Anda di halaman 1dari 23

Nama : Akbar willi widarmaji

Nim : 19.0.P.224

Prodi : Sarjana Keperawatan smt 4

Tugas : maternitas (Bentuk kelainan pembekuan darah)

1. Hipofibrinogenemia
 Pengertian : Hipofibrinogenemia adalah kekurangan fibrinogen yang
beredar, biasanya di bawah 100 mg persen. Hal ini mungkin terlihat dalam
kondisi seperti abrupsio plasenta, emboli cairan amnion, kematian janin, dll,
di mana fibrinogen dihabiskan oleh koagulasi diseminata intravascular
(kamus kesehatan). Keadaan ini sering kita jumpai dalam kehamilan dan
persalinan. Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan hipo- dan a-
fibrinogenemia dalam obstetric adalah :
a. Solusio plasenta
b. Kematian janin dalam Rahim
c. Emboli air ketuban
d. Perdarahan yang banyak
e. Missed abortion
f. Abortus septic dan sepsis puerperalis
g. Eklamsia

Rata-rata Kisaran
Wanita normal 300 mg% 200-400 mg%
Wanita hamil 400 mg% 300-600 mg%
Hipofibrinogenemia Di bawah 100 mg%
Afibrinogenemia Fibrinogen kurang sekali

 Terjadinya Hipofibrinogenemia
a. Fase 1 : pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venole)
terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravascular clotting.
Akibatnya ialah bahwa peredaran darah kapiler (microcirculasi)
terganggu. Jadi pada fase 1 turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena
pemakaian zat tersebut, maka fase 1 disebut juga koagulapathi
consumptive. Diduga bahwa hematom retroplacentair mengeluarkan
trombhoplastin yang menyebabkan pembekuan intravascular tersebut.
Akibatnya gangguan microcirculasi terjadi kerusakan jaringan pada alat-
alat yang penting karena hipoksia. Kerusakan ginjal menyebabkan
oliguri/anuri. Akibat gangguan microcirculasi ialah syok.
b. Fase 2 : fase ini sebetulnya fase regulasi reparative ialah usaha badan
untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha
ini di laksanakan dengan fibrinolyse. Fibrinolyse yang berlebihan, lebih
lagi menurunkan kadar fibrinogen hingga terjadi peredaran patologis.
 Penanganan Hipofibrinogenemia
a. Hipofibrinogenemia dalam keguguran dan persalinan akan menimbulkan
perdarahan yang banyak dan sulit dihentikan. Penanganan harus
memperhatikan keadaan yang menyebabkanya dalam obstetric yaitu:
 Memperbaiki keadaan umum penderita : pemberian cairan, transfusi
segar, dan lain-lain.
 Pemberian fibrinogen per-infus 4-6 gram atau pemberian darah segar
sebanyak1-2 liter. Darah yang sudah lama disimpan tidak berguna,
karena fibrinogennya telah rusak.
 Untuk mencegah fibrinolisis yang berlebihan dapat diberikan transfuse
epsilon-aminokaproat, dan transiiol.
 Penanganan khusus dari sudut indikasi obstetric bergantung pada
keadaan penderita dan penyebabnya. Misalnya, cara melakukan
penanganan perdarahan pasca persalinan tahap demi tahap: uterua
tonika, massage rahim, kompresi bimanual, tamponade, metode
Henkel, dan bila perlu demi untuk menyelamatkan jiwa ibu, sumber
perdarahan diangkat (histerektomi).
b. Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal
Atasi hipofibrinogenemia yaitu :
 Restorasi cairan/darah sesegera mungkin dapat menghindarkan
terjadinya koagulapati
 Lakukan uji beku darah (bedside coagulation test) untuk menilai fungsi
pembekuan darah (penilaian tak langsung kadar ambang fibrinogen).
Caranya sebagai berikut :
- Ambil darah vena 2 ml, masukkan dalam tabung kemudian
diobservasi
- Genggam bagian tabung yang berisi darah.
- Setelah 4 menit, miringkan tabung untuk melihat lapisan koagulasi
di permukaan.
- Lakukan hal yang sama setiap menit
- Bila bagian permukaan tidak membeku dalam waktu 7 menit,
maka di perkirakan titer fibrinogen dianggap di bawah nilai normal
(kritis)
- Bila terjadi pembekuan tipis yang mudah robek bila tabung
dimiringkan, keadaan ini juga menunjukkan kadar fibrinogen di
bawah ambang normal.
 Bila darah segar tidak dapat segera diberikan, berikan plasma beku
segar (15ml/kgBB)
 Bila plasma beku segar tidak tersedia, berikan kriopresipitat
fibrinogen
 Pemberian fibrinogen, dapat memperberat terjadinya koagulasi
diseminata intravaskuler yang berlanjut dengan pengendapan fibrin,
pembendungan mikrosirkulkasi di dalam organ-organ vital, seperti
ginjal, glandula adrenalis, hipofisis dan otak.
 Bila perdarahan masih berlangsung (koagulapati) dan trombosit di
bawah 20.000, berikan konsntrat trombosit.
2. Trombositopenia
a. Pengertian
 Trombositopenia adalah kondisi kelainan trombosit yang terjadi akibat
kurangnya kadar trombosit atau disebut juga platelet di dalam tubuh.
Trombosit merupakan sel darah yang diproduksi di sel-sel besar yang
terletak di sumsum tulang belakang (megakariosit). Trombosit berperan
pada proses pembekuan darah sehingga tubuh terhindar dari perdarahan
berlebih.
 Trombositopenia didefinisikan sebagai menurunnya nilai trombosit
kurang dari 150.000/mL. Nilai trombosit antara 100.000- 150.000/mL
dipertimbangkan sebagai trombositopenia ringan, 50.000-100.000/mL
trombositopenia sedang dan kurang dari 50.000/mL merupakan
trombositopenia berat. Trombositopenia merupakan abnormalitas
hematologi tersering kedua setelah anemia yang terjadi pada kehamilan.
b. Etiologi

1. Rendahnya trombosit yang diproduksi


Sumsum tulang menjadi tempat semua komponen darah, termasuk
trombosit diproduksi. Jika sumsum tulang tak menghasilkan trombosit yang
cukup, maka darah akan memiliki jumlah trombosit yang rendah. Berikut
penyebab produksi trombosit yang rendah:

 Anemia aplastik
 Kekurangan zat besi
 Kekurangan folat
 Kekurangan vitamin B-12
 Infeksi virus, seperti HIV, cacar air, dan Epstein-Barr
 Paparan kemoterapi, radiasi, atau bahan kimia beracun
 Terlalu banyak mengonsumsi alkohol
 Leukemia
 Myelodysplasia
 Sirosis
2. Banyaknya trombosit yang dihancurkan
Dalam tubuh yang sehat, setiap trombosit hidup sekitar 10 hari. Kekurangan
trombosit juga dapat terjadi akibat banyaknya trombosit yang dihancurkan.
Hal ini bisa disebabkan oleh efek samping obat-obatan tertentu, seperti
diuretik dan obat anti-kejang. Selain itu, dapat pula dipicu oleh:

 Hipersplenisme atau pembesaran limpa


 Gangguan autoimun
 Kehamilan
 Purpura trombositopenia idiopatik
 Purpura trombositopenia trombotik
 Infeksi bakteri dalam darah
 Koagulasi intravaskular diseminata
 Sindrom hemolitik uremik

c. Gejala trombositopenia
Kasus-kasus trombositopenia ringan, seperti jumlah trombosit rendah yang
disebabkan oleh kehamilan, biasanya tak menimbulkan gejala apa pun. Akan
tetapi, kasus yang lebih parah bisa menunjukkan gejala-gejala tertentu. Berikut
gejala trombositopenia yang mungkin terjadi:

 Mudah memar atau memar secara berlebihan


 Perdarahan superfisial pada kulit yang ditandai dengan bintik-bintik ungu
kemerahan, biasanya terdapat pada kaki bagian bawah
 Luka mengalami pendarahan berkepanjangan
 Pendarahan dari gusi atau hidung
 Terdapat darah dalam urine atau feses
 Pendarahan menstruasi yang berat
 Kelelahan
d. Faktor-faktor risiko

Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko Anda mengalami


trombositopenia, di antaranya:

 Masalah kesehatan tertentu yang terkait dengan kanker, anemia aplastik


atau sistem autoimun

 Paparan terhadap zat kimia beracun

 Efek samping obat-obatan tertentu

 Infeksi virus

 Keturunan

 Wanita hamil

 Sering minum minuman beralkohol

e. Pengobatan pada trombositopenia


tergantung pada penyebab dan tingkat keparahannya. Tujuan utama dari
pengobatan adalah mencegah komplikasi dan disabilitas akibat pendarahan,
yang dapat berujung pada kematian. Trombositopenia yang bersifat ringan
umumnya akan membaik apabila penyebab utamanya dapat diatasi. Jadi,
dokter tidak akan memberikan pengobatan khusus. Apabila gejala-gejala yang
dialami semakin parah dan kadar trombosit di dalam darah jauh di bawah batas
wajar, dokter akan merekomendasikan beberapa jenis pengobatan dan
tindakan, seperti:

 Pengobatan dengan kortikosteroid dan imunoglobulin

 Transfusi trombosit

 Splenektomi atau operasi pengangkatan limpa

f. Pencegahan
Berikut adalah gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat membantu
menaikkan kadar trombosit rendah di dalam darah:

 Hindari cedera dari aktivitas atau olahraga

 Batasi konsumsi alkohol

 Berhati-hati dengan obat-obatan bebas untuk menghindari efek samping


yang membahayakan.

3. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)


a. Pengertian
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) adalah kondisi yang ditandai
dengan menurunnya jumlah trombosit darah (trombositopenia) dalam tubuh,
sehingga menimbulkan kecenderungan perdarahan. Bentuk perdarahan yang
muncul bisa sebagai purpura, yaitu perubahan warna pada kulit atau selaput
lendir karena adanya perdarahan pembuluh darah kecil (memar). Atau bisa
juga dalam bentuk ptechiae, yaitu bintik-bintik merah akibat pendarahan di
dalam kulit. Perdarahan terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang
menyerang trombosit, sehingga jumlah trombosit menurun (rendah). Kondisi
ini bisa terjadi pada siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak. Anak
berusia 2–5 cukup rentan terhadap ITP.
b. Etiology
Penyebab Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) adalah penghancuran
trombosit oleh sel imun atau kekebalan tubuh. Ada beberapa teori yang
menjelaskan tentang aktivitas sel imun yang menyerang trombosit dalam
tubuh, yaitu:

 Sel imunitas tubuh ‘bingung’ membedakan antara sel tubuh sendiri dan
patogen, seperti virus atau bakteri. ITP sering kali muncul setelah
seseorang menderita infeksi.
 Tubuh menderita stres oksidatif akibat radikal bebas, yang memicu
terjadinya perubahan DNA sel imunitas, dan selanjutnya menyerang sel
tubuh sendiri.
 Terjadi kerusakan sel imunitas tubuh.
 Perubahan sistem kekebalan tubuh akibat gangguan sistem imunitas
tubuh di saluran pencernaan –misalnya karena perubahan kondisi
bakteri usus akibat perubahan pola makan, konsumsi antibiotik, atau
serangan patogen.

c. Diagnosis ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)


Banyak penyakit lain yang ditandai dengan trombositopenia. Pada
diagnosis Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), penting untuk
menyingkirkan penyebab lain dari trombositepenia.

Bila terjadi ITP, akan ditemukan trombositopenia tanpa kelainan yang lain –
misalnya kulit pucat, limfadenopati, pembesaran hati dan limpa. Dokter
akan melakukan anamnesis atau menggali informasi dari pasien untuk
menanyakan berbagai gejala yang dirasakan.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan purpura atau ptechiae. Sedang pada
pemeriksaan darah hanya akan ditemukan trombositopenia (jumlah dan
bentuk sel darah lainnya normal). Jika masih belum mendapatkan gambaran
yang jelas, bisa jadi akan dilakukan biopsi sumsum tulang belakang.

d. Gejala ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)


Beberapa tanda terjadinya Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) antara
lain adalah:

 memar (ekimosis), perdarahan purpura atau ptechiae


 perdarahan gusi
 tanda perdarahan intrakranial, yaitu perdarahan akibat peningkatan
tekanan tak normal pada otak, sakit kepala, gangguan penglihatan,
penurunan kesadaran, dan sebagainya.

e. Pengobatan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)


Tanpa pengobatan khusus, kebanyakan pasien dengan Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura (ITP) jumlah trombositnya akan kembali normal.
Pada saat itu aktivitas normal pun dapat kembali dilakukan, umumnya dalam
waktu 4–6 minggu. Beberapa pilihan pengobatan yang dapat dilakukan pada
kasus ITP adalah:

 pemberian kortikosteroid.
 pemberian immunoglobulin.
 pemberian beberapa jenis kemoterapi.
 transfusi trombosit.
 metode splenektomi atau pembedahan limpa. Hal ini bisa
dipertimbangkan jika kadar trombosit tidak mencapai level aman (sekitar
30.000/µL) dengan terapi obat-obatan selama 6 bulan.
 metode trombopoetin reseptor agonist, dipakai pada orang dewasa yang
tidak merespon terhadap pengobatan konvensional dan pembedahan.

f. Pencegahan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura)


beberapa pencegahan agar tidak terluka, misalnya menghindari aktivitas yang
berpotensi menyebabkan cedera, mewaspadai setiap gejala infeksi dan tidak
sembarang mengonsumsi obat karena dapat memperburuk kondisi.

4. HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low


platelet count)

a. Pengertian

HELLP Syndrome adalah gangguan hati dan darah yang berpotensi mengancam


nyawa selama kehamilan yang biasanya terkait dengan preeklampsia. Gejala
sindrom HELLP sangat luas dan tidak jelas, dan seringkali sulit didiagnosis pada
awal mula kemunculannya. Nama HELLP syndrome itu sendiri adalah akronim
dari tiga kelainan utama yang terlihat pada hasil analisis laboratorium, yaitu:

 H- hemolysis (pemecahan sel darah merah)

 EL- elevated liver enzymes (fungsi hati menurun)

 LP- low platelets counts (trombosit rendah).

 Hemolisis berarti terjadi kerusakan pada sel darah merah. Eritrosit atau sel
darah merah menjadi terlalu cepat rusak atau mati. Hal ini dapat
mengakibatkan anemia, sehingga darah tidak membawa oksigen yang cukup
ke seluruh tubuh.
 Peningkatan enzim hati menunjukkan bahwa hati tidak berfungsi dengan
baik. Pasalnya, sel-sel hati yang meradang atau terluka mengeluarkan
sejumlah besar bahan kimia tertentu, termasuk enzim, ke dalam darah dan
enzim inilah yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah.
 Trombosit adalah fragmen sel dalam aliran darah yang membantu dengan
pembekuan darah. Ketika kadar trombosit rendah, maka terjadilah
peningkatan risiko pendarahan yang berlebihan.

Meski penyebabnya belum diketahui, namun sindrom HELLP umumnya


terjadi pada trimester terakhir kehamilan, sebelum minggu ke-37.
Beberapa ahli percaya bahwa HELLP syndrome berkaitan erat dengan pre-
eklampsia. Berdasarkan data penelitian, sekitar 10-20 persen wanita hamil
dengan preeklamsia juga mengembangkan sindrom HELLP. Ada juga faktor-
faktor tertentu yang dapat meningkatkan risiko HELLP, seperti tekanan
darah yang tidak terkontrol, usia ibu lanjut, dan riwayat preeklampsia
sebelumnya.

b. Tanda dan Gejala

Gejala sindrom HELLP sangat mirip dengan gejala meriyang biasa. Gejala-
gejalanya mungkin tampak sebagai gejala kehamilan yang "normal". Namun,
penting untuk segera periksa jika mengalami gejala apapun selama kehamilan
dan memastikan bahwa gejala yang sedang dialami tidak menunjukkan masalah
kesehatan yang serius. Gejala HELLP syndrome dapat bervariasi dari orang-ke-
orang, tetapi yang paling umum diantaranya:

 merasa tidak sehat atau lelah

 sakit perut

 mual

 muntah

 sakit kepala

Gejala lainnya berupa:

 bengkak, terutama di tangan, kaki, atau wajah

 sakit perut

 berat badan yang berlebihan dan mendadak

 perdarahan yang berlebihan atau tidak dapat dijelaskan

 pandangan buram atau perubahan penglihatan

 mulas atau gangguan pencernaan

 sakit bahu

 nyeri saat bernapas dalam-dalam.

c. Penyebab Sindrom HELLP

Penyebab pasti dari Sindrom HELLP belum diketahui. Beberapa teori meyakini
Sindrom HELLP yang ditandai dengan anemia hemolitik (perusakan sel darah
merah yang menyebabkan anemia), trombositopenia (rendahnya jumlah
trombosit dalam darah), dan gangguan fungsi hati merupakan hasil dari cedera
endotel (sel-sel dinding pembuluh darah) plasenta yang menyebabkan
kurangnya suplai oksigen dalam plasenta (Hypoxic Placenta). Maka dari itu,
munculnya sindrom HELLP ini sering dikaitkan dengan preeklampsia atau
eklampsia. 

Teori lainnya menyebutkan penolakan dari sistem kekebalan tubuh ibu


terhadap sel-sel dari janin yang dianggap “benda asing” sehingga menyebabkan
kerusakan dari endotel yang menyebabkan gangguan plasenta, seperti pada
penyakit Sindrom Antiphospholipid, suatu penyakit autoimun, pada ibu yang
sedang mengandung.

d. Faktor resiko

Preeklampsia adalah faktor risiko terbesar. Kondisi ini ditandai dengan tekanan


darah tinggi dan pembengkakan pada anggota gerak, dan biasanya terjadi
selama trimester terakhir kehamilan. Namun, tidak semua wanita hamil dengan
preeklamsia akan mengembangkan HELLP syndrome. Faktor risiko lain
termasuk:

 hamil di atas 30 tahun

 sangat kelebihan berat badan

 diet yang buruk

 menderita diabetes

 riwayat preeklampsia

e. Pemeriksaan dan Diagnosis

melakukan pemeriksaan fisik, terkhusus mengenai tekanan darah dan juga


kondisi liver atau hati untuk mengetahui ada tidaknya pembengkakan. Di
samping itu, apabila apabila dicurigai terdapat ketidaknormalan maka tes-tes
tertentu juga diperlukan untuk membuat diagnosis yang tepat dan melakukan
pemeriksaan lab seperti:
 tes darah untuk mengevaluasi kadar trombosit dan jumlah sel darah merah

 tes urin untuk memeriksa peningkatan enzim hati dan protein abnormal

 MRI untuk menentukan apakah ada perdarahan di hati.

f. Komplikasi

Komplikasi yang terkait dengan sindrom HELLP meliputi:

 pembekuan darah

 pecah hati (ruptur liver)

 gagal ginjal

 kegagalan pernafasan akut

 cairan di paru-paru (edema paru)

 pendarahan yang berlebihan saat melahirkan

 abrupsio plasenta, yang terjadi ketika plasenta terlepas dari rahim sebelum
bayi lahir

 stroke

 kematian

5. Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC)


a. Pengertian

 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu sindrom yang


ditandai dengan terjadinya aktivasi jalur koagulasi sistemik yang
menyebabkan peningkatan aktivitas platelet, faktor koagulasi, serta
deposisi fibrin intravaskular. Keadaan ini akan menghasilkan trombus
mikrovaskular yang dapat berakhir pada iskemik jaringan dan kegagalan
multiorgan. Selain itu, DIC juga dapat menimbulkan manifestasi
perdarahan yang serius karena penurunan jumlah platelet.
 DIC akut terjadi ketika darah terpapar oleh tissue factor dengan jumlah
yang besar dan dalam waktu yang singkat, sehingga mekanisme
kompensasi hemostasis tidak mampu mengatasi status hiperkoagulasi yang
sedang terjadi. Penyebab DIC akut misalnya sepsis dan trauma mayor. DIC
kronis terjadi akibat paparan tissue factor yang lebih kecil namun dalam
jangka waktu yang lama sehingga tubuh masih dapat mengkompensasi
sebagian dengan meningkatkan faktor koagulasi, platelet, antithrombin,
dan antiplasmin. Penyebab DIC kronik misalnya penyakit Raynaud
dan keganasan, seperti leukemia.

b. Etiologi

Etiologi dari disseminated intravascular coagulation (DIC) berkaitan dengan


berbagai kondisi klinis dan penyakit yang menyertai. Ada banyak faktor yang
menyumbang status hiperkoagulasi pada DIC.

Etiologi DIC

- Infeksi bakteri : Gram positif (endotoksin), Gram negatif


(mukopolisakarida)
- Virus : HIV, Virus Varicella Zoster, Cytomegalovirus,
Virus Hepatitis
-Parasit : Malaria
Sepsis - Fungal : Histoplasma
  
-Abruptio plasenta

-Emboli cairan amnion


-Abortus septik
-Eklampsia
Komplikasi Obstetrik - Retained fetus syndrome

- Hematologi : Leukemia promyelositik akut, Leukemia


myelomonositik
-Adenokarsinoma : Prostat, pankreas
Keganasan - Metastasis

-Rhabdomyolysis
- Emboli lemak
- Luka bakar luas
Trauma dan cedera
jaringan - Venom ular

Hemolisis - Reaksi transfusi hemolitik


intravaskuler - Transfusi massif

- Giant Hemangioma (Kasabach-Merritt syndrome)


-Aneurisma aorta

Kelainan vascular - Penyakit Raynaud

- Gagal hati akut


-Sirosis
Penyakit hati - Fatty liver of pregnancy

 DIC akut lebih sering terjadi pada kondisi dengan onset cepat seperti trauma
mayor, sepsis, dan transfusi darah masif. DIC kronis lebih umum pada gangguan
seperti keganasan dan penyakit Raynaud.
 Sepsis merupakan etiologi yang sering menyebabkan DIC. Pada sekitar 35%
kasus berat, kejadian sepsis diikuti oleh DIC. Selama sepsis, inflamasi sistemik
mengaktifkan sistem koagulas.

c. PATOFISIOLOGI DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)

 disseminated intravascular coagulation (DIC) dipengaruhi oleh


paparan tissue factor jumlah besar yang menyebabkan kompensasi
hemostasis tidak dapat mengatasi status hiperkoagulasi. DIC juga
dipengaruhi paparan sitokin proinflamasi, terutama tumor necrosis
factor (TNF), interleukin (IL) 1, dan IL-6, yang akan menyebabkan gangguan
keseimbangan sistem koagulasi.

1. Paparan Tissue Factor pada Thrombin : Aktivasi dan inisiasi koagulasi


yang menyebabkan terbentuknya thrombin pada DIC, diperantarai
oleh tissue factor/factor VIIa pathway. Paparan tissue factor (TF) pada
sirkulasi terjadi melalui kerusakan endotel dan jaringan, serta inflamasi.
TF akan memicu molekul prokoagulan dan mengaktivasi jalur koagulasi
yang melibatkan faktor VIIa. Kompleks TF-VIIa akan mengaktivasi
thrombin yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Di saat yang
bersamaan thrombin juga mengaktifkan agregasi platelet. Thrombin
memiliki aksi prokoagulan berupa:
 Mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
 Aktivasi faktor V, VII, dan XI untuk menstimulasi pembentukan
thrombin lagi.
 Aktivasi faktor XIII untuk stabilisasi fibrin.
 Membuat agregasi platelet melalui aktivasi protease activated
receptor (PAR) dan Glikoprotein V.
 Aktivasi Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor (TAFI)
Aksi thrombin ini membuat faktor koagulasi lebih diaktivasi lagi,
dan sebagai hasilnya bekuan fibrin akan lebih banyak terbentuk.
Kemudian, fibrinolisis yang dimediasi oleh plasmin terjadi, diikuti
dengan pelepasan fibrin degradation product.
2. Supresi Fisiologis Jalur Antikoagulan : Pembentukan thrombin pada
umumnya diregulasi oleh beberapa mekanisme hemostasis. Namun, pada
keadaan hiperkoagulasi dalam DIC, mekanisme kompensasi tidak dapat
mengendalikan pembentukan thrombin.
 Penurunan Antithrombin
Antithrombin merupakan protease yang menonaktifkan banyak enzim
yang berperan pada kaskade koagulasi. Pada pasien DIC,
antithrombin plasma berkurang secara signifikan. Hal ini disebabkan
karena terjadi peningkatan konsumsi antithrombin, peningkatan
elastase (enzim yang mendegradasi antithrombin) akibat
teraktivasinya neutrofil, dan hilangnya antithrombin akibat
kebocoran pembuluh darah kapiler.
 Penurunan Protein C dan Protein S
Dalam kondisi normal, protein C diaktivasi oleh thrombin ketika
berikatan dengan thrombomodulin pada permukaan sel endotel.
Ketika aktif, protein C bersama kofaktornya (protein S),
menginaktivasi faktor Va dan faktor VIIIa. Pada DIC, kadar dan fungsi
protein C berkurang karena rendahnya kadar zymogen protein
C, penurunan ekspresi thrombomodulin pada sel-sel endotel karena
adanya sitokin proinflamasi, dan penurunan jumlah protein S yang
disebabkan oleh peningkatan ikatan dengan C4b binding protein pada
fase akut.
 Gangguan Fibrinolisis
Ketika terjadi penumpukan fibrin dan hipoksia jaringan, endotel
menstimulasi tissue plasminogen activator (tPA) untuk menginisiasi
fibrinolisis. Pada tahap awal, tPA mengubah plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin yang merupakan preotease serin bertugas untuk
menghidrolisis ikatan-ikatan fibrin.
Proses fibrinolisis ini dapat dihambat oleh Plasminogen Activator
Inhibitor 1 (PAI-1) yang disekresikan oleh sel-sel endotel. Kadar PAI-1
meningkat pada kondisi DIC yang diinduksi oleh sepsis. Kadar PAI-1
yang tinggi merupakan faktor prediktif prognosis yang buruk pada
sepsis berat.
 Aktivasi Jalur Inflamasi
Pada proses koagulasi, protease koagulasi seperti faktor Xa,
thrombin, dan fibrin dapat memicu sel-sel endotel untuk mensintesis
sitokin proinflamasi. Proses ini dimediasi oleh ikatan antara protease
activated receptor (PAR) dengan protease koagulasi. Sebuah studi
menginvestigasi efek proinflamatorik protease koagulasi pada subjek
manusia yang diberikan rekombinan faktor VIIa. Pada penelitian
tersebut didapatkan peningkatan IL-6 dan IL-8 plasma sebanyak 3-4
kali lipat. Selain itu, inflamasi juga didapatkan akibat penurunan protein C
pada DIC. Protein C teraktivasi ditemukan memiliki efek antiinflamasi
melalui penghambatan produksi TNF-α, IL-1β, IL-6 dan IL-8 yang
diinduksi oleh endotoksin. Penurunan protein C yang terdapat pada
DIC menyebabkan keadaan proinflamasi. Inflamasi ini kemudian akan
mengaktivasi kaskade koagulasi. Dengan demikian, jalur inflamasi
dan koagulasi berinteraksi satu sama lain sehingga meningkatkan
respon inflamasi dan disregulasi koagulasi sistemik yang lebih hebat
lagi.
d. Tanda dan gejala
Gejala disseminated intravascular coagulation yang utama adalah perdarahan
dari beberapa lokasi pada tubuh. Perdarahan ini bisa disertai gejala lain yang
berupa:
 Pembekuan darah
 Mudah memar
 Penurunan tekanan darah
 Perdarahan pada rektum atau vagina
 Bintik-bintik merah pada permukaan kulit (petechiae)
 Sesak napas
 Demam
 Kebingungan atau linglung
 Hilang ingatan
 Perubahan perilaku
e. Komplikasi
Tanpa penanganan yang tepat, DIC dapat menimbulkan komplikasi berupa:

 Cedera ginjal akut.


 Gangguan mental.
 Masalah pernapasan.
 Gangguan hati.
 Trombosis dan perdarahan yang mengancam jiwa (pada pasien dengan
DIC sedang hingga berat).
 Tamponade jantung.
 Hemothorax, yakni perdarahan pada rongga pleura di paru.
 Hematoma intraserebral.
 Gangrene hingga kehilangan anggota tubuh (seperti jari kaki atau jari
tangan).
 Syok.
 Kematian.
f. Diagnosis DIC
Untuk memastikan diagnosis disseminated intravascular coagulation, beberapa
pemeriksaan darah yang terkait dengan platelet, faktor pembekuan, dan
komponen darah lainnya akan dilakukan. Pemeriksaan ini meliputi:
 Tes darah lengkap dengan apus darah tepi
 Partial thromboplastin time (PTT)
 Prothrombin time (PT)
 Kadar fibrinogen darah
 D-dimer
g. Tindakan medis dan terapi
sejumlah terapi berikut ini:

 Terapi penggantian faktor pembekuan seperti fibrinogen. Terapi ini


ditujukan untuk menghentikan pendarahan.

 Terapi oksigen, yang biasanya dibutuhkan jika penggumpalan darah


sampai mencegah oksigen mencapai organ tubuh. Terapi ini
memungkinkan lebih banyak oksigen sampai ke paru-paru, jantung, dan
organ lainnya di seluruh tubuh.

 Transfusi plasma yang menyediakan faktor pembekuan untuk


menghentikan atau mencegah perdarahan. Tindakan ini biasanya
diberikan sebagai penanganan darurat ketika DIC terjadi secara tiba-
tiba.

 Transfusi trombosit, yang dapat menaikkan kadar trombosit dengan


cepat. Tindakan ini dilakukan untuk menghentikan atau mencegah
perdarahan.

6. Dilutional coagulopathy
a. Koagulopati dilusional mengacu pada koagulopati yang terlihat selama
transfusi masif untuk trauma besar dan / atau perdarahan. Trauma mayor
dan perdarahan menyebabkan kelainan koagulasi akibat konsumsi faktor
koagulasi dan trombosit. Koagulopati dilusional terjadi karena pengenceran,
bersamaan dengan konsumsi platelet selama transfusi masif. Cairan
kristaloid dalam jumlah besar yang digunakan untuk resusitasi pada kasus ini
juga dapat menyebabkan trombositenia. Sel darah merah yang dikemas
mengandung sedikit trombosit bila disimpan selama lebih dari 24 jam, dan
trombosit yang dikandung sel darah merah biasanya rusak dan dikeluarkan
dari sirkulasi setelah transfusi. Trombositopenia dengan kadar trombosit
antara 50.000 dan 75.000 / mm3 selama transfusi masif harus diobati dengan
konsentrat trombosit.Jumlah unit sel darah merah yang ditransfusikan tidak
secara akurat memprediksi derajat trombositopenia atau kebutuhan transfusi
trombosit.
b. Hipofibrinogenemia juga menjadi masalah awal selama trauma besar dan
perdarahan. Kadar harus dijaga lebih dari 100 mg / dL dengan FFP atau
kriopresipitat. Rendahnya tingkat Faktor V dan Faktor VIII, dua faktor paling
labil dalam sel darah merah, diperkirakan tidak berperan penting dalam
perdarahan akibat transfusi masif. Hal ini diilustrasikan oleh fakta bahwa
hanya 5-20% Faktor V dan 30% Faktor VIII yang dibutuhkan untuk hemostasis
yang adekuat selama pembedahan. Selama 21 hari dalam darah yang
disimpan, Faktor V menurun menjadi 15% dan Faktor VIII menurun menjadi
50%. Yang terpenting selama transfusi masif adalah menghindari
hipotermia. Pasien hipotermia akan terus mengalami perdarahan meskipun
telah dilakukan transfusi sel darah merah, FFP / cryoprecipitate, dan
trombosit yang memadai.

c. Penyebab koagulopati dilusional sangat kompleks, dan jalur pro dan


antikoagulan terpengaruh; tetapi mekanisme yang mendasari tidak
sepenuhnya dipahami. Dalam hal perubahan laboratorium, tampaknya
sebanding dengan perubahan hemostatik selama perdarahan mayor setelah
cedera trauma. Terjadinya mikrovaskuler umum mengalir pada pasien yang
membutuhkan transfusi masif pertama kali dijelaskan oleh Counts dan
rekannya pada tahun 1974. Mereka menemukan jumlah trombosit dan tingkat
fibrinogen menjadi tes laboratorium yang paling berguna untuk memprediksi
perdarahan abnormal dan memandu terapi.

d. Saat ini, koagulopati pengenceran biasanya didefinisikan sebagai kehilangan,


konsumsi, atau pengenceran faktor koagulasi dan terjadi ketika darah diganti
dengan cairan yang tidak mengandung faktor koagulasi yang memadai.
Bergantung pada jumlah dan jenis penggantian cairan, pengenceran
komponen seluler dan faktor koagulasi tidak dapat dihindari. Berdasarkan
dinamika kehilangan darah dan akibatnya kehilangan dan konsumsi faktor,
koagulopati pengenceran yang relevan secara klinis terjadi secara konstan.
Selain itu, gangguan potensi hemostatik mungkin semakin memburuk oleh
hipotermia, asidosis, dan fibrinolisis, sehingga memperburuk hasil akhir
pasien. Jika ambang kritis dari konsentrasi plasma faktor koagulasi tercapai,
perdarahan akan terus berlanjut. Insiden koagulopati pengenceran
diturunkan dengan sediaan produk darah autologus modern (hampir bebas
plasma). Berbeda dengan gangguan perdarahan kongenital berdasarkan
defisiensi faktor koagulasi tunggal, koagulopati dilusional berhubungan
dengan perubahan multifaktorial yang mempengaruhi pembentukan trombin,
kekencangan bekuan, dan fibrinolisis. Oleh karena itu, tampaknya sulit untuk
memprediksi apakah interaksi kompleks dari komponen seluler, faktor pro
dan antikoagulan, serta aktivator dan inhibitor fibrinolitik pada akhirnya
akan membentuk bekuan yang stabil selama hemodilusi sedang hingga berat.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.openanesthesia.org/dilutional-coagulopathy/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3364035/

https://www.alomedika.com/penyakit/hematologi/disseminated-intravascular-
coagulation

1. Wang H, Kaye A, Toh CH. 2017. Disseminated Intravascular Coagulation. BMJ [Online] Available at:
https://bestpractice.bmj.com/topics/en-gb/184
2. Levi MM, Schmaier AH, Nagalla S. 2017. Disseminated Intravascular Coagulation. Medscape
[Internet] Available at: https://emedicine.medscape.com/article/199627-overview
3. Costello RA, Nehring SM. 2018. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Statspearl [Internet]
Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441834/

https://www.sehatq.com/penyakit/disseminated-intravascular-coagulation

https://hellosehat.com/kelainan-darah/trombosit/immune-thrombocytopenic-
purpura/

Endri limas. H (2010) Asuhan keperawatan pada klien dengan solusio plasenta
http://endribehepy.blogspot.com/2010/09/lp-dan-askep-solusio-plasenta.html
di akses pada tanggal 1 juli 2014 pukul 00.30 WIB (DI GANTI)
prawirohardjo, sarwono,2009,ilmu kebidanan,edisi 1,Jakarta. PT Bina Pustaka
bagian obstetsi dan ginekologi fakultas kedokteran universitas padjadjaran bandung.obstetsi
patologi(1984).& bandung:Elstar off set
https://www.sehatq.com/obat/fibrinogen
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/2132
https://www.academia.edu/12153171/Kelainan_Pembekuan_Darah
https://www.honestdocs.id/hellp-syndrome
https://www.pfizer.co.id/idiopathic-thrombocytopenic-purpura-itp-penderita-mudah-
mengalami-pendarahan

https://www.klikdokter.com/penyakit/idiopathic-thrombocytopenic-purpura

Anda mungkin juga menyukai