Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

PRE-EKLAMPSIA BERAT

Perceptor:

dr. Ratna Dewi Puspita Sari, Sp. OG

Koass :
Gusti Agung Putu Yogi Veda Ananta, S. Ked
Karin Indah Kurniati, S. Ked
Karunia Santi, S. Ked
Lisa Dwi Aryani, S. Ked
Mega Rusdiyanti, S. Ked
Muhammad Abi Nubli, S. Ked
Muhammad Caesario Liazmi, S. Ked
Riska Putri Soraya, S. Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
2021
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan

referati ni dengan sebaik mungkin.

Terselesaikannya referat ini tak lepas dari dukungan, bantuan, serta

bimbingan dari perseptor kami yaitu dr. Ratna Dewi Puspita Sari, Sp. OG. Maka

dari itu kepada beliau kami ucapkan terimakasih.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari

segi susunan kalimat, tata bahasa, maupun konten di dalam referat ini. Oleh

karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari

pembaca sebagai acuan untuk lebih baik lagi untuk kedepannya.

Akhir kata kami berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat

terhadap pembaca.

Bandar Lampung, 19 April 2021


3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
I.I Definisi Pre-eklampsia Berat.......................................................................................4
I.2 Etiologi.......................................................................................................................5
1.3 Epidemiologi................................................................................................................8
1.4 Faktor Risiko...............................................................................................................9
1.5 Pencegahan................................................................................................................10
1.6 Deteksi Dini..............................................................................................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................14


2.1 Diagnosis Pre-eklampsia...........................................................................................14
2.2 Tatalaksana Pre-eklampsia.........................................................................................18

BAB III KESIMPULAN..................................................................................................27


3.1 Kesimpulan................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................28
4

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Definisi Pre-eklampsia Berat

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya

inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang

disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada

usia kehamilan diatas 20 minggu.

Preeklampsia berat adalah peningkatan tekanan darah sekurangkurangnya 160

mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Alat tensimeter sebaiknya

menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat

menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah

divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah

menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah.

Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan

proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with

proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik

preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai

gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari

preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri.


5

Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena

sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

I.2 Etiologi

Meskipun penyebab preeklampsia masih belum diketahui, bukti manifestasi

klinisnya mulai tampak sejak awal kehamilan, berupa perubahan patofisiologi

tersamar yang terakumulasi sepanjang kehamilan dan akhir nya menjadi nyata

secara klinis. Preeklampsia adalah gangguan multisistem dengan etiologi

komplek yang khusus terjadi selama kehamilan.

a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapatkan aliran darah

dari cabang-cabang arteri urterina dan arteri varika. Kedua pembuluh

darah tersebut menembus myometrium berupa arteri arkuata dan arteri

arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus

endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang

arteri spinalis.

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

tropoblas ke dalam lapisan otot arteri spinalis, yang menimbulkan

degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spinalis.

Invasi tropoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spinalis, sehingga

jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spinalis

mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri

spinalis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resisten

vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta.


6

Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga

meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.

Proses ini dinamakan “remodeling arteri spinalis”.

Pada hipertensi kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel tropoblas pada

lapisan otot arteri spinalis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot

arteri spinalis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spinalis

tidak memungkingkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,

arteri spinalis relatif mengalami vasokontriksi dan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spinalis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun,

dan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis hipertensi

dalam kehamilan selanjutnya.

b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi tropoblas, pada hipertensi

dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spinalis”,

dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami

iskemia dan hipoksia menghasilkan oksidan atau radikal bebas.

Radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul

yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan

penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang

sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh

darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses

normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan


7

tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu mungkin

dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu

hipertensi dalam kehamilan disebut ”toksemia”.

2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

(HDK) Pada HDK telah terbukti bahwa kadar oksigen, khusus nya

peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal Vitamin E

pada HDK menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksigen

peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan

yang sangat toksis ini beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan

akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah

mengalami kerusakan oleh peroksida lemak yang relatif lemak karena

letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung

banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan

terhadap oksidan radikal hidroksil, yang berubah menjadi peroksida

lemak.

3) Disfungsi sel endotel Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak,

maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari

membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan

terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel

endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”.

c. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin

Konsep dari maternal fetal (paternal) maladaptasi imunologik menjadi

implikasi umum sebagai penyebab preeklampsia. Implantasi fetoplasenta


8

ke permukaan miometrium membutuhkan beberapa elemen yaitu toleransi

immunologik antara fetoplasenta dan maternal, pertumbuhan trofoblas

yang melakukan invasi kedalam lumen arteri spiralis dan pembentukan

sistem pertahanan imun.

d. Teori Adaptasi Kardiovaskuler

Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap

rangsangan bahan vasopressor atau dibutuhkan kadar vasopressor lebih

tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi. Pada kehamilan normal

terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat

dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh

darah

e. Teori Stimulus Inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris tropoblas, sebagai

sisa-sisa proses apotosis dan nekrotik tropoblas, akibat reaksi stress

oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian

merangsang timbulnya proses inflamasi.

1.3 Epidemiologi

Preeklamsia mengenai 5 sampai 7 persen dari seluruh wanita hamil. Tetapi,

kematian ibu yang disebabkan oleh preeklamsia mencapai 70.000 jiwa, dan

500.000 kematian janin di dunia setiap tahunnya (Rana, 2019). Sedangkan

menurut WHO (World Health Organization), penyakit hipertensi


9

bertanggung jawab atas 16% kematian ibu di negara berkembang, 9%

kematian ibu di Afrika dan Asia, dan 26% di Amerika latin dan Karibean

(Jeyabalan, 2013). Dimana kematian ibu tinggi, sebagian besar kematian

tersebut oleh eklamsia bukan preeklamsia. Berdasarkan data dari United

States National Hospital Discharge Survey, preeklamsia selama kehamilan

meningkat 25% dari 1987 sampai 2004. Sedangkan angka eklamsia menurun

22%. Angka kesakitan yang berat berhubungan dengan preeklamsia dan

eklamsia meliputi gagal ginjal, stroke, disfungsi jantung, koagulopati dan

gagal hati (Jeyabalan, 2013).

1.4 Faktor Risiko

Berdasarkan penelitian oleh Fatmawati dkk (2017) di kabupaten Gresik,

Indonesia, angka kejadian preeklamsia atau eklamsia pada ibu usia kurang

dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Pada bagian herediter, ibu yang

memiliki preeklamsia, memiliki resiko untuk mempunyai keturunan

preeklamsi eklamsia. Selain itu, apabila ibu memiliki riwayat hipertensi

memiliki resiko 2,98 kali lebih besar terhadap kejadian preeklamsia dan

eklamsia.

Paritas juga memiliki kontribusinya sendiri dalam kejadian preeklamsia

eklamsia. Primigravida memiliki resiko 2,608 kali lebih besar untuk terkena

preeklamsia dibandingkan dengan multigravida. Insidensi di dunia

menunjukkan 5%-8% preeklamsia dari seluruh kehamilan, terdapat 12% lebih

pada primigravida, terutama primigravida muda (Fatmawati, 2017).


10

Penelitian lainnya oleh Tessema (2021) tentang faktor individual dan obstetri

dari preeklamsia di rumah sakit Etiopia Selatan, menunjukkan mereka yang

memiliki berat badan normal memiliki prevalensi lebih rendah untuk kejadian

peningkatan tekanan darah jika dibandingkan dengan mereka yang

overweight (1,46 kali lebih beresiko). Primigravida juga menjadi salah satu

faktor resiko preeklamsia. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun memiliki

resiko 1,74 kali untuk terkena preeklamsia. Apabila saudara kandung

memiliki riwayat hipertensi kronis, maka akan lebih beresiko terkena

preeklamsia sebesar 2,42 kali. Mereka yang memiliki riwayat penyakit

diabetes mellitus juga memiliki resiko untuk terkena preeklamsia 0,35 kali

lebih besar dibandingkan ibu yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus

(Tessema, 2021).

1.5 Pencegahan

Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit pre-eklamsia dapat dilakukan

melalui 3 tahapan (Dutta DC,2015) diantaranya adalah (1) Pencegahan

primer, yaitu upaya untuk menghindari terjadinya peyakit. (2) Pencegahan

sekunder, yaitu memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung

sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. (3)

Pencegahan tersier yaitu pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh

proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tata laksana.

1. Pencegahan primer pre-eklamsia

Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 2016 pemeriksaan

antenatal care dilakukan secara rutin untuk deteksi awal faktor-faktor

resiko. Berdasarkan pengumpulan beberapa studi pada PNPK tahun 2016


11

didapatkan 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko pre- eklamsia

yang sebenarnya bisa dinilai pada kunjungan antenatal pertama, umur >40

tahun, nulipara, multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya,

multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru, multipara yang jarak

kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih, riwayat pre-eklamsia pada ibu

atau saudara perempuan, kehamilan multiple, IDDM (Insulin Dependent

Diabetes Melitus), Hipertensi Kronik, Penyakit Ginjal, Sindrom

antifosfolipid, kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau

embrio, obesitas sebelum hamil; serta didapatkannya indeks massa tubuh

>35, tekanan darah diastolic >80 mmHg, proteinuria (dipstick >+1 pada 2

kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam)

pada pemeriksaan fisik.

2. Pencegahan sekunder pre-eklamsia

Agen antitrombotik : aspirin dosis rendah 60 mg per hari diberikan pada

awal kehamilan pada pasien dengan resiko tinggi. Hal ini secara selektif

mengurangi produksi tromboksan. Aspirin dosis rendah diketahui dapat

menghambat siklooksigenase pada platelet dengan mencegah

pembentukan tromboksan A2 tanpa mengganggu prostasiklin. (Dutta DC,

2015) Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan

untuk prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin

dosis rendah sebagai prevensi pre-eklamsia sebaiknya mulai digunakan

sebelum usia kehamilan 20 minggu. (L duley dkk, 2010).

Suplementasi kalsium direkomendasikan terutama pada wanita dengan

asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan


12

suplemen kalsium direkomendasikan sebagai prevensi pre-eklamsia pada

wanita dengan risiko tinggi terjadinya pre-eklamsia. Penelitian yang

dilakukan Hofmeyr, dkk pada tahun 2010 pada wanita yang pre-eklamsia

mendapatkan dosis 1 mg/hari sebagai dosis rekomendasi sebagai prevensi

pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Antioksidan, vitamin E

dan C dan suplemen dengan magnesium, zinc, minyak ikan, dan diet

rendah garam telah dicoba namun manfaatnya masih terbatas.

Pada penelitian Rumbold, dkk tahun 2008 didapatkan hasil bahwa

pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko

hipertensi dalam kehamilan, pre-eklamsia dan eklamsia. Diet seimbang

kaya protein mungkin dapat mengurangi resiko. Heparin atau heparin

low-molecular-wieghtbermanfaat pada wanita dengan trombofilia dan

dengan kehamilan dengan resiko tinggi. (Dutta DC, 2015).

1.6 Deteksi Dini

Deteksi dini dengan menggunakan pendekatan antenatal care melalui

anamnesa untuk mengetahui karakteristik dan riwayat maternal serta

dikombinasi dengan pemeriksaan biofisik dan biokimia yang efektif dapat

dilakukan pada trimester pertama yaitu pada onset awal dari penyakit PE,

yang utama pada umur kehamilan 11-13 minggu. Hal ini dikarenakan kondisi

potensial dapat dicegah dengan terapi profilaksis menggunakan aspirin dosis

rendah yang dimulai sejak umur kehamilan 16 minggu. Pada tahap skrining

kedua usia kehamilan 30-33 minggu bertujuan untuk menentukan waktu

kelahiran. Dengan memonitoring melalui diagnosis dini dari tanda klinis PE


13

secara potensial dapat meningkatkan kondisi perinatal yang nantinya akan

ditentukan apakah ibu hamil tersebut perlu diberikan obat antihipertensi atau

segera dilakukan terminasi. Terdapat 2 metode skrining biofisik diantaranya

adalah :

1. Doppler Velocymetry arteri uterine

Metode ini merupakan salah satu metode non invasif untuk menilai

sirkulasi uteroplasenter. adanya gangguan perfusi plasenta direfleksikan

dengan adanya peningkatan Indeks Pulsasi (IP) dari arteri uterine yang

berkaitan dengan perkembangan pre eklampsia. (Mol, B.W.J. dkk, 2016).

2. Pemeriksaan tekanan darah

Pada pre eklampsia, hipertensi terjadi sebagai akibat dari terjadinya

vasokonstriksi dan penurunan tekanan vaskuler perifer


14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis Pre-eklampsia

Kriteria diagnostik preeklampsia terbaru menurut American College of

Obstetricians and Gynecologists 2013 Task Force on Hypertension in

Pregnancy adalah berdasarkan :

1. Anamnesis

Gejala nonspesifik seperti nyeri kepala, visus kabur, atau nyeri kuadran

kanan atas abdomen merupakan tanda awal preeklampsia yang mungkin

hadir tanpa disertai dengan peningkatan tekanan darah. Riwayat

sebelumnya seperti penyakit kronis, riwayat keluarga, nulipara, dan

komplikasi kehamilan sebelumnya merupakan faktor predisposisi.

2. Pemeriksaan fisik

Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejak usia kehamilan 20 minggu.

Manifestasi klinis lain seperti edema ekstremitas bawah, edema paru,

hepatomegaly dan nyeri tekan kuadran kanan atas abdomen merupakan

temuan klinis yang kurang spesifik untuk diagnosis preeklampsia.

3. Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium yang direkomendasikan meliputi hitung darah lengkap,

basic metabolic panel (glukosa, kalsium, sodium, potassium, CO2, Cl,

BUN [Blood Urea Nitrogen], kreatinin), tes fungsi hati, lactate

dehydrogenase (LDH), dan haptoglobin jika dicurigai ada sindrom

HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, trombosit rendah).


15

Tabel Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Memastikan Kecurigaan Preeklampsia


- Darah lengkap → Trombositopenia
- Tes fungsi hati → aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase,
bilirubin meningkat
- Kadar kreatinin dan kreatin → Kreatin serum dan protein kreatinin
meningkat
- Pemeriksaan koagulasi, LDH dan haptoglobin → jika curiga ada
sindrom HELLP

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) telah

mengeluarkan pedoman terbaru yang direkomendasikan (2017) untuk

mengidentifikasi preeklamsia dalam praktik klinis serta dalam protokol

penelitian. Pedoman sebelumnya menunjukkan bahwa PE dapat

didiagnosis jika wanita hamil memiliki tekanan darah tinggi dan

proteinuria. Namun, banyak ahli telah menunjukkan bahwa PE bisa

terjadi tanpa kehadiran proteinuria. ACOG tidak lagi menganggap

proteinuria sebagai tanda yang diperlukan untuk mendiagnosis PE.

Sebaliknya, pedoman tersebut menunjukkan bahwa praktisi perawatan

kesehatan harus mencari tekanan darah tinggi bersama dengan

proteinuria atau salah satu dari sejumlah komplikasi lainnya. Selain itu,

rekomendasi ACOG yang diperbarui tidak memiliki kriteria diagnostik

terpisah untuk PE ringan dan berat. Untuk mendiagnosis PE, ACOG

merekomendasikan :

 Tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih tinggi atau tekanan

darah diastolik 90 mm Hg atau lebih tinggi terjadi pada dua

kesempatan setidaknya 4 jam setelah 20 minggu kehamilan pada

wanita yang tekanan darahnya sebelumnya normal.


16

 Tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 160 mm Hg atau

tekanan darah diastolik 110 mm Hg atau lebih tinggi dikonfirmasi

dalam interval singkat (menit) untuk memfasilitasi terapi

antihipertensi tepat waktu.

DAN

 Proteinuria: lebih dari atau sama dengan 300 mg per 24 jam

pengumpulan urin (atau jumlah ini diekstrapolasi dari pengumpulan

berjangka waktu

ATAU

 Rasio protein / kreatinin lebih besar dari atau sama dengan 0,3.

ATAU

 Pembacaan dipstick 1+ (digunakan hanya jika metode kuantitatif lain

tidak tersedia).

ATAU

 Dengan tidak adanya proteinuria, hipertensi onset baru dengan salah

satu komplikasi yang tercantum di bawah ini.

Daftar Komplikasi:

1. Trombositopenia: Jumlah trombosit kurang dari 100.000 / mikroliter

2. Insufisiensi Ginjal: Konsentrasi kreatinin serum lebih besar dari 1,1

mg/dL atau penggandaan konsentrasi kreatinin serum jika tidak ada

penyakit ginjal lainnya.

3. Gangguan fungsi hati: Peningkatan kadar enzim hati dalam darah

menjadi dua kali konsentrasi normal

4. Edema paru
17

5. Gejala serebral atau visual

Preeklampsia dibedakan menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan

preeklampsia berat dengan kriteria sebagai berikut (Prawirohardjo &

Wiknjosastro, 2016).

1. Preeklampsia ringan

a. Tekanan darah ≥140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu.

b. Ekskresi protein dalam urin ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik,

rasio protein:kreatinin ≥ 30 mg/mmol.

2. Preeklampsia berat

Preeklampsia dikatakan masuk kategori berat apabila ditemukan satu

atau lebih tanda di bawah ini

a. Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua

kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu

hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah

baring.

b. Proteinuria ≥ 5 g/24 jam atau ≥ +3 dipstik pada sampel urin

sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali

c. Trombositopenia < 100.000/ul dan hemolisis mikroangiopati

d. SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) dan SGPT

(serum glutamic pyruvic transaminase) meningkat ditambah nyeri

epigastrik atau kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya

kapsula glisson.

e. Sakit kepala persisten dan skotoma penglihatan.


18

f. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion dan abrupsio

plasenta.

g. Edema paru dan gagal jantung kongestif.

h. Oliguria ≤ 500 ml/24 jam dan kreatinin plasma meningkat ≥ 1,2

mg/dL (Suwanti, Wibowo & Safitri, 2015; Wiknjosastro &

Prawirohardjo, 2014).

2.2 Tatalaksana Pre-eklampsia

a. Perawatan Terhadap Penyakitnya

Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring serta miring ke satu sisi. Prinsip

perawatan preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita

preeklamsia berat mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru

dan oliguri. Faktor penyebab keadaan tersebut ialah hipovolemi,

vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik

koloid/ pulmonary capillary wedge pressure.

Oleh karena itu, pemantauan pemberian cairan (oral ataupun infus) dan

pengeluaran cairan (urin) menjadi sangat penting. Bila terjadi tanda-tanda

edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan

dapat berupa :

1. 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam fisiologis dengan jumlah

tetesan < 125 cc/ jam atau

2. Infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer

laktat (60-125 cc/ jam) 500 cc.


19

Pemasangan foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguri

terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/ 24 jam.

Dapat diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila

mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung. Diet

yang diterapkan ialah cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam

(Sarwono, 2016).

b. Manajemen Ekspektatif

Manajemen preeklamsi terdiri atas manajemen aktif dan konservatif.

Manajemen aktif didefinisikan sebagai penanganan dengan cara

mengakhiri/ terminasi kehamilan bersamaan dengan pengobatan

medikamentosa. Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasarkan

keadaan obstetrik pada waktu itu (sudah inpartu atau belum) (Sarwono,

2016).

Berikut kriteria terminasi kehamilan pada preeklamsia berat menurut

POGI (2016).
20

Manajemen ekspektatif (konservatif) adalah penanganan dengan cara

mempertahankan kehamilan bersamaan dengan pemberian pengobatan

medikamentosa (Sarwono,2016). Tujuan utama dari manajemen ekspektatif

adalah untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas

neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu

(POGI). Indikasi perawatan konservatif adalah kehamilan < 37 minggu tanpa

disertai tanda-tanda impending eclamsia serta keadaan janin baik (Sarwono,

2016).

Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal

seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio

plasenta. Sebaliknya, dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi

morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing

enterocolitis (NEC), kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta

lamanya perawatan. Berat bayi lahir lebih besar namun insiden IUGR lebih

banyak (PNPK, 2016).

Rekomendasi manajemen ekspektatif preeklamsia berat menurut POGI

(2016) yaitu :

1. Indikasi manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat adalah kehamilan

kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.

2. Manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat juga direkomendasikan

untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan

tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal.


21

3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preeklamsia beratm

pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu

pematangan paru janin.

4. Pasien dengan preeklamsia berat direkomendasikan untuk melakukan

rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif.

Manajemen ekspektatif preeklamsia berat yaitu sebagai berikut.


22

c. Magnesium Sulfat

Magnesium sulfat (MgSO4) diberikan sebagai profilaksis primer maupun

sekunder pada kejang preeklamsia berapapun usia kehamilannya, serta

memiliki efek neuroprotektif terhadap janin. Pemberian magnesium sulfat

dapat menurunkan risiko terjadinya cerebral palsy pada janin prematur

(Fox Rachael, 2019). Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada

preeklamsi adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian

eklamsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta

perinatal.

Cara kerja magnesium sulfat belum diketahui sepenuhnya. Salah satu

mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi

dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga

selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai

antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam

menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila

teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke

dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.

Pemberian magnesium sulfat bermakna dalam mencegah kejang dan

kejang berulang dibandingkan pemberian plasebo. Selain itu, magnesium

sulfat tidak mempengaruhi morbiditas dan mortalitas maternal serta

perinatal. Namun magnesium sulfat memiliki efek samping minor berupa

flushing atau rasa panas (terbanyak), rasa hangat, mual-muntah, kelemahan

otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi. Efek toksisitas tersebut dapat
23

diatasi dengan pemberian kalsium glukonas 1 gr (10 ml) secara perlahan

selama 10 menit (PNPK, 2016). National Institute for Health and Care

Excellence (NICE) merekomendasikan infus dilakukan dalam 24 jam pada

wanita dengan preeklamsi usia kehamilan 24 hingga 30 minggu; dan

dipertimbangkan pada wanita hamil hingga 34 minggu (Fox Rachael,

2019). Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang

atau kejang berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya (PNPK, 2016).

Pemberian rejimen magnesium sulfat terdiri dari dosis awal (loading dose)

dan dosis pemeliharaan (maintenance dose). Dosis awal berupa 4 gr

MgSO4 melalui intravena 40% dalam 10 cc selama 15 menit. Dosis

pemeliharaan dengan pemberian infus 6 gr dalam larutan Ringer per 6 jam.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pemberian magnesium sulfat

yaitu harus tersedia antidotum bila terjadi intoksikasi (kalsium glukonas

10%); reflek patella (+) kuat; dan frekuensi pernapasan > 16 kali/ menit,

tidak ada tanda-tanda distress pernapasan. Pemberian magnesium sulfat

dapat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi; atau setelah 24 jam

pascapersalinan atau 25 jam setelah kejang terakhir (Sarwono, 2016).

Berikut rekomendasi POGI (2016) mengenai pemberian magnesium sulfat.

1. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama

eklamsia.

2. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap

eklamsia pada preeklamsia berat.


24

3. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklamsia

berat dibandingkan diazepam atu fenitoin, untuk mencegah terjadinya

kejang/ eklamsia atau kejang berulang.

4. Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat

direkomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklamsia.

5. Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak direkomendasikan.

6. Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan

secara rutin ke seluruh pasien preeklamsia, jika tidak didapatkan gejala

pemberatan (preeklamsia tanpa gejala berat).

d. Anti Hipertensi

Masih banyak pendapat dari berbagai negara tentang penentuan batas (cut

off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort

mengusulkan cut off yang dipakai adalah > 160/110 mmHg dan mean

arterial pressure (MAP) > 126 mmHg (Sarwono, 2016). Keuntungan dan

risiko oemberian antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang (tekanan

darah 140-169/ 90-109 mmHg), masih kontroversial.

Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi

dapat mengurangi insiden IUGR, solusio plasenta, superimposed

preeklamsia atau memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis

menunjukkan pemberian antihipertensi meningkatkan kemungkinan

terjadinya IUGR sebanding dengan penurunan MAP. Hal ini menunjukkan

pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah memberikan

efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama

pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan


25

ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Meskipun demikian,

penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25%

penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya

penurunan aliran darah uteroplasenta (PNPK, 2016).

Berdasarkan Cochrane Review atas 40 studi evaluasi yang melibatkan

3.797 perempuan hamil dengan preeklamsia, Duley menyimpulkan, bahwa

pemberian antihipertensi pada preeklamsia ringan maupun berat tidak jelas

kegunaannya. Di sisi lain Hendorson, dalam Cochrane Review, juga

meneliti 24 uji klinik yang melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam

kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai didapatkan bukti yang lebih

teruji, maka pemberian jenis antihipertensi, diserahkan kepada para klinisi

masing-masing, tergantung pengalaman dan pengenalan dengan obat

tersebut. Hal tersebut menunjukkan belum ada antihipertensi yang terbaik

untuk pengobatan hipertensi dalam kehamilan. Namun yang harus

dihindari secara mutlak, sebagai antihipertensi, ialah pemberian

diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat (Sarwono, 2016).

Berikut merupakan rekomendasi antihipertensi pada preeklamsia (PNPK,

2016) :

1. Antihipertensi direkomendasikan pada preeklamsia dengan hipertensi

berat, atau tekanan darah sistolik > 160/ 110 mmHg.

2. Target penurunan tekanan darah adalah < 160/ 110 mmHg.

3. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short

acting, hidralazine dan labetolol parenteral.


26

4. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitrogliserin,

metildopa, labetolol.

e. Kortikosteroid

Sindroma HELLP (hemolysis elevated liver enzim low platelet count)

merupakan sindroma yang muncul akibat preeklamsia berat. Sehingga

penanganan sindroma ini harus dilakukan. Menurut penelitian, ditemukan

bahwa kortikosteroid dapat memperbaiki nilai-nilai laboratorik pada

sindroma HELLP. Perbaikan yang dimaksud ialah perbaikan kadar

trombosit, SGPT, SGOT, LDH, dan tekanan darah arteri.

Pemberian kortikosteroid post partum tidak berpengaruh pada kadar

trombosit. Pemberian kortikosteroid tidak berpengaruh pada morbiditas

dan mortalitas maternal serta perinatal/ neonatal. Deksametason lebih

cepat meningkatkan kadar trombsit dibandingkan betametason.

Rekomendasi pemberian kortikosteroid pada sindroma HELLP (PNPK,

2016) :

1. Pemberian kortikosteroid sebagai terapi sindroma HELLP masih

belum dapat direkomendasikan sampai didapatkan bukti yang nyata

terjadi penurunan morbiditas maternal.

Pemberian kortikosteroid antenatal berhubungan dengan penurunan

mortalitas janin dan neonatal, RDS, kebutuhan CPAP, kbutuhan surfaktan

dan perdarahan serebrovaskular, necritizing enterocolitis serta gangguan

perkembangan neurologis. Pemberian kortikosteroid tidak berhubungan

dengan infeksi, sepsi purpuralis dan hipertensi pada ibu. Pemberian

deksametason maupun betametason menurunkan bermakna kematian janin


27

dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan perdarahan serebrovaskular.

Pemberian betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar

dibandingkan deksametason (PNPK, 2016). Rekomendasi kortikosteroid

menurut PNPK (2016).

1. Kortikosteroid diberikn pada usia kehamilan < 34 minggu untuk

menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal.


28

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
29

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C hrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :


EGC

American college of obstetrician and gynecologist. 2017. Bisa diakses di :


https://www.acog.org/Clinical-Guidance-and-Publications/Task-Force-and-
Work-Group-Reports/Hypertension-in-Pregnancy

Dutta DC. Text book of Obstetrics including Perinatology and Contraception. 6th
edition. New Central book agency India; 2015: pp256

Fatmawati L, Sulistyono A, Notobroto HB. 2017. Pengaruh Status Kesehatan Ibu


Terhadap Derajat Preeklampsia/Eklampsia di Kabupaten Gresik. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 20(2): 52-58

Fox Rachael, Kitt Jamie, Lesson Paul, Aye Christina YL, dan Lewandowski
Adam J. 2019. Preeclampsia: Risk Factors Diagnosis, Management, and the
Cardiovascular Impact on the Offspring. MDPI: Journal of Clinical Medicine.

Greenberg, M. 2007. Pre-eklampsia/Eklampsia dalam Teks Kedokteran


Kedaruratan Jilid 2 . Jakarta : Penerbitan Erlangga, pp.378-79

Hofmeyr GJ, Lawrie TA, Atallah AN, Duley L. Calcium supplementation during
pregnancy for preventing hypertensive disorders and related problems.
Cochrane database of systematic reviews. 2010

Jeyabalan, Arun. 2013. Epidemiology of Preeclampsia: Impact of Obesity. Nutr


Rev. 71(1): 1-14

Kartaka, M. K. 2006. Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi dalam Kehamilan.


Indonesian Journal of Obstetric and Gynecology. Jakarta : EGC pp. 30 (1), 55-
8

L Duley. DJ Henderson-Smart, S Meher, JF King. Antiplatelet agents for


preventing preeclampsia and its complications. Cochrane database of
systematic reviews. 2010

Mol, B.W.J., et.al, 2016, Pre-eclampsia. www.thelancet.com, Vol 387 :999-1008


30

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran : Diagnosis dan Tata Laksana Pre-


eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Himpunan
Kedokteran Feto Maternal.2016

Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. 2016. Ilmu kebidanan. Edisi Ke-4 Cetakan


kelima. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Rana S, Lemoine E, Granger JP, Karumanch SA. 2019. Preeclampsia:


Pathophysiology, Challenges, and Perspectives. AHA Journal. 124:1094-1112

Rumbold A, Duley L, Crowther CA, Haslam RR. Antioxidants for preventing


preeclampsia. Cochrane database of systematic reviews. 2008

Suwanti, Wibowo E, Safitri N. 2014. Hubungan tekanan darah dan paritas dengan
kejadian eklampsia di ruang bersalin RSUP NTB tahun 2012. Media Bina
Ilmiah. 8(1):25-30.

Tessema, Kassahun Fikadu. 2021. Individual and Obstetric Risk Factor of


Preeklampsia among Singleton Pregnancy in Hospitals of Southern Ethiopia.
International Journal of Hypertension. 2021

Wibowo Noroyono, dkk. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Pre-eklamsia.


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia: Himpunan Kedokteran Feto Maternal

Wiknjosastro H, Prawirohardjo S . 2014. Ilmu kandungan. Edisi ke-3 Cetakan ke-


2. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai