Anda di halaman 1dari 20

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era Orde Baru para pakar ekonomi,, pelaku ekonomi dan penguasa memandang hukum
sebagai penghambat bagi kelangsungan terselenggaranya kegiatan ekonomi. Pada waktu itu
hukum tidak dijadikan sebagai landasan, pemandu, dan penegak aktifitas bidang ekonomi.
Keberadaaan hukum dirusak oleh penguasa hanya untuk membela politik ekonomi Orde Baru
yang mengabdi pada kepentingan ekonomi negara-negara maju dan konglomerat dan multi
national corporation. Namun setelah adanya krisis monoter yang meluluh lantahkan
perekonomian beberapa negara di belahan dunia, mereka baru sadar akan arti pentingnya
kewibawaan hukum untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dan untuk menarik
investasi. Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumen yang berwibawa untuk
mendukung pembangunan ekonomi, nampaknya perlu diketahui peran apa yang dikehendaki
oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomi
mengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harus diarahkan untuk menampung
dinamika kegiatan ekonomi12, dengan menciptakan kegiatan yang efisien dan produktif, dan
mengandung daya prediktibilitas. Douglass C. North, seorang pemenang hadiah nobel tahun
1993 dalam bidang Ilmu Ekonomi, dalam essei yang berjudul “Institutions and Economic
Growth: An Historical Introduction,” mengatakan bahwa kunci memahami peranan hukum
dalammengembangkan atau bahkan menekan pertumbuhan ekonomi terletak pada
pemahaman konsep ekonomi “transaction cost” atau biaya-biaya transaksi. .Menurut Hernado
de Soto, hukum yang baik adalah hukum yang menjamin bahwa kegiatan ekonomi dan sosial
yang diaturnya dapat berjalan dengan efisien, sedangkan hukum yang buruk adalah hukum
yang mengacaukan atau justru menghalangi kegiatan usaha sehingga menjadi tidak efisien.
Lihat Hernado de Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara Ketiga,
terjemahan oleh Masri Maris, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991. Djunaedi Hadisumarto,
Op.cit. Setiawan, “Perdagangan dan Hukum: Beberapa Pemikiran Tentang Reformasi Hukum
Bisnis,” Makalah dalam Seminar Implikasi Reformasi Hukum Bisnis Terhadap
Perekonomian Indonesia, tanggal 8 Desember 1993, Program Studi Magister Manajemen,

1
Universitas Indonesia, Lihat Charles Himawan, “Mercusuar Hukum Bagi Pelaku Ekonomi”,
Kompas, 21 April 1998. Transaction cost dalam kontek ini, adalah biaya-biaya non-produktif
yang harus ditanggung untuk mencapai suatu transaksi ekonomi. Transaction cost yang tinggi
berdampak pada peningkatan harga jual produk, sehingga membebani masyarakat konsumen.
Peranan hukum yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi adalah kemampuannya untuk
mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan antar manusia di dalam masyarakat.
Seperti dikatakan oleh H.W. Robinson, ekonomi modern semakin berpandangan bahwa
pengharapan individu-individu merupakan determinan-determinan tindakan-tindakan
ekonomi dan oleh karenannya merupakan faktor-faktor yang merajai dalam orang
menentukan ekwilibrium ekonomi dan stabilitas ekwilibrium yang telah dicapai itu. Si
pengusaha, si pemberi kapital, si pemilik tanah, pekerja dan semua konsumen berbuat sesuai
rencana yang diperkirakannya akan memberikan hasil yang maksimum. Di dalam suasana
kompleks dunia modern sebagaian besar dari hasil-hasil itu ditentukan oleh seberapa tepatnya
kejadian-kejadian yang mendatang dapat diramalkan sebelumnya15. Nyhart
16mengemukakan adanya 6 (enam) konsep dalam ilmu hukum yang mempunyai pengaruh
bagi pengembangan kehidupan ekonomi. Adapun kelima konsep tersebut adalah sebagai
berikut, pertama, prediktabilitas. Hukum harus mempunyai kemampuan untuk memberikan
gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan
pada masa sekarang. Kedua, kemampuan prosedural. Pembinaan di bidang hukum acara
memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan baik, ke dalam
pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-
undanga melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang
bersengketa, misalnya bentuk-bentuk : arbitrasi, konsiliasi dan sebagainya. Kesemua lembaga
tersebut hendaknya dapat bekerja dengan efisien apabila diharapkan, bahwa kehidupan
ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum. Ketiga, kodifikasi daripada
tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta
maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Di bidang ekonomi, misalnya, kita akan dapat
menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapa perundang-undangan
yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap bidang
perekonomian. Keempat, factor penyeimbangan. Sistem hukum harus dapat menjadi
kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam
masyarakat. Sistem hukum memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam usaha-usaha
Negara melakukan pembangunan ekonomi. Kelima, akomodasi. perubahan yang cepat sekali
pada hakekatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbangan yang lama, baik dalam

2
hubungan antar individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengan
sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut melalui satu dan lain jalan. Di
sini sistem hukum yang mengatur hubungan antara individu baik secara material maupun
formal memberi kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan
diri kepada lingkungan yang baru sebagai akibat perubahan tersebut. Pemulihan kembali ini
dimungkinkan oleh karena di dalam kegoncangan ini sistem hukum memberikan pegangan
kepastian melalui perumusan-perumusan yang jelas dan definitif, membuka kesempatan bagi
dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya. Faktor terakhir, keenam,
definisi dan kejernihan tentang status. Di samping fungsi hukum yang memberikan
prediktabilitas dapat ditambahkan bahwa fungsi hukum juga memberikan ketegasan
mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat. Selama ini kelemahan utama
bidang hukum yang sering dihadapi oleh pelaku ekonomi di Indonesia adalah masalah
ketidak pastian hukum. Padahal kepastian hukum juga dibutuhkan untuk memperhitungkan
dan mengantisipasi resiko, bahkan bagi suatu negara kepastian hukum merupakan salah satu
faktor yang sangat menunjang daya tahan ekonomi suatu Negara. Di dalam rangka agar
hukum mampu memainkan peranannya untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku
ekonomi, maka pemerintah bertanggungjawab menjadikan hukum berwibawa dengan jalan
merespon dan menindaklanjuti pendapat dan keinginan pakar-pakar ekonomi di atas.
Sehingga kedepan diharapkan hukum mampu memainkan peranannya sebagai factor
pemandu, pembimbing, dan menciptakan iklim kondusif pada bidang ekonomi. 1Menurut
evaluasi dari IMF mengenai Singapura disebutkan bahwa Singapura dinilai berhasil
membendung guncangan monoter disebabkan karena fundamental ekonomi dan manajemen
Singapura kuat. Ditambah ada dua faktor lagi, yaitu: adanya transparasi dan kepastian hukum
yang tinggi. Lihat Charles Himawan, “Mercusuar Hukum Bagi Pelaku Ekonomi, Kompas, 21
April 1998. Di samping kepastian hukum, peningkatan efisiensi18 secara terus menerus
merupakan salah satu perhatian sistem ekonomi. Oleh karena itu hukum juga harus senantiasa
diusahakan agar dapat menampung berbagai gagasan baru serta disesuaikan dengan kondisi-
kondisi yang berubah apabila hendak memperoleh tingkat efisiensi yang setinggi-tingginya.
Kinerja lembaga-lembaga yang tidak sesuai bagi peningkatan efisiensi harus segera dapat
dioptimalkan agar tidak menjadi hambatan bagi aktifitas ekonomi. Guna menampung
kebutuhan-kebutuhan ini maka lembagalembaga hukum itu harus dapat memainkan
peranannya yang penting di dalam penyesuaian keadaan idea-idea dan kondisi yang cepat
berkembang. Walaupun banyak pakar yang telah memposisikan pentingnya hukum dalam
pembanguna ekonomi suatu bangsa, namun sampai sekarang Presiden belum menjadikan

3
pembangunan hukum sebagai prioritas utama untuk menopang pembangunan ekonomi. Saat
ini, pembangunan yang dilakukan sepertinya dibiarkan mengalir begitu saja tanpa orientasi.
Boleh jadi, kondisi ini adalah reaksi negatif atas “arah besar” tujuan pembangunan Orde Baru
yang akhirnya berantakan. Orientasi jangka pendek para elit politik, juga mempersulit
pencapaian konsensus bersama sebagai basis bagi pencarian orientasi pembangunan.
Sementara itu, fenomena global berupa “kelesuan teori secara laten” turut memperkuat
kecenderungan hilangnya orientasi pembangunan.

Dalam upaya memperkokoh pembangunan ekonomi secara berencana dari sistematik serta
merujuk pada hukum ekonomi dalam pembangunan nasional, rangka ini maka Kelompok
Kerja Ekuin diharapkan dapat merinci hal-hal apakah yang perlu diperhatikan agar baik
peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR,
Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang secara
langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia
dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan
dan pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan. Untuk itu tentu saja diperlukan
beberapa hal sebagai berikut :

4
1. Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti
apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi kita,
khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4
(empat) kali di amandemen;

2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di
bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di bidang hukum
(eksekutif, legislatif dan yudikatif);

3. Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan
ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir demi
pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan
pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan
kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum
dan ekonomi.

Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara


sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik
Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam
perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan. Tentu saja sistem ekonomipun harus juga
mendukung pembangunan system hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih
lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya. Tidak
seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak-injak
oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi berteriakteriak menuntut adanya
perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan
kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para
ahli dan pelaku ekonomi sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat
pembangunan ekonomi saja.

5
1.2. Hukum Sebagai Sistem

Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan
peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang –undang saja. Padahal,
peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang
terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :

a. asas-asas hukum (filsafah hukum)

b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :

1. Undang-undang

2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang

3. yurisprudensi tetap (case law)

4. hukum kebiasaan

5. konvensi-konvensi internasional

6. asas-asas hukum internasional

c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum

6
d. pranata-pranata hukum

e. lembaga-lembaga hukum termasuk :

1. struktur organisasinya

2. kewenangannya

3. proses dan prosedur

4. mekanisme kerja

f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;

1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan system manajemen
perkantoran

2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)

3. kendaraan

4. gaji

7
5. kesejahteraan pegawai/karyawan

6. anggaran pembangunan, dan lain-lain

g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislative maupun
yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung
menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-
benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela. Maka sistem hukum
terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu
unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah, maka seluruh sistem dan
unsur-unsur lain juga harus berubah. Dengan kata lain : perubahan undang-undang saja tidak
akan membawa perbaikan, apabila tidak disertai oleh perubahan yang searah di dalam bidang
peradilan, rekruitmen dan pendidikan umum, reorganisasi birokrasi, penyelarasan proses dan
mekanisme kerja, modernisasi segala sarana dan prasarana serta pengembangan budaya dan
perilaku hukum masyarakat yang mengakui hukum sebagai sesuatu yang sangat diperlukan
bagi pergaulan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang damai, tertib dan sejahtera.

Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi


pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2
aspek yaitu :

1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi

2. Aspek engaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara serta


merata diantara seluruh lapisan masyarakat.

Namun ruang lingkup hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian
darisalah satu cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdisipliner dan
multidimensional. Atas dasar itu, hukum ekonomi menjadi tersebar dalam peraturan undang-
undang yang bersumber pada pancasila dan UUD 1945.Sementara itu, hukum ekonomi
menganut azas, sebagi berikut :

8
- Azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan TME

- Azas manfaat

- Azas demokrasi pancasila

- Azas adil dan merata

- Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan

- Azas hukum

- Azas kemandirian

- Azas Keuangan

- Azas ilmu pengetahuan

- Azas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam


kemakmuranrakyat

- Azas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

- Azas kemandirian yang berwawasan kenegaraan

9
BAB II

Kehidupan Ekonomi sebagai Sistem atau Tatanan

Pada gilirannya ekonomipun merupakan suatu sistem. Prof. Heinz Lampert dalam
buku yang berjudul “Ekonomi Pasar Sosial: Tatanan Ekonomi dan Sosial Republik Federasi
Jerman” 1 membedakan antara :

a. tatanan dari suatu perekonomian nasional yang sedang berjalan atau tatanan ekonomi
efektif yang menjabarkan keadaan, kejadian dan karena itu bersifat deskriptif;

b. tatanan yang diharapkan, atau tatanan ideal atau konsep tatanan kebijakan. Di dalam
kaitannya dengan Hukum Ekonomi (Economic Law, bukan economic laws), tatanan ekonomi
yang disebut pertama didasarkan pada hukum positif atau 1 Konrad Adenauer Stiftung, 1994,
h. 1-2 hukum yang berlaku (positive law) sedang pengertian sistem sebagai tatanan yang
ideal untuk sebagian berhubungan dengan konstitusi (UUD) dan untuk sebagian lagi
hukumnya masih harus dibangun untuk mencapai sistem ekonomi maupun system hukum
yang mendukungnya. Selanjutnya Heinz Lampert mengatakan bahwa “ Suatu tatanan
ekonomi haruslah bersifat instrumental untuk mengatasi tiga masalah yang terdapat dalam
setiap masyarakat ekonomi, yaitu :

Pertama, fungsi perekonomian harus dijalankan dan diamankan;

Kedua, semua aktivitas ekonomi harus dikoordinasikan dengan jelas, dan

Ketiga, tatanan ekonomi harus dijadikan sebagai alat bagi pancapaian tujuan-tujuan dasar
politik.

10
Maka, apabila kita menganut faham Prof. Mochtar Kusumaatmadja, bahwa salah satu
fungsi Hukum adalah, untuk menyediakan jalur-jalur bagi pembangunan (politik, ekonomi,
hukum maupun sosial budaya) 2 masyarakat, maka tema ini tiada lain adalah: “Mendeteksi
kekurangan-kekurangan sistem ekonomi maupun system hukum kita yang sedang berlaku
sekarang ini untuk menemukan jalan dan cara-cara bagaimana bangsa kita setahap demi
setahap dapat mendekati tatanan ideal kita (baik tatanan ekonomi maupun tatanan hukum dan
sosial-politik nasional) sebagaimana tercantum dalam undang-undang dasar kita (setelah 4
kali di amandemen) dan sebagaimana terungkap dari opini masyarakat kita dewasa ini.”
Tentu saja makalah ini dibuat dengan asumsi, bahwa antara sistem hukum dan sistem
ekonomi suatu negara/bangsa senantiasa terdapat interaksi dan hubungan pengaruh
mempengaruhi yang mungkin positif, tetapi juga dapat bersifat negative seperti terjadi sejak
Orde Baru dan yang sebenarnya ikut menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang
masih terus berlangsung hingga saat ini. Beberapa pertanyaan yang diperlukan oleh sarjana
hukum untuk dapat menyusun suatu sistem Hukum Ekonomi yang dapat diharapkan
menunjang pembangunan ekonomi adalah antara lain :

Sistem ekonomi yang ideal seperti apakah yang dulu dicita-citakan oleh pendiri
bangsa kita dan sistem ekonomi nasional seperti apa pula yang perlu (ideally) dan (secara
realistic) dapat kita bangun dipermulaan abad ke-21 ini? Benarkah bangsa Indonesia
menginginkan suatu sistem ekonomi pasar yang sebebas-bebasnya, ataukah (mengingat
mayoritas bangsa masih hidup dalam era masyarakat agraria dan permulaan industrialisasi),
ekonomi pasar yang kita butuhkan adalah apa yang di Jerman dikenal sebagai Soziale Markt-
wirtschaft atau sistem ekonomi pasar sosial, sebagaimana telah sejak tahun 1953 (setengah
abad) diterapkan di Jerman? Dan bukan system ekonomi pasar dengan persaingan yang
sebebas-bebasnya, seperti yang

Fungsi hukum yang lain adalah menjaga ketertiban dan keamanan serta menciptakan
suasana kepastian hukum dan adil dalam masyarakat. diterapkan di Amerika Serikat? Jika
benar, maka kebijaksanaan Hukum Ekonomi dan peraturan, organisasi, serta manajemen
sebagai segmen perekonomian juga sebaiknya tidak terlalu mengacu kepada kebijaksanaan
dan hukum Ekonomi Amerika Serikat, tetapi sebaiknya lebih bercermin pada teori ekonomi
kebijaksanaan dan / atau Hukum Ekonomi Jerman.

11
Hal-hal apa saja yang merupakan ciri-ciri dan kekurangan-kekurangan system
ekonomi Indonesia dewasa ini? Dan dalam hal apa diperlukan perbaikan atau perubahan agar
lebih mendekati sitem ekonomi kita yang dicita-citakan.

Hal-hal apa di dalam bidang hukum yang oleh para ahli ekonomi dan pengusaha dirasakan
sebagai penghambat atau penghalang kemajuan ekonomi.

Dan unsur-unsur apa pula di dalam sistem hukum kita yang diharapkan dapat diperbaiki dan
bagaimana memperbaikinya agar Hukum lebih menunjang kegiatan ekonomi?

Paradigma dan peraturan hukum apa yang harus kita ubah sebagai akibat globalisasi
ekonomi; agar di satu pihak kita dapat bersaing dengan pelaku ekonomi asing (termasuk dari
negara tetangga), tetapi dilain pihak tetap setia (walaupun dalam bentuk yang lebih modern)
pada cita-cita bangsa dan arahan konstitusi?

12
BAB III

Arti dan Lingkup Hukum Ekonomi

Dalam teori hukum, istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terjemahan dari


Economisch Recht (Belanda) atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian, pengertian
atau konotasi Economisch Recht di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law di
Amerika Serikat. Sebab pengertian Economisch Recht (Belanda) sebenarnya berasal dari
istilah Droit E’conomique (Perancis) yang sebelumnya dipakai oleh Farjat dan yang setelah
Perang Dunia Kedua berkembang menjadi Droit de l’economie. Adapun Droit E’conomique
adalah kaidah-kaidah hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari kekuasaan
eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930an diadakan untuk membatasi kebebasan pasar di
Perancis, demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya mereka yang berduit
saja yang dapat memenuhi kebutuhannya akanpangan, tetapi agar rakyat petani dan buruh
juga tidak akan mati kelaparan. Krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan nama “malaise” di
tahun 1930an itulah yang mengakibatkan adanya koreksi terhadap faham “pasar bebas”,
karena ternyata pemerintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan Hukum
Administrasi Negara yang menentukan harga maksimum dan harga minimum bagi bahan-
bahan pokok maupun menentukan izin Pemerintah yang diperlukan untuk berbagai usaha di
bidang ekonomi, seperti misalnya untuk membuka perusahaan, untuk menentukan banyaknya
penanaman modal; dan didalam usaha apa modal ditanamkan; untuk mengimpor atau
mengekspor barang, kemana, seberapa dan sebagainya.

Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara seperti itu dicakup dengan nama


Droit E’conomique (atau Hukum Ekonomi dalam arti sempit). Kemudian, setelah Perang
Dunia Kedua, yaitu sekitar tahun 1945an, negara-negara Eropa yang harus membangun
kembali negaranya dengan bantuan International Bank for Reconstruction, PBB diwajibkan
menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun yang mendasari keputusan IBRD untuk
memberi bantuan kepada Negara-negara yang bersangkutan. Persetujuan internasional antara
IBRD dan Negara penerima bantuan dituangkan dalam kebijaksanaan dan peraturan hukum
Negara penerima bantuan untuk dilaksanakan, seperti misalnya sampai kini juga terjadi di
Indonesia sejak Orde Baru. Keseluruhan kebijaksanaan dan peraturan hukum yang tidak

13
hanya terbatas pada Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur hal-hal
yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata
Internasional, bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana, dicakup dengan nama Droit de
l’Economique atau Hukum Ekonomi dalam arti luas.

14
BAB IV

BIDANG EKONOMI KAITANNYA DENGAN HUKUM EKONOMI

Tujuan pembahasan bidang ekuin adalah agar melalui analisis yang mendalam dan
profesional, akhirnya dapat terungkap :

1. Kebijaksanaan ekonomi nasional baik secara makro, tetapi juga secara mikro yang seperti
apa yang harus diambil, agar ekonomi nasional setelah tahun 2003 menjadi lebih sehat dan
sesuai denga pasal 33 dan 34 UUD (setelah 4 kali amandemen).

2. Kebijaksanaan itu dijabarkan lebih lanjut mengenai :

a. Bagaimana memberdayakan usaha kecil dan menengah dalam rangka peningkatan peranan
swadaya ekonomi dalam Ekonomi Nasional pasca tahun 2003.

b. Bagaimana mengembangkan sistem Industri, Transportasi dan Perdagangan Luar Negeri


kita tanpa merugikan lingkungan hidup kita bagi generasi-generasi akan datang.

c. Bagaimana memperbaiki Sistem Keuangan dan Sistem Perbankan kita agar dapat
menunjang segala kegiatan pemerintah maupun pengusaha dan konsumen Indonesia dengan
efesien, efektif, seimbang dan merata.

d. Bagaimana sebaiknya mengelola sumber daya kelautan, perikanan dan perhubungan laut
kita di abad ke-21.

15
e. Bagaimana mencegah KKN dalam birokrasi dengan meningkatkan proses dan prosedur
pelayanan public

f. Dan lain-lain.

Kebijaksanaan umum di bidang ekonomi itu perlu diketahui oleh para pembentuk hukum
mau pun penegak hukum untuk dapat menyusun Sistem Hukum Ekonomi (dalam arti Droit
de l’Economie; maupun Droit E’conomique seperti yang diutarakan diatas). Khususnya,
undang-undang baru dan institusi baru yang mana yang perlu diadakan, undang-undang lama
yang mana yang perlu diperbaiki atau dihapus, pranata dan lembaga hukum mana yang harus
diadakan atau diubah/dimodifikasi atau ditiadakan, dan Iain-lain hal seperti antara lain
prosedur pelayanan kepada masyarakat, atau hukum acara, atau cara penyelesaian sengketa
yang bagaimana yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi; baik
yang timbul antara para pengusaha atau antara pengusaha dan aparat Pemerintah, atau antara
pihak Indonesia dengan pihak asing.

3. Juga diharapkan bahwa Hukum Nasional dapat terungkap cara bagaimana lembaga-
lembaga hukum, serta. lembaga Negara yang lain dapat berperan dalam mengubah wajah
aparat negara, pemerintah (birokrasi) dan peradilan yang; cenderung dianggap menjadi ajang
KKN dan “pintu masuk” perilaku koruptif, menjadi wajah yang bersih, cantik dan tepercaya
karena memberi pelayanan yang prima kepada masyarakat.

4. Selanjutnya tentu saja diharapkan, agar berbagai kekebijaksanaan di bidang ekonomi itu
mendapat arahan dan peraturannya di dalam norma hukum, yaitu baik di dalam peraturan
perundang-undangan, tetapi juga di dalam yurisprudensi dan hukum kebiasaan; bahkan juga
di dalam bidang ilmiah, yaitu Ilmu Hukum Ekonomi, sehingga dengan pendekatan yang
sistemik itu diharapkan agar Sistem Ekonomi Nasional kita benar-benar akan merupakan
suatu sistem hukum dalam arti sebenar-benarnya.

16
5. Untuk itu tentu diperlukan suatu grand design dan paradigma bersama yang harus melatar
belakangi semua dan setiap aspek kegiatan ekonomi (makro mau pun mikro) dan
pengembangan Hukum Ekonomi sebagai suatu system yang utuh. Agar supaya Hukum
Ekonomi dan peraturan hukum di bidang atau yang menyentuh kehidupan ekonomi itu tidak
lagi hanya menyediakan atau memenuhi keperluan sesaat seperti pemadam kebakaran, tetapi
agar Hukum Ekonomi benar-benar menyediakan saluran-saluran atau jalur-jalur (channels)
melalui mana segala kegiatan ekonomi dapat disalurkan menuju sistem ekonomi nasional
yang kita cita-citakan.

Karena itu, maka diupayakan agar setiap topik pembahasan akan dibahas oleh pakar di
bidang ekonomi atau teknologi maupun oleh pakar hukum yang bersangkutan, terutama
mengenai pengembangan berbagai bentuk korporasi di dalam Hukum Ekonomi Indonesia
yang; akan datang, yang menurut Kelompok Kerja Bidang Ekuin dilihat sebagai masalah
yang masih belum cukup disentuh oleh Hukum Korporasi Indonesia. Misalnya, belum pernah
oleh para ahli Hukum (dan ahli ekonomi) pengaturan mengenai pelaku ekonomi ini dipelajari
secara sistemik. Memang dikenal peraturan yang berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (BW) Hindia Belanda rnengenai Firma, C.V., N.V., Cooperatie, dan lain-lain, tetapi
sejak Orde Baru hanyalah bentuk N.V., atau P.T., dan bentuk Koperasi yang merupakan
perhatian para sarjana hukum dan ahli ekonomi. Padahal dewasa ini sudah berkembang
berbagai bentuk hibrida yang baru dan dibutuhkan bentukbentuk korporasi yang lebih baru
lagi, seperti misalnya “statutory board” yang memungkinkan penggabungan antara swasta
dengan Pemerintah Daerah atau lembaga/organ Pemerintah Pusat, sebagaimana
dimungkinkan oleh sistem hukum, asing.

Menjadi pertanyaan: dimanakah tempat Usaha Dagang, BUMN, khususnya PERUM dan
PERSERO serta lain-lain bentuk “hibrida” seperti Perusahaan Swasta Domestik, atau
Perusahaan Penanaman Modal Asing, atau Perusahaan Multinasional, dan sebagainya. Sudah
waktunya hukum tentang Pelaku Ekonomi itu diteliti secara integral, baik dalam rangka
peranan ekonominya di dalam ekonomi nasional mau pun sebagai pranata hukum di daIam
keseluruhan sistem yang mengatur hak dan kewajiban bagi masing-masing pelaku hukum itu.

17
Demikian pula sampai saat ini belum pernah diatur secara benar Hukum Kontrak yang harus
berlaku bagi kegiatan dan penyusunan kontrak yang berbeda, seperti misalnya untuk berbagai
adhesion contracts (contrats d’adhesion), yang di dalam bahasa Indonesia kadang-kadang
diterjemahkan sebagai kontrak standar atau kontrak baku, dan yang sifatnya sudah jauh
berbeda dengan kontrak sederhana, (simple contracts) yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia. Oleh sebab itu Belanda sendiri sudah hampir 15 tahun
yang lalu mengubah asas-asas dan peraturan hukumnya bagi kontrak standar ini, dalam
Burgerlijk Wetboeknya yang Baru3, karena penerapan asas dan peraturan lama (yang sampai
sekarang masih diterapkan di Indonesia) diyakini mengakibatkan ketidakadilan bagi pihak
yang lemah. Demikian pula hukum kita belum secara jelas mengatur asas-asas dan peraturan
yang harus berlaku bagi “government contracts” atau kontrak-kontrak dengan badan-badan
atau instansi pemerintah yang sewaktu-waktu dapat mengubah posisi swasta; baik dengan
kebijaksanaan pemerintah atau melalui perubahan undangundang. Hal yang sama berlaku
bagi kontrak internasional. lihat bab tentang “Algemene Voorwaarden”.

Apalagi mengenai kontrak-kontrak yang dilangsungkan lewat komputer atau internet (e-
contracts) di Indonesia masih terdapat kevakuman hukum, dan adalah sangat tidak benar dan
tidak adil, apabila untuk econtracts dan lain-lain kontrak tersebut di atas dengan gampang dan
serta merta digunakan saja peraturan tentang Hukum Kontrak yang berasal dari Code
Napoleon, yang lahir pada tahun 1800 untuk diterapkan lebih 2 (dua) abad kemudian!
Padahal tidak dapat disangkal bahwa hampir setiap kegiatan ekonomi didasarkan pada
kontrak!

18
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Maka tidaklah mengherankan mengapa tidak hanya Hukum Ekonomi amburadul,


tetapi juga kehidupan ekonomi kita begitu sulit “tinggal landas”, kalau “landasan”nya saja
belum ditata dengan baik dan mantap. Oleh sebab itu di samping berbagai aspek Hukum
Ekonomi yang lain, yang tentu juga harus diprioritaskan adalah pengaturan berbagai lbentuk
usaha (korporasi) pelaku ekonomi di samping berbagai kontrak, termasuk berbagai
hibridanya yang sekarang sudah dikembangkan, untuk menjaga kepastian hukum, kebenaran
dan keadilan bagi semua pihak yarlg terlibat dalan proses perekonomian dalam dan luar
negeri. Juga tidak boleh dilupakan penelitian-penelitian dan pembahasan berbagai aspek
Hukum Ekonomi lnternasional dan Regional yang mempengaruhi perekonomian Indonesia,
baik secara positif, tapi lebih sering lagi secara negatif, seperti antara lain aspek-aspek hukum
dari Letters of Intent dengan IMF, World Bank, dan lain-lain perjanjian internasional seperti
GATT-WTO, AFTA, ASAF dan lain sebagainya. Tampaklah bahwa tidak hanya bidang
Ekonomi harus ditangani secara konseptual, sistemik dan profesional, tetapi bidang Hukum
Ekonomi pun mau tidak mau juga harus dipelajari, ditekuni, dibahas dan dikembangkan
secara konseptual, sistemik dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan
kebijaksanaan dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi. Semoga, Seminar Hukum
Nasional VIII ini menjadi titik mula bagi kesadaran ini, dan

19
titik awal bagi kerjasama yang baik dan sinergis antara para ahli dan pengambil keputusan di
bidang ekonomi dengan para ahli dan pengambil keputusan (baik di bidang legislatif,
eksekutif, yudikatif dan pengawasan) di bidang hukum, demi kebangkitan bangsa dari
keterpurukan ekonomi, politik, hukum, hankam mau pun sosial politik sejak tahun 1977.

20

Anda mungkin juga menyukai