Anda di halaman 1dari 75

TUGAS SEJARAH

ORGANISASI MILITER
JEPANG

DI SUSUN

OLEH :

Xl MIPA 3

SMA NEGERI 19 MAKASSAR

KOTA MAKASSAR

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Kepada-Nya


kita memuji dan bersyukur, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya
pula kita memohon perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu
menghembuskan kebatilan. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
Alloh Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorang pun dapat menyesatkannya dan
barangsiapa disesatkan oleh-Nya maka tak seorang pun dapat member petunjuk
kepadanya. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu‘alaihiwasallam, keluarga, sahabat, juga pada orang-orang
yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya. Dengan rahmat dan pertolongan-
Nya Alhamdulillah makalah yang berjudul  organisasi militer jepang ini dapat
diselesaikan dengan baik. Banyak sekali kekurangan  kami sebagai penyusun
makalah ini, baik menyangkut isi atau yang lainnya. Mudah-mudahan semua itu
dapat menjadikan cambuk bagi kami agar lebih meningkatkan kualitas makalah
ini di masa yang akan datang.

Makassar, Maret 2021


Penulis,

Xl MIPA 3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................5
1. 2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1. 3 Tujuan Penelitian...........................................................................................6
1. 4 Manfaat Penelitian.........................................................................................6
1. 5 Kerangka Teori..............................................................................................6
1. 6 Hipotesis.......................................................................................................10
1. 7 Metode Penelitian.........................................................................................10
1.7. 1 Definisi Konseptual....................................................................................10
1.7. 2 Definisi Operasional...................................................................................13
1.7. 3 Tipe Penelitian...........................................................................................14
1.7. 4 Jangkauan Penelitian.................................................................................15
1.7. 5 Teknik Pengumpulan Data........................................................................16
1.7. 6 Teknik Analisis Data.................................................................................16
1.7. 7 Sistematika Penulisan................................................................................16

BAB II ORGANISASI MILITER JEPANG PADA MASA PERANG


DUNIA II..............................................................................................................18
2.1 Profil Militer Jepang Pada Masa Perang Dunia II..........................................19
2.1.1 Struktur Organisasi Militer Jepang Pada Masa Perang Dunia II.................19
2.1. 1.1 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang........................................................20
2.1. 1.2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang..........................................................21
2.1.2 Garis Komando Militer Jepang di Indonesia Tahun 1942-1945..................26
2.2 Kebijakan Militer Jepang di Indonesia Tahun 1942-1945..............................28

2.3 Kasus-Kasus dan Penyebaran Jugun Ianfu di Indonesia................................30


2.3.1 Kasus-Kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang...........................................................................................................30
2.3.2 Penyebaran Jugun Ianfu di Indonesia..........................................................33
2.4 Kesimpulan.....................................................................................................37

BAB III ANALISIS FAKTOR PENYEBAB MILITER JEPANG


MELAKUKAN KEJAHATAN PERANG BERUPA PERBUDAKAN
SEKSUAL (JUGUN IANFU) DI INDONESIA TAHUN 1942 – 1945............38
3.1 Doktrin Militer Jepang “Imperial Rescripted Armed Forces”........................39
3.2 Kedudukan Kaisar dalam Militer Jepang yang Mendorong
Pembentukan Sistem Jugun Ianfu...................................................................45
3.3 Sistem Jugun Ianfu yang diterapkan Militer Jepang di Indonesia..................50
1) Proses Perekrutan......................................................................................56
2) Proses Pengangkutan.................................................................................57
3) Proses Penempatan di Ian-jo.....................................................................57
3.4 Kesimpulan.....................................................................................................58

BAB IV PENTUP.................................................................................................59
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................59
4.2 Saran...............................................................................................................61

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................62
LAMPIRAN..........................................................................................................68
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Dunia II yang terjadi tahun 1939 – 1945, diawali karena adanya
invasi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler ke Danzig, Polandia pada tanggal
1 September 1939. Invasi yang dilakukan Jerman ini mendorong negara-negara
1
fasis lainnya untuk melakukan serangan dan pendudukan ke negara-negara Eropa
dan Asia Pasifik. Jepang sebagai salah satu negara fasis, berusaha untuk
menguasai wilayah Asia Pasifik, terutama China, Korea, dan negara-negara Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Invasi yang dilakukan oleh Jepang sebenarnya
telah dimulai sejak tanggal 18 September 1931 di wilayah Manchuria. Namun,
invasi besar-besaran Jepang baru terjadi tanggal 7 Juli 1937 ketika Jepang
menyerang China dan menjadi awal Perang Dunia II di Asia Pasifik (US
Holocaust, 2005).
Jepang pertama kali mendarat di Indonesia tahun 1942, diawali pada bulan
Januari 1942, Jepang mendarat di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Kemudian dilanjutkan tanggal 1 Maret 1942, Jepang secara resmi mendarat di
Teluk Banten di bawah kepemimpinan Panglima Tertinggi Letjen Immamura
Hitsoji (Koshiro, 2001). Masa pendudukan Jepang di Indonesia relatif singkat (1
Maret 1942 – Agustus 1945), tetapi meninggalkan penderitaan, kemiskinan, dan
trauma bagi masyarakat Indonesia. Adanya sistem kerja paksa (romusha),
mekanisme sistem militeristik (PETA, Keibondan, Seinendan, Fujinkai, Jibakutai,
2
Heiho, dan Gakutokai) yang merekrut orang-orang Indonesia untuk melawan

sekutu demi kepentingan Jepang, dan adanya sistem comfort women (jugun ian-
fu) membuat pendudukan Jepang sangat kejam. Disamping itu, Jepang juga
melakukan berbagai kejahatan perang, seperti pembunuhan masal warga sipil,
pengrusakan pemukiman sipil, perbudakan dan pemerkosaan, penyiksaan, dan
sebagainya. (Komnas HAM, 2010)
Kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, salah satunya adalah
perbudakan seksual yang dilakukan oleh militer Jepang selama masa perang tahun

5
1930-1940an di wilayah Asia Pasifik, termasuk di Indonesia. Wanita-wanita
korban mass rape ini disebut sebagai “comfort women” atau dalam bahasa
Jepangnya, “jugun ian-fu”. Sebanyak 200 sampai 400 ribu wanita Asia berusia 13
– 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. 200.000 diantaranya
berasal dari Cina, Taiwan, Filipina, Singapura, Myanmar, Indonesia, Malaysia,
Korea, dan Belanda. Jumlah tersebut termasuk 10.000 – 15.000 wanita Indonesia
yang dijadikan jugun ian-fu bagi tentara Jepang. Berdasarkan dokumen Violence
Against Women in War Network Jepang 2000, persebaran jugun ian-fu di
Indonesia berada di wilayah-wilayah yang dijadikan markas pertahanan militer
Jepang, seperti Papua, Halmahera, Ambon, Timor Leste, Menado, Sumba, Ujung
Pandang, Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Blitar, Palembang, Padang, Medan, dan Aceh (Komnas
HAM, 2010).
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, paska Amerika Serikat
menjatuhkan bom atom di wilayah Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9
Agustus 1945. Kemudian, sekutu membentuk sebuah peradilan untuk mengadili
kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, yang disebut International Military
Tribunal for Far East (IMTFE) pada 3 Mei 1946 – 4 November 1946 (Aksular,
2010). Pengadilan IMTFE ini didasari oleh Tokyo Charter tertanggal 19 Januari
1946 dan diamandemen 26 April 1946 yang memuat perturan Den Haag 1907.
Peraturan Den Haag terdiri dari 2 bagian, bagian pertama berisi tiga deklarasi

yang ditandatangani pada 29 Juli 1899 dan bagian kedua berisi 13 konvensi yang
ditandatangani tahun 1907 (Janga, 2002). Ketika Jepang diadili dalam Pengadilan
Tokyo 1946, Jepang dituntut atas 3 kategori kejahatan, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada pengadilan ini, sebanyak 28 tokoh utama terdakwa kejahatan perang
Jepang diadili, yaitu Jendral Doihara Kenji (Kepala Staf AU), Baron Hirota Koki
(Menlu), Itagaki Seishiro (Menteri Perang), Jendral Keimura Heitaro (Komandan
Militer Jepang di Birma), Jendral Matsui Iwane (Komandan Militer Jepang di
China), Jendral Muto akira (Komandan Militer Jepang di Philipina), Jendral
Hideki Tojo (Komandan Militer Jepang di Kwantung), Menteri Araki Sadao
(Menteri Angkatan Perang), Kolonel Hashimoto Kingoro (Penghasut Perang),
Hatta Shunroku (Menteri Perang), Barn Hinamura Kiichiro (Perdana Menteri),

6
Hoshino Naoki (Kepala Sekretaris Kabinet Jepang), Marquis Kido Koichi
(Penjaga Surat-surat Rahasia Kekaisaran), Jendral Koiso Kuniaki (Gubernur
Korea), Jendral Minami Jiro (Komandan pasukan Kwantung), Laksamana Oka
Takasumi (Mentri AL), Jendral Oshima Hiroshi (Dubes Jepang untuk Jerman),
Jendral Sato Kenyro (Kepala Biro Umum Kemiliteran Jepang), Laksamana
Shimada Shigetaro (Mentri AL), Shiratoti Toshio (Dubes Jepang untuk Italia),
Jendral Suzuki Teiichi (Mentri Perencanaan Kabinet Jepang), Kaya Okinori
(Penyalur Opium ke China), Jendral Umezu Yoshijiro (Menteri Perang), Togo
Shigenori (Menlu), Shigemitsu Mamoru (Menlu), Matsuoka Yosuke, Nagano
Osami, dan Okawa Shumei. Kaisar Hirohito tidak termasuk dalam pihak terdakwa
dalam IMTFE karena hukum impunitas yang dimiliki oleh Kaisar sebagai simbol
negara, sehingga tidak dapat diadili dalam pengadilan apapun terhadap tindak
kejahatan (Hiariej, 2010). Namun, dalam IMTFE ini kasus perbudakan seksual
tidak menjadi salah satu perkara yang diadili secara khusus, melainkan
dimasukkan dalam kejahatan kemanusiaan.
Kejahatan perang Jepang berupa perbudakan seksual baru diadili secara
khusus dalam Tibunal Kejahatan Perang Internasional terhadap Perempuan
(Women’s International War Crimes Tribunal (WIWCT) on Japan’s Military Sex
Slavery) atau Tokyo Tribunal yang dilaksanakan pada tanggal 8-10 Desember

2000 di Tokyo. Pengadilan ini merupakan perpanjangan dari Pengadilan IMTFE.


Keputusan pengadilan ini dibacakan di Den Haag pada tanggal 4 Desember 2001.
Dalam pengadilan ini, terdapat 10 negara yang berpartisipasi yaitu Indonesia,
China, Timor Leste, Belanda, Korea Utara, Korea selatan, Malaysia, Finipina dan
Taiwan sebagai pihak penuntut dan Jepang sebagai pihak terdakwa. Pengadilan
Tokyo ini memiliki yurisdiksi hukum untuk mengadili kejahatan terhadap
kemanusiaan, berupa perbudakan seksual perkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain, pembudakan, penyiksaan, deportasi, penganiayaan, pembunuhan, dan
pemusnahan yang dilakukan militer Jepang. Yurisdiksi tersebut berdasarkan
Tokyo Tribunal Charter yang disusun oleh International Organizing Committee
(IOC). Dalam Pasal 6 Tokyo Charter menyebutkan: “Tindak kejahatan didalam
yurisdiksi Pengadilan ini tidak tunduk pada prinsip daluarsa”. Sehingga militer
pemimpin-pemimpin militer Jepang masih dapat diadili atas kejahatan perbudakan
seksual yang dilakukan di masa lampau (Komnas HAM, 2013).

7
Dalam Pengadilan Tokyo, terdapat 10 terdakwa pelaku kejahatan perang
Jepang yang merupakan otoritas-otoritas tertinggi di Jepang, diantaranya: Kaisar
Hirohito (kepala negara dan panglima tertinggi angkatan bersenjata Jepang),
Hideki Tojo, Rikichi Ando, Shunroku Hata, Seishiro Itagaki, Seizo Kobayashi,
Iwane Matsui, Hisauchi Terauchi, Yoshijiro Umezu, dan Tomoyuki Yamashita.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, para hakim dalam Pengadilan Tokyo
memutuskan bahwa Kaisar Hirohito sebagai pemimpin tertinggi Jepang dan orang
yang mengetahui dan mengizinkan adanya praktek sistem perbudakan seksual
selama perang Asia Pasifik terkenai tanggung jawab pidana, begitupun dengan
para pejabat tinggi militer Jepang yang menjalankan sistem perbudakan seksual
tersebut. Perintah yang diberikan oleh pemimpin-pemimpin militer Jepang ini
menjadi salah satu penyebab kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang,
terutama perbudakan seksual (jugun ian-fu) di Indonesia. (Komnas HAM, 2013)
Sistem jugun ian-fu sendiri merupakan mandat dari Kaisar Hirohito yang
mengetaui kebutuhan seksual dari para tentaranya. Mandat ini dibuktikan dengan
adanya penemuan dokumen-dokumen pemerintah Jepang, sedikitnya 127 dari 131
dokumen mengenai pembangunan ian-jo dan pengelolaan jugun ian-fu. Ada

empat dokumen yang menyebutkan keterlibatan militer Jepang dalam praktik


jugun ian-fu di Indonesia. Hideki Tojo sebagai pelaksana kebijakan perang
Jepang, meneruskan mandat dari Kaisar Hirohito dan memerintahkan
pembangunan comfort system dan comfort station untuk menyediakan jugun ian-
fu di setiap negara pendudukan Jepang (Savitri, 2010). Sistem comfort women ini
telah terorganisir dan melibatkan militer Jepang secara langsung, mulai dari
struktur tertinggi militer hingga tentara yang ditugaskan di medan peperangan.
Ada beberapa penelitian terkait kasus perbudakan seksual (Jugun Ianfu)
yang dilakukan oleh tentara Jepang, diantaranya penelitian milik Dimar Kartika
Listyanti (2008) dari Jurusan Studi Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia dengan judul “Jugun Ianfu, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia
(1942-1945): Sebuah Analisis Berperspektif Gender”, dan penelitian milik Anna
Mariana (2011), dari Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada dengan
judul “Sejarah Perbudakan Seksual pada masa Facisme Jepang dan neo Facisme
Orde Baru di Indonesia : Sebuah Perbandingan”. Namun, kedua penelitian
tersebut dan beberapa tulisannya lainnya yang terkait dengan Kasus Jugun Ianfu

8
Jepang hanya berfokus pada sisi sejarah, bentuk kejahatan, korban, atau proses
pengadilannya. Belum ada penelitian yang menyinggung studi kasus Jugun Ianfu
dari sisi penyebab terjadinya kejahatan tersebut, terutama ditinjau dari segi teori
Hubungan Internasional yang menganalisis organisasi militer Jepang. Oleh karena
itu, penulis mengangkat judul penelitian “Militer dalam Kejahatan Perang Jepang
terhadap Indonesia Tahun 1942-1945, Studi Kasus: Perbudakan Seksual Wanita
Indonesia” untuk melengkapi penelitian dan tulisan yang sudah ada sebelumnya
dengan tema yang sama.

1. 2 Rumusan Masalah
Mengapa Militer Jepang melakukan kejahatan perang terhadap Indonesia berupa
perbudakan seksual yang terorganisir (Jugun Ian-Fu) pada masa Perang Dunia II
tahun 1942-1945?

1. 3 Tujuan Penelitian
1.3. 1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor penyebab kejahatan perang yang dilakukan oleh
organisasi militer Jepang pada masa Perang Dunia II tahun 1942-1945 terhadap
Indonesia, khususnya kasus perbudakan seksual yang terorganisasi (jugun ian-fu)
wanita Indonesia.
1.3. 2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui dan memahami bentuk kejahatan perang yang dilakukan oleh
militer Jepang di Indonesia, khususnya kejahatan perbudakan seksual (jugun
ian-fu).
2) Mengetahui profil, struktur, dan budaya organisasi militer Jepang, khususnya
pada masa Perang Dunia II di Indonesia tahun 1942 - 1945.
3) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab militer Jepang
melakukan kejahatan perang berupa perbudakan seksual dari segi budaya
organisasinya dalam perang.
1. 4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat:
1) Manfaat akademis, yaitu penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan terhadap studi hubungan internasional, serta dapat melengkapi
kajian-kajian historis yang sudah ada sebelumnya terkait kejahatan perang

9
yang dilakukan oleh Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II,
khususnya kejahatan perbudakan seksual yang terorganisasi (jugun ian-fu).
2) Manfaat praktis, yaitu diharapkan penelitian ini dapat membantu masyarakat
untuk memahami budaya organisasi militer yang dapat mendorong terjadinya
kejahatan perang.

1. 5 Kerangka Teori
1.5.1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah sebuah perspektif hubungan internasional yang
berfokus pada kesadaran manusia dalam urusan dunia. Kaum konstruktivis

menolak untuk berfokus pada aspek materialis, seperti kekuatan militer,


kemampuan ekonomi, keseimbangan kekuatan antar negara, dan sebagainya.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa aspek hubungan internasional yang paling
penting bukanlah aspek material, melainkan aspek sosial. Dunia sosial dan politik,
termasuk hubungan internasional, bukanlah entitas fisik atau material, melainkan
sebuah pemikiran dan ide yang dibagun oleh kesadaran intersubyektif atau
pemahaman umum yang dikonstruksikan oleh orang-orang. Jika pemikiran atau
ide yang masuk dalam hubungan intenasional berubah, maka sistem internasional
yang dibagun tersebut juga akan berubah (Rosyidin, 2015: 5).
Pakar-pakar konstruktivis menekankan pada pentingnya lingkungan
internasional dalam membentuk identitas negara, tetapi di sisi lain norma-norma
domestik juga turut berperan membentuk identitas negara maupun individu. Peter
J. Katzenstein dalam bukunya yang berjudul “Cultural Norms and National
Security: Police and Military in Postwar Japan”, juga menjelaskan argumen
konstruktivis tentang peran norma domestik yang mempengaruhi pembentukan
pemahaman keamanan nasional bagi Jepang. Penekanan dalam analisis
Katzenstein terletak pada struktur normatif domestik dan pengaruhnya terhadap
pembentukan identitas, kepentingan, dan kebijakan negara. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa identitas suatu negara adalah hasil dari proses konstruksi
sosial. Hal ini bertolak belakang dari pendapat realis yang menyatakan identitas
negara adalah given. Faktor identitas ini dapat membentuk perilaku negara dalam
merumuskan kepentingan nasional dan kebijakan luar negerinya (Jackson &
Sorensen, 2014: 171).

1
0
Dalam persperktif Ilmu Hubungan Internasional, kebijakan luar negeri
sebuah negara dapat berbentuk perang atau konflik bersenjata. Dalam situasi
konflik bersenjata, negara sering kali melakukan tindak kejahatan dan
pelanggaran terhadap norma internasional yang berlaku. Tindak kejahatan yang
dilakukan bukan semata-mata karena tindakan yang tidak disengaja atau tindakan
penyimpangan yang dilakukan oleh personil militer. Kejahatan perang merupakan
pelanggaran hukum yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai tujuan tertentu
(motif-motif politis). Berdasarkan Statuta Roma Pasal 30 ayat (1) point (b), aktor

dikatakan sengaja melakukan kejahatan perang apabila “Sehubungan dengan


akibat (yang ditimbulkan), seseorang bermaksud menyebabkan akibat itu atau
sadar bahwa akibat itu akan terjadi dalam peristiwa yang sebenarnya”, sehingga
aktor tersebut sadar bahwa tindakan yang dilakukan termasuk dalam tindak
kejahatan perang. Selain itu, suatu tindakan dapat dikatakan kejahatan perang
apabila ada struktur yang mengkondisikannya, seperti ideologi, keyakinan,
seperangkat pemikiran, atau doktrin yang dilegitimasi oleh pemegang kekuasaan
yang membuka peluang bagi pelanggaran hukum perang (Rosyidin, 2017: 18-21).
Perspektif konstruktivisme dalam melihat motif politik kejahatan perang
yang dilakukan oleh negara memiliki asumsi bahwa tindakan aktor dilandasi oleh
konstruksi aktor tersebut terhadap realitas sosial. Konstruksi aktor ini akan
membentuk suatu identitas sosial yang memberikan batasan “siapa aku/kami” dan
“siapa kamu/mereka”. Batas-batas sosial ini bukan semata-mata muncul dari
perbedaan fisik, melainkan dari pemaknaan yang tercipta melalui proses sosial.
Identitas sosial ini muncul karena adanya keberadaan pihak lain (significant
others) yang membantu aktor untuk memaknai siapa dirinya. Proses ini terjadi
secara terus menerus, sehingga menciptakan “institusionalisasi identitas” yang
relatif tidak mudah berubah (Rosyidin, 2017: 39-40).
Kejahatan perang adalah bagian dari konflik antar identitas yang berbeda.
Identitas inilah yang menjadi dasar pembenaran aktor melakukan kejahatan
perang terhadap pihak lain yang dikategorikan sebagai musuh atau „out group‟,
karena semua orang baik kombatan maupun non-kombatan yang memiliki
identitas berbeda adalah musuh yang harus dilenyapkan dalam perang, sehingga
hukum perang sering tidak berlaku dalam konflik identitas. Cara pandang konflik
identitas adalah hitam-putih. Pihak yang lebih kuat merasa paling benar dan apa

1
1
yang dilakukannya (pembunuhan, pembantaian, penyiksaan, d.l.l) adalah sebuah
tindakan yang dapat dibenarkan (Rosyidin, 2017: 41).
Konstruktivisme juga menekankan pada pentingnya faktor budaya serta
norma domestik sebagai variabel untuk menjelaskan kejahatan perang. Perang
dilakukan oleh personil militer atau milisi bersenjata, sehingga untuk memahami
motivasi aktor dalam melakukan aksi-aksi pelanggaran terhadap hukum perang

1
2
perlu dianalisis „budaya organisasi‟ yang mereka anut. Budaya organisasi
(organizational culture) adalah seperangkat asumsi, nilai, norma, keyakinan, dan
pengetahuan formal yang bersifat mendasar yang membentuk pemahaman
kolektif (Kier, 1995: 69-70). Budaya organisasi sama seperti ideologi yang
mempengaruhi pemikiran, keyakinan, dan tindakan individu yang termasuk di
dalamnya. Dalam sebuah organisasi militer, budaya organisasi ini dapat berupa
doktrin militer yang membentuk kepatuhan para personil militer terhadap tujuan
perang negaranya dan komando militer dari atasannya, sehingga mereka
cenderung mengabaikan hukum humaniter internasional. Budaya organisasi ini
dapat terbentuk dari ideologi, nilai dan norma, keyakinan, dan pengetahuan formal
yang berasal dari eksternal maupun internal organisasi yang mempengaruhi
pembentukan kebijakan dan pedoman di dalam tubuh militer (Rosyidin, 2017:
43).
Jeffrey W. Legro juga mendefinisikan budaya militer sebagai “beliefs and
norms about the optimal means to fight war”. Budaya militer merupakan hal yang
penting karena budaya ini memiliki dampak yang yang besar terhadap keputusan
dan tindakan, baik militer maupun negara. Pendekatan budaya menekankan pada
perbedaan kepercayaan atau norma dalam militer, yang dapat mendorong pada
tindakan yang berbeda dalam perang (Legro, 1994: 109)
Budaya organisasi yang berupa pola asumsi, gagasan/ide, dan keyakinan
dapat menentukan bagaimana sebuah kelompok harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan eksternal dan mengelola struktur internalnya. Budaya organisasi
dipengaruhi oleh individu yang menjalankan organisasi tersebut. Pengaruh
individu ini dapat berupa fenomena kolektif yaitu mayoritas kepercayaan yang
dimiliki individu-individu dalam organisasi tersebut, atau sebaliknya budaya
dominan dalam organisasi yang mempengaruhi sikap individu, misalnya tindakan
anggota militer yang dipengaruhi oleh budaya organisasi militernya. Budaya
organisasi akan mendorong militer untuk membentuk standarnya sendiri dalam
berperang. Standar inilah yang membentuk pola tindakan anggota militer yang
cenderung mengabaikan aturan hukum tertentu yang tidak sesuai dengan budaya
organisasinya. (Legro, 1994: 110-111)
Berikut ini merupakan bagan untuk mempermudah pemahaman mengenai
kerangka berfikir dari teori konstruktivisme (organizational culture) dalam
melihat kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Jepang untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian ini.

Organizational culture
(Doktrin Militer)
Militer Kejahatan Perang
(perbudakan
Jepang
Kedudukan Kaisar seksual)
Jepang

1. 6 Hipotesis
Kejahatan perang berupa perbudakan seksual (jugun ian-fu) yang
dilakukan oleh militer Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II merupakan
suatu tindakan kejahatan karena melanggar hukum humaniter internasional yang
disengaja untuk mencapai motif atau tujuan politik negara Jepang dalam konflik
bersenjata. Tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh personil militer
Jepang ini dipengarui oleh budaya organisasi atau doktrin militer yang dianut oleh
militer Jepang. Budaya organisasi (doktrin militer) tersebut dapat bersumber dari:
perintah Kaisar Jepang adalah mutlak untuk dilaksanakan, doktrin militer yang
menuntut kepatuhan bawahan terhadap perintah dari atasan meskipun
bertentangan dengan hukum internasional (hierarki dalam militer), dan militer
Jepang memiliki keyakinannya sendiri yang menjadi pegangan dalam bertindak
ketika perang, sekaligus menjadi tujuan perang.

1. 7 Metode Penelitian
1.7. 1 Definisi Konseptual
1.7.1. 1 Militer
Secara harfiah militer berasal dari kata “Miles” yaitu seorang yang
dipersenjatai dan dipersiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau
peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara (Knter &

10
Sianturi, 2002: 7). Sedangkan menurut Moch. Faisal Salam, militer adalah orang
yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan
untuk menghadapi musuh. Militer memiliki ciri-ciri: mempunyai organisasi
teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, dan mentaati hukum yang berlaku
dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu
bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Salam, 2006: 4)
Syarif Amiroedin dalam bukunya Hukum Disiplin Militer Indonesia juga
mendefinisikan militer sebagai orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk
bertempur yang harus tunduk pada norma-norma atau kaidah-kaidah khusus dan
tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan
ketat (Syarif, 1991: 3).
1.7.1. 2 Kejahatan Perang
Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya tidak baik, sangat
buruk, sangat jelek, yang berhubungan dengan tabiat dan kelakuan seseorang.
Menurut Widiyanti dan Waskita dalam bukunya yang berjudul Kejahatan dalam
Masyarakat dan Pencegahannya, “Kejahatan adalah perbuatan manusia yang
melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum”.
Tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah
hukum, dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah
ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang
bersangkutan bertempat tinggal (Widiyanti & Waskita, 1987: 24-29).

Quincy Wright dalam bukunya “A Study of War” mendefinisikan perang


sebagai suatu keadaan hukum yang secara seimbang memperbolehkan dua
kelompok atau lebih yang saling bermusuhan melakukan suatu konflik dengan
didukung oleh kekuatan senjata. War will be considered the legal condition which
equality permits two or more hostile groups to carry out a conflict by armed force
(Wright, 1951: 30-33).
Kejahatan perang adalah perbuatan manusia yang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah hukum yang ditetapkan dalam kondisi dua kelompok
atau lebih yang saling bermusuhan melakukan konflik dengan kekuatan senjata.

11
Kejahatan Perang berdasarkan Pasal 8 Ayat 2 Point (b) Statuta Roma 1998
adalah pelanggaran berat yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa 12 Agustus
3
1949 , yaitu perbuatan melawan hak atau kepemilikan seseorang berupa
pelanggaran hukum serius atau kebiasaan yang dilakukan dalam konflik
bersenjata internasional, yang meliputi:
1) Penyerangan terhadap penduduk sipil yang menimbulkan korban jiwa,
penyiksaan warga sipil, dan pengrusakan tempat-tempat sipil yang bukan
sasaran militer.
2) Menyiksa, melukai, atau membunuh kombatan yang sudah menyerah.
3) Menggunakan racun, senjata beracun, atau nuklir.
4) Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau
bentuk-bentuk kejahatan seksual lainnya.
5) Mempekerjakan anak-anak dibawah umur.
6) Pengrusakan atau pengahancuran fasilitas ibadah, sosial, kesehatan,
transportasi umum, peninggalan sejarah, dan fasilitas sipil lainnya secara
sengaja. (ICC, 1998)

1.7.1. 3 Perbudakan Seksual


Perbudakan berdasarkan Konvensi Perbudakan Liga Bangsa-Bangsa
tanggal 25 September 1926 adalah kondisi atau status dimana seseorang berada
diatas orang lain atau memiliki kekuasaan berupa hak kepemilikan yang
disematkan kepada orang lain. “The status or condition of a person over whom
any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”
(OHCHR, 2002).
Seksual berasal sari kata seks atau jenis kelamin, yaitu kata yang
membedakan antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil dari perpedaan
biologis, fisik, dan genetik. Seks bersifat pasti dan alamiah. “Sex marks the
distinction between women and men as a result of their biological, physical and
genetic differences” (Esplen & Jolly, 2006)

3
Konvensi Jenewa Tahun 1949 menganut asas retroaktif dalam beberapa kasus kejahatan berupa
kejahatan HAM berat yang diadili melalui: 1) International Military Tribunal Nuremberg (IMTN)
1946, International Military Tribunal For Far East (IMTFE) 1946, International Criminal Tribunal
for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tibunal for Rwanda (ICTR).
Perbudakan Seksual adalah kondisi dimana seseorang memiliki kekuasaan
berupa hak kepemilikan terhadap orang lain berdasarkan jenis kelamin tertentu
untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Perbudakan Seksual termasuk dalam salah satu bentuk kekerasan seksual
terhadap perempuan. Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan Pasal 1, “kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk anacaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan
kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupu
dalam kehidupan pribadi”. Sedangkan definisi perbudakan seksual adalah sebuah
tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak
kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan
atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup
kondisi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa untuk menikah,
melakukan pekerjaan rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, yang
kemudian melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk pemerkosaan oleh
penyekapnya.

1.7. 2 Definisi Operasional


1.7. 2.1 Militer
Militer adalah sekumpulan orang yang tergabung dalam suatu organisasi
yang dipersenjatai dan dilatih serta dipersiapkan untuk melakukan pertempuran-
pertempuran atau peperangan guna menjaga keamanan dan pertahanan negara
yang tunduk dan patuh pada kaidah hukum atau norma-norma khusus.
Secara spesifik, militer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pasukan bersenjata negara Jepang pada masa Perang Dunia II yang terdiri dari
Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang
tunduk pada aturan-aturan dan mandat yang diberikan Kaisar Jepang.
1.7. 2.2 Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah tindakan aktor (militer negara) yang melanggar
atau bertentangan dengan kaidah hukum humaniter internasional yang berlaku
dalam kondisi dua aktor atau lebih yang saling bermusuhan atau berkonflik
dengan kekuatan militer, berupa penyerangan, penyiksaan, dan pembunuhan
warga sipil, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau
bentuk-bentuk kejahatan seksual lainnya, dan pengrusakan tempat-tempat sipil
yang bukan sasaran militer.
Secara spesifik, kejahatan perang yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Jepang di Indonesia berupa
perbudakan seksual, pemerkosaan, penculikan, pemaksaan, dan pembunuhan
wanita-wanita Indonesia yang dijadikan comfort women atau jugun ian-fu bagi
tentara-tentara Jepang, yang terorganisir melalui comfort system dan comfort
station (ian-jo).

1.7. 2.3 Perbudakan Seksual


Perbudakan Seksual adalah kondisi dimana seseorang atau kelompok
memiliki kekuasaan berupa hak kepemilikan terhadap orang atau kelompok lain,
khususnya perempuan yang dijadikan budak untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Secara spesifik, perbudakan seksual yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah perempuan-perempuan Indonesia yang berasal dari berbagai daerah yang
dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual tentara-tentara Jepang di masa
penjajahan. Perempuan-perempuan ini disebut sebagai Jugun Ian-fu oleh
pemerintah Jepang.

1.7. 3 Tipe Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan adalah historis. Menurut Christopher
Maggs penelitian historis adalah penelitian dimana penulis berusaha untuk melihat
banyaknya peristiwa, fakta, tindakan, dan mencoba untuk merekonstruksi tidak
hanya apa yang terjadi, tetapi juga mengapa semua itu terjadi atau mengapa
seseorang melakukan tindakan dengan cara dan dengan bentuk seperti itu.
Penelitian histris memberikan kedalaman (the depth) dan keluasan (the breadth)
mengenai apa yang mungkin terjadi sebelumnya, sehingga memungkinkan
peneliti untuk melihat topik penelitiannya dalam kerangka kontekstual. Ada 5
metode pengumpulan data historis, yaitu data arsip, sumber sekunder (buku,
jurnal, atau karya dari sejarawan lain), catatan berjalan, catatan kenangan, dan
metode wawancara (Bakry, 2016: 11).
Penulis mengambil tipe penelitian ini karena sesuai dengan topik
penelitian yang diambil yaitu “Militer dalam Kejahatan Perang Jepang terhadap
Indonesia Tahun 1942-1945: Studi Kasus Jugun Ianfu” yang merupakan peristiwa
sejarah yang telah terjadi di masa lalu. Sehingga data-data pendukungnya juga
berasal dari dokumen dan arsip-arsip sejarah.

1.7. 4 Jangkauan Penelitian


Penelitian ini dibatasi dalam beberapa aspek, yaitu:
a. Fokus utama penelitian yaitu Militer Jepang karena merupakan subyek yang
melakukan perang, sekaligus pelaku kejahatan perang. Selain itu, dalam
penelitian-penelitian terkait jugun ian-fu, militer belum pernah dijadikan
subyek penelitian.
b. Indonesia, karena merupakan salah satu negara pendudukan Jepang yang
memiliki jumlah korban perbudakan seksual terbesar setelah China dan
Korea, serta memiliki kamp-kamp penyedia budak seksual yang tersebar di
20 daerah.
c. Jangka waktu tahun 1942-1945, karena merupakan jangka waktu dari mulai
masuknya militer Jepang ke Indonesia (1 Maret 1942), hingga peristiwa
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu (16 Agustus 1945) yang
mendorong kemerdekaan Indonesia. Tahun 1942-1945 juga merupakan
tahun-tahun dimana militer Jepang melakukan kontrol penuh terhadap
Indonesia dan melakukan berbagai kejahatan perang, termasuk perbudakan
seksual.
d. Perbudakan seksual, karena merupakan bentuk kejahatan perang Jepang
yang masih diproses di pengadilan internasional hingga sekarang, karena
tidak termasuk dalam kejahatan yang diadili dalam Pengadilan Tokyo 1946
dan merupakan bentuk kejahatan yang diorganisir oleh militer Jepang.

1.7. 5 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan metode Studi Kepustakaan (Library Search),
yaitu metode penelitian dimana data-data yang digunakan bersumber dari berbagai
kepustakaan, buku-buku, karangan ilmiah, surat kabar, majalah serta media
elektronik, seperti internet yang mendukung dan relevan dengan permasalahan
yang dibahas (Bakry, 2016: 15).

1.7. 6 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain yang disampaikan dalam bentuk deskripsi
menggunakan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2011: 6).
Sedangkan metode penulisan dalam teknik kualitatif yang digunakan
penulis adalah metode eksplanatif. Penelitian eksplanatif merupakan penelitian
yang bertujuan untuk menjelaskan dan menguji hipotesis dari variabel-variabel
penelitian. Fokus dari penelitian ekspanatif adalah analisis hubungan antar
variabel (Singarimbun, 1981: 17). Variabel independent dalam penelitian ini
adalah militer Jepang, sedangkan varibel dependent dalam penelitian ini adalah
kejahatan perang Jepang berupa perbudakan seksual.

1.7. 7 Sistematika Penulisan


Penelitian terbagi dalam empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
a. Bab I adalah bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, hipotesis, dan
metode penelitian yang terdiri dari definisi konseptual, operasionalisasi
konsep, desain/tipe penelitian, jangkauan penelitian, teknik pengumpulan
data, teknik analisis data, dan sistematika penulisan.
b. Bab II merupakan deskripsi profil militer Jepang pada masa perang Dunia II,
khususnya pasukan pertahanan militer Jepang di Indonesia dan kebijakan
militer Jepang berupa perbudakan seksual (jugun ianfu).
c. Bab III merupakan analisis faktor-faktor penyebab militer Jepang melakukan
kejahatan perang berupa perbudakan seksual wanita di Indonesia, ditinjau
dari teori organizational culture – konstruktivisme.
d. Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian.

17
BAB II
ORGANISASI MILITER JEPANG PADA MASA PERANG DUNIA II

Militer merupakan alat utama negara dalam menjaga keamanan dan


pertahanan negara, terlebih dalam kondisi perang. Peran militer Jepang sebagai
sebuah organisasi sangat berpengaruh dalam setiap kebijakan perang yang diambil
oleh pemerintah Jepang. Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang militer
Jepang sebagai sebuah organisasi yang menjalankan kebijakan perang Jepang
pada masa Perang Dunia II tahun 1942-1945 dan kebijakan-kebijakan yang
diambil militer Jepang, khusunya kebijakan jugun ianfu.
Secara sederhana, bab ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berisi
profil militer Jepang pada masa PD II, yang terdiri dari struktur organisasi militer
Jepang dan garis komando militer Jepang di Indonesia. Bagian kedua berisi
kebijakan-kebijakan militer Jepang di Indonesia Tahun 1942-1945. Bagian ketiga
berisi kasus-kasus penyebaran jugun-ianfu di Indonesia sebagai salah satu bentuk
kebijakan militer Jepang di Indonesia. Bagian keempat berisi kesimpulan dari
penjelasan bab ini.

2.1 Profil Militer Jepang Pada Masa Perang Dunia II


Terbentuknya rezim militer Jepang di kawasan selatan (nanyo-southern
area), termasuk negara–negara Asia Tenggara, ditentukan berdasarkan
Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kekaisaran dan Kabinet Jepang
melalui politik tingkat tinggi di Tokyo yang diadakan pada tanggal 20 November
1941. Bentuk pemerintahan militer dipilih dengan tujuan untuk mempercepat
pendudukan daerah selatan beserta penguasaan sumber daya vital bagi pertahanan
nasional Jepang, memulihkan keamanan, dan menjamin swasembada ekonomi
bagi militer Jepang. untuk menjalankan roda pemerintahan, organisasi
pemerintahan yang sudah ada sebelumnya harus dimanfaatkan di bawah kontrol
militer Jepang. Terbentuknya rezim militer Jepang yang kuat merupakan kunci
utama keberhasilan pendudukan Jepang di daerah-daerah Asia Timur dan Asia
Tenggara (Kemendikbud, 2011).
18
2.1.1 Struktur Organisasi Militer Jepang Pada Masa Perang
Dunia II
Setiap negara di dunia memiliki unit angkatan bersenjata yang digunakan
sebagai alat untuk melindungi negara dari serangan musuh atau situasi perang.
Menurut Amiroeddin Syarif, militer adalah orang yang dididik, dilatih dan
dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang khusus, mereka harus tunduk tanpa perlawanan pada tata
kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan ketat.
Jepang sebagai sebuah negara berdaulat, juga memiliki organisasi militer yang
bertugas menjalankan fungsi pertahanan.
Sistem pemerintahan yang dianut Jepang pada masa Perang Dunia II
adalah sistem parlementer (Partai Tunggal) dengan Kaisar sebagai kepala negara
dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Tetapi karena bentuk negara
yang dianut Jepang adalah Kekaisaran, maka kekuasaan tertinggi berada di tangan
Kaisar Jepang. Kaisar Jepang memiliki kekuasaan tertinggi dalam Organisasi
Militer Jepang. Organisasi militer Jepang pada masa Perang Dunia II terdiri dari
dua unit, yaitu Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang. Kedua unit ini bergerak di bawah perintah Menteri Peperangan yang
bertanggung jawab langsung kepada Kaisar Jepang (Smethurst, 2012).

2.1. 1.1 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Dai-Nippon Teikoko


Rikugun)
Angkatan Darat Jepang didirikan pada tahun 1867-1945 yang berada di
bawah Staff Gabungan Angkatan Darat (Sanbo Honbu) dan Kementerian
Angkatan Darat (Rikugunsho) dengan panglima tertinggi adalah Kaisar Jepang.
Angkatan Darat Jepang bermarkas besar di pusat Markas Besar Kekaisaran
(Daihonei) yang di dalamnya juga terdapat Staf Wakil Gabungan Angkatan Darat
dan Staf Angkatan Laut, serta Menteri Peperangan dan Inspektur Jendral Militer.
Anggota Angkatan Darat Jepang terdiri dari laki-laki berusia antara 17 – 40 tahun
yang sebelumnya telah mengikuti program wajib militer (Jowett, 2002: 3).
Pada awalnya, ketika Angkatan Darat Kekaisaran Jepang didirikan
tahun 1867, yang menjadi anggotanya adalah pensiunan samurai dari wilayah
Satsuma dan Chosu yang setia pada Kaisar Meiji. Sehingga, setelah berdirinya
pemerintahan Meiji, untuk menjaga Jepang dari imperialism barat, maka orang-
19
orang mantan anggota samurai dan militer yang setia terhadap pemerintah
diberikan pelatihan militer dan dijadikan anggota Angkatan bersenjata negara
Jepang (Jowett, 2002: 4).
Pasukan Angkatan Darat Jepang menjadi 3 unit bagian yaitu infantri,
kavaleri dan artileri serta beberapa detasemen yang terpisah yang namanya
disesuaikan dengan nama komando yang ditugaskan dalam operasi-operasi
tertentu. Infantri merupakan kekuatan yang menjadi tulang punggung dan ujung
tombak Angkatan Darat Jepang dipertempuran. Unsur persenjataan menjadi titk
penting yang harus diperhatikan baik dalamhal senapan, bayonet, granat, pistol,
dan pelontar granat. Pada tahun 1930-an Jepang merupakan negara yang
organisasi infantrinya memiliki persenjataan terbaik. Akan tetapi, sejak tahun
1943 Jepang mengalami kemunduran dan tertinggal di belakang infantri sekutu
(Jowett, 2002: 13).
Selain infantri Angkatan Darat Kekaisaran Jepang juga memiliki
kavaleri meliputi tank-tank perang yang dioperasikan selama pertempuran. Dalam
pertempuran Asia-Pasifik. Dalam periode 1931-1938 Jepang memproduksi 1700
tank baru dan jumlahnya tidak bertambah secara signifikan ditahun-tahun

berikutnya karena prioritas pertama adalah memproduksi pesawat tempur sebagai


kekuatan udara. Selanjutnya, artileri kekaisaran Jepang yang dipakai Angkatan
Darat selama periode perang Pasifik tergolong cukup baik dan tidak terlalu
ketinggalan zaman. Artileri yang dilengkapi dengan berbagai kaliber yang
tergolong cukup banyak (Jowett, 2002: 14).

2.1. 1.2 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang


Angkatan Laut Jepang didirikan pada bulan Mei 1920. Angkatan laut
Jepang tidak hanya terdiri dari tentara angkatan laut, tetapi juga tentara yang
bertugas di udara. Tentara yang bertugas di udara harus mengikuti Program
Teknik Penerbangan (Hiko Jutsu Renshu Sei) untuk para perwira atau Program
Pelatihan Cadangan Penerbangan (Hiko Yoka Reshu Sei) untuk non-perwira
terlebih dahulu. Markas besar Angkatan Laut Jepang terletak di tepi Danau
Kasumigaura. Pada saat Perang Dunia II antara tahun 1941-1943, jumlah tentara
Angkatan Laut Jepang bertambah pesat untuk kebutuhan perang (Jowett, 2002:
19).
Salah satu unit Angakatan Laut Jepang yang terkenal adalah pasukan
20
Kamikaze, yaitu pasukan bunuh diri yang terdiri dari para penerbang handal.
Pasukan kamikaze terdiri dari orang-orang yang terlatih, kejam, berani di segala
medan perang, dan sangat loyal hingga rela mati demi negaranya. Tahun-tahun
modernisasi sebelumnya yaitu pada tanggal 4 Januari 1882 Kaisar Meiji bertitah
kepada prajurit dan pelaut perang Jepang yaitu “Tugas lebih berat daripada
gunung, sedangkan kematian lebih ringan daripada sehelai bulu”. Dalam titah
tersebut tercermin upaya negara Jepang dalam menanamkan nilai keprajuritan
terhadap setiap pasukannya. Titah tersebut menjadi dasar prilaku yang
menekankan kesetiaan mutlak, disiplin, keberanian, harga diri dan kesederhanaan
terhadap kaisar dalam mencapai kebangkitan dari masa lalu feodal menjadi negara
yang berjaya di dunia imperial. Berdasarkan tradisi Jepang seperti konfusionisme
dan nilai-nilai budaya samurai, titah seorang Kaisar menjadi inspirasi para prajurit
untuk melakukan tindakan-tindakan menakjubkan yang menunjukkan keberanian,
pengorbanan diri, dan kesetiaan pada tugas (Jowett, 2002: 20).

21
Pada bagan 2.1 adalah bagan organisasi militer Jepang pada masa PD II

Bagan 2.1. Struktur Organisasi Militer Jepang

Kaisar Hirohito

Perdana
Menteri
Menteri
Peperangan

Tentara Wilayah Tentara Wilayah Tentara Wilayah Tentara Wilayah


China Selatan dan Korea China Utara dan Asia Selatan
Taiwan Tengah

Tentara Tentara Ekspedisi


Tentara
Wilayah 21 Tentara Eksedisi Selatan
Wilayah 11
(Korea) China Tengah
(Taiwan)

Tentara Tentara Tentara Wilayah


Tentara
Ekspedisi China Ekspedisi 14 (Filipina)
Ekspedisi
Selatan Korea Shanghai
(Nanjing)
Tentara Wilayah
7 (Indonesia,
Tentara Tentara Singapura)
Kwantung Ekspedisi
(Chanchung) Manchuria
Tentara Wilayah
25 (Malaysia)

Sumber:
Kemendikbud, 2011

Setiap struktur tentara Jepang terdiri atas Angkatan Darat dan


Angkatan Laut. Tentara Wilayah China Selatan, Taiwan, Korea, China
Utaran, China Tengah, dan Asia Selatan masing-masing dipimpin oleh
Gubernur Jendral. Sedangkan unit-unit dibawahnya (Tentara Wilayah 11,
Tentara Ekspedisi China Selatan, Tentara Wilayah 21, Tentara Ekspedisi
Korea, tentara Ekspedisi Shanghai, Manchuria, China Tengah, Tentara
Ekspedisi Selatan, Tentara Wilayah 14, 7 dan 25) dipimpin oleh seorang
komandan (berpangkat Jendral), yang membawahi kepala staf dalam
unit-unit yang lebih kecil. Adapun nama-nama
22
pejabat tinggi dalam militer Jepang pada masa Perang Dunia II adalah sebagai
berikut:
1) Kaisar Hirohito adalah Kepala Negara Jepang dan Panglima Tertinggi
Angkatan Darat dan Laut Jepang. Kaisar memiliki kekuatan politik yang
bersifat independen, di atas kekuatan legislatif, yudikatif, dan
administratif yang dimiliki Pemerintah Jepang. Perdana Menteri,
Kementerian Perang, Kementerian Dalam Negeri, dan anggota kabinet
lainnya terikat oleh Konstitusi Meiji untuk memberikan nasihat kepada
Kaisar Hirohito mengenai hubungan politik domestik maupun
international serta operasi militer Jepang. Gubernur-Jenderal Taiwan dan
Korea juga langsung melapor kepadanya.
2) Rikichi Ando adalah Komandan Tentara Wilayah ke-21 dari Bulan
November 1938 sampai Bulan Februari 1940. Kemudian ia menjabat
sebagai Komandan wilayah China Selatan dari Bulan Februari sampai
Bulan Oktober 1940. Ando juga menjabat sebagai Komandan Taiwan
dari Bulan November 1941 sampai Bulan Februari 1945. Kemudian sejak
Desember 1944 sampai akhir masa perang, Ando menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Tentara Wilayah 11 yang menduduki Taiwan.
3) Shunroku Hata bertindak sebagai Komandan Tentara Wilayah 11 Taiwan
dari Bulan Agustus 1936 hingga Bulan Agustus 1937. Kemudian
menjabat sebagai Komandan Tentara Ekspedisi China Tengah pada tahun
1938. Pada Bulan Agustus 1939, Hata diangkat menjadi Menteri
Peperangan sampai Bulan Juli 1940. Lalu pada bulan Maret 1941, ia
ditunjuk sebagai Komandan Tentara Ekspedisi China Selatan hingga
bulan November 1944.
4) Seishiro Itagaki menjabat sebagai Menteri Peperangan dari Bulan Juni
1938 sampai Bulan Agustus 1939 dan bertanggung jawab langsung
kepada Kaisar Hirohito. Itagaki ditunjuk sebagai Kepala Staf Tentara
Ekspedisi China dari Bulan Agustus 1939 sampai Bulan Juli 1941. Ia
juga dipercaya sebagai Komandan Tentara Korea dari Bulan Juli 1941

sampai Bulan April 1945, sekaligus menjabat sebagai Komandan


Wilayah ke-7 yang ditempatkan di Indonesia.
5) Seizo Kobayashi adalah Gubernur-Jenderal Tentara Taiwan dari 1936

23
sampai 1940. Ia juga diberi amanah sebagai Menteri Kabinet sejak
Desember 1944 sampai Maret 1945. Kobayashi memiliki kewajiban
untuk melapor secara langsung kepada Kaisar.
6) Iwane Matsui menjabat sebagai Komandan Tentara Ekspedisi Shanghai
dan Tentara Wilayah China Tengah selama tujuh bulan dari tahun 1937
sampai tahun 1938.
7) Hisauchi Terauchi adalah Komandan wilayah China Utara sejak bulan
Agustus 1937 sampai bulan Desember 1938. Ia juga menjabat sebagai
Komandan Tentara Ekspedisi Selatan yang mencakup wilayah Filipina,
Indonesia, Malaysia, Timor, dan Burma sejak bulan November 1941
hingga akhir masa perang tahun 1946. Sebelumnya, Terauchi pernah
menjabat sebagai Menteri Peperangan dari bulan Maret 1936 sampai
bulan Februari 1937.
8) Hideki Tojo adalah Kepala Staf Tentara Kwantung (Guangdong) pada
1937, yang kemudian unit Tentara ini dibubarkan pada tahun 1939.
Kemudian pada bulan Mei 1938, ia diangkat menjadi Wakil Menteri
Peperangan. Lalu pada bulan Oktober 1941 sampai bulan Juli 1944, Tojo
dipercaya menjadi Perdana Menteri menggantikan Perdana Menteri
sebelumnya yaitu Pangeran Konoye, sekaligus Menteri Peperangan. PM
Tojo memiliki julukan “Si Otak Pisau Cukur” karena sifatnya yang keras
dan kejam. PM Tojo lah yang membawa Jepang terjun dalam kancah
Perang Dunia II. Sebagai Perdana Menteri, Hideki Tojo berkewajiban
untuk mengevaluasi dan melaporkan kepada Kaisar semua tindakan
menteri-menteri yang terlibat dalam pelaksanaan perang. Sejak bulan
Februari sampai bulan Juli 1944, Jendral Tojo juga menjabat sebagai
Chief of General Staff of the Army.
9) Yoshijiro Umezu menjabat sebagai Wakil Menteri Peperangan sejak
bulan Maret 1936 hingga bulan Mei 1938. Kemudian menjadi Komandan

Tentara ke-1 pada Mei 1938. Setelah itu, Umezu menjabat sebagai
Komandan Tentara Kwantung (Guangdong) sejak bulan September 1939
sampai bulan Juli 1944. Umezu lalu ditunjuk sebagai Chief of General
Staff of the Army pada bulan Juli 1944 menggantikan Hideki Tojo.
10) Tomoyuki Yamashita menjabat sebagai Komandan Jenderal Tentara ke-

24
14 sejak bulan September 1944 hingga bulan September 1945.
Yamashita bertugas mengarahkan dan bertanggung jawab atas tentara
Jepang yang beroperasi di wilayah Filipina, termasuk di daerah
Mapanique.
11) Koiso Kuniaki menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang sejak bulan Juli
1944 sampai bulan April 1945 menggantikan PM Hideki Tojo. PM Koiso
adalah orang yang mencetuskan “Janji Koiso” yang berisi janji
pemberian kemerdekaan bagi negara-negara pendudukan Jepang,
termasuk Indonesia untuk menarik simpati dan mempertahankan
pengaruh Jepang di negara-negara yang diduduki (Komnas HAM, 2013).

Selama Perang Dunia II berlangsung, Militer Jepang mengalami


pergantian pemimpin berkali-kali karena menyesuaikan dengan kondisi perang di
lapangan. Jendral-jendral yang mampu bergerak cepat dan tegas akan diberikan
jabatan-jabatan strategis dalam organisasi militer Jepang. General Staff of the
Army dibentuk pada akhir tahun 1943, setelah Jepang mengadakan konferensi
dengan negara-negara pendudukannya (China, Thailand, Manchuria, Burma,
Thailand, Malaysia, Timor, dan Indonesia) pada November 1943. Konferensi ini
bertujuan membentuk “Asia Timur Raya” di bawah kepemimpinan Jepang dan
pemberian janji kemerdekaan pada beberapa negara yang dianggap sudah siap,
seperti Burma dan Filipina (Oktorino, 2016: 199).
Setelah menduduki negara-negara yang menjadi tujuan perang Jepang
pada PD II, Militer Jepang segera membentuk unit-unit tentara di bawah komando
Gubernur-Jendral di masing-masing wilayah pendudukan. Unit-unit militer ini
berbeda antara satu negara dengan negara lain, menyesuaikan dengan kondisi
geografis dan sosial-masyarakat.

2.1.2 Garis Komando Militer Jepang di Indonesia Tahun


1942-1945
Setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942, militer
Jepang melakukan reorganisasi pemerintahan. Indonesia ditempatkan di bawah
komando Tentara Wilayah Asia Selatan yang di kepalai oleh Marsekal Terauchi
Hisaichi yang bertindak sebagai pimpinan tertinggi semua devisi militer Jepang
yang menduduki Filipina, Malaysia, dan Indonesia, bermarkas di Dalat, Vietnam.
Sedangkan yang menjadi Wakil Kepala Staf Tentara Wilayah Asia Selatan adalah
25
Letnan Jendral Inada Masazumi (Oktorino, 2016: 201).
Di bawah Tentara Wilayah Asia Selatan, ada Tentara Wilayah 7
bermarkas di Singapura yang dipimpin oleh Jendral Kenji Dohihara yang bertugas
sebagai komandan pasukan dari April 1944 - April 1945 yang mengusai Jawa,
Sumatera, dan wilayah Indonesia lainnya. Sedangkan mulai April 1945 sampai
akhir masa perang, komandan Tentara Wilayah 7 dijabat oleh Jendral Itagaki.
(Komnas HAM, 2013). Adapun pembagian pemerintahan militer Jepang di
Indonesia dibagi dalam tiga wilayah utama yang masing-masing berdiri sendiri,
yaitu:
1) Pulau Jawa dan Madura di bawah Osamu Shudan (Tentara ke-16)
dipimpin oleh Panglima Tentara (gunshirekan atau saiko shikikan)
Kumakichi Harada (November 1942 – April 1945) yang bermarkas di
Jakarta. Tentara ke-16 memiliki tugas utama dalam bidang kerjasama
politik, penyediaan sumber tenaga kerja dan bahan makanan (beras)
untuk diekspor ke seluruh Asia Tenggara.

2) Pulau Sumatera di bawah Tomi Shudan (Tentara ke-25) dipimpin oleh


wakil Admiral Ibo Takashi (April - September 1942), kemudian
digantikan oleh wakil Admiral Denshicchi Okouchi (November 1944 –
Agustus 1945) yang berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Tomi
Shudan tidak hanya mencakup pulau Sumatera, tetapi juga Semenanjung
Malaya yang sebelumnya bekas kekuasaan Inggris. Tentara ke-2
memiliki tugas untuk memenuhi sumber ekonomi perang, khususnya
kebutuhan industri perang, seperti karet, minyak (instalasi minyak bumi
Plaju), batu bara (tambang Bukit Asam dan Ombilin), timah, dan bauksit (di
Pulau Bintan).
3) Indonesia Timur yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara berada di bawah kekuasaan Dai Ni Nankenkantai
(Armada Selatan ke-2) yang bermarkas besar di Makassar, Sulawesi
Selatan. Tugas utama tentara Jepang di kawasan Indonesia Timur adalah
menguasai lading-ladang minyak di Tarakan dan Balikpapan. Selain itu
juga membendung kemungkinan infiltrasi kekuatan sekutu dari Jawa dan
Australia (Kemendikbud, 2011).
Di setiap pemerintahan daerah militer Jepang (Jawa, Madura, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, dan Indonesia Timur) dipimpin oleh seorang kepala staf
26
tentara sebagai seorang Gubernur Militer (Gunseikan). Dalam setiap unit militer
Jepang terdapat unit Angkatan Darat (kempeitai), unit Angkatan Laut (toketai) dan
badan inteliejen informan Hindia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst).
Kempetai dan toketai berada di setiap wilayah pendudukan di Indonesia.
Merekalah yang bertugas sebagai barisan penjaga dan perekrut warga sipil untuk
dijadikan pekerja paksa atau tentara bantuan bagi Jepang (Oktorino, 2016: 204-
205).
Di Pulau Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang, yang dibagi dalam
beberapa wilayah pemerintahan militer. Pembagian wilayah dari yang terbesar
adalah shuu (karisidenan) sejumlah 17 setara dengan kochi (kesultanan) sejumlah
2, ken (kabupaten) setara dengan sii (kotapraja), gun (kawedanan), son
(kecamatan), ku (desa), RW dan RT. Di Sumatera pemerintahan militer juga
dikendalikan oleh Angkatan Darat, yang membagi wilayah Sumatera menjadi 9
shuu, yang dibawahnya terdapat bunshuu, gun, dan son. Sedangkan di Wilayah
Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut yang diperintah oleh minseifu
(Kantor Pemerintahan Sipil) yang diketuai oleh sokan (Inspektur Jendra) berpusat
di Makassar. Di bawah minseifu terdapat 3 minseibu, yaitu Kalimantan, Sulawesi,
dan Maluku. Minseibu kemudian dibagi menjadi shuu, ken, bunken, gun, dan son
(Oktorino, 2016: 205-206).

2.2 Kebijakan Militer Jepang di Indonesia Tahun 1942-1945


Setelah Jepang berhasil mengalahkan pasukan Sekutu dan menduduki
Indonesia pada tahun 1942, pemerintahan militer Jepang kemudian menerapkan
berbagi kebijakan di bidang militer, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Beberapa kebijakan yang diambil oleh militer Jepang diantaranya:
1) Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon
Pemimpin Asia) adalah sebuah gerakan propaganda yang dibentuk oleh
militer Jepang pada tanggal 25 April 1942, bertujuan untuk mendoktrin
masyarakat Indonesia agar bersedia mendukung Jepang dalam perang
Pasifik dan melancarkan misi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya
di bawah Jepang”.
2) Seiji Sanyo adalah kebijakan pemerintah Jepang tentang pemberian
kesempatan kepada orang Indonesia untuk duduk dalam pemerintahan
(partisipasi politik). Kebijakan ini tercermin dari pembentukan dewan-
27
dewan penasihat atau dewan rakyat untuk menyalurkan aspirasi rakyat
Indonesia. Di tingkat provinsi bernama Chuo sangi-in, ditingkat
karisidenan bernama Shu Sangikai dan tingkat kotapraja bernama
Tokubetsu Shi Sangikai.
3) Swasembada pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, monopoli sumber
ekonomi (tambang, perkebunan, bank, pabrik perusahaan,
telekomunikasi, dan transportasi) dan perdagangan. Berkaitan dengan
kebijakan diatas militer Jepang membentuk Saibi Kigyo Kanrikodan
(SKK) yang bertugas sebagai badan pengatur ekonomi rakyat dan jual
beli hasil perkebunan.
4) Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) dipimpin oleh “empat serangkai”
(Soekarn, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Mas Mansyur), tetapi
terdapat penasihat Jepang yang berkuasa menentukan jalannya organisasi
tersebut. Poetra bertujuan untuk menghapuskan semua partai dan
kegiatan politik yang ada sebelumnya.
5) Jawa Hokokai dibentuk pada tanggal 29 April 1944 yang berpusat di
pulau Jawa merupakan wadah untuk menghimpun semua organisasi yang

bersifat multirasial, yang meliputi organisasi nasionalis, nasionalis islam,


perkumpulan pemuda, perempuan, dan kelompok etnik nonpribumi.
6) Seinendan (Barisan Pemuda) adalah organisasi semi militer yang
dibentuk tanggal 29 April 1943, bertugas sebagai barisan cadangan
militer yang mengamankan garis belakang. Para pemuda dilatih dalam
hal kedisiplinan dan ditanamkan semangat patriotisme serta semangat
kepahlawanan Jepang (bushido).
7) Keibondan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semi militer
yang didirikan tanggal 29 April 1943, bertugas sebagai barisan pembantu
polisi untuk menjaga keamanan wilayah setempat. Organisasi ini berada
langsung di bawah polisi Jepang.
8) Suishintai (Barisan Pelopor) didirikan pada 1 November 1944 merupakan
organisasi pertama yang memberikan pelatihan kemiliteran untuk
pemuda Indonesia, dipimpin oleh Ir. Soekarno. Organisasi ini berada di
bawah naungan Jawa Hokokai.
9) Gakkutotai (Barisan Pelajar) berisi pelajar putra yang mendapatkan

28
pelatihan dasar militer untuk membantu barisan militer buatan Jepang.
10) Hizbullah atau Kaikyo Seinen Teishintai (Barisan Pemuda Muslim)
merupakan barisan semi militer yang didirikan pada 15 Desember 1944.
Hizbullah berisi pasukan cadangan khusus untuk mendukung PETA yang
terdiri dari para pemuda muslim sebanyak 400.000 orang di bawah
naungan Masyumi.
11) Fujinkai (Perkumpulan Wanita) didirikan pada Agustus 1943 yang
bertugas melakukan pelatihan P3K, membantu urusan logistik untuk
mendukung tentara Jepang, dan meningkatkan penghidupan rakyat di
garis belakang.
12) Jibakutai (Barisan Berani Mati) dibentuk tanggal 8 Desember 1944,
bertugas sebagai barisan terdepan yang rela mati melawan musuh.
13) Heiho (Prajurit Bantu) didirikan pada 24 April 1943 (di Jawa) dan Mei
1943 (di Sumatera) sebagai barisan militer bantuan bagi Jepang yang
terdiri dari mantan prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda) dan

masyarakat Indonesia yang mendaftarkan diri sebagai Heiho. Heiho


terdiri dari 2 bagian, yaitu Rikugun Heiho (Heiho Angkatan Darat) dan
Kaigun Heiho (Heiho Angkatan Laut). Diperkirakan sampai akhir
pendudukan Jepang, jumlah anggota Heiho mencapai 42.000 orang.
14) Kyodo Boei Giyu-gun (Pasukan Pembela Tanah Air/PETA) yang
didirikan tanggal 8 September 1943, merupakan barisan militer baru
yang dibentuk untuk membantu militer Jepang melindungi wilayah Jawa
dari Sekutu.
15) Romusha (Serdadu Pekerja) merupakan sistem kerja paksa yang
diciptakan oleh Jepang dengan cara merekrut penduduk pribumi untuk
dijadikan buruh kasar di bawah pengawasan militer Jepang. Pelaksanaan
romusha berada di bawah Badan Romukokyu (Kantor Urusan Pekerja).
Romusha dibagi menjadi 2, yaitu romusha lokal (dipekerjakan di wilayah
Indonesia selama 1-3 bulan) dan romusha yang dikirim keluar wilayah
Indonesia (Burma, Malaya, Muangthai selama lenih dari 3 bulan).
(Kemendikbud, 2011)
Selain kebijakan-kebijakan tersebut, militer Jepang juga menerapkan kebijakan-
kebijakan lainnya, yang salah satunya adalah kebijakan Jugun Ianfu atau Comfort

29
System yang diterapkan di semua negara pendudukannya, termasuk Indonesia.

30
2.3 Kasus-Kasus dan Penyebaran Jugun Ianfu di Indonesia
2.3.1 Kasus-Kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang
Pada masa pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945, Jepang
mengeksploitasi tidak hanya hasil pertanian, kekayaan alam, tetapi juga sumber
daya manusia Indonesia secara paksa. Kaum lelaki dipaksa bekerja sebagai tenaga
kasar bagi kepentingan Jepang, sedangkan kaum perempuan ada yang
1
dimanfaatkan sebagai tambahan tenaga perang, seperti organisasi Fujinka i.

Sebagian besar perempuan yang tergabung dalam organisasi ini berasal dari kaum
terpelajar atau memiliki hubungan dengan pegawai pemerintahan pada saat itu
(Kemendikbud, 2011).
Organisasi Fujinkai merupakan bentuk keterlibatan perempuan dalam
sektor formal, sedangkan dari sektor non formal, perempuan dipaksa untuk
membantu pekerjaan-pekerjaan masal, seperti kerja bakti, tenaga palang merah,
maupun sebagai tenaga “perempuan penghibur” atau yang disebut Jugun Ian-fu.
Kaum perempuan yabng dijadikan jugun ian-fu kebanyakan berasal dari golongan
masyarakat yang berpendidikan rendah dan buta huruf, serta berada dalam kondisi
ekonomi yang sulit, tetapi sebagian kecil juga berasal dari golongan masyarakat
menengah dan kaum bangsawan (Oktorino, 2016: 232).
Perekrutan jugun ianfu yang dilakukan tentara Jepang secara besar-
besaran dan terselubung, telah diketahui oleh pemimpin-pemimpin pergerakan
Indonesia pada saat itu, namun mereka tidak dapat melakukan tindakan
penentangan karena mengingat perilaku Jepang terhdap kaum pribumi yang tidak
mengenal belas kasihan. Perempuan-perempuan dari desa direkrut menjadi jugun
ianfu dengan berbagai cara, ada yang menggunakan kekerasan, penipuan seperti
tawaran pekerjaan di tempat lain, maupun ancaman secara langsung pada calon
jugun ianfu, orang tua, atau keluarga mereka (Djoened & Notosusanto, 2011: 45).
Sekitar 10.000-15.000 perempuan Indonesia dijadikan Jugun ianfu oleh
tentara Jepang selama masa pendudukan. Dari jumlah tersebut hanya beberapa
kasus jugun ianfu yang muncul ke permukaan karena orang yang bersangkutan
ikut memberikan keterangan terkait praktik jugun ianfu yang dilakukan tentara
Jepang dan berkontribusi dalam upaya menuntut pertanggungjawaban pemerintah

31
Jepang terhadap korban-korban jugun ianfu. Salah satu mantan jugun ianfu asal
Indonesia yang ikut berkontribusi dalam penegakan keadilan adalah Mardiyem
(Hindra & Koichi, 2007: 20). .
Mardiyem adalah mantan jugun ianfu yang berasal dari Pathok
Yogyakarta. Mardiyem adalah anak dari pasangan abdi dalem (pelayan keraton)

bangsawan Yogyakarta bernama Kanjeng Raden Tumenggung Suryotaruno.


Mardiyem telah menjadi anak yatim piatu ketika berusia 10 tahun. Ibunya
(Wagiyem) meninggal pada tahun 1929 dan ayahnya (Irodjoyo) meninggal tahun
1939. Semenjak ayahnya meninggal, Mardiyem memutuskan untuk tinggal
sendiri, karena tidak ingin merepotkan kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga.
Selama tinggal di lingkungan keraton, Mardiyem bekerja sebagai pembantu
rumah tangga dan penyanyi di pagelaran ketoprak keraton (Hindra & Koichi,
2007: 24). .
Ketika berusia 13 tahun, Mardiyem mendapatkan tawaran menjadi
seorang penyanyi di Borneo dari salah satu anggota ketoprak bernama Miss
Lentji. Mardiyem yang bercita-cita menjadi seorang penyanyi langsung menerima
tawaran tersebut. Setelah melewati proses perekrutan secara tertutup, termasuk tes
kesehatan, Mardiyem dan rombongan yang berjumlah 48 orang (rata-rata berusia
16-22 tahun) diberangkatkan dari stasiun Tugu Yogyakarta ke Surabaya. Setelah
sampai di Surabaya, rombongan dijemput oleh truk tentara Jepang dan dibawa ke
pelabuhan untuk disebrangkan ke Borneo menggunakan Kapal Nichimaru.
Sesampainya di Borneo Mardiyem dan rombongan diangkut dengan truk tentara
Jepang dan dibawa ke asrama Telawang, Banjarmasin. Disana Mardiyem dan
rombongan dipaksa memasuki kamar-kamar yang sudah disediakan untuk
menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang. Mardiyem menempati kamar
nomor 11 dan dinamai Momoye. Setiap harinya Mardiyem terpaksa harus
melayani 5-10 tentara Jepang yang datang. Ketika Mardiyem ketahuan hamil, ia
dipaksa untuk menggugurkan kandungannya dengan cara perutnya ditekan dengan
keras oleh pemilik ian-jo (Hindra & Koichi, 2007: 26).
Setelah kekalahan Jepang Mardiyem berasil kabur dari asrama dan
tinggal di daerah kampong Belitung. Mardiyem menikah dengan Ahmad Mingun
seorang penjaga pos di markas Kompi KNIL pada tahun 1946 dan dikarunia
seorang putra. Kemudian pada tahun 1953, Mardiyem bersama keluarganya
memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Pada awalnya, lingkungan masyarakat
32
sekitar Mardiyem bersikap ramah dan baik kepada keluarga Mardiyem. Namun,
perlakuan masyarakat berubah setelah Mardiyem melaporkan dirinya sebagai

mantan Jugun ianfu ke Lembaga bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk


berjuang mencari keadilan menuntut pertanggungjawaban pemerintah Jepang
terhadap korban-korban jugun ianfu asal Indonesia (Hindra & Koichi, 2007: 30).
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang melakukan pendataan
terhadap mantan jugun ianfu berhasil mencatat kurang lebih 1.156 orang yang
berasal dari seluruh Indonesia. Namun, banyak mantan jugun ianfu yang tidak
mau melaporkan dirinya (Komnas HAM, 2010). Adapun nama-nama mantan
jugun ianfu lainnya yang ikut melaporkan diri dan menjadi saksi bagi pemerintah
Indonesia ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Nama-nama mantan Jugun Ianfu di Indonesia
No. Nama Status Asal
1. Mardiyem Meninggal tahun 2007 Yogyakarta
2. Sarmini Meninggal tahun 1993 Yogyakarta
3. Lasiyem Meninggal tahun 1995 Yogyakarta
4. Sukarni Meninggal tahun 2005 Yogyakarta
5. Suharti Meninggal tahun 2006 Blitar
6. Suhanah Masih hidup Cimahi
7. Emi Masih hidup Cimahi
8. Kastimah Meninggal tahun 2004 Cimahi
9. Siti Neng Ijuh Masih hidup Garut
10. Olis Kartini Meninggal tahun 2002 Bandung
11. Omoh Meninggal tahun 1997 Bandung
12. Cici Suarsih Masih hidup Bogor
13. Juwariyah Meninggal tahun 2005 Bogor
14. Sumiyati Masih hidup Kediri
Sumber: Komnas HAM, 2010

2.3.2 Penyebaran Jugun Ianfu di Indonesia


Paska Jepang menduduki wilayah Indonesia pada Maret 1942, militer
Jepang mulai menerapkan sistem jugun ianfu di setiap wilayah Indonesia yang
telah dikuasai. Perekrutan jugun ianfu dilakukan secara masal dan terorganisir.

33
1) Jugun Ianfu di Wilayah Jawa
Setelah berhasil menduduki Pulau Jawa, petinggi militer Jepang
kemudian memberikan perintah untuk segera menjalankan sistem jugun ianfu,
baik di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun Yogyakarta.
Sasaran dari militer Jepangg tidak hanya perempuan-perempuan pribumi, tetapi
juga perempuan Belanda yang saat itu masih menempati wilayah Indonesia. Jan
O’Herne (19 tahun) adalah seorang perempuan asal Belanda yang tinggal di
Bandung. Setelah invasi Jepang ke pulau Jawa, ia disekap dalam suatu kamp
bersama perempuan muda lainnya, kemudian ddi bawa ke rumah hiburan di
Selarang untuk dijadikan jugun ianfu (Komnas HAM, 2013).
Di Jawa Tengah, ditemukan empat kamp di Semarang, dua kamp di
Ambarawa, dan satu kamp di Cepu yang digunakan untuk tempat jugun ianfu. Di
Cepu, para perempuan berusia 17-35 tahun disekap di sebuah rumah sakit dan
diperkosa oleh tentara Jepang, termasuk di dalamnya ada perempuan asal
Belanda. Hal ini dibenarkan oleh Letnan Kolonel Damste, seorang Belanda yang
menjadi salah satu penuntut di IMTFE. Selain itu, kasus jugun ianfu juga
ditemukan di Blora, dimana 20 perempuan pribumi dan Belanda di sekap dalam
sebuah rumah dan diperkosa selama 3 minggu oleh tentara Jepang (Komnas
HAM, 2013).
Di Jakarta juga terjadi perekrutan jugun ianfu secara paksa. Berdasarkan
keterangan dari seorang gadis berusia 18 tahun dan kakak perempuannya 19
tahun, mereka diminta melapor ke pangkalan polisi setempat. Tetapi di pangkalan
tersebut, ternyata sudah ada kurang lebih 100 perempuan (Cina, Jawa, Eropa)
yang menunggu. Mereka kemudian dipindahkan secara paksa oleh tentara Jepang
ke Semarang, kemudian dari Semarang didistribusikan ke daerah-daerah lain.
Militer Jepang mendirikan tempat hiburan di Pulau Jawa di daerah Bandung,
Jakarta, Surabaya, dan Malang. Apabila dibandingkan dengan pulau lain,
penduduk di Pulau Jawa lebih merasakan kekerasan dan kekejaman Jepang karean
militer Jepang terkonsentrasi di Jawa, sehingga banyak tempat hiburan yang
melibatkan Kempetai (Hindra & Koichi, 2007: 40).
2) Jugun Ianfu di Wilayah Sumatera dan Kalimantan
Di Pulau Sumatera, perempuan-perempuan jugun ianfu disebut dengan
Jalan Ps, karena mereke sering terlihat diikuti unit patroli Jepang. Salah satu
jugun ianfu asal Bangka menceritakan kisahnya ketika direkrut menjadi jugun
ianfu. Saat itu ia berusia 20 tahun, tetapi sudah menjadi janda. Ia ditawari
pekerjaan oleh tentara Jepang. Karena kondisi keluarganya yang miskin dan ia
membutuhkan pekerjaan untuk perawatan orangtuanya, maka ia ikut tentara
Jepang tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang dimaksud adalah
menjadi jugun ianfu, kemudian ia dibawa ke suatu tempat hiburan dan dipaksa
untuk melayani kebutuhan seksual tentara-tentara Jepang (Komnas HAM, 2013).
Dalam IMTFE, Taichiro Kaijimura memberikan kesaksian tentang
tindakan prostitusi paksa yang dilakukan militer Jepang. Di kamp-kamp daerah
Aceh, Brastagi, Palembang, dan Padang terdapat laporan tentang penyekapan
perempuan asal Indonesia dan Australia. Di Palembang, 32 perawat asal Australia
dan kurang lebih 500 perempuan asal Indonesia ditahan disebuah rumah dekat
kamp tentara Jepang. Mereka menggunakan rumah tersebut sebagai tempat
hiburan dan perempuan-perempuan tahanan tersebut dipaksa untuk menjadi jugun
ianfu. Apabila menolak, akan langsung disiksa bahkan ditembak mati (Komnas
HAM, 2013)

3) Jugun Ianfu di Wilayah Sulawesi


Praktik prostitusi paksa di Sulawesi pertama kali dicetuskan oleh Jendral
Anami. Militer Jepang kemudian mendirikan tempat hiburan yang berpusat di
Manado dan wilayah sekitar Makassar. Perempuan-perempuan yang dijadikan
jugun ianfu sebagian besar berasal dari Minahasa. Setelah Perang Dunia II
berakhir, terdapat laporan dari Parepare yang menyatakan sedikitnya ada 29
tempat prostitusi yang didirikan tentara Jepang di Pulau Sulawesi, yang terletak di
wilayah Parepare, Makassar, Bulukumba, Makale, Singkang, dan Menado. Jumlah
perempuan yang dijadikan jugun ianfu kurang lebih 280 orang, 111 orang Toraja,
67 orang Jawa, 7 orang Makassar, 4 orang Cina, dan sisanya asal Bugis, Karo,dan
lain-lain (Komnas HAM, 2013).
Di Sulawesi Utara, terdapat dua buah tempat prostitusi di daerah Manado
dan Tomohon yang dioperasikanseorang pegawai Jepang. Di sana terdapat kurang
lebih 100 perempuan yang dijadikan jugun ianfu. Perempuan-perempuan itu
sebagian besar berasal dari kampung-kampung di Minahasa. Kondisi jugun ianfu
disana tergolong lebih baik, karena mereka diberikan makanan dan pakaian yang
layak. Terkang mereka juga diberikan imbalan. Namun, pada dasarnya mereka
tetap dipekerjakan secara paksa (Komnas HAM, 2013).

4) Jugun Ianfu di Wilayah Bali


Di Bali, salah satu tempat prostitusi berada di Denpasar, yaitu Hotel
Wongaye. Berdasarkan keterangan dari mantan penjaga hotel, disana hanya ada
20 perempuan jugun ianfu. Sebagian dari mereka direkrut secara paksa oleh
tentara Jepang. Tentara Jepang yang datang akan ditunjukkan foto dari para jugun
ianfu, kemudian mereka harus membeli tiket. Setiap tentara diberikan waktu
selama 30 menit. Para jugun ianfu tidak dapat menolak siapapun tentara yang
datang, karena mereka takut akan dibunuh (Komnas HAM, 2013).
Setelah berakhirnya Perang Dunia II dan Jepang menyerah kepada sekutu
tahun 1945, ada jugun ianfu yang dikembalikan ke wilayah asal mereka, namun
sebagian besar ditinggalkan begitu saja di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat
asal mereka. Salah satunya adalah Pulau Buru yang terpencil dan asing, sehingga
mantan jugun ianfu mengalami kesulitan untuk kembali sendiri ke daerah asalnya.
Sebagian dari mereka akhirnya menetap disana dan dijadikan istri oleh orang-
orang asli Buru (Ananta T, 2007).
Masalah-masalah lain yang dialami mantan jugun ianfu dikemukakan
oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dalam bukunya “Momoye Mereka
Memanggilku”, adalah: 1) Kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik,
psikologis, dan seksual yang dialami, sebagian besar dari mantan jugun ianfu
meninggal karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan. 2) Trauma akibat
perbudakan seks yang dialami pada usia yang masih sangat muda. 3) Tekanan
sosial dari masyarakat yang menganggap mereka pelacur dan manusia kotor,
akibat tidak adanya informasi yang benar mengenai jugun ianfu yang sampai ke
masyarakat. 4) Hidup dalam kemiskinan karena ditolak untuk bekerja di
masyarakat, dengan alasan bekas pelacur (Hindra & Koichi, 2007: 24).

2.4 Kesimpulan
Dalam Perang Dunia II, militer Jepang memiliki peran yang signifikan
sebagai sebuah organisasi yang menjalankan semua kebijakan-kebijakan
pemerintah Jepang. Militer Jepang yang terdiri dari dua bagian yaitu Angkatan
Darat Kekaisaran dan Angkatan Laut Kekaisaran berada langsung di bawah
kepemimpinan Kaisar Jepang sebagi pusat komando. Rezim militer diterapkan
oleh pemerintah Jepang di setiap negara pendudukannya untuk mempermudah
pencapaian kepentingan Nasional Jepang, yaitu memenangkan peperangan
melawan sekutu. Berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya berbasis
militer diterapkan oleh Jepang untuk mendukung kepentingan Jepang.
Diantaranya, kebijakan romusha, pembentukan barisan militer maupun semi
militer, seperti PETA, heiho, Keibondan, Seinendan, Fujinkai, dan lain-lain.
Selain itu, berbagai propaganda disebarkan untuk membentuk ideologi masyarakat
Indonesia, seperti gerakan 3A. Nilai-nilai kebudayaan Jepang juga ditanamkan
kepada masyarakat Indonesia.
Salah satu kebijakan Jepang yang menjadi bentuk kejahatan perang adalah
Jugun Ianfu atau Perbudakan Seksual. Perempuan-perempuan di negara
pendudukan Jepang, dipaksa untuk menjadi budak pemuas kebutuhan seksual
tentara Jepang. Praktik ini dijalankan oleh militer Jepang secara terorganisir mulai
dari pemerintah pusat hingga daerah. Perekrutan wanita yang akan dijadikan
jugun ianfu dilakukan dengan metode pemaksaan, penipuan, atau ancaman.
Sekitar 10.000-15.000 perempuan dari seluruh wilayah Indonesia terpaksa
menjadi jugun ianfu. Adapun penyebaran jugun ianfu berasal dari wilayah pulau
Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Maluku, dan Bali. Pada bab selanjutnya,
akan dibahas lebih lanjut mengenai jugun ianfu sebagai bentuk kejahatan perang
Jepang di Indonesia serta analisis faktor penyebab Militer Jepang melakukan
kejahatan perang berupa jugun ianfu.

37
BAB III
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB MILITER JEPANG
MELAKUKAN KEJAHATAN PERANG BERUPA PERBUDAKAN
SEKSUAL (JUGUN IANFU) DI INDONESIA TAHUN 1942 - 1945

Bab ini berisi analisis pokok dari penelitian. Pada bab kedua telah membahas
tentang Militer Jepang sebagai sebuah organisasi dan semua kebijakan yang
dilaksanakan pada masa Perang Dunia II khusunya di Indonesia, termasuk kebijakan
Jugun Ian-fu atau Comfort System. Bab ketiga akan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi militer Jepang melakukan kejahatan perang berupa perbudakan seksual
atau jugun ianfu di negara-negara pendudukannya, khususnya Indonesia dari sudut
pandang teori Organizational Culture dari Konstruktivisme.
Secara sederhana, bab ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama menjelaskan
doktrin militer Jepang yaitu Imperial Rescripted Armed Forces yang menjadi faktor
utama pendorong militer Jepang melakukan kejahatan perang, khususnya perbudakan
seksual. Bagian kedua berisi kedudukan Kaisar Jepang dalam militer Jepang yang
mendorong pembentukan sistem jugun ianfu. Bagian ketiga berisi bentuk Sistem Jugun
Ianfu yang diterapkan militer Jepang di Indonesia. Dan bagian keempat berisi
kesimpulan dari bab ini.

3.1 Doktrin Militer Jepang “Imperial Rescripted Armed Forces”

Salah satu variabel yang dapat menjelaskan kejahatan perang menurut


konstruktivis adalah faktor budaya. Perang dilakukan oleh personil militer, maka untuk
memahami motivasi aktor dalam melakukan tindakan pelanggaran terhadap hukum
perang kita perlu melihat „budaya organisasi‟ yang mereka anut. Budaya organisasi
(organizational culture) adalah seperangkat asumsi, nilai, norma, keyakinan, dan
pengetahuan formal yang bersifat mendasar yang membentuk pemahaman kolektif.
Budaya organisasi sama seperti ideologi yang mempengaruhi pemikiran, keyakinan,
dan tindakan individu yang termasuk di dalamnya. Dalam sebuah organisasi militer,
budaya organisasi ini berbentuk doktrin militer yang membentuk kepatuhan para
personil militer terhadap tujuan perang negaranya dan komando dari atasannya,
sehingga mereka cenderung mengabaikan hukum humaniter internasional. Setiap
38
kelompok atau organisasi formal memiliki budaya organisasi khas yang
membedakannya dengan kelompok lain. Dalam sebuah organisasi militer, budaya
organisasi mempengaruhi bagaimana para tentara memahami apa tujuan yang ingin
mereka capai, menafsirkan realitas yang mereka hadapi, dan menentukan langkah-
langkah yang paling efektif untuk memenangkan perang (Rosyidin, 2017: 43).
Jepang adalah negara yang menganut sistem Kekaisaran, semua perintah awal
datang dari Kaisar (sebagai pemimpin tertinggi negara). Awal imperialisme Jepang
muncul ketika Restorasi Meiji 1868 dimana kekuasaan tertinggi dikembalikan ke tangan
Kaisar, bukan lagi dipegang oleh Keshogunan. Paska Perang Dunia I, Jepang terobsesi
untuk menjadi “world economic super power”. Sehingga ketika Restorasi Meiji terjadi,
muncul slogan “Mari Serang Korea”. Korea akan digunakan sebagai langkah awal untuk
menguasai China dan menguasai negara-negara lain hingga Jepang menjadi pusat dari
dunia. Paska Restorasi Meiji, Kaisar Jepang membentuk militer modern Jepang yang
diberi nama Angkatan Kekaisaran Jepang yang tunduk pada perintah Kaisar. Kaisar
Jepang kemudian memberikan slogan “Hokojin Nanbutsu” (Bangsa di Utara, Bahan di
Selatan). Utara dalam hal ini berarti bangsa barat yang modern sebagai sumber ilmu
pengetahuan, teknologi, dan sasaran yang harus dijangkau atau

dilampaui. Sedangkan Selatan berarti Asia yang terbelakang yang dapat dimanfaatkan
untuk eksploitasi sumberdaya alamnya. Slogan ini berasal dari pepatah kuno Jepang
yang dipercayai oleh masyarakat Jepang. Selain Hokojin Nanbutsu, semboyan “sonno
joi” yang artinya “lindungi kaisar” dan “fukoku kyohei” yang artinya “negara sejahtera,
tentara kuat” merupakan semboyan yang dipercayai oleh pemimpin-pemimpin Jepang
dan masyarakat Jepang paska Restorasi Meiji 1868. Ketiga semboyan inilah yang
mendorong Jepang dan militernya melakukan agresi ke negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara (Mauriello, 1999: 54).
Militer Jepang memiliki ikatan yang erat dengan Kaisar. Hal ini dikarenakan
militer Jepang dibentuk langsung atas perintah dari Kaisar Meiji paska Restorasi Meiji
1868. Sehingga, militer Jepang diberi nama Angkatan Kekaisaran Jepang. Selain itu,
Posisi kementrian pertahanan memiliki kedudukan yang sangat kuat dikarenakan
kementrian pertahanan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen tetapi langsung
terhadap kaisar. Hal tersebut menyebabkan kementrian pertahanan Jepang menjadi
Gunbatsu (Pemerintahan Diktator Militer) karena terbentuknya prinsip “independence
of the military command” yang tercantum dalam Buku Putih Pertahanan Jepang. Militer

39
Jepang memiliki akses langsung kepada Kaisar (iaku joosoo) melalui pejabat militer
yang ditunjuk (Buck, 1971: 8-9).
Pada tanggal 4 Januari 1882 Kaisar Meiji bertitah kepada prajurit dan
pelaut perang Jepang yaitu Imperial Rescript Armed Forced (軍人勅諭 Gunjin
Chokuyu) yang berisi 2700 dokumen kanji yang harus dihafalkan oleh personil
militer Jepang. Salah satu slogan dalam titah Kaisar ini adalah “Tugas lebih berat
daripada gunung, sedangkan kematian lebih ringan daripada sehelai bulu” (Buck, 1971)
7. Dalam titah tersebut tercermin upaya negara Jepang dalam menanamkan nilai
keprajuritan terhadap setiap pasukannya. Titah tersebut menjadi dasar prilaku yang
menekankan kesetiaan mutlak, disiplin, keberanian, harga diri dan kesederhanaan
terhadap kaisar dalam mencapai kebangkitan dari masa lalu feodal menjadi negara yang
berjaya di dunia imperial (Jowett, 2002: 19).

Imperial Rescript Armed Forced ditulis oleh Inoue Kowashi (negarawan) dan
Yamagata Aritomo (Menteri Angkatan Darat Kekaisaran Jepang), dan diketik oleh
Fukuchi Gen'ichiro seorang jurnalis kekaisaran Jepang. Titah Kaisar Meiji ini
disampaikan secara langsung kepada Menteri Angkatan Darat Yamagata Aritomo dalam
upacara khusus yang diadakan di Istana Kekaisaran Tokyo. Tindakan yang belum
pernah terjadi sebelumnya ini, dimaksudkan untuk melambangkan ikatan pribadi antara
Kaisar dan militer. Kaisar menjadikan militer Jepang sebagai tentara pribadinya. Titah
Kaisar Meiji ini menekankan kesetiaan mutlak dari setiap anggota militer kepada
Kaisar. dalam titahnya, Kaisar Meiji juga menyarankan personel militer untuk
mencerminkan kembali tradisi samurai (bushido) yang menjunjung tinggi tujuan dan
tugas. Imperial Rescript Armed Forced ini juga berisi sejumlah tema Konfusianisme
termasuk "penghormatan yang pantas kepada atasan," (Tsunoda, 1958: 68).
Dalam Imperial Prescript Armed Forced terdapat lima point utama titah
Kaisar Meiji, yang berisi:
1. Perajurit dan Pelaut Jepang harus menjunjung tinggi kesetiaan terhadap tugas
yang diberikan kepadanya walaupun dengan konsekuensi kematian. Anggota
militer Jepang harus memenuhi tugasnya dengan sepenuh hati sebagai wujud
kesetiaan pada kaisar dan negara, serta menjunjung slogan “tugas lebih berat
daripada gunung, sementara kematian lebih ringan daripada bulu”.
2. Perajurit dan pelaut Jepang harus patuh kepada Kaisar dan menunjukkan
kerendahan dirinya, serta hormat pada perintah atasan.

40
3. Perajurit dan pelaut Jepang harus memiliki keberanian dan prinsip yang kuat.
4. Perajurit dan pelaut Jepang harus menjunjung kesetiaan dan kebenaran.
Kesetiaan dalam menjaga perkataannya dan kebenaran dalam memenuhi
tugas-tugasnya.
5. Perajurit dan pelaut Jepang harus menyederhanakan tujuan mereka sejak
awal, agar dapat mencapai tujuan tersebut (Tsunoda, 1958: 70).
Disamping mengeluarkan titah ini, kaisar juga membentuk pelatihan khusus bagi
militer Jepang berupa pelatihan spiritual militer (Seishin Kanyoo) yang bertujuan untuk
mendoktrin anggota militer dengan nilai-nilai kekaisaran,

yaitu keagungan kaisar dan kewajiban mutlak untuk patuh dengan kaisar, pengabdian
kepada negara, pentingnya pertahanan negara, dan rela mengorbankan diri demi negara
dan kaisar apabila keadaan darurat muncul (Buck, 1971: 9). Pelatihan ini juga memiliki
tujuan sebagaimana tercantum dalam salah satu paragraf Buku Panduan Pelatihan
Militer:
“....The state of training permits us to overcome the eneny's material and
quantitative superiority by exploiting our efficiency under the single
command of the Emperor, despite our inferiority. If one wishes to be
victorious in war, he must be conspicuously superior in the matter of
training (in time of peace). Therefore, those charged with training must
always maintain this spirit, exhaust all knowledge and ability, be
assiduous in the thoroughness of training, and hereby make possible
complete victory through belief therein.” (Buck, 1971: 8-9).

Pernyataan ini membuktikan bahwa militer Jepang tunduk dibawah komando


tunggal dari kaisar selama kondisi perang, sehingga semua perintah perang pertama kali
datang dari kaisar. Imperial Prescript Armed Forced (Gunjin Chokuyu) inilah yang
menjadi doktrin militer Jepang. setiap anggota militer Jepang diharuskan untuk
menghafalkan Gunjin Chokuyu dengan sepenuh hati, bersama dengan Konstitusi
Kekaisaran 1899, dan Dekrit Kekaisaran tentang pendidikan militer (Koiku Chokugo)
1890, yang berfungsi sebagai ideologi Angkatan Kekaisaran Jepang hingga tahun 1945
(Eisei, 2000: 102). Doktrin ini tidak hanya berlaku ketika kepemimpinan Kaisar Meiji,
tetapi juga Kaisar Hirohito yang membawa Jepang pada Perang Dunia II. Dengan
adanya doktrin ini ditambah dengan adanya pelatihan spiritual militer yang bertujuan
sebagai pemantapan doktrin ini, setiap personil militer Jepang akan tunduk terhadap
semua perintah Kaisar sebagai perintah bersama tanpa harus menggunakan alasan moral
atau alasan yang rasional (Hicks, 1995: 256). Doktrin inilah yang menyebabkan militer

41
Jepang tidak menghiraukan hukum internasional dalam kondisi perang, sehingga
berbagai bentuk kejahatan perang, termasuk pemerkosaan dan perbudakan seksual
dilakukan oleh personil militer Jepang.
Doktrin Imperial Prescript Armed Forced juga digunakan militer Jepang ketika
menyerang China dalam Perang Sino-Jepang yang dimulai tahun 1937. Militer Jepang
yang saat itu memiliki tujuan untuk mematahkan kekuatan China

dan menduduki China, melakukan segala cara sesuai dengan perintah atasannya.
Akibatnya, pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan masal dilakukan militer Jepang
ketika menyerang Nanking tahun 1937. Kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap
perempuan menjadi salah satu strategi militer bagi Angkatan Kekaisaran Jepang karena
hal tersebut dianggap normal untuk “kebutuhan” militer Jepang (Aksular, 2010: 8).
Ketika Jepang menyerang wilayah Nanking pada tahun 1937, perintah
pemerkosaan terhadap wanita-wanita China diberikan secara langsung oleh pemimpin
militer Jepang, sehingga terjadilah peristiwa Nanking Rape yang menimpa 20.000
wanita china. Setelah memperkosa wanita-wanita China yang ditemui, militer Jepang
akan langsung membunuhnya. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan dari Makihara
Nobuo seorang veteran Resimen Invanteri ke-20, Divisi 16 dalam diarinya tertanggal 29
November 1937:
Depart from the village at 9:00 a.m. Various units compete to enter the
town. The tank unit also starts. In contrast with yesterday, there are no
traces of the enemy at all. Enter the town magnificently, passing an
impressive temple (even though there are many temples in China)…
Because Wu Jing is an anti-Japanese stronghold, we carry out “mopping
up” [sōtō] operations in the entire town, killing all men and women
without distinction and free to rape all women. The enemy is nowhere to
be seen, either because they have lost the will to fight after their defense
line at Wu Xi was breached or they are holding strong positions further
ahead. So far I haven’t seen a town so impressive as this one (Drea &
Yang, 2006: 8).

Perintah lain juga datang dari salah satu pemimpin militer Jepang, “So
that we will not have any problems on our hand, either pay them money or kill
them in some obscure place after you have finished” (Drea & Yang, 2006: 9).
Perintah ini diberikan oleh pemimpin militer Jepang setelah perintah
“pemusnahan masal” diberikan. Hal ini membuktikan kuatnya doktrin militer
Jepang yang menempatkan bawahan harus mematuhi perintah atasan, sehingga
terjadilah peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan secara brutal

42
oleh personil militer Jepang ketika menginvasi Nanking tahun 1937.
Keterangan lain juga diberikan oleh James M. McCallum seorang
misionaris Amerika yang berada di Nanking ketika peristiwa Nanking 1937

terjadi. “Never I have heard or read such brutality. Rape! Rape! Rape! We
estimate at least 1,000 cases a night and many by day” (Oliver, 2018). Pernyataan
lain juga diberikan dari laporan International Committee (sekelompok orang asing
yang mendirikan Zona Keselamatan untuk menyediakan perlindungan bagi para
korban Nanking Rape):
"On December 16, seven girls (ages ranged from 16 to 21) were taken
away from the Military College. Five returned. Each girl was raped six
or seven times daily. One old woman 62 years old went home near
Hansimen and Japanese soldiers came at night and wanted to rape her,"
read another report from the committee. "She said she was too old. So
the soldiers rammed a stick up her. But she survived to come back"
(Oliver, 2018).

Peristiwa pemerkosaan dan perbudakan seksual masal yang terjadi di Nanking


merupakan contoh awal penerapan doktrin militer Jepang dalam kondisi perang. Pola
serupa juga dilakukan militer Jepang di negara-negara pendudukannya yang lain seperti
Korea, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Ketika Jepang pertama kali mendarat di
wilayah Indonesia, banyak wanita Indonesia dan gadis Belanda yang diperkosa oleh
tentara Jepang di Tarakan, Manado, Bandung, Padang, dan Pulau Flores. (Oktorino,
2016: 261). Hal ini dibuktikan dari pengakuan seorang veteran Jepang di wilayah
Indonesia bernama Anji Kaneko, berkata: “Bukan masalah bagi kami jika wanita itu
hidup atau mati. Kami adalah prajurit Kaisar. Entah di rumah-rumah bordil militer
atau di desa-desa, kami akan melakukan perkosaan tanpa rasa ragu” (Komnas HAM,
2010). Pengakuan dari Anji Kaneko ini membuktikan bahwa personil militer Jepang
merasa memiliki kedudukan yang tinggi sebagai perajurit Kaisar, sehingga dapat
melakukan pemerkosaan dan perbudakan seksual di wilayah Indonesia sebagai negara
pendudukannya karena telah mendapatkan persetujuan dari Kaisar.
Doktrin militer Jepang yaitu Imperial Restricted Armed Force tidak terlepas dari
peranan utama Kaisar Meiji dalam mencetuskan peraturan tersebut. Doktrin inilah yang
melandasi segala tindakan personil militer Jepang di medan perang. Begitupun ketika
Perang II (1939-1945) terjadi, Angkatan Kekaisaran Jepang tetap menganut doktrin ini
dalam pengambilan setiap kebijakan perang.

Akibat adanya doktrin ini, sistem perbudakan seksual (jugun ianfu) dibentuk oleh
43
militer Jepang di negara-negara pendudukannya, termasuk Indonesia.

44
3.2 Kedudukan Kaisar dalam Militer Jepang yang

Mendorong Pembentukan Sistem Jugun Ianfu


Kewajiban pertama dan yang paling utama bagi seorang Jepang adalah
mengetahui posisi dirinya dalam hubungan dengan orang lain. Kepatuhan orang Jepang
kepada jenjang hierarki menjadi dasar dalam hubungan antar orang dengan orang
lainnya dan antara seseorang dengan negara. Sistem hierarki ini sangat kental dalam
kehidupan masyarakat Jepang yang cenderung aristokratik. Setiap penghormatan atau
pemberian salam, setiap kontak antara satu dengan yang lainnya, selalu mengandung
petunjuk tentang kedudukan, atau derajat dan jarak sosial antara seseorang dengan orang
lain. Jenjang hierarki berdasarkan jenis kelamin, usia, dan pangkat/kedudukan dalam
organisasi (Hicks, 1995: 254).
Militer Jepang juga menganut sistem hierarki yang sangat kuat semenjak
sebelum Restorasi Meiji 1868. Sistem hirarki ini berdasarkan usia dan kepangkatan
dalam militer. Hal ini terbukti dari adanya slogan “perintah atasan adalah mutlak untuk
dilaksanakan”. Karena adanya sistem hirarki ini, tentara- tentara yang memiliki pangkat
rendah akan dengan sukarela melakukan segala perintah dari atasannya meskipun itu
adalah perintah yang melanggar hukum perang. “Kepercayaan” dan “semangat
kelompok” adalah hal yang sama bagi semua prajurit Jepang dan dianggap banyak
prajurit sebagai dasar keberadaan yang bersikap mutlak (Jowett, 2002: 76). Di dalam
doktrin Imperial Restricted Armed Force point kedua berisi “Perajurit dan pelaut Jepang
harus patuh kepada Kaisar dan menunjukkan kerendahan dirinya, serta hormat pada
perintah atasan” menunjukkan adanya sistem hierarki yang kuat dalam militer Jepang.
Personil militer wajib patuh dan tunduk pada setiap perintah pimpinan militer dan
kaisar. Apabila personil militer tidak patuh, maka akan dianggap mengkhianati negara
(Tsunoda, 1958: 73).
Kedudukan Kaisar dalam negara Jepang sebagai keturunan dewa matahari,
sehingga bersifat sakral dan tidak dapat diaganggu gugat. Kaisar tidak

dapat diturunkan dari tahtanya dengan alasan apapun dan tidak perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya jika melampaui batas hukum dalam
menjalankan pemerintahan. Perdana menteri dan organ pemerintahan lainnya
dibebankan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan, sehingga kritik tidak
45
dapat ditujukan kepada kaisar melainkan kepada pemerintahan saja. Hukum tidak dapat
diberlakukan kepada kaisar, karena kaisar tidak menjadi subjek hukum bagi hukum
manapun (Buck, 1971: 8-9).
Dalam Konstitusi Meiji 1889, kedudukan kaisar terhadap militer Jepang
ditegaskan dalam Pasal 11 “The Emperor has the supreme command of the army
and navy (Gunreiken)” dan Pasal 12 “The Emperor determines the organization
and peace standing of the Army and Navy (Gunseiken)” (Ito, 1889). Kedua pasal
tersebut menegaskan bahwa setiap anggota militer Jepang harus patuh dan
menjunjung tinggi segala perintah dan mandat dari kaisar karena kaisar memiliki
kedudukan tertinggi dan memiliki kontrol penuh atas organisasi militer Jepang
(Angkatan Kekaisaran Jepang). Kaisar juga memiliki wewenang untuk
menyatakan perang, sebagaimana tercantum dalam pasal 13 “The Emperor
declares war, makes peace, and concludes treaties (Gunji Taiken)” (Ito, 1889).
Sehingga setiap kebijakan yang diambil militer jepang dalam kondisi perang harus
atas persetujuan dan perintah dari kaisar sebagai otoritas tertinggi.
Dalam kasus perbudakan seksual, perintah datang langsung dari kaisar yang
kemudian diteruskan oleh petinggi-petinggi militer Jepang, sehingga pembentukan
“comfort system” dilaksanakan oleh seluruh personil militer Jepang dengan terstruktur.
Sistem jugun ianfu sendiri pertama kali dibentuk pada tahun 1932 atas perintah dari
Kaisar Hirohito yang disampaikan melalui Jendral Okabe Naosaburo dan Okamuji
Yauji. Sistem jugun ianfu ini pertama kali diterapkan di Shanghai ketika militer Jepang
pertama kali menginvasi China. Perintah resmi isi berisi pembentukan “army comfort
houses” yang kemudian diorganisir secara resmi oleh militer Jepang (Molnar, 2018).
Sistem jugun ianfu ini juga diterapkan di negara-negara pendudukan Jepang lainnya,
termasuk Indonesia.
Pembentukan sistem jugun ianfu ini didasarkan atas pemikiran kaisar yang
mengetahui bahwa personil militernya mengalami keletihan secara mental

46
akibat perang yang berkepanjangan, sehingga sering terjadi peristiwa pemerkosaan oleh
oknum personil militer Jepang. Hal ini berbahaya karena dapat berdampak pada
kesehatan personil militer, yang berisiko terkena penyakit menular seksual. Padahal,
militer Jepang harus dipersiapkan secara lahir dan batin untuk memenangkan Perang
Asia Raya. Sehingga, agar kualitas militernya terjaga, kaisar memerintahkan
pembangunan comfort station yang bertujuan untuk memulihkan psikologis para
personil militernya melalui layanan pemenuhan kebutuhan biologis yang disediakan
oleh wanita-wanita di daerah pendudukannya dan untuk mencegah terjadinya penyakit
menular seksual yang dapat mengganggu kondisi fisik personil militernya. Sistem
Comfort woman bukan sekedar perintah dari atasan, melainkan kemauan dari Kaisar
(Savitri, 2010). Comfort station memang dirancang sebagai sistem yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis tentara Jepang. Tujuan Jepang dalam
pembangunan sistem jugun-ianfu adalah untuk kepentingan militer Jepang sendiri
(Komnas HAM, 2013).
George Hick menyebutkan sistem jugun ianfu dalam bukunya sebagai
“vast and dense network of sexual services pervading virtually all Japanese-
occupied areas from the Siberian frontier in the north, to the Solomon Islands in
the southeast, and Burma in the southwest” (Hicks, 1995: 310). Sistem jugun
ianfu ini dibangun diseluruh wilayah pendudukan militer Jepang. Pembentukan
sistem jugun ianfu ini dibuktikan dengan penemuan comfort station (ianjo) yang
dibangun oleh militer Jepang pertama kali di Shanghai pada tahun 1933. Ianjo ini
diberi nama “Disease Prevention and Hygiene Facility” yang berisi 35 wanita
Korea dan 3 wanita Jepang. Pada awalnya, wanita-wanita yang berada di ianjo
merupakan pekerja seks yang didatangkan dari Jepang dan Korea, tetapi seiring
bertambahnya jumlah personil militer Jepang, jumlah wanita yang menjadi jugun
ianfu dirasa kurang, sehingga militer Jepang atas persetujuan dari Kaisar
mengambil dari penduduk lokal secara paksa untuk memenuhi kuota jugun ianfu
(Hicks, 1995: 311).
Ketika Jepang berhasil menduduki wilayah Indonesia, kaisar memerintahkan
setiap divisi angkatan di Indonesia untuk membangun comfort station. Perintah ini
dibuktikan dengan adanya penemuan dokumen-dokumen
pemerintah mengenai pembangunan ian-jo (comfort station). Terdapat sedikitnya 127
dari 131 dokumen mengenai jugun-ianfu, 4 diantaranya menyebutkan adanya
keterlibatan militer Jepang dengan praktek jugun ianfu di Indonesia. Dokumen tersebut
memuat laporan mengenai tata cara pengelolaan pelacuran dan pengelolaan makanan di
tempat tersebut. Dokumen resmi Jepang yang menyertakan ian-jo sebagai bagian dari
sistem militer adalah sebuah bukti bahwa kaisar mengetahui adanya pembangunan ian-
jo (Komnas HAM, 2010).
Bukti lain dari adanya sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang di
Indonesia ditunjukkan dalam telegram rahasia dari Komandan Jendral Tentara Selatan
(yang menaungi wilayah Sumatera) kepada Komandan Tentara Taiwan, Rikichi Ando
berjudul “Tai-den No.602” atau “Telegram Tentara Taiwan No.602”, tertanggal 12
Maret 1942. Catatan dalam dokumen ini menunjukkan bahwa telegram diterima oleh
Kementerian Perang No.2259 pada 17 Maret 1942. Telegram ini berbunyi:
Sehubungan dengan Telegram Rahasia Tentara No.63, kami diminta oleh
Southern Army General Command untuk secepat mungkin mengirimkan
50 comfort women pribumi ke Borneo. Berdasarkan Telegram Rahasia
Tentara No. 623, kami meminta izin perjalanan untuk 3 operator berikut
ini [nama dihapus oleh otoritas Jepang], yang telah diinvestigasi dan
diseleksi oleh polisi militer (Komnas HAM, 2013).

Maksud dari telegram ini adalah basis militer Jepang yang ada di Borneo
(Kalimantan) meminta kepada militer Jepang di wilayah Sumatera (Southern Army)
untuk mengirimkan 50 orang jugun ianfu karena jumlah jugun ianfu yang ada di Borneo
tidak mencukupi kuota yang dibutuhkan. Telegram ini juga dikirimkan kepada
komandan tentara Taiwan pada tanggal 12 Maret 1942 sebagai pihak yang menaungi
basis militer Jepang di Indonesia. Kemudian dari komandan tentara Taiwan juga
diteruskan kepada Kementerian Perang Jepang tertanggal 17 Maret 1942 sebagai bahan
laporan Kepada Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi militer Jepang.
Kementerian Perang Jepang kemudian memberikan telegram balasan kepada
Komandan Tentara Taiwan pada tanggal 18 Maret 1942 dengan “Riku-a- mitsu No. 188”
atau “Telegram Rahasia Tentara 188” yang berisi: “otorisasi yang
diminta dalam Tai-den No. 602, tertanggal 12 Maret, bersama ini diberikan atas
perintah dari otoritas tertinggi” (Komnas HAM, 2013). Kedua bukti telegram ini
membuktikan bahwa pemimpin militer Jepang terlibat langsung didalam pelaksanaan
sistem “comfort women” dan pengelolaan “comfort station”. Telegram balasan dari
Kementerian Perang Jepang berisi diberikannya persetujuan untuk mengirim jugun
ianfu dari satu wilayah ke wilayah lain sebagaimana diminta dalam Tai-den No. 602
atau Telegram Tentara Taiwan No. 602 tanggal 12 Maret 1942. Dalam telegram ini, juga
disebutkan adanya perintah dari “otoritas tertinggi”. Otoritas tertinggi yang dimaksud
adalah Kaisar Hirohito yang pada saat itu merupakan pemimpin tertinggi militer Jepang
pada masa Perang Dunia II. Isi telegram balasan ini dapat menjadi bukti bahwa kaisar
memberikan perintah dan persetujuan secara langsung atas sistem jugun ianfu yang
dilaksanakan militer Jepang di wilayah-wilayah pendudukannya, termasuk Indonesia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya sistem hierarki yang kuat
dalam tubuh militer Jepang dimana Kaisar memiliki kedudukan tertinggi menjadikan
perintah kaisar harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua personil Angkatan
Kekaisaran Jepang. Selain itu, militer Jepang juga memegang teguh doktrin Imperial
Rescript Armed Forced, yang berisi sebuah pernyataan bahwa hormatilah perintah dari
Kaisar sebagai perintah bersama. Sehingga, ketika Kaisar Hirohito memerintahkan
untuk membuat sistem jugun-ianfu sebagai salah satu kebijakan militer Jepang dalam
Perang Dunia II, seluruh personil militer melaksanakan perintah ini dengan sukarela
sebagai wujud kepatuhan dan pengabdiannya kepada Kaisar. Hal inilah yang kemudian
mendorong terjadinya kejahatan perang berupa perbudakan seksual yang terorganisir
(jugun ianfu) oleh militer Jepang pada masa Perang Dunia II di negara-negara
pendudukannya, termasuk Indonesia.
3.3 Sistem “Comfort Women/Jugun Ianfu” yang diterapkan Militer
Jepang di Indonesia

Jugun Ianfu terdiri dari lima buah kanji yang masing-masing memiliki arti yang
berbeda-beda, yaitu 従 “pembantu atau pengikut”, 軍 “tentara”, 慰
“penghibur”, 安 “ tenang atau senang”, 婦 “ perempuan”, sehingga jika digabungkan
berarti “wanita penghibur yang mengikuti tentara (Jepang) untuk memberikan
kesenangan”. Namun pada kenyatannya, jugun ianfu bukanlah wanita yang secara
sukarela menghibur tentara Jepang dengan tubuh mereka, melainkan dipaksa untuk
memenuhi hasrat seksual para tentara Jepang (Yuki, 2002: 8). Apabila ditinjau dari segi
organisasi, menurut Tanaka Yuki dalam bukunya yang berjudul “Japan’s Comfort
Women: Sexual Slavery and Prostitution during World War II and The US
Occupation”, pembentukan sistem jugun ianfu dilakukan berdasarkan rantai kekuasaan
dalam militer Jepang bisa dilihat pada bagan 3.1.
Bagan 3.1. Rantai Kekuasaan pada Sistem Jugun Ianfu

Minister of war Korean Army (Seoul)

Taiwanese Army (Taipei)


Emperor
Kwantung Army (Changcun)
Chief of Army
General Staff China Expeditory Army

Southern Army (Saigon)

Sumber: Yuki, 2002


Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa sistem jugun ianfu berpusat pada
pemerintah kekaisaran Jepang, lalu diturunkan kepada Menteri Perang dan Kepala
Umum Staff Tentara Jepang. Kemudian diturunkan lagi kepada Kepala Staff Tentara di
masing-masing wilayah pendudukan Jepang, seperti Korea, Cina, Taiwan, dan Negara-
Negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tentara di wilayah pendudukan pada
umumnya memiliki agen khusus untuk merekrut

50
perempuan-perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu, baik dengan metode kekerasan
maupun penipuan (Yuki, 2002: 23).
Praktik Jugun Ianfu dan pendirian Comfort Station (stasiun hiburan/ian- jo)
pertama kali dilakukan militer Jepang di China pada tahun 1932 yang berpusat di
Shanghai. Wakil Kepala Staf Pasukan Expedisi Shanghai, Yasuji Okamura adalah orang
yang mencetuskan pembentukan ian-jo yang menyediakan jugun ianfu bagi tentara-
tentara Jepang (Komnas HAM, 2013). Praktik ini kemudian dilanjutkan di negara-
negara pendudukan Jepang lainnya, seperti Korea dan negara-negara Asia Tenggara.
Sebanyak 20.000 wanita Korea dijadikan budak seks oleh tentara Jepang atas
permintaan dari Jendral Yoshijiro Umezu (pemimpin pasukan Jepang di wilayah Korea),
baik di Korea maupun dikirim ke wilayah pedudukan Jepang lainnya (Lzee, 2003).
Pada awalnya, praktik jugun ianfu yang dilakukan oleh Jepang dilakukan
dengan cara legal, yaitu membawa wanita penghibur dari Jepang atau Korea. Namun,
sistem ini berubah menjadi sebuah eksploitasi dan perbudakan perempuan setelah
wilayah jajahan Jepang semakin meluas dan jumlah wanita penghibur sebelumnya tidak
mampu mencukupi kebutuhan tentara Jepang. Akhirnya militer Jepang melakukan
perekrutan dengan cara lain, yaitu kekerasan, paksaan, penipuan (tawaran akan
disekolahkan atau dipekerjakan di luar daerah), dan penculikan yang dilakukan pada
perempuan-perempuan sipil di wilayah yang diduduki, termasuk di Indonesia (Yuki,
2002: 18).
Tanaka Yuki dalam bukunya juga yang berjudul “Japan’s Comfort
Women: Sexual Slavery and Prostitution during World War II and The US
Occupation” mengklasifikasikan jugun ianfu ke dalam dua tipe, yang dijelaskan
pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tipe dan Perbedaan Jugun Ianfu
Baishi Yunfu (Pelacur/PSK) Seiteki Dorei (Budak Seks)
 Mendapat upah  Tidak mendapat upah
 Menemani tentara, seperti Geisha  Melayani kebutuhan seksual
 Terdiri dari perempuan Jepang dan tentara Jepang
Korea, namun jumlah perempuan  Terdiri dari perempuan di setiap

51
Korea lebih banyak daerah yang diduduki Jepang, seperti
 Sistem yang dibentuk untuk Cina, Korea, Indonesia, Malaysia,
mencegah tindakan pemerkosaan di Filipina, Timor Leste, Singapura
medan perang  Sistem yang dibentuk akibat
 Dilakukan dengan kesadaran sang meluasnya daerah ekspansi
perempuan untuk mencari nafkah Jepang, sehingga Baishi yunfu
tidak mencukupi dan militer
Jepang kekurangan dana untuk
menggaji wanita penghibur
 Direkrut secara paksa, dengan
kekerasan, penipuan, penculikan,
ancaman

Sumber: Yuki, 2002


Setelah Jepang menyerang Indonesia dan berhasil menduduki Indonesia pada
bulan Maret 1942, mereka mulai merekrut paksa wanita-wanita Indonesia, baik melalui
kekerasan, pemaksaan, penipuan, penculikan, maupun ancaman. Wanita-wanita yang
dijadikan budak seks haruslah wanita yang belum menikah dan berusia masih sangat
muda, antara 13-17 tahun. Calon jugun ianfu ini kemudian dibawa ke rumah-rumah
bordil (ian- jo yang berarti stasiun hiburan) yang didirikan oleh militer Jepang di
Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya sebuah dokumen tertanggal 13 Maret 1946 yang
berisi kesaksian seorang pegawai sipil yang menceritakan bagaimana seorang perwira
Jepang memaksa 100 wanita lokal di Kalimantan untuk telanjang bulat dan
memasukkan mereka ke stasiun hiburan militer Jepang (Oktorino, 2016: 259).
Pendirian-pendirian dan perekrutan jugun ianfu di wilayah Indonesia ini
diawali karena banyaknya kasus pemerkosaan terhadap warga sipil yang dilakukan oleh
tentara Jepang ketika menduduki wilayah Indonesia. Wanita- wanita pribumi maupun
Eropa yang berada di daerah, seperti Tarakan, Manado, Bandung, Padang, Yogjakarta,
sebagian daerah di Jawa Tengah, dan Pulau Flores menjadi sasaran pemerkosaan tentara
Jepang. Bahkan di Blora, 20 wanita pribumi
disekap di 2 rumah ditepi jalan raya selama 3 minggu dan diperkosa tentara Jepang
berkali-kali (Oktorino, 2016: 260).
Militer Jepang memiliki kontrol penuh dalam pengorganisasian Sistem
“Comfort Women/Jugun Ianfu” yang dibuktikan dari harus adanya persetujuan dari
tingkat tertinggi pemerintah dan militer Jepang untuk mendirikan fasilitas- fasilitas
perbudakan seksual di daerah pendudukannya untuk para perwira dan tentara Jepang.
Stasiun-stasiun hiburan (Comfort Station) ini dikontrol langsung oleh Angkatan Darat
maupun Angkatan Laut Jepang. Beberapa bukti yang menegaskan keterlibatan langsung
pemerintah dan militer Jepang dalam pembentukan sistem ini dapat dilihat dari peranan
Kementerian Perang Jepang yang membuat panduan resmi berjudul “Berbagai Hal
Mengenai Rekrutmen Perempuan” yang digunakan untuk merekrut jugun ianfu, yang
dikirim Jendral Perang kepada Kepala Staf Tentara di wilayah-wilayah pendudukan
Jepang sejak tahun 1938 (Komnas HAM, 2013).
Comfort station pertama kali didirikan militer Jepang di Balikpapan atas
perintah dari Letnan Yasuhiro Nakasone (kepala staf tentara di wilayah Balikpapan).
Hal ini dibuktikan dari adanya sebuah telegram rahasia yang dikirim Letnan Yasuhiro
kepada Kepala Staf Armada Wilayah Barat Daya tahun 1942 yang berisi persetujuan
untuk mendirikan dan mengelola fasilitas perbudakan seksual, yang meliputi penentuan
lokasi, penyediaan barang-barang, perekrutan dan pengangkutan perempuan, serta
manajemen secara keseluruhan (Komnas HAM, 2013).
Satu tahun setelah pendudukan Jepang di Indonesia, militer Jepang (Tentara ke-
16 yang bermarkas di Jawa) juga mendirikan comfort station (ian-jo) di Pulau Jawa atas
mandat dari Tentara Wilayah ke-7. Ian-jo ini berlokasi di Jakarta, Bandung, Pekalongan,
Magelang, Semarang, dan Bondowoso. Pada awalnya sebanyak 300 wanita pibumi di
paksa untuk menjadi jugun ianfu di stasiun-stasiun hiburan yang disediakan militer
Jepang. Jumlah ini semakin bertambah dalam perekrutan-perekrutan selanjutnya
(Oktorino, 2016: 261).
Di Pulau Ambon, comfort station dibangun yang berisi ratusan wanita
Indonesia yang dikumpulkan secara paksa dengan bantuan polisi sipil. Menurut
kesaksian Yasumasa Sakabe, salah satu staf di Markas Besar Pangkalan Pasukan
Khusus ke-25, markas besar militer Jepang membuka empat station baru yang berisi
sekitar 100-150 wanita Indonesia. Mereka menyeleksi wanita yang paling menarik dan
bebas dari penyakit kelamin untuk kemudian dipaksa menjadi jugun ianfu. Di daerah
Sulawesi (bagian selatan Indonesia) terdapat 27 comfort station yang berisi sekitar 281
wanita Indonesia yang masih cukup muda. Angkatan Laut Jepang bertugas untuk
mengawasi pengelolaan comfort station tersebut, di bawah pengawasan Kepala
Departemen Urusan Negara yang bertindak seijin Direktur Jendral Administrasi AL
(Komnas HAM, 2010).
Berbeda dengan Jepang, personil militer Belanda ketika menduduki wilayah
Indonesia memiliki cara lain untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Kebijakan militer
Belanda sendiri melarang praktik-praktik pemerkosaan oleh personil militernya,
sehingga personil militer Belanda yang berniat memenuhi hasrat seksualnya akan datang
ke rumah pelacuran yang ada di wilayah masing- masing. Cara lain yang dilakukan
adalah dengan berhubungan atau menikahi wanita Indonesia, sehingga tidak ada unsur
paksaan melainkan suka sama suka. Ada juga yang menjadikan wanita Indonesia
sebagai pembantu di pos-pos militer Belanda, tetapi mereka juga dijadikan wanita
simpanannya (Johari, 2018). Itjah dalam Historia edisi “Seks Serdadu Belanda”
memberikan keterangan terkait wanita-wanita Indonesia yang dijadikan simpanan
personil militer Belanda di Sumedang:
“Saya hanya ingat tiga di antaranya yakni Ceu Ipoh, Ceu Isah dan Ceu
Marni. Mereka semuanya bertugas sebagai tukang masak, tukang setrika
dan tukang cuci baju para serdadu Belanda. Saya tidak tahu
mereka bobogohan (pacaran) atau tidak, yang jelas mereka terlihat
sangat akrab dengan tentara-tentara Belanda itu. Kadang saya lihat
saling pegangan tangan,” (Johari, 2018).
Dalam pengamatan Itjah, lima pembantu yang ada di pos militer Belanda
itu sangat disayang oleh tentara Belanda. Mereka sering diberikan hadiah berupa
uang, barang, atau makanan. Keterangan lain juga diberikan oleh J.C Princen
sebagai eks serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia, “Kami melakukannya
dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau
pergi ke para pelacur,” (Johari, 2018). J.C Princen sendiri juga memiliki kekasih
seorang wanita Indonesia bernama Asmuna asal Bogor, tetapi Asmuna meninggal dunia
ditembak oleh personil militer Belanda lain yang hendak melecehkannya. Sejak saat itu
J.C Princen berbalik mendukung Indonesia dan akhirnya menikah dengan wanita
Indonesia (Johari, 2018).
Kebijakan militer Jepang dan Belanda terkait pemenuhan hasrat seksual
personil-personil militernya terbukti berbeda. Militer Belanda jelas melarang tindakan
pemerkosaan yang dilakukan oleh personil militernya di Indonesia, sehingga masing-
masing personil militer mencari jalan sendiri-sendiri untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Dan sebagian besar dari mereka menggunakan cara legal (datang ke tempat pelacuran)
atau atas dasar suka sama suka. hal ini berbeda Berbeda ketika militer Jepang
menduduki Indonesia. Sejak awal, militer Jepang menerapkan sistem jugun ianfu yang
merekrut paksa wanita-wanita Indonesia untuk dijadikan budak seks personil militer
Jepang. Personil militer Jepang juga tidak segan-segan melakukan pemerkosaan dan
kekerasan terhadap wanita-wanita di wilayahnya untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Ketika militer Jepang menerapkan sistem jugun ianfu di Indonesia, wanita-
wanita Indonesia yang dipaksa menjadi jugun ianfu tidak hanya ditempatkan di
daerahnya sendiri, namun ada sebagian dari mereka yang dikirim ke berbagai daerah di
Indonesia, bahkan ke negara lain seperti Burma (Myanmar), Malaysia, dan Filipina.
Wanita-wanita Indonesia yang dipaksa menjadi jugun ianfu tidak pernah mendapatkan
bayaran dan harus bekerja sesuai dengan jam yang ditentukan militer Jepang. Mereka
harus berkali-kali melayani tentara Jepang yang datang ke comfort station (ian-jo). Jika
mereka menolak untuk melayani tentara Jepang, maka akan disiksa bahkan dibunuh
(Komnas HAM, 2013).
Wanita-wanita yang dijadikan jugun ianfu ini tidak hanya mengalami
pelecehan seksual, tetapi juga disiksa oleh tentara Jepang. Bentuk penyiksaan yang
dilakukan berbeda-beda, apabila ada wanita yang menolak berhubungan seksual dengan
tentara Jepang, maka akan digantung hidup-hidup, untuk wanita yang ketahuan
menderita penyakit kelamin akan dibakar atau diledakkan dengan granat, sedangkan
wanita yang ketahuan hamil, kandungannya akan digugurkan
tanpa menggunakan obat bius, perutnya akan diremas oleh 4 orang tentara Jepang
hingga keguguran. Bentuk-bentuk penyiksaan lainnya seperti dicambuk, ditendang atau
dipukul, disulut besi panas, bahkan ditembak dengan bayonet juga dialami jugun ianfu
(Oktorino, 2016: 262).
Sistem Comfort Women atau jugun ianfu yang dilakukan militer Jepang di
Indonesi memiliki pola yang sama dengan sistem Comfort Women di negara
pendudukan Jepang lainnya. Sistem ini meliputi:

1) Proses Perekrutan
Pada proses ini, wanita-wanita Indonesia ada yang direkrut secara paksa yaitu
dengan cara diculik, diancam akan dibunuh jika tidak mengikuti perintah militer Jepang,
atau dilukai secara fisik. Cara lain yang dilakukan di beberapa daerah di Indoensia
adalah militer Jepang mewajibkan banyak keluarga untuk menyerahkan anak gadisnya
yang berusia 15 tahun dan belum menikah (Komnas HAM, 2010).
Selain itu, ada juga yang ditipu dengan cara menawarkan pendidikan atau
pelatihan khusus, seperti yang dialami Mardiyem yang saat itu berusia 13 tahun dan
terpaksa harus menjadi jugun ianfu. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer” menerangkan adanya bukti penipuan yang
dilakukan oleh militer Jepang menurut keterangan Soeryo Hadi, bekas anggota
pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Perwakilan Surabaya:
“….dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa pemerintah
pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orangtua yang
mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah
anak gadisnya. Adapun maksud pendaftaran, mereka akan disekolahkan.
Sehubungan dengan ini, di Ungaran telah didaftar anak-anak gadis dari
umur 1-17 tahun sejumlah 5 orang. Mereka didaftar dan dibawa ke
Semarang guna pengurusan selanjutnya” (Ananta, 2007: 34).

Pada beberapa kasus, pejabat atau tokoh sipil di daerah pendudukan Jepang
juga terlibat dalam proses perekrutan dan pengumpulan wanita-wanita
yang akan dijadikan jugun ianfu. Berdasarkan Catatan harian Operasi
Kementerian Perang Jepang di Indonesia menyatakan bahwa “para kepala di
wilayah-wilayah Indonesia ditugaskan untuk mengumpulkan wanita sesuai kuota
yang ditentukan dan mengelola comfort station” (Komnas HAM, 2010).

2) Proses Pengangkutan
Sebelum calon-calon jugun ianfu diangkut ke daerah yang terdapat comfort
station, mereka diwajibkan untuk mengikuti pengecekan kesehatan untuk memastikan
bahwa tidak ada yang mengidap penyakit menular seksual dan tidak ada yang hamil.
Setelah itu, mereka barulah dibawa ke daerah tujuan dengan menggunakan truk atau
kapal perang dan dijaga ketat oleh anggota militer Jepang. Bahkan sebagian dari mereka
ada yang diangkut ke negara lain. Berdasarkan kesaksian Mardiyem (salah satu korban
jugun ianfu), ia dibawa paksa dari Yogyakarta ke Banjarmasin (Komnas HAM, 2010).

3) Proses Penempatan Di Comfort Station/Ian-jo


Setelah sampai di comfort station, wanita-wanita ini dipaksa masuk ke
ruangan-ruangan yang berbeda dalam satu bangunan. Bangunan yang biasanya dipakai
sebagai comfort station adalah kamp pangkalan militer, rumah, hotel, asrama, atau
rumah sakit yang diambil alih militer Jepang. Wanita-wanita ini diberikan nama-nama
Jepang yang ditempel di pintu ruangannya. Bagi wanita- wanita korban penipuan dan
tidak mengetahui akan menjadi jugun ianfu, mereka harus menjalani tes kesehatan
terlebih dulu ketika sampai di ian-jo. Wanita-wanita yang terkena penyakit menular
seksual akan langsung dibunuh atau ditenggelamkan di sungai (Komnas HAM, 2010).
Wanita-wanita yang sudah sampai di comfort station akan langsung dipaksa
untuk melayani tentara Jepang. Bagi wanita yang tidak mampu memuaskan tentara
Jepang akan dikurung, disiksa, dan tidak diberi makanan. Bagi jugun ianfu yang
melarikan diri, jika tertangkap akan langsung ditembak atau disiksa hingga meninggal
dunia. Mereka dipaksa untuk melayani rata-rata 15-30 orang setiap harinya (Komnas
HAM, 2013).
3.4 Kesimpulan
Budaya Organisasi (organizational culture) sama seperti ideologi yang
mempengaruhi pemikiran, keyakinan, dan tindakan individu yang termasuk di
dalamnya. Dalam sebuah organisasi militer, doktrin militer membentuk kepatuhan para
personil militer terhadap tujuan perang negaranya dan komando militer dari atasannya,
sehingga mereka cenderung mengabaikan hukum humaniter internasional. Dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi yang dimiliki oleh militer berbentuk doktrin
militer. Dalam Angkatan Kekaisaran Jepang, doktrin militer ini adalah Imperial
Prescript Armed Forced yang dikeluarkan oleh Kaisar Meiji pada tahun 1942 berisi 5
point utama yang menekankan untuk menghormati perintah dari atasan sebagai perintah
bersama. Seorang tentara harus mematuhi segala perintah atasan tanpa harus
menggunakan alasan rasional atau alasan moral. Bukti pelaksanaan doktrin ini terlihat
dalam peristiwa The Rape of Nanking pada tahun 1937 yang mengakibatkan
pembunuhan dan pemerkosaan masal oleh personil militer Jepang karena adanya
perintah dari pemimpin militernya secara langsung. Pola serupa juga dilakukan di
negara-negara pendudukan Jepang lainnya, termasuk Indonesia.
Dengan adanya doktrin ini juga, seluruh personil militer Jepang tunduk dan
patuh terhadap segala perintah Kaisar sebagai pemimpin tertinggi militer Jepang dan
sosok yang diagungkan. Salah satu perintah Kaisar ketika terjadinya Perang Dunia II
adalah untuk membangun sistem jugun ianfu di negara-negara pendudukan Jepang, yang
dibuktikan dengan penemuan pembangunan ianjo pertama di Shanghai tahun 1933 dan
telegram rahasia militer Jepang yang menunjukkan perintah pengiriman jugun ianfu di
wilayah Indonesia yang disetujui oleh kaisar. Dengan adanya perintah dan persetujuan
dari kaisar, militer Jepang tunduk dan melaksanakan pembangunan sistem jugun ianfu
yang kemudian menjadi salah satu bentuk kejahatan perang Jepang di negara-negara
pendudukannya, termasuk di Indonesia pada masa Perang Dunia II 1942-1945.

59
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu faktor


pendorong militer Jepang melakukan kejahatan perang terhadap Indonesia berupa
perbudakan seksual (jugun ianfu) pada masa Perang Dunia II, peneliti merujuk
pada teori organizational culture (Budaya Organisasi) dari konstruktivisme yang
mampu memberikan analisis mengenai motif militer Jepang melakukan kejahatan
perang. Budaya organisasi ini seperti ideologi yang mempengaruhi pemikiran,
keyakinan, dan tindakan individu didalamnya. Dalam sebuah organisasi militer,
budaya organisasi berbentuk doktrin militer yang dapat mendorong personil
militer mengabaikan hukum humaniter internasional.
Faktor utama yang mendorong Angkatan Kekaisaran Jepang melakukan
perbudakan seksual adalah doktrin militer Imperial Prescript Armed Forced
(Gunjin Chokuyu) yang dikeluarkan oleh Kaisar Meiji pada tahun 1882 yang
menuntut adanya kepatuhan dari personil militer Jepang kepada perintah Kaisar
dan pemimpin-pemimpin militernya sebagai perintah bersama. Doktrin ini
membentuk pola pikir personil militer Jepang untuk memegang teguh tujuan
perang negaranya dan perintah dari pemimpin militernya diatas ketentuan hukum
perang Internasional. Pelaksanaan doktrin ini pertama kali terlihat dalam peristiwa
The Rape of Nanking pada tahun 1937 ketika Jepang menyerang China.
Komandan Tentara Nanking memberikan perintah pembunuhan dan pemerkosaan
terhadap setiap orang yang ditemui, sehingga mengakibatkan pembunuhan dan
pemerkosaan masal oleh personil militer Jepang. Pola serupa juga dilakukan di
negara-negara pendudukan Jepang lainnya, termasuk Indonesia. Hal ini
dibuktikan dari kesaksian Anji Kaneko seorang veteran Jepang di wilayah
Indonesia, “Bukan masalah bagi kami jika wanita itu hidup atau mati. Kami
adalah prajurit Kaisar. Entah di rumah-rumah bordil militer atau di desa-desa,
kami akan melakukan perkosaan tanpa rasa ragu.” Kesaksian ini memberikan

69
bukti bahwa doktrin militer Jepang yang menuntut kepatuhan kepada perintah
Kaisar membentuk pola pikir personil militer Jepang yang brutal di medan perang
karena telah adanya perintah dan persetujuan dari kaisar Jepang untuk melakukan
tindakan apapun di medan perang demi kemenangan Jepang.
Faktor kedua adalah adanya perintah dari Kaisar Jepang sendiri untuk
membentuk sistem jugun ianfu khususnya di Indonesia. Kaisar memiliki
kedudukan tertinggi dalam sistem hierarki militer Jepang. Masyarakat Jepang dan
militer Jepang mengagungkan kaisar sebagai keturunan dewa matahari (sakral),
sehingga segala titah dari kaisar mutlak untuk dilaksanakan. Ketika Perang Dunia
II terjadi, Kaisar Hirohito memerintahkan pembangunan sistem jugun ianfu di
negara-negara pendudukan Jepang, termasuk Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya telegram rahasia yang dikirim kepada Kementerian Perang Jepang
tanggal 17 Maret 1942 dari Komandan Tentara Taiwan yang sebelumnya
menerima telegram dari Komandan Tentara Indonesia di Sumatera tanggal 12
Maret 1942, yang berisi permintaan persetujuan untuk mengirim 50 orang jugun
ianfu dari wilayah Sumatera ke Borneo (Kalimantan) karena ada kekurangan
jumlah jugun ianfu di Borneo. Kemudian Kementerian Perang Jepang membalas
telegram ini pada tanggal 18 Maret 1942 yang berisi persetujuan dari otoritas
tertinggi (Kaisar Jepang) untuk mengirimkan jugun ianfu ke wilayah lain.
Perintah Kaisar Jepang merupakan mandat yang harus dilaksanakan
sebagaimana disebutkan dalam doktrin militer Jepang yaitu Imperial Prescript
Armed Forced (Gunjin Chokuyu), maka militer Jepang membentuk sistem jugun
ianfu sebagai salah satu kebijakan militernya selama perang. Hal ini terbukti dari
penemuan dokumen panduan resmi yang dikeluarkan Kementerian Perang Jepang
tahun 1938 berjudul “Berbagai Hal Mengenai Rekrutmen Perempuan” untuk
merekrut jugun ianfu, yang dikirim oleh Jendral Perang kepada Kepala Staf
Tentara di wilayah-wilayah pendudukan Jepang sejak tahun 1938. Kedua faktor
inilah yang mendorong militer Jepang melanggar hukum perang internasional
yaitu Konvensi Hague 1907 selama Perang Dunia II dengan melakukan kejahatan
perang berupa perbudakan seksual (jugun ianfu), khususnya di wilayah Indonesia.
4.2 Saran
Penelitian ini melihat faktor pendorong militer Jepang melakukan
kejahatan perang di Indonesia berupa perbudakan seksual pada masa Perang
Dunia II. Ketika penelitian ini disusun, penulis melihat kurangnya perhatian
pemerintah Indonesia terhadap kasus jugun ianfu yang dibuktikan dengan tidak
terfasilitasinya mantan korban jugun ianfu ketika menuntut keadilan atas tindak
kejahatan perang Jepang dalam Pengadilan Tokyo (The Women International War
Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery) tahun 2000. Berbeda dengan
korban-korban dari negara lain seperti Korea yang benar-benar didukung oleh
negaranya ketika menuntut keadilan. Penulis menyarankan kepada pemerintah
Indonesia untuk lebih menghargai, melindungi, dan menfasilitasi korban-korban
jugun ianfu sebagai bagian dari NKRI dan sejarah nasional Indonesia.
Bagaimanapun juga, mereka merupakan warga negara yang harus dilindungi dan
difasilitasi oleh negara ketika terjadi pelanggaran HAM, meskipun telah terjadi di
masa lalu.
Kedua, saran untuk pemerintah Jepang sebagai salah satu aktor utama
dalam Perang Dunia II, untuk memenuhi tanggungjawabnya sebagai penjahat
perang dalam menyelesaikan tuntutan-tuntutan dari mantan korban jugun ianfu di
berbagai negara pendudukannya. Bagaimanapun juga, jugun ianfu merupakan
bagian dari sejarah Jepang, sehingga bukti-bukti berupa dokumen-dokumen
terkait seharusnya dipertahankan untuk memperkaya ilmu pengetahuan. Selain itu,
perlu adanya riset lebih lanjut yang membahas mengenai kasus-kasus kejahatan
perang yang dilakukan oleh Jepang pada masa lalu dan implikasinya dengan dunia
internasional pada saat ini. Sudah banyak penelitian yang membahas mengenai
kejahatan perang Jepang, khususnya perbudakan seksual, tetapi hanya melihat dari
segi historis, sehingga diperlukan penelitian-penelitian lain yang melihat tema ini
dalam perspektif Hubungan Internasional.

62
DAFTAR
PUSTAKA

A. Sumber Buku, E-Book, dan E-Jurnal

Aksular, A. D. 2010. War Crimes and Human Right Violations of Imperial Japan
Army in the Second Sino-Japanese War between 1937 and 1945. 1-21.

Ananta Toer, P. 2007. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia.

Bakry, U. S. 2016. Metode Penelitian Hubungan Internasional. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Bull, R., Bilby, C., Cooke, C., Grant, T., Hatcher, R., & Woodhams, J. 2006.
Criminal Psychology. Oxford: Oneworld Publications.

Djoened, M., & Notosusanto, N. 2011. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman


Jepang dan Zaman Republik Indonesia 1942-1945. Jakarta: Balai Pustaka.

Eisei, K. 2000. Nation-State, Empire, and Army: The Case of Meiji Japan. SENRI
ETHNOLOGICAL STUDIES , 102.

Faisal Salam, M. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Bandung: CV


Mandar Maju.

Faqih, M. 2000. Membincangkan Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam.


Surabaya: Risalah Gusti.

Hagan, F. E. 1986. Introduction to Criminology Theories, Method, and Criminal


Behavior. Chicago: Nelson-Hall Inc.

Hiariej, E. O. 2010. Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM.


Yogyakarta: Erlangga.

63
Hicks, G. W. 1995. The Comfort Woman : Japan’s Brutal Rigme of Enforced
Prostitution in 2nd World war. London: Norton Company.

Hindra, E., & Koichi, K. 2007. Momoye Mereka Memanggilku. Surabaya:


Erlangga.

Jackson, R., & Sorensen, G. 2014. Pengantar Studi Hubungan Internasional.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Janga, A. 2012. Kejahatan-Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional.


Malang: STFT widya Sasana.

Jowett, P. 2002. The Japanese Army 1931-1945. Great Britain: Osprey Publishing
Ltd.

Kemendikbud. 2011. Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi.


Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Kier, E. 1995. Culture and French Military Doctrine Before World WWar II.
International Security Vol. 19 No. 4 , 65-93.

Knter, E., & Sianturi, S. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Koshiro, Y. 2001. Japan's World and World War II. Diplomatic History , 1-17.

Legro, J. W. 1994. Military Culture and Inadvertent Escalation in world War II.
International Security Vol. 18, No. 4 , 108-142.

Lzee, S. R. 2003. Comforting The Comfort Women: Who Can Make Japan Pay?
Journal of Internatinal Economic .

Mauriello, J. A. 1999. Japan and The Second World War: The Aftermath of
Imperialism. IR 163 .
Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif - Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. California: Sage


Publications.

Nobutaka, I. 1967. Japan's Decision for War Records of the 1941 Policy
Conference. (p. 56). California: Standford University Press.

Norman, E., & Angell, D. 1999. Vivian Bullwinkel: Sole Survivor of The 1942
Massacre of Australian Nurses. Nursing History Review , 97-112.

Oktorino, N. 2016. Di Bawah Matahari Terbit : Sejarah Pendudukan Jepang di


Indonesia 1941-1945. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Rosyidin, M. 2017. Kejahatan Perang: Perspektif Politik dan Hubungan


Internasional. Semarang: CV EF Press Digimedia.

Rosyidin, M. 2015. The Power of Ideas. Yogyakarta: Tiara Wacana .

Salam, M. F. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Sato, S. 1994. "Buku Putih" Masa Pendudukan Jepang. Sydney: Allen & Unwin
Pty. Ltd.

Savitri, D. 2010. Kejahatan Perang Oleh Jepang (Studi Kasus Terhadap Jugun
Ian-fu Sebagai Hegemoni Kebudayaan di Indonesia Periode 1942-1945).
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. III , 284-295.

Shinits, R. 2012. Kekerasan negara Terhadap Perempuan. Jurnal Kriminologi


Indonesia, vol 3 No 1 .

Singarimbun, M. &. 1981. Metode Penelitian Survei Edisi Kedua. Yogyakarta:


Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.
Smethurst, R. J. 2012. Japan, the United States, and the Road to World War II in
the Pacific. The Asia-Pacific Journal .

Syarif, A. 1991. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.

Teshima, T. 2006. Myths of Hakko Ichiu: Nationalism, Liminality, and Gender in


Official Ceremonies of Modern Japan. The University of Arizona , 25-35.

Tsunoda, R. 1958. Sources of Japanese Tradition I. New York: Columbia


University Press.

Widiyanti, N., & Waskita, Y. 1987. kejahatan dalam masyarakat


dan pencegahannya. Jakarta : Bina Aksara.

Wright, Q. 1951. A Atudy of War. Chicago: The University Chicago Press.

Xiong, Y. 2014. Representing empire : Japanese colonial literature in Taiwan


and Manchuria. Leiden : Brill.

Yuki, T. 2002. Japan's Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution during
World War II and The US Occupation. London: Routledge.

B. Sumber Internet

Buck, J. H. 1971. Education and Socialization in the Japanese Self-Defense


Force. https://files.eric.ed.govfulltextED059137.pdf

Drea, E., & Yang, D. 2006. Researching Japanese War Crimes Records.
https://www.archives.gov/files/iwg/japanese-war-crimes/introductory-
essays.pdf

Esplen, E., & Jolly, S. 2006. GENDER and SEX : A sample of definitions .
http://www.iwtc.org/ideas/15_definitions.pdf
ICC. 1998. Rome Statute of the International Criminal Court. https://www.icc-
cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-
0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf

International Commite of the Red Cross. 2005. Customary International


Humanitarian Law. https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/customary-
international-humanitarian-law-i-icrc-eng.pdf

Ito, H. 1889. The Constitution of the Empire of Japan 1889.


https://history.hanover.edu/texts/1889con.html

Janga, A. 2002. Kejahatan-Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional.


http://www.studiapt.org/docstod0nld/Vol%202%20No%202%20oktober%
202002%20h159-176.pdf

Johari, H. (2018, November 29). Seks Serdadu Belanda. Retrieved from Historia:
https://historia.id/modern/articles/seks-serdadu-belanda-PyReN

Koentjoro. 2009. Kriminologi dalam Perspektif Psikologi Sosial. http://koentjoro-


psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Kriminologi-1.pdf

Komnas HAM. 2001. Deklarasi Universal Hak Asasi


Manusia. https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-
universal-hak- asasi--$R48R63.pdf

Komnas HAM. 2010. Menggugat Negara Indonesia Atas Pengabaian HAM


(Pembiaran) Jugun Ian-fu Sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang
1942-1945.
http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dokumen/Menggugat%20
Ngr%20%20Indo%20Atas%20Pengabaian%20HAM%20(Pembiaran).pdf

Komnas HAM. 2013. Pengadilan Kejahatan Perang Internasional Terhadap


Perempuan. http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dok-
publikasi/BUKU%20PENGADILAN%20INTERNASIONAL.pdf
Molnar, M. 2018. Defining the “Comfort Women” Phenomenon: Prostitution to
Sexual Enslavement. The University of Iowa:
http://ir.uiowa.edu/honors_theses

OHCHR. 2002. Abolishing Slavery and its Contemporary Forms. Office of the
United Nations High Commissioner for Human Rights:
http://www.ohchr.org/Documents/Publications/slaveryen.pdf

Oliver, M. 2018. The Forgotten Holocaust: 27 Tragic Photos from The Rape of
Nanking. https://allthatsinteresting.com/rape-of-nanking-massacre

US Holocaust. 2005. Timeline of The Second World War.


http://www.un.org/en/holocaustremembrance/PDF/Timeline20WWII.pdf

68
LAMPIRAN

Japanese Imperial Rescript Armed Forces (Gunjin Chokuyu) 1882

…Soldiers and Sailors, We are your supreme Commander-in-Chief. Our relations

with your will be most intimate when We rely upon you as Our limbs and you

look up to Us as your head. Whether We are able to guard the Empire, and so

prove Ourself worthy of Heaven’s blessings and repay the benevolence of Our

Ancestors, depends upon the faithful discharge of your duties as soldiers and

sailors. If the majesty and power of Our Empire be impaired, do you share with

Us the sorrow; if the glory of Our arms shine resplendent, We will share with you

the honor. If you all do your duty, and being one with Us in spirit do your utmost

for the protection of the state, Our people will long enjoy the blessings of peace,

and the might and dignity of Our Empire will shine in the world. As We thus

expect much of you, Soldiers and Sailors, We give you the following precepts:

1. The soldier and sailor should consider loyalty their essential duty. Who that

is born in this land can be wanting in the spirit of grateful service to it? No

soldier or sailor, especially, can be considered efficient unless this spirit be

strong within him. A soldier or a sailor in whom this spirit is not strong,

however skilled in art or proficient in science, is a mere puppet; and a body of

soldiers or sailors wanting in loyalty, however well ordered and disciplined it

may be, is in an emergency no better than a rabble. Remember that, as the

protection of the state and the maintenance of its power depend upon the

strength of its arms, the growth or decline of this strength must affect the

69
nation’s destiny for good or for evil; therefore neither be led astray by current

opinions nor meddle in politics, but with single heart fulfill your essential

duty of loyalty, and bear in mind that duty is weightier than a mountain, while

death is lighter than a feather. Never by failing in moral principle fall into

disgrace an bring dishonor upon your name.

2. The soldier and the sailor should respect due to Emperor and superiors and

have considerations to be shown inferiors to Emperor.

3. The soldier and the sailor should esteem valor …. To be incited by mere

impetuosity to violent action cannot be called true valor. The soldier and the

sailor should have sound discrimination of right and wrong, cultivate self-

possession, and form their plans with deliberation. Never to despise an

inferior enemy or fear a superior, but to do one’s duty as soldier or sailor—

this is true valor. Those who thus appreciate true valor should in their daily

intercourse set gentleness first and aim to win the love and esteem of

others. If you affect valor and act with violence, the world will in the end

detest you and look upon you as wild beasts. Of this you should take heed.

4. The soldier and the sailor should highly value faithfulness and righteousness.

…Faithfulness implies the keeping of one’s word, and righteousness the

fulfillment of one’s duty. If then you wish to be faithful and righteous in any

thing, your must carefully consider at the outset whether you can accomplish

it or not. If you thoughtlessly agree to do something that is vague in its nature

and bind yourself to unwise obligations, and then try to prove yourself

faithful and righteous, your may find yourself in great straits


from which there is no escape….Ever since ancient times there have been

repeated instances of great men and heroes who, overwhelmed by misfortune,

have perished and left a tarnished name to posterity, simply because in their

effort to be faithful in small matters they failed to discern right and wrong

with reference to fundamental principles, or because, losing sight of the true

path of public duty, they kept faith in private relations. You should, then,

take serious warning by these examples.

5. The soldier and sailor should make simplicity their aim. If you do not make

simplicity your aim, you will become effeminate and frivolous and acquire

fondness for luxurious and extravagant ways; you will finally grow selfish

and sordid and sink to the last degree of baseness, so that neither loyalty nor

valor will avail to save you from the contempt of the world.

These five articles should not be disregarded even for a moment by soldiers and

sailors. Now for putting them into practice, the all important thing is

sincerity. These five articles are the soul of Our soldiers and sailors, and sincerity

is the soul of these articles. If the heart be not sincere, words and deeds, however

good, are all mere outward show and can avail nothing. If only the heart be

sincere, anything can be accomplished. Moreover these five articles are the

“Grand Way” of Heaven and earth and the universal law of humanity, easy to

observe and to practice. If you, Soldiers and Sailors, in obedience to Our

instruction, will observe and practice these principles and fulfil your duty of

grateful service to the country, it will be a source of joy, not to Ourself alone, but

to all the people of Japan (Tsunoda, 1958).

Anda mungkin juga menyukai