Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (ISBD)


DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP ASPEK SOSIAL
BUDAYA

DOSEN PEMBIMBING :
Fajar Ferdian, S.Pd

DISUSUN OLEH :
Kamila Tsamratul Fuadah

AKADEMI KEBIDANAN CIANJUR


Jl. Pangeran Hidayatullah No.103, Sawah Gede, Kec. Cianjur, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat 43212
KATA PENGANTAR

Bissmillahirahmanirahim,                                
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu
Rasa syukur patut saya panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T yang telah mengijinkan dan
memberi nikmat kemudahan kepada saya dalam menyusun dan menulis makalah Ilmu Sosial
Budaya Dasar yang berjudul Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Aspek Sosial Budaya.
Hal yang paling mendasar yang mendorong saya menyusun makalah ini adalah tugas dari
mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD), untuk mencapai nilai yang memenuhi syarat
perkuliahan.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga atas
bimbingan dosen dan semua pihak sehingga makalah ini dapat saya selesaikan dengan baik.
Andai ada kekurangan dalam makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Cianjur , 11 November 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Saat ini dunia dilanda oleh
Kejadian Luar Biasa (KLB)
berupa pandemi COVID-19
yang disebabkan oleh virus
SARS-CoV-2 yang menginfeksi
individu pertamanya di Wuhan,
salah satu kota di Republik
Rakyat Tiongkok dan kemudian
menyebar ke seluruh penjuru
dunia tak terkecuali Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri
mengkonfirmasi kasus
COVID-19 pertama di
Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 meskipun muncul
beberapa
spekulasi bahwa COVID-19
telah masuk ke Indonesia
beberapa waktu sebelumnya
(Tim
detikcom, 2020). Per 14 Mei
2020, kasus positif COVID-19
sudah mencapai angka 16.006
dengan angka kesembuhan
sebesar 3.518 dan kematian
sebesar 1.043 jiwa (Idhom,
2020).
Pemerintah Indonesia
menerapkan beberapa langkah
seperti menganjurkan warganya
untuk
tetap berada di rumah hingga
pemberlakuan Pembatasan
Sosial Berskala Besar atau
disingkat
PSBB, meskipun memang
kebijakan tersebut menunjukkan
adanya pembatasan kebebasan
sipil masyarakat untuk
berkumpul (Liputan6, 2020)
serta adanya kemunduran dalam
kinerja
masyarakat dalam sektor
ekonomi yang pada akhirnya
berujung pada jatuhnya
perekonomian
pada skala nasional
(Hadiwardoyo, 2020; Ansori,
2020; Ahmad, 2020), sehingga
terdapat
anjuran dari Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanggulangan
COVID-19 dari BNPB yaitu
Doni Monardo yang
menyarankan bagi para warga
dengan usia dibawah 45 tahun
kebawah
untuk diperbolehkan
beraktivitas dengan tujuan
untuk menggerakkan kembali
perekonomian
(Riana & Amirullah, 2020).
PSBB membatasi mobilitas
lokal penduduk maupun secara
lokal sirkuler dan
temporer dengan adanya
anjuran untuk tidak melakukan
bahkan pelarangan kegiatan
mudik
terutama bagi penduduk yang
berdomisili di daerah yang
menerapkan PSBB seperti
Jabodetabek, wilayah Bandung
Raya, Kota Makassar, Kota
Pekanbaru, Kota Tegal, Kota
Banjarmasin, Kota Tarakan,
Kota Surabaya, Kabupaten
Gowa, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Gresik, hingga
provinsi Sumatera Barat
(Permana, 2020). Meskipun
begitu, masih
terdapat beberapa orang yang
tetap melakukan kegiatan
mudik (Manurung & Hantoro,
2020)
bahkan hingga melakukan
penyelundupan pemudik (Tim
detikcom, 2020). Tim peneliti
melihat bahwa penjabaran
diatas menjadi tantangan bagi
pemerintah Indonesia dan juga
warga Indonesia sendiri dalam
rangka mempercepat
penuntasan wabah COVID-19
di
Indonesia, meskipun memang
kegiatan-kegiatan yang terkesan
melanggar peraturan PSBB
tersebut banyak yang didasari
pada faktor ekonomi yang
mendesak serta keresahan akan
adanya pembatasan kebebasan
sipil dalam berkumpul dan juga
bepergian. Oleh karena itu,
untuk memahami lebih
mendalam mengenai
penyebaran kasus COVID-19 di
Indonesia dan
dampaknya terhadap situasi
nasional, tim peneliti akan
menjabarkan data penyebaran
kasus
COVID-19, tantangan berat
dalam memutus rantai
penyebaran, dan dampak sosial
dan
ekonomi di masa mendatang
dari perspektif demografi sosial.
2. PERTANYAAN
PENELITIAN
2.1. Bagaimana sebaran
wabah COVID-19 berdasarkan
jumlah, komposisi serta
distribusi penduduk di
Indonesia?
2.2. Bagaimana dampak
wabah COVID-19 terhadap
aspek sosial dan ekonomi pada
masyarakat Indonesia?
2.3. Mengapa terdapat
tantangan dalam memutus mata
rantai wabah COVID-19 di
Indonesia?
2.4. Bagaimana langkah
dalam mengatasi tantangan
dalam memutus rantai wabah
COVID-19 di Indonesia?
1. LATAR BELAKANG
Saat ini dunia dilanda oleh
Kejadian Luar Biasa (KLB)
berupa pandemi COVID-19
yang disebabkan oleh virus
SARS-CoV-2 yang menginfeksi
individu pertamanya di Wuhan,
salah satu kota di Republik
Rakyat Tiongkok dan kemudian
menyebar ke seluruh penjuru
dunia tak terkecuali Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri
mengkonfirmasi kasus
COVID-19 pertama di
Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 meskipun muncul
beberapa
spekulasi bahwa COVID-19
telah masuk ke Indonesia
beberapa waktu sebelumnya
(Tim
detikcom, 2020). Per 14 Mei
2020, kasus positif COVID-19
sudah mencapai angka 16.006
dengan angka kesembuhan
sebesar 3.518 dan kematian
sebesar 1.043 jiwa (Idhom,
2020).
Pemerintah Indonesia
menerapkan beberapa langkah
seperti menganjurkan warganya
untuk
tetap berada di rumah hingga
pemberlakuan Pembatasan
Sosial Berskala Besar atau
disingkat
PSBB, meskipun memang
kebijakan tersebut menunjukkan
adanya pembatasan kebebasan
sipil masyarakat untuk
berkumpul (Liputan6, 2020)
serta adanya kemunduran dalam
kinerja
masyarakat dalam sektor
ekonomi yang pada akhirnya
berujung pada jatuhnya
perekonomian
pada skala nasional
(Hadiwardoyo, 2020; Ansori,
2020; Ahmad, 2020), sehingga
terdapat
anjuran dari Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanggulangan
COVID-19 dari BNPB yaitu
Doni Monardo yang
menyarankan bagi para warga
dengan usia dibawah 45 tahun
kebawah
untuk diperbolehkan
beraktivitas dengan tujuan
untuk menggerakkan kembali
perekonomian
(Riana & Amirullah, 2020).
PSBB membatasi mobilitas
lokal penduduk maupun secara
lokal sirkuler dan
temporer dengan adanya
anjuran untuk tidak melakukan
bahkan pelarangan kegiatan
mudik
terutama bagi penduduk yang
berdomisili di daerah yang
menerapkan PSBB seperti
Jabodetabek, wilayah Bandung
Raya, Kota Makassar, Kota
Pekanbaru, Kota Tegal, Kota
Banjarmasin, Kota Tarakan,
Kota Surabaya, Kabupaten
Gowa, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Gresik, hingga
provinsi Sumatera Barat
(Permana, 2020). Meskipun
begitu, masih
terdapat beberapa orang yang
tetap melakukan kegiatan
mudik (Manurung & Hantoro,
2020)
bahkan hingga melakukan
penyelundupan pemudik (Tim
detikcom, 2020). Tim peneliti
melihat bahwa penjabaran
diatas menjadi tantangan bagi
pemerintah Indonesia dan juga
warga Indonesia sendiri dalam
rangka mempercepat
penuntasan wabah COVID-19
di
Indonesia, meskipun memang
kegiatan-kegiatan yang terkesan
melanggar peraturan PSBB
tersebut banyak yang didasari
pada faktor ekonomi yang
mendesak serta keresahan akan
adanya pembatasan kebebasan
sipil dalam berkumpul dan juga
bepergian. Oleh karena itu,
untuk memahami lebih
mendalam mengenai
penyebaran kasus COVID-19 di
Indonesia dan
dampaknya terhadap situasi
nasional, tim peneliti akan
menjabarkan data penyebaran
kasus
COVID-19, tantangan berat
dalam memutus rantai
penyebaran, dan dampak sosial
dan
ekonomi di masa mendatang
dari perspektif demografi sosial.
2. PERTANYAAN
PENELITIAN
2.1. Bagaimana sebaran
wabah COVID-19 berdasarkan
jumlah, komposisi serta
distribusi penduduk di
Indonesia?
2.2. Bagaimana dampak
wabah COVID-19 terhadap
aspek sosial dan ekonomi pada
masyarakat Indonesia?
2.3. Mengapa terdapat
tantangan dalam memutus mata
rantai wabah COVID-19 di
Indonesia?
2.4. Bagaimana langkah
dalam mengatasi tantangan
dalam memutus rantai wabah
COVID-19 di Indonesia?
1. LATAR BELAKANG
Saat ini dunia dilanda oleh
Kejadian Luar Biasa (KLB)
berupa pandemi COVID-19
yang disebabkan oleh virus
SARS-CoV-2 yang menginfeksi
individu pertamanya di Wuhan,
salah satu kota di Republik
Rakyat Tiongkok dan kemudian
menyebar ke seluruh penjuru
dunia tak terkecuali Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri
mengkonfirmasi kasus
COVID-19 pertama di
Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 meskipun muncul
beberapa
spekulasi bahwa COVID-19
telah masuk ke Indonesia
beberapa waktu sebelumnya
(Tim
detikcom, 2020). Per 14 Mei
2020, kasus positif COVID-19
sudah mencapai angka 16.006
dengan angka kesembuhan
sebesar 3.518 dan kematian
sebesar 1.043 jiwa (Idhom,
2020).
Pemerintah Indonesia
menerapkan beberapa langkah
seperti menganjurkan warganya
untuk
tetap berada di rumah hingga
pemberlakuan Pembatasan
Sosial Berskala Besar atau
disingkat
PSBB, meskipun memang
kebijakan tersebut menunjukkan
adanya pembatasan kebebasan
sipil masyarakat untuk
berkumpul (Liputan6, 2020)
serta adanya kemunduran dalam
kinerja
masyarakat dalam sektor
ekonomi yang pada akhirnya
berujung pada jatuhnya
perekonomian
pada skala nasional
(Hadiwardoyo, 2020; Ansori,
2020; Ahmad, 2020), sehingga
terdapat
anjuran dari Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanggulangan
COVID-19 dari BNPB yaitu
Doni Monardo yang
menyarankan bagi para warga
dengan usia dibawah 45 tahun
kebawah
untuk diperbolehkan
beraktivitas dengan tujuan
untuk menggerakkan kembali
perekonomian
(Riana & Amirullah, 2020).
PSBB membatasi mobilitas
lokal penduduk maupun secara
lokal sirkuler dan
temporer dengan adanya
anjuran untuk tidak melakukan
bahkan pelarangan kegiatan
mudik
terutama bagi penduduk yang
berdomisili di daerah yang
menerapkan PSBB seperti
Jabodetabek, wilayah Bandung
Raya, Kota Makassar, Kota
Pekanbaru, Kota Tegal, Kota
Banjarmasin, Kota Tarakan,
Kota Surabaya, Kabupaten
Gowa, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Gresik, hingga
provinsi Sumatera Barat
(Permana, 2020). Meskipun
begitu, masih
terdapat beberapa orang yang
tetap melakukan kegiatan
mudik (Manurung & Hantoro,
2020)
bahkan hingga melakukan
penyelundupan pemudik (Tim
detikcom, 2020). Tim peneliti
melihat bahwa penjabaran
diatas menjadi tantangan bagi
pemerintah Indonesia dan juga
warga Indonesia sendiri dalam
rangka mempercepat
penuntasan wabah COVID-19
di
Indonesia, meskipun memang
kegiatan-kegiatan yang terkesan
melanggar peraturan PSBB
tersebut banyak yang didasari
pada faktor ekonomi yang
mendesak serta keresahan akan
adanya pembatasan kebebasan
sipil dalam berkumpul dan juga
bepergian. Oleh karena itu,
untuk memahami lebih
mendalam mengenai
penyebaran kasus COVID-19 di
Indonesia dan
dampaknya terhadap situasi
nasional, tim peneliti akan
menjabarkan data penyebaran
kasus
COVID-19, tantangan berat
dalam memutus rantai
penyebaran, dan dampak sosial
dan
ekonomi di masa mendatang
dari perspektif demografi sosial.
2. PERTANYAAN
PENELITIAN
2.1. Bagaimana sebaran
wabah COVID-19 berdasarkan
jumlah, komposisi serta
distribusi penduduk di
Indonesia?
2.2. Bagaimana dampak
wabah COVID-19 terhadap
aspek sosial dan ekonomi pada
masyarakat Indonesia?
2.3. Mengapa terdapat
tantangan dalam memutus mata
rantai wabah COVID-19 di
Indonesia?
2.4. Bagaimana langkah
dalam mengatasi tantangan
dalam memutus rantai wabah
COVID-19 di Indonesia?
1. Latar Belakang
Saat dunia dilanda oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) berupa Pandemi COVID-19 yang
disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi individu pertamanya di Wuhan,
Salah satu kota di Republik Rakyat Tiongkok dan Kemudian Menyebar ke seluruh
penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri mengkonfirmasi
kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 meskipun muncul
beberapa spekulasi bahwa COVID-19 telah masuk Indonesia beberapa waktu sebelumnya
(Tim deticom,2020). Per 11 November 2020, Kasus positif COVID-19 sudah mencapai
angka 444.000 dengan angka kesembuhan 376.000 dan kematian sebesar 14.761 jiwa.
Pemrintah Indonesia menerapkan beberapa langkah seperti menganjurkan warganya
untuk tetap berada di rumah hingga pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB), Meskipun memang kebijakan tersebut menunjukan adanya pembatasan
kebebasan sipil masyarakat untuk berkumpul (Liputan6,2020).

PSBB membatasi mobilitas lokal penduduk maupun secara lokal sirkuler dan temporer
dengan adanya anjuran untuk tidak melakukan bahkan pelarangan kegiatan mudik
terutama bagi penduduk yang berdomisili di daerah yang menerapkan PSBB seperti
Jabodetabek, Bandung Raya, Makassar, Pekanbaru,Tegal, Banjarmasin, Tarakan,
Surabaya, Gowa, Sidoarjo, Gresik, hingga provinsi Sumatera barat (Permana2020),
Meskipun begitu, masih terdapat beberapa orang yang tetap melakukan kegiatan mudik
(Manurung dan Hantoro,2020) bahkan hingga melakukan penyelundupan pemudik (Tim
Deticom,2020). Tim Peneliti melihat bahwa penjabaran diatas menjadi tantangan bagi
pemerintah Indonesia dan juga warga Indonesia sendiri dalam rangka mempercepat
penuntasan wabah COVID-19 di Indonesia, Meskipunmemang kegiatan-kegiatan yang
terkesan melanggar PSBB.

2. Rumusan Masalah
 Bagaimana Sebaran wabah COVID-19 berdasarkan jumlah, komposisi serta
distribusi penduduk Indonesia?
 Bagaimana dampak wabah COVID-19 terhadap aspek Sosial Budaya pada
Masyarakat Indonesia?
 Bagaimana Langkah dalam mengatasi tantangan dalam memutus rantai wabah
COVID-19 di Indonesia?

3. Tujuan
 Mahasiswi dapat mengetahui sebaran jumlah, komposisi serta distribusi COVID-
19
 Mahasiswi dapat mengetahui dampak panemi COVID-19 terharap aspek Sosial
Budaya
 Mahasiswi dapat mengetahui langkah-langkah mengatasi COVID-19
BAB II

PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kasus COVID-19 di Indonesia

Perkembangan kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia per harinya


semakin mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tingkat nasional, data yang diperoleh
dari website resmi perkembangan virus COVID-19 milik pemerintah pusat menyatakan
sampai pada tanggal 14 Mei 2020 jumlah akumulasi kasus terkonfirmasi virus COVID-
19 di Indonesia telah mencapai 16,006 kasus. Sejalan dengan semakin tingginya jumlah
akumulasi kasus positif, kasus konfirmasi positif perharinya juga terus mengalami
kenaikan. Data menunjukkan bahwa pada tanggal 12 Mei di Indonesia terjadi 484 kasus
dan pada 13 Mei naik secara signifikan menjadi 689 kasus (Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19, diakses pada tanggal 15 Mei 2020).
Sedangkan jika dilihat pada tingkat regional, kasus konfirmasi positif paling
banyak terjadi di Pulau Jawa. Hal ini terlihat dari peta persebaran COVID-19 di Provinsi-
provinsi yang terletak di pulau Jawa menjadi daerah yang termasuk dalam 10 provinsi
dengan jumlah kasus positif COVID-19 tertinggi di Indonesia. Sampai pada tanggal 14
Mei berdasarkan jumlah konfirmasi positif kasus Provinsi DKI Jakarta berada di urutan
pertama 5.688 kasus, disusul Provinsi Jawa Timur 1.863 kasus, lalu Provinsi Jawa Barat
1.565 kasus, kemudian Jawa tengah 1,066 kasus dan Banten 593 kasus (Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19, diakses pada tanggal 15 Mei 2020). (Jumlah
akumulasi kasus per 15 Mei diolah dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan
COVID-19) Kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik demografis
Indonesia dimana distribusi penduduk masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut
proyeksi penduduk Indonesia tahun 2015-2045 dengan dasar hasil dari Survei Penduduk
Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah populasi di Indonesia tahun 2019 sebesar 266,91
juta jiwa. Sedangkan lebih dari setengah penduduk atau sekitar 150 juta jiwa yaitu sekitar
56% dari total penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa (BPS, 2015).
Disisi lain, kepadatan penduduk berkaitan erat dengan mobilitas penduduk yang
mana menjadi salah satu faktor penyebab mengapa virus dapat menyebar lebih cepat.
Menurut riset dari Katadata Insight Center (KDC), terdapat beberapa faktor yang
membuat daerah menjadi rentan terhadap penularan virus COVID-19. Pertama terkait
dengan karakteristik daerah yaitu kepadatan penduduk, kualitas udara, dan akses terhadap
hunian layak. Kedua, terkait dengan kondisi kesehatan masyarakat yaitu jumlah perokok,
jumlah lansia, dan jumlah kepemilikan jaminan kesehatan. Ketiga, terkait dengan risiko
mobilitas penduduk.

Hasil riset menunjukkan bahwa DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat mendapat
skor indeks kerentanan paling tinggi karena berada di kawasan Jabodetabek yang
menampung lebih dari 10% penduduk Indonesia (Katadata.id, 2020). Selain itu data
Sakernas tahun 2018 menunjukkan bahwa persentase pekerja komuter dan pekerja
sirkuler di Indonesia paling tinggi terjadi di Pulau Jawa yaitu 76,5% dan 71,6% (BPS,
2018).

Hal ini berpengaruh pada angka persentase kasus positif COVID-19 yang
didominasi oleh individu dari kelompok umur 18-59 tahun atau dari kelompok umur
produktif. Mobilitas tinggi yang dilakukan oleh individu tersebut membuat mereka rentan
memiliki resiko tinggi terpapar virus dengan gejala ataupun tidak bergejala (Kompas,
2020). Selanjutnya, kenaikan jumlah tidak hanya terjadi pada kasus konfirmasi positif
COVID-19 tetapi juga pada jumlah pasien sembuh dan jumlah kematian. Pada tingkat
nasional, jumlah akumulasi pasien sembuh mencapai 3518 pasien pada tanggal 14 Mei.
Sementara itu walaupun jumlah pasien sembuh mengalami kenaikan, jumlah akumulasi
kematian tidak mengalami penurunan atau terus mengalami kenaikan. Pada tanggal 13
Mei tercatat sebanyak 1.028 jiwa dan pada 14 Mei jumlahnya naik menjadi 1.043 jiwa.
Dari jumlah kematian tersebut, persentase kematian karena virus COVID-19 paling
banyak berada pada individu dari kelompok umur lebih dari 60 tahun yaitu 44,72%
disusul dengan individu pada kelompok umur 46-59 tahun sebesar 39,6% (Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19, diakses pada tanggal 15 Mei 2020).
Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok umur lansia dan pra lansia menjadi
paling rentan mengalami kematian karena virus COVID-19. Namun jika dilihat dari
komposisi jenis kelamin, kasus positif COVID-19 di Indonesia didominasi oleh pasien
laki-laki dibandingkan perempuan. Pada kasus positif covid-19, persentase pada laki-laki
mencapai 56,8% sementara perempuan hanya 43,2%. Tidak hanya itu, pasien laki-laki
cenderung lebih rentan mengalami kematian karena COVID-19 dibandingkan perempuan
dimana persentase menunjukkan untuk laki-laki sebesar 64,2% sedangkan perempuan
35,8% (Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, diakses pada tanggal 16 Mei
2020). Hal ini disebabkan selain karena faktor genetik dan penyakit bawaan, kebiasaan
merokok juga membuat seseorang rentan terpapar virus COVID-19 (Kompas, 2020).
Menurut data publikasi Kementerian Kesehatan, pada tahun 2016 jumlah
persentase konsumsi rokok lebih banyak pada kelompok laki-laki dewasa yaitu mencapai
68,1% sedangkan pada perempuan dewasa sebesar 2,5% (Kemenkes, 2016). Selain
kebiasaan merokok, pola mobilitas penduduk juga berpengaruh pada penyebaran virus
COVID-19 (Kompas, 2020).

Mobilitas penduduk lebih tinggi pada kelompok laki-laki karena adanya


pandangan tradisional mengenai peran gender. Laki-laki sebagai kepala keluarga yang
harus memenuhi segala kebutuhan finansial keluarga. Disisi lain perempuan bertanggung
jawab untuk mengurus keluarga sehingga perempuan cenderung terjebak dalam ruang
lingkup geografis tertentu (spatial entrapment) (Warsida et al, 2013). Dalam konteks
penyebaran virus COVID-19 hal tersebut akhirnya membuat laki-laki memiliki resiko
tinggi terpapar virus COVID-19 dan mengalami kematian dibandingkan perempuan.

Per 27 Oktober 2020


 Kasus aktif dunia pada saat ini rata-ratanya berada di angka 23,84%. Persentase kasus
aktif di Indonesia menurut Wiku sekitar 7% lebih rendah dari rata-rata kasus aktif
dunia. Sedangkan jumlah kasus sembuh saat ini sudah 322.248 orang, ini adalah
81,3%, dimana kasus sembuh dunia 73,49%. 
 "Bahwa kasus sembuh di dunia akhir-akhir ini cenderung menurun. Sedangkan kasus
sembuh di Indonesia, persentasenya cenderung meningkat. Ini adalah kabar baik yang
harus dipertahankan sehingga angka kesembuhan bisa naik terus dan diharapkan tidak
ada yang meninggal," kata Wiku. 
 Melihat jumlah kasus yang meninggal saat ini, Wiku menyebut totalnya ada 13.512
kasus atau 3,4% dibandingkan rata-rata dunia 2,65%. Angka kematian di Indonesia
harus diturunkan dan harus mengejar rata-rata dunia atau menjadi lebih rendah. Wiku
melanjutkan dengan menjabarkan perkembangan mingguan secara spesifik. 
 Pada jumlah kasus positif mengalami perkembangan yang baik karena mengalami
penurunan sebesar 4,5%. "Kami mengapresiasi provinsi Sumatera Barat, Sulawesi
Tenggara dan Nusa Tenggara Barat yang pada pekan sebelumnya masih masuk ke
dalam lima besar, namun pekan ink berhasil keluar dari lima besar dengan berupaya
menekan angka kasusnya," katanya. 
 Ada 5 provinsi yang mendapatkan perhatian khusus karena mengalami kenaikan
kasus tertinggi pekan ini. Diantaranya Jawa Barat naik 627, Banten naik 345,
Kepulauan Riau naik 238, Riau naik 234 dan Jawa Tengah naik 184. Ia menyebut
daerah-daerah yang minggu sebelumnya mengalami perbaikan, ternyata minggu
terjadi peningkatan kasus, yang artinya daerah ini menjadi lengah. 
 "Daerah-daerah tersebut diminta evaluasi terkait penerapan protokol kesehatan di
masyarakatnya. Ia menekankan, daerah-daerah jangan sekedar berlomba-lomba
masuk lima besar kasus positif karena hal ini bukanlah prestasi," lanjut Wiku. 
 Meski perkembangan baik terjadi pada kasus positif, tidak demikian pada angka
kematian pasien COVID-19. Pekan ini ada kenaikan sebesar 18% dan lebih besar dari
pekan sebelumnya. Namun ada daerah yang berhasil keluar dari lima besar pekan lalu
diantaranya Banten, Aceh, DKI Jakarta dan Sumatera Utara. 
 Kelima provinsi dengan kenaikan kematian tertinggi yakni Jawa Barat naik 89,
Sumatera Barat naik 22, Jawa Tengah naik 16, Kepulauan Riau naik 10 dan Nusa
Tenggara Barat naik 7. Sementara persentase kematian tertinggi berada di Jawa
Timur sebesar 7,24%, Nusa Tenggara Barat 5,64%, Sumatera Selatan 5,47%, Jawa
Tengah 5,44% dan Bengkulu 5,02%. 
 Selanjutnya, meski angka kesembuhan secara nasional terus mengalami perbaikan,
namun jumlah kesembuhan mengalami perlambatan sebesar 6,4% dari pekan
sebelumnya. Seharusnya jumlah kesembuhan harus terus dijaga agar terus
bertambah. 
 Secara perkembangan mingguan, Wiku mengkonfirmasi ada 5 provinsi tertinggi
mengalami kenaikan kesembuhan. Diantaranya Riau naik 1.894, Sumatera Barat naik
587, Sulawesi Tenggara naik 542, Sumatera Selatan naik 127 dan Jambi naik 81.
 Untuk daerah dengan persentase kesembuhan tertinggi berada di Gorontalo (94,47%),
Bali (89,8%), Kalimantan Selatan (89,5%), Jawa Timur (88,16%) dan Maluku Utara
(88,12%). "Dimohon provinsi yang telah disebutkan agar meningkatkan angka
kesembuhan. Kepada provinsi lainnya agar mencapai angka kesembuhan tertinggi,"
imbaunya. 

B. Dampak Sosial Budaya COVID-19 di Indonesia

Seiring merebaknya pandemik corona di indonesia, pemerintah RI telah


menetapkan status darurat kesehatan nasional. Dilansir dari data Kemenkes RI, selasa
( 13/05/2020) jumlah korban positif corona yaitu 15.438 jiwa, korban meninggal
sejumlah 1028 jiwa, dan pasien sembuh sebanyak 3287 jiwa.Memperhatikan penyebaran
virus corona yang saat ini kian merebak, pemerintah pun menerapkan kebijakan physical
distancing dan menganjurkan work from home untuk meminimalisir penyebaran virus
corona.

Physical distancing berarti melakukan kegiatan mandiri dengan menjaga jarak


minimal satu meter terhadap manusia lainnya. Kebijakan ini juga berarti mengurangi
aktifitas diluar rumah, baik bekerja maupun berinteraksi sosial yang mengakibatkan
beberapa sektor, antara lain industri pariwisata, transportasi, manufaktur, keuangan,
pelayanan publik, dan sekor lainnya mengurangi atau menghentikan aktivitasnya
sementara sampai waku yang belum ditentukan.
Penerapan kebijakan Physical distancing ini menjadi pilihan yang berat bagi
indonesia.Karena pembatasan interaksi sosial dapat menghambat laju pertumbuhan dan
kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Masalah perkonomian yang sangat terasa
dampaknya, karena hal ini menyentuh langsung ke berbagai lapisan masyarakat.
Terlebih lagi yang dirasakan oleh masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah.
Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan, pedagang dipasar, hingga
pekerja lain yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian termasuk juga
pengemudi kendaraan unun maupun ojek online.
Penghasilan mereka pun merosot tajam, bahkan tidak memiliki penghasilan lagi
karena tidak bisa bekerja. Ini semua akibat dari kebijakan physical distance karena pasar-
pasar tempat mereka berjualan ditutup, anak sekolah dan para pekerja yang sering
menggunakan angkutan umum dan ojek online saat ini sudah diliburkan. Sehingga
merekapun hanya bisa pasrah dengan keadaan. Walaupun ada bantuan dari pemerintah
untuk masyarakat kecil, itupun tidak merata dan masih terbatas. Karena Masih banyak
daerah-daerah yang belum tersentuh oleh bantuan pemerintah.
Tak terkecuali bidang pendidikan pun terkena dampak dari kebijakan ini.
Keputusan pemerintah yang mendadak, dengan meliburkan atau mengalihkan proses
pembelajaran dari sekolah menjadi dirumah, membuat kelimpungan banyak pihak.
Ketidaksiapan pihak sekolah dalam melaksanakan pembelajaran daring menjadi faktor
utama kekacauan ini. Peralihan cara pembelajaran ini memaksa berbagai pihak untuk
mengikuti alur yang sekiranya bisa ditempuh agar pembelajaran dapat berlangsung, dan
yang menjadi pilihan adalah pemanfaatan teknologi sebagai media pembelajaran
daring.Walaupun begitu, cara pembelajaran seperti ini tidaklah efektif dibandingkan
dengan pembelajaran face to face.
Karena metode pembelajaran daring memiliki banyak kelemahan, diantaranya:
metode penilaian siswa yang tidak tepat sasaran karena tidak dapat melihat langsung
kemampuan dari siswa, penguasaan teknologi yang masih rendah, keterbatasan sarana
dan prasarana karena masih banyak siswa yang kurang mampu dan tidak memiliki media
pembelajaran daring.

Itu juga termasuk jaringan internet yang masih terbatas karena masih banyak
daerah di indonesia yang belum terjangkau oleh jaringan internet.Ini tentu merupakan
masalah baru yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah untuk
mengoptimalkan proses pembelajaran di masa physical distance seperti ini
Selain itu, kebijakan physical distancing ini berdampak pada kehidupan sosial
masyarakat. Karena merebaknya virus corona ini, mulai timbul rasa curiga dan hilangnya
kepercayaan terhadap orang-orang disekitar kita karena tidak tahu siapa yang sudah
terinfeksi virus corona ini sehingga akan menjaga jarak satu sama lain agar tidak tertular
virus corona. Budaya kita untuk berjabat tangan dan saling bertegur sapa pun saat ini
sudah mulai hilang, karna takut terpapar virus corona ini. Bahkan banyak terjadi
penolakan warga terhadap penguburan jenazah korban virus corona, ini terbukti bahwa
kita telah mengalami krisis kemanusiaan.
Kita memang harus mengikuti kebijakan physical distance untuk antisipasi
paparan virus corona, tetapi juga kita tidak boleh menjadi acuh dan tidak peduli terhadap
sesamaSebagai saran dari penulis, Penerapan kebijakan physical distance ini tentunya
akan jauh lebih efektif dan efisien jika kita sebagai masyarakat ikut berpartisipasi dalam
melaksanakannya.
Karena pemerintah tidak akan mampu menerapkannya sendiri jika masyarakatnya
tidak mau patuh dan mendukungnya. Maka dari itu, alangkah baiknya kita untuk tetap
beraktifitas dirumah dan sebisa mungkin untuk tidak keluar rumah kecuali untuk
kepentingan darurat. Karena dengan begitu, berarti kita telah menjaga diri sendiri,
keluarga, serta seluruh masyarakat dari paparan virus corona.
Terlepas dari semua dampak yang ditimbulkan karena kebijakam ini, tentunya
pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan bagaimana resiko yang akan terjadi
baik dalam semua aspek kehidupan masyarakat indonesia, terlebih bagi kondisi
perekonomian negara dan masyarakatnya. Agar pemerintah dapat mengoptimalkan
kebijakan yang ada dan juga mampu meminimalisir resiko yang ada.

Virus Corona atau severe actue respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-


CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan yang menyebabkan gangguan
sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat hingga kematian. Virus ini telah menjadi
pendemi global yang telah menginveksi warga dunia sebanyak 2.256.844 jiwa dengan
total kematian sebanyak 154.350 jiwa dan yang sembuh sebanyak 571.851 jiwa per
tanggal 18 April 2020. Indonesia sendiri berada di peringkat pertama ASEAN degan
jumlah penderita terbanyak yaitu 6.248 jiwa, meninggal 535 jiwa dan sembuh 631 jiwa.

Virus yang berasal dari kota Wuhan, China ini teridentifikasi pertama kali di
Indonesia tanggal 2 Maret 2020 dan sampai sekarang telah menimbulkan banyak dampak
baik dari segi korban jiwa, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, bahkan lingkungan.
Dampak yang sangat terasa dirasakan oleh masyarakat saat ini adalah dampak ekonomi
dan sosial. Berikut dampak sosial yang dirasakan masyarakat akibat wabah virus corona
ini :
a. Perekonomian masyarakat mengalami penurunan bahkan anjlok,
banyak pengusaha, pedagang, mengalami kerugian bahkan tidak dapat beroperasi lagi.
Ojek online, tukang becak, sopir angkutan umum, pekerja serabutan yang hanya
mengandalkan pemasukan harian mengalami masa yang sangat sulit untuk bisa bertahan.
Hal ini semenjak diberlakukannya fisical distancing (jaga jarak) dan kebijakan
pemerintah untuk membatasi perkumpulan orang. Dampak sosial yang terjadi adalah
warga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti memperoleh makanan.
Banyak warga miskin yang hanya mengandalkan pendapatan harian bingung hanya untuk
memenuhi kebutuhan makanan selama tinggal dirumah. Hilangnya pendapatan bagi
warga masyarakat berarti jumlah angka kemiskinan masyarakat akan semakin meningkat.

b. Penderita Covid-19 yang baik telah dinyatakan postif, PDP (pasien dalam
pengawasan) maupun ODP (Orang Dalam Pengawasan) mengalami disfungsi sosial.
Mereka harus dikarentina selama 14 hari baik di rumah sakit maupun isolasi mandiri di
rumah. Permasalahan timbul ketika masyarakat mulai mendiskriminasi para korban
covid-19 mulai dari menjauhi, tidak memperdulikan, mengacuhkan bahkan sampai diusir.
Banyak kasus penolakan terjadi dari masyarakat bagi jenazah korban covid-19 yang
hendak dimakamkan di wilayah tertentu. Kurangnya pemahaman masyarakat membuat
rasa peduli, dan toleransi hilang begitu saja. Kejadian yang paling menyedihkan adalah
ketika para tim medis (perawat dan dokter) yang menangani pasien covid-19 harus ikut
diusir/ditolak oleh masyarakat. Hal ini terjadi bagi mereka yang bertugas di rumah sakit
rujukan covid-19. Mereka terpaksa harus keluar dari rumah kontrakan/tempat tinggal
mereka dan tinggal di rumah sakit. Adanya kebijakan pemerintah yang menyediakan
fasilitas tempat tinggal sementara bagi tim medis memberikan solusi dalam meringankan
perjuangan tim medis sebagai ujung tombak penanganan psien covid-19. Namun tetap
saja peran serta masyarakat dalam menyikapi pendemi covid-19 ini sangat besar dalam
mendukung kinerja tim medis sehingga masyarakat hanya perlu memahami kondisi saat
ini dan tidak berlebihan menyikapi kondisi mereka yang sedang berjuang melawan covid-
19 baik itu pasien yang sudah positif, ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien
dalam Perawatan), maupun tim medis.

c. Dampak dari Virus Corona membuat pemerintah melalui Kementerian


Hukum dan Ham mengeluarkan Permenkumham No. 10 tahun 2020 dan keputusan
Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 tahun 2020 tentang
Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana. Total Napi yang telah dibebaskan melalui
program asimilasi dan Integrasi adalah 38.822 jiwa (sumber: Ditjen Permasyarakatan
Kemenkumham, 20/4/2020) di seluruh Indonesia. Kebijakan ini malah menimbulkan
masalah baru yaitu eks-narapida yang sedang menjalankan masa asimilasi tersebut
kembali melakukan tindak kriminal ditengah-tengah masyarakat. Per tanggal 21 april
2020 setidaknya ada 27 orang mantan narapidana yang kembali melakukan kejahatan
usai dibebaskan melalui program asimilasi dari Kemenkumham (sumber: CNN indonesia
21/04/2020; Kabareskrim Polri). Tindak kejahatan yang dilakukan eks-narapidana ini
beragam mulai dari melakukan (residivis) pencurian dengan kekerasan, begal kendaraan
bermotor, hingga pelecehan seksual. Memang tidak bisa dipungkiri eks-narapidana yang
dibebaskan pada masa pendemi covid-19 ini kesulitan mencari pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tentu saja akan berdampak pada aspek sosial,
ekonomi, serta keamanan masyarakat. Warga masyarakat mulai mengkhawatirkan
keamanan lingkungan dengan dibebaskannya 38 ribu lebih narapidana ini. Stigma
negative masyarakat terhadap eks narapidana yang baru saja keluar pun menjadi masalah
tersendiri bagi para mantan napi. Meningkatnya jumlah tindak kriminal sejak diterapkan
status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebesar 11,80 persen secara
keseluruhan pada hasil evaluasi minngu ke-15 dan ke-16 (sumber data: Mabes Polri,
jakarta selatan). Walupun meningkatnya jumlah kriminalitas tidak semuanya berasal dari
eks-narapidana, ini membuktikan dampak dari pandemi covid-19 membuat warga
masyarakat cendrung akan melakukan tindak kriminal ketika tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan hidup mereka seperti melakukan tiindak kekerasan, pencurian, pembegalan,
penipuan, dan lain sebagainya.

Solusi seperti apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat dalam menyikapi
situasi Pandemi virus Covid-19 sehingga dampak sosial yang ada bisa diminimalisis:

a. Mulailah mengikuti segala anjuran kebijakan pemerintah dalam mencegah


meluasnya wabah Covid-19 yaitu untuk selalu jaga Jarak (fisical distancing), tetap
dirumah jika tidak ada keperluan mendesak, memakai masker ketika kaluar rumah, tidak
mudik, dan selalu mengikuti protokoler kesehatan covid-19.
b. Hal terpenting yang perlu kita tingkatkan adalah rasa peduli, berbagi dan
toleransi antar sesama. Kita ketahui bahwa banyak warga masyarakat yang sangat
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, alangkah baiknya kita mulai
membangkitkan semangat gotong royong untuk saling berbagi,

mulai kembali meningkatan nilai keswadayaan masyarakat untuk membantu


mereka yang sedang mengalami kesulitan. Kegiatan ini bisa dilakukan di ruang lingkup
RT, RW, dusun, dan desa/kelurahan dengan cara menghimpun data warga yang memang
layak untuk dibantu kemudian dengan cara swdaya masyarakat dan gotong royong warga
lain yang dianggap mampu untuk bisa berbagi menyisikan sebagian penghasilannya
dalam membantu warga/tetangga nya yang mengalami kesulitan ekonomi.
c. Stop Diskiriminasi korban covid-19, baik itu pasien positif, PDP, ODP
maupun tim medis yang melakukan perawatan pasien covid. Kewaspdaaan bukan berarti
harus mengucilkan, menjauhi atau bahkan mengusir, tetapi mari bersama saling
menguatkan, saling peduli antar sesama, dan bekerjasama menghadapi virus corona ini.
d. Sampaikanlah informasi yang memang benar dari sumber yang terpercaya,
sehingga masyarakat tidak perlu merasakan panik dan takut berlebihan. Pemahaman
masyarakat akan bahaya virus Corona sangatlah kurang, sehingga menimbulkan gejolak
dampak sosial di masyarakat. Dengan mengikuti protokol kesehatan masyarakat yang
dikeluarkan oleh pemerintah, virus ini dapat kita cegah tanpa harus mengikis rasa
kemanusian, kepedulian dan toleransi yang menjadi budaya masyarakat Indonesia.
e. Tetap selalu waspada terhadap tindak kriminalitias yang meningkat akibat
pandemi ini, namun selalu berpikiran positif dan membuka ruang bagi para eks-
narapidana untuk kembali bersosialisasi di masyarakat.

Pandemi COVID-19 berdampak tiba-tiba dan substansial pada sektor warisan seni
dan budaya . Krisis kesehatan global dan ketidakpastian yang diakibatkannya sangat
memengaruhi operasi organisasi serta individu — baik yang bekerja maupun independen
— di seluruh sektor. Organisasi sektor seni dan budaya berusaha untuk menegakkan misi
mereka (yang seringkali didanai publik) untuk menyediakan akses ke warisan budaya
kepada masyarakat; menjaga keamanan karyawan, koleksinya, dan publik; sambil
bereaksi terhadap perubahan tak terduga dalam model bisnis mereka dengan akhir yang
tidak diketahui.
Pengumuman yang dipasang di pintu perpustakaan umum di Island Bay, Selandia
Baru yang ditutup karena pandemi, dan akan membebaskan semua biaya keterlambatan
pengembalian
Pada Maret 2020, sebagian besar institusi budaya di seluruh dunia ditutup tanpa
batas waktu (atau setidaknya dengan layanan mereka dibatasi secara radikal), dan
pameran, acara, dan pertunjukan secara langsung dibatalkan atau ditunda. Sebagai
tanggapan, ada upaya intensif untuk memberikan layanan alternatif atau tambahan
melalui platform digital, untuk mempertahankan kegiatan penting dengan sumber daya
minimal, dan mendokumentasikan peristiwa itu sendiri melalui akuisisi baru, termasuk
karya kreatif baru yang terinspirasi oleh pandemi.

Banyak individu di seluruh sektor akan kehilangan kontrak atau pekerjaan untuk
sementara atau selamanya dengan berbagai tingkat peringatan dan bantuan keuangan
yang tersedia. Demikian pula, stimulus keuangan dari pemerintah dan badan amal untuk
seniman akan memberikan tingkat dukungan yang sangat berbeda tergantung pada sektor
dan negaranya. Permintaan publik akan aktivitas budaya secara langsung diharapkan
kembali, tetapi pada waktu yang tidak diketahui dan dengan asumsi bahwa berbagai jenis
pengalaman akan populer.
Penutupan dan pembatalan
Hingga kuartal pertama tahun 2020, organisasi sektor seni dan budaya di seluruh
dunia semakin membatasi aktivitas publik mereka dan kemudian ditutup sepenuhnya
karena pandemi. Dimulai dengan Cina, Asia Timur, dan kemudian di seluruh dunia, pada
akhir Maret sebagian besar organisasi warisan budaya telah ditutup, dan acara seni
ditunda atau dibatalkan, baik secara sukarela atau atas mandat pemerintah. Ini termasuk
galeri, perpustakaan, arsip, dan museum (secara kolektif dikenal sebagai GLAM ), serta
produksi film dan televisi, teater dan pertunjukan orkestra , tur konser , kebun
binatang , dan musik dan festival seni.
Menyusul berita yang berkembang pesat tentang penutupan dan pembatalan di
seluruh dunia sepanjang Februari dan Maret, per April 2020 tanggal pembukaan kembali
dan harapan ketika organisasi budaya dapat sepenuhnya "kembali normal" tetap tidak
ditentukan untuk sebagian besar dunia. Demikian pula, dampak keuangan jangka panjang
terhadap mereka akan sangat bervariasi, dengan disparitas yang ada terutama untuk
lembaga tanpa dana abadi yang diperburuk. Data survei dari bulan Maret menunjukkan
bahwa, ketika museum diizinkan untuk mengizinkan masuk publik lagi, metrik "niat
untuk mengunjungi" untuk kegiatan budaya harus tidak berubah secara keseluruhan dari
sebelum pandemi — tetapi dengan preferensi yang bergeser untuk jenis kegiatan . Data
menunjukkan akan ada penurunan kesediaan untuk menghadiri aktivitas di ruang
terbatas, grup besar yang tidak bergerak (seperti bioskop), atau aktivitas taktil; dengan
peningkatan minat untuk aktivitas di luar ruangan atau dengan ruang yang luas (seperti
kebun binatang dan kebun raya). Alasan yang paling sering dikutip bagi publik untuk
"merasa aman" saat kembali adalah: ketersediaan vaksin , pemerintah mencabut larangan
perjalanan , mengetahui bahwa orang lain telah berkunjung, apakah aktivitas / institusi
tersebut berada di luar ruangan, dan penyediaan hand sanitiser .
Setelah dibuka kembali untuk umum, berbagai teknik dan strategi digunakan oleh
tempat seni dan budaya untuk mengurangi risiko penularan COVID-19. Ini termasuk:
Mengurangi jumlah kehadiran yang diizinkan dan membatasi jumlah pengunjung secara
bersamaan (terkadang melalui slot waktu yang dipesan sebelumnya);

pemakaian masker secara wajib; penyediaan hand sanitiser; rute satu arah melalui
pameran; layar perspektif antara staf dan tamu; pemasangan perlengkapan kamar mandi
tanpa sentuhan; dan pemeriksaan suhu pada saat kedatangan.

Virus Corona Mengamuk

Corona, barangkali merupakan kata yang paling populer di dunia saat ini. Betapa
tidak, virus kecil yang tak kasat mata tersebut telah menggemparkan seluruh dunia pasca
kemunculannya di Wuhan Cina akhir tahun 2019 lalu. Sejak minggu ketiga hingga
penghujung minggu keempat Maret 2020, penyebaran virus corona makin
mengkhawatirkan. Saat Cina sebagai negara asal virus corona mengumumkan penurunan
kasus infeksi corona, beberapa negara di Asia, Amerika dan Eropa justru mengkonfirmasi
peningkatan penderita yang luar biasa. Bahkan korban corona di Amerika Serikat dan
Italia menjadi yang terbanyak di dunia melampaui kasus di Cina. Kompas.com
(29/3/2020) melansir 10 negara dengan jumlah kasus infeksi corona terbanyak yaitu :
Amerika Serikat (123.271 kasus, 2202 meninggal), Italia (92.471 kasus, 10.023
meninggal), Cina (81.394 kasus, 3.295 meninggal), Spanyol (73.235 kasus, 5.982
meninggal), Jerman (57.695 kasus, 433 meninggal), Perancis (37.575 kasus, 2.314
meninggal), Iran (35.408 kasus, 2.517 meninggal), Inggris (17.089 kasus, 1.019
meninggal), Swiss (14.076 kasus, 264 meninggal), Belanda (9.762 kasus, 639
meninggal). Situs resmi WHO mencatat luas penyebaran virus corona per 30 Maret 2020
telah mencapai 203 negara dengan 638.146 kasus, dan 30.105 penderita meninggal dunia
(www.who.int, 30/3/2020). Di Indonesia penderita corona pada 29 Maret 2020 mencapai
1.285 kasus. Korban meninggal 114 orang, sedangkan yang sembuh hanya 64 orang
(cnnindonesia.com, 30/3/2020).

Pemerintah Indonesia sendiri telah membentuk Gugus Tugas Percepatan


Penanganan Corona Virus Disease 2019 sejak 13 Maret 2020. Sejalan dengan itu setiap
kepala daerah juga diperintahkan untuk membuat Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Virus Corona di daerah masing-masing. Sejak dibentuknya gugus tugas penanganan virus
corona hingga akhir bulan maret 2020 telah dilakukan berbagai upaya penanganan
penyebaran virus corona. Terkait dengan hal itu, ada pertanyaan yang ingin kita
diskusikan disini, yaitu: apakah strategi penanganan pandemi ini telah memperhatikan
aspek kebudayaan?.Atau, apakah aspek kebudayaan dapat berperan dalam penyusunan
strategi penangan covid-19 di Indonesia?.

Persoalan Penanganan wabahCovid-19 di Indonesia

Berbagai catatan pengalaman menghadapi wabah penyakit, semestinya


mendorong pemerintah Indonesia untuk memiliki perangkat kesiapsiagaan melawan
wabah penyakit menular, sehingga pemerintah mampu memiliki kewaspadaan yang
tinggi dan respon yang cepat. Namun sayangnya, catatan sejarah yang ada justru
memberikan informasi bahwa sejak zaman kolonial hingga era reformasi pemerintah di
Indonesia dianggap oleh beberapa kalangan lambat menangani wabah penyakit menular.
Penanganan wabah flu spanyol di Indonesia oleh pemerintah kolonial misalnya,
tergolong lambat dan kurang serius. Bulan April 1918 konsul Belanda di Singapura telah
memberikan peringatan kepada pemerintah Belanda di Batavia agar mencegah masuknya
kapal-kapal dari Hongkong, karena telah dinyatakan terjangkit flu spanyol. Peringatan
tersebut tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah di Batavia. Tiga bulan kemudian,
beberapa pasien influenza mulai dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda.
Jumlah ini makin meningkat pada bulan Agustus dan September. Pada bulan November
pemerintah di Batavia mendapatkan laporan bahwa penyakit flu ini telah menyerang
berabagai daerah, seperti Banjar Masin, Bali, Jawa Timur dan Jawa Barat. Setelah jatuh
ribuan korban, pada bulan November 1918 pemerintah kolonial membentuk sebuah tim
penanggulangan penyakit flu yang berada di bawah kepala Dinas Kesehatan Rakyat
(Wibowo dkk, 2009: 93-112).

Pada saat dunia mengalami wabah MERS, pemerintah Indonesia juga dianggap
lambat membuat kebijakan travel warning yang diperlukan, sementara 14 negara sudah
terinfeksi dan menyebabkan 100 orang meninggal dunia (kompas.com, 8/5/2014). Dalam
hal penanganan wabah campak dan gizi buruk yang terjadi sejak September 2017 hingga
awal 2018 di Kabupaten Asmat, berbagai kalangan juga menilai pemerintah (pusat dan
daerah) lambat bertindak sehingga menyebabkan 63 anak meninggal dunia (tirto.id,
17/1/2018). Lalu bagaimana dengan strategi penangan wabah Covid-19 yang saat ini
telah menginfeksi lebih dari 1000 jiwa?.

Dalam proses penanggulangan pandemi covid-19 di Indonesia pemerintah DKI


Jakarta menjadi pihak pertama yang membentuk Tim Tanggap Covid-19. Tim ini
dibentuk oleh Gubernur DKI pada 2 Maret 2020,di hari yang sama pengumuman pasien
positif corona pertama oleh presiden Joko Widodo (cnbcindonesia.com, 2/3/2020).
Kebijakan ini masuk akal karena DKI merupakan kota terbesar, terpadat, memiliki akses
paling luas dan merupakan kota paling penting di Indonesia, sehingga makin cepat
penanganan yang dilakukan akan semakin baik bagi kepentingan nasional.

11 hari setelah mengumumkan pasien pertama positif corona di Indonesia,barulah


presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019, dan menunjuk Kepala
BNPB Doni Monardo sebagai ketua Gugus Tugas. Maka sejak saat itu segenap langkah
penanggulangan mulai direncanakan dalam skala nasional. Untuk memperkuat Gugus
Tugas tersebut, pada 20 Maret 2020 Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 9
Tahun 2020 yang merevisi Keppres Nomor 7 Tahun 2020. Dengan Keppres baru tersebut
Gubernur di seluruh Indonesia berwenang memberikan arahan dan mengevaluasi
pelaksanaan percepatan penanganan kasus covid-19 di daerahnya masing-
masing.Langkah-langkah penanganan wabah covid-19 yang telah dilakukan pemerintah
Indonesia dan dapat diamati diantaranya adalah:

Mengadakan dan mendistribusikan masker gratis, APD (Alat Perlindungan Diri)


Membeli alat tes virus corona dan jutaan obat bagi penderita covid-19
Menghimbau masyarakat untuk melakukan physical distancing, yaitu pembatasan
interaksi fisik (tidak berkumpul, bahkan untuk pelaksanaan ibadah)
Menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan ke luar daerah
Membuat kebijakan meliburkan peserta didik diseluruh jenjang pendidikan,
bahkan meniadakan Ujian Nasional.
Membuat kebijakan WFH (bekerja dari rumah)
Kampanye rajin cuci tangan pakai sabun
Melakukan rapid tes covid-19
Melakukan penyemprotan desinfektan di tempat-tempat umum
Menetapkan kriteria dan langkah-langkah perlakuan terhadap: ODP (orang dalam
pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan), suspect (pasien yang telah menunjukkan
semua gejala klinis infeksi corona), dan pasien positif corona.
Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada masyarakat yang melakukan
perjalanan dari luar daerah.
Mengambil serangkaian kebijakan ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat
Rangkaian kebijakan ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh
Indonesia. Di Tanjungpinang sendiri telah pula diambil kebijakan meliburkan seluruh
tingkat pendidikan, menerapkan Bekerja Dari Rumah bagi pegawai pemerintah,
melakukan pengawasan terhadap ODP, hingga melakukan penyemprotan desinfektan di
tempat-tempat umum. Beberapa kepala daerah di Provinsi lain bahkan menghentikan
jalur transportasi ke daerahnya seperi Papua dan Maluku. Di Provinsi Kepri baru
pemerintah Kabupaten Lingga yang menutup akses transportasi ke daerahnya sejak 28
Maret 2020 lalu (tanjungpinangpos.id, 26/3/2020).

Rangkaian kebijakan yang diambil pemerintah pusatsaat ini mendapat respon


beragam dari berbagai kalangan, ada yang setuju dan ada juga yang menilai tidak tepat.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya meminta pemerintah tidak ragu dalam
mengambil kebijakan isolasi diri(lockdown) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
beberapa negara. IDI berpendapat bahwa isolasi diri merupakan cara efektif untuk
menekan penyebaran virus covid-19 (m.republika.co.id, 22/3/2020). Kebijakan social
distancing yang diambil pemerintah hingga saat ini dinilai kurang berhasil. Hal ini
dibuktikandengan pertambahan jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia yang
mencapai 100 orang setiap hari. Kegagalan kebijakan social distancing disebabkan
karena tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah.Pasca himbauan “di rumah saja”
oleh pemerintah, masyarakat di berbagai daerah masih saja melakukan aktivitas
berkumpul seperti biasa, di Jakarta misalnya, Kota Tua, Kemang, Sabang dan Hayam
Wuruk masih ditemukan kerumunan orang (kompas.com, 27/3/2020). Hal serupa juga
terjadi di wilayah lain seperti di Provinsi Kepulauan Riau. Di Tanjungpinang, berbagai
tempat usaha kuliner masih saja ramai pengunjung meskipun pemerintah daerah telah
mengeluarkan surat edaran. Bahkan pihak kepolisian terpaksa turun lapangan melakukan
pembubaran warga yang sedang berkumpul.

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, hingga 30 Maret 2020


pemerintah masih fokus menerapkan kebijakan social distancing.Kebijakan pemerintah
ini juga didukung oleh berbagai praktisi dan pengamat ekonomi yang memperkirakan
dampak kebijakan lockdown yang sangat buruk bagi ekonomi Indonesia. Direktur Riset
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan bahwa skema
lockdownbagi Indonesia berdampak jauh lebih buruk dibandingkan negara lain. Hal ini
disebabkan sebagian besar warga Indonesia bekerja pada sektor informal. Ekonom Bank
Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan jika Jakarta diberlakukan lockdown
maka dampaknya akan berpengaruh secara nasional, karena 75% uang dalam pergerakan
ekonomi nasional terjadi di Jakarta (harianhaluan.com, 18/3/2020). Dari sisi sosial,
kebijakan lockdown dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan, penjarahan hingga
kerusuhan masal.

Perdebatan mengenai Tarik ulur kebijakan lockdownjuga terjadi di kalangan


masyarakat umum. Dalam berbagai media jejaring sosial online seperti facebook,
instagram, dan whatsap bertebaran komentar rakyat kecil mengenai kebijakan karantina
tersebut. Mereka yang umumnya bekerja dengan pendapatan harian khawatir kebijakan
tersebut akan menghambat sumber penghasilan mereka. Di satu sisi kebutuhan hidup
keluarga mereka terus berjalan sementara di sisi lain mereka tidak memiki cukup
tabungan untuk memenuhi kebutuhan selama lockdown karena penghasilan yang pas-
pasan.

Ketidak mampuan secara ekonomi barangkali juga akan dialami oleh masyarakat
kelas menengah di kota-kota besar. Hal ini dikarenakan masyarakat kelas menengah
memiliki gaya hidup konsumtif dan memiliki tagihan hutang untuk menaikkan status
sosial mereka. Kadence International Indonesia merilis hasil risetshare of Wallet mereka
pada tahun 2013 yang menunjukkan bahwa 28 persen masyarakat Indonesia berada
kondisi “broke” yaitu kondisi dimana jumlah pengeluaran melebihi besar pendapatan,
sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Orang-orang yang memiliki penghasilan
Rp. 4,3 juta per bulan memiliki pengeluaran Rp. 5,8 juta, sehingga defisit Rp. 1,5 juta per
bulan (tirto.id, 6/7/2016). Jika kelas menengah ini dihadapkan pada kebijakan lockdown
diperkirakanmereka juga tidak akan sanggup bertahan lama.

Lalu apakah tidak ada solusi lain untuk keluar dari persoalan ini?, sementara kita
dihadapkan pada kondisi yang kian memburuk. Saya kira, pemerintah perlu melakukan
strategi penanganan wabah covid-19 ini dengan menjadikan aspek sosial-budaya sebagai
ujung tombak.

Penanganan Wabah dengan Pendekatan Sosial-Budaya

Penanganan wabah penyakit harus dilakukan dengan pendekatan sosial budaya.


Berbagai catatan sejarah penangan wabah di seluruh dunia memberikan informasi bahwa
penanganan wabah penyakit tidak bisa jika dilakukan dengan hanya melibatkan aspek
medis saja. Hal ini dikarenakan wabah penyakit dan aspek sosial-budaya adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi, penyakit seringkali disebabkan oleh budaya
(cara-cara hidup) manusia, atau setidaknya penyakit mudah menjadi wabah karena
budaya tertentu dalam masyarakat.Di sisi lain penyakit memberikan dampak yang luar
biasa dalam aspek budaya manusia. Penyakit kolera misalnya, diketahui muncul dari
budaya sanitasi yang buruk. Penyebaran kolera dimungkinkan karena pola hidup yang
tidak bersih. Sebaliknya, sejak adanya wabah kolera masyarakat memiliki cara hidup
baru, seperti penggunaan jamban dengan sistem septic tank. Demikian juga dengan
wabah covid-19 saat ini. Penyakit ini ditularkan antar manusia melalui kontak jarak
dekat, karena itu berbagai tradisi masyarakat seperti kenduri dan pesta untuk sementara
waktu tidak boleh dilaksanakan. Bukan tidak mungkin setelah wabah ini berakhir,
manusia memiliki suatu cara hidup yang baru.

Karena wabah terkait dengan sosial-budaya, maka penanganannya juga harus


mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Dalam langkah penanggulangan covid-19 yang
saat ini dilakukan, pemerintah telah memperhatikan aspek sosial budaya. Seperti
misalnya:

(1) himbauan membuat gugus tugas hingga tingkat Rukun Tetangga, (2)
mengkampanyekan penanganan covid-19 dengan gotong royong, (3) pemerintah dalam
hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat video sosialisasi pencegahan covid-19
dengan menggunakan konten tradisi seperti lagu daerah, seni lakon tradisi dan
sebagainya, (4) bahkan tidak dipilihnya opsi lockdown oleh pemerintah pusat adalah
suatu bentuk perhatian pada aspek sosial.

Namun apa yang dilakukan belum memanfaatkan potensi budaya secara


maksimal. Disatu sisi pemerintah mengkampanyekan gotong royong dalam penanganan
covid-19, tetapi di sisi lain pemerintah menghimbau agar masyarakat menjaga jarak dan
interaksi dengan sesamanya.Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Selain itu,himbauan isolasi diri ini ditambah dengan informasi tentang cara penyebaran
virus dengan melakukan kontak dengan orang lain justru berpotensi menjadikan
masyarakat memiliki sifat anti sosial, paling tidak untuk sementara waktu. Dengan
mengisolasi diri, meskipun di rumah, sesama anggota masyarakat berkemungkinan tidak
mengetahui kondisi para tetangganya, apakah mereka sehat, atau apakah mereka makan
atau tidak. Apalagi jika keadaan makin memburuk, sifat alamiah manusia untuk
bertahan hidup akan mendorong menguatnya sikap egoisme. Seorang Sosiolog Inggris,
Herbert Spencer pernah mengatakan bahwa untuk bertahan dalam kondisi yang berat atau
kejam, manusia membutukan sikap egois untuk memungkinkannya bertahan hidup. Sikap
egois memungkinkan “the survival of the fittest” (Koentjaraningrat, 1981: 137).
Sikap inilah yang ditakutkan oleh pemerintah saat ini. Jika terjadi, sikap ini akan
menimbulkan penjarahan, dan kekacauan sosial karena manusia mementingkan
kepentingannya sendiri dan tidak lagi peduli dengan kesulitan atau penderitaan orang
lain. Meskipun pandangan Spencer ini banyak juga dibantah oleh filsuf lain yang
berpendapat bahwa manusia bertahan hidup dengan azaz altruisme (mengutamakan
kepentingan bersama), namun hemat saya, dengan kondisi masyarakat yang sangat
kapitalistik saat ini, dimana hak kepemilikan pribadi sangat besar, pendapat Spencer lebih
mungkin terjadi. Untuk mengantisipasi hal ini terjadi pemerintah dapat membuat
sejumlah kebijakan dengan menjadikan kebudayaan sebagai ujung tombak. Kebijakan itu
antara lain :

Membuat materi kampanye berbasis budaya lokal, tetapi bukan sebatas konten
seni tradisi seperti yang sudah ada saat ini. Materi budaya yang digunakan mestinya
adalah memori lokal mengenai wabah, yang boleh jadi tersimpan dalam cerita rakyat,
nyanyian dan sebagainya, sehingga masyarakat langsung memahami dampak yang akan
ditimbulkan.

Penggunaan memori kolektif ini menjadi penting karena pada dasarnya manusia
mudah digerakkan apabila memiliki memori kolektif yang relatif sama. Selain itu,
manusia bertindak sesuai dengan basis pengetahuannya, dan pengetahuan manusia
disusun oleh beberapa unsur yaitu : persepsi, apersepsi, pengamatan, konsep serta fantasi.
Oleh karena itu, jika pemerintah mampu menstimulasi lahirnya apersepsi dan fantasi
yang sesuai, saya kira himbauan mengenai social atau physical distancingakan lebih
dipatuhi oleh masyarakat, tanpa perlu menggunakan tekanan.
Melibatkan pemimpin adat, atau agensi lokal lainnya dalam melakukan kampanye
penanganan covid-19. Pelibatan aktor-aktor lokal ini akan membawa dampak yang cukup
signifikan karena himbauan berasal dari kalangan sendiri sehingga lebih di dengar.
Pemerintah Kabupaten juga dapat membuat atau mengaktifkan posko-posko kesehatan
dilingkungan terkecil. Instansi kesehatan dapat menunjuk duta kesehatan warga dan
memberikan edukasi singkat mengenai pencegahan penyebaran virus corona.
Apabila diperlukan, pemerintah dapat menstimulus lahirnya aturan adat atau
aturan desa yang bertujuan mensukseskan penanganan dan pencegahan covid-19. Dalam
banyak masyarakat, aturan adat atau peraturan desa kadangkala lebih dipatuhi dari pada
himbauan pemerintah. Hal ini dikarenakan aturan adat dan desa dirasakan lebih “dekat”
dari pada peraturan pemerintah.
Membentuk lumbung pangan warga. Mengingat bahwa pandemi melumpuhkan
sektor ekonomi, maka perlu difikirkan suatu sistem pengaman pangan. Paling tidak, ada
skema yang menjamin bahwa kecukupan pangan bagi masyarakat kelas bawahsemasa
pandemiakan terpenuhi. Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation: The
Political and Social Origins of Our Time (1944), menyebutkan bahwa masyarakat yang
masih hidup dalam sistem kesukuan memiliki suatu skema jaminan ekonomi yang
disebut redistribusi. Skema ini dapat kita terapkan untuk menghadapi wabah saat ini.
Pemerintah dapat memerintahkan setiap Rukun Warga membentuk Tim Lumbung
Pangan Warga yang bertugas mengumpulkan sumbangan atau iuran bahan pangan yang
akandidistribusikan kembali kepada masyarakat saat kelangkaan bahan pangan terjadi
pada masa wabah. Jika skema ini dikelola dengan baik, ketahanan pangan pada masa
pandemi akan terjaga, dan ini akan berbanding lurus dengan pencegahan tindak
penjarahan serta kerusuhan sosial.

C. Langkah- Langkah Pemerintah Menangani COVID-19

1. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, telah melakukan berbagai


langkah pencegahan masuknya COVID-19 ke wilayah Indonesia, yaitu:

Menerbitkan surat edaran kepada seluruh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota,
Rumah Sakit Rujukan, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dan Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan (BTKL), untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi kemungkinan masuknya penyakit ini.
Menempatkan 135 thermal scanner di seluruh bandar udara di Indnesia terutama yang
mempunyai penerbangan langsung dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Memberikan health alert card dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada
penumpang.
Menunjuk sedikitnya 100 Rumah Sakit Rujukan yang sebelumnya dipakai pada kasus flu
burung dan menyiapkan 21 kapsul evakuasi (meja dorong isolasi pasien) sebagai langkah
pencegahan.

2. Kementerian Kesehatan membuka kontak layanan yang dapat diakses masyarakat


untuk mencari informasi perihal virus corona. Nomor layanan informasi yang dapat
dihubungi adalah 0215210411 dan +6281212123119.

3. Pada 2 Februari 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan:


Penundaan seluruh penerbangan dari dan ke RRT yang berlaku mulai 5 Februari 2020
pukul 00.00 WIB.
Pelarangan seluruh orang masuk dan transit ke Indonesia apabila selama 14 hari terakhir
berada di RRT.
Pencabutan sementara bebas visa dan visa on arrival untuk warga negara RRT.
Penghentian sementara impor live animal dari RRT.

4. Sebagai bentuk perlindungan, Pemri telah memulangkan WNI dari Provinsi Hubei, RRT,
pada 2 Februari 2020. Kepada para WNI tersebut telah diterapkan langkah-langkah
sebagai berikut:

Memastikan ketersediaan dan akses terhadap logistic di Wuhan (sebelum dilakukan


evakuasi): karena adanya kebijakan karantina dari Pemerintah RRT, KBRI Beijing telah
mengirimkan bantuan dana kepada WNI yang sebagian besar merupakan mahasiswa
untuk keperluan membeli makanan dan logistic di Wuhan.

Mengirimkan bantuan logistic dari Indonesia: BNPB melalui Kementerian Luar Negeri
dan KBRI Beijing telah mengirimkan 10.000 masker N-95 untuk WNI di RRT.
Melakukan penjemputan sukarela: 237 WNI dan 1 WNA yang berada di Provinsi Hubei
pada tanggal 1 – 2 Februari 2020.
Sejak tanggal 2 Februari 2020, seluruh WNI bersama 5 tim aju dari KBRI Beijing serta 42
anggota tim evakuasi menjalani observasi kesehatan selama 14 hari (masa inkubasi virus)
di Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad di Pulau Natuna.
Pada 15 Februari 2020, seluruh WNI beserta tim evakuasi telah menyelesaikan masa
karantina observasi kesehatan dan dinyatakan sehat, bebas dari virus corona.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pandemi COVID-19 yang telah menyebar ke hampir seluruh negara di dunia dan
tak terkecuali Indonesia ini menimbulkan banyak tantangan. Tantangan tersebut berasal
dari kesadaran oleh warga yang terdampak oleh pandemi itu sendiri. Secara demografis
sendiri wabah COVID-19 ini berpengaruh pada jumlah mortalitas dari penduduk itu
sendiri. Meskipun sudah diterapkan beberapa kebijakan seperti PSBB dan anjuran untuk
tetap dirumah, namun masih banyak penduduk Indonesia yang tidak taat dan mengikuti
kebijakan dan anjuran tersebut. Memang sebagian warga merasa resah karena kebebasan
sipil nya untuk berkumpul dan juga bepergian sangat dibatasi, namun selain itu, faktor
ekonomi juga menjadi pendorong warga untuk tetap keluar rumah demi mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dikarenakan masih ditemukan warga yang
merasa bantuan dari Pemerintah masih kurang atau belum merata. Meskipun memang,
lagi-lagi tindakan keluar rumah yang dilakukan oleh warga yang harus bekerja karena
kebutuhan mendesak tersebut memang berpotensi untuk memperpanjang masa pandemi,
namun bagi mereka, tidak ada pilihan lain yang dapat mereka lakukan.

B. Saran
1. Perlunya ekstensifikasi dan intensifikasi dari pemberian pemahaman bagi masyarakat
untuk tetap berada dirumah bagi penduduk yang masih hendak bepergian keluar oleh Pemerintah
maupun antar masyarakat itu sendiri, mungkin dapat ditempuh dengan intensifikasi presensi
Influencer dalam ranah online atau saling mengingatkan di dalam keluarga secara online yang
dapat ditempuh lewat penyebaran pesan lewat grup-grup media sosial seperti grup Line maupun
WhatsApp keluarga.
2. Untuk membuat saran pertama efektif, maka Pemerintah seharusnya memberikan bantuan
sosial maupun jaminan sosial yang lebih merata kepada masyarakat agar kebutuhan pokok
mereka tetap dapat terpenuhi meskipun tetap berada dirumah saja. Meskipun memang, keadaan
perekonomian yang jatuh menyebabkan hal tersebut sulit untuk dilakukan secara efisien dan
efektif.
3. Maka dari itu, untuk memenuhi saran kedua, maka sepatutnya masyarakat yang merupakan
kelas menengah ke atas atau yang memiliki harta yang berlimpah untuk membantu masyarakat
yang berada di kelas menengah dan juga kelas bawah untuk saling berkontribusi dalam
charity untuk mereka dari kelas menengah maupun kelas bawah yang masih harus bekerja di luar
rumah, seperti tukang bangunan, pekerja kantoran yang belum menerapkan WFH, pengendara
ojek online maupun ojek konvensional, dan sebagainya.

4. Adanya edukasi bagi masyarakat secara massal, langsung, dan memadai ketika pandemi
COVID-19 ini sudah berakhir. Edukasi langsung secara massal terus ditujukan untuk masyarakat
dari berbagai kelompok umur, terutama bagi masyarakat berusia anak-anak, usia produktif,
hingga usia lanjut untuk merefleksikan dampak-dampak dari pandemi COVID-19 secara sosietal
serta memberikan pemahaman bagi masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi
kemungkinan pandemi di masa yang akan datang (mari berharap tidak ada lagi).
5. Perlunya pembaharuan dalam infrastruktur dan suprastruktur kesehatan demi
menuntaskan pandemi COVID-19 yang sedang terjadi serta mencegah dan menanggulangi
kemungkinan pandemi di masa yang akan datang. Pembaharuan tersebut dapat dimulai dari
pembaharuan dan penambahan alat-alat kesehatan seperti ventilator dan sebagainya, serta
reformasi dari birokrasi kesehatan masyarakat di Indonesia agar tidak harus melewati proses yang
begitu kompleks sehingga memperpanjang durasi dalam eksekusi penindakan penyakit di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, P. (2020). Polemik Lockdown di Tengah Kegelisahan Kaum Marjinal. ADALAH:


Buletin Hukum & Keadilan, 29-34.

Alika, R., & Fajrian, H. (2020, Mei 2020). Pengusaha Khawatir Pekerja Usia di Bawah 45
Tahun Pembawa Virus Corona. Diperoleh dari katadata.co.id:
https://katadata.co.id/berita/2020/05/13/pengusaha-khawatir-pekerja-usia-di-bawah-45
-tahun-pembawa-virus-corona (Diakses pada tanggal 16 Mei 2020 pukul 13:06)

Ansori, M. H. (2020, April 6). Wabah COVID-19 . THC Insights. The Habibie Center.

https://kemlu.go.id/hanoi/id/lists/tautan/category-links

Anda mungkin juga menyukai