Anda di halaman 1dari 163

PEMAHAMAN ANAK PRASEKOLAH

MENGENAI IDENTITAS GENDER


DAN
PERAN GENDER

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Oleh :
PATRISIUS SUSILO HADI PURNOMO
NIM : 019114082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

i
ii
iii
Veni Creator Spiritus,
mentes tu orum visita:
Imple superna gratia
quae tu creasti pectora.
Accende lumen sensibus,
infunde amorem cordibus,
Infirma nostri corporis
virtute firmans perpeti.
Deo Patri sit gloria,
et Filio, qui a mortuis
Surrexit, ac Paraclito,
In saeculorum saecula.
Amen.
(Hrabanus Maurus, abad ke-9)

....Kebijaksanaan....

Aku berdoa dan akupun diberi pengertian, aku bermohon lalu roh
kebijaksanaan datang kepadaku. Dialah yang lebih kuutamakan daripada
tongkat kerajaan dan takhta, dan dibandingkan dengannya kekayaan
kuanggap bukan apa-apa. Permata yang tak terhingga nilainya tidak
kusamakan dengan dia, sebab segala emas di bumi hanya pasir saja di
hadapannya, dan perak dianggap lumpur belaka di sampingnya. Ia kukasihi
lebih dari kesehatan dan keelokan rupa, dan aku lebih suka memiliki dia
daripada cahaya sebab kilau daripadanya tidak kunjung hentinya. Namun
demikian besertanya datang pula kepadaku segala harta milik, dan kekayaan
tak terhingga ada ditangannya.
(Kitab Kebijaksanaan 7: 7-11)

iv
^xáxÇtÇztÇ AAA
fxuxÜtÑtÑâÇ uxátÜÇçt AAA
gt~ ~tÇ Äxu|{ uxÜtÜà| wtÜ| ^xut{tz|ttÇA
AAA ^xut{tz|ttÇ twtÄt{ {|wâÑ AAA
`xá~| AAA
[|wâÑ ÑxÇâ{ ÑxÜ}âtÇztÇA
UxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ wxÜ|àt?
uxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ {âÜt@{âÜtA
gt~ {tÇçt àxÜutàtá àxÜÄxÑtáÇçt ÇçtãtA
;ctàÜ|á|âá? ECCL<

Kupersembahkan karya yang sederhana ini untuk:

Orangtuaku tercinta, yang selalu mendoakanku dan


senantiasa memberikan dukungan tiada henti kepadaku.

v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

vi
ABSTRACT
The Preschooler’s Comprehension
about Gender Identity and Gender Role

By:
Patrisius Susilo Hadi Purnomo
Psychology Faculty
Sanata Dharma University
2009

This research was aimed to know the preschooler’s comprehension about


gender identity and gender role. This research tried to figure out the preschooler’s
comprehension about gender identity and gender role.
This was a descriptive research, which using interview method for
collecting data. The interview data were getting from the preschoolers as prime
data, and also parents and teacher as secondary data. Then the data in this research
analyzed with triangulation technique.
The research found that 1) the preschoolers had the gender identity
comprehension as a boy or a girl. Which means the preschooler could identify
them self and others people, have known the characteristics of man and woman,
and also had appropriate feeling as a boy or a girl. 2) Preschoolers children also
had the gender role comprehension. Those are means that the preschoolers had the
comprehension about feeling, interest, ability, and behavior as boy and girl, and
also known how boy’s and girl’s feeling, interest, ability, and behavior, suppose to
be. 3) The environment factor contributed to the figuration of preschooler’s
comprehension about gender identity and gender role. The children
comprehension of gender identity and gender role were getting by understanding
the social roles, through observation, imitation, reinforcement-punishment, and
also gender scheme.

Key word: preschoolers, gender identity, and gender role.

vii
ABSTRAK
Pemahaman Anak Prasekolah
mengenai Identitas Gender dan Peran Gender

Oleh:
Patrisisus Susilo Hadi Purnomo
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah


mengenai identitas gender dan peran gender. Penelitian ini berusaha untuk
menggambarkan pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan
peran gender.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan
metode wawancara sebagai metode pengambilan data. Data wawancara
didapatkan dari anak prasekolah sebagai data subjek utama, serta orangtua dan
guru sebagai data subjek pendukung. Data dalam penelitian ini kemudian
dianalisa menggunakan teknik trianggulasi.
Hasil temuan menunjukkan 1) Anak prasekolah telah memiliki
pemahaman mengenai identitas gender sebagai laki-laki atau perempuan. Hal
tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah dapat mengidentifikasi jenis kelamin
diri sendiri dan orang lain, telah memiliki pemahaman ciri-ciri laki-laki dan
perempuan serta mempunyai perasaan yang sesuai sebagai laki-laki dan
perempuan. 2) Anak prasekolah juga mempunyai pemahaman tentang peran
gender. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah memiliki pemahaman
tentang perasaan, minat, kemampuan dan perilaku sebagai anak laki-laki dan
perempuan serta pemahaman tentang bagaimana seharusnya perasaan, minat,
kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan. 3) Faktor lingkungan
berperan dalam pembentukan pemahaman anak prasekolah tentang identitas
gender dan peran gender. Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran
gender didapatkan dengan memahami peran-peran sosial, melalui observasi,
melalui imitasi, melalui sistem hadiah-hukuman serta melalui skema gender.

Kata kunci: anak prasekolah, identitas gender, dan peran gender.

viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Patrisius Susilo Hadi Purnomo

Nomor Mahasiswa : 019114082

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-
ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Oktober 2009

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul, “Pemahaman

Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender” dapat

diselesaikan dengan baik.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas semua

perijinan dan persetujuan yang diberikan dalam penelitian dan karya ini.

2. Ibu Agnes Indar, S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih untuk waktu, bimbingan, pemikiran dan pembelajaran yang

telah Ibu berikan kepada saya sehingga karya ini dapat terbentuk.

3. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak C. Siswa Widyatmoko,

S.Psi., selaku dosen penguji pada saat ujian pendadaran skripsi. Terima

kasih atas saran dan masukan yang telah ibu dan bapak berikan, semua

itu amat bermanfaat bagi perbaikan dan kemajuan karya ini.

4. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing

akademik dan dosen kepala program studi. Trimakasih atas semangat dan

kesempatan yang ibu berikan, sehingga karya ini dapat terwujud.

5. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak, Mas Yuli&Mbak Arinda serta Sigit,

Mbak Evy&Mas Supriyadi serta Aar dan Rafa, Mbak Sr. Kristi PK yang

x
telah mendukung dan tak henti-henti mendoakanku sehingga akhirnya

aku dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Puella mea, terima kasih atas cinta, kesabaran, masukan dan semua

dukungan darimu. Aku mencintaimu.

7. Teman-temanku yang budiman: Doni, Heru, Heri, Yudhi, Tiwik, Dhedy,

Kris, Aris, Cyrill, Astrid, Deka, Hari, serta teman - teman semuanya yang

tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua bantuan

material, dukungan, doa, saran, serta sharingnya sehingga karya ini dapat

terwujud.

8. Adik-adik siswa TK Kanisius Sengkan yang lucu dan lugu, terimakasih

telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.

9. Kepada para orangtua subjek penelitian ini, terimakasih untuk kesediaan

dan kepercayaan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa berjalan.

10. Bu Titik, Yu Kristin, Bu Kris, Bu Yam, Bu Wiwik, Mas Wawan, Pak

Rinto, Bu Retno, Pak Wawan, sebagai jajaran pendidik TK Kanisius

Sengkan, terimakasih telah mengijinkan, menerima dan atas kerjasama

selama berbulan-bulan sehingga karya ini bisa terwujud.

11. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

telah ikut membantu memperlancar proses ini. Kepada Pak Gie, Mas

Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Bu Nanik. Terima kasih banyak.

12. Semua pihak - pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang juga

telah memberikan dorongan serta bantuan baik material maupun spiritual

selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak.

xi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….. ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI …………….. iii

HALAMAN MOTTO ……………..……………..……………..… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………….. v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………. vi

ABSRACT ……………………………………………………… vii

ABSTRAK ……………………………………………………….. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH … ix

KATA PENGANTAR ………………………………………….... x

DAFTAR ISI …………………………………………………….. xii

DAFTAR TABEL……………………………………………….. xv

DAFTAR SKEMA ……………………………………………… xv

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………….. xvi

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1

A. Latar Belakang……………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………. 10

C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 10

D. Manfaat Penelitian…………………………………………… 10

BAB II LANDASAN TEORI ...………………………………………… 11

xii
A. Identitas Gender dan Peran Gender ...……………………….. 11

1. Pengertian Identitas Gender dan Peran Gender Gender ….. 11

a. Definisi Identitas Gender ……………………………… 11

b. Definisi Peran Gender ………………………………… 12

2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender …………… 13

a. Teori Peran Sosial……………………………………… 13

b. Teori Sosial Kognitif…………………………………… 13

c. Teori Perkembangan Kognitif………………………… 14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender .. 17

a. Faktor Biologis………………………………………… 17

b. Faktor Lingkungan …………………………………….. 20

1). Orang Tua……………………………………….. 20

2). Teman Sebaya…………………………………... 21

3). Sekolah dan Guru……………………………….. 23

4). Media …………………………………………… 25

4. Karakteristik Peran Gender ………………………………… 26

a. Karakteristik Peran Gender Laki-laki ………………………… 26

b. Karakteristik Peran Gender Perempuan ……………………… 27

B. Anak Parasekolah ……………………………………………... 28

1. Batasan Anak Prasekolah …………………………………… 28

2. Karakteristik Umum Anak Prasekolah ……………………… 30

3. Tugas Perkembangan Anak Prasekolah ……………………. 32

C. Perkembangan Identitas Gender dan Peran Gender Anak

xiii
Prasekolah ……………………………………………………… 33

D. Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan

Peran Gender …………………………………………………… 36

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………… 41

A. Tujuan Penelitian …………........................................................ 41

B. Jenis Penelitian …........................................................................ 41

C. Variabel Penelitian …………………………………………….. 42

44
D. Subjek Penelitian ………………………………………………
45
E. Metode Pengumpulan Data ……………………………………
53

F. Valliditas dan Realibilitas……………………………………… 54

58
G. Analisis Data………………………………………………….

H. Prosedur Penelitian …………………………………………… 

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………. 61

A. Pelaksanaan Penelitian……………………………………….. 61

B. Deskripsi Subjek ……………………………………………… 67

C. Hasil Penelitian ………………………………………………… 67

I. Subjek I ……………………………………………… 68

II. Subjek II ……………………………………………… 70

III. Subjek III …………………………………………… 73

IV. Subjek IV …………………………………………… 76

V. Subjek V ……………………………………………… 78

xiv
VI. Subjek VI …………………………………………… 80

VII. Subjek VII …………………………………………… 83

VIII. Subjek VIII …………………………………………… 86

D. Pembahasan ……………………………………………………… 96

BAB V. PENUTUP …………………………………………………………… 109

A. Kesimpulan ……………………………………………………… 109

110
B. Saran ………………………………………………………………

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai

Identitas Gender ………………………………………………… 45

TABEL 2. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai

Peran Gender ………………………….………………………… 46

TABEL 3. Pedoman Wawancara dengan Orangtua ………………………. 48

TABEL 4. Pedoman Wawancara dengan Guru …………………………. 51

TABEL 5. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah 55

mengenai Identitas Gender ………………………………………

TABEL 6. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah 57

mengenai Peran Gender ………………………………………..

TABEL 7. Ringkasan Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ………… 62

TABEL 8. Komposisi Subjek Penelitian ………………………….………. 67

TABEL 9. Rangkuman Pemahaman Identitas Gender dan Peran Gender … 89

xv
DAFTAR SKEMA

Skema 1 Skema Gender …………………………… 16

Skema 2 Skema Penelitian ………………………… 38

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran-lampiran A. Trianggulasi …………………………… 116

Trianggulasi Data Subjek I ……………… 116

Trianggulasi Data Subjek II ……………… 118

Trianggulasi Data Subjek III ……………… 122

Trianggulasi Data Subjek IV ……………… 125

Trianggulasi Data Subjek V ……………… 128

Trianggulasi Data Subjek VI ……………… 131

Trianggulasi Data Subjek VII …………… 134

Trianggulasi Data Subjek VIII …………… 137

B. Rangkuman Observasi ………………… 141

C. Surat Ijin ……………………………… 145

D. Lembar Persetujuan …………………… 147

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock,

2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah

mereka (Watson & Lindgren, 1973). Salah satu tugas perkembangan anak

prasekolah menurut Havighurst dalam Hurlock (1998) adalah mengetahui

perbedaan seks dan tata caranya. Ahli lain, Wenar & Kerig (2000) juga

mengungkapkan bahwa anak-anak harus belajar mengklasifikasikan dirinya

sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak usia prasekolah

harus mulai memahami jenis kelamin, baik jenis kelamin dirinya sendiri dan jenis

kelamin orang lain seperti teman, orangtua, dan guru.

Santrock (1995) menjelaskan jenis kelamin mengacu pada dimensi

biologis sebagai laki-laki atau perempuan, dan gender mengacu pada dimensi

sosial sebagai laki-laki dan perempuan. Dua aspek gender mengandung sebutan

khusus – identitas gender dan peran gender. Identitas gender atau gender identity

ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar

anak-anak pada waktu berusia 3 tahun. Menurut Santrock (1995) peran gender

atau gender role adalah seperangkat harapan yang menggambarkan laki-laki dan

perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa. Wenar & Kerig (2000)

mengungkapkan bahwa masyarakat turut menentukan yang mana perilaku dan

perasaan yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan, dan anak-anak harus belajar

perilaku peran gender yang sesuai.

1
2

Menurut Kinsey Institute dalam Yustina (2006), sejak lahir hingga usia

tiga tahunan seorang anak menemukan identitas jenis kelaminnya atau gender

identity. Di usia tiga tahun anak mulai mengenal apa yang disebut dengan peran

jenis kelamin atau gender role, yaitu kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan

laki-laki dan perempuan. Dasar dari pengetahuan peran jenis ini adalah

pengenalan identitas kelamin.

Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender dipengaruhi

oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan. Faktor

pertama adalah faktor biologis antara lain kromosom seks dan hormon. Faktor

kedua adalah faktor lingkungan, antara lain orangtua, teman sebaya, sekolah dan

guru, serta media.

Pengaruh faktor biologis tampak dalam proses perkembangan pranatal.

Santrock (2002) menjelaskan, manusia normal memiliki 46 kromosom yang

terangkai dalam pasangan. Pasangan ke-23 mungkin memiliki dua kromosom X

untuk menghasilkan seorang perempuan, atau mungkin memiliki satu kromosom

X dan satu kromosom Y untuk menghasilkan seorang laki-laki. Pada beberapa

minggu pertama pembuahan, embrio perempuan dan laki-laki tampak sama.

Organ-organ jenis kelamin laki-laki mulai berbeda dari organ-organ jenis kelamin

perempuan saat kromosom XY pada embrio laki-laki memicu keluarnya

androgen, yakni kelas hormon jenis kelamin laki-laki yang utama. Tingkat

androgen yang rendah pada embrio perempuan memungkinkan perkembangan

normal organ-organ jenis kelamin perempuan.


3

Hal senada juga diungkapkan Allan & Barbara (1999), bahwa masa enam

hingga delapan minggu setelah pembuahan, sebuah janin jantan (XY) menerima

sejumlah besar hormon jantan yang disebut androgen, yang pertama-tama

membentuk testis kemudian dosis berikutnya untuk mengubah otak dari susunan

otak betina menjadi susunan otak jantan. Jika janin jantan tidak mendapatkan

hormon jantan yang mencukupi pada waktu yang tepat, satu dari dua hal mungkin

akan terjadi. Pertama-tama, seorang bayi laki-laki mungkin terlahir dengan

susunan otak yang cenderung feminin daripada maskulin. Kedua, seorang anak

laki-laki yang secara genetis pria namun dengan otak sepenuhnya wanita dan alat

kelamin pria. Orang ini akan menjadi transgender. Ini adalah seorang yang secara

biologis pria tetapi perasaannya sebagai wanita. Bahkan kadang-kadang terlahir

sebagai pria genetik dengan sepasang alat kelamin pria dan wanita.

Pemahaman tentang identitas gender dan peran gender anak juga

dipengaruhi oleh lingkungan sosial anak, melalui belajar sosial. Huston (1983)

(dalam Santrock, 1995) berpendapat, anak laki-laki dan perempuan mempelajari

peran-peran gender melalui peniruan atau belajar mengobservasi dengan cara

menonton apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain. Kebudayaan,

sekolah, teman-teman sebaya, media dan anggota keluarga adalah sumber belajar

yang lain. Terlebih pada tahun awal perkembangan, orangtua mempunyai

pengaruh yang penting bagi perkembangan gender.

Naland (2007) menjelaskan pengaruh sosial, termasuk orangtua bagi anak

dalam memahami identitas gender dan peran gender. Sejak bayi sudah tampak

orangtua maupun orang dewasa memperlakukan anak laki-laki dan perempuan


4

secara berbeda. Di rumah sakit seringkali perbedaan perlakuan sudah mulai

tampak, misalnya bayi perempuan dibungkus dengan selimut warna merah jambu

dan anak laki-laki dengan selimut warna biru. Orangtua cenderung memilih baju

dengan warna yang dianggap sesuai dengan jenis kelamin anak. Rasanya tidak

nyaman kalau anak laki-laki memakai baju merah jambu, tetapi sebaliknya tidak

terlalu menjadi masalah kalau anak perempuan memakai baju biru.

Orangtua mempunyai harapan agar anak mereka memahami jenis kelamin

serta berperilaku sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku. Hal tersebut

dijelaskan dalam Berk (2007) bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan

yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua menyatakan

bahwa mereka menginginkan agar anak-anak mereka bermain dengan mainan

yang sesuai dengan gendernya. Orangtua memberi anak laki-laki mereka mainan

yang menekankan aksi dan kompetisi, seperti tembak-tembakan, mobil-mobilan,

alat-alat servis, dan bola kaki serta memberi anak perempuan mereka mainan yang

menampilkan pengasuhan, pasar-pasaran dan keterampilan fisik, seperti boneka,

alat masak-masakan, dan perhiasan mainan.

Penelitian Medeline Shakin menunjukkan bahwa orangtua merasa tidak

secara khusus memilih baju-baju anaknya berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi

pada kenyataannya bayi ataupun anak-anak mereka diberi baju ataupun aksesoris

lain yang menunjukkan bayi mereka laki-laki atau perempuan. Medeline Shakin

melakukan penelitian terhadap 24 bayi laki-laki dan 24 bayi perempuan, 75% bayi

perempuan mengenakan baju warna merah jambu dan aksesoris yang dipakai

bayi-bayi tersebut juga menunjukkan jenis kelaminnya. Sedang 79% anak laki-
5

laki dalam penelitian tersebut memakai baju warna biru; sisanya mengenakan baju

dengan berbagai warna lainnya. Sekalipun warna baju tidak memperlihatkan jenis

kelamin anak-anak tersebut, barang-barang lain yang digunakan akan

menunjukkan mereka laki-laki atau perempuan (Naland, 2007).

Perlakuan yang berbeda bukan saja berhubungan dengan penampilan,

tetapi juga berbagai perlakuan yang lain. Orangtua lebih bisa menerima anak

perempuan yang bermanja-manja daripada bila hal tersebut dilakukan oleh anak

laki-laki. Anak perempuan diperlakukan lebih lembut dan lebih mendapat

perhatian dalam segi penampilan. Anak laki-laki dianggap tidak pantas bila

menangis tetapi orangtua tidak berkeberatan bila itu terjadi pada anak perempuan

(Naland, 2007).

Dalam Santrock (1995), banyak orangtua mendorong anak laki-laki dan

anak perempuan untuk terlibat dalam jenis-jenis permainan dan kegiatan-kegiatan

yang berbeda. Anak-anak perempuan lebih cenderung diberi boneka untuk

dimainkan selama masa awal anak-anak. Mulyadi (2003) mengungkapkan

bagaimanapun akan lain perilaku laki-laki dan perempuan terhadap mainannya,

walaupun itu mungkin terlihat permainan untuk perempuan atau untuk laki-laki,

mungkin si laki-laki yang bermain masak-masakan akan terlihat kasar dan tangkas

ketika dia memasak, atau ketika bermain boneka dia akan sradak-sruduk

memegang bonekanya karena dia laki-laki, jika perempuan dia akan memanjakan

bonekanya, memegang dengan halus bonekanya, itu sudah naluri mereka yang

akan keluar. Bukan mainannya yang dibedakan, ini untuk perempuan ini untuk

laki-laki, tapi perlakuan mereka terhadap mainannyalah yang perlu disimak.


6

Guru juga mempunyai peran dalam pembentukan pemahaman anak

tentang identitas gender dan peran gender. Dalam observasi awal di TK Pertiwi

Tunas Abadi, Cepu, Jawa Tengah, dicatat bahwa guru mencoba memberikan

gambaran tentang identitas gender dan peran gender kepada siswa di kelasnya. Di

tengah waktu belajar menulis huruf kelas Nol-kecil, salah seorang guru meminta

siswa mengulangi tulisan di papan tulis. Karena sebagian besar anak angkat

tangan, guru menunjuk siswa yang tidak angkat tangan, Dino. Pada saat itu Dino

tidak mau maju karena takut, di lain sisi guru berusaha agar Dino berani maju ke

depan kelas, “Masak anak laki-laki takut. Ayo Dino”. Karena Dino tetap tidak

mau maju, guru berkata “Dino anak laki-laki atau perempuan?”. Dino tetap takut

dan diam dan guru terus berusaha agar Dino mau maju, “Dino, anak laki-laki

nggak boleh takut. Masa kalah sama anak perempuan. Anak perempuan aja

banyak yang mau maju. Masak Dino mau kalah sama anak perempuan. Ayo Dino

berani ya? Kita belajar bareng-bareng”. Guru menggandeng Dino untuk maju ke

depan kelas.

Pada usia ini, teman sebaya memiliki peran dalam terbentuknya

pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Menurut hasil

penelitian Eleanor Maccoby (1997), teman sebaya memainkan peranan penting

dalam sosialisasi perilaku gender. Mereka mengajar satu sama lain apa perilaku

yang dapat diterima oleh gendernya dan apa perilaku yang tidak dapat ditolerir.

Buhrmester (1993) dan Maccoby (1989, 1993) (dalam Santrock, 1995) juga

menjelaskan bahwa anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-

teman sebaya yang sama jenis kelaminnya cenderung dihargai oleh teman-teman
7

mereka. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang

berbeda jenis kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau

ditinggal bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang

jelas untuk sama dengan dan menyukai teman-teman sebaya yang sama jenis

kelamin.

Pemahaman anak mengenai identitas dan peran gender juga didapatkan

dari media, hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (2007) bahwa pada iklan

media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan produk

kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara kaum laki-

laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding dengan masa

lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum perempuan lebih

berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status yang sama kepada

mereka dibanding dengan kaum laki-laki). Pramono (2004) berpendapat bahwa

seorang anak akan melihat dunia dan masyarakat sekitarnya, yang memberikan

pengertian perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam tayangan-

tayangan khusus televisi yang memperlihatkan peranan perempuan dan laki-laki.

David Bjorklund (1987) (dalam Brannon, 1999) mengemukakan bahwa

anak berusia kurang dari lima tahun masih sulit memahami dasar pemahaman

tentang gender, dan mereka tidak mengerti bahwa laki-laki dan perempuan

merupakan karakteristik yang permanen. Bjorklund menjelaskan kesulitan yang

dialami anak-anak yakni terdapat pada pembentukan identitas gender, proses

mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan, dan gender konstansi,

pengetahuan bahwa gender merupakan karakteristik permanen.


8

Setiap anak mungkin pernah mengalami kesulitan dalam memahami

identitas gender dan peran gender sebagai laki-laki atau perempuan. Kesulitan

yang dialami anak dalam memahami identitas gender dan peran gender bisa

disebabkan karena tingkat dominasi sisi maskulin atau sisi feminin seseorang. Hal

tersebut dijelaskan oleh Hartington (dalam Rezki, 2006). Seseorang yang dominan

maskulin akan menunjukkan sifat suka mencari gara-gara untuk berkelahi,

perusak, kasar dan keras terhadap orang lain. Ia terus menerus tidak dapat

mengendalikan perilaku kasar dan tidak sensitif.

Di lingkungan sosial kita sekarang ini, banyak kita lihat laki-laki yang

mempunyai peran sosial sebagai perempuan –seperti laki-laki yang bekerja

sebagai penata rias ataupun tukang masak– dan perempuan yang mempunyai

peran sosial sebagai laki-laki –seperti pekerja pertambangan ataupun pekerja

bangunan. Sepertinya sekarang ini para orangtua mempersiapkan anak mereka

agar kelak dapat bekerja sesuai kemampuan anak, terlepas dari kehadirannya

sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut memungkinkan anak prasekolah

lebih mengalami kesulitan dalam memahami identitas gender dan peran gender

sebagai laki-laki atau perempuan.

Sebuah penelitian oleh William Damon (1977) (dalam Bee, 1997)

berusaha menjelaskan tentang pemahaman anak mengenai konsep dan stereotipe

peran seks. Dalam penelitian tersebut, William memberikan suatu kisah kepada

anak berusia 4 sampai 9 tahun tentang seorang anak laki-laki bernama Gheorge

yang suka bermain boneka. Dalam penetian tersebut didapatkan, subjek berusia 4

tahun menyatakan ‘boleh-boleh saja George bermain dengan boneka. Tak ada
9

aturan untuk hal tersebut dan anak laki-laki akan melakukannya bila

menginginkannya’. Subjek 9 tahun menyatakan salah bila George bermain

boneka. Pada subjek 9 tahun, anak-anak mempunyai perbedaan antara apa yang

boleh dilakukan anak laki-laki dan perempuan, dan apa itu ‘salah’. Seorang anak

laki-laki mengungkapkan, sebagai contoh, membanting jendela adalah salah dan

buruk, tetapi bermain boneka tidaklah buruk. Anak tersebut juga mengatakan:

‘Jangan sekali-kali kamu membanting jendela. Dan jika bermain boneka, boleh,

anak laki-laki kadang juga memainkannya’. Dari penelitian tersebut dapat

dikatakan bahwa anak berusia 4-9 tahun masih dalam tahap belajar mengenai

identitas gender dan peran gender.

Wacana penelitian di atas merupakan penelitian tentang identitas gender

dan peran gender anak berusia 4-9 tahun yang dilakukan di luar negri (dengan

latarbelakang budaya barat). Dari sinilah muncul ketertarikan penulis untuk

melakukan penelitian tentang pemahaman anak mengenai identitas gender dan

peran gender anak prasekolah di masyarakat Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Anak usia prasekolah di masyarakat Indonesia juga diharapkan menguasai tugas

perkembangannya, salah satu tugas tersebut adalah memiliki pemahaman

mengenai identitas gender dan peran gender. Mungkin anak juga mengalami

kesulitan dalam pemahaman identitas gender dan peran gender. Penelitian ini

bertujuan melihat secara faktual bagaimana pemahaman anak prasekolah

mengenai identitas gender dan peran gender anak prasekolah masyarakat

Indonesia serta mendeskripsikan sejauh mana pemahaman anak prasekolah

sebagai laki-laki dan perempuan.


10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pertanyaan dalam

penelitian ini adalah bagaimana pemahaman anak prasekolah mengenai identitas

gender dan peran gender di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman anak

prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi

perkembangan khususnya mengenai pemahaman anak prasekolah

mengenai identitas gender dan peran gender.

b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan

masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai

perkembangan anak terutama tentang perkembangan gender.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan wacana bagi masyarakat,

khususnya orangtua, dan pembaca tentang pemahaman anak prasekolah

mengenai identitas gender dan peran gender.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Identitas Gender dan Peran Gender

1. Pengertian Identitas Gender dan Peran Gender

a. Definisi Identitas Gender

Identitas gender ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang

diperoleh oleh sebagian besar anak-anak pada waktu berusia 3 tahun (Santrock,

1995). Vasta (1995) menjelaskan identitas gender sebagai kemampuan

mengkategorisasikan diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Papalia,

Olds & Feldman (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai kesadaran

seseorang sebagai laki-laki atau perempuan dan perwujudannya dalam

lingkungan sosial. Identitas gender merupakan aspek penting dalam

perkembangan konsep diri. Berk (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai

pandangan diri seseorang terhadap ciri-ciri sebagai feminin dan maskulin.

Menurut Money (2007), identitas gender adalah anggapan seseorang

tentang dirinya dengan kepribadian laki-laki, perempuan atau berlainan dengan

dirinya yang diwujudkan dalam proses mental dan perilaku sadar. Menurut

Salbiah (2003) identitas gender merupakan perasaan seseorang menjadi laki-laki

atau perempuan, dan mendeskripsikan perasaan seseorang akan sifat kelaki-

lakiannya atau kewanitananya.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identitas

gender adalah kesadaran, perasaan pandangan diri serta kemampuan anak

11
12

prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami diri dan orang lain sebagai

laki-laki dan perempuan.

b. Definisi Peran Gender

Peran gender adalah seperangkat harapan yang menggambarkan

bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa

(Santrock, 1995). Papalia, et al (2007) berpendapat bahwa peran gender adalah

perilaku, minat, sikap, kemampuan dan ciri kepribadian yang sesuai dan

diterima oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Demikian pula Vasta

(1995) berpendapat bahwa peran gender adalah aturan-aturan atau hukum-

hukum tentang perilaku yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan serta diterima

oleh masyarakat.

Menurut Money (2007), peran gender adalah perwujudan umum tentang

identitas gender seseorang, tentang bagaimana orang harus berkata dan

berperilaku atau kecocokan dan ketidak cocokan yang menunjukkan pribadi

sebagai laki-laki dan perempuan. Salbiah (2003) berpendapat, peran gender

merupakan ekspresi publik tentang identitas gender. Menurut Kinsey Institute

peran gender adalah kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan

perempuan (Yustina, 2006).

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender

merupakan pikiran, perasaan, sikap, perkataan dan perilaku anak prasekolah

tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.


13

2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender

a. Teori Peran Sosial

Dalam Santrock (2007) dijelaskan teori peran sosial, yang menyatakan

bahwa perbedaan gender merupakan akibat dari pembedaan peran pria dan

wanita. Di sebagian besar kebudayaan di dunia, kaum wanita kurang memiliki

kekuatan dan status sedangkan kaum pria memilikinya dan mereka mengatur

beberapa sumber. Dibanding laki-laki, perempuan lebih sering melakukan

pekerjaan domestik, menghabiskan waktu yang sedikit untuk upah pekerjaan,

menerima gaji yang lebih rendah, dan jarang dijumpai berkedudukan tinggi

dalam organisasi. Dalam pandangan Eagly (dalam Santrock, 2007),

sebagaimana para wanita menyesuaikan diri terhadap peran dengan sedikit

kekuatan dan sedikit status di masyarakat, mereka tampak lebih kooperatif,

profil dominan yang kurang dibanding laki-laki. Dengan demikian, hierarki

sosial dan pembagian tenaga kerja merupakan hal yang penting pada perbedaan

gender dalam kekuasaan, asertivitas, dan pengasuhan.

b. Teori Sosial Kognitif

Santrock (1995) menjelaskan, perkembangan gender anak-anak terjadi

melalui observasi dan peniruan perilaku gender, dan melalui mekanisme hadiah

dan hukuman anak-anak mengalami perilaku gender yang sesuai dan tidak

sesuai. Dengan mengobservasi orang-orang dewasa dan teman-teman sebaya di

rumah, di sekolah, tetangga, dan televisi, anak-anak terbuka secara luas terhadap

banyak sekali model yang memperlihatkan perilaku maskulin dan feminin.


14

Orangtua seringkali menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengajarkan

anak perempuan mereka agar bersikap dan berperilaku feminin dan maskulin.

Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Bussey & Bandura (1999)

(dalam Santrock, 2007), berdasarkan teori sosial kognitif gender, perkembangan

gender anak terjadi lewat observasi dan imitasi, serta lewat hadiah dan hukuman

anak mengalami perilaku gender yang tepat dan gender yang tidak tepat.

Orangtua terkadang memakai hadiah dan hukuman untuk mengajarkan anak

perempuannya menjadi feminin –”Karen, kamu adalah anak yang baik ketika

kamu mau main boneka dengan lemah lembut”– dan mengajarkan anak laki-

lakinya menjadi maskulin –”Keith, anak laki-laki sebesar kamu tidak boleh

menangis”. Fagot, Rodgers, & Leinbach (2000) juga menjelaskan bahwa anak-

anak selalu belajar tentang gender dari observasi orang dewasa dalam

lingkungan tetangga dan dari televisi.

c. Teori Perkembangan Kognitif

Dalam Santrock (2007), observasi, imitasi, hadiah dan hukuman-

merupakan mekanisme dalam perkembangan gender dari teori sosial kognitif.

Interaksi anak dengan lingkungan sosial adalah kunci dari pandangan teori

perkembangan gender. Beberapa kritik berpendapat bahwa penjelasan ini terlalu

sedikit memberi perhatian pada pikiran dan pemahaman anak, dan

menggambarkan anak dalam proses pemahaman peran gender. Teori

perkembangan kognitif gender menetapkan tipe gender anak terjadi setelah anak

berpikir dirinya laki-laki atau perempuan. Suatu saat mereka memahami secara
15

konsisten tentang dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, anak-anak menyukai

aktivitas-aktivitas, benda-benda, dan sikap-sikap konsisten dengan label ini.

Lawrence Kohlberg di tahun 1966, menggaris bawahi pentingnya

pemahaman tentang arti menjadi seorang laki-laki dan perempuan dalam

perkembangan peran gender. Kohlberg menjelaskannya dalam tiga tahap,

pertama anak mempelajari identitas mereka –misal, “aku adalah anak laki-laki”–

, selanjutnya stabilitas gender –“aku selamanya menjadi seorang anak laki-laki

dan tumbuh menjadi seorang laki-laki”–, dan terakhir ketetapan gender –

“meskipun aku memakai gaun, aku tetaplah seorang anak laki-laki”. Hal

tersebut terjadi ketika anak berusia enam tahun (Noppe, 2002).

Teori skema gender menyatakan bahwa tipe gender muncul ketika anak-

anak secara berangsur-angsur mengembangkan skema gender tentang apa yang

disebut gender yang tepat dan gender yang tidak tepat dalam budaya mereka.

Skema adalah stuktur kognitif, jaringan dari kesatuan yang mengarahkan

persepsi individu. Skema gender mengatur dunia dalam lingkup laki-laki dan

perempuan. Anak-anak termotivasi dari dalam untuk merasakan dunia dan

untuk bertindak sesuai dengan perkembangan skemanya (Santrock, 2007).

Berk (2007) menjelaskan, teori skema gender merupakan sebuah

pendekatan pemrosesan informasi untuk tipe gender yang berhubungan dengan

belajar sosial dan perkembangan kognitif. Hal tersebut menjelaskan bahwa

tuntutan lingkungan dan kognisi anak bekerja bersama dalam mengasah

perkembangan gender. Di usia awal, anak-anak mengambil pilihan-pilihan dan

perilaku-perilaku tipe gender dari orang lain. Pada waktu yang sama, mereka
16

mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya dalam skema gender, atau

kategori maskulin dan feminin, yang mereka gunakan untuk

menginterpretasikan dunianya. Dan pada akhirnya anak dapat memberi label

jenis kelamin mereka sendiri, mereka memilih skema gender berdasar hal

tersebut –‘hanya anak laki-laki yang menjadi dokter’ dan ‘memasak adalah

pekerjaan anak perempuan’– dan menggunakan kategori yang sesuai dengan

dirinya. Persepsi diri mereka kemudian menjadi tipe gender dan menyajikan

semacam skema tambahan dimana anak-anak memakai proses informasi dan

mengatur perilakunya sendiri.

Skema 1
Skema Gender

Berk (2007) menjelaskan bahwa gambar di atas menunjukkan beda alur

kognitif anak-anak yang selalu menerapkan skema gender pada pengalamannya

dan anak-anak yang terkadang menerapkannya. Termasuk Billy, yang

menghadapi boneka. Jika Billy adalah anak dengan gender yang terskema, filter

gender-salience-nya secara langsung membuat tingkat relevansi gender yang


17

tinggi. Jika pertanyaan ‘bolehkah anak laki-laki bermain boneka?’ dijawab ‘ya’

dan tertarik dengan boneka, dia mendekatinya, mengeksplorasinya, dan

mempelajarinya lebih jauh. Jika jawabannya ‘tidak’, dia akan merespon dengan

menghindari mainan yang tidak sesuai dengan gendernya. Tetapi jika Billy

adalah anak dengan gender yang tak terskema, secara sederhana dia akan

bertanya pada dirinya ‘Apakah aku suka mainan ini?’ dan merespon

berdasarkan ketertarikan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

a. Faktor Biologis

Tahun 1920-an para peneliti telah menegaskan eksistensi kromosom

jenis kelamin manusia, yakni material genetis yang menentukan jenis kelamin

kita. Manusia normal memiliki 46 kromosom yang terangkai dalam pasangan.

Pasangan ke-23 mungkin memiliki dua kromosom X untuk menghasilkan

seorang perempuan, atau mungkin memiliki satu kromosom X dan satu

kromosom Y untuk menghasilkan seorang laki-laki. Pada beberapa minggu

pertama pembuahan, embrio perempuan dan laki-laki tampak sama. Organ-

organ jenis kelamin laki-laki mulai bebeda dari organ-organ jenis kelamin

perempuan saat kromosom XY pada embrio laki-laki memicu keluarnya

androgen, yakni hormon jenis kelamin laki-laki yang utama. Tingkat androgen

yang rendah pada embrio perempuan memungkinkan perkembangan normal

organ-organ jenis kelamin perempuan (Santrock, 2002)


18

Erik Erikson dalam Santrock (1995) berpendapat bahwa jenis kelamin

seseorang mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam perilaku gender.

Erikson berpendapat bahwa, karena struktur jenis kelamin, laki-laki lebih suka

mengganggu dan agresif, perempuan lebih suka bersikap inklusif dan pasif.

Pandangan tersebut dikuatkan oleh pendapat Bernhardt (1997); Starzyk &

Quinsey (2001); Ramirez (2003) (dalam Papalia, et al, 2007), mereka

menjelaskan bahwa hormon dalam aliran darah sebelum atau setelah masa

kelahiran mempengaruhi perkembangan otak. Testosteron bersama dengan

tingkat serotonin neuorotransmiter yang rendah mempunyai hubungan dengan

agresifitas, daya kompetifitas, dan kekuasaan, mungkin berdampak pada

struktur otak seperti hypothalamus dan amygdale.

Di usia 5 tahun, ketika otak berkembang kira-kira seukuran orang

dewasa, otak anak laki-laki 10 persen lebih besar dibanding otak anak

perempuan, hal tersebut disebabkan karena anak laki-laki memiliki lebih banyak

otak kecerdasan di cerebral cortex, sebaliknya anak perempuan mempunyai

kepadatan neuron yang lebih baik. Fakta menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan ukuran pada corpus collosum berhubungan dengan kemampuan

verbal. Karena anak perempuan memiliki corpus collosum yang lebih besar –

koordinasi antara dua belahan otak lebih baik– maka anak perempuan

cenderung mempunyai kemampuan verbal yang sangat baik (Papalia, et al,

2007)

Bukti lain, seperti yang diungkapkan Angela (2002), tampak dalam

sebuah penelitian di Inggris, bahwa perilaku kelaki-lakian ternyata dipengaruhi


19

pula oleh hormon ibu saat mengandung. Penelitian ini menyebutkan kadar

hormon testosteron ibu yang tinggi saat mengandung akan mempengaruhi

perilaku bayi perempuan yang dikandungnya kelak ketika telah lahir. Setelah

mempertimbangkan faktor lain seperti pengaruh pola asuh ibu, keberadaan

kakak atau adik, orangtua laki-laki, dan bagaimana orangtua menerapkan peran

gender secara tradisional, peneliti menemukan hubungan antara kadar hormon

testosteron selama sang ibu mengandung dengan perilaku anak perempuan

setelah lahir. Semakin tinggi kadar hormon testosteron si ibu, semakin besar

pula kemungkinan bayi mempunyai perilaku kelaki-lakian dalam

perkembangannya.

Eleanor Maccoby (1998) berpendapat bahwa hormon selalu

mempengaruhi gaya bermain seseorang, anak laki-laki tampak bermain dengan

kasar, ribut, sedangkan anak perempuan bermain dengan sopan dan lemah

lembut. Selanjutnya, meskipun anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya,

mereka lebih memilih teman yang mempunyai ketertarikan dan yang

berperilaku seperti dirinya. Anak perempuan berusaha mencari anak perempuan

yang lain agar dapat diajak bermain rumah-rumahan dengan peran pasar-

pasaran. Di lain sisi, anak laki-laki berusaha membentuk kelompok bermain

yang besar dengan anak laki-laki lainnya, agar dapat bermain kejar-kejaran,

panjat-panjatan, perang-perangan, saling bersaing, dan permainan gobak sodor.

(Berk, 2007)
20

b. Faktor Lingkungan

1. Orangtua

Sebuah penelitian dari Peterson & Peterson (1973) dalam Santrock

(1995) mengungkapkan bahwa, pada umumnya orangtua cenderung berharap

mempunyai anak laki-laki. Sebuah penyelidikan di tahun 1970-an, dari 90

persen laki-laki dan 92 persen wanita berharap bayi pertama mereka adalah

laki-laki. Penelitian selanjutnya, oleh Hamilton (1991), orangtua masih

berharap anak laki-laki sebagai anak pertama mereka –75 persen laki-laki dan

79 persen wanita berharap demikian. Orangtua melalui tindakan dan contoh

mempengaruhi perkembangan gender anak-anak mereka. Ibu dan ayah secara

psikologis mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan gender anak-

anak. Ibu-ibu diberi tanggung jawab mengasuh dan merawat anak-anak; ayah

lebih cenderung terlibat dalam interaksi yang bersifat permainan dan

bertanggung jawab menjamin anak laki-laki dan anak perempuan

menyesuaikan diri dengan norma-norma kebudayaan yang ada.

Berk (2007) menjelaskan bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai

perlakuan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua

menyatakan bahwa mereka menginginkan agar anak-anak mereka bermain

dengan mainan yang sesuai dengan gendernya. Orangtua memberi anak laki-

laki mereka mainan yang menekankan aksi dan kompetisi, seperti tembak-

tembakan, mobil-mobilan, alat-alat servis, dan bola kaki serta memberi anak

perempuan mereka mainan yang menampilkan pengasuhan, pasar-pasaran dan

keterampilan fisik, seperti boneka, alat masak-masakan, dan perhiasan


21

mainan. Orangtua cenderung menggambarkan bahwa kemampuan berprestasi,

bersaing dan mengontrol emosi merupakan hal yang penting bagi anak laki-

laki; sedangkan keramahan, berperilaku layaknya anak perempuan, dan sopan

santun merupakan hal yang penting bagi anak perempuan. Secara umum anak

laki-laki diharapkan lebih berperilaku berdasarkan gender. Orangtua lebih

toleran kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki bila anak-anak

mereka melakukan perilaku gender yang berlawanan–lebih perhatian pada

perilaku anak laki-laki seperti banci dibandingkan perilaku anak perempuan

yang tomboy.

2. Teman Sebaya

Pergaulan dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama membuat

suasana pertemanan semakin kuat tentang pemahaman peran gender. Sebuah

penelitian yang diikuti anak-anak prasekolah dan kelompok bermain pada usia

sekolah, anak-anak yang diberi banyak waktu bermain dengan teman berjenis

kelamin sama di prosotan menunjukkan peningkatan yang sangat mencolok

dalam pengenalan gender di musim semi–dalam hal pemilihan mainan, level

aktifitas, agresi, dan tingkat bermain seperti orang dewasa (Martin & Faber,

2001 dalam Berk, 2007).

Teman-teman sebaya juga sudah mulai berperilaku sesuai dengan

gendernya. Anak-anak mengelompok sesuai jenis kelaminnya. Anak laki-laki

bermain dengan anak laki-laki, anak perempuan bermain dengan anak

perempuan. Menurut hasil penelitian Eleanor Maccoby (1997), teman sebaya

memainkan peranan penting dalam sosialisasi perilaku gender. Mereka


22

mengajar satu sama lain apa perilaku yang dapat diterima oleh gendernya dan

apa perilaku yang tidak dapat ditolerir (Pramono, 2004). Buhrmester (1993)

dan Maccoby (1989, 1993) juga menjelaskan bahwa anak-anak yang

melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman sebaya yang sama jenis

kelaminnya cenderung dihargai oleh teman-teman mereka. Anak-anak yang

melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang berbeda jenis

kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau ditinggal

bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang jelas

untuk menjadi sama dan menyukai teman-teman sebaya yang berjenis kelamin

sama (Santrock, 1995).

Santrock (1995) mengemukakan bahwa anak laki-laki saling

mengajarkan satu sama lain perilaku maskulin yang diharapkan dan

melaksanakannya dengan ketat. Anak-anak perempuan juga menyebarkan

kebudayaan perempuan berkumpul utamanya dengan sesamanya. Anak-anak

perempuan yang tomboy secara individual dapat bergabung dengan kegiatan

anak laki-laki tanpa kehilangan status mereka dalam kelompok anak

perempuan, tetapi sebaliknya ini tidak dibenarkan bagi anak laki-laki, yang

mencerminkan tekanan penggolongan jenis kelamin yang lebih besar pada

anak laki-laki. Pramono (2004) berpendapat bahwa seorang anak akan melihat

dunia sekitarnya, masyarakat sekitarnya, yang memberikan pengertian

perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Televisi juga berperan dalam

mensosialisasikan peranan gender. Misalnya, dalam tayangan-tayangan

khusus yang memperlihatkan peran perempuan dan laki-laki.


23

3. Sekolah dan Guru

Menurut Bhuiyan (2007), pendidikan di sekolah merupakan salah satu

proses sosialisasi yang penting dimana anak mendapatkan pengalaman di luar

rumah. Hal tersebut menguatkan pemahaman anak tentang dirinya dalam

relasi dengan orang lain. Sekolah dan guru memainkan peranan yang sangat

penting dalam usia pembentukan anak. Anak-anak mulai memahami identitas

dirinya melebihi pemahamannya di rumah, peran yang ada dalam anggapan

masyarakat. Pemahaman anak-anak tentang peran gender tertentu didapatkan

dengan jelas ketika mulainya pendidikan di sekolah dan mendapat penguatan

setiap hari melalui perilaku oleh guru, staff, anggota sekolah. Mereka mulai

menjadi pemeran sistem patriarkal dan membawanya lebih banyak setelah

mereka meninggalkan sekolah.

Berikut ini merupakan bias sekolah dan guru pada anak laki-laki dan

perempuan. Menurut DeZolt & Hull (2001) (dalam Santrock, 2007), beberapa

hal tersebut antara lain:

a. Kepatuhan, taat peraturan, kerapian dan ketertiban merupakan hal

yang dinilai dan dihargai di kelas. Dan hal tersebut seringkali

dijumpai pada perilaku anak perempuan dibanding anak laki-laki.

b. Kebanyakan pengajar adalah wanita, terutama di sekolah dasar.

Hal tersebut menyusahkan anak laki-laki dalam proses identifikasi

pada guru dan model perilaku guru mereka.

c. Anak laki-laki lebih menyukai learning problem.

d. Anak laki-laki lebih sering mencela dibanding anak perempuan.


24

e. Kepala sekolah cenderung berpendapat bahwa banyak anak laki-

laki mempunyai masalah akademis, terutama pada penguasaan

bahasa.

f. Kepala sekolah cenderung menganggap perilaku anak laki-laki

lebih bermasalah.

Ahli lain, Myra dan David Sadker (2000) (dalam Santrock, 2007) mempunyai

pandangan:

a. Berdasarkan tipe kelas, anak perempuan lebih patuh, sedangkan

anak laki-laki lebih suka merebut. Anak laki-laki membutuhkan

lebih banyak perhatian, anak perempuan lebih suka diam

menunggu giliran. Para guru lebih sering memarahi dan menegur

anak laki-laki, seakan-akan anak laki-laki perlu didisplinkan. Para

pendidik khawatir bila anak perempuan pada akhirnya cenderung

menjadi pengalah dan pendiam: berkurangnya tingkat keasertifan.

b. Di ruang kelas, guru lebih sering memperhatikan dan berinteraksi

dengan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan yang bekerja

dan bermain sendirian dengan tenang. Banyak guru bukan dengan

tidak sengaja memberi perlakuan pada anak laki-laki dengan

memberi banyak waktu pada mereka.

c. Anak laki-laki lebih mendapatkan banyak perintah dibandingkan

anak perempuan dan mendapat banyak pertolongan ketika mereka

mempunyai kesulitan dengan sebuah pertanyaan. Para guru lebih

banyak memberi kesempatan pada anak laki-laki untuk menjawab


25

pertanyaan, banyak bantuan agar dapat menjawab dengan benar,

dan memberi kesempatan lagi bila jawabannya salah.

d. Ketika anak sekolah dasar diminta menuliskan cita-cita mereka,

anak laki-laki lebih banyak menuliskan pilihan pekerjaan

dibandingkan anak perempuan.

4. Media

Sternglanz & Serbin (1974) (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan

suatu keprihatinan tentang penggambaran kaum perempuan di televisi. Pada

tahun 1970-an, nampak bahwa televisi memotret kaum perempuan kurang

berkompeten daripada laki-laki. Misalnya, sekitar 70 persen tokoh-tokoh

dalam dalam tayangan utama (prime-time) adalah laki-laki. Laki-laki dewasa

cenderung lebih banyak ditampilkan dalam lingkup kerja, perempuan dewasa

cenderung ditampilkan sebagai ibu rumah tangga dan dalam peran-peran yang

romantis. Laki-laki dewasa cenderung lebih banyak ditampilkan di dalam

pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih tinggi dan dalam pekerjaan-pekerjaan

yang ragamnya banyak, dan laki-laki dewasa ditampilkan lebih agresif dan

konstruktif.

Durkin (1985) mengungkapkan bahwa pada tahun 1980, jaringan-

jaringan televisi menjadi lebih peka terhadap penggambaran kaum laki-laki

dan perempuan di televisi. Sebagai akibatnya, banyak program sekarang

berfokus pada perceraian keluarga, kumpul kebo, dan perempuan dalam status

peran yang lebih tinggi. Bahkan dengan banyaknya program televisi tersebut
26

para peneliti terus menemukan bahwa televisi menggambarkan kaum laki-laki

lebih berkompeten daripada kaum perempuan (Santrock, 2007)

Penstereotipan peran gender juga nampak dalam media cetak. Pada

iklan media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan

produk kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara

kaum laki-laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding

dengan masa lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum

perempuan lebih berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status

yang sama kepada mereka dibanding dengan kaum laki-laki (Santrock, 2007).

4. Karakteristik Peran Gender

Terdapat dua karakteristik peran gender, yakni:

a. Karakteristik Peran Gender Laki-laki

Dalam Vasta (1995) dijelaskan bahwa karakteristik laki-laki antara lain

bersifat pemimpin, mandiri, dan agresif. Berk (2007) menjelaskan karakteristik

laki-laki antara lain aktif, asertif dan tampak agresif. Dalam

Handayani&Novianto (2004), Rheigold dan Cook (1983) mengungkapkan

bahwa laki-laki berkarakter aktif, kompetitif, agresif, dominan, mandiri dan

percaya diri. Sementara itu, Broverman (1972) mengatakan bahwa laki-laki

selalu dikaitkan dengan kemandirian. Bakan (1966) menghubungkan laki-laki

dengan sifat agentik. Chodorow (1978) mengaitkan individualistik dengan

perkembangan laki-laki. Manajemen konflik antarpribadi menyarakan bahwa


27

untuk mencapai keseimbangan laki-laki cenderung untuk berkompetisi, tidak

mau mengalah (keras hati), dan menggunakan sterategi yang agresif.

Dari berbagai karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa

karakteristik peran gender laki-laki antara lain aktif, kompetitif, percaya diri

bersifat pemimpin, mandiri, asertif, agresif, kurang hangat dan kurang bisa

mengekspresikan kehangatan, serta kurang responsif terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan emosi.

b. Karakteristik Peran Gender Perempuan

Vasta (1995) menjelaskan bahwa karakteristik perempuan antara lain

berjiwa asuh, tergantung dan sensitif. Dalam Berk (2007), karakteristik

perempuan antara lain penakut, sensitif secara emosional, serta mempunyai

kemampuan dalam memahami ketidaknyamanan emosi. Dalam Handayani &

Novianto (2004), Broverman (1972) mengatakan bahwa wanita lebih bersikap

manis, rapi, kalem/tenang, emosional, ekspresif, sensitif, taktis, dan memiliki

sifat kesalingtergantungan. Bakan (1966) menghubungkan wanita dengan sifat

bersahabat, ramah dan suka bersosialisasi. Chodorow (1978) mengaitkan

kekerabatan (relationship) dengan perkembangan wanita. Manajemen konflik

antarpribadi menyarakan bahwa untuk mencapai keseimbangan wanita

cenderung berintegrasi melalui kompromi dengan menggunakan strategi yang

bijaksana (akal budi).

Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

karakteristik peran gender perempuan antara lain lebih bersikap manis, rapi,

kalem/tenang, berjiwa asuh, suka merasa kasihan, suka berafiliasi, ekspresif,


28

hangat dalam menjalin hubungan interpersonal, senang dengan kehidupan

kelompok, tergantung, penakut, kompromistik, sensitif secara emosional dan

terhadap keberadaan orang.

B. Anak Prasekolah

1. Batasan Anak Prasekolah

Dalam Puslata (2008) dijelaskan bahwa karakteristik anak TK (Taman

Kanak-kanak/Prasekolah) adalah tanda-tanda atau ciri umum yang dimiliki oleh

anak pada usia sekitar 4-6 tahun. Batasan usia tersebut melihat kondisi umum

dimana usia rata-rata anak TK berada pada rentang 4-6 tahun. Murtadlo (2007)

menjelaskan di Indonesia, yang dimaksud dengan anak usia dini adalah anak

usia 0-6 tahun. Jadi, sedikit berbeda dari konsep usia dini yang berlaku di

mancanegara, yaitu usia 0-8 tahun sesuai konvensi anak dunia.

Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang digolongkan sebagai anak

prasekolah. Menurut Stone & Church (1973), anak prasekolah adalah anak yang

berusia antara 2 sampai 4,5 tahun. Ahli lain (Watson & Lindgren,1973)

menggolongkan anak prasekolah sebagai anak yang berusia 2,5 sampai 5 tahun,

yang sudah siap memulai karir sekolah mereka dan memasuki taman kanak-

kanak. Dalam Santrock (2002), masa prasekolah ialah periode perkembangan

yang terentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Sampai

saat ini di Indonesia sendiri belum diputuskan apakah pendidikan prasekolah

akan dibatasi hanya pada usia tertentu, yaitu usia 4-6 tahun saja, atau ditetapkan

untuk semua umur sebelum memasuki Sekolah Dasar. Ahli lain, Mulyadi (2004)
29

menjelaskan bahwa usia prasekolah dimaksudkan sebagai usia dimana anak

belum memasuki suatu lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Dasar.

Harianti (2003) menjelaskan bahwa UNESCO dengan persetujuan

negara-negara anggotanya membuat International Standard Classification of

Education (ISCED) dengan 7 klasifikasi penjenjangan mulai dari prasekolah

sampai dengan pendidikan tinggi. Jenjang Prasekolah (Level 0) disebut juga

sebagai pendidikan usia dini. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan bagi

anak usia 3-5 tahun. Beberapa negara memulai lebih awal (2 tahun) dan

beberapa negara lain mengakhiri lebih lambat (6 tahun). Dinyatakan pula bahwa

untuk beberapa negara pendidikan usia dini termasuk baik pendidikan

prasekolah maupun pendidikan dasar.

Harianti (2003) juga mengungkapkan bahwa NAEYC (National

Association for the Education of Young Children) dalam NAEYC Position

Statement menyebutkan bahwa Program Anak Usia Dini adalah program pada

sekolah, pusat, atau lembaga lain yang memberikan layanan bagi anak sejak

lahir hingga usia 8 tahun. Program tersebut termasuk penitipan anak, penitipan

anak pada keluarga (family child care home), pendidikan prasekolah baik swasta

maupun negeri, Taman Kanak-kanak, dan Sekolah Dasar. Dalam pelayanannya

mereka mengelompokkan usia anak dalam 0-3 tahun (First Three Years of life),

3-5 tahun dan 6-8 tahun.

Dari berbagai teori mengenai anak prasekolah di atas dapat disimpulkan

dan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia 4 sampai 6 tahun yang

mengikuti program belajar Taman Kanak-kanak.


30

2. Karakteristik Umum Anak Prasekolah

Secara fisik anak di usia 2-6 tahun tubuhnya menjadi lebih panjang dan

lebar, kemampuan motorik anak semakin baik, dan anak-anak lebih mampu

mengontrol diri. Pemahaman dan kemampuan berbahasa meningkat pesat,

moralitas semakin nyata, dan anak-anak semakin berhubungan dengan teman

sebaya (Berk, 2006). Dalam Papalia, et al (2007) juga dijelaskan bahwa

pertumbuhan fisik anak tampak di usia 3 sampai 6 tahun, tetapi lebih perlahan

dibanding masa janin dan bayi. Anak laki-laki rata-rata lebih tinggi, berat, dan

lebih berotot dibanding anak perempuan. Sistem organ dalam semakin mantap,

dan gigi pertama tumbuh lengkap.

Menurut teori Psikososial Erikson, anak usia 3-5 tahun (anak usia

prasekolah/awal masa kanak-kanak) masuk dalam tahap Initiative vs Guilt.

Tahap Initiative vs Guilt adalah tahap perkembangan ketiga menurut Erikson,

ketika anak prasekolah menghadapi dunia sosial yang luas, mereka lebih

tertantang dibanding ketika masih bayi. Anak-anak diminta untuk

mengasumsikan tanggung jawab untuk perawatan tubuh, perilaku, mainan, dan

binatang peliharaan mereka. Berkembangnnya tanggung jawab meningkatkan

inisiatif. Perasaan gelisah bersalah dapat muncul, jika anak tidak

bertanggungjawab dan merasa khawatir. Erikson mempunyai pandangan positif

di pada tahap ini, Erikson percaya bahwa sebagian besar rasa bersalah segera

tergantikan dengan rasa kelegaan. (Santrock, 2007)


31

Teori Psikoseksual Freud menjelaskan bahwa anak usia 3-6 tahun berada

pada tahap palik. Tahap palik adalah tahap perkembangan ketiga Freud. Tahap

palik terjadi antara usia 3-6 tahun; kata tersebut berasal dari bahasa Latin

‘phallus’, yang berarti penis. Selama tahap palik, baik anak laki-laki dan

perempuan menemukan kesenangan berpusat pada alat kelamin (Santrock,

2007)

Teori perkembangan Kognitif Piaget mengemukakan bahwa anak usia 2-

7 tahun berada pada tahap kedua perkembangan yakni tahap operasional. Pada

tahap ini anak-anak mulai menggambarkan dunia dengan kata-kata, berangan-

angan, dan gambar. Simbol-simbol secara sederhana menghubungkan informasi

sensori dan tindakan fisik. Bagaimanapun, meskipun anak-anak prasekolah

dapat secara simbolik menjelaskan dunia, menurut Piaget, mereka masih kurang

memiliki kemampuan untuk mengoperasikan bentuk. Konsep internalisasi

mental Piaget adalah anak melakukan secara mental apa yang mereka lakukan

secara fisik (Santrock, 2007).

Fungsi simbolik memungkinkan anak-anak merefleksikan orang, objek,

dan kejadian-kejadian yang bukan fisikli. Hal tersebut menunjukkan perbedaan

imitasi, permainan yang cocok, dan bahasa. Perkembangan simbolik awal

membantu anak-anak dalam tahap praoperasional membuat keputusan yang

akurat tentang hubungan ruang. Mereka dapat memahami konsep tentang

identitas, menghubungkan sebab dan akibat, membedakan makluk hidup dan

mati, serta memahami prinsip hitungan. Teori tentang pikiran, berkembang di

usia 3 hingga 5 tahun, meliputi proses kesadaran seseorang, sosial kognitif, dan
32

pemahaman tentang orang lain dapat memunculkan kepercayaan yang salah,

kemampuan berbohong, dan kemampuan membedakan khayalan dan kenyataan.

Faktor keturunan dan lingkungan mempengaruhi perbedaan individu dalam teori

perkembangan otak (Papalia, et al, 2007).

3. Tugas Perkembangan Anak Prasekolah

Tugas-tugas perkembangan menurut Havighurst dalam Hurlock (1998)

pada awal masa kanak-kanak adalah :

a. Mempelajari Perbedaan Seks dan Tata Caranya

Anak-anak sudah mempunyai pengertian sederhana mengenai

kenyataan sosial dan fisik tetapi masih sangat kurang untuk menghadapi

cakrawala sosial serta lingkungan fisik yang semakin meluas. Hanya sedikit

anak yang mengetahui perbedaan seks lebih dari sekedar unsur dasarnya, dan

lebih sedikit lagi yang mengetahui tentang arti sopan-santun seksual. Masih

diragukan apakah setiap anak yang memasuki awal masa kanak-kanak benar-

benar mengerti mengenai penampilan seks yang benar, dan mereka hanya

sedikit mengerti tentang perilaku seks yang benar.

b. Mempersiapkan Diri untuk Membaca

Meskipun sebagian besar anak-anak telah menambah kosakata yang

berguna, dapat mengucapkan kata-kata yang mereka gunakan dengan tepat,

dapat mengerti arti dari pernyataan dan perintah yang sederhana, dan dapat

menggabungkan beberapa kata menjadi kalimat yang berarti, namun

kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan orang lain dan untuk


33

mengerti apa yang dikatakan orang lain masih dalam taraf yang rendah. Masih

banyak yang harus mereka kuasai sebelum mereka masuk sekolah.

c. Belajar Membedakan Benar dan Salah

Demikian pula halnya dengan pengertian benar dan salah. Pengetahuan

tentang benar dan salah masih terbatas pada situasi rumah dan harus diperluas

dengan pengertian benar dan salah dalam hubungannya dengan orang-orang di

luar rumah terutama di lingkungan tetangga, sekolah dan teman bermain.

e. Mulai Mengembangkan Hati Nurani

Anak-anak harus meletakkan dasar-dasar untuk hati nurani sebagai

bimbingan untuk perilaku yang benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai

sumber motivasi bagi anak-anak untuk melakukan apa yang diketahuinya

sebagai hal yang benar dan salah bilamana mereka sudah besar dan terlepas

dari pengewasan orangtua atau pengganti orangtua.

C. Perkembangan Identitas gender dan peran gender Anak Prasekolah

Identitas gender berkembang melalui proses diferensiasi : hubungan antara

faktor-faktor biologis, sosial, dan belajar kognitif yang terjadi sepanjang

kehidupan. Diferensiasi berarti bahwa pada dasarnya struktur yang sama

berkembang dengan cara yang berbeda, dipengaruhi berbagi faktor (Marriage and

Family Encyclopedia, 2007). Faktor biologis mencakup kromosomal dan

hormonal, faktor sosial meliputi pelabelan sosial dan pengaruh lingkungan sosial,

dan faktor belajar kognitif meliputi pemahaman konsep yang didapat melalui

proses observasi dan imitasi.


34

Dalam Marriage and Family Encyclopedia (2007) dijelaskan bahwa secara

kromosomal janin orang laki-laki dan perempuan tidak berbeda –mempunyai

persamaan bentuk– sampai janin berusia 2 bulan. Selama perkembangan, berbagai

pengaruh memunculkan perbedaan jenis kelamin. Perubahan dalam jenis kelamin

dan perkembangan gender terjadi –atau tidak terjadi– pada waktu yang jelas atau

periode tertentu, dan selanjutnya mungkin tidak berubah. Proses dimulai pada

masa prenatal dengan perbedaan kromosom seks (XX dan XY), perkembangan

gonad-gonad janin, dan pengaruh hormon pada janin termasuk pengaruh pada

otak. Model utamanya adalah perempuan (X-X), dan beberapa ekstra menjadi

laki-laki (X-Y).

Ketika lahir, hampir semua bayi secara sosial diberi label sebagai laki-laki

atau perempuan, berdasarkan pada alat kelaminnya. Anak-anak mungkin

diperlakukan secara berbeda, tergantung pada label jenis kelaminnya. Anak mulai

mengembangkan body image dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Setelah

anak mampu berbahasa, usia 18 bulan sampai 2 tahun, anak dapat menyebut

dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini merupakan ekspresi awal

tentang identitas gender (Marriage and Family Encyclopedia, 2007).

Dalam American Academy of Pediatrics (2007) dijelaskan bahwa

kesadaran anak sebagai laki-laki dan perempuan dimulai sejak usia 8 bulan

sampai 10 bulan, ketika anak-anak menemukan jenis kelamin mereka. Kemudian,

antara usia 1 dan 2 tahun, anak-anak menyadari perbedaan fisik antara laki-laki

dan perempuan; sebelum usianya menginjak 3 tahun dengan mudah mereka

menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan sebagaimana mereka yakin


35

akan hal tersebut. Antara usia dua belas bulan sampai delapan belas bulan, anak-

anak mulai memilih mainan yang cocok dengan gender mereka. Anak perempuan

memilih untuk bermain dengan boneka dan benda berwarna merah muda. Anak

laki-laki memilih truk mainan dan senjata (Hirsh-Pasek, Golinkoff, & Eyer,

2006). Di usia 4 tahun, identitas gender anak mulai stabil, dan mereka tahu bahwa

mereka akan selalu menjadi laki-laki atau perempuan.

Anak-anak mulai bisa mengkategorikan gendernya sendiri dan gender

orang lain saat berusia antara dua sampai tiga tahun. Mula-mula mereka bisa

melakukannya terhadap dirinya sendiri dan kemudian barulah terhadap orang lain.

Hal tersebut disebabkan karena sepanjang hari mereka mendengar diri mereka

disebut laki-laki atau perempuan. Untuk menebak gender orang lain mereka harus

menebak kriteria apa yang harus digunakan seperti panjang rambut dan pakaian

(Hirsh-Pasek, et al, 2006).

Selama usia 3 tahun, anak-anak belajar perilaku peran gender – yakni,

melakukan ‘sesuatu yang semestinya dilakukan anak laki-laki’ dan ‘sesuatu yang

semestinya dilakukan anak perempuan’. Jadi ketika main rumah-rumahan, anak

laki-laki secara alamiah mengadopsi peran ayah dan anak perempuan mengadopsi

peran ibu, mencerminkan apapun perbedaan yang mereka ketahui di keluarga

mereka dan di lingkungan sekitar mereka (American Academy of Pediatrics,

2007).

Anak-anak usia dini berpegang pada perbedaan gender dengan lebih tegas

dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Karena anak-anak usia dini tidak

bisa menyatukan potongan informasi yang tampaknya berlawanan, mereka selalu


36

menolak hal yang mereka anggap berlawanan, misalnya mereka menolak

pernyataan bahwa ibu bisa menjadi pekerja bangunan dan pada saat yang

bersamaan juga bisa menjadi ibu. Tampaknya, mereka perlu mempelajari dahulu

pandangan yang lebih kaku tentang gender sebelum bisa melebarkan kategorinya.

Namun, jika mereka melihat baik ayah maupun ibu mengurus bayi dan membuat

kue, akan lebih sulit bagi mereka untuk memegang kategori stereotip gender yang

kaku. Begitu mereka bisa memahami peraturan yang sesungguhnya untuk

menentukan anak laki-laki dan perempuan, tidak berpegang pada jenis kelamin

yang kaku akan membuat mereka lebih nyaman, khususnya jika orangtua mereka

menyediakan contoh sejak awal (Hirsh-Pasek, et al, 2006).

D. Pemahaman Anak Prasekolah mengenai identitas gender dan peran

gender

Merujuk pada definisi yang sudah di sepakati, dengan demikian identitas

gender adalah kesadaran, perasaan pandangan diri serta kemampuan anak

prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami diri dan orang lain sebagai

laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan pikiran, perasaan, sikap,

perkataan dan perilaku anak prasekolah tentang bagaimana seharusnya menjadi

laki-laki dan perempuan.

Pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender dimulai

sejak awal kehidupan, setelah bayi dilahirkan. Pemahaman sebagai laki-laki dan

perempuan disosialisasikan oleh orangtua dan orang lain di lingkungan anak.


37

Anak-anak diperlakukan secara berbeda setelah masa kelahiran. Di rumah

sakit anak laki-laki diberi selimut biru dan anak perempuan diberi selimut merah

muda, dengan tujuan mudah mengenali, sebab wajah bayi laki-laki dan

perempuan sulit dibedakan. Anak-anak secara pasif mendapatkan pemahaman

mereka dengan mendengar pelabelan yang diberikan orang kepada mereka

sebagai laki-laki atau perempuan, misal “ini anak laki-laki ya, wah gantengnya”

(Naland, 2007).

Di tahun berikutnya, orangtua memperlakukan anak laki-laki dan anak

perempuan dengan berbeda, dari pakaian, dekorasi kamar tidur, mainan, aturan

berperilaku hingga pemberian tugas yang berbeda semakin menguatkan anak

dalam memahami identitas gender dan peran gender mereka (Santrock, 1995;

Naland, 2007).

Sekolah dan guru juga berperan dalam sosialisasi sebagai anak laki-laki

dan perempuan bagi siswa-siswa mereka. Anak-anak semakin tahu perbedaan

antara anak laki-laki dan perempuan dengan melihat teman mereka di sekolah,

dari cara berpakaian, gaya rambut, mainan yang dimainkan, cara bermain, dan

cara berperilaku. Guru juga memberi perlakuan yang berbeda bagi anak laki-laki

dan perempuan. Dimana anak laki-laki cenderung diperhatikan daripada anak

perempuan, anak laki-laki lebih dituntut untuk berkompetisi dan anak perempuan

lebih memiliki sikap mengasuh (Bhuiyan, 2007; Santrock, 2007).

Teman sebaya juga memainkan peranan yang penting. Anak laki-laki

berkumpul dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak

perempuan, bahkan bila anak bermain di luar dengan anak berjenis kelamin lain
38

maka anak tersebut akan diejek atau dikucilkan dari kelompoknya. Pembentukan

pemahaman juga tak lepas dari peranan media, yang mana banyak peran ditujukan

dengan jelas bagi anak laki-laki dan perempuan, dari pekerjaan, tokoh jagoan, dan

iklan yang sangat mempengaruhi perilaku mereka (Santrock, 1995; Berk, 2007).

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock,

2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah

mereka (Watson & Lindgren,1973). Di usia ini anak harus menguasai tugas

perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah

mengetahui perbedaan seks dan tata caranya (Hurlock, 1998). Hal tersebut berarti

bahwa anak prasekolah harus mulai memahami jenis kelamin baik jenis kelamin

dirinya sendiri dan jenis kelamin orang lain seperti teman, orangtua, dan guru.

Selain harus mulai memahami jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, anak juga

diharapkan memahami identitas gender dan peran gendernya serta mulai belajar

dan mampu berperilaku sesuai dengan gendernya.

Anak prasekolah mempelajari identitas gender dan peran gender melalui

belajar sosial yakni dengan imitsi dan modeling. Anak laki-laki belajar bagaimana

berperilaku sebagai seorang laki-laki dengan mengobservasi dan mengimitasi

perilaku maskulin, seperti yang dilakukan ayah mereka, dan anak perempuan

belajar dari mengimitasi perilaku feminin dari ibunya. Ketika anak-anak

mengimitasi perilaku jenis kelamin yang sama mereka mendapatkan penghargaan,

tetapi bila mereka mengimitasi model yang tidak cocok mereka mendapatkan

hukuman. Selain melakukan imitasi dan modeling dengan orangtua mereka,

mereka juga melakukan imitasi dari guru, orang lain bahkan dari tokoh jagoan di
39

film kesukaan mereka. Teman-teman mereka juga memberikan contoh bagaimana

seharusnya berperilaku sebagai anak laki-laki ataupun perempuan, meskipun

mereka tidak mengetahui kebenaran ajaran teman-teman mereka (Santrock, 1995;

Santrock 2007).

Berbagai faktor yakni faktor biologis dan faktor lingkungan

memungkinkan adanya proses pemahaman yang berbeda pada anak untuk

mendapatkan pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender. Hal

tersebut yang menjadi ketertarikan penulis untuk menggambarkan bagaimana

pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.


40

Skema 2
Skema Penelitian

Faktor Biologis Faktor Lingkungan Sosial


Kromosom Sex, Orangtua, Sekolah dan
Struktur Otak, Hormon Guru, Teman Sebaya, Media

Proses Pemahaman

Peran-peran Sosial Observasi Imitasi

Hadiah&Hukuman Skema Gender

Pemahaman Anak Prasekolah

Identitas Gender Peran Gender


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman anak

prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah

suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati (Bogdan dan Taylor, dalam

Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis,

faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau keadaan tertentu, yaitu mengetahui

pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

Penelitian ini lebih memfokuskan diri untuk mendapatkan gambaran bagaimana

pemahaman anak prasekolah tentang identitas gender dan peran gender. Travers

dan Sevilla (dalam Halida, 2004), mengatakan bahwa data yang diperoleh

bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan yang sementara berlangsung pada

saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

41
42

C. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada 2, yaitu :

1. Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender.

Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah

kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan

atas diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dalam penelitian

ini berupa pernyataan atau respon anak dari hasil wawancara sebagai data utama

dan data hasil obervasi sebagai data pendukung. Komponen-komponen

pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender yang akan diteliti antara

lain:

a. Identifikasi Jenis Kelamin

Kemampuan anak dalam mengidentifikasi jenis kelamin sendiri dan orang

lain.

b. Pemahaman Ciri

Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan.

c. Perasaan

Perasaan anak sebagai anak laki-laki atau perempuan

2. Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender.

Pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah perasaan,

minat, kemampuan dan perilaku anak prasekolah sebagai laki-laki/perempuan

serta pengetahuan anak prasekolah mengenai perasaan, minat, kemampuan dan

perilaku anak laki-laki dan perempuan.


43

Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender dalam penelitian ini

berupa pernyataan atau respon anak dari hasil wawancara sebagai data utama dan

data hasil obervasi sebagai data pendukung. Komponen-komponen pemahaman

anak prasekolah mengenai peran gender yang akan diteliti antara lain:

a. Perasaan

Perasaan yang sering muncul dan dialami anak sebagai laki-laki atau

perempuan serta pengetahuan anak mengenai perasaan anak laki-laki dan

perempuan.

b. Minat

Minat anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta pengetahuan

anak mengenai minat anak laki-laki dan perempuan.

c. Kemampuan

Kemampuan anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta

pengetahuan anak mengenai kemampuan anak laki-laki dan perempuan.

d. Perilaku

Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta

pengetahuan anak mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan.

Kedua variabel tersebut merupakan variabel bebas dan peneliti mencoba

mendeskripsikan dengan jelas.


44

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak prasekolah laki-laki dan

perempuan yang berusia 5 sampai 6 tahun yang mengikuti program belajar Taman

Kanak-kanak. Anak usia 5 sampai 6 tahun termasuk anak usia prasekolah dimana

pada usia ini anak diharapkan telah menyelesikan tugas perkembangan. Salah satu

tugas perkembangan anak prasekolah adalah mengetahui perbedaan seks dan tata

caranya.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia 5-6 tahun yang

mengikuti program belajar Taman Kanak-kanak kelas B (Nol Besar) di TK Indria

Bakti Kanisius Sengkan, Sleman, Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini dipilih

berdasarkan teori atau konstruk operasional (Poerwandari, 2001). Dimana

penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran tentang pemahaman anak

prasekolah, jadi subjek dalam penelitian ini adalah anak prasekolah. Subjek yang

dipilih adalah anak-anak yang mempunyai kemampuan komunikasi dan

penerimaan orang baru, sehingga didapatkan 8 subjek yang terdiri dari 4 subjek

laki-laki dan 4 subjek perempuan. Penentuan pemilihan subjek laki-laki dan

perempuan dengan jumlah yang sama diharapkan dapat mewakili keseluruhan dari

pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

Dari kedelapan subjek yang dipilih dalam penelitian ini tidak mengalami

gangguan atau kelainan kromosom sex, struktur otak dan hormon. Semua subjek

tidak termasuk dalam kasus khusus dalam pengaruh biologis tersebut. Sehingga

dalam penelitian ini faktor biologis seperti kromosom sex, struktur otak dan

hormon mempunyai pengaruh yang normal.


45

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu termasuk mengetahui perilaku subjek secara verbal dan

non verbal (Poerwandari, 2001). Informasi dan data mengenai diri subjek sendiri,

juga diperoleh dari orang-orang terdekat subjek (significant others) yaitu orangtua

dan guru. Wawancara dengan subjek utama dilakukan di rumah subjek.

Wawancara dengan orangtua dilakukan di rumah dan dengan guru dilakukan di

sekolah.

Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur, yaitu membuat

pedoman umum berdasarkan aspek-aspek yang ingin diketahui. Pertanyaan yang

diajukan tidak berdasarkan urutan yang pasti tetapi berkembang dan disesuaikan

dengan situasi subjek saat subjek menjawab pertanyaan. Pedoman wawancara

digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus

dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek/checklist apakah aspek-aspek yang

relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001).

Tabel 1
Pedoman Wawancara
Pemahaman anak prasekolah mengenai Identitas Gender
No Komponen Pertanyaan

1. Kemampuan Menurutmu, kamu anak laki-laki atau

mengidentifikasi jenis perempuan?


46

kelamin sendiri dan Bisakah kamu tunjukkan siapa di keluargamu

orang lain. yang laki-laki dan perempuan? (Ayah, Ibu,

Kakak, Adik, Kakek, Nenek – atau melalui

gambar)

2. Pemahaman anak Menurutmu apakah ada perbedaan antara

mengenai ciri-ciri laki- anak laki-laki dan perempuan?

laki dan perempuan. Apa saja ciri-ciri yang membedakan antara

laki-laki dan perempuan?

3. Perasaan sebagai anak Bagaimana perasaanmu menjadi laki-

laki-laki/perempuan. laki/perempuan? (Senang/tidak senang)

Tabel 2
Pedoman Wawancara
Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender
No Komponen Pertanyaan

1. Perasaan yang sering Apa yang kamu lakukan bila kamu senang?

muncul dan dialami Apa yang kamu lakukan bila kamu marah/ada

anak sebagai laki- orang yang membuatmu marah?

laki/perempuan serta Apa yang kamu lakukan bila kamu sedih/ada

pengetahuan anak orang yang membuatmu sedih?

mengenai perasaan

anak laki-laki dan


47

perempuan.

2. Minat anak sebagai Mainan/permainan/hobi/kesenangan apa yang

anak laki- lebih kamu senangi?

laki/perempuan serta Bisakah kamu menyebutkan,

pengetahuan anak mainan/permainan apa saja yang biasa

mengenai minat anak dilakukan/dimainkan oleh anak laki-laki dan

laki-laki dan perempuan?

perempuan. (misal: menari/ bernyanyi/ bersepeda/

berenang/ main ayunan/ mobil-mobilan/

rumah-rumahan/ drumband/ mewarnai/

menggambar/ menulis/ membaca/ main

boneka/ main robot/ prosotan/dll)

3. Kemampuan anak Menurutmu kamu pandai/memiliki

sebagai anak laki- kemampuan dalam hal/kegiatan apa?

laki/perempuan serta Menurutmu kamu mudah mempelajari apa?

pengetahuan anak Bisakah kamu menyebutkan,

mengenai kemampuan kepandaian/kemampuan apa saja yang

anak laki-laki dan semestinya dimiliki oleh anak laki-laki dan

perempuan. perempuan?

(misal: berbahasa/ berhitung/ ketrampilan/

tari/ menggambar)

4. Perilaku dan tutur kata Pakaian apa yang sering kamu pakai?

anak sebagai anak laki- Menurutmu, bagaimana cara bicaramu?


48

laki/perempuan serta (lembut/keras)

pengetahuan anak Menurutmu, bagaimana cara berjalanmu?

mengenai perilaku anak (tegak-gagah/lembut-gemulai)

laki-laki dan

perempuan.

Selain wawancara dengan anak sebagai subjek utama, juga dilakukan

wawancara dengan orangtua dan guru untuk mendapatkan trianggulasi data.

Wawancara dengan orangtua berkisar tentang latar belakang subjek, peran

orangtua dalam memberikan penjelasan tentang identitas gender dan peran gender

serta pengamatan orangtua terhadap pemahaman subjek mengenai identitas dan

peran gender yang tampak dalam keseharian subjek di lingkungan rumah.

Wawancara dengan guru bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peran

sekolah dan guru dalam memberikan pemahaman tentang identitas gender dan

peran gender kepada para siswa serta hasil pengamatan guru terhadap pemahaman

subjek mengenai identitas dan peran gender yang tampak dalam kegiatan belajar

dan bermain serta interaksi subjek di lingkungan sekolah.

Tabel 3

Pedoman wawancara dengan orangtua

No Komponen Kerangka Pertanyaan

1. Latar belakang Nama anak


49

Tanggal lahir/Usia

Nama orangtua (Ayah dan Ibu)

Pekerjaan orangtua (Ayah dan Ibu)

Urutan kelahiran dan jarak usia

Kedekatan/kelekatan dengan orangtua (ayah/ibu)

2. Pemahaman anak Kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin

tentang identitas sendiri dan orang lain.

gender Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan

perempuan.

Perasaan sebagai anak laki-laki/perempuan.

3. Pemahaman anak Perasaan yang sering muncul dan dialami anak

tentang peran sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan

gender anak mengenai perasaan anak laki-laki dan

perempuan.

Minat anak sebagai anak laki-laki/perempuan

serta pengetahuan anak mengenai minat anak

laki-laki dan perempuan.

Kemampuan anak sebagai anak laki-

laki/perempuan serta pengetahuan anak

mengenai kemampuan anak laki-laki dan

perempuan.

Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak laki-

laki/perempuan serta pengetahuan anak


50

mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan.

4. Faktor yang Faktor Biologis

mempengaruhi Kesehatan/Riwayat sakit (berkisar kromosom

seks, struktur otak, hormon, dan jenis kelamin)

Faktor lingkungan sosial

Keluarga (Orangtua dan anggota keluarga

termasuk aturan-aturan/batasan-batasan di

rumah)

Sekolah dan Guru (berkisar materi pelajaran dan

pengetahuan umum yang mendukung

pemahaman anak mengenai identitas gender dan

peran gender

Teman di rumah dan di sekolah (termasuk

jumlah teman, jenis kelamin, usia teman,

kegiatan yang dilakukan dan rerata lama

berinteraksi)

Media (Buku cerita, buku pelajaran, koran dan

televisi. Intensitas anak melihat televisi, acara

televisi kesukaan)

5. Keterlibatan Cara pembelajaran terhadap identitas gender dan

orangtua terhadap peran gender

pemahaman anak Mainan yang diberikan

mengenai identitas Permainan yang diperbolehkan


51

gender dan peran Aturan-aturan praktis dalam berinteraksi dan

gender. berperilaku

Perlakuan terhadap anak (cara berpakaian,

penataan ruang tidur, dll)

Tabel 4

Pedoman wawancara dengan guru

No Komponen Kerangka Pertanyaan

1. Interaksi Guru

Teman di sekolah

2. Pemahaman anak Kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin

tentang identitas sendiri dan orang lain.

gender Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan

perempuan.

Perasaan sebagai anak laki-laki/perempuan.

3. Pemahaman anak Perasaan yang sering muncul dan dialami anak

tentang peran sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan

gender anak mengenai perasaan anak laki-laki dan

perempuan.

Minat anak sebagai anak laki-laki/perempuan

serta pengetahuan anak mengenai minat anak

laki-laki dan perempuan.

Kemampuan anak sebagai anak laki-


52

laki/perempuan serta pengetahuan anak

mengenai kemampuan anak laki-laki dan

perempuan.

Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak laki-

laki/perempuan serta pengetahuan anak

mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan.

4. Keterlibatan guru Materi pembelajaran

terhadap Mainan yang disediakan dan yang disuka anak

pemahaman anak Permainan yang di lakukan anak di sekolah

mengenai identitas Aturan-aturan di sekolah dalam kegiatan belajar

gender dan peran dan bermain

gender. Perlakuan guru terhadap siswa

Data penelitian ini akan didukung dengan data observasi. Observasi adalah

kata lain dari pengamatan yang berarti kegiatan memperhatikan secara akurat,

mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek

dalam fenomena tersebut, dengan tujuan mendapat data tentang suatu masalah,

sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checking atau pembuktian

terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya (Ardiardani & Tri,

2004).

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan secara partisipan, yaitu dengan

memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam suatu situasi sesuai dengan

kondisi subjek yang diamati (Ardiardani & Tri, 2004), sehingga peneliti langsung
53

terjun dalam kehidupan sehari-hari subjek. Hal-hal yang ingin diamati adalah

pemahaman subjek tentang identitas gender dan peran gender. Observasi

dilakukan oleh dua orang pengamat untuk mengurangi kelemahan observasi yang

dilakukan oleh satu orang, yaitu ketidakobyektifan (Ardiardani & Tri, 2004).

Observasi dilakukan dengan tujuan mengamati tutur kata serta perilaku

berupa reaksi dan aktivitas subjek menyangkut pemahaman subjek terhadap peran

gender. Observasi dilakukan pada saat subjek mengikuti kegiatan bermain dan

belajar di sekolah serta pada saat subjek bermain dan berinteraksi dengan orang

lain di lingkungan rumah setiap subjek.

Sebagai tambahan untuk mendapatkan data observasi tentang minat dan

perilaku mewarnai, peneliti mengajak subjek untuk mewarnai salah satu gambar

yang dipilih subjek dari duapuluh gambar tidak berwana yang ditawarkan kepada

subjek. Dua puluh gambar terdiri dari 10 gambar yang stereotip bagi anak laki-

laki dan 10 gambar yang stereotip bagi anak perempuan. Gambar-gambar tersebut

disusun secara acak berdasarkan gambar stereotip laki-laki dan perempuan.

F. Validitas dan Realibilitas

Pemeriksaan validitas dan reliabilitas penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi. Teknik triangulasi adalah suatu teknik untuk menyelidiki validitas dan

realibitas pada penelitian kualitatif. Triangulasi adalah menarik kembali rangkaian

yang masuk akal dari rancangan program untuk pengerjaan hasil sementara, untuk

memperoleh hasil akhir, mencoba untuk bisa mendapatkan lebih dari satu ukuran

dari lebih dari satu sumber untuk setiap kaitan dalam rangkaian (Miles &
54

Huberman, 1992). Triangulasi juga diartikan sebagai teknik check and recheck

(Bagoes, 2004). Menurut Denzin (dalam Muhadjir, 1998) menyarankan empat

modus triangulasi yaitu menggunakan sumber ganda, metode ganda, peneliti

ganda, dan teori yang berbeda-beda. Teknik triangulasi yang akan digunakan oleh

peneliti adalah dengan menggunakan sumber ganda, yaitu wawancara dengan

subjek utama (SU), dan subjek pendukung (SP) yakni orangtua dan guru.

Penelitian ini juga memanfaatkan pengamat lain dalam melakukan observasi.

G. Analisis Data

Penelitian ini akan memiliki dua data, yaitu data verbatim dari hasil

wawancara sebagai data utama, dan data observasi sebagai data pendukung.

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi atau content analysis karena

data yang diperoleh merupakan data deskriptif. Suryabrata (2002) menjelaskan

bahwa data deskriptif dianalisis menurut isinya, sehingga analisis semacam ini

disebut juga analisis isi.

Langkah-langkah analisis isi adalah sebagai berikut:

1. Organisasi Data

Tahap awal dari pengolahan dan analisis data adalah organisasi data.

Organisasi dilakukan agar peneliti memperoleh kualitas data yang baik, dapat

mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan

analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Data yang diorganisir

adalah data mentah berupa verbatim hasil wawancara, yang pada awalnya

berupa kaset rekaman, dan hasil pencacatan observasi atau pengamatan


55

terhadap subjek yang berupa catatan lapangan. Data yang diorganisir juga

termasuk data yang sudah dikoding dan telah dikategorikan. Data-data tersebut

diorganisir sesuai dengan masing-masing subjek dan disesuaikan dengan urutan

pengambilan data.

2. Pengkodean Data

Langkah selanjutnya setelah data penelitian diperoleh adalah melakukan

pengkodean. Proses koding dan analisis untuk data verbatim ini diawali dengan

menyusun data verbatim dan catatan lapangan dalam kolom, dimana di samping

kanan data diberi kolom kosong yang akan digunakan untuk pengkodean.

Berikutnya masing-masing baris akan diberi nomor untuk memudahkan proses

pengkodean.

Setelah data verbatim siap dalam kolom, selanjutnya peneliti melakukan

analisis tematik. Analisis ini digunakan untuk mencari pola dari data yang ada.

Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi atau data yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi

yang biasanya terlihat dengan itu, atau hal-hal diantara/gabungan dari yang

telah disebutkan. Tema diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena dari data

hasil penelitian ini, maupun digunakan untuk menginterpretasi data hasil

penelitian ini (Poerwandari, 2001).

Tabel 5
Kode dalam Wawancara
Pemahaman anak prasekolah mengenai Identitas Gender
No Komponen Kode Arti Kode

1. Kemampuan mengidentifikasi Id-ss Identifikasi sesuai


56

jenis kelamin sendiri dan Id-ts Identifikasi tidak sesuai

orang lain.

Cr-sf Ciri sesuai fisik

Cr-sp Ciri sesuai perilaku

Cr-sm Ciri sesuai minat

Cr-sk Ciri sesuai kemampuan

Pemahaman anak mengenai Cr-sll Ciri sesuai lain-lain

2. ciri-ciri laki-laki dan Cr-tsf Ciri tidak sesui fisik

perempuan. Cr-tsp Ciri tidak sesuai perilaku

Cr-tsm Ciri tidak sesuai minat

Cr-tsk Ciri tidak sesuai

kemampuan

Cr-tsll Ciri tidak sesuai lain-lain

Perasaan sebagai anak laki- Pr-ss Perasaan sesuai


3.
laki/perempuan. Pr-tss Perasaan tidak sesuai

Tabel 6
Kode dalam Wawancara
Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender
No Komponen Kode Arti Kode

Perasaan yang sering muncul Pr-lk Perasaan anak laki-laki

1. dan dialami anak sebagai laki- Pr-pr Perasaan anak

laki/perempuan serta perempuan


57

pengetahuan anak mengenai Pg-prlk Pengetahuan tentang

perasaan anak laki-laki dan perasaaan anak laki-laki

perempuan. Pg-prpr Pengetahuan tentang

perasaan anak

perempuan

Mi-lk Minat anak laki-laki


Minat anak sebagai anak laki-
Mi-pr Minat anak perempuan
laki/perempuan serta
Pg-milk Pengetahuan tentang
2. pengetahuan anak mengenai
minat anak laki-laki
minat anak laki-laki dan
Pg-mipr Pengetahuan tentang
perempuan.
minat anak perempuan

Km-lk Kemampuan anak laki-

laki

Km-pr Kemampuan anak


Kemampuan anak sebagai
perempuan
anak laki-laki/perempuan serta
Pg-kmlk Pengetahuan tentang
3. pengetahuan anak mengenai
kemampuan anak laki-
kemampuan anak laki-laki dan
laki
perempuan.
Pg-kmpr Pengetahuan tentang

kemampuan anak

perempuan

Perilaku dan tutur kata anak Pl-lk Perilaku anak laki-laki


4.
sebagai anak laki- Pl-pr Perilaku anak
58

laki/perempuan serta perempuan

pengetahuan anak mengenai Pg-pllk Pengetahuan tentang

perilaku anak laki-laki dan perilaku anak laki-laki

perempuan. Pg-plpr Pengetahuan tentang

perilaku anak

perempuan

3. Interpretasi

Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tema-tema yang

muncul dalam data verbatim hasil wawancara setelah diperkuat dengan data

hasil observasi. Interpretasi dilakukan supaya diperoleh gambaran data yang

lebih mendalam. Klave (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa

interpretasi dilakukan sebagai upaya untuk memahami data dengan lebih

ekstensif sekaligus mendalam.

H. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah-langkah peneliti dalam melakukan penelitian ini

adalah sebelum berikut:

1. Persiapan penelitian

Tahap awal yang dilakukan peneliti dalam proses penelitian ini adalah

menentukan tema dan tujuan penelitian. Peneliti lalu mencari referensi atau

dasar teori yang sesuai dengan aspek-aspek yang akan diungkap dalam

penelitian ini. Setelah dasar teori terbentuk, maka peneliti menyiapkan panduan
59

wawancara yang disesuaikan dengan aspek-aspek yang akan diungkap dalam

penelitian ini dan dengan tujuan penelitian sehingga hasil penelitian yang

diperoleh sesuai dengan apa yang ingin diungkap atau sesuai dengan tujuan dari

penelitian ini.

2. Perijinan penelitian

Langkah selanjutnya adalah peneliti mengurus perijinan untuk

melakukan penelitian. Ijin penelitian diperoleh dari sekretariat Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang ditandatangani Dekan

Fakultas Psikologi yang ditujukan kepada lembaga yang bersangkutan, yakni

TK Kanisius Sengkan, dan masing-masing subjek. Sebelumnya peneliti juga

membuat surat bukti kesediaan dari masing-masing subjek –yang

ditandatangani oleh masing-masing orangtua subjek– untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini.

3. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat yakni, di sekolah subjek –

TK Indria Bakti Kanisius Sengkan– dan di rumah masing-masing subjek yang

berada di wilayah Sleman, Yogyakarta. Penelitian dilakukan setelah peneliti

memperoleh kesediaan dan ijin dari subjek serta orangtua subjek untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

4. Pelaksanaan penelitian

Peneliti akan melakukan pendekatan dengan subjek penelitian sebelum

pelaksanaan pengambilan data. Pendekatan dilakukan agar subjek merasa lebih


60

nyaman dan aman ketika dilakukan pengambilan data sehingga diperoleh data

yang alami sesuai dengan kondisi masing-masing subjek.

Pelaksanaan wawancara dan observasi dilakukan sealami mungkin,

peneliti tidak menciptakan kondisi atau mengkondisikan suasana penelitian

sesuai yang diharapkan peneliti, tetapi peneliti membiarkan suasana penelitian

itu agar berjalan apa adanya.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian tentang pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender

dan peran gender ini dilaksanakan pada 28 Juli 2008 s.d.27 Maret 2009, di

sekolah dan di rumah subjek. Tempat pertama adalah di sekolah subjek, TK Indria

Bhakti Kanisius Sengkan, Sleman. Di sekolah ini peneliti melakukan survei dan

observasi kepada para subjek serta melakukan wawancara dengan guru. Tempat

kedua adalah di rumah masing-masing subjek. Di rumah masing-masing subjek,

peneliti melakukan survei, observasi, dan wawancara dengan subjek serta dengan

orangtua.

Survei awal dilakukan pada 28 Juli 2008 sampai 18 Oktober 2008 di

sekolah. Penelitian secara khusus pada masing-masing subjek dilaksanakan pada

20 Oktober 2008 sampai 27 Maret 2009, setelah mendapatkan ijin dari pihak

sekolah dan masing-masing orangtua subjek. Penelitian secara khusus pada

masing-masing subjek ini di lakukan di sekolah subjek dengan cara survei,

observasi, dan wawancara dengan guru. Penelitian yang dilakukan di rumah

subjek, dengan cara survei, observasi dan wawancara dengan subjek serta

orangtua subjek.

Survei dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat kegiatan anak

prasekolah secara umum tentang pemahaman anak prasekolah mengenai identitas

gender dan peran gender, serta sebagai langkah awal subjek dalam usaha

61
62

pemilihan sampel penelitian, dan juga merupakan sebuah pendekatan kepada tiap

subjek agar subjek tidak merasa asing dengan peneliti, sehingga wawancara

dengan para subjek dapat dilakukan tanpa hambatan. Observasi dalam penelitian

ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi tambahan mengenai perilaku

subjek yuang tampak yang berhubungan dengan pemahaman subjek mengenai

identitas genderdan peran gender. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan

kepada subjek utama, orangtua masing-masing subjek dan guru kelas, guna

mendapatkan trianggulasi data. Berikut merupakan ringkasan waktu dan tempat

pelaksanaan penelitian:

Tabel 7

Ringkasan Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Waktu Tempat
No. Subjek Kegiatan
Penelitian Penelitian
28 Juli 2008 s.d.
di sekolah Survei awal
1. 18 Oktober 2008
Permohonan ijin lisan &
10 Oktober 2008 di rumah
Survei
23 Oktober 2008
s.d. 17 Desember di sekolah Survei
2008
2. I
9 Januari 2009 di sekolah Observasi
15 Januari 2009 di rumah Wawancara & Observasi
17 Januari 2009 di sekolah Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
10 Pebruari 2009 di rumah Wawancara
63

Permohonan ijin lisan &


14 Oktober 2008 di rumah
Survei
28 Oktober 2008
s.d. 13 Desember di sekolah Survei
2008
3. II
6 Januari 2009 di sekolah Observasi
di sekolah
15 Januari 2009 Observasi & wawancara
& di rumah
25 Januari 2009 di rumah Wawancara orangtua
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
Permohonan ijin lisan &
11 Oktober 2008 di rumah
Survei
22 Oktober 2008
s.d. 19 Desember di sekolah Survei
2008
4. III 12 Januari 2009 di sekolah Observasi
17 Januari 2009 di rumah Wawancara & Observasi
21 Januari 2009 di sekolah Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
29 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
28 Pebruari 2009 di rumah Wawancara orangtua
Permohonan ijin lisan &
22 Oktober 2008 di rumah
Survei
25 Oktober 2008
s.d. 16 Desember di sekolah Survei
5. IV 2008
8 Januari 2009 di sekolah Observasi
16 Januari 2009 di sekolah Observasi
21 Januari 2008 di rumah Wawancara & Observasi
27 Januari 2008 di sekolah Wawancara guru
64

Permohonan ijin lisan &


17 Oktober 2008 di rumah
Survei
21 Oktober 2008
s.d. 20 Desember di sekolah Survei
2008
6. V 13 Januari 2009 di sekolah Observasi
17 Januari 2009 di rumah Wawancara & Observasi
22 Januari 2009 di sekolah Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
29 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
26 Pebruari 2009 di rumah Wawancara orangtua
Permohonan ijin lisan &
15 Oktober 2008 di rumah
Survei
20 Oktober 2008
s.d. 15 Desember di sekolah Survei
2008
7. VI 7 Januari 2009 di sekolah Observasi
19 Januari 2009 di sekolah Observasi
23 Januari 2009 di rumah Wawancara & Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
29 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
27 Pebruari 2009 di rumah Wawancara orangtua
Permohonan ijin lisan &
21 Oktober 2008 di rumah
Survei
24 Oktober 2008
s.d. 18 Desember di sekolah Survei
8. VII
2008
10 Januari 2008 di sekolah Observasi
20 Januari 2009 di sekolah Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
65

30 Januari 2009 di rumah Wawancara & Observasi


2 Pebruari 2009 di sekolah Wawancara guru
24 Pebruari 2009 di rumah Wawancara orangtua
Permohonan ijin lisan &
16 Oktober 2008 di rumah
Survei
27 Oktober 2008
s.d. 5 Januari di sekolah Survei
2009
9. VIII
14 Januari 2009 di sekolah Observasi
24 Januari 2009 di sekolah Observasi
27 Januari 2009 di sekolah Wawancara guru
2 Pebruari 2009 di sekolah Wawancara guru
27 Maret 2009 di rumah Wawancara & Observasi

Dalam penelitian ini, peneliti melaksanakan wawancara pada tiga

responden untuk tiap subjek. Pertama subjek utama, kedua subjek pendukung

yakni orangtua subjek utama dan yang ketiga subjek pendukung yakni guru kelas

subjek. Sehingga didapatkan tiga data wawancara (lihat lampiran A). Teknik

wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian semi terstruktur.

Pertanyaan yang diajukan tidak berdasarkan urutan yang pasti (lihat tabel 1, 2, 3,

dan 4,) tetapi berkembang dan disesuaikan dengan situasi subjek saat subjek

menjawab pertanyaan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan

peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar

pengecek/checklist apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau

ditanyakan (Poerwandari, 2001).


66

Selain wawancara, metode pengumpulan data yang digunakan adalah

observasi. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan secara partisipan, yaitu

dengan memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam suatu situasi sesuai

dengan kondisi subjek yang diamati (Ardiardani & Tri, 2004), sehingga peneliti

langsung terjun dalam kehidupan sehari-hari subjek. Hal-hal yang ingin diamati

adalah pemahaman subjek tentang identitas gender dan peran gender.

Observasi dilakukan dengan tujuan mengamati tutur kata serta perilaku

berupa reaksi dan aktivitas subjek menyangkut pemahaman subjek terhadap peran

gender. Observasi dilakukan pada saat subjek mengikuti kegiatan bermain dan

belajar di sekolah serta pada saat subjek bermain dan berinteraksi dengan orang

lain di lingkungan rumah setiap subjek. Hasil observasi dicatat dalam sebuah

catatan lapangan yang kemudian disusun agar mendapatkan data observasi yang

runtut per subjek.

Sebelum wawancara dengan subjek dimulai, peneliti memberikan sepuluh

gambar tak berwarna, dan meminta subjek untuk memilih salah satu gambar untuk

diwarnai ketika wawancara (lihat lampiran B, gambar dalam penelitian). Hal ini

dilakukan dengan tujuan mendapatkan data observasi berupa minat subjek

terhadap gambar dan warna serta perilaku subjek dalam mewarnai.


67

B. Deskripsi Subjek

Penelitian ini melibatkan delapan subjek utama. Berikut merupakan

komposisi kedelapan subjek utama dalam penelitian ini :

Tabel 8

Komposisi Subjek Penelitian

Jenis Usia Urutan Pekerjaan


Subjek Nama Pekerjaan Ibu
Kelamin (tahun) Kelahiran Ayah
I Dw Pj Perempuan 6 II dari 3 Buruh Ibu rumah tangga
II Cn Ag Perempuan 5 II dari 2 Wirausaha Wirausaha
III No Kr Laki-laki 5 I dari 1 Karyawan RS Ibu rumah tangga
IV Kr Ki Perempuan 5 I dari 1 Swasta Ibu rumah tangga
V Al Ar Laki-laki 5 I dari 1 Swasta Karyawan Bank
VI Bn Kr Laki-laki 6 II dari 3 Swasta Swasta
VII Al Ds Laki-laki 5 I dari 1 Swasta Swasta
VIII Br Dw Perempuan 6 II dari 2 Guru Guru

C. Hasil Penelitian

Penelitian “Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas dan Peran

Gender” bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman anak prasekolah

mengenai identitas gender dan peran gender. Penelitian ini berusaha

mendeskripsikan pemahaman anak mengenai identitas gender (antara lain seperti

identitas jenis kelamin, pemahaman ciri, dan perasaan) serta pemahaman anak

mengenai peran gender (antara lain perasaan, minat, kemampuan dan perilaku).

Namun sebelum lebih jauh mengetahui pemahaman keseluruhan subjek, baik jika

kita lihat pemahaman tiap subjek di bawah ini :


68

I. Subjek I

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasikan jenis kelamin diri subjek, keluarga

subjek, dan teman-teman subjek dengan sesuai.

(Lihat lampiran S I, Sb 1-3, 14-28)


T: Dw Pj anak laki-laki atau perempuan?; J: Perempuan; T: Ibu laki-laki atau perempuan?;
J: Perempuan; T: Bapak?; J: Laki-laki; T: Ade?; J: Perempuan; T: Ademu ada berapa?;
J: Satu; T : Kakak?; J: Laki-laki; T: Siapa saja temenmu di sekolah yang laki-laki, coba
sebutkan?; J: Ar, Nr, terus si Ag, Fn, Nk; T: Banyak ya? Coba sebutin yang perempuan; J:
Pt, sama Gl, Vn, sama Ay, sama Mc

Subjek juga mampu menyebutkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan antara lain

ciri-ciri fisik, dan ciri-ciri tentang perilaku.

(lihat lampiran S I, Sb 64-69, 175-177, 226-237)


T: Perempuan pakainya apa kalau ke sekolah?; J: Rok; T: Terus kalau laki-laki?; J: Celana;
T: Sebenernya anak laki-laki tu bicaranya keras atau lembut?; J: Keras; T : Coba, siapa yang
paling cantik di sekolah?; Jawab : Ehmm … Mc; T: Mc paling cantik? Nah sebenernya anak
perempuan itu harus lebih cantik dari anak laki-laki nggak?; J: Enggak…. Eh cantik; T:
Anak laki-laki nggak boleh cantik? J: Enggak, harus dipanggil ganteng; T: Bener nggak sih,
anak perempuan tu rambutnya harus panjang? Jawab : (angguk).

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak perempuan.

(lihat lampiran S I, Sb 34-38)


T: Kamu lebih seneng mana jadi anak laki-laki atau anak perempuan?; J: Perempuan; T: Kok
nggak pingin jadi anak laki-laki saja?; J: Emoh, ntar bencong

Dari data tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki

pemahaman tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender

sebagai anak perempuan.

b. Peran Gender

Perasaan yang sering muncul pada diri subjek antara lain gembira dan

marah. Subjek merasa sering kesal dan marah bila subjek sakit hati, disakiti orang

lain. Ketika subjek merasa kesal, subjek menangis. Subjek juga sering merasa
69

gembira. Menurut subjek, anak perempuan lebih sering merasa sedih, dan anak

laki-laki sering merasa marah

(lihat lampiran S I, Sb 42-46, 94-101, 103-117)


T: Kamu pernah marah?; J: Pernah; T: Marahnya kenapa?; J: Kalau ada yang pukul aku; T:
Kamu lebih sering merasa sedih, marah, gembira atau bangga?; J: Gembira; T: Lebih sering
gembira? Siapa yang bikin kamu gembira?; J: Tuhan; T:Kalau sedih, boleh sering mana?; J:
Perempuan.

Subjek menyukai kegiatan menari, menggambar dan menyanyi. Ketika

waktu bermain, subjek memilih bermain ayunan dan prosotan. Subjek juga suka

bermain boneka bila di rumah, serta lebih suka memakai rok. Subjek juga suka

warna pink. Menurut subjek, anak laki-laki lebih sering membaca, boleh juga

menari. Anak laki-laki juga menyukai robot, mobil, dan truk. Anak perempuan

lebih suka boneka, barbie dan capung.

(lihat lampiran S I, Sb 133-135, 139-147, 162-173, 193-202, 251-261, 264-265)


T: Dari semua kegiatan di sekolah, mana kegiatan yang Dw Pj suka?; J: Menari sama
menggambar sama nyanyi; T: Kamu kalau di sekolah lebih suka main apa?; J: Ayunan; T:
Trus mainan apa lagi di sekolah? Main sepeda suka?; J: Enggak. Main pluncuran; T: Ooo
prosotan?; T: Dw Pj punya boneka?; J: Punya; T: Kalau anak laki-laki kira-kira suka main apa
ya?; J: Mobil sama robot; T: Pakaian apa yang kamu suka? Misal kalau mau pergi atau mau
pergi ke gereja?; J: Pakai baju macem-macem; T: Misalnya yang seperti apa?; J: Yang seperti
rok; T: Warna apa yang paling kamu sukai?; J: Warna pink; T: Tolong sebutin mainan apa
yang untuk anak laki-laki?; J: Robot, mobil; T: Trus?; J: Truk; T: Trus kalau anak perempuan
mainnya apa?; J: Barbie, boneka trus sama main capung.

Kemampuan subjek yang menonjol adalah bernyanyi, berhitung dan

menggambar. Menurut subjek laki-laki dan perempuan seharusnya pintar belajar

(lihat lampiran S I, Sb 136-137, 184-191, 204-207)


T: Terus, kamu paling bisa kegiatan apa?; J: Nyanyi; T: Biasanya, anak laki-laki tu pinter
apa?; J: Belajar; T: Kalau anak perempuan?; J: Belajar juga; T: Kamu pinter menggambar?;
J: (angguk); T: Kamu pinter berhitung nggak?; J: (angguk).

Subjek mudah menangis, di sekolah subjek seringkali bermain kejar-

kejaran dan lompat-lompat. Subjek juga pernah mengejar capung ketika di rumah.

Menurut subjek semua anak laki-laki dan perempuan sering menangis. Anak laki-

laki lebih sering memukul dan sering berteriak-teriak karena suaranya keras.
70

(lihat lampiran S I, Sb 40-41, 48-62, 150-157, 266-267, 270-282)


T: Kalau misalnya nih, anak laki-laki pakai rok boleh nggak?; J: Ndak; T: Trus kalau anak
perempuan pake celana boleh?; J: Nggak; T: Masak anak perempuan nggak boleh pake
celana?; J: Soalnya masak anak perempuan ke sekolah pakai celana?; T: Kalau di rumah?; J:
Pakai celana, boleh; T: Kalau anak laki-laki di rumah pakai rok boleh nggak?; J: Nggak; T:
Nggak boleh juga?; J: (angguk); T: Terus menurutmu, suka mukul mana anak laki-laki atau
anak perempuan?; J: Eee, Ar suka mukul; T: Kalau di sekolah yang suka mukul siapa?; J: Ar,
Nr. Udah; T: Anak perempuannya ada nggak?; J: Nggak; T: Suka lari-lari nggak?; J:
(angguk); T: Suka lompat-lompat?; J: (angguk); T: Jadi suka lari-lari dan lompat-lompat?; J:
Iya; T: Pernah lari-lari sampai jatuh?; J: Pernah; T: Lebih sering mana, anak laki-laki atau
anak perempuan yang suka teriak-teriak?; J: Laki-laki

2. Subjek II

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan,

sehingga subjek dapat menunjukkan bahwa diri subjek, keluarga subjek dan

teman-teman subjek sebagai laki-laki atau perempuan.

(lihat lampiran S II, Sb 1-15, 70-84)


T: Cn Ag anak perempuan atau anak laki-laki?; J: Ya perempuan no, orang rambut panjang
dan pake rok kok; T: Kalau kakakmu perempuan atau laki-laki?; J: Perempuan lah!; T: Tapi
rambutnya pendek, panjang mana dengan Cn Ag?; J: Orang dia juga pake rok; T: Kalau
papa?; J : Cowok; T: Mama?; J: Cewek; T: Coba kamu sebutin, temen-temen yang laki-laki
dan perempuan; J: Ada Nb, ada Ar, Ds, Rn, Dn.; T: Terus siapa saja yang perempuan?; J: De,
terus Br, Dv, Gl sama Dw

Subjek juga mengenal ciri-ciri laki-laki dan perempuan meski secara sederhana,

seperti pakaian, panjang-pendek rambut dan tinggi rendah suara.

(lihat lampiran S II Sb 1-9, 38-42, 53-55, 71-74, 249-259)


T: Cn Ag anak perempuan atau anak laki-laki?; J: Ya perempuan no, orang rambut panjang
dan pake rok kok; T: Rambut panjang dan pake rok? Kalau kakakmu rambutnya pendek,
panjang mana dengan Cn Ag?; J: Orang dia juga pake rok; T: Kalau laki-laki apa?; J: Kalau
cowok rambutnya pendek kayak mas Ss, trus pake celana sama kaos; J: Mas Ss mau nggak
pake bando, pake rok, trus pake kalung trus pergi ke pesta?; T: Ya nggak mau mas Ss; J:
Nanti tu dikira cewek beneran, tapi suaranya kayak cowok ya; T: jadi suaranya cewek tu
lebih tinggi, lebih besar atau gimana?; J: Lebih tinggi

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak perempuan.

(lihat lampiran S II, Sb 57-69)

T: Kamu lebih senang mana? Jadi anak perempuan atau jadi anak laki-laki?; J: Perempuan; T:
Nggak mau jadi anak laki-laki?; J: (geleng-geleng); T: Kenapa nggak mau? Takut nggak jadi
71

manis ya?; J: (senyum) Nggak gitu, maksudnya tuh, jadi bosen tu lo pakai celana terus; T:
Ooo gitu, tapi kalau jadi anak perempuan bisa pakai celana, bisa pakai rok?; J: He e.

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

perempuan.

b. Peran Gender

Subjek sering marah dan menangis karena kakak subjek sering jahil, dan

subjek lebih merasa bahagia bila kakak subjek tidak mengganggu. Subjek juga

merasa takut terhadap hewan melata seperti ular dan cacing. Menurut subjek, anak

laki-laki lebih sering marah.

(lihat lampiran S II, Sb 21-26, 88-93, 119-123, 134-140, 150-163)


J: Mas Ss, kemarin tu toh aku duduk sini (lantai) toh, trus ada cacing kecil tu kecilnya tu
segini lo. Trus aku naik ke sini (kursi); T: Kecil sekali? Kamu takut?; J: He e, tapi trus dah
dibuang sama papa, mau tak injek tapi nggak berani; T: Cn Ag pernah menangis?; J: Enggak;
T: Masak nggak pernah menangis?; J(kakak subjek): Pernah, tadi pagi nangis!; J: Tapi kan
karena ini (kakak); T: Kalau ada ular beneran kamu takut nggak?; J: Dulu di rumahku ada ular
beneran mau masuk kamar kakak; T: Kamu takut?; J: Iya, tapi trus Mak-e datang terus
mbunuh ularnya; T: Cn Ag pernah sedih?; J: Nggak; T: Marah?; J: Sering; T: Marah sering?;
J: He e; T: Seneng banget, gembira?; J: Ya kalau nggak diganggu ini ya (sambil menunjuk
kakaknya) gembira.

Di sekolah, subjek merasa tertarik dengan pelajaran menggambar,

mewarnai, tetapi subjek tidak suka pelajaran menari dan drumband karena

membuat subjek lelah. Seringkali subjek merasa senang ketika waktu istirahat,

karena subjek suka bermain. Di rumah subjek seringkali bermain Barbie. Subjek

juga memiliki kesukaan terhadap makanan seperti mie, sosis, dan coklat. Subjek

juga senang nonton. Menurut subjek, anak perempuan suka warna pink, ungu, biru

dan coklat, anak laki-laki suka warna merah dan tidak boleh suka warna pink.

(lihat lampiran S II, Sb 104-115, 130-131, 169-218, 274-275, 291-293, 312-313)


T: Kalau anak perempuan itu harusnya gimana sih Cn Ag?; J: Pink, ungu, biru sama coklat
bias; T: Apa?; J: Itu (subjek menunjuk gambar Barbie); T: Kayak itu ya, Barbie ya?; J:
(tertawa sambil mengangguk); T: Kalau Cn Ag sukanya makan apa?; J: Sossis, Indomie,
permen coklat; T: Kamu lebih suka menari atau menari?; J: Nggak suka semuanya; T: Trus
72

apa kegiatan di sekolah yang disenangi?; J: Cuma main tok, sama belajar tok; T: Kalau di
rumah, sukanya ngapain?; J: Nonton TV; T: Acara TV apa yang paling kamu suka?; J: Jalan
Sesama; T: Kalau di sekolah kamu mewarnai tu suka nggak?; J: Suka, tapi kotor tangannya;
T: Barbie-barbie itu punya siapa?; J: Punyaku; T: Kalau pelajaran menggambar tu kamu suka
nggak?; J: Gambar suka, tapi kalau gambar yang lain males kecuali orang; T: Cn Ag suka
sama pakaian yang gimana?; J: Yang kayak begini, trus kaya begini. Yang kayak di Barbie
ini lo.

Subjek pandai merias boneka dan menyanyi. Menurut subjek, anak laki-

laki lebih pandai menggambar

(lihat lampiran S II, Sb 228-230, 316-318, 321-322)


J: Ini aku belinya di Mirota Kampus lho. Itu cakep banget kalau dipasangin konde. Terus tak
lepas; T: Cn Ag lebih bisa menulis, membaca, menggambar, menyanyi atau ngapain?; J:
Menyanyi; T: Nyanyi apa?; J:Ya yang kayak di CD yang ada film barbienya; T: Menurutmu,
kalau anak laki-laki pintar apa?; J: Menggambar. Aku juga bisa, tapi jelek

Di rumah, subjek termasuk anak yang banyak omong, berbeda dengan di

sekolah yang pendiam. Tetapi subjek seringkali berperilaku lebih aktif seperti

berteriak-teriak, dan lompat-lompat bahkan dari atas kursi. Menurut subjek, anak

perempuan boleh memakai celana tetapi anak laki-laki tidak boleh memakai rok

dan sepatu hak tinggi. Di sekolah, anak laki-laki sering menangis, tetapi menurut

subjek anak perempuan yang lebih boleh sering menangis. Anak laki-laki lebih

sering marah dan lebih sering berteriak-teriak karena suaranya keras. Anak laki-

laki lebih banyak berbicara dan bercerita, tetapi anak perempuan lebih sering

mendengarkan.

(lihat lampiran S II, Sb 45-50, 142-149, 235-247, 261-266, 295-304, 324-326, 333-335)
T: Cn Ag banyak ngomong ya?; J: Emang; T: Tapi kalau di sekolah tu Cn Ag pendiam; J:
Misalnya aku punya rumah kayak gini toh, trus adanya yang buat muter-muter ke atas toh.
Trus aku triak-triak dari atas. Woi-woi terjun-terjun. Parasut; T: Kamu suka triak-triak juga?;
J: He e; T: Di sekolah, mainan apa yang kamu senengin?; J: Ada donat-donatan. Aku suka.
Cuma tak kumpulin tu lo donat-donatannya trus tak masukin tas di bawa pulang; T: Eee, jadi
menurutmu yang lebih sering ngomong di sekolah tu cowok?; T: Cn Ag kalau di rumah suka
loncat-loncat?; J: Lha! Lha! Lha! (subjek jalan kesana-kemari sambil lompat-lompat dan lari-
lari kecil); J(kakak subjek): Ya dia suka loncat-loncat. Malahan dari atas kursi turun ke lantai
aja pakai loncat; T: Kalau menurutmu yang biasa teriak-teriak sambil loncat-loncat tu anak
laki-laki atau anak perempuan?; J: Cewek
73

3. Subjek III

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi diri subjek, keluarga subjek serta teman-

teman subjek sebagai laki-laki dan perempuan.

(lihat lampiran S III, Sb 15-30, 50-55)


Tanya : No Kr anak laki-laki atau perempuan?; J: Anak cowok; T: Ooo cowok. Tahunya dari
mana?; J: Tengkaran nanti; T: Loh tengkaran?; J: Adikku cowok aku juga cowok; T: Ooo
adikmu cowok toh? Kalau ibu laki-laki atau perempuan?; J: Cewek. Di sini tu cowoknya ada
tiga, ceweknya satu; T: Ooo ada tiga, siapa saja?; J: Bapak, aku, ade; T: Terus, siapa temenmu
yang laki-laki?; J: Ar, Mr, Dn; T: Kalau temenmu perempuan siapa saja?; J: Dw paling jelek
sendiri mewarnainya; T: Terus, siapa lagi temenmu yang perempuan?; J: Kr.

Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri seperti ciri-ciri fisik, seperti panjang

rambut, suara serta ciri-ciri perilaku seperti agresif dan mengalah.

(S III, Sb 61-71, 84-90, 126, 132-139)


T: Mas Ss mo tanya, ini mas Ss pake celana pa rok?; J: Celana; T: Yang boleh pake celana tu
anak laki-laki atau perempuan?; J: Cowok; T: Cewek nggak boleh?; J: Tapi ya boleh juga,
cewek pakai celana; T: Kalau perempuan pakai apa?; J: Rok; T: Pakai rok? Kalau anak laki-
laki pakai rok nggak boleh?; J: Nggak… nanti jadi banci; J: Dw tu suaranya kecil; T: Nah,
yang boleh teriak-teriak tu anak laki-laki atau anak perempuan? ‘heii kamu di mana?’; J: Ar;
T: Laki-laki atau perempuan?; J: Nggak boleh semua; T: Tapi kalau suaranya yang lebih keras
yang mana?; J: Laki-laki; T: Kalau perempuan suaranya kayak gimana?; J: Ik ik ik; T: Ooo
suaranya kecil? Kalau kamu suaranya bagaimana?; J: Hoh.; T: Besar ya?; J: Mas Ss aja pas
temenku tak bisikin dah kayak gini-gini kok (tutup telinga)

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak laki-laki.

(lihat lampiran S III, Sb 98-105)


T: No Kr sukanya jadi anak laki-laki atau perempuan?; J: Jadi cowok; T: Nggak pingin jadi
anak perempuan?; J: Pingin jadi ini lo (subjek menunjuk gambar yang sedang diwarnai); T:
Pingin jadi tentara?; J : Nggak. Pingin jadi ini lo, robot beneran; T: Ooo pingin jadi robot
beneran.

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

laki-laki.
74

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul adalah sedih, marah, gembira dan

bangga. Subjek merasa bangga bila mendapatkan suatu prestasi berbentuk hadiah

dan merasa gembira bila mengalami suasana baru yang memuaskan. Subjek juga

merasa kawatir bila subjek kurang mampu mencapai prestasi. Menurut subjek

anak perempuan lebih sering merasa sedih dan anak laki-laki lebih sering marah.

(lihat lampiran S III, Sb 159-193, 336-343)

T: No Kr pernah sedih nggak?; J: Pernah; T: Pernah marah?; J: Pernah; T: Kamu pernah


gembira?; J: Pernah; T: Pernah bangga?; J: Aku aja dah punya sepatu (bisik-bisik); T: Dari
siapa?; J: Dari PPA (bisik-bisik); T: Kalau kamu lebih sering mana sedih, marah, gembira
atau bangga?; J: Gembira; T: Yang membuatmu gembira apa?; J: Main-main ke mall; T:
Main ke mall?; J: He e. Terus kalau dibeliin es krim; T: Sama siapa?; J: Bapak..trus ke Pizza
Hut; T: Ooo ke Pizza Hut?; J: Aku seneng lo. Aku juga pernah lo makan yang kayak di Crady
Patty; T: Ooo humberger to?; J: He e. Mas Ss, aku mrinding lo; T: Kenapa mrinding?; J:
Soalnya pelajarannya SD kan susah, jadi aku takut kalau nggak bias; T: Ooo kamu kawatir,
kalau besok SD kamu nggak bisa mengikuti pelajaran?; J: He e, takut banget.

Di sekolah, subjek berminat mengikuti kegiatan drumband, menggambar.

Subjek seringkali bersepeda, karena dengan bersepeda subjek merasa nyaman. Di

rumah, subjek seringkali bermain mobil-mobilan dan susun bentuk. Subjek juga

tertarik dengan robot, subjek juga beimaginasi menjadi robot, seringkali subjek

membeli mainan seperti robot di penjual mainan di sekolah. Subjek menyukai

acara kartun TV. Menurut subjek, anak perempuan suka bermain ayunan, boneka,

dan memainkan melodi drumband. Anak perempuan lebih suka menggambar

kupu-kupu dan memilih membeli mainan kupu-kupu atau membeli makanan yang

berhadiah. Anak laki-laki suka menggambar robot dan roket.

(lihat lampiran S III, Sb 98-105, 195-227, 238-253, 259-265, 272-280, 320-321, 346-350,
356-357, 361-366)
J: Pingin jadi ini lo (subjek menunjuk gambar yang sedang diwarnai); T: Pingin jadi tentara?;
J: Nggak. Pingin jadi ini lo, robot beneran; T: Ooo pingin jadi robot beneran; T: Kamu kalau
di rumah main apa?; J: Main petak umpet; T: Main petak umpet? Trus siapa yang nyariin?; J:
Tapi susah, karena nggak ada yang nyariin. Tapi aku sembunyi di dalam lemari aja.; T: Kalau
di sekolah main apa?; J: Main sepeda-sepedaan nggak boleh ma Niko. Mau main lagi nggak
75

boleh lagi. Tapi trus dipinjemin temen; T: Dipinjemin temen?; J: He e; T: Kan ada pelajaran
menggambar, menyanyi, drumband, menari. Terus yang kamu senengi pelajaran apa?; J:
Menggambar sama drumband; T: Menggambar dan drumband; J: Tapi drumbandnya lama
banget; T: Kamu pegang apa kalau drum?; J: Pegang bass, sama yang prek-prek-prek; T: Ooo
senar drum; T: Kamu kalau di rumah suka main mobil-mobilan?; J : Itu di bawah; T: Ooo
kamu suka main mobil-mobilan toh?; J: Sama main rangkai rangkaian; T: Ooo main balok,
bikin rumah, bangun-bangun?, J: Iya; T: Kamu punya main robot-robotan kayak gini nggak?;
J: Ooo itu aku beli di pak-e jualan mainan yang di sekolah; T: Ooo kamu suka to robot-
robotan, sampe pilih gambarnya yang robot-robotan; J: Emang, emang suka.

Kemampuan subjek yang menonjol adalah menggambar dan bercerita.

Menurut subjek, anak perempuan pandai menggambar kupu-kupu dan anak laki-

laki pandai menggambar mobil dan robot.

(lihat lampiran S III, Sb 292-295, 301-304, 313-318)


T: Menurutmu kamu pinter ngapain No Kr?; J: Pinter menggambar; T: Pinter menggambar?;
J: Banyak kok gambarku. Ni tak ambilin; T: Wah gambarnya pesawat; J: Ini ni karena macet
toh, trus di tarik sama ini, yang kuat (subjek menceritakan gambarnya); T: Ooo jadi kamu
pinter menggambar toh?; J: Iya

Di sekolah, subjek termasuk anak yang aktif, subjek suka bermain kejar-

kejaran. Subjek juga bersuara cukup keras ketika di kelas. Menurut subjek,

perempuan itu harus dilindungi. Perempuan lebih sering menangis. Laki-laki tidak

boleh memakai rok. Laki-laki lebih sering merokok, dan perempuan tidak boleh

merokok. Laki-laki punya suara lebih keras. Anak laki-laki dan perempuan tidak

boleh nakal dan tidak boleh berteriak-teriak.

(lihat lampiran S III, Sb 1-2, 29-36, 61-71, 91-96, 110-112, 114-118, 322-334, 359-360)
J: Di sini tu cowoknya ada tiga, ceweknya satu; T: Ceweknya harus di?; J: Diamani; T: Iya,
harus dilindungi, karena sendirian; J: Kalau ada penjahat aku sama adeku harus nglindungi; T:
Iya, harus berani; J: Aku sekarang dah dikasih tahu bedanya..bedanya orang ngrokok pa
nggak; T: Bedanya orang ngrokok pa nggak? Yang boleh merokok laki-laki atau perempuan?;
J: Cowok; T: Kalau cewek nggak boleh?; J: Nggak; T: Kamu di sekolah suka lari-lari nggak?;
J: Ya suka tapi jarang; T: Jadi kamu tu suka nggak kalau misalnya di tangga lari suaranya
gedebuk, gedebuk; J: Ooo suka.. Soale di kejar Niko gitu lo; Tanya : Trus kalau di kelas
ngomonge keras-keras?; J: Iya; T: Kayak nyuruh duduk temenmu gitu?; J: Iya; T: Jadi boleh,
anak laki-laki bicaranya keras-keras gitu? J: Ya jangan. Jangan sering-sering gitu lo; T: Jadi
boleh mana anak laki-lakiatau anak perempuan yang ngomongnya keras-keras gitu?; J: Ya
anak laki-laki. Tapi nggak boleh sering-sering, soalnya nanti kalau nanti dah SD mundak
ngganggu temennya yang baru belajar.
76

4. Subjek IV

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi diri subjek, keluarga subjek serta teman-

teman subjek sebagai laki-laki dan perempuan.

(lihat lampiran S IV, Sb 1-14, 19-21)


T: Kr Ki tu anak laki-laki atau perempuan ya?; J: Perempuan; T: Kalau ibu laki-laki atau
perempuan?; J: Perempuan; T: Bapak?; J: Laki-laki; T: Eyang?; J: Perempuan; T: Ade?; J :
Cowok; T: Kalau Mas Ss; J: Laki-laki; T: Ini gambar apa ya ini?; J: Putri salju; T: Ini
disebutnya laki-laki atau perempuan?; J: Perempuan.

Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri seperti ciri-ciri fisik, seperti panjang

rambut serta ciri-ciri perilaku seperti memakai rok atau celana.

(lihat lampiran S IV, Sb 23-43)


T: Kenapa kok bisa disebutnya perempuan?; J: Lha ini rambutnya panjang; T: Kalau anak
laki-laki tu kalau sekolah bajunya apa?; J : Celana; T: Kalau cewek?; J: Rok; T: Pakai rok?;
J: He e.

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak perempuan.

(lihat lampiran S IV, Sb 45-48)


T: Kr Ki sukanya jadi anak perempuan atau laki-laki?; J: Anak perempuan; T: Nggak suka
jadi anak laki-laki?; J: Nggak, soalnya nakal; T: Ooo Kr Ki nggak nakal toh?; J: Katanya
eyang.

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

perempuan.

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul adalah marah dan gembira. Subjek

gembira bila subjek dapat bermain sesuai yang subjek inginkan. Subjek juga

mudah malu. Menurut subjek anak perempuan lebih mudah malu.

(lihat lampiran S IV, Sb 86-89, 157-160, 164-165)


T: Kr pernah gembira?; J: (angguk); T: Pernah? Kenapa gembiranya?; J: Kalau main. main
sepeda, main boneka; T: Kamu pernah sedih?; J: (geleng-geleng); T: Pernah marah?; J:
Pernah; J: Aku tuh malu lo; T: Malu kenapa?; J: Duduk jejer Mas Ss; T: Ooo malu toh? Ya
udah Mas Ss geser.
77

Di sekolah, subjek lebih menyukai pelajaran menyanyi dan sering bermain

puter-puteran. Di rumah subjek suka bermain boneka, sepeda, pasang-pasangan,

serta menonton tv. Setiap hari subjek lebih suka menggunakan rok dan memakai

baju yang bagus agar tampak cantik. Subjek suka dengan warna pink. Subjek

bercita-cita menjadi dokter anak. Menurut subjek anak perempuan suka acara tv

yang untuk perempuan, anak laki-laki suka warna coklat, anak laki-laki tidak

boleh suka warna pink, dan anak perempuan tidak boleh suka warna coklat.

(lihat lampiran S IV, Sb 78-79, 89, 100-112, 130-134, 205-230)


T: Kamu lebih suka pake apa?; J: Rok; T: Kenapa gembiranya?; J: Kalau main. main sepeda,
main boneka; T: Kamu kalau di rumah main apa?; J: Pasang-pasangan; T: Pasang-pasangan
apa?; J: Itu; T: Ooo karpet karet yang bisa dipasang-pasangin; T: Kalau di sekolah, Kr Ki
suka main apa?; J: Main puter-puteran; T: Nggak suka main ayunan?; J: Nggak, paling suka
itu; T: Belajar apa yang kamu sukai?; J: Menyanyi; T: Kamu suka menyanyi toh?; J: Suka; T:
Kamu di rumah suka main boneka?; J: Punya, banyak; T: Ooo iya toh. Kamu suka main apa
kalau di rumah?; J: Main sepeda; T: Loh kok kamu punya banyak banget toh gambar kayak
gini. Ini Barbie, ini Barbie. Kamu suka toh sama Barbie; J: Iya; T: Suka putri-putri kayak gini
juga?; J: He e; T: Warna kesukaanmu apa?; J: Pink; T: Kalau anak laki-laki?; J: Coklat; T:
Kalau anak laki-laki suka warna pink boleh nggak?; J: Nggak boleh, nanti kayak cewek; T:
Kalau anak perempuan suka warna coklat boleh nggak?; J: Nggak boleh, nanti kayak anak
laki-laki; T: Besok kalo dah besar Kr Ki pingin jadi apa toh?; J: Pingin jadi dokter. Dokter
anak.

Subjek merasa pintar menyanyi, berhitung dan membaca. Menurut subjek,

anak perempuan lebih pandai berhitung, sedangkan anak laki-laki lebih pintar

bermain sepeda.

(lihat lampiran S IV, Sb 134-138, 167-179)


T: Kalau di rumah kamu menyanyi apa?; J: Ya apa-apa; T: Apa saja? Yang kayak pas senam
setiap Sabtu itu kamu hafal lagunya?; J: (subjek menyanyi); T: Kamu lebih pintar berhitung,
membaca, menulis, atau keterampilan?; J: Pintar belajar; T: Jadi pintar membaca?; J: Iya; T:
Pintar berhitung?; J: Iya; T: Pintar berhitung mana, anak laki-laki apa anak perempuan?; J:
Pintar anak perempuan; T: Terus, anak laki-laki pintarnya apa?; J: Anak laki-laki pintar main
sepeda, tapi mereka nakal, jadi nggak pintar membaca.

Di rumah, subjek bermain kejar-kejaran dan bermain layangan. Subjek

juga berusaha tampil cantik dengan berias. Menurut subjek anak laki-laki tidak

boleh berambut panjang dan memakai rok, tetapi anak perempuan boleh berambut

pendek dan memakai celana. Anak laki-laki lebih nakal, lebih sering marah-
78

marah, lebih sering ngobrol di kelas dan lebih sering menangis. Semua anak, bila

sudah besar tidak boleh menangis.

(lihat lampiran S IV, Sb 25-32, 42-43, 47-48, 91-93, 181-203)


T: Yang lebih sering nakal itu anak laki-laki atau perempuan?; J: Anak laki-laki; T: Siapa
yang sering nakal di sekolah?; J: Yang sering nakal di sekolah? Nr; T: Terus kalau anak
perempuan di sekolah nggak ada yang suka mukul temennya?; J: (geleng-geleng); T: Ooo
nggak ada toh?; T: Kalau anak perempuan boleh pake celana nggak?; J: Boleh. Ini pake rok;
T: Terus kalau di sekolah yang suka teriak-teriak anak laki-laki atau perempuan?; J: Edo.
Kalau yang lebih sering mimpin itu harus kenceng, “bersiap!” gitu.; T: Yang boleh banyak
ngomong itu laki-laki atau perempuan toh?; J: Kalau yang di kelas itu anak laki-laki; T: Kamu
pernah jatuh nggak? Jatuhnya kenapa?; J: Karena lari-lari; T: Karena nggak hati-hati?; J:
(angguk); J: Aku nanti kalau sudah mandi nanti mau ganti baju yang bagus, biar cantik; T:
Kamu kejar-kejaran sama Vn?; J: Iya pernah. Waktu itu toh aku dikejar dia toh, trus aku lari,
trus tiba-tiba dia jatuh. Bukan salahku, salahnya dia sendiri. Salahnya yang ngejar. Tapi kalau
aku jatuh yang salah ya Vn. Masnya Vn tu nakal banget lho, aku pernah dipecut ma dia; T:
Terus kamu nangis?; J: He e. Kalau TK kecil boleh nangis, tapi kalau dah TK besar nggak
boleh nangis; J: Aku pernah main layangan dari kertas; T: Loh, kamu bisa main layangan
toh?; J: He e.

5. Subjek V

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi diri subjek dan keluarga subjek serta

oranglain sebagai laki-laki dan perempuan.

(lihat lampiran S V, Sb 4-13)


T: Mbak Hr tu laki-laki atau perempuan?; J: Mbak?; T: Iya laki-laki atau perempuan?; J:
Perempuan; T: Kalau kamu?; J: Laki-laki; T: Kalau papa perempuan atau laki-laki?; J: Laki-
laki; T: Kalau mama?; J: Perempuan. T: Mas Ss laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; J: Eh
Maria tu kayak laki-laki lho. Sukanya naik sepeda

Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri seperti ciri-ciri fisik, seperti panjang

rambut serta ciri-ciri perilaku seperti memakai rok atau celana, memakai anting-

anting.

(lihat lampiran S V, Sb 15-18, 20-25)


T: Bedanya laki-laki sama perempuan tu apa?; J: Bedanya ya rambutnya sama wajahnya.
Kalau laki-laki kan nggak pakai anting-anting. Aku juga nggak pakai anting-anting; T:
Rambutnya kayak gimana?; J: Ya pendek; T: Kalau perempuan tu rambutnya panjang atau
pendek?; J: Panjang. Ada juga yang pendek; T: Kalau laki-laki boleh nggak rambutnya
panjang?; J: Ada. Tapi nanti ditangkep polisi terus; T: Emangnya kenapa?; J: Preman; T: Ooo
dikirain preman toh?
79

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak laki-laki.

(lihat lampiran S V, Sb 32-38)


T: Kamu suka jadi laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; T: Kenapa?; J: Ya enak; T: Apa
enaknya?; J: Bisa minum. Cewek juga bisa minum, tapi banyak cowok.

Dari daa di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

laki-laki.

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul adalah marah, kesal , senang dan

bosan. Subjek marah dan kesal bila teman subjek membuat subjek kesal dan bila

keinginan subjek tidak terpenuhi. Dan subjek merasa senang bila subjek ditelpon

ayah subjek dari luar kota. Menurut subjek, anak perempuan sering merasa sedih.

(lihat lampiran S V, Sb 84-85, 90-94, 158-168, 172-184)


T: Kamu pernah sedih?; J: Nggak; T: Pernah marah?; J: Pernah, setiap hari; T: Wah setiap
hari? Pernah gembira?; J: Nggak; T: Memang kamu kalau ditelpon bapak nggak seneng po?;
J: Seneng. Kadang kumatiin. Kadang nggak kuangkat; T: Loh kok dimatiin, padahal bapakmu
kangen lo; J: Ya biarin; T: Gimana kalau bapakmu nggak pulang sebulan?; J: Ya nggak papa.
Soalnya kan masih ada mama; T: Kamu sering marah ya?; J: Ho o; T: Apa yang bikin kamu
marah?; J: Ya sebel aja; T: Kalau di sekolah?; J: Ya sebel aja; T: Oo ada temenmu yang bikin
sebel kamu?; J: Ho o

Subjek suka bermain sepedaan, berminat pada drum, bila di sekolah

berminat pada pelajaran drumband. Subjek suka terlihat mencolok seperti

memakai baju yang bagus-bagus beserta aksesoris yang keren, menyukai warna

merah dan hitam. Subjek juiga suka menonton tv. Menurut subjek, anak laki-laki

suka main sepeda dan anak perempuan suka main ayunan.

(lihat lampiran S V, Sb 74-75, 104-106, 127-128, 131-147)


T: Memangnya kamu kalau di sekolah suka main apa?; J: Sepedaan; T: Kamu di sekolah
diajarin nari nggak?; J: Iya, sama bu Retno; T: Diajarin menyanyi?; J: Sama Pak Wawan; T:
Kalau yang ngajar drumband?; J: Pak Rinto; T: Kamu suka apa, menari, drumband atau
menyanyi?; J: Drumband. Aku nggak suka drumband sebenernya. Tapi sukanya drum; T:
Kamu kalau pergi-pergi sukanya pakai baju apa?; J: Baju yang keren-keren. Pakai rantai; T:
Kamu suka warna apa?; J : Warna merah. Hitam lebih sangar.
80

Subjek memiliki kemampuan membaca yang baik. Menurut subjek, semua

anak harus pintar membaca dan menulis (lihat lampiran S V, Sb 108-123).

(lihat lampiran S V, Sb 108-123)


T: Kamu dah bisa membaca?; J: Udah; T: Anak perempuan itu pintar ngapain?;J: Semuanya
harus pintar baca, sama nulis, biar besok pintar di SD

Subjek seringkali berbicara dengan suara keras, ketika menyanyi atau

ketika memanggil seseorang. Di sekolah tak jarang subjek memukul teman dan

membuat gaduh. Subjek juga seringkali bersepeda keliling perumahan. Menurut

subjek, anak-anak laki-laki tidak boleh memakai rok, tidak boleh berambut

panjang dan tidak boleh sering menangis. Anak perempuan boleh sering

menangis, tetapi anak perempuan tidak boleh nakal karena suka menangis.

(lihat lampiran S V, Sb 26-30, 40-47, 54-59, 61-73, 130-132, 181-182)


T: Kamu kalau di rumah teriak-teriak nggak?; J: Kalau pas nyanyi-nyanyi. Sama kalau
panggil eyang bapak, sama eyang mama; T: Kamu suka mukul temenmu nggak?; J: Di
sekolah; T: Boleh mana anak laki-laki sama anak perempuan, yang lebih sering menangis?; J:
Boleh, anak perempuan; T: Kalau anak laki-laki boleh menangis atau nggak boleh
mengangis?; J: Nggak boleh; T:Kalau anak perempuan tu boleh nggak toh nakal? Atau suka
mukul gitu?; J: Nggak boleh. Mereka kan tukang nangis, jadi nggak boleh nakal; T: Ooo jadi
yang tukang menangis nggak boleh nakal?; J:(angguk); T: Kamu pernah dihukum bu Titik
toh, kalau dihukum bu Titik marah nggak?; J: (senyum); T: Kenapa kok kamu dihukum; J:
Aku buat rame; Tanya : Salah nggak kalau kayak gitu?; J: Lha aku bosen kok.

6. Subjek VI

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi diri subjek, keluarga subjek serta teman-

teman subjek sebagai laki-laki dan perempuan.

(lihat lampiran S VI, Sb 46-68)


T: Bn Kr itu anak laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; T: Coba disebutin temenmu di
kelas yang laki-laki siapa aja?; J: De-Di tu laki-laki. Kalau Mra kayak cowok; T: Kayak
cowok? Tapi cewek?; J: He e; T: Terus kalau yang perempuan siapa aja?; J: (diam); T: Kr tu
laki-laki atau perempuan?; J: Perempuan; T: Ati?; J: Perempuan; T: Om?; J: Laki-laki; T:
Katanya kamu punya kakak sama ade, siapa namanya?; J: Kakak Oc; T: Perempuan atau laki-
laki?; J: Perempuan
81

Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri fisik, seperti panjang-pendek rambut,

pakaian dan ciri-ciri perilaku seperti anak perempuan lebih sering menangis, anak

laki-laki lebih agresif.

(lihat lampiran S VI, Sb 82-95, 188-192)


T: Kamu tahu nggak bedanya laki-laki sama perempuan tu apa?; J: Nggak tahu; T: Coba, anak
perempuan tu rambutnya panjang apa pendek toh?; J: Panjang, lebih panjang; T: Panjang?; J:
Pendek dikit juga ada; T: Kalau pendek seperti anak laki-laki boleh nggak?; J: Nggak.
Adanya banci; T: Kalau laki-laki rambutnya panjang boleh nggak?; J: Nggak; T: Kalau anak
laki-laki tu pakainya rok atau celana?; J: Celana; T: Kalau pakai rok?; J: Banci; T: Boleh
mana anak laki-laki atau anak perempuan yang sering nangis?; J: Anak perempuan; T: Anak
perempuan? Kalau nakal, lebih boleh sering mana?; J: Cowok, cowok kan nolongin cewek; T:
Ooo dibelain. Nanti kalau ada preman, “He kenapa kamu gangguin temen aku?”

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak laki-laki.

(lihat lampiran S VI, Sb 163-167)


T: Kamu seneng jadi anak laki-laki atau anak perempuan?; J: Laki-laki; T: Nggak pingin jadi
anak perempuan?; J: Nggak

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

laki-laki.

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul adalah gembira, berani, mengalah,

senang, sedih dan kesal. Subjek merasa gembira ketika mendengarkan musik dan

ketika ditelpon ayah subjek. Subjek kesal bila subjek disakiti oleh teman subjek.

Bila subjek menghadapi masalah, subjek cenderung mengalah. Menurut subjek,

anak laki-laki dan perempuan sering merasa senang dan sedih.

(lihat lampiran S VI, Sb 36-39, 75-77, 169-176, 180-186, 268-274, 279-285)


T: Kamu pernah gembira?; J: Pernah; T: Gembiranya kenapa?; J: Karena ada bunyi-bunyi apa
gitu, bagus; T: Musik toh?; J: Iya; T: Kalau ditelpon papa, kamu seneng nggak?; J: Nggak
juga; T: Nggak toh?; J: Nggak; T: Kamu pernah nangis nggak di sekolah?; J: Nggak pernah
lagi; T: Nggak pernah lagi? Kalau dulu nangisnya kenapa?; J: Ya macem-macem; T:
Contohnya apa, satu aja; J: Dipukul Agri; T: Oo, dipukul Agri? Kamu waktu itu sebel banget?
Atau sakit banget trus kamu takut bales?; J: He e. Sakit lo dipukul Ag, rasanya lama
hilangnya
82

Subjek suka bermain sepedaan, tembak-tembakan, bermain kereta dan

bicara-bicaraan dengan anjing dan boneka. Di sekolah subjek berminat pada

pelajaran drumband dan menyanyi. Subjek juga tetarik untuk bermain drum.

Menurut subjek anak perempuan suka bermain ayunan dan masak-masakan,

sedangkan anak laki-laki suka bermain mobil-mobilan.

(lihat lampiran S VI, Sb 24-28, 107-134, 141-144, 241-252)


T: Bn Kr kalau di sekolah sukanya main apa toh?; J: Kadang main sepeda, kadang ikut main
tembak-tembakan yang permainan itu lho; T: Pake balok-balok yang di kotak itu?; J:
(angguk); T: Kamu di sekolah diajari menari?; J: Ho o; T: Menyanyi; J: Sama Pak Wawan; T:
Sama Pak Rinto di ajari?; J: Drumband; T: Trus diajarin bahasa inggris, trus diajarin belajar
berhitung sama membaca. Trus yang kamu senengi pelajaran apa?; J: Drumband, trus
menyanyi; T: Kamu nggak suka menari?; J: Menari susah; T: Menari susah ya?; J: Sering
salah; T: Kemarin pentas menyanyi kamu nggak ikut?; J: Nggak, kejauhan; T: Tapi ikut
latihan koor-nya?; J: Koor-nya ikut latihan, tapi pentasnya enggak; T: Katanya Ati kamu suka
main drum?; J: Apa?; T: Katanya Ati, kalau kamu pas ndengerin musik, kamu suka gini-gini
sendiri. Itu kenapa?; J: Pura-pura main drum; T: Besok gede kamu mau main drum?; J: Mau.
Besok gede kan sama papa mau dibeliin drum. Sama sepedanya karena sudah jelek mau
dibagusin.

Subjek terkadang ikut membantu paman subjek. Subjek juga pintar dalam

bermain drumband dan mewarnai. Menurut subjek, anak perempuan pandai

menari.

(lihat lampiran S VI, Sb 73-74, 202-205)


T: Kalau anak laki-laki tu pinternya ngapain toh?pinter menyanyi, pinter berhitung, pinter
menari atau pinter berbahasa?; J: Nggak tahu; T: Kalau kamu pinter apa?; J: Nggak
semuanya. Nggak pinter semuanya; T: Terus bisanya apa?; J: Bisanya drumband, mewarnai;
T: Menggambar bisa?; J: Bisa; T: Bagus nggak?; J: Jelek; T: Kalau bikin ketrampilan bisa?;
J: Nggak bias; T: Kalau anak perempuan biasanya pinter apa?; J: Biasanya anak bawah itu
kayak Putri, Palma sama Sanda itu pinter.; T: Pinter ngapain?; J: Pinter nari.

Subjek seringkali bermain sampai tempat yang jauh bersama dengan

teman-teman subjek yang di rumah. Subjek juga sering berbicara keras, terkadang

di sekolah berperilaku agresif. Subjek juga seringkali bermain peran dengan

anjing dan boneka yang subjek punya. Subjek seringkali mengalah, dan penurut.

Subjek mengalah dengan tujuan untuk menghindari perkelahian, dan subjek

termasuk anak yang penurut karena subjek menerima aturan di rumah bahwa
83

subjek tidak boleh menonton TV. Menurut subjek, anak laki-laki lebih nakal

dibanding anak perempuan, cara berjalan anak laki-laki lebih cepat dari anak

perempuan. Anak perempuan lebih sering menangis dan tidak boleh berteriak-

teriak.

(lihat lampiran S VI, Sb 1-5, 29-33, 87-90, 94-97, 103-105, 112-115, 135-140, 149-161,
180-195, 224-234)
T: Kamu kalau di kelas nakal nggak?; J: Kadang nakal, kadang nggak; J: Aku pernah
dibentak Fano toh “heh, ni sepedaku”. Ya udah trus aku jalan. Daripada kubilangin bu guru
trus dia bilang “heh, awas lho”; T: Ooo kamu pernah digituin Fano toh?; J: (angguk); T:
Kamu menghindar biar nggak ribut? Atau karena kamu takut?; J: Biar nggak ribut. Kalau
Niko juga pernah, trus berantem; T: Emang yang boleh nakal tu anak laki-laki atau anak
perempuan toh?; J: Semuanya nggak boleh. Kata bu guru, semua nggak boleh nakal. Nanti
nggak ada temen T: Boleh mana anak laki-laki atau anak perempuan yang sering nangis?; J:
Anak perempuan; T: Anak perempuan? Kalau nakal, lebih boleh sering mana?; J: Cowok,
cowok kan nolongin cewek; T: Ooo dibelain. Nanti kalau ada preman, “he kenapa kamu
gangguin temen aku?”; T: Kamu kalau di rumah teriak-teriak nggak toh?; J: Kadang kalau
aku nggak tahu Ati pergi tu aku bilang “Ati!, Ati!; T: Tapi sering nggak teriakmu?; J: Nggak
sering; T: Kalau anak perempuan boleh nggak teriak-teriak?; J: Nggak boleh, ngomongnya
harus pelan-pelan. Tanya-tanya dulu; T: Kalau laki-laki jalannya gimana toh? Beda nggak,
anak laki-laki sama perempuan jalannya?; J: Kalau anak perempuan pelan, tapi kalau anak
laki-laki kencang. Kalau anak perempuan jalannya kenceng-kenceng nanti capek atau jatuh;
T: Kalau jalanmu cepet, cepet atau pelan-pelan?; J: Pelan-pelan, kayak gini; T: Cepet juga
ya?; J: Kalau jalan pelan-pelan, tapi kalau lari, cepet. Pas main tembak-tembakan itu aku
prosotan aja, aku bilang, aku di belakang aja, sembunyi di balik pohon.; T: Jadi nunggu,
nggak usah lari-lari?; J: Iya

7. Subjek VII

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi diri subjek, keluarga subjek serta teman-

teman subjek sebagai laki-laki dan perempuan.

(lihat lampiran S VII, Sb 1-2, 19-37)


T: Al Ds itu anak laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; T: Oo sukanya truk? Itu adeknya
perempuan atau laki-laki?; J: Perempuan; T: Kalau ibu?; J: Perempuan; T: Bapak, perempuan
atau laki-laki?; J: Laki-laki; T: Akung?J: Laki-laki; T: Kalau Mamak?; J: Perempuan; T: Jadi
kalau di rumah ini perempuannya ada berapa?; J: Ada tiga

Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan dari cara

berpakaian, dan panjang-pendek rambut. Bahkan subjek juga mengetahui

perbedaaan ciri-ciri biologis laki-laki dan perempuan.


84

(lihat lampiran S VII, Sb 45-63)


T: Eh bajunya anak perempuan tu kayak gimana?; J: Rok; T: Oo pake rok? Kalau anak laki-
laki?; J: Celana; T: Kalau anak perempuan tu rambutnya panjang atau pendek?; J: Pajang; T:
Kalau anak laki-laki?; J: Pendek.

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak laki-laki.

(lihat lampiran S VII, Sb 39-43)


T: Kamu seneng nggak jadi anak laki-laki?; J: (angguk); T: Ooo seneng toh? Nggak pingin
jadi anak perempuan?; J: (geleng-geleng)

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

laki-laki.

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul sedih dan marah, sedih karena subjek

jarang bertemu dengan ayah subjek karena ayah subjek bekerja di luar kota.

Subjek merasa marah bila subjek tidak diijijkan bermain. Selain dilarang bermain,

subjek juga merasa marah bila diganggu oleh teman-teman subjek.

(lihat lampiran S VII, Sb 65-77, 227-231)


T: Kamu pernah sedih?; J: Pernah; T: Pernah seneng, gembira?; J: (angguk); T: Pernah
marah?; J: Jarang; T: Jarang? Na kalau yang paling sering, seneng, gembira, dedih, atau
marah?; J: Sedih sama marah; T: Sedih sama marah? Sedihnya kenapa?; J: Ndak ketemu
bapak; T: Kalau marahnya kenapa? Nggak boleh main gitu?; J: (angguk); T: Nr Kr sama
Arga? Kamu pernah dinakali? Nangis kalau dinakali?; J: Pernah; T: Dinakalinya kenapa?; J:
Dipukul; T: Dipukul sama mereka?

Subjek suka bermain mobil-mobilan, robot, truk, kereta, dan binatang

mainan. Subjek juga bermain pasar-pasaran. Subjek suka pelajaran menggambar,

dan suka menggambar truk. Subjek seringkali membeli mainan di penjual mainan

di sekolah. Warna kesukaan subjek adalah ungu, biru, orange, merah. Menurut

subjek anak perempuan lebih suka bermain boneka barbie, sedangkan anak laki-

laki lebih suka bermain mobil-mobilan.


85

(lihat lampiran S VII, Sb 8-12, 15-18, 81-82, 85-93, 123-132, 141-152, 187-190, 244-250)
T: Kamu tu suka truk toh?; J: (angguk); T: Suka mana truk sama tembak-tembakan?; J: Suka
truk sama kereta; T: Suka main apa saja?; J: Mobil-mobilan; T: Belajar sama nulis? Kamu di
sekolah diajari nyanyi, diajari gambar sama Pak Wawan, diajari nari sama Bu Retno, diajari
drumband sama Pak Rinto, trus diajarin membaca dan menulis sama Bu Titik. Na yang paling
kamu senengi belajar apa?; J: Nggambar truk; T: Ooo nggambar truk sama Pak Wawan?; J:
(angguk); T: Kamu nggak punya boneka?; J: Punya, laki-laki; T: Bonekanya apa?; J: Anjing;
T: Warna yang paling kamu sukai warna apa?; J: Warna-warni; T: Yang kamu sukai warna
apa?; J: Ungu, biru, orange, merah; T: Mainan apa saja yang kamu punya?; J: Mainan hewan;
T: Hewan-hewanan punya?; J: Punya; T: Mainan mobil-mobilan punya?; J: Punya. Aku
punya truk; T: Truknya panjang sekali

Subjek mempunyai kemampuan dalam membaca dan menggambar.

Menurut subjek, laki-laki lebih pintar membaca dan menggambar serta mampu

menyelesaikan tugas dengan cepat. Subjek juga sudah mulai mampu mandiri,

seperti makan, mandi, pakai baju sendiri. Menurut subjek anak perempuan hanya

suka bermain sehingga lebih pintar anak laki-laki dalam belajar.

(lihat lampiran S VII, Sb 95-121, 135-139, 192-196, 258-266, 156-171)


T: Kamu bisa baca?; J: Bisa; T: Kamu lebih pinter menggambar?; J: (angguk); T: Coba nanti
Mas Ss gambarin truk ya, biar mas bawa pulang ke rumah ya; T: Kalau anak perempuan tu
biasanya pinter apa toh?; J: Cuma pinter bermain bermain terus; T: Cuma pinter bermain
bermain terus? Nggak pinter membaca?; J: Pinter; T: Pinter mana sama anak laki-laki?; J:
Laki-laki. Kalau anak laki-laki banyak belajar, jadi pinter anak laki-laki.; T: Kamu kalau
makan sama siapa?; J: Kadang-kadang makan sendiri kadang-kadang nggak; T: Kalau
mandi?; J: Kadang-kadang dimandiin, kadang-kadang enggak; T: Kalau ganti baju?; J:
Kadang-kadang dipakaiin, kadang-kadang enggak.

Subjek seringkali beli mainan, berbicara dengan suara keras atau berteriak-

teriak, namun tidak agresif. Menurut subjek anak laki-laki tidak boleh memakai

rok, tidak boleh berambut panjang, dan lebih sering nakal dengan memukul. Anak

perempuan boleh memakai celana dan lebih sering menangis.

(lihat lampiran S VII, Sb 49-54, 61-63, 182-183, 216-225, 233-236)


T: Kamu suka teriak-teriak?; J: Iya; T: Kamu pernah dinakali? Nangis kalau dinakali?; J:
Pernah; T: Dinakalinya kenapa?; J: Dipukul; T: Yang boleh nakal tu anak laki-laki apa
perempuan toh?; J: Anak laki-laki; T: Kalau yang suka nangis tu anak laki-laki atau anak
perempuan toh?; J: Perempuan.
86

8. Subjek VIII

a. Identitas Gender

Subjek mampu mengidentifikasi dengan sesuai jenis kelamin laki-laki dan

perempuan, sehingga subjek dapat menunjukkan bahwa diri subjek, keluarga

subjek dan teman-teman subjek.

(lihat lampiran S VIII, Sb 1-30)


T: Br Dw, menurutmu Al Ds itu anak laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; T: Br Dw laki-
laki apa perempuan?; J: Perempuan; T : Bapak laki-laki atau perempuan?; J: Laki-laki; T:
Ibu?; J: Perempuan; T: Kakak, Mas?; J: Laki-laki; T: Kr itu cewek apa cowok?; J: Perempuan

Subjek juga mengenal ciri-ciri laki-laki dan perempuan meski secara sederhana,

seperti pakaian dan panjang-pendek rambut, aksesoris, dan paras cantik-tampan.

(lihat lampiran S VIII, Sb 63-74, 192-197, 312-320)


T: Kalau cewek tu rambutnya panjang atau pendek toh?; J: Panjang; T: Kalau ke sekolah
pakainya baju apa?; J: Rok; T: Ooo rok, nggak boleh pakai celana?; J: Boleh; T: Ooo boleh,
kalau Sabtu ya. Besok kamu pakai celana toh? Kalau cowok apa pakainya?; J: Kathok; T:
Cewek tu pakai anting-anting nggak toh?; J: Pakai; T: Kamu setuju nggak, cewek tu harus
cantik? Cewek tu cantik atau ganteng?; J: Cantik; T: Kalau cowok; J: Ganteng.

Subjek juga merasa nyaman menjadi anak perempuan.

(lihat lampiran S VIII, Sb 79-82)


T: Br Dw suka jadi cowok atau jadi cewek?; J: Cewek; T: Cewek? Mbok jadi cowok aja?; J:
Nggak mau.

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki pemahaman

tentang identitas gender dan memiliki kesesuaian identitas gender sebagai anak

perempuan.

b. Peran Gender

Perasaan subjek yang sering muncul adalah marah dan kesal. Subjek

marah dan kesal karena rebutan mainan, diejek teman, juga karena ibu atau kakak

yang membuat kesal subjek. Jika subjek marah dan kesal, subjek seringkali

meluapkannya dengan menangis. Subjek juga takut terhadap ular. Subjek


87

mempunyai pengetahuan bahwa anak laki-laki lebih sering marah, dan anak

perempuan lebih sering senang dan sedih.

(lihat lampiran S VIII, Sb 100-109, 120-127, 204-206, 208-215)


T: Br Dw pernah nangis?; J: Pernah; T: Kenapa nangisnya?; J: Rebutan sama ade; T: Rebutan
apa?; J: Mainan; T: Kalau kamu diejek sama temenmu di sekolah, nangis nggak?; J: Enggak;
T: Mangkel atau marah nggak?; J: Mangkel; T: Br Dw pernah marah?; J: Pernah; T: Kenapa
marahnya?; J: Ibu nakal; T: Mas nggak nakal kok ya?; J: Nakal

Subjek suka bermain boneka, ayunan, bongkar pasang, kejar-kejaran, dan

guru-guruan, subjek juga mempunyai mobil-mobilan dan suka menonton tv.

Subjek juga suka Hello Kitty, Barbie, dan Mickey Mouse. Makanan kesukaan

subjek adalah mie dan ayam. Subjek suka warna pink. Di sekolah, subjek berminat

pada kegiatan berenang dan pelajaran mewarnai. Dalam keseharian, subjek lebih

suka memakai celana. Menurut subjek, laki-laki menyukai warna biru, dan laki-

laki lebih suka bermain terus sehingga tugas dari guru tidak selesai.

(lihat lampiran S VIII, Sb 32-44, 152-180, 183-186, 230-238, 252-256, 285-289, 291-294)
T: Di sekolah suka main apa?; J: Ayunan; T: Suka main bongkar pasang?; J: Suka; T: Br Dw
suka lari-lari nggak kalau di sekolah?; J: Suka; T: Siapa temennya lari-lari kalau di sekolah?;
J: Dv; T: Kamu suka hello kitty po?; J: (angguk); T: Kamu punya gambar apa lagi di rumah?;
J: Barbie; T: Terus?; J: Mickie mouse; T: Trus putri-putrian punya nggak?; J: Punya; T: Putri
salju punya nggak?; J: Nggak; T: Kamu sering nonton TV kalau di rumah?; J: Suka; T: Apa
acara yang kamu suka?; J: Spongebob; T: Spongebob? Kalau si unyil suka nggak?; J: Suka;
T: Kalau Bolang?; J: Suka; T: Kalau Doraemon?; J: Enggak; T: Kamu suka makan apa kalau
di rumah?; J: Mie; T: Terus?; J: Ayam; T: Kamu suka warna apa?; J: Biru sama pink; T:
Kamu di sekolah diajarin nyanyi?; J: (angguk); T: Diajari menari?; J: (angguk); T:
Menggambar?; J: (angguk); T: Drumband?; J: Dah nggak mau lagi; T: Loh dah nggak mau
lagi. Yang paling kamu senengi pelajaran apa?; J: Mewarnai; T: Trus kamu kalau di rumah
main apa?; J: Guru-guruan; T: Siapa yang jadi muridnya?; J: Boneka; T: Kamu nggak suka
berenang po?; J: Suka; T: Tapi kok mas sius nggak pernah lihat kamu berenang; J:
Renangnya setelah semuanya pulang; T: Kamu suka baju apa?; J: Celana; T: Kamu kalau
pergi ke gereja suka pakai apa?;
J: Celana.

Subjek merasa memiliki kemampuan seperti berhitung, membaca,

mewarnai, mencocokkan, dan menggambar. Subjek juga merupakan anak yang

mandiri, mampu mandi dan mempersiapkan diri sendiri. Menurut subjek anak

perempuan pintar menyanyi, sedangkan anak laki-laki hanya suka ngomong.


88

(lihat lampiran S VIII, Sb 49-58, 245-262, 269-278, 280-283, 298-301)


T: Kamu bisa menggambar?; J: Bisa; T: Menggambar apa?; J: Rumah; T: Orangnya bisa
nggak?; J: Bisa; T: Gambarnya bagus apa nggak bagus?; J: Bagus; T: He e toh? Banyak
gambarmu di rumah?; J: Banyak; T: Br Dw bisa tambah-tambahan?; J: Bisa; T: Jadi kamu
cuma pinter mewarnai saja?; J: Tarik garis; T: Kamu pinter membaca nggak? Ini bacanya
apa?; J: SUKA; T: Wah cepet sekali.

Subjek seringkali memukul ibu dan kakak subjek, terkadang subjek

menangis, seringkali subjek suka mengompol, suka berteriak-teriak dan suka

berlari-lari. Menurut subjek, anak perempuan boleh memakai celana, anak laki-

laki tidak boleh berambut panjang dan memakai anting-anting, anak laki-laki dan

perempuan tidak boleh memukul. Menurut subjek anak laki-laki lebih nakal.

(lihat lampiran S VIII, Sb 44-47, 68-77, 84-99, 140-143, 194-197, 219-220, 303-307, 321-
323)
T: Kamu kalau di rumah nakal nggak? Suka mukul temenmu nggak?; J: Mukul ibu; T: Wah,
mukul ibu? Mukul ibu toh. Kalau mas kamu pukul nggak?; J: He e. Bu nanti aku ngompol
lagi ya; T: Loh, kamu masih suka ngompol toh?; T: Kamu kalau di rumah suka ngomong
teriak-teriak nggak?; J: Suka; T: Terus kamu juga suka lari-lari di rumah?; J: Suka
89

Dari keseluruhan pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender di atas maka didapatkan data gabungan yang

telah dirangkum dalam tabel berikut :

Tabel 9
Rangkuman Pemahaman Identitas Gender dan Peran Gender
Identitas Gender Peran Gender
Perasaan yang
Identifikasi Perasaan
Subjek semestinya dan
Jenis Ciri-ciri sebagai laki- Minat Kemampuan Perilaku
yang sering
Kelamin laki/perempuan
muncul
Gembira, kesal Menari, Kejar-kejaran,
Sesuai dan marah. menggambar, Bernyanyi, lompat-lompat.
Mampu, Nyaman sebagai
I (Fisik dan Perempuan sering menyanyi, bermain menggambar, Perempuan sering
sesuai. anak perempuan
perilaku) sedih, laki-laki ayunan, prosotan, berhitung menangis, laki-laki
sering marah boneka sering memukul
Menggambar, Merias Berteriak-teriak,
Sesuai
Mampu, Nyaman sebagai Marah, bahagia, mewarnai, bermain boneka, lompat-lompat.
II (Fisik dan
sesuai anak perempuan takut boneka, barbie. menyanyi. Perempuan sering
perilaku)
Perempuan suka Laki-laki menangis dan
90

warna pink, laki- pintar mendengarkan,


laki warna merah menggambar anak laki-laki
sering berteriak

Kejar-kejaran,
Sesuai Sedih, gembira, Robot, drumband,
Mampu, Nyaman sebagai Menggambar bersuara keras,
III (Fisik dan marah, bangga, menggambar,
sesuai anak laki-laki dan bercerita perempuan harus
perilaku) khawatir bersepeda
dilindungi

Menyanyi, bermain Kejar-kejaran,


Sesuai Menyanyi,
Mampu, Nyaman sebagai Marah, gembira, puter-puteran, bermain layang-
IV (Fisik dan berhitung,
sesuai anak perempuan malu boneka, tampil layang, laki-laki
Perilaku) membaca
cantik lebih nakal
Bermain mobil-
Membaca.
mobilan, Aktif, agresif,
Sesuai Semua anak
Mampu, Nyaman sebagai Marah, kesal, bersepeda, bersuara keras.
V (Fisik dan harus pintar
sesuai anak laki-laki senang dan bosan drumband. Perempuan sering
Perilaku) membaca dan
Perempuan suka menangis
menulis
ayunan
91

Bersepeda, tembak- Bersuara keras,


Sesuai Gembira, tembakan, kereta, Membantu, penurut, mengalah.
Mampu, Nyaman sebagai
(Fisik dan mengalah, sedih, bicara-bicaraan drumband, Laki-laki jalan lebih
VI sesuai anak laki-laki
Perilaku) berani, dan kesal dengan anjing dan mewarnai cepat, perempuan
boneka sering menangis

Bermain mobil- Membaca,


Bersuara keras.
Sesuai mobilan, robot, menggambar.
Mampu, Nyaman sebagai Perempuan sering
VII (Fisik dan Sedih, marah truk, kereta. Laki-laki
sesuai anak laki-laki menangis, laki-laki
Perilaku) Perempuan main lebih pintar
sering memukul
boneka dalam belajar
Berhitung,
Kesal dan marah.
Bermain boneka, membaca, Agresif, menangis,
Sesuai Laki-laki sering
Mampu, Nyaman sebagai ayunan, Hello mewarnai, mengompol. Laki-
VIII (Fisik dan marah,
sesuai anak perempuan Kitty, Barbie dan mencocokan laki sering
Perilaku) perempuan sering
bongkar pasang dan memukul
sedih
menggambar
92

Dari data yang telah terkumpul, dapat dilihat bahwa subjek dalam penelitian

ini dapat menunjukkan pemahaman mereka mengenai identitas gender dan peran

gender. Peneliti mencoba menyatukan semua data tiap subjek menjadi data penelitian

secara umum, dengan harapan agar data penelitian ini dapat menunjukkan tentang

bagaimana pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

1. Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender

a. Identifikasi Jenis Kelamin

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa kedelapan subjek memiliki

kemampuan mengidentifikasi yang sesuai. Dengan kemampuan identifikasi

tersebut para subjek telah dapat mengidentifikasi diri sendiri, orangtua dan

keluarga, teman dan orang lain di lingkungan subjek sebagai laki-laki dan

perempuan.

b. Pemahaman Ciri

Dari data yang telah terkumpul tampak bahwa kedelapan subjek

memiliki pemahaman mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan. Ciri-ciri

yang muncul dari pemahaman subjek antara lain ciri-ciri fisik seperti panjang-

pendek rambut, tinggi-rendah dan keras lembut suara, paras cantik-tampan,

dan ciri-ciri perilaku seperti memakai celana-rok dan kaos-gaun, aksesoris

seperti anting-anting dan kalung, laki-laki lebih agresif dan aktif, perempuan

yang mudah menangis.


93

c. Perasaan

Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa kedelapan subjek mempunyai

perasaan yang sesuai dan nyaman sebagai laki-laki atau perempuan. Hal

tersebut juga berarti bahwa anak laki-laki merasa nyaman dengan

keberadaannya sebagai laki-laki dan anak perempuan merasa nyaman dengan

keberadaannya sebagai perempuan.

2. Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender.

Pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah perasaan, minat,

kemampuan dan perilaku anak prasekolah tentang bagaimana seharusnya menjadi

laki-laki dan perempuan.

a. Perasaan

Dari kedelapan subjek dapat diketahui bahwa perasaan yang sering

muncul pada subjek perempuan, antara lain gembira, bahagia, malu, takut,

kesal dan marah. Perasaan yang sering muncul pada subjek laki-laki antara

lain senang, gembira, bangga, berani, sedih, kesal, marah, khawatir, dan

bosan.

Berdasarkan pengetahuan kedelapan subjek, anak perempuan

seharusnya lebih sering merasa gembira, senang, sedih, dan lebih mudah

malu. Anak laki-laki seharusnya lebih sering merasa gembira, marah, dan

sedih.
94

b. Minat

Dari kedelapan subjek dapat diketahui bahwa minat subjek perempuan

antara lain bermain ayunan, prosotan, putaran, boneka, barbie serta lebih suka

menari, menggambar, menyanyi, mewarnai, bongkar pasang. Subjek laki-laki

lebih suka bersepeda, bermain robot, mobil-mobilan, kereta, truk, tembak-

tembakan serta lebih suka menggambar, drumband, bicara-bicaraan dengan

anjing dan boneka.

Berdasarkan pengetahuan kedelapan subjek tentang minat anak

perempuan dan laki-laki, anak perempuan seharusnya suka bermain boneka,

masak-masakan, ayunan, barbie, kupu-kupu, capung dan melodi drumband.

Anak perempuan seharusnya juga lebih memilih menggambar kupu-kupu,

membeli mainan kupu-kupu, membeli makanan yang berhadiah, dan suka

menonton acara tv yang untuk perempuan. Anak perempuan suka warna pink,

ungu, biru. Anak laki-laki seharusnya lebih sering membaca, suka bermain

mobil-mobilan, main sepeda, robot, truk, menggambar robot dan roket, dan

boleh menari. Anak laki-laki seharusnya suka warna biru dan merah.

c. Kemampuan

Dari kedelapan subjek dapat diketahui kemampuan anak laki-laki dan

perempuan. Subjek perempuan memiliki kemampuan dalam bernyanyi,

menggambar, berhitung, membaca, mewarnai, mencocokan dan merias


95

boneka. Subjek laki-laki memiliki kemampuan dalam membaca, drumband,

mewarnai, menggambar dan bercerita serta mampu membantu.

Berdasarkan pengetahuan kedelapan subjek, anak perempuan

seharusnya mempunyai kemampuan dalam menggambar kupu-kupu,

berhitung, menari, dan menyanyi. Anak laki-laki seharusnya memiliki

kemampuan dalam menggambar mobil dan robot serta mampu bermain

sepeda dengan baik. Menurut para subjek seharusnya semua anak harus pintar

dalam hal belajar, terutama membaca dan menulis.

d. Perilaku

Dari kedelapan subjek dapat diketahui bahwa perilaku subjek

perempuan antara lain sering menangis, mengompol, bermain kejar-kejaran,

lompat-lompat, bermain layang-layang, sering berteriak-teriak, dan agresif.

Perilaku subjek laki-laki antara lain lebih aktif, agresif, bersuara keras,

bermain kejar-kejaran, penurut, mengalah.

Berdasarkan pengalaman kedelapan subjek. anak perempuan lebih

sering menangis dan boleh sering menangis, serta sering mendengarkan

dibanding anak laki-laki. Anak perempuan boleh berambut pendek dan

memakai celana tetapi tidak boleh merokok. anak perempuan tidak boleh

nakal karena suka menangis, dan harus dilindungi. Anak laki-laki lebih sering

marah-marah, lebih nakal dengan memukul, banyak berbicara dan bercerita di

kelas, sering berteriak-teriak karena suaranya keras, dan cara berjalannya

lebih cepat dari anak perempuan. Anak laki-laki tidak boleh berambut
96

panjang, tidak boleh memakai rok dan sepatu hak tinggi serta memakai

anting-anting. Anak laki-laki lebih sering merokok.

Berdasarkan hasil obeservasi dalam mewarnai, anak perempuan

memilih gambar kupu-kupu, Putri Salju, dan Hello Kitty sedangkan anak laki-

laki memilih gambar robot, Batman, mobil, dan truk. Anak perempuan lebih

berhati-hati, cenderung memperhatikan kerapian, dan menggunakan warna

yang cenderung terang sedangkan anak laki-laki lebih memberikan tekanan,

kurang memperhatikan kerapian, dan memilih warna yang cenderung gelap.

D. Pembahasan

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock, 2002)

yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah mereka

(Watson & Lindgren,1973). Di usia ini anak harus menguasai tugas

perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah

mengetahui perbedaan seks dan tata caranya (Hurlock, 1998).

Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah diharapkan memiliki pemahaman

atas dirinya dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan serta mampu

menunjukkannya. Pemahaman tersebut berupa pemahaman mengenai identitas

gender dan peran gender. Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender

adalah kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan

atas diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan. Pemahaman anak

prasekolah tentang peran gender adalah perasaan, minat, kemampuan dan perilaku
97

anak prasekolah sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak prasekolah

mengenai perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan.

Merujuk pada devinisi pemahaman identitas gender yang telah disepakati,

pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah kemampuan

mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan atas diri sendiri dan

orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

Dari penelitian di atas didapatkan bahwa kedelapan subjek mampu

mengidentifikasi diri sendiri, orangtua dan keluarga, teman dan orang lain di

lingkungan subjek sebagai laki-laki dan perempuan. Kedelapan subjek juga mampu

menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, antara lain ciri-ciri fisik seperti

panjang-pendek rambut, tinggi-rendah dan keras lembut suara, paras cantik-tampan,

dan ciri-ciri perilaku seperti memakai celana-rok dan kaos-gaun, aksesoris seperti

anting-anting dan kalung, laki-laki lebih agresif dan aktif, perempuan yang mudah

menangis. Kedelapan subjek juga mempunyai perasaan yang sesuai dan nyaman

sebagai laki-laki atau perempuan.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa para subjek telah memiliki

pemahaman mengenai identitas gender. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa anak

prasekolah di Indonesia yang berusia 5-6 tahun telah memiliki pemahaman mengenai

identitas gender, dimana anak prasekolah telah mampu mengidentifikasi jenis

kelamin diri sendiri dan orang lain, mampu menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan

perempuan, serta memiliki rasa nyaman sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
98

Sejak kapan sesungguhnya anak-anak menyebut diri mereka anak laki-laki

atau anak perempuan? Dalam Marriage and Family Encyclopedia (2007) dijelaskan

bahwa ketika lahir, hampir semua bayi secara sosial diberi label sebagai laki-laki atau

perempuan, berdasarkan pada alat kelaminnya. Anak-anak mungkin diperlakukan

secara berbeda, tergantung pada label jenis kelaminnya. Anak mulai mengembangkan

body image dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Setelah anak mampu berbahasa,

usia 18 bulan sampai 2 tahun, anak dapat menyebut dirinya sebagai laki-laki atau

perempuan.

Demikian pula dengan kedelapan subjek dalam penelitian ini, mereka juga

mendapatkan label dari orangtua, tetangga, guru, ataupun teman sebaya sebagai laki-

laki atau perempuan. Pelabelan tersebut dimaksudkan untuk membantu anak dalam

mengenal dirinya. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya anak mencari

pemahaman tentang bagaimana seharusnya berpikir, bertindak dan merasa sebagai

anak laki-laki atau perempuan –disebut juga sebagai pemahaman anak mengenai

peran gender–. Pemahaman anak mengenai peran gender tersebut meliputi aspek

perasaan, minat, kemampuan dan perilaku.

Pemahaman anak yang tampak dalam aspek pikiran, minat, kemampuan dan

perilaku tersebut merujuk pada karakteristik peran gender sebagai laki-laki atau peran

gender sebagai perempuan. Berdasarkan pendapat para ahli (dalam Vasta, 1995;

Berk, 2007; dan Handayani&Novianto, 2004) karakter peran gender laki-laki antara

lain aktif, mandiri, kompetitif, percaya diri bersifat pemimpin, asertif, agresif, kurang

hangat dan kurang bisa mengekspresikan kehangatan, serta kurang responsif terhadap
99

hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Karakteristik peran gender perempuan

antara lain lebih bersikap manis, rapi, kalem/tenang, berjiwa asuh, suka merasa

kasihan, suka berafiliasi, ekspresif, hangat dalam menjalin hubungan interpersonal,

senang dengan kehidupan kelompok, tergantung, penakut, kompromistik, sensitif

secara emosional dan terhadap keberadaan orang.

Merujuk pada devinisi pemahaman peran gender yang telah disepakati,

pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah perasaan, minat,

kemampuan dan perilaku anak prasekolah sebagai laki-laki/perempuan serta

pengetahuan anak prasekolah mengenai perasaan, minat, kemampuan dan perilaku

anak laki-laki dan perempuan .

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek laki-laki memiliki

perasaan antara lain seperti senang, gembira, bangga, berani, sedih, kesal, marah,

khawatir, dan bosan; demikian pula pada keempat subjek perempuan memiliki

perasaan antara lain seperti gembira, bahagia, malu, takut, kesal dan marah.

Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki kedelapan subjek, kedelapan subjek dapat

menyebutkan bahwa anak perempuan seharusnya lebih sering merasa gembira,

senang, sedih, dan lebih mudah malu, sedangkan anak laki-laki seharusnya lebih

sering merasa gembira, marah, dan sedih.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa minat anak perempuan antara lain

bermain ayunan, prosotan, putaran, boneka, barbie serta lebih suka menari,

menggambar, menyanyi, mewarnai, bongkar pasang. Minat anak laki-laki antara lain

lebih suka bersepeda, bermain robot, mobil-mobilan, kereta, truk, tembak-tembakan


100

serta lebih suka menggambar, drumband, bicara-bicaraan dengan anjing dan boneka.

Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, kedelapan subjek menyebutkan bahwa

seharusnya perempuan suka bermain boneka, masak-masakan, ayunan, barbie, kupu-

kupu, capung dan melodi drumband. Anak perempuan seharusnya juga lebih memilih

menggambar kupu-kupu, membeli mainan kupu-kupu, membeli makanan yang

berhadiah, dan suka menonton acara tv yang untuk perempuan. Anak perempuan suka

warna pink, ungu, biru. Anak laki-laki seharusnya memiliki minat lebih sering

membaca, suka bermain mobil-mobilan, main sepeda, robot, truk, menggambar robot

dan roket, dan boleh menari. Anak laki-laki seharusnya suka warna biru dan merah.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek perempuan memiliki

kemampuan dalam bernyanyi, menggambar, berhitung, membaca, mewarnai,

mencocokan dan merias boneka; sedangkan keempat subjek laki-laki memiliki

kemampuan dalam membaca, drumband, mewarnai, menggambar dan bercerita serta

mampu membantu. Berdasarkan pengetahuan kedelapan subjek ditemukan bahwa

kemampuan yang seharusnya dimiliki anak perempuan antara lain pintar

menggambar kupu-kupu, berhitung, menari, dan menyanyi; sedangkan anak laki-laki

seharusnya memiliki kemampuan dalam menggambar mobil dan robot serta mampu

bermain sepeda dengan baik. Menurut kedelapan subjek seharusnya semua anak

harus pintar dalam hal belajar, terutama membaca dan menulis.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek perempuan memiliki

perilaku antara lain sering menangis, mengompol, bermain kejar-kejaran, lompat-

lompat, bermain layang-layang, sering berteriak-teriak, dan agresif. Demikian pula


101

keempat subjek laki-laki ditemukan bahwa perilaku subjek laki-laki antara lain lebih

aktif, agresif, bersuara keras, bermain kejar-kejaran, penurut, mengalah. Berdasarkan

pengalaman kedelapan subjek ditemukan bahwa perilaku anak perempuan seharusnya

antara lain lebih sering menangis dan boleh sering menangis, serta sering

mendengarkan dibanding anak laki-laki. Anak perempuan boleh berambut pendek

dan memakai celana tetapi tidak boleh merokok. Anak perempuan tidak boleh nakal

karena suka menangis, dan harus dilindungi. Kedelapan juga menunjukkan bahwa

perilaku anak laki-laki antara lebih seperti sering marah-marah, lebih nakal dengan

memukul, banyak berbicara dan bercerita di kelas, sering berteriak-teriak karena

suaranya keras, dan cara berjalannya lebih cepat dari anak perempuan. Anak laki-laki

tidak boleh berambut panjang, tidak boleh memakai rok dan sepatu hak tinggi serta

memakai anting-anting. Anak laki-laki lebih sering merokok.

Dari penelitian tentang pemahaman peran gender di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa anak-anak telah mempunyai pengetahuan tentang peran gender

meski belum dapat memberikan batasan yang pasti mengenai perasaan, minat,

kemampuan dan perilaku bagi anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian ini juga

ditemukan bahwa sebagian kecil anak laki-laki memiliki pemahaman peran gender

yang kurang tepat pada aspek perilaku –penurut dan mengalah; sebagian besar anak

perempuan memiliki pemahaman peran gender yang kurang tepat pada aspek perilaku

–bermain kejar-kejaran, bermain layang-layang, dan agresif.

Beberapa ahli menyatakan tentang karakteristik peran gender laki-laki dan

perempuan (dalam Vasta, 1995; Berk, 2007; Handayani&Novianto, 2004).


102

Karakteristik peran gender laki-laki antara lain aktif, kompetitif, percaya diri bersifat

pemimpin, mandiri, asertif, agresif, kurang hangat dan kurang bisa mengekspresikan

kehangatan, serta kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi.

Karakteristik peran gender perempuan antara lain lebih bersikap manis, rapi,

kalem/tenang, berjiwa asuh, suka merasa kasihan, suka berafiliasi, ekspresif, hangat

dalam menjalin hubungan interpersonal, senang dengan kehidupan kelompok,

tergantung, penakut, kompromistik, sensitif secara emosional dan terhadap

keberadaan orang.

Berdasarkan pendapat tentang karakteristik peran gender laki-laki dan

perempuan, dapat dikatakan bahwa terdapat kekurangpahaman peran gender pada

sebagian kecil anak laki-laki terutama dalam aspek perilaku. Pernyataan tersebut

didasari oleh peran gender Padahal seharusnya anak laki-laki diharapkan mempunyai

sifat pemimpin; Dan kekurangpahaman peran gender pada sebagian besar anak

perempuan terutama aspek perilaku. Padahal seharusnya anak perempuan dapat

bersikap manis dan kalem/tenang. Hal tersebut berarti bahwa anak perempuan lebih

mengalami kesulitan pemahaman peran gender terutama pada aspek perilaku. Faktor

pengasuhan adalah salah satu faktor yang mungkin membuat anak kurang paham

dalam perilaku yang semestinya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di Indonesia tepatnya di

kota Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota dengan masyarakat mayoritas

berkebudayaan Jawa. Sehingga anak-anak prsekolah sangat mungkin mendapatkan

pengasuhan berbasis kebudayaan Jawa. Handayani&Novianto (2004) menjelaskan


103

bahwa pola pengasuhan dalam kultur Jawa menunjukkan adanya perbedaan antara

laki-laki dan wanita. Anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggung jawab terhadap

istri dan anak-anaknya. Anak laki-laki dididik untuk dapat mencari nafkah dan diberi

kesempatan untuk mempunyai cita-cita tinggi sehingga orientasinya lebih keluar

rumah dan untuk itu dia dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, anak

laki-laki tidak dibekali dengan keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah.

Berbeda dengan anak laki-laki, anak wanita sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi

ibu dan istri yang berbakti kepada suami. Untuk itu ia banyak dibekali keterampilan-

keterampilan praktis mengelola rumah tangga. Pola pengasuhan ini telah

membiasakan laki-laki untuk lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas yang bersifat

abstrak, sedangkan wanita justru langsung terlibat dalam tugas-tugas konkret.

Akibatnya, laki-laki menjadi gagap ketika harus terjun kepada masyarakat, sementara

wanita lebih trampil dan luwes karena sudah terbisa mengelola rumah tangga.

Pembiasaan ini juga membuat laki-laki dan wanita Jawa memiliki perbedaan dalam

cara menyelesaikan masalah; laki-laki cenderung berorientasi abstrak, sedangkan

wanita justru bisa lebih taktis dan praktis.

Pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender didapatkan melalui

beberapa proses belajar. Bussey & Bandura (1999) dalam Santrock (2007) bahwa

pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender didapatkan melalui

belajar sosial yakni dengan observasi, imitasi dan modeling. Anak laki-laki belajar

bagaimana berperilaku sebagai seorang laki-laki dengan mengobservasi dan

mengimitasi perilaku maskulin, seperti yang dilakukan ayah mereka serta orang lain
104

di lingkungan rumah dan sekolah, dan anak perempuan belajar dari mengimitasi

perilaku feminin dari ibu mereka serta orang lain di lingkungan rumah dan sekolah.

Ketika anak-anak mengimitasi perilaku jenis kelamin yang sama mereka

mendapatkan penghargaan, tetapi bila mereka mengimitasi model yang tidak cocok

mereka mendapatkan hukuman.

Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak seringkali

mencontoh/melakukan modeling terhadap oranglain, seperti tokoh-tokoh film,

ataupun orangtua atau oranglain di lingkungan mereka. Mereka juga mengetahui

bahwa laki-laki kelak harus bekerja dan perempuan memasak. Hal tersebut

merupakan hasil belajar sosial dari lingkungan. Mereka juga mengetahui bahwa laki-

laki berambut pendek, tidak memakai rok, dan tidak boleh menggunakan sepatu hak

tinggi. Hal tersebut juga merupakan pengalaman anak-anak yang didapatkan dari

lingkungan sosial. Hal tersebut sama seperti diungkapkan oleh

Melalui belajar sosial anak mendapatkan pengetahuan dan kesesuaian sebagai

laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan perkembangan kognitif, anak mempunyai

skema tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan, yang disebut sebagai

skema gender. Anak-anak mungkin mengambil pilihan-pilihan dan perilaku-perilaku

tipe gender dari orang lain. Mereka juga mengorganisasikan pengalaman-

pengalamannya dalam skema gender, atau kategori maskulin dan feminin, yang

digunakan untuk menginterpretasikan dunia. Dan pada akhirnya anak dapat memberi

label jenis kelamin mereka sendiri, mereka memilih skema gender berdasar hal

tersebut –‘hanya laki-laki yang menekuni pekerjaan kasar’ dan ‘memasak adalah
105

pekerjaan perempuan’– dan menggunakan kategori yang sesuai dengan dirinya.

Persepsi diri tersebut kemudian menjadi tipe gender dan menyajikan semacam skema

tambahan dimana anak-anak memakai proses informasi dan mengatur perilakunya

sendiri (Berk, 2007).

Orangtua sangat memiliki andil yang besar dalam awal perkembangan anak.

Sangatlah mungkin anak mendapatkan pemahaman tentang identitas gender dan

peran gender dengan melakukan belajar sosial kepada orangtua mereka. Dalam

penelitian ini didapatkan bahwa orangtua berperan dalam pembentukan pemahaman

anak tentang identitas gender dan peran gender. Orangtua memberikan pengetahuan

mengenai laki-laki dan perempuan, seperti ciri fisik dan perilaku. Sebagian besar

orangtua juga memberikan aturan tentang mainan dan permainan serta perilaku yang

diperbolehkan bagi anak laki-laki dan perempuan. Sebagian kecil orangtua

memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih mainan dan permainan yang

disukai. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (1997), Berk (2007), Naland

(2007) bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan yang berbeda pada anak

laki-laki dan perempuan. Perlakuan tersebut antara lain pakaian, dekorasi kamar tidur,

mainan, aturan berperilaku hingga pemberian tugas yang berbeda, sehingga

menguatkan anak dalam memahami identitas gender dan peran gender mereka.

Sekolah dan guru juga berperan dalam sosialisasi sebagai anak laki-laki dan

perempuan bagi siswa-siswa mereka. Dari hasil penelitian tampak bahwa sekolah dan

guru mempunyai peranan dalam pembentukan pemahaman anak. Sekolah telah

memberikan aturan seperti cara berpakaian, perlakuan guru dan maian serta materi
106

pengajaran yang disediakan bagi anak laki-laki dan perempuan. Guru juga

menjelaskan baik secara klasikal maupu personal tentang persaaan, minat,

kemampuan dan perilaku yang sesuai bagi anak laki-laki dan perempuan. Dengan

demikian anak-anak semakin tahu perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan

dengan melihat teman mereka di sekolah, dari cara berpakaian, gaya rambut, mainan

yang dimainkan, cara bermain, dan cara berperilaku. Hal tersebut juga dijelaskan

dalam Bhuiyan (2007), dan Santrock (2007), dimana guru memberi perlakuan yang

berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan. Dimana anak laki-laki cenderung

diperhatikan daripada anak perempuan, anak laki-laki lebih dituntut untuk

berkompetisi dan anak perempuan lebih memiliki sikap mengasuh.

Dari penelitian ini juga tampak bahwa teman sebaya mempunyai peranan

yang besar dalam pembentukan pemahaman identitas gender dan peran gender. Anak

laki-laki seringkali berkupul dan bnermain dengan anak laki-laki, demikian pula anak

perempuan. Seakan-akan mereka saling mengajarkan hal-hal baru kepada sesama

teman. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (1995) dan Berk (2007) bahwa

teman sebaya juga memainkan peranan yang penting. Anak laki-laki berkumpul

dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan, bahkan

bila anak bermain di luar dengan anak berjenis kelamin lain maka anak tersebut akan

diejek atau dikucilkan dari kelompoknya. Teman sebaya juga saling mengajarkan

perilaku kepada teman bermain mereka, dan anak berusaha menirukan perilaku yang

baru tersebut dalam perilakunya.


107

Pembentukan pemahaman juga tak lepas dari peranan media, yang mana

banyak peran ditujukan dengan jelas bagi anak laki-laki dan perempuan, dari

pekerjaan, tokoh jagoan, dan iklan yang sangat mempengaruhi perilaku mereka.

Jaringan-jaringan televisi menjadi lebih peka terhadap penggambaran kaum laki-laki

dan perempuan di televisi (Durkin dalam Santrock, 2007). Anak prasekolah mungkin

akan menemukan gambaran tentang orang-orang yang berkencimpung di pekerjaan

tradisional seperti laki-laki sebagai tentara, pemimpin perusahaan, pekerja kasar, atau

perempuan sebagai sekretaris, ibu rumah tangga, perawat, pramugari bahkan

mungkin pekerjaan non-tradisional seperti laki-laki sebagai juru masak, pekerja salon,

atau perempuan sebagai polisi, pemain bola. Gambaran-gmabaran tersebut mungkin

saja semakain menyulitkan anak dan memungkinkan anak berpikir ambigu mengenai

perean-peran sosial laki-laki dan perempuan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan mempengaruhi

pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Pemahaman anak

mengenai identitas gender dan peran gender juga dipengaruhi oleh faktor biologis.

Kromosom sex, hormon dan struktur otak mempunyai pengaruh yang signifikan.

Kromosom sex memicu munculnya hormon laki-laki dan perempuan serta

mempengaruhi perkembangan (Santrock, 2002). Jenis kelamin seseorang juga

mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam perilaku gender. Karena struktur

jenis kelamin, laki-laki lebih suka mengganggu dan agresif, perempuan lebih suka

bersikap inklusif dan pasif (Erikson dalam Santrock, 1995). Hormon dalam aliran

darah sebelum atau setelah masa kelahiran mempengaruhi perkembangan otak.


108

Testosteron bersama dengan tingkat serotonin neuorotransmiter yang rendah

mempunyai hubungan dengan agresifitas, daya kompetifitas, dan kekuasaan,

mungkin berdampak pada struktur otak seperti hypothalamus dan amygdale

(Bernhardt, 1997; Starzyk & Quinsey, 2001; Ramirez, 2003, dalam Papalia, et al,

2007).

Karena subjek dalam penelitian ini tidak mengalami kelainan pada faktor

biologis, maka dapat dikatakan bahwa kedelapan subjek tidak mengalami hambatan

dan memiliki perkembangan yang normal dalam mencapai pemahaman mengenai

identitas gender dan peran gender.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Anak prasekolah telah memiliki pemahaman mengenai identitas gender sebagai

laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah

dapat mengidentifikasi jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, telah memiliki

pemahaman ciri-ciri laki-laki dan perempuan serta mempunyai perasaan yang

sesuai sebagai laki-laki dan perempuan. Faktor biologis dan faktor lingkungan

berperan dalam pembentukan pemahaman anak prasekolah tentang identitas

gender. Pemahaman anak tentang identitas gender didapatkan melalui

pemahaman peran-peran sosial, melalui observasi, melalui imitasi, melalui

sistem hadiah-hukuman, serta melalui skema gender.

2. Anak prasekolah juga mempunyai pemahaman tentang peran gender. Hal

tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah memiliki pemahaman tentang

perasaan, minat, kemampuan dan perilaku sebagai anak laki-laki dan

perempuan serta pemahaman tentang bagaimana seharusnya perasaan, minat,

kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan. Faktor biologis dan

faktor lingkungan berperan dalam pembentukan pemahaman anak prasekolah

tentang peran gender. Pemahaman anak tentang peran gender didapatkan

dengan memahami peran-peran sosial, melalui observasi, melalui imitasi,

melalui sistem hadiah-hukuman serta melalui skema gender.

109
110 

3. Anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai perasaan, minat, kemampuan

dan perilaku yang hampir sama. Hal tersebut mungkin disebabkan karena telah

bergesernya pandangan masyarakat tentang batasan perasaaan, minat,

kemampuan serta perilaku bagi laki-laki dan perempuan

B. Saran

1. Bagi Masyarakat

Anak-anak tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Anak akan terus

tumbuh hingga melewati masa dewasa. Anak juga akan berkembang untuk

menjadi lebih dan lebih setiap waktu. Setiap perkembangan selalu disertai tugas

perkembangannya. Lingkungan sebagai media tumbuh kembang anak mempunyai

pengaruh yang signifikan. Masyarakat luas, termasuk orangtua serta sekolah dan

guru diharapkan mampu menjadi pendamping, agar anak tidak mengalami

kesalahan dalam pemahaman identitas gender dan peran gender.

Seiring munculnya emansipasi dan kesetaraan hak antara laki-laki dan

perempuan, masyarakat seakan mengalami pergeseran budaya dan kurang

mengutamakan hal-hal yang seharusnya sesuai bagi laki-laki dan perempuan.

Sebagian besar anak-anak kurang memahami perasaan, minat, kemampuan dan

perilaku yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan. Tanpa bertujuan

meruntuhkan keberadaan emansipasi dan kesetaraan gender, ada baiknya bila

masyarakat memperhatikan dan mulai memberikan batasan yang jelas tentang hal-

hal yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan, agar generasi berikutnya tidak

mengalami pemahaman gender yang ambigu.


111 

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini merupakan penelitian dalam lingkup psikologi

perkembangan. Mengingat cukup banyak hal menarik yang perlu diteliti pada usia

anak prasekolah, diharapakan peneliti selanjutnya meneliti pokok bahasan yang

lain selain perkembangan pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender

dan peran gender, dengan maksud memperkaya ranah penelitian psikologi secara

umum dan psikologi perkembangan secara khusus.


112

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. (2007). Gender Identity. Diunduh 1 Oktober,


2007, dari http://www.medem.com/MedLB/ article_detaillb.cfm?article_
ID=ZZZV4676W7C&sub_cat=269

Angela. (2002). Tomboi Alamiah. Diunduh 14 Juli, 2007, dari


http://www.korantempo.com/news/2002/12/15/ Keluarga/17.html

Ardiardani, T., & Tri, R.I. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang:
Bayumedia Publishing

Atkinson, R.L. (1993). Pengantar Psikologi –edisi kesebelas. Batam: Interaksara.

Berk, L.E. (2006). Child Development –4th ed. Boston: Allyn and Bacon

Berk, L.E. (2007). Development Through the Lifespan -4th ed. USA: Pearson
Education, Inc.

Brannon, L. (1999). Gender: Psychological Perspectives. Massachusetts: Allyn &


Bacon

Bhuiyan, S. (2007). Shaping A Child's Gender Identity - The Role Of School.


Diunduh 30 September, 2007, dari http://www.countercurrents.org/
bhuhiyan160807.htm

Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among
Five Traditions. London: SAGE Publications

Echols, J. M., & Shadily, H. (2000). An English – Indonesian Dictionary -25th ed.
Jakarta: Gramedia.

Halida, Aril. (2004). Sikap Pihak yang Dikenai dan Pihak Pengguna Tes
Psikologi. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.

Handayani, C. S. & Novianto, A. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS

Harianti, D. (2003). Pendidikan Prasekolah. Diunduh 11 Maret, 2008 dari


http://www.tamanbocah.com/tb1/ pub_pendprasekolah.html

Hirsh-Pasek, K., Golinkoff, R M., & Eyer, D. (2006). Einstein Tak pernah
Menghafal: Bagaimana Sesungguhnya Anak-Anak Belajar–dan Mengapa
Mereka Harus Banyak Bermain dan Sedikit Menghafal. Bandung: Kaifa
113

Hurlock, E.B. (1998). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Marriage and Family Encyclopedia. (2007). Gender Identity: Development of


Gender Identity. Diunduh 1 Oktober, 2007, dari
http://family.jrank.org/pages/690/Gender-Identity-Development-Gender-
Identity.html

Moleong, L.J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV


Remadja Karya

Money, J. (2007). John Money: Sexological Work. Diunduh 27 September, 2007,


dari http://en.wikipedia.org/wiki/John_Money

Mulyadi, S. (2003). Flowers. Diunduh 14 Juli, 2007, dari


http://evacahyo.blogspot.com/2003/05/siang-hari-jam-15.html

Mulyadi, S. (Ed.). (2004). Bermain dan Kreatifitas. Upaya Mengembangkan


Kreatifitas Anak Melalui Kegiatan Bermain, Cetakan Pertama. Jakarta:
Penerbit Papar Sinar Sinanti (anggota IKAPI)

Murtadlo, U.S. (2007). Pendidikan Usia Dini di Awal sekolah dasar. Diunduh 11
Maret, 2008, dari http://ummusyauqy.wordpress.com/2007/10/28/
pendidikan-usia-dini-di-awal-sekolah-dasar

Naland, E. (2007). Mengapa Pendidikan Anak Laki-laki dan Perempuan


Berbeda? Diunduh 29 Juli, 2007, dari http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-
jkt/berita/9903/artikel2.htm

Noppe, C. I. (2002). Child development, edited by Neil J. Salkind, The Macmillan


psychology reference series. USA: Gale Group

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development -10th
ed. New York: McGraw-Hill.

Pease, A., & Pease, B. (1999). Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read
Maps, diterjemahkan oleh Isma B. Koesalamwardi. Jakarta: PT. Cahaya
Insan Suci

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku


Manusia. Jakarta: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Pramono, B. (2004). Keluarga. Diunduh 14 Juli, 2007, dari http://www.mail-


archive.com/jesus-net@yahoogroups.com/msg00638.html
114

Rezki. (2006). Gadis Kecilku yang Tomboi. Diunduh 14 Juli, 2007, dari
http://rezki-s.blogspot.com/2006/11/gadis-kecilku-yang-tomboi.html

Salbiah. (2003). Keseimbangan Seks dan Seksualitas. Diunduh 11 Maret, 2008,


dari http://library.usu.ac.id/download/fk/ keperawatan-salbiah.pdf

Santrock, J.W. (1995). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid


II. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Children -9th ed. New York: McGraw-Hill

Stone, L.J. & Church, J. (1973). Childhood & Adolscence: A Psychology of


Growing Person-3rd ed. USA: Random House.Inc.

Straus, A. & Corbin, J. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif “Tata Langkah


dan Teknik-teknik Teorisasi Data”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suryabrata, S. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: P.T. Raja Grofindo Persada

Tata. (2005). Perbedaan mendasar antara orientasi psikologis, gender, dan


seksual. diunduh 30 September 2007 dari
http://www.voy.com/169475/3/3105.html.

Vasta, R. (1995). Child Psychology: The Modern Science–2nd ed. Canada: John
Wiley & Sons. Inc.

Watson, R.I. & Lindgren, H.C. (1973). Psychology of The Child-3rd ed. Japan:
Toppan Printing Company, CTD.

Wenar, C. & Kerig, P. (2000). Developmental Psychopathology: From Infancy


Through Adolosence -4th ed. USA: McGraw-Hill

Yustina, R. (2006). Seks Pada Anak. Diunduh 30 Juli, 2007, dari http://www.mail-
archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/msg02749.html

(2008). Rangkuman Puslata. Diunduh 11 Maret, 2008, dari


http://pustaka.ut.ac.id/learning.php?m=learning2&id=424
115

Lampiran
Data Trianggulasi,
Rangkuman Observasi,
Surat Ijin,
dan Lembar Persetujuan
116

A. Trianggulasi
Trianggulasi Data Subjek I
Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru

Subjek telah mampu mengidentifikasi


Menurut guru, subjek telah mampu
laki-laki dan perempuan, sehingga subjek
menunjukan yang mana yang laki-laki
dapat menunjukkan bahwa diri subjek, ibu
Menurut orangtua subjek, subjek bisa dan yang mana yang perempuan. Hal
Identifikasi subjek, adik subjek, teman-teman subjek
menunjukan siapa yang laki-laki dan tersebut juga terlihat dalam
J.K yang perempuan sebagai perempuan, serta
perempuan kemampuan subjek dalam
dapat menunjukkan ayah subjek, kakak
mengerjakan tugas menebalkan laki-
subjek, teman-teman subjek yang laki-laki
laki dan perempuan
sebagai laki-laki

Kemampuan identifikasi subjek diperkuat


Berbeda dengan guru subjek yang
dengan pengenalan subjek terhadap ciri- Di lain sisi, orangtua subjek
yakin bila subjek dapat mengenali
ciri laki-laki dan perempuan secara menyatakan subjek kurang paham
Ciri-ciri ciri-ciri laki-laki dan perempuan,
sederhana, seperti pakaian dan panjang- tentang ciri-ciri laki-laki dan
sebab guru subjek telah mengajarkan
pendek rambut, keras-lembut suara, dan perempuan
materi tersebut
paras
Subjek menyatakan bahwa diri subjek Tetapi orangtua subjek merasa bahwa Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan I
merasa nyaman menjadi anak perempuan subjek adalah anak tomboy subjek merasa nyaman menjadi anak
117

dan tidak menginginkan menjadi anak perempuan, hal tersebut terlihat dari
laki-laki kesukaan subjek bermain ayunan dan
bermain dengan anak perempuan yang
lainnya
Subjek merasa sering kesal dan marah bila
subjek sakit hati, disakiti orang lain.
Ketika subjek merasa kesal, subjek Guru subjek juga menyadari bahwa
Perasaan II menangis. Subjek juga sering merasa subjek mudah menangis, apalagi bila
gembira. Menurut subjek, anak perempuan diganggu teman subjek
lebih sering merasa sedih, dan anak laki-
laki sering merasa marah
Subjek menyukai kegiatan menari,
menggambar dan menyanyi. Ketika waktu
bermain, subjek memilih bermain ayunan Menurut orangtua subjek, subjek di Menurut guru, bila di sekolah, subjek
dan prosotan. Subjek juga suka bermain rumah suka mewarnai, menggambar suka bermain ayunan, puter-puteran.
Minat boneka bila di rumah, serta lebih suka dan melipat. Subjek suka bermain Subjek juga menyukai kegiatan
memakai rok. Subjek juga suka warna mobil-mobilan dan pasaran Subjek juga mewarnai, menggambar dan
pink. Menurut subjek, anak laki-laki lebih suka melihat film kartun bernyanyi
sering membaca, boleh juga menari. Anak
laki-laki juga menyukai robot, mobil, dan
118

truk. Sedangkan anak perempuan lebih


suka boneka, barbie dan capung
Kemampuan subjek yang menonjol adalah
Menurut orangtua subjek, di rumah Menurut guru, subjek cukup mampu
bernyanyi, berhitung dan menggambar.
Kemampuan subjek mampu memilih dan memakai membaca, berhitung dan menulis,
Menurut subjek laki-laki dan perempuan
baju sendiri meski kurang rapi
seharusnya pintar belajar
Subjek mudah menangis, di sekolah
subjek seringkali bermain kejar-kejaran Guru mengatakan, di sekolah, subjek
dan lompat-lompat. Subjek juga pernah terkadang suka ikut-ikutan pukul
Orangtua subjek mengatakan, di rumah,
mengejar capung ketika di rumah. meja. Meskipun subjek mudah
Perilaku subjek termasuk anak yang usil dan
Menurut subjek semua anak laki-laki dan menangis, subjek juga berani
suka teriak-teriak
perempuan sering menangis. Anak laki- membalas ketika subjek disakiti oleh
laki lebih sering memukul dan sering teman subjek
berteriak-teriak karena suaranya keras

Trianggulasi Data Subjek II


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek mampu mengidentifikasi laki-laki Menurut orangtua subjek, subjek bisa Menurut guru, subjek juga telah
Identifikasi
dan perempuan, sehingga subjek dapat menunjukan siapa yang laki-laki dan mampu menunjukan yang mana yang
J.K
menunjukkan bahwa diri subjek, ibu perempuan laki-laki dan yang mana yang
119

subjek, kakak subjek dan teman-teman perempuan. Karena guru menganggap


subjek yang perempuan sebagai orangtua subjek mengenalkan subjek
perempuan, serta dapat menunjukkan ayah tentang laki-laki dan perempuan
subjek dan teman-teman subjek yang laki-
laki sebagai laki-laki.
Subjek mengenal ciri-ciri laki-laki dan Orangtua subjek menyatakan subjek Guru subjek yakin bila subjek dapat
perempuan sedara sederhana, seperti paham tentang ciri-ciri laki-laki dan mengenali ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri
pakaian, panjang-pendek rambut dan perempuan namun hanya ciri-ciri yang perempuan, tetapi ciri-ciri fisik yang
tinggi rendah suara sederhana saja tampak
Guru subjek mengatakan bahwa
Subjek merasa nyaman menjadi anak Orangtua subjek yakin bahwa subjek
subjek suka berdandan, sehingga dapat
Perasaan I perempuan, karena tidak suka merasa suka menjadi anak perempuan, karena
diartikan, subjek nyaman menjadi
jenuh dalam berpakaian subjek sangat menyukai boneka
anak perempuan
Subjek sering marah dan menangis karena
kakak subjek sering jahil, dan subjek lebih
merasa bahagia bila kakak subjek tidak Orangtua subjek sering merasa Guru subjek menilai bahwa subjek
Perasaan II mengganggu. Subjek juga merasa takut terganggu, karena subjek sering cukup pemalu, bahkan bila subjek
terhadap hewan melata seperti ular dan menangis bila diganggu kakak subjek merasa terlalu malu subjek menangis
cacing. Menurut subjek, anak laki-laki
lebih sering marah
120

Di sekolah, subjek merasa tertarik dengan


pelajaran menggambar, mewarnai, tetapi
subjek tidak suka pelajaran menari dan
drumband karena membuat subjek lelah.
Seringkali subjek merasa senang ketika
waktu istirahat, karena subjek suka
bermain. Di rumah subjek seringkali Menurut orangtua subjek, subjek suka
Menurut guru, di sekolah subjek suka
Minat bermain Barbie. Subjek juga memiliki bermain boneka, bermain salon-salonan
bermain masak-masakan
kesukaan terhadap makanan seperti mie, dan nonton TV
sosis, dan coklat. Subjek juga senang
nonton. Menurut subjek, anak perempuan
suka warna pink, ungu, biru dan coklat,
anak laki-laki suka warna merah dan tidak
boleh suka warna pink.

Menurut guru, subjek tidak


Menurut orangtua subjek, subjek
Subjek panadai merias boneka dan mempunyai kemampuan yang
dipandang kurang memiliki kemampuan
Kemampuan menyanyi. Menurut subjek, anak laki-laki menonjol, tapi subjek dinilai guru
yang menonjol, tapi subjek sudah mulai
lebih pandai menggambar sebagai anak yang rajin dan cukup
mandiri
cepat dalam mengerjakan tugas
121

Di rumah, subjek termasuk anak yang


banyak omong, berbeda dengan di sekolah
yang pendiam. Tetapi subjek seringkali
berperilaku lebih aktif seperti berteriak-
teriak, dan lompat-lompat bahkan dari atas
kursi. Menurut subjek, anak perempuan
boleh memakai celana tetapi anak laki-laki
Orangtua subjek mengatakan, subjek Guru mengatakan, di sekolah, subjek
tidak boleh memakai rok dan sepatu hak
termasuk anak yang gampang nangis, termasuk anak pendiam, pemalu dan
Perilaku tinggi. Di sekolah, anak laki-laki sering
suka bercerita, tetapi juga termasuk usil, tidak suka dengan suara keras. Subjek
menangis, tetapi menurut subjek anak
seperti ngusilin anjing juga termasuk suka berdandan
perempuan yang lebih boleh sering
menangis. Anak laki-laki lebih sering
marah dan lebih sering berteriak-teriak
karena suaranya keras. Anak laki-laki
lebih banyak berbicara dan bercerita, tetapi
anak perempuan lebih sering
mendengarkan
122

Trianggulasi Data Subjek III


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek telah mampu mengidentifikasi
laki-laki dan perempuan, subjek juga Menurut guru, subjek telah mampu
mampu menunjukkan bahwa diri subjek, Menurut orangtua subjek, subjek bisa menunjuk laki-laki dan perempuan.
Identifikasi
ayah subjek, adik subjek serta teman- menunjukan siapa yang laki-laki dan Guru juga yakin bahwa subjek
J.K
teman subjek laki-laki sebagai laki-laki perempuan mengenal ciri-ciri laki-laki dan
dan ibu subjek serta teman perempuan perempuan yang lebih lanjut
subjek sebagai perempuan
Guru subjek juga yakin bila subjek
Subjek juga dapat menunjukkan ciri-ciri Orangtua subjek menyatakan subjek
dapat mengenali ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri laki-laki dan perempuan, seperti pakaian, paham tentang ciri-ciri laki-laki dan
perempuan, bahkan sampai ciri-ciri
suara, dan perilaku perempuan
biologis
Subjek merasa nyaman menjadi anak laki-
Guru subjek juga mengatakan bahwa
laki dan tidak ingin menjadi anak Orangtua berpendapat, subjek
Perasaan I subjek merasa nyaman menjadi anak
perempuan, bahkan subjek mempunyai menikmati menjadi anak laki-laki
laki-laki
imaginasi menjadi robot yang gagah
Subjek mengatakan bahwa subjek pernah Menurut orangtua subjek, subjek Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan II sedih, marah, gembira dan bangga. Subjek merasa malu dan tertekan bila subjek subjek mudah tersinggung dan mudah
merasa bangga bila mendapatkan suatu melakukan kesalahan dan diketahui marah. Subjek juga merupakan anak
123

prestasi berbentuk hadiah dan merasa banyak orang yang usil


gembira bila mengalami suasana baru
yang memuaskan. Subjek juga merasa
kawatir bila subjek kurang mampu
mencapai prestasi. Menurut subjek anak
perempuan lebih sering merasa sedih dan
anak laki-laki lebih sering marah.
Di sekolah, subjek berminat mengikuti
kegiatan drumband, menggambar. Subjek
seringkali bersepeda, karena dengan
bersepeda subjek merasa nyaman. Di
Menurut orangtua subjek, subjek
rumah, subjek seringkali bermain mobil-
tertarik untuk menggambar, mewarnai, Menurut guru, di sekolah subjek suka
mobilan dan susun bentuk. Subjek juga
bersepeda dan ikut kegiatan drumband. menggambar dan bermain sepeda.
Minat tertarik dengan robot, subjek juga
Selain itu subjek juga gemar bermain Subjek juga seringkali membeli
beimaginasi menjadi robot, seringkali
balok-balokan, mobil-mobilan, main air mainan di penjual mainan
subjek membeli mainan seperti robot di
dan kereta-keretaan
penjual mainan di sekolah. Subjek
menyukai acara TV seperti kartun, Si
Jorge, Buku Catatan, dan Spongebob.
Menurut subjek, anak perempuan suka
124

bermain ayunan, boneka, dan memainkan


melodi drumband. Anak perempuan lebih
suka menggambar kupu-kupu dan
memilih membeli mainan kupu-kupu atau
membeli makanan yang berhadiah.
Sedangkan anak laki-laki suka
menggambar robot dan roket
Kemampuan subjek yang menonjol adalah
Menurut guru, subjek cukup mampu
menggambar dan bercerita. Menurut
Menurut orangtua subjek, di rumah membaca, berhitung dan menulis,
Kemampuan subjek, anak perempuan pandai
subjek sudah mulai mandiri meski membutuhkan waktu yang lama
menggambar kupu-kupu dan anak laki-
dalam mengerjakan setiap tugas
laki pandai menggambar mobil dan robot
Di sekolah, subjek termasuk anak yang
aktif, subjek suka bermain kejar-kejaran.
Orangtua subjek mengatakan, subjek Guru mengatakan bahwa subjek
Subjek juga bersuara cukup keras ketika
termasuk anak yang aktif dan lebih termasuk anak yang banyak cerita dan
di kelas. Menurut subjek, perempuan itu
Perilaku terkesan banyak bertingkah. Ketika mudah memberi komentar, sehingga
harus dilindungi. Perempuan lebih sering
mandi, subjek juga bernyanyi dengan banyak tugas yang tidak selesai pada
menangis. Laki-laki tidak boleh memakai
suara keras waktunya
rok. Laki-laki lebih sering merokok, dan
perempuan tidak boleh merokok. Laki-
125

laki punya suara lebih keras. Anak laki-


laki dan perempuan tidak boleh nakal dan
tidak boleh berteriak-teriak

Trianggulasi Data Subjek IV


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek mampu mengidentifikasi laki-laki
dan perempuan, sehingga subjek dapat Menurut guru, subjek juga telah
menunjukkan bahwa diri subjek, ibu mampu menunjukan yang mana yang
Menurut orangtua subjek, subjek
Identifikasi subjek, dan teman-teman subjek yang laki-laki dan yang mana yang
mampu menunjukan siapa yang laki-
J.K perempuan sebagai perempuan, serta perempuan. Karena guru menilai
laki dan perempuan
dapat menunjukkan ayah subjek, adik bahwa subjek mudah memahami hal
subjek dan teman-teman subjek yang laki- yang diajarkan kepada subjek
laki sebagai laki-laki.
Orangtua subjek menyatakan subjek
Guru subjek yakin bila subjek dapat
Subjek mengenal ciri-ciri laki-laki dan paham tentang ciri-ciri laki-laki dan
mengenali ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri perempuan seperti pakaian dan panjang- perempuan, bahkan subjek telah tahu
perempuan, bahkan ciri-ciri
pendek rambut ciri-ciri laki-laki dan perempuan lebih
berdasarkan perilaku
lanjut
126

Subjek merasa bahwa subjek adalah anak Orangtua subjek menjelaskan bahwa
Guru subjek mengatakan bahwa
perempuan yang tidak nakal seperti anak subjek suka menjadi anak perempuan,
Perasaan I subjek nyaman menjadi anak
laki-laki dan subjek senang menjadi anak bahkan subjek mampu berdandan dan
perempuan
perempuan menyiapkan diri sendiri
Perasaan subjek yang sering muncul
adalah marah dan gembira. Subjek Orang tua subjek mengatakan bahwa
gembira bila subjek dapat bermain sesuai perasaan subjek muncul secara Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan II
yang subjek inginkan. Subjek juga mudah seimbang antara marah, sedih, dan subjek ingin menjadi pusat perhaian
malu. Menurut subjek anak perempuan gembira
lebih mudah malu
Di sekolah, subjek lebih menyukai
pelajaran menyanyi dan sering bermain
puter-puteran. Di rumah subjek suka
bermain boneka, sepeda, pasang-
Menurut orangtua subjek, subjek suka Menurut guru, subjek suka berdandan
pasangan. Acara TV kesukaan subjek
Minat bermain boneka, menyanyi dan dan menyanyi, subjek seringkali
adalah Dora. Setiap hari subjek lebih suka
menggambar meminta sesuatu kepada neneknya
menggunakan rok dan memakai baju yang
bagus agar tampak cantik. Subjek suka
dengan warna pink. Subjek bercita-cita
menjadi dokter anak. Menurut subjek anak
127

perempuan suka acara tv yang untuk


perempuan, anak laki-laki suka warna
coklat, anak laki-laki tidak boleh suka
warna pink, dan anak perempuan tidak
boleh suka warna coklat
Subjek merasa pintar menyanyi, berhitung Menurut orangtua subjek, subjek
Menurut guru, subjek mempunyai
dan membaca. Menurut subjek, anak mempunyai daya tangkap yang bagus,
kemampuan membaca, mewarnai dan
Kemampuan perempuan lebih pandai berhitung, sehingga subjek cukup mampu
dapat menyelesaikan tugas dengan
sedangkan anak laki-laki lebih pintar menghafal. Subjek juga mempunyai
cepat
bermain sepeda kemampuan mengimitasi
Di rumah, subjek bermain kejar-kejaran
dan bermain layangan. Subjek berusaha
tampil cantik dengan berias. Menurut Orangtua subjek mengatakan, subjek Guru mengatakan, subjek adalah anak
subjek anak laki-laki tidak boleh berambut sebenarnya adalah anak pendiam dan yang cantik dan telah bisa berdandan.
panjang dan memakai rok, anak pemalu serta sudah mengenal Tetapi, terkadang subjek berperilaku
Perilaku
perempuan boleh berambut pendek dan berdandan. Tapi akhir-akhir ini subjek aktif seperti bermain kejar-kejaran,
memakai celana. Anak laki-laki lebih terkesan kasar, baik dalam kata-kata panjat-panjatan, dan memukul-mukul
nakal, sering marah-marah, sering ngobrol maupun dalam perilaku meja ketika bernyanyi di kelas
di kelas dan sering menangis. Anak yang
sudah besar tidak boleh menangis
128

Trianggulasi Data Subjek V


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek mampu mengidentifikasi laki-laki
dan perempuan, sehingga subjek dapat
menunjukkan bahwa diri subjek, ayah Menurut orangtua subjek, subjek Menurut guru subjek, subjek memiliki
Identifikasi subjek, dan teman-teman subjek yang laki- mampu membedakan laki-laki dan penalaran yang bagus sehingga
J.K laki sebagai laki-laki, serta dapat perempuan, termasuk ciri-cirinya, misal memungkinkan subjek untuk mampu
menunjukkan ibu subjek, kakak sepupu kumis pada laki-laki membedakan laki-laki dan perempuan
subjek dan teman-teman subjek yang
perempuan sebagai perempuan
Menurut orangtua subjek, subjek telah Menurut guru subjek, subjek dapat
Subjek mengenal ciri-ciri laki-laki dan
mengenal ciri-ciri laki-laki dan menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri perempuan seperti panjang-pendek
perempuan, misal kalau laki-laki punya perempuan, namun ciri-ciri yang
rambut, wajah, anting-anting, dan pakaian
kumis kelihatan
Subjek lebih suka menjadi anak laki-laki, Orangtua subjek menjelaskan bahwa Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan I dengan alasan bisa minum lebih banyak subjek merasa nyaman menjadi anak subjek sangat suka menjadi laki-laki
dibanding anak perempuan laki-laki yang tampak dari perilaku subjek
Perasaan subjek yang sering muncul Orang tua subjek mengatakan bahwa Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan II adalah marah, kesal , senang dan bosan. subjek sangat jarang tampak sedih. perasaan subjek yang sering tampak
Subjek marah dan kesal bila teman subjek Subjek lebih sering marah, meski hanya adalah marah, bahkan diwujudkan
129

membuat subjek kesal dan bila keinginan sebentar dengan perilaku agresif
subjek tidak terpenuhi. Dan subjek merasa
senang bila subjek ditelpon ayah subjek
dari luar kota. Menurut subjek, anak
perempuan sering merasa sedih
Menurut orangtua subjek, subjek
berminat pada mobil-mobilan dan
Subjek suka bermain sepedaan, berminat sepedaan. Hampir semua mainan subjek
pada drum, bila di sekolah berminat pada adalah mobil-mobilan, bahkan hampir
pelajaran drumband. Subjek suka terlihat semua gambar dibuku subjek adalah
mencolok seperti memakai baju yang gambar mobil. Subjek termasuk anak Menurut guru, di sekolah subjek
Minat bagus-bagus beserta aksesoris yang keren, yang terbuka, suka bercerita tentang senang menggambar dan bermain
menyukai warna merah dan hitam. Subjek setiap hal yang menarik dan hal yang sepeda
juiga suka menonton tv. Menurut subjek, dialami setiap hari. Hampir setiap saat
anak laki-laki suka main sepeda dan anak subjek bermain sepedaan, tak peduli
perempuan suka main ayunan panas siang hari, bahkan subjek pernah
bersepeda sampai tempat yang terlalu
jauh
Subjek memiliki kemampuan membaca Menurut orangtua subjek, subjek Menurut guru, subjek pintar
Kemampuan
yang baik. Menurut subjek, semua anak memiliki daya ingat yang baik dan menirukan gaya oranglain dan
130

harus pintar membaca dan menulis imaginasi serta kreatif, subjek juga menggambar, sampai menghasilkan
pintar menggambar banyak gambar di rumah
Menurut orangtua subjek, subjek Guru mengatakan, subjek termasuk
Subjek seringkali berbicara dengan suara berperilaku sewajarnya anak laki-laki, anak yang terbuka, mengutarakan apa
keras, ketika menyanyi atau ketika pernah bermain adik-adikan dengan yang dipikirkan. Di kelas, subjek juga
memanggil seseorang. Di sekolah tak kakak sepupu subjek, tapi tidak sampai seringkali berulah sehingga membuat
jarang subjek memukul teman dan menggendong boneka, karena subjek oranglain kesal. Subjek juga mampu
membuat gaduh. Subjek juga seringkali tidak tertarik dengan boneka. Subjek menunjukkan bagaimana anak laki-
bersepeda keliling perumahan. Menurut juga cenderung agresif, buru-buru, laki dan perempuan berperilaku yang
Perilaku
subjek, anak-anak laki-laki tidak boleh kurang teliti. Subjek juga seringkali seharusnya, seperti perempuan
memakai rok, tidak boleh berambut terbuka mengungkapkan apa yang gampang nangis dan laki-laki harus
panjang dan tidak boleh sering menangis. dipikirkan. Subjek termasuk anak yang lebih kuat, anak laki-laki lebih bisa
Sedangkan anak perempuan boleh sering aktif, bahkan subjek seperti tidak bersepeda daripada anak perempuan.
menangis, tetapi anak perempuan tidak mempunyai rasa kecapaian, aktif Subjek juga merupakan anak yang
boleh nakal karena suka menangis bermain sepeda, lari-lari kesana-kemari, agresif, ringan tangan, bahkan karena
loncat-loncat hingga berkeringat hal kecil yang membuat subjek kesal
131

Trianggulasi Data Subjek VI


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek mampu mengidentifikasi laki-laki
dan perempuan, sehingga subjek dapat
menunjukkan bahwa diri subjek, paman
Menurut orangtua subjek, subjek Menurut guru subjek, subjek mampu
Identifikasi subjek, adik subjek dan teman-teman
mampu membedakan laki-laki dan membedakan laki-laki dan perempuan
J.K subjek yang laki-laki sebagai laki-laki,
perempuan berdasarkan ciri-ciri yang sederhana
serta dapat menunjukkan nenek subjek,
kakak subjek dan teman-teman subjek
yang perempuan sebagai perempuan
Subjek mampu menyebutkan ciri-ciri laki- Menurut guru subjek, subjek dapat
laki dan perempuan seperti panjang- Menurut orangtua subjek, subjek dapat menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri pendek rambut, pakaian dan perilaku menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, namun ciri-ciri laki-laki
seperti perempuan lebih sering menangis, perempuan dan perempuan berdasarkan hal-hal
laki-laki lebih sering nakal sederhana
Menurut orangtua subjek, karena subjek Menurut guru subjek, meskipun subjek
Subjek lebih senang menjadi anak laki-
Perasaan I adalah anak laki-laki, maka subjek juga di sekolah sering menangis, tetapi
laki, dan tidak ingin menjadi perempuan
suka menjadi laki-laki subjek tetap nyaman menjadi laki-laki
Perasaan subjek yang sering muncul Orang tua subjek mengatakan meskipun Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan II
adalah gembira, berani, mengalah, senang, subjek jauh dari kedua orangtuanya, subjek sering menangis meski hanya
132

sedih dan kesal. Subjek merasa gembira subjek tak sering merasa sedih. Subjek sedikit tersinggung dan malu. Jika
ketika mendengarkan musik dan ketika tampak senang bila mendapat telpon subjek marah, subjek lebih cenderung
ditelpon ayah subjek. Subjek kesal bila dari ayah subjek. Jika subjek marah diam
subjek disakiti oleh teman subjek. Bila seringkali diungkapkan dengan diam
subjek menghadapi masalah, subjek dan bila subjek terlalu takut subjek
cenderung mengalah. Menurut subjek, menangis, subjek juga memiliki rasa
anak laki-laki dan perempuan sering sayang pada binatang
merasa senang dan sedih
Subjek suka bermain sepedaan, tembak-
tembakan, bermain kereta dan bicara-
bicaraan dengan anjing dan boneka. Di Menurut orangtua subjek, subjek
sekolah subjek berminat pada pelajaran berminat pada drum. Subjek suka
Menurut guru, di sekolah subjek
drumband dan menyanyi. Subjek juga dengan boneka, tetapi boneka yang
Minat senang bermain kejar-kejaran, sesekali
tetarik untuk bermain drum. Menurut bukan berwajah perempuan atau seperti
bermain sepeda
subjek anak perempuan suka bermain barbie, melainkan boneka yang
ayunan dan masak-masakan, sedangkan berbentuk binatang
anak laki-laki suka bermain mobil-
mobilan
Subjek terkadang ikut membantu paman Menurut orangtua subjek, subjek pandai Menurut guru, subjek pintar membaca,
Kemampuan
subjek. Subjek juga pintar dalam bermain bergaul dan dan pintar berkomunikasi menulis mewarnai, bercerita dan
133

drumband dan mewarnai. Menurut subjek, dengan orang lain tak terbatas usia berhitung. Subjek juga mampu
anak perempuan pandai menari mengerjakan tugas dengan cepat
Subjek seringkali bermain sampai tempat
yang jauh dengan teman-teman subjek di
rumah. Subjek juga sering berbicara keras,
terkadang di sekolah berperilaku agresif. Guru mengatakan, subjek tidak hanya
Subjek juga bermain peran dengan anjing bermain dengan anak laki-laki saja,
dan boneka yang subjek punya. Subjek melainkan juga dengan anak
seringkali mengalah, dan penurut. Subjek Menurut orangtua subjek, subjek perempuan. Subjek seringkali
mengalah dengan tujuan untuk termasuk anak yang keras kepala, susah bercerita banyak dengan teman subjek
Perilaku menghindari perkelahian, dan subjek dinasehati. Subjek suka teriak-teriak, baik di kelas maupun di luar kelas.
termasuk anak yang penurut karena subjek dan suka berlari-lari sehingga tampak Subjek termasuk anak yang ramah dan
menerima aturan di rumah bahwa subjek energik aktif dalam kelas, termasuk dalam
tidak boleh menonton TV. Menurut menjawab pertanyaan dari guru.
subjek, anak laki-laki lebih nakal Subjek juga merupakan anak yang
dibanding anak perempuan, cara berjalan mudah terpengaruh
anak laki-laki lebih cepat dari anak
perempuan. Anak perempuan lebih sering
menangis dan tidak boleh berteriak-teriak.
134

Trianggulasi Data Subjek VII


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek mampu mengidentifikasi laki-laki
dan perempuan, sehingga subjek dapat
Menurut orangtua subjek, subjek
menunjukkan bahwa diri subjek, ayah
Identifikasi mampu membedakan laki-laki dan Menurut guru subjek, subjek dapat
subjek, dan kakek subjek sebagai laki-laki,
J.K perempuan, bahkan subjek telah menunjukkan laki-laki dan perempuan
serta dapat menunjukkan ibu subjek, adik
mengetahui perbedaan secara biologis
sepupu subjek, dan nenek subjek sebagai
perempuan
Menurut orangtua subjek, subjek telah
Menurut guru subjek, subjek dapat
Subjek mengenal ciri-ciri laki-laki dan mengenal ciri-ciri laki-laki dan
menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan
Ciri-ciri perempuan seperti pakaian, dan panjang- perempuan, seperti ciri-ciri fisik dan
perempuan, namun hanya sebatas ciri-
pendek rambut biologi, beserta peran gender laki-laki
ciri yang kelihatan
dan perempuan
Orangtua subjek menjelaskan bahwa
subjek merasa nyaman menjadi anak Guru subjek mengatakan bahwa
Subjek lebih suka menjadi anak laki-laki,
Perasaan I laki-laki, meskipun terkadang bermain subjek merasa nyaman menjadi laki-
dan tak ingin menjadi anak perempuan
dengan anak perempuan dan berperilaku laki yang tampak dari perilaku subjek
mengimitasi perilku ibu subjek
135

Perasaan subjek yang sering muncul


adalah sedih, gembira dan marah. Subjek
merasa sedih karena subjek jarang bertemu
Guru subjek mengatakan bahwa
dengan ayah subjek yang bekerja di luar
Orangtua subjek mengatakan bahwa perasaan subjek yang sering tampak
kota. Subjek merasa marah bila subjek
subjek kurang percaya diri. Subjek juga adalah senang, seperti ketika subjek
Perasaan II tidak diijinkan bermain. Selain dilarang
seringkali marah, marah bila permintaan bermain dan bercerita dengan teman
bermain, subjek juga merasa marah bila
subjek tidak dituruti subjek sambil tertawa dan tampak
diganggu oleh teman-teman subjek.
senang
Menurut subjek, anak laki-laki lebih sering
merasa gembira dan marah, sedangkan
anak perempuan lebih sering merasa
gembira
Subjek suka bermain mobil-mobilan,
robot, truck, kereta, dan binatang mainan.
Menurut orangtua subjek, subjek lebih Menurut guru, di sekolah subjek
Subjek juga bermain pasar-pasaran. Subjek
senang bermain dengan mainan yang senang bermain sepeda, mengikuti
Minat suka pelajaran menggambar, dan suka
baru dibeli dan sepedaan. Subjek juga kegiatan bernyanyi dan seringkali
menggambar truck. Subjek seringkali
suka menonton film kartun membeli mainan di penjual mainan
membeli mainan di penjual mainan di
sekolah. Warna kesukaan subjek adalah
136

ungu, biru, orange, merah. Menurut subjek


anak perempuan lebih suka bermain
boneka barbie, sedangkan anak laki-laki
lebih suka bermain mobil-mobilan
Subjek mempunyai kemampuan dalam
membaca dan menggambar. Menurut
Menurut orangtua subjek, meskipun
subjek, laki-laki lebih pintar membaca dan
subjek adalah siswa baru di TK dan
menggambar serta mampu menyelesaikan Menurut guru, subjek cepat paham
kurang percaya diri subjek memiliki
tugas dengan cepat. Subjek juga sudah terutama dalam hal menyanyi dan
Kemampuan kemampuan adaptasi yang bagus.
mulai mampu mandiri, seperti makan, drumband, subjek juga pandai
Menurut orangtua, subjek sudah mulai
mandi, pakai baju sendiri. Menurut subjek bernyanyi, menulis dan membaca
mandiri, mampu mandi dan ganti baju
anak perempuan hanya suka bermain
sendiri
sehingga lebih pintar anak laki-laki dalam
belajar
Subjek seringkali beli mainan, berbicara Menurut orangtua subjek, subjek Guru mengatakan bahwa subjek
dengan suara keras atau berteriak-teriak, seringkali bersuara keras dalam termasuk anak yang mudah
namun tidak agresif. Menurut subjek anak berbicara sehari-hari. Subjek juga suka terpengaruh oleh teman-teman subjek,
Perilaku
laki-laki tidak boleh memakai rok, tidak memerintah dan memaksakan kehendak dan perilaku yang paling tampak
boleh berambut panjang, dan lebih sering kepada orangtua dan orang lain, adalah subjek seringkali mengejek
nakal dengan memukul. sedangkan anak keinginan subjek harus segera teman subjek, terlebih dalam kegiatan
137

perempuan boleh memakai celana dan dipuaskan. Bila tidak, subjek marah dan yang bersifat kompetitif
lebih sering menangis berteriak-teriak. Subjek selalu aktif dan
berkeringat

Trianggulasi Data Subjek VIII


Komponen Data Subjek Data Orangtua Data Guru
Subjek cukup mampu mengidentifikasi
laki-laki dan perempuan, sehingga subjek
dapat menunjukkan bahwa diri subjek, ibu
Menurut orangtua subjek, subjek
subjek, dan teman-teman subjek yang
mampu membedakan laki-laki dan Menurut guru, subjek juga telah
perempuan sebagai perempuan, serta dapat
Identifikasi perempuan berdasarkan segi fisik yang mampu menunjukan yang mana yang
menunjukkan ayah subjek, kakak subjek
J.K kelihatan, tetapi belum dapat laki-laki dan yang mana yang
dan teman-teman subjek yang laki-laki
menunjukkan perbadaan biologis laki- perempuan
sebagai laki-laki. Tetapi subjek tampak
laki dan perempuan
kurang serius menanggapi pertanyaan, dan
mengidentifikasi seorang teman subjek
yang laki-laki sebagai perempuan
Subjek mengenal ciri-ciri laki-laki dan Orangtua subjek menyatakan subjek Menurut guru subjek, subjek dapat
Ciri-ciri
perempuan seperti pakaian dan panjang- bisa menyebutkan ciri-ciri laki-laki dan menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan
138

pendek rambut, aksesoris, dan paras perempuan, tetapi masih sebatas ciri-ciri perempuan, meski yang sederhana saja
cantik-tampan yang kelihatan saja
Subjek lebih suka menjadi anak Orangtua subjek menjelaskan bahwa Guru subjek mengatakan bahwa
Perasaan I perempuan, dan tidak mau menjadi anak subjek suka menjadi anak perempuan, subjek nyaman menjadi anak
laki-laki tampak dari subjek suka berdanda perempuan
Perasaan subjek yang sering muncul
adalah marah dan kesal. Subjek marah dan Orang tua subjek mengatakan bahwa
kesal karena rebutan mainan, diejek teman, subjek lebih sering merasa senang bila
juga karena ibu atau kakak yang membuat di rumah, terlebih bila keinginan subjek
Guru subjek mengatakan bahwa
kesal subjek. Jika subjek marah dan kesal, terpenuhi. Subjek termasuk anak yang
Perasaan II subjek adalah anak yang sering
subjek seringkali meluapkannya dengan mudah bosen dengan hal yang
ngambek dan gampang menangis
menangis. Subjek juga takut terhadap ular. dilakukan. Menurut orangtua subjek,
Menurut subjek bahwa anak laki-laki lebih subjek termasuk anak yang suka
sering marah, dan anak perempuan lebih menangis
sering senang dan sedih
Menurut orangtua subjek, subjek suka
Subjek suka bermain boneka, ayunan, main pasaran, masak-masakan, Menurut guru, di sekolah subjek
Minat bongkar pasang, kejar-kejaran, dan guru- sepedaan, menggambar, merangkai seringkali bermain masak-masakan,
guruan, subjek juga mempunyai mobil- bunga, serta berdandan. Menurut mewarnai dan bermain sepeda
mobilan. Subjek juga suka Hello Kitty, orangtua subjek minat subjek masih
139

Barbie, dan Mickey Mouse. Acara TV sering berubah, setiap hari selalu
kesukaan subjek adalah Spongebob si berbeda.
Unyil, dan Bolang. Makanan kesukaan
subjek adalah mie dan ayam. Subjek suka
warna pink. Di sekolah, subjek berminat
pada kegiatan berenang dan pelajaran
mewarnai. Dalam keseharian, subjek lebih
suka memakai celana. Menurut subjek,
laki-laki menyukai warna biru, dan laki-
laki lebih suka bermain terus sehingga
tugas dari guru tidak selesai
Subjek merasa memiliki kemampuan
Berbeda dengan orangtua subjek,
seperti berhitung, membaca, mewarnai,
orangtua subjek menilai subjek belum
mencocokkan, dan menggambar. Subjek Menurut guru, subjek mempunyai
banyak memiliki kemampuan seperti
juga merupakan anak yang mandiri, banyak kemampuan di bidang
membaca, mewarnai dan menyanyi.
Kemampuan mampu mandi dan mempersiapkan diri pelajaran seperti mewarnai, berhitung,
Namun orangtua subjek menilai bahwa
sendiri. Menurut subjek anak perempuan membaca, menulis, menyanyi dan
subjek cukup mandiri, seperti mampu
pintar menyanyi, sedangkan anak laki-laki menari
mandi, ganti baju, berdandan, makan
hanya suka ngomong
sendiri
140

Guru mengatakan, bila di kelas, subjek


adalah anak pendiam, tidak banyak
tingkah, sesekali berbicara dengan
Subjek seringkali memukul ibu dan kakak
teman sebangkunya. Subjek juga
subjek, terkadang subjek menangis, Orangtua subjek mengatakan, subjek
merupakan anak yang mudah
seringkali subjek suka mengompol, suka suka memaksakan kehendak,
terpengaruh, seperti misalnya ikut-
berteriak-teriak dan suka berlari-lari. keinginannya ingin selalu dituruti, jika
ikutan pukul-pukul meja ketika
Menurut subjek, anak perempuan boleh tidak subjek menangis. Orangtua subjek
Perilaku menyanyi dengan meniru temannya
memakai celana, anak laki-laki tidak boleh juga mengatakan bahwa perilaku subjek
yang juga memukul-pukul meja.
berambut panjang dan memakai anting- merupakan perilaku sewajarnya, seperti
Tetapi ketika bermain di luar kelas,
anting, anak laki-laki dan perempuan tidak perilaku ibu subjek atau saudara-
subjek seringkali membeli makanan
boleh memukul. Menurut subjek anak laki- saudara subjek
di toko dekat sekolah dan bermain
laki lebih nakal
dengan cara yang berbahaya seperti
bermain prosotan dengan cara
memanjat bagian licin prosotan
141

B. Rangkuman Observasi

No. Subjek DataObservasi Keterangan


Subjek seringkali berkumpul dengan teman sesama perempuan. Subjek terlihat aktif seperti mau
Perilaku di Sekolah
bertanya pada guru dan maju ke depan kelas. Subjek seringkali bermain sepeda dan ayunan.
subjek cenderung pasif. Subjek selalu mengikuti ibu subjek ke sana dan kemari. Subjek juga
Perilaku di Rumah seringkali memberi perhatian dan usil dengan adiknya yang masih bayi. Subjek seringkali
1. I memakai rok. Subjek seringkali bermain potong kertas.
Subjek memilih gambar kupu-kupu. Subjek sangat serius dalam mewarnai, dan subjek dapat
menyelesaikan dalam waktu yang cepat. Tampak subjek memberikan tekanan dalam tiap asiran.
Perilaku Mewarnai
Subjek mewarnai secara serabutan, belum searah. Subjek cenderung memilih warna terang
meski juga menggunakan warna hitam.
Subjek seringkali berkumpul bermain bersama teman sesama perempuan. Subjek tampak pasif,
Perilaku di Sekolah pendiam namun mampu terlibat dalam beberapa kegiatan. Subjek sering bermain masak-
masakan.
Subjek tampak sangat aktif di rumah, seperti loncat-loncat dari atas kursi, lari-lari, suka bersuara
2. II
Perilaku di Rumah keras, menari. Subjek seringkali bermain boneka, Barbie dan menonton televisi. Subjek
seringkali memakai rok.
Subjek memilih gambar kupu-kupu. Subjek kurang punya perhatian terhadap gambar, subjek
Perilaku Mewarnai
lebih sering bercerita. Subjek seringkali kurang memberikan tekanan ketika mewarnai, sehingga
142

seringkali subjek mengulangi mewarnai pada bagian yang sama agar tampak lebih jelas. Subjek
mewarnai secara serabutan, belum searah. Subjek lebih cenderung memilih warna cerah
Seringkali subjek membuat jengkel guru dengan perilakunya yang usil dan tidak dapat
mengikuti pelajaran dengan baik. Seringkali subjek terlambat menyelesaikan tugas, karena lebih
Perilaku di Sekolah sering berbicara.Subjek seringkali berbicara keras, agresif secara verbal dan perilaku. Subjek
seringkali bermain sepeda dan kejar-kejaran. Subjek seringkali membeli mainan ketika waktu
istirahat.
3. III Subjek cenderung lebih tenang. Subjek aktif dan kreatif, seringkali menggambar dan bermain
Perilaku di Rumah bongkar pasang. Subjek juga suka bermain robot. Subjek juga sering membantu orangtua,
membeli suatu barang.
Subjek memilih gambar robot. Subjek sangat antusias dan terkadang tampak terburu-buru dalam
Perilaku Mewarnai menggambar. Subjek seringkali memberikan tekanan. Subjek mewarnai secara serabutan, belum
searah. Subjek cenderung memilih warna gelap.
Subjek selalu ingin tampil menarik di depan orang lain termasuk guru dan teman, dengan cara
selalu berias dan menggunakan aksesoris seperti bando atau penjepit rambut. Subjek juga
Perilaku di Sekolah tampak lembut dan halus dalam bertutur kata. Subjek tampak cukup antusias dalam kelas
4. IV terutama dalam menjawab pertanyaan dari guru. Subjek seringkali bermain masak-masakan dan
juga bersepeda.
Subjek seringkali menggunakan rok. Subjek tampak pemalu dengan orang baru yang datang ke
Perilaku di Rumah
rumahnya. Subjek tampak aktif dan selalu ingin bermain di luar rumah, seperti bersepeda,
143

sepakbola, dan kejar-kejaran.


Subjek memilih gambar Putri Salju. Subjek tampak berhati-hati dalam mewarnai, tidak terburu-
Perilaku Mewarnai
buru, dan memperhatikan kerapian. Subjek cenderung memilih warna terang
Subjek tampak aktif, seperti sering berlari-lari, susah duduk dan sering berbicara dengan volume
yang keras. Subjek seringkali tidak memperhatikan guru. Subjek seringkali berbicara dengan
Perilaku di Sekolah teman ketika mengerjakan tugas dan selalu berusaha mencari perhatian guru dan teman. Subjek
seringkali bermain sepeda secara berkelompok dan bersaing. Subjek juga seringkali bermain
kejar-kejaran.
5. V
Subjek tampak aktif dan memiliki banyak energi. Subjek sangat sering bersepeda, meski panas
Perilaku di Rumah di siang hari. Subjek seringkali berbicara dengan suara yang keras. Subjek juga sering meminta
oranglain dengan kasar.
Subjek memilih gambar mobil. Subjek seringkali memberi tekanan. Subjek cenderung memilih
Perilaku Mewarnai
warna gelap. Subjek tampak terburu-buru dan kurang memperhatikan kerapian.
Subjek tampak antusias dalam belajar, baik dalam menjawab pertanyaan maupun dalam
mengerjakan tugas. Subjek juga seringkali berbicara dengan teman sebangku. Subjek tampak
Perilaku di Sekolah
sering mengalah dan menghindar ketikas subjek menghadapi konflik dengan teman. Subjek
6. VI seringkali bermain kejar-kejaran dan tembak-tembakan dengan teman.
Subjek tampak patuh dengan kata-kata orangtua subjek seperti batasan dalam menonton tv.
Perilaku di Rumah Subjek juga tampak mau terlibat dalam tugas rumah. Subjek seringkali bermain mainan
tradisional dengan teman di lingkungan rumah. Subjek tampak menggunakan dan perilaku yang
144

sopan.
Subjek memilih gambar Batman. Subjek tampak berhati-hati, kurang memberi tekanan, dan
Perilaku Mewarnai
memperhatikan kerapian. Subjek lebih memilih warna yang terang.
Subjek tampak cukup dapat mengikuti pelajaran, terutama dalam mengerjakan tugas. Subjek
Perilaku di Sekolah juga sering bercerita dengan teman sebangku. Subjek seringkali bermain membentuk bangunan.
Subjek kerapkali membeli mainan.
Subjek sering berbicara dengan suara keras dan kasar pada anggota keluarga yang lain. Subjek
7. VII
Perilaku di Rumah seringkali bermain sepeda dan mobil-mobilan. Subjek juga sering berlari-lari meskipun di dalam
rumah.
Subjek memilih gambar truk. Sumbek tampak memberi tekanan dan tampak terburu-buru.
Perilaku Mewarnai
Subjek cenderung memilih warna gelap.
Meski terkesan sebagai anak pendiam dan tak banyak bicara, subjek tampak aktif mengikuti
Perilaku di Sekolah pelajaran terutama dalam mengerjakan tugas. Subjek lebih sering memilih bermain ayunan dan
panjat-panjatan.
Subjek tampak aktif. Subjek seringkali bermain boneka dan sepeda, bahkan subjek juga bermain
8. VIII Perilaku di Rumah panjat pohon dan sepak bola. Subjek seringkali berbicara keras dan kasar. Bahkan subjek juga
sering memukul anggota keluarga yang lain bila keinginannya tidak terpenuhi.
Subjek memilih gambar Hello Kitty. Subjek tampak terburu-buru dan dan kurang
Perilaku Mewarnai memperhatikan kerapian seta tidak menyelesaikan mewarnai gambar. Warna yang dipilih subjek
adalah warna terang
145

C. Surat Ijin

Yogyakarta, 16 Oktober 2008


Kepada Yth. Bapak/Ibu
Orangtua Siswa TK Kanisius Indria Bhakti Sengkan
di tempat

Dengan surat ini, saya meminta ijin kepada Bapak/Ibu untuk melakukan penelitian pada
putra/putri Bpak/Ibu. Adapun tujuan ijin penelitian ini adalah pengambilan data untuk
mendukung penyusunan skripsi yang saya lakukan guna memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi.
Penelitian ini akan saya lakukan mulai bulan Oktober 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana pemahaman anak prasekolah terhadap identitas gender
dan peran gender. Penelitian ini selain melibatkan siswa juga melibatkan guru dan orangtua
guna mendapatkan data yang lebih lengkap berkisar latar belakang dan karakteristik anak.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data utama, dan
observasi untuk mendapatkan data pendukung.
Saya berharap Bapak/Ibu berkenan membantu peneliti dalam melakukan riset ini. Semoga
penelitian ini dapat menghasilkan suatu wacana yang berguna bagi anak, orangtua, guru dan
peneliti. Atas perhatian dan ijin Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.
INFORMED CONSERN
146

Bapak/Ibu yang terhormat, kami sedang melakukan pengambilan data tentang


pemahaman anak mengenai identiatas gender dan peran gender. Yakni pemahaman anak
berkisar kemampuan identifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri laki-laki dan perempuan,
perasaan anak, pikiran anak , minat anak, kemampuan anak serta perilaku anak sebagai laki-
laki dan perempuan.
Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah kesadaran, perasaan
pandangan diri serta kemampuan anak prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami
diri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.
Pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah pikiran, perasaan, sikap,
perkataan dan perilaku anak prasekolah tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan
perempuan.
Untuk keperluan tersebut, maka kami akan melakukan wawancara dan observasi
yang berkaitan dengan hal tersebut. Wawancara dan observasi dilakukan di rumah Bapak/Ibu
kepada anak guna mendapatkan data utama dan kepada orangtua guna mendapatkan data
pendukung serta latar belakang anak.
Hasil wawancara yang kami publikasikan berupa analisa dan kesimpulan tanpa
mencantumkan identitas anak dan orangtua. Oleh karena itu kami menjamin kerahasiaan data
dari Bapak/Ibu dan anak.
Apabila setelah membaca dan memahami maksud, tujuan dan cara pengambilan data
kami di atas, Bapak/Ibu bersedia merespon wawancara kami, maka kami persilahkan
menandatangani form persetujuan yang kami sediakan.
Sebelum dan sesudahnya kami menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan
Bapak/Ibu untuk memberikan informasi yang kami butuhkan. Apabila selama dan sesudah
wawancara dan obsevasi yang kami lakukan ada hal-hal yang dirasa kurang nyaman, maka
Bapak/Ibu dapat menghubungi:
Patrisius Susilo
Jl. Paingan II no. 127, Maguwoharjo
Telpon 081578958096
147

D. Lembar Persetujuan

Form Persetujuan

Setelah membaca dan memahami maksud, tujuan, serta


cara/prosedur pengambilan data yang telah diuraikan, maka saya
bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam wawancara dan
observasi.

….……………………,…..*

( …………………………….)**

Diisi oleh orangtua:


* tanggal persetujuan
** tanda tangan dan nama terang

Anda mungkin juga menyukai