a. Propaganda Jepang berkaitan dengan "Saudara Tua-Saudara Muda"
untuk meyakinkan rakyat Indonesia, Jepang menegaskan sebagai saudara tua, sehingga Jepang dan Indonesia sama. Jepang dianggap sebagai saudara tua yang dipandang dapat membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan Belanda. Tentara Jepang mempropagandakan kedatangannya ke Indonesia untuk membebaskan rakyat dari penjajahan bangsa Barat. Jepang juga akan memajukan rakyat Indonesia. Jepang terus melakukan propaganda untuk menggerakkan dukungan rakyat Indonesia. Beberapa propaganda Jepang untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia antara lain: Radio Tokyo memperdengarkan lagu "Indonesia Raya" selain "Kimigayo", lagu kebangsaan Jepang. Bendera berwarna merah putih juga boleh dikibarkan berdampingan dengan bendera Jepang, Hinomaru. Melalui siaran radio, dipropagandakan barang-barang buatan Jepang yang harganya murah agar rakyat Indonesia mudah membeli.
b. Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Ketika Jepang mulai menduduki Tanah Air, salah satu hal yang pertama dilakukan adalah membentuk sistem pemerintahan. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), ada dua dokumen yang mencatatat penyelenggaraan pemerintahan militer Jepang di Indonesia dari 1942-1945. Dokumen pertama adalah Nampo Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo atau Asas-asas Mengenai Pemerintahan di Wilayah-wilayah Selatan yang Diduduki Dokumen itu memuat empat rencana pokok pemerintah Jepang setelah militer menguasai negara-negara di Asia Tenggara/Asia Selatan: Sasaran pemerintah militer adalah memulihkan ketertiban umum, mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan nasional, dan menjamin berdikari di bidang ekonomi bagi personel militer. Status terakhir wilayah-wilayah yang diduduki dan pengaturannya pada masa depan akan ditentukan terpisah. Dalam pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada akan dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi tradisional dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Penduduk setempat akan dibina sedemikian rupa sehingga mempunyai kepercayaan kepada pasukan-pasukan Jepang. Dengan demikian, gerakan-gerakan kemerdekaan pendudukan setempat dapat dicegah Dokumen kedua adalah Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni Kansuru riku-kaigun Chuuoo Kyotei atau Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-wilayah yang Diduduki. Dokumen itu menyebutkan wilayah Indonesia akan menjadi wewenang Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang. Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali dipegang Angkatan Darat. Sementara Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berada di bawah Angkatan Laut. Mengacu pada kedua dokumen itu, sejak kapitulasi atau penyerahaan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang lewat Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia. Berikut pembagiannya: Pulau Sumatera diperintah oleh Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang (Tomi Shudan). Markas besarnya di Bukittinggi. Pulau Jawa dan Bali dipegang Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang (Asamu Shudan). Markas besarnya di Batavia. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dikuasai Angkatan Laut. Pimpinannya adalah Armada ke-3 Angkatan Laut Jepang. Markas besarnya di Makassar. Di antara tiga pembagian itu, Tentara ke-16 paling dominan. Ini karena Jawa adalah pusat pemerintahan dan politik sejak zaman Hindia Belanda. Pemerintahan sementara langsung kemudian diberlakukan sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Ke-16). Ketentuan dalam undang- undang tersebut sebagai berikut: Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapuskan. Kekuasaannya diambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Para pejabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia Belanda tetap diakui kedudukannya, asalkan setia terhadap tentara pendudukan Jepang. Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui secara sah untuk sementara waktu. Asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang. Adapun susunan pemerintah militer Jepang sebagai berikut: Gunshirekan (panglima tentara) Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Gunseibu (koordinator pemerintahan) Berikut penjelasannya: 1. Gunshirekan (panglima tentara) yang kemudian disebut dengan Seiko Shikikan (panglima tertinggi) sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Baca juga: Organisasi Semimiliter di Era Pendudukan Jepang 2. Gunseikan (kepala pemerintahan militer) dirangkap oleh kepala staf. Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Kantor pusat pemerintahan militer ini disebut Gunseikan bu. Ada sepuluh bu atau departemen yang dipimpin seorang direktur. Berikut pembagiannya: Departemen Urusan Umum (Somubu) Departemen Dalam Negeri (Naimubu) Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu) Departemen Keuangan (Zaimubu) Departemen Kehakiman (Shihobu) Departemen Kepolisian (Keimubu) Departemen Lalu Lintas (Kotsubu) Departemen Propaganda (Sendenbu) Departemen Kesejahteraan Sosial Departemen Meteorologi Baca juga: Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang 3. Gunseibu kira-kira semacam gubernur. Tugasnya memulihkan ketertiban dan keamanan. Pembagiannya meliputi: Jawa Barat berpusat di Bandung Jawa Tengah berpusat di Semarang Jawa Timur berpusat di Surabaya Daerah istimewa (Kochi) di Yogyakarta Daerah istimewa (Kochi) di Surakarta c. Pemerintahan Sipil Jepang di Nusantara Selain membentuk pemerintahan militer, Jepang juga membentuk pemerintahan sipil ketika menduduki Indonesia. Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), sebelumnya pemerintah militer Jepang sudah menunjuk gunseibu. Gunseibu kira-kira semacam gubernur. Tugasnya memulihkan ketertiban dan keamanan. Pembagiannya meliputi: Jawa Barat berpusat di Bandung Jawa Tengah berpusat di Semarang Jawa Timur berpusat di Surabaya Daerah istimewa (Kochi) di Yogyakarta Daerah istimewa (Kochi) di Surakarta Pada Agustus 1942 Jepang menetapkan Undang-Undang Nomor 27 tentang Aturan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsushi (daerah istimewa, Batavia). Berdasarkan undang-undang itu, gunseibu dihapus. Sebagai gantinya dibentuk pemerintahan syu (setingkat keresidenan pada zaman pemerintah Hindia Belanda). Di Pulau Jawa, selain daerah khusus Yogyakarta dan Surakarta, pemerintahan daerah dibagi menjadi enam tingkat. Berikut pembagiannya: Syu (karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco. Syi (kotapraja), dipimpin oleh seorang syico. Ken (kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco. Gun (kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco. Son (kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco. Ku (kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco. Pemerintahan syu ini merupakan pemerintahan daerah tertinggi di bawah Gunseikanbu yang dipimpin oleh seorang syucokan. Dalam melaksanakan tugasnya, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Permusyawaratan) yang mempunyai tiga bu atau departemen. Berikut tiga bu yang dimaksud: Naiseibu (departemen umum) Keizaibu (departemen ekonomi) Keisatsubu (departemen kepolisian) Jepang juga membentuk Tonarigumi yang kita kenal sebagai rukun tetangga (RT). Gunanya, untuk memata-matai rakyat. Orang Indonesia diangkat jadi pejabat Di Jawa Barat, petinggi militer Jepang Kolonel Matsui yang merangkap sebagai gunseibu, menyelenggarakan pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintah Daerah. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana dan kerja sama yang baik. Dalam pertemuan itu, R Pandu Suradiningrat diangkat menjadi wakil gubernur dan Atik Suardi diangkat menjadi pembantu wakil gubernur Dengan adanya pengangkatan orang Indonesia sebagai pejabat, pada 1 April 1942, Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai dan lokal. Pegawai Indonesia tak bisa mendapatkan gaji lebih dari 500 gulden. Pejabat Indonesia yang gajinya di atas 100 gulden mendapat potongan pajak yang besar. Setelah R Pandu Suradiningrat dan Atik Suardi, menyusul beberapa tokoh nasional yang diangkat juga sebagai pejabat oleh Jepang. Berikut daftarnya: Prof Dr Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo diangkat sebagai syukocan Batavia RMTA Surio diangkat sebagai syukocan Bojonegoro Namun, seluruh jabatan pemerintahan yang strategis harus dipegang orang-orang Jepang. Jumlah pegawai Jepang di Pulau Jawa saat itu sekitar 23.242 orang. Lihat Foto Buku Chuo sangi-in, Dewan Pertimbangan Pusat pada Masa Pendudukan Jepang (1984) karangan Drs. Arniati Prasedyawati Herkusumo.(Arniati Prasedyawati Herkusumo) Chuo sangi-in Untuk membantu pemerintah, dibentuk pula Badan Pertimbangan Pusat (Chuo sangi-in). Chuo sangi-in bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah mengenai politik. Baca juga: Sejarah BPUPKI dan Perjalanannya Chuo sangi-in juga berwenang menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Militer. Chuo sangi-in beranggotakan 23 orang yang diangkat oleh Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi). Pada 17 Oktober 1943, Soekarno secara resmi diangkat sebagai Ketua Chuo sang-in. Wakilnya RMAA Kusumo Utojo. Dalam sidang, para tokoh nasionalis yang bergabung di Chuo sangi-in selalu berusaha mengajukan usulan yang mengarah pada perbaikan sosial rakyat yang saat itu semakin buruk. Sayangnya, dari sidang pertama sampai sidang keempat, pemerintah Jepang hanya membahas usaha-usaha pengerahan rakyat bagi kepentingan Asia Timur Raya