Anda di halaman 1dari 16

DINASTI BANI UMAYYAH

Disusun oleh :
Zidan Nabila Akmal (1906359565)
Faris Abdul Hafizh (1906388943)
Muhammad Maulana (1606011250)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin
Abdul Syams bin Abdul Manaf. Meskipun, pada umumnya Sejarawan memandang negatif
terhadap Muawiyah dalam cara perolehan legalitas kekuasaannya dengan cara pemberlakuan
sistem monarchihereditas (kerajaan turun temurun). Namun demikian, kontribusi Khilafah
Umayyah pun tidak bisa diabaikan, salah satunya adalah tentang expansi atau perluasan
wilayah ini yang bisa dikatakan berhasil meskipun ditengah-tengah kondisi politik yang
kurang mendukung. Hal inilah yang menyebabkan bahwa masa Khilafah Umayyah
diidentikkan dengan masa perluasan wilayah. Kejayaan Bani Umayah dimulai pada masa
Abdul Malik dan berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Sepeninggal
Umar, ke Khalifahan mulai melemah dan akhirnya tumbang. Penyebabnya adalah para
Khalifah lebih mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum. Adapun
demikian kemajuan-kemajuan di bidang arsitektur, kesenian dan perdagangan berhasil
dicapai pada masa Bani Umayah.

Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas masalah bagaimana sejarah
berdirinya bani Umayyah, Khalifah-Khalifah pada pemerintahan Bani Umayyah, bagaimana
perkembangan ilmu pada masa itu, serta penyebab kemunduran dinasti Bani Umayyah
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa poin
rumusan masalah yang akan diteliti. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah berdirinya Khilafah Bani Umayyah?

2. Apa saja yang diraih oleh Khalifah Bani Umayyah pada bidang ekonomi?

3. Bagaimana Kondisi sosial Bani Umayyah di bidang sosial budaya?


4. Bagaimana kondisi Khilafah Bani Umayyah di bidang politik?

5. Apa penyebab kemundurannya?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk dapat mengetahui sejarah berdirinya Khilafah Bani Umayyah

2. Agar dapat mengetahui kemajuan yang dicapai Khalifah Bani Umayyah di bidang
ekonomi

3. Agar dapat mengetahui kemajuan Khilafah Bani Umayyah di bidang soisal budaya

4. Untuk dapat mengetahui kemajuan Khilafah Bani Umayyah di bidang politik

5. Untuk dapat mengetahui apa saja penyebab kemunduran Khilafah Bani Umayyah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berdirinya

Setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir yang ditutup oleh kepemimpinan Khalifah
Ali Bin Abi Thalib dilanjutkan dengan pemerintahan Islam yaitu Dinasti Umayyah. Sejarah
berdirinya Dinasti Umayyah di latar belakangi oleh peristiwa perdamaian Islam di kota
Maskin dekat Madam Kuffuah yang dikenal dengan sebutan Ammul Jamaah. Perdamaian
tersebut terjadi pada tahun 41 Hijriyah/661 Masehi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Kemudian dari perdamaian Islam tersebut dipegang oleh Hasan bin Ali. Sistem demokrasi
yang telah dibangun oleh Khulafaur Rasyidin diganti menjadi sistem pemerintahan monarki
(keturunan).

Hal ini menjadi perpolitikan yang panjang bagi umat Islam. Mengingat pada saat
Khalifah Usman bin Affan wafat digantikan dengan Ali Bin Abi Thalib. Sejarah Berdirinya
Dinasti Umayyah. Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pun memicu perdebatan antara kaum
muslimin itu sendiri. Penolakan beruntun menjadi konflik yang tiada henti sehingga terjadi
peperangan antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang
merupakan pendukung Khalifah Usman bin Affan. Mengingat Khalifah Ali bin Abu Thalib
akan mengusut pembunuhan Usman bin Affan, beliau sangat berhati-hati menangani masalah
ini. Karena beliau tidak ingin ada dampak yang buruk terjadi dalam penanganan masalah
tersebut. Keluarga Bani Umayyah yang selama ini merasa mempunyai pelindung atas
berbagai kepentingan mereka menjadi terguncang mendengar Khalifah Usman bin Affan
wafat. Bani Umayyah berupaya mencari pembunuh Khalifah Usman bin Affan untuk
menuntut balas. Upaya yang dilakukan adalah menuntut Ali bin Abu Thalib untuk mengusut
tuntas pembunuhan itu. Tetapi tidak ada respon. maka dari itu, Muawiyah bin abu Sofyan dan
pendukungnya Bani Umyyah menyusut pembunuhan tersebut. Dengan cara mencari
informasi sehingga informasi yang didapat bahwa dalang dibalik pembunuhan tersebut adalah
Muhammad bin Abu Bakar. Bani Ummayah dan para pendukungnya menuntut Ali bin Abu
Thalib untuk melakukan proses hukum terhadap Muhammad bin Abu Bakar. Namun, Ali bin
Abu Thalib tidak mengabulkan permintaan tersebut karena tuduhan tersebut tidak
berdasarkan bukti yang kuat. Karena keberadaan Muhammad bin abu Bakar justru untuk
melindungi Khalifah Usman bin Affan. Dari hal tersebut, Khalifah Ali bin Abu Thalib
mengubah sistem pemerintahan dan merombak pemerintahan serta mengambil langkah
pergantian pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan karena dianggap sumber kekacauan.

Muawiyah memanfaatkan kekecewaan para mantan pejabat pada masa Usman bin
Affan. Sehingga banyak melakukan penolakan sampai-sampai para pendukung Usman bin
Affan membawa jubah Khalifah Usman bin Affan yang penuh darah dan menuduh Ali bin
Abu Tholib terlibat dalam pembunuhan ini dan menghilangkan kepercayaan masyarakat
terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib. Selain Muawiyah, kelompok pendukung Ali bin abu
Thalib sebagai kaum Syam dan kelompok Zubair bin Awwan tidak menyetujui Khalifah Ali
bin Abu Thalib. Mereka menganggap beliau tidak mampu mengatasi dunia politik dalam
negeri dan lambannya pengusutan kasus pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Dengan adanya kelompok tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan antar sesama
muslim. Padahal sebenarnya Abdullah bin Saba’ orang Yahudi yang pura-pura masuk Islam
kemudian menyebarkan fitnah. Akhirnya menimbulkan perang, pasukan Ali bin Abu Thalib
menyerang kota Basrah dan bertempur di Khutaibah dekat Basrah pada tanggal 10 Jumadil
akhir 36 H. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Umayyah Sebenarnya pemimpin
menginginkan damai akan tetapi pasukan ingin menyelesaikan peperangan. Dalam
peperangan itu Zubair bin Awwan tewas dan Abdullah bin Zubair melarikan diri.

Setelah perang itu, pasukan menuju ke Kuffah untuk menyelesaikan permasalahan


dengan Muawiyah. Pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib mengutus Jarir bin Abdullah Al
Bajali agar Muawiyah menjauh dari kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Ajakan damai tersebut masih ditolak oleh Muawiyah. Karena tidak ada titik temu pasukan Ali
bin Abu Thalib terus maju hingga kesuatu tempat bernama Siffin. Disinilah pertempuran
berlangsung selama 40 hari pada tahun 657. Perang ini disebut dengan perang Siffin.
Sehingga berakhir dengan damai dan membuahkan kesepakatan bahwa:

Usman bin Affan meninggal karena teraniaya dan yang berhak menuntut balas adalah
Muawiyah. Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah harus turun dari jabatan masing-masing.
Pengunduran diri mereka disaksikan oleh 100 orang utusan kedua belah pihak.
Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat pada tanggal 15 Ramadhan 40 H karena terbunuh oleh
Abdurahman bin Ibnu Muljam ketika beliau sedang shalat subuh. Pemerintahan khulafaur
Rasyidin digantikan oleh Hasan bin Ali yang merupakan anak dari Ali bin Abu Thalib
sendiri. Tetapi kepemimpinan Hasan tidak berlangsung lama karena selalu ditekan oleh
Muawiyah.

Akhirnya dengan jiwa besar Hasan bin Ali menyerahkan tahta kepada pemerintahan
Muawiyah dengan tiga syarat yaitu Muawiyah harus menjamin keselamatan seluruh
keluarganya, Muawiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan setelah
Muawiyah meninggalkan jabatan kepemimpinan harus diserahkan kepada kaum muslimin
secara bermusyawarah. Setelah terjadi kesepakatan, Muawiyah datang ke Kuffah untuk
bersumpah dan ditetapkan sebagai Khalifah yaitu pada bulan Rabiul Akhir tahun 41 H.
Setelah itu Ia kembali ke Damaskus dan menetapkan kota Damskus sebagai pusat
pemerintahan kerajaan Daulah Bani Umayyah.
Jadi, terbentuknya Dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan. Kemudian diangkatnya Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah. Hal ini
menyebabkan dampak negatif untuk para Muslimin. Sebagian kaum Muslimin tidak
menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Terutama Muawiyah yang sangat tidak
menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Muawiyah memanfaatkan semua mantan
pejabat pada masa Usman bin Affan dan masyarakat untuk tidak menyetujui Ali bin Abu
Thalib. Muawiyah dan Bani Umayyah yang bersih keras untuk mencari tahu terbunuhnya
Usman bin Affan. Akhirnya terjadi peperangan antara kamu Muslim itu sendiri antara
Muawiyah dengan Khalifah Ali bin abu Thalib beserta pengikutnya. Perang tersebut berakhir
dengan perdamaian bersyarat. Tidak lama kemudian Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat
karena dibunuh oleh Abdurrahman Ibnu bin Muljam pada saat sholat subuh.
Kepemimpinanpun diganti oleh Hasan anak dari Khalifah sendiri. Namun, kepemimpinan
tersebut tidak berjalan lama karena selalu ditekan oleh Muawiyyah. Akhirnya, Hassan
meberikan kepemimpinan tersebut kepada Muawiyyah. Pada akhirnya Muawiyyah pergi ke
Damaskus untuk mendirikan kepimpinan Daulah Bani Umayyah.

KONDISI SOSIAL POLITIK


2.2 Kondisi Sosial

Pada masa Dinasti Umayyah ini mulai dikenal stratifikasi sosial. Menurut Philip K.
Hitti (2001:97) rakyat dari seluruh imperium Arab terbagi ke dalam empat macam golongan.
Golongan pertama adalah golongan tertinggi terdiri atas kaum Muslimin yang memegang
kekuasaan, dikepalai oleh anggota-anggota istana dan kaum ningrat dari para penakluk Arab.
Golongan kedua adalah golongan neo muslim (kaum Muslim baru), yang dengan keyakinan
sendiri atau terpaksa memeluk Islam dan secara teori memiliki hak-hak penuh dari kewargaan
Islam. Golongan ketiga adalah anggota mazhab-mazhab, pemeluk agama-agama yang umum
atau yang disebut dengan zimmi, yaitu kaum Kristen, Yahudi, dan Saba yang mengikat
perjanjian dengan kaum Muslim. Mereka memiliki kemerdekaan beragama dengan jalan
membayar pajak tanah atau uang-kepala. Golongan keempat adalah golongan budak-budak.
Meskipun perlakuan terhadap para budak telah diperbaiki, akan tetapi dalam praktiknya
mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah. Selama masa kekhalifahan Dinasti Umayyah,
kondisi sosial dalam keadaan damai dan adil, meskipun sistem pemerintahan berjalan tidak
demokratik. Kendatipun bangsa Arab-Islam berkuasa di seluruh imperium, kehidupan
muslim non-Arab tidak mengalami kesulitan. Mereka hidup damai dan bersahabat dengan
baik. Mereka menikmati kewajipan dan hak yang sama dalam kehidupan negara. Para
khalifah melindungi gereja, katedral, candi, sinagog, dan tempat-tempat suci lainnya, bahkan
semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan dana yang dikeluarkan dari
kas negara. Di samping kebebasan beragama, orang bukan Islam juga menikmati kebebasan
peradilan, hakim, dan hukum. Mereka dibebaskan menggunakan yurisdiksi mereka
sebagaimana diatur oleh pimpinan agama mereka sendiri. Di bawah kekhalifahan Dinasti
Umayyah, Damaskus menjadi salah satu kota yang cantik di dunia dan menjadi pusat budaya
serta pusat kerajaan Islam. Khalifah menghiasinya dengan bangunanbangunan megah, air
mancur, dan rumah rumah yang menyenangkan. Para penguasa, kecuali Umar II, menempuh
kehidupan mewah dan penuh kebesaran, dan mempertahankan standar istana menurut cara
para kaisar. Muawiyah sendiri gemar mendengarkan cerita sejarah dan anekdot. Di samping
melaksanakan fungsi keagamaan, para khalifah juga melaksanakan kekuasaan mahkamah
tinggi. Para penguasa mendengarkan keluhan rakyatnya, baik secara pribadi maupun secara
umum. Biasanya khalifah duduk di atas singgasana di pengadilan terbuka, dikelilingi sebelah
kanannya oleh para pangeran dan di sebelah kirinya oleh orang-orang terkemuka dan
masyarakat umum
2.3 Kondisi Politik Diplomasi

Para ahli sejarah telah mencatat, bahwa kekhalifahan Bani Umayyah berdiri dengan
proses yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya, dan pemilihan khalifah tidak
melalui pemilihan secara demokrasi. Nama-nama khalifah Bani Umayyah yang tergolong
menonjol adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680), Abd al-Malik ibn Marwan(685-705
M), al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz(717-720 M), dan
Hisyam ibn Abd al-Maalik (724-743 M).
Diantara program besar, mendasar dan strategis di zaman Bani Umyyah adalah
perluasan wilayah Islam. Di zaman Muawiyah Tunisa dapat ditaklukan. Di sebelah Timur,
Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Axus dan Afghanistan hingga
ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium dan
Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh
Khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punyab sampai ke
Maltan.
Selanjutnya ekspansi besar-besaran dilanjutkan pada masa al-Walid bin Abdul Malik.
Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan al-Malik adalah masa ketentraman,
kemakmuran, ketertiban, dan kebahagiaan. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung
selama 10 tahun, tercatat bahwa pada tahun 711 M dilakukannya suatu ekspedisi militer dari
Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, Benua Eropa. Setelah alJazair dan Maroko dapat
ditundukan Thariq bin Ziyad pemimpin pasukan islam menyeberangi selat yang memisahkan
antara Maroko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan Gibraltar.
Tentara Spanyol dapat dikalahkan dan dengan demikian ibu kota Spanyol Cordoba
dengan cepat dapat dikuasai begitu juga dengan kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo. Di zaman Umar bin Abd Al-Aziz, perluasan wilayah dilanjutkan ke Perancis melalui
pegunungan Piranee, dibawah Komandan Abd al-Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
dengan menyerang Boredeau, Politiers, dan terus ke Tours. Namun dalam peperangan yang
terjadi di kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Melalui berbagai keberhasilan yang tercapai dalam ekspansi tersebut, maka wilayah
kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, di samping Jazirah Arabia dan sekitarnya, juga
telah menjangkau Spanyol, Afganistan, Pakistan, Turkemenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah.
Dalam bidang sosial dan pembangunan, Bani Umayyah telah berhasil untuk
mendirikan berbagai bangunan untuk kebutuhan berbagai bidang. Seperti saat Muawiyah
mendirikan dinas pos di tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang qadli adalah seorang spesialis di bidangnya.
Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah--daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak mata uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab.
Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
Administrasi pemerintahan Islam. Selanjutnya dizaman al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715)
seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan panti-panti
untuk orang cacat yang para petugasnya digaji oleh negara. Selain itu, al-Walid juga
membangun jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik,
gedung pemerintahan, dan masjid yang megah.
Dalam bidang keagamaan, pada masa Bani Umayyah ditandai dengan munculnya
berbagai aliran keagamaan yang bercorak politik ideologi. Mereka itu antara lain golongan
Syi'ah, Khawarij dengan berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah
dan Shafariyah, golongan Mu'tazilah, Maturidiyah, Asy'ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah.
Berbagai aliran dan golongan keagamaan ini terkadang melakukan gerakan dan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Dengan terbunuhnya Husein di Karbela,
perlawanan orang-orang Syi'ah tidak pernah padam. Banyak pemberontakan yang dipelopori
kaum Syi'ah. Yang terkenal di antaranya pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-
687 M. Selain itu, terdapat pula gerakan Abdullah bin Zubair. Ia membina gerakan
oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia
baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh.

Selain gerakan di atas, gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi'ah juga
dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan itulah yang membuat orientasi
pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah kekuasaan di wilayah
timur yang meliputi kota di sekitar Asia Tengah dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan
membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol.
Situasi politik, sosial, dan keagamaan mulai membaik terjadi pada masa pemerintahan
khalifah Umar ibn Abd. Al-Aziz ( 717-720). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia
menyatakan bahwasannya memperbaiki dan meningkatkan kualitas negri yang berada dalam
wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama
adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, Umar
ibn Abd. Al-Aziz dapat dikatakan berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi'ah.
Dia juga memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan dan kedudukan Mawali (umat Islam yang
bukan keturunan Arab, berasal dari Persia, dan Armenia), disejajarkan dengan Muslim Arab

2.4 Kebijakan Ekonomi

● Masa Muawwiyah bin Abi Sufyan

Kebijakan Moneter Muawwiyah bin Abi Sufyan


Pada masa pemerintahan Mu’awiyah, beliau mendirikan kantor catatan negara
dan merancang pola pengiriman surat melalui pos (al-barid) serta seluruh fasilitas
pendukungnya(Philip, 2006). mencetak mata uang, mengembangkan jabatan
qadi(hakim) sebagai jabatan profesional. Para qadidi masa itu dalam memutuskan
suatu perkara tidak terpengaruh oleh kebijakan politik atau kekuasaan pemimpin
negara sehingga mereka bebas memutuskan sesuatu termasuk dalam urusan yang
berkaitan dengan para pejabat tinggi Negara (Munawir, 1993).Kebijakan moneter
mempunyai peranan yang penting untuk mengendalikan jalannya pemerintahan.
Bahkan moneter merupakan unsur utama dalam kehidupan suatu bangsa, banyak sekali
permasalahan karena disebabkan manajemen moneter yang buruk. Awal
pemerintahan bani Umayyah kebijakan moneter yang dilakukan olehnya mempunyai
dua tujuan dasar yaitu(Yusuf, 2007): a) Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya,
pada waktu seorang gubernur membanggakan banyaknya pajak yang mereka
kumpulkan., b) Untuk memuaskan para pejabat negara dengan memberi mereka harta
sebanyak-banyaknya.Dua tujuan inilah yang menjadi acuan usaha para khilafah,
sehingga menyebabkan kekacauan di masyarakat, guna mendapatkan harta yang
banyak menyebabkan banyak sekali orang yang tidak mau masuk islam karena masih
sama membayar pajak. Karena sebenarnya orang kafir yang sudah masuk islam tidak
lagi membayar jizyah. sehingga pemasukan baitul mal semakin berkurang(Yusuf,
2007). Pada masa kemimpinan Dinasti Umayyah, baitul mal sepenuhnya di
bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan dan di kritik oleh rakyat.
Keadaan tersebut berlangsung sampai datangnya khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, yakni
umar bin Abdul Aziz yang memerintahpada tahun717-720(Zoulkem, 2010).Dengan
kondisi baitul mal pada masa-masa tersebut sudah parah, maka memerlukan
perhatian khusus, di masa Umar bin Abdul Aziz ini terjadi perbaikan-perbaikan pada
baitul mal. Sejalan dengan itu Umar bin Abdul Aziz melakukan perbaikan baitul mal
pada bagian fund risingatau pemasukan negara. Karena pada masa khalifah Muawiyah
bin Abi Sufyan sampai dengan khalifah ke-7 yaitu Sulaiman bin Abdul Malik terjadi
kemerosotan baitul mal, yaitu lebih banyak pengeluarannya dari pada pemasukannya.

● Masa Abdul Malik bin Marwan

Kebijakan Moneter Abdul Malik bin Marwan


Pencapaian yang dilakukan pada masa kepemimpinan Abdul Malik
yakni berupa pemikiran yang serius untuk menerbitkan mata uang sendiri sebagai
salah satu alat pertukaran. Keberhasilan tersebut dicapai setelah adanya permintaan dari
pihak Romawi -saat itu mata uang yang berlaku adalah mata uang Bizantium dan
Persia yang nilainya sama dengan logam emas dan perak pada Dinar dan Dirham-
untuk menghilangkan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” dari mata uang yang berlaku.
Khalifah Abdul Malik sangat berkeberatan dan menolak sehingga dari peristiwa
tersebut, beliau akhirnya mencetak mata uang Islam sendiri dengan mencantumkan
kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” menggunakan kata dan tulisan Arab pada tahun 695
H. Hal ini terjadi pada tahun 659 M/74H. Penggunaan kata dan kalimat dalam
bahasa Arab sesungguhnya juga merupakan bagian dari politik nasionalisasi dan
Arabisasiyang dilakukan beliau(Nur, 2010). Di zamannya, Abdul Malik juga tak
segan menjatuhkan hukuman ta’zirkepada mereka yang berani mencetak mata uang
sendiri di luar percetakan negara. Kebijakan Fiskal Abdul Malik bin MarwanKebijakan
fiskal Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu mendirikan pabrik percetakan uang di
Damaskus, mengembangkan sistem pos yang telah dibangun pada masa Muawiah bin
Abu Sufyan. Sedangkan dalam hal pajak dan zakat, khalifah memberi kewajiban
kepada rakyatnya yang muslim untuk membayar zakat saja sedangkan beban
pajak dibebaskan seluruhnya. Karena kebijakan inilah banyak orang non muslim
yang berbondong-bondong masuk Islam dengan tujuan utama agar terhindar dari
beban membayar pajak. Akibat kebijakan yang diberlakukan ini, sumber pendapatan
negara dari sektor pajak justru mengalami defisit. Sedangkan beban lain harus
ditanggung negara karena bertambahnya pasukan militer dari kelompok Mawali
(yaitu kelompok umat Islam yang bukan berasal dari Arab dapat berasal dari Persia,
Armenia, dan lain-lain). Karena beban defisit keuangan yang ditanggung negara cukup
besar maka Abdul Malik mengembalikan pasukan militer dari paramuallaf ke posisinya
semula yaitu sebagai petani dan diharuskan membayar pajak sebesar beban Kharajdan
Jizyah seperti saat sebelum mereka masuk Islam. Karena kebijakan tersebut terjadilah
pertentangan keras oleh kelompok Mawali. Motif inilah yang menjadisalah satu
penyebab keruntuhan Daulah Umayyah. karena kaum Mawali kemudian membelot dan
memilih bergabung dengan kaum pemberontak dari Bani Abbasiyah(Nur,
2010).Kebijakan lain yang dihasilkan khalifah Abdul Malik adalah pembenahan
administrasi pemerintahan disertai pemberlakuan penggunaan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa
utama(Margoliouth, 1977)bahkan ke semua wilayah jajahan Daulah Umayyah.Tidak
hanya dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam berbisnis tapi juga penegasan akan
legitimasi kaum Arab saat itu (politik Arabisasi yang telah dijelaskan sebelumnya).
Khalifah mengubah bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi public
(Philip, 2006).

● Umar bin Abdul Aziz


Kebijakan Moneter
untuk menjaga stabilitas nilai mata uang, dinar dan dirham dikeluarkan
oleh otoritas yang berkuasa. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghukum orang
yang mengeluarkan koin tanpa izin Negara(Umar, 2001). Tentunya kebijakan fiskal
yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini ditopang dengan kebijakan
fiskal, karena kebijakan moneter dan fiskal haruslah seimbang. Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz kebanyakan adalah kebijakan
fiskal, tetapi pengaruhnya terhadap kebijakan moneter sangatlah besar. Berikut
adalah penjelasan kebijakan-kebijakan fiskal Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kebijakan Fiskal Umar bin Abdul Aziz


Kebijakan fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah mereformasi sumber pendapatan
negara melalui pajak tanah (kharaj), pajak non muslim (jizyah) pada tiga profesi yaitu;
petani, tuan tanah dan pedagang. Petani muslim dikenakan pajak 10% dari
hasil pertanian. sumber pendapatan lainnya adalah zakat yang diwajibkan bagi semua
umat islam yang mampu di mana setiap wilayah memiliki otonomi daerah dalam
mengelolanya.Pengeluaran negara meliputi belanja pegawai, belanja peralatan
administrasi negara, pendidikan dan distribusi zakat, serta memberi jaminan sosial
kepada seluruh masyarakat.Penghematan anggaran dalam pemberian fasilitas pejabat
negara dan juga penghematan dalam perayaan peringatan hari besar keagamaan dan
kenegaraan(Imaduddin, 1992). Keseimbangan fiskal dan moneter pada masa Umar
inilah yang berpengaruh pada stabilitas nilai mata uang yang mempunyai dampak
terhadap harga-harga komoditas yang ikut stabil. Telah diakui secara umum bahwa
stabilitas harga membantu merealisasikan tujuan pemenuhan kebutuhan pokok,
disribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, laju pertumbuhan ekonomi yang
optimum, kesempatan kerja penuh, dan stabilitas ekonomi (Umar, 2001).

2.5 Kemunduran

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya
kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:

1. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan dan pengaturannya tidak jelas.

2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi dimasa Ali.

3. Pada masa kekuasaan bani umayyah, pertentangan teknis antara suku Arabia utara
(bani Qays) dan Arabia selatan (bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum
Islam, makin meruncing.

4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup
mewah di lingkungan Istana, sehingga anak-anak Khalifah tidak sanggup memikul
beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan
agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan
agama sangat kurang.

5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah adalah


munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Al-
Muthalib.

6. kekuasaan wilayah sangat luas dalam waktu yang singkat tidak berbanding lurus dengan
komunikasi dengan baik, menyebabkan kadang-kadang suatu wilayah situasi keamanan dan
kejadian-kejadian tidak segera diketahui oleh pusat. Akibat komunikasi yang buruk maka
sulit untuk mendeteksi gerak-gerik lawan politik Umayah.

Demikianlah masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebuah masa yang penuh dengan gerakan
politik dan gerakan pemikiran. Tidak disangsikan bahwa masa pemerintahan mereka tidak
akan pernah tertandingi oleh masa yang lain dalam hal penaklukan kota dan negeri, dan dari
sisi banyaknya manusia yang memeluk Islam. Masa pemerintahan mereka memiliki
kelebihan tersendiri dalam lembaran sejarah Islam. Patut menjadi kebanggan kaum muslimin
hingga masa sekarang ini.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Muawiyah sebagai peletak pertama sistem pemerintahan monarki Islam, dengan


Dinasti Umayyah sebagai rezimnya, dipandang telah mengenalkan sistem baru dalam
pengelolaan negara dan kehidupan beragama. Sistem baru yang dikenalkan oleh Muawiyah
mempunyai pengaruh penting dalam penciptaan tradisi baru dalam masyarakat dan budaya
Arab. Budaya Arab pada masa Dinasti Umayyah berkembang terutama dipengaruhi oleh dua
faktor penting. Pertama, persentuhan antara budaya Arab muslim dengan budaya Eropa,
terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar di Spanyol. Dengan masuknya Islam ke
Eropa, budaya Arab muslim dapat bersentuhan langsung dengan budaya Eropa, terutama
dalam gaya hidup, tradisi, filsafat, kedokteran, astronomi, dan arsitektur. Kedua, meskipun
terdapat persentuhan langsung antara budaya Arab muslim dengan budaya Eropa, bangsa
Arab tetap mampu mempertahankan tradisi dan budaya khas mereka, dan hal ini berlangsung
hingga masa-masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Arsitektur religi, puisi, sastra, dan
seni musik khas Arab tetap dipertahankan dan mengalami perkembangan yang pesat. Dengan
demikian, betapa pun sistem pemerintahan monarki yang dijalankan oleh para khalifah
Dinasti Umayyah bersifat absolut-otoriter yang ternyata berbeda jauh dengan sistem
pemerintahan sebelumnya (Khulafâur-Râsyidîn) yang demokratis egaliter, pertumbuhan dan
perkembangan budaya Arab pada masa dinasti ini cukup menonjol dan dapat mengantarkan
kemasyhuran dinasti sesudahnya, Dinasti Abbasiyyah.

3.2 Saran

Demikianlah pembahasan tentang sejarah peradaban Islam pada masa Khilafah


Umayyah yang tentunya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Bagi orang
yang benci terhadap islam maka mereka akan melihat dari sebagian khalifah yang
menyimpang dari dogma kekhilafahan yang dipraktekan oleh Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin. Sebaliknya bagi yang mau bersifat objektif, maka akan memandang bahwa
memang betul bahwa pada masa pemerintahan bani Umayyah banyak terjadi penyimpangan
akan tetapi kita juga tidak bisa menutup mata dengan berbagai kemajuan gemilang yang telah
mereka persembahkan pada islam yang sampai saat ini pun masih dapat kita rasakan.

Bahkan apabila kita mau objektif dengan melakukan perbandingan antara system
pemerintahan demokrasi dan Khilafah maka akan terlihat jelas perbedaanya, dimana system
demokrasi tidak mampu mengatur masyarakat yang heterogen serta tidak mampu melindungi
kaum muslimin di seluruh penjuru dunia dari berbagai macam ancaman.

Bahkan menurut Dr. Muhammad Sayyid Al Waki (2009) sebagaimana yang dikutip syafi’I
Antonio mengatakan bahwa : “Khilafah adalah simbol persatuan masyarakat dan wilayah
islam diseluruh penjuru dunia. Dalam kondisi terlemah pun, khilafah islamiyah jauh lebih
baik bagi kaum muslimin daripada perpecahan yang mengantarkan pada keruntuhan.” Apa
yang disampaikan oleh sayyid al-waki adalah potret kaum Muslimin dengan ketiadaan
khilafah yang dapat melindungi mereka. Sehingga segala keterjajahan, ketertindasan dan
kemunduran dalam segala aspek kehidupan seolah menjadi pemandangan keseharian kita.
Oleh karena itu, umat islam wajib untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam dalam
naungan khilafah

REFERENSI :

https://www.yukbelajar.id/latar-belakang-berdirinya-dinasti-umayyah/
https://media.neliti.com/media/publications/11889-ID-pertumbuhan-dan-perkembangan-
budaya-arab-pada-masa-dinasti-umayyah.pdf
https://www.kompasiana.com/ghazi_01/5dbbd8b1d541df028220a4c2/kondisi-politik-dan-
diplomasi-pada-masa-bani-umayyah
Muflihin, M. (2020). PEREKONOMIAN DI MASA DINASTI UMAYYAH: SEBUAH KAJIAN MONETER DAN FISKAL.
Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE), 3(1), 58-69.
https://doi.org/10.31538/iijse.v3i1.462
https://kanggara75.wordpress.com/2018/10/03/bani-umayyah-spi/

Anda mungkin juga menyukai