Anda di halaman 1dari 8

MATA DIBALAS MATA

 Meutia Swarna Maharani (Kompas, 03 November 2019) 

Mata Dibalas Mata ilustrasi Antonius Kho/Kompas 

Saat Dinda memutuskan sudah saatnya


untuk ia menikah, syarat dari Mama
hanya satu; wali nikahnya haruslah
Daim. Bagi Mama, Daim dilangkahi
adiknya dalam urusan jodoh merupakan
satu yang haram.
Walau Daim sudah bilang berkali-kali bahwa ia tak ambil pusing soal siapa yang
menikah duluan, Mama tetap tidak mau tahu urusan. Daim wajib untuk datang
menjadi wali nikah Dinda sebagai bentuk restunya.

Jadilah dua hari sebelum ijab kabul, Daim kembali ke rumah. Tidak terkira senangnya
hati Mama melihat si sulung ternyata masih ingat jalan pulang setelah tahunan
lamanya merantau di ibukota. Dinda pun tak kalah berseri-seri menyambut Daim.
“Kukira kau sudah tak sayang aku!” serunya sambil bergelayutan manja di lengan
Daim.

Hanya aku yang diam termangu di teras, bingung harus bersikap bagaimana. Apakah
aku harus mengecup punggung tangannya lalu bermanja-manja seperti yang Dinda
lakukan? Ataukah meniru tindakan Mama yang langsung memeluknya? Akhirnya
kuputuskan untuk mencium punggung tangannya dan sekadar berbasa-basi
menanyakan perjalanan di pesawat tadi, agar aku tak dilihatnya sebagai si bungsu
yang tak tahu adab sopan santun pada kakak tertua. Daim masuk ke dalam, dengan
tiap selangkah sekali membaui udara seolah berusaha mengingat apa saja yang masih
tersisa di rumah ini.

“Tak apa kau tak datang saat baantaran [l]—ada Amang Zul yang bisa menggantikan
posisimu sementara. Kecuali jika kau tak ada ketika Dinda ijab kabul. Hm, lebih baik
tak usah dilanjutkan perkawinannya,” guyon Mama, disahuti rajukan Dinda dan
gumaman maklum Daim.
Di malam kepulangan Daim, Mama menggoreng patin dan membuat semangkuk besar
sayur bening. Makanan kesukaan Daim dan almarhum Abah, ingat Mama yang
diucapnya berkali-kali saat aku ikut membantunya di dapur. Makan malam sederhana,
dibuat oleh Mama dengan cinta yang luar biasa.

“Tak ada yang bisa menggoreng patin selezat Mama,” puji Daim.

Dusta, batinku. Warung di ujung gang yang sering kusinggahi untuk makan malam
bersama pacarku itu punya patin goreng dengan kulit yang lebih renyah dan bumbu
yang lebih meresap. Tapi dengan cepat aku menggeleng. Mungkin di ibukota sana
memang tak ada yang bisa membuat patin goreng dengan lezat.

“Makanya cepat menikah, Daim. Berapa usiamu sekarang? Kau sudah kalah dari
Dinda. Setidaknya bawa calon untuk Mama, biar bisa kuajarkan dia cara menggoreng
patin supaya kau betah di rumah,” ujar Mama sembari mengambilkan seekor patin
goreng lagi untuk Daim. Aku menikmati pergerakan tangan Mama dengan hati-hati,
agar Mama tak tahu hatiku dalam artian sebenarnya sedang menyahuti perkataan
Mama barusan setengah meledek; “Bahkan patin goreng yang katanya favorit Daim
saja dulu tak mampu menahannya minggat dari rumah, Ma!”

Daim menggeleng-geléngkan kepala mendengar perkataan Mama barusan. Setelah


mengucapkan terima kasih atas patin goreng yang diambilkan Mama, matanya sibuk
mengitari ruangan, mencari-cari entah apa sebelum akhirnya terhenti padaku. Kulihat
ia tersenyum sekilas sebelum kutundukkan kepala. Bodoh, bodoh—jangan-jangan ia
sudah pernah belajar ilmu baca pikiran?

Kami melanjutkan makan dengan sunyi. Maksudnya, hanya aku dan Daim yang saling
diam. Mama dan Dinda masih bersemangat berbicara tentang rangkaian acara yang
sudah dan akan berlangsung. Besok adalah acara bamandi-mandi [2], lusa pagi ijab
kabul dan dilanjutkan resepsi di sore harinya. Daim pun merespons sesekali dengan
tidak kalah antusiasnya.
“Danum, kalau bamandi-mandi besok, jangan diam di kamar saja. Coba kau
tunjukkan sedikit kepedulian pada kakakmu. Lagipula, kan ada Daim juga di sini.
Keluarlah sesekali.” Mama menyentuh lenganku tiba-tiba, membuatku mendongak
dan dengan enggan mengangguk. Aku benci keramaian, dan melihat banyak orang
hilir-mudik di rumah beberapa minggu belakangan membuatku pusing. Aku lebih
senang di kamar. bercakap dengan foto almarhum Abah guna membunuh rindu.
Pandangan Mama kemudian kembali teralih pada Daim. Raut wajahnya yang semula
agak keras padaku, kini meraut khawatir menatap Daim. “Betul tak apa kau?”

Kudengar helaan panjang napas Dinda. Ia terdengar begitu letih di sampingku, namun
suara Mama tadi terdengar jauh lebih lelah untuk diabaikan.

“Ma, namanya jodoh siapa yang tahu. Kalau memang waktunya Dinda menikah lebih
cepat dariku, ya sudah. Aku sungguh tak apa. Aku juga sudah pernah bilang ini
berkali-kali kan?” Daim tersenyum menenangkan Mama. “Jika setelah ini ternyata
giliran Danum yang mau menikah juga, aku pun tak keberatan jadi wali.”

Daim menatapku lagi, kini tanpa kedip sampai aku jengah dibuatnya. Sumpah mati,
aku tak mau dia jadi wali nikahku nanti.

“Nanda dan Danum belum sarjana,” gumam Mama, mengisyaratkan penolakan.

Kini aku yang ganti menatap Daim, menunggu reaksinya. Tapi ia terlihat biasa,
mulutnya malah lanjut mengunyah.

“Nanda malam ini jadi datang, Ma. Dia mau bantu Danum mengecek kue untuk
besok di rumah Amang Zul.” Aku mengatakannya pada Mama, namun mataku tak
lepas dari Daim.

“Cepatlah. Jangan kemalaman biar kalian tidurnya tidak larut juga.”

“Iya, Ma, tidak akan lama. Daim juga sepertinya ingin temu kangen dengan Nanda.”

Pancinganku berhasil. Daim menatapku tajam—hanya sedetik sebelum tatapan itu


kembali melunak. Ia menatapku seperti orang mengaku kalah, seperti minta ampun.
Sayangnya aku belum puas.
“Pastilah Daim rindu sekali. Bagaimana tidak, jika dulu saja tiap sore ia mengajari
Nanda matematika cuma-cuma. Aku juga minta diajari waktu itu, tapi ia minta upah
lima ribu. Daim membelikan Nanda layang-layang, padahal aku juga ingin -” aku
menahan napas sebentar, menahan getar di suaraku.

“ – padahal aku adiknya.” Kuselesaikan kalimatku dengan tawa getir.

Mendadak suasana di meja makan terasa dingin membekukan. “Kau kenapa, sih?”
pecah Dinda kemudian, menatapku heran.

Aku menggeleng, lalu kembali menunduk seperti yang biasa kulakukan. Aku terbiasa
menunduk dalam menghadapi siapapun, dan itu membuatku terlihat lemah. Sungguh,
aku benci disangka lemah.

Aku juga benci saat-saat dulu kudapati Daim memberikan Nanda es krim. Tak kalah
menyebalkannya jika adegan Daim menyeka sisa es krim di sudut bibir Nanda
terulang jelas dalam otakku. Waktu Daim dengan sengaja mengelus rambut Nanda
saat jawaban soal matematikanya benar – ck, rasanya seluruh amarahku memuncak
saat itu juga.

Dan lihatlah sekarang, si sulung kebanggaan Mama dan Dinda masih memilih untuk
pura-pura bodoh.

Atau perlu kuingatkan lagi padanya ketika selesai ujian akhir sekolah dasar, aku dan
Nanda saling membalap karena ingin memperlihatkan padanya nilai kami adalah dua
yang terbaik dari siswa lain, ia hanya menyambut Nanda, mengecup pipinya ringan
sebagai bentuk selamat seolah itu bukan perkara besar.

Mataku memerah. Aku menangis karena aku suka Nanda, tetangga yang juga teman
sekelasku yang teramat menyebalkan karena suka mengganggu. Aku bahkan belum
datang bulan saat itu dan aku ingin pula mengecup pipi Nanda. Tapi aku lebih sayang
Daim—dulu ia juga si sulung yang selalu kupuja, aku tidak suka melihat Daim lebih
sayang Nanda. Jadi aku lari ke pelukan Abah, mengadu sambil tersedu.
Abah kala itu menenangkanku. Diangkatnya tubuhku tinggi dan pipiku dihujaninya
kecupan tak terhitung. Janggut yang Abah biarkan tumbuh panjang membuatku geli,
lalu aku tertawa dibuatnya. Abah ikut tertawa bersamaku sambil berbisik, “Daim juga
sayang kau, Danum!”

Malamnya, aku terbangun karena gelegar suara Abah. Di rumah saat itu hanya ada
Abah beserta aku dan Daim. Mama dan Dinda tengah menginap di rumah Amang Zul
menjenguk Nini yang sedang sakit. Aku tidak berniat mencuri dengar pembicaraan
Abah dan Daim. Tapi telingaku memang dirancang untuk bisa mendengar, suara
mereka juga tidak cukup pelan untuk tidak didengar.

“Kau laki-laki, Daim!”

“Aku juga tidak meminta lahir seperti ini, Abah!”

Abah meraung frustrasi. Kudengar beberapa benda jatuh yang entah apa dan kenapa.
Antara penasaran dan takut, aku mengintip dari lubang kunci. Abah terduduk di lantai,
Daim sedang berdiri menghadap Abah. Keduanya sama-sama tengah mencengkeram
rambut masing-masing. Beberapa buku berserakan di sekitar mereka. Pastilah itu
suara benda-benda yang terjatuh atau dijatuhkan tadi.

“Kenapa harus laki-laki… bocah ingusan pula!” Bahu Abah berguncang. Abah
terisak-isak sambil mengucap nama Tuhan berkali-kali. “Aku tadinya cuma mau
memintamu memperlakukan Nanda dan adikmu dengan adil. Tidak kusangka akan
mendapat pengakuan seperti ini.”

Aku ingin sekali berlari memeluk Abah, mengingatkannya agar tidak menangis
berlebihan. Abah tidak boleh stres, kalau tidak sakit jantungnya akan muncul lagi.
Terlebih lagi, Abah menangis membawa namaku. Abah tidak boleh menangis
karenaku.

Nyatanya, kakiku tetap terpaku di tempat. Apalagi saat napas Abah mulai terlihat
tidak beraturan, rasanya seperti ada perekat yang sangat kuat di bawah kaki hingga
aku tak bisa bergerak. Abah jatuh begitu saja. Daim hanya melihat dengan datar.
Beberapa detik setelah Abah rebah dengan sempurna, aku teriak begitu kencang.
Kubawa tubuhku berlari untuk memanggil tetangga, namun Daim langsung
memerangkapku dalam pelukannya terlalu cepat sebelum aku sempat menolak.

“Jangan bilang siapa-siapa soal ini, Danum!” Aku berani bersumpah, ia hampir saja
meremukkan tulang-tulang kecilku.

Para tetangga pikir, aku masih terlalu muda untuk dimintai keterangan. Jadilah mereka
bertanya pada Daim. “Abah kena serangan jantung,” jawab Daim berulang-ulang pada
siapapun yang bertanya.

Selepas tujuh harian Abah, Daim memutuskan untuk pergi. Waktu itu ia belum tahu
ke mana, yang penting ke tempat jauh katanya. Orang-orang pikir Daim merupakan
anak yang paling patah hati atas kepergian Abah hingga memutuskan untuk pergi
jauh. Mereka selalu menitipkan belasungkawa hanya pada Daim jika berpapasan
dengan keluarga kami. Mereka mungkin tidak tahu bahwa Dinda selalu membawa-
bawa sarung salat Abah ke mana pun ia pergi selama setahun penuh sejak
meninggalnya Abah. Mereka lupa perihal aku yang sampai sekarang masih suka
berbicara sendiri dengan foto Abah.

Sejak saat itu, aku selalu menyumpah-nyumpahi Daim lewat segala doa yang
kupanjatkan. Di antara harapan-harapan baik tentang kelapangan kubur Abah, juga
bahagia hidup Mama dan Dinda, serta sedikit pesan cinta pada Nanda, selalu
kuselipkan sumpah serapah barang satu atau dua kata khusus untuk Daim. Tuhan
Maha Mengerti, maka aku yakin pasti dipahami.

Ketika sekarang sedang menyumpahinya lewat mata, kurasakan getaran telepon


genggamku di permukaan meja makan. Nama Nanda beserta simbol hati yang
kusimpan tertera jelas di layar, membuat Mama bersuara, “Nanda sudah sampai di
depan, mungkin? Angkat teleponnya dulu sana.”
Kugeser layar untuk menjawab panggilan telepon. Mulutku berbicara dengan Nanda,
menyuruhnya langsung masuk saja karena memang ia sudah menunggu di luar. Tapi
kedua mataku tak bisa dikontrol. Mereka malah memilih untuk bilang pada mata
Daim seperti ini, “Aku sudah tidak punya kamu sejak kita kecil. Kamu merebut Abah
dariku. Sekarang, Nanda punyaku—aku tidak akan membiarkanmu merebut apapun
dariku lagi.”

Untuk pertama kalinya, aku puas melihatnya menatapku nanar—aku merasa menang.

Depok, 7 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai