MAKALAH
Disusun oleh:
Akbar
2101419023
Rombel 1 PBSID 2019
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama
dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Walaupun singkat dan
padat, tetapi berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang
memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu memiliki makna yang lebih luas dan lebih
banyak.
Puisi sebagai salah satu jenis sastra yang merupakan pernyataan sastra yang paling
utama. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, puisi dari dulu
hingga sekarang merupakan pernyataan seni sastra yang paling diminati oleh kalangan
sastrawan-sastrawan. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni yang istimewa.
Oleh karena itu, dari dulu hingga sekarang puisi selalu diciptakan orang dan selalu dibaca,
pembacaan puisi diiringi dengan irama dan gerakan-gerakan untuk lebih merasakan
kenikmatan seninya dan nilai kejiwaannya yang tinggi. Dari dulu hingga sekarang, puisi
digemari oleh semua lapisan masyarakat. Karena kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu
selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi pun selalu berubah, mengikuti
perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah, dan kemajuan intelektual yang
selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang ujud puisi semakin komleks dan semakin
terasa sukar sehingga lebih menyukarkan pemahamannya. Begitu juga halnya corak dan ujud
puisi indonesia modern.
Puisi (sajak) merupakan sebuah susunan yang kopmleks, maka untuk memahaminya
perlu dianalisi sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata
(Wellek dan Warren, 1968: 140). Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma.
Masing-masingnorma menimbulkan lapis norma di bawahnya (Rene wellek 1968:151).
Seorang Filsafat Polandia, di dalam bukunya Das Diterarische Kunstwerk (1931) ia
menganalisis norma-norma itu sebagai berikut. Lapisan norma pertama adalah lapis bunyi/
suara (Sound Stratum). Bila seseorang membaca puisi, maka yang terdengar itu adalah
rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Lapis bunyi itu
menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti. Lapis arti (units of meaning) berupa
rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti.
Salah satu cara dalam menganalisis puisi adalah dengan menggunakan pendekatan strata
Norma. Analisis strata norma puisi, digunakan untuk mengetahui semua unsur (fenomena)
yang terkandung dalam karya sastra.
B. PEMBAHASAN
SAJAK EMBUN
Karya Ahmadun Yosi Herfanda
Yogyakarta, 1990/2007.
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang
dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya
bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi tersebut bisa
berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh
bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat.
Lapis suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan
bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi.
Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan
bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-
baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti
itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam bait pertama puisi di atas terdapat asonansi bunyi a, e, dan u pada kata
“hanya”, “karena”, “cinta”, “menetes”, “meresap”, “ujung”, “bulu”, “matamu”, “rumput”,
“daun-daun”, “jantungku”, “padamu”, “mensyukuri”, dan “waktu”. Terdapat pula
aliterasi m pada kata “embun”, “menetes”, “matamu”, “membasahi”, “rumput”,
“meresap”, “padamu”, dan “mensyukuri”. Dalam bait kedua terdapat asonansi
bunyi a, u, o, dan i pada kata “siapa”, “menolak”, “barangkali”, “hanya”, “berjalan”,
“kepala”, “bersujud”, “padamu”, “bersyukur”, “karuniamu”, “orang-orang”, “congkak”,
“mendongak”, “langit-langit”, “sambil”, “melirik”, dan “cibiran”. Terdapat pula
aliterasi b dan k pada kata “bersujud”, “bersyukur”, “barangkali”, “berjalan”, “sambil”,
“cibiran”, “menolak”, “karuniamu”, “congkak”, “kepala”, “mendongak”, dan “melirik”.
Dalam bait ketiga terdapat asonansi bunyi a, i, dan u pada kata “hanya”, “karena”,
“cinta”, “hujan”, “syaraf”, “menghijaukan”, “taman”, “membasahi”, “pori-pori”, “nadi”,
“kembali”, “bernyanyi”, “berzikir”, “ampuni”, “sudut”, “pelupuk”, “matamu”,
“rambutku”, “menyusup”, “tubuh”, “hatiku”, “burung-burungpun”, “karenaku”,
“bersujud”, “padamu”, “ya allah”, “adaku”, dan “padamu”. Terdapat pula aliterasi n, b,
dan m pada kata “karena”, “cinta”, “hujan”, “menetes”, “nadi”, “taman”, “tubuh”,
“burung-burungpun”, “bernyanyi”, “berzikir”, “bersujud”, “matamu”, “membasahi”,
“menyusup”, “menghijaukan”, dan “ampuni”.
Pada bait pertama diartikan bahwa cinta yang Allah berikan itu seperti embun yang setiap
paginya selalu menetes dan membangunkanku untuk berdzikir kepadaMu dan selalu
mensyukuri apapun yang kita punya atau yang kita miliki setiap saat. Pada bait kedua
diartikan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak bersujud dan bersyukur kepadaMu
kecuali orang yang sombong dengan membanggakan dirinya dan membesar-besarkan
omongannya. Pada bait ketiga diartikan bahwa cinta yang diberikan Allah seperti hujan yang
menyejukanku, membuatku merasa damai, dan alam beserta burung-burungpun senang ketika
melihatku berdzikir kepadaMu. Ya Allah, aku memohon ampun kepadaMu.
Wujud dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar,
pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang
diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). (Rachmat Djoko Pradopo,
2002:18).
Lapis ketiga ini membahas tentang pengaruh pengarang dan lingkungannya terhadap
karya sastra yang dilahirkannya. Ahmadun Yosi Herfanda ini banyak menulis sajak-sajak
sosial-religius. Puisi “Sajak Embun” ini salah satunya, dibuktikan pada kata-kata yang
dituliskan oleh pengarang tentang cinta yang diberikan Allah kepada umatnya dan kehidupan
orang-orang congkak yang tidak bersyukur kepadaNya. Hal ini mengusik pengarang untuk
menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Hasil karya yang dihasilkan dipengaruhi oleh
keadaan yang sering terjadi pada masyarakat dari jaman dulu sampai jaman sekarang. Jadi,
pengarang dan lingkungannya mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan tersebut
dapat dilihat pada lapis arti.
4. Lapis Dunia
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun
sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan
makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dipandang dari sudut pandang tertentu dimana embun dan hujan adalah bukti cinta Allah
kepada kita seperti dalam bait pertama puisi digambarkan bahwa embun digambarkan
sebagai cintaNya itu meresap sampai ke jantung dan membuat kita bersyukur atas cinta yang
diberikanNya. Pada bait kedua menggambarkan makhluk yang sombong dengan menolak
untuk bersyukur, dan pada bait ketiga digambarkan lagi cinta Allah dengan menunjukkan
hujan yang bisa menyejukkan hati.
5. Lapis Metafisis
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini
disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko
Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-
unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra,
metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi
di dalam karya sastra yang dikaji.
C. SIMPULAN
Berdasarkan analisis strata norma pada puisi sajak “Sajak Embun” karya Karya
Ahmadun Yosi Herfanda dapat disimpulkan bahwa, baik tidaknya karya sastra dapat dinilai
setelah unsur-unsur atau sistem norma karya sastra diuraikan terlebih dahulu. Sistem norma
karya sastra terdiri dari beberapa lapis norma, diantaranya; lapis suara, lapis arti, lapis objek,
lapis “dunia” dan lapis metafisika. Dalam sajak ini, yang ingin disampaikan penyair adalah
bahwa Dalam sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan Puisi Sajak Embun membahas
tentang rasa cinta Allah yang diberikan kepada umatNya lewat embun dan hujan yang bisa
membangunkan, menyejukkan, dan mendamaikan hati para makhlukNya untuk ingat
kepadaNya dengan cara berdzikir dan bersyukur setiap saat kepadaNya, makhluk-
makhlukNya yang tidak bersyukur termasuk makhluk yang sombong.. Berdasarkan analisis
di atas, dapat dilihat bahwa proses analisis terhadap sebuah karya, dalam hal ini puisi, harus
melibatkan segala aspek yang memungkinkan untuk digunakan. Tidak bisa didikotomikan
antara analisis berdasarkan lapis norma saja atau semiotika belaka. Namun, proses analisis
harus melibatka keduanya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurai isi sebuah puisi, hingga
dapat ditemukan maksud yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Hal ini juga dilakukan
agar sebuah puisi tidak kehilangan fungsi estetiknya.
Daftar pustaka
http://ledinopiyanti1704.blogspot.com/2017/02/contoh-analisis-puisi-dengan-teori.html
http://ledinopiyanti1704.blogspot.com/2017/02/contoh-analisis-puisi-dengan-teori.html
https://www.researchgate.net/publication/329235309_STRATA_NORMA_ROMAN_INGA
RDEN_DALAM_ANALISIS_SASTRA_KONTEMPORER
http://utsukushiifatimah.blogspot.com/2014/04/analisis-norma-roman-ingarden-
puisi.html#:~:text=Puisi%20Sajak%20Embun%20membahas%20tentang,tidak%20bersyukur
%20termasuk%20makhluk%20yang
http://ledinopiyanti1704.blogspot.com/2017/02/contoh-analisis-puisi-dengan-teori.html
https://fauzierachman20.wordpress.com/2013/10/07/analisis-strata-norma-pada-puisi-datang-
dara-hilang-dara-karya-chairil-anwar/