Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemandirian suatu bangsa, dapat diukur dari kemampuan bangsa itu untuk

melaksanakan dan membiayai pembangunan sendiri. Salah satu sumber pembiayaan

pembangunan berasal dari penerimaan pajak. Sebagai sumber pendapatan negara,

pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk

menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara

membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.

Reformasi Perpajakan tahun 1983 mengubah sistem penetapan Pajak dari

official assesment system menjadi self assesment system. Dalam self assesment

system, Wajib Pajak diberikan wewenang untuk menghitung, memperhitungkan,

membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Peraturan perundang-

undangan perpajakan mengatur bahwa sarana untuk melaksanakan self assesment

system adalah Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan harus diisi dengan benar,

lengkap, dan jelas.

Dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP)

disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan

pembukuan. Namun, ada pengecualian bagi Wajib Pajak orang pribadi yang

1
2

melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperkenankan menghitung

penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yaitu

Wajib Pajak yang peredaran brutonya dalam setahun kurang dari Rp 4.800.000,00

dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan

bebas tetapi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi dua kriteria tersebut wajib melakukan

pencatatan.

Penyelenggaraan pembukuan/ pencatatan bertujuan untuk mempermudah :

1. Pengisian SPT

2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak

3. Penghitungan PPN dan PPnBM

4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan

hasil kegiatan usaha/ pekerjaan bebas.1

Dalam Pasal 4 ayat (4) UU KUP ditentukan bahwa Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan

harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta

keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak

sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Terutang. Kemudian dijelaskan dalam

Pasal 4 ayat (4a) bahwa yang dimaksud dengan laporan keuangan masing-masing

Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib

Pajak atau disebut laporan keuangan komersial.

1
Widyaningsih, Aristanti, Hukum Pajak dan Perpajakan Dengan Pendekatan Mind Map,
Alfabeta, Bandung, 2011, hal. 265.
3

Laporan keuangan komersial yang wajib dilampirkan masih bersifat umum,

dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu misalnya untuk

pengisian SPT. Dengan demikian laporan keuangan komersial tersebut tidak dapat

digunakan begitu saja untuk kebutuhan perpajakan, karena ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan mempunyai kriteria sendiri tentang pengakuan dan

pengukuran penghasilan dan beban yang belum tentu sesuai dengan Standar

Akuntansi Keuangan. Agar laporan keuangan komersial tersebut dapat digunakan

sebagai dasar penghitungan pajak terutang, maka perlu dilakukan penyesuaian-

penyesuaian atau rekonsiliasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.2

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan

penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut

perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai

kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan

keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Untuk kepentingan

komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang

berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK); sedangkan untuk

kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Perbedaan kedua dasar penyusunan laporan

keuangan tersebut mengakibatkan perbedaan penghitungan laba (rugi) suatu entitas

(Wajib Pajak).3

Sitorus, Sobo, Akuntansi Pajak, Modul STPI, Jakarta, 2013, Hal. 36.
2

Resmi, Siti, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2011, hal.369.
3
4

Berdasarkan uraian diatas,maka penulis bermaksud untuk menguraikan

permasalahan dalam rekonsiliasi fiskal sehubungan dengan penghitungan Pajak

Penghasilan dengan mengangkat pembahasan mengenai “REKONSILIASI

LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL MENJADI LAPORAN KEUANGAN

FISKAL SEBAGAI DASAR PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK

PENGHASILAN BADAN (Studi Kasus Pada PT Bio Farma,).”

B. Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, Penulis merumuskan masalah tersebut sebagai berikut :

1. Apakah laporan keuangan yang diselenggarakan oleh perusahaan telah

memenuhi persyaratan umum yang berlaku baik untuk laporan keuangan

komersial maupun laporan keuangan fiskal?

2. Apakah perusahaan melakukan rekonsiliasi fiskal atas laporan keuangannya?

Jika ya, apakah perusahaan melakukan pencatatan atas pos-pos yang

menyebabkan perbedaan fiskal?

3. Apa saja kendala yang dihadapi dalam menyusun rekonsiliasi fiskal dan

bagaimana mengatasinya ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dari penulisan karya tulis adalah :

1. Untuk mengetahui laporan keuangan perusahaan apakah telah memenuhi

persyaratan umum yang berlaku, baik untuk laporan keuangan komersial

maupun laporan keuangan fiskal.


5

2. Untuk mengetahui apakah perusahaan melakukan rekonsiliasi fiskal atas

laporan keuangannya dan apakah perusahaan melakukan pencatatan atas pos-

pos yang menyebabkan perbedaan fiskal.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala perusahaan dalam menyusun rekonsiliasi

fiskal dan cara mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan gambaran mengenai

perbandingan antara teori yang selama ini penulis peroleh di bangku kuliah

dengan kenyataan praktek di lapangan, sehingga dapat memperluas wawasan.

2. Bagi perusahaan, sebagai bahan masukan atau rujukan dalam melakukan

rekonsiliasi fiskal berdasarkan ketentuan yang berlaku.

3. Bagi pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian yang sejenis

diharapkan dapat membantu sebagai salah satu sumber penelitian.

E. Metodologi Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan mempelajari buku-buku dan literatur-literatur lain yang ada

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian lapangan (Field Research)

1) Observasi
6

Penulis mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan langsung

terhadap objek yang diteliti sehingga penulis mendapatkan gambaran yang

lebih nyata.

2) Wawancara

Penulis mengumpulkan data dengan melakukan dialog dan tanya jawab

dengan pimpinan dan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang

diteliti.

2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam mengolah dan menganalisis data-data yang ada, penulis menggunakan

metode deskriptif analitis yaitu metode yang memaparkan temuan/fakta secara

sistematis. Selanjutnya dari data yang telah diolah dan dianalisis dapat ditarik

kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penulisan ilmiah ini disajikan dalam 5 bab, secara garis

besar berisi hal-hal sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.
7

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam bab ini diuraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan

topik yang dibahas. Seperti, konsep akuntansi, konsep perpajakan,

laporan keuangan komersial, laporan keuangan fiskal, laporan

keuangan sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Badan,

rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal,

dan pajak tangguhan yang akan digunakan sebagai acuan untuk

menganalisis data dan informasi yang diperoleh.

BAB III : OBJEK PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai tempat dan waktu penelitian,

gambaran umum perusahaan tempat di mana penulis melakukan

kegiatan praktik kerja lapangan/riset. Hal-hal yang akan dibahas

adalah sejarah singkat perusahaan, kegiatan usaha, struktur

organisasi, tugas dan kewaiban masing-masing departemen. Selain

itu,aspek-aspek penelitianjuga diuraikan dalam bab ini.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pengolahan data

yang diperoleh selama melakukan praktik kerja lapangan/riset serta

merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini dijelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dalam

pembahasan dan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi

perusahaan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.


8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Perpajakan

1. Pengertian Pajak

a. Menurut Para Ahli

Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa

timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.4

Menurut S. I. Djajadiningrat, pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan

sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan

perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman,

menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak

ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan

secara umum.5

Menurut N. J. Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh

dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara

umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup

pengeluaran-pengeluaran umum.6

4
Resmi, Siti, op. cit., hal. 1.
5
Resmi, loc. cit.
6
Ibid., hal. 2.
9

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa para ahli hampir

sama dalam mendefinisikan pajak. Rochmat Soemitro dan S. I. Djajadiningrat sepakat

bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara menurut peraturan yang

ditetapkan pemerintah, yang secara spesifik disebut sebagai undang-undang oleh

Rochmat Soemitro, yang dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat kontraprestasi

langsung, untuk kesejahteraan umum. Sedangkan N. J. Feldmann (1949) sedikit

berbeda dalam mendefinisikan pajak, yaitu bahwa pajak wajib dibayar oleh rakyat

kepada penguasa menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum tanpa adanya

kontraprestasi.

b. Menurut Undang-Undang

Menurut Pasal 1 angka 1 UU KUP, pajak adalah kontribusi wajib kepada

negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan bahwa pajak adalah:

1) Kontribusi wajib atas orang pribadi atau badan kepada negara

2) Bersifat memaksa

3) Tidak mendapat imbalan langsung

4) Untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.

Dalam definisi tersebut, pajak diwajibkan atas orang pribadi atau badan yang

kemudian disebut Wajib Pajak yang ketentuannya diatur dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan. Pajak dapat dipaksakan namun tetap berdasarkan undang-

undang. Pajak yang dibayarkan Wajib Pajak tidak mendapat imbalan langsung
10

seperti retribusi, artinya bahwa pajak yang dibayarkan tidak dapat dirasakan langsung

manfaatnya oleh masing-masing individu pembayar pajak namun manfaat pajak dapat

dirasakan langsung oleh rakyat secara umum.

2. Asas-asas Pemungutan Pajak

Terdapat empat asas pemungutan pajak menurut Adam Smith:7

a) Asas Persamaan, Keadilan, dan Kemampuan (Equality, Equity, and

Ability)

Asas pemungutan pajak yang pertama dari Adam Smith di sebut sebagai asas

kesamaan (equality), keadilan (equity), dan kemampuan membayar (ability to pay).

Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang

berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dengan

demikian diharapkan akan tercapai keadilan (equity) di antara para pembayar pajak,

karena mereka akan dikenakan pajak berdasarkan kemampuannya dalam membayar

pajak (ability to pay) yang memang berbeda antara seorang Wajib Pajak dengan

Wajib Pajak lainnya.

b) Asas Kepastian (Certainty)

Kepastian yang dimaksud di sini adalah kepastian yang berhubungan dengan

hukum, yang mengandung arti jaminan hukum dan bukan kepastian yang didasarkan

pada kesewenang-wenangan. Asas kepastian (certainty) berarti penarikan pajak oleh

negara (fiskus) kepada para Wajib Pajak harus dilakukan dengan kepastian hukum

berdasarkan peraturan tertulis dalam suatu sumber hukum, yang dalam arti formal

berbentuk undang-undang dan dalam pembuatannya harus diupayakan supaya

7
Siahaan, Marihot Pahala, Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.55.
11

ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Perpajakan jelas, tegas, dan tidak

mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Lebih jauh

asas kepastian berarti dalam pemungutan pajak harus ada kepastian hukum mengenai

subjek, objek, tarif, mekanisme pemungutan, sanksi administrasi, dan sanksi pidana.

c) Asas Kenyamanan Pembayaran (Convenience of Payment)

Asas yang ketiga berkaitan dengan kesenangan atau kenyamanan Wajib Pajak

dalam membayar pajak (convenience of payment). Hal ini berarti pemungutan dan

pembayaran pajak hendaknya dilakukan pada waktu Wajib Pajak dalam keadaan

yang paling tepat dan baik, yaitu pada saat Wajib Pajak mampu membayar pajak

(sewaktu mempunyai uang) atau saat menerima penghasilan. Misalnya pada waktu

menerima upah, pada saat menerima hasil panen, pada waktu membeli barang, dan

lain-lain. Dalam hal ini tidak semua Wajib Pajak mempunyai saat convenience yang

sama, karena itu teknik pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus harus

disesuaikan dengan kondisi Wajib Pajak yang dituju.

d) Asas Efisiensi (Economic of Collection)

Asas yang terakhir ini berkaitan dengan biaya pemungutan pajak (economic of

collection), yaitu biaya sejak Wajib Pajak membayar pajak sampai uang pajak masuk

ke kas negara hendaknya seminim mungkin dan diusahakan supaya hasil pemungutan

pajak jauh lebih besar dari biaya pemungutannya. Dengan kata lain hendaknya biaya

pemungutan pajak harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang

masuk.
12

3. Penghasilan

Dalam literatur akuntansi terdapat beberapa pengertian atau definisi

penghasilan. Menurut Niswonger, pendapatan adalah jumlah yang ditagih kepada

pelanggan atas barang ataupun jasa yang diberikan kepada mereka. Niswonger juga

menjelaskan bahwa pendapatan atau revenue merupakan kenaikan kotor atau gross

dalam modal pemilik yang dihasilkan dari penjualan barang dagangan, pelaksanaan

jasa kepada pelanggan atau klien, penyewa harta, peminjam uang, dan semua

kegiatan usaha serta profesi yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan.

Harvey S. Rosen (2005) menyatakan bahwa para ahli ekonomi dibidang

kebijakan publik mempunyai definisi sendiri tentang penghasilan yang mereka

namakan definisi Haig-Simon (dinamakan sesuai dengan pencetus ide awalnya yaitu

Robert M. Haig dan Henry c. Simons, ekonom pada masa awal abad 20-an) yang

mendefinisikan penghasilan sebagai “The money value of the net increase to an

individual’s power to consume during a period. This is equal to the amount actually

consumed during the period plus net additions to wealth”

Dengan kata lain, penghasilan didefinisikan sebagai nilai uang dari kenaikan

kemampuan belanja individu neto selama periode tertentu yang senilai dengan jumlah

konsumsi aktual (berkonsumsi) selama suatu periode tertentu ditambah penambahan

jumlah kekayaan neto (tabungan). Tabungan juga merupakan unsur penghasilan

karena mereka menunjukkan peningkatan kemampuan konsumsi yang potensial.

Para ahli menyarankan agar definisi penghasilan yang terpakai hendaknya

tidak memandang sumbernya, artinya dari apa atau dari mana saja sumber tambahan

kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat dipakai memenuhi
13

kebutuhan, legal atau illegal, halal atau haram, termasuk hadiah, pembebasan hutang,

menang undian dan lain-lain.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, penghasilan adalah setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal

dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam

bentuk apapun.

Penghasilan diakui saat diterima atau diperoleh, yaitu bahwa penghasilan baru

diakui setelah ada realisasi. Penghasilan diakui bukan hanya saat diterimanya kas,

tetapi juga saat penghasilan terbentuk (misal: melalui kontrak/ kesepakatan), yang

dalam memori penjelasan Pasal 28 ayat (5) UU KUP antara lain dikemukakan

sebagai berikut :

a. Stelsel Akrual

Pengertian diperoleh merujuk kepada stelsel akrual yaitu metode

penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu

diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan

penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan

berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya

dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang digunakan dalam bidang usaha

tertentu seperti built operate and transfer (BOT) dan real estat. Perlu diketahui bahwa

terhitung mulai 1 Januari 2009 berdasarkan PP No : 40 Tahun 2009 tentang


14

perubahan PP No : 51 Tahun 2008, pengenaan PPh atas penghasilan jasa konstruksi

adalah bersifat final.

b. Stelsel Kas

Pengertian diterima merujuk kepada stelsel kas (cash basis) yaitu penghasilan

baru diakui sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam

suatu periode tertentu serta biaya baru diakui sebagai biaya apabila benar-benar telah

dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau

perusahaan jasa seperti transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara

penyerahan jasa dan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas

murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat

pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang,

jasa dan biaya operasi lain dibayar.

Dengan demikian pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan

yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke

tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh

karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan, pemakaian stelsel kas harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh

penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga

pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.


15

b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat

diamortisasi, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan hanya

dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

c. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara konsisten.

Dengan memperhatikan persyaratan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam

pemakaian stelsel dalam perpajakan adalah stelsel akrual dan stelsel campuran

(stelsel kas dengan akrual).

Sekalipun dalam akuntansi dan perpajakan sama-sama menganut stelsel

akrual, tetapi stelsel kas lebih ditekankan untuk beberapa transaksi dalam perpajakan.

Hal ini disebabkan karena adanya konsep ability to pay dalam perpajakan, yaitu

konsep yang menyatakan bahwa pajak harus dipungut pada saat yang bersangkutan

mempunyai kemampuan untuk membayar (likuid). Sebagai contoh, uang sewa yang

diterima di muka dalam perpajakan diakui sekaligus sebagai penghasilan khususnya

oleh wajib pajak perseorangan, sedangkan untuk keperluan komersial penghasilan

hanya diakui pada masa persewaan.8

Konsep ability to pay mengakibatkan adanya penangguhan pengakuan

terhadap biaya-biaya tertentu, yaitu pada saat pembayaran dilakukan atau pada saat

piutang benar-benar dihapus. Misalnya, piutang ragu-ragu dapat diakui sebagai biaya

fiskal jika piutang tersebut nyata-nyata tidak dapat ditagih; sedangkan untuk

keperluan komersial piutang ragu-ragu telah dapat dibiayakan. Kerugian akibat

selisih nilai tukar dalam valuta asing tidak dapat diakui dalam perpajakan sebelum

terjadi realisasi pembayaran, sedangkan dalam akuntansi kerugian tersebut dapat

8
Lumbantoruan, Sophar, Akuntansi Pajak, Grasindo, Jakarta, 1996, hal. 112.
16

diakui sebagai biaya sekalipun belum direalisasikan. Dari keterangan tersebut dapat

disimpulkan bahwa sebenarnya perpajakan tidak sepenuhnya menerapkan asas akrual

untuk menetapkan penghasilan dan biaya.9

4. Beban

Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak

dicantumkan pengertian atau definisi beban/ biaya. Namun demikian jika diteliti lebih

lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat ditarik kesimpulan

bahwa biaya adalah segala sesuatu yang dapat dikurangkan dari penghasilan untuk

menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yaitu biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan (tidak termasuk kerugian yang dapat

dikompensasikan dan PTKP).

Kriteria pengeluaran yang dapat dikurangkan dalam penghitungan

Penghasilan Kena Pajak adalah:10

a. Pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) dibebankan pada tahun

pengeluaran sedangkan pengeluaran kapital (capital expenditure) dibebankan

melalui penyusutan dan amortisasi.

b. Terdapat hubungan langsung dengan usaha dan kegiatan.

c. Tidak terkait dengan penghasilan yang bukan objek pajak atau penghasilan

yang dikenakan pajak yang bersifat final.

d. Pengeluaran kas, bukan natura atau kenikmatan.

9
Ibid., hal. 113.
10
Sitorus, Sobo, op. cit., hal.111
17

e. Dalam batas kewajaran dan sesuai dengan adat pedagang yang baik (sound

bussiness practice).

Beban/ biaya yang tidak boleh dikurangkan (tidak diakui) dalam menghitung

besarnya penghasilan kena pajak adalah:

a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan

merupakan objek pajak;

b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

pengenaan pajaknya bersifat final;

c. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Neto sebagaimana

dimaksud dalam pasal 14 dan Norma Penghitungan Penghasilan Khusus

sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 UU PPh;

d. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak

atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh

tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut

ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak;

e. Kerugian atas harta atau hutang yang tidak dimiliki dan dipergunakan dalam

usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang merupakan objek pajak;

f. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana

berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di

bidang perpajakan;
18

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b kecuali sumbangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m

serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang

dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang

sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima

oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang

ketentuannya diatur atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

h. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak

tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,

sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan konsumen dan perusahaan

anjak piutang; cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan

sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan

penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan; cadangan biaya reklamasi

untuk usaha pertambangan; cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha

kehutanan; dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat

pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang

ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan;

i. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan

dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam

bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan


19

pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan;

j. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham

atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

k. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,

kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai

penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

l. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang

saham, sekutu atau anggota;

m. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

n. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib

Pajak atau yang menjadi tanggungannya.

Dasar pengukuran beban dalam penjualan adalah sama dengan dasar

pengukuran yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan komersial yaitu

biaya historis (historical cost).

5. Aset Tetap

a. Pengertian Aset tetap

Di dalam Undang-Undang Perpajakan tidak dicantumkan definisi aset tetap.

Namun dalam Pasal 11 ayat (1) UU PPh, aset tetap disebut dengan istilah harta
20

berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Suatu benda berwujud diakui sebagai aset tetap menurut perpajakan harus

memenuhi kriteria:

1) Dimiliki dan digunakan dalam usaha atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih

dari setahun;

2) Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam kegiatan normal perusahaan.

Masalah kepemilikan harta sangat diperhatikan dalam perpajakan. Karena itu,

tanda bukti kepemilikan atas nama Wajib Pajak seperti sertifikat hak milik tanah,

BPKB, Faktur pembelian, dan bukti-bukti lain yang lazim harus dapat ditunjukkan.

Jadi, jika nama yang tercantum pada bukti kepemilikan tersebut bukan nama Wajib

Pajak yang bersangkutan, harta tersebut tidak boleh dianggap sebagai harta wajib

pajak/ dengan demikian, penyusutan harta tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai

biaya (nondeductible expense).

b. Pengertian Penyusutan

Menurut UU PPh, penyusutan atau depresiasi merupakan konsep alokasi

harga perolehan harta tetap berwujud. Oleh karena itu, baik menurut akuntansi

komersial maupun ketentuan perpajakan nilai aset tetap tidak boleh dibebankan

sekaligus sebagai biaya. Pembebanan aset tetap dilakukan melalui alokasi secara

berangsur-angsur dengan cara penyusutan atau amortisasi, yaitu proses untuk

mengalokasikan harga perolehan aset tetap menjadi biaya selama masa manfaat aset

yang bersangkutan.
21

c. Dasar Penyusutan

Dalam memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPh dinyatakan bahwa

penyusutan dilakukan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang

dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

dasar penyusutan adalah harga perolehan. Kemudian dijelaskan dalam memori

penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PPh bahwa yang termasuk dalam harga perolehan

adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta

tersebut, termasuk bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.

d. Saat Mulai Penyusutan

Menurut fiskal, seperti dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (3) UU PPh,

penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang

masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada bulan selesainya

pengerjaan harta tersebut.

Kemudian dalam Pasal 11 ayat (4) UU PPh dinyatakan, dengan persetujuan

Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai

pada bulan aset tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

e. Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan

Berbeda dengan ketentuan penyusutan menurut akuntansi komersial, masa

manfaat dan tarif penyusutan aset tetap berwujud dalam perpajakan bersifat pasti

karena telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (6) UU PPh, sebagai berikut:
22

Tarif penyusutan Sebagaimana


Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Dimaksud pada
Ayat (1) Ayat (2)

Garis Lurus Saldo Menurun


Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

Bangunan
5% -
Permanen 20 Tahun
10% -
Tidak Permanen 10 Tahun

f. Nilai Sisa (Nilai Residu)

Untuk perhitungan penyusutan fiskal, nilai sisa ini tidak diperhitungkan,

seperti telah dijelaskan di Pasal 10 dan 11 UU PPh, dasar penyusutan adalah harga

perolehan. Sedangkan yang termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan

biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh aset tersebut seperti bea masuk,

biaya pengangkutan dan pemasangan.

g. Metode Penyusutan

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU PPh, metode penyusutan aset tetap

berwujud yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal adalah metode garis


23

lurus (baik untuk non-bangunan maupun bangunan) dan metode saldo

menurun (hanya untuk aset tetap berwujud non-bangunan).

h. Konsistensi Penggunaan Metode Penyusutan

Seperti dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (5) dan (6) UU KUP, bahwa

pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau

stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus

mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan menurut ketentuan

komersial perubahan metode penyusutan tidak perlu meminta persetujuan dari

Direktur Jenderal Pajak.

6. Pengeluaran Pendapatan (Revenue Expenditure) dan Pengeluaran Modal

(Capital Expenditure)

Pengeluaran modal (capital expenditure) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan

dalam rangka memperoleh aset tetap, meningkatkan efisiensi operasional dan

kapasitas produktif aset tetap, serta memperpanjang masa manfaat aset tetap. Biaya-

biaya ini biasanya dikeluarkan dalam jumlah yang cukup besar (material), namun

tidak sering terjadi.

Contoh dari pengeluaran modal adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk

membeli aset tetap, tambahan komponen aset tetap, dan atau untuk mengganti

komponen aset tetap yang ada, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat,

meningkatkan efisiensi, kapasitas, dan atau memperpanjang masa manfaat dari aset

tetap terkait.

Dengan kata lain, pengeluaran modal adalah pengeluaran-pengeluaran yang

tidak dibebankan langsung sebagai beban dalam laporan laba rugi, melainkan
24

dikapitalisasi terlebih dahulu sebagai aset tetap di neraca, karena pengeluaran-

pengeluaran ini akan memberikan manfaat bagi perusahaan di masa mendatang.

Pengeluaran-pengeluaran dalam kategori ini akan dicatat dengan cara mendebet akun

aset tetap terkait. Nantinya, secara periodik dan sistematis, bagian dari harga

perolehan aset tetap ini akan dialokasikan menjadi beban penyusutan untuk masing-

masing periode yang menerima manfaat atas pengeluaran modal tadi.

Pengeluaran pendapatan (revenue expenditure) adalah biaya-biaya yang hanya

akan memberi manfaat dalam periode berjalan, sehingga biaya-biaya yang

dikeluarkan tidak akan dikapitalisasi sebagai aset tetap di neraca, melainkan akan

langsung dibebankan sebagai beban dalam laporan laba rugi periode berjalan di mana

biaya tersebut terjadi (dikeluarkan). Contoh dari pengeluaran ini adalah beban untuk

pemeliharaan dan perbaikan aset tetap.

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan untuk mempertahankan aset tetap

agar selalu berada dalam kondisi operasional yang baik, dikenal sebagai beban

pemeliharaan, contohnya adalah pengeluaran untuk pengecatan dinding bangunan,

penggantian pelumas mesin, dan sebagainya.

Pengeluaran untuk beban pemeliharaan ini adalah hal yang biasa, terjadi

berulang, biasanya dalam jumlah yang kecil (tidak material), dan tidak akan

meningkatkan efisinsi, kapasitas, atau memperpanjang masa manfaat dari aset tetap

terkait, oleh karena itu akan segera dicatat sebagai beban ketika terjadi.

Sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan untuk mengembalikan

aset tetap ke kondisi operasional yang baik setelah adanya kerusakan dan atau untuk

mengganti komponen aset tetap yang rusak, dikenal sebagai beban perbaikan.
25

Pengeluaran untuk beban perbaikan ini juga adalah hal yang biasa, bisa terjadi

berulang, biasanya dalam jumlah yang kecil (tidak material), dan tidak akan

meningkatkan efisiensi, kapasitas, atau memperpanjang masa manfaat dari aset tetap

terkait, oleh karena itu juga akan segera dicatat sebagai beban ketika terjadi.

Pada dasarnya, biaya-biaya yang dikeluarkan atas aset tetap dapat

diklasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu tahap pendahuluan, sebelum perolehan,

perolehan atau konstruksi, dan pemakaian.

Tahap pendahuluan terjadi sebelum pihak perusahaan yakin atas kemungkinan

dilakukannya pembelian aset tetap. Selama tahap ini, perusahaan biasanya akan

melakukan studi kelayakan dan analisis keuangan untuk menentukan kemungkinan

diperolehnya aset tetap. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam tahap pendahuluan ini

tidaklah dapat dikaitkan dengan aset tetap tertentu, sehingga harus diperlakukan

sebagai pengeluaran pendapatan.

Pada tahap pra-perolehan keputusan untuk membeli aset tetap telah menjadi

mungkin, namun belum terjadi. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam tahap ini, seperti

biaya survei, sudah dapat dikaitkan dengan aset tetap tertentu yang akan dibeli

sehingga harus diperlakukan sebagai pengeluaran modal.

Dalam tahap perolehan atau konstruksi, pembelian aset tetap terjadi atau

konstruksi telah dimulai, namun aset tetap tersebut belum siap untuk digunakan.

Biaya-biaya yang terkait langsung dengan aset tetap yang dibeli ini harus

dikapitalisasi dalam akun aset tetap tersebut. Contohnya adalah harga beli mesin,

pajak, ongkos angkut, biaya asuransi selama dalam perjalanan, ongkos pemasangan

dan biaya uji coba sampai mesin tersebut benar-benar dapat dioperasikan akan dicatat
26

dalam akun mesin. Demikian juga, untuk bangunan yang dibangun sendiri, biaya-

biaya yang terkait langsung dengan pembangunan gedung baru tersebut akan

dikapitalisasi sebagai akun pekerjaan dalam penyelesaian (construction in progress).

Ketika bangunan tersebut telah selesai dibangun dan siap untuk dimanfaatkan, maka

biaya yang telah dikapitalisasi sebagai akun pekerjaan dalam penyelesaian akan

dihansfer ke dalam akun aset tetap terkait, yaitu akun bangunan. Contohnya adalah

biaya arsitek, biaya untuk membeli bahan-bahan bangunan, biaya upah pekerja, biaya

sewa peralatan untuk membangun, bahkan termasuk bunga atas dana yang dipinjam

untuk membiayai pembangunan gedung baru tersebut.

Dalam tahap pemakaian, aset tetap telah siap digunakan. Sepanjang tahap ini,

aset tetap seharusnya disusutkan. Selama tahap ini, segala aktivitas perbaikan dan

pemeliharaan atas aset tetap yang sifatnya normal serta berulang harus dicatat

langsung ke dalam akun beban untuk periode bersangkutan. Sedangkan biaya yang

terjadi untuk memperoleh tambahan komponen aset tetap atau mengganti komponen

yang sudah ada haruslah dikapitalisasi, sepanjang biaya-biaya ini dapat meningkatkan

efisiensi operasional dan kapasitas produktif aset tetap atau memperpanjang masa

manfaat aset tetap bersangkutan.

Dalam praktik, suatu pengeluaran atas aset tetap akan dikategorikan sebagai

pengeluaran modal atau pengeluaran pendapatan sangat tergantung sekali pada

kebijakan manajemen mengenai batas ambang tingkat materialitas dalam

mengapitalisasi suatu pengeluaran. Kalau kita berbicara mengenai tingkat

materialitas, sudah tentu bahwa setiap perusahaan memiliki ukuran yang berbeda-

beda, sehingga sangatlah mungkin bahwa sebuah pengeluaran yang sama namun akan
27

diperlakukan secara berbeda di masing-masing perusahaan. Sebagai contoh, misalkan

di perusahaan A memiliki kebijakan bahwa setiap pembelian barang (selain barang

dagangan) senilai Rp. 150.000,- ke atas akan dikapitalisasi sebagai pengeluaran

modal, sedangkan di perusahaan B, setiap pembelian barang (selain barang dagangan)

senilai Rp. 275.000,- ke atas baru akan dikapitalisasi sebagai pengeluaran modal.

Jadi, jika seandainya perusahaan A dan perusahaan B meskipun sama-sama

melakukan pembelian sebuah tirai penutup jendela (yang diperkirakan memiliki masa

manfaat lebih dari satu tahun dan akan dipakai) seharga Rp. 180.000,- namun masing-

masing pengeluaran ini akan diperlakukan secara berbeda pada masing-masing

perusahaan. Di perusahaan A, pembelian tirai penutup jendela akan dicatat sebagai

aset tetap (pengeluaran modal), sedangkan di perusahaan B akan langsung dicatat

sebagai beban (pengeluaran pendapatan) dalam laporan laba rugi periode berjalan di

mana pembelian tersebut dilakukan.

Kesalahan pembebanan pengeluaran modal dan pengeluaran pendapatan akan

mengacaukan perhitungan laba/ rugi dan neraca. Misalnya, jika uang pembayaran

mesin dihitung sebagai biaya, laba perusahaan akan menjadi lebih kecil. Jika

pengeluaran pendapatan dikapitalisasikan, laba perusahaan menjadi lebih besar dari

yang seharusnya. Oleh karena itu, kriteria pengeluaran modal dan pengeluaran

pendapatan sangat penting.

Ketentuan perpajakan juga sangat tegas dan jelas mengatur biaya pengeluaran

modal dan pengeluaran pendapatan di memori penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

“Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2

(dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih
28

dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.

Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan

biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga,

biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan

melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu

tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau selisih kurs, maka

kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.”

Sering terjadi pengeluaran yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun buku,

tetapi karena jumlahnya relatif kecil manajemen memutuskannya sebagai biaya rutin

atau pengeluaran pendapatan. Keputusan demikian diambil karena pengaruhnya tidak

material terhadap penetapan penghasilan. Barang yang masa manfaatnya dapat lebih

dari satu tahun buku dan harganya relatif rendah misalnya cangkir dan alat-alat kecil.

Masalah jenis pengeluaran untuk pembelian alat-alat kecil seperti di atas,

tidak diatur dengan jelas dalam ketentuan perpajakan. Namun penulis berpendapat

bahwa biaya jenis pengeluaran seperti dimaksud di atas dapat dibebankan sekaligus

pada saat pengeluarannya. Artinya, fiskus dapat menganut konsep materialitas dalam

hal jenis pengeluaran tersebut.


29

B. Konsep Akuntansi

1. Pengertian Akuntansi

Menurut American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), 1953,

dalam Accounting Terminology Bulletin No. 1:

“Accounting is the art of recording, classifying, and summarizing in a significant

manner and in terms of money, transactions, and events, which are, in part at least of

financial character and interpreting the results there of”

Kalimat itu dapat diterjemahkan sebagai berikut. Akuntansi adalah suatu seni

pencatatan, pengklasifikasian, dan pengikhtisaran dengan suatu cara tertentu, yang

dinyatakan dalam uang, transaksi, dan peristiwa, paling tidak mengenai karakter

keuangan dan penafsiran hasil. Menurut American Accoounting Assosiation (AAA),

1966, dalam A Statement of Basic Accounting Theory dikatakan, “Accounting is the

process of identifying, measuring, and communicating economic information, to

permit informed judgement and decisions by users of the information.”

Kalimat itu dapat diterjemahkan sebagai berikut. Akuntansi adalah suatu

proses yang meliputi identifikasi, pengukuran, dan komunikasi dari informasi

ekonomi yang memungkinkan penilaian dan pengambilan putusan yang berharga oleh

pengguna informasi. AICPA merumuskan ulang pengertian akuntansi melalui

Accounting Principles Board (APB) dalam opini No. 4, 1970 yang mengatakan,

“Accounting is a service activity. Its function is to provide quantitative information,

primarily financial in nature, about economic entities, that is intended to be useful in

making economic decisions, in making reasoned choices amon alternative sources of

action.”
30

Kalimat ini dapat diterjemahkan sebagai berikut. Akuntansi adalah aktivitas

jasa yang berfungsi untuk menghasilkan informasi yang bersifat kuantitatif, terutama

tentang keuangan dari suatu entitas ekonomi yang dimaksudkan untuk dapat berguna

dalam pengambilan putusan ekonomi dalam menentukan pilihan yang dianggap

memiliki dasar yang kuat yang dibandingkan dengan pengambilan pilihan yang

lainnya.11

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut:

a. Akuntansi adalah sebuah proses

b. Merupakan identifikasi, pengukuran, dan pengomunikasian data kuantitatif

perusahaan

c. Hasilnya digunakan manajemen untuk pengambilan keputusan ekonomi

perusahaan

Dengan demikian akuntansi memiliki kegunaan:12

a. Perencanaan (planning): melalui informasi ekonomi yang tepat manajemen

perusahaan dapat menyusun rencana baik bersifat jangka pendek maupun

jangka panjang.

b. Pengendalian (controlling): melalui informasi ekonomi yang akurat, maka

manajemen perusahaan dapat mengontrol, menilai terhadap jalannya

perusahaan.

c. Pertanggungjawaban (responsibility): meskipun laporan bersifat data

kuantitatif, laporan tersebut dapat dipergunakan juga untuk menelusuri data

11
Sugiono, Arief, et all, Akuntansi dan Pelaporan Keuangan : untuk Bisnis Skala Kecil dan
Menengah, Grasindo, Jakarta, 2002, hal. 4.
12
Ibid., hal. 5.
31

kualitatif, sehingga dapat digunakan untuk bahan pertanggungjawaban

manajemen.

2. Asumsi Dasar Akuntansi

“Lima asumsi dasar (basic assumptions) yang mendasari struktur akuntansi

keuangan adalah: (1) entitas ekonomi (economic entity), (2) kelangsungan hidup

(going concern), (3) unit moneter (monetary unit), (4) periodisitas (periodicity), dan

(5) dasar akrual (accrual basis).”13

a. Asumsi Entitas Ekonomi

Asumsi entitas ekonomi (economic entity assumption) mengandung arti

bahwa aktivitas dapat diidentifikasi dengan unit pertanggungjawaban tertentu.

Dengan kata lain, aktivitas entitas bisnis dapat dipisah dan dibedakan dengan

aktivitas pemiliknya dan dengan setiap unit bisnis lainnya. Jika kita tidak memiliki

cara untuk memisahkan semua kejadian ekonomi yang terjadi, maka kita juga tidak

memiliki dasar akuntansi. Konsep entitas tidak berlaku semata-mata untuk pemisahan

aktivitas antara perusahaan bisnis. Seorang individu, sebuah departemen atau divisi,

atau sebuah industri secara keseluruhan dapat dianggap sebagai sebuah entitas

terpisah jika kita memilih untuk mendefinisikan unit terah jika kita memilih untuk

mendefinisikan unit tersebut seperti itu. Jadi konsep entitas tiidak selalu mengacu

kepada entitas legal. Perusahaan induk dan anak perusahaannya merpakan entitas

legal yang terpisah, tetaapi penggabungaan aktivitas-aktivitas mereka untuk tujuan

akuntansi dan pelaporan tidak melanggar asumsi entitas ekonomi.

13
Kieso, Donald E., Weygandt, Jerry J. dan Warfield, Terry D., Intermediate Accounting
Volume 1 IFRS edition, Jhon Willey & Sons, USA, 2011, hal. 48.
32

b. Asumsi Kelangsungan Usaha

Sebagian besar metode akuntansi didasarkan atas asumsi kelangsungan usaha

(going concern assumption), yaitu perusahaan bisnis akan memiliki unsur yang

panjang. Walaupun akuntan tidak akan percaya bahwa perusahaan akan hidup

selamanya, namun akuntan mengasumsikan bahwa perusahaan yang akan hidup

cukup lama untuk memenuhi tujuan dan komitmen mereka. Asumsi kelangsungan

hidup berlaku dalam banyak situasi bisnis. Hanya pada saat likuidasi tampaknya tidak

bisa dihindarkan lagi, asumsi kelangsungan hidup tidak dapat diterapkan.

c. Asumsi Unit Moneter

Asumsi unit moneter (monetary unit assumption) mengandung arti bahwa

uang adalah denominator umum dari aktivitas ekonomi dan merupakan dasar yang

tepat bagi pengukur dan analisis akuntansi. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa unit

moneter adalah cara yang paling efektif untuk menunjukan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan tentang perubahan modal serta pertukaran barang dan jasa. Unit

moneter adalah unit yang relevan sederhana, tersedia secara universal, dapat

dipahami dan berguna. Aplikasi asumsi ini bergantung kepada asumsi-asumsi yang

mendasar bahwa data kuantitatif akan berguna dalam mengomunikasikan informasi

ekonomi dan membuat keputusan ekonomi secara rasional. Di Amerika Serikat,

akuntan secara umum memilih untuk mengabaikan fenomena perubahan tingkat

harga (inflasi dan deflasi) dengan mengasumsikan bahwa unit pengukuran –dollar-

relatif stabil dari waktu ke waktu.


33

d. Asumsi Periodisitas

Cara yang paling akurat untuk mengukur hasil operasi perusahaan adalah

dengan mengukurnya pada saat perusahaan tersebut dilikuidasi. Namun para

pemakai laporan keuangan tidak bisa menunggu selama itu untuk menerima

informasi tentang hasil operasi. Pemakai perlu diberitahu tentang kinerja dan status

ekonomi perusahaan dari waktu ke waktu agar dapat mengevaluasi dan

membandingkan dengan perusahaan lain. Jadi, informasi harus dilaporkan secara

periodik.

Asumsi periodisitas (periodicity assumption) atau periode waktu

mengisyaratkan bahwa aktivitas ekonomi sebuah perusahaan dapat dipisahkan

kedalam periode waktu yang bervariasi, tetapi yang paling umum adalah secara

bulanan, kuartalan, dan tahunan.

e. Asumsi Akrual Akuntansi (Accrual Basis of Accounting)

Perusahaan menyiapkan laporan keuangan menggunakan dasar akrual.

Akuntansi dasar akrual berarti bahwa transaksi yang mengubah laporan keuangan

perusahaan dicatat pada periode di mana peristiwa-peristiwa terjadi. Misalnya,

dengan menggunakan basis akrual berarti bahwa perusahaan mengakui pendapatan

apabila kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke

perusahaan dan pengukuran yang dapat diandalkan adalah mungkin (prinsip

pengakuan pendapatan). Ini berbeda dengan pengakuan berdasarkan penerimaan kas.

Selain itu, berdasarkan akrual, perusahaan mengakui beban pada saat terjadinya

(prinsip pengakuan beban) bukan pada saat dibayar.


34

3. Prinsip-prinsip Akuntansi

Prinsip-prinsip dasar akuntansi komersial telah banyak dikemukakan para

ahli, tetapi umumnya mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan, yaitu dasar akrual

(accrual basis) dan kelangsungan usaha (going concern). APB Statement No.4

menyatakan terdapat sembilan prinsip dasar akuntansi:14

a. Cost Principle

Prinsip biaya (cost principle) atau biaya historis (historical cost), yaitu dasar

penilaian untuk mencatat perolehan barang, jasa, harga pokok, biaya, maupun

ekuitas, sehingga yang paling pokok adalah penilaian yang didasarkan harga

pertukaran pada tanggal perolehan.

b. Revenue Principle

Prinsip pendapatan (revenue principle) ini lebih menjelaskan tentang sifat dan

komponen, pengukuran, maupun pengakuan pendapatan sebagai salah satu komponen

penyusunan laporan laba-rugi.

c. Matching Principle

Prinsip dasar pemadanan atau penandingan (matching) menjelaskan masalah

pengaturan pembebanan biaya pada periode-periode yang sama dengan periode

pengakuan hasil, sedangkan biayanya dibebankan sesuai periode tersebut.

d. Objectivity Principle

Masalah objektivitas (objectivity) mempunyai penafsiran yang berbeda.

Sebagai contoh objektivitas sebagai realitas yang disampaikan pihak ketiga yang

independen (misalnya laporan rekening koran dari bank), objektivitas dianggap

14
Waluyo, Akuntansi Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal. 25.
35

sebagai hasil konsensus kelompok yang mengukur ataupun objektivitas diukur

dengan penentuan batas atau limit tertentu.

e. Consistency Principle

Pada prinsip konsistensi (consistency principle) ini prosedur dan prinsip

akuntansi yang sama harus diterapkan dalam periode yang bersangkutan, sehingga

peristiwa ekonomis yang sejenis akan dicatat dan dilaporkan secara konsisten. Oleh

karena itulah, laporan keuangan akan dapat diperbandingkan.

f. Disclosure Principle

Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) mengharuskan laporan keuangan

dibentuk dan disajikan dari peristiwa ekonomi yang mempengaruhi perusahaan dalam

suatu periode. Laporan keuangan diharapkan cukup informatif sehingga para

pengguna laporan keuangan dapat memperoleh manfaat dari informasi keuangan

tersebut. Penyajian laporan keuangan tersebut harus lengkap (full), jujur (fair) dan

memadai (adequate; mencakup informasi minimal yang memang harus disajikan).

g. Conservatism Principle

Prinsip ini merupakan prinsip pengecualian. Prinsip konservatisme

(conservatism principle) umumnya digunakan untuk hal yang sifatnya tidak menentu

atau ditengah kondisi ketidakpastian. Tetapi dengan semakin banyaknya pihak yang

mengutamakan penyajian jujur (fair) dan dapat diandalkan (reliable), prinsip

konservatisme semakin berkurang penekananya. Salah satu contoh penerapan prinsip

konservatisme adalah penyajian persediaan pada nilai terendah antara harga

perolehan dan harga pasar (lower of cost or market-LOCOM) yang bertentangan

dengan konsep historis.


36

h. Materiality Principle

Seperti konservatisme, prinsip materialitas (materiality) juga termasuk dalam

pengecualian. Accountants International Study Group memberikan pengertian

materialitas sebagai “persoalan pertimbangan profesional penting. Pos-pos tertentu

harus dianggap material bila pengetahuan tertentu dianggap secara wajar

menimbulkan pengaruh bagi pengguna laporan keuangan”. Menurut APB Statement

No.4, prinsip materialitas mengandung arti bahwa laporan keuangan hanya

menyangkut informasi yang dianggap penting (material) dalam mempengaruhi

penilaian.

i. Uniformity and Comparability Principle

Prinsip ini menekankan pada keseragaman dan dapat diperbandingkan, yang

merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan prinsip

akuntansi.

4. Penghasilan

Dalam paragraf 70 butir a “Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian

Laporan Keuangan” dijelaskan bahwa penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat

ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan

aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak

berasal dari konstribusi penanam modal. Penghasilan (income) meliputi baik

pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain). Pendapatan timbul dalam

pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang

berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti, dan sewa.
37

Sedangkan keuntungan (gain) meliputi, misalnya, pos yang timbul dalam pengalihan

aset tidak lancar.

Pendapatan diukur dalam satuan nilai tukar produk/jassa dalam suatu transaksi

yang wajar (arm’s length transactions). Pembentukan pendapatan berkaitan dengan

kapan pendapatan dianggap terbentuk, sedangkan realisasi berkaitan dengan kapan

pendapatn dianggap terealisasi dalam suatu transaksi. Secara konseptual, pendapatan

dianggap terbentuk bersamaan dengan seluruh proses berlangsungnya kegiatan

perusahaan, sedangkan realisasi merupakan teknik akuntansi yang dijadikan dasar

umtuk menandai pengakuan pendapatan. Atas dasar konsep ini, pendapatan baru

terbentuk setelah produksi selesai dikerjakan dan terealisasi melalui penjualan baik

secara langsung maupun kontrak.

Beberapa pakar di bidang akuntansi menyatakan bahwa realisasi merupakan

suatu proses, dalam arti bahwa penghasilan merupakan akibat dari serangkaian

kegiatan yang berlangsung secara kontinyu. Namun yang lebih umum, istilah realisasi

didefinisikan sebagai saat di mana ketidakpastian yang berkaitan dengan jumlah uang

yang pada akhirnya akan diterima tidak lagi tampak; sehingga tidak terdapat lagi

keraguan untuk mengakui dan melaporkan adanya sejumlah penghasilan. Menurut

definisi tersebut, adanya perubahan (dalam hal ini kenaikan) nilai dari sumber-sumber

ekonomi; secara rasional dapat diukur atau ditentukan jumlahnya. Oleh karena itu,

penekanan harus diberikan kepada transaksi, kejadian,atau keadaan; sebagai aspek

krusial dalam keseluruhan proses untuk memperoleh penghasilan. Dengan transaksi,

kejadian, atau keadaan sebagai acuan; maka secara garis besar penghasilan harus
38

diakui pada saat diperoleh (earned), direalisasikan atau diterima (realized), dan dapat

direalisasikan (realizable).15

Tergantung pada sifat dan jenis pekerjaan atau usaha, serta industri dari

masing-masing entitas; transaksi atau peristiwa yang dianggap krusial tersebut bisa

berupa saat terjadinya: (1) penjualan barang atau penyerahan jasa; (2) penerimaan

kas; (3) diselesaikannya proses prosduksi atau kegiatan konstrksi; (4) saat

diselesaikannya tahap-tahap tertentu dari suatu proses produksi atau kegiatan

kontruksi.16

Transaksi atau peristiwa dianggap krusial sehingga penghasilan harus diakui

saat penjuaan barang terjadi pada perusahaan dagang atau bisnis ritel dan manufaktur.

Berdasarkan paragraf 13 PSAK 23 ditentukan bahwa pendapatan dari penjualan

barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut dipenuhi:

a. Perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan telah

memindahkan manfaat kepemilikan kepada pembeli;

b. Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas

barang yang dijual;

c. Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur denga andal;

d. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi

akan mengalir kepada perusahaan tersebut; dan

e. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan

dapat diukur dengan andal.

15
Harnanto, Akuntansi Perpajakan, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hal. 64.
16
Ibid., hal. 65.
39

Penghasilan diakui saat penerimaan kas terjadi pada hampir setiap perusahaan

jasa, seperti misalnya, jasa konsultan, rumah sakit. Tingkat ketidakpastian

menyangkut penerimaan kas atas piutang yang timbul dari aktivitas penyerahan jasa

kepada klien, dalam banyak hal lebih tinggi dibanding tingkat ketidakpastian yang

melingkupi penerimaan kas atas piutang yang timbul dari penjualan barang kepada

pelanggan. Hal ini karena barang yang dijual kepada pelanggan masih bisa ditarik

kembali, sedang jasa yang sudah diserahkan kepada klien tidak bisa ditarik kembali.

Maka dari itu, keseluruhan proses untuk memperoleh penghasilan, bagi pada

umumnya perusahaan jasa bisa dianggap berakhir pada saat terjadinya penerimaan

kas atau aset lain yang setara dengan kas sebagai pembayaran atas jasa yang telah

diserahkan kepada klien.17

Penghasilan diakui saat produksi selesai pada umumnya dilakukan terhadap

produk yang memiliki harga yang sudah pasti dan pemasarannya terjamin, misalnya

emas, perak, timah, gandum, dsb. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi

pengakuan pendapatan saat produksi selesai yaitu:

a. Harga jual dapat ditentukan dengan cukup tepat.

b. Tidak diperlukan kegiatan/biaya pemasaran yang cukup material untuk

menjual produk tersebut.

c. Harga pokok produk sulit ditentukan.

d. Satuan-satuan persediaan dapat saling dipertukarkan (barang tidak

terpengaruh oleh perubahan bentuk atau ukuran).18

17
Harnanto, loc. cit.
18
Sitorus, Sobo, op. cit., hal. 103.
40

Penghasilan diakui saat diselesaikannya tahap-tahap tertentu dari suatu proses

produksi atau kegiatan konstruksi apabila kegiatan pengadaan barang dilaksanakan

berdasarkan kontrak atau pesanan dari pelanggan, yang pengerjaannya memerlukan

waktu penyelesaian lebih dari satu periode akuntansi. Dalam perusahaan konstruksi

yang memerlukan penyelesaian dalam beberapa periode akuntansi, taksiran

pendapatan dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu persentase biaya dan persentase

penyelesaian fisik.

Pendapatan yang timbul dari penggunaan aset perusahaan oleh pihak-pihak

lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan dividen harus diakui apabila:

a. Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut

akan diperoleh perusahaan; dan

b. Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.

Pendapatan harus diakui dengan dasar sebagai berikut:

a. Bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang memperhitungkan hasil

efektif aset tersebut;

b. Royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang

relevan; dan

c. Dalam metode biaya (cost method), dividen tunai harus diakui bila hak

pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan.

5. Beban

Pengertian beban dalam paragraf 70 butir b “Kerangka Dasar Penyusunan dan

Penyajian Laporan Keuangan”, beban (expenses) adalah “penurunan manfaat

ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya
41

aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak

menyangkut pembagian kepada penanam modal”. Beban mencakup baik kerugian

(loss) maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan biasa.

Beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa meliputi,

misalnya beban pokok penjualan, gaji, dan penyusutan. Beban itu biasanya berbentuk

arus keluar atau berkurangnya aset seperti kas (setara kas), persediaan, dan aset tetap.

Kerugian mencerminkan pos lain yang memenuhi definisi beban yang mungkin

timbul atau mungkin tidak timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa. Kerugian

mencerminkan berkurangnya manfaat ekonomi, dan pada hakikatnya tidak berbeda

dari beban lain.19

Kerugian dapat timbul, misalnya dari bencana kebakaran, banjir, seperti juga

yang timbul dari pelepasan aset tidak lancar. Definisi beban juga mencakup kerugian

yang belum direalisasi, misalnya kerugian yang timbul dari pengaruh kenaikan kurs

valuta asing dalam hubungannya dengan pinjaman perusahaan dalam mata uang

tersebut. Kalau kerugian diakui dalam laporan laba-rugi, biasanya disajikan secara

terpisah karena pengetahuan mengenai pos tersebut berguna untuk tujuan

pengambilan keputusan ekonomi. Kerugian sering kali dilaporkan dalam jumlah

bersih setelah dikurangi dengan penghasilan yang bersangkutan.20

19
Ibid., hal. 109.
20
Sitorus, loc. cit.
42

Beban diakui dalam laporan laba rugi antara lain sebagai berikut:21

a. Penurunan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan penurunan

aset atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal,

misalnya akrual hak karyawan atau penyusutan.

b. Beban diakui atas dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dan pos

penghasilan tertentu yang diperoleh, misalnya berbagai komponen beban yang

membentuk beban pokok penjualan diakui pada saat yang sama sebagai

penghasilan yang diperoleh dalam penjualan barang.

c. Beban diakui dalam laporan laba rugi atas dasar alokasi yang rasional dan

sistematis apabila manfaat ekonomi diharapkan timbul selama beberapa

periode akuntansi dan hubungannya dengan penghasilan hanya dapat

ditentukan secara luas atau tak langsung, misalnya pengakuan beban atas

penggunaan aset tetap.

d. Beban segera diakui dalam laporan laba rugi kalau pengeluaran tidak

menghasilkan manfaat ekonomi masa depan atau kalau sepanjang manfaat

ekonomi masa depan tidak memenuhi syarat, atau tidak lagi memenuhi syarat,

untuk diakui dalam neraca sebagai aset.

e. Beban diakui pada saat timbul kewajiban tanpa pengakuan aset, seperti

apabila timbul kewajiban akibat garansi produk.

21
Ibid., hal. 110.
43

6. Aset Tetap

a. Pengertian Aset tetap

Berdasarkan paragraf 6 PSAK 16, aset tetap adalah aset berwujud yang:

1) Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa,

untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan

2) Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Suatu benda berwujud harus diakui sebagai aset dan dikelompokkan sebagai

aset tetap apabila:

1) Besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset

tersebut akan mengalir ke entitas; dan

2) Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

b. Pengertian Penyusutan

Berdasarkan PSAK 16, penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang

dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya. Beban penyusutan untuk

setiap periode harus diakui dalam laporan laba rugi kecuali jika beban tersebut

dimasukkan dalam jumlah tercatat aset lainnya.

c. Dasar Penyusutan

Berdasarkan PSAK 16, dasar penyusutan aset adalah jumlah yang dapat

disusutkan (depreciable amount) yaitu biaya perolehan suatu aset, atau jumlah lain

yang menjadi pengganti biaya perolehan, dikurangi nilai residunya. Adapun yang

dimaksud dengan jumlah lain yang menjadi pengganti biaya perolehan suatu aset

adalah nilai wajar aset dalam model revaluasi.


44

Dijelaskan dalam paragraf 29 PSAK 16 bahwa entitas harus memilih model

biaya (cost model) atau model revaluasi (revaluation model) untuk menentukan

jumlah tercatat suatu aset, walaupun setiap aset tetap pada awalnya harus diukur

sebesar biaya perolehan.

Berikut ini adalah komponen biaya perolehan:

1) Harga perolehannya, termasuk biaya impor dan pajak pembelian yang tidak

boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-potongan

lain;

2) Biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke

lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai keinginan dan

maksud manajemen;

3) Estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi

lokasi aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh

atau karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk

tujuan selain untuk menghasilkan persediaan.

Harga perolehan aset tetap adalah setara dengan nilai tunainya dan diakui

pada saat terjadinya. Pada perolehan aset secara kredit, harga perolehan diakui

sebesar nilai tunainya, sedangkan selisih nilai tunai dengan pembayaran total diakui

sebagai beban bunga selama periode kredit kecuali biaya pinjaman yang harus

dikapitalisasi, yaitu biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan

perolehan, misalnya biaya pinjaman yang timbul dari pendanaan untuk pembangunan

aset berupa gedung pabrik.


45

d. Saat Mulai Penyusutan

Dalam paragraf 58 PSAK 16 dinyatakan bahwa penyusutan aset dimulai pada

saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada

lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan

dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika:

1) Aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset

tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan

diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan

2) Aset tersebut dihentikan pengakuannya, yaitu pada saat dilepaskan atau tidak

ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau

pelepasannya.

Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak

dipergunakan atau diberikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan.

Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti

unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada

produksinya.

e. Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan

Berdasarkan paragraf 6 PSAK 16, pengertian masa manfaat adalah:

1) Suatu periode di mana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

2) Jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset

tersebut oleh entitas.

Kemudian dijelaskan dalam paragraf 59 PSAK 16, terdapat 4 faktor yang

diperhitungkan dalam menentukan umur manfaat dari setiap aset:


46

1) Prakiraan daya pakai dari aset yang bersangkutan. Daya pakai atau daya guna

tersebut dinilai dengan merujuk pada prakiraan kapasitas atau kemampuan

fisik aset tersebut untuk menghasilkan sesuatu;

2) Prakiraan tingkat keausan fisik, yang tergantung pada faktor pengoperasian

aset tersebut seperti jumlah penggiliran (shift) penggunaan aset dan program

pemeliharaan aset dan perawatannya, serta perawatan dan pemeliharaan aset

pada saat aset tersebut tidak digunakan (menganggur);

3) Keusangan teknis dan keusangan komersial yang diakibatkan oleh perubahan

atau peningkatan produksi, atau karena perubahan permintaan pasar atas

produk atau jasa yang dihasilkan oleh aset tersebut; dan

4) Pembatasan penggunaan aset karena aspek hukum atau peraturan tertentu,

seperti berakhirnya waktu penggunaan sehubungan dengan sewa.

Jadi, dalam akuntansi komersial umur manfaat aset tetap ditetapkan

berdasarkan kebijakan perusahaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam PSAK, di mana umur manfaat aset ditentukan berdasarkan kegunaan yang

diharapkan oleh entitas. Mengenai besarnya tarif penyusutan tergantung dari metode

penyusutan yang digunakan, dasar penyusutan, dan prakiraan umur manfaat atau

kapasitas produksi aset.

f. Nilai Sisa (Nilai Residu)

Berdasarkan paragraf 6 PSAK 16, nilai residu aset adalah jumlah yang

diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini dari pelepasan, setelah dikurangi taksiran

biaya pelepasan, jika aset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan

pada akhir umur manfaatnya.


47

g. Metode Penyusutan

Paragraf 63 PSAK 16 menyatakan bahwa metode yang digunakan harus

mencerminkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset

oleh entitas. Berbagai metode penyusutan dapat digunakan untuk mengalokasikan

jumlah yang disusutkan secara sistematis dari suatu aset selama umur manfaatnya.

Metode tersebut antara lain metode garis lurus (straight line method), metode saldo

menurun (diminishing balance method), dan metode jumlah unit (sum of the unit

method).

h. Konsistensi Penggunaan Metode Penyusutan

Seperti dijelaskan dalam paragraf 14 PSAK 17, bahwa metode penyusutan

yang dipilih harus diterapkan secara konsisten dari periode ke periode. Namun,

dijelaskan dalam paragraf 64 PSAK 16 bahwa metode penyusutan yang digunakan

untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila terjadi

perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa

depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan

perubahan pola tersebut.

Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi

akuntansi sesuai PSAK 25, bahwa perubahan ini dapat diterapkan secara:

1) Retrospektif, yaitu bahwa kebijakan akuntansi yang baru diterapkan seolah-

olah kebijakan akuntansi tersebut telah digunakan sebelumnya.

2) Prospektif, yaitu bahwa kebijakan akuntansi yang baru diterapkan pada

kejadian atau transaksi yang terjadi setelah tanggal perubahan dan tidak ada

penyesuaian yang berhubungan dengan periode sebelumnya.


48

Berdasarkan paragraf 44 PSAK 16, jika entitas mengubah kebijakan akuntasi

dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan

tersebut berlaku prospektif.

C. Laporan Keuangan Komersial

1. Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan (financial statement) adalah keluaran (output) atau hasil

akhir dan proses akuntansi yang memuat semua informasi keuangan tentang suatu

perusahaan. Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh

manajemen atau pertanggung-jawaban manajemen atas sumber daya yang

dipercayakan kepadanya. Laporan kinerja terutama profitabilitas adalah merupakan

indikator keberhasilan perusahaan mencapai tujuannya.

2. Tujuan Laporan Keuangan

Menurut paragraf 5 PSAK 1, tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum

adalah “memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas

perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam

pembuatan keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung-jawaban manajemen

atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka”.

3. Komponen Laporan Keuangan Lengkap

Berdasarkan paragraf 11 PSAK 1, laporan keuangan lengkap terdiri dari

komponen-komponen berikut ini :

a. Laporan Posisi Keuangan (neraca) pada akhir periode

b. Laporan laba rugi komprehensif selama periode


49

c. Laporan perubahan ekuitas selama periode

d. Laporan arus kas selama periode

e. Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting

dan informasi penjelasan lain

f. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika

entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau

membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangannya.

4. Karakteristik Umum

a. Penyajian secara wajar dan kepatuhan terhadap SAK

Berdasarkan paragraf 17 PSAK 1, laporan keuangan menyajikan secara wajar

posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas suatu entitas. Penyajian yang wajar

mensyaratkan penyajian secara jujur dampak dari transaksi, peristiwa lain, dan

kondisi sesuai dengan definisi dan kriteria pengakuan aset, liabilitas, pendapatan dan

beban yang diatur dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan

keuangan. Penerapan SAK, dengan pengungkapan tambahan jika diperlukan,

dianggap menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.

Dijelaskan dalam paragraf 19 PSAK 1 bahwa penyajian secara wajar juga

mensyaratkan entitas untuk :

1) Memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi sesuai dengan PSAK 25:

kebijakan akuntansi, perubahan estimasi akuntansi, dan kesalahan.

2) Menyajikan informasi, termasuk kebijakan akuntansi, sedemikian rupa

sehingga dapat memberikan informasi yang relevan, andal, dapat

dibandingkan, dan mudah dipahami.


50

Memberikan pengungkapan tambahan jika kesesuaian dengan persyaratan

spesifik dalam SAK tidak cukup bagi pengguna laporan keuangan untuk memahami

pengaruh dari transaksi, peristiwa lain, dan kondisi tertentu terhadap posisi keuangan

dan kinerja keuangan entitas.

b. Karakteristik Kualitatif Laporan keuangan

Disebutkan dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan

keuangan, terdapat empat karakteristik kualitatif pokok yaitu :

1) Dapat dipahami

Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah

kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pengguna. Pengguna diasumsikan

memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi,

serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.

2) Relevan

Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan

pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan

kalau dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna dengan membantu mereka

mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan atau

mengoreksi hasil evaluasi pengguna di masa lalu.

3) Keandalan

Agar bermanfaat, informasi juga harus andal (reliable). Informasi memiliki

kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan

dapat diandalkan penggunanya sebagai penyajian yang tulus dan jujur


51

(faithfulrepresentation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar

diharapkan dapat disajikan.

Persyaratan bahwa suatu laporan keuangan disajikan secara andal adalah

sebagai berikut :

a) Penyajian jujur

Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur

transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar

dapat diharapkan untuk disajikan. Informasi keuangan pada umumnya tidak luput dari

resiko penyajian yang dianggap kurang jujur dari apa yang seharusnya digambarkan.

Hal tersebut bukan disebabkan karena kesengajaan untuk menyesatkan, tetapi lebih

merupakan kesulitan yang melekat dalam mengidentifikasikan transaksi serta

peristiwa lainnya yang dilaporkan, atau dalam menyusun atau menerapkan ukuran

dan teknik penyajian yang sesuai dengan makna transaksi dan peristiwa tersebut.

b) Substansi mengungguli bentuk

Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur transaksi serta

peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka peristiwa tersebut perlu dicatat dan

disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk

hukumnya.

c) Netralitas

Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak

bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha

untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal

tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan.
52

d) Pertimbangan sehat

Pertimbangan sehat mengandung kehati-hatian pada saat melakukan perkiraan

dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau penghasilan tidak dinyatakan terlalu

tinggi dan liabilitas atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah.

e) Kelengkapan

Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap

dalam batasan materialitas dan biaya.

4) Dapat diperbandingkan

Pengguna harus dapat memperbandingkan laporan keuangan entitas antar

periode untuk mengidentifikasi kecenderungan (tren) posisi dan kinerja keuangan.

Ketaatan pada standar akuntansi keuangan, termasuk pengungkapan kebijakan

akuntansi yang digunakan oleh entitas, membantu pencapaian daya banding.

D. Laporan Keuangan Fiskal

1. Pengertian Laporan Keuangan Fiskal

Laporan yang disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan

mengindahkan semua peraturan perpajakan maka laporan itu dinamakan laporan

keuangan fiskal. Laporan keuangan komersial dapat juga diubah menjadi laporan

keuangan fiskal dengan melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian dengan

peraturan perpajakan. Adanya perbedaan permanen dan sementara menyebabkan

laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal tidak sama. Rincian

perbedaan tersebut diungkapkan dalam rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan


53

laporan keuangan fiskal. Direktorat Jenderal Pajak dan Ikatan Akuntan Indonesia

pernah berusaha membuat suatu pedoman penyusunan laporan keuangan fiskal.22

Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU KUP, wajib pajak yang wajib

menyelenggarakan pembukuan harus melampirkan laporan keuangannya berupa

neraca, laporan laba-rugi, dan keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung

Penghasilan Kena Pajak pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh. Laporan

keuangan yang dilampirkan tersebut adalah laporan keuangan dari masing-masing

Wajib Pajak sebagai hasil dari kegiatannya. Sebagai contoh, PT. A memiliki saham

pada PT. B dan PT. C, berarti PT. A mempunyai kewajiban melampirkan laporan

keuangan konsolidasi PT. A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan

keuangan atas usaha PT. A (sebelum konsolidasi), sedangkan PT. B dan PT. C cukup

melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.

2. Tujuan Laporan Keuangan Fiskal

Tujuan penyusunan laporan keuangan fiskal adalah untuk menyajikan

informasi untuk menetapkan jumlah Penghasilan Kena Pajak, terutama dalam self

assesment system, sebagai dasar penetapan besarnya pajak yang terutang bagi setiap

Wajib Pajak.

3. Sifat dan Keterbatasan Laporan Keuangan Fiskal

Beberapa sifat dan keterbatasan laporan keuangan komersial yang relevan

terhadap laporan keuangan fiskal, antara lain:23

a. Laporan keuangan bersifat historis

22
Prabowo, Yusdianto, Akuntansi Perpajakan Terapan, Grasindo, Jakarta, 2002, hal. 289.
23
Gunadi, Akuntansi Pajak Edisi Revisi 2009, Grasindo, Jakarta, 2009, hal. 20.
54

b. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan estimasi

dan berbagai pertimbangan

c. Lebih mengutamakan hal yang material (tanpa mengurangi kelengkapan

materi)

d. Laporan keuangan, terutama menekankan makna ekonomis (substansi) setiap

transaksi/ peristiwa (tanpa, dalam kondisi tertentu, memperhatikan bentuk

yuridis formalnya)

e. Terdapatnya alternatif metode akuntansi yang dapat digunakan

mengakibatkan variasi dalam pengukuran sumber ekonomis dan tingkat

kesuksesan antar wajib pajak

f. Informasi kualitatif, sedangkan fakta (yang tidak mendasar) yang tidak dapat

dikuantifikasikan umumnya di kesampingkan.

4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang

selain rupiah

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang

Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan

Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, Wajib Pajak tertentu dapat

menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata

uang selain Rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika

Serikat. Wajib Pajak tersebut adalah:


55

a. Wajib Pajak dalam rangka Penananaman Modal Asing yang beroperasi

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Penanaman Modal

Asing;

b. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan

kontrak dengan pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan

minyak dan gas bumi;

c. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas

bumi;

d. Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-

Undang PPh atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda (P3B) terkait;

e. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun

seluruhnya di bursa efek luar negeri;

f. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam

denominasi satuan mata uang Dollar Amerika serikat dan telah memperoleh

Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas

Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan pasar modal; atau

g. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri,

yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasi

oleh perusahaan induk (parent company) diluar negeri yang mempunyai


56

hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) huruf a

dan huruf b Undang-Undang PPh.

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan Bahasa Inggris dan satuan

mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat

izin tertulis dari Menteri keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak

Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Izin tertulis

dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala

Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang

diselenggarakan dengan menggunakan Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar

Amerika Serikat tersebut dimulai atau paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal

pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak pertama.

Wajib Pajak dalam rangka kontrak karya atau Wajib Pajak kontraktor kontrak kerja

sama tidak perlu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, tetapi wajib

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat

Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian atau paling

lambat 3 (tiga) bulan sebelum penyelenggaraan pembukuan dimulai.

Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan

dengan menggunakan Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat

berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai

berikut :

a. Awal tahun buku :

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar

Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan bertitik tolak dari neraca akhir tahun
57

buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan

mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs:

1) Untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan akumulasi

penyusutannya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat

perolehan harta tersebut;

2) Untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya

berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan

yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

3) Apabila terjadi revaluasi aset tetap, disamping menggunakan nilai historis

untuk konversi nilai bukunya, atas selisih lebih dikonversi ke dalam satuan

mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang

sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

4) Untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah

dikonversi menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku

sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem

pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

5) Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya

berlaku pada saat terjadinya transaksi;

6) Dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi maka selisih

laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.


58

b. Dalam tahun berjalan :

1) Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika

Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang

bersangkutan;

2) Untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan

satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan menggunakan

kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai

berikut :

a) Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang

dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut;

b) Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs

yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan

sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.

Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan

menggunakan Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib

menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan Wajib Pajak badan

beserta lampirannya dalam Bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan

keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat. Dalam hal

terdapat bukti pembayaran atau pemotongan/ pemungutan Pajak penghasilan Pasal 22

dan Pasal 23 dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah yang akan dikreditkan

dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak badan, harus dikonversi

kedalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang
59

ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal

pembayaran atau pemotongan/ pemungutan pajak tersebut.

E. Rekonsiliasi Fiskal Atas Laporan Keuangan

1. Latar Belakang Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan

penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut

perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai

kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan

keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Untuk kepentingan

komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang berlaku

umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK); sedangkan untuk kepentingan

fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan (UU PPh).

Perbedaan kedua dasar penyusunan laporan keuangan tersebut mengakibatkan

perbedaan penghitungan laba (rugi) suatu entitas (Wajib Pajak). Pertanyaan yang

kemudian muncul adalah : apakah suatu entitas harus melakukan pembukuan untuk

memenuhi kedua tujuan tersebut? Jika suatu entitas (Wajib Pajak) harus menyusun

dua laporan keuangan yang berbeda maka disamping terdapat pemborosan waktu,

tenaga, dan uang juga akan terjadi tidak tercapainya tujuan menghindari manipulasi

pajak.24

Penyusunan laporan keuangan fiskal, seperti yang dikemukakan Gunadi

(2002), mengutip kelompok kerja standar akuntansi dari OECD (Organization for

24
Resmi, Siti, op. cit., hal. 369
60

Economic Cooperation and Development), yang merupakan organisasi kerja sama

ekonomi dan pembangunan negara maju. Dalam laporan seri harmonisasi standar

akuntansi, praktik penyusunan laporan keuangan fiskal sebagai solusi antara

ketentuan akuntansi dan ketentuan pajak terdiri atas tiga pendekatan :

a. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktik akuntansi. Dalam

pendekatan pertama, laporan keuangan, walaupun disusun berdasarkan prinsip

akuntansi, sangat diwarnai oleh ketentuan perpajakan. Wajib Pajak harus

menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan perpajakan tanpa

kelonggaran terhadap ketidaksamaan prinsip akuntansi dan ketentuan

perpajakan. Pada pendekatan ini terlihat adanya dua perangkat pembukuan,

yaitu untuk kepentingan komersial dan untuk kepentingan fiskal. Dengan

melihat sisi-sisi kepentingannya, pembukuan ganda (arti terbatas) bukanlah

bentuk kecurangan, karena keduanya telah disusun berdasarkan standar atau

norma yang berlaku pada masing-masing akuntansi.

b. Pada pendekatan kedua ini, Wajib Pajak bebas menyelenggarakan

pembukuannya dengan dasar prinsip dan metode akuntansinya. Laporan

keuangan fiskal disusun terpisah di luar proses pembukuan, sering disebut

sebagai extra comptable. Laporan keuangan fiskal ini disusun melalui proses

rekonsiliasi antara akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal, sehingga

laporan yang dihasilkan dari extra comptable tersebut fungsinya hanya

sebagai tambahan laporan keuangan komersial. Pendekatan kedua ini lebih

banyak digunakan sebagai pilihan, yaitu dengan menyusun laporan keuangan

fiskal melalui rekonsiliasi. Umumnya praktik pembukuan di Indonesia


61

menyusun laporan keuangan fiskal yang disertai dengan rekonsiliasi. Namun

ada juga Wajib Pajak yang hanya menyelenggarakan pembukuan berdasarkan

standar akuntansi komersial tanpa menyusun laporan keuangan berbasis

ketentuan perpajakan. Ada juga yang berbeda sama sekali karena bergantung

pada berbagai kondisi, terutama perusahaan multinasional (dengan

memperhatikan aspek akuntansi internasional).

c. Pendekatan ketiga menyatakan ketentuan perpajakan sebagai sisipan Standar

Akuntansi Keuangan atau pendekatan dengan prinsip common basis. Dalam

dasar ini laporan keuangan disusun mengikuti Standar Akuntansi Keuangan,

tetapi apabila terdapat aturan lain dalam akuntansi komersial, maka preferensi

diberikan pada ketentuan perpajakan.25

2. Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan

Keuangan Fiskal

Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal

adalah karena terdapat perbedaan-perbedaan sebagai berikut:

a. Perbedaan Prinsip Akuntansi

Beberapa prinsip akuntansi yang berlaku umum (Standar Akuntansi

Keuangan) yang telah diakui secara umum dalam dunia bisnis dan profesi tetapi tidak

diakui dalam fiskal, meliputi:26

25
Waluyo, Akuntansi Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2008, hal.31.
26
Remi, Siti, op. cit., hal. 370
62

1) Prinsip konservatisme

Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode “terendah antara harga pokok

dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang dengan nilai taksiran realisasi bersih,

diakui dalam akuntansi komersial, tetapi tidak diakui dalam fiskal.

2) Prinsip harga perolehan (cost)

Dalam akuntansi komersial, penentu harga perolehan untuk barang yang

diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya tenaga kerja yang berupa natura.

Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk natura tidak diakui sebagai pengurang/

biaya.

3) Prinsip pemadanan (matching) biaya-manfaat

Akuntansi komersial mengakui biaya penyusutan dapat menjadi nol apabila

tidak ada produksinya (usage method). Dalam fiskal, penyusutan dengan cara usage

method (seperti pada metode jumlah unit) tidak diperbolehkan.

b. Perbedaan metode dan prosedur Akuntansi

1) Metode penilaian persediaan

Akuntansi komersial membolehkan memilih beberapa metode penghitungan/

penentuan harga perolehan persediaan, seperti rata-rata (average), masuk pertama

keluar pertama (first in-first out-FIFO), masuk terakhir keluar pertama (last in-first

out-LIFO), pendekatan laba bruto, pendekatan harga jual eceran, dan lain-lain. Dalam

fiskal hanya membolehkan memilih dua metode, yaitu rata-rata (average) atau masuk

pertama keluar pertama (FIFO).


63

2) Metode penyusutan dan amortisasi

Akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti

metode garis lurus (straight line method), saldo menurun ganda (double declining

balanced method), metode jumlah unit diproduksi, untuk semua jenis harta berwujud

atau aset tetap. Dalam fiskal pemilihan metode penyusutan lebih terbatas, antara lain

metode garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (declining balanced

method) untuk kelompok harta berwujud jenis nonbangunan, sedangkan untuk harta

berwujud bangunan dibatasi pada metode garis lurus saja. Disamping metodenya,

termasuk yang membedakan besarnya penyusutan untuk akuntansi komersial dan

fiskal adalah bahwa dalam akuntansi komersial manajemen dapat menaksir sendiri

umur ekonomis atau masa manfaat suatu aset, sedangkan dalam fiskal umur

ekonomis atau masa manfaat diatur atau ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan. Demikian pula akuntansi komersial memperbolehkan mengakui nilai

residu sedangkan fiskal tidak memperbolehkan memperhitungkan nilai residu dalam

menghitung penyusutan.

3) Metode penghapusan piutang

Dalam akuntansi komersial penghapusan piutang ditentukan berdasarkan

metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal, penghapusan piutang dilakukan pada saat

piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diatur

dalam peraturan perpajakan. Pembentukan cadangan dalam fiskal hanya

diperbolehkan untuk industri tertentu seperti usaha bank, sewa guna usaha dengan

hak opsi, usaha asuransi, dan usaha pertambangan dengan jumlah yang dibatasi

dengan peraturan perpajakan.


64

c. Perbedaan Perlakuan dan pengakuan penghasilan dan biaya

1) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukan

merupakan objek Pajak Penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan

tersebut harus dikeluarkan dari total Penghasilan Kena Pajak (PKP) atau

dikurangkan dari laba menurut akuntansi komersial. Contoh : penggantian

imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura.

2) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi pengenaan

pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus

dikeluarkan dari total PKP atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi

komersial. Contoh: penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,

bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan

oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

3) Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan adalah :

a) Kerugian suatu usaha di luar negeri. Dalam akuntansi komersial kerugian

tersebut mengurangi laba bersih, sedangkan dalam fiskal kerugian tersebut

tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan (laba) kena pajak.

b) Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya. Dalam akuntansi

komersial kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam penghitungan laba

bersih tahun sekarang, sedangkan dalam fiskal kerugian tahun sebelumnya

dapat dikurangkan dari penghasilan (laba) kena pajak tahun sekarang selama

belum lewat waktu 5 tahun.


65

c) Imbalan dengan jumlah yang melebihi kewajaran. Imbalan yang diterima atas

pekerjaan yang dilakukan oleh pemegang saham atau pihak yang mempunyai

hubungan istimewa dengan jumlah yang melebihi kewajaran.

4) Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersial sebagai biaya atau

pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengeluaran tersebut tidak

boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam rekonsiliasi fiskal,

pengeluaran atau biaya tersebut harus ditambahkan pada penghasilan neto

menurut akuntansi. Dalam SPT Tahunan PPh, merupakan koreksi fiskal

positif. Contoh : sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan, dan

sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan perundang-undangan

perpajakan.

3. Teknik Rekonsiliasi Fiskal

Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut :27

a. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut

fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan

tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba

menurut akuntansi.

b. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut

fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan

tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba

menurut akuntansi.

27
Ibid., hal. 374.
66

c. Jika suatu biaya/ pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui

sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan

dengan mengurangkan sejumlah biaya/ pengeluaran tersebut dari biaya

menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.

d. Jika suatu biaya/ pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui

sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan

dengan menambahkan sejumlah biaya/ pengeluaran tersebut pada biaya

menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

Perbedaan yang dimasukkan sebagai koreksi positif apabila pendapatan

menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu penghasilan diakui

menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi dan biaya/ pengeluaran menurut

fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu biaya/ pengeluaran tidak

diakui menurut akuntansi.28

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi negatif apabila pendapatan menurut

fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu penghasilan tidak diakui

menurut fiskal (Bukan Objek Pajak) tetapi diakui menurut akuntansi; biaya/

pengeluaran menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu biaya/

pengeluaran diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi; dan suatu

pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.29

28
Ibid., hal. 375.
29
Resmi, loc. cit.
67

F. Pajak Tangguhan

1. Pengertian Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan adalah pajak yang kewajibannya ditunda sampai waktu yang

ditentukan atau diperbolehkan. Pada dasarnya antara akuntansi pajak dan akuntansi

keuangan memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk menetapkan hasil operasi bisnis

dengan pengukuran dan rekognisi penghasilan dan biaya. Namun ada beberapa hal

yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan tidak sekadar instrumen pentransfer sumber daya (fungsi budgeter), tetapi

seringkali pula digunakan untuk tujuan mempengaruhi perilaku Wajib Pajak untuk

investasi, kesejahteraan, dll (fungsi mengatur) yang kadang-kadang merupakan alasan

untuk membenarkan penyimpangan dari Standar Akuntansi Keuangan.

Oleh karena basis pengenaan penghasilan untuk keperluan perhitungan pajak

penghasilan berbeda dengan basis perhitungan penghasilan untuk keperluan

komersial, atau dengan perkataan lain, akibat dari perbedaan rekognisi penghasilan

dan biaya, maka akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antar kedua basis

tersebut. Pajak penghasilan yang dihitung berbasis pada penghasilan yang

sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai “PPh terutang-income tax

payable atau income tax liability,” sedangkan pajak penghasilan yang dihitung

berbasis penghasilan sebelum pajak disebut sebagai “beban pajak penghasilan-

income tax expense/ profision for income taxes”.

Beban Pajak Penghasilan terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak

tangguhan atau pendapatan pajak tangguhan. Pajak kini (current tax) merupakan
68

jumlah Pajak Penghasilan terutang atas Penghasilan Kena Pajak pada suatu periode.

Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan.

Beban pajak tangguhan akan menimbulkan liabilitas pajak tangguhan

sedangkan pendapatan pajak tangguhan mengakibatkan aset pajak tangguhan.

2. Aset Pajak Tangguhan

Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu yang menyebabkan

terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil

daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan. Aset pajak tangguhan adalah

jumlah Pajak Penghasilan terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya

perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.

3. Liabilitas Pajak Tangguhan

Liabilitas pajak tangguhan timbul karena adanya perbedaan waktu yang

menyebabkan terjadinya koreksi negatif sehingga beban pajak menurut akuntansi

lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan. Liabilitas pajak

tangguhan adalah jumlah Pajak Penghasilan terutang untuk periode mendatang

sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

Baik liabilitas pajak tangguhan maupun aset pajak tangguhan dapat terjadi

dalam hal- hal sebagai berikut :

a. Apabila penghasilan sebelum pajak lebih besar dari Penghasilan Kena Pajak,

maka beban pajak pun akan lebih besar dari pajak terutang, sehingga akan

menghasilkan liabilitas pajak tangguhan.


69

b. Sebaliknya apabila penghasilan sebelum pajak lebih kecil dari Penghasilan

Kena Pajak, maka beban pajaknya juga akan lebih kecil dari pajak terutang,

sehingga akan menghasilkan aset pajak tangguhan.

4. Pencatatan dan Penyajian Pajak Tangguhan

Pengakuan aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dilakukan

terhadap rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan dan beda waktu antara

laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal yang dikenakan pajak,

dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku.

a. Pencatatan Pajak Tangguhan :

1) Jurnal untuk mencatat timbulnya aset pajak tangguhan :

Aset Pajak Tangguhan XXX

Pendapatan Pajak XXX

2) Jurnal untuk mencatat timbulnya liabilitas pajak tangguhan :

Beban Pajak XXX

Liabilitas Pajak Tangguhan XXX

b. Penyajian Pajak Tangguhan :

1) Aset dan liabilitas pajak tangguhan harus disajikan terpisah dari aset dan

liabilitas lainnya dalam neraca.

2) Aset dan liabilitas pajak tangguhan harus dibedakan dari aset pajak kini (tax

receivable/prepaid tax) dan liabilitas pajak kini (tax payable). Aset atau

liabilitas pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aset atau liabilitas

lancar.
70

3) Aset pajak kini harus dikompensasikan (offset) dengan liabilitas pajak kini

dan jumlah netonya disajikan dalam neraca.

4) Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari

aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.

5) Aset pajak tangguhan disajikan terpisah dengan akun tagihan restitusi Pajak

Penghasilan dan liabilitas pajak tangguhan juga disajikan terpisah dengan

utang Pajak penghasilan pasal 29.

6) Pajak Penghasilan final :

a) Apabila nilai tercatat aset atau liabilitas yang berhubungan dengan Pajak

Penghasilan final berbeda dari Dasar Pengenaan Pajaknya, maka perbedaan

tersebut tidak boleh diakui sebagai aset atau liabilitas pajak tangguhan.

b) Atas penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan final, beban pajak

diakui proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui

pada periode berjalan.

c) Selisih antara jumlah Pajak Penghasilan final yang terutang dengan jumlah

yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagai

Pajak Dibayar di Muka dan Utang Pajak.

d) Akun Pajak Penghasilan final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari

Pajak Penghasilan final yang masih harus dibayar.

a. Perlakuan akuntansi untuk hal khusus, yaitu :

1) Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dalam Surat

Ketetapan Pajak harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain

pada laporan laba rugi periode berjalan.


71

2) Apabila diajukan keberatan dan atau banding, pembebanannya ditangguhkan.

3) Apabila terdapat kesalahan mendasar, perlakuan akuntansinya mengacu pada

PSAK 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk periode berjalan, kesalahan

mendasar, dan perubahan kebijakan akuntansi.

b. Penyajian dalam laporan keuangan

Laba sebelum Pajak Penghasilan XXX

Beban Pajak :

Beban Pajak Kini XXX

Beban Pajak Tangguhan XXX XXX

Laba neto komersial setelah Pajak Penghasilan XXX

Contoh :

Laba sebelum Pajak Penghasilan Rp 800.000.000,-

Beban Pajak :

Beban Pajak Kini Rp 151.000.000,-

Beban Pajak Tangguhan :

Beban Pajak Rp 5.500.000,-

Pendapatan Pajak Rp 10.000.000,-

Beban (Pendapatan) Pajak (Rp 4.500.000,-)

Beban pajak Rp 146.500.000,-

Laba neto komersial setelah Pajak Penghasilan Rp 653.500.000,-


72

BAB III

OBJEK PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PT. Bio Farma (Persero) yang beralamat di Jl. Pasteur

No 28 Bandung 40161 Indonesia. Riset atau penelitian dilakukan mulai dari tanggal

25 Februari 2015 hingga tanggal 30 April 2015.

B. Gambaran Umum Perusahaan

1. Sejarah Singkat Perusahaan

PT Bio Farma (Persero), pada awalnya bernama “Parc Vaccinogene” yang

didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda No. 14 tanggal 6

Agustus 1890. Mulai tahun 1955, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 14 tahun

1955 perusahaan berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pasteur. Pada tahun 1961,

Perusahaan berubah menjadi PN Bio Farma berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 80

tahun 1961 Tentang Pendirian Perusahaan Negara Bio Farma. Sesuai dengan

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1978 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan

Negara Bio Farma menjadi Perusahaan Umum, status Perusahaan berubah menjadi

Perusahaan Umum (Perum).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1997 tentang Pengalihan

Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Bio Farma menjadi Perusahaan Perseroan


73

(Persero), status Perusahaan berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Akta

pendirian dan Anggaran Dasar atas perubahaan bentuk Perusahaan tersebut telah

dimuat dalam Akta No. 1 tanggal 3 Februari 1997, Akta No. 188 tanggal 20 Juni

1997, dan Akta No. 30 tanggal 21 Oktober 1997 yang dibuat oleh notaris Muhani

Salim, S.H., dan telah mendapatkan persetujuan berdasarkan Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia No. C2-1423 HT.01.01 Th.98 tanggal 5 Maret 1998

yang telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 16 Juli 2002

No. 57 Tambahan No. 6884. Anggaran Dasar Perusahaan Nomor 26 tanggal 6 Juni

2014 yang dibuat oleh notaris Fathiah Helmi, S.H., dan telah mendapat persetujuan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, berdasarkan Keputusan Nomor AHU-

0104.40.20.2014 tanggal 10 Juni 2014, tentang Persetujuan Perubahaan Badan

Hukum Perseroan Terbatas PT Bio Farma (Persero).

2. Susunan Komisaris dan Direksi

Susunan pengurus Perusahaan pada tanggal 31 Desember 2012 adalah sebagai

berikut:

Dewan Komisaris

Komisaris Utama30 : Prof Dr. Sam Soeharto, Sp.MK

Komisaris : Drs. Paruli Lubis, MBA

Komisaris31 : Herman Ladjidja Djuni, ST

Komisaris32 : dr. Nizar Yam

30
Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP 392/MBU/2012, tanggal 5 November 2012.
31
Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP 153/MBU/2011, tanggal 27 Juni 2011.
32
Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. SK 204/MBU/2012, tanggal 28 Mei 2012.
74

Dewan Direksi

Direktur Utama33 : Drs. Iskandar, Apt. MM

Direktur Pemasaran : -

Direktur Produksi : Drs. Mahendra Suhardono, Apt, MM

Direktur Keuangan : -

Direktur Perencanaan dan

Pengembangan : Dr. Elvyn Fajrul Jaya Saputra, M. Kes

Direktur SDM34 : Drs.Andjang Kusumah, MM

Komite Audit dan Remunerasi35

Ketua : Drs. Paruli Lubis, MBA

Anggota : DR. M. Iqbal Alamsjah, SE, Ak, MA

Anggota : Dadang Epi Sukarsa, SH MH

3. Kegiatan Usaha Perusahaan

PT Bio Farma (Persero) melakukan kegiatan usaha di bidang penelitian,

pengembangan, produksi dan pemasaran produk biologi, produk farmasi dan alat

kesehatan serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Perseroan untuk

menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk

mendapatkan/mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai Perseroan dengan

menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.

33
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara BUMN No. SK 285/MBU/2012 tanggal 3 Agustus 2012.
34
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara BUMN No. SK 116/MBU/2012 tanggal 7 Maret 2012.
35
Berdasarkan Keputusan Dewan Komisaris No. KEP 10/DK/BF/XI/2012, tanggal 20 November 2012.
75

C. Kebijakan Akuntansi Perusahaan

Berikut ini adalah ikhtisar kebijakan akuntansi utama yang dipergunakan oleh

perusahaan dalam laporan keuangan tahun 2012:

1. Dasar Penyusunan Laporan Keuangan

Dasar pengukuran dalam penyusunan laporan keuangan adalah konsep biaya

perolehan (historical cost), kecuali beberapa akun tertentu didasarkan pengukuran

lain sebagaimana diuraikan dalam kebijakan akuntansi masing-masing akun tersebut.

Laporan keuangan disusun dengan menggunakan metode akrual, kecuali untuk

laporan arus kas. Laporan arus kas disusun dengan menggunakan metode langsung

(direct method) dengan mengelompokkan arus kas ke dalam aktivitas operasi,

investasi dan pendanaan.

2. Transaksi dan Saldo dalam Mata Uang Asing

Mata uang pelaporan yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan ini

adalah Rupiah. Transaksi-transaksi dalam mata uang asing dijabarkan dalam mata

uang Rupiah dengan menggunakan kurs pada tanggal transaksi. Pada tanggal laporan

posisi keuangan, aset dan liabilitas keuangan dalam mata uang asing dijabarkan

dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada

tanggal tersebut.

3. Aset dan Liabilitas Keuangan

Aset Keuangan dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu aset keuangan yang

diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, pinjaman yang diberikan dan

piutang, investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo serta aset keuangan yang tersedia

untuk dijual. Klasifikasi ini tergantung dari tujuan perolehan aset keuangan tersebut.
76

Perusahaan menentukan klasifikasi aset keuangan tersebut pada saat awal

pengakuannya.

Liabilitas Keuangan dikelompokkan ke dalam kategori, yaitu liabilitas

keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, dan liabilitas

keuangan yang diukur dengan biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan

metode suku bunga efektif.

 Estimasi Nilai Wajar

Nilai wajar untuk instrumen keuangan yang diperdagangkan di pasar aktif

ditentukan berdasarkan nilai pasar yang berlaku pada tanggal laporan posisi

keuangan. Investasi pada efek ekuitas yang nilai wajarnya tidak tersedia dicatat

sebesar biaya perolehan. Nilai wajar untuk instrumen keuangan lain yang tidak

diperdagangkan di pasar ditentukan dengan menggunakan teknik penilaian tertentu.

 Penghentian Pengakuan

Penghentian pengakuan aset keuangan dilakukan ketika hak kontraktual atas arus

kas yang berasal dari aset keuangan tersebut berakhir, atau ketika aset keuangan

tersebut telah ditransfer dan secara substansial seluruh risiko dan manfaat atas

kepemilikan aset tersebut telah ditransfer.

 Penurunan Nilai dari Aset Keuangan

Aset keuangan yang dicatat berdasarkan biaya perolehan diamortisasi. Pada setiap

tanggal laporan, perusahaan mengevaluasi apakah terdapat bukti obyektif bahwa

aset keuangan atau kelompok aset keuangan mengalami penurunan nilai. Aset

kelompok atau kelompok aset keuangan diturunkan nilainya dan kerugian

penurunan nilai terjadi, jika dan hanya jika, terdapat bukti obyektif mengenai
77

penurunan nilai tersebut sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi

setelah pengakuan awal aset tersebut (peristiwa yang merugikan), dan peristiwa

yang merugikan tersebut berdampak pada estimasi arus kas masa depan atas aset

keuangan atau kelompok aset keuangan yang dapat diestimasi secara handal.

4. Transaksi Dengan Pihak-pihak Berelasi

Sifat hubungan dengan pihak-pihak berelasi antara lain sebagai berikut:

a. Pemerintah RI yang diwakili oleh Menteri BUMN yang merupakan pemegang

saham Perusahaan, Perusahaan dan BUMN lainnya yang memiliki hubungan

afiliasi melalui Penyertaan Modal Pemerintah.

b. Perusahaan menempatkan dana dan memiliki pinjaman dana pada bank-bank

yang dimiliki oleh Pemerintah atau dari bank-bank yang dimiliki oleh

BUMN/D dengan persyaratan dan tingkat bunga normal sebagaimana yang

berlaku untuk nasabah pihak ketiga.

c. Mempunyai anggota, pengurus yang sama dengan Entitas anak, yaitu Direksi

Perusahaan menjadi Komisaris pada Entitas Anak.

d. Perusahaan mengadakan perjanjian dalam rangka usaha dengan BUMN lain

maupun Entitas Anak BUMN serta badan/lembaga-lembaga Pemerintah.

5. Persediaan

a. Biaya Perolehan Persediaan

Persediaan dinyatakan sebesar biaya perolehan yang meliputi harga beli, PPN

masukan yang tidak dapat dikreditkan, biaya konversi, dan biaya lainnya yang

timbul sampai persediaan dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual

atau dipakai.
78

b. Persediaan Bahan Baku, Penolong dan Perlengkapan

Persediaan bahan bau, penolong dan perlengkapan dinyatakan berdasarkan

nilai terendah antara biaya perolehan dengan nilai realisasi bersih yang

ditentukan dengan menggunakan metode rata-rata bergerak.

c. Persediaan Produk Dalam Proses

Persediaan produk dalam proses terdiri dari Bulk hasil produksi yang telah

lulus uji dengan kondisi siap untuk diformulasi menjadi produk akhir dan siap

untuk dijual sebelum dilakukan pengemasan, dan produk akhir hasil produksi

yang telah dikemas sebelum diberi etiket, leaflet dan dimasukkan ke dalam

dus.

d. Persediaan Produk Jadi

 Persediaan Produk Jadi Perusahaan

Persediaan produk jadi hasil produksi sendiri pada tahun berjalan dinyatakan

berdasarkan metode beban pokok terapan dan pada akhir tahun dinyatakan

berdasarkan metode beban pokok produksi rata-rata aktual sederhana.

 Persediaan Barang Dagangan

Persediaan barang dagangan terdiri dari barang jadi yang dibeli secara lokal

maupun impor yang dinyatakan berdasarkan nilai terendah antara biaya

perolehan dan nilai realisasi bersih . Biaya perolehan ditentukan dengan

metode rata-rata bergerak.

e. Persediaan Tidak Produktif

Persediaan usang secara teknologi atau tidak dapat dipergunakan lagi karena

rusak, dipindahkan ke kelompok Aset Tidak Lancar Lainnya pada akun


79

Persediaan Tidak Produktif setelah mendapat persetujuan penghapusbukuan

dari Pemegang Saham dalam RUPS atau Dewan Komisaris.

f. Persediaan Dalam Perjalanan

Persediaan dalam perjalanan merupakan persediaan bahan

baku/penolong/perlengkapan/dagangan yang pada akhir tahun barangnya

sudah diterima/tiba di pelabuhan dan sesuai syarat penyerahan barang sudah

menjadi milik Perusahaan. Khusus untuk barang yang berasal dari impor

dibuat Nota Perhitungan Barang Impor (NPI) sementara sebagai dasar

mencatat nilai “Persediaan dalam Perjalanan”.

g. Persediaan Dalam Karantina

Persediaan dalam karantina merupakan persediaan bahan

baku/penolong/perlengkapan/dagangan yang pada akhir periode pelaporan

barangnya sudah diterima/tiba di Perusahaan, tetapi belum memenuhi syarat

penyerahan barang karena belum lulus uji.

h. Penyisihan Nilai Persediaan

Persediaan barang yang kadaluarsa dan rusak dibebankan ke laporan laba rugi

pada saat terjadinya.

6. Aset Tetap

Aset Tetap dikelompokkan menjadi Tanah, Bangunan & Bangunan Tidak

Permanen, Inventaris Mesin, Inventaris Utility, Inventaris Kantor, Inventaris Pabrik,

dan Kendaraan. Dalam daftar aset tetap dan penyusutan perusahaan diungkapkan

bahwa aset tetap non-bangunan disusutkan dengan metode saldo menurun dengan
80

masa manfaat 4-16 tahun. Sedangkan aset tetap bangunan disusutkan dengan metode

garis lurus dengan masa manfaat 10-20 tahun.

Tanah dinyatakan sebesar biaya perolehan dan tidak disusutkan. Biaya

pemeliharaan dan perbaikan dibebankan ke dalam laporan laba rugi komprehensif

pada saat terjadinya. Pengeluaran dalam jumlah yang material setelah perolehan awal

suatu aset dan dapat meningkatkan manfaat keekonomian dimasa yang akan datang,

dikapitalisasi. Aset tetap yang tidak digunakan lagi atau rusak dikeluarkan dari

kelompok aset tetap, dan keuntungan atu kerugian yang timbul diakui dalam laporan

laba rugi komprehensif.

7. Aset Takberwujud

Biaya yang berhubungan dengan penyempurnaan sistem dan prosedur yang

dapat diidentifikasi, dikendalikan serta memberikan manfaat ekonomi yang melebihi

biayanya dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, diakui sebagai aset takberwujud.

Biaya ini diamortisasi dengan menggunakan metode garis lurus selama masa manfaat

4 tahun.

8. Pengakuan Pendapatan dan Beban

Pendapatan diakui pada saat terjadi transaksi yaitu pada saat penyerahan

barang atau jasa kepada pelanggan. Beban diakui pada saat terjadinya (metode

akrual).

9. Beban Penelitian, Pengembangan dan Surveilans

Biaya yang dikeluarkan dalam tahapan penelitian pada proyek internal

termasuk pemantauan produk yang sudah dijual diakui sebegai beban pada saat

terjadinya.
81

10. Pajak Penghasilan

Seluruh perbedaan temporer antara jumlah tercatat aset dan liabilitas dengan

dasar pengenaan pajaknya diakui sebagai pajak tangguhan dengan metode liabilitas

(liability method). Pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak yang berlaku saai ini.

Pajak kini diakui berdasarkan taksiran laba kena pajak untuk tahun yang

bersangkutan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Perubahan terhadap

liabilitas perpajakan diakui pada saat Perusahaan menerima Surat Ketetapan Pajak

(SKP) atau, jika Perusahaan mengajukan keberatan, pada saat keputusan atas

keberatan tersebut telah ditetapkan.

11. Imbalan Kerja

Perusahaan membukukan imbalan manfaat karyawan untuk karyawan sesuai

dengan undang-undang tenaga kerja no.13 tahun 2003. Perhitungan imbalan manfaat

karyawan menggunakan metode penghitungan Projected Unit Credit, sesuai dengan

PSAK 24 tentang Imbalan Kerja (Revisi 2010). Akumulasi keuntungan dan kerugian

aktuarial bersih yang belum diakui yang melebihi jumlah lebih besar diantara 10%

dari nilai kini pasti dan 10% nilai wajar aset program diakui dengan metode garis

lurus selama rata-rata sisa masa kerja yang diperkirakan dari karyawan dalam

program tersebut. Biaya jasa lalu dibebankan langsung apabila imbalan tersebut

menjadi hak atau vested, dan sebaliknya akan diakui sebagai beban dengan metode

garis lurus selama periode rata-rata imbalan terebut vested. Selain imbalan manfaat

karyawan, perusahaan juga menyelenggarakan program pensiun untuk seluruh

karyawan tetap yang memenuhi syarat dan karyawan kontrak. Program ini
82

memberikan imbalan manfaat karyawan berdasarkan penghasilan dasar pensiun dan

masa kerja karyawan.

12. Hibah

Perusahaan melakukan penerapan dini untuk PSAK No. 61: ”Akuntansi Hibah

Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah”, dan menyajikan seluruh modal

donasi sebagai bagian dari hibah yang terkait dengan penghasilan dan beberapa akun

dalam laporan keuangan tanggal 1 Januari 2010/31 Desember 2009 telah disajikan

kembali tujuan perbandingan. Implementasi PSAK No. 61 di Perusahaan adalah

penerimaan donasi dari WHO untuk pengembangan vaksin flu (manusia) dalam

rangka menghadapi kesiapsiagaan pandemi flu.

13. Penggunaan Estimasi

Penyusunan laporan keuangan sesuai dengan prinsip yang berlaku umum,

mensyaratkan Perusahaan untuk memakai estimasi-estimasi dan asumsi-asumsi yang

mempengaruhi jumlah yang dilaporkan. Sehubungan dengan ketidakpastian yang

melekat dalam pembuatan estimasi, hasil sebenarnya yang dilaporkan dalam periode

mendatang mungkin didasarkan atas jumlah-jumlah yang berbeda dari estimasi

tersebut.

D. Data dan Fakta

Dalam bagian ini akan dideskripsikan mengenai data dan fakta berdasarkan

laporan keuangan perusahaan tahun 2012 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan

Publik. Penyajian hanya akan dibatasi pada laporan posisi keuangan, laporan laba

rugi komersial, dan rekonsiliasi fiskal beserta SPT Tahunan PPhnya.

1. Laporan Posisi Keuangan


83

Neraca menyajikan posisi keuangan perusahaan pada akhir periode tertentu.

Posisi keuangan adalah posisi tentang aset, kewajiban, dan ekuitas. Berikut ini adalah

rincian keterangan akun-akun dalam neraca perusahaan:

a. Kas dan Setara Kas

2. Laporan Laba Rugi

Anda mungkin juga menyukai