembahan sehingga leluhur dapat merasakan kebahagiaan di
akhirat. Kemudian, kita juga dapat berangan-angan tentang produk apa yang paling kita
inginkan di akhirat nanti.

Pada masa pandemic virus Corona yang melanda dunia pada tahun 2020, masker
pelindung wajah menjadi produk yang paling dibutuhkan. Toko sembahyang pun mulai
menjual kertas replika masker sebagai persembahan leluhur di akhirat. Hal ini tentu
menjadi candaan tentang bagaimana virus Corona telah menyerang sampai ke akhirat.

29
Untuk mengetahui ragam jenis kertas replika yang terdapat di pasaran, saya
melakukan pengamatan langsung di toko sembahyang dan pasar online. Dari hasil
pengamatan di beberapa toko sembahyang, hanya beberapa toko sembahyang yang
menjual kertas replika yang sangat banyak ragam jenis, seperti pakaian dalam wanita,
produk kecantikan wanita SK-III (hasil plesetan merk kosmetik SK-II), obat-obatan herbal,
paket makanan siap saji, dan berbagai jenis kertas replika terkini. Namun di pasar online,
dapat ditemukan lebih banyak jenis kertas replika yang tidak wajar, seperti koin chips
permainan di kasino, permainan Mahjong, motor dan mobil mewah, dan lain sebagainya.

30
Saya juga melakukan wawancara kepada salah satu pemilik toko sembahyang di
daerah Petak Sembilan, Glodok. Toko sembahyang tersebut menjual kertas replika yang
sangat beragam dan terkini, dimana menurut pemilik toko, kertas-kertas tersebut
kebanyakan diproduksi di China dan Hongkong. Pemilik toko sangat serius dalam
menanggapi ritual ini. Dari hasil wawancara, saya menyimpulkan bahwa pemilik toko
percaya bahwa kertas-kertas replika tersebut masih merupakan kertas sembahyang yang
harus dianggap sakral karena akan dipersembahkan kepada orang-orang yang telah
meninggal. Pemilik toko sangat yakin bahwa benda-benda ini akan sampai kepada leluhur
melalui ritual sembayang yang benar.

Selain melakukan wawancara dengan pemilik toko, saya juga melakukan


pembahasan dengan beberapa anggota keluarga dan kerabat dekat tentang kertas replika
terkini. Beragam kertas replika mampu membangun imajinasi kami tentang bagaimana
benda-benda ini akan digunakan para leluhur di akhirat, dan benda-benda apa saja yang
kita inginkan di akhirat nanti. Saat kita membahas kertas replika permainan Mahjong, kita
pun bercanda bahwa seharusnya kita belajar tentang permainan Mahjong sebelum
meninggal, supaya tidak bosan di akhirat nanti. Pembahasan kertas replika ini penuh
dengan imajinasi dan candaan. Namun, benda kertas ini juga tidak kita simpan lama dalam
rumah, karena keluarga masih percaya bahwa apabila kita menyimpan benda
persembahan untuk orang yang telah meninggal akan membawa sial bagi keluarga. Dari
hasil pembahasan ini, saya menyimpulkan, bahwa walaupun dibahas dengan candaan,
tradisi ini masih sakral, dan ada beberapa hal yang tabu untuk dilakukan karena
berhubungan dengan orang yang telah meninggal.

Selama ini, sebagai bagian dari keluarga yang masih terlibat dengan tradisi
menyembah leluhur, saya tidak begitu familiar dengan tata cara dan sejarah tradisi ini.
Untuk itu, saya pun melakukan penelitian literatur untuk mengerti tentang sejarah dan
mitos tradisi ini. Dari peneilitan literatur, saya mempelajari bahwa pemujaan terhadap
leluhur telah ada sajak jaman Neolitikum (10,000 – 8,000 SM) di China. Pada tahun 551 –
479 SM, Konfusius melalui ajaran filosofinya menekankan untuk menjalankan tradisi ini
sebagai bagian dari rasa hormat bukti bakti kepada orang tua.

31
Melalui mitos dan cerita tentang tradisi persembahan kertas sembahyang (cerita
tentang Cai Mo dan Kaisar Lie Sien Bien), saya mendapatkan kesimpulan bahwa
persembahan kertas terjadi di dunia karena adanya kepentingan ekonomi. Dari kedua
cerita tersebut, bahwa persembahan kertas replika adalah untuk menyelamatkan
ekonomi masyarakat, namun terus belangsung sehingga menjadi suatu kepercayaan
(ideologi), dan tidak terdapat bukti bahwa benar adanya benda-benda tersebut diterima
dan dipakai oleh para leluhur di akhirat.

Dari hasil wawancara dan penelitian literatur, terdapat pertentangan tentang


kepercayaan dan kebenaran yang diyakini oleh masyarakat Tionghoa yang masih
menjalankan ritual ini. Namun hal ini tidak menghentikan proses imajinasi para pemuja
untuk terus mempersembahkankertas replika yang semakin beragam dan terkadang
terkesan konyol.

32
PROSES EKSPERIMENTAL KARYA

Pada proses awal bereksperimen dengan karya, saya mencoba membuat suatu
karya lukisan yang terinspirasi dari meja altar leluhur. Papan nama leluhur yang biasanya
berisi nama dan tanggal lahir para leluhur diganti dengan gambar dari aktivitas para
leluhur yang sedang menikmati benda-benda persembahan di akhirat. Wajah para leluhur
yang sudah tidak kita kenali atau telah terlupakan diganti dengan asap yang berasal dari
hasil pembakaran dupa.

Pada proses eksperimen berikutnya, saya mencoba menggabungkan lukisan


eksperimen pertama dalam suatu karya instalasi. Pada bagian atas (langit-langit) instalasi
adalah 6 kertas mantra yang dicantumkan pada papan kanvas berwarna emas. Kertas
mantra merepresentasi doa kepada para dewa di langit dan harapan kedamaian bagi
keluarga yang telah meninggal. Pada bagian bawah instalasi adalah lampu LED yang terus
kelap-kelip selama pameran instalasi berlangsung. Lampu LED ini merepresentasi kan api
yang menjadi perantara persembahan dunia ke akhirat. Benang merah digunakan sebagai
simbol hubungan dan komunikasi antara keluarga yang masih hidup dan yang telah
meninggal. Karya instalasi ini menyampaikan tentang tradisi berhubungan dengan akhirat
adalah tentang harapan keluarga yang masih hidup untuk menjaga kebahagiaan dan
kedamaian hidup leluhur di akhirat.

33
34
BAB IV
KARYA

PROSES BERKARYA

Dalam penciptaan karya ‘Tradisi Berurusan Dengan Akhirat’ ini, saya memutuskan
untuk mengekspresikan imajinasi saya terhadap persembahan kertas replika ini dengan
gaya parodi seni melalui gambar visual bergaya foto jaman dahulu dan audio visual. Gaya
parodi dalam seni visual mampu memberi kesan bermain-main dan bercanda sekaligus
memberi kritikan terhadap suatu pemikiran yang dianggap absurd atau konyol. Namun,
karena tradisi ini masih dianggap sakral dan tabu untuk dibahas, maka karya akan
bernuansa dark humour.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), parodi adalah suatu karya sastra
atau karya seni yang dengan sengaja meniru gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan
maksud mencari efek kejenakaan. Parodi dalam seni visual meminjam suatu bentuk karya
seni visual yang kemudian dipelesetin dengan menambah atau mengganti elemen/objek
dalam gambar untuk mendapatkan efek humor, namun tetap menjaga esensi utama
karya seni tersebut.

35
Pada proses penciptaan karya seni ini, saya mengobservasi foto-foto monokrom
orang Tionghoa jaman dahulu untuk mendapatkan esensi gaya dan suasana kehidupan
para leluhur. Subjek dalam foto-foto tersebut memperlihatkan gaya pose yang canggung,
dan berlatar di dalam rumah atau studio foto. Foto yang telah diobservasi akan digunakan
sebagai referensi gambar untuk karya parodi seni visual.

Karya parodi seni visual yang diciptakan merupakan rangkaian 13 gambar pulpen
dan pensil di atas kertas dengan menggunakan referensi foto-foto monokrom jaman
dahulu, kemudian ditambahkan elemen benda-benda kertas replika yang saya lihat di
pasaran. Subjek dalam gambar memperlihatkan hanya setengah wajah, untuk
menunjukkan wajah leluhur yang sebenarnya tidak kita ingat lagi, atau bahkan tidak
pernah kita ketahui. Sebagian dari wajah yang diperlihatkan mulai dari hidung hingga
dagu untuk menunjukkan ekspresi bahagia dari subjek gambar. Seni visual yang diciptakan
akan menceritakan tentang kebahagiaan para leluhur di akhirat yang berlimpah dengan
kemakmuran dan kemewahaan melalui benda, uang dan emas yang dikirim oleh keluarga
yang masih hidup.

Rangkaian gambar tersebut akan menjadi bagian dari potongan visual dalam
karya audio visual. Selain rangkaian gambar dari parodi visual, potongan gambar mantra
doa kepada para leluhur dan juga proses pembakaran kertas persembahan akan menjadi
bagian dari audio visual. Latar belakang audio merupakan rekaman suasana rumah yang
terdiri dari: bacaan mantra Amitabha yang terus berkumandang di rumah selama 24jam,
suara aktifitas memasak, dan suara burung peliharaan tetangga. Suara-suara ini
merupakan bagian keseharian yang terdekat dengan altar leluhur di dalam rumah.

36
Nuansa yang ingin dicapai melalui parodi seni visual adalah ‘dark humour’ atau
dikenal dengan komedi hitam. Komedi hitam adalah candaan yang diberikan kepada suatu
hal yang dianggap serius atau bahkan tabu untuk dibahas. Nuansa ‘dark humour’ sesuai
dengan konsep pemikiran saya tentang tradisi ini, yaitu tradisi yang sakral namun berbalut
candaan.

Dalam proses membuat karya gambar para leluhur, saya menggunakan media
pulpen dan pensil di atas kertas dan bernuansa akromatik. Gambar yang telah dikerjakan
secara manual kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan dan efek lainnya secara digital
dengan menggunakan aplikasi Adobe Photoshop.

Pada proses digital, gambar akromatik diberi warna pada objek yang
menunjukkan benda-benda yang dikirim ke akhirat sebagai persembahan. Selain
menandakan sebagai objek persembahan, warna pada objek juga menunjukkan
perbedaan masa, yaitu produk yang menunjukkan masa kini, dan nuansa akromatik pada
figur leluhur yang menunjukkan masa lalu.

37
38
39
40
41
Karya gambar juga melalui beberapa proses eksperimental untuk menyamarkan
wajah para leluhur yang tidak kita ingat atau tidak pernah kita ketahui, juga untuk
mendapatkan nuansa yang berlatar tempat di akhirat:

1. Eksperimen 1, dengan menggunakan tinta emas sebagai penutup mata. Tinta emas
biasanya digunakan untuk pada papan nama altar leluhur untuk menulis nama dan
tanggal kematian leluhur.

42
2. Eksperimen 2, yaitu dengan menggunakan gold foil berbentuk segiempat sebagai
penutup mata.
Gold foil merupakan bagian dari Kimcoa kertas emas yang merupakan persembahan
dasar bagi leluhur dan dewa-dewa yang berkedudukan tinggi.

43
3. Eksperimen 3, menggunakan asap dupa. Dupa merupakan persembahan sehari-hari
pada altar leluhur dan altar dewa-dewa. Wajah yang tertutup oleh asap dupa
terinspirasi dari pengamatan saya pada patung dewa di rumah yang tertutup asap
pada saat persembahan dupa.
Pada ekperimen 3, saya juga mencoba memberi kesan distorsi pada objek
persembahan. Kertas replika mengalami distorsi bentuk seperti bekas pembakaran
kertas yang tidak sempurna, terinspirasi dari kepercayaan transmisi persembahan
dari dunia ke akhirat menggunakan api harus terbakar sempurna, karena benda yang
akan diterima tidak akan berbentuk sempurna apabila ada bagian dari kertas
persembahan yang tertinggal di dunia fana.

44
4. Eksperimen karya dalam ruang.
Saya mencoba menginstalasi karya-karya gambar eksperimental pada dinding
ruangan yang memungkinkan. Percobaan ini untuk melihat bagaimana karya tersebut
dapat melebur dalam suasana rumah.
Gagasan untuk menginstalasi karya gambar di dalam ruangan rumah merupakan
bagian dari parodi, dimana foto-foto keluarga biasanya dipajang di dalam rumah.

45
KARYA GAMBAR PARODI

Karya 1

Karya 2

46
Karya 3

Karya 4

47
Karya 5

Karya 6

48
Karya 7

Karya 8

49
Karya 9

Karya 10

50
Karya 11

Karya 12

51
Karya 13

52
INSTALASI KARYA DALAM RUANGAN

• Ruang 1

53
• Ruang 2

54
• Ruang 3

55
KARYA AUDIO VISUAL

Beberapa gambar parodi dari foto leluhur menjadi bagian visual dalam
karya audio visual. Selain rangkaian gambar parodi, altar leluhur, proses
pembakaran kertas sembahyang, dan gambar mantra doa kepada leluhur juga
menjadi bagian dari karya audio visual. Latar belakang audio merupakan rekaman
bunyi dan suara dari suasana rumah yang terdiri dari: bacaan mantra Amitabha
yang terus berkumandang di dalam rumah selama 24 jam, suara aktifitas
memasak, dan suara burung peliharaan tetangga. Suara-suara ini merupakan
bagian dari keseharian yang terdekat dengan altar leluhur di dalam rumah.

56
57
BAB V
PENUTUP

Inspirasi penciptaan karya saya yang berjudul “Tradisi Berurusan dengan Akhirat”
berawal saat saya melihat suatu artikel pendek di dalam majalah tentang uang hantu
(Ghost Bill). Saya cukup familiar dengan uang hantu, karena merupakan salah satu tradisi
dari keluarga saya untuk memberi persembahan kertas uang replika kepada arwah
kerabat yang telah meninggal. Namun, dalam tradisi persembahan kepada arwah yang
telah meninggal, bukan saja uang hantu yang menjadi menarik, tetapi berbagai ritual,
pantangan, dan persembahan menjadi menarik, karena dipercayai adanya komunikasi
dengan arwah yang sedang menuju ke akhirat maupun yang telah berada di akhirat.

Keyakinan masyarakat Tionghoa bahwa adanya kehidupan di akhirat menjadikan


tradisi memuja dan menyembah arwah leluhur menjadi salah satu budaya tradisi tertua
dengan latar sejarah yang sangat kompleks. Tradisi ini masih terus dijalankan sebagian
masyarakat Tionghoa, bahkan tata cara dan persembahan sembahyang pun terus
berkembang mengikuti perkembangan jaman.

Tradisi berurusan dengan akhirat merupakan suatu ritual yang mencoba


mengatur kebutuhan hidup di akhirat, dimulai dari pemilihan benda persembahan, tata
cara sembahyang, dan komunikasi dengan arwah di akhirat. Tradisi ini bukan hanya
sekedar menyembah dan berdoa kepada arwah leluhur, namun juga mengurus segala
kebutuhan demi kebahagiaan leluhur di akhirat. Tradisi ini merupakan suatu bukti bakti
dan rasa bersyukur kepada orangtua dan para leluhur. Selain itu, tradisi ini sesuai dengan
prinsip hidup masyarakat Tionghoa untuk mengutamakan keluarga, sehingga sangat
penting untuk menjaga komunikasi antarkeluarga yang masih hidup maupun yang telah
meninggal.

Tradisi ini juga sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat urban.


Persembahan kepada leluhur di akhirat tidak terlepas dari benda-benda kebutuhan
masyarakat urban. Referensi penciptaan produk kertas replika untuk sembahyang adalah
segala benda-benda terkini yang merupakan kebutuhan dasar maupun benda-benda yang
mampu meningkatkan status sosial pemakai. Produk kertas replika terkini mencerminkan

58
efek konsumrisme masyarakat global jaman sekarang, menjadikan persembahan ini
kelihatan semakin tidak wajar dan terkesan konyol.

Sebagian masyarakat Tionghoa masih menjalankan tradisi ini dengan serius.


Walaupun persembahan kertas replika masa kini terkesan konyol bagi saya, namun bagi
masyarakat yang mempercayainya, kertas persembahan adalah benda sakral dan terlalu
tabu untuk dianggap sebagai candaan, apalagi tradisi ini berhubungan dengan para
leluhur yang terhormat dan orang-orang yang telah meninggal. Hal ini menginspirasi saya
untuk membuat karya parodi visual yang terkesan bermain dan bercanda, namun juga
terdapat perasaan takut kualat, sehingga memberikan nuansa ‘dark humour’.

Karya saya terinspirasi dari foto-foto keluarga yang biasa terpajang di dalam
rumah. Karya saya merupakan parodi dari foto-foto monokrom orang Tionghoa jaman
dahulu yang dipadukan dengan produk-produk masa kini. Dalam karya gambar, saya ingin
membangun imajinasi saya tentang kebahagiaan para leluhur di akhirat dengan benda-
benda yang dipersembahkan oleh keluarga yang masih hidup.

Setelah melakukan pengamatan dan penelitan untuk berkarya, saya menjadi lebih
mengerti tentang ritual menyembah leluhur. Walaupun banyak generasi muda yang tidak
lagi menjalankan tradisi ini, saya tetap berharap tradisi ini masih tetap akan ada. Menurut
saya, membuat karya berdasarkan tradisi ini adalah sangat menarik, karena walaupun
tradisi ini merupakan tradisi budaya tertua, namun masih sangat erat berkaitan dengan
studi seni urban masa kini.

59
DAFTAR PUSTAKA

Scott, Janet Lee. 2007. For Gods, Ghosts and Ancestors: The Chinese Tradition
of Paper Offerings. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Kubuya, Paulin B. 2018. Meaning and Controversy Within Chinese Ancestor


Religion. Switzerland: Springer Nature.

Basuki, R.M.N., Saidi, A.I., dan Mutiaz, I.R. 2016. ‘Nilai dan Makna Kertas Uang
dan Kertas Doa dalam Ritus Kematian Etnis Tionghoa Indonesia’, Jurnal
Sosioteknologi, vol. 15, No. 2, Agustus.

Blake, C. F. 2011. Burning Money: The Material Spirit of the Chinese Lifeworld.
Honolulu: University of Hawai’I Press.

Coe, K. dan Begley, R. O. 2016. ‘Ancestor Worship and the Longevity of Chinese
Civilization’, Review of Religion and Chinese Society, vol.3, No. 3-24, 3
November.

Lakos, William. 2010. Chinese Ancestor Worship: A Practice and Ritual Oriented
Approach to Understanding Chinese Culture. UK: Cambridge Scholars
Publishing.

Eder, Matthias. 1973. Asian Folklore Studies – Monograph: Chinese Religion.


Tokyo: Japan Publications Trading Co.

Watson, James L. dan Rawski, Evelyn S. (Ed.). 1990. Death Ritual in Late Imperial
and Modern China. Berkeley, Los Angeles, London: University of California
Press.

Scott, Janet Lee. 2004. ‘Traditional Values and Modern Meanings in the Paper
Offering Industry of Hong Kong’, dalam Evan, G. dan Tom, M. (Eds.),
Hongkong: Anthropology of Chinese Metropolis. London and New York,
Routledge Curzon, pp. 223.

Preble, D., Preble, S., Frank, P. 1999. Art Forms, sixth edn. New York: Longman.

Ocvrik, O., Stinson, R., Wigg, P., Bone, R., and Cayton, D. 2012. Art Fundamentals:
Theory and Practice, 12th edn. New York: McGraw-Hill Education.

60
Hutcheon, Linda. 2000. A Theory of Parody: The Teaching of Twentieth Century Art
Forms. Urbana and Chicago: University of Illinois Press.

Cartwright, M. (2017, 17 Oktober).’ Ancestor Worship in Ancient China’, Ancient


History Encyclopedia. Diambil dari
https://www.ancient.eu/article/1132/ancestor-worship-in-ancient-china/

Mark, E. (2016, 21 April).’ Religion in Ancient China’, Ancient History Encyclopedia.


Diambil dari https://www.ancient.eu/article/891/religion-in-ancient-china/

Cohen, J. L. (2015, 9 Desember). ‘The Art of Parody: Imitation with a Twist’, The
Artifice. Diambil dari https://the-artifice.com/the-art-of-parody/

Sheen, A. (2017, 31 Maret). ’10 of the Most Parodied Arworks of All Time’, Royal
Academy of Art. Diambil dari
https://www.royalacademy.org.uk/article/america-after-the-fall-10-most-
parodied-artworks

KBBI. (2020). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Diambil dari
https://kbbi.web.id/parodi

Staaliche Kunstsammlungen Dresden. (2015). Supermarket of the Dead,


Proposition III: Fire offerings in China and the Cult of Globalised
Consumption. Diambil dari
https://www.skd.museum/en/exhibitions/archiv/supermarket-of-the-dead/

Donne, S. L. (2015, 16 April). Exhibition: Supermarket of the Dead. Diambil dari


http://blog.sarahledonne.com/2015/04/supermarket-dead/

Tong, K. (2009). In Case it Rains in Heaven. Diambil dari


https://kurttong.co.uk/Family-Tetralogy-(2007-2013)/In-Case-it-Rains-in-
Heaven-(2009)/4

Meier, A. (2012, 31 January). ‘In Case it Rains in Heaven’, Hyperallergic. Diambil dari
https://hyperallergic.com/46281/in-case-it-rains-in-heaven/

61
Khoirul, A. (2018, 19 April). ‘5 Hal yang Harus Anda Ketahui Tentang ‘Uang Hantu’,
Hadiah untuk Dewa dan Orang Mati di China’, Intisari Online. Diambil dari
https://intisari.grid.id/read/03207444/5-hal-yang-harus-anda-ketahui-
tentang-uang-hantu-hadiah-untuk-dewa-dan-orang-mati-di-china?page=all

Renaldi, A. (2018, 16 Februari). ‘Memahami Alasan Kenapa Uang, ‘Mobil’, Hingga


‘Rumah’ Dibakar Saat Imlek’, Vice. Diambil dari
https://www.vice.com/id/article/vbp3g3/memahami-alasan-kenapa-uang-
mobil-hingga-rumah-dibakar-saat-imlek

Cowan, K. (2020, 5 Maret). ‘Self-portraits by Jeffrey Chong Wang that Reflect His
Cultural Upbringing in Both China and Canada’, Creative Boom. Diambil dari
https://www.creativeboom.com/inspiration/self-portraits-by-jeffrey-chong-
wang-that-reflect-his-cultural-upbringing-in-both-china-and-canada/

Dooley, T. (2020). ‘Jeffrey Chong Wang’, Artforum. Diambil dari


https://www.artforum.com/picks/jeffrey-chong-wang-82592

62

Anda mungkin juga menyukai