Anda di halaman 1dari 6

Makna Din, Millah dan Nihlah dalam Al-Qur'an

MAKNA DIN, MILLAH DAN NIHLAH DALAM AL-QUR’AN

Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan kalimat ‘din’ dalam berbagai surat dan ayat. Kata tersebut
terulang dalam 92 kali dan semuanya dalam bentuk tunggal (mufrad), tidak ada satupun dalam bentuk
jamak (adyan). Sedangkan kata ‘millah’ terulang 15 kali, juga semuanya dalam bentuk tunggal dan tidak
satupun dalam bentuk jamak (milal). Kata ‘nihlah’ tidak terdapat dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk
tunggal maupun jamak (nihal) kecuali satu ayat saja dan bermakna ‘pemberian yang penuh kerelaan’
dalam mahar.

Kata ‘din’ berakar kata dari huruf ‘d-y-n’, yang mempunyai makna ‘meminjam atau berhutang’ bila
verbal-nounnya ‘dayn’ (jamak duyun), dan bermakna memeluk (agama) bila berderivasi ‘din’ (jamak
adyan). Kata ‘din’ adalah suku kata bahasa Arab original (al-ashil). Bukan kata serapan dari bahasa asing,
seperti pendapat semestara ahli yang mengatakan bahwa kata tersebut merupakan serapan dari bahasa
Persia.

Menurut Ibn Manzhur dalam kamus ‘Lisan al-‘Arab’ kata ‘din’ ini secara etimologis digunakan dalam
empat makna:

‘Din’ dalam makna hukum, kuasa, tunduk, mengatur dan perhitungan (al-hukm wa siyasat al-umur wa
al-qahr wa al-tadbir wa al-muhasabah). Contohnya : ‫ قهرهم على الطاعة‬: ‫ دانه دينا و دان الناس‬. Contoh lain,
misalnya dikemukakan dalam hadits Nabi saw : ‫ الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت‬. Makna ‘dana’ dalam
hadits diatas adalah ‘qahara nafsahu’ menundukkan hawa nafsunya’. Oleh karena itu Nabi Muhammad
saw dipanggil oleh para pujangga Arab : Ya Sayyid al-Nas wa Dayyan al-Arab.

Din dalam makna ketertundukan, taat, pengabdian, tunduk (al-taskhir, wa al-itha’at wal abdiyah wa al-
khudu’). Contohnya : ‫ أطاعه وخضع له‬: ‫ دان له‬. Dalam hadits Nabi saw misalnya dikemukakan : ‫أريد من قريش‬
‫ كلمة تدين بها العرب‬. Makna ‘tudiinu biha’ disini adalah taat dan tunduk.

Din dalam makna pembalasan, perhitungan dan ganjaran (al-jaza’ wa al-hisab wa al-mukafa’ah). Dalam
kamus ‘Taj al-‘Arus’ dikemukakan bahwa makna ‘din’ adalah al-jaza’ (pembalasan/ganjaran). Begitu juga
Al-Zamakhsyari dalam kitab ‘Asas al-Balaghah’ memaknainya dengan ‘al-jaza’. Dalam hadits Nabi
dikemukakan : ‫ من ذات القرن‬1‫ ان هللا ليدين للجماء‬. Din dalam hadits ini bermakna ‘memberikan balasan atau
mengganjar’.

Din dalam makna aqidah (al-I’tiqad). Din berdasarkan pandangan ini adalah jalan atau syariat yang
dilaksanakan oleh seseorang.
Ibn Faris, seorang ahli bahasa Arab dalam karyanya ‘Mu’jam Maqayis al-Lughah’ dalam entri ‘d-y-n’
berpendapat bahwa semua akar kata tersebut berasal dari asal yang sama, dan makna derivasinya juga
merujuk kepada makna asalnya. Sehingga ‘din’ bermakna semua jenis dari ketertundukan dan
keterhinaan (al-inqiyad wa al-dzull). Bila merujuk pada pandangan Ibn Faris, maka semua makna
etimologis yang dikemukakan diatas merupakan species dari makna genus ‘ketertundukan dan
keterhinaan’.

Dari keempat makna yang dikemukakan diatas bila dikonversikan ke dalam penggunaan ayat-ayat Al-
Qur’an, maka Al-Qur’an mempergunakan keempat makna tersebut dalam berbagai ayat di dalamnya
sebagai makna terminologis.

Makna pertama ‘din’ adalah ‘kekuasaan tertinggi dan hukum Allah (al-Sulthat al-Ulya wa al-Hukm Lillah).
Makna kedua adalah ketertundukan dan taat kepada kekuasaan Allah (al-Tha’at wa al-Idz’an lihakimiyat
Allah wa Sulthanihi). Kedua makna ini tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Contoh-
contohnya dalam Al-Qur’an antara lain:

83 : ‫ آل عمران‬.‫ أفغير دين هللا يبغون وله أسلم من فى السموات واألرض طوعا وكرها وإليه يرجعون‬.

5 : ‫ البينة‬. ‫وما أمروا إال ليعبدوا هللا مخلصين له الدين حنفاء‬

52 : ‫ النحل‬. ‫وله ما فى السموات واألرض وله الدين واصبا أفغير هللا تتقون‬

65 : ‫ غافر‬. ‫هو الحى ال إله إال هو فادعوه مخلصين له الدين َ الحمد هلل رب العلمين‬

Kata ‘din’ dalam ayat-ayat di atas bermakna kekuasaan tertinggi dan ketertundukan kepada kekuasaan
tertinggi tersebut serta menerima ketaatan dan pengabdian kepada-Nya.

Makna ketiga dari ‘din’ adalah syariat dan sistem kehidupan dibawah kekuasaan Tuhan (al-Syariat wa al-
Nizham al-Ka’in tahta Sulthan Allah wa Hakimiyyatihi).

Contohnya dikemukakan dalam ayat-ayat berikut:

‫ وأن‬، ‫قل يأيها الناس إن كمتم فى شك من دينى فال أعبد الذين تعبدون من دون هللا ولكن أعبد هللا الذى يتوفاكم وأمرت أن أكون من المؤمنين‬
105-104 :‫ يونس‬.‫أقم وجهك للدين حنيفا وال تكونن من المشركين‬

21 : ‫ الشورى‬. ‫أم لهم شركاء لهم من الدين ما لم يأذن به هللا‬


Makna ‘din’ dalam ayat diatas mempunyai makna syariat dan sistem kehidupan (amaliyah) yang
dilakukan manusia terhadap ajaran agama. Apabila hukum dan syariat dimana manusia terikat dan
tunduk pada aturan yang bersumber dari Tuhan, maka ia berada dalam agama Tuhan. Sedangkan
apabila ia tunduk pada sistem dan aturan buatan manusia, maka ia berada pada sistem bikinan manusia,
seperti ditegaskan dalam surat Yusuf “ ‫“ ما كان ليأخذ أخاه فى دين الملك‬, (Tidaklah patut Yusuf menghukum
saudaranya menurut aturan Raja. Q.s., Yusuf: 76). Makna Din dalam ayat ini adalah sistem kekuasaan
Raja Mesir pada masa Nabi Yusuf.

Makna keempat adalah ganjaran dan hitungan (al-Jaza wa al-Mukafa’ah). Al-Qur’an mengemukakan
beberapa ayat, antara lain:

6-5 : ‫ الذاريات‬. ‫وإن الدين لواقع‬، ‫إنما توعدون لصادق‬

19-17 :‫ اإلنفطار‬.‫ يوم ال تملك نفس لنفس شيئا واألمر يومئذ هلل‬، ‫ ثم ما أدرىك ما يوم الدين‬، ‫وما أدرىك ما يوم الدين‬

20 : ‫ الصافات‬. ‫وقالوا يويلنا هذا يو ُم الدين‬

Kata ‘din’ dalam Al-Qur’an juga ada yang idhafat dengan al-haq (din al-haq). Misalnya dalam surat al-
Tawbah: 33 dan Al-Shaf: 9, juga surat al-Fath: 28.

9 :‫ والصف‬33 :‫ التوبة‬.‫هو الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون‬

28 : ‫ الفتح‬. ‫هو الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى باهلل شهيدا‬

Dari ke-92 kata ‘din’ dalam Al-Qur’an semuanya idhafah (ma’rifah) kepada pemilik Syariat atau
pemeluknya (yang juga bersumber dari Allah), dan hanya empat buah ayat yang nakirah yaitu pada
surah Alu Imran: 85, al-Nisa’: 125, al-Ma’idah: 3 dan al-An’am: 161.

Makna Millah

Al-Millah terdapat dalam Al-Qur’an dan terulang 15 kali dan semuanya dalam bentuk tunggal. Delapan
kali kata tersebut beridhafah kepada Nabi Ibrahim. Semua ini terdapat dalam surat-surat Al-Baqarah:
130 dan 135, Alu Imran: 95, al-Nisa’: 125, al-An’am: 161, Yusuf: 38, al-Nahl: 123, dan al-Haj: 78.
Sedangkan sisanya beridhafah kepada dhamir, seperti dalam surat Al-A’raf: 88 dan 89 (Millatina dan
Millatikum, kisah Nabi Su’aib), Surat Ibrahim: 13 (millatina), Surat Shad: 7 (al-Millat al-Akhirati), Al-
Baqarah: 120 (Millatahum) dan Surat al-Kahfi: 20 (Millatihim).
Makna ‘al-Millah’ menurut Abu al-Faraj al-Asfahani dalam karyanya ‘al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an’
millah sama dengan ‘din’ yaitu syariat Allah kepada hamba-Nya melalui para Nabi a.s. agar dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibn Jarir al-Thabary juga menyamakan antara ‘din’ dengan ‘millah’.
Sedangkan al-Zamakhsyari dalam ‘Asas al-Balaghah’ kata ini dapat dipahami secara metafor yaitu jalan
yang disyariatkan (al-thariqat al-maslukat), seperti millah Ibrahim. Ia membedakan antara ‘din’ dengan
‘millah’. Millah adalah nama bagi sejumlah syariat. Begitu juga pendapat Abu Hilal al-‘Askari seorang ahli
linguistik bahasa Arab. Cuma Al-Asfahani membedakan antara keduanya. Millah tidak diidhafahkan
kecuali kepada Nabi yang membawanya seperti ‘millata Ibrahima’ atau ‘millata Aba’i Ibrahima wa Ishaqa
wa Ya’kuba (12:38). Tidak terdapat idhafah kepada Allah dan tidak dipergunakan kecuali dalam sejumlah
syariat. Seperti misalnya ‘Millatullahi’. Sedangkan ‘din’ hanya diidhafatkan kepada Allah.

Menurut M. Quraish Shihab, kata ‘millah’ terambil dari kata yang berarti ‘mengimla’kan’, yakni
membacakan kepada orang lain agar ditulis olehnya. Ini karena agama atau ‘millah’ adalah tuntunan-
tuntunan yang disampaikan Allah swt bagaikan sesuatu yang diimla’akan atau ditulis sehingga sama
sepenuhnya dengan apa yang disampaikan. Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw
dipersamakan dengan ‘millah’ Ibrahim karena prinsip-prinsip ajaran Islam sama dengan prinsip-prinsip
ajaran Nabi Ibrahim as seperti tauhid, fitrah, moderasi, penegakan hak dan keadilan, keramahtamaan
dan lain-lain.

Sedangkan Ibn Manzhur dalam ‘Lisan al-‘Arab’ memaknai millah adalah syariat dan agama (din). Millah
adalah agama seperti millah Islam, Kristen dan Yahudi; makna yang lain adalah sejumlah agama dan apa
yang dibawa oleh para Rasul. (hal. 4271).

Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadits dalam shahihnya ketika paman Nabi Muhammad saw
akan meninggal beliau dating, dan disitu sudah ada tokoh kafir Quraisy. Nabi mengajarkan Abu Thalib
mengucapkan dua kalimat syahadat, tiba-tiba disela oleh Abu Jahal dengan mengatakan ‘atarghabu ‘an
millat Abdul Mutahlib’ ( ‫) أترغب عن ملة عيد المطلب ؟‬.

Dari keterangan diatas para Ulama tidak membedakan antara ‘millah’ dan ‘din’.

Makna Nihlah

Kata ‘Nihlah’, jamak ‘Nihal’ tidak terdapat dalam Al-Qur’an kecuali satu ayat yang terdapat dalam surat
al-Nisa’ yang berbicara mengenai mahar (mas kawin). )4:4( ‫ وآتوا النساء صدقاتهن نحلة‬yang bermakna
‘pemberian yang penuh kerelaan’, dan kata ‘al-Nahl’ yang berarti lebah (Q.s, al-Nahl:68).

Hans Wehr dalam Kamus Arabic-English Disctionary juga memberikan makna yang sama seperti diatas
yaitu present, gift, donation; dan creed, faith, sect. Demikian juga Al-Asfahani dalam ‘al-Mufradat fi
Gharib al-Qur’an’, hanya saja ia menegaskan bahwa makna nihlah lebih khusus ketimbang hibah. Semua
hibah masuk ke dalam makna nihlah, sedangkan tidak semua nihlah hibah.
Akar kata ‘n-h-l’ yang mempunyai tambahan beberapa huruf dan menjadi ‘intahala’ maknanya adalah
‘mengklaim’ (mis. Intahala al-A’rabiyah: to claim to be a Bedouin). Makna klaim ini kembali kepada apa
yang dikalimnya. Eliyas A. Eliyas dalam ‘al-Qamus al-‘Ashry’ menerjemahkannya sebagai mazhab agama.
Ibn Manzhur mengartikannya dengan makna ‘klaim’ (al-da’waa) dan agama. Ia mencontohkannya ‘ : ‫ويقال‬
‫ما نحلتك أى ما دينك ؟‬

Para Sarjana Modern menggunakannya menjadi kumpulan akidah dan ibadah yang berlaku bagi
seseorang. Dalam makna tersebut, ‘nihlah’ mempunyai makna yang sempit yaitu pengakuan seseorang
atau kelompok orang atas kepercayaan tertentu, baik yang bersifat agama atau bukan. Al-Qur’an
memang tidak secara ekplisit mengungkapkan kata nihlah, tapi secara implicit mengungkapkan makna
yang dikandungnya yaitu ‘ittiba’ al-hawa’ (mengikuti hawa nafsu). Misalnya, ‫وال تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق‬
. (al-Ma’idah: 48). Ibn Hazm juga menyamakan antara nihlah dengan agama atau millah.

Dari penjelasan diatas banyak para ulama yang tidak membedakan antara makna ‘din’, millah dan
nihlah. Semuanya memaknainya sama yaitu agama.

Beragama (berdin, bermillah dan bernihlah) fitrah manusia

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk religius. Bahkan ditegaskan Nabi Muhammad saw dalam
sabdanya bahwa setiap anak manusia dilahirkan dalam keadaan fitri. Akan tetapi dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari di lingkungan dimana mereka tinggal, mereka berinteraksi dengan pemeluk
agama, millah maupun nihlah yang lain. Bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap masalah tersebut.
Dalam hal ini Al-Qur’an berpandangan sangat plural, sebagaimana dikemukakan dalam surat Saba’: 24-
26, ‫ قل يجمع بيننا ربُنا ثم يفتح بيننا بالحق‬، ‫ قل ال تسئلون عما أجرمنا وال نسئل عما تعملون‬، ‫وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضالل مبين‬
‫ وهو الفتاح العليم‬.

Ayat diatas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut din,
millah, dan nihlah yang berbeda dengannya, karena setiap penganut tersebut meyakini kebenaran
ajaran yang dianutnya. Dan hal tersebut tidak boleh ditonjolkan dalam masyarakat yang plural dan
aneka ragam kepercayaan. Gaya bahasa redaksional ayat diatas disebut oleh para ualama dengan istilah
‘uslub al-inshaf’ (tenggang rasa), dimana si pembicara tidak secara tegas mempersalahkan lawan
bicaranya. Karena nanti Allah akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan
antara kita dengan benar. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Nasruddin Latief

Referensi:
M. Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras lialfazh al-Qur’an al-Karim, Mu’assah al-Jamal, Beirut,
Lebanon. Tt.

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Dar al-Ma’arif, Cairo, Mesir.

Imam Bukhari, Shahih Bukhari,

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta.

Ibn Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Dar al-Qalam, Damaskus, Syria.

Dr. Wahbah Zuhayly, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Damaskus, Syria.

(Bahan diskusi ‘Merebut Kembali Makna Agama di Tengah Krisis’ yang diadakan oleh Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan bersama Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, pada hari Selasa, 6 Juni 2006).

Anda mungkin juga menyukai