ORGANISASI MILITER
JEPANG
DI SUSUN
OLEH :
Xl MIPA 3
KOTA MAKASSAR
2021
i
KATA PENGANTAR
Xl MIPA 3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................5
1. 2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1. 3 Tujuan Penelitian...........................................................................................6
1. 4 Manfaat Penelitian.........................................................................................6
1. 5 Kerangka Teori..............................................................................................6
1. 6 Hipotesis.......................................................................................................10
1. 7 Metode Penelitian.........................................................................................10
1.7. 1 Definisi Konseptual....................................................................................10
1.7. 2 Definisi Operasional...................................................................................13
1.7. 3 Tipe Penelitian...........................................................................................14
1.7. 4 Jangkauan Penelitian.................................................................................15
1.7. 5 Teknik Pengumpulan Data........................................................................16
1.7. 6 Teknik Analisis Data.................................................................................16
1.7. 7 Sistematika Penulisan................................................................................16
BAB IV PENTUP.................................................................................................59
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................59
4.2 Saran...............................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................62
LAMPIRAN..........................................................................................................68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang Dunia II yang terjadi tahun 1939 – 1945, diawali karena adanya
invasi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler ke Danzig, Polandia pada tanggal
1 September 1939. Invasi yang dilakukan Jerman ini mendorong negara-negara
1
fasis lainnya untuk melakukan serangan dan pendudukan ke negara-negara Eropa
dan Asia Pasifik. Jepang sebagai salah satu negara fasis, berusaha untuk
menguasai wilayah Asia Pasifik, terutama China, Korea, dan negara-negara Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Invasi yang dilakukan oleh Jepang sebenarnya
telah dimulai sejak tanggal 18 September 1931 di wilayah Manchuria. Namun,
invasi besar-besaran Jepang baru terjadi tanggal 7 Juli 1937 ketika Jepang
menyerang China dan menjadi awal Perang Dunia II di Asia Pasifik (US
Holocaust, 2005).
Jepang pertama kali mendarat di Indonesia tahun 1942, diawali pada bulan
Januari 1942, Jepang mendarat di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Kemudian dilanjutkan tanggal 1 Maret 1942, Jepang secara resmi mendarat di
Teluk Banten di bawah kepemimpinan Panglima Tertinggi Letjen Immamura
Hitsoji (Koshiro, 2001). Masa pendudukan Jepang di Indonesia relatif singkat (1
Maret 1942 – Agustus 1945), tetapi meninggalkan penderitaan, kemiskinan, dan
trauma bagi masyarakat Indonesia. Adanya sistem kerja paksa (romusha),
mekanisme sistem militeristik (PETA, Keibondan, Seinendan, Fujinkai, Jibakutai,
2
Heiho, dan Gakutokai) yang merekrut orang-orang Indonesia untuk melawan
sekutu demi kepentingan Jepang, dan adanya sistem comfort women (jugun ian-
fu) membuat pendudukan Jepang sangat kejam. Disamping itu, Jepang juga
melakukan berbagai kejahatan perang, seperti pembunuhan masal warga sipil,
pengrusakan pemukiman sipil, perbudakan dan pemerkosaan, penyiksaan, dan
sebagainya. (Komnas HAM, 2010)
Kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, salah satunya adalah
perbudakan seksual yang dilakukan oleh militer Jepang selama masa perang tahun
5
1930-1940an di wilayah Asia Pasifik, termasuk di Indonesia. Wanita-wanita
korban mass rape ini disebut sebagai “comfort women” atau dalam bahasa
Jepangnya, “jugun ian-fu”. Sebanyak 200 sampai 400 ribu wanita Asia berusia 13
– 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. 200.000 diantaranya
berasal dari Cina, Taiwan, Filipina, Singapura, Myanmar, Indonesia, Malaysia,
Korea, dan Belanda. Jumlah tersebut termasuk 10.000 – 15.000 wanita Indonesia
yang dijadikan jugun ian-fu bagi tentara Jepang. Berdasarkan dokumen Violence
Against Women in War Network Jepang 2000, persebaran jugun ian-fu di
Indonesia berada di wilayah-wilayah yang dijadikan markas pertahanan militer
Jepang, seperti Papua, Halmahera, Ambon, Timor Leste, Menado, Sumba, Ujung
Pandang, Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Blitar, Palembang, Padang, Medan, dan Aceh (Komnas
HAM, 2010).
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, paska Amerika Serikat
menjatuhkan bom atom di wilayah Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9
Agustus 1945. Kemudian, sekutu membentuk sebuah peradilan untuk mengadili
kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, yang disebut International Military
Tribunal for Far East (IMTFE) pada 3 Mei 1946 – 4 November 1946 (Aksular,
2010). Pengadilan IMTFE ini didasari oleh Tokyo Charter tertanggal 19 Januari
1946 dan diamandemen 26 April 1946 yang memuat perturan Den Haag 1907.
Peraturan Den Haag terdiri dari 2 bagian, bagian pertama berisi tiga deklarasi
yang ditandatangani pada 29 Juli 1899 dan bagian kedua berisi 13 konvensi yang
ditandatangani tahun 1907 (Janga, 2002). Ketika Jepang diadili dalam Pengadilan
Tokyo 1946, Jepang dituntut atas 3 kategori kejahatan, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada pengadilan ini, sebanyak 28 tokoh utama terdakwa kejahatan perang
Jepang diadili, yaitu Jendral Doihara Kenji (Kepala Staf AU), Baron Hirota Koki
(Menlu), Itagaki Seishiro (Menteri Perang), Jendral Keimura Heitaro (Komandan
Militer Jepang di Birma), Jendral Matsui Iwane (Komandan Militer Jepang di
China), Jendral Muto akira (Komandan Militer Jepang di Philipina), Jendral
Hideki Tojo (Komandan Militer Jepang di Kwantung), Menteri Araki Sadao
(Menteri Angkatan Perang), Kolonel Hashimoto Kingoro (Penghasut Perang),
Hatta Shunroku (Menteri Perang), Barn Hinamura Kiichiro (Perdana Menteri),
6
Hoshino Naoki (Kepala Sekretaris Kabinet Jepang), Marquis Kido Koichi
(Penjaga Surat-surat Rahasia Kekaisaran), Jendral Koiso Kuniaki (Gubernur
Korea), Jendral Minami Jiro (Komandan pasukan Kwantung), Laksamana Oka
Takasumi (Mentri AL), Jendral Oshima Hiroshi (Dubes Jepang untuk Jerman),
Jendral Sato Kenyro (Kepala Biro Umum Kemiliteran Jepang), Laksamana
Shimada Shigetaro (Mentri AL), Shiratoti Toshio (Dubes Jepang untuk Italia),
Jendral Suzuki Teiichi (Mentri Perencanaan Kabinet Jepang), Kaya Okinori
(Penyalur Opium ke China), Jendral Umezu Yoshijiro (Menteri Perang), Togo
Shigenori (Menlu), Shigemitsu Mamoru (Menlu), Matsuoka Yosuke, Nagano
Osami, dan Okawa Shumei. Kaisar Hirohito tidak termasuk dalam pihak terdakwa
dalam IMTFE karena hukum impunitas yang dimiliki oleh Kaisar sebagai simbol
negara, sehingga tidak dapat diadili dalam pengadilan apapun terhadap tindak
kejahatan (Hiariej, 2010). Namun, dalam IMTFE ini kasus perbudakan seksual
tidak menjadi salah satu perkara yang diadili secara khusus, melainkan
dimasukkan dalam kejahatan kemanusiaan.
Kejahatan perang Jepang berupa perbudakan seksual baru diadili secara
khusus dalam Tibunal Kejahatan Perang Internasional terhadap Perempuan
(Women’s International War Crimes Tribunal (WIWCT) on Japan’s Military Sex
Slavery) atau Tokyo Tribunal yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Desember
7
Dalam Pengadilan Tokyo, terdapat 10 terdakwa pelaku kejahatan perang
Jepang yang merupakan otoritas-otoritas tertinggi di Jepang, diantaranya: Kaisar
Hirohito (kepala negara dan panglima tertinggi angkatan bersenjata Jepang),
Hideki Tojo, Rikichi Ando, Shunroku Hata, Seishiro Itagaki, Seizo Kobayashi,
Iwane Matsui, Hisauchi Terauchi, Yoshijiro Umezu, dan Tomoyuki Yamashita.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, para hakim dalam Pengadilan Tokyo
memutuskan bahwa Kaisar Hirohito sebagai pemimpin tertinggi Jepang dan orang
yang mengetahui dan mengizinkan adanya praktek sistem perbudakan seksual
selama perang Asia Pasifik terkenai tanggung jawab pidana, begitupun dengan
para pejabat tinggi militer Jepang yang menjalankan sistem perbudakan seksual
tersebut. Perintah yang diberikan oleh pemimpin-pemimpin militer Jepang ini
menjadi salah satu penyebab kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang,
terutama perbudakan seksual (jugun ian-fu) di Indonesia. (Komnas HAM, 2013)
Sistem jugun ian-fu sendiri merupakan mandat dari Kaisar Hirohito yang
mengetaui kebutuhan seksual dari para tentaranya. Mandat ini dibuktikan dengan
adanya penemuan dokumen-dokumen pemerintah Jepang, sedikitnya 127 dari 131
dokumen mengenai pembangunan ian-jo dan pengelolaan jugun ian-fu. Ada
8
Jepang hanya berfokus pada sisi sejarah, bentuk kejahatan, korban, atau proses
pengadilannya. Belum ada penelitian yang menyinggung studi kasus Jugun Ianfu
dari sisi penyebab terjadinya kejahatan tersebut, terutama ditinjau dari segi teori
Hubungan Internasional yang menganalisis organisasi militer Jepang. Oleh karena
itu, penulis mengangkat judul penelitian “Militer dalam Kejahatan Perang Jepang
terhadap Indonesia Tahun 1942-1945, Studi Kasus: Perbudakan Seksual Wanita
Indonesia” untuk melengkapi penelitian dan tulisan yang sudah ada sebelumnya
dengan tema yang sama.
1. 2 Rumusan Masalah
Mengapa Militer Jepang melakukan kejahatan perang terhadap Indonesia berupa
perbudakan seksual yang terorganisir (Jugun Ian-Fu) pada masa Perang Dunia II
tahun 1942-1945?
1. 3 Tujuan Penelitian
1.3. 1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor penyebab kejahatan perang yang dilakukan oleh
organisasi militer Jepang pada masa Perang Dunia II tahun 1942-1945 terhadap
Indonesia, khususnya kasus perbudakan seksual yang terorganisasi (jugun ian-fu)
wanita Indonesia.
1.3. 2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui dan memahami bentuk kejahatan perang yang dilakukan oleh
militer Jepang di Indonesia, khususnya kejahatan perbudakan seksual (jugun
ian-fu).
2) Mengetahui profil, struktur, dan budaya organisasi militer Jepang, khususnya
pada masa Perang Dunia II di Indonesia tahun 1942 - 1945.
3) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab militer Jepang
melakukan kejahatan perang berupa perbudakan seksual dari segi budaya
organisasinya dalam perang.
1. 4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat:
1) Manfaat akademis, yaitu penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan terhadap studi hubungan internasional, serta dapat melengkapi
kajian-kajian historis yang sudah ada sebelumnya terkait kejahatan perang
9
yang dilakukan oleh Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II,
khususnya kejahatan perbudakan seksual yang terorganisasi (jugun ian-fu).
2) Manfaat praktis, yaitu diharapkan penelitian ini dapat membantu masyarakat
untuk memahami budaya organisasi militer yang dapat mendorong terjadinya
kejahatan perang.
1. 5 Kerangka Teori
1.5.1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah sebuah perspektif hubungan internasional yang
berfokus pada kesadaran manusia dalam urusan dunia. Kaum konstruktivis
1
0
Dalam persperktif Ilmu Hubungan Internasional, kebijakan luar negeri
sebuah negara dapat berbentuk perang atau konflik bersenjata. Dalam situasi
konflik bersenjata, negara sering kali melakukan tindak kejahatan dan
pelanggaran terhadap norma internasional yang berlaku. Tindak kejahatan yang
dilakukan bukan semata-mata karena tindakan yang tidak disengaja atau tindakan
penyimpangan yang dilakukan oleh personil militer. Kejahatan perang merupakan
pelanggaran hukum yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai tujuan tertentu
(motif-motif politis). Berdasarkan Statuta Roma Pasal 30 ayat (1) point (b), aktor
1
1
yang dilakukannya (pembunuhan, pembantaian, penyiksaan, d.l.l) adalah sebuah
tindakan yang dapat dibenarkan (Rosyidin, 2017: 41).
Konstruktivisme juga menekankan pada pentingnya faktor budaya serta
norma domestik sebagai variabel untuk menjelaskan kejahatan perang. Perang
dilakukan oleh personil militer atau milisi bersenjata, sehingga untuk memahami
motivasi aktor dalam melakukan aksi-aksi pelanggaran terhadap hukum perang
1
2
perlu dianalisis „budaya organisasi‟ yang mereka anut. Budaya organisasi
(organizational culture) adalah seperangkat asumsi, nilai, norma, keyakinan, dan
pengetahuan formal yang bersifat mendasar yang membentuk pemahaman
kolektif (Kier, 1995: 69-70). Budaya organisasi sama seperti ideologi yang
mempengaruhi pemikiran, keyakinan, dan tindakan individu yang termasuk di
dalamnya. Dalam sebuah organisasi militer, budaya organisasi ini dapat berupa
doktrin militer yang membentuk kepatuhan para personil militer terhadap tujuan
perang negaranya dan komando militer dari atasannya, sehingga mereka
cenderung mengabaikan hukum humaniter internasional. Budaya organisasi ini
dapat terbentuk dari ideologi, nilai dan norma, keyakinan, dan pengetahuan formal
yang berasal dari eksternal maupun internal organisasi yang mempengaruhi
pembentukan kebijakan dan pedoman di dalam tubuh militer (Rosyidin, 2017:
43).
Jeffrey W. Legro juga mendefinisikan budaya militer sebagai “beliefs and
norms about the optimal means to fight war”. Budaya militer merupakan hal yang
penting karena budaya ini memiliki dampak yang yang besar terhadap keputusan
dan tindakan, baik militer maupun negara. Pendekatan budaya menekankan pada
perbedaan kepercayaan atau norma dalam militer, yang dapat mendorong pada
tindakan yang berbeda dalam perang (Legro, 1994: 109)
Budaya organisasi yang berupa pola asumsi, gagasan/ide, dan keyakinan
dapat menentukan bagaimana sebuah kelompok harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan eksternal dan mengelola struktur internalnya. Budaya organisasi
dipengaruhi oleh individu yang menjalankan organisasi tersebut. Pengaruh
individu ini dapat berupa fenomena kolektif yaitu mayoritas kepercayaan yang
dimiliki individu-individu dalam organisasi tersebut, atau sebaliknya budaya
dominan dalam organisasi yang mempengaruhi sikap individu, misalnya tindakan
anggota militer yang dipengaruhi oleh budaya organisasi militernya. Budaya
organisasi akan mendorong militer untuk membentuk standarnya sendiri dalam
berperang. Standar inilah yang membentuk pola tindakan anggota militer yang
cenderung mengabaikan aturan hukum tertentu yang tidak sesuai dengan budaya
organisasinya. (Legro, 1994: 110-111)
Berikut ini merupakan bagan untuk mempermudah pemahaman mengenai
kerangka berfikir dari teori konstruktivisme (organizational culture) dalam
melihat kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Jepang untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian ini.
Organizational culture
(Doktrin Militer)
Militer Kejahatan Perang
(perbudakan
Jepang
Kedudukan Kaisar seksual)
Jepang
1. 6 Hipotesis
Kejahatan perang berupa perbudakan seksual (jugun ian-fu) yang
dilakukan oleh militer Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II merupakan
suatu tindakan kejahatan karena melanggar hukum humaniter internasional yang
disengaja untuk mencapai motif atau tujuan politik negara Jepang dalam konflik
bersenjata. Tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh personil militer
Jepang ini dipengarui oleh budaya organisasi atau doktrin militer yang dianut oleh
militer Jepang. Budaya organisasi (doktrin militer) tersebut dapat bersumber dari:
perintah Kaisar Jepang adalah mutlak untuk dilaksanakan, doktrin militer yang
menuntut kepatuhan bawahan terhadap perintah dari atasan meskipun
bertentangan dengan hukum internasional (hierarki dalam militer), dan militer
Jepang memiliki keyakinannya sendiri yang menjadi pegangan dalam bertindak
ketika perang, sekaligus menjadi tujuan perang.
1. 7 Metode Penelitian
1.7. 1 Definisi Konseptual
1.7.1. 1 Militer
Secara harfiah militer berasal dari kata “Miles” yaitu seorang yang
dipersenjatai dan dipersiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau
peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara (Knter &
10
Sianturi, 2002: 7). Sedangkan menurut Moch. Faisal Salam, militer adalah orang
yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan
untuk menghadapi musuh. Militer memiliki ciri-ciri: mempunyai organisasi
teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, dan mentaati hukum yang berlaku
dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu
bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Salam, 2006: 4)
Syarif Amiroedin dalam bukunya Hukum Disiplin Militer Indonesia juga
mendefinisikan militer sebagai orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk
bertempur yang harus tunduk pada norma-norma atau kaidah-kaidah khusus dan
tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan
ketat (Syarif, 1991: 3).
1.7.1. 2 Kejahatan Perang
Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya tidak baik, sangat
buruk, sangat jelek, yang berhubungan dengan tabiat dan kelakuan seseorang.
Menurut Widiyanti dan Waskita dalam bukunya yang berjudul Kejahatan dalam
Masyarakat dan Pencegahannya, “Kejahatan adalah perbuatan manusia yang
melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum”.
Tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah
hukum, dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah
ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang
bersangkutan bertempat tinggal (Widiyanti & Waskita, 1987: 24-29).
11
Kejahatan Perang berdasarkan Pasal 8 Ayat 2 Point (b) Statuta Roma 1998
adalah pelanggaran berat yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa 12 Agustus
3
1949 , yaitu perbuatan melawan hak atau kepemilikan seseorang berupa
pelanggaran hukum serius atau kebiasaan yang dilakukan dalam konflik
bersenjata internasional, yang meliputi:
1) Penyerangan terhadap penduduk sipil yang menimbulkan korban jiwa,
penyiksaan warga sipil, dan pengrusakan tempat-tempat sipil yang bukan
sasaran militer.
2) Menyiksa, melukai, atau membunuh kombatan yang sudah menyerah.
3) Menggunakan racun, senjata beracun, atau nuklir.
4) Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau
bentuk-bentuk kejahatan seksual lainnya.
5) Mempekerjakan anak-anak dibawah umur.
6) Pengrusakan atau pengahancuran fasilitas ibadah, sosial, kesehatan,
transportasi umum, peninggalan sejarah, dan fasilitas sipil lainnya secara
sengaja. (ICC, 1998)
3
Konvensi Jenewa Tahun 1949 menganut asas retroaktif dalam beberapa kasus kejahatan berupa
kejahatan HAM berat yang diadili melalui: 1) International Military Tribunal Nuremberg (IMTN)
1946, International Military Tribunal For Far East (IMTFE) 1946, International Criminal Tribunal
for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tibunal for Rwanda (ICTR).
Perbudakan Seksual adalah kondisi dimana seseorang memiliki kekuasaan
berupa hak kepemilikan terhadap orang lain berdasarkan jenis kelamin tertentu
untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Perbudakan Seksual termasuk dalam salah satu bentuk kekerasan seksual
terhadap perempuan. Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan Pasal 1, “kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk anacaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan
kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupu
dalam kehidupan pribadi”. Sedangkan definisi perbudakan seksual adalah sebuah
tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak
kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan
atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup
kondisi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa untuk menikah,
melakukan pekerjaan rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, yang
kemudian melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk pemerkosaan oleh
penyekapnya.
17
BAB II
ORGANISASI MILITER JEPANG PADA MASA PERANG DUNIA II
21
Pada bagan 2.1 adalah bagan organisasi militer Jepang pada masa PD II
Kaisar Hirohito
Perdana
Menteri
Menteri
Peperangan
Sumber:
Kemendikbud, 2011
23
sampai 1940. Ia juga diberi amanah sebagai Menteri Kabinet sejak
Desember 1944 sampai Maret 1945. Kobayashi memiliki kewajiban
untuk melapor secara langsung kepada Kaisar.
6) Iwane Matsui menjabat sebagai Komandan Tentara Ekspedisi Shanghai
dan Tentara Wilayah China Tengah selama tujuh bulan dari tahun 1937
sampai tahun 1938.
7) Hisauchi Terauchi adalah Komandan wilayah China Utara sejak bulan
Agustus 1937 sampai bulan Desember 1938. Ia juga menjabat sebagai
Komandan Tentara Ekspedisi Selatan yang mencakup wilayah Filipina,
Indonesia, Malaysia, Timor, dan Burma sejak bulan November 1941
hingga akhir masa perang tahun 1946. Sebelumnya, Terauchi pernah
menjabat sebagai Menteri Peperangan dari bulan Maret 1936 sampai
bulan Februari 1937.
8) Hideki Tojo adalah Kepala Staf Tentara Kwantung (Guangdong) pada
1937, yang kemudian unit Tentara ini dibubarkan pada tahun 1939.
Kemudian pada bulan Mei 1938, ia diangkat menjadi Wakil Menteri
Peperangan. Lalu pada bulan Oktober 1941 sampai bulan Juli 1944, Tojo
dipercaya menjadi Perdana Menteri menggantikan Perdana Menteri
sebelumnya yaitu Pangeran Konoye, sekaligus Menteri Peperangan. PM
Tojo memiliki julukan “Si Otak Pisau Cukur” karena sifatnya yang keras
dan kejam. PM Tojo lah yang membawa Jepang terjun dalam kancah
Perang Dunia II. Sebagai Perdana Menteri, Hideki Tojo berkewajiban
untuk mengevaluasi dan melaporkan kepada Kaisar semua tindakan
menteri-menteri yang terlibat dalam pelaksanaan perang. Sejak bulan
Februari sampai bulan Juli 1944, Jendral Tojo juga menjabat sebagai
Chief of General Staff of the Army.
9) Yoshijiro Umezu menjabat sebagai Wakil Menteri Peperangan sejak
bulan Maret 1936 hingga bulan Mei 1938. Kemudian menjadi Komandan
Tentara ke-1 pada Mei 1938. Setelah itu, Umezu menjabat sebagai
Komandan Tentara Kwantung (Guangdong) sejak bulan September 1939
sampai bulan Juli 1944. Umezu lalu ditunjuk sebagai Chief of General
Staff of the Army pada bulan Juli 1944 menggantikan Hideki Tojo.
10) Tomoyuki Yamashita menjabat sebagai Komandan Jenderal Tentara ke-
24
14 sejak bulan September 1944 hingga bulan September 1945.
Yamashita bertugas mengarahkan dan bertanggung jawab atas tentara
Jepang yang beroperasi di wilayah Filipina, termasuk di daerah
Mapanique.
11) Koiso Kuniaki menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang sejak bulan Juli
1944 sampai bulan April 1945 menggantikan PM Hideki Tojo. PM Koiso
adalah orang yang mencetuskan “Janji Koiso” yang berisi janji
pemberian kemerdekaan bagi negara-negara pendudukan Jepang,
termasuk Indonesia untuk menarik simpati dan mempertahankan
pengaruh Jepang di negara-negara yang diduduki (Komnas HAM, 2013).
28
pelatihan dasar militer untuk membantu barisan militer buatan Jepang.
10) Hizbullah atau Kaikyo Seinen Teishintai (Barisan Pemuda Muslim)
merupakan barisan semi militer yang didirikan pada 15 Desember 1944.
Hizbullah berisi pasukan cadangan khusus untuk mendukung PETA yang
terdiri dari para pemuda muslim sebanyak 400.000 orang di bawah
naungan Masyumi.
11) Fujinkai (Perkumpulan Wanita) didirikan pada Agustus 1943 yang
bertugas melakukan pelatihan P3K, membantu urusan logistik untuk
mendukung tentara Jepang, dan meningkatkan penghidupan rakyat di
garis belakang.
12) Jibakutai (Barisan Berani Mati) dibentuk tanggal 8 Desember 1944,
bertugas sebagai barisan terdepan yang rela mati melawan musuh.
13) Heiho (Prajurit Bantu) didirikan pada 24 April 1943 (di Jawa) dan Mei
1943 (di Sumatera) sebagai barisan militer bantuan bagi Jepang yang
terdiri dari mantan prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda) dan
29
System yang diterapkan di semua negara pendudukannya, termasuk Indonesia.
30
2.3 Kasus-Kasus dan Penyebaran Jugun Ianfu di Indonesia
2.3.1 Kasus-Kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang
Pada masa pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945, Jepang
mengeksploitasi tidak hanya hasil pertanian, kekayaan alam, tetapi juga sumber
daya manusia Indonesia secara paksa. Kaum lelaki dipaksa bekerja sebagai tenaga
kasar bagi kepentingan Jepang, sedangkan kaum perempuan ada yang
1
dimanfaatkan sebagai tambahan tenaga perang, seperti organisasi Fujinka i.
Sebagian besar perempuan yang tergabung dalam organisasi ini berasal dari kaum
terpelajar atau memiliki hubungan dengan pegawai pemerintahan pada saat itu
(Kemendikbud, 2011).
Organisasi Fujinkai merupakan bentuk keterlibatan perempuan dalam
sektor formal, sedangkan dari sektor non formal, perempuan dipaksa untuk
membantu pekerjaan-pekerjaan masal, seperti kerja bakti, tenaga palang merah,
maupun sebagai tenaga “perempuan penghibur” atau yang disebut Jugun Ian-fu.
Kaum perempuan yabng dijadikan jugun ian-fu kebanyakan berasal dari golongan
masyarakat yang berpendidikan rendah dan buta huruf, serta berada dalam kondisi
ekonomi yang sulit, tetapi sebagian kecil juga berasal dari golongan masyarakat
menengah dan kaum bangsawan (Oktorino, 2016: 232).
Perekrutan jugun ianfu yang dilakukan tentara Jepang secara besar-
besaran dan terselubung, telah diketahui oleh pemimpin-pemimpin pergerakan
Indonesia pada saat itu, namun mereka tidak dapat melakukan tindakan
penentangan karena mengingat perilaku Jepang terhdap kaum pribumi yang tidak
mengenal belas kasihan. Perempuan-perempuan dari desa direkrut menjadi jugun
ianfu dengan berbagai cara, ada yang menggunakan kekerasan, penipuan seperti
tawaran pekerjaan di tempat lain, maupun ancaman secara langsung pada calon
jugun ianfu, orang tua, atau keluarga mereka (Djoened & Notosusanto, 2011: 45).
Sekitar 10.000-15.000 perempuan Indonesia dijadikan Jugun ianfu oleh
tentara Jepang selama masa pendudukan. Dari jumlah tersebut hanya beberapa
kasus jugun ianfu yang muncul ke permukaan karena orang yang bersangkutan
ikut memberikan keterangan terkait praktik jugun ianfu yang dilakukan tentara
Jepang dan berkontribusi dalam upaya menuntut pertanggungjawaban pemerintah
31
Jepang terhadap korban-korban jugun ianfu. Salah satu mantan jugun ianfu asal
Indonesia yang ikut berkontribusi dalam penegakan keadilan adalah Mardiyem
(Hindra & Koichi, 2007: 20). .
Mardiyem adalah mantan jugun ianfu yang berasal dari Pathok
Yogyakarta. Mardiyem adalah anak dari pasangan abdi dalem (pelayan keraton)
33
1) Jugun Ianfu di Wilayah Jawa
Setelah berhasil menduduki Pulau Jawa, petinggi militer Jepang
kemudian memberikan perintah untuk segera menjalankan sistem jugun ianfu,
baik di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun Yogyakarta.
Sasaran dari militer Jepangg tidak hanya perempuan-perempuan pribumi, tetapi
juga perempuan Belanda yang saat itu masih menempati wilayah Indonesia. Jan
O’Herne (19 tahun) adalah seorang perempuan asal Belanda yang tinggal di
Bandung. Setelah invasi Jepang ke pulau Jawa, ia disekap dalam suatu kamp
bersama perempuan muda lainnya, kemudian ddi bawa ke rumah hiburan di
Selarang untuk dijadikan jugun ianfu (Komnas HAM, 2013).
Di Jawa Tengah, ditemukan empat kamp di Semarang, dua kamp di
Ambarawa, dan satu kamp di Cepu yang digunakan untuk tempat jugun ianfu. Di
Cepu, para perempuan berusia 17-35 tahun disekap di sebuah rumah sakit dan
diperkosa oleh tentara Jepang, termasuk di dalamnya ada perempuan asal
Belanda. Hal ini dibenarkan oleh Letnan Kolonel Damste, seorang Belanda yang
menjadi salah satu penuntut di IMTFE. Selain itu, kasus jugun ianfu juga
ditemukan di Blora, dimana 20 perempuan pribumi dan Belanda di sekap dalam
sebuah rumah dan diperkosa selama 3 minggu oleh tentara Jepang (Komnas
HAM, 2013).
Di Jakarta juga terjadi perekrutan jugun ianfu secara paksa. Berdasarkan
keterangan dari seorang gadis berusia 18 tahun dan kakak perempuannya 19
tahun, mereka diminta melapor ke pangkalan polisi setempat. Tetapi di pangkalan
tersebut, ternyata sudah ada kurang lebih 100 perempuan (Cina, Jawa, Eropa)
yang menunggu. Mereka kemudian dipindahkan secara paksa oleh tentara Jepang
ke Semarang, kemudian dari Semarang didistribusikan ke daerah-daerah lain.
Militer Jepang mendirikan tempat hiburan di Pulau Jawa di daerah Bandung,
Jakarta, Surabaya, dan Malang. Apabila dibandingkan dengan pulau lain,
penduduk di Pulau Jawa lebih merasakan kekerasan dan kekejaman Jepang karean
militer Jepang terkonsentrasi di Jawa, sehingga banyak tempat hiburan yang
melibatkan Kempetai (Hindra & Koichi, 2007: 40).
2) Jugun Ianfu di Wilayah Sumatera dan Kalimantan
Di Pulau Sumatera, perempuan-perempuan jugun ianfu disebut dengan
Jalan Ps, karena mereke sering terlihat diikuti unit patroli Jepang. Salah satu
jugun ianfu asal Bangka menceritakan kisahnya ketika direkrut menjadi jugun
ianfu. Saat itu ia berusia 20 tahun, tetapi sudah menjadi janda. Ia ditawari
pekerjaan oleh tentara Jepang. Karena kondisi keluarganya yang miskin dan ia
membutuhkan pekerjaan untuk perawatan orangtuanya, maka ia ikut tentara
Jepang tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang dimaksud adalah
menjadi jugun ianfu, kemudian ia dibawa ke suatu tempat hiburan dan dipaksa
untuk melayani kebutuhan seksual tentara-tentara Jepang (Komnas HAM, 2013).
Dalam IMTFE, Taichiro Kaijimura memberikan kesaksian tentang
tindakan prostitusi paksa yang dilakukan militer Jepang. Di kamp-kamp daerah
Aceh, Brastagi, Palembang, dan Padang terdapat laporan tentang penyekapan
perempuan asal Indonesia dan Australia. Di Palembang, 32 perawat asal Australia
dan kurang lebih 500 perempuan asal Indonesia ditahan disebuah rumah dekat
kamp tentara Jepang. Mereka menggunakan rumah tersebut sebagai tempat
hiburan dan perempuan-perempuan tahanan tersebut dipaksa untuk menjadi jugun
ianfu. Apabila menolak, akan langsung disiksa bahkan ditembak mati (Komnas
HAM, 2013)
2.4 Kesimpulan
Dalam Perang Dunia II, militer Jepang memiliki peran yang signifikan
sebagai sebuah organisasi yang menjalankan semua kebijakan-kebijakan
pemerintah Jepang. Militer Jepang yang terdiri dari dua bagian yaitu Angkatan
Darat Kekaisaran dan Angkatan Laut Kekaisaran berada langsung di bawah
kepemimpinan Kaisar Jepang sebagi pusat komando. Rezim militer diterapkan
oleh pemerintah Jepang di setiap negara pendudukannya untuk mempermudah
pencapaian kepentingan Nasional Jepang, yaitu memenangkan peperangan
melawan sekutu. Berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya berbasis
militer diterapkan oleh Jepang untuk mendukung kepentingan Jepang.
Diantaranya, kebijakan romusha, pembentukan barisan militer maupun semi
militer, seperti PETA, heiho, Keibondan, Seinendan, Fujinkai, dan lain-lain.
Selain itu, berbagai propaganda disebarkan untuk membentuk ideologi masyarakat
Indonesia, seperti gerakan 3A. Nilai-nilai kebudayaan Jepang juga ditanamkan
kepada masyarakat Indonesia.
Salah satu kebijakan Jepang yang menjadi bentuk kejahatan perang adalah
Jugun Ianfu atau Perbudakan Seksual. Perempuan-perempuan di negara
pendudukan Jepang, dipaksa untuk menjadi budak pemuas kebutuhan seksual
tentara Jepang. Praktik ini dijalankan oleh militer Jepang secara terorganisir mulai
dari pemerintah pusat hingga daerah. Perekrutan wanita yang akan dijadikan
jugun ianfu dilakukan dengan metode pemaksaan, penipuan, atau ancaman.
Sekitar 10.000-15.000 perempuan dari seluruh wilayah Indonesia terpaksa
menjadi jugun ianfu. Adapun penyebaran jugun ianfu berasal dari wilayah pulau
Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Maluku, dan Bali. Pada bab selanjutnya,
akan dibahas lebih lanjut mengenai jugun ianfu sebagai bentuk kejahatan perang
Jepang di Indonesia serta analisis faktor penyebab Militer Jepang melakukan
kejahatan perang berupa jugun ianfu.
37
BAB III
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB MILITER JEPANG
MELAKUKAN KEJAHATAN PERANG BERUPA PERBUDAKAN
SEKSUAL (JUGUN IANFU) DI INDONESIA TAHUN 1942 - 1945
Bab ini berisi analisis pokok dari penelitian. Pada bab kedua telah membahas
tentang Militer Jepang sebagai sebuah organisasi dan semua kebijakan yang
dilaksanakan pada masa Perang Dunia II khusunya di Indonesia, termasuk kebijakan
Jugun Ian-fu atau Comfort System. Bab ketiga akan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi militer Jepang melakukan kejahatan perang berupa perbudakan seksual
atau jugun ianfu di negara-negara pendudukannya, khususnya Indonesia dari sudut
pandang teori Organizational Culture dari Konstruktivisme.
Secara sederhana, bab ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama menjelaskan
doktrin militer Jepang yaitu Imperial Rescripted Armed Forces yang menjadi faktor
utama pendorong militer Jepang melakukan kejahatan perang, khususnya perbudakan
seksual. Bagian kedua berisi kedudukan Kaisar Jepang dalam militer Jepang yang
mendorong pembentukan sistem jugun ianfu. Bagian ketiga berisi bentuk Sistem Jugun
Ianfu yang diterapkan militer Jepang di Indonesia. Dan bagian keempat berisi
kesimpulan dari bab ini.
dilampaui. Sedangkan Selatan berarti Asia yang terbelakang yang dapat dimanfaatkan
untuk eksploitasi sumberdaya alamnya. Slogan ini berasal dari pepatah kuno Jepang
yang dipercayai oleh masyarakat Jepang. Selain Hokojin Nanbutsu, semboyan “sonno
joi” yang artinya “lindungi kaisar” dan “fukoku kyohei” yang artinya “negara sejahtera,
tentara kuat” merupakan semboyan yang dipercayai oleh pemimpin-pemimpin Jepang
dan masyarakat Jepang paska Restorasi Meiji 1868. Ketiga semboyan inilah yang
mendorong Jepang dan militernya melakukan agresi ke negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara (Mauriello, 1999: 54).
Militer Jepang memiliki ikatan yang erat dengan Kaisar. Hal ini dikarenakan
militer Jepang dibentuk langsung atas perintah dari Kaisar Meiji paska Restorasi Meiji
1868. Sehingga, militer Jepang diberi nama Angkatan Kekaisaran Jepang. Selain itu,
Posisi kementrian pertahanan memiliki kedudukan yang sangat kuat dikarenakan
kementrian pertahanan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen tetapi langsung
terhadap kaisar. Hal tersebut menyebabkan kementrian pertahanan Jepang menjadi
Gunbatsu (Pemerintahan Diktator Militer) karena terbentuknya prinsip “independence
of the military command” yang tercantum dalam Buku Putih Pertahanan Jepang. Militer
39
Jepang memiliki akses langsung kepada Kaisar (iaku joosoo) melalui pejabat militer
yang ditunjuk (Buck, 1971: 8-9).
Pada tanggal 4 Januari 1882 Kaisar Meiji bertitah kepada prajurit dan
pelaut perang Jepang yaitu Imperial Rescript Armed Forced (軍人勅諭 Gunjin
Chokuyu) yang berisi 2700 dokumen kanji yang harus dihafalkan oleh personil
militer Jepang. Salah satu slogan dalam titah Kaisar ini adalah “Tugas lebih berat
daripada gunung, sedangkan kematian lebih ringan daripada sehelai bulu” (Buck, 1971)
7. Dalam titah tersebut tercermin upaya negara Jepang dalam menanamkan nilai
keprajuritan terhadap setiap pasukannya. Titah tersebut menjadi dasar prilaku yang
menekankan kesetiaan mutlak, disiplin, keberanian, harga diri dan kesederhanaan
terhadap kaisar dalam mencapai kebangkitan dari masa lalu feodal menjadi negara yang
berjaya di dunia imperial (Jowett, 2002: 19).
Imperial Rescript Armed Forced ditulis oleh Inoue Kowashi (negarawan) dan
Yamagata Aritomo (Menteri Angkatan Darat Kekaisaran Jepang), dan diketik oleh
Fukuchi Gen'ichiro seorang jurnalis kekaisaran Jepang. Titah Kaisar Meiji ini
disampaikan secara langsung kepada Menteri Angkatan Darat Yamagata Aritomo dalam
upacara khusus yang diadakan di Istana Kekaisaran Tokyo. Tindakan yang belum
pernah terjadi sebelumnya ini, dimaksudkan untuk melambangkan ikatan pribadi antara
Kaisar dan militer. Kaisar menjadikan militer Jepang sebagai tentara pribadinya. Titah
Kaisar Meiji ini menekankan kesetiaan mutlak dari setiap anggota militer kepada
Kaisar. dalam titahnya, Kaisar Meiji juga menyarankan personel militer untuk
mencerminkan kembali tradisi samurai (bushido) yang menjunjung tinggi tujuan dan
tugas. Imperial Rescript Armed Forced ini juga berisi sejumlah tema Konfusianisme
termasuk "penghormatan yang pantas kepada atasan," (Tsunoda, 1958: 68).
Dalam Imperial Prescript Armed Forced terdapat lima point utama titah
Kaisar Meiji, yang berisi:
1. Perajurit dan Pelaut Jepang harus menjunjung tinggi kesetiaan terhadap tugas
yang diberikan kepadanya walaupun dengan konsekuensi kematian. Anggota
militer Jepang harus memenuhi tugasnya dengan sepenuh hati sebagai wujud
kesetiaan pada kaisar dan negara, serta menjunjung slogan “tugas lebih berat
daripada gunung, sementara kematian lebih ringan daripada bulu”.
2. Perajurit dan pelaut Jepang harus patuh kepada Kaisar dan menunjukkan
kerendahan dirinya, serta hormat pada perintah atasan.
40
3. Perajurit dan pelaut Jepang harus memiliki keberanian dan prinsip yang kuat.
4. Perajurit dan pelaut Jepang harus menjunjung kesetiaan dan kebenaran.
Kesetiaan dalam menjaga perkataannya dan kebenaran dalam memenuhi
tugas-tugasnya.
5. Perajurit dan pelaut Jepang harus menyederhanakan tujuan mereka sejak
awal, agar dapat mencapai tujuan tersebut (Tsunoda, 1958: 70).
Disamping mengeluarkan titah ini, kaisar juga membentuk pelatihan khusus bagi
militer Jepang berupa pelatihan spiritual militer (Seishin Kanyoo) yang bertujuan untuk
mendoktrin anggota militer dengan nilai-nilai kekaisaran,
yaitu keagungan kaisar dan kewajiban mutlak untuk patuh dengan kaisar, pengabdian
kepada negara, pentingnya pertahanan negara, dan rela mengorbankan diri demi negara
dan kaisar apabila keadaan darurat muncul (Buck, 1971: 9). Pelatihan ini juga memiliki
tujuan sebagaimana tercantum dalam salah satu paragraf Buku Panduan Pelatihan
Militer:
“....The state of training permits us to overcome the eneny's material and
quantitative superiority by exploiting our efficiency under the single
command of the Emperor, despite our inferiority. If one wishes to be
victorious in war, he must be conspicuously superior in the matter of
training (in time of peace). Therefore, those charged with training must
always maintain this spirit, exhaust all knowledge and ability, be
assiduous in the thoroughness of training, and hereby make possible
complete victory through belief therein.” (Buck, 1971: 8-9).
41
Jepang tidak menghiraukan hukum internasional dalam kondisi perang, sehingga
berbagai bentuk kejahatan perang, termasuk pemerkosaan dan perbudakan seksual
dilakukan oleh personil militer Jepang.
Doktrin Imperial Prescript Armed Forced juga digunakan militer Jepang ketika
menyerang China dalam Perang Sino-Jepang yang dimulai tahun 1937. Militer Jepang
yang saat itu memiliki tujuan untuk mematahkan kekuatan China
dan menduduki China, melakukan segala cara sesuai dengan perintah atasannya.
Akibatnya, pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan masal dilakukan militer Jepang
ketika menyerang Nanking tahun 1937. Kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap
perempuan menjadi salah satu strategi militer bagi Angkatan Kekaisaran Jepang karena
hal tersebut dianggap normal untuk “kebutuhan” militer Jepang (Aksular, 2010: 8).
Ketika Jepang menyerang wilayah Nanking pada tahun 1937, perintah
pemerkosaan terhadap wanita-wanita China diberikan secara langsung oleh pemimpin
militer Jepang, sehingga terjadilah peristiwa Nanking Rape yang menimpa 20.000
wanita china. Setelah memperkosa wanita-wanita China yang ditemui, militer Jepang
akan langsung membunuhnya. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan dari Makihara
Nobuo seorang veteran Resimen Invanteri ke-20, Divisi 16 dalam diarinya tertanggal 29
November 1937:
Depart from the village at 9:00 a.m. Various units compete to enter the
town. The tank unit also starts. In contrast with yesterday, there are no
traces of the enemy at all. Enter the town magnificently, passing an
impressive temple (even though there are many temples in China)…
Because Wu Jing is an anti-Japanese stronghold, we carry out “mopping
up” [sōtō] operations in the entire town, killing all men and women
without distinction and free to rape all women. The enemy is nowhere to
be seen, either because they have lost the will to fight after their defense
line at Wu Xi was breached or they are holding strong positions further
ahead. So far I haven’t seen a town so impressive as this one (Drea &
Yang, 2006: 8).
Perintah lain juga datang dari salah satu pemimpin militer Jepang, “So
that we will not have any problems on our hand, either pay them money or kill
them in some obscure place after you have finished” (Drea & Yang, 2006: 9).
Perintah ini diberikan oleh pemimpin militer Jepang setelah perintah
“pemusnahan masal” diberikan. Hal ini membuktikan kuatnya doktrin militer
Jepang yang menempatkan bawahan harus mematuhi perintah atasan, sehingga
terjadilah peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan secara brutal
42
oleh personil militer Jepang ketika menginvasi Nanking tahun 1937.
Keterangan lain juga diberikan oleh James M. McCallum seorang
misionaris Amerika yang berada di Nanking ketika peristiwa Nanking 1937
terjadi. “Never I have heard or read such brutality. Rape! Rape! Rape! We
estimate at least 1,000 cases a night and many by day” (Oliver, 2018). Pernyataan
lain juga diberikan dari laporan International Committee (sekelompok orang asing
yang mendirikan Zona Keselamatan untuk menyediakan perlindungan bagi para
korban Nanking Rape):
"On December 16, seven girls (ages ranged from 16 to 21) were taken
away from the Military College. Five returned. Each girl was raped six
or seven times daily. One old woman 62 years old went home near
Hansimen and Japanese soldiers came at night and wanted to rape her,"
read another report from the committee. "She said she was too old. So
the soldiers rammed a stick up her. But she survived to come back"
(Oliver, 2018).
Akibat adanya doktrin ini, sistem perbudakan seksual (jugun ianfu) dibentuk oleh
43
militer Jepang di negara-negara pendudukannya, termasuk Indonesia.
44
3.2 Kedudukan Kaisar dalam Militer Jepang yang
dapat diturunkan dari tahtanya dengan alasan apapun dan tidak perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya jika melampaui batas hukum dalam
menjalankan pemerintahan. Perdana menteri dan organ pemerintahan lainnya
dibebankan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan, sehingga kritik tidak
45
dapat ditujukan kepada kaisar melainkan kepada pemerintahan saja. Hukum tidak dapat
diberlakukan kepada kaisar, karena kaisar tidak menjadi subjek hukum bagi hukum
manapun (Buck, 1971: 8-9).
Dalam Konstitusi Meiji 1889, kedudukan kaisar terhadap militer Jepang
ditegaskan dalam Pasal 11 “The Emperor has the supreme command of the army
and navy (Gunreiken)” dan Pasal 12 “The Emperor determines the organization
and peace standing of the Army and Navy (Gunseiken)” (Ito, 1889). Kedua pasal
tersebut menegaskan bahwa setiap anggota militer Jepang harus patuh dan
menjunjung tinggi segala perintah dan mandat dari kaisar karena kaisar memiliki
kedudukan tertinggi dan memiliki kontrol penuh atas organisasi militer Jepang
(Angkatan Kekaisaran Jepang). Kaisar juga memiliki wewenang untuk
menyatakan perang, sebagaimana tercantum dalam pasal 13 “The Emperor
declares war, makes peace, and concludes treaties (Gunji Taiken)” (Ito, 1889).
Sehingga setiap kebijakan yang diambil militer jepang dalam kondisi perang harus
atas persetujuan dan perintah dari kaisar sebagai otoritas tertinggi.
Dalam kasus perbudakan seksual, perintah datang langsung dari kaisar yang
kemudian diteruskan oleh petinggi-petinggi militer Jepang, sehingga pembentukan
“comfort system” dilaksanakan oleh seluruh personil militer Jepang dengan terstruktur.
Sistem jugun ianfu sendiri pertama kali dibentuk pada tahun 1932 atas perintah dari
Kaisar Hirohito yang disampaikan melalui Jendral Okabe Naosaburo dan Okamuji
Yauji. Sistem jugun ianfu ini pertama kali diterapkan di Shanghai ketika militer Jepang
pertama kali menginvasi China. Perintah resmi isi berisi pembentukan “army comfort
houses” yang kemudian diorganisir secara resmi oleh militer Jepang (Molnar, 2018).
Sistem jugun ianfu ini juga diterapkan di negara-negara pendudukan Jepang lainnya,
termasuk Indonesia.
Pembentukan sistem jugun ianfu ini didasarkan atas pemikiran kaisar yang
mengetahui bahwa personil militernya mengalami keletihan secara mental
46
akibat perang yang berkepanjangan, sehingga sering terjadi peristiwa pemerkosaan oleh
oknum personil militer Jepang. Hal ini berbahaya karena dapat berdampak pada
kesehatan personil militer, yang berisiko terkena penyakit menular seksual. Padahal,
militer Jepang harus dipersiapkan secara lahir dan batin untuk memenangkan Perang
Asia Raya. Sehingga, agar kualitas militernya terjaga, kaisar memerintahkan
pembangunan comfort station yang bertujuan untuk memulihkan psikologis para
personil militernya melalui layanan pemenuhan kebutuhan biologis yang disediakan
oleh wanita-wanita di daerah pendudukannya dan untuk mencegah terjadinya penyakit
menular seksual yang dapat mengganggu kondisi fisik personil militernya. Sistem
Comfort woman bukan sekedar perintah dari atasan, melainkan kemauan dari Kaisar
(Savitri, 2010). Comfort station memang dirancang sebagai sistem yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis tentara Jepang. Tujuan Jepang dalam
pembangunan sistem jugun-ianfu adalah untuk kepentingan militer Jepang sendiri
(Komnas HAM, 2013).
George Hick menyebutkan sistem jugun ianfu dalam bukunya sebagai
“vast and dense network of sexual services pervading virtually all Japanese-
occupied areas from the Siberian frontier in the north, to the Solomon Islands in
the southeast, and Burma in the southwest” (Hicks, 1995: 310). Sistem jugun
ianfu ini dibangun diseluruh wilayah pendudukan militer Jepang. Pembentukan
sistem jugun ianfu ini dibuktikan dengan penemuan comfort station (ianjo) yang
dibangun oleh militer Jepang pertama kali di Shanghai pada tahun 1933. Ianjo ini
diberi nama “Disease Prevention and Hygiene Facility” yang berisi 35 wanita
Korea dan 3 wanita Jepang. Pada awalnya, wanita-wanita yang berada di ianjo
merupakan pekerja seks yang didatangkan dari Jepang dan Korea, tetapi seiring
bertambahnya jumlah personil militer Jepang, jumlah wanita yang menjadi jugun
ianfu dirasa kurang, sehingga militer Jepang atas persetujuan dari Kaisar
mengambil dari penduduk lokal secara paksa untuk memenuhi kuota jugun ianfu
(Hicks, 1995: 311).
Ketika Jepang berhasil menduduki wilayah Indonesia, kaisar memerintahkan
setiap divisi angkatan di Indonesia untuk membangun comfort station. Perintah ini
dibuktikan dengan adanya penemuan dokumen-dokumen
pemerintah mengenai pembangunan ian-jo (comfort station). Terdapat sedikitnya 127
dari 131 dokumen mengenai jugun-ianfu, 4 diantaranya menyebutkan adanya
keterlibatan militer Jepang dengan praktek jugun ianfu di Indonesia. Dokumen tersebut
memuat laporan mengenai tata cara pengelolaan pelacuran dan pengelolaan makanan di
tempat tersebut. Dokumen resmi Jepang yang menyertakan ian-jo sebagai bagian dari
sistem militer adalah sebuah bukti bahwa kaisar mengetahui adanya pembangunan ian-
jo (Komnas HAM, 2010).
Bukti lain dari adanya sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang di
Indonesia ditunjukkan dalam telegram rahasia dari Komandan Jendral Tentara Selatan
(yang menaungi wilayah Sumatera) kepada Komandan Tentara Taiwan, Rikichi Ando
berjudul “Tai-den No.602” atau “Telegram Tentara Taiwan No.602”, tertanggal 12
Maret 1942. Catatan dalam dokumen ini menunjukkan bahwa telegram diterima oleh
Kementerian Perang No.2259 pada 17 Maret 1942. Telegram ini berbunyi:
Sehubungan dengan Telegram Rahasia Tentara No.63, kami diminta oleh
Southern Army General Command untuk secepat mungkin mengirimkan
50 comfort women pribumi ke Borneo. Berdasarkan Telegram Rahasia
Tentara No. 623, kami meminta izin perjalanan untuk 3 operator berikut
ini [nama dihapus oleh otoritas Jepang], yang telah diinvestigasi dan
diseleksi oleh polisi militer (Komnas HAM, 2013).
Maksud dari telegram ini adalah basis militer Jepang yang ada di Borneo
(Kalimantan) meminta kepada militer Jepang di wilayah Sumatera (Southern Army)
untuk mengirimkan 50 orang jugun ianfu karena jumlah jugun ianfu yang ada di Borneo
tidak mencukupi kuota yang dibutuhkan. Telegram ini juga dikirimkan kepada
komandan tentara Taiwan pada tanggal 12 Maret 1942 sebagai pihak yang menaungi
basis militer Jepang di Indonesia. Kemudian dari komandan tentara Taiwan juga
diteruskan kepada Kementerian Perang Jepang tertanggal 17 Maret 1942 sebagai bahan
laporan Kepada Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi militer Jepang.
Kementerian Perang Jepang kemudian memberikan telegram balasan kepada
Komandan Tentara Taiwan pada tanggal 18 Maret 1942 dengan “Riku-a- mitsu No. 188”
atau “Telegram Rahasia Tentara 188” yang berisi: “otorisasi yang
diminta dalam Tai-den No. 602, tertanggal 12 Maret, bersama ini diberikan atas
perintah dari otoritas tertinggi” (Komnas HAM, 2013). Kedua bukti telegram ini
membuktikan bahwa pemimpin militer Jepang terlibat langsung didalam pelaksanaan
sistem “comfort women” dan pengelolaan “comfort station”. Telegram balasan dari
Kementerian Perang Jepang berisi diberikannya persetujuan untuk mengirim jugun
ianfu dari satu wilayah ke wilayah lain sebagaimana diminta dalam Tai-den No. 602
atau Telegram Tentara Taiwan No. 602 tanggal 12 Maret 1942. Dalam telegram ini, juga
disebutkan adanya perintah dari “otoritas tertinggi”. Otoritas tertinggi yang dimaksud
adalah Kaisar Hirohito yang pada saat itu merupakan pemimpin tertinggi militer Jepang
pada masa Perang Dunia II. Isi telegram balasan ini dapat menjadi bukti bahwa kaisar
memberikan perintah dan persetujuan secara langsung atas sistem jugun ianfu yang
dilaksanakan militer Jepang di wilayah-wilayah pendudukannya, termasuk Indonesia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya sistem hierarki yang kuat
dalam tubuh militer Jepang dimana Kaisar memiliki kedudukan tertinggi menjadikan
perintah kaisar harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua personil Angkatan
Kekaisaran Jepang. Selain itu, militer Jepang juga memegang teguh doktrin Imperial
Rescript Armed Forced, yang berisi sebuah pernyataan bahwa hormatilah perintah dari
Kaisar sebagai perintah bersama. Sehingga, ketika Kaisar Hirohito memerintahkan
untuk membuat sistem jugun-ianfu sebagai salah satu kebijakan militer Jepang dalam
Perang Dunia II, seluruh personil militer melaksanakan perintah ini dengan sukarela
sebagai wujud kepatuhan dan pengabdiannya kepada Kaisar. Hal inilah yang kemudian
mendorong terjadinya kejahatan perang berupa perbudakan seksual yang terorganisir
(jugun ianfu) oleh militer Jepang pada masa Perang Dunia II di negara-negara
pendudukannya, termasuk Indonesia.
3.3 Sistem “Comfort Women/Jugun Ianfu” yang diterapkan Militer
Jepang di Indonesia
Jugun Ianfu terdiri dari lima buah kanji yang masing-masing memiliki arti yang
berbeda-beda, yaitu 従 “pembantu atau pengikut”, 軍 “tentara”, 慰
“penghibur”, 安 “ tenang atau senang”, 婦 “ perempuan”, sehingga jika digabungkan
berarti “wanita penghibur yang mengikuti tentara (Jepang) untuk memberikan
kesenangan”. Namun pada kenyatannya, jugun ianfu bukanlah wanita yang secara
sukarela menghibur tentara Jepang dengan tubuh mereka, melainkan dipaksa untuk
memenuhi hasrat seksual para tentara Jepang (Yuki, 2002: 8). Apabila ditinjau dari segi
organisasi, menurut Tanaka Yuki dalam bukunya yang berjudul “Japan’s Comfort
Women: Sexual Slavery and Prostitution during World War II and The US
Occupation”, pembentukan sistem jugun ianfu dilakukan berdasarkan rantai kekuasaan
dalam militer Jepang bisa dilihat pada bagan 3.1.
Bagan 3.1. Rantai Kekuasaan pada Sistem Jugun Ianfu
50
perempuan-perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu, baik dengan metode kekerasan
maupun penipuan (Yuki, 2002: 23).
Praktik Jugun Ianfu dan pendirian Comfort Station (stasiun hiburan/ian- jo)
pertama kali dilakukan militer Jepang di China pada tahun 1932 yang berpusat di
Shanghai. Wakil Kepala Staf Pasukan Expedisi Shanghai, Yasuji Okamura adalah orang
yang mencetuskan pembentukan ian-jo yang menyediakan jugun ianfu bagi tentara-
tentara Jepang (Komnas HAM, 2013). Praktik ini kemudian dilanjutkan di negara-
negara pendudukan Jepang lainnya, seperti Korea dan negara-negara Asia Tenggara.
Sebanyak 20.000 wanita Korea dijadikan budak seks oleh tentara Jepang atas
permintaan dari Jendral Yoshijiro Umezu (pemimpin pasukan Jepang di wilayah Korea),
baik di Korea maupun dikirim ke wilayah pedudukan Jepang lainnya (Lzee, 2003).
Pada awalnya, praktik jugun ianfu yang dilakukan oleh Jepang dilakukan
dengan cara legal, yaitu membawa wanita penghibur dari Jepang atau Korea. Namun,
sistem ini berubah menjadi sebuah eksploitasi dan perbudakan perempuan setelah
wilayah jajahan Jepang semakin meluas dan jumlah wanita penghibur sebelumnya tidak
mampu mencukupi kebutuhan tentara Jepang. Akhirnya militer Jepang melakukan
perekrutan dengan cara lain, yaitu kekerasan, paksaan, penipuan (tawaran akan
disekolahkan atau dipekerjakan di luar daerah), dan penculikan yang dilakukan pada
perempuan-perempuan sipil di wilayah yang diduduki, termasuk di Indonesia (Yuki,
2002: 18).
Tanaka Yuki dalam bukunya juga yang berjudul “Japan’s Comfort
Women: Sexual Slavery and Prostitution during World War II and The US
Occupation” mengklasifikasikan jugun ianfu ke dalam dua tipe, yang dijelaskan
pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tipe dan Perbedaan Jugun Ianfu
Baishi Yunfu (Pelacur/PSK) Seiteki Dorei (Budak Seks)
Mendapat upah Tidak mendapat upah
Menemani tentara, seperti Geisha Melayani kebutuhan seksual
Terdiri dari perempuan Jepang dan tentara Jepang
Korea, namun jumlah perempuan Terdiri dari perempuan di setiap
51
Korea lebih banyak daerah yang diduduki Jepang, seperti
Sistem yang dibentuk untuk Cina, Korea, Indonesia, Malaysia,
mencegah tindakan pemerkosaan di Filipina, Timor Leste, Singapura
medan perang Sistem yang dibentuk akibat
Dilakukan dengan kesadaran sang meluasnya daerah ekspansi
perempuan untuk mencari nafkah Jepang, sehingga Baishi yunfu
tidak mencukupi dan militer
Jepang kekurangan dana untuk
menggaji wanita penghibur
Direkrut secara paksa, dengan
kekerasan, penipuan, penculikan,
ancaman
1) Proses Perekrutan
Pada proses ini, wanita-wanita Indonesia ada yang direkrut secara paksa yaitu
dengan cara diculik, diancam akan dibunuh jika tidak mengikuti perintah militer Jepang,
atau dilukai secara fisik. Cara lain yang dilakukan di beberapa daerah di Indoensia
adalah militer Jepang mewajibkan banyak keluarga untuk menyerahkan anak gadisnya
yang berusia 15 tahun dan belum menikah (Komnas HAM, 2010).
Selain itu, ada juga yang ditipu dengan cara menawarkan pendidikan atau
pelatihan khusus, seperti yang dialami Mardiyem yang saat itu berusia 13 tahun dan
terpaksa harus menjadi jugun ianfu. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer” menerangkan adanya bukti penipuan yang
dilakukan oleh militer Jepang menurut keterangan Soeryo Hadi, bekas anggota
pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Perwakilan Surabaya:
“….dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa pemerintah
pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orangtua yang
mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah
anak gadisnya. Adapun maksud pendaftaran, mereka akan disekolahkan.
Sehubungan dengan ini, di Ungaran telah didaftar anak-anak gadis dari
umur 1-17 tahun sejumlah 5 orang. Mereka didaftar dan dibawa ke
Semarang guna pengurusan selanjutnya” (Ananta, 2007: 34).
Pada beberapa kasus, pejabat atau tokoh sipil di daerah pendudukan Jepang
juga terlibat dalam proses perekrutan dan pengumpulan wanita-wanita
yang akan dijadikan jugun ianfu. Berdasarkan Catatan harian Operasi
Kementerian Perang Jepang di Indonesia menyatakan bahwa “para kepala di
wilayah-wilayah Indonesia ditugaskan untuk mengumpulkan wanita sesuai kuota
yang ditentukan dan mengelola comfort station” (Komnas HAM, 2010).
2) Proses Pengangkutan
Sebelum calon-calon jugun ianfu diangkut ke daerah yang terdapat comfort
station, mereka diwajibkan untuk mengikuti pengecekan kesehatan untuk memastikan
bahwa tidak ada yang mengidap penyakit menular seksual dan tidak ada yang hamil.
Setelah itu, mereka barulah dibawa ke daerah tujuan dengan menggunakan truk atau
kapal perang dan dijaga ketat oleh anggota militer Jepang. Bahkan sebagian dari mereka
ada yang diangkut ke negara lain. Berdasarkan kesaksian Mardiyem (salah satu korban
jugun ianfu), ia dibawa paksa dari Yogyakarta ke Banjarmasin (Komnas HAM, 2010).
59
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
69
bukti bahwa doktrin militer Jepang yang menuntut kepatuhan kepada perintah
Kaisar membentuk pola pikir personil militer Jepang yang brutal di medan perang
karena telah adanya perintah dan persetujuan dari kaisar Jepang untuk melakukan
tindakan apapun di medan perang demi kemenangan Jepang.
Faktor kedua adalah adanya perintah dari Kaisar Jepang sendiri untuk
membentuk sistem jugun ianfu khususnya di Indonesia. Kaisar memiliki
kedudukan tertinggi dalam sistem hierarki militer Jepang. Masyarakat Jepang dan
militer Jepang mengagungkan kaisar sebagai keturunan dewa matahari (sakral),
sehingga segala titah dari kaisar mutlak untuk dilaksanakan. Ketika Perang Dunia
II terjadi, Kaisar Hirohito memerintahkan pembangunan sistem jugun ianfu di
negara-negara pendudukan Jepang, termasuk Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya telegram rahasia yang dikirim kepada Kementerian Perang Jepang
tanggal 17 Maret 1942 dari Komandan Tentara Taiwan yang sebelumnya
menerima telegram dari Komandan Tentara Indonesia di Sumatera tanggal 12
Maret 1942, yang berisi permintaan persetujuan untuk mengirim 50 orang jugun
ianfu dari wilayah Sumatera ke Borneo (Kalimantan) karena ada kekurangan
jumlah jugun ianfu di Borneo. Kemudian Kementerian Perang Jepang membalas
telegram ini pada tanggal 18 Maret 1942 yang berisi persetujuan dari otoritas
tertinggi (Kaisar Jepang) untuk mengirimkan jugun ianfu ke wilayah lain.
Perintah Kaisar Jepang merupakan mandat yang harus dilaksanakan
sebagaimana disebutkan dalam doktrin militer Jepang yaitu Imperial Prescript
Armed Forced (Gunjin Chokuyu), maka militer Jepang membentuk sistem jugun
ianfu sebagai salah satu kebijakan militernya selama perang. Hal ini terbukti dari
penemuan dokumen panduan resmi yang dikeluarkan Kementerian Perang Jepang
tahun 1938 berjudul “Berbagai Hal Mengenai Rekrutmen Perempuan” untuk
merekrut jugun ianfu, yang dikirim oleh Jendral Perang kepada Kepala Staf
Tentara di wilayah-wilayah pendudukan Jepang sejak tahun 1938. Kedua faktor
inilah yang mendorong militer Jepang melanggar hukum perang internasional
yaitu Konvensi Hague 1907 selama Perang Dunia II dengan melakukan kejahatan
perang berupa perbudakan seksual (jugun ianfu), khususnya di wilayah Indonesia.
4.2 Saran
Penelitian ini melihat faktor pendorong militer Jepang melakukan
kejahatan perang di Indonesia berupa perbudakan seksual pada masa Perang
Dunia II. Ketika penelitian ini disusun, penulis melihat kurangnya perhatian
pemerintah Indonesia terhadap kasus jugun ianfu yang dibuktikan dengan tidak
terfasilitasinya mantan korban jugun ianfu ketika menuntut keadilan atas tindak
kejahatan perang Jepang dalam Pengadilan Tokyo (The Women International War
Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery) tahun 2000. Berbeda dengan
korban-korban dari negara lain seperti Korea yang benar-benar didukung oleh
negaranya ketika menuntut keadilan. Penulis menyarankan kepada pemerintah
Indonesia untuk lebih menghargai, melindungi, dan menfasilitasi korban-korban
jugun ianfu sebagai bagian dari NKRI dan sejarah nasional Indonesia.
Bagaimanapun juga, mereka merupakan warga negara yang harus dilindungi dan
difasilitasi oleh negara ketika terjadi pelanggaran HAM, meskipun telah terjadi di
masa lalu.
Kedua, saran untuk pemerintah Jepang sebagai salah satu aktor utama
dalam Perang Dunia II, untuk memenuhi tanggungjawabnya sebagai penjahat
perang dalam menyelesaikan tuntutan-tuntutan dari mantan korban jugun ianfu di
berbagai negara pendudukannya. Bagaimanapun juga, jugun ianfu merupakan
bagian dari sejarah Jepang, sehingga bukti-bukti berupa dokumen-dokumen
terkait seharusnya dipertahankan untuk memperkaya ilmu pengetahuan. Selain itu,
perlu adanya riset lebih lanjut yang membahas mengenai kasus-kasus kejahatan
perang yang dilakukan oleh Jepang pada masa lalu dan implikasinya dengan dunia
internasional pada saat ini. Sudah banyak penelitian yang membahas mengenai
kejahatan perang Jepang, khususnya perbudakan seksual, tetapi hanya melihat dari
segi historis, sehingga diperlukan penelitian-penelitian lain yang melihat tema ini
dalam perspektif Hubungan Internasional.
62
DAFTAR
PUSTAKA
Aksular, A. D. 2010. War Crimes and Human Right Violations of Imperial Japan
Army in the Second Sino-Japanese War between 1937 and 1945. 1-21.
Bull, R., Bilby, C., Cooke, C., Grant, T., Hatcher, R., & Woodhams, J. 2006.
Criminal Psychology. Oxford: Oneworld Publications.
Eisei, K. 2000. Nation-State, Empire, and Army: The Case of Meiji Japan. SENRI
ETHNOLOGICAL STUDIES , 102.
63
Hicks, G. W. 1995. The Comfort Woman : Japan’s Brutal Rigme of Enforced
Prostitution in 2nd World war. London: Norton Company.
Jowett, P. 2002. The Japanese Army 1931-1945. Great Britain: Osprey Publishing
Ltd.
Kier, E. 1995. Culture and French Military Doctrine Before World WWar II.
International Security Vol. 19 No. 4 , 65-93.
Knter, E., & Sianturi, S. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Koshiro, Y. 2001. Japan's World and World War II. Diplomatic History , 1-17.
Legro, J. W. 1994. Military Culture and Inadvertent Escalation in world War II.
International Security Vol. 18, No. 4 , 108-142.
Lzee, S. R. 2003. Comforting The Comfort Women: Who Can Make Japan Pay?
Journal of Internatinal Economic .
Mauriello, J. A. 1999. Japan and The Second World War: The Aftermath of
Imperialism. IR 163 .
Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif - Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nobutaka, I. 1967. Japan's Decision for War Records of the 1941 Policy
Conference. (p. 56). California: Standford University Press.
Norman, E., & Angell, D. 1999. Vivian Bullwinkel: Sole Survivor of The 1942
Massacre of Australian Nurses. Nursing History Review , 97-112.
Sato, S. 1994. "Buku Putih" Masa Pendudukan Jepang. Sydney: Allen & Unwin
Pty. Ltd.
Savitri, D. 2010. Kejahatan Perang Oleh Jepang (Studi Kasus Terhadap Jugun
Ian-fu Sebagai Hegemoni Kebudayaan di Indonesia Periode 1942-1945).
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. III , 284-295.
Yuki, T. 2002. Japan's Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution during
World War II and The US Occupation. London: Routledge.
B. Sumber Internet
Drea, E., & Yang, D. 2006. Researching Japanese War Crimes Records.
https://www.archives.gov/files/iwg/japanese-war-crimes/introductory-
essays.pdf
Esplen, E., & Jolly, S. 2006. GENDER and SEX : A sample of definitions .
http://www.iwtc.org/ideas/15_definitions.pdf
ICC. 1998. Rome Statute of the International Criminal Court. https://www.icc-
cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-
0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf
Johari, H. (2018, November 29). Seks Serdadu Belanda. Retrieved from Historia:
https://historia.id/modern/articles/seks-serdadu-belanda-PyReN
OHCHR. 2002. Abolishing Slavery and its Contemporary Forms. Office of the
United Nations High Commissioner for Human Rights:
http://www.ohchr.org/Documents/Publications/slaveryen.pdf
Oliver, M. 2018. The Forgotten Holocaust: 27 Tragic Photos from The Rape of
Nanking. https://allthatsinteresting.com/rape-of-nanking-massacre
68
LAMPIRAN
with your will be most intimate when We rely upon you as Our limbs and you
look up to Us as your head. Whether We are able to guard the Empire, and so
prove Ourself worthy of Heaven’s blessings and repay the benevolence of Our
Ancestors, depends upon the faithful discharge of your duties as soldiers and
sailors. If the majesty and power of Our Empire be impaired, do you share with
Us the sorrow; if the glory of Our arms shine resplendent, We will share with you
the honor. If you all do your duty, and being one with Us in spirit do your utmost
for the protection of the state, Our people will long enjoy the blessings of peace,
and the might and dignity of Our Empire will shine in the world. As We thus
expect much of you, Soldiers and Sailors, We give you the following precepts:
1. The soldier and sailor should consider loyalty their essential duty. Who that
is born in this land can be wanting in the spirit of grateful service to it? No
strong within him. A soldier or a sailor in whom this spirit is not strong,
protection of the state and the maintenance of its power depend upon the
strength of its arms, the growth or decline of this strength must affect the
69
nation’s destiny for good or for evil; therefore neither be led astray by current
opinions nor meddle in politics, but with single heart fulfill your essential
duty of loyalty, and bear in mind that duty is weightier than a mountain, while
death is lighter than a feather. Never by failing in moral principle fall into
2. The soldier and the sailor should respect due to Emperor and superiors and
3. The soldier and the sailor should esteem valor …. To be incited by mere
impetuosity to violent action cannot be called true valor. The soldier and the
sailor should have sound discrimination of right and wrong, cultivate self-
this is true valor. Those who thus appreciate true valor should in their daily
intercourse set gentleness first and aim to win the love and esteem of
others. If you affect valor and act with violence, the world will in the end
detest you and look upon you as wild beasts. Of this you should take heed.
4. The soldier and the sailor should highly value faithfulness and righteousness.
fulfillment of one’s duty. If then you wish to be faithful and righteous in any
thing, your must carefully consider at the outset whether you can accomplish
and bind yourself to unwise obligations, and then try to prove yourself
have perished and left a tarnished name to posterity, simply because in their
effort to be faithful in small matters they failed to discern right and wrong
path of public duty, they kept faith in private relations. You should, then,
5. The soldier and sailor should make simplicity their aim. If you do not make
simplicity your aim, you will become effeminate and frivolous and acquire
fondness for luxurious and extravagant ways; you will finally grow selfish
and sordid and sink to the last degree of baseness, so that neither loyalty nor
valor will avail to save you from the contempt of the world.
These five articles should not be disregarded even for a moment by soldiers and
sailors. Now for putting them into practice, the all important thing is
sincerity. These five articles are the soul of Our soldiers and sailors, and sincerity
is the soul of these articles. If the heart be not sincere, words and deeds, however
good, are all mere outward show and can avail nothing. If only the heart be
sincere, anything can be accomplished. Moreover these five articles are the
“Grand Way” of Heaven and earth and the universal law of humanity, easy to
instruction, will observe and practice these principles and fulfil your duty of
grateful service to the country, it will be a source of joy, not to Ourself alone, but