Anda di halaman 1dari 9

Kemarau dan Emas 

Merah
Date: September 15, 2019Author: lakonhidup1 Comment 

 
7 Votes

Cerpen Bahagia (Republika, 15 September 2019)


Kemarau dan Emas Merah ilustrasi Rendra Purnama/Republika  
Aku tak mau lagi gagal kedua kali
untuk menaam cabai pada kampung
kita ini. Tahun lalu, semua warga
harus menjual lahan untuk bayar
utang karena musim kemarau lebih
panjang dari pada biasanya. “Aku
khawatir akan terjadi lagi tahun ini,”
kata Tohir kepada Sobir.
Perbincangan mereka berada di
sebuah gubuk tua di tengah-tengah
sawah setelah.
Tohir mendatangi Sobir di tengah sawah. Mereka akhirnya berbincang sangat
serius. Kata Sobir, kalau aku tetap menanam cabai dan semangka pada musim
kemarau ini. Kalkulator Tuhan berbeda dengan perhitungan manusia. Iya, tetapi
alam itu pasti sama saja seperti tahun lalu. Bahkan, bisa lebih buruk sebab
terjadi perubahan iklim.

“Lantas apa rencanamu kalau kau tak bertani lagi”?

“Aku mau berdagang bakso ikan saja di desa. Aku yakin banyak ikan
terperangkap di rawa-rawa dan di sawah saat mulai mengering. Aku manfaatkan
saja nanti semua daging ikan itu. Idemu bagus, tetapi aku tetap tak mau pergi
meninggalkan aktivitas bertani. Aku yakin menanam cabai pada musim kemarau
ada berkahnya.
Sebagai seorang teman, aku menasi hatimu sebab semua orang mengeluh
dengan musim El-nino setiap tahun. Musim di mana terjadi perubahan setiap
tahun, kadang musim penghujan lebih panjang dan sebaliknya. Pada saat
mereka asik berbincang-bincang. Tiba-tiba saja petani sebelah desa pak Ahmad
kebetulan lewat dari depan gubuk tua tersebut.

Dia kemudian ikut bergabung untuk bercerita. Pak Ahmad bilang kalau cabai di
desanya sudah mendekati berbunga. Sayangnya, cabai-cabai tersebut daun-
daunnya meringkel dan banyak kutu-kutu. Semua orang sudah mulai stres
karena hutang tak terbayar. Pihak bank berkali-kali mendatangi mereka ke kebun
karena nunggak tak bayar utang.

Mendengar itu Tohir kembali membujuk Sobir agar meninggalkan bertani agar
ikut berdagang saja. Bahkan, dia bilang hal ini termasuk strategi bertahan hidup.
Saat kemarau jangan bertani, tetapi berdagang. Kalau musim penghujan barulah
bertani lagi. Perbincangan mereka sangat ramai dan kadang berdebat. Meskipun
demikian, Sobir tetap kukuh.

Semuanya akhirnya membubarkan diri. Setelah selesai perbincangan tersebut,


Sobir memikirkan kembali keputusannya itu. Dia tidur gelisah dari malam hingga
pagi. Istrinya sempat bertanya prihal tersebut, tetapi dia bilang dia tak bisa tidur
karena banyak minum kopi. Padahal, logika ilmiah para sahabatnya sempat
memengaruhi jiwanya. Begitu pagi tiba, Sobir menyiapkan polybag ukuran kecil
untuk penyemaian langsung bibit cabai dan semangka. Sebagian lagi dia
persiapkan untuk membibitkan tanaman tomat. Dia sungguh mahir dalam
bertani, media tanam seperti kombinasi tanah, pupuk, dan pasir dia buat
perbandingan (3:2:1). Tanah dan pupuk harus lebih banyak dari pasir.
Tanpa pasir nanti air siraman tak mudah terserap. Kalau tanpa pupuk kandang
nanti kurang subur media tanamnya. Sekitar 3.000 polybag berisikan benih cabai,
1.000 polybag untuk semangka dan 500 polybag untuk tomat. Pak Da dang
sempat melihat aksi dari pak Sobir tadi dan dia memberikan saran lagi. Intinya
dia melarang untuk melanjutkan.
Bahkan, saat perkumpulan warga dan ronda-ronda malam. Pak Sobir sudah jadi
omongan dan dapat gelar baru, yaitu orang keras kepala. Kadang sebagian lagi
mengejek karena dianggap tak sesuai dengan namanya. Kali ini istrinya menjadi
musuhnya, padahal tak pernah istrinya tak sejalan langkah dengannya. Umur
bibit tadi tak terasa sudah sebulan.

Ukuran bibit cocok pindah tanam. Sawah tadi memang telah berubah menjadi
lahan kering. Dia gali lubang dengan kedalaman 10 cm, dia isi lubang tersebut
dengan pupuk kandang matang, dan tanah. Bibit cabai satu per satu, hari demi
hari, hingga sampai seluruh bibit tersebut habis. Dia mulai putus asa sebab
semua sudah mulai kering.

Air irigasi tak pula lagi jalan sebab waduk telah berubah menjadi ladang kering.
Kalau sungai sudah duluan pula menjadi lahan tegalan karena kering.
Sedangkan, pada malam harinya, dia harus berantem dengan istrinya karena
uang habis buat modal usaha bertani. Kalau ikut ngeronda jadi buah bibir orang
lain sebab semua orang di kampung itu tak mau bertani.

Hanya dia tetap konsisten. Ketika esok hari setelah satu bulan bibit di tanam, air
harus mulai membeli dari tangki-tangki mobil pemerintah. Pengeluaran akhirnya
semakin membengkak. Rupanya saat seperti itu, dia ingat pesan dari guru
ngajinya. Kalau musim sudah kering, ajaklah seluruh warga untuk shalat minta
hujan. Hujan itu akan segera datang.

Pak Sobir mendatangi pak RT, tetapi pak RT gagal mengumpulkan warga.
Shalat minta hujan itu akhirnya dilaksakan. Sambil berdoa agar hujan segera
turun. Kejadian berbagai pristiwa tak terhindarkan saat musim kemarau di
kampung itu. Ibu-ibu ribut karena harga cabai sudah mencapai 100 ribu rupiah.
Mereka semua petani tetapi harus beli cabai.

Kadang pak Sobir tertawa dalam hati. Kadang dia juga sedih, melihat
sahabatnya pak Ahmad dan pak Tohir tak mengeluarkan uang justru
memproduksi uang. Entah apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba saja Badan
Meteorologi Geofisika mengumumkan bahwa perubahan iklim sedang melanda
dunia. Jadi, musim kemarau lebih pendek dari tahun lalu.

Itu artinya musim penghujan segera pula tiba. Mendengar berita itu, pak Sobir
bergembira. Saat shalat jumat digelar maka langsung dia cabut uang sebesar
150 ribu dimasukkannya ke kotak amal. Dia yakin sekali kalau Tuhan
bersamanya. Sekitar 1,5 bulan umur cabai, tomat dan semangka. Angin sejuk
menerpa Tubuh pak Sobir dan mencium bau tanah disertai dengan air.

Benar saja awan sudah mendung, petir bergemuruh di mana-mana, dan hujan
deras tiba, tetapi angin berhenti saat itu. Ladang pak Sobir akhirnya di sirami air
hujan. Sambil gumam, dia berjalan di tengah hujan menuju ke rumah. Begitu
sampai di rumah, istrinya tersenyum karena dia tak kalau ke putusan suaminya
benar.

Dia merasa bersalah besar. Kata istrinya, harga cabai sudah mencapai 180 ribu
dan dijuluki si emas merah bukan lagi emas kuning. Pak Ahmad dan pak Tohir
langsung mengikuti langkah pak Sobir. Mereka kerja bakti untuk turun ke sawah
dan tak mau lagi berdagang. Kini giliran pak Tohir pula yang menasihati.

Dia bilang waktu musim penghujan bisa lebih pendek sehingga bisa langsung
kemarau setelah tiga bulan. Sementara itu, tanaman mereka belum tentu bisa
panen sekitar 3 bulan lagi. Omongan tadi tidak dihiraukan oleh warga.
Sementara itu, cabai pak Sobir sudah mulai berbunga, semangka sudah mulai
bercabang tiga, dan tomat juga sudah berbunga. Kebun tersebut menjadi
perbincangan sebab cabai tidak diserang hama. Saat, kemarau kutu daun selalu
menyerang. Banyak warga datang untuk meminta ilmu pengetahuan tersebut,
tetapi pak Sobir tak pula menjawabnya.

Dia bilang kalau tidak tahu mengapa demikian. Setelah seminggu, baru dia tahu
jawabannya ketika ada penyuluhan pertanian di balai desa oleh Ir pertanian.
Aroma tak sedap dari daun-daun tomat mengusir kutu-kutu daun sebab pak
Sobir menanam metode tumpang sari. Satu baris tomat, barisan berikutnya
cabai, berikutnya tomat, dan cabai lagi.

Begitulah metodenya dalam satu bedangan. Sekitar 3 bulan berlalu, cabai merah
hijau berubah warna menjadi merah, Buah tomat sudah pula mulai menguning
dan semangka sudah mulai berukuran 4 Kg. Tengkulak dari pasar sudah
menawar buah-buah itu sebelum waktu panen. Tohir menolaknya karena cara
demikian dapat merugikan.

Pedagang-pedagang tersebut juga menawar dengan berbagai tingkatan harga.


Ada pedagang menawar 1 kilo gram cabai seharga 170 ribu dan ada pedangan
datang menawar harga lebih tinggi sekitar 180 ribu. Puncak panen cabai
akhirnya tiba setelah kurang lebih 3,5 bulan. Pohon cabai sampai merun duk
karena buah-buah pada ketiak pohon bergantungan.

Kebun Sobir seolah-olah jadi pemandangan orang-orang kampung. Setiap petani


lewat di samping kebunnya, tak lupa mengambil gambar. Setiap kali musim
panen, pak Sobir mengan tongi uang sebesar 25 juta rupiah. Kerja keras
berkeringat terbalas dengan materi dan utang-utang bisa dilunasi. Sekitar 2
bulan masa panen, hujan tak lagi intensif.
Kadang seminggu cuma sekali hujan. Kemudian, berlanjut hanya sekali dalam
tiga minggu. Meskipun demikian, cadangan air masih bisa digunakan untuk
mengairi ladang pak Sobir. Dia tidak rugi. Sedangkan, para petani lain, pohon-
pohon cabai mereka sudah mulai layu padahal sudah memasuki musim
berbunga.

Hujan akhirnya tak datang berbulan-bulan hingga mengeringkan cabai-cabai


para tetangga pak Sobir. Petani-petani itu menyesali perbuatan mereka
mengapa mereka tidak mengikuti pak Sobir dari awal. Atau mereka tetap pada
jalan mereka, yaitu berdagang bakso. Pak Sobir merasa sangat sedih dengan
melihat situasi para petani tersebut di mana tak lain temannya sendiri.

Dia bisa membayangkan kalau berada pada posisi mereka. Setelah musim
panen selesai, pak Sobir kaget dengan rezeki yang dia dapatkan. Istrinya
menyuruh pak Sobir untuk bersedekah dan dipotong sebanyak 15 persen dari
total pendapatan. Pak Sobir kemudian pergi ke sebuah kampung, wilayah ini
masih tahap membangun masjid.

Dia sumbangkan sejumlah uang tersebut. Tohir dan istrinya mengerti kalau uang
tersebut uang halal mulai dari proses mendapatkannya sampai dengan uang
tersebut didapatkan. Setelah beberapa bulan berlalu, para tetangga datang ke
rumah pak Tohir.

Mereka berduyun-duyun untuk meminta maaf atas kekhilafan mereka. Para


tetangga menyadari bahwa kekuatan Tuhan menyertai kehidupan manusia. Apa
pun mungkin terjadi di luar akal meskipun tak masuk akal secara ilmiah. Fakta
alam secara ilmiah tadi rupanya kalah dengan kehendak Tuhan.

 
Kota Hujan, 12 Agutus 2018

Penulis mengajar di salah satu perguruan Tinggi di Kota Hujan. Aktif menulis


dan menerima penghargaan beasiswa 5000 Doktor Luar Negeri
Moraschoolarship Kementerian Agama RI

Anda mungkin juga menyukai