Anda di halaman 1dari 140

BUKU AJAR

TERMODINAMIKA

OLEH
Dra. HARTATIEK, M.Si

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA
2020

i
KATA PENGANTAR

Buku ajar ini disusun untuk menunjang perkuliahan matakuliah


Termodinamika yang disajikan untuk mahasiswa S1 Program Studi Fisika dan
Program Studi Pendidikan Fisika pada semester III, setelah mahasiswa memiliki latar
belakang yang memadai pada materi Fisika Dasar I, Fisika Dasar II, Fisika Dasar III
dan Fisika Matematik.
Dalam penyajiannya buku ini terdiri atas 7 bab. Masing-masing Bab memuat:
tujuan pembelajaran, uraian materi, contoh-contoh soal, rangkuman, dan diakhiri
dengan soal-soal latihan. Bab I menyajikan tentang Konsep-Konsep Dasar
Termodinamika. Bab II tentang Persamaan Keadaan. Bab III tentang Kerja, Kalor dan
Energi Internal. Bab IV tentang Hukum Pertama Termodinamika dan Aplikasinya.
Bab V tentang Hukum II Termodinamika. Bab VI Gabungan Hukum I dan II
Termodinamika. Bab VII tentang Potensial Termodinamik.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang dalam
kepada DIKTI pada program BOPTN melalui FMIPA Universitas Negeri Malang
yang telah memberikan kesempatan, sehingga buku ajar ini dapat terwujud.
Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang dirasakan
terdapat pada buku ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
dari para pembacai agar buku ajar ini menjadi lebih baik.

Malang, Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I KONSEP-KONSEP DASAR TERMODINAMIKA 1


A. Tujuan 1
B. Uraian Materi 1
1.1 Termodinamika dan Energi 1
1.2 Lingkup Termodinamika 2
1.3 Sistem Termodinamika 3
1.4 Keseimbangan Termodinamika 5
1.5 Properti-Properti (Sifat) Sistem 6
1.6 Tekanan 9
1.7 Interpretasi Molekuler Tekanan 12
1.8 Temperatur dan Hukum Ke-nol Termodinamika 15
1.9 Perbandingan Sifat Termometrik 16
1.10 Termometer Gas ideal 17
1.11 Proses dan Siklus Termodinamik 20
1.12 Proses Revesibel dan Irreversibel 21
C. Rangkuman 24
D. Soal-Soal Latihan 25

BAB II PERSAMAAN KEADAAN 26


A. Tujuan 26
B. Uraian Materi 26
2.1 Hubungan Matematik 26
2.2 Persamaan Keadaan 29
2.3 Persamaan Keadaan Gas Ideal 29
2.4 Persamaan Keadaan Van der Waals 31
2.5 Persamaan Keadaan Beattie-Bridgeman 35
2.6 Persamaan Keadaan Berthelot 36
2.7 Persamaam Keadaan Dieterici 36
2.8 Persamaan Keadaan Bentuk Virial 36
2.9 Perubahan Infinit dari Keadaan Kesetimbangan 37
2.10 Koefisien Muai Volume dan Ketermampatan 37
2.11 Bilangan Avogadra dan Konstanta Boltzmann 39
C. Rangkuman 41
D. Soal-Soal Latihan 42

BAB III KERJA, KALOR DAN ENERGI INTERNAL 43


A. Tujuan 43
B. Uraian Materi 43
3.1 Kerja 44
3.2 Kerja Sebagai Fungsi Lintasan 49
3.3 Aliran Energi 53

iii
3.4 Ungkapan Kerja untuk Beberapa Sistem Termodinamik 55
3.5 Kerja Pada Proses Reversibel 58
3.6 Trnsfer energi oleh kalor 59
3.7 Kalor Jenis 61
3.8 Energi Internal 63
C. Rangkuman 64
D. Soal-Soal Latihan 65

BAB IV HUKUM I TERMODINAMIKA DAN APLIKASINYA 67


A. Tujuan 67
B. Uraian Materi 67
4.1 Eksperimen Joule 67
4.2 Hukum Pertama Termodinamika 68
4.3 Energi Internal 70
4.4 Energi Internal Gas Ideal 71
4.5 Entalpi 74
4.6 Aplikasi Hukum Pertama Termodinamika 77
4.6.1 Proses Volume Konstan 77
4.6.2 Proses Tekanan Konstan 79
4.6.3 Proses energi Internal Konstan 80
4.6.4 Peoses Temperatur Konstan 82
4.6.5 Proses Adiabatik 84
4.6.6 Proses Politropik 85
C. Rangkuman 87
D. Soal-Soal Latihan 87

BAB V HUKUM II TERMODINAMIKA 88


A. Tujuan 88
B. Uraian Materi 88
5.1 Proses Spontan 88
5.2 Hukum II Termodinamika 93
5.3 Siklus Carnot 96
5.4 Teorema Clusius 98
5.5 Entropi 102
5.6 Diagram T-S 107
5.7 Hubungan Antara Properti Termodinamik 109
5.8 Interpretasi Fisis dari Entropi 112
C. Rangkuman 116
D. Soal-Soal Latihan 117

BAB VI GABUNGAN HUKUM I DAN HUKUM II TERMODINAMIKA 118


A. Tujuan 188
B. Uraian Materi 118
6.1 Hubungan-Hubungan Penting 118
6.2. Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas T dan V 119
6.3 Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas T dan P 120
6.4 Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas P dan V 120
6.5 Persamaan-Persamaan T dS 121

iv
6.6 Penerapan Persamaan TdS 121
6.7 Penerapan pada Gas Ideal 122
C. Rangkuman 124
D. Soal-Soal Latihan 125

BAB VII POTENSIAL TERMODINAMIK 126


A. Tujuan 126
B. Uraian Materi 126
7.1 Empat Potensial Termodinamik dan Sifatnya 126
7.2 Dua Hubungan Matematik Tambahan 129
7.3 Hubungan Maxwell 129
7.4 Rumus-rumus dengan Cp dan CV 130
7.5 Persamaan Energi 131
C. Rangkuman 133
D. Soal-Soal Latihan 134

DAFTAR PUSTAKA 135

v
BAB I

KONSEP-KONSEP DASAR TERMODINAMIKA

A.TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada Bab I ini akan dibahas materi tentang konsep-konsep dasar
Termodinamika. Pemahaman yang baik tentang materi ini akan membantu mahasiswa
dalam memahami materi berikutnya. Tujuan pembelajaran Bab I mencakup:
1. Mahasiswa memahami kaitan antara Termodinamika dan konsep energi.
2. Mahasiswa mengetahui lingkup yang dikaji dalam Termodinamilka.
3. Mahasiswa memahami konsep sistem Termodinamika.
4. Mahasiswa memahami konsep keseimbangan Termodinamika.
5. Mahasiswa memahami sifat-sifat sistem Termodinamik.
6. Mahasiswa memahami konsep tekanan sebagai variabel Termodinamika.
7. Mahasiswa memahami keterkaitan antara konsep temperatur dan Hukum ke-
nol Termodinamika.
8. Mahasiswa dapat membedakan antara pengertian proses dan siklus
Termodinamika
9. Mahasiswa dapat membedakan proses reversibel dan irreversibel

B. URAIAN MATERI

1.1 Termodinamika dan Energi

Termodinamika dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang energi.


Meskipun setiap orang memiliki pengertian tentang apa energi, tetapi sulit untuk
memberikan difinisi energi secara tepat. Energi dapat dipandang sebagai kemampuan
untuk menyebabkan perubahan.
Nama Termodinamika berasal dari kata termo (panas) dan dinamik (daya)
yang menjelaskankan konversi panas menjadi daya. Saat ini Termodinamika
diinterpretasikan lebih luas meliputi aspek energi, transformasi energi, produksi daya
dan hubungan antara properti-properti suatu bahan (sistem).
Salah satu hukum dasar (fundamental) tentang alam adalah “ prinsip
kekekalan energi”, yang menyatakan bahwa selama interaksi energi dapat berubah

1
dari satu bentuk ke bentuk yang lain tetapi jumlah total energi tetap. Energi tidak
dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Hukum I Termodinamika, merupakan ungkapan sederhana dari prinsip
kekekalan energi dan menegaskan bahwa energi merupakan properti/kuantitas/sifat
Termodinamika. Hukum II Termodinamika menegaskan bahwa energi mempunyai
kualitas, disamping kuantitas. Artinya bahwa proses actual/nyata, terjadi dalam arah
penurunan kualitas energi. Sebagai contoh, kita tinjau secangkir kopi panas yang
terletak di atas meja pada akhirnya akan dingin. Tetapi secangkir kopi dingin yang
terletak di atas meja yang sama tidak akan menjadi panas dengan sendirinya. Energi
dari kopi yang bertemperatur tinggi ditransfer ke udara sekitarnya dalam bentuk kalor.
Telah kita ketahui bahwa bahan terdiri atas sejumlah besar parikel yang
disebut molekul. Sifat-sifat bahan secara alami bergantung pada tingkah-laku partikel-
partikel ini. Sebagai contoh, tekanan gas di dalam tangki merupakan hasil dari transfer
momentum antara molekul dan dinding tangki. Tetapi kita tidak perlu tahu tingkah-
laku partikel-partikel gas untuk menentukan tekanan di dalam tangki. Pendekatan
makrokospik dalam mempelajari Termodinamika tanpa pengetahuan tingkah-laku
partikel-partikel individual disebut Termodinamika Klasik. Ini merupakan cara yang
mudah dan langsung untuk menyelesaikan masalah-masalah tehnik. Pendekatan lain
didasarkan pada rerata tingkah-laku sekelompok partikel individual disebut sebagai
Termodinamika Statistik, pendekakatan mikrokospik ini lebih rumit.

1.2 Lingkup Termodinamika


Setiap bahasan fisika menyangkut sistem dan lingkungannya. Sistem adalah
bagian yang menjadi pusat perhatian kita, sedangkan lingkungan adalah segala
sesuatu di luar sistem yang mempengaruhi kelakuan sistem secara langsung.
Sistem dapat dipandang secara makroskopis maupun mikroskopis. Panda-
ngan makroskopis suatu siistem memberikan kuantitas yang diacu sebagai ciri umum,
yaitu komposisi, volume, tekanan dan suhu. Kuantitas ini disebut koordinat
makroskopis, yang mempunyai ciri (1). tidak menyangkut pengandaian khusus, (2).
jumlah koordinatnya sedikit, (3). dapat diterima indera secara langsung, dan (4). dapat
diukur langsung. Sedangkan pandangan mikroskopis mengangggap bahwa sistem
terdiri atas sejumlah besar molekul yang dibahas dengan mekanika statistik. Ciri

2
umum yaitu: (1) terdapat pengandaian mengenai struktur materi, yakni molekul
dianggap ada, (2) banyak kuantitas yang harus diperinci, (3) kuantitas yang diperinci
tidak berdasarkan penerimaan indera kita, (4) kuantitas ini tidak bisa diukur.
Berikut disajikan perbandingan antara pandangan makroskopis dan
mikroskopis, yaitu (1). jika kedua pandangan di atas diterapkan pada sistem yang
sama, maka keduanya harus menghasilkan kesimpulan yang sama, (2) beberapa sifat
yang terukur langsung, yang perinciannya meliputi pemerian makroskopis,
sebenarnya merupakan rata-rata terhadap selang waktu tertentu dari sejumlah besar
ciri khas mikroskopis, dan (3). beberapa sifat makroskopis yang terukur tidak berubah
selama indera kita tetap sama, tetapi pandangan mikroskopis dapat saja berubah jika
teori molekular berubah.
Dalam termodinamika, perhatian ditujukan pada bagian dalam suatu sistem.
Suatu fungsi yang memuat sejumlah kuantitas makroskopis diperlukan untuk
memberikan keadaan internal sistem. Kuantitas makroskopis yang berkaitan dengan
keadaan internal suatu sistem disebut koordinat termodinamika. Koordinat seperti ini
menentukan energi internal suatu sistem. Tujuan termodinamika adalah mencari
hubungan umum antara koordinat termodinamik yang taat asas dengan hukum pokok
termodinamika.

1.3 Sistem Termodinamika


Dalam analisis Termodinamik, sangat penting untuk mengidentifikasi secara
jelas sistem yang ditinjau. Ada dua jenis sistem Termodinamika yang pokok yaitu
sistem tertutup dan volume kontrol. Dalam sistem tertutup ( lebih sederhana disebut
sistem), analisis difokuskan pada jumlah bahan (materi) dengan massa tetap (tertentu).
Sistem dikelilingi oleh suatu batas yang posisi, ukuran dan bentuknya bisa berubah
tetapi bersifat menahan aliran materi, akan tetapi transfer energi dalam bentuk kalor
dan usaha dapat melewati batas sistem ini. Daerah diluar batas sistem dan berdekatan
dengan sistem tersebut disebut lingkungan. Suatu sistem yang tidak dapat bertukar
energi dan massa dengan lingkungannya disebut sistem terisolasi. Untuk jelasnya kita
tinjau sistem tertutup pada Gambqar 1.1 berikut.

3
Gambar 1.1 Sistem Tertutup dengan Massa Tertentu (Saad, 1997)

Sistem berisi gas yang terkungkung antara silinder dan piston. Meskipun kalor
dan usaha bisa melewati batas sistem, dan volume sistem bisa berubah oleh gerakan
piston, sistem ini merupakan sistem tertutup karena massa tidak bisa melewati batas
sistem.
Dalam volume kontrol yang ditunjukkan pada Gambar 1.2, pusat analisis di
sekitar daerah di dalam ruang yang dilewati aliran materi dan energi. Permukaan
volume kontrol disebut permukaan kontrol dan selalu terdiri atas permukaan tertutup.
Volume kontrol terdiri dari lingkup yang menarik perhatian kita dalam menerapkan
berbagai prinsip termodinamik dan suatu konsep yang bermanfaat dalam menganalisis
peralatan seperti turbin dan pompa yang melibatkan aliran massa. Volume kontrol
bisa stasioner atau bergerak dengan kecepatan konstan atau bergerak dengan
kecepatan relatif terhadap sistem koordinat. Jika tidak terjadi transfer massa melewati
permukaan kontrol, volume kontrol identik dengan sistem tetutup.

Gambar 1.2 Volume Kontrol: Massa Melewati Batas Volume Kontrol (Saad, 1997)

Termodinamika menganalisis menggunakan sistem, yang diacu sebagai sistem


Termodinamik yang menggantikan sistem nyata yang komplek. Tanpa memperhati-
kan jenis sistem yang ditinjau, langkah pertama dan penting sebelum mengawali
analisis termodinamik adalah batas sistem harus terdefinisi dengan jelas. Penting juga
untuk mendefinisikan batas sistem atau volume kontrol agar dapat memahami
permasalahan dengan lebih baik.

4
Dalam Termodinamika, perhatian ditujukan pada sistem dalam kesetimbangan
termodinamik. Suatu sistem dikatakan mencapai keadaan setimbang termodinamik
apabila tidak dimungkinkan terjadinya perubahan keadaan secara spontan. Untuk
selanjutnya sistem yang dibicarakan adalah sistem-sistem yang berada pada keadaan
setimbang termodinamik. Sistem yang berada pada keadaan kuasi-setimbang,
menyimpang secara infinitesimal dari keadaan setimbang termodinamik. Ketika
sistem menjalani proses kuasi-setimbang, masing-masing keadaan yang dilewati
sistem dianggap setimbang dan potensial termodinamik sistem dan lingkungannya
adalah sama.

1.4 Kesetimbangan Termodinamik


Pada sistem termodinamik, koordinat makroskopis yang telah ditentukan,
ternyata dapat berubah, baik secara spontan atau karena pengaruh luar. Sistem yang
demikian mengalami perubahan keadaan. Bila di bagian dalam sistem dan juga antara
sistem dengan lingkungannya tidak ada gaya yang tidak berimbang, maka sistem
dalam keadaan setimbang mekanis. Bila sistem yang ada dalam kesetimbangan
mekanis tidak cenderung mengalami perubahan spontan dari struktur internalnya,
seperti reaksi kimia, atau perpindahan materi dari satu bagian ke bagian lainnya,
seperti difusi atau pelarutan, bagaimanapun lambatnya, maka sistem dalam keadaan
setimbang kimia. Kesetimbangan termal terjadi bila tidak terjadi perubahan spontan
dalam koordinat sistem yang ada dalam kesetimbangan mekanis dan kimia bila sistem
itu dipisahkan dari lingkungannya oleh dinding diaterm. Dalam kesetimbangan
termal, semua bagian sistem bersuhu sama, dan suhu ini sama dengan lingkungannya.
Bila persyaratan untuk masing-masing kesetimbangan tidak terpenuhi, maka sistem
mengalami perubahan keadaan sampai kesetimbangan baru tercapai.
Bila persyaratan untuk semua jenis kesetimbangan di atas tercapai, sistem
dikatakan setimbang termodinamik. Dalam hal ini, jelas tidak akan terjadi
kecenderungan adanya perubahan keadaan, baik untuk sistem, maupun untuk
lingkungannya. Keadaan setimbang termodinamik dapat diperikan dengan memakai
koordinat makroskopis yang tidak mengandung waktu, yaitu memakai koordinat
termodinamik.

5
Bila salah satu persyaratan dari tiga jenis kesetimbangan yang merupakan
komponen dari kesetimbangan termodinamik tidak dipenuhi, dikata-kan bahwa sistem
dalam keadaan tidak setimbang. Jadi bila ada gaya yang tak berimbang di bagian
dalam sistem atau antara sistem dan lingkungannya, gejala berikut ini akan terjadi:
percepatan, pusaran, gelombang, dan seterusnya. Dalam keadaan yang demikian
keadaan yang dialami sistem tidak bisa diperikan dengan memakai koordinat
termodinamik yang mengacu pada sistem secara keseluruhan.

1.5 Properti-Properti (Sifat) Sistem


Keadaan setimbang sistem termodinamik pada saat tertentu dideskripsikan
dengan sekumpulan fungsi keadaan yang disebut properti-properti/sifat sistem.
Properti hanya merupakan fungsi keadaan sistem, tidak bergantung pada proses
bagaimana keadaan itu dicapai. Perubahan nilai suatu property/sifat hanya ditentukan
oleh keadaan awal dan keadaan akhir. Secara matematik, bila property/sifat itu
dinyatakan sebagai x,dan perubahannya dx maka bila diintegrasikan dari keadaan
awal x1 dan keadaan akhir x2 dihasilkan
x2

 dx = x
x1
2 − x1 (1.1)

Properti-properti/sifat-sifat bisa dibagi dalam dua kategori: intensif dan


ekstensif. Properti/sifat intensif seperti temperatur, tekanan dan kerapatan tidak
bergantung pada ukuran, massa, dan konfigurasi sistem. Properti/sifat intensif
mendefinisikan keadaan intensif suatu sistem dan mempunyai arti hanya untuk sistem
dalam keadaan setimbang. Properti ekstensif gayut pada ukuran sistem seperti:
panjang, volume, massa dan energi. Beberapa properti intensif dan ekstensif
ditunjukkan pada Gambar 1.3 berikut ini.

Gambar 1.3 Properti/sifat Intensif dan Ekstensif ( Saad, 1997)

6
Sebarang properti ekstensif dari sistem keseluruhan sama dengan jumlah dari
properti bagian dari masing-masing komponen sistem. Contoh: massa sistem secara
keseluruhan dapat dipandang sebagai penjumlahan masing-masing bagian sistem,
secara matematik diungkapkan:
msistem =  mi (1.2)
i =1

Untuk mendifinisikan keadaan ekstensif suatu sistem diperlukan sebuah properti


ekstensif ditambah properti-properti intensif. Contoh, volume suatu bahan tertentu
dapat ditentukan oleh massanya, temperatur dan tekanan.Perbandingan dua properti
ekstensif dari sistem homogen merupakan properti intensif. Contoh, massa tiap satuan
voleme merupakan properti intensif.
Jumlah properti-properti yang diperlukan untuk mendefinisikan suatu sistem
gayut pada kompleksitas sistem. Pada sistem sederhana, keadaan intensif memiliki
dua derajad kebebasan. jika sistem ini dalam kesetimbangan, keadaan intensif di
spesifikasikan oleh dua properti intensif tak gayut (bebas). Sistem yang terdiri atas
lebih dari satu komponen atau lebih dari satu fase memerlukan lebih dari dua properti
bebas untuk menspesifikkan keadaannya.
Properti-properti yang mendefinisikan keadaan sistem disebut properti bebas
atau variabel bebas. Properti-properti yang menjadi tertentu ketika sistem
didefinisikan dengan properti bebas, disebut properti terikat (variabel terikat).
Sebagai contoh, jika tekanan dipilih sebagai properti bebas, dan nilai satu admosfer
dipilih, maka temperatur (properti terikat)dimana air mendidih adalah 100 0 C, jadi
nilainya menjadi tertentu.
Hal ini harus merealisasikan bahwa properti-properti makrokospik merupakan
perwujudan tingkah-laku mikrokospik partikel-partikel sistem. Properti mikrokospik
secara kontinyu berfluktuasi sekitar nilai dari waktu-rerata sehingga properti
makrokospik menyatakan waktu-rerata properti = properti mikrokospik.
Persamaan keadaan suatu sistem menyatakan hubungan fungsional antara
properti-properti sistam. Ditinjau persamaan keadaan yang menyatakan hubungan dari
tiga properti sistem sebarang yaitu x, y, z
f ( x, y, z ) = 0 (1.3)

7
Secara eksplisit, masing-masing variabel dapat dinyatakan sebagai fungsi dari dua
variabel yang lain.
x = x( y, z )
y = y ( z , x) (1.4)
z = z ( x, y )
jadi jika dipilih x dan y sebagai variabel bebas maka z menjadi variabel terikat,
demikian sebaliknaya. Deferensial variabel terikat dapat ditulis dalam turunan
parsialnya dan deferensial dari variabel bebas:
 z   z 
dz =   dx +   dy
 x  y  y  x

 z   z 
jika M =   danN =  
 x  y  y  x
maka dz = Mdx + Ndy (1.5)
Apabila persamaan (1.5) memiliki penyelesaian, maka dz disebut deferensial eksak
dan persamaan (1.5) dapat diintegrasikan. Sebaliknya akan bersifat tidak eksak dan
dinotasikan dengan z.
Jika fungsi z=z(x,y) dan turunan parsialnya bersifat kontinyu, maka turunan
kedua z terhadap x dan y tidak gayut pada urutan pendeferensialan dan berlaku

  z      z  
   =     (1.6)
y  x  y  x x   y  x  y

 M   N 
atau   =   (1.7)
 y  x  x  y
Persamaan (1.7) adalah syarat perlu untuk keberadaan fungsi x dan y memenuhi
persamaan (1.5). Persamaan (1.7) juga merupakan syarat cukup, agar ketika
persamaan ini diintegrasi dua kali dapat diperoleh ungkapan untuk z. Suatu fungsi
yang memenuhi persamaan (1.7) disebut fungsi titik atau suatu properti sistem.
Contoh 1.1
Interaksi kalor dengan suatu sistem diungkapkan dengan persamaan yang dinyatakan
sebagai fungsi T dan V berikut
RT
dq = f (T )dT + dv
v

8
dengan R suatu konstanta dan T dan v menyatakan temperatur dan volume spesifik
sistem. Apakah dq merupakan deferensial eksak?
Penyelesaian
Untuk mengetahui keeksakan, dapat dites dengan syarat persamaan
f (T ) (RT / v ) R
=o sehingga =
v T v
Karena 0  R/v , maka dq bukan deferensial eksak. Artinya tidak ada fungsi keadaan
yang memiliki deferensial sama dengan q.
Contoh 1.2
Hubungan p-v-T suatu gas dinyatakan p(v-b) = RT, dengan R dan b konstanta.
Tunjukkan bahwa tekanan p merupakan fungsi titik atau properti sistem.
Penyelesaian
dari p = p(v,T)
 p   p 
dp =   dT +   dv
 T  v  v T
karena p = RT/(v-b) maka

 p  R  2 p  R
  = dan   = −
 T  v v − b  vT  (v − b ) 2

 p  RT  2 p  R
  =− dan   = −
 v T (v − b ) 2  Tv  (v − b ) 2

 2 p   2 p 
Karena   =   , syarat keeksakkan dipenuhi maka P merupakan properti
 vT   Tv 

sistem.

1.6 Tekanan
Tekanan yang dilakukan oleh sistem adalah gaya tekan normal satu satuan luas
batas sistem. Ketika suatu fluida diisikan kedalam sebuah bejana, tekanan yang
menekan dinding bejana sama dengan perubahan momentum rata-rata yang menekan
tegak lurus batas sistem tiap satuan luas tiap satuan waktu.
Pada model tekanan-kontinum, tekanan pada suatu titik didefinisikan sebagai
gaya tiap satuan luas yang melewati titik dengan limit luasan sangat kecil A’. Jika

9
Fn adalah gaya normal pada luasan A, maka tekanan pada suatu titik tertentu
didefinisikan sebagai
Fn
P  lim (1.8)
A→A A

dengan A’adalah luasan terkecil yang mungkin, yang dapat mempertahankan model
kontinum.
Suatu fluida didefinisikan sebagai substansi yang tekanannya nol ketika fluida
diam relatif terhadap bejananya. Ketika fluida diam, hanya ada tekanan normal.
Dalam kasus ini, tekanan pada setiap titik menjadi fungsi skalar (tak gayut arah) dan
disebut tekanan statis. Ketika fluida bergerak, gaya tekan yang bekerja pada luasan
yang melewati suatu titik dapat dipisahkan dalam tiga komponen yang saling tegak
lurus: satu komponen tegak lurus luasan dan dua komponen pada bidang luasan. Hal
ini menghasilkan tekanan normal yang tegak lurus luasan dan dua tekanan tangensial
pada bidang luasan.
Selanjutnya ditinjau fluida homogen dengan kerapatan  dalam
kesetimbangan statis seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4

Gambar 1.4 Berat Silinder Fluida Sama dengan Gaya Tekan (Wark, 1983)

Terdapat perbedaan tekanan antara dua titik yang terpisah pada jarak h dalam arah
vertikal. Berat silinder fluida dapat disamakan dengan perbedaan gaya tekan antara
ujung-ujung silinder sehingga:
AP =  hA
P =  h =  gh (1.9)
Menurut persamaan ini, tekanan hidrostatis sama pada setiap titik pada bidang
horisontal dan hanya bervariasi dengan kedalaman.

10
Satuan tekanan dalam sisitem SI adalah paskal ( pa ); (1 pa N / m 2 ) satuan

tekanan yang lain adalah bar, 1bar = 100kpa . Tekanan satu atmosfer standart

didefinisikan sebagai tekanan yang dihasilkan oleh kolom merkuri pada ketinggian
760 mm Hg, kerapatan merkuri 13,5951gram/cm2 dan percepatan grafitasi standart
9,80665 m/s2 . Tekanan atmosfer standar 101,325kpa (k N/m2)
Analisis termodinamika memperhatikan nilai tekanan mutlak (tekanan
absolut). Bagaimanapun peralatan pengukur tekanan, hanya menunjukkan tekanan
pengukuran yang merupakan perbedaan antara tekanan absolut sistem dan tekanan
absolut atmosfer.Konversi dari tekanan pengukuran menjadi tekanan absolut
mengikuti hubungan :
Pabs = Ppengukuran − Patm (1.10)

Hubungan ini ditunjukkan pada Gambar 1.5. Yang perlu dicatat bahwa data tekanan
absolut adalah vakum sempurna, sedangkan data skala pengukuran adalah tekanan
atmosfer.
Untuk tekanan dibawah tekanan atmosfer, tekanan pengukuran adalah negatif,
dan istilah vakum menunjukkan besarnya perbedaan antara tekanan atmosfer dan
tekanan absolut sehingga:
Pabs = Patm - Pvakum
Untuk mengukur tekanan yang berbeda sedikit dari tekanan atmosfer
digunakan manometer seperti ditunjukkan pada Gambar 1.6. Fluida manometer dapat
berupa merkuri, air, alkohol dan yang lain. Ketika fluida monometer dalam keadaan
setimbang, tekanan sepanjang garis horisontal xx adalah sama maka:
P + 1 gh1 = Pa + 2 gh2 (1.11)

dengan P tekanan absolut dalam bola, Pa tekanan atmosfer, 1 kerapatan fluida dalam
bola, dan 2 kerapatan fluida dalam manometer. Jika 1 << 2 maka
P − Pa = 2 gh2 (1.12)

11
Gambar 1.5 Hubungan Antara Tekanan Absolut, Tekanan Atmosfer,
Tekanan Pengukuran dan Tekanan Vakum (Wark, 1983)

Gambar 1.6 Pengukuran Tekanan dengan Manometer (Wark, 1983)

1.7 Interpretasi Molekuler Tekanan


Apabila gas ideal pada temperatur dan tekanan normal dipandang secara
makrokospik, gas tampak sebagai sistem homogen dan gas dideskripsikan dengan
parameter seperti tekanan, volume dan temperatur. Dan apabila dipandang secara
mikrokospik, gas terdiri atas banyak partikel-partikel kecil yang terpisah satu dengan
yang lain dalam ruang dan bergerak secara random. Properti-properti gas yang kita

12
pandang dalam skala makrokospik ditentukan oleh tingkah-laku partikel-partikel pada
skala mikrokospik. Hal ini akan ditunjukkan bahwa properti-properti molekul seperti
massa, kecepatan dihubungkan dengan properti-properti makrokospik tekanan dan
temperatur.
Pada skala makrokospik, tekanan bisa ditinjau sebagai hasil gaya tekan oleh
molekul-molekul ketika mengenai permukaan. Besarnya gaya gayut pada momentum
molekul dan frekuensi molekul ini menumbuk dinding sistem.
Ditinjau suatu gas menempati volume bola seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.7. Molekul-molekul gas bergerak secara kontinyu ke segala arah dengan
kecepatan dalam rentang nilai yang bervariasi. Ukuran molekul diasumsikan sangat
kecil dibanding jarak antar molekul. Tekanan yang dilakukan oleh gas berasal dari
tumbukan antara molekul dengan dinding bejana. Dengan asumsi terdapat N molekul
dengan massa m1, m2, m3, ……, mN dan kecepatan v1, v2, v3, ……vN dan bahwa
molekul-molekul tidak bertumbukan satu dengan yang lain. Ketika sebuah partikel
dengan massa mi menumbuk dinding bejana akan dikembalikan dengan sudut sama
dengan sudut datang. Komponen radial momentum partikel sebelum dan sesudah
tumbukan adalah –mivicos I dan + mivicos I. Laju perubahan momentum dalam arah
radial adalah
mi vi cos i − (−mi vi cos i ) 2mi vi cos i
=
t i t i

dengan ti menyatakan waktu rerata menumbuk dinding.


Laju perubahan momentum molekul individual:
N
2mi vi cos i
i =1 ti
Tekanan pada dinding bejana sama dengan laju perubahan momentum total tiap
satuan luasan:
1 N
2mi vi cos i
P=
4 r 2

i =1 ti
Untuk tekanan yang bernilai- tinggal, waktu rerata tumbukan harus sama dengan
waktu rerata tumbukan dengan dinding bejana. Karena jarak antar tumbukan dengan
dinding 2rcosI, maka waktu antar tumbukan adalah:

13
2r cos i
t i =
vi

Substitusi ti ke dalam persamaan tekanan diperoleh:


N
1
P=
4 r 3
mv
i =1
2
i i

Karena volume bola V = 4/3 r3 maka:


N
1
PV =
3
mv
i =1
2
i i (1.13)

Kecepatan efektif atau vrms didefinisikan

m v 2
i i
2
vrms = i
(1.14)
m i
i

Apabila hanya ada satu jenis bahan kimia, vrms didefinisikan dengan

v 2
i
2
vrms = i

N
dan disubstitusi ke persamaan (1.13) menghasilkan:
1
PV = Nmvrms
2
(1.15)
3
dengan m massa satu partikel.

Gambar 1.7 Perilaku Molekul dalam Bejana Bola ( Saad, 1997)


Persamaan ini menujukkan hubungan antara properti makrokospik tekanan dan
volume dengan properti molekuler massa dan kecepatan molekul. Kecepatan rerata
molekul tidak sama dengan vrms. Karena setiap partikel memiliki peluang yang sama
bergerak kesegala arah, maka kecepatan rerata molekul adalah nol.
Dalam penurunan persamaan (1.15), tumbukan antar molekul tidak ditinjau.
Tumbukan seperti itu dapat terjadi ketika molekul memantul setelah menumbuk

14
dinding bejana. Namun tumbukan antar molekul bersifat elastik, sehingga
momentumnya kekal dan persamaan (1.15) masih valid.

1.8 Temperatur dan Hukum Ke-nol Termodinamika


Untuk mendefinisikan dan mengukur temperatur, ditinjau benda A yang
berkontak termal dengan benda B, keduanya diisolasi dari lingkungannya. Energi
dalam bentuk kalor akan ditransfer dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda
yang bertemperatur rendah. Jika dalam waktu yang cukup diikuti, benda A dan B
berada pada suatu keadaan dimana tidak ada perubahan yang teramati sehingga kedua
benda berada pada keadaan setimbang termal. Apabila keaadaan ini dicapai, kita bisa
mempostulatkan bahwa kedua benda berada pada temperatur yang sama. Dari hasil
pengamatan ini bisa dinyatakan bahwa jika dua sistem masing-masing dalam
kesetimbangan termal dengan sistem ketiga, maka masing-masing juga dalam
kesetimbangan termal satu dengan yang lain. Pernyataan ini disebut Hukum Ke-nol
Termodinamika, yang diilustrasikan dalam Gambar 1.8 berikut.

Gambar 1.8 Hukum Ke-nol Termodinamika (Sears, 1983)

Jika sistem A dan B masing-masing setimbang termal dengan sistem C, maka


sistem A dan B juga saling setimbang termal. Hukum ke-nol merupakan dasar dari
konsep temperatur dan memungkinkan kita untuk membandingkan temperatur dua
benda A dan B dengan bantuan benda ketiga C, dan menyatakan bahwa temperatur
benda A sama dengan B tanpa secara nyata mengkontakkan benda A dan B. Benda
tes C disebut termometer.
Yang perlu dicatat bahwa kesetimbangan termal tidak menggambarkan
temperatur dalam penerimaan fisis dan semata-mata untuk menyatakan kesamaan
temperatur. Dengan kata lain, kesamaan atau ketaksamaan temperatur dua sistem
adalah sifat yang menyatakan setimbang atau taksetimbang termal ketika dua sistem
saling kontak. Jadi termometer C menyatakan temperatur sistem yang dalam

15
kesetimbangan termal dengan termometer. Konsep temperatur yang baru saja
dijelaskan dapat diaplikasikan hanya untuk keadaan-keadaan setimbang.
Menurut pandangan mikrokospik, temperatur merupakan perwujudan aktivitas
molekul. Kenaikkan temperatur diikuti oleh kenaikkan energi kinetik molekul secara
simultan. Ketika dua sistem gas ideal berada dalam keseimbangan termal, energi
kinetik rerata molekul adalah sama untuk kedua sistem.
Temperatur dapat diukur hanya dengan metode tak langsung. Pada umumnya
kalor ke instrumen seperti benda C, dan perubahan dari beberapa properti yang terkait
dengan temperatur atau tanggapan dari benda C diukur. Properti yang nilainya
berubah sebagai fungsi temperatur disebut properti termometrik. Contoh properti
termometrik meliputi: panjang kolom cairan dalam pipa kapiler, tekanan gas dengan
massa tetap dalam volume konstan, volume gas dengan massa tetap pada tekanan
konstan, hambatan listrik kawat logam pada tekanan atmosfer dan GGL pada
termokopel.
Dalam menentukan skala temperatur, bilangan sebarang ditandai untuk
menyatakan temperatur satu titik tetap, dan temperatur-temperatur yang lain
ditentukan dengan titik tetap tadi sebagai acuan. Kelvin pada tahun 1854 menetapkan
titik acuan dari titik tripel air (es, air dan uap dalam kesetimbangan), untuk
mendefinisikan skala temperatur absolut yang nilainya 273,16 K.

1.9 Perbandingan Sifat Termometrik


Untuk menetapkan skala tmperatur, perlu mengetahui hubungan antara
temperatur dan properti termometrik untuk membuat interpolasi dan ekstrapolasi yang
mungkin. Meninjau properti termometrik X, yang tempertur T merupakan fungsi
linier dari X dan dinyatakam:
T = a + bX (1.16)
dengan a dan b konstanta sebarang. Interval temperatur yang sama dihasilkan oleh
perubahan properti X yang sama. Untuk menentukan konstanta a dan b, pertama
dengan menandai nilai numerik dari dua temperatur sebarang, misalnya titik uap dan
titik es. Nilai properti termometrik bahan dalam kesetimbangan termal dengan titik
lebur es pada tekanan atmosfer dinyatakan dengan X i dan nilai properti termometrik
bahan dalam kesetimbangan termal dengan uap pada tekanan atmosfer dinyatakan

16
dengan Xs. Perubahan numerik properti termometrik berkaitan dengan perubahan
temperatur meliputi seluruh interval adalah Xs – Xi, yang disebut perubahan properti
standar.
Sebagai contoh, pada skala Celcius tanda 0 untuk titik es dan 100 untuk titik
uap. Maka (Xs – Xi) adalah 100 derajad atau interval. Dengan mensubstitusi nilai-nilai
ini pada persamaan (1.16) menghasilkan:
100 X i 100
a=− dan b=
Xs − Xi Xs − Xi

sehingga temperatur T dinyatakan oleh:


100 X i 100 X − Xi
T =− + X = 100 (1.17)
Xs − Xi Xs − Xi Xs − Xi

Pada skala Fahrenheit, bilangan 32 untuk temperatur titik es dan bilangan 212 untuk
temperatur titik uap. Maka terdapat (212 – 32) = 180 interval, dan setelah konstanta a
dan b dihitung persamaan (1.16) menjadi
X − Xi
T = 180 + 32 (1.18)
Xs − Xi

1.10 Termometer Gas ideal


Dalam termometer gas ideal, pemuaian dan pemampatan gas sebagai fungsi
temperatur merupakan properti termometrik. Ditinjau gas ideal dengan massa tertentu
mengalami perubahan temperatur. Perbandingan tekanan yang terkait dengan keadaan
akhir jika volume dipertahankan konstan sama dengan perbandingan volume yang
terkait dengan keadaan akhir jika tekanan dipertahankan konstan:
 p1   v1 
  =   (1.18)
 p2  v  v2  p

Oleh karena itu skala temperatur bisa ditentukan dengan perbandingan antara dua
temperatur sebarang, misalnya T1 dan T2, yang ditunjukkan oleh perbandingan
tekanan atau perbandingan volume dari gas ideal berikut ini:
T1  p1   v1 
=   =  (1.19)
T2  p2  v  v2  p

17
Dalam termometer ini, gas bisa mengalami perubahan dalam dua tahap. Proses
volume konstan melalui lintasan 1 – a (Gambar 1.9), perubahan temperatur dari T 1 ke
Ta adalah:
Ta  pa   p2 
=   =  (1.20)
T1  p1  v  p1  v

Kemudian proses tekanan konstan sepanjang lintasan a – 2, perubahan remperatur dari


Ta ke T2 adalah:
T2 V2 V2
= = (1.21)
Ta Va V1

Apabila Ta dieleminasi maka diperoleh:


T2 p2V2
= (1.22)
T1 p1Va

pV
atau = kons tan yang merupakan hubungan gas ideal.
T

Gambar 1.9 Perubahan Keadaan dari 1 ke 2 sepanjanng 1-a dan a-2 (Sears, 1982)
Pada setiap temperatur perkalian (pV) adalah konstan sehingga sekumpulan kurva-
kurva digambarkan untuk menunjukkan hubungan pV pada temperatur konstan pada
diagram p-V seperti pada Gambar 1.10 berikut

Gambar 1.10 Kurva-Kurva Isoterm Pada Diagram P-V (Sears, 1982)

18
Penting untuk dicatat bahwa, hasil kali (pV)T1, (pV)T2 dan seterusnya hanya fungsi
temperatur oleh karena itu dapat digunakan sebagai properti termometrik untuk
mengukur temperatur.
Termometer gas volume konstan dan tekanan konstan beroperasi menurut
prinsip tertentu. Pada termometer volume konstan, gas real biasanya hidrogen atau
helium dalam bola A berada pada tekanan tertentu ketika bola dipertahankan pada
titik tripel air. Volume gas dalam bola A dipertahankan konstan dengan cara
menaikkan atau menurunkan kolom merkuri hingga pada suatu tanda tertentu lihat
Gambar 1.11

Gambar 1.11 Termometer Gas Volume Konstan (Sears, 1982)


Ketinggian kolom merkuri htp menunjukkan tekanan pengukuran gas dalam
bola A ketika gas berada pada titik tripel air. Hal ini berkaitan dengan tekanan absolut
pada titik tripel ptp. Jika gas dipertahankan pada temperatur yang lain, kolom merkuri
akan berada pada ketinggian lain yang berkaitan dengan tekanan absolut p.
Perbandingan p/ptp dapat dihitung. Selanjutnya dilakukan sejumlah pengukuran dan
didapatkan sekelompok nilai ptp , p dan perbandingan p/ptp. Pengukuran ini dilakukan
juga untuk gas yang lain, kemudian hasilnya digrafikkan seperti tampak pada Gambar
1.12.
Jika kurva-kurva ini diekstrapolasi ke keadaan dengan ptp = 0, ditemukan bahwa
semua kurva bertemu pada satu titik yang unik tak bergantung jenis gas dalam bola A.
Dan memberikan satu nilai 273,16 untuk temperatur pada titik tripel air. Temperatur
absolut T dapat didefinisikan sebagai:

19
 p 
T = (273,16) lim  (1.23)
p →0 p 
 tp  v

1.11 Proses dan Siklus Termodinamik


Proses adalah lintasan yang dilalui sistem selama perubahan keadaan. Gambar
1.12 menujukkan diagram P-V proses pemuaian dari keadaan 1 ke keadaan 2. Ketika
sistem menjalani suatu proses praktis, berawal dari suatu keadaan kesetimbangan
termodinamik dan beberapa atau semua keadaan-keadaan diantaranya mungkin
keadaan-keadaan tak setimbang. Untuk mendapatkan suatu proses yang selalu dalam
kesetimbangan. akan ditinjau suatu proses yang diidealkan. Proses ideal atau proses
kuasi-setimbang adalah suatu proses yang hanya menyimpang sejumlah infinitesimal
(menyimpang sedikit) dari keadaan setimbang termodinamik.
Sebagai contoh, ditinjau gas dalam silinder yang dilengkapi dengan piston
yang bebas bergerak tanpa gesekan. Tekanan gas dalam silinder p 1 (pada permukaan
kiri piston) dan tekanan pada permukaan kanan P2 (lihat Gambar 1.12). Jika kedua
tekanan sama, piston dalam keseimbangan. Jika P 1 dibuat lebih besar sedikit dari p2,
gas dalam silinder akan memuai sedikit sebagai hasil dari gaya yang tak seimbang
pada kedua permukaan piston. Karena gaya yang tak seimbang hanya infinitesimal,
gas menjalani proses tanpa mengganggu kesetimbangan termodinamik di dalam

Gambar 1.12 Diagram P-V Proses Pemuaian (Sonntag, 1998)

sistem. Proses ini disebut pemuaian kuasi-setimbang. Selama proses berlangsung,


transfer energi bisa melewati batas sistem dalam bentuk kalor atau kerja dan bisa

20
terjadi perubahan properti-properti sistem. Selama proses bisa saja terjadi, bahwa
properti sistem tidak berubah. Sebagai contoh, proses isokorik menggambarkan proses
dimana volume sistem cenderung konstan. Proses isobarik, tekanan sistem cenderung
konstan dan proses isotermal, temperatur sistem cenderung konstan. Proses yang tidak
melibatkan interaksi kerja disebut proses tanpa-kerja dan proses yang tidak
melibatkan interaksi kalor disebut proses adiabatik.
Apabila suatu sistem dari keadaan awal menjalani sederetan proses kemudian
kembali ke keadaan semula , dikatakan sistem menjalani satu siklus termodinamik
yang lengkap. Gambar 1.13 menunjukkan diagram P-V siklus termodinamik.
Properti-properti sistem pada satu siklus lengkap memiliki nilai yang sama dengan
keadaan awalnya.

Gambar 1.13 Diagram P-V Satu Siklus Termodinamik (Black, 1991)

1.12 Proses Revesibel dan Irreversibel


Suatu proses dikatakan reversibel, jika proses dapat terjadi dalam arah
sebaliknya dan keadaan awal serta semua energi yang ditransfer atau diubah selama
proses dapat dikembalikan secara lengkap pada sistem dan lingkungannya. Suatu
proses dikatakan Irreversibel jika sistem atau lingkunganya atau keduanya sistem dan
lingkungan tidak dapat dikembalikan ke keadaan awal setelah proses terjadi.
Proses Irreversibel setimbang adalah proses reversibel secara internal, yang
berlangsung dengan laju yang lambat ( perubahan intinitesinal ). Proses semacam itu
dapat terjadi melalui keadaan-keadaan setimbang yang tak hingga, yang bisa
dihentikan setiap saat dan melanjutkanya dalam arah yang berlawanan. Oleh karena
itu pembalikan ke proses awal secara rinci dan mengembalikan sistem ke keadaan
awalnya tanpa suatu persyaratan pada lingkungan. Dengan kata lain, jika proses tidak
dalam kesetimbangan maka tidak dapat dibalik sepanjang lintasan awal tanpa

21
menyebabkan perubahan pada lingkungan jadi syarat luas setimbang adalah perlu
tetapi tidak cukup untuk proses yang reversibel secara total. Proses yang terjadi pada
laju yang berikutnya (finite) merupakan proses yang Irreversibel.
Dalam proses reversibel, transfer energi mekanik termal dan kimia dapat
diklasik proses-proses yang melibatkan efek-efek disipasi seperti aliran fluida dimana
terjadi rugi gesekan, ekspansi tak terkendali dari gas pada tekanan rendah, hambatan
listrik tidak dapat dibalik.
Transfer kalor terjadi karena adanya perbedaan temperatur. Jika kalor
ditransfer dari sistem A ke sistem B selama proses, maka sistem A harus
bertemperatur lebih tinggi dari pada sistem B. Proses dalam arah sebaliknya tidak
mungkin terjadi, karena temperatur sistem B lebih rendah dari sistem A, kalor tidak
pernah mengalir dalam arah seperti itu tanpa menimbulkan perubahan pada
lingkungan. Oleh karena itu proses aktual (yang sesungguhnya) yang menyalur intrasi
kalor adalah Ireversible. proses transfor kalor menjadi reversibel, bila perbedaan
temperatur besarnya infinitesimal dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
keseimbangan harus tak hingga.
Faktor lain yang menyebabkan irreversibel adalah adanya gesekan. Pada
proses pemuaian gas pada tekanan rendah dalam suatu silinder, ketika piston bergerak
energi dalam bentuk kerja dikeluarkan untuk mengatasi gesekan antara piston dan
silinder. Gesekan ini menghasilkan kalor. Jika gas dimampatkan ke volume awalnya,
sejumlah kalor dihasilkan tetapi energi dalam bentuk kerja untuk mengatasi gesekan
tidak dapat diperoleh kembali. Hal ini menyebabkan perubahan yang tetap pada
lingkungannya. Beberapa contoh proses irreversibel ditunjukkan pada Gambar 1.14.

22
Gambar 1.14 Contoh Proses Irreversibel (Black, 1991)
Untuk menvisualisasikan proses reversibel, ditinjau gas dalam silinder
berpiston vertikal yang ditunjukkan pada Gambar 1.15a. Tekanan gas menahan berat
piston pada posisi z1. Ketika kalor ditransfer ke sistem dengan laju lambat, gas
memuai dan piston bergerak ke atas untuk mempertahankan tekanan konstan. Tanpa
ada gesekan mekanik dan gesekan fluida, piston mencapai posisi z 2 dan gas
mengalami pemuaian kuasi-setimbang. Sekarang proses dibalik, sejumlah kalor yang
sama ditransfer dari sistem, piston bergerak ke bawah ke posisi awalnya. Proses ini
adalah reversibel sebab sistem dan lingkungan keduanya kembali ke keadaan
awalnya. Jika antara piston dan silinder ada gesekan, piston akan mencapai posisi
yang lebih rendah z3 untuk sejumlah transfer kalor yang sama seperti ditunjukkan
pada Gambar 1.15b. Kita simpulkan pada kasus (b) adalah proses Ireversibel sebab
sistem tidak kembali kekeadaan awalnya.

Gambar 1.15 (a) proses reversibel, (b) proses irreversibel (Black, 1991)

23
Semua proses aktual dan proses alamiah adalah irreversibel, karena adanya
perbedaan potensial yang finit antara bagian-bagian sistem atau antara sistem dan
lingkunganya. Proses reversibel tidak dapat terjadi secara alamiah, yang
memungkinkan kerja dapat diperoleh dari sistem. Namun begitu, dapat dibuat proses
yang reversibel. Bila gesekan dapat dihilangkan, proses dibuat sangat lambat dan
perbedaan temperatur dibuat sangat kecil sehingga syarat reversibel dapat
dipenuhi.Semua syarat ini mengimplikasikan bahwa proses reversibel dapat dilakukan
dengan perubahan infinitesimal dari keadaan kesetimbangan. Konsep reversibelitas,
sangat berguna sebab ini menunjukkan limit perubahan yang mungkin dari sistem
real.
C. RANGKUMAN
1. Termodinamika mempelajari tentang transformasi energi dan hubungan antara
properti-properti suatu bahan yang terlibat dalam transformasi ini.
2. Analisis termodinamik didasarkan pada sistem dengan massa tertentu (tetap) atau
suatu volume kontrol
3. Daerah diluar batas sistem atau volume kontrol disebut lingkungan.
4. Sistem terisolasi melarang semua bentuk interaksi energi dengan lingkungan.
5. Properti adalah sesuatu yang mengkarakteristikan suatu keadaan sistem.
6. Properti intensif (P,T) tidak bergantung massa sistem sedangkan properti
ekstensif (V, enegi internal sistem) bergantung pada massa sistem.
7. Deferensial dari properti suatu sistem secara matematik dinyatakan sebagai
deferensial eksak.
8. Proses kuasi-statik adalah proses yang dijalani melalui serentetan keadaan
kesetimbangan.
9. Suatu proses disebut reversibel jika proses dapat dibalik sedemikian sehingga
keadaan awal sistem dan lingkungan dapat dikembalikan secara sempurna.
10. Hubungan antara tekana absolut dengan tekanan pengukuran dinyatakan sebagai:
Pabs = Ppengukuran + Patm
11. Perilaku gas pada tekanan rendah dan menengah atau temperatur tinggi dapat
didekati dengan persamaan keadaan gas ideal
pV = mRiT = nRT = NkT

24
Ri : konstanta gas individual
R : konstanta gas umum
k : konstanta Boltzmann
m : massa sistem
n : jumlah mol
N : jumlah molekul

25
D. SOAL-SOAL LATIHAN
1.1 Jika dU adalah fungsi dari tiga properti x,y dan z sehingga
dU = M dx + N dy + P dz
dengan M, N dan P fungsi dari x,y dan z. Buktikan bahwa syarat berikut perlu
agar dU menjadi deferensial eksak.
P N M P N M
= = =
y z z x x y
1.2 Deferensial tekanan dari suatu gas tertentu dinyatakan oleh salah satu persamaan
berikut:
2 RT R
dp = dv + dT atau
(v − b ) 2
v −b
RT R
dp = − dv + dT
(v − b) 2
v −b
Identifikasi persamaan mana yang benar dan tentukan persamaan keadaan gas
tersebut
1.3 Persamaan keadaan van der Waals adalah:
RT a
p= − 2 dengan a dan b suatu konstanta. Tentukan
v −b v
 p   v   T 
     
 v T  T  p  p  v
1.4 Tekanan pengukuran terbaca 620 mmHg. Jika tekanan barometer 760 mmHg
berapa tekanan absolut dalam SI.
1.5 Hitunglah ketinggian kolom air yang ekivalen dengan tekanan atmosfer 101,325
kPa jika temperatur air 150C. Berapa ketinggiannya jika air diganti Hg (merkuri).
1.6 Tentukan berat udara pada atmosfer yang mengelilingi bumi jika tekanan pada
setiap tempat pada permukaan bumi 101,325 kPa. Anggaplah bumi adalah bola
dengan diameter 13000 km.
1.7 Properti termometrik x (panjang kolom Hg pada termometer glas) sama dengan 8
cm dan 50 cm ketika termometer berada pada titik es dan titik uap. Temperatur T
bervariasi secara linier dengan x. Anggaplah temperatur T * dengan skala celcius
dinyatakan dengan persamaan T* = a + bx2, dengan T* = 00 dan 1000 pada titik es
dan titik uap, dan a, b suatu konstanta. Tentukan temperatur T * jika temperatur T
400C.

26
BAB II
PERSAMAAN KEADAAN

A.TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mahasiswa memperoleh pemahaman tentang konsep-konsep dasar
Termodinamika di Bab I diharapkan dapat melandasi pembahasan materi Bab II
tentang Persamaan Keadaan. Tujuan pembelajaran Bab II adalah:
1. Mahasiswa memperoleh pemahaman tentang hubungan matematik yang
digunakan dalam memperoleh persamaan keadaan suatu sistem
Termodinamika.
2. Mahasiswa terampil menggunakan hubungan matematik untuk memperoleh
persamaan keadaan sistem.
3. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan keadaan gas ideal.
4. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan keadaan gas Van der Waals.
5. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan keadaan Beattie-Bridgeman.
6. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan keadaan Berthelot.
7. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan keadaan Dieterici
8. Mahasiswa dapat menerapkan persamaan keadaan bentuk virial.
9. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan terkait keadaan sistem
termodinamik dalam kehidupan sehari-hari
B. URAIAN MATERI
2.1 Hubungan Matematik
Ditinjau hubungan matematik yang menyatakan kebergantungan satu properti
terhadap dua properti bebas. Hubungan fungsional dinyatakan sebagai:
x = x (y,z)
y = y (x,z)
Deferensial total fungsi x dan y dinyatakan dalam turunan parsial terhadap variabel
bebas
 x   x 
dx =   dy +   dz (2.1)
 y  z  z  y

 y   y 
dy =   dx +   dz (2.2)
 x  z  z  x

27
Dengan mengeleminasi dy pada kedua persamaan tersebut diperoleh
 x   y   y    x 
dx =     dx +   dz +   dz
 y  z  x  z  z  x   z  y

  x   y    x   y   x  
atau 1 −      dx =     +    dz
  y  z  x  z   y  z  z  x  z  y 
Karena x dan y adalah variabel bebas, maka sebarang nilai bisa diambil.
Jika z konstan (dz = 0) dan dx  0 maka
 x   y 
    = 1 (2.3)
 y  z  x  z
Jika x konstan (dx = 0)dan dz  0 maka
 x   y   x  
    +    = 0 (2.4)
 y  z  z  x  z  y 
dari persamaan (5.3) dan (5.4) dapat dinyatakan
 x   y   z 
      = −1 (2.5)
 y  z  z  x  x  y
Persamaan (2.3) disebut hubungan kesebalikan (resiprok) dan persamaan (2.5) disebut
hubungan siklus.
Sekarang kita tinjau suatu properti P sebagai fungsi dari dua variabel bebas.
Pertama-tama P dinyatakan sebagai fungsi x dan y, kemudian P dinyatakan sebagai
fungsi dari z dan y:
 P   P 
dP =   dx +   dy (2.6)
 x  y  y  x

 P   P 
dan dP =   dz +   dy (2.7)
 z  y  y  z
Integral dP antara keadaan 1 dan keadaan 2 hanya gayut pada nilai P pada dua
keadaan ini dan takgayut pada lintasan antara kedua keadaan tersebut. Dengan
mensubstutusi dx dari persamaan (2.1), persamaan (2.6) menjadi:
 P   x    P   x   P  
dP =      dz +     +    dy
 x  y  z  y   x  y  y  z  y  x 

28
Apabila persamaan ini dibandingkan dengan persamaan (2.7), jelas bahwa keduanya
identik sehingga koefisien dz dan dy dapat disamakan karena z dan y merupakan
variabel bebas dan memberikan:
 P   P   x 
  =   
 z  y  x  y  z  y

 P   x   z 
atau       =1 (2.8)
 x  y  z  y  P  y

 P   P   x   P  
dan   =     +    (2.9)
 y  z  x  y  y  z  y  x 
Persamaan (2.8) disebut hubungan rantai, yang dapat diterapkan untuk sistem dengan
tiga variabel bebas.

Contoh 2.1
Tunjukkan bahwa persamaan P (v – b) = RT, dengan b dan R konstanta memenuhi
hubungan siklis
Penyelesaian
Misalkan x = p, y = v dan z = T, hubungan rantai dapat dinyatakan:
 P   V   T 
      = −1
 V T  T  P  P V

 P  RT
  =−
 v T (v − b ) 2

 P  R
  =
 T v v − b

RT  v  R
v= +b maka   =
P  T  p P
Dengan mensubstitusikan harga-harga tersebut diperoleh:
RT R R RT
− =− = −1
(v − b ) P v − b
2
P (v − b )

2.2 Persamaan Keadaan


Properti-properti seperti tekanan, temperatur dan volume bisa digunakan untuk
menspesifikkan keadaan suatu sistem termodinamik yang berada dalam

29
kesetimbangan termodinamik. Sangat baik sekali menghubungkan nilai-nilai properti
ini yang ditentukan secara eksperimen melalui hubungan fungsional yang disebut
persamaan keadaan. Properti-properti ini bisa dihubungkan secara grafik atau
persamaan dalam bentuk:
f ( P, v, T ) = 0 (2.10)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadaan termodinamik sistem satu-komponen
tanpa memperhatikan sifat listrik, magnet, gravitasi dan efek gerakan merupakan
sistem dua-dimensi yaitu keadaan sistem cukup dideskripsikan dengan dua properti
bebas. Properti ketiga dapat dihubungkan dengan dua properti bebas tersebut melalui
persamaan keadaan.

2.3 Persamaan Keadaan Gas Ideal


Gas ideal adalah gas yang tidak bersesuaian dengan gas apapun yang ada,
tetapi keadaannya mendekati gas nyata pada tekanan rendah. Persamaan keadaan gas
ideal dinyatakan
PV=nRT
dengan: P = Tekanan absolut
V = Volume
R= Konstanta gas umum
n = jumlah mol

Properti-properti ini bisa dinyatakan dalam mole ( kg-mol atau gram-mol). Satu kg-
mol didefinisikan sebagai jumlah bahan yang massanya dalam kg secara numerik
sama dengan massa molar bahan M. Sehingga persamaan keadaan gas ideal dalam
mole ditulis:
PV = mRT
i = nRT
dengan:
V = Volume dari m kg atau n mol gas
R= MRi = Konstanta gas umum (universal) tidak bergantung jenis gas
= 8,314 103 J / kg − molK
V V m
v= = dan n=
m nM M

Sejumlah gas real, seperti hidrogen, oksigen, lebih mengikuti hukum gas Ideal
pada temperatur ruang sehingga dapat dianggap sebagi gas Ideal. Persamaan

30
keadaan gas ideal yang menghubungkan tekanan, temperatur dan volume spesifik
diungkapkan dengan hubungan sederhana
Pv = RT (2.11)
Persamaan gas untuk gas-ideal pertama kali dideduksi dari eksperimen Carles dan
Boyle dan juga diturunkan dari teori kinetik gas. Untuk kasus yang terakhir
menggunakan idealisasi bahwa gas tersusun atas parikel-partikel elastis sempurna
dengan mengabaikan volume dan tidak gaya antar partikel. Oleh karena itu hukum
gas-ideal merupakan suatu pendekatan yang mendeskripsikan perilaku gas-gas nyata
pada tekanan rendah. Hukum gas-ideal tidak sesuai untuk tekanan tinggi atau volume
molar rendah, sebab interaksi molekuler tidak dapat diabaikan pada kerapatan partikel
yang tinggi.

Contoh 2.2
Udara pada temperatur 250C dan tekanan 101, 325 kpa.Jika konstanta gas R=287
J/kg.K, tentukan volume spsifik dan massa molar gas ini, anggap sebagi gas Ideal.
Penyelesaian:
T = 250C
P = 101, 325 kpa
Ri = 287 J/kgK
Pv = RT
(101,325 kpa)v = (0,287 kj/y K) [25+273,15] K
v = 0,8445 m3/kg.
R 8314,4 J / kg.molK
massa molar = M = =
Ri 287 J / kgK

= 28,97kg / kg − mol

2.4 Persamaan Keadaan Van der Waals


Pada tekanan rendah kompresibilitas gas-gas real memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada yang diprediksi dengan analisis gas-ideal. Hal serupa terjadi pada
tekanan tinggi, gas-gas real (nyata) memiliki kompresibilitas yang lebih rendah.
Pengamatan pertama dihubungkan dengan gaya tarik menarik antar molekul dan lebih
kelihatan pada tekanan rendah. Pengamatan kedua dihubungkan dengan volume yang

31
ditempati molekul-molekul sendiri. Jika molekul-molekul gas dianggap bola tegar
maka hanya ruang antar molekul-molekul yang tersedia untuk pemampatan dan
pemuaian. Pada tekanan rendah, yang lintasan bebas reratanya lebih besar
dibandingkan ukuran molekul, volume yang ditempati molekul relatif kecil dan dapat
diabaikan. Pada tekanan tinggi, volume ini tidak dapat diabaikan dibandingkan
dengan volume total yang ditempati oleh gas.
Untuk menentukan suku koreksi adanya gaya interaksi antar molekul, ditin-
jau gaya interaksi molekul tunggal yang menumbuk dinding bejana. Ketika molekul
tidat dekat dinding, molekul ini dikelilingi oleh molekul-molekul yang lain;
akibatnya gaya tarik menarik adalah sama dalam segala arah dan menghasilkan gaya
netto nol pada molekul. Ketika molekul menumbuk dinding gaya-gaya penyeimbang
ini diurai menjadi gaya tarik-menarik netto dari dinding ke molekul-molekul seke-
lilingnya. Gaya tarik menarik ini mereduksi tekanan yang diberikan molekul pada
dinding. Gaya tarik menarik ini sebanding dengan jumlah molekul tiap satuan volume
gas. Tekanan juga sebanding dengan frekuensi tumbukan dengan dinding, yang
berarti juga sebanding dengan jumlah molekul tiap satuan volume. Oleh karena itu
gaya tarik menarik sebanding dengan (N/V)2 dan karena N = n Na, maka sebanding
dengan 1/v. Dengan v volume molar gas, yaitu volume tiap mol. Tekanan yang
dilakukan oleh gas sama dengan tekanan kinetik p ’ yaitu tekanan yang dihitung dari
perubahan momentum molekuler dikurangi suku koreksi untuk mengimbangi gaya
tarik menarik sehingga
a
P = P' −
v•
a
atau P' = P + (2.12)
v•
dengan a menyatakan konstanta kesebandingan.
Koreksi kedua berkaitan dengan ukuran molekuler yang dapat diselidiki
dengan meninjau tumbukan antara dua molekul gas identik. Jika ruji molekuler r,
maka jarak antara pusat molekul identik pada saat tumbukan adalah 2r. Oleh karena
itu semua molekul tidak dapat mendekat dari 2r. Keadaan ini menciptakan volume
terlarang sebesar 4/3(2r)3 mengelilingi masing-masing molekul, yang volume ini
delapan kali volume molekul sendiri. Hanya separo dari volume ini yang efektif, yaitu

32
empat kali volume molekul. Jika volume ini tiap satuan mol gas dinotasikan b, maka
volume efektif gas menjadi (v – b).
Van der Waals, pada tahun 1873 menurunkan persamaan keadaan gas real dari
hukum gas-ideal :
 a  
 P + 2  ( v − b ) = RT (2.13)
 v 
jika ada n mol gas
 n2 a 
 P + 2  (V − nb ) = nRT (2.14)
 V 

Nilai a dan b untuk beberapa gas ditabelkan pada Tabel 2.1


Tabel 2.1 Nilai a dan b Dalam Persamaan Keadaan Gas van der Waals

Pada tekanan rendah, lintasan bebas rerata sangat besar dibanding dengan
dimensi molekul sehingga kuantitas b dalam persamaan van der Waals bisa diabaikan.
Persamaan (2.13) menjadi
 a  
 P + 2  ( v ) = RT
 v 
a
atau Pv = RT − (2.15)
v
Persamaan (2.15) menunjukkan bahwa hasil kali pv lebih kecil dari RT dan bentuk
kurva diperlihatkan pada Gambar 2.1 berikut

33
Gambar 2.1 Diagram P-V untuk Bahan Satu-Fase ( (Sears, 1982)

Pada tekanan tinggi, suku a/v2 dapat diabaikan dibandingkanP, dan persamaan van
der waals direduksi menjadi
P ( v − b ) = RT

atau Pv = RT + bP (2.16)


Persamaan (2.16) disebut persamaan keadaan Clausius. Hasil kali Pv lebih besar dari
RT dan naik secara linier dengan tekanan.
Gambar 2.1 menunjukkan beberapa kurva isoterm. Hanya satu nilai volume
dapat diperoleh pada temperatur sama dengan atau diatas isoterm kritik, tiga nilai
volume spesifik dapat diperoleh pada temperatur dibawah temperatur kritik. Jika
kesetimbangan termodinamik berlaku, pemuaian isotermal akan diawali dari titik a
sepanjang lintasan a-b-f-g. Sepanjang b-f, cairan dan uap memiliki tekanan sama. Jika
kesetimbangan termodinamik tidak berlaku, keadaan cairan mengikuti lintasan
metastabil b-c dan penguapan diperlambat. Kurva b-c-d-e-f adalah isoterm tetapi
memiliki nilai tekanan yang berbeda. Sepanjang b-c, temperatur cairan melebihi
temperatur jenuh yang berhubungan dengan tekanan berlaku. Pada umumnya,
pemampatan isotermal suatu gas dibawah kondisi metastabil mengikuti lintasan g-f-e,
dan pengembunan diperlambat. Sepanjang e-f, temperatur uap lebih kecil daripada
temperatur jenuh yang berhubungan dengan tekanan yang berlaku. Bagian kurva c-d-e

34
adalan tidak stabil karena kemiringannya positif, yang menunjukkan bahwa kenaikan
tekanan menghasilkan kenaikan volume.
Nilai konstanta a dan b dalam persamaan van der Waals dapat dihitung dan
dinyatakan dalam variabel sistem,pada titik kritik. Untuk menentukan nilai-nilai
kritik, dicari turunan pertama dan kedua tekanan terhadap volume yang dihitung nol.
Hal ini mengikuti kenyataan bahwa tangen isoterm adalah horisontal. Oleh karena itu
dapat dinyatakan:

 p   2 p 
  =0 dan  2  = 0
 v  c  v  c
Persamaan van der Waals pada titik kritik adalah
RTc a
Pc = 
− 2 (2.17)
v c −b v c
Turunan terhadap v*, dengan Tc konstan menghasilkan
 P  RTc 2a
  =−  + 3 = 0 dan
 v c (v c − b ) v c
2

 2 P  2 RTc 6a
 2  =  − 4 = 0
 v c (v c − b) v c
3

Dengan menggabungkan tiga persamaan terakhir, diperoleh


a 8a
Pc = vc* = 3b Tc =
27b2 27 Rb

2.5 Persamaan Keadaan Beattie-Bridgeman


Persamaan ini memiliki lebih banyak kontanta daripada persamaan keadaan
yang lain, oleh karena itu persamaan ini lebih berhasil untuk menunjukkan
kompresibilitas gas. Persamaan ini dinyatakan:

(1 − e ) ( v + B ) −
RT A
P= 2
(2.18)
v
2
v
dengan
 a
A = A0 1 −  
 v 
 b
B = B0  1 −  
 v 

35
c
e= 
v T3
Tabel 2.1 Konstanta dalam Persamaan Keadaan Beattie-Bridgeman

2.6 Persamaan Keadaan Berthelot


Persamaa keadaan klasik yang lain adalah
 an 2 
P+  (V − nb ) = nRT (2.19)
 TV 2 

dengan a dan b konstanta. Bethelot membuat penambahan pada suku tekanan yang
sebanding dengan 1/T, dan persamaannya mereduksi persamaan van der Waals pada
volume molar tinggi.

2.7 Persamaam Keadaan Dieterici


Pada tahun 1899, Dieterici mengusulkan persamaan keadaan berikut:

( Pe an /VRT
) (V − nb ) = nRT (2.20)

dengan a dan b konstanta

2.8 Persamaan Keadaan Bentuk Virial


Pada tahun 1901 Kammerlingh Onnes, menyatakan persamaan keadaan virial
dalam bentuk ekspansi (deret) takhingga perkalian PV. Terdapat dua bentuk yakni
dinyatakan dalam suku V dan P:
 nB n2C 
PV = nRT 1 + + 2 + .....  (2.21)
 V V 

PV = nRT (1 + nB' p + n2C ' p + .....) (2.22)

36
Koefisien B,C….dan B’, C’….disebut koefisien virial kedua, ketiga dan seterusnya.
Koefisien ini adalah fungsi temperatur, dan koefisien ini menghubungkan
penyimpangan gas-gas nyata dari gas ideal.

2.9 Perubahan Infinit dari Keadaan Kesetimbangan


Jika sistem mengalami perubahan kecil keadaan, mulai dari keadaan
setimbang awal ke keadaan setimbang lain, pada umumnya ketiga koordinatnya
mengalami sedikit perubahan. Misalnya, jika perubahan V sangat kecil dibandingkan
dengan V, tetapi sangat besar dibandingkan dengan ruang yang ditempati oleh
beberapa molekul, maka perubahan V dapat dituliskan sebagai deferensial dV. Begitu
pula untuk P dan T adalah dP dan dT.
Perubahan infinit dari satu keadaan setimbang ke keadaan setimbang lain
menyangkut dV, dT dan dP. Persamaan keadaan dapat dipecahkan untuk menyatakan
setiap koordinatnya dalam dua koordinat lain, misalnya
V = V (T,P)
sehingga perubahan infinitnya menggunakan deferensial parsial
dV = (V/T)P dT + (V/P)T dP
Dengan cara yang sama, maka untuk tekanan dan suhu masing-masing adalah
dP = (P/T)V dT + (P/V)T dV
dT = (T/P)V dP + (T/V)P dV

2.10 Koefisien Muai Volume dan Ketermampatan


Pada sistem fase tunggal, perubahan volume bisa terjadi, yang mengakibatkan
perubahan tekanan atau perubahan temperatur dan dapat dinyatakan sebagai:
 v   v 
dv =   dT +   dp
 T  p  p T
bila dibagi v menjadi:
dv 1  v  1  v 
=   dT +   dp
v v  T  p v  p T

37
1  v 
ungkapan   disebut koefisien muai volume yang dilambangkan dengan .
v  T  p

1  v 
Sedangkan −   disebut koefisien ketermampatan isotermal yang dilambangkan
v  p T

dengan .  dan  keduanya merupakan properti intensif yang tak gayut pada volume
sistem.
Perubahan volume dapat dinyatakan dalam  dan  sebagai:
dv
= dT − dp
v
sedangkan perubahan kerapatan dapat dinyatakan :
d
= dp − dT

Koefisien muai volum , didefinisikan sebagai fraksi perubahan volume pada
tekanan konstan tiap satuan perubahan temperatur.
1  v  1   
=   =−  
v  T  p   T  p
Untuk gas Ideal, koefisien muai volum:
1  v  p R 1
=   =  =
v  T  p RT  P  T

Koefisien muai volum gas ideal berbanding terbalik dengan temperatur absolut dan
tidak bergantung pada tekanan dan volume. Koefisien ekspansi volumerik gas nyata
bergantung pada tekanan dan temperatur.
Koefisien kompesibilitas K, didefinisikan sebagai fraksi perubahan volume
pada temperatur konstan tiap satuan perubahan tekanan
1    1   
K =−   =  
v         
Tanda negatif pada persamaan diatas, menunjukkan bahwa kenaikan tekanan
menyebabkan penurunan volume. Apabila tekanan pada suatu bahan yang memiliki
volume spesifik v dinaikkan sebesar dp menyebabkan volume spesifik berkurang
sebesar dv. Modulus elastisitas bahan E dinyatakan:
dp dp
=− = −v
dv / v dv

38
Dengan dv/v adalah strain volumik. E bukan properti sistem karena turunan dp/dv
bergantung pada proses. Subsitusi persamaan (1.33), modulus elastisitas dapat
dinyatakan menjadi:
1
E=
K −  (dT / dp)
Untuk padatan dan cairan, perubahan tekanan menghasilkan perubahan temperatur
yang dapat diabaikan sehingga dT/dp sama dengan nol. Maka kebalikan koefisien
kompresibilitas padatan dan cairan merupakan modulus ekstisitas. Untuk gas dT/dp
tidak dapat diabaikan sehingga modulus elastisitas E, bukan properti sistem.
Penggolongan bahan kompresibel atau inkompresibel bergantung pada
besarnya koefisien muai volum dan kompresibilitas. Derajad kompresibilitas
bergantung pada prosesnya. Sebagai contoh, pada tekanan atmosfer perubahan
volume v dari air ( E=20,700 N/cm2 ) sangat kecil, tetapi pada tekanan yang sangat
besar kompresibilitasnya menjadi eviden. , perubahan volume gas mengalir karena
akibat perubahan tekanan, bisa cukup besar. Tetapi koefisien gas mengalir pada
kecepatan rendah dan temperatur konstan, menjadi bersifat inkompresibel.
Contoh 2.3
Koefisien kompresibelitas isotermal air pada 100c dan tekanan atmosfer adalah 5010-
6
atm-1 Berapakah tekanan absolut yang diperlukan untuk menurunkan volumenya
sekitar 5% pada temperatur yang sama?
Penyelesaian
1   
Koefisien kompresibilitas K = −   = 50 10 −6 atm −1 Dengan pemisahan
v  p T

variabel dan diintegrasi memberikan :


p 0, 95 v dv
p =1atm
dp = −(2 10 4 )atm
v v
= −(2 10 4 ) ln 0,95

= 1026atm
Tekanan absolut yang harus diberikan adalah 1026+1=1027 atm
Contoh 2.4
Perubahan volume spesifik air sebagai fungsi temperatur pada tekanan atmosfer 00c
hingga40c seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Tekanan koefisien ekspansi
volumerik air pada temperatur 20c

39
Penyelesaian
1  v 
p=  
v  T  p

Dengan menggunakan dua titik yang berdekatan pada 10c dan 30c, nilai rata-rata 
dapat ditulis:
1  v 
=  
v  T 
Substitusi nilai dari grafik diatas memberikan:
1 1,000038m 3 / kg − 1,0000104m 3 / kg 
=  
1,000062m 3 / kg  (3 − 1) K 
= −3,3 10−5 ( K ) −1
Dari 00C hingga 40C, air mengalami penyusutan karena naiknya temperatur. Pada
temperatur 40C air mengembang dengan naiknya temperatur.

2.11 Bilangan Avogadra dan Konstanta Boltzmann


Menurut hukum Avogadro, volume yang sama dari gas-gas Ideal pada
temperatur dan tekanan yang sama, berisi jumlah molekul yang sama. Pengukuran
eksperimental menunjukkan bahwa jumlah molekul dalam 1 kg-mol gas ideal sama
dengan (6,0248  0,0003)  1026 (bilangan Avogadro Na). Catatan:
Satu kg-mol gas ideal sebarang pada tekanan atmosfer standart dan temperatur
00C menempati volume 22,41m3. Volume spesifik gas sama dengan volume molar
dibagi massa molar gas. Volume spesifik adalah volume yang ditempati satu satuan
massa gas. Volume molar adalah volume yang ditempati oleh satu mol gas.

40
Perbandingan konstanta gas umum (universal) R dan bilangan avogadro Na
disebut sebagai konstanta Boltzman yang dilambangkan k. Nilai k = 1,38066 x 10-23
J/molekul K. Oleh karena itu persamaan keadaan gas ideal juga dapat dinyatakan :
PV = nNa kT = NkT
dengan N = jumlah molekul

41
C. RANGKUMAN
1. Hubungan matematik yang digunakan dala Termodinamika dinyatakan
 x   y 
    = 1
 y  z  x  z
 x   y   z 
      = −1
 y  z  z  x  x  y

2. Apabila terdapat hubungan fungsional antara tiga koordinat termodinamik


f ( P, v, T ) = 0
berlaku

3. Persamaan keadaan gas ideal dalam n mol dinyatakan


PV = mRT
i = nRT

4. Persamaan Keadaan gas van der Waals untuk n mol dinyatakan


 n2 a 
 P +  (V − nb ) = nRT
 V2 

42
D. SOAL-SOAL LATIHAN
2.1 Sebuah balon berisi gas ideal yang mempunyai volume 0,2 m 3. Temperatur dan
tekanan gas adalah 150C dan 101,325 kPa. Jika gas dipanasi hingga 600C, berapa
tekanan yang harus diberikan agar volume tetap konstan.
2.2 Udara pada tekanan 1 atm dan temperatur 300 0K dimampatkan secara isotermal
dari volume 100 m3 hingga 5 m3. Tentukan massa udara dan tekanan akhirnya.
2.3 Dua tangki dihubungkan dengan suatu katup. Salah satu tangki berisi 1 kg gas
nitrogen pada 600C dan 60 kPa. Tangki yang lain berisi 0,4 kg gas yang sama
pada temperatur 350C dan 200 kPa. Katup dibuka dan gas bercampur. Jika
temperatur kesetimbangan 500C, tentukan tekanan kesetimbangan akhir.
2.4 Tentukan nilai konstanta gas universal jika 1 kg-mol gas menempati volume 22,41
m3 pada 00C dan tekana atmosfer standar.
2.5 Buktikan bahwa:
     
 p  = −  T 
 T  p
2.6 Koefisien muai volum dan koefisien ketermampatan didefinisikan sebagai:
1  v  1  v 
=   dan  = −  
v  T  P v  p T

Hitunglah (p / T )v untuk gas ideal dinyatakan dalam  dan .

2.7 Koefisien muai volum dan koefisien ketermampatan untuk bahan tertentu
dinyatakan:
2bT a
= dan =
v v
dengan a dan b konstanta. Tentukan persamaan keadaan bahan ini.
2.8 Tentukan  dan  suatu gas yang mengikuti persamaan keadaan Clausius
p ( v – b ) = RT

43
BAB III

KERJA, KALOR, DAN ENERGI INTERNAL

A.TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada Bab III ini akan dibahas tentang konsep kerja, kalor dan energi internal
sebagai landasan untuk memahami Hukum I Termodinamika. Tujuan pembelajaran
mencakup:
1. Mahasiswa memahami konsep kerja dalam Temodinamika.
2. Mahasiswa memahami konsep kerja bergantung lintasan.
3. Mahasiswa memahami konsep kerja pada berbagai sistem Termodinamika.
4. Mahasiswa memahami konsep aliran energi.
5. Mahasiswa memahami konsep kalor.
6. Mahasiswa memahami konsep energi internal
7. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari terkait kerja, kalor dan energi internal

B. URAIAN MATERI
3.1 Kerja (W)
Kerja merupakan salah satu bentuk interaksi energi antara sistem dan ling-
kunganya. Kerja ini dapat diidentifikasi pada batas interaksi, jika satu-satunya
pengaruh eksternal pada sistem dapat direduksi dengan suatu perubahan posisi suatu
beban. Definisi ini tidak mengatakan bahwa beban secara nyata naik atau turun, tetapi
ini menunjukkan bahwa satu-satunya pengaruh eksternal pada sistem dapat ditun-
jukkan dengan ekivalensi naik atau turunnya suatu beban. Kerja yang dilakukan pada
sistem oleh lingkungannya dinyatakan positif. Kerja yang dilakukan oleh sistem pada
lingkungan dinyatakan negatif.
Ditinjau kerja mekanik yang didefinisikan dalam mekanika. Kerja mekanik
adalah hasil kali gaya eksternal yang bekerja pada batas sistem dan jarak dari gaya
yang bekerja sepanjang garis aksinya. Untuk gerak dalam satu dimensi, kerja yang
dilakukan adalah:
x2
W1=2 =  Fx dx (3.1)
x1

44
Dengan Fx adalah komponen gaya dalam arah perpindahan dx .Tetapi dalam

termodinamika, kerja dapat juga disebabkan oleh pengaruh lain, tidak hanya dari
gerakan mekanik. Oleh karena itu perlu untuk mengadopsi dan memperluas
interpretasi tentang kerja dan menyatakannya dalam konsep sistem dan proses.
Kerja yang tidak menunjukkan sifat mekanik tidak dapat dinyatakan dengan
persamaan (3.1), tetapi masih dapat dipandang sebagai kerja dengan kriteria berikut:
(1) membayangkan suatu peralatan yang menggunakan energi nonmekanik ini untuk
menghasilkan kerja mekanik, (2) hasilnya dapat merubah posisi beban, (3) jika hal ini
dapat dilakukan maka energi nonmekanik ini adalah kerja, yang tidak ada pengaruh
lain yang dihasilkan. Sebagai contoh energi listrik dari baterai bisa melewati batas
sistem,seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Apakah kerja melewati batas sistem?
Pertanyaan ini dijawab dengan membayangkan energi listrik yang menggerakkam
motor ideal, yang memutar batang tanpa gesekan dan dapat menaikkan beban. Karena
pengaruh hanya pada lingkungan yang dapat direduksi dengan naiknya beban, maka
energi listrik merupakan kerja.

Gambar 3.1 Ekivalensi Energi Listrik dengan Kerja (Black, 1991)

Selanjutnya ditinjau peralatan yang terdiri atas silinder-piston tanpa gesekan


seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2. Sistem adalah fluida yang berada didalam
silinder. Sistem memberikan tekanan p pada permukaan piston dengan luas A. Jika
piston diperbolehkan bergerak sejauh dx, gaya Fe yang bekerja pada piston bisa
bervariasi tetapi pada setiap saat dinyatakan sebagai:

45

Fe = pe A (3.2)

dengan pe adalah tekanan eksternal yang bekerja pada sistem saat batas sistem
berubah.
Apabila piston bergerak kekiri pada jarak dx dalam arah gaya Fe. Kerja yang
dilakukan adalah W = Fe dx , dalam hal ini lingkungan melakukan kerja pada

sistem.Jika sebaliknya, piston bergerak ke kanan, kerja dilakukan oleh sistem pada
lingkungan.

Gambar 3.2 Kerja Dilakukan Pada Sistem dalam Proses Kuasi-Setimbang (Black, 1991)

Untuk menyatakan gaya eksternal dinyatakan dalam tekanan sistem, pada


setiap saat piston harus dipertahankan dalam kesetimbangan. Dengan persyaratan ini,
maka gaya eksternal Fe menjadi berlawanan dan berbeda secara infinitesimal dari F
yang diberikan oleh sistem. Persyaratan ini mengimplisikasikan bahwa proses itu
reversibel, dan kerja dilakukan pada sistem adalah :
W = Fdx Karena F = pA
maka : SW = pAdx
V volume awal sistem dan V+dV volume akhir setelah piston bergerak. Untuk proses
pemampatan dV adalah kuantitas negatif dan sama dengan –Adx. Oleh karena itu
kerja yang dilakukan pada sistem:
W = − pdx (3.3)

46
Dalam kasus dimana piston bergerak kekanan sehingga terjadi pemuaian dV positif
dan kerja dilakukan oleh sistem. Dalam proses yang finit dimana volume berubah dari
V1 ke V2, kerja total dapat diperoleh dengan intigrasi:
2 v2

W1− 2 =  W = −  pdV (3.4)


1 v1

Untuk mengintegrasi persamaan ini, hubungan fungsional antara P dan V harus


diketahui. Sebagai contoh, hubungan P dan V dinyatakan oleh: pV n = c , dimana nilai
n adalah konstanta untuk proses tertentu. Untuk proses tekanan konstan, kerja
diberikan oleh:
W1−2 = − pV = p(V1 − V2 )
Persamaan (3.4) juga diterapkan untuk proses dimana p adalah tekanan pada
permukaan piston (atau batas sistem yang bergerak), dan tekanan pada titik yang lain
dalam sistem tidak perlu sama.Tekanan pada permukaan piston yang bergerak adalah
sama seperti tekanan sitem keseluruhan hanya jika prosesnya kuasi-setimbang yakni
proses yang melewati serentetan keadaan-keadaansetimbang. Salah satu aspek proses
kuasi-setimbang adalah bahwa nilai-nilai properti intensif adalah seragam (serba
sama) pada keseluruhan sistem. Proses yang dijalani secara cepat pada pemuaian atau
pemampatan umumnya disertai oleh gesekan fluida atau gesekan mekanik, dan proses
semacam itu nonkuasi-setimbang, karena tekanan fluida pada batas sistem berbeda
dengan yang ada didalam sitem. Maka sulit untuk menentukan tekanan aktual, dan
konsekuensinya kerja yang dilakukan tidak dapat ditentukan.
Interaksi kerja dalam proses kuasi-setimbang dapat dinyatakan secara grafik
pada diagram P-V, tampak sebagai luasan dibawah kurva 1-2 pada Gambar 3.3.
Dalam proses pemuaian, dimana sistem berubah dari keadaan 1 ke keadaan 2, kerja
adalah negatif karena volume naik. Dalam kasus ini, kerja dilakukan oleh sistem pada
lingkungan. Sebaliknya jika proses berawal dari keadaan 2 ke keadaan 1, yakni proses
pemampatan kerja adalah positif dan kerja dilakukan pada sistem oleh lingkungan.
Suatu proses siklus dapat dinyatakan pada diagram p-V dengan kurva tertutup
1-A-2-B-1 seperti pada Gambar 3.3

47
Gambar 3.3 Kerja dalam suatu proses siklus (Black, 1991)

Kerja yang dilakukan pada sistem selama proses ekspansi 1-A-2 adalah:
2
−  pdv = luas a-1-A-2-b-a
1

dan kerja yang dilakukan pada sistem pada proses kompresi 2-B-1 adalah:
2 1
W = −  pdv −  pdv = − pdv = − (luas I-A-2-B-I)
1A 2( B )

dimana simbol  melambangkan suatu integral siklik. Proses siklus ini menghasil-

kan kerja yang negatif. Jika siklus dilakukan dalam arah yang berlawanan arah
berputar jarum jam, kerja netto negatif dan kerja dilakukan oleh sitem. Jika siklus
dijalani berlawanan arah perputaran jarum jam, kerja netto positif dan kerja dilakukan
pada sistem.
Diagram indikator, tekanan pengukuran (P) dan sudut engkol ditunjukkan
dalam Gambar 3.4 atau diagram p vs perpindahan piston ditunjukkan pada Gambar
3.5. Luas diagram indikator bisa digunakan untuk menentukan kerja aktual yang
dilakukan pada piston selama satu siklus lengkap. Luasan dapat ditentukan dengan
perhitungan langsung dengan sebuah planimeter atau dengan menggunakan metode
integrasi numerik.Kerja yang dilakukan adalah:
W
siklus 
= pdv = − pAdL = − pm AL

dengan:
A = Luas permukaan piston

48
L = Langkah
pm = Tekanan efektif rata-rata.
−  pdv luas1 − A − 2 − B − 1
pm = =
V2 − V1 V2 − V1

V2 -V1= Volume yang dijalani oleh piston (perpindahan piston)

Gambar 3.4 Diagram Indikator Tekanan vs Sudut Engkol (Sonntag, 1998)

Gambar 3.5 Diagram Indikator Tekanan vs Perpindahan Piston (Sonntag, 1998)

49
Contoh 3.1
Tentukan kerja yang dilakukan tiap siklus oleh mesin diameter 10 cm dan langkah
12,5cm jika luas kartu petunjuk 11cm2 , panjang kartu 5cm dan skala tekanan 200 kpa
untuk setiap cm2
Penyelesaian:

Luas piston A = (0,12 m 2 ) = 0,00785cm 2
4
W
= − Pm AL
Siklus
( )( )
= −(11/ 5)cm 200 103 pa / cm 0,00785cm 2 (0,125m)
=-4,32J

3.2 Kerja Sebagai Fungsi Lintasan


Beberapa proses-proses reversibel dari keadaan 1 ke keadaan 2 ditunjukkan
pada Gambar 3.6. Interaksi kerja pada masing-masing kasus dinyatakan oleh luas
dibawah lintasan proses. Kerja yang dilakukan pada masing-masing berbeda sebab
lintasan gayut pada sifat proses. Ini berarti bahwa kerja bukan properti atau bukan

Gambar 3.6 Transfer Kerja Gayut Pada Lintasan (Sonntag, 1998)

fungsi keadaan, tetapi fungsi lintasan dan tambahan infinitesimal kerja adalah
deferensial tidak eksak. Oleh karena itu, suatu sistem tidak memiliki kerja: Kerja
adalah suatu bentuk transfer energi. Transfer ini hanya terjadi pada batas sistem,
ketika sistem berubah keadaan-nya. Dengan alasan ini, kerja dinyatakan oleh,
2

 W = W
1
1− 2 dan bukan W2 – W1 .

50
Selanjutnya, simbol d dan  akan digunakan untuk membedakan antara
deferensial suatu properti seperti tekanan yang ditentukan oleh keadaan akhir sistem
dan kerja yang bukan properti sistem, dan merupakan fungsi lintasan.

Contoh 3.2.
Suatu siklus reversibel dari mesin penghasil kerja dinyatakan oleh suatu lingkaran
berdaimeter 5cm pada diagram P-V seperti gambar berikut

Skala p 1cm → 200 kpa


Skala v 1cm = 1,2 m3/kg

Hitunglah kerja yang dilakukan pada 1 kg fluida.


Penyelesaian:
W = −  pdv

=(Luasan lingkaran)


= − (5cm) 2 (200kpa / cm) 1,2(m3 / kg ) / cm
4

=-0,471 KJ/kg

Contoh 3.3
Helium diisikan dalam suatu silinder yang dilengkapi dengan piston berekspansi
secara reversibel menurut hubungan pV1,5= konstan. Volume awal 0,1 m3, tekanan
awal 450 kPa, dan temperatur awal 250 K. Setelah ekspansi tekanan menjadi 200 kPa.
Hitung kerja yang dilakukan selama proses ekspansi.
Penyelesaian
Sket sistem dan diagram p-V proses seperti pada gambar berikut.

51
Gunakan hubungan pVn = C
Interaksi kerja dapat dinyatakan:
v2

W1−2 = −  pdv
v1

v2
C V − n +1 
= −  n dv = C 
v2

=c
(V
2
− n +1
− V1− n|+1 )
 n −1
v1 V  n − 1  v1

Karena C = p1V1n = p2V2n


p2V2 − p2V1
Maka W1−2 =
n −1
Untuk menetukan V2
p1V1n = p2V2n = C
1/ n
V2  p1 
0 , 667
 450 
=  V2 = 0,1  = 0,1717m 3
V1  p 2   200 

(200kpa)(0,1717m 3 ) − (450kpa)(0,1m 3)
Maka: W1−2 =
0,5
=-21,32kJ
Hasil negatif dari W1-2 bearti kerja dilakukan oleh sistem pada lingkungan. Cara lain
untuk menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan hukum Gas Ideal (pV=mRT).
Kerja yang dilakukan dapat dinyatakan:

52
mRT2 − mRT1 mR(T2 − T1 )
W1−2 =
n −1 n −1
Untuk menetukan m,
p1V1 = mRT1

R 8,3144kJ / kg.molk
R= = = 2,077kJ / kgK
M 4,003kg / kg.mol

(450kpa)(0,1m 3 )
Maka: m = = 0,0867kg
(2,077kJ / kg )(250K )
Untuk menentukan T2,
p2V2 T2
=
p1V1 T1
1/ n
V2  p1 
Karena, = 
V1  p 2 

bila disubstitusikan ke persamaan sebelumnyanya diperoleh:


1/ n ( n −1) / n
p2  p1  T T p 
  = 2 atau 2 =  2 
p1  p2  T1 T1  p1 
0 , 333
 200 
T2 = (250 K )  = 250  0,763 = 191K
 450 
dan didapatkan
(0,0867kg )(2,077kJ / kgK )9191 − 250) K 
W1−2 =
0,5
= −21,32KJ
Contoh 3.4
Hitunglah kerja yang dilakukan pada udara massa 2 kg, ketika berekspansi secara
reversibel dan isotermal pada 300 K dari volume 2 m 3 ke volume 4 m3.
Penyelesaian
Sketsa sistem dan diagram proses p-V seperti pada ganbar berikut

53
V2

W1−2 = −  pdV
V1

dan dianggap udara sebagai gas ideal


mRT
p=
V
Maka
V2
dV V
W1−2 = −mRT  = −mRT ln 2
V1
V V1

4
= −(2kg )(0,287kJ / kgK )(300 K ) ln 
2
=-119,36 KJ
Kerja yang dilakukan pada contoh diatas juga dapat dihitung dengan=
V2 p1
p1V1 = p2V2 = mRT = kons tan atau =
V1 p2

V2 p
maka W1−2 = −mRT ln = −mRT ln 1
V1 p2

3.3 Aliran energi


Transfer energi dalam bentuk kerja dikaitkan dengan gejala aliran dan
ungkapan kerja yang diperlukan oleh fluida yang mendapat tekanan. Ditinjau elemen

54
fluida dalam pipa air dengan massa dm dan volume dV seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.7

Gambar 3.7 Energi yang Mengalir Tiap Satuan Massa = Pv (Sonntag, 1998)
Pada Gambar 3.7 (a) massa dm pada ambang volume kontrol, dan pada titik ini
tekanannya p. Ini adalah syarat untuk menghitung kerja yang dilakukan oleh bahan /
materi yang ada disebelah elemen fluida ini yang penekanannya ke dalam volume
kontrol. Marilah kita bayangkan piston ditempatkan disamping dm seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.7(b). Kemudian menghitung jumlah kerja yang dilakukan
oleh piston dalam pemindahan dm melewati garis a-a
aliran energi ( PA)dx pA(dv / A) dv
= = =p = pv
satuan massa dm dm dm

Jadi energi yang mengalir tiap satuan massa adalah sederhana yakni hasil kali tekanan
absolut dan volume spesifik. Ini sering disebut aliran kerja, karena mengungkapkan
jumlah kerja yang harus dilakukan pada volume kontrol untuk memindahkan satu
satuan massa bahan kedalamnya. Ketika massa meninggalkan batas volume kontrol,
aliran keja harus dilakukan oleh volume kontrol pada lingkungan.

55
3.4 Ungkapan Kerja Untuk Beberapa Sistem Termodinamika
Kebanyakan Termodinamika permesinan melibatkan sistem-sistem yang
berada pada keadaan setimbang yang digambarkan oleh koordinat p,V dan T. Untuk
sistem semacam itu, kerja kompresi dan ekspansi selama proses kuasi-stasik sama
dengan −  pdv .Dalam menentukan kerja untuk sistem-sistem jenis lain, analogi bisa

dibuat antara sistem-sistem ini dengan sistem p-V-T.

a. Kerja listrik.
Transfer energi melewati potensial listrik disebut kerja listrik. Kerja listrik
didefinisikan sebagai kerja yang harus dilakukan oleh medan listrik dalam pemindah-
an satu muatan dalam potensial listrik. Jika jumlah listrik atau jumlah muatan dC
suatu kondensator, yang mengalir melalui potensial listrik , maka kerja listrik yang
dilakukan pada kondensator (sistem) yang dinyatakan dalam bentuk deferensial
diberikan oleh:
We = dC
Arus adalah laju perubahan muatan terhadap waktu
dC
i=
dt
t2

maka We =  idt (3.5)


t1

dan dayanya:
We
We = = i (3.6)
dt
dengan:
We = Kerja listri yang dilakukan pada sistem (J)
C = Jumlah listrik yang mengakir (coulomb)
 = Potensial listrik (volt)
I = Laju aliran listrik atau arus (ampere)
We = Daya listrik (W)

Gambar 3.8. memberikan hubungan antara We dan , I, R. Pada umumnya satuan


kerja listrik adalah joule.
1 J =1 volt  1 coulomb (1 coulomb = 1 ampere s)

56
Gambar 3.8 Daya listrik We = I = i2 R (Sears, 1982)

Contoh 3.5
Arus 0,3 ampere mengalir melalui hambatan listrik. Jika tegangan pada hambatan 110
volt, tentukan daya yang dikonsumsi.
Penyelesaian
P =  i = 110  0,3 = 33 W

b. Kerja yang Dilakukan Untuk Meregangkan Suatu Kawat


Ungkapan kerja deferensial yang dilakukan untuk merenggangkan suatu kawat
(Gambar 3.9) dari panjang L menjadi L + L dibawah gaya F adalah
W=F dL
Ketika diintegrasi memberikan:
L + L
W1−2 =  FdL
L
(3.7)

Kerja dalam kasus ini adalah positif karena kerja harus dilakukan pada sistem (kawat)
untuk menambah panjang kawat.

Gambar 3.9 Tarikan Pada Kawat (Zemansky, 1981)

c. Kerja Yang Dilakukan Untuk Mengubah Luas Suatu Permukaan Film


Kerja yang dilakukan pada suatu cairan film homogen (Gambar 3.10) untuk
mengubah luas permukaannya sejumlah infinitesimal dA adalah:
W =  dA
dan kerja yang dilakukan untuk menambah luas permukaan dari A1 ke A2 adalah

57
A2

W1− 2 =  dA (3.8)


A1

dimana  adalah tegangan permukaan tiap satuan panjang

Gambar 3.10 Peregangan Film Cairan dengan Menggerakkan Kawat (Zemansky, 1981)

d. Magnetisasi Padatan Paramagnetik


Ungkapan deferensial kerja yang dilakukan tiap satuan volume pada bahan
magnetik yang medan magnet dan medan magnetisasinya serba sama (homogen)
adalah:
W = H d I
dan
I2

W1−2 =  HdI (3.9)


I1

dengan H kuat medan magnet, dan I komponen medan magnetisasi dalam arah
medan. Kerja harus dilakukan oleh sistem untuk menambah magnetisasi (dI positif)

e. Polarisasi Dielektrik
Ungkapan deferensial kerja yang dilakukan tiap satuan volume pada bahan
dielektrik yang medan listrik dan medan polarisasi serbasama adalah:
W = E dp
dan
p2

W1−2 =  Edp (3.10)


p1

58
denga E intensitas medan listrik didalam dielektrik dan P komponen medan polarisasi
dalam arah medan listrik.
Bila dicermati persamaan kerja dalam proses kuasi-setimbang menunjukkan
bahwa kerja dapat dinyatakan sebagai fungsi dari suatu gaya umum X dan deferensial
perpindahan umum dx. Jika X merupakan properti intensif dan dx properti ekstensif,
maka ungkapan umum kerja dapat ditulis:
W = X dx (3.11)
Jika diplot properti intensif vs properti ekstensif, luas daerah dibawah kurva
menyatakan kerja.

3.5 Kerja Pada Proses Reversibel.


Sebelumnya telah disebutkan bahwa kerja sama dengan −  pdv hanya jika

proses dijalani dalam cara kuasi–setimbang. Dua contoh akan ditinjau yang
menunjukkan proses non kuasi-setimbang,. yang pertama. ekspansi bebas gas ke
volume yang lebih besar.
Ditinjau bejana terisolasi dibagi oleh diagfragma dalam dua bagian, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.11

Gambar 3.11 Kerja yang Dilakukan Pada Proses Ekspansi Bebas Adalah Nol (Zemansky, 1981)

Satu bagian berisi gas dalam keadaan setimbang, sedangkan bagian yang lain vakum.
Jika diagfragma dipindahkan , gas akan berekspansi secara mendadak kedalam bagian
vakum. Tidak ada interaksi kerja dan interaksi kalor antara sistem dan lingkungannya.
Proses tak setimbang ini disebut ekspansi bebas. Menurut syarat reversibelitas,
keadaan awal sistem dan lingkungan tidak dapat dikembalikan kecuali sejumlah
energi disuplai dari sumber eksternal. Oleh karena itu, proses ekspansi bebas adalah
irreversibel adan tidak ada kerja yang dilakukan oleh sistem pada batasnya.

59
Proses irreversibel yang kedua melibatkan suatu sistem batang roda yang
berputar dalam fluida volume tertentu, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.12. Kerja
yang dilakukan menaikkan energi sistem, dan setelah pengadukan, sistem menuju ke
keadaan setimbang dengan temperatur yang lebih tinggi. Turbulensi yang terjadi
dalam fluida karena pengadukan, menyebabkan proses irreversibel, dan sejumlah
kerja yang dilakukan tidak sama dengan −  pdv . Kerja dilakukan pada sistem

sedangkan volume sistem dipertahankan konstan. Kejadian ini berlawanan dengan

Gambar 3.12 Kerja dilakukan pada sistem pada V konstan (Sonntag, 1998)

proses ekspansi bebas yang tidak ada kerja yang dilakukan, tetapi ada perubahan
volume sistem. Selama kedua proses berlangsung, tekanan dan volume jenis tidak
serba sama pada keseluruhan sistem dan oleh karena itu keadaan sistem tidak dapat
dideskripsikan secara memadai.

3.6 Transfer Energi Oleh Kalor (Q)


Interaksi kerja adiabatik antara sistem dan lingkungan akan mengubah energi
internal sistem. Perubahan energi internal juga bisa dilakukan dengan interaksi kalor.
Dalam hal ini kalor dan kerja merupakan ragam transfer energi antara sistem dan
lingkungannya.
Ketika dua sistem dengan temperatur berbeda disentuhkan satu dengan yang
lain sehingga keduanya memiliki batas bersama, energi dalam bentuk kalor akan
ditransfer antara kedua sistem karena adanya perbedaan temperatur. Sistem yang
bertemperatur tinggi akan kehilangan sejumlah energi dan sistem yang bertemperatur
rendah akan mendapat tambahan energi dalam jumlah yang sama. Proses ini akan
berlangsung terus hingga dicapai kesetimbangan termal.Bahwasanya kalor tidaka bisa
diamati, adanya transfer kalor diacu dari adanya perubahan temperatur. Transfer

60
energi dalam bentuk kalor bisa dipandang sebagai interakasi energi antara dua sistem
tanpa adanya interaksi kerja. Dalam hal ini kalor didefinisikan sebagai metode
transfer energi antara sistem dan lingkungannya karena perbedaan temperatur.
Tanpa memperhatikan mekanisme transfer kalor, suatu perbedaan temperatur
diperlukan agar terjadi interaksi kalor.Kalor yang ditransfer ke sistem dinyatakan
positif, dan kalor yang ditransfer dari sistem dinyatakan negatif.
Energi bisa ditransfer dari satu sistem ke sistem yang lain melalui mekanisme
transfer kalor: konduksi dan radiasi, bisa salah satu atau keduanya. Dalam Aliran
kalor secara konduksi, energi ditransmisikan dari partikel-partikel bahan yang lebih
energik ke partikael yang kurang energik melalui tumbukan molekuler secara
langsung tanpa perpindahan makrokospik molekuler yang cukup besar. Radiasi termal
adalah energi yang diemisikan oleh materi karena perubahan konfigurasi elektron dari
atom atau molekul. Energi ini diangkut oleh gelombang elektromag-netik. Gelombang
ini dianggap nonrelativistik dan tidak terdifraksi, berjalan dalam garis lurus pada
medium homogen atau vakum sehingga gelombang dipantulkan atau
diserap.Kecepatan perambatan gelombang ini dalam vakum sama dengan kecepatan
cahaya.
Konveksi adalah proses yang melibatkan aliran massa dan transfer kalor, yang
mana kalor ditransfer melalui konduksi dan radiasi. Konveksi pada umumnya
diklasifikasikan menjadi konveksi bebas (natural) dan konveksi terpaksa. Ketika kalor
ditransfer dari suatu padatan ke cairan, akan terjadi medan kerapatan yang tidak
homogen dalam cairan, yang menghasilkan gerakan cairan, proses ini disebut
konveksi natural atau konveksi bebas. Jika cairan dipaksa mengalir oleh pengaruh
eksternal seperti pompa atau fan, proses ini disebut konveksi terpaksa. Gambar 3.13
menunjukkan perbedaan kedua proses ini.
Kalor adalah fungsi lintasan seperti kerja oleh karena itu merupakan
deferensial tidak eksak. Kalor gayut pada proses yang menghubungkan dua keadaan
dan bisa diidentifikasi pada batas sistem, tetapi tidak secara nyata dimiliki oleh
sistem.

61
Gambar 3.13 Ragam Transfer Kalor (Saad, 1997)

Apabila energi masuk ke dalam sistem, akan terjadi perubahan properti sistem dan
perubahan ini tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi mekanisme transfer energi
sebagai kalor atau kerja. Ini berarti bahwa pada akhir suatu proses, kerja dan kalor
tidak memiliki makna. Hanya dengan penyelidikan fenomena yang terjadi pada batas
sistem selama interaksi energi, dapat dibedakan transfer energi sebagai kalor atau
transfer energi sebagai kerja.

3.7 Kalor Jenis


Ketika energi ditransfer antara sistem dan lingkungan, transfer energi ini
menyebabkan perubahan energi internal sistem. Dua cara yang digunakan untuk
menghitung perubahan energi internal. Pertama, perubahan temperatur sistem tetapi
keadaan fisis dan kimia tidak terpengaruh oleh transfer energi. Kedua, perubahan
keadaan fisis dan kimia tetapi temperatur cenderung konstan. Bahasan ini terkait
dengan kasus yang pertama.
Kalor jenis suatu bahan (zat) adalah jumlah energi yang diperlukan untuk
menaikkan temperatur satu satuan massa bahan sebesar satu derajat. Kalor jenis rerata
adalah jumlah energi yang ditransfer tiap satuan massa dibagi kenaikan temperaturnya
dan dinyatakan:
Q q
cavg = = (3.12)
mT T
dengan
cavg = kalor jenis rerata (J/kg K)
Q = interaksi kalor (J)
T = perbedaan temperatur (K atau 0C)
m = massa (kg)

62
q = kalor tiap satuan massa (J/kg)

Apabila q dan T sangat kecil, maka rasio q/T menuju limit yang
menyatakan kalor jenis pada temperatur T:
q q
c = lim = (3.13)
T →0 T T
Untuk memperoleh nilai rerata kalor jenis untuk rentang temperatur yang lebar kalor
jenis diintegrasi menurut persamaan:
T2 T2

c avg =
T1
cdT
=

T1
cdT
(3.14)
T2
T2 − T1

T1
dT

Hasil perhitungan integral ini secara grafik ditunjukkan pada Gambar 3.14 berikut.
Kalor jenis zat padat dan zat cair gayut pada temperatur, tidak seperti gas yang
tidak sensitif terhadap proses yang terlibat selama interaksi kalor. Hukum Dulong-
Petit menunjukkan bahwa kalor jenis atomik suatu elemen dalam suatu padatan pada
temperatur ruang mendekati 6,4 kalori/gram-atom 0C. Jika suatu bahan mengalami
perubahan fase ketika dipanaskan, kalor jenis menjadi tak hingga karena pemanasan
tidak menghasilkan perubahan temperatur.

Gambar 3.14 Kalor Jenis Rerata (Saad, 1997)

Kalor jenis gas gayut pada proses ketika interaksi kalor terjadi, pada proses
tekanan konstan atau volume konstan.
 q 
cp =   (3.15)
 dT  p

63
 q 
cv =   (3.16)
 dT  v
dengan cp kalor jenis pada tekanan konstan dan cv kalor jenis pada volume konstan,
keduanya merupakan properti suatu bahan (sistem).

3.8 Energi Internal


Energi internal U suatu bahan adalah energi yang berkaitan dengan
konfigurasi dan gerakan molekul, atom dan partikel subatomik relatif terhadap pusat
massanya. Energi Internal U merupakan suatu properti sistem, terdiri atas gabungan
energi kinetik molekuler dan energi potensial molekuler, yang ditentukan oleh
properti sistem seperti tekanan dan temperatur. Energi internal merupakan bagian dari
energi total E, yang terdiri atas semua bentuk energi internal seperti energi kimia
ditambah dengan energi kinetik dan energi potensial makrokospik sistem:
E = (U + …..yang lain) + KE + PE (3.17)
Energi tiap satuan massa (energi spesifik) pada suatu titik didefinisikan dengan
persamaan
E
e = lim (3.18)
m→0 m
dengan m adalah elemen massa disekitar suatu titik.
Energi total sistem dinyatakan:
E =  edm (3.19)

64
C. RANGKUMAN
1. Kerja merupakan metode transfer energi antara sistem dan lingkungan.
2. Kerja dapat diidentifikasi pada batas interaksi jika semata-mata pengaruh
eksternal pada sistem dapat diperlihatkan dengan ekivalensi naik atau turunnya
beban.
3. Kerja yang berkaitan dengan perpindahan batas selama proses kuasi-statik sama
dengan −  pdV , hubungan fungsional antara p dan V diperlukan untuk mengh-

itung integral ini. Hasil integrasi ini sama dengan luasan dibawah kurva proses
pada diagram p-V.
4. Kerja bukan properti sistem, yang gayut pada lintasan proses untuk mengubah
keadaan sistem (fungsi lintasan).
5. Kerja dilakukan pada sistem dinyatakan positif dan dialkukan oleh sistem
dinyatakan negatif.
6. Kalor adalah metode transfer energi karena perbedaan temperatur.

65
D. SOAL-SOAL LATIHAN
3.1 Sebuah balon sferis memiliki diameter 25 cm berisi udara pada tekanan 150 kPa.
Diameter balon dinaikkan menjadi 30 cm dengan pemanasan, dan selama proses
ini tekanan sebanding dengan diameter. Hitunglah kerja yang dilakukan pada gas ,
anggaplah interaksi kerja bersifat reversibel.
3.2 Apabila keadaan awal gas ideal memiliki tekanan 100 kPa dan volume spesifik 0,3
m3/kg, hitunglah interaksi kerja reversibel tiap kg untuk proses berikut:
a. Proses tekanan konstan jika volume akhir 1,5 m 3/kg
b. Proses isotermal menurut proses pV = konstan jika volume akhir 0.5 m 3/kg
c. Proses volume konstan jika tekana akhir 400 kPa. Sketlah masing-masing
proses pada diagram p-V
3.3 Tentukan kerja minimum yang dilakukan tiap kg udara dalam satu siklus menurut
proses berikut:
- proses ekspansi isotermal dari keadaan 1 ke keadaan 2
- proses pemampatan pada volume konstan dari keadaan 2 ke keadaan 3
- proses pemampatan pada tekanan konstan dari keadaan 3 ke keadaan awal 1
Data: p1 = 350 kPa
v1 = 1 m3/kg
T3 = 16500C
Tunjukkan kerja ini dalam diagram p-V
3.4 Hubungan antara tekanan dan volume suatu sistem selama proses pemuaian
dinyatakan oleh persamaan p = 250 – 300V , p dalam kPa dan V dalam m3.
Tentukan kerja minimum yang dilakukan sistem selama pemuaian dari volume 0.2
m3 ke volume akhir 0,4 m3.
3.5 Udara yang dianggap sebagai gas ideal dimampatkan dari tekanan 100 kPa dan
temperatur 300K ke tekanan 1500 kPa dalam proses kuasi-statik yang mengikuti
persamaan pv1.3 = konstan.
Tentukan jumlah kerja yang diperlukan untuk memampatkan 1 kg udara.
Bandingkan kerja ini dengan kerja pada pemampatan isotermal.
3.6 Pemampatan suatu cairan dinyatakan oleh persamaan V = V0 e a ( p − p0 ) , dengan V

volume, p tekanan dan a konstanta berdimensi. Subskrip 0 menunjukkan keadaan

66
awal. Jika pemampatan secara kuasi-statik tanpa perubahan temperatur, turunkan
ungkapan kerja yang dilakukan.
3.7 Sebuah silinder-berpiston berisi 0,2 kg udara pada keadaan awal 100 kPa dan 300
K. Udara dimampatkan secara reversibel dan isotermal hingga volumenya tinggal
setengahnya. Tentukan transfer kerja selama proses ini. Sketlah proses ini pada
diagram p-V
3.8 Satu kg es pada 0 0C ditempatkan dalam bejana dengan 2 kg pada 65 0C. Bejana
berada pada atmosfer yang bertemperatur 15 0C. Terjadi pertukan energi bebas
antara semua komponen sehingga temperatur akhir 15 0C. Hitunglah jumlah kalor
yang ditransfer ke:
a. 1 kg es b. air c. atmosfer
Tunjukkan arah interaksi kalor pada masing-masing kasus.

67
BAB IV

HUKUM PERTAMA TERMODINAMIKA


DAN APLIKASINYA

A.TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada Bab IV ini akan dipelajari tentang konsep Hukum I Termodinamika dan
aplikasinya. Pemahaman konsep pada materi sebelumnya akan sangat membantu
dalam memahami Bab ini. Tujuan pembelajaran mencakup:
1. Mahasiswa memahami tentang kesetaraan antara kerja dan kalor.
2. Mahasiswa memahami Hukum I Termodinamika.
3. Mahasiswa memahami fungsi energi internal gas ideal.
4. Mahasiswa memahami konsep entalpi terkait perubahan fase.
5. Mahasiswa memahami aplikasi Hukum I Termodinamika.
6. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari terkait konsep Hukum I Termodinamika.

B. URAIAN MATERI
4.1 Eksperimen Joule
Antara tahun 1843 dan 1848, Joule telah mengadakan eksperimen yang
merupakan langkah pertama dalam analisis kuantitatif dari sistem termodinamika,
yang membawa ke hukum I Termodinamika. Eksperimen Joule menggunakan
peralatan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dalam sistem yang ia selidiki,
energi dalam bentuk kerja ditransfer ke fluida melalui batang. Transfer kerja ini
menyebabkan naiknya temperatur fluida. Jumlah kerja yang dilakukan diukur oleh
perubahan energi potensial beban dengan berat W yang turun dengan jarak z.
Selanjutnya sistem dikontakkan dengan air, sehingga energi dalam bentuk kalor
ditransfer dari fluida ke air hingga keadaan awal dicapai. Keadaan ini ditunjukkan
oleh temperatur dan tekanan. Jumlah kalor yang ditransfer dari sistem sama dengan
kenikkan energi air, oleh karena itu mudah ditentukan dengan mengukur temperatur
air.

68
Joule juga mengadakan eksperimen menggunakan transfer kerja dalam bentuk
energi listrik yang diubah menjadi kalor sistem. Untuk satu siklus lengkap, Joule
menemukan bahwa kerja netto W selalu sebanding dengan kalor netto Q yang
ditransfer dari sistem. Karena sistem pada akhir proses tidak berubah, integral siklis
transfer kalor sebanding dengan integral transfer kerja, dan jumlah aljabar kalor dan
kerja selama siklus itu sama dengan nol. Jika satuan kerja dan kalor sama, hubungan
ini bisa ditulis sebagai:

 dQ +  dW = 0 (4.1)

dengan dQ dan dW adalah jumlah infinitesimal kalor dan kerja. Simbol  melam-

bangkan integrasi sepanjang lintasan tertutup (integral siklis). Simbul d digunakan


untuk menunjukkan bahwa kerja dan kalor keduanya diferensial tak eksak, yang gayut
pada lintasan siklus.

Gambar 4.1. Eksperimen Joule (Sears, 1982)

Persamaan(4.1) merupakan pernyataan hukum I Termodinamika untuk sistem


yang menjalani satu atau lebih siklus. Hukum I Termodinamika tidak dapat
dibukti-kan secara analitik, tetapi bukti-bukti eksperimen dapat diulang untuk
mengkonfir-masi validitasnya. Jika tidak ada fenomena yang kontradiksi
dengannya, hukum I Termodinamika diterima sebagai hukum alam.

4.2 Hukum I Termodinamika


Salah satu konsekuensi penting dari hukum I Termodinamika adalah bahwa
energi sistem merupakan suatu properti. Untuk membuktikan hal ini, tinjau suatu
siklus perubahan sistem yang keadaannya dispesifikasikan oleh dua variabel termo-

69
dinamik p dan V. Gambar 4.2 menunjukkan suatu sistem yang menjalani proses dari
keadaan 1 ke keadaan 2 sepanjang lintasan A, dan kemudian kembali ke keadaan 1
melalui lintasan B. Dengan menerapkan persamaan (4.1) untuk siklus 1-A-2-B-1,
memberikan hubungan energi sebagai berikut.
 2 1   2 1 
 dQ + dQ  +  dW + dW  = 0
     1(A)  
 1( A) 2( B )   2( B ) 

2 2
Gambar 4.2 Integral  dQ +  dW merupakan fungsi keadaan 1 dan 2. (Sears, 1982)
1 1

Jika sistem berubah dari keadaan 2 ke keadaan 1 sepanjang lintasan C sehingga siklus
1-A-2-C-1, hubungan energinya adalah:
 2 1   2 1 
 dQ + dQ  +  dW + dW  = 0
     1(A)  
 1( A) 2(C )   2(C ) 
Dengan cara mengurangi dan kemudian menyusun kembali kedua persamaan tersebut
diperoleh:
1 1 1 1

 dQ +  dW =  dQ +  dW
2( B ) 2( B ) 2(C ) 2(C )

1 1
atau  (dQ + dW ) =
2( B )
 (dQ + dW )
2(C )
(4.2)

Ini berati bahwa kuantitas  (dQ + dW ) adalah konstan pada saat sistem berubah

sepanjang lintasan B atau C. Sehingga  (dQ + dW ) merupakan fungsi keadaan awal

dan keadaan akhir sistem dan tidak gayut pada proses antara dua keadaan itu.

70
Kuantitas (dQ + dW ) merupakan suatu deferensial dari properti sistem.
Properti ini disebut energi total sistem dan diberi simbul E. Oleh karena itu, perubah-
an energi sistem sama dengan jumlah aljabar interaksi kalor dan interaksi kerja
dengan lingkungan.
Penerapan hukum I untuk sistem yang menjalani proses sama dengan:
dQ + dW = dE (4.3)
dengan dQ transfer kalor netto ke sistem, dW kerja netto yang dilakukan pada sistem,
dan dE merupakan perbedaan antara energi sistem akhir dan awal.
Sistem dapat berinteraksi dengan lingkungannya melalui transfer energi,
dalam bentuk kalor dan kerja. Meskipun dQ dan dW bukan properti, tetapi jumlah
aljabarnyamerupakan properti, dan perubahannya merupakandeferensial eksak ( dE ).
Pada sistem terisolasi, Q = 0 dan W = 0, oleh karena itu dari persamaan (4.3)
E1 = E 2 . Jadi energi sistem terisolasi cenderung konstan. Hal ini adalah pernyataan
prinsip kekekalan energi.
Bentuk integrasi persamaan (4.3) adalah:
Q1−2 + W1−2 = ( E 2 − E1 ) (4.4)
Apabila energi total hanya terdiri atas energi internal U, energi kinetik, dan energi
potensial, persamaan ini menjasi:
Q1− 2 + W1− 2 = (U 2 − U 1 ) + 1 2 m(V22 − V12 ) + mg ( z 2 − z1 ) (4.5)
 
tranfer energi perubahan energi

4.3 Energi Internal


Energi internal U adalah properti ekstensif. Energi internal merupakan fungsi
keadaan sistem, oleh karena itu integral tertutup untuk satu siklus sama dengan nol.

 dU = 0 (4.6)

Menurut persamaan (4.5) jika energi kinetik dan energi potensial tidak berubah, kalor
dan kerja hanya merubah energi internal sistem. Energi internal dinyatakan dalam
satuan yang sama dengan kalor dan kerja. Umumnya satuan yang digunakan joule (J),
sedangkan energi internal spesifik dinyakan dalam J/kg.
Jika keadaan sistem ditentukan oleh dua properti p, T dan v, maka kerja yang
dilakukan tiap satuan massa dalam proses kuasistatis adalah:

71
dw = − p dv
jika hanya energi internal u yang berubah, maka persamaan (4.5) menjadi:
dq − p dv = du (4.7)
Apabila u dinyatakan dalam T dan v, maka u = u (T , v) dan perubahan u dinyatakan:

 u   u 
du =   dT +   dv (4.8)
 T  v  v  T
Dengan menggabungkan persamaan (4.7) dan (348) diperoleh
 u   u 
dq − p dv =   dT +   dv
 T  v  v  T
dan dapat disusun menjadi:

 u    u  
dq =   dT +  p +    dv (4.9)
 T  v   v  T 
Dalam proses volume konstan, tidak terjadi perubahan volume sehingga:
 u 
dq =   dT
 T  v
Tetapi pada volume konstan, dq = Cv dT . Oleh karena itu C v dapat didefinisikan

sebagai:
 u 
Cv q =   (4.10)
 T  v
Catatan bahwa perubahan temperatur tidak harus hasil dari transfer kalor karena kerja
juga dapat menyebabkan perubahan temperatur. Oleh karena itu nama kalor jenis
adalah nama yang tidak tepat karena hal ini mengimplikasikan bahwa C v diasosiasi-

kan dengan jumlah kalor padahal sesungguhnya merupakan properti. Oleh karena itu
nama yang lebih baik untuk C v adalah energi energi internal spesifik pada volume

konstan.

4.4 Energi Internal Gas Ideal (U)


Dalam eksperimen yang dilakukan Gay-Lussac dan Joule, dipelajari tentang
ekspansi bebas gas. Set peralatan yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 4.3.
Ruang A berisi gas dalam kesetimbangan termodinamik, sedangkan ruang B hampa.

72
Dua ruang tersebut merupakan sistem tertutup. Pada awalnya sistem dalam
kesetimbangan termal dengan lingkungannya (air bak) pada temperatur T1 . Ketika

Gambar 4.3 Eksperimen untuk menunjukkan bahwa energi internal gas ideal hanya fungsi
temperatur (Sears, 1982)

kran antara ruang A dan B dibuka, gas dalam ruang A mengembang secara bebas ke
dalam ruang B, mengisi kedua ruang tersebut. Selama proses mengembang, tempera-
tur gas dalam ruang A turun di bawah nilai awalnya, sedangkan temperatur ini
menyebabkan adanya gradien temperatur, sehingga kalor mengalir dari air bak ke
ruang A dan dari ruang B ke air bak. Keadaan ini menyebabkan penambahan aliran
gas dari A ke B. Setelah waktu yang cukup, sistem dan lingkungannya mencapai
kesetimbangan termodinamik. Sebagai hasil dari proses ini, kalor ditransfer dari
lingkunganke sistem.
Qsis = −Qling = m c (T2 − T1 )

dengan m massa sistem, c kalor jenis rerata sistem, dan (T2 − T1 ) perubahan tempera-
tur sistem.
Apabila batas sistem tidak berpindah, maka tidak ada kerja eksternal yang
dilakukan selama gas mengembang bebas. Jika diterapkan hukum I pada sistem ini,
menjadi:
u = Qsis

atau u = m c (T2 − T1 )
Pengukurab menunjukkan bahwa temperatur air bak praktis konstan. Ini
berarti bahwa ruang A kehilangan energi sebesar naiknya energi pada ruang B,
sehingga tidak ada interaksi kalor netto antara sistem dan lingkungan. Tidak adanya
kedua bentuk interaksi, interaksi kerja dan interaksi kalor, menunjukkan bahwa energi

73
internal sistem ini cenderung konstan meskipun ada perubahan volume. Oleh karena
itu, gas cenderung berperilaku seperti gas ideal. Energi internal tak gayut volume dan
hanya gayut pada temperatur. Pernyataan ini disebut “Hukum Joule” dan dinyatakan
sebagai:
 u 
  =0 (4.11)
 v  T
Untuk sejumlah bahan (selain gas ideal), jika tidak ada perubahan fase, energi
internal sangat gayut pada temperatur dan mempunyai gayutan yang lemah pada
tekanan dan volume. Dalam eksperimen Joule, perubahan temperatur yang terjadi
sangat kecil sebab lebih kapasistas termal ruang A, ruang B, dan air bak lebih besar
dibanding dengan kapasitas termal gas.
Perubahan energi internal gas ideal tiap satuan massa, apabila gas berubah dari
keadaan 1 ke keadaan 2 adalah:
2 T2

 du =  C dT
1 T1
v (4.12)

Jika C v konstan, maka

u 2 − u1 = Cv (T2 − T1 )

Contoh 4.1
Sebuah tangki tegar terisolasi berisi 0,2 kg udara pada temperatur 300K dan tekanan
100kPa. Sebuah tongkat roda di dalam tangki mentransfer energi 5 kJ ke udara.
Tentukan perubahan energi internal serta temperatur dan tekanan akhir udara.
Penyelesaian:
Mengacu pada Gambar 4.4, tanpa adanya perubahan energi kinetik dan energi
potensial, hukum I dapat ditulis:
Q + W = U (Q = 0)
U = U 2 − U 1 = W = 5 kJ
Dengan menganggap udara sebagai gas ideal:

74
Gambar 4.4 Udara dalam wadah yang dibatasi oleh dinding adiabatik (Sears, 1982)

U = m cv (T2 − T1 )

5 kJ = (0,2 kg)(0,7165 kJ/kg K)(T2 –300)K


T2 = 334,89 K
Pada volume konstan
T   334,89 
p 2 = p1  2  = (100kPa ) 
 T1   300 
= 111,63 kPa

4.5 Entalpi
Persamaan (4.3) yang merupakan hukum I dapat ditulis dalam bentuk:
dQ − PdV + dW  = dE (4.13)
dengan dW  menyatakan semua kerja yang dilakukan pada sistem, selain kerja p-V
seperti halnyakerja listrik, kerja magnetik dan yang lain. Apabila d ( pV ) ditambah-
kan pada kedua sisi, persamaan (4.13) menjadi:
dQ + Vdp + dW  = d ( E + pV )
Jika E hanya terdiri dari atas energi internal, persamaan tersebut menjadi:
dQ + Vdp + dW  = d (U + pV ) (4.14)
Gabungan (U + pV ) sering berperan penting dalam perhitungan pada masalah materi
yang melewati batas volume kontrol. Dengan alasan ini, gabungan (U + pV ) diberi
nama baru yang disebut entalphi H . Dalam bagian berikut akan ditunjukkan bahwa
entalpi secara langsung diasosiasikan dengan transfer energi yang melewati
permukaan kontrol. Entalpi didefinisikan:
H  U + pV (4.15)

75
Entalpi merupakan properti ekstensif dan entalpi spesifik dinyatakan:
h  u + pv (4.16)
Satuan H adalah J dan h adalah J/kg. Karena entalpi merupakan gabungan fungsi
keadaan (u, p, dan v), maka entalpi juga fungsi keadaan.
Jika sistem menjalani proses tekanan konstan, dan jika hanya melibatkan kerja
p-V, maka menurut hukum I:
q1− 2 − p(v 2 −v1 ) = u 2 − u1

atau q1− 2 = h2 − h1 (4.17)


Kalor yang ditransfer ke sistem sama dengan perubahan entalpi antara dua keadaan.
Apabila entalpi disubtitusikan ke persamaan (4.14) untuk tiap satuan massa:
dq = dh − vdp − dw
Karena dq = C p dT untuk kondisi tekanan konstan dan hanya ada kerja p-V, maka

C p didefinisikan:

 h 
cp    (4.18)
 T  p
Kalor jenis pada tekanan konstan C p merupakan properti intensif yang gayut pada

keadaan sistem. Ini berarti bahwa C p dapat menggantikan (h / T ) p dalam suatu

proses yang kuasistatis atau bukan, meskipun proses tidak pada tekanan konstan.
Sedangkan kalor jenis pada tekanan konstan C p sama dengan (dq / dT ) p hanya dalam

proses tekanan konstan dan dw = 0 .


Jika entalpi merupakan fungsi dua parameter tak gayut, seperti T dan p, maka
perubahanentalpi untuk proses itu adalah:
 h   h 
dh =   dT +   dp
 T  p  p  T
 h 
= C p dT +   dp (4.19)
 p  T
Untuk gas ideal, perumusan (4.16) menjadi
dh = du + d ( pv) = Cv dT + R dT

= (C v + R ) dT

76
Dalam hal ini, entalpi gayut pada temperatur sehingga (h / p) T = 0 . Oleh karena itu
untuk gas ideal persamaan (4.19) menjadi:
dh = C p dT

C p dT = (Cv + R)dT

C p = Cv + R (4.20)

Untuk gas ideal C p dan C v semata-mata hanya fungsi temperatur.

Contoh 4.2
Satu kilogram udara pada keadaan awal 300K dan 100kPa menjalani proses tekanan
konstan dalam silinder berpiston. Jika keadaan akhir 450K, tentukan interaksi kerja
dan kalor, dan perubahan entalpinya.
Penyelesaian:

Gambar 4.5 Udara dalam wadah yang dilengkapi oleh piston yang bisa bergerak (Sonntag, 1998)

Hukum I untuk maslah tidak adanya perubahan energi kinetik dan energi potensial
Q + W = U
2
W1− 2 = −  p dV = − p (V2 − V1 )
1

Menganggap udara sebagai gas ideal


mRT1 (1 kg )(0,287 kJ / kgK )(300K )
V1 = =
p1 100kPa
= 0,861 m3
mRT2 (1 kg )(0,287 kJ / kgK )(450K )
V2 = =
p2 100kPa

77
= 1,2915 m3
W1-2 = -(100 kPa)((1,2915-0,861)m30 = -43,05 kJ
Q1−2 = (U 2 − U1 ) − W1−2 = m Cv (T2 − T1 ) − W1−2
= (1 kg)(0,7165 kJ/kg K)((450-300)K)-(-43,05 kJ)
= 150,525 kJ
Perubahan entalpinya
H 2 − H 1 = m C p (T2 − T1 )

= (1 kg)(1,0035 kJ/kg K)((450-300)kJ


= 150,525 kJ
Untuk proses kuasi-setimbang pada tekanan konstan, interaksi kalor sama dengan
perubahan entalpi sistem.

4.6 Aplikasi Hukum Hukum I untuk Sistem Tertutup


Hukum I Termodinamika diterapkan untuk semua bentuk interaksi energi
antara antara suatu sistem dan lingkungan. Perubahan energi sistem, sama tetapi
berlawanan tanda dengan perubahan energi lingkungannya. Menurut hukum I, kerja
atau kalor yang melewati batas sistem menunjukkan energi yang besarnyasama
dengan perubahan energi internal sistem. Berdasarkan konversi tanda untuk transisi
energi: energi yang masuk sistem dinilai positif, dan energi yang meninggalkan sistem
negatif.

4.6.1 Proses Volume Konstan (Isokhorik)


Ditinjau transfer kalor ke suatu sistem yang terdiri atas fluida yang berada di
dalam bejana tegar seperti pada Gambar 4.6

Gambar 4.6 Proses Volume Konstan (Saad, 1997)

78
Pada diagram p-V, proses ditunjukkan oleh garis vertikal. Karena dV = 0 , kerja juga
nol. Hukum I untuk sistem ini :
dq = dU
Jadi, transfer kalor ke sistem digunakan untuk menaikkan energi internal sistem.
Sebaliknya transfer kalor dari sistem ekivalen dengan penurunan energi internal
sistem. Perubahan energi internal yang sama dapat dicapai menggunakan interaksi
kerja. Gabungan interaksi kerja dan kalor juga dapat menghasilkan perubahan
keadaan yang sama.
Apabila padatan atau cairan dipanaskan, menghasilkan perubahan volume
yang relatif kecil. Oleh karena itu transfer kalor pada padatan atau cairan dianggap
berlangsung pada volume konstan dan energi yang disuplai sama dengan kenaikkan
energi internal sistem.
Kerja kuasistatis, −  pdV ditunjukkan oleh luasan di bawah kurva proses

pada diagram p-V. Pada proses volume konstan, luasan ini jelas nol sehingga tidak
mungkin kerja kuasistatis dilakukan pada proses volume konstan.

Contoh 4.3
Satu kilogram udara (anggap gas ideal; R = 0,287 kJ/kg K) dikungkung dalam bejana
volume konstan. Volume dan tekanan awal udara 0,2 m 3 dan 350 kPa. Jika 120 kJ
kalor disuplai ke dalam gas sehingga temperatur naik menjadi 411,5 K. Tentukan (a)
kerja yang dilakukan, (b) perubahan energi internal, (c) kalor jenis pada volume
konstan.
Penyelesaian:
Sket sistem dan diagram p-V proses ditunjukkan pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Proses tekanan konstan (Saad, 1997)

79
(a) Kerja W = 0 karena tidak ada perubahan volume
(b) Berdasarkan hukum I q = U = 120 kJ/kg
(c) Temperatur awal dapat ditentukan dari persamaan gas ideal
pv = RT

(350kPa )(0,2m 3 )
T=
0,287kJ / kgK
= 243,9 K
T = 411,5-243,9 = 167,6 K
Kalor jenis rerata pada volume konstan
 u  120kJ / kg
cv =   = = 0,716 kJ/kg K
 T  v 167,6 K

4.6.2 Proses Tekanan Konstan (Isobarik)


Gambar 3.9 menunjukkan suatu fluida yang dipertahankan pada volume
konstan dalam silinder berpiston tanpa gesekan. Untuk tiap satuan massa sistem, kerja
v2

W1− 2 = −  pdv = − p(v 2 − v1 ) ditunjukkan oleh luasan yang diarsir pada Gambar 4.8.
v1

Hukum I untuk sistem ini:


q1− 2 = p(v 2 − v1 ) = u 2 − u1
atau q1− 2 = (u 2 + pv2 ) − (u1 + pv1 ) = h2 − h1
Persamaan ini berlaku hanya jika ada kerja p-V yang dilakukan

Gambar 4.8 Proses tekanan konstan (Saad, 1997)

80
Contoh 4.4
Udara pada temperatur 5000C ditekan pada tekanan konstan 1,2 Mpa dari volume 2
m3 menjadi 0,4 m3. Jika energi internal turun 4820 kJ. Tentukan (a) kerja yang
dilakukan selama penekanan reversibel, (b) kalor yang ditransfer, (c) perubahan
entalpi, (d) kalor jenis rerata pada tekanan konstan.
Penyelesaian:
(a) Sket sistem dan diagram proses ditunjukkan pada Gambar 4.9

Gambar 4.9 Proses Tekanan Konstan (Saad, 1997)

(b) Q1−2 + W1− 2 = (U 2 − U 1 )


Q1−2 = -1920 kJ – 4820 kJ = -6740 kJ
(c) Karena proses pada tekanan konstan dan W  =0 maka
H 2 − H 1 = Q1−2 = -6740 kJ

T1V2 (773,15K )(0,4m 3 )


(d) T2 = = = 154,3 K
V1 2m 3

p1V1 (1200kPa )(2m 3 )


m= = = 10,816kg
RT1 (0,287kJ / kgK )(773,15K )

 H  − 6740kJ
cp =   = = 1,007 kJ/kgK
 mT  p (10,816kg )(154,3 − 773,15) K

4.6.3 Proses pada Energi Internal Konstan


Apabila energi internal sistem konstan, hukum I menjadi
dq + dW = 0

81
Jika sistem menjalani proses tanpa perubahan energi internal, interaksi kalor dan
interaksi kerja harus sama besarnya tetapi tandanya berlawanan. Ini berarti bahwa
transfer kalor ke sistem ekivalen dengan jumlah kerja.
Proses energi internal konstan dapat dilihat pada generator termoelektrik pada
Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Generator Termoelektrik (Saad, 1997)

Jika dua logam yang berbeda dihubungkan, dan kedua sambungan dipertahankan pada
temperatur yang berbeda maka akan timbul potensial listrik antara sambungan itu.
Apabila rangkaian ditutup, arus listrik mengalir melalui logam.Generator listrik
menggunakan fenomena ini untuk mengkonversi kalor menjadi energi listrik.
Generator termoelektrik mempunyai gradien temperatur tetapi dalam kesetimbangan
termal (U = 0) . Komponen generator termoelektrik terdiri atas semikonduktor A
dan B yang dihubungkan dengan konduktor panas dan dingin C dan D. Terminal
listrik terhubung ke konduktor D yang membawa energi listrik keluaran ke beban G.

Contoh 4.5
Diperlukan suatu analisis hukum I untuk membuat peranti termoelektrik
dengan dengan persyaratan:
laju tranfer kalor = 20 W
emf yang dihasilkan = 2,5 V
aliran arus = 0,6 A
Anggaplah keadaannya “steady”.
Penyelesaian:

82
Karena aliran arus yang melewati peranti konstan, maka daya listrik keluaran
sama dengan penurunan tegangan dikalikan dengan arus
W = V  I = 2,5  0,6 = 1,5 W
Terapan hukum I untuk sistem ini adalah
W +  Q = E

Pada keadaan steady, tidak ada perubahan energi internal sistem sehingga E = 0
-1,5 W + ( 20 + Q 2 )W = 0

Q 2 = -18,5 W
Efisiensi pengubahan energinya adalah
Daya listrik keluaran 1,5
= = = 7,5%
Laju kalor masukan 20

4.6.4 Proses Temperatur Konstan (Isotermal)


Selama proses ini, temperatur sistem dipertahankan konstan. Jika gas ideal
menjalani proses isotermal, energi internalnya cenderung konstan karena hanya fungsi
temperatur. Hukum I menjadi
dq + dW = 0
sehingga dalam proses ekspansi atau kompresi isotermal yang hanya melibatkan gas
ideal, jumlah kalor dan kerja adalah nol, seperti dalam proses energi internal konstan.
Gambar 4.11 menunjukkan diagram P-V untuk proses isotermal gas ideal.

Gambar 4.11 Proses Isotermal (Sonntag, 1991)

83
Contoh 4.6
Gas ideal menempati volume 0,2 m 3 pada tekanan 1,5 MPa, berekspansi secara
isotermal dalam proses yang kuasisetimbang menuju volume 0,5 m 3. Tentukan
tekanan akhir, W, Q, dan U .
Penyelesaian:
Sket sistem dan diagram proses ditunjukkan pada Gambar 4.12
p1V1 = mRT dan p 2V2 = mRT

V   0,2 
p 2 = p1  1  = (1,5MPa)  = 0,6MPa
 V2   0,5 
Karena temperatur konstan, U = 0 dan hukum I dinyatakan
Q1− 2 = −W1− 2

Gambar 4.12 Proses Isotermal (Sonntag, 1991)

2 V2

W1− 2 =  dW = −  pdV
1 V1

V2
mRT V V
= − dV = −mRT ln 2 = − p1V1 ln 2
V1
V V1 V1

= − (1,5  103 KPa)0,2m 3 ) ln 2,5 = −274,89kJ

84
4.6.5 Proses Adiabatik
Dalam proses adiabatik, tidak terjadi interaksi kalor antara sistem dan
lingkungan. Hukum I menjadi:
dW = dU
apabila diintegrasi diperoleh:
W1−2 = U 2 − U 1
Oleh karena itu kerja yang dilakukan pada sistem sama dengan perubahan energi
internal sistem. Apabila gas ideal menjalani proses adiabatik reversibel dapat
dinyatakan:
RT
CV dT = − pdV = − dV
V
dT dV
CV = −R
T V
Apabila diintegrasi menghasilkan:
T2 R V2
ln = ln
T1 CV V1
R
T2  V2  CV
=  (4.21)
T1  V1 

Rasio temperatur juga dapat dinyatakan dalam rasio tekanan. Untuk gas ideal:
R
R /( R + CV )
T2  p 2T1  CV  p 2 
=  =   (4.22)
T1  p1T2   p1 
Karena pada gas ideal C p + CV = R dapat dinyatakan hubungan tekanan –volume:
CV
V2  p1  Cp
=  (4.23)
V1  p 2 

atau p2V2 = p1V1 = konstan (4.24)


dengan  menyatakan rasio kalor jenis:
cp
 = (4.25)
cv

85
4.6.6 Proses Politropik
Proses politropik adalah proses ekspansi dan kompresi yang sesungguhnya dan
hubungan antara p dan V dinyatakan:
pV n = C (4.26)

dengan n adalah indeks proses/ Pada umumnya n memiliki nilai dari - sampai +.
Dalam proses tekanan konstan, n = 0; proses isotermal (gas ideal) n = 1; proses
adiabatik n = ; dan proses volume konstan n → .
Sejumlah proses politropik reversibel yang berkaitan dengan nilai n yang
berbeda-beda ditunjukkan pada Gambar 4.13.

Gambar 4.13 Proses yang menggambarkan PV n = C (Saad, 1997)

Untuk proses politropik reversibel, kerja yang dilakukan pada sistem dinyatakan:
p 2V2 − p1V1
W1−2 = (4.27)
n −1
persamaan (3.27) tidak dapat diterapkan jika n = 1.

Contoh 4.7
Satu kilogram gas ideal mengembang dalam proses politropik reversibel menurut
persamaan PV n = C , dengan n = 1,3. Tekanan dan volume awal 620 kPa dan 1,15m3.
Volume akhir 1 m3. Tentukan (a) temperatur, (b) kerja yang dilakukan, (c) perubahan
energi internal, (d) interaksi kalor. Diketahui R = 0,130 kJ/kg K dan CV = 0,511 kJ/kg

K.
Penyelesaian:

86
(a) Sket sistem dan diagram proses ditunjukkan pada Gambar 4.15
p1V11,3 = p 2V21,3
1, 3
 0,15 
p 2 = (620kPa)  = 52,6kPa
 1,0 
temperatur T1 dan T2 ditentukan dari persamaan gas ideal
p1V1 (620kPa)(0,15m3 / kg )
T1 = = = 715,4K
R 0,13kJ/kgK

p 2V2 (52,6kPa)(1m 3 / kg )
T2 = = = 404,6K
R 0,13kJ/kgK

Gambar 4.14 Diagram Proses (Saad, 1997)

p 2V2 − p1V1
V2

(b) W1−2 = −  pdV =


V1
n −1

(52,6kPa)(1m 3 / kg ) − (620kPa)(0,15m3 / kg)


=
1,3 − 1
= - 134,67 kJ/kg
(c) U = cV ((T2 − T1 ) = (0,511kJ/kgK)(404,6 - 715,4)kJ

= -158,8 kJ/kg
(d) q1− 2 = U − W1− 2 = -158,kJ/kg + 134,67 kJ/kg
= -24,13 kJ/kg

87
C. RANGKUMAN
1. Hukum I Termodinamik untuk sistem
Q + W = E
2. Untuk gas ideal energi internal dan entalpi hanya fungsi temperatur
dU = CV dT dan dh = C p dT

3. Kalor jenis pada volume konstan dan pada tekanan konstan untuk gas ideal
hanya fungsi temperatur
R  R
CV = Cp = C p − CV = R
 −1  −1

D. SOAL-SOAL LATIHAN
4.1 Lima kilogram gas ideal dipanasi dengan suplai kalor 180 kJ. Selama proses itu
volume dipertahankan konstan pada 43 dan tekanan naik dari 100 kPa menjadi
120 kPa. Hitunglah : (a) kerja yang dilakukan, (b) perubahan energi internal gas,
(c) kerapatan gas sebelum dan sesudah proses.
4.2 Udara dalam silinder berpiston mengembang dari volume, tekanan, dan
temperatur awal 0,06 3, 3 Mpa, dan 700K ke volume akhir 0,2 m 3 dan temperatur
akhir 400K menurut persamaan PV n = C . Tentukan : (a) eksponen n, (b) tekanan
akhir, (c) kerja yang dilakukan, dan (d) transfer kalor.
4.3 Satu kilogram gas ideal dengan cp = 1,042 kJ/kgK dan cV =0,743 kJ/kgK. Pada
tekanannya 350 kPa dan menempati volume 0,4 m 3, yang menjalani perubahan
keadaan sehingga tekanan dan volume udara menjadi dua kalinya. Tentukan
perubahan energi internal.
4.4 Udara pada keadaan awal 400C dan 100kPa dikompresi secara isotermal reversibel
menuju tekanan akhir 700kPa. Tentukan (a) temperatur akhir, (b) kerja yang
diperlukan tiap kilogram udara, (c) kalor yang ditransfer tiap kilogram udara.
4.5 Energi internal tiap kilogram untuk suatu gas tertentu dinyatakan oleh persamaan
u = 0,17 T + C , dengan u dalam kJ/kg, T dalam K dan c suatu konstanta. Jika gas
dipanaskan dalam bejana tegar dari temperatur 40 0C hingga 3150C. Hitunglah
kerja dan kalor tiap kilogram.

88
BAB V

HUKUM II TERMODINAMIKA

A.TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada Bab V ini akan dibahas tentang Hukum II Termodinamika. Pada Hukum
II ini akan ditunjukkan bagaimana suatu proses berlangsung secara reversibel atau
irreversibel. Tujuan pembelajaran mencakup:
1. Mahasiswa memahami pengertian proses spontan.
2. Mahasiswa memahami prinsip Hukum II Termodinamika
3. Mahasiwa memahami proses siklus Carnot
4. Mahasiswa memahami Teorema Clausius
5. Mahasiswa memahami konsep entropi
6. Mahasiwa memahami prinsip diagram T-S
7. Mahasiswa memahami hubungan antara properti termodinamika
8. Mahasiswa memahami interpretasi fisis dari entropi
9. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan Hukum II Termodinamika
dalam kehidupan sehari-hari

B. URAIAN MATERI
5.1 Proses Spontan
Proses yang terjadi secara spontan di alam berjalan menuju keadaan
setimbang. Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, kalor
mengalir dari benda panas menuju ke benda dingin, gas mengembang dari tekanan
tinggi ke tekanan rendah. Proses spontan dapat balik tetapi proses tidak akan berbalik
sendiri secaa spontan meskipun kesetimbangan energi terpenuhi. Agar proses tak
spontan itu terjadi, energi harus disuplai ke sistem. Energi dari sumber eksternal
diperlukan untuk memompa air dari tempat rendah ke tempat tinggi, seperti halnya
untuk mengkompresi gas dari tekanan rendah ke tekanan tinggi, atau untuk
mentransfer kalor dari benda dingin ke benda panas. Hal ini berarti bahwa perubahan
permanen dalam lingkungan akan terjadi.
Proses spontan dapat berjalan hanya dalam arah tertentu. Hukum
Termodinamika tidak memberi informasi tentang arah proses, hanya semata-mata

89
menyatakan bahwa ketika satu bentuk energi diubah dalam bentuk lain, jumlah energi
yang sama akan terlibat tanpa memperhatikan kemungkinan proses. Kejadian ini tidak
melanggar Hukum I, seperti transfer kalor dalam jumlah tertentu dari benda dingin ke
benda panas, tanpa pengeluaran kerja. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa proses
ini tidak mungkin, dan oleh karena itu Hukum I sendiri tidak memadai dalam
menggambarkan transfer energi secara lengkap.
Eksperimen menunjukkan bahwa ketika energi dalam bentuk kalor ditransfer
ke sistem, hanya sebagian kalor dapat dikonversi menjadi kerja. Sebaliknya,
eksperimen Joule menunjukkan bahwa ketika energi disuplai ke sistem dalam bentuk
energi, kerja dapat dikonversi menjadi kalor semuanya. Jelas bahwa kalor dan kerja
tidak dapat dipertukarkan secara sempurna melalui metode transfer energi. Kenyataan
menunjukkan bahwa proses alami diiringi oleh pembubaran energi.
Dutunjau sistem pada Gambar 5.1 (a) berikut. Mesin menerima sejumlah kalor
QH dari reservoar energi termal temperatur tinggi TH dan melakukan jumlah kerja
yang sama sebesar We, sesuai dengan Hukum I Termodinamika. Suatu pompa kalor
yang beroperasi antara reservoar temperatur rendah TL dan reservoar temperatur tinggi
TH, menerima kalor QL, memberi kalor QH dan memerlukan kerja WP. Jika pompa
dapat diatur sehingga kalor yang disuplai pompa dan kalor yang ditransfer ke mesin
sama, maka QH= QH. Reservoar temperatur tinggi menjadi tidak berguna dan dapat
dihilangkan tanpa mempengaruhi operasi keduanya, mesin dan pompa. Menurut
Hukum I energi yang diperlukan untuk melakukan kerja WP lebih kecil dari pada
interaksi kalor QH. Oleh karena itu seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1(b) mesin
yang sedang menggerakkan pompa juga dapat menggahsilkan kerja eksternal netto
sedemikian sehingga Wnet= We-WP. Dalam sistem tertutup yang dibatasi oleh titik-
titik, sejumlah kalor QL akan ditransfer dari reservoar temparatur rendah, sejumlah
kerja yang sama Wnet akan diberikan ke lingkungan.
Jika ini mungkin, maka akan memungkinkan untuk mengkonversi energi
internal benda-benda yang bertemperatur rendah di alam, seperti bumi atau lautan,
menjadi kerja yang bermanfaat. Hal ini tidak pernah dicapai dan tidak sesuai dengan
pengalaman manusia. Oleh karena itu kita harus menyimpulkan bahwa asumsi awal
kita tidak valid dan bahwa mesin yang mengambil kalor dari satu reservoar termal
tidak dapat mengkonversi semua kalor menjadi kerja. Sebaliknya, tidak ada alasan

90
dari sudut termodinamika mengapa kerja tidak dapat dikonversi secara sempurna
menjadi kalor. Dalam kenyataannya, konversi ini dengan mudah dicapai.
Hukum II Termodinamika memperlihatkan perbedaan dalam kualitas antara
bentuk-bentuk energi yang berbeda dan menjelaskan mengapa beberapa proses dapat
terjadi secara spontan, sedangkan yang lain tidak. Hal ini menunjukkan
kecenderungan perubahan dan umumnya dinyatakan sebagai ketaksamaan. Seperti
hukum alam fisika yang lain, hukum II Termodinamika telah dikonfirmasi dengan
fakta-fakta eksperimen.
Berikut ini beberapa definisi yang akan digunakan dalam pembicaraan tentang
Hukum II Termodinamika selanjutnya.
Reservoar termal: reservoar energi termal adalah suatu sistem yang cukup
besar yang dalam kesetimbangan stabil dan sejumlah kalor dapat ditransfer ke dan

Gambar 5.1 Ketakmungkinan sistem dalam satu siklus untuk mengkonversi


kalor dan satu reservoar termal menjadi kerja seluruhnya (Sears, 1982)

dari sistem tanpa mengalamai perubahan temperatur. Sebagai contoh: dalam siklus
mesin kalor, reservoar temperatur tinggi darinya kalor ditransfer (sumber kalor) dan
reservoar temperatur rendah, padanya kalor ditransfer (buangan kalor).
Mesin kalor: Mesin kalor adalah suatu sistem termodinamika yang beroperasi
dalam suatu siklus yang kepadanya kalor net ditransfer dan darinya kerja net
dihasilkan. Sistem menjalani sederetan proses yang merupakan siklus mesin-kalor.
Indeks performasi hasil kerja mesin atau mesin-kalor dinyatakan dengan
efisiensi termal yang didefinisikan sebagai rasio kerja keluaran net dengan kalor

91
masuk. Hanya sebagian kalor masukan yang dikonversi menjadi kerja,, dan
selebihnya dibuang. Gambar 5.2 menunjukkan prinsip kerja mesin-kalor.
Efisiensi termal dalam satu siklus dinyatakan
Wnet
 termal =
QH
Menurut Hukum I Termodinamika dalam satu siklus berlaku:

 dQ +  dW = 0 atau QH + QL = Wnet

maka:
Wnet QH − QL Q
 termal = = = 1− L (5.1)
QH QH QH

Gambar 5.2 Prinsip Mesin-kalor (Sears, 1982)

Keterangan:
QH : kalor yang ditransfer ke sistem dari reservoar termal temperatur tinggi
QL : kalor yang ditransfer dari sistem ke reservoar termal temperatur rendah
Wnet : kerja net yang dihasilkan

Efisiensi termal suatu siklus daya yang beroperasi antara dua reservoar termal selalu
lebih kecil dari satu. Karena hanya sebagian QH yang dapat ditransfer menjadi kerja,
sebagian kalor QL dibuang ke reservoar termal temperatur rendah.
Sebuah mesin termoelektrik mengkonversi kalor menjadi energi listrik, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.3. Mesin ini terdiri atas dua konduktor listrik yang tidak
sejenis yang dihubungkan pada dua sambungan. Apabila dua sambungan
dipertahankan pada temperatur yang berbeda, arus listrik mengalir dalam konduktor.

92
Sebuah motor listrik ditempatkan dalam rangkaian yang digunakan untuk mensuplai
kerja mekanik.
Dengan notasi yang sama dengan yang digunakan sebelumnya, efisiensi
peranti termoelektrik adalah:
Wnet W net I
= = =
QH 
QH Q H

dengan  dan I adalah potensial listrik dan arus.

Gambar 5.3 Mesin-kalor termoelektrik (Sears, 1982)

Pompa kalor adalah sistem termodinamik yang beroperasi dalam suatu siklus
yang memindahkan kalor dari benda bertemperatur rendah dan memberikan kalor
pada benda yang bertemperatur tinggi. Untuk melakukan hal ini, pompa kalor
menerima energi eksternal dalam bentuk kerja. Sistem atau benda kerja menjalani
sederetan proses yang merupakan siklus pompa-kalor.
Pompa kalor dapat digunakan sebagai almari es (refrigerator) yang berfungsi
mentransfer kalor dari sistem bertemperatur rendah. Dalam sistem pemanas
menggunakan pompa kalor yang berfungsi mentransfer kalor ke sistem bertemperatur
tinggi.
Indeks performasi almari es atau pompa kalor dalam siklus dinyatakan seba-
gai koefisien performasi . Prinsip kerja pompa-kalor ditunjukkan pada Gambar 5.4.

93
Gambar 5.4 Prinsip pompa-kalor
Keterangan:
QH : kalor yang ditransfer dari sistem ke reservoar termal temperatur tinggi
QL : kalor yang ditransfer ke sistem dari reservoar termal temperatur rendah
Wnet : kerja net yang diperlukan sistem.

Menurut Hukum I Termodinamika dalam satu siklus berlaku:

 dQ +  dW = 0 atau QH − QL = Wnet

Oleh karena itu, koefisien performasi almari es dalam satu siklus:


QL QL
 ref = = (5.2)
Wnet QH − QL
dan untuk pompa kalor:
QH QH
 pompa kalor = = = 1 +  ref (5.3)
Wnet QH − QL

5.2 Hukum II Termodinamika


Ada sejumlah pernyataan tentang Hukum II Termodinamika. Dalam bagian ini
membahas dua pernyataan yang sering digunakan dalam termodinamika klasik:
pernyataan Kelvin-Planck dan pernyataan Clausius. Masing-masing pernyataan
melibatkan penggunaan proses siklus. Yang pertama, meninjau tentang transformasi
kalor menjadi kerja. Yang kedua, meninjau tentang transfer kalor antara dua reservoar
termal.
Pernyataan Kelvin-Planck: tidak mungkin membangun suatu peranti yang
beroperasi secara terus menerus (dalam suatu siklus) akan menghasilkan selain dari

94
transfer kalor dari reservoar termal tunggal dan memberikan kerja dalam jumlah yang
sama. Pernyataan ini berarti bahwa hanya sebagian kalor yang ditransfer ke siklus dari
reservoar temperatur tinggi dapat dikonversi menjadi kerja, sebagian harus dibuang ke
reservoar temperatur rendah. Oleh karena itu agar mesin-kalor dapat beroperasi paling
tidak diperlukan dua reservoar termal bertemperatur berbeda. Lebih jauh
pernyataanitu berarti bahwa tidak ada siklus daya yang mempunyai efisiensi 100%.
Kata “terus-menerus” dalam pernyataan Kelvin-Planck, mempunyai implikasi
penting. Ditinjau proses ekspansi isotermal gas ideal dalam susunan silinder-berpiston
sebagai hasil interaksi kalor. Karena energi internal cenderung konstan, menurut
Hukum I transfer kalor dapat dikonversi seluruhnya menjadi kalor. Gerakan piston
hasil dari kenaikkan volume dan penurunan tekanan gas. Proses akan terus menerus
hingga tekanan gas sama dengan lingkungan, dan kerja tidak dapat dihasilkan. Contoh
ini menunjukkan bahwa konversi kalor menjadi kerja secara terus menerus
memerlukan proses bersiklus.
Pernyataan Clausius: tidak mungkin membangun suatu yang beroperasi secara
terus menerus, akan menghasilkan dari pada transfer kalor dari benda temperatur
rendah ke benda bertemperatur tinggi. Pernyataan ini berarti bahwa mentransfer kalor
dari benda dingin ke benda yang panas.
Meskipun pernyataan Kelvin-Planck dan Clausius tampak tidak berhubungan,
tetapi keduanya setara. Pelanggaran pada salah satu pernyataan membawa
pelanggaran pada yang lain.
Kita menganggap mesin-kalor pada Gambar 5.5 melanggar pernyataan Kelvin-
Planck, karena menyerap kalor dari satu reservoar dan menghasilkan jumlah kerja
yang sama. Kerja keluaran mesin digunakan untuk menggerakkan pompa kalor yang
mentransfer sejumlah kalor QL dari reservoar rendah dan sejumlah kalor (QH +QL)
ditransfer ke reservoar temperatur tinggi tanpa ada kerja eksternal. Hal ini tentu saja
melanggar pernyataan Clausius.

95
Gambar 5.5 Kesetaraan Kelvin-Planck dan Pernyataan Clausius (Saers, 1982)

Untuk membuktikan bahwa pelanggaran pernyataan Clausius berdampak pada


pelanggaran pernyataan Kelvin-Planck, ditinjau sebuah pompa kalor yang melanggar
pernyataan Clausius. Gambar 5.6 menunjukkan sebuah pompa kalor yang tidak
memerlukan kerja dan mentransfer sejumlah kalor QL dari reservoar bertemperatur
rendah ke reservoar bertemperatur tinggi. Misalnya sejumlah kalor QH lebih besar dari
pada QL ditransfer dari reservoar bertemperatur tinggi ke mesin kalor yang
menghasilkan kerja net W = QH – QL dan membuang QL ke reservoar temperatur
rendah. Karena tidak ada interaksi kalor net dengan reservoar temperatur rendah maka
reservoar ini dapat dihilangkan. Sistem gabungan mesin-kalor dan pompa kalor
bertindak seperti sebuah mesin kalor yang sedang bertukar kalor dengan satu
reservoar, hal ini melanggar pernyataan Kelvin-Planck.

Gambar 5.6 Kesetaraan pernyataan Clausius dan pernyataan Kelvin-Planck (Sears, 1982)

96
5.3 Siklus Carnot
Siklus Carnot terdiri atas dua proses isotermal reversibel dan dua proses
adiabatik reversibel. Karena semua proses secara individual reversibel maka siklus
Carnot secara keseluruhan merupakan siklus reversibel. Pada Gambar 5.7 ditunjukkan
sistem yang menjalani siklus Carnot dengan cara berikut:
(a) Selama proses 1-2 kalor ditransfer secara isotermal reversibel ke benda kerja dan
reservoar temperatur tinggi TH. Proses ini membawa sistem bersentuhan dengan
reservoar termal yang mempunyai temperatur sama atau lebih besar sedikit dari
pada benda kerja. Selama proses ini sisem melakukan kerja yang sama dengan
luasan dibawah lintasan 1-2 pada diagram p-V.
(b) Proses 2-3 adalah proses ekspansi adiabatik reservibel, selama proses ini sistem
terisolasi secara termal dan temperatur benda kerja turun dari temperatur tinggi TH
menjadi temperatur rendah TL . Dalam proses ini sistem melakukan kerja yang
ditunjukkan oleh luasan dibawah lintasan 2-3.
(c) Selama proses 3-4, sistem bersentuhan dengan reservoar temperatur rendah, dan
kalor ditransfer dari benda kerja ke reservoar temperatur rendah. Proses ini
mensyaratkan temperatur benda kerja sama atau lebih tinggi sedikit dari pada
reservoar temperatur rendah. Kerja dilakukan pada sistem selama proses isotermal
ini sama dengan luasan di bawah lintasan 3-4.
(d) Proses akhir 4-1 adalah proses adiabatik reversibel dan benda kerja kembali ke
keadaan awalnya 1. Selama proses ini temperatur benda kerja naik dan temperatur
rendah TL ke temperatur awal TH. Kerja yang dilakukan pada sistem selama proses
ini ditunjukkan oleh luasan di bawah lintasan 4-1.

Gambar 5.7 Diagram Siklus Carnot (Sears, 1982)

97
Karena sejumlah kalor QH ditransfer ke benda kerja pada temperatur tinggi
sedangkan QL ditransfer dari benda kerja pada temperatur rendah, transfer kalor net
QH – QL yang sama dengan kerja keluaran net dalam satu siklus. Kerja net ini
ditunjukkan oleh luasan tertutup 1-2-3-4-1 pada diagram p-V dan sama dengan

 pdV .
Efisiensi termal siklus dinyatakan:

Wnet  pdV QH − QL
 th = = = (5.4)
QH QH QH
Jika siklus Carnot untuk mesin-kalor arahnya dibalik, besarnya semua energi
yang ditransfer cenderung sama tetapi tandanya berubah. Hal ini menghasilkan siklus
Carnot untuk almari es atau pompa kalor.
Untuk almari es, koefisien performasi dalam satu siklus adalah:
QL QL QL
 ref = = = (5.5)
Wnet −  pdV QH − QL

Contoh 5.1
Suatu siklus daya Carnot menggunakan udara sebagai fluida kerja mempunyai
efisiensi termal 40%. Dimulai proses ekspansi isotermal pada tekanan 620 kPa,
volume spesifik udara 0,1 m3/kg. Jika kalor masuk ke siklus 50 kJ/kg. Tentukan:
(a) Temperatur tertinggi dan terendah pada siklus itu.
(b) Interaksi kerja dan kalor tiap satuan massa pada masing-masing proses
pada siklus itu.
Penyelesaian:
(a) Mengacu Gambar 5.7

Siklus Carnot

98
Temperatur tertinggi dalam siklus TH dapat ditentukan dari persamaan gas ideal:
p1V1 (620kPa)(0,1m3 / kg)
T1 = = = 216,028K
R 0,287kJ/kgK
Efisiensi termal siklus Carnot
Wnet TL
 th = = 1−
q 3− 4 TH

Wnet
0,4 = ; Wnet = 20kJ/kg
50
dan q3−4 = −30kJ/kg

TL TL
0,4 = 1 − = 1−
TH 216,028

TL = 129,617K
(b)Menggunakan Hukum I untuk menganalisis setiap proses
Proses 1-2
q1− 2 + W1−2 = 0 atau Q1− 2 = −W1−2 = +50kJ/kg
Proses 2-3
q 2 −3 = 0 dan W2−3 = U 3 − U 2

= CV (T3 − T2 )
= (0,7165kJ/kgK)(12 9,617 - 216,028)K
= -61,914kJ/kg
Proses 3-4:
q3−4 + W3−4 = 0 q3−4 = −W3−4 = −30kJ/kg
Proses 4-1:
q 4−1 = 0 dan W4−1 = U 1 − U 4

= CV (T1 − T4 )
= (07165kJ/kgK)(86,411)K
=61,914 kJ/kg

5.4 Teorema Clausius


Ditinjau suatu sistem yang menjalani proses reversibel a-b, seperti ditunjuk-kan pada
diagram p-V pada Gambar 5.8. Perubahan keadaan yang sama dari sistem dan

99
lingkungan dapat dicapai jika proses a-b digantikan oleh proses adiabatik a-c,
proses isotermal c-d dan proses adiabatik d-b, dengan membuktikan bahwa luas
a-c-0-a dan luas 0-d-b-0 sama. Validitas pernyataan ini terbukti jika interaksi
kalor dan kerja (keduanya) selama proses a-b dan a-c-d-b adalah sama. Pada
siklus a-c-d-b-a, interaksi kalor ada selama proses a-b dan c-d, karena proses a-c
dan b-d adiabatik. Demikian juga interaksi kerja dalam siklus itu nol, karena luas
a-c-0-a dan 0-b-d-0 adalah sama oleh karena itu:
Qa −b = Qc −d
Karena proses a-c dan b-d adiabatik:
Qa −b = Qa − c − d −b

Subtitusi Qa −b dan Qc − d dalam Hukum I memberikan

Eb − Ea − Wa−b = Eb − Ea − Wa −c−d −b

Wa−b = Wa −c−d −b
Proses reversibel a-b dapat digantikan oleh sederetan proses reversibel yang terdiri
atas adiabatik, isotermal dan adiabatik. Sedemikian hingga interaksi kalor selama
proses isotermal sama dengan interaksi kalor selama proses a-b.

Gambar 5.8 Penggantian proses reversibel dengan dua proses adibatik dan satu proses isotermal
(Sears, 1982)

Selanjutnya ditinjau suatu sistem yang dispesifikan dengan dua variabel tak
gayut, menjalani siklus reversibel seperti ditunjukkan pada diagram p-V pada Gambar
5.9.

100
Gambar 5.9 Suatu siklus reversibel dapat dibagi menjadi sejumlha besar siklus carnot (Sears,
1982)

Siklus dibagi menjadi sekelompok proses adiabatik reversibel, dan setiap dua
adiabatik dihubungkan oleh dua proses isotermal reversibel sehingga kalor yang
ditransfer selama semua proses isotermal sama dengan kalor yang ditransfer selama
siklus aslinya. Karena tidak ada dua adiabatik yang saling memotong satu dengan
yang lain, maka siklus dapat dibagi menjadi sejumlah besar siklus-siklus Carnot yang
memberikan sejumlah kerja yang sama dengan siklus aslinya. Jika besar dan arah
interaksi kalor dipertimbangkan maka untuk siklus Carnot pertama berlaku:
dQH dQ dQH dQL
=− L atau + =0
TH TL TH TL
Hal serupa untuk sikslus kedua
dQH dQL
+ =0 , dan seterusnya.
TH TL
Penjumlahan untuk semua siklus Carnot memberikan:
dQH dQL dQH dQL
+ + + + = 0
TH TL TH TL
dQ
atau R T
=0

subkrip R menyatakan siklus reversibel.

101
Penjumlahan aljabar kuantitas dQ / T dalam satu siklus lenyap, yang berarti
bahwa ( dQ / T )rev merupakan properti sistem. Properti ini disebut entropi yang akan
dibahas kemudian.
Untuk siklus yang irreversibel berlaku:
dQ
I T
0

subskrip I menyatakan siklus irreversibel dan T temperatur reservoar termal. Secara


umum kita dapat menulis untuk suatu siklus:
dQ
T reservoar
0 (5.6)

Persamaan (4.6) disebut “ketaksamaan Clausius” yang menyatakan bahwa ketika


suatu sistem menjalani satu siklus sempurna, integral dQ / Tres untuk satu siklus lebih

kecil atau sama dengan nol. Tanda kesamaan untuk siklus reversibel sedangkan tanda
ketaksamaan untuk siklus irreversibel.

Contoh 5.2
Buktikan bahwa siklus uap spserti pada Gambar 5.10 berikut apakah konsisten dengan
teorema Clausius dan memenuhi syarat siklus reversibel. Diketahui transfer kalor ke
ketel uap (pada Tav = 2000C) = 2600 kJ/kg. Kalor yang dibuang dari pengembun (pada
T2 = 500C) = 2263 kJ/kg. Turbin dan pompa adiabatik

Gambar 5.10 Siklus Mesin Uap (Sonntag, 1998)

102
Penyelesaian:
Karena interaksi kalor hanya ada pada ketel uap dan pengembun, dan temperatur tetap
pada keduanya maka:
dQ 2600kJ/kg 2260kJ/g
 T
=
473,15K

323,15K
= (5,495-6,994)kJ/gK
= -1,499 kJ/gK
Karena hasilnya negatif, siklus ini adalah siklus irreversibel berdasarkan ketaksamaan
Clausius.

5.5 Entropi
Hukum kekekalan energi dikembangkan pertama kali untuk suatu siklus dan
dengan mengenalkan adanya properti sistem yaitu energi internal dan kemudian dapat
diaplikasikan untuk suatu proses. Perkembangan hukum II juga mengikuti pola yang
sama, pertama kali ditinjau untuk suatu siklus dan kemudian dikembangkan untuk
suatu proses dengan mengenalkan suatu properti sistem yaitu entropi. Pada tahun
1854 Clausius mencoba mengaplikasikan hukum II dengan cara kuantitatif. Untuk
melalkukan hal ini, dia mengenalkan fungsi matematik yang disebut entropi. Entropi
merupakan suatu metode yang didasarkan pada perhitungan untuk mengidentifikasi
arah dari proses spontan dan menjelaskan mengapa suatu transformasi energi tertentu
tidak dimungkinkan. Kelvin mengemukakan konsep entropi semesta, apabila proses
spontan terjadi di alam, entropi alam secara terus menerus naik.
Pada Gambar 5.11 ditunjukkan dua keadaan setimbang 1 dan 2. Keduanya
dihubungkan oleh dua proses reversibel a dan b. Jika arah proses b dibalik, maka
terbentuk siklus reversibel 1-a-2-b-1. Dengan menerapkan teorema Clausius untuk
siklus ini diperoleh:
dQ
R T
=0

Integral siklis dapat dinyatakan sebagai jumlah dua integral, pertama sepanjang proses
a dan kedua sepanjang proses b:
2 1
dQ dQ dQ
R T = 1(a ) T + 2(b) T = 0

103
2 1
dQ dQ

1( a )
T
=− 
2(b )
T

Karena proses b reversibel batas integral dapat dibalik dan diperoleh:


2 2
dQ dQ

1( a )
T
= 
1( b )
T

Tidak ada pembatasan yang ditentukan pada proses a dan b, kecuali bahwa
kedua proses itu harus reversibel. Akibatnya pernyataan  (dQ / T ) rev antara dua

keadaan tak gayut pada lintasan dan oleh karena itu merupakan suatu properti.
Properti ini disebut “entropi S” dan didefinisikan dengan persamaan:
 dQ 
dS    (5.7)
 T  rev

Gambar 5.11 Siklus Reversibel (Sonntag. 1998)

Metode pendefinisian entropi ini analog dengan metode pendefinisian energi total E.
Kedua persamaan ini menunjukkan perbedaan properti antara dua keadaan sistem,
tetapi keduanya tidak memberikan suatu ukuran energi absolut atau entropi absolut.
Junlah interaksi kerja atau interaksi kalor dalam suatu proses yang menghu-
bungkan dua keadaan tertentu gayut pada bagaimana proses itu dibawa. Sebaliknya
perubahan entropi dan perubahan energi total adalah invarian.
Yang harus dicatat bahwa perubahan entropi dapat dihitung dengan menggu-
nakan persamaan (5.7) untuk proses yang reversibel. Perubahan entropi untuk proses
irreversibel dapat dihitung dengan menentukan suatu proses reversibel (sederetan
proses reversibel) antara keadaan awal dan keadaan akhir ssitem. Karena entropi

104
adalah suatu properti, dan keadaan akhir kedua proses reversibel dan irreversibel
identik maka perubahanentropi kedua proses tersebut akan sama.
Selanjutnya ditinjau suatu proses reversibel sepanjang lintasan a, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.12. Siklus dilengkapi dengan proses irreversibel 2-1
sepanjang lintasan b, sehingga proses 1-a-2 dan 2-b-1 bersama-sama membentuk
siklus irreversibel. Perubahan entropi net ketika sistem berubah dari keadaan 1 ke
keadaan 2 dan kembali ke keadaan 1 adalah nol atau:
2 1

 dS +  dS = 0
1( a ) 2(b )

Catatan, jika interaksi kalor selama proses reversibel menghasilkan kenaikan entropi,

Gambar 5.12 Perubahan entropi untuk dua keadaan yang sama


dari proses reversibel dan irreversibel (Sonntag, 1982)

kalor harus dibuang selama proses irreversibel untuk menurunkan entropi sedemikian
hingga perubahan entropi total nol menurut persamaan tersebut. Ketaksamaan
Clausius memberikan:
2 1
dQ dQ

1( a )
+ 
T 2(b ) Tling
0

karena lintasan a reversibel,


2 2 1
dQ
 dS = 
1( a ) 1( a )
T
= −  dS
2(b )

maka
1 1
dQ
−  dS +
2(b )
 T
2 ( b ) ling
0

105
1 1
dQ
 dS 
2(b )
 T
2 ( b ) ling

Jadi proses b reversibel, tanda persamaan akan menggantikan tanda ketaksamaan/


Oleh karena itu bentuk umum persamaan itu dapat dipandang sebagai pernyataan
hukum II Termodinamika untuk sistem.
2 2
dQ
1 dS   T
(5.8)
 
1
Perubahan entropi (properti) Transfer entropi (bukan properti)

Tanda kesamaan untuk proses reversibel sedangkan tanda ketaksamaan untuk proses
irreversibel. Temperatur T pada persamaan (5.8) adalah temperatur sistem untuk
proses reversibel dan merupakan temperatur lingkungan (pada batas sistem) apabila
prosesnya irreversibel.
Untuk proses irreversibel,
dQirr  Tling dSsistem

dengan dQirr adalah interaksi kalor dengan sistem, dan Tling adalah temperatur

lingkungan. Meskipun perubahan entropi antara dua keadaan adalah sama untuk
sebarang proses reversibel atau bukan, transfer kalor ke sistem lebih sedikit (akan
lebih besar jika kalor ditransfer dari sistem) untuk lintasan irreversibel daripada
reversibel. Hal ini berarti untuk kedua proses ini tidak akan menyebabkan perubahan
keadaan yang sama pada lingkungan.
Untuk sistem terisolasi yang tidak melibatkan interaksi kalor atau kerja dengan
lingkungan, energi total dari semua keadaan yang mungkin cenderung konstan.
Hukum II untuk keadaan semacam itu memungkinkan kenaikkan entropi atau entropi
tetap tidak berubah. Maka menurut persamaan (5.8), dan dQ = 0 , diperoleh:
dSterisolasi  0 (5.9)

Persamaan (4.9) disebut prinsip kenaikan entropi yang bisa dipandang sebagai
versi lain dari hukum II Termodinamika. Mengikuti prinsip kenaikan entropi semesta
(dianggap sebagai sistem terisolasi) selalu naik, dan untuk proses alami semacam itu:
S semests = S sis + S ling  0 (5.10)

Untuk proses reversibel:

106
Q
S sis =  
 T  rev

Q
S ling = − 
 T  rev
Sehingga perubahan entropi semesta untuk proses reversibel:
S semesta = 0 (proses reversibel)

Tetapi untuk proses irreversibel, S sis  Q / Tling . Dalam hal ini perubahan entropi

sistem dan lingkungan secara individual dapat naik, turun atau tetap. Perubahan
entropi total atau entropi semesta tidak bisa negatif, untuk proses sebarang dapat
dinyatakan:
S semesta = S sis + S ling

Q
= S sis − 0 (5.11)
Tling

Perubahan entropi semesta nol untuk proses reversibel dan positif untuk proses
irreversibel.
Ditinjau suatu contoh proses ekspansi bebas dari gas ideal seperti pada
Gambar 5.13 berikut.

Gambar 5.13 Proses ekspansi bebas gas ideal (Sonntag, 1998)

Apabila diafragma dipindah (dihilangkan) gas kerekspansi dan menempati seluruh


volume. Selama proses ini, W = 0, Q = 0 dan menurut hukum I U = 0 . Untuk
menghitung entropinya, proses irreversibel itu digantikan oleh proses reversibel yang
menghubungkan keadaan awal dan keadaan akhir sistem. Karena temperatur awal dan
temperatur akhir sistem sama, dipilih suatu proses isotermal reversibel untuk
mengekspansikan sistem dari keadaan awal ke keadaan akhir yang sama pada proses
irreversibel. Hal ini dapat diselesaikan dengan membiarkan sistem melakukan kerja

107
pada sistem hingga keadaan akhir dicapai. Untuk mempertahankan keadaan isotermal,
kalor harus ditransfer ke sistem. Karena temperatur konstan,
U = 0
v2
V2
dan Qrev = −Wrev =  pdV = mRT ln V
v1 1

Perubahan entropi untuk proses reversibel:


Q V
S =   = mRT ln 2
 T  rev V1
yang sama untuk proses irreversibel.

5.6 Diagram T-S


Pemilihan temperatur dan entropi sebagai dua parameter untuk menggambar-
kan suatu sistem termodinamik mempunyai sejumlah keuntungan. Pada diagram T-S,
proses isoterm digambarkan dengan garis horisontal sedangkan proses adiabatik
dengan garis vertikal. Untuk proses reversibel interaksi kalor dinyatakan sebagai:
dQrev = TdS

Jumlah kalor dQrev ditunjukkan oleh luasan yang diarsir dengan tinggi T dan lebar dS

di bawah lintasan seperti pada Gambar 5.14 berikut.

Gambar 5.14 Diagram T-S (Sears. 1982)

Jumlah total kalor selama proses 1-2 sama dengan integral TdS antara keadaan1dan 2.
2
Qrev =  TdS
1

dan ditunjukkan oleh luasan a-1-2-b-a pada diagram T-S. Hal ini benar hanya jika
proses 1-2 adalah reversibel dan ditunjukkan oleh kurva kontinyu. Jika prosesnya

108
irreversibel, pada umumnya ditunjukkan oleh garis putus-putus, dan luasan dibawah
lintasan proses irreversibel lebih besar daripada jumlah interaksi kalor.
Proses entropi konstan disebut proses isentropik dan ditunjukkan oleh garis
vertikal pada diagram T-S. Untuk proses adiabatik reversibel dQrev = 0 , dan karena

dS = (dQ / T ) rev maka dS = 0 . Oleh karena itu proses adiabatik reversibel merupakan
proses isentropik.
Pada Gambar 4.18, ditunjukkan diagram T-S dari siklus Carnot. Proses 1-2
adalah proses isotermal reversibel, selama proses ini kalor ditransfer ke sistem pada
temperatur konstan. Perubahan entropinya dinyatakan:

 dQ 
2
Q
S 2 − S1 =    = H
1
T  rev TH
Kalor yang ditransfer ke sistem Q1-2 ditunjukkan oleh luas 1-2-b-a-1. Proses 2-3
adalah proses adiabatik (isentropik), selama proses ini entropi sistem konstan. Proses
3-4 adalah pemampatan isotermal reversibel. Selama proses ini kalor ditransfer dari
sistem pada temperatur konstan. Perubahan entropinya dinyatakan:

 dQ 
4
Q
S 4 − S3 =    = L
3
T  rev TL

Kalor buangan Q3-4 ditunjukkan oleh luas 3-4-a-b-3. Kenaikan entropi sistem selama
proses 1-2 sama dengan penurunan entropi selama proses 3-4. Proses akhir 4-1
merupakan proses isentropik yang mengembalikan sistem ke keadaan awalnya dan
menempuh satu siklus.
Hukum I diterapkan pada suatu siklus memberikan:

 dQ +  dW = 0
Artinya interaksi kalor net selama satu siklus sama dengan kerja keluaran net. Karena
masing-masing proses reversibel

 TdS =  pdV
Oleh karena itu kalor net atau kerja net dalam satu siklus sama dengan kerja luas 1-2-
3-4-1 pada diagram p-V Gambar 5.15.
Efisiensi termal siklus, dinyatakan dalam luasan adalah:
Wsiklus luas (1 - 2 - 3 - 4 - 1)
= =
Q1− 2 luas(1 - 2 - b - a - 1)

109
(TH − TL )( S 2 − S1 ) T
= = 1− L
TH ( S 2 − S1 ) TH

Gambar 5.15 Siklus Carnot pada diagram T-S (Zemansky, 1981)

5.7 Hubungan Antara Properti Termodinamik


Ditinjau suatu sistem yang menjalani proses reversibel. Selama proses itu ada
interaksi kalor dan kerja. Maka menurut Hukum I:
dQrev + dWrev = dU (5.12)

Pensubtitusian dQrev = TdS dan dWrev = − pdV diperoleh:

TdS = dU + pdV (5.13)


Deferensial entalpi:
dH = dU + pdV + Vdp
Apabila disubtitusikan pada persamaan (5.13) diperoleh:
TdS = dH − Vdp (5.14)
persamaan (5.13) dan (5.14) disebut persamaan TdS. Keduanya merupakan hubungan
termodinamik mendasar yang menggabungkan hukum I dan hukum II menjadi satu
persamaan tunggal.
Meskipun persamaan sebelumnya telah diturunkan untuk proses reversibel,
tetapi semuanya valid untuk proses reversibel atau tidak sebab persamaan itu
menyatakan hubungan antara properti-properti sistem.
Persamaan (5.13) dan (5.14) dapat ditulis untuk tiap satuan massa:
Tds = du + pdv
Tds = dh − pdv

110
Untuk gas ideal, pv = RT , du = c v dT , dan dh = c p dT . Bila digabung dengan dua

persamaan di atas, perbedaan entropi untuk tiap satuan massa:


dT p dT dv
ds = cv + dv = cv +R
T T T v
dT v dT dp
ds = c p − dp = c p −R
T T T p
Dengan asumsi c v dan c p konstan, integrasi dua persamaan disebut untuk keadaan 1

dan 2 diperoleh:
T2 v
S 2 − S1 = cv ln + R ln 2 (5.15)
T1 v1

T2 p
S 2 − S1 = c p ln − R ln 2 (5.16)
T1 p1

Jika c v dan c p fungsi temperatur sebagaimana pada gas ideal, perlu untuk menyatakan

c v dan c p dalam T sebelum mengintegrasi persamaan (5.15) dan (5.16).

Entropi sebagai properti termodinamik dapat digunakan sebagai salah satu


parameter untuk mendefinisikan keadaan sistem. Entropi dapat dinyatakan sebagai
fungsi dua variabel tak gayut, seperti tekanan, volume, temperatur dan energi internal.
Oleh karena itu dapat dinyatakan:
s = s(u, v)
= s(T , p) (5.17)
= s ( p, v )
Apabila kita tinjau persamaan pertama, dS dapat dinyatakan sebagai:
 S   S 
dS =   du +   dv
 u  v  v  u
Tetapi
1  p
dS =   du +   dv
T  T 
Karena u dan v variabel tak gayut, maka koefisien du dan dv pada kedua persamaan
tersebut dapat disamakan:
 S  1
  = (5.18)
 u  v T

111
 S  p
  = (5.19)
 v  u T
Karena (S / u ) v dan (S / v) u dinyatakan dalam properti (p dan T) maka keduanya

juga merupakan properti. (S / u ) v menyatakan kemiringan garis volume-konstan

pada diagram s-u yang sama dengan 1/T. (S / v) u menyatakan kemiringan garis

energi internal-konstan pada diagram s-v yang sama dengan p/T.


Untuk bahan yang inkompresibel (tak termampatkan) volume spesifiknya
konstan dan kalor jenisnya hanya gayut pada temperatur. Sehingga dapat dinyatakan:
du cdT
dS = =
T T
Jika kalor jenis dianggap konstan, integrasinya menghasilkan:
T2
S 2 − S1 = c ln (5.20)
T1
Untuk proses isentropik dari bahan tak termampatkan, temperatur cenderung konstan.

Contoh 5.3
Dua kilogram air pada 900C dicampur dengan 3 kg air pada 100C dalam sistem
terisolasi. Hitunglah perubahan entropi campuran tersebut. Kalor jenis air 4,18
kJ/kgK.
Penyelesaian:
Mengacu pada sistem terisolasi seperti pada Gambar 5.16. Tidak ada interaksi kalor
dan kerja dengan lingkungan. Oleh karena itu dari Hukum I perubahan energi internal
sistem nol. atau:
m1c(T f − Ti ) + m2 c(T f − T2 ) = 0

c kalor jenis air, Tf temperatur akhir.


2 c (Tf – 90) + 3 c (Tf –10) = 0
180 + 30 210
Tf = = = 42 0 C
5 5

112
Gambar 5.16 Sistem Terisolasi

Perubahan entropi total sistem adalah jumlah dari perubahan entropi komponen-
komponennya.
S = S1 + S 2

 Tf  T 
= m1c ln  + m2 c ln f  ; untuk c konstan
 T1   T2 
(42 + 273,15)
S = (2kg)(4,18 kJ/kg K) ln +
(90 + 273,15)
(42 + 273,15)
(3kg)(4,18 kJ/kg K) ln
(10 + 273,15)
= - 1,1852 + 1,3427
= 0,1575 kJ/K

Entropi benda dingin naik, sedangkan entropi benda panas turun. Terdapat kenaikan
entropi total meskipun tanpa interaksi kalor. Hal ini merupakan kriteria proses
iireversibel. Oleh karena itu proses pencampuran adalah irreversibel.

5.8 Interpretasi fisis dari entropi


Jumlah kalor dQ yang ditransfer ke sistem yang beroperasi dalam satu siklus,
hanya sebagian kalor saja yang disediakan untuk kerja. Bagian ini disebut energi yang
tersedia.
Ditinjau suatu siklus daya reversibel yang beroperasi antara dua reservoar
termal. Misalkan T0 dan T masing-masing temperatur absolut reservoar temperatur
rendah dan tinggi. Efisiensi siklus itu (1 − T0 / T ) ; kerja yang dilakukan adalah

perkalian efisiensi dengan kalor masukan. Oleh karena itu energi yang tersedia
dinyatakan:

113
energi yang tersedia  dQ(1 − T0 / T ) (5.21)

Tanda kesamaan untuk proses reversibel, sedangkan ketaksamaan untuk proses


irreversibel. Ketika kalor dQ ditransfer secara reversibel ke suatu mesin, sedikit
energi ini yang tak tersedia untuk kerja yaitu sejumlah dQ (T0 / T ) . Karena dQ / T

menyatakan kenaikan entropi pada proses reversibel, maka:


Energi yang tersedia = T0 dS (5.22)

Ketika irreversibilitas terjadi dalam suatu proses, entropi sistem naik dan hanya
sedikit energi yang tersedia untuk kerja. Hal ini berarti bahwa perubahan entropi dapat
digunakan untuk menggambarkan secara kuantitatif perubahan jumlah energi yang
tersedia.
Ada kecenderungan semua sistem fisis berjalan ke keadaan yang teratur. Hal
ini memberi kesan bahwa entropi dapat dipandang sebagai ukuran ketidakteraturan
sistem atau kerambangan gerakan partikel-partikel mikroskopiknya. Ditinjau transfer
kalor ke sistem homogen. Sebagaimana temperatur sistem naik, molekul-molekul
sistem bergerak dengan cara yang lebih bervariasi. Variasi gerakan partikel antara
lain; vibrasi, rotasi, translasi, elektronik dan ragam yang lain. Sebaliknya, transfer
kalor dari sistem menurunkan ketakteraturan molekul. Ketidakteraturan molekul
semesta secara terus menerus naik (meningkat) untuk proses-proses alam yang
irreversibel sehingga hukum II termodinamika kadang-kadang disebut “Hukum
Kenaikan Ketidakteraturan”.
Dari sudut pandang probabilitas, suatu sistem sedikit kemungkinan berada
pada keadaan yang teratur dari pada keadaan yang tidak teratur. Perubahan spontan di
alam berjalan dari keadaan dengan peluang kecil ke keadaan dengan peluang lebih
besar. Pada kesetimbangan termodinamik, derajad ketakteraturan molekul maksimum
dan keadaan sistem adalah keadaan dengan peluang terbesar. Karena itu, entropi
menjadi fungsi ketakteraturan molekular, yang dapat digunakan untuk mengukur
probabilitas statistik dan makrostate sistem.
Pada sistem terisolasi, entropi sistem dapat naik atau tetap sama, tetapi tidak
pernah turun:
dSterisolasi  0 (5.23)

114
Sistem terisolasi cenderung mendekati keteraturan yang sempurna. Ketika kesetim-
bangan tercapai, tidak ada perubahan properti-properti sistem yang teramati, dan
sistem dalam keadaan yang berhubungan dengan makrostate dengan peluang
maksimum.
Makna peluang termodinamik dapat diklarifikasi melalui ilustrasi berikut.
Ditinjau proses ekspansi bebas gas volume Va ke ruang hampa. Misalnya volume total
setelah ekspansi Vb. Jika peluang dinyatakan dengan W, peluang molekul gas
ditemukan dalam volume Vb adalah satu atau Wb = 1. Peluang gas ditemukan dalam
volume Va adalah sebanding dengan rasio dua volume itu, sehingga Wa = Va /Vb .
Ketika sejumlah kejadian yang saling bebas ditinjau, peluang kejadian-kejadian itu
terjadi secara serempak adalah hasil kali dari peluang individual. Karena itu, untuk N
molekul, peluang semua molekul gas terletak di Va pada waktu tertentu adalah
(Va/Vb)N sehingga:
N
Wa  Va 
=  (5.24)
Wb  Vb 

Boltzmann menyatakan bahwa ada hubungan antara peluang dan entropi. Dari
sudut pandang probabilitas, keadaan setimbang adalah keadaan dengan peluang
terbesar. Dari sudut pandang termodinamik klasik, keadaan setimbang menyatakan
keadaan dengan entropi maksimum. Selama proses irreversibel, peluang termo-
dinamik dan entropi sistem naik. Entropi merupakan penjumlahan properti sedangkan
peluang termodinamik merupakan perkalian properti. Oleh karena itu Boltzmann
menyatakan:
S = k ln W (5.25)
dengan k = R / N a adalah konstanta Boltzmann, dan Na bilangan Avogadro. Ditinjau

suatu sistem yang dibangun dari sejumlah bagian, masing-masing memiliki energi,
volume dan komposisi tertentu. Entropi sistem semacam itu sama dengan jumlah
entropi masing-asing komponennya:
S = S1 + S 2 + 
Peluang termodinamik keadaan sistem sama dengan hasil kali peluang komponen-
komponen sistem
W = W1W2 

115
Entropi sistem menurut persamaan (5.25) adalah:
S = S1 + S 2 +  = k ln W1 + k ln W2 +  = k ln W

Selanjutnya marilah kita kembali pada contoh gas ideal yang menjalani
ekspansi bebas. Perubahan deferensial entropi:
dT dV
dS = mcv + mR
T V
Karena temperatur tidak berubah, integrasi persamaan itu menghasilkan:
Vb R Vb W
S b − S a = mR ln =N ln = k ln ln b (5.26)
Va N a Va Wa
Keadaan akhir proses memiliki peluang lebih besar daripada keadaan awalnya.
Menurut hukum I dan hukum II Termodinamika, energi semesta adalah
konstan, tetapi entropi naik secara terus menerus. Dapatkah entropi semesta naik
untuk jangka waktu yang tak terbatas? Atau adakah kemungkinan entropi semesta
maksimum? Jika batasan-batasan semacam itu ada, kapankah semua itu dapat
dicapai? Karena semua proses nyata disertai oleh kenaikan entropi, kualitas energi
yang tersedia untuk umat manusia turun secara terus menerus. Pada suatu saat di masa
datang tidak banyak energi yang tersedia untuk digunakan. Pada saat itu entropi
semesta akan berada dimaksimumnya, ketakteraturan dan keteraturan secaran
sempurna berlaku. Keadaan semesta pada saat itu semua materi akan berada pada
tingkat temperatur yang sama. Menurut Clausius semesta akan mencapai keadaan
“Thermal death”. Tidak ada energi yang tersedia untuk menaikkan temperatur lokal di
atas temperatur lingkungan, dan tidak dimungkinkan adanya performasi kerja. Namun
demikian energi total semesta tidak berbeda dari nilai saat ini. Tantangan selanjutnya
adalah untuk mereduksi produksi entropi dan untuk merealisasikan keperluan
mengkonservasi kualitas energi yang etrcipta di semesta ini.

116
D. RANGKUMAN

1. Proses alam berjalan secara spontan dalam satu arah dan tidak pernah dalam arah
sebaliknya.
2. Transfer kalor berjalan sepanjang gradien temperatur negatif.
3. Peranti bersiklus spserti mesin mempunyai keterbatasan dalam mengkonversi kalor
menjadi kerja (tidak ada mesin yang mempunyai efisiensi 100%)
4. Siklus Carnot adalah siklus yang mempunyai efisiensi paling besar. Siklus ini
terdiri dua proses isotermal reversibel dan dua proses adiabatik reversibel.
5. Efisiensi siklus daya Carnot adalah fungsi temperatur reservoar termal
TL
Carnot = 1 −
TH
Koefisien kinerja untuk almari es Carnot dan pompa kalor Carnot:
TL TL
 ref = dan  pump =
TH − TL TH − TL
6. Perubahan entropi sistem yang menjalani proses reversibel:
 dQ 
dS =  
 T  rev
dQ
7. Pernyataan umum Hukum II untuk sistem dS 
T
8. Gabungan hukum I dan hukum II mengikuti persamaan TdS beriku:
TdS = du + p dv dan TdS = dh – v dp

117
SOAL-SOAL LATIHAN
5.1 Almari es digerakkan oleh 0,75 kW motor yang mentransfer 200 kJ/min dari
benda dingin. Berapakan koefisien performasi lemari es ini? Berapa laju kalor
yang dibuang ke benda panas?
5.2 Mesin Carnot beroperasi antara temperatur 2000C dan 200C menerima kalor 172
kJ. (a) Hitung perubahan entropi selama proses mesin membuang kalor ke
reservoar temperatur rendah. (b) Gambarkan siklus Carnot pada diagram T-S dan
tentukan besarnya luasnya yang menyatakan proses transfer kalor.
5.3 Mesin Carnot beroperasi antara dua resevoar termal 6000C dan 250C. Kalor
masukan ke mesin 90 kJ. Kerja keluaran mesin digunakan untuk menggerakkan
almari es Carnot yang beroperasi antara -200C dan 250C. Tentukan beban
pendinginan.
5.4 Sepuluh kilogram air temperatur 300C dipanasi pada tekanan 450 kPa menjadi
temperatur 147,930C dan kemudian diuapkan pada temperatur ini dengan kalor
2120,7 kJ/kg. Uap kemudian dipanaskan pada tekanan 450 kPa ke temperatur
2500C. Hitunglah perubahan entropi air. [ c = 4,184 kJ/gK (cairan); c p = 1,87
kJ/gK (uap)]
5.5 Dua massa yang sama dari cairan yang sama pada temperatur awal T 1 dan T2
dicampur secara adiabatik. Buktikan bawa perubahan entropinya positif sebesar:
(T1 + T2 )
S = 2mc ln ; c kalor jenis cairan.
2 T1T2

118
BAB VI

GABUNGAN HUKUM I DAN HUKUM II TERMODINAMIKA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada Bab ini akan dibahas tentang gabungan Hukum I dan Hukum II
Termodinamika. Pemahaman tentang prinsip Hukum I dan Hukum II Termodinamika
akan melandasi dalam memahami materi dalam bab ini. Tujuan pembelajaran
mencakup:
1. Mahasiswa dapat menganalisis hubungan-hubungan penting dalam
Termodinamika.
2. Mahasiswa dapat menganalisis hubungan Termodinamik dengan variabel
bebas T dan V.
3. Mahasiswa dapat menganalisis hubungan Termodinamik dengan variabel
bebas T dan P.
4. Mahasiswa dapat meurunkan hubungan Termodinamik dengan variabel bebas
P dan V.
5. Mahasiswa dapat menganalisis persamaan TdS
6. Mahasiswa dapat mengaplikan persamaan TdS pada sistem gas ideal.
7. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan terkait dalam
Termodinamika dalam kehidupan sehati-hari.

B. URAIAN MATERI
6.1 Beberapa Hubungan Penting
Beberapa hubungan penting dalam termodinamika dapat diperoleh dengan
cara menggabungkan hukum I dan II.
Untuk proses sebarang hukum I termodinamika dalam bentuk diferensial
dinyatakan dalam bentuk:
dQ = dU - dW (6.1)
Hukum II menyatakan bahwa untuk proses reversibel antara dua keadaan seimbang:
dQR = T dS (6.2)
Untuk sistem PVT usaha pada proses reversibel
dW = -p dV (6.3)

119
Sehingga gabungan hukum I dan II untuk proses infinitesimal reversibel adalah:
T dS = dU + p dV (6.4)
Dengan menggunakan bentuk gabungan tersebut dapat diturunkan sejumlah hubungan
termodinamik dengan memilih (T,V), (T,P), atau (P,V) sebagai variabel bebas.

6.2. Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas T dan V


Dari gabungan hukum I dan II diperoleh:
dS = 1/T (dU + p dV)
U sebagai fungsi T, U = U(T,V)
 U   U 
dU =   dT +   dV (6.5)
 T V  V  T
Oleh karena itu dapat ditulis

1  U  1   U  
dS =   dT +   + pdV (6.6)
T  T V T  V  T 
Bila S = S(T,V)
S  S
dS =   dT +   dV (6.7)
 TV  V  T
Persamaan (6.6) dan (6.7) adalah identik maka koefisien harus sama, yakni:
S 1  U 
  =  
 TV T  T V

 S 1   U  
  =   + p
 V  T T  V  T 
Kita tahu bahwa dS merupakan diferensial eksak sehingga syarat Euler harus dipenuhi

1   2 U  1   2 U    p   1   U  
  =   +  −   + p
T   V T  T   TV    T  V  T 2  V  T 

U   p T
  = T  −p= −p
 V  T   TV K
U
  = CV
  T V
   p 
dU = CV dT + T   − pdV
   T  V 

120
6.3 Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas T dan P
Entalpi didefinisikan H = U + pV
dH = dU + p dV + V dp
Bentuk gabungan hukum I dan II menjadi
1
dS = [dH − Vdp]
T
Bila H = H(T,p)
 H  H
dH =   dT +   dp
Tp   pT

1  H 1   H  
dan dS =   dT +   − V dp (6.8)
TTp T   p  T 

S = S(T,p)
 S  S
dS =   dT +   dp (6.9)
 T p   p T

dari (6.8) dan (6.9) diperoleh


 S  1  H 
  =  
 T  p T  T  p

 S  1  H  
  =   − V 
 p  T T  p  T 
Dengan menerapkan syarat Euler diperoleh
  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp (6.10)
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 

6.4 Hubungan Termodinamik dengan Variabel Bebas P dan V


Dengan memilih P dan V sebagai variabel bebas akan diperoleh hubungan:

121
  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 
(6.11)

6.5 Persamaan-Persamaan T dS
Dari perumusan sebelumnya diperoleh tiga persamaan T dS sebagai berikut:
  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 
(6.12)
Dalam bentuk lain persamaan T dS adalah

TdS = CV dT + T dV
K
TdS = C p dT − TVdV (6.13)
Cp K
TdS = dV + CV dp
V 

6.6 Penerapan Persamaan TdS


Secara umum persamaan TdS dapat digunakan untuk menghitung jumlah kalor
yang terlibat dalam suatu proses yang reversibel.
Dari permaan TdS pertama dapat digunakan untuk menentukan kenaikan suhu
dari zat padat atau zat cait yang ditekan secara adiabatik (dS = 0).
T
dTS = − dVS (6.14)
KCV

Apabila volume turun dVS negatip maka


dTS > 0 untuk >0
dTS < 0 untuk <0

122
Persamaan TdS kedua dapat digunakan untuk menentukan perubahan suhu
ketika tekanan dinaikkan secara adiabatik/isentropik
T
dTS = − dpS
KCV

apabila  > 0 maka suhu naik karena dpS > 0.


Tekanan yang diperlukan untuk menurunkan volume secara adiabtik reversibel
dapat ditentukan dari persamaan TdS ketiga
Cp
dpS = − dVS
VKCV
atau dapat ditulis

1  V  C K
−   =K V =
V   p S Cp 
(6.15)
K
KS =

KS disebut sebagai ketermampatan isentropik

6.7 Penerapan pada Gas Ideal


Dari persamaan TdS kedua
Cp  V 
dS = dT −   dp
T  T  p

 V  nR
Persamaan gas ideal pV = nRT,   = maka entropi gas ideal dapat
 T  p p

ditentukan dari
T p
dT dp
S = Cp  − nR  + S0
T0
T p0
p
(6.16)
T p
S = C p ln − nR ln + S0
T0 p0
Sedangkan entalpi gas ideal dapat diperoleh dari
H T   V  
p

 dH =  p p    T  dp
C dT + V − T
H0 T0  p

123
Dengan menganggap Cp tetap dan bahwa suku kedua ruas kanan sama dengan nol
didapat-kan:
H = Cp (T - T0) + H0
Untuk memperoleh S sebagai fungsi T dan V dapat digunakan persamaan TdS
pertama, demikian pula untuk S sebagai fungsi p dan V dapat digunakan persamaan
TdS ketiga.

124
C. RANGKUMAN

1. Hubungan termodinamik untuk proses infinitesimal reversibel dinyatakan


T dS = dU + p dV
2. Hubungan termodinamik dengan variabel bebas V dan T dinyatakan
  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 

3. Hubungan termodinamik dengan variabel bebas P dan T dinyatakan


  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 

4. Hubungan termodinamik dengan variabel bebas P dan V dinyatakan


  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 

5. Persamaan TdS dinyatakan


  H   H
  = −T   + V = −  VT + V
  pT  T  p
  H
  = Cp
 T  p
  V  
dH = C p dT − T   − V dp
   T  p 

125
D. SOAL-SOAL LATIHAN
6.1 Turunkan persamaan berikut ini.
T C C
a. TdS = CV dT + dV b. TdS = CP dT − V  TdP c. TdS = V dP + P dV
  V
6.2 Tekanan pada 500 g tembaga ditambah secara terbalikkan dan isotermal dari 0
hingga 500 atm (ambilah kerapatan  = 8,93x103 kg / m3 , koefisien muai volum

 = 31,5x10−6 K −1 , ketermampatan isotermal  = 7, 21x10−12 Pa −1 , dan kapasitas


kalor CP = 0,254 kJ/kg.K konstan)
a. Berapa kalor yang dipindahkan selama pemampatan berlangsung?
b. Berapa kerja yang dilakukan selama pemampatan berlangsung?
c. Tentukan perubahan energi internal.
d. Berapa kenaikan temperatur jika tembaga mengalami pemampatan adiabat
terbalikkan?

6.3 Tekanan pada o,2 kg air ditambah secara terbalikkan dan isoterm dari 1 hingga 3
x 108 Pa pada 0oC.
a. Berapa kalor yang dipindahkan?
b. Berapa kerja yang dilakukan?
c. Hitunglah perubahan energi internalnya.

126
BAB VII

POTENSIAL TERMODINAMIK

A.TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada Bab ini akan dibahas tentang potensial Termodinamik yang terkait
dengan energi internal, entalpi,fungsi Helmholtz dan fungsi Gibb. Tujuan
pembelajaran bab ini adalah:
1. Mahasiswa memahami konsep potensal termodinamik dan sifatnya.
2. Mahasiswa dapat menganalisis hubungan matematik dalam termodinamika.
3. Mahsiswa dapat menurunkan hubungan Maxwell.
4. Mahasiswa dapat menerapkan persamaan energi.
5. Mahasiswa terampil menyelesaikan permasalahan terkait potensial
termodinamik dalam kehidupan sehari-hari.

B. URAIAN MATERI
7.1 Empat Potensial Termodinamik dan Sifatnya
a. Energi Internal (U)
Telah diketahui bersama bahwa U adalah suatu “State function”. Jadi U adalah
fungsi dari dua koordinat yang mana saja. Meskipun demikian U memiliki koordinat
alami S dan V.
Dari hukum I, dU = dQ - PdV untuk proses yang bersifat reversibel maka
hukum alam ini dapat ditulis dU = T dS - PdV, artinya U = U(S,V)
U U
  = T dan   = −p (7.1)
  S V  V  S

b. Entalpi H
Definisi H  U + PV
dH = dU + P dV + V dP
Dari hukum I untuk proses reversibel
T dS = dU + P dV
dH = T dS + V dP (7.2)

127
nyata bahwa S dan P merupakan koordinat alaminya H = H(S,P) dan didapatkan:
  H   H
  = T dan   =V (7.3)
Sp   pS

c. Energi Bebas Helmholtz (F)


Definisi F  U - TS
dF = dU - T dS - S dT
Dari hukum I untuk proses reversibel
dU - T dS = -p dV
maka dF = -p dV - S dT (7.4)
sehingga F = F(V,T). Jadi koordinat V dan T merupakan koordinat alaminya.
Juga diperoleh:
 F  F
  = − p dan   = −S (7.5)
 V  T   T V

Apabila p sebagai fungsi V, dan S sebagai fungsi T diketahui maka kedua diferensial
parsiil F diketahui sehingga fungsi F sendiri dapat dicari dengan jalan integrasi.

d. Energi Bebas Gibbs (G)


Definisi G  H - TS
dG = dH - T dS - S dT (7.6)
apabila proses reversibel maka dH - T dS = V dP sehingga diperoleh dG = V dP - S
dT. Jadi G = G(P,T), yakni p dan T adalah koordinat alami G dan didapatkan pula:
  G   G
  =V dan   = −S (7.7)
  p T Tp

Sifat-sifat Potensial Termodinamik


a. U dan H
U = U(V,S)
dU = T dS – PdV (7.8)
Proses-proses reversibel berikut mengandung informasi tentang U:

128
* Proses adiabatik : U S = −  pdV = WS kerja adiabatik diubah menjadi energi

internal gas.

* Pertukaran kalor isokhorik : U V =  TV dS = QV , kalor yang diserap secara

isokhorik berubah menjadi energi internal gas.


* Ekspansi bebas pada proses ini U = 0

  Q U
* Cv =   =   (umum) (7.9)
  T V  T V

 S 
CV = T   (untuk proses reversibel) (7.10)
  T V
H = H(S,P)
dH = TdS + VdP (7.11)
Proses-proses yang mengandung informasi tentang Entalpi (H)
* Proses adiabatik: dHS = VS dp

H S =  VS dp  WS

* Proses isobarik: dHP = TP dS

H P =  TP dS = Q P

  Q   H
* CP =   =  (7.12)
  T  P  T  P

 S
= T  proses resersibel
 T  p

* Pada proses “throtling”entalpi akhir sama dengan entalpi awal H = 0

b. F dan G
F = F(T,V)
dF = -P dV - S dT (7.13)
Pada proses isotermik

FT = −  pT dV

Pada proses isokhorik

129
FV =  SV dT = QV

G = G(T,p)
dG = V dp - S dT (7.14)


Pada proses isotermik GT = VT dT  WT


Pada proses isobarik G p = S p dT  QT

7.2 Dua Hubungan Matematik Tambahan


Apabila antara variabel x, y, z, dan f terdapat hubungan bahwa setiap besaran
itu dapat dinyatakan sebagai fungsi dua besaran yang lain yang mana saja, misalnya:
 x   x
x = x(f,y) dx =   df +   dy (7.15)
 f  y   y f

 y   y
y = y(f,z) dy =   df +   dz (7.16)
 f z   z f

Dengan mensubtitusikan persamaan (7.16) ke persamaan (7.15) diperoleh:


  x    x   y     x    y  
dx =   +    df +     dz (7.17)
  f  y   y  f   f  z    y  f   z  f 

tetapi kita juga dapat menyatakan


 x   x
dx =   df +   dz (7.18)
 f z   z f

Kedua persamaan terakhir ini identik sehingga akan diperoleh kaitan:


  x   y   x
    = 
  y f   z  f   z  f
(7.19)
  x   y   z 
      =1
  y f   z  f   x f

7.3 Hubungan Maxwell


Kita telah mengenal keempat potensial termodinamik U, H, F, dan G yang
diferensial totalnya adalah:
dU = T dS - p dV U = U(S,V)

130
dH = T dS + V dp H = H(S,p)
dF = -S dT - p dV F = F(T,V)
dG = -S dT + V dp G = G(T,p)
Karena keempat potensial termodinamik merupakan fungsi keadaan maka diferensial
totalnya merupakan diferensial eksak maka memenuhi syarat Euler. Apabilasyarat ini
diterapkan akan diperoleh hubungan yang disebut sebagai hubungan Maxwell
 T   p
dU →   = −  ( M − 1)
V  S   S V
 T V 
dH →   =  ( M − 2)
  p S   S  p (7.20)
 S   p
dF →   =  ( M − 3)
 V  T   TV
 S V 
dG →   = −  ( M − 4)
  p T  T p

7.4 Rumus-rumus dengan Cp dan CV


Apabila kedua persamaan TdS pertama disamakan diperoleh:
  p V 
CV dT + T   dV = C p dT − T   dp
  TV  T p

  p V 
T  T 
  TV  T p
dT = dV + dp
C p − CV C p − CV
 T  T
dT =   dV +   dp
V  p   p V

Kedua persamaan di atas identik sehingga diperoleh:

  p V 
T  T 
 T   TV  T  T p
  = dan   = (7.21)
  V  p C p − CV   p V C p − CV

yang keduanya menghasilkan:


  V    p
C p − CV = T     (2.22)
  T  p  TV

dapat pula dinyatakan:

131
2
  V    p
C p − CV = −   
  T pV  T
(7.23)
TV 2
=
K
Dengan memanfaatkan persamaan TdS pertama dan kedua pada proses adiabat,
didapatkan:
  p
 
Cp V  S K
= = (7.24)
CV   p KS
 
V  T

132
Hukum I untuk proses reversibel T dS = dU + p dV *). Dengan membagi
persamaan tersebut dengan dV, diperoleh:
dS dU
T = +p
dV dV
U  S
Untuk proses isoterm   = T  −p (7.25)
 V  T V  T

dan dengan hubungan Maxwell ketiga, persamaan tersebut menjadi


U   p
  = T  −p
 V  T   TV

Persamaan ini disebut persamaan energi pertama. Sekarang apabila persamaan *)


dibagi dengan dp diperoleh:
dS dU dV
T = +p
dp dp dp
Untuk proses isotermik, menjadi:
 S U V 
T  =  + p 
  p T   p  T   p T

dengan menggunakan hubungan Maxwell keempat, diperoleh:


U V  V 
  = −T   − p  (7.26)
  pT  T p   p T

persamaan ini disebut sebagai persamaan energi kedua.

132
C. RANGKUMAN
1. Empat Potensial termodinamik meliputi: Energi internal (U), Entalpi (H),
Energi bebas Helmholtz (F) dan Energi bebas Gibb (G)
2. Untuk U = f(S,V) berlaku
U U
  = T dan   = −p
  S V  V  S

3. Untuk H = f(S,P)
  H   H
  = T dan   =V
Sp   pS

4. Untuk F=f(V,T) berlaku


 F  F
  = − p dan   = −S
 V  T   T V

5. Untuk G=F(P,T) berlaku:


  G   G
  =V dan   = −S
  p T Tp

6. Kerja adibatik yang dilakukan pada gas akan meningkatkan energi internalnya.
7. Kalor yang diserap secara isokhorik berubah menjadi energi internal gas.
 S 
8. Kapasitas kalor pada volume tetap dapat dinyatakan CV = T  
  T V
9. Ada 4 hubungan Maxwell:
 T   p
dU →   = −  ( M − 1)
V  S   S V
 T V 
dH →   =  ( M − 2)
  p S   S  p
 S   p
dF →   =  ( M − 3)
 V  T   TV
 S V 
dG →   = −  ( M − 4)
  p T  T p

133
D. SOAL-SOAL LATIHAN
7.1 Turunkan bahwa untuk gas ideal berlaku:
CV
F = F =  CV dT − T  dT − nRT ln V − Kons tan taT + kons tan ta
T
7.2 Dari kenyataan bahwa dV/V merupakan diferensial eksak, turunkan hubungan
     
  = − 
 P T  T  P
7.3 Turukan persamaan berikut.
 F  2  F /T 
a. U = F − T   = −T  
 T V  T V

 2 F 
b. CV = −T  2 
 T V
7.4 Turunkan persamaan berikut.
 G  2  G /T 
a. H = G − T   = −T   (persamaan Gibbs-Helmholtz)
 T  P  T  P

  2G 
b. CP = −T  2 
 T  P

134
DAFTAR PUSTAKA

Black, Willam, Z and Hartley, J.G. 1991. Thermodynamics. Georgia: Harper Collins
Publisher.

Saad, M.A. 1997. Thermodynamics Principles and Practice. London: Prentice-Hall


International Inc.

Sears, F.W and Salinger, G.L. 1982. Thermodynamics, Kinetic Theory and Statistical
Thermodynamics. New York: Addison Wesley.

Sonntag, R.E., Borgnakke, C. and Van Wylen, G.J. 1998 . Fundamental of Thermodynamics.
New York: John Wiley & Son (Fifth Edition).
Zemansky, M.W. dan Dittman. 1981. Heat and Thermodynamics. New York: Mc Graw Hill.

Wark, K. 1983. Thermodynamics. New York: Mc Graw Hill.

135

Anda mungkin juga menyukai