Anda di halaman 1dari 102

Bahan Ajar

Mata Kuliah
HUKUM EKONOMI

Oleh :

PROF. DR. BISMAR NASUTION, SH, MH


DR. DETANIA SUKARJA, SH, LLM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS HUKUM
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
MEDAN
2019
Kata Pengantar

Alhamdulillah dan segala puji syukur kepada Allah SWT, karena dengan kuasanya kami dapat
menyusun Buku Bahan Ajar Hukum Ekonomi ini.

Kami menyadari bahwa buku ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kami
mengharapkan berbagai kritik yang bersifat konstruktif dalam rangka penyempurnaan segala
kekurangan dalam buku ini.

Medan, 1 Oktober 2019

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH


NIP. 198309112006042002

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................................................. iii

BAB 1......................................................................................................................................... 1

BAB 2......................................................................................................................................... 5

BAB 3......................................................................................................................................... 8

BAB 4....................................................................................................................................... 14

BAB 5....................................................................................................................................... 18

BAB 6....................................................................................................................................... 48

BAB 7....................................................................................................................................... 57

BAB 8....................................................................................................................................... 67

BAB 10..................................................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 97

iii
BAB 1

PENGANTAR HUKUM EKONOMI

1. Pengertian Hukum Ekonomi

Hukum ekonomi kerap disamakan dengan hukum bisnis. Anggapan yang demikian
tidaklah tepat. Menurut Sunaryati Hartono (1988), hukum ekonomi adalah keseluruhan kaidah-
kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan
ekonomi Indonesia. Seperti halnya dalam ekonomi yang membedakan antara ekonomi makro
dan mikro, hukum ekonomi juga berbeda dengan hukum bisnis. Hukum ekonomi diartikan
sebagai keseluruhan peraturan, putusan pengadilan dan hukum kebiasaan yang menyangkut
pengembangan kehidupan ekonomi secara makro. Sedangkan hukum bisnis adalah keseluruhan
peraturan, putusan pengadilan dan hukum kebiasaan yang berkaitan dengan bisnis para pelaku
ekonomi mikro.

Menurut Sri Redjeki Hartono (2007), hukum ekonomi adalah rangkaian peraturan yang
mengatur kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.

2. Hubungan Hukum dan Ekonomi

Menurut Ismail Saleh (1990), hukum dan ekonomi merupakan dua sub sistem dari suatu
sistem kemasyarakatan yang saling saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi antar kedua sub
sistem sosial tersebut akan Nampak jelas, apabila kita melakukan pendekatan dari studi hukum
dan masyarakat. Dalam pendekatan tersebut, hukum tidak hanya dipandang sebagai norma saja
yang bersifat otonom, tetapi juga sebagai insttitusi sosial yang secara nyata berkaitan erat
dengan berbagai segi sosial di masyarakat. Itu artinya, tugas hukum ekonomi adalah senantiasa
menjaga dan mengadakan kaidah-kaidah pengamanan agar kegiatan ekonomi tidak
mengorbankan hak-hak dan kepentingan pihan yang lemah. Hanya dengan cara serupa hukum
tetap mempunyai peranan dalam masalah ekonomi.

Dalam menjalankan kegiatan ekonomi, manusia sudah barang tentu ingin mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
tersebut tidak boleh menafikan atau melanggar hukum. Hubungan hukum dengan ekonomi

1
bukan hanya hubungan satu arah tetapi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Kegiatan ekonomi yang tidak didukung oleh hukum akan mengakibatkan terjadinya kekacauan
serta menimbulkan kerugian pada salah satu pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Keberadaan hukum ditengah-tengah kehidupan manusia pada dasarnya sebagai perangkat
pengaturan atau sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengatur prilaku manusia yang pada
hakekatnya berkeinginan meningkatan kepuasan hidupnya. Untuk itu sebelum membahas
hubungan hukum dan ekonomi perlu dijelaskan tentang konsep ilmu hukum dan ilmu ekonomi
serta hubungan diantara keduanya.

Hukum dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling
melengkapi. Di Negara-negara maju, sebelum prodak-prodak industri diterjunkan di pasar
terlebih dahulu dibuat aturan hukum untuk melindungi penggunaan produk-produk ekonomi
tersebut oleh masyarakat. Hal ini membuktikan interaksi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi
tidak dapat dipisahkan karena keduanya mempunyai persamaan dan keterikatan didalam teori-
teori keilmuan tentang perilaku (scientific theories of behavior). Ilmu ekonomi menyediakan
acuan-acuan normatife untuk mengvaluasi hukum dan kebijakan sedangkan hukum merupakan
alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan (Manan, 2014).

Menurut Sunaryati Hartono (1988), kaidah hukum ekonomi dapat dibagi menjadi 2,
yaitu:

1. Hukum Ekonomi Pembangunan, yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum


mengenai cara – cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia
secara nasional.
2. Hukum Ekonomi Sosial, yang menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara-
cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam
HAM manusia Indonesia.

Pada dasarnya pengkajian hukum ekonomi diarahkan untuk meningkatkan daya dukung
hukum/peraturan perundang- undangan yang mengatur kegiatan ekonomi. Kelengkapan
perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan ini akan memberi kepastian hukum bagi
pelaksanaan hubungan hukum yang menciptakan hak dan kewajiban bagi para subjek hukum,
pada umumnya, serta dalam hubungan kegiatan ekonomi pada khususnya (Sumantaro,1986).

2
Antara sistem hukum dan sistem ekonomi sesuatu negara terdapat hubungan yang
sangat erat dan saling berpengaruh. Yaitu, kalau pada satu pihak pembaharuan dasar-dasar
pemikiran di bidang ekonomi ikut merubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang
bersangkutan, maka penegakkan azas-azas hukum yang sesuai juga akan memperlancar
terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakkan azas-azas
hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-
citakan.

Berbagai permasalahan lain dalam pembangunan ekonomi akan bermunculan


dikarenakan adanya pandangan yang berbeda tentang cara pembangunan ekonomi
dilaksanakan, baik antara aliran kapitalis dan liberalis, para akademisi dan praktisi, para
pemegang modal dan para pekerja, antara kekuasaan pemerintah dan hak asasi manusia. Hal
ini membutuhkan suatu pengaturan hukum yang pasti demi menunjang berjalannya
pembangunan ekonomi negara.

Menurut Friedman (1986), terdapat lima kualitas hukum yang kondusif bagi
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, yaitu stability, predictability, fairness, education
dan the special development abilities of the lawyer (pengembangan profesi hukum). Stabilitas
dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi.
Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru
memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka.
Sedangkan stabilitas berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan
tercermin dari proses hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan
pemerintah, dan lain-lain akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah
campur tangan pemerintah yang terlalu dominan. Sedangkan pendidikan dan pengembangan
profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang harus diberdayakan dalam praktek hukum,
agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan hukum dan pembangunan
ekonomi.

3. Ciri atau Karakteristik Hukum Ekonomi

Hukum ekonomi pada dasarnya adalah turunan dari hukum dagang, dan hukum dagang
sendiri merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur hal-hal khusus dibidang usaha.

3
Sebagai lanjutan dari kajian hukum dagang dan hukum perdata, hukum ekonomi merupakan
satu kajian baru dalam bidang hukum pada umumnya. Dengan demikian dapat disimpukan
embrio hukum ekonomi adalah hukum dagang yang merupakan bagian dari hukum perdata.
Kajian hukum dagang lebih spesifik pada hubungan hukum para pihak yang melakukan
aktifitas dalam menjalankan perusahaan. Oleh karena hukum dagang merupakan bagian dari
hukum perdata, maka kajian hukum dagang selalu mempunyai tekanan utama pada perikatan
para pihak (hubungan hukum para pihak) serta hak dan kewajiban ara pihak. Hukum perikatan
(hukum perjanjian) merupakan dasar utama bagi kajian dan pengembangan hukum dagang.
Fokus kajian hukum dagang lainnya adalah tentang pemberhentian, klaim, dan dokumen-
dokumen. Kajian atas dokumen sangat penting karena dibutuhkan dalam rangka
mempertahankan hak-hak tertentu. Hukum perdata, hanya mengkaji dari aspek metode
pendekatan mikro saja yakni hubungan hukum para pihak (Suyikno, 2015).
Namun, hukum ekonomi tidak hanya dikaji dalam aspek hukum perdata saja, tetapi
dikaji pula dari berbagai aspek sehingga membutuhkan metode pendekatan yang berbeda dari
kajian hukum dagang dan hukum perdata pada umumnya. Hukum ekonomi berada pada ranah
hukum privat maupun hukum publik sehingga pemahaman dan pengertian mempunyai metode
dua pendekatan sekaligus, yaitu metode pendekatan makro dan mikro. Metode pendekatan
makro memanfaatkan imu-ilmu lain sebagai pisau analisis terhadap masalah-masalah hukum
seperti masalah ekonomi, kebijakan dibidang ekonomi, dan kebijakan hukum dibidang
ekonomi. Pendekatan makro juga dimanfaatkan untuk mengkaji masalah perlindungan atau
proteksi publik atau konsumen. Sedangkan metode pendekatan mikro dimanfaatkan untuk
mengkaji masalah hukum sesuai target yang di inginkan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bidang kajian hukum ekonomi telah mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus sebagai
satu kajian yang komprehensif. Adapun aspek hukum tersebut meliputi, aspek hukum publik
dan perdata yang keduanya mengandung asas hukum yang bersumber dari dua aspek hukum
tersebut (Suyikno 2015).

4. Ruang Lingkup Hukum Ekonomi

Ruang lingkup ekonomi mencakup bidang yang di atur dalam hukum privat dan hukum
publik.Dengan demikian tidak hanya mencakup hukum perdata,dan hukum perdata
international namun juga mencakup hukum publik seperti hukum pidana ,hukum international,
hukum administrasi Negara, serta hukum tata Negara. Ruang lingkup hukum ekonomi bersifat
interdispliner, multidisipliner dan transnasional.

4
BAB 2

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

1. Fungsi dan Peranan Hukum Ekonomi

Menurut Kusnardi & Ibrahim (1988), hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan
negara, selain berpijak pada lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan selalu berpijak
pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:

(1) melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi);


(2) mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan;
(3) mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi);
(4) menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama

Fungsi hukum ekonomi dalam kegiatan pembangunan antara lain adalah:

a. Sebagai sarana pemeliharaan ketertiban dan keamanan


b. Sebagai sarana pembangunan
c. Sebagai sarana penegak keadilan
d. Sebagai sarana pendidikan masyarakat

Sedangkan tugas hukum ekonomi antara lain:


a. Membentuk dan menyediakan sarana dan prasarana hukum bagi
b. Peningkatan pembangunan ekonomi
c. Perlindungan kepentingan ekonomi warga
d. Peningkatan kesejahteraan masyarakat
e. Menyusun dan menerapkan sanksi bagi pelanggar
f. Membantu terwujudnya tata ekonomi internasional baru melalui sarana dan pranata
hukum

5
2. Asas-Asas Hukum ekonomi

Hukum ekonomi menganut azas, sebagi berikut :

a. Azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


b. Azas manfaat.
c. Azas demokrasi pancasila.
d. Azas adil dan merata.
e. Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan.
f. Azas hukum.
g. Azas kemandirian.
h. Azas Keuangan.
i. Azas ilmu pengetahuan.
j. Azas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam
kemakmuranrakyat.
k. Azas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
l. Azas kemandirian yang berwawasan kenegaraan.

3. Pengaruh Globalisasi terhadap Perubahan Hukum

Globalisasi sebagai suatu proses mengalami suatu akselerasi sejak beberapa dekade
terahir ini, tetapi proses yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak jauh di masa
silam, semata-mata karena adanya predisposisi umat manusia untuk hidup bersama-sama
di suatu wilayah dan karena itu dikondisikan untuk berhubungan dan mengakui hubungan
satu sama lain (Rahardjo, 1996).
Dalam pembangunan ekonomi perlu diciptakan hukum yang berperan mengatur
perekonomian dengan memberikan pembatasan-pembatasan tertentu kepada pihak yang kuat
dan memberikan peluang-peluang kepada pihak yang lemah dalam rangka mencapai keadilan.
Dengan adanya regulasi hukum dalam kegiatan ekonomi dapat mencegah adanya tindakan
sewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Dengan demikian
diharapkan pembangunan ekonomi akan berjalan adil dan benar-benar dapat menunjang
pembangunan ekonomi, karena melalui hukum yang ditegakkan dengan baik dan benar,
masyarakat diarahkan untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu untuk mencapai
tujuan ekonomi yang diinginkan.

6
Hukum sangat berperan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini dapat disaksikan
dengan adanya kebijakan pemerintah yang lahir untuk mengatur kegiatan perekonomian.
Hukum merupakan rel yang digunakan dalam menjalankan kegiatan ekonomi sehingga tidak
terjadi adanya kecurangan-kecurangan dan diskriminasi bagi ekonomi kerakyatan. Di sini
hukum juga dipandang sebagai ramalan, pandangan, dan jaminan kepastian hukum demi
lancarnya suatu usaha. Dan juga sebagai media kreatif bagi pelaku usaha atau sebagai jaminan
pelindung agar merasa aman dalam melakukan kegiatan ekonomi sehingga tercipta
pembangunan ekonomi yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia

7
BAB 3

PENGANTAR HUKUM BENDA

1. Pengertian Benda dan Hukum Benda

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, benda (zaken) adalah tiap barang (goederen) dan tiap
hak (rechten) yang dapat menjadi obyek dari hak milik.
Menurut Subekti (1982), benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang,
disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek hukum.
Hukum benda adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai hak- hak
kebendaan yang sifatnya mutlak. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, hukum kebendaan ialah
semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak
atas benda.

2. Sistem Hukum Benda

Sistem pengaturan hukum benda adalah sistem tertutup, yaitu bahwa orang tidak dapat
mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi
hnya dapat mengadakan hak kebendaan terbatas pada yang sudah ditetapkan dalam undang-
undang saja (Sofwan, 1981).

3. Jenis-Jenis Benda dalam Hukum Perdata

Menurut Pasal 540 KUHPerdata, tiap- tiap kebendaan adalah benda bergerak atau benda
tak bergerak.

1. Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penetapan
undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya kendaraan, surat- surat
berharga, dan sebagainya. Dengan demikian kebendaan bergerak ini sifatnya adalah
kebendaan yang dapat dipindah atau dipndahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Menurut
Pasal 505 KUHPerdata, benda bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat
dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan

8
2. Benda tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan pemakaiannya
atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya
tanah, bangunan, dan sebagainya

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, benda dapat dibedakan atas :

1. Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang – barang tidak berwujud


(onlichamelijk)
2. Barang-barang yang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak
3. Barang-barang yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan barang – barang yang tidak
dapat dipakai habis (onverbruikbaar)
4. Barang-barang yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan barang-barang yang masih
akan ada (toekomstige zaken). Barang yang akan ada dibedakan :
a. Barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya panen yang
akan datang
b. Barang-barang yang akan ada relative, yaitu barang-barang yang pada saat itu
sudah ada, tetapi bagi orang-orang yang tertentu belum ada, misalnya barang-
barang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan
5. Barang-barang yang dalam perdagangan (zaken in de handel) dan barang-barang yang
diluar perdagangan (zaken buiten de handel).
6. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.

4. Asas-asas Hukum Benda (Mulyadi & Widjaja, 2003)

a. Asas Hukum Memaksa (dwingend recht)


Yaitu bahwa hukum yang mengatur tentang benda adalah sesuatu yang bersifat
memaksa dan bukan bersifat mengatur, oleh karenanya para pihak yang mempunyai
hak tertentu atas suatu benda tidak dapat menyimpangi ketentuan- ketentuan yang
terdapat di dalam undang-undang. Para pihak tersebut juga tidak dapat mengadakan
suatu hak yang baru selain yang telah ditetapkan di dalam undang-undang.
b. Hak kebendaan dapat dipindahkan
Sesuatu yang dapat dikatakan sebagai suatu benda adalah suatu hal yang dalam hal ini
dapat dialihkan kepada orang lain. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah peralihan atas

9
hak kebendaan dari seseorang kepada orang lain dengan segala akibat hukum yang
ada.
c. Asas Individualitas (Individualiteit)
Yaitu apa yang dapat diberikan menjadi kebendaan adalah apa yang menurut hukum
dapat ditentukan terpisah. Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai benda atau diberikan sebagai benda adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan
sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu jumlah atau ukuran tertentu.
d. Asas Totalitas (Totaliteit)
Yaitu bahwa kepemilikan suatu kebendaan berarti kepemilikan menyeluruh atas setiap
bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini misalnya seseorang tidak mungkin
memiliki bagian dari suatu kebendaan, jika ia sendiri tidak memiliki titel hak milik atas
kebendaan tersebut secara utuh. Maksudnya adalah bahwa sesuai dengan sifat
individualitas dari suatu kebendaan tersebut, maka tiap-tiap benda yang menurut
sifatnya atau menurut undang-undang tidak dapat dibagi maka penyerahan kepemilikan
atas benda tersebut harus dilakukan secara keseluruhan benda itu.
e. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)
Yaitu bahwa seseorang tidak dimungkinkan melepaskan hanya sebagian hak miliknya
atas suatu kebendaan yang utuh. Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan
untuk membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang bersifat terbatas
(jura in re aliena), namun pembebanan yang dilakukan itupun hanya dapat dibebankan
terhadap keseluruhan kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re aliena
tidak mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda melainkan harus untuk seluruh
benda tersebut sebagai suatu kesatuan
f. Asas Prioritas (Prioriteit)
Yaitu bahwa antara hak kebendaan yang satu dengan hak kebendaan yang lain di atas
suatu kebendaan yang sama memiliki tingkatan atau kedudukan yang berjenjang-
jenjang (hierarkis)
g. Asas percampuran (vermenging)
Asas percampuran ini terjadi bila dua atau lebih hak melebur menjadi satu. Hal ini
berarti bahwa adanya suatu percampuran yakni peleburan 2 hak apabila 2 hak itu
dimiliki oleh orang yang sama dan atas kebendaan yang sama.
h. Asas publisitas (publiciteit)
Asas publisitas berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak
bergerak kepada masyarakat

10
i. Asas perlakuan yang berbeda antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak.
Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda
bergerak dan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara
kedua benda tersebut.
j. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak.
Berarti bahwa pada dasarnya dalam setiap hukum perjanjian terkandung pula asas
kebendaan dan dalam setiap hak kebendaan melekat pula setiap hukum perjanjian di
dalamnya.

5. Macam-macam Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak-hak kekayaan yang mempunyai ciri-ciri: bersifat absolut
(bisa ditujukan kepada semua orang pada umumnya) dan yang lahir lebih dulu mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dan melekat terhadap suatu benda tertentu. Oleh karenanya suatu
hak kebendaan adalah suatu hak yang dapat dituntut terhadap setiap orang yang berkaitan
dengan benda yang dihaki oleh seseorang, karena hak kebendaan itu sendiri adalah hak yang
mengikuti kemanapun benda itu berada (droit de suite) (Satrio, 1999).
Hak kebendaan yang mengikuti kemanapun benda tersebut berada memiliki sifat yang
bertingkat dalam artian bahwa ada suatu hak kebendaan yang tingkatannya lebih tinggi dari hak
kebendaan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya bahwa ada suatu kebendaan yang
tingkatnya lebih rendah dari hak kebendaan yang lainnya. Tinggi rendahnya tingkatan hak
kebendaan tersebut akan berimplikasi mengenai luasnya cakupan hak terhadap suatu kebendaan
tertentu. Misalnya ada suatu hak kebendaan yang hanya memberikan kepada orang yang
memiliki hak kebendaan tersebut sekedar menguasainya atau menggunakan manfaat kebendaan
tersebut, dan ada juga suatu hak kebendaan yang selain memberikan hak untuk menguasai
benda tersebut dan menggunakan benda tersebut kepada si pemegang hak kebendaan tersebut
memberikan juga hak untuk mengalihkan kepemilikan dari benda tersebut.
Secara garis besar, hak kebendaan terdiri dari hak kebendaan yang memberikan
kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan terdiri dari:
a. Hak Milik
b. Bezit
c. Hak memungut hasil
d. Hak pakai dan mendiami

11
Sedangkan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan adalah :

a. Gadai
b. Fidusia
c. Hipotek
d. Hak tanggungan
e. System resi gudang

KUHPerdata juga mengatur hak-hak lain yang bukan merupakan hak kebendaan, tetapi
mempunyai persamaan dengan hak kebendaan karena memberikan jaminan, seperti Privilege,
(hak istimewa), hak retensi, dan hak reklame.

Sehubungan dengan tanah, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960


menetapkan hak-hak atas tanah sebagai berikut:

1. Hak milik adalah hakturun temurun, terkuat dan terpenuhyang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi social.
2. Hak guna usaha adalah hak untukmengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara,
dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan.
3. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan- bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
4. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang.
5. Hak sewa untuk bengunan adalah hak seseorang atau suatu badan hukum
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
6. Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan adalah hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan yang hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia.
7. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah hak memperoleh air untuk
keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain.

12
8. Hak guna ruang angkasa adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkendung di dalamnya dan hal-hal
lainnya yang bersangkutan dengan itu.
9. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan social adalah hak milik tanah badan-badan
keagamaan dan social sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan
dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh
tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

13
BAB 4

PENGANTAR HUKUM PERJANJIAN


(KONTRAK BISNIS)

1. Pengertian Perjanjian

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa
Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi
persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Menurut Subekti (1982), suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan
hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

(1) Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika
diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut
membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

(2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-
hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum.

(3) Mengikatkan dirinya

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul
karena kehendaknya sendiri.

14
2. Syarat-Syarat Kontrak

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat,
yaitu:

1. Adanya kata sepakat;


2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Adanya suatu hal tertentu;
4. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu
perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah
syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif.

3. Asas-Asas dalam Perjanjian/ Kontrak

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum
kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Asas konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320
KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam
istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini
sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai

15
undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di
dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian.
Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

4. Bentuk perjanjian/kontrak

Menurut Mariam Darus Badrulzaman (1996), perjanjian dapat dibedakan menurut


berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi
kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma-cuma adalah
perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend). Perjanjian khusus
adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-
perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan
tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d
XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu
perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam
masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek
adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang

16
berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah
perjanjian sewa beli.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas
sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana
pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain
(perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil, yaitu perjanjian di mana di antara kedua: belah
pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari
kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438
KUH Perdata;
b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para
pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH
Perdata.
d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah),
misalnya perjanjian ikatan dinas.

17
BAB 5

BADAN USAHA NON BADAN HUKUM

1. Pengantar Hukum Perusahaan

Berdasarkan Pasal 1 huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar
Perusahaan, perusahaan dapat didefinisikan sebagai:

“setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus-
menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia
dengan tujuan meperoleh keuntungan dan atau laba”.

Hukum Perusahaan meliputi dua hal pokok, yaitu bentuk usaha dan jenis usaha.
Dengan demikian, Hukum Perusahaan adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur
tentang bentuk usaha dan jenis usaha.
Perusahaan berhubungan dengan bentuk-bentuk usaha dan segala hal yang berkaitan
dengan bentuk usaha (hukum perusahaan) yang semuanya berujung pada keuntungan sebagai
unsur mutlak. Unsur keuntungan merupakan tujuan dari suatu kegiatan usaha.
Ruang lingkup Hukum Perusahaan ada pada lapangan Hukum Perdata (khususnya
Hukum Dagang) dan sebagian ada pada Hukum Administrasi Negara yang tercermin pada
peraturan perundang-undangan di luar KUHPerdata dan KUHDagang. Namun apabila dilihat
dari objek usaha dan tata perniagaannya, Hukum Perusahaan termasuk dalam lapangan Hukum
Perdata khususnya bidang Hukum Harta Kekayaan yang mana di dalamnya terletak Hukum
Dagang. Sedang apabila dilihat dari segi kegiatan usahanya yang bergerak di dalam kegiatan
ekonomi pada umumnya, maka Hukum Perusahaan termasuk dalam cakupan Hukum
Ekonomi.
Dengan demikian, kedudukan Hukum Perusahaan terletak pada Hukum Dagang
(termasuk Hukum Perdata) sekaligus juga terletak pada Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Ekonomi. Dengan kata lain, Hukum Perusahaan terletak dalam Hukum Privat
sekaligus pada Hukum Publik dan Hukum Ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
perusahaan mempunyai tiga aspek sekaligus, yaitu Ekonomi Perusahaan, Hukum
Dagang/Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (publik).

18
Perusahaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ia merupakan bentuk usaha
b. Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik
berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
c. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
d. Bertindak keluar dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan
e. perjanjian-perjanjian;
f. Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat dalam pembukuan
g. Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba

Bentuk-bentuk usaha dapat dibagi berdasarkan:

1. Ditinjau dari jumlah pemilik modalnya, yaitu:


a. Usaha perseorangan
b. Usaha dalam bentuk institusi atau badan (persekutuan)

2. Ditinjau dari segi himpunan, badan usaha dapat dibagi dua, yaitu:
a. Himpunan orang (persoonen associatie atau nirlaba). Himpunan orang ini memiliki
ciri- ciri/kharakter, antara lain: pengaruh asosiasi terhadap anggotanya sangat
besar; anggotanya sedikit/terbatas; dan anggotanya tidak mudah keluar/masuk
(tertutup).
Contohnya: HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), Peradi, dll.
b. Himpunan modal (capital associatie atau laba).
Contohnya: Firma, CV, PT.

3. Berdasarkan status hukumnya, bentuk usaha/perusahaan memiliki dua bentuk:

a. Bentuk usaha atau perusahaan bukan badan hukum


b. Bentuk usaha atau perusahaan badan hukum

Aspek badan hukum akan dijelaskan lebih lanjut di Bagian 3.

19
2. Legalitas Badan Usaha

Dalam memilih bentuk badan usaha, pengusaha memilih bentuk yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan mereka. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan
dalam pemilihan, antara lain:

a. Keluwesan untuk beraktivitas (flexibility)


Pertimbangan tentang luasnya bidang usaha yang akan dimasuki oleh pemilik, misalnya
tanpa dibatasi oleh modal, wilayah, atau batasan lainnya. Pertimbangan keluwesan
beraktivitas ini biasanya bagi mereka yang memiliki modal relatif besar dan memiliki
hubungan dengan berbagai pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta, maupun asing.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak terlalu memperhatikan keluwesan beraktivitas
biasanya hanya berfokus pada bidang/wilayah tertentu saja.
b. Batas tanggung jawab pemilik (liability)
Pertimbangan yang memperhatikan masalah tanggung jawab terhadap utang piutang
perusahaan terhadap harta pribadi. Dalam hal pengembanan wewenang dan tanggung
jawab, pemilik biasanya memikirkan faktor resiko yang akan dihadapi. Pada perusahaan
yang jenis badan usahanya memiliki tanggung jawab tidak terbatas, apabila perusahaan
mengalami resiko kerugian, maka harta pribadi ikut menjadi atas utang/kewajibannya.
c. Kemudahan pendirian (establishment)
Pertimbangan untuk pemilik yang ingin memulai usaha yang berskala kecil. Pemilik
hanya perlu memenuhi syarat yang sederhana dan langsung dapat menjalankan
usahannya. Yang menjadi pertimbangan biasanya faktor biaya dan modal yang harus
dipenuhi.
d. Aspek permodalan (capital)
Kemudahan perusahaan dalam mendapatkan modal usaha, mengingat perusahaan yang
dijalankan semakin besar. Kemudahan memperoleh modal ini, baik berupa modal
sendiri atau modal pinjaman dari berbagai pihak seperti bank, atau bantuan dari berbagai
pihak.
e. Kemudahan untuk memperbesar usaha (business expansion)
Pertimbangan bagi mereka yang berpikir jauh ke depan dan optimis bahwa usaha yang
dijalankan akan semakin besar, menjadi pertimbangan badn usaha yang akan dipilih.
Perusahaan yang semula kecil terpaksa mengubah badan usahanya karena usahanya
makin besar dan terus mengalami perkembangan.
f. Kelanjutan usaha (continuity)

20
Pemilik berharap usaha yang dijalankan memiliki umur yang panjang. Oleh karena itu,
pemilihan badan usaha untuk jangka waktu yang panjang menjadi pertimbangan guna
perkembangan usaha ke depannya.
g. Tujuan Pendirian (orientation)
Pada umumnya perusahaan didirikan dengan tujuan komersial atau mengejar profit.
Namun ada juga perusahaan yang didirikan dengan tujuan lain, yaitu sosial dan
kemanusiaan,

21
3. Konsep Badan Hukum

Subjek hukum dalam ranah hukum perdata terdiri dari:


1. Natuurlijke Person atau natural person, yaitu manusia pribadi (Pasal 1329
KUHPerdata)
2. Rechtspersoon atau legal entity, yaitu badan usaha yang berbadan hukum (Pasal 1654
KUHPerdata).

Dalam dunia hukum, yang disebut “orang”/person adalah subyek hukum atau
pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya setiap manusia adalah pembawa hak (subyek
hukum) dan mampu melakukan perbuatan hukum (mengadakan hubungan hukum), tetapi di
samping itu harus pula diikuti oleh adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan
kewenangan hukum (rechtsbevoedgheid), sebagaimana yang disyaratkan oleh perbuatan
hukum yang bersangkutan.

Setiap manusia dianggap mampu bertindak sebagai subyek hukum, sepanjang tidak
dinyatakan “tidak cakap menurut hukum”, yaitu:
1. orang yang belum dewasa (diwakili oleh orang tuanya),
2. orang yang berada di bawah pengampunan (diwakili oleh pengampu),
3. orang yang dinyatakan pailit (diwakili oleh kurator).

Di samping itu, ada orang yang meskipun mempunyai kecakapan hukum tetapi tidak
punya kewenangan hukum, misalnya orang yang dibatasi oleh kewarganegaraan, tempat
tinggal, kedudukan/jabatan.

Badan Hukum secara umum terdiri dari:


1. Badan hukum publik, misalnya Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia
2. Badan hukum privat, yaitu perkumpulan orang dengan tujuan mengadakan kerja sama
(membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh hukum. misalnya:
• Yang bertujuan profit oriented, contohnya seperti Perseroan Terbatas (PT)
• Yang bertujuan non material, contohnya seperti Yayasan.

22
Menurut Chidir Ali (1985), untuk menentukan apakah suatu badan hukum termasuk badan
hukum publik atau badan hukum privat, dapat digunakan 3 (kriteria), yaitu:
1. Cara pendirian atau terjadinya. Dalam hal ini, badan hukum didirikan oleh negara
dengan undang-undang atau peraturan lainnya. Dengan kata lain, badan hukum itu
diadakan dengan konstruksi hukum publik.
2. Lingkungan kerja, yaitu apakah badan tersebut bertindak dengan kedudukan yang
sama dengan publik/umum. Jika tidak, maka badan tersebut dapat dikategorikan
sebagai badan hukum publik.
3. Wewenang, yaitu jika badan hukum yang didirikan oleh negara tersebut diberikan
kewenangan untuk membuat keputusan, peraturan atau ketetapan, maka dapat
dikategorikan sebagai badan hukum publik.

Badan Usaha yang menjadi badan hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban,
mempunyai kekayaan sendiri serta dapat turut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara
yang diwakili pengurusnya.

Menurut Purwosutjipto (1982), agar dapat memiliki status sebagai badan hukum, suatu
badan harus memenuhi unsur atau persyaratan yang bersifat material dan bersifat formil.
Persyaratan yang bersifat material meliputi:
a. Adanya harta kekayaan dengan tujuan yang terpisah dengan harta kekayaan pribadi
para sekutu atau pendiri badan.
b. Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama
c. Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.
Untuk persyaratan formil adalah adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu
badan adalah badan hukum.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie (2006), badan hukum terdiri dari unsur-unsur
berikut:
a. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain;
b. Unsur tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
c. Kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
d. Organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-
undang yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri;

23
e. Terdaftar sebagai badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja (2009), kekayaan badan hukum yang terpisah dari
pendirinya memiliki sejumlah akibat hukum, yaitu:
a. Kreditor pribadi dari anggota badan hukum tidak mempunyai hak untuk menuntut
pembayaran utang dari harta kekayaan badan hukum tersebut;
b. Para anggota badan hukum secara pribadi tidak dapat menagih piutang badan
hukum terhadap pihak ketiga;
c. Kompensasi antara hutang pribadi dan hutang badan hukum tidak dimungkinkan;
d. Hubungan hukum antara anggota dan badan hukum dilakukan seperti halnya
hubungan hukum antara badan hukum dengan pihak ketiga; dan
e. Dalam hal terjadinya kepailitan badan hukum, hanya kreditor badan hukum yang
dapat menuntut pembayaran dari harta kekayaan yang terpisah.

Di Indonesia, selain perusahaan perseorangan (bukan persekutuan modal karena sumber


modal hanya dari 1 orang), badan usaha yang tidak berbadan hukum terdiri dari persekutuan
perdata, firma dan CV. Sedangkan badan usaha berbadan hukum adalah perseroan terbatas,
yayasan dan koperasi.

24
Untuk sesi/pertemuan ini, diskusi akan difokuskan pada aspek hukum perusahaan
perseorangan, persekutuan perdata, firma dan CV. Sedangkan untuk badan usaha berbadan
hukum akan dibahasa pada sesi/pertemuan berikutnya.

4. Aspek Hukum Perusahaan Perseorangan

4.1. Dasar Hukum

Tidak ada peraturan khusus untuk pendirian perusahaan perseorangan. Yang diperlukan
untuk pendirian perusahaan perseorangan hanya permohonan izin dari kantor perizinan
setempat. Bentuk usaha perorangan yang banyak ditemui dalam praktek seperti Usaha Dagang
(UD) atau Perusahaan Dagang (PD) yang juga belum mendapatkan tempat dalam tatanan
peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam hal legalitas bentuk usaha. Perusahaan
perorangan ini hanya disebut keberadaannya pada beberapa undang-undang dan masih diatur
dalam suatu aturan yang setingkat menteri.
Bentuk perusahaan perseorangan juga merupakan bentuk badan usaha yang diterapkan
untuk usaha-usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), termasuk industri-industri rumah
tangga (home industry). Bentuk ini biasanya dipilih karena pendiriannya paling mudah

25
dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya. Tidak menutup kemungkinan perusahan
perseorangan ditingkatkan menjadi bentuk usaha lainnya sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan usaha.

4.2. Pengertian

a. Perusahaan perseorangan adalah bentuk badan usaha tanpa ada pembedaan pemilikan
antara hak milik pribadi engan hak milik perusahaan (Indriyo, 2005).
b. Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha
dengan tujuan mencari laba atau keuntungan (Raharjo, 2009).

Perusahaan perseorangan adalah salah satu bentuk usaha yang dimiliki oleh seseorang
dan ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua resiko dan kegiatan perusahaan. Dengan
tidak adanya pemisahan pemilikan antara hak milik pribadi dengan milik perusahaan, maka
harta benda pribadi juga merupakan kekayaan perusahaan, yang setiap saat harus menanggung
utang-utang perusahaan.

4.3. Karakteristik

Karakteristik perusahaan perseorangan adalah sebagai berikut (Raharjo, 2009):


a. Jumlah pengusaha hanya satu orang (yaitu pemilik perusahaan)
b. Modal usaha dimiliki satu orang saja (pengusaha yang bersangkutan) dan biasanya kecil
atau menengah
c. Pembantu pengusaha bekerja berdasarkan perjanjian kerja atau hibah
d. Tidak ada aturan yang mengatur secara khusus, hanya memerlukan izin permohonan
usaha dari Dinas Perdagangan setempat.
e. Tidak perlu dibuatkan akta pendirian
f. Merupakan bentuk perusahaan paling sederhana
g. Pengusaha memiliki sendiri seluruh kekayaan atau aset perusahaan dan bertanggung
jawab sendiri pula atau seluruh utang perusahaan

4.4. Aspek Modal

Sumber modal bagi perusahaan perseorangan sepenuhnya hanya berasal dari 1 orang
pendiri yang juga adalah satu-satunya pemilik perusahaan. Tidak menutup kemungkinan modal

26
yang digunakan oleh pendiri atau pemilik merupakan pinjaman dari pihak lain yang bersifat
utang. Utang tersebut dengan demikian juga menjadi utang perusahaan, karena tidak ada
pemisahan aset atau kekayaan antara perusahaan dan pendiri perusahaan.

Dalam perusahaan perseorangan, semua keuntungan dan kerugian dinikmati dan ditanggung
sepenuhnya oleh pendiri. Pajak dari keuntungan usaha yang dinikmati oleh perusahaan adalah
sama dengan pajak penghasilan perseorangan pendiri.

4.5. Pendirian

Pada dasarnya, karena hanya ada satu orang pemodal maka tidak ada proses
pembentukan secara khusus. Secara umum, dalam pendirian sebuah pendirian perusahaan
perseorangan dapat diikuti tahapan-tahapan berikut:
a. Membuat Akta Pendirian Perusahaan ke Notaris. Namun digarisbawahi bahwa hal ini
tidak mutlak.
b. Apabila ada akta pendirian (di bawah tangan atau Akta Notaris), kemudian didaftarkan
(tidak harus) dalam Register di Kantor Panitera Pengadilan Negeri dimana perusahaan
berkedudukan.
c. Tidak wajib diumumkan dalam Berita Negara RI.
d. Mengurus Izin Gangguan dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) serta perizinan
lainnya yang dibutuhkan.

4.6. Kelebihan dan Kekurangan (Wiwoho, 2007)

Kelebihan:
a. Organisasi yang mudah (ease of organization), mengorgansir perusahaan perseorangan
mempunyai relative mudah selain karena perusahaan kecil aktifitas-aktifitasnya relative
terbatas.
b. Kebebasan bergerak (freedom of action) pemilik perusahaan perseorangan mempunyai
kebebasan luas, sebabbsetiap keputusannya merupakan kata akhir.
c. Penerimaan seluruh keuntungan (retention of all profilt) perusahaan perseorangan
memberi kemungkinan seluruh keuntungan diberikan kepada seseorang. Pada bentuk-
bentuk perusahaan lainnya, keuntungan dibagi antara pemilik perusahaan.

27
d. Pajak yang rendah (low taxes). Terhadap perusahaan perseorangan tidak dikenakan
pajak;pemungutan pajak hanya dilakukan padaa pemilik perusahaan perseorangan dari
penghasilannya, karenanya sering disebut bahwa pajak pada perusahaan perseorangan
relatif kecil.
e. Ketidakmungkinan bocornya rahasia (secrery). Perusahaan perseorangan merupakan
suatu jenis perusahaan dimana rahasia tertentu tidak akan bocor, karena umumnya
pengusaha sendirilah yang menjalankan tugas-tugas penting seperti pencampuran
unsure-unsur bahan dalam proses produksi.
f. Ongkos organisasi yang murah (low organization cost). Dari berbagai bentuk
perusahaan, perusahaan perseorangan mengeluarkan ongkos organisasi yang relative
murah, terutama karena bagian-bagiaan dan personalia relatif kecil.
g. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang membatasi gerak perusahaan
perseorangan relatif sedikit jika dibandingkan dengan peraturan pada bentuk-bentuk
perusahaan lain.
h. Dorongan perseorangan. Pengusaha perusahaan perseorangan pada umumnya berusaha
sekuat tenaga dengan kemampuan yang ada padanya perusahaan dapat merealisasikan
tujuannya, yakni mendapat laba.

Kerugian:
a. Tanggung jawab perusahaan yang tidak terbatas (unlimited liability). Bagi setiap bentuk
perusahaan, memperoleh keuntungan yang menjadi tujuannya, merupakan hal yang
rumit. Hal ini tergantung pada kebijaksanaan perusahaan, lapangan kegiatan yang
dilakukan, keadaan perekonomian dan sebagainya. Perusahaan yang terus menderita
kerugian, ada kemungkinan terpaksa menutup perusahannya. Bagi perusahaan
perseorangan, bila kekayaan perusahaan belum dapat menutup segala hutangnya, maka
kekayaan pribadi pengusaha perusahaan perseorangan menjadi jaminan untuk
membayar hutang perusahaan perseorangan tidak terbatas.
b. Besarnya perusahaan terbatas (limitation in size)
c. Penanaman modal yang dilakukan perusahaan perseorangan seringkali terbatas, karena
terbentuk dalam usaha jaminan.
d. Kontuinitas yang tidak terjamin (lock of contuinty), bila pemilik perusahaan meninggal
atau dipenjarakan praktis perusahaan akan menghentikan aktifitasnya. Demikian pula
bila usia pemilik perusahaan semakinlanjut, kelangsungan hidup perusahaan mulai

28
terancam. Istri atau anak-anaknya mungki berusaha melanjutkanaktifitas perusahaan,
namun tidak cukupnya pengalaman menyebabkan perusahaan mengalami kemunduran.
e. Kesulitan dalam soal kepemimpinan. Bila perusahaan perseorangan mengalami
ekspansi selalu timbul soal kepemimpinan, sebab pengetahuan perusahaan tidak cukup
untuk dapat mengorganisir yang cakap, sering takut atau memang tidak tahu bagaimana
mendelegasikan tugas dan kekuasaan dengan cara efektif.

4.7. Berakhirnya Badan Usaha

Penutupan perusahaan terjadi apabila pemilik tunggalnya memutuskan untuk menutup usaha
tersebut, atau ditutup karena alasan bangkrut atau karena kematian (pemilliknya). Kepailitan
perusahaan sama dengan kepailitan pemiliknya, dan begitu pula sebaliknya. Penutupan
perusahaan tidak memerlukan formalitas khusus seperti misalnya proses likuidasi perseroan
terbatas yang diikuti dengan pembubaran badan hukumnya.

29
5. Aspek Hukum Persekutuan Perdata (Maatschap/Partnership)

5.1. Dasar Hukum

Persekutuan perdata diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUHPerdata.

5.2. Pengertian

Menurut Pasal 1618 KUHPerdata:

“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri
untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan yang terjadi karenanya”

Berdasarkan pasal tersebut, unsur-unsur dari persekutuan perdata adalah:


a. terbentuk berdasarkan perjanjian
b. memasukan sesuatu kedalam persekutuan (inbreng)
c. tujuannya untuk membagi keuntungan.

5.3. Karakteristik

Persekutuan perdata memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Merupakan hubungan kontraktual (di sejumlah negara tidak terdaftar sebagai salah satu
bentuk perusahaan, tetapi lebih menekankan kepada hubungan kontraktual dalam
menjalankan suatu usaha saja).
b. Sering dijumpai untuk usaha skalah mikro dan kecil (UMKM)

30
c. Bentuk yang juga sering digunakan untuk asosiasi profesi.
d. Tidak berbadan hukum.

5.4. Aspek Modal

Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang besarnya modal, seperti yang berlaku dalam
Perseroan Terbatas (PT) yang menetapkan besar modal minimal, saat ini adalah minimal
Rp.50.000.000,00- (lima puluh juta rupiah).

Dalam pendirian suatu persekutuan perdata atau maatschap, para sekutu harus memberikan
kontribusi bagi persekutuan perdata. Dalam ranah hukum perdata, kontribusi ini disebut
“inbreng” atau pemasukan dalam persekutuan.

Pasal 1619 KUHPerdata menentukan bahwa inbreng dapat berupa:


a. Pemasukan dengan barang (inbreng van zaken);
b. Pemasukan dengan uang (inbreng van geld); dan
c. Kerajinan (nijverheid), tenaga kerja dan kerajinan (arbeid en vlijt).

Barang yang dapat dikontribusikan dapat yang berwujud maupun tidak berwujud. Barang tidak
berwujud dapat berupa hak cipta, merek dagang maupun good will dan know how. Good will
dapat berupa pangsa pasar, jaringan relasi ataupun merek dagang. Know how merupakan
keahlian di bidang tertentu. Pada dasarnya kontribusi dapat berupa saja selama dianggap
memiliki manfaat dan nilai ekonomis.

Prinsip umum dalam pembagian untung rugi dalam persekutuan perdata adalah:

“Keuntungan harus dibagi, kerugian tidak harus dibagi”

Pada umumnya pembagian keuntungan ini diatur dalam perjanjian pendirian persekutuan
perdata, dengan ketentuan tidak boleh memberikan keuntungan hanya pada satu orang, tapi
boleh membebankan kerugian pada satu sekutu (Pasal 1635 KUHPerdata) bila tidak diatur
dalam perjanjian, dapat digunakan Pasal 1633 KUHPerdata sebagai pedoman pembagian
keuntungan. Pembagian tersebut harus berdasarkan pada asas keseimbangan pemasukan,
dengan pengertian bahwa:

31
Pasal 1633 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa bagi sekutu yang hanya memasukkan
tenaga dipersamakan dengan pemasukan uang atau benda terkecil.

Pembagian tanggung jawab dalam persekutuan perdata dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Pasal 1644 KUPerdata menyatakan bahwa pada dasarnya perbuatan hukum seorang
sekutu yang dilakukan dengan pihak ketiga hanya mengikat sekutu yang bersangkutan,
tidak mengikat sekutu- sekutu yang lain, kecuali apabila:
• Sekutu-sekutu yang lain telah memberikan kuasa untuk itu, atau
• Perbuatan sekutu tersebut secara nyata memberikan manfaat bagi persekutuan.
b. Para sekutu dapat dituntut oleh si berpiutang dengan siapa mereka telah bertindak,
masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang sama, meskipun bagian sekutu
yang satu dalam persekutuan adalah kurang atau tidak sama dengan bagian sekutu yang
lainnya, terkecuali apabila sewaktu utang tersebut dibuat, ditetapkan kewajiban para
sekutu untuk membayar utang tersebut menurut imbangan besarnya bagian masing-
masing dalam persekutuan.
c. Janji bahwa suatu perbuatan telah dilakukan atas tanggungan persekutuan hanya
mengikat sekutu yang melakukan perbuatan itu saja dan tidak mengikat sekutu-sekutu
lainnya, kecuali jika orang-orang yang belakangan ini telah memberikan kuasa
kepadanya untuk itu, atas urusannya telah memberikan manfaat bagi persekutuan.
d. Jika salah seorang sekutu atas nama persekutuan telah membuat suatu persetujuan,
maka persekutuan dapat menuntut pelaksanaan persetujuan itu.

5.5. Pendirian

Pada awalnya, tidak ada prosedur khusus untuk berdirinya suatu persekutuan perdata, pada
umumnya hanya didirikan berdasarkan perjanjian diantara para pihak (dengan mengingat asas
konsensualisme). Persekutuan perdata bahkan dapat terbentuk berdasarkan perjanjian secara
lisan. Namun untuk kepastian hukum dalam berusaha dan menjalankan persekutuan, perjanjian
dianjurkan dalam bentuk perjanjian tertulis, bisa di bawah tangan, bisa menggunakan Akta
Notaris.

32
Perjanjian mulai berlaku sejak saat perjanjian itu menjadi sempurna atau sejak saat yang
ditentukan dalam perjanjian Pendirian persekutuan perdata tidak memerlukan pengesahan
Pemerintah.

Perjanjian pada umumnya memuat hal-hal sebagai berikut:


a. Bagian masing-masing sekutu yang harus dimasukkan kedalam persekutuan
b. Pembagian keuntungan (apabila pembagian keuntungan tidak diatur, maka berlaku
ketentuan menurut KUHPerdata)
c. Tujuan kerjasama
d. Waktu atau lama berlakunya persekutuan; dan
e. Lain-lain yang dianggap perlu.

5.6. Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan:
a. Pendirian tidak rumit/lebih mudah.
b. Tidak ada persyaratan modal minimal, sehingga tidak memberatkan secara finansial.
c. Tidak ada pajak berganda seperti halnya PT.

Kekurangan:
a. Tanggung jawab yang tidak terbatas sehingga bisa menjangkau aset pribadi para sekutu
b. Tidak memiliki aspek kontinuitas (umurnya terbatas), karena persekutuan perdata dapat
bubar atau berhenti karena salah sekutu meninggal dunia, pailit atau menarik diri dan
bagiannya dari persekutuan. Biasanya hal ini dapat disiasati dengan memberikan
peluang bagi sekutu yang tersisa untuk ‘membeli’ kepentingan sekutu yang ingin
mundur
c. Sulit untuk dikendalikan dan memiliki potensi konflik yang tinggi.
d. Lebih sulit memenuhi persyaratan-persyaratan pengajuan kredit atau untuk menjadi
mitra kontrak kerjasama seperti dalam tender pengadaan barang dan jasa.

5.7. Bentuk dan Kepengurusan Persekutuan Perdata

Menurut Purwosutjipto (1982), persekutuan perdata dapat dibagi ke dalam 2 jenis:


a. Persekutuan perdata umum (1622 BW)

33
Para sekutu tidak secara tegas menentukan jenis barang serta berapa besarnya uang
dimasukkan dalam persekutuan.
b. Persekutuan perdata khusus (1623 BW)
Para sekutu secara tegas menentukan jenis barang dan berapa besarnya uang yang
dimasukkan pada persekutuan.

Berdasarkan bentuknya, persekutuan perdata dapat dibagi ke dalam 2 bentuk:


a. Persekutuan perdata yang terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu
perkerjaan bebas (profesi). Asosiasinya tidak menjalankan perusahaan, tetapi lebih
mengutamakan orang-orang yang menjadi pesertanya dan juga tidak menjadikan
elemen modal organisatorisnya sebagai unsur utama (Said, 1987).
Contoh: pengacara, dokter, akuntan dan profesi lainnya
b. Persekutuan yang bertindak ke luar kepada pihak ketiga secara terang-terangan dan
terus-menerus untuk mencari laba maka persekutuan perdata tersebut diakatakan
menjalankan perusahaan (Khairandy, 2006)
Contoh: Pedagang A dan B membentuk persekutuan perdata di bidang jahit busana
dengan nama Penjahit X.

Dalam persekutuan perdata dapat dibentuk kepengurusan. Pengurus dalam persekutuan perdata
dapat terdiri dari:
a. Pengurus dari sekutu
• Statuter: Sekutu yang mengurus persekutuan perdata yang diatur sekaligus
bersama-sama akta pendirian persekutuan perdata
• Mandater: Sekutu yang mengurus persekutuan perdata yang diatur dengan akta
tersendiri (khusus) sesudah persekutuan perdata berdiri. Kedudukannya sama
seperti pemegang kuasa, sehingga bisa dicabut kapan saja.

b. Pengurus bukan sekutu


Sebagai kuasa adalah orang luar yang dianggap cakap dan diangkat sebagai pengurus
persekutuan perdata yang ditetapkan dengan akta perjanjian khusus atau ditetapkan
dalam akta pendirian persekutuan perdata.

34
5.8. Berakhirnya Badan Usaha

Menurut Pasal 1646-1652 KUHPerdata Persekutuan Perdata berakhir karena:

1. Lewatnya waktu untuk mana persekutuan diadakan,


2. Musnahnya barang atau selesainya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan,
3. Atas kehendak semata-mata dari beberapa sekutu,
4. Salah satu sekutu meninggal, berada di bawah pengampunan atau jatuh pailit.
5. Pengakhiran berdasarkan alasan yang sah (oleh hakim)
6. Selesainya perbuatan

35
6. Aspek Hukum Firma

Firma secara harfiah berarti persekutuan di bawah nama bersama. Firma sering disebut sebagai
persekutuan perdata secara khusus. Dalam firma hanya ada satu jenis sekutu, yaitu sekutu kerja
atau firmant.

6.1. Dasar Hukum

Pasal 16 - 35 KUHDagang dan pasal-pasal lainnya dalam KUH Perdata (ketentuan-ketentuan


umum mengenai persekutuan perdata)

6.2. Pengertian

Pasal 16 KUHDagang berbunyi “yang dinamakan persekutuan firma ialah tiap-tiap persekutuan
perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama”.

Unsur-unsur dari firma adalah sebagai berikut:


a. merupakan persekutuan perdata,
b. menjalankan perusahaan,
c. adanya nama bersama,
d. setiap sekutu firma adalah pengurus, baik untuk daden van beheren maupun daden
van beschiken, sepanjang tidak adanya sekutu yang dilarang atau dikecualikan,
e. sekutu bertanggung jawab secara renteng.

6.3.Karakteristik

a. Tiap-tiap sekutu secara tanggung menanggung (tanggung jawab renteng) bertanggung


jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroan. Di sini yang dimaksud
adalah di samping kekayaan persekutuan Firma, maka kekayaan pribadi masing-masing
sekutu dapat juga dipakai untuk memenuhi kewajiban-kewajiban persekutuan Firma
terhadap pihak ketiga.
Contoh: Di dalam sebuah Firma (Fa) ABC, sekutu A mengadakan hubungan hukum
(transaksi) dengan X, apabila dari hasil hubungan hukum tersebut menimbulkan
kerugian terhadap Firma. ABC maka kerugian ini selain ditanggung oleh Fa. ABC
(persekutuan) juga oleh harta pribadi masing-masing sekutu (sekutu A, B dan C).

36
b. Nama bersama adalah salah satu karakteristik utama dari firma. Artinya nama orang
(sekutu) yang menjadi (merupakan) nama perusahaan. Nama bersama pada Firma
menunjukkan adanya persatuan di antara para sekutu satu sama lain, sehingga melalui
nama bersama dari para sekutu, menjadikannya terikat terhadap pihak ketiga terhadap
perbuatan dari persekutuan yang tidak dikecualikan. Berkaitan dengan penggunaan
bersama, di dalam KUHDagang tidak diatur apakah harus mengambil nama bersama
dari semua sekutu Firma. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan mengenai penggunaan
nama bersama ini, apakah diambil dari nama para sekutu atau hanya sekutu tertentu saja
yang dalam praktik biasanya diambil dari salah seorang sekutu yang dianggap paling
menonjol di antara sekutu yang lain. Hal terpenting dari penggunaan nama bersama dari
Firma ini adalah penggunaan nama bersama dalam Firma akan memberikan akibat
perasaan dan keharusan dari para sekutu terikat satu sama lain sebagai suatu kesatuan.

6.4. Aspek Modal

Penyertaan modal dalam firma pada dasarnya berlaku ketentuan yang sama dengan persekutuan
perdata. Sekutu dalam firm dapat memasukkan modal tunai maupun non tunai. Non tunai di
antaranya seperti keahlian, goodwill, dll yang memiliki nilai ekonomis.

Pembagian keuntungan antara para sekutu adalah sebagai berikut:


a. Apabila diatur sendiri oleh para sekutu atau persero dalam suatu perjanjian; atau
b. Apabila tidak diatur tersendiri, maka berlaku ketentuan Pasal 1633 KUHPerdata, yaitu
berdasarkan perbandingan besar kecilnya modal.
c. Bagian sekutu yang memasukkan modal berupa keahlian atau tenaga kerja hanya
dipersamakan dengan sekutu yang memasukkan modal uang paling kecil.

Terdapat 2 macam tanggung jawab sekutu (Khairandy, 2006):


a. Tanggung jawab intern, yaitu tanggung jawab sekutu seimbang dengan
pemasukannya atau inbrengnya, khususnya dalam hal pembagian keuntungan.
b. Tanggung jawab ekstern, yaitu tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan. Semua
sekutu bertanggungjawab atas perikatan yang dibuat oleh firma, meskipun dibuat oleh
sekutu yang lain, termasuk perikatan yang ditimbul akibat pebuatan melawan hukum
dalam hal kerugian.

37
6.5. Pendirian

a. Mendirikan firma tidak disyaratkan adanya suatu bentuk tertentu, artinya dapat
didirikan secara lisan atau secara tertulis, baik dengan akte otentik maupun akte di
bawah tangan. Dalam prakteknya untuk kepentingan pembuktian, firma selalu didirikan
dengan suatu akta.
b. Pasal 22 KUHD menyatakan bahwa Firma harus diadakan dengan suatu akta resmi
(otentik). Tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh dikemukakan untuk merugikan
pihak ketiga.
c. Adanya akta otentik (Akta Notaris) bagi suatu firma merupakan pembuktian utama
terhadap pihak ketiga, mengenai keberadaan Firma tersebut.
d. Berkaitan dengan ketentuan bahwa ketiadaan akta tidak boleh dikemukakan untuk
merugikan pihak ketiga, dimaksudkan bahwa tidak adanya akta otentik tidak boleh
digunakan sebagai dalih bagi pihak ketiga bahwa Firma itu tidak ada, sehingga dapat
merugikan pihak ketiga. Sebaliknya pihak ketiga dapat membuktikan adanya
Persekutuan Firma dengan alat bukti lainnya, misalnya surat-surat, saksi dan lain- lain.
e. Pasal 23 KUHD menyatakan bahwa Sesudah akta pendirian dibuat, maka akta tersebut
harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, dalam daerah hukum mana
persekutuan firma berdomisili (sekarang di Kantor Pendaftaran Perusahaan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan).
f. Akta pendirian tersebut lalu harus diumumkan dalam Berita Negara RI.
g. Kewajiban Pendaftaran dan pengumuman Firma merupakan suatu kewajiban yang
bersanksi. Artinya, kelalaian melakukan kewajiban tersebut pada pendirian Firma akan
dikenakan sanksi. Dalam hal ini pihak ketiga dapat menganggap Firma tersebut sebagai
persekutuan umum yang:
• menjalankan segala macam urusan
• didirikan untuk waktu tidak terbatas
• tidak ada seorang sekutupun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak
(melakukan perbuatan hukum), untuk dan atas nama Persekutuan.

Catatan:

38
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 17 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata yang
efektif mulai berlaku Agustus 2019, untuk pendaftaran pendirian, harus diawali dengan
pengajuan nama CV, Firma, dan Persekutuan Perdata. Permohonan pendaftaran
pendirian diajukan oleh pemohon kepada menteri melalui Sistem Administrasi Badan
Usaha (SABU). Pengajuan nama CV, Firma, dan Persekutuan Perdata diajukan kepada
Menteri melalui SABU. Salah satu syarat pengajuan namanya adalah belum dipakai
secara sah oleh CV, Firma, dan Persekutuan Perdata lain dalam sistem SABU.
Setelah permohonan nama disetujui dan akta Notaris dibuat, lalu dilakukan pengajuan
pendaftaran pendirian Firma untuk memperloh Surat Keterangan Terdaftar (SKT)

6.6. Kepengurusan

Organ dari suatu firma terdiri dari para sekutu. Di antara mereka dapat ditunjuk atau diangkat
sebagai pengurus. Apabila terdapat pengurus, maka hal tersebut akan diketahui dari akta
pendiriannya atau akta tersendiri yang harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan
dalam Berita Negara untuk kepentingan pihak ketiga.

6.7. Kelebihan dan Kekurangan Firma

Kelebihan:
a. Sistem pengelolaan badan usaha firma lebih profesinal karena adanya pembagian tugas
yang jelas untuk setiap struktur organisasinya.
b. Pemilihan pemimpin berdasarkan kemampuan dan keahliannya masing-masing, bahkan
biasanya pada badan usaha firma memiliki lebih dari satu pemimpin.
c. Modal awal untuk membangun firma terbilang besar karena berasal dari patungan setiap
anggota yang tergabung dalam firma.
d. Karena adanya akta notaris maka mudah untuk mendapatkan pinjaman modal jika
memang membutuhkan modal yang sangat besar.
e. Pembagian keuntungan berdasarkan modal awal yang disetor sehingga sistemnya
menyerupai penanaman saham. Bedanya, semua anggota yang menanamkan modal di
firma berhak aktif untuk mengelola jalannya perusahaan.

Kekurangan:

39
a. Tanggung jawab anggota firma tidak hanya terbatas modal saja, namun juga pada
kekayaan atau harta pribadi yang dimiliki.
b. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka kekayaan dan aset pribadi bisa
menjadi barang sitaan untuk menjamin kerugian perusahaan.
c. Jika ada satu anggota firma yang mengalami kerugian, maka semua anggota lain harus
ikut menanggungnya. Begitu juga jika satu anggota terkena kasus hukum, maka anggota
lain pun dapat terseret didalamnya.
d. Tidak adanya pemisahan antara kekayaan pribadi dan aset perusahaan.
e. Jika terdapat ketidakadilan dalam pembagian keuntungan, maka dapat menimbulkan
perselisihan.

6.8. Berakhirnya Badan Usaha

Karena firma pada dasarnya adalah persekutuan perdata, maka makanya mengenai bubarnya
firma berlaku ketentuan yang sama dengan persekutuan perdata, yaitu pasal 1646-1652 KUH
Perdata dan Pasal 31-35 KUHD.

40
7. Aspek Hukum Persekutuan Komanditer (CV)

7.2. Dasar Hukum

Pasal 19 – 21 KUHDagang dan pasal-pasal umum mengenai persekutuan perdata dalam KUH
Perdata.

7.3. Pengertian

Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennotschap adalah “Persekutuan Firma yang


mempunyai satu atau beberapa sekutu komanditer (aktif) beserta satu atau beberapa orang
sekutu komplementer (pasif)”, sehingga sering dianggap sebagai varian dari Persekutuan Firma
atau bentuk antara Persekutuan Firma dengan Perseroan Terbatas.

Dari pengertian di atas, maka unsur-unsur dari persekutuan komanditer adalah:


a. badan usaha yang merupakan persekutuan firma,
b. terdapat minimal adanya satu sekutu komanditer (sekutu pasif), dan
c. adanya satu sekutu komplementer (sekutu aktif).

7.4. Karakteristik

CV memiliki 2 jenis sekutu atau persero, yaitu:


a. Persero pasif/komanditaris/sleeping partners
• Merupakan pemasok modal

41
• Tidak berhak mengurus
• Berhak atas keuntungan
• Tanggung jawab sebatas modal

b. Persero aktif/komplementaris/active partners


• Merupakan pengurus perusahaan
• Berhak atas keuntungan
• Tanggung jawab tidak terbatas

7.5. Aspek Modal

Bagi CV, untuk sumber modal berlaku ketentuan yang sama seperti persekutuan perdata dan
firma. Sekutu dapat memasukkan modal berupa uang (tunai), barang atau keahlian.

Mengenai pembagian keuntungan, pada prinsipnya juga berlaku ketentuan yang sama seperti
halnya firma dan persekutuan. Pembagian keuntungan dapat disepakati oleh para sekutu.
Namun apabila tidak disepakati, maka pembagian keuntungan dilakukan berdasarkan besaran
modal dan sekutu yang memasukkan modal non tunai berhak atas keuntungan yang sama
seperti sekutu yang memasukkan modal non tunai paling kecil.

Sekutu pasif hanya ikut bertanggung jawab sebesar modal yang ditanamkannya. Sekutu pasif
tidak berhak melakukan pengurusan terhadap CV. Apabila hal ini dilanggar, KUHDagang

42
mengatur bahwa sekutu pasif otomatis menjadi sekutu aktif dan ikut bertanggungjawab secara
renteng bersama-sama dengan sekutu aktifnya.

7.6. Pendirian

a. Pendirian CV dilakukan minimal oleh 2 orang


b. Pendirian pada umumnya dilakukan dengan menggunakan akta Notaris, namun
KUHDagang tidak menetapkan akta Notaris sebagai syarat mutlak.
c. Sebelum datang ke Notaris, harus terlebih dahulu mempersiapkan:
• Calon nama yang akan digunakan untuk CV
• Tempat kedudukan CV
• Siaya yang akan menjadi persero aktif dan siapa yang akan menjadi persero pasif
• Maksud dan tujuan dari CV
d. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 17 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata yang
efektif mulai berlaku Agustus 2019, untuk pendaftaran pendirian, harus diawali dengan
pengajuan nama CV, Firma, dan Persekutuan Perdata. Permohonan pendaftaran
pendirian diajukan oleh pemohon kepada menteri melalui Sistem Administrasi Badan
Usaha (SABU). Pengajuan nama CV, Firma, dan Persekutuan Perdata diajukan kepada
Menteri melalui SABU. Salah satu syarat pengajuan namanya adalah belum dipakai
secara sah oleh CV, Firma, dan Persekutuan Perdata lain dalam sistem SABU.
e. Pembuatan Akta Notaris, yang pada umumnya memuat:
• Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal para pendiri;
• Penetapan nama CV;
• Keterangan mengenai CV itu bersifat umum atau terbatas untuk menjalankan
sebuah perusahaan cabang secara khusus (maksud dan tujuan);
• Nama sekutu yang berkuasa untuk menandatangani perjanjian atas nama
persekutuan;
• Saat mulai dan berlakunya CV;
• Klausula-klausula penting lain yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap sekutu
pendiri;
• Pendaftaran akta pendirian ke Pengadilan Negeri harus diberi tanggal;

43
• Pembentukan kas (uang) dari CV yang khusus disediakan bagi penagih dari pihak
ketiga, yang jika sudah kosong berlakulah tanggung jawab sekutu secara pribadi
untuk keseluruhan;
• Pengeluaran satu atau beberapa sekutu dari wewenangnya untuk bertindak atas
nama persekutuan.
f. Setelah permohonan nama disetujui dan akta Notaris dibuat, lalu dilakukan pengajuan
pendaftaran pendirian CV melalui sistem SABU (sebelumnya dilakukan pendaftaran ke
Pengadilan Negeri setempat dengan membawa akta notaris pendirian CV, surat
keterangan domisili, NPWP.
g. Setelah dikeluarkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dilanjutkan dengan
pengumuman dalam Tambahan Berita Negara RI.

CV dapat dibagi kedalam beberapa jenis, yaitu:


a. CV diam-diam
Yaitu CV yang belum menyatakan dirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga
sebagai CV. Keluar, CV ini masih menyatakan diri sebagai firma, namun ke dalam
sudah menjadi CV karena adanya sekutu pasif sebagai pemodal.
b. CV terang-terangan
Yaitu CV yang sudah menyatakan dirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga
sebagai CV.
c. CV dengan saham
Yaitu CV yang secara terang-terangan modalnya terdiri dari saham-saham. Hal ini tidak
diatur dalam KUHD, karena dianggap sama seperti CV biasa. Perbedaannya hanya
pada pembentukan modalnya, yaitu dengan cara mengeluarkan saham-saham, yang
dimungkinkan berdasarkan Pasal 1338 (1) dan Pasal 1337 KUHPerdata jo. Pasal 1
KUHD.

7.7. Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan:
a. Modal yang dikumpulkan lebih besar;
b. Mudah proses pendiriannya;
c. Kemampuan untuk berkembang lebih besar;

44
d. Persekutuan komanditer cenderung lebih mudah memperoleh kredit;
e. Kesempatan ekspansi lebih banyak;
f. Dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik ataupun kemampuan manajemennya
lebih besar;
g. Kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi;
h. Manajemen dapat didiversifikasikan; dan
i. Sebagai tempat untuk menanamkan modal, CV cenderung lebih baik, karena bagi
sekutu diam akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun mencairkan kembali
modalnya.

Kekurangan:
a. Sebagian anggota/sekutu memiliki tanggung jawab tidak terbatas karena ada sekutu
yang aktif dan sekutu yang pasif;
b. Kelangsungan hidup CV tidak menentu, karena banyak tergantung dari sekutu aktif
yang bertindak sebagai pemimpin persekutuan;
c. Sulit untuk menarik kembali investasinya (terutama untuk sekutu pimpinan);
d. Kekuasaan dan pengawasan kompleks;
e. Tanggung jawab para sekutu pasif yang terbatas mengendorkan semangat mereka untuk
memajukan perusahaan jika dibandingkan dengan sekutu-sekutu pada persekutuan
firma; dan
f. Apabila perusahaan berutang/merugi, maka semua sekutu bertanggung jawab secara
bersama-sama.

7.8. Berakhirnya Badan Usaha

Karena firma pada dasarnya adalah persekutuan perdata, maka makanya mengenai bubarnya
firma berlaku ketentuan yang sama dengan persekutuan perdata,

45
7.9. Kedudukan Hukum Badan Usaha Non Badan Hukum

Kedudukan hukum atau legal standing pada umumnya hanya dimiliki oleh subjek hukum , yaitu
orang dan badan hukum. Dengan kedudukan hukum, subjek hukum dapat menuntut dan
dituntut di pengadilan, dapat menjadi subjek hukum yang mandiri dalam suatu perikatan atau
hubungan hukum yang terpisah dari pendirinya . Kedudukan hukum diperoleh oleh subjek
hukum yang memiliki identifiable persona di mata hukum.

Dalam ranah hukum perusahaan Indonesia, badan usaha yang berbadan hukum antara lain
terdiri dari perseroan terbatas, Yayasan, koperasi, persero (BUMN yang berbentuk PT),
perseroa daerah (BUMD yang berbentuk PT), perum (BUMN yang berbentuk badan hukum
publik dan tidak terbagi atas saham) dan perum daerah (BUMD yang berbentuk badan hukum
publik dan tidak terbagi atas saham). Seluruh badan usaha tersebut berstatus sebagai badan
hukum yang memiliki legal standing (kedudukan hukum).

Perusahaan perseorangan, persekutuan perdata, firma dan CV bukan badan hukum dan oleh
karena itu, secara prinsip tidak memiliki legal standing. Bentuk-bentuk perusahaan tersebut
tidak memenuhi syarat atau elemen-elemen sebagai badan hukum, terutama tidak adanya
pemisahan kekayaan antara perusahaan dengan pendiri, dan tidak adanya pengesahan oleh
negara sebagai badan hukum.

Tanpa legal standing, perusahaan perseorangan, persekutuan perdata, firma dan CV tidak dapat
menjadi pihak di pengadilan (menuntut atau dituntut). Yang dapat menjadi pihak adalah orang-
orangnya. Untuk perusahaan perseorangan yaitu pendiri tunggalnya, untuk firma seluruh
sekutu atau salah satu sekutu yang diberi kuasa untuk mewakili yang lainnya di pengadilan, dan
untu CV oleh sekutu aktifnya.

Tanpa legal standing atau kedudukan hukum, tuntutan atau gugatan hukum terhadap
perusahaan adalah tuntutan terhadap personal para pendirinya. Pertanggungjawaban pendiri
tidak terbatas pada modal. Klaim atau hak tagih dari pihak luar dapat menjangkau harta atau
aset pribadi para pendiri, melebihi modal yang telah ditempatkan dalam badan usaha.

Untuk perusahaan perseorangan, kerugian perusahaan sama dengan kerugian pribadi.


Kepailitan perusahaan sama dengan kepailitan pribadi. Untuk persekutuan perdata, kerugian

46
persekutuan yang diakibatkan oleh salah seorang sekutu yang tidak menerima kuasa untuk
bertindak atas nama sekutu lain, ditanggung secara pribadi dan dapat mengakibatkan kepailitan
dirinya pribadi. Apabila sekutu tersebut menerima kuasa, maka kerugian ditanggung bersama-
sama oleh seluruh sekutu dan kepailitan akibat utang yang lahir karena perbuatan sekutu
tersebut dapat mengakibatkan kepailitas seluruh sekutu.

Untuk firma, pada dasarnya berlaku prinsip yang sama seperti persekutuan perdata. Namun
tanpa pemberian kuasa, para sekutu dianggap sudah saling mengikat dan memberi kuasa.
Kerugian dan kepailitan firma sama dengan kerugian pribadi dan kepailitan seluruh sekutu
karena adanya tanggung jawab renteng.

Untuk CV, kerugian yang melebih aset perusahaan yang dapat berujung kepada permohonan
pailit sama dengan kerugian pribadi dan kepailitan para sekutu aktif. Sekutu pasif tidak ikut
menanggung kerugian karena hanya bertanggungjawab sebatas modal yang ditempatkannya
dalam CV.

47
BAB 6

BADAN USAHA BERBADAN HUKUM

1. Aspek Hukum Koperasi

Menurut Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasia dalah


badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Koperasi terdiri dari unsur-unsur:


a. koperasi merupakan badan usaha.
b. koperasi dapat didirikan oleh orang seorang dan atau badan hukum koperasi yang
sekaligus sebagai anggota koperasi yang bersangkutan.
c. koperasi dikelola berdasarkan prinsip-prinsip koperasi.
d. koperasi dikelola berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Koperasi Indonesia melaksanakan prinsip – prinsip koperasi sebagai berikut:


a. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing anggota.
d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
e. kemandirian.
f. pendidikan perkoperasian.
g. kerja sama antarkoperasi.

Organisasi Koperasi

Menurut pasal 21 Undang-Undang No. 25 tahun 1992, perangkat organisasi koperasi terdiri
dari rapat anggota, pengurus, dan pengawas.

48
1) Rapat Anggota

Dalam rapat anggota, setiap anggota akan menggunakan hak suaranya berdasarkan
prinsip “satu orang satu suara” dan tidak ada suara yang diwakilkan (no voting by proxy).
Dengan forum rapat anggota inilah setiap anggota mempunyai peluang untuk mempengaruhi
jalannya organisasi dan usaha koperasi, mengevaluasi kinerja pengurus dan pengawas serta
memutuskan apakah koperasi dapat berjalan terus atau dibubarkaan.

Sesuai dengan pasal 23 UU No. 25 tahun 1992, Rapat Anggota mempunyai kewenangan
berikut:

1. Menetapkan anggaran dasar koperasi


2. Menetapkan kebijakan umum di bidang organisasi, manajemen dan usaha koperasi
3. Menetapkan pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian pengurus dan pengawas
4. Menetapkan rencana kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi
(RAPBKOP) serta pengesahan laporan keuangan
5. Menetapkan pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya
6. Menetapkan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU)
7. Menetapkan penggabungan, peleburan, pembagian dan pembubaran koperasi

Rapat anggota dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun untuk meminta
pertanggungjawaban pengurus dan pengawas dalam menjalankan tugasnya selama satu tahun
buku yang lampau sekaligus membicarakan kebijakan pengurus dan rencana kerja koperasi
untuk satu tahun baku yang akan datang.

2) Pengurus

Pengurus merupakan pelaksana kebijakan umum yang ditetapkan dalam rapat anggota.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut, pengurus dapat mengangkat mananjer beserta
karyawannya atas persetujuan Rapat Anggota.

Pasal 29 UU No. 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa:

1. Pengurus dipilih oleh rapat anggota dan dari kalangan anggota


2. Pengurus merupakan pemegang kuasa rapat anggota

49
3) Pengawas

Tugas utama pengawas adalah mencari dan menemukan kemungkinan penyimpangan-


penyimpangan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pengurus. Apabila ditemukan
penyimpangan, pengawas harus mencari solusi atas penyimpangan yang terjadi.

Pengawas dipilih oleh Rapat anggota dari kalangan anggota yang persyaratannya diatur
dalam anggaran dasar koperasi. Masa jabatan pengawas tidak boleh lebih dari 5 tahun. Jika
pengawas tidak mampu melaksanakan tugas pemeriksaan, koperasi dapat meminta bantuan jasa
audit pada akuntan public untuk melakukan pemeriksaan terhadap usaha koperasi, khususnya
dalam bidang keuangan.

Permodalan Koperasi
Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. Modal sendiri berasal
dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan hibah. Sedangkan modal pinjaman
berasal dari anggota, koperasi lain/anggotanya, bank dan lembaga, penerbitan obligasi dan surat
hutang lainnya, serta sumber lain yang sah.

1. Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib dibayarkan
oleh anggota kepada Koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak
dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
2. Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama yang wajib
dibayar oleh anggota kepada Koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu. Simpanan
wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
3. Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha,
yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian
Koperasi bila diperlukan.
4. Hibah adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang
diterima dari pihak lain yang bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat.

50
2. Aspek Hukum Yayasan

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 16/2001 mengatur bahwa yayasan adalah badan hukum
yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu
di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Kekayaan yang dipisahkan untuk pendirian yayasan dapat berupa berbagai jenis benda.
Untuk yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia, jumlah kekayaan awal yang berasal dari
pemisahan harta kekayaan pribadi paling sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
sedangkan untuk yayasan yang didirikan oleh orang asing, atau orang asing dengan orang
Indonesia, paling sedikit senilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas
(Chatamarrasyid, 2002).

1) Pembina

Undang-undang menentukan bahwa pembina yayasan adalah organ yang mempunyai


kewenangan tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-Undang yayasan
dan atau Anggaran Dasar yayasan, yang meliputi kewenangan mengenai:

a. Keputusan untuk melakukan perubahan anggaran dasar yayasan;


b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas
yayasan;
c. Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran Dasar yayasan;
d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan;
e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan yang
merupakan pendiri yayasan dan atau mereka yang berdasar keputusan rapat anggota Pembina
dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Untuk
menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang dapat
merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain, anggota pembina tidak boleh merangkap
sebagai anggota Pengurus, anggota Pengawas dan atau Pelaksana Kegiatan.

51
Dalam hal yayasan karena suatu sebab tidak mempunyai Pembina, maka, paling lambat
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kekosongan, anggota pengurus dan anggota
Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina.

2) Pengurus

Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan. Pengurus


yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan
yayasan, serta berhak mewakili yayasan baik diluar maupun di dalam pengadilan mengikat
yayasan dengan pihak lain serta menjalankan segala tindakan, baik yang mengenai
kepengurusan maupuan kepemilikan, akan tetapi dengan pembatasan bahwa;

a. Pengurus boleh mengalihkan kekayaan yayasan, meminjam atau meminjamkan


uang atas nama yayasan (tidak termasuk mengambil uang yayasan di Bank) dan
atau menjaminkan kekayaan yayasan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari atau bantuan dari Pembina.
b. Pengurus tidak boleh mengikat yayasan sebagai penjamin utang dan atau
membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain.
c. Pengurus tidak boleh mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi
dengan yayasan, Pembina, Pengurus dan atau Pengawas atau seorang yang
bekerja pada yayasan kecuali dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi
tercapainya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yayasan dan dengan
mendapat persetujuan tertulis dari Pembina.

Untuk dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu dan
cakap melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana halnya dengan larangan bagi Pembina maka
Pengurus dilarang untuk merangkap sebagai Pembina dan Pengawas yayasan. Pengurus
yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Susunan Pengurus
sekurang-kurangnya terdiri atas; seorang ketua; seorang sekretaris; dan seorang bendahara.

3) Pengawas

Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi
nasehat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Menurut Undang-Undang

52
Yayasan, yayasan harus memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas.
Adapun wewenang, tugas dan tanggung jawab Pengawas yayasan sepenuhnya diserahkan
dalam Anggaran Dasar Yayasan. Pengawas yayasan wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan.

Sehubungan dengan kewenangan Pengawas yayasan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan memberikan hak kepada Pengawas yayasan, untuk
memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasan yang jelas.
Pemberhentian sementara yang dilakukan oleh pengawas yayasan harus dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, dilaporkan secara
tertulis kepada Pembina. Selanjutnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
laporan diterima. Pembina wajib memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi
kesempatan untuk membela diri. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah pembelaan diri,
Pembina wajib mencabut pemberhentian sementara dan atau memberhentikan anggota
Pengurus yang bersangkutan.

Apabila Pembina tidak melaksanakan hal tersebut maka pemberhentian sementara


tersebut batal demi hukum dan Pengurus yayasan yang diberhentikan sementara tersebut
kembali memangku jabatan dan karenanya melaksanakan kembali tugasnya sebagai Pengurus
yayasan. Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
menentukan bahwa mereka yang dapat diangkat menjadi pengawas adalah orang-orang yang
mampu dan cakap untuk melaksanakan perbuatan hukum. Setiap anggota Pengawas yang
dinyatakan bersalah dalam melaksanakan pengawasan yayasan yang menyebabkan kerugian
yayasan, masyarakat dan negara berdasarkan putusan tetap Pengadilan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak putusan tersebut, tidak dapat menjadi Pengawas. Jabatan Pengawas tidak
dapat dirangkap dengan jabatan lain seperti sebagai Pengurus atau Pembina, sebagaimana
diatur dalam Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan bahwa Pengawas Yayasan
diangkat oleh Pembina berdasarkan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pengawas dapat diberhentikan
sewaktu-waktu dengan keputusan rapat Pembina, dengan menyebutkan alasannya. Ketentuan
mengenai susunan, tata cara pengangkatan, pemberhentian, penggantian Pengawas diatur
dalam Anggaran Dasar yayasan.

53
Dalam hal terjadi penggantian pengawas Pasal 45 Undang- Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
menyebutkan bahwa, Pembina wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian.

Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan bahwa
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan
Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan
pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebut dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.

3. Aspek Hukum Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan
undang-undang (Undang-undang Nomor 40 tahun 2007).

Modal dan Saham


a. Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham
b. Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
c. Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan dan
disetor penuh.
d. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam
bentuk lainnya.
e. Apabila penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain yang bukan uang,
penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan
sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan.

Saham PT
a. Saham PT dikeluarkan atas nama pemiliknya

54
b. Saham merupakan benda bergerak
c. Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak
d. Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak
ditentukan lain dalam anggaran dasar.
e. Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya
f. Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
• menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
• menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
• menjalankan hak lainnya berdasarkan undang-undang ini.

RUPS

Perseroan
Terbatas

Direksi Komisaris

Susunan organisasi PT terdiri dari direksi, komisaris dan RUPS.

RUPS
• RUPS Berwenang untuk:
a) Menentukan pengurus Perseroan (Direksi)
b) Menentukan Dewan Komisaris yang bertugas untuk mengawasi serta memberi
nasehat kepada Direksi
• Hanya pemegang saham yang mempunyai hak suara dalam RUPS
• RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran
dasar

55
• Wajib dilaksanakan minimal 1 kali setahun oleh direksi, paling lambat 6 bulan setelah
tutup buku (RUPS biasa).
• Dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan (RUPS luar biasa)

Direksi
a. Bertugas mengatur dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan usaha Perseroan (to
manage the business)
b. Bertugas Mengelola kekayaan Perseroan (to administrate the assets)
c. Berwenang mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan (acting
(representation/agent) on behalf the PT)

Komisaris
a. Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan yang dijalankan oleh Direksi demi
kepentingan perseroan
b. Bertugas memberi nasehat pada direksi
c. Komisaris bukan wakil pemegang saham
d. Komisaris berhak meminta segala keterangan dari Direksi dan Direksi wajib
memberikan

56
BAB 7

PENGANTAR HUKUM PASAR MODAL

1. Definisi Pasar Modal

Pasar modal pada hakekatnya adalah pasar yang tidak berbeda jauh dengan pasar
tradisional yang selama ini kita kenal, dimana ada pedagang, pembeli dan juga tawar menawar
harga. Pasar modal dapat juga diartikan sebagai sebuah wahana yang mempertemukan pihak
yang membutuhkan dana dengan pihak yang menyediakan dana sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal mempunyai
posisi yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan suatu pasar modal
sangat tergantung dari kinerja perusahaan efek. Untuk mengkoordinasikan modal, dukungan
teknis, dan sumber daya manusia dalam pengembangan Pasar Modal diperlukan suatu
kepemimpinan yang efektif. Perusahaan-perusahaan harus menjalin kerja sama yang erat untuk
menciptakan pasar yang mampu menyediakan berbagai jenis produk dan alternatif investasi
bagi masyarakat. Di pasar modal terdapat berbagai macam informasi, seperti laporan keuangan,
kebijakan manajemen, rumor di pasar modal, prospektus, saran dari broker, dan informasi
lainnya.

Definisi mengenai pengertian pasar modal yang dikutip dibawah ini pada dasarnya tidak
berbeda jauh satu sama lainnya.

Pengertian pasar modal menurut Undang-undang Pasar Modal no. 8 tahun 1995:

”Pasar Modal yaitu sebagai suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum
dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.”

Pasar modal merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penawaran umum dan
perdagangan efek,perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. pasar Modal menyediakan
berbagai alternatif bagi para investor selain alternatif investasi lainnya, seperti : menabung di
bank, membeli emas, asuransi, tanah dan bangunan, dan sebagainya. Pasar Modal bertindak
sebagai penghubung. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung antara para investor dengan

57
perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui jangka
panjang seperti obligasi, saham, dan lainnya. Berlangsungnya fungsi pasar modal (Bruce Lliyd,
1976), adalah meningkatkan dan menghubungkan aliran dana jangka panjang dengan “kriteria
pasarnya” secara efisien yang akan menunjang pertumbuhan riil ekonomi secara keseluruhan.
Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan
pasar modal sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan
Efek Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan
profesi yang berkaitan dengan bursa efek.
Menurut Husnan (2003) adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka
panjang yang bisa diperjual-belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik
yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta. Menurut
Usman (1990:62), umumnya surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal dapat
dibedakan menjadi surat berharga bersifat hutang dan surat berharga yang bersifat pemilikan.
Surat berharga yang bersifat hutang umumnya dikenal nama obligasi dan surat berharga yang
bersifat pemilikan dikenal dengan nama saham. Lebih jauh dapat juga didefinisikan bahwa
obligasi adalah bukti pengakuan hutang dari perusahaan, sedangkan saham adalah bukti
penyertaan dari perusahaan. Pengertian pasar modal secara umum adalah suatu sistem
keuangan yang terorganisasi, termasuk didalamnya adalah bank-bank komersial dan semua
lembaga perantara dibidang keuangan, serta keseluruhan surat-surat berharga yang beredar.
Dalam arti sempit, pasar modal adalah suatu pasar (tempat, berupa gedung) yang disiapkan
guna memperdagangkan saham-saham, obligasi-obligasi, dan jenis surat berharga lainnya
dengan memakai jasa para perantara pedagang efek (Sunariyah, 2000 : 4).
Dilihat dari pengertian akan pasar modal diatas, maka jelaslah bahwa pasar modal juga
merupakan salah satu cara bagi perusahaan dalam mencari dana dengan menjual hak
kepemilikkan perusahaan kepada masyarakat. Pasar Modal memiliki peran penting bagi
perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu pertama sebagai
sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari
masyarakat pemodal (investor). Dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk
pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain, kedua pasar modal
menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrument keuangan seperti saham,
obligasi, reksa dana, dan lain-lain. Dengan demikian, masyarakat dapat menempatkan dana
yang dimilikinya sesuai dengan karakteristik keuntungan dan risiko masing-masing instrumen.
Struktur pasar modal Indonesia menurut undang-undang pasar modal no. 8 tahun 1995
dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yang bernama PT. Bursa Efek Indonesia dan saham-

58
sahamnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan anggota bursa efek. Menteri Keuangan
merupakan lembaga tertinggi yang berada dalam struktur pasar modal Indonesia. Untuk
memudahkan pengawasannya, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang diberi nama
Badan Pengawas Pasar Modal yang dalam tugasnya antara lain melakukan pembinaan,
pengawasan dan pengaturan sehari-hari pasar modal.
Struktur Pasar Modal Indonesia adalah sebagai berikut:

1. BAPEPAM
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (disingkat Bapepam-LK) adalah sebuah
lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur, dan
mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan
dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan. Bapepam-LK merupakan penggabungan
dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
Kewenangan BAPEPAM kini telah diambil alih oleh OJK.

2. Bursa Efek
Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana
untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-pihak lain dengan tujuan
memperdagangkan Efek di antara mereka. Sebagai organisasi yang mengatur dirinya sendiri
(Self-Regulating Organization/SRO), Bursa Efek wajib menetapkan peraturan keanggotaan,
pencatatan, perdagangan dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan Bursa Efek. Bursa Efek
Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX)) merupakan bursa hasil
penggabungan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES). Demi
efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabung Bursa Efek
Jakarta sebagai pasar saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif.
Bursa hasil penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007.

3. Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP)


Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan
penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. Sebagai organisasi yang mengatur dirinya sendiri
(Self Regulating Organization/SRO), LKP wajib menetapkan peraturan penjaminan, kliring
transaksi bursa dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan LKP.

59
4. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP)
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan
Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. Sebagai organisasi
yang mengatur dirinya sendiri (Self Regulating Organization/SRO), LPP wajib menetapkan
peraturan penyimpanan, penyelesaian transaksi bursa dan hal-hal lainnya yang berkaitan
dengan LPP.

5. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)


PT KSEI mendapatkan izin usaha pada tanggal 11 Nopember 1998. Lembaga tersebut
melaksanakan fungsi penyimpanan dan penyelesaian yang sebelumnya dikerjakan oleh PT
Kliring Depositori Efek Indonesia (PT KDEI) PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)
sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) di Pasar Modal Indonesia sesuai
ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyediakan jasa
custodian sentral dan penyelesaian transaksi Efek yang teratur, wajar dan efisien. KSEI berdiri
di Jakarta, pada tanggal 23 Desember 1997 dan memperoleh izin operasional sebagai LPP pada
tanggal 11 November 1998. Dalam kelembagaan Pasar Modal di Indonesia, KSEI merupakan
salah satu Self Regulatory Organization (SRO), selain Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan
Penjaminan. Sesuai fungsinya, KSEI memberikan layanan jasa yang meliputi: administrasi
Rekening Efek, penyelesaian transaksi Efek, distribusi hasil corporate action dan jasa-jasa
terkait lainnya, seperti: Post Trade Processing (PTP) dan penyediaan laporan-laporan jasa
kustodian sentral.

2. Sejarah perkembangan pasar modal di Indonesia

Perkembangan pasar modal di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1912.
Hanya saja pada waktu itu suasana politik dan ekonomi kurang mendukung pertumbuhan pasar
modal tersebut. Aktivitas di pasar modal sempat berhenti beberapa kali, dan baru aktif kembali
beberapa tahun kemudian. Harus dibenarkan juga, bahwa pasar modal merupakan produk dari
sistem perekonomian kapitalis. Namun untuk pasar modal Indonesia sendiri, tujuan berdirinya
telah disisipi dengan muatan idealisme. Pasar modal diharapkan mampu memberikan alternatif

60
sumber dana eksternal yang berasal dari masyarakat bagi perusahaan, sehingga kredit sektor
perbankan dapat dialihkan untuk pembiayaan usaha industri kecil dan menengah.

Pasar modal merupakan salah satu sarana pembentuk modal dan alokasi dana yang
diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat demi menunjang pembiayaan
pembangunan nasional. Dalam pelaksanaannya, pasar modal juga bisa diartikan sebagai pasar
yang memperjual-belikan produk berupa dana yang bersifat abstrak. Sementara dalam bentuk
konkritnya, produk yang diperjual-belikan di pasar modal berupa lembar surat-surat berharga
di bursa efek (Irsan Nasruddin, 2001).

Peran pasar modal ini telah menampakkan hasil dengan semakin dikenalnya pasar
modal di Indonesia sebagai salah satu alternatif sumber dana eksternal bagi perusahaan dan
juga sebagai salah satu alternatif investasi bagi investor. Agar terus perkembang, pemerintah
telah mengeluarkan berbagai macam peraturan khusus bagi pasar modal.

Di Indonesia Pasar modal tidak hanya bertujuan untuk menjembatani aliran dana dari
pihak yang memiliki dana dengan pihak yang memerlukan dana, namun lebih luas dari itu.
Pasar modal di Indonesia memiliki cakupan tujuan dan misi yang disesuaikan dengan idealisme
bangsa Indonesia yang berusaha untuk menjalankan perekonomian yang berasaskan
kekeluargaan.

Demi mewujudkan tujuan pasar modal tersebut, mereka mendasari keinginan itu pada
tiga aspek utama. Pertama, mempercepat proses perluasan partisipasi masyarakat dalam
pemilikan saham-saham perusahaan. Kedua, pemerataan pendapatan masyarakat melalui
pemilikan saham. Ketiga, menggairahkan masyarakat dalam mengerahkan dan penghimpunan
dana untuk digunakan secara produktif.

Dimulai tanggal 14 Desember 1912, adalah waktu pasar modal Indonesia didirikan oleh
pemerintah kolonial Balanda. Saat itu, perdagangan sekuritas telah dimulai dengan pendirian
bursa di Batavia (Jakarta). Bursa Batavia tersebut merupakan cabang Amsterdamse
Effectenbuerus, sementara penyelenggaranya adalah Verreniging Voor de Effectenhandel.
Sekuritas yang diperdagangkan adalah saham dan obligasi perusahaan-perusahaan Belanda
yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda serta
sekuritas Belanda lainnya. (Fuady Munir, 2003).
Tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan bursa di Semarang dan
Surabaya, untuk mendukung perkembangan bursa yang cukup cepat. Semua anggota bursa

61
adalah perusahaan-perusahaan swasta Belanda. Sedangkan yang menjadi investor adalah orang
belanda dan sebagian kecil orang Arab dan Cina. Artinya, praktis bursa efek pada saatnya masih
untuk kepentingan masyarakat Belanda. Tetapi pada tahun 1939, Perkembangan pasar modal
terhenti akibat perang dunia 2. Akhirnya, 10 Mei 1940 bursa efek di Indonesia resmi ditutup.
Kemudian, tanggal 23 Desember 1940, bursa efek di Batavia (Jakarta) sempat dibuka beberapa
waktu, tetapi ditutup kembali ketika Jepang masuk Indonesia. Tahun 1950 berikutnya,
pemerintah Indonesia mulai menerbitkan obligasi.

3 Juni 1952, pasar modal kembali digiat kembali dengan dibukanya kembali Bursa Efek
Jakarta (BEJ). Ini didorong oleh penerbitan obligasi pemerintah dua tahun sebelumnya.
Aktivitas pasar modal mulai berkembang sampai tahun 1958. Pasar menjadi lesuh yang
disebabkan oleh banyaknya warga Belanda yang meninggalkan Indonesia dan dilakukannya
nasionalisme terhadap perusahaan Belanda di Indonesia. Hal itu terjadi sampai dengan
berakhirnya masa pemerintahan Order Lama.

Pada masa Order Baru, pengaktifan kembali pasar modal Indonesia dimulai dengan
pembentukan Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM). Kemudian, 10 Agustus 1977,
Pembukaan resmi pasar modal dilakukan.Dari tahun 1977 sampai tahun 1988, pertumbuhan
pasar modal sangat lamban karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah. Tercatat
hanya 24 perusahaan yang melakukan emisi saham di bursa efek dengan nilai Rp 129,4 miliar
dan 3 perusahaan melakukan emisi obligasi senilai 535,7 miliar.Selanjutnya, pemerintah
mengeluarkan deregulasi terkait dengan pasar modal di Indonesia, yaitu: Paket Desember 1987,
Paket Oktober 1988, Paket Desember 1988, dan Paket September 1997. Semua itu dilakukan
pemerintah untuk menggairahkan perdagangan bursa efek di Indonesia.

Pada prinsipnya peraturan-peraturan yang di cetuskan oleh pemerintah tersebut,


merupakan langkah penyesuaian terhadap peraturan-peraturan sebelumnya untuk mendorong
pertumbuhan pasar modal yang sehat dan kuat. Penyesuaian kebijaksanaan tersebut
diantaranya, pertama perlindungan terhadap investor dengan mewajibkan persyaratan
keterbukaan (disclosure) yang lebih baik kepada emiten. Kedua, proses emisi sekuritas yang
lebih kuat. Ketiga, upaya pengembangan pasar yang lebih likuid. Peningkatan profesionalisme
lembaga penunjang (Bismar Nasution, 2010).

Paket Kebijaksanaan Desember 1987 (Pakdes 1987), berisi kebijakan yang


menyederhanakan proses emisi sekuritas, membuka kesempatan yang lebih luas bagi investor

62
asing, memperkenalkan adanya saham atas tunjuk serta memberi kesempatan bagi perusahaan
baru yang belum mempunyai laba untuk mencari modal di Bursa Paralel Indonesia (BPI).
Penyederhanaan proses penerbitan saham dan obligasi dilakukan dengan melonggarkan
persyaratan bagi perusahaan yang ingin go public dengan tidak mengharuskan perolehan laba
sebesar 10% dari modal sendiri dalam dua tahun buku terakhir berturut-turut. Proses emisi yang
dilakukan BAPEPAM juga dipercepat menjadi 90 hari apabila persyaratan-persyaratan sudah
dipenuhi.

Paket Oktober 1988 (Pakto 88), berisi tentang penetapan pajak yang sama bagi bunga
deposito dan dividen saham sebesar 15%. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan daya tarik investasi di pasar modal. Selain itu, Pakto 88 juga memuat tentang
ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) pada sektor perbankan, sehingga
mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dananya di pasar modal.

Paket Desember 1988 (Pakdes 88), merupakan kebijakan pemerintah untuk memberi
kesempatan bagi swasta nasional untuk menyelenggarakan bursa swasta dan menerapkan
sistem company listed. Dengan adanya sistem tersebut, maka perusahaan yang telah
mencatatkan sebagian sahamnya di bursa, dapat menjual seluruh saham yang ditempatkan dan
disetor penuh secara langsung tanpa melalui penjamin emisi sekuritas. Sistem tersebut akan
membuat volume saham yang diperdagangkan dibursa efek menjadi lebih besar. Paket
September 1997, berisi tentang kebijakan pemerintah untuk menghapus penentuan batas
maksimum pembelian saham oleh investor asing kecuali bagi saham-saham perbankan, guna
mendorong investor asing melakukan perdagangan di pasar modal Indonesia.

Melalui kebijakan tersebut, pasar modal Indonesia mengalami perkembangan yang


cukup pesat. Tetapi, dalam perkembangan berikutnya, campur tangan pemerintah mulai
dikurangi dan mekanisme perdagangan di bursa akan mulai diserahkan kepada mekanisme
pasar. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan tujuan peningkatan
kelancaran dan efisiensi perdagangan, BEJ mulai mengembangkan suatu sistem perdagangan
yang dikenal dengan istilah “scripless trading” atau sistem perdagangan tanpa warkat. Adalah
sistem yang penyelesaian transaksinya dilakukan hanya dengan pemindahbukuan atau book-
entry settlement. Dengan kata lain, tidak perlu lagi sertifikat sekuritas yang secara fisik
berpindah tangan dari penjual ke pembeli. Seluruh sertifikat sekuritas yang ada akan
dikonversikan menjadi data elektronik dan tersimpan dalam lembaga penyimpan (kustodian)
yang terpusat (Sumantoro, 1990).

63
Tidak sampai di situ saja, pasar modal di Indonesia terus berkembang ditandai dengan
terbentuknya berbagai organisasi yang membentuk struktur pasar modal itu sendiri. Struktur
pasar modal Indonesia ini menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1995, menjelaskan bahwa
kebijakan di bidang pasar modal diterapkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan pembinaan,
pengaturan, dan pengawasan sehari-hari dilaksanakan oleh BAPEPAM, yang kini telah diambil
alih kewenangannya oleh OJK

Berikut Lembaga-Lembaga Pembentuk Struktur Pasar Modal di Indonesia tersebut:

Pertama, bursa efek. Adalah lembaga yang menyelenggarakan kegiatan perdagangan


sekuritas. Perusahaan sekuritas bergabung bersama membentuk bursa efek. Organisasi tersebut
mengatur dirinya sendiri dengan mengeluarkan berbagai peraturan serta memastikan bahwa
anggotanya berperilaku sedemikian rupa sehingga memberikan persepsi positif tentang pasar
modal kepada masyarakat. Bursa diharapkan mampu menciptakan suatu kondisi yang dapat
mendorong peranan perusahaan sekuritas yang pada akhirnya akan menarik minat pemodal
untuk berinvestasi secara aman, tertib dan murah di pasar modal.
Kedua, Lembaga Kliring dan Penjamin (LKP). Adalah lembaga yang berperan sebagai
pelaksana kliring dan menjamin penyelesaian transaksi. LKP menjamin penyelesaian transaksi
di bursa efek dengan bertindak sebagai ‘counter party’ dari anggota bursa yang melakukan
transaksi. Jaminan tersebut dapat berupa dana, sekuritas dan jaminan Bank Kustodian untuk
menyelesaikan transaksi tertentu. Dengan sistem jaminan tersebut, maka pemesanan hanya
dapat memasuki sistem perdagangan jika LKP menyetujui bahwa terdapat cukup jaminan untuk
menyelesaikan transaksi. Anggota bursa wajib menyelesaikan transaksi dengan menyerahkan
dana dan sekuritas pada rekening sukeritas di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP).
Jika anggota bursa gagal menyelesaikan transaksi maka LKP akan membeli atau menjual
sekuritas dengan menggunakan prinsip pembayaran dan penyerahan seketika atau sering di
sebut dengan istlah ‘cash and carry’.
Ketiga, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP). Adalah lembaga yang
memberikan jasa penitipan kolektif yang aman dan efisien kepada Bank Kustodian, LKP,
perusahaan sekuritas, serta pemodal institusional. Jasa yang diberikan harus memenuhi standar
internasional dan memberikan keamanan yang maksimal bagi pengguna jasa LPP.

3. Dasar Hukum/Kerangka Hukum Pasar Modal Indonesia


a. Undang-Udang Nomor 8 Tahun 1995, tentang Pasar Modal.

64
b. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995, tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995, tentang Tata Cara Pemeriksaan di
Bidang Pasar Modal.
d. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 645/KMK.010/ 1995, tentang Pencabutan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548 Tahun 1990 tentang Pasar Modal.
e. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 646/KMK.010/ 1995, tentang Pemilikan
Saham atau Unit Penyertaan Reksadana oleh Pemodal Asing.
f. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 647/KM K.010/ 1995, tentang Pembatasan
Pemilikan Saham Perusahaan Efek oleh Pemodal Asing.
g. Keputusan Presiden Nomor 117/1999 tentang Perubahan atas Keppres Nomor 97/
1993 tentang Tata cara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden Nomor 115/1998.

4. Peranan pasar modal bagi pembanguann ekonomi

Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah yang tidak
sedikit. Dalam pelaksanaannya pembagunan ekonomi suatu negara diarahkan untuk
berlandaskan kepada kemampuan sendiri, disamping memanfaatkan dari sumber lainnya
sebagai pendukung. Sumber pembiayaan pembangunan ekonomi dari luar tidak mungkin
selamanya diandalkan untuk pembangunan secara merata. Oleh sebab itu, perlu ada usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengarahkan dana investasi yang bersumber dari dalam negeri, yaitu
tabungan masyarakat, tabungan pemerintah, dan penerimaan devisa (Bismar Nasution, 2001).
Salah satu ciri Negara yang sedang berkembang adalah tingkat tabungan masyarkata
masih rendah, sehingga dana untuk investasi menjadi tidak mencukupi ( Bruce Lloyd, 1976).
Untuk mengatasi kelangkaan dana itu banyak negara yang sedang berkembang terlibat dengan
pinjaman luar negeri. Meskipun disadari tabungan masyarakat dinegara berkembang masih
rendah dibanding dengan negara-negara maju, tetapi yang lebih penting dalam era
pembangunan ini adalah mengusahakan efektivitas pengarahan tabungan masyarakat itu
kepada sektor-sektor yang produktif. Dalam rangka meningkatkan pengerahan tabungan
masyarakat itu, lembaga keuangan perbankan maupun non-perbankan perlu dituntuk bekerja
keras lagi untuk meningkatkan penarikan dana masyarakat.

65
Pasar modal dipandang sebagai salah satu sarana efektif untuk mempercepat
pembangunan suatu negara. Hal ini dimungkinkan Karena pasar modal merupakan wadah yang
dapat menggalang pengerahan dana jangka panjang dari masyarakat untuk disalurkan ke sektor-
sektor produktif. Apabila pengerahan dana masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan
maupun pasar modal sudah dapat berjalan dengan baik, maka dana pembangunan yang
bersumber dari luar negeri makin lama makin dikurangi. Selain itu , perusahaan-perusahaan
dapat menarik dana pinjaman jangka panjang dengan menerbitkan obligasi . Sedangkan untuk
dan equity dengan menjual saham. Dalam kondisi yang lain karena batasan leverage, suatu
perusahaan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank.

66
BAB 8

PENGANTAR HUKUM PENANAMAN MODAL

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia. Menurut Komaruddin, yang dikutip oleh Pandji Anoraga merumuskan
penanaman modal dari sudut pandang ekonomi dan memandang investasi sebagai salah satu
faktor produksi disamping faktor produksi lainnya,

Pengertian investasi dapat di bagi menjadi tiga,yaitu:

1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau suatu penyertaan lainnya.
2. Suatu tindakan memberi barang-barang modal.
3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa mendatang.

Selain pembagian penanaman modal yang di kenal dalam Undang-Undang No. 25


Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu yang membagi penanaman modal dengan
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, kegiatan penanaman modal pada
hakikatnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut (Kairupan, 2013):

1. Investasi langsung (direct invesment) diartikan sebagai kegiatan penanaman modal


yang melibatkan pengalihan dana proyek yang memiliki jangka waktu panjang
dengan tujuan memperoleh pendapatan reguler, partisipasi dari pihak yang
melakukan pengalihan dana dan suatu risiko usaha.

Investasi langsung ini dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan


dengan mitra lokal, melakukan kerja sama operasi tanpa membentuk perusahaan
baru; mengonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan
local, memberikan bantuan teknis dan material maupun dengan memberikan lisensi.

2. Investasi Tak Langsung (Portofolio Investment) diartkan sebagai kegiatan


penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal
dan di pasar uang. Penanaman modal ini disebut dengan penanaman modal jangka
pendek karena pada umumnya, jual beli saham atau mata uang dalam jangka waktu

67
yang relatif singkat tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan/atau mata uang yang
hendak mereka jual.

Perbedaan antara investasi langsung dengan investasi tidak langsung adalah sebagai
berikut (Kairupan, 2013):

1. Pada investasi tak langsung, pemegang saham tidak memiliki kontrol pada pengelolaan
perseroan sehari-sehari.
2. Pada investasi langsung, biasanya resiko ditanggung sendiri oleh pemegang saham
sehingga pada dasarnya tidak dapat menggugat perusahaan yang menjalankan
kegiatannya.
3. Kerugian pada investasi tidak langsung, pada umumnya tidak di lindungi oleh hukum
kebiasaan Internasional.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah
ditentukan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

1. Asas Kepastian hukum,

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan
tindakan dalam kegiatan penanaman modal.

2. Asas Keterbukaan

Asas keterbukaan adalah asas yang terbuka atas hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

3. Asas Akuntabilitas

Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
penyelenggaraan penanaman modal harus di pertanggung jawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.

4. Asas Perlakuan Yang Sama dan Tidak Membedakan Asal Negara


Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan

68
pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik
antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.

5. Asas Kebersamaan

Asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara
bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

6. Asas Efisiensi Berkeadilan

Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal
dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha
yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

7. Asas Berkelanjutan

Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya


proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan
kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa
datang.

8. Asas Berwawasan Lingkungan

Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan
tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan
hidup.

9. Asas Kemandirian

Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya
modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

10. Asas Keseimbangan Kemajuan dan Kesatuan Ekonomi Nasional

69
Di samping asas-asas hukum diatas, dalam Agreement on Trade Related Investment
Measures (TRIMs) telah di tentukan sebuah asas yaitu asas nondiskriminasi. Asas
nondiskriminasi, yaitu asas di dalam penanaman investasi tidak membedakan antara
investasi asing maupun lokal mengingat investasi itu bersifat tidak mengenal batas
negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa investasi yang ditanamkan oleh
investor tidak dibedakan antara investasi asing dengan investasi lokal.

Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya
menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah, dalam kesatuan ekonomi nasional.

Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan Penanaman Modal

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, dalam Bab IV diatur mengenai bentuk
badan usaha dan kedudukan Penanaman modal, adalah sebagai berikut:

1. Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang
berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum
indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
3. Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam
bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:

a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.


b. Membeli saham.
c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

70
BAB 10

PENGANTAR HUKUM KEPAILITAN

1. Pengertian dan Tujuan dari Hukum Kepailitan

Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran (surseance) pada biasanya

disamakan dengan problem utang-piutang antara seseorang yang berutang (debitor) dengan

beberapa orang yang memiliki piutang (kreditor). Isitlah kepailitan merupakan kata benda yang

berasal dari kata “pailit”. “Pailit” sendiri merupakan kata yang diadopsi dari “failit” dalam

bahasa Belanda. Dari istilah “failit” muncul “faillissement” yang apabila diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi kepailitan. Dari istilah “faillissement” muncul istilah

“faillissementwet” (Undang-Undang Kepailitan Belanda) dan “faillissements-verordening”

(Undang-Undang Kepailitan Hindia-Belanda). Faillissement dan kepailitan merupakan

padanan dari istilah bankruptcy atau insolvency dalam bahasa Inggris.

Dalam bahasa Inggris kepailitan (bankrupt), yaitu kondisi dimana subjek hukum

perseorangan maupun badan hukum tidak mampu membayar (unable to pay) utangnya dalam

jangka waktu yang telah ditentukan (jatuh tempo) kepada pihak ketiga dalam hal ini para

kreditornya. Dalam bahasa Italia, kepailitan dinamakan banca rotta, yang berarti meja patah.

Dalam abad ke-16, meja yang patah merupakan simbol atau lambing peminjaman uang yang

insolven. Tetapi yang pasti, kepailitan merupakan kondisi yang tidak menyenangkan karena

akan menimbulkan berbagai kesulitan, seperti kesulitan untuk mendapatkan kredit, kehilangan

pekerjaan dan kemanfaatan pension (pension benefits) (Sinaga, 2012).

Keadaan pailit atau bangkrut merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi kepada

setiap subjek hukum, baik subjek hukum manusia atau badan hukum (legal entity, legal

person). Kepailitan tidak mengenal kaya dan miskin, dalam praktiknya banyak juga perusahaan

multinasional atau seorang miliader yang mengalami kepailitan. Charles J. Tabb menyatakan

bahwa: “bankruptcy has become a central feature in our society, touching the lives of almost

71
everyone”. Berdasarkan pendapat dari Tabb tersebut, patut kita renungkan kembali adagium

ubi societas, ibi ius yang dapat diartikan sebagai di mana ada masyarakat di situ terdapat

hukum. Apabila dikaitkan dengan keberadaan dari hukum kepailitan, maka jelas bahwa hukum

kepailitan merupakan suatu bagian dari sistem hukum yang tidak dapat diabaikan dalam

kehidupan bermasyarakat.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kepailitan itu? Dalam Ensiklopedi Ekonomi

Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut

adalah: “seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau

warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya” (Fuady, 2014). Dalam

praktiknya, yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh

harta debitor agar tercapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor agar harta tersebut

dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditor.

Louis Edaward Levinthal, dalam tulisannya yang berjudul The Early History of

Bankrupty Law yang dipublikasikan oleh University of Pennsylvania Law Review and

American Register pada tahun 1918 dengan tegas menolak memberikan pengertian atau definisi

dari kepailitan dengan alasan sebagai berikut:

“it is well might impossible to define bankruptcy as an institution of jurisprudence in

terms that will apply with equal accuracy to various systems that have been in force

among different people in different systems. It is, therefore, obvious that the definition

of bankruptcy usually given by authors threating specially of one system would not be

a correct description of the term as used in all others sytems”.

Menurut Levinthal, pengertian kepailitan yang didasarkan pada satu sistem hukum saja

tidak tepat untuk menggambarkan makna yang sesungguhnya dari kepailitan sehingga dapat

diberlakukan bagi semua sistem hukum yang berbeda. Alasannya karena di beberapa sistem

hukun, hukum kepailitan hanya diberlakukan terbatas pada golongan pedagang dan ada pula

72
sistem hukum yang memberlakukan hukum kepailitan pada semua subjek hukum tanpa

terkecuali. Di sisi lain, ada sistem hukum yang membebaskan debitor yang beritikad baik dari

utang-utangnya (debt discharge), tetapi dalam sistem hukum yang lainnya hal yang demikian

tidak dipraktkkan.

Lalu apa bedanya kepailitan dengan insolvensi? Sutan Remy Sjahdeini berpendapat

bahwa kedua istilah tersebut berbeda satu sama lain namun saling berkaitan. Ibarat dua sisi

mata uang, berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Sutan Remy selanjutnya menjelaskan bahwa

dalam pengertian yang berbeda itu, seorang debitor yang sudah berada dalam keadaan insolven,

dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan

debitor yang bersangkutan. Insolvensi adalah suatu keadaan keuangan (a financial state) suatu

subjek hukum perdata, sedangkan kepailitan (bankruptcy) adalah keadaan hukum (legal state)

dari suatu subjek hukum. Suatu debitor hanya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan apabila

debitor telah berada dalam keadaan insolven, tetapi jangan terjadi sebaliknya, debitor yang telah

insolven tidak serta merta demi hukum menjadi pailit, tetapi harus terlebih dahulu dimohonkan

kepailitannya kepada pengadilan.

Apabila dilihat dari perspektif normatif, kepailitan telah diatur oleh undang-undang.

Ketentuan Pasal 1 faillissementsverordening (Stb. 1905-217 Jo. 1906-348), yang menyebutkan

kepailitan sebagai:

“Setiap berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas

laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditor),

dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaaan pailit”.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1998

disebutkan bahwa:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

73
dengan putusan pengadilan yang berwenang seabgaimana dimaksud dalam

Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau

lebih kreditornya”.

Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

dinyatakan kepailitan merupakan:

“Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dapat dinyatakan

dalam keadaan pailit adalah:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan, bai katas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Adapun tujuan yang terkandnung dalam Undang-undang Kepailitan yang tersebut di

atas secara tersirat adalah untuk melakukan proses likuidasi yang lebih cepat terhadap harta

kekayaan debitor yang akan dinyatakan pailit (Suci & Poesoko, 2016). Hal ini bertentangan

dengan filosofi dari hukum kepailitan yang pada dasarnya hanya debitor yang insolven, yakni

debitor yang lebih besar utangnya daripada jumlah asetnya.

Stefan Albrecht Riesenfield sebagaimana yang dikutip oleh Sutan Remy dari

Encylopaedia of Britannica adalah:

“Bankruptcy laws were enacted to provide and govern an orderly and equitable

liquidation of the estates of insolvent debtors.”

Selanjutnya Riesenfield menyatakan:

74
“Because in the past bankruptcy was coupled with the loss of civil rights and

imposition of penalties upon fraudulent debtors, the designation bankrupt came

to be associated with dishonesty, casting a stigma on persons who were declared

bankrupts.”

Sebagaimana dikutip dari Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan

sebagai berikut:

“All bankruptcy laws, however no matter when or where devised and enacted,

has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable

division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in the

second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental

to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect

the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third

object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the

discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this

is by no means a fundamental feature of the law.”

Dalam konteks Indonesia, hukum kepailitan Indonesia dibuat sebagai pelaksanaan

Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Apabila debitor sudah insolven sehingga jumlah semua

utang debitor telah lebih besar daripada nilai semua asetnya, maka penjualan semua asetnya

tidak akan mencukupi untuk melunasi semua utangnya kepada para kreditornya. Untuk

menghindarkan para kreditor berebutan saling mendahului menyita dan menjual aset debitor,

yaitu dalam rangka para kreditor tersebut melaksanakan ketentuan mengenai hak perdatanya

yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, hukum perlu mengatur mengenai cara

pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.

Pasal 1131 KUHPerdata menentukan:

75
“Segala kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak begerak, bak

yang telah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari, merupakan

jaminan untuk semua perikatannya.”

Sementara itu, Pasal 1132 menentukan:

“Segala harta kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua

kreditornya; pendapatan penjualan segala harta kekayaan debitor dibagi-bagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang kreditor, kecuali

apabila di antara para kreditor ada alasan-alasan yang sah menurut hukum untuk

didahulukan.”

Untuk menghindarkan para kreditor berebutan saling mendahului untuk menguasai dan

menjual harta kekayaan (aset) debitor sehingga timbul ketidakadilan mengenai keseimbangan

pembagian harta kekayaan (aset) debitor, maka hukum membentuk suatu undang-undang

kepailitan.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya

pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:

1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa

kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut

haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan

debitor atau para kreditor lainnya;

3. Untuk menghindarinya adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah

seorang kreditor dan debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi

keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor

lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk menyembunyikan

76
harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para

kreditor.

Ketiga hal itulah yang menurut pembuat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan tujuan

dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan produk hukum nasional yang sesuai

dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.

3. Sejarah Hukum Kepailitan Indonesia

Kendati tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, namun hukum

kepailitan termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Apabila ingin menelusuri sejarah

hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia, maka kita juga harus menelusuri sejarah hukum

dagang yang berlaku di negeri Belanda khususnya faillissement wet (FW) (Sunarmi, 2010).

Berdasarkan sejarahnya, diketahui pada mulanya dalam hukum Belanda tidak dikenal

perbedaan antara kooplieden (pedagang) dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam

kepailitan. Namun, pada permulaan abad ke-19, yaitu ketika negeri Belanda dijajah Perancis

yang dipimpin Napoleon Bonaparte, berlakulah Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d

30 September 1838). Pada masa Code du Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara

kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden.

Kemudian setelah Belanda merdeka, Belanda membentuk sendiri Wetboek van Koophandel

(WvK) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 buku dan buku ke-

III nya adalah Van den Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden, yang diatur

dalam Pasal 764-943, dan dibagi dalam 2 titel, yaitu:

1. Van faillissement; dan

2. Van surseance van betaling.

77
Peraturan di atas berlaku bagi hanya pedagang (kooplieden). Sedangkan kepailitan yang

berlaku untuk bukan pedagang (niet kooplieden) diatur dalam reglement op de rechtsvordering

atau disingkat RV (Stb. 1847-52 Jo. 184-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh yang berjudul: Van de

Staat van Kennelijk Onvermorgen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal

899 sampai Pasal 915 yang kemudan dicaut oleh Stb. 1906-348 (Sutedi, 2009).

Adanya dua peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya,

di antaranya banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi, terlalu sedikit kreditor yang

ikut campur dalam proses kepailitan dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.

Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat

peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam

pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 1905 telah diundangkan faillissementverordeningi

(Stb. 1905-217) yang terdiri atas Bab I tentang Kepailitan Pada Umumnya, dan Bab II tentang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Peraturan ini lengkapnya bernama: Verordening op

het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie

(Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-orang Belanda di Hindia

Belanda). Berdasarkan verordening ter invoering van den Faillissementsverorderning (Stb.

1906-348), Faillissemenetsverordening (Stb. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada

tanggal 1 November 1906. Dengan berlakuknya Faillissementsverordening tersebut, maka

dicabutlah seluruh Buku III dari WvK dan Reglement op de Rechts verordering, Buku III, Bab

Ketujuh, Pasal 899-915. Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi golongan Eropa

saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia

Belanda pada waktu itu.

Setelah bangsa Indonesia memproklamasaikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,

ada beberapa kurun sejarah yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya

78
Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan). Kurun-kurun sejarah itu ialah tahun periode

1945-1947, tahun 1947-1998 dan tahun 1998-sekarang.

Pada periode 1945-1947, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai

berikut:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Berdasarkan aturan peralihan tersebut, seluruh perangkat hukum yang berasal dari

zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan kecuali jika

setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan

ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sehubungan dengan

ketentuan Aturan Peralihan tersebut, maka setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan

berlaku Faillissementsverordening Stb. 1905-217 Jo. Stb. 1906-348.

Pada periode tahun 1947, pemerintah kedudukan Belanda di Jakarta menerbitkan

Peraturan Darurat Kepaiilitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen 1947). Tujuannya ialah

untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum

jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai, sehingga dengan demikian Peraturan Darurat

Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.

Pada periode 1947-1998, dalam praktiknya faillissementsverordening relatif sangat

sedikit digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan itu ditengah-

tengah masyarakat kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke masyarakat sangat minim.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa Faillissements verordening itu berlaku untuk

pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang Barat saja.

Akibatnya, faillissementsverordening itu tidak dirasakan sebagai suatu peraturan yang menjadi

milik masyarakat pribumi sehingga tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum

masyarakat.

79
Faktor penyebab lain, ialah karena sebagian besar masyarakat pedagang atau pengusaha

pribumi Indonesia dan para pengusaha menengah dan kecil masih belum banyak melakukan

transaksi bisnis yang besar-besar. Pada umumnya pula mereka masih melakukan transaksi

dalam lingkungan yang terbatas. Sebagian besar masyarakat pengusaha Bumi Putera belum

mengenal sistem hukum bisnis Barat. Antara lain mereka belum:

1. Melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk perseroan

terbatas;

2. Menerbitkan dan/atau melakukan perdagangan surat-surat berharga;

3. Melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaaan keuangannya;

4. Melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan

5. Membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan peusahaan, bukan pada

kekayaan pribadinya.

Faktor lain bahwa masyarakat menyangsikan kemampuan pengadilan untuk dapat

bersikap objektif atau tidak memihak serta akan dengan sungguh-sungguh menegakkan

keadilan yang sebaik-baiknya di dalam pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Oleh

karena persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan peradilan, masyarakat merasa tidak

ada sarana yang efektif yang dapat digukana oleh kreditor untuk dapat melindungi

kepentingannya, khususnya agar debitor yang nakal dapat melunasi kewajibannya dan jika

perlu dengan melakukan paksaaan secara hukum melalui pengadilan.

Pada tahun 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang diperparah oleh krisis

politik yang mengakitbakan lengsernya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998.

Krisis moneter membuat utang menjadi bengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak

sekali debitur tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di

perbankan Indonesia makin membumbung tingi karena krisis moneter (sebelum krisis moneter

80
perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit macet yang

memprihatinkan).

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas

dari kondisi perekonomian nasional, khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari

sisi ekonomi, patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan Econit Advisory

Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan tahun ketidakpastian (a year of

uncertainty), sementara tahun 1998 merupakan tahun koreksi (a year of correction). Pada

pertengahan tahun 1997, terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang US$ secara

drastic sekitar Rp. 2.300,00 pada bulan Maret menjadi Rp. 5.000,00 per US$ pad akhir tahun

1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00

per US$ (Kompas, 1999).

Terperosoknya nilai tukar rupiah setidaknya telah memunculkan efek negatif terhadap

perekonomian nasional. Neraca pembayaran negatif terjadi karena melonjaknya nilai tukar

utang dalam valuta asing (valas). Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar

telah memperberat beban neraca pembayaran, sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat

bonanza dari terdepresinya rupiah tidak dapat segera dinikmati.

Dengan kondisi krisis ekonomi tersebut, jumlah perusahaan dan perorangan yang tidak

mampu membayar utang bukan main banyaknya. Bayangkan ratusan bank dilikuidasi,

dibekukan dan diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN). Selain itu, badan usaha milik negara (BUMN) terush disapih oleh anggaran negara

karena tidak efisien, merugi atau tidak memberikan kontribusi dividen kepada negara. Pada

dasarnya BUMN seperti ini secara teknis bisa digolongkan sebagai bangkrut. Jika ditotal, sudah

ribuan kasus pailit yang seharusnya didaftarkan ke pengadilan-pengadilan niaga di Indonesia

pada masa itu.

81
Untuk mengantisipasinya, IMF dan pemerintah Indonesia bersepakat membentuk

pengadilan niaga di Jakarta, kemudian di Makassar, Medan, Surabaya dan Semarang. Dasar

pembentukannya adalah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Kepailitan, yang ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-undang

ini dibentuk untuk memberikan jalan keluar bagi kreditor untuk menyelesaikan tagihannya

kepada para debitor yang gagal bayar. Mengapa tidak melalui mekanisme pengadilan biasa?

Karena selama ini sistem hukum yang tersedia dan tingkah laku dunia peradilan kurang

dipercaya, dianggap tidak transparan dan korup.

Jadi, kurang lebih pengadilan niaga harus bisa menegakkan prinsip-prinsip

penyelesaian yang fair, transparan, cepat dan sederhana bagi sengketa-sengketa kepailitan.

Pengadilan ini juga harus memberikan kesempatan bagi debitor yang beritikad baik untuk

membayar utangnya melalui program penundaan kewajiban pembayaran utang. Karenanya,

dipilihlah hakim-hakim yang kredibel, memiliki integritas, dan memiliki latar belakang

menangani perkara-perkara komersial. Para hakim ini dilatih khusus untuk menjadi hakim

perkara kepailitan, di mana syarat utamanya adalah tidak memiliki perilaku korup.

Masih belum cukup, diangkat pula hakim-hakim ad hoc dari kalangan non hakim, yaitu

para akademisi dan yuris yang bisa membantu menegakkan wibawa pengadilan niaga. Dengan

begitu, pengadilan niaga diharapkan berjalan efektif sesuai dengan tujuan pembentukannya.

Harapan selanjutnya, pengadilan niaga menjadi suatu model ideal bagi badan peradilan umum

(lembaga yang segera menunggu giliran untuk direformasi).

Dengan adanya pengadilan niaga, pemerintah dan IMF tentu berharap ada sejumlah

dana yang bisa diselamatkan untuk kas negara dari kasus-kasus bank penerima bantuan

likuiditas Bank Indonesia sejumlah Rp. 125 triliun dan triliunan dana lainnya dari ratusan

perusahaan yang berpotensi bangkrut.

82
IMF berpendapat bahwa upaya untuk mengatasi krisis moneter di Indonesia tidak dapat

terlepas dari keharusan penyelesaian utang luar negeri dan upaya penyelesaian kredit-kredit

macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, IMF mendesak pemerintah agar segera mengganti

atau mengubah peraturan kepailitan yang berlaku. Akibat desakan tersebut, lahirlah Perpu No.

1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Perpu tersebut mengubah

dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening).

Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul Perpu tersebut, karena selama ini

faillissements verordening kita kenal dengan sebutan “Peraturan Kepailitan”, bukan “Undang-

Undang Kepailitan”. Oleh penyusun Perpu, kata “verordening” telah diterjemahkan dengan

kata “undang-undang”. Dengan diterbitkannya Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998,

maka lima bulan kemudian Perpu Kepailitan dan perubahan atas kepailitan itu ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang terdiri atas:

1. Bab I tentang Kepailitan (Pasal 1 sampai Pasal 211);

2. Bab II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal 212 sampai Pasal 279);

3. Bab II tentang Pengadilan Niaga (Pasal 280 sampai Pasal 289).

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, maka peraturan

kepailitan (faillissementsverordening Stb. 1905-217 Jo. Stb. 1906-348) yang sejak lama tidak

beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, berbagi pengajuan permohonan pernyataan

pailit mulai mengalir ke pengadilan niaga sehingga muncullah berbagai putusan pengadilan

mengenai perkara kepailitan.

Secara umum, terdapat tujuh perubahan utama yang menjadi semangat Perpu No. 1

Tahun 1998 yang dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dibandingkan dengan

peraturan kepailitan yang lama, yaitu sebagai berikut:

83
1. Penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan,

termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan

keputusan pernyataan kepailitan;

2. Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan

sementara yang dapat diambil kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan

pernyataan kepailitan;

3. Peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya

pemberian jasa-jasa tersebut, di samping institusi yang selam ini telah dikenal, yaitu

Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-

syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka;

4. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan,

bahwa untuk itu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan

kerangka waktu bagi upaya hukumjuga ditegaskan dalam penyempurnaan ini;

5. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan

secara adil, ditegaskan pula adanya mekanisme penangguhan pelaksaaan hak di antara

kreditor yang memegang hak tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Diatur pula

ketentuan mengenai status hukum atas perikatan yang telah dibuat debitor, sebelum

adanya putusan pernyataan kepailitan;

6. Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban

pembayaran sebagaimana telah diatur dalam Bab Kedua Undang-undang Kepailitan;

7. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah

kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa pengadilan niaga dengan hakim-hakim

yang akan bertugas secara khusus. Pembentukan pengadilan niaga ini merupakan

langkah diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukannya

berdasarkan Undang-undang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Perpu 4 No.

84
1998, peradilan khusus tersebut bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan.

Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup

ugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas

dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat

kebutuhan.

Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Kepailitan ini, pemerintah juga

mengeluarkan beberapa ketentuan yang merupakan pelaksanaan teknisnya, yaitu sebagai

berikut:

1. Peraturan pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit

untuk Kepentingan Umum. PP ini memberikan petunjuka teknis bagi pihak kejaksaan

dalam mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum, serta kejaksanaan

negeri mana yang dapat melakukannya;

2. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1998 tentang Perhitungan Jumlah Hak Suara

Kreditor. PP ini mengatur dua hal utama: pertama mengenai hak kreditor yang memiliki

piutang sampai dengan Rp. 10.000.000,00 yang berhak mengeluarkan satu suara dan

jika terjadi kelebihan putang dari jumlah Rp. 10.000.000,00 tersebut. Kedua, bagaimana

menetapkan utang yang nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditetapkan

dalam valuta asing.

Itulah ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun

1998 yang tidak dijumpai dalam faillissementsverordening. Diaturnya perkara kepailitan dalam

suatu pengadilan khusus yang disebut pengadilan niaga merupakan sesuatu yang baru yang

merupakan penerobosan terhadap sistem peradilan yang selama ini ada.

Meskipun Undang-Undang Kepailitan memiliki tujuan memaksimalkan harta pailit

agar dapat dibagi secara berimbang di antara kreditornya, tetapi dalam praktik masih banyak

kecurangan yang dilakukan oleh debitur sehingga recovery fund yang diterima oleh kreditor

85
sangat rendah, hanya berkisar antara 10-15% dari total piutang yang dapat ditagih. Kondisi ini

mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan

lembaga hukum kepailitan sebagai sarana untuk menagih piutang mereka, meskipun Undang-

Undang Kepailitan yang lama sudah disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1998.

Erman Radjagukguk menyebytkan bahwa setelah Undang-Undang No.4 Tahun 1998

mulai berlaku, ternyata dalam praktik timbul beberapa permsalahan, baik yang bersumber dari

kelemahan Undang-Undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam praktik di pengadilan, antara

lain (Radjagukguk, 2002):

1. Banyak hal yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kepailitan sehingga

menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Pengertian utang tidak diberikan

definisi yang jelas dalam Undang-Undang Kepailitan sehingga ditafsirkan secara

berbeda-beda, baik di tingkat pengadilan niaga, pengadilan negeri maupun di tingkat

kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung;

2. Adanya inteprestasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam Undang-Undang

Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidakkonsistenan dalam putusan hakim

pada kasus-kasus kepailitanm yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum;

3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan Undang-Undang Kepailitan untuk menyelesaikan

satu perkara kepailitan dipandang dalam praktik sukar dilaksanakan, karena terlalu

cepat. Kalau pun hakim pengadilan niaga dapat menyelesaikan perkara kepailitan dalam

jangka waktu 30 hari, hakim tersebut hanya memfokuskan pada pembuktian sederhana,

sekadar untuk memenuhi persyaratan dinyatakan pailit. Tebalnya alat bukti dalam kasus

kepailitan yang rumit mungkin hanya dibaca dan diteliti secara singkat karena ketatnya

waktu;

86
4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang ditangani

Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Awalnya, pada tahun 1998 terdapat 31 perkara

kepailitan yang didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Jumlah perkara

kepailitan yang hanya 31 tersebut wajar karena Undang-Undang Kepailitan baru

berlaku secara efektif pada tanggal 9 September 1998. Jumlah perkara kepailitan

melonjak drastic pada tahun 1999 sebanyak 100 kasus, pada tahun 2000 turun menjadi

84 kasus, dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 60 kasus.

Kenyataan ini menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan, sehingga muncul

kesan proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitor yang dipailitkan. Kreditor

yang ditolak permohonan kepailitannya pun, dapat juga mengajukan kasasi dan peninjauan

kembali. Meskipun pengajuan kasasi dan peninjauan kembali tersebut merupakan hak debitor

atau kreditor, tetapi apabila semua perkara kepailitan diajukan sampai tingkat peninjauan

kembali, maka kesan bertele-tele tersebut mungkin ada benarnya.

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diganti dengan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. Undang-undang ini lahir karena perkembangan perekonomian dan

perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini. Juga, mengingat

umumnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha merupakan pinjaman dari berbagai sumber,

baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi, maupun cara lain yang diperbolehkan ,

telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang-piutang.

Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu bahkan

untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal tersebut sangat

mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajuban pembayaran utangnya. Keadaan

tersebut mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang jika tidak segera

diselesaikan akan berdampak lebih luas, antra lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan

87
sosial lainnya. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang

secara adil, cepat, terbuka dan efektif, maka sangat diperlukan perangkat hukum yang

mendukungnya.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang didasarkan pada beberapa asas, antara lain:

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari

asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah

terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak

jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan

pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan

Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai

kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas

keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak

mempedulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum

formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata dan hukum acara perdata nasional.

88
Dalam perrubahan Undang-undang Kepailitan, tidak melakukan perubahan sistem

secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu dan menambah beberapa ketentuan

baru.

4. Filosofi Hukum Kepailitan

I.F. Fletcher (1978), dalam bukunya yang berjudul Law of Bankruptcy menyatakan

bahwa :

“If it is sometimes said that the love of money is the root of all evil, it may be said with

more certainty that the enjoyment of credit is the root of all bankruptcy.”

Terjemahan bebasnya :

“Jika terkadang dikatakan bahwa kecintaan akan uang adalah akar dari segala kejahatan,

maka dapat dikatakan dengan lebih pasti bahwa kesenangan akan kredit (utang) adalah

akar dari semua kepailitan.”

Fletcher kemudian menjelaskan lagi bahwa :

“The availability of credit is a fundamental requirement for the satisfactory functioning

of any modern society.”

Terjemahan bebasnya:

“Ketersediaan dari kredit (utang) adalah kebutuhan yang sangat mendasar guna

kepuasan pelaksanaan dari setiap komunitas modern.”

Berdasarkan penjelasan oleh Fletcher tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa

dalam dunia bisnis terutama dalam tatanan yang modern sekarang kredit (utang) menjadi bagian

yang besar dalam kegiatan bisnis, baik itu bisnis dalam skala kecil, besar, domestik maupun

internasional.

Dalam suatu kegiatan bisnis, pihak yang memberikan piutang disebut dengan kreditor

dan pihak yang menerima utang disebut dengan debitor. Melihat kondisi dunia bisnis yang

sudah maju dan modern dewasa ini, maka sudah lazim apabila terkadang seorang kreditor

89
mempunyai piutang terhadap beberapa orang debitor atau sebaliknya, seorang debitor

mempunyai utang terhadap beberapa kreditornya.

Apabila seorang debitor dapat melunasi seluruh kewajibannya (utang) kepada seluruh

kreditornya tepat waktu dan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, tentu tidak menjadi

suatu masalah, akan tetapi apabila seorang debitor tidak dapat atau tidak mampu melunasi

seluruh kewajibannya (utang) kepada seluruh kreditornya, maka akan timbul apa yang disebut

dengan sengketa bisnis.

Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, di samping hak menagih (vorderingsrecht),

apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditor mempunyai hak

menagih kekayaan debitor, sebesar piutangnya kepada debitor itu (verhaalstrecht)

(Badrulzaman, 2001).

Apabila seorang debitor, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia

melakukan cacat prestasi, maka kreditornya dapat menuntut (Tengker, 1993):

1. Pemenuhan prestasi;

2. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian

kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai

gantinya kreditor dapat menuntut pembatalan persetujuan plus ganti rugi.

Mariam Darus Badrulzaman juga menyebutkan bahwa seorang kreditor memiliki hak-

hak sebagai berikut bila debitornya ingkar janji:

1. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

2. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik,

menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

3. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);

4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

90
Jika seorang debitor hanya mempunyai utang kepada satu orang kreditor saja, maka

upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditor tersebut adalah dengan mengajukan gugatan

perdata biasa terhadap debitor tersebut, lain halnya apabila debitor tersebut mempunyai utang

kepada 2 (dua) atau lebih kreditor, maka dalam hal seperti ini, diperlukan lembaga kepailitan

guna membagi secara adil dan proporsional aset dari debitor kepada para kreditornya.

Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk

penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor terhadap kreditor secara lebih efektif, efisien dan

proposional. Harold F. Lusk menjelaskan fungsi kepailitan sebagai berikut (Lusk, 1986):

“The purpose of bankruptcy act is (1) to protect creditors from one another, (2) to

protect creditors from their debtor, and (3) to protect the honest debtor from his

creditors. To accomplish these objectives, the debtor is required to make full disclosure

of all his property and to surrender it to the trustee. Provisions are made for

examination of the debtor and for punishment of the debtor who refuses to make an

honest disclosure and surrender of his property. The trustee of the bankcrupt’s estate

administers, liquidates, and the distributes the proceeds of the estate to creditors.

Provisions are made for determination of creditors right, the recovery of preferential

payments, and the disallowance of preferential lines and encumbrances. If the

bankcrupt has been honest in his business transactions and in his bankcruptcy

proceedings, he is granted a discharge.”

Terjemahan bebasnya :

“Tujuan dari hukum kepailitan adalah untuk (1) melindungi kreditor dari satu sama

lainnya, (2) untuk melindungi kreditor dari debitornya dan (3) untuk melindungi debitor

yang jujur dari para kreditornya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, debitor diharuskan

untuk membuat daftar penuh dari semua kekayaannya dan menyerahkannya kepada

91
pengawas (kurator). Ketetapan dibuat untuk pemeriksaan dari debitor dan untuk

menghukum debitor yang menolak untuk membuat daftar kekayaan yang jujur dan

menyerahkan kekayaannya. Pengawas (kurator) dari pengurus harta si debitor pailit,

melikuidasi dan pembagian harta kepada para kreditor. Ketetapan dibuat untuk

menentukan hak-hak kreditor, pengembalian pembayaran yang didahulukan dan

pelarang dari ketentuan yang didahulukan dan sitaan. Jika si debitor pailit jujur dalam

transaksi bisnus dan di dalam perkara pailitnya, dia diberikan penghapusan utang.”

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium

dan prinsip pari passu prorata parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts).

Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua harta kekayaan debitor baik yang berupa

barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai

debitor dan barang-barang di kemudian hari yang akan dimilik debitor terikat pada penyelesaian

kewajiban debitor.

Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan

jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara

mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus

didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.

Di Indonesia, lembaga hukum kepailitan diatur dalam UUKPKPU (Undang-undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Di

dalam Pasal 1 angka 1 UUKPKPU telah ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam

undang-undang ini.

Perumusan tentang pengertian kepailitan tersebut di atas selaras dengan isi dari Pasal

1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, yang mana Pasal 1131 menyatakan bahwa:

92
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang

mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan.

Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal tersebut di atas adalah sebagai berikut

(Kartono, 1974):

1. Apabila si debitor tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya,

walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi

utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua

harta bendanya disita untuk dijual, dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua

kreditornya secara ponds-ponds gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut

besar kecilnya piutang masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor

itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

2. Semua kreditor mempunyai hak yang sama.

3. Tidak ada nomor urut dari para kreditor yang didasarkan atas saat timbulnya piutang-

piutang mereka.

Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1131 KUHPerdata menunjukkan bahwa setiap

tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa

akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya

93
(kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaannya (debit) (Muljadi,

2005). Adapun Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa setiap hak atau kreditor yang

berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta

kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) tersebut secara:

1. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang

didahulukan; dan

2. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-

masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh

harta kekayaan debitur tersebut.

Jeffry Hoff berpendapat bahwa tujuan dari sebuah hukum kepailitan adalah sebagai

berikut:

“It is common cause that a bankruptcy law should serve the following purposes:

1. Maximising asset recovery; All of the assets of the debtor should be pooled into

a common fund – called the bankruptcy estate – which is available for the

payment of creditors’ claims. Bankruptcy provides a forum for the collective

liquidation of the debtor’s assets. This reduces the administrative expenses in

liquidation and distribution of the debtor’s property. It provides a quick way to

achieve such liquidation and distribution as well.

2. Providing for the equitable dan predictable treatment of creditors; In principle,

creditors are paid pari passu; they receive a pro rata parte distribution from the

pool according to the size of their claims. The procedural and substantive rules

in this respet should provide for certainty and transparency. Creditors should

know in advance what their legal position is.

3. Providing practical opportunities for the reorganization of ailing, but viable

businesses when the interests of creditors and social needs are better served by

94
maintaining the debtor in business. In modern bankruptcy laws, much attention

is paid to the social interests served by a continuation of business and the

preservation of job opportunities.”

Terjemahan bebasnya adalah :

“Sudah merupakan hal yang lumrah bahwa seyogyanya hukum kepailitan

memenuhi tujuan sebagai berikut:

1. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan; semua kekayaan debitor harus

ditampung dalam suatu kumpulan dana yang sama – disebut dengan harta

kepailitan – yang disediakan untuk pembayaran tuntutan kreditor. Kepailitan

menyediakan suatu forum untuk likuidasi secara kolektif atas aset debitor.

2. Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan

sebelumnya kepada para kreditor; pada dasarnya, para kreditor dibayar secara

pari passu; mereka menerima suatu pembagian secara pro rata parte dari harta

kepailitan tersebut sesuai dengan besarnya piutang masing-masing. Prosedur

dan peraturan dasar dalam hubungan ini harus dapat memberikan suatu

kepastian dan keterbukaan. Kreditor harus mengetahui sebelumnya mengenai

kedudukan hukumnya.

3. Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang tidak

sehat, tetapi masih mempunyai potensi bila kepentingan para kreditor dan

kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitor

dalam kegiatan usahanya.”

Filosofi yang paling mendasar dari hukum kepailitan adalah untuk mengatasi

permasalahan apabila seluruh harta debitor tidak cukup untuk membayar seluruh utang-

utangnya kepada seluruh kreditornya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang

berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya.

95
Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang

nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil. Kepailitan merupakan exit from

financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit secara finansial dan

sudah tidak bisa diselesaikan.

Dapat dipahami seyogyanya permohonan pailit hanya diajukan kepada debitor yang

sudah dalam keadaan insolvent atau debitor yang jumlah asetnya sudah lebih sedikit

dibandingkan dengan jumlah utangnya.

Namun dalam prakteknya, banyak debitor baik yang jujur maupun yang tidak jujur yang

mulai was-was untuk dipailitkan, dan sekarang sudah banyak kasus digelar di pengadilan.

Bahkan, banyak kreditor memakai lembaga hukum kepailitan ini sebagai alat untuk mengancam

debitornya, dalam arti jika debitor tidak melunasi utangnya, maka debitor tersebut akan

dipailitkan dan debitor akan merasa takut dengan ancaman tersebut dan kemudian melunasi

utangnya.

Fenomena peraturan kepailitan di Indonesia yang lebih cenderung memberikan

perlindungan terhadap kreditor dibandingkan debitor. Ketentuan yang tertulis dalam undang-

undang secara tegas memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap kreditor.

Masyarakat modern saat ini memang sangat membutuhkan adanya kepastian hukum

dalam berbagai interaksi dengan sesama manusia, untuk mewujudkan hal itu peran utama

diletakkan pada hukum yang tercermin dalam aturan. UUKPKPU telah memberikan aturan

main yang jelas, kepastian hukum berkaitan dengan prosedur mempailitkan debitor terdapat

dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) bahwa hakim pengadilan niaga harus mempailitkan debitor

apabila terbukti secara sederhana unsur Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Namun, pola yang

demikian dalam operasionalnya telah menimbulkan persoalan ketidakadilan.

96
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Chidir. 1985. Badan Hukum. Alumni. Bandung.


Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Cet. Ke-2, Setjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.
Atmadja, Arifin P. Soeria. 2009. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori: Kritik, dan
Praktik, Rajagrafindo. Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1996. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan.
Penjelasan. Bandung: Alumni.

Chatamarrasyid. 2002. Badan Hukum Yayasan: Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai
Suatu Badan Hukum Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Erman Radjagukguk, 2002. “Perkembangan Peraturan Kepailitan di Indonesia”, bahan e-


learning “Bankruptcy Law”,

Fletcher, I.F. 1978 Law of Bankruptcy. Inggris: Richard Clay, Ltd.

Friedman, Lawrence. 1986. “Legal Culture and the Welfare State”, dalam Gunther Teubner
(ed), Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter.
Fuady, Munir. 2014. Hukum Kepailitan Dalam Teori dan Praktik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Handri Raharjo, 2009. Hukum Perusahaan. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

Hartono, Sri Redjeki. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia, Malang:Bayumedia Publising..

Hartono, Sunaryati. 1988.mHukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit: Bina Cipla


Bandung.

Kairupan, David. 2013. Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Jakarta: Kencana.

97
Kartono. 1974. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran : Failissement en Surseance van
Betaling. Jakarta: Pradnya Paramita.
Khairandy, Ridwan. 2006. Pengantar Hukum Dagang. FH UII Press. Yogyakarta.

Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.

Manan, Abdul. 2014. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Mariam Darus Badrulzaman. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Muljadi, Kartini. 2005. Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah
Kepailitan dari Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

Mulyadi, Kartini dan Widjaya, Gunawan. 2003. Kebendaan pada Umumnya, Kencana Prenada
Media.

Purwosutjipto, H.M.N. 1982. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan,
Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1996. “Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam Konteks Global”,
Makalah seminar pertemuan Dosen/Peminta Sosiologi Hukum se Jawa Tengah dan DIY
Yogyakarta di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Said, M. Natzir. 1987. Hukum Perusahaan di Indonesia. Jilid 1 (perorangan). Alumni.
Bandung.

Saleh, Ismail. 1990. Hukum dan Ekonomi, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.

Satrio, J. 1999. Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni.

Sinaga, Harlen. 2012. Batas-batas Tanggung Jawab Perdata Direksi Atas Pailitnya Perseroan
Terbatas Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Adinatha Mulia.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata Hak Jaminan Atas Tanah, Cet.Pertama,
Liberty. Yogyakarta.

98
Subekti. 1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa.

Suci, Ivida Dewi Amrih dan Poesoko,Herowati. 2016. Hukum Kepailitan: Kedudukan dan Hak
Kreditor Sepatis atas Benda Jaminan Kreditor Pailit, Yogyakarta: Laksbang.

Sumantoro. 1986. Hukum Ekonomi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Sunarmi. 2010. Hukum Kepailitan. Medan: Softmedia.

Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Kepailitan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tengker, F. 1993. Hukum Suatu Pendekatan Elementer, Bandung : Nova.

Utami, Wahyu & Adipradana, Yogabakti. 2017, Pengantar Hukum Bisnis: Dalam Perspektif
Teori dan Praktiknya di Indonesia, Cet. Ke-1. Permata Aksara. Jakarta.
Wiwoho, Jamal. 2007. Pengantar Hukum Bisnis. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

99

Anda mungkin juga menyukai