Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyusunan Laporan Keuangan Perusahaan

Laporan keuangan perusahaan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku umum. Laporan keuangan tidak diaudit oleh kantor akuntan publik, namun

menurut pengakuan perusahaan laporan keuangan telah disusun sesuai tujuannya

yaitu supaya dapat digunakan manajemen dalam rangka pengambilan keputusan dan

sebagai pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan

kepadanya. Berikut ini adalah uraian hasil analisa penulis atas akun-akun dalam

laporan keuangan perusahaan baik neraca maupun laporan laba-rugi komersial.

1. Penyajian Laporan Keuangan

Perusahaan mengungkapkan informasi tentang kebijakan akuntansi yang

diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. Selain itu,

perusahaan telah menyusun laporan keuangannya atas dasar akrual, kecuali pada

laporan arus kasnya yang disusun atas dasar kas (cash basis).

2. Persediaan

Persediaan terdiri dari persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu,

dan persediaan barang jadi yang tersedia untuk memenuhi pesanan. Perusahaan telah

mengukur persediaan dengan benar sebagaimana diatur dalam paragraf 5 PSAK 14

tentang “Persediaan”, bahwa persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai

realisasi bersih, yang lebih rendah (the lower of cost and net realizable value).

Persediaan dicatat berdasarkan harga perolehannya karena pada kenyataannya harga

91
92

perolehan selalu lebih rendah dari nilai realisasi bersihnya. Biaya persediaan

dihitung berdasarkan metode FIFO, yaitu mengasumsikan barang dalam persediaan

yang pertama dibeli akan dijual atau digunakan terlebih dahulu sehingga yang

tertinggal dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian. Hal

tersebut telah sesuai sebagaimana diatur dalam paragraf 20 PSAK 14.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (6) UU PPh persediaan dinilai sebesar harga

perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan

yang diperoleh pertama (FIFO). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian

persedian perusahaan telah sesuai baik menurut komersial maupun fiskal.

3. Aset Tetap

Aset tetap perusahaan dikelompokkan menjadi bangunan & prasarana, mesin,

inventaris kantor, inventaris pabrik, dan kendaraan. Gedung pabrik dan gedung

kantor merupakan gedung yang disewa oleh perusahaan. Sedangkan yang di maksud

aset berupa bangunan & prasarana merupakan pemasangan partisi gypsum dan sudut

gypsum aluminium, renovasi atas gedung sewaan, biaya penyambungan jaringan

listrik, tambah daya listrik, capasitor bank, dan pembuatan jendela sirkulasi angin di

ruang produksi. Menurut paragraf 6 PSAK 16 tentang “Aset Tetap”, aset tetap

adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan

barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan

administratif, dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa gedung sewaan tidak memenuhi syarat

sebagai aset tetap sebagaimana dijelaskan di atas. namun demikian, renovasi yang

dilakukan oleh perusahaan atas gedung sewaan tersebut memiliki jumlah yang besar
93

dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode, sehingga memenuhi

syarat sebagai aset untuk kemudian dilakukan pembebanan bertahap atas biayanya

yang disebut penyusutan. Berdasarkan paragraf 11 PSAK 16 dijelaskan bahwa aset

tetap dapat diperoleh untuk alasan keamanan atau lingkungan. Perolehan aset tetap

semacam itu, walaupun tidak secara langsung meningkatkan manfaat ekonomis masa

depan dari suatu aset tetap yang ada, mungkin diperlukan bagi entitas untuk

memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset yang lain. Sehingga penulis

berpendapat bahwa penjelasan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk

mengakui pengeluaran atas pemasangan partisi gypsum dan sudut gypsum

aluminium, biaya penyambungan listrik, penambahan daya listrik, capasitor bank,

dan pembuatan jendela sirkulasi sebagai aset tetap yang dapat disusutkan. Hal ini

juga dijelaskan dalam pasal 11 ayat (1) UU PPh bahwa penyusutan dilakukan atas

pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan

harta berwujud. Jadi, menurut penulis perusahaan telah mengakui aset berwujudnya

dengan benar.

Perusahaan menyusutkan aset tetapnya dengan dasar harga perolehan dan

tidak mengestimasi nilai residu atas aset tetapnya. Penyusutan dimulai pada bulan

perolehannya, ketika aset telah berada di lokasi dan kondisi yang siap digunakan.

Sedangkan untuk aset yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai

pada bulan selesainya pengerjaan (aset siap digunakan). Hal ini telah sesuai dengan

Standar Akuntansi Keuangan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.
94

Semua aset tetap perusahaan kecuali yang termasuk dalam kelompok

bangunan & prasarana disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun,

sedangkan untuk kelompok bangunan & prasarana disusutkan menggunakan metode

garis lurus. Masa manfaat aset tetap untuk kepentingan komersial perusahaan

mengikuti ketentuan fiskal seperti yang tercantum dalam UU PPh Pasal 11 ayat (6)

dan No. 96/PMK/2009 tentang “Jenis-jenis Harta yang Termasuk dalam Kelompok

Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan”. Menurut penulis

hal tersebut tidak menyimpang dari ketentuan komersial karena berdasarkan PSAK

manajemen dibebaskan dalam mengestimasi lamanya masa manfaat aset yang

disusutkan. Namun, penulis menemukan adanya kesalahan dalam penerapan

metode saldo menurun. Cara penghitungan penyusutan dengan metode saldo

menurun yang tercantum dalam memori penjelasan UU PPh Pasal 11 ayat (1) dan (2)

adalah untuk penyusutan tahun pertama dengan mengalikan harga perolehan dengan

tarif, untuk penyusutan tahun-tahun berikutnya dengan mengalikan nilai sisa buku

dengan tarif, dan pada akhir tahun masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.

Sedangkan perusahaan pada akhir masa manfaat menyusutkan aset dengan cara

mengalikan nilai sisa buku dengan tarif, sehingga pada akhir tahun masa manfaat

masih terdapat nilai yang dapat disusutkan, yang oleh perusahaan disusutkan pada

tahun berikutnya setelah habis masa manfaat. Hal tersebut menyebabkan beberapa

aset yang seharusnya sudah habis disusutkan, namun masih dihitung beban

penyusutannya pada tahun 2010. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa untuk

nilai buku aset-aset yang telah habis masa manfaatnya harus disusutkan sekaligus.
95

4. Leasing

Beberapa aset perusahaan yang berupa kendaraan merupakan aset yang masih

dalam masa leasing yang merupakan sewa pembiayaan. Sewa pembiayaan tersebut

diakui sebagai aset dan kewajiban dalam neraca sebesar nilai wajar aset sewaan,

sebagaimana diatur dalam paragraf 16 PSAK 30 tentang “sewa”. Penyajian

mengenai pembayaran angsuran telah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan

(paragraf 21 PSAK 30) bahwa pembayaran angsuran telah dipisahkan antara bagian

yang merupakan beban keuangan dan bagian yang merupakan pelunasan kewajiban

atau dengan kata lain dipisahkan antara pokok pelunasan dengan biaya bunga.

Aset atas sewa pembiayaan disusutkan oleh perusahaan dengan masa manfaat

8 tahun dan menggunakan metode saldo menurun. Hal ini telah sesuai dengan

ketentuan dalam paragraf 23 PSAK 30 bahwa suatu sewa pembiayaan menimbulkan

beban penyusutan untuk aset yang dapat disusutkan dan kebijakan penyusutannya

harus konsisten dengan aset yang dimiliki sendiri.

5. Transaksi Hubungan Istimewa

Berdasarkan PSAK 7 tentang “Pengungkapan Pihak-pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa” dijelaskan bahwa adanya hubungan istimewa dengan suatu

pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan

pelapor karena pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat melakukan

transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai

hubungan istimewa. Dalam neraca perusahaan per 31 Desember 2010 terdapat

Hutang Lain-lain sebesar Rp 824.547.648,- yang diungkapkan sebagai pinjaman

tanpa bunga oleh pemegang saham. Hal tersebut telah sesuai dengan Standar
96

Akuntansi Keuangan bahwa transaksi berupa pinjaman tanpa bunga yang

menyimpang dari transaksi wajar diperbolehkan dengan syarat harus diungkapkan.

Sedangkan menurut ketentuan fiskal transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai

hubungan istimewa harus diperlakukan seperti transaksi wajar sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (1) UU PPh. Namun, pinjaman tanpa bunga oleh

pemegang saham diperkenankan dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur

dalam PP No.94 Tahun 2010 tentang “Pinjaman Tanpa Bunga oleh Pemegang

Saham”. Pinjaman dari pemegang saham kepada perusahaan telah memenuhi

persyaratan tersebut sehingga diperkenankan dalam kepentingan fiskal. Hal tersebut

berdasarkan wawancara penulis dengan manajer keuangan dan akuntansi bahwa

pinjaman diberikan oleh pemegang saham di saat perusahaan sedang mengalami

kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya dan pinjaman tersebut benar-benar

berasal dari dana pemegang saham itu sendiri dalam keadaan modal yang seharusnya

disetor oleh pemegang saham telah disetor seluruhnya. Selain itu pemegang saham

memberikan pinjaman tidak dalam keadaan sedang merugi.

6. Pengakuan Pendapatan dan Beban

Penjualan diakui saat dilakukan pengiriman kepada pelanggan, hal ini telah

sesuai dengan ketentuan komersial. Pendapatan bunga diakui atas dasar proporsi

waktu yang memperhitungkan hasil efektif aset tersebut. Pendapatan penjualan aset

diakui saat terjadinya transaksi penjualan aset dan atas laba selisih kurs diakui dengan

metode kurs tanggal neraca/ kurs tengah BI, yaitu bahwa selisih kurs diakui setiap

tanggal neraca dengan kurs tanggal neraca/ kurs tengah BI dan terakhir saat

pelunasan hutang atau piutang dengan kurs tanggal pelunasan.


97

Beban yang manfaat ekonominya diharapkan timbul selama beberapa periode

akuntansi seperti biaya aset tetap diakui dalam laporan laba rugi atas dasar alokasi

yang rasional dan sistematis. Beban diakui atas dasar hubungan langsung antara

biaya yang timbul dan pos penghasilan tertentu yang diperoleh, misalnya berbagai

komponen beban yang membentuk beban pokok penjualan diakui pada saat yang

sama sebagai penghasilan yang diperoleh dalam penjualan barang.

B. Rekonsiliasi Fiskal

Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab III Tabel 8, perusahaan membuat

rekonsiliasi fiskal atas laba komersial dengan laba fiskal untuk tujuan penghitungan

Pajak Penghasilan terutang.

Berikut ini merupakan penjelasan dari koreksi fiskal yang penulis dapatkan

dari hasil wawancara dengan manajer keuangan dan akuntansi perusahaan dan

melalui pencatatan yang dibuat oleh perusahaan.

1. Beda Tetap:

a. Entertainment

Biaya Entertainment menurut ketentuan komersial merupakan biaya yang

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan menurut ketentuan fiskal

biaya entertainment merupakan biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak, namun dengan syarat tertentu

sebagaimana diatur dalam SE-27/PJ.22 /1986 tentang “Biaya Entertainment dan

sejenisnya”. Syarat tersebut adalah bahwa biaya entertainment harus dilampiri

dengan daftar nominatif pada SPT Tahunannya. Daftar nominatif tersebut berisi
98

nomor urut, tanggal, nama tempat; alamat; jenis; dan jumlah entertainment yang

diberikan, serta nama; posisi; nama perusahaan dan jenis usaha relasi usaha yang

diberikan entertainment. Oleh karena perusahaan tidak dapat melampirkan daftar

nominatif atas biaya entertainment tersebut, maka dilakukan koreksi positif sebesar

Rp 43.521.513,00.

b. Biaya Pajak

Biaya Pajak merupakan sanksi administrasi karena wajib pajak tidak tertib

administrasi dalam menyampaikan SPT Tahunan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 9

ayat (1) huruf k UU PPh, bahwa sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan

kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan

perundang-undangan di bidang perpajakan termasuk dalam biaya-biaya yang tidak

boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Oleh

karena itu, dilakukan koreksi positif sebesar Rp 60.717.482,00 atas biaya pajak

tersebut.

c. Biaya Obat-obatan

Biaya Obat-obatan termasuk dalam biaya yang tidak boleh dikurangkan dari

penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh yang

menyatakan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa

yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dikurangkan untuk

menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Biaya ini merupakan fasilitas

kesehatan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya yang diberikan tidak

dalam bentuk uang, sebagaimana dijelaskan dalam SE-03/PJ.23/1984 tentang

“Pengertian Kenikmatan dalam Bentuk Natura” bahwa Kenikmatan dalam bentuk


99

natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau

keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Jadi, dilakukan koreksi

positif sebesar Rp 14.716.850,00 atas biaya tersebut.

d. Biaya Lain-lain

Berdasarkan keterangan dari manajer keuangan dan akuntansi, Biaya Lain-

lain merupakan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,

sehingga dilakukan koreksi positif atas biaya tersebut.

e. Pendapatan Bunga

Pendapatan Bunga sebesar Rp 991.433,00 dikoreksi negatif karena merupakan

penghasilan yang dikenakan PPh Final sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2)

huruf a UU PPh, sehingga harus dikeluarkan dari jumlah Penghasilan Kena Pajak.

f. Biaya Penyusutan

penulis menemukan kesalahan pengakuan atas biaya penyusutan aset leasing.

Perusahaan menyusutkan aset leasing dari awal masa leasing baik untuk kepentingan

komersial maupun fiskal. Berdasarkan ketentuan komersial hal tersebut telah sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan. Berdasarkan ketentuan fiskal aset leasing

dapat disusutkan setelah hak opsi untuk membeli telah digunakan, sebagaimana

diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a No. 1169/kmk.01/1991 tentang “Kegiatan

Sewa Guna Usaha (Leasing)”. Hal tersebut karena aset leasing belum sepenuhnya

dimiliki oleh perusahaan sebelum aset tersebut benar-benar dibeli melalui

penggunaan hak opsi. Perbedaan pengakuan ini menyebabkan koreksi fiskal positif

beda tetap sebesar Rp 126.551.750,00 atas biaya penyusutan.


100

f. Biaya Bunga

Biaya Bunga yang dimaksud adalah biaya bunga atas pembayaran angsuran

aset sewa pembiayaan (leasing). Biaya ini secara komersial telah sesuai Standar

Akuntansi Keuangan bahwa yang diakui sebagai biaya hanya sebesar bunganya yaitu

sebesar Rp 60.744.840,00 dan sisanya sebesar Rp 150.013.929,00 merupakan

pengurang kewajiban yang dicatat mengurangi akun Leasing (hutang leasing) dalam

neraca perusahaan. Namun, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

menentukan lain untuk pengakuan atas pembayaran angsuran sewa pembiayaan

tersebut, bahwa baik beban keuangan yang berupa biaya bunga dan pelunasannya

diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible

expense). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c No.

1169/KMK.01/1991 tentang “Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)”. Berdasarkan

uraian di atas, penulis berpendapat bahwa perbedaan pengakuan atas biaya tersebut

menimbulkan koreksi negatif beda tetap pada rekonsiliasi fiskal perusahaan, di mana

dalam fiskal angsuran pokok atau jumlah pelunasannya digabungkan dengan biaya

bunga sebagai pengurang penghasilan bruto. Perusahaan tidak mengoreksi biaya

tersebut dalam rekonsiliasi fiskalnya. Menurut perhitungan penulis, seharusnya

perusahaan melakukan koreksi negatif beda tetap atas biaya bunga tersebut sebesar

Rp 150.013.929,00.

2. Beda Sementara (Beda Waktu):

Dalam rekonsiliasi fiskal perusahaan tidak terdapat beda waktu. Aset tetap

perusahaan disusutkan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, baik untuk kepentingan komersial maupun fiskal.


101

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa perbedaan

penghitungan koreksi fiskal yang dilakukan oleh perusahaan dengan penghitungan

menurut penulis. Perbandingan atas perbedaan penghitungan tersebut akan

disajikan dalam Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9
Perbandingan Rekonsiliasi Fiskal antara Data
Dengan Hasil Pembahasan
(Disajikan dalam Rupiah)
Data Pembahasan
Laba (rugi) sebelum PPh 559.401.200 559.401.200
Koreksi Fiskal:
Beda Tetap:
Entertainment 43.521.513 43.521.513
Biaya Pajak 60.717.482 60.717.482
Biaya Obat-obatan 14.716.850 14.716.850
Biaya Penyusutan - 126.551.750
Biaya Lain-lain 38.891.156 38.891.156
Pendapatan Bunga (991.433) (991.433)
Biaya bunga - (150.013.929)
Jumlah 156.855.568 6.841.639
Beda Sementara:
- - -
Laba Fiskal 716.256.768 692.794.589

Berikut ini adalah perbandingan antara hasil penghitungan Pajak Penghasilan

terutang yang dilakukan oleh perusahaan dengan penghitungan menurut penulis.


102

1. Penghitungan oleh Perusahaan

Penghasilan Neto Fiskal Tahun 2010 716.256.768

Pembulatan 716.256.000

Penghitungan Porsi Fasilitas dan Non Fasilitas

Fasilitas (4.800.000.000 : 38.885.116.380) x 716.256.000=88.415.032

Non Fasilitas 716.256.000 - 88.415.032=627.840.968

Pajak Penghasilan yang Terutang

Fasilitas (50% x 25% x 88.415.032) 11.051.879

Non Fasilitas (25% x 627.840.968) 156.960.242

PPh Yang Terutang 168.012.121

Kredit Pajak Tahun Lalu yang dipotong/ dipungut pihak lain

Kredit PPh Pasal 22 Import -

Kredit PPh Pasal 23 -

Kredit PPh Pasal 25 51.369.423

51.369.423

PPh yang masih harus dibayar 116.642.698

2. Penghitungan Menurut Penulis

Penghasilan Netto Fiskal Tahun 2010 692.794.589

Pembulatan 692.794.000

Penghitungan Porsi Fasilitas dan Non Fasilitas

Fasilitas (4.800.000.000 : 38.885.116.380) x 692.794.000=85.518.870

Non Fasilitas 692.794.000 - 85.518.870=607.275.130


103

Pajak Penghasilan yang Terutang

Fasilitas (50% x 25% x 85.518.870) 10.689.859

Non Fasilitas (25% x 607.275.130) 151.818.783

PPh Yang Terutang 162.508.642

Kredit Pajak Tahun Lalu yang dipotong/ dipungut pihak lain

Kredit PPh Pasal 22 Import -

Kredit PPh Pasal 23 -

Kredit PPh Pasal 25 51.369.423

51.369.423

PPh yang masih harus dibayar 111.139.219

Dari perhitungan di atas diketahui bahwa antara penghitungan menurut

perusahaan dengan penghitungan menurut penulis terdapat selisih, di mana PPh

terutang menurut perhitungan perusahaan lebih besar. Perhitungan perusahaan

menghasilkan PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 116.642.698,00 dan

perhitungan penulis menghasilkan PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp

111.139.219,00. Penyebab perbedaan tersebut adalah kesalahan pengakuan atas

transaksi leasing yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa menurut ketentuan

fiskal seluruh angsuran baik pokok maupun bunga merupakan pengurang penghasilan

bruto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun, kesalahan pengakuan

tersebut tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan, karena ketika biaya bunga

dikoreksi negatif sebesar pokok angsuran, biaya penyusutan atas aset leasing juga

dikoreksi positif, yang dalam hal ini ketentuan fiskal menyatakan bahwa penyusutan

atas aset leasing baru boleh dilakukan ketika hak opsi telah digunakan.
104

Beda sementara (beda waktu) dalam rekonsiliasi fiskal menimbulkan Pajak

Tangguhan. Pajak Tangguhan merupakan metode akuntansi pajak penghasilan yang

diterapkan pada perbedaan yang dapat dipulihkan. Berdasarkan PSAK 46 tentang

“Akuntansi Pajak Penghasilan”, perusahaan harus memperlakukan konsekuensi

pajak dari suatu transaksi dan kejadian lain sama dengan cara perusahaan

memperlakukan transaksi dan kejadian tersebut. Oleh karena itu, untuk transaksi

dan kejadian lain yang diakui pada laporan laba rugi, konsekuensi atau pengaruh

pajak dari transaksi dan kejadian tersebut harus diakui pula pada laporan laba rugi.

Sedangkan, untuk transaksi dan kejadian yang langsung dibebankan atau dikreditkan

ke ekuitas, konsekuensi atau pengaruh pajak dari transaksi dan kejadian tersebut

harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Pajak Tangguhan ini terdiri

atas Aset Pajak Tangguhan dan Liabilitas Pajak Tangguhan.

Perusahaan tidak menyajikan Aset Pajak Tangguhan maupun Liabilitas Pajak

Tangguhan dalam laporan keuangannya. Seperti telah dijelaskan di atas, dalam

rekonsiliasi fiskal perusahaan pada tahun 2010 tidak terdapat beda sementara (beda

waktu). Untuk kepentingan komersial, aset tetap perusahaan telah disusutkan

mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

C. Kendala dalam Rekonsiliasi dan Cara Mengatasinya

Perbedaan penghitungan laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba

menurut perpajakan (fiskal) disebabkan perbedaan tujuan maupun perbedaan dasar

penyusunan laporan keuangan. Terdapat beberapa praktik penyusunan laporan

keuangan fiskal untuk kepentingan penghitungan dan pelaporan Pajak Penghasilan


105

Badan. Rekonsiliasi fiskal merupakan bentuk laporan keuangan fiskal yang disusun

terpisah diluar proses pembukuan yang sering disebut sebagai extra comptable.

Bentuk laporan keuangan fiskal ini disusun melalui proses rekonsiliasi antara

akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal, yang sifatnya hanya sebagai tambahan

laporan keuangan komersial.

Berdasarkan wawancara penulis dengan manajer keuangan dan akuntansi

perusahaan, diperoleh informasi bahwa perusahaan telah berupaya untuk

menyelenggarakan laporan keuangan fiskal melalui proses rekonsiliasi dengan benar

sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, namun menemui

kendala berupa kesulitan dalam memahami dan menerapkan peraturan perundang-

undangan perpajakan, khususnya dalam hal perlakuan biaya atas sewa pembiayaan

(leasing).

Anda mungkin juga menyukai